BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah (Depkes, 2004). Sebagaimana yang tercantum pada pasal 34 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan ayat (3) bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, maka adalah suatu kewajiban pagi para penyedia kesehatan untuk memberikan pengobatan yang bermutu. Hal ini juga sesuai dengan peraturan perundangan dalam UU No. 36 tahun 2009, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Manajemen obat yang baik merupakan salah satu aspek yang berpengaruh pada pelayanan kefarmasian. Ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan pelayanan kesehatan, maka pengelolaan obat yang efisien sangat menentukan
1
3
keberhasilan pelayanan kesehatan. Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik jumlah, jenis maupun kualitas (Depkes, 2005). Pengelolaan obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu pengelolaan obat yang kurang efisien di salah satu atau lebih tahap pengelolaan akan berpengaruh terhadap peran rumah sakit secara keseluruhan. Tahapan dari siklus manajemen obat antara lain seleksi, perencanaan, pengadaan, distribusi dan penggunaan. Membanjirnya produk obat dan meningkatnya frekuensi penemuan di bidang obat telah membuat dokter, apoteker dan profesi kesehatan yang lain mengalami kesulitan dalam memilih obat yang tepat, aman, efektif dan rasional. Ribuan jenis produk obat beredar di pasaran dan sebagian besar merupakan obat-obatan ‘me too’ ataupun obat-obat non esensial. Karena itulah diperlukan seleksi obat untuk membatasi jenis dan jumlah obat yang digunakan di rumah sakit. Hal ini dilaksanakan untuk meningkatkan efisiesi dan efektifitas pengelolaan obat di rumah sakit. Berdasarkan seleksi obat yang telah dilakukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi, maka Instalasi Farmasi Rumah Sakit membuat perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi yang termasuk di dalamnya adalah obat (Siregar dan Amalia, 2003). Di samping itu, tahap distribusi merupakan tahapan dari siklus manajemen obat yang sangat penting dan kompleks, bahkan pada proses penyimpanan dan distribusi dapat menghabiskan komponen biaya yang signifikan dalam anggaran kesehatan (Quick, et al., 2012). Selain hal-hal tersebut, dari penelitian Kusumo (2012), dijelaskan pula manajemen pendukung dalam pengelolaan obat yang meliputi struktur organisasi,
4
keuangan atau finansial, sumber daya manusia (SDM) dan sistem informasi manajemen juga ikut menentukan pola pengelolaan obat. Dalam rangka mengetahui kinerja pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada terutama pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi maka penelitian ini dilakukan. Dipilihnya tahap ini karena keberhasilan tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi obat akan sangat menentukan harga, mutu, jumlah dan ketersediaan obat yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Di samping itu, Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada merupakan Rumah Sakit yang baru beroperasi pada tahun 2012 sehingga masih memerlukan evaluasi berkala dan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk evaluasi dan masukan bagi rumah sakit, dokter, apoteker, serta Dinas Kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan memberikan pengobatan yang bermutu karena didukung oleh pengelolaan obat yang baik.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah : 1.
Seperti apa kinerja pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada?
5
2.
Apa saja faktor yang memberi dampak terhadap ketidakefisienan pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini yakni : 1.
Mengetahui kinerja pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada.
2.
Mengetahui faktor yang memberi dampak terhadap ketidakefisienan pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada belum pernah dilakukan. Namun penelitianpenelitian sebelumnya yang pernah dilakukan adalah Evaluasi Efisiensi Manajemen Penyimpanan dan Distribusi Obat di Instalasi Farmasi RSUD Cilacap oleh Puspa tahun 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif retrospektif (tahun 2012) dan concurrent (tahun 2013). Kusumo (2012) mengevaluasi manajemen distribusi obat di Instalasi Farmasi RS DKT Dr. Soetarto Yogyakarta periode 2009. Rancangan penelitian menggunakan deskriptif retrospektif (tahun 2009) dan concurrent (tahun 2012).
6
Sementara itu, Fudholi (2013) mengevaluasi pengelolaan obat dan strategi perbaikan dengan metode Hanlon di Instalasi Farmasi RSUD Karel Sadsuitubun Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2012. Rancangan penelitian menggunakan deskriptif retrospektif (tahun 2012) dan concurrent (tahun 2013). Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif retrospektif dan concurrent sedangkan perbedaannya terletak pada waktu penelitian, cara pengambilan sampel, dan tempat penelitian yaitu dilakukan di Instalasi Farmasi RS UGM. Perbedaan yang lain terdapat pada penambahan indikator pengadaan, yaitu frekuensi kesalahan faktur.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Farmasi Rumah Sakit Unit farmasi rumah sakit merupakan bagian integral dari sebuah rumah sakit yang memberikan pelayanan farmasi rumah sakit, dengan tugas utamanya menyalurkan semua obat-obatan baik kepada unit perawatan maupun unit yang lain, memenuhi kebutuhan pasien baik yang dirawat inap maupun rawat jalan. Di samping itu, unit farmasi rumah sakit merupakan salah satu dari banyak fasilitas dan kegiatan yang berpengaruh sangat besar pada kinerja rumah sakit dan juga terhadap ekonomi dan biaya operasional total rumah sakit. Hal tersebut disebabkan karena adanya hubungan timbal balik dan saling tergantung antara unit farmasi dengan unit-unit pelayanan lainnya, karena hampir
7
seluruh pelayanan yang diberikan kepada pasien di rumah sakit berhubungan dengan sediaan farmasi dan atau perbekalan farmasi (Siregar dan Amalia, 2003). Instalasi farmasi memerlukan informasi operasional yaitu informasi untuk menjalankan kegiatan operasional sehari-hari, seperti jumlah obat yang tersedia, harga jual, tanggal pemesanan. Informasi yang paling diperlukan di instalasi farmasi adalah informasi akuntansi. Dengan informasi akuntansi maka dapat diketahui informasi kuantitatif yang biasanya berisi angka-angka, baik angka pendapatan, angka biaya dan lain-lain. Informasi akuntansi di instalasi farmasi digunakan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, juga dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana kinerja keuangan yang dicapai oleh instalasi farmasi. Pengelolaan dikatakan efektif bila sumber daya yang tersedia digunakan untuk memperoleh hasil sesuai dengan tujuannya. Sedangkan efisien bila dengan sumber daya tadi diperoleh hasil yang maksimal atau sumber daya yang digunakan minimal (Raymond, 2000). Quick, et al. (1997) dalam bukunya Management Drug Supply, mengemukakan bahwa pengelolaan obat yang baik sangat penting, karena lebih dari 90% pelayanan kesehatan rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, radologi, bahan alat kesehatan habis pakai, alat kedokteran dan gas medik) sedangkan pembelanjaan untuk obat menghabiskan 40% dari total anggaran rumah sakit, sehingga pengelolaan harus dilakukan dengan efektif dan efisien
8
agar kelancaran pelayanan kesehatan tidak terganggu dan pendapatan rumah sakit juga dapat ditingkatkan. Pengelolaan unit farmasi dengan baik akan menyokong unit-unit lainnya, terutama unit yang tidak berperan sebagai revenue centre.
2.
Pengelolaan Obat Salah satu dari kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit adalah pelayanan farmasi produk (non klinik). Pelayanan farmasi produk adalah pelayanan farmasi yang tidak terpadu dan tidak langsung berkaitan dengan perawatan penderita dan merupakan tanggung jawab farmasis yang biasanya tidak memerlukan interaksi dengan profesi kesehatan lainnya. Salah satu kegiatan yang menjadi ruang lingkup dari pelayanan farmasi produk adalah perencanaan perbekalan kesehatan (mendapatkan produk yang berkualitas dan ekonomis) dan pembelian perbekalan untuk kesehatan (untuk menjamin ketersediaan yang tepat) (Sastrmihardja, 2001). Pengelolaan obat memiliki beberapa tahapan yaitu tahap seleksi, perencanaan, pengadaan, distribusi dan penggunaan yang terkait satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah cara mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Ketersediaan obat harus
9
terjamin, yakni terjangkau, tepat waktu, jumlah dan jenis yang cukup, serta mutu terjamin.
Selection
Management support
Use
Procurement
Distribution
Gambar 1. Siklus manajemen obat (Quick, et al., 2012)
a.
Seleksi Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk
dan
dosis,
menentukan
kriteria
pemilihan
dengan
memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat (Depkes, 2004). Menurut WHO, tahaptahap seleksi obat dimulai dengan membuat daftar masalah kesehatan umum yang dialami (list of common health problems). Setelah itu menentukan terapi standar untuk memilih obat standar yang digunakan dan terapi non obatnya. Tahap ke tiga, melihat daftar obat esensial yang ada untuk kemudian dibuat daftar obat
10
yang berguna untuk menyusun formularium. Dari terapi standar yang ada dibuat suatu guideline terapi untuk menentukan penggunaan obat yang rasional melalui pelatihan, supervise dan monitoring. Formularium yang telah disusun digunakan sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua tahap
tersebut
bertujuan
untuk
mendapat
ketersediaan
dan
penggunaan obat yang lebih rasional. Seleksi yang baik, penggunaan obat dan alat-alat kesehatan dapat diukur dengan baik apabila di rumah sakit dibentuk PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), formularium rumah sakit dan standar terapi. PFT adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit serta tenaga kesehatan lainnya (Satibi, 2015). b.
Perencanaan Perencanaan obat merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah obat dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Depkes, 2004).
11
Untuk menyusun jumlah masing-masing item obat dalam perencanaan, dikenal dua macam metode perencanaan obat yaitu metode morbiditas dan metode konsumsi (Quick, et al., 2012). Metode morbiditas didasarkan pada dua data yaitu jumlah episode tiap pola penyakit dan kebutuhan obat yang mudah diperkirakan, dengan rata-rata standar terapi. Untuk mengetahui jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode morbiditas yaitu dengan mengalikan antara jumlah obat yang dibutuhkan untuk masing-masing penyakit dan jumlah episode penyakit dalam satu tahun. Metode konsumsi (retrospektif) merupakan metode perencanaan yang dibuat dengan berdasarkan atas data konsumsi perbekalan farmasi (obat) pada periode sebelumnya. Masing-masing metode mempunyai kelemahan dan kelebihan. Untuk memilih metode mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada situasi dan kondisi rumah sakit, meskipun demikian juga diperlukan pertimbangan untuk menggunakan kombinasi keduanya. Metode kombinasi memiliki keuntungan dapat menutupi kelemahan metode konsumsi dan morbiditas. (Hassan, 1986) c.
Pengadaan Obat Pengadaan obat merupakan suatu proses dari penentuan item obat dan jumlah tiap item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, pemilihan pemasok, penulisan surat pesanan (SP) hingga SP diterima pemasok. Tujuannya adalah memperoleh obat yang
12
dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al., 2012). Pengadaan obat meliputi beberapa tahap yaitu pembiayaan, pemilihan pemasok dan pembentukan panitia lelang. Pada tahap pembiayaan yang harus diperhatikan adalah sumber dana, jumlah dana yang tersedia agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia. Kemudian tahap pemilah pemasok dengan tujuan agar kesinambungan pengadaan obat dengan kualitas yang diinginkan dapat terjamin. Tahap pembentukan panitia pengadaan diperlukan agar tidak terjadi penyelewengan dan kebocoran dari kegiatan pengadaan ini (Damanik, 2000). Dalam proses pengadaan ada 3 hal penting yang harus diperhatikan yaitu (Satibi, 2015): 1) Pengadaan yang dipilih, bila tidak diteliti dapat menjadikan 'biaya tinggi'; 2) Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya persyaratan masa kadaluarsa, sertifikat analisis/standar mutu, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin; serta 3) Waktu dan kelancaran bagi semua pihak dan lain-lain.
13
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan proesedur Epurchasing berdasarkan E-catalogue, kemajuan teknologi informasi lebih
mempermudah
dan
mempercepat
proses
pengadaan
barang/jasa, karena penyedia tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses pelelangan, tetapi cukup melakukannya secara online pada website pelelangan elektronik. Penerapan
E-Procurement
bertujuan
untuk
(Kementrian
Kesehatan RI, 2013): 1) Meningkatkan
transparansi/keterbukaan
dalam
proses
pengadaan barang/jasa. 2) Meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 3) Meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalam pengelolaan proses pengadaan barang/jasa. Sesuai ketentuan yang berlaku, pengadaan barang/jasa secara Elektronik atau E-Procurement dapat dilakukan dengan E-Tendering atau E-Purchasing. E-Tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem elektronik. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
14
2012, yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif
dan
akuntabel.
Sedangkan
E-Purchasing
obat
merupakan tata cara pembelian barang/jasa sesudah sistem ECatalogue terbangun (Kementrian Kesehatan RI, 2013). d.
Distribusi Distribusi obat merupakan suatu proses penyerahan obat sejak setelah sediaan disiapkan oleh IFRS sampai dengan dihantarkan kepada perawat, dokter, atau tenaga medis lainnya untuk diberikan kepada pasien (Siregar dan Amalia, 2003). Tujuannya untuk menyediakan perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat jenis dan jumlah. Distribusi obat harus aman, efektif dan efisien, harus menjamin, obat benar bagi penderita tertentu, dengan dosis yang tepat, pada waktu yang ditentukan dan cara penggunaan yang benar (Seto, 2001). Sistem distribusi obat di rumah sakit, dibagi menjadi: 1) Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap/tinggal a) Sistem distribusi obat resep individu sentralisasi Resep individu adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut disiapkan dan didistribusikan dari IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada resep/order atas nama PRT tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut (Siregar dan Amalia, 2004).
15
b) Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang (Floor Stock) Semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali obat yang jarang digunakan atau obat yang sangat mahal (Siregar dan Amalia, 2003). c) Sistem distribusi obat kombinasi resep individu dan persediaan di ruang Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT dengan memasukkan IFRS dan/dari pelayanan keperawatan. Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas (Satibi, 2015). d) Sistem distribusi obat dosis unit (UDDS) Obat dosis unit adalah obat yang diorder oleh dokter untuk penderita, terdiri atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah yang dikonsumsi saja (Satibi, 2015). e) Sistem distribusi obat desentralisasi Distribusi obat dilakukan oleh beberapa depo/satelit IFRS. 2) Sistem distribusi obat untuk pasien rawat jalan
16
e.
Penggunaan Penggunaan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan
dapat
menunjang
optimasi
penggunaan
dana,
serta
meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan adanya pemberian pengobatan yang belum didasarkan pada pedoman terapi yang telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan diagnosa yang tepat, info yang sering bias hingga berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan
pengobatan,
adanya
tekanan
dari
pasien
untuk
meresepkan obat-obat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah (Satibi, 2015). WHO telah berupaya untuk meningkatkan praktek penggunaan obat rasional sejak tahun 1985 melalui konferensi yang diadakan di Nairobi, berdasarkan komitmen itu WHO melalui International Network
for
the
Rational
Use
of
Drug
(INRUD)
telah
mengembangkan indikator penggunaan obat terdiri dari indikator utama dan indikator tambahan yang kemudian ditetapkan pada tahun 1993, sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat pada unit rawat jalan di fasilitas kesehatan berkaitan dengan rasionalitas penggunaan obat di fasilitas kesehatan tersebut. Indikator utama penggunaan obat WHO 1993, digunakan untuk mengukur tiga area umum yang berkaitan erat dengan tingkat rasionalitas penggunaan
17
obat di suatu fasilitas kesehatan, yaitu praktek peresepan oleh pemberi
pelayanan
(providers)
atau
secara
khusus
dokter
(prescibers), pelayanan pasien baik konsultasi klinis maupun dispensing kefarmasian, ketersediaan fasilitas kesehatan yang mendukung penggunaan obat secara rasional, sehingga dapat dikatakan indikator utama penggunaan obat WHO 1993 terdiri dari indikator peresepan, indikator pelayanan pasien, dan indikator fasilitas kesehatan (WHO, 1993).
18
Indikator Pengelolaan Obat
Tabel I. Indikator Pengelolaan Obat di Rumah Sakit
Tahap
Indikator
Standar
Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN. c
1. Untuk menghitung obat yang disediakan apakah sudah sesuai dengan DOEN.
≥ 76%
2.
Persentase dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang sesungguhnya dibutuhkan. b
2. Untuk mengetahui seberapa jauh persediaan dana memberikan dana kepada farmasi.
100%
3.
Persentase alokasi dana pengadaan obat. c
100%
4.
Perbandingan antara jumlah item obat yang dipakai dengan jumlah item obat yang direncanakan. b Frekuensi pengadaan tiap item obat. b
3. Untuk mengetahui seberapa jauh dana yang diberikan pada farmasi dibanding seluruh anggaran rumah sakit. 4. Untuk mengetahui seberapa jauh ketepatan perkiraan dalam perencanaan.
Seleksi Perencanaan Pengadaan
Tujuan
1.
5.
5. Untuk mengetahui berapa kali obatobatan tersebut dipesan dalam setahun.
6.
Frekuensi kesalahan faktur. b
6. Untuk mengetahui berapa kali terjadi kesalahan faktur.
7.
Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati. b Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep. a dan b
7. Untuk mengetahui kualitas pembayaran rumah sakit.
8.
Distribusi
3.
8. Untuk mengetahui tingkat kecepatan peayanan yang diberikan.
100%
Rendah : <12x/thn Sedang : 12-24x/thn Tinggi : 24x/thn 0%
0 hari
< 60 menit untuk obat racikan dan < 30 menit untuk obat non racikan
19
Tabel I. Indikator Pengelolaan Obat di Rumah Sakit
Tahap
Indikator 9.
Persentase obat yang tidak dapat dilayani. b 10. Persentase obat yang dilabeli dengan benar. a 11. Persentase obat yang kadaluarsa dan rusak. b 12. Kecocokan obat dengan kartu stok. b 13. Tingkat ketersediaan obat. a
Penggunaan
14. Persentase resep obat dengan nama generik. a 15. Jumlah item per lembar resep. a 16. Persentase resep dengan obat dari formularium. a
Tujuan 9. Untuk mengetahui cakupan pelayanan rumah sakit. 10. Untuk mengetahui ketelitian petugas. 11. Untuk mengetahui besarnya kerugian rumah sakit. 12. Untuk mengetahui ketelitian petugas gudang. 13. Untuk mengetahui kecukupan obat di gudang farmasi. 14. Untuk mengukur kecenderungan meresepkan obat generik. 15. Untuk mengukur derajat polifarmasi. 16. Untuk mengukur tingkat kepatuhan dokter terhadap formularium rumah sakit.
Standar (Lanjutan) 0%
100%
0%
100%
12-18 bulan
> 82%
1.8 – 2.2 100%
a
: diambil dari WHO (1993) : diambil dari Pudjaningsih (1996) c : diambil dari Depkes RI (2008) b
Alat ukur kuantitatif yang dapat digunakan untuk monitoring, evaluasi dan mengubah atau meningkatkan mutu pengelolaan obat yang berdampak pada ketersediaan obat di instalasi farmasi rumah sakit adalah indikator yang sesuai dengan indikator dari WHO (1993), indikator dari Departemen Kesehatan (2008) dan indikator pengelolaan obat yang telah dikembangkan oleh Pudjaningsih (1996).
20
4.
Organisasi Rumah sakit merupakan suatu unit usaha yang memberikan jasa pelayanan sosial di bidang medis, dan mempunyai bentuk organisasi yang unik, yang berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Pernyataan bahwa rumah sakit merupakan suatu organisasi, sesuai dengan yang dikemukakan Robbins dan Coulter (2002) tentang karakter dikatakan sebuah organisasi, yaitu: a.
Mempunyai tujuan yang jelas, misalnya: organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas sebagai suatu organisasi, mempunyai tujuan yang ingin dicapai antara lain, memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan lain-lain.
b.
Mempunyai struktur organisasi, struktur organisasi itu sangat penting, karena dari struktur tersebut bisa diketahui wewenang dan seberapa jauh sebuah jabatan itu bertugas. Dari struktur organisasi juga bisa menentukan job description dari sebuah jabatan yang akan membentuk fungsi-fungsi di dalam perusahaan dengan membentuk departemen-departemen, misal instalasi farmasi bertanggung jawab langsung kepada direktur pelayanan medik.
c.
Sekumpulan orang, misal pada pelayanan kesehatan, di rumah sakit pasti ditemukan sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan.
21
5.
Anggaran Dana (Financial) Menurut Depkes (2010) tentang Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi
di
Rumah
Sakit, dijelaskan bahwa untuk
melakukan
penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan, maka diperlukan adanya suatu data pendukung, yaitu: a.
Data kompilasi penggunaan obat per tahun.
b.
Data biaya perbekalan farmasi per tahun.
c.
Data biaya per obat per kasus per tahun.
d.
Data sisa stok. Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi RS,
penerapannya
dan
pelaksanaannya
memberikan
kontribusi
pada
peningkatan yang mendasar (Sofian, 2004).
6.
Sistem Informasi Jika dilihat dari terminologi kata penyusunnya ‘sistem informasi’ dibagi menjadi dua suku kata yaitu sistem dan informasi. Sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain dan mempunyai fungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Secara sederhana suatu sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen atau variabel yang terorganisir, saling berinteraksi, saling tergantung satu sama lain dan terpadu. Sedangkan informasi adalah kumpulan data-data yang telah diproses menjadi bentuk yang memiliki arti bagi penerima dan
22
dapat berupa fakta, suatu nilai yang bermanfaat. Dari keduanya dapat disimpulkan bahwa sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan (Leitch et al., 1993, dalam Jogiyanto, 2005). Kumpulan beberapa sistem informasi yang bertujuan untuk menganalisis sistem informasi lain yang diterapkan pada aktivitas operasional organisasi biasa disebut dengan istilah sistem informasi manajemen. Ada sedikit perbedaan antara sistem informasi biasa dengan sistem informasi manajemen (SIM), di mana perbedaan yang mendasar adalah bahwa SIM dapat mendukung fungsi operasi, manajemen dan pengambilan keputusan (Davis, 1993).
7.
SDM Sumber daya manusia (SDM) di dalam organisasi perusahaan merupakan kunci keberhasilan perusahaan, karena pada dasaranya sumber daya manusia yang merancang, memasang, mengoperasikan dan memelihara sistem sebuah perusahaan. Sumber daya manusia merupakan aset organisasi yang sangat vital, karena itu peran dan fungsinya tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun modern teknologi yang digunakan, atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa
23
sumber daya manusia yang professional semuanya menjadi tidak bermakna (Yuniarsih, 2008). Mengacu pada standar pelayanan farmasi rumah sakit, Kepmenkes No. 58 tahun 2014, instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf instalasi farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di IFRS.
8.
Profil Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada beralamat di Jalan Kabupaten (Ring Road Utara), Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta yang dikepalai oleh Prof. dr. Arif Faisal, Sp. Rad. (K), DHSM didirikan berdasarkan Peraturan Rektor UGM No. 625/P/SK/HT/2014 dan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan sesuai rencana strategi pengembangan Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada. Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada memiliki visi menjadi Rumah Sakit Akademik yang melaksanakan pelayanan, pendidikan dan riset yang unggul, berkelas dunia, mandiri, bermartabat dan mengabdi
24
kepada kepentingan masyarakat. Sedangkan misi dari Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada memiliki misi : a.
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu dengan mengutamakan aspek pendidikan berbasis riset.
b.
Melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna berdasarkan evidence dan riset IPTEKDOK.
c.
Menyelenggarakan riset klinik dan non klinik yang berwawasan global.
d.
Melaksanakan
pengabdian
kepada
kepentingan
kesehatan
masyarakat. e.
Meningkatkan kemandirian Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada dan kesejahteraan karyawan.
25
F. Landasan Teori Unit farmasi rumah sakit merupakan bagian integral dari sebuah rumah sakit yang memberikan pelayanan farmasi rumah sakit, dengan tugas utamanya menyalurkan obat-obatan baik kepada unit perawatan maupun unit yang lain, memenuhi kebutuhan pasien baik yang dirawat inap maupun rawat jalan. Di samping itu, unit farmasi rumah sakit merupakan salah satu dari banyak fasilitas dan kegiatan yang berpengaruh sangat besar pada kinerja rumah sakit dan juga terhadap ekonomi dan biaya oprasional total rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2003). Informasi yang paling diperlukan di instalasi farmasi adalah informasi akuntansi karena dapat digunakan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta mengukur sejauh mana kinerja keuangan yang dicapai oleh instalasi farmasi. Dalam buku Management Drug Supply oleh Quick, et al. (1997) dikemukakan bahwa pengelolaan obat yang baik sangat penting, karena lebih dari 90% pelayanan kesehatan rumah sakit menggunakan perbekalan kefarmasian dan pembelanjaan untuk obat menghabiskan 40% dari total anggaran rumah sakit sehingga harus dilakukan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan obat tahaptahapnya meliputi tahap seleksi, perencanaan, pengadaan, distribusi dan penggunaan yang terkait satu sama lain yang pada dasarnya harus saling mengisi agar dapat berjalan dengan baik. Tahap seleksi obat dimulai dengan membuat daftar masalah kesehatan umum yang dialami, dilanjutkan dengan menentukan terapi standar untuk memilih obat standar yang digunakan dan terapi non obatnya, dan dilihat daftar obat
26
esensial yang ada untuk dibuatkan daftar obat yang berguna untuk menyusun formularium. Tahap perencanaan merupakan proses memilih jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi dengan memperhatikan ketersediaan dana dan kebutuhan. Dalam melakukan perencanaan terdapat beberapa metode yaitu metode konsumsi, morbiditas atau kombinasi dari keduanya. Tahap pengadaan merupakan proses penentuan item dan jumlah tiap item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, juga pemilihan pemasok dan penulisan surat pesanan. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 tahun 2013 mengenai prosedur e-purchasing maka kemajuan teknologi informasi menjadikan proses pengadaan lebih mudah dan cepat. Tahap distribusi obat merupakan proses penyerahan obat setelah disiapkan oleh instalasi farmasi termasuk saat disalurkan kepada tenaga kesehatan lainnya sampai diterima oleh pasien dengan tujuan menyediakan perbekalan farmasi secara tepat dalam jenis dan jumlah. Tahap penggunaan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Selain hal-hal tersebut, dari penelitian Kusumo (2012), dijelaskan pula manajemen pendukung dalam pengelolaan obat yang meliputi struktur organisasi, keuangan atau finansial, sumber daya manusia (SDM) dan sistem informasi manajemen juga ikut menentukan pola pengelolaan obat. Hal-hal tersebut dapat
27
menjadi faktor yang mempengaruhi apabila tidak tercapai kesesuaian dengan standar. Proses operasional RS UGM yang sedang merangkak naik dan kondisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit UGM belum pernah dievaluasi pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi, membuat kebutuhan akan evaluasi menjadi tinggi agar tercapai pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi akan sangat menentukan harga, mutu, jumlah dan ketersediaan obat yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Rincian indikator dari setiap tahapan meliputi indikatornya kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN pada tahap seleksi; indikator persentase dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang sesungguhnya dibutuhkan pada tahap perencanaan; indikator persentase alokasi dana pengadaan obat, perbandingan antara jumlah item obat yang dipakai dengan jumlah item obat yang direncanakan, frekuensi pengadaan tiap item obat, dan frekuensi kesalahan faktur pada tahap pengadaan; indikator rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep, persentase obat yang dilabeli dengan benar, persentase obat yang kadaluarsa dan rusak, kecocokan obat dengan kartu stok dan tingkat ketersediaan obat pada tahap distribusi.
28
G. Kerangka Konseptual Penelitian
Pengelolaan obat
Analisis dengan indikator
Tahap seleksi: Kesesuaian jenis obat yang tersedia dengan DOEN
Tahap procurement: A. Perencanaan 1. Persentase dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang sesungguhnya dibutuhkan B. Pengadaan 1. Persentase alokasi dana pengadaan obat 2. Perbandingan antara jumlah item obat yang dipakai dengan jumlah item obat yang direncanakan 3. Frekuensi pengadaan tiap item obat 4. Frekuensi kesalahan faktur
Memenuhi standar
Tahap distribusi: 1. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep 2. Persentase obat yang dilabeli dengan benar 3. Persentase obat yang kadaluarsa dan rusak 4. Kecocokan obat dengan kartu stok 5. Tingkat ketersediaan obat
Tidak memenuhi standar
Penelusuran terhadap faktor yang mempengaruhi
Gambar 2. Kerangka konseptual penelitian
29
H. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kinerja pengelolaan obat pada tahap seleksi, perencanaan, pengadaan dan distribusi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada serta mengetahui faktor yang memberi dampak terhadap ketidakefisienan dalam tahap-tahap pengelolaan obat tersebut di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014.