BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat perkembangan era modern ini, pemandangan wanita bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari budaya Timur yang pada umumnya peran pekerjaan wanita hanya dibatasi sebatas pekerjaan rumah tangga. Seiring berubahnya zaman, peran wanita dalam kehidupan sehari-haripun turut mengalami perubahan, peran wanita semakin berkembang karena kesempatan wanita untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki sudah lebih terbuka (Munthe, 2003). Perubahan yang terjadi pada era ini merupakan hasil dari pesatnya perkembangan yang terjadi seiring berjalannya waktu, mulai dari perkembangan budaya, teknologi hingga perkembangan ekonomi. Perkembangan ilmu dan teknologi secara global membuat pandangan mengenai pria dan wanita juga berubah mengikuti perubahan yang terjadi. Pesatnya perkembangan dan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor yang mendorong wanita untuk bekerja dan turut membantu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Berkembangnya peran wanita dalam bekerja dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja wanita yang tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari website resmi Badan Pusat Statistik (BPS) (http://www.bps.go.id), presentase angkatan tenaga kerja wanita yang bekerja pada tahun 1990 berada di kisaran 38,6% dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2000 mencapai presentase sebesar 45,2% dan pada tahun
1
2
2010 menjadi sebesar 64,67%. Data yang dikumpulkan oleh BPS menunjukkan peningkatan jumlah pencari kerja yang terdaftar dengan jenis kelamin wanita. Jumlah pencari kerja yang terdaftar pada tahun 2012 di daerah DKI Jakarta berkisar 8.901 orang dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 14.848 pencari kerja wanita terdaftar pada tahun 2014. Selain jumlah pencari kerja, jumlah wanita yang menempati lowongan pekerjaan juga mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2012, terdapat 230.646 wanita yang berhasil menempati posisi lowongan yang terdaftar di seluruh daerah di Indonesia dan pada tahun 2014 jumlah yang berhasil mengisi lowongan meningkat hingga mencapai 288.614 orang. Data ini menunjukkan bahwa wanita yang ingin bekerja semakin meningkat dan pihak-pihak yang mencari pekerja sudah tidak sungkan lagi menerima pekerja wanita dilihat dari peningkatan jumlah pekerja wanita yang diterima dari tahun 2012 hingga tahun 2014. Jumlah wanita bekerja yang setiap tahunnya meningkat bukan hanya diisi oleh wanita yang masih berstatus single tetapi juga mencakup wanita yang sudah menikah dan tetap memilih untuk bekerja, Wanita yang bekerja memiliki tuntutan untuk menjalankan tanggung jawab yang dimiliki oleh posisi yang ditempati dalam pekerjaan, dan selama pelaksanaan tanggung jawab tersebut dibutuhkan waktu dan komitmen mereka (Kussudyarsana & Soepatini, 2008). Terlepas dari tuntutan tanggung jawab peran dari pekerjaan, wanita yang sudah menikah dan tetap memilih untuk bekerja memiliki tanggung jawab lain yang masih harus dijalankan yaitu tanggung jawab peran mereka di rumah sebagai ibu rumah tangga.
3
Dibutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab keluarga dan pekerjaan, terutama dengan tersitanya waktu dan energi yang dimiliki oleh peran baru yang dimiliki, agar tuntutan yang berasal dari kedua peran dapat dipenuhi secara efisien (Roboth, 2015). Konflik peran merupakan salah satu dampak yang dapat terjadi apabila tidak terdapat keseimbangan dalam melakasanakan tanggung jawab peran. Konflik peran dapat dialami baik oleh pria ataupun wanita, namun intensitas konflik peran pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki, dikarenakan dasar dari peran wanita dalam keluarga adalah untuk mengurus kebutuhan rumah tangga termasuk mengurus suami dan anak (Apperson, 2002). Laki-laki bekerja lebih jarang mengalami konflik peran karena perannya dalam keluarga adalah untuk bekerja dan mencari nafkah, sementara bagi wanita yang sudah menikah, memutuskan untuk bekerja maka akan menambahkan peran lain dalam kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Jick & Mitz (1985) menunjukkan wanita juga memiliki kondisi fisik yang lebih cepat lelah dan lebih mudah cemas dibandingkan laki-laki. Teori konflik peran menyatakan bahwa pelaksanaan tugas dan harapan dari beberapa peran yang ada dapat menimbukan konflik antar peran saat terdapat salah satu peran yang lebih mendominasi sementara terdapat peran lain yang membutuhkan perhatian, waktu, tenaga dan komitmen dari individu (Kahn et al., 1964). Konflik peran terjadi ketika harapan peran mengakibatkan individu kesulitan membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena ada peran yang lain. Teori konflik peran (Kahn,1980),
4
mendefinisikan konflik peran ganda (work-family conflict) sebagai salah satu bentuk dari konflik peran dimana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan. Ketidak cocokan tersebut ditandai dengan fakta bahwa partisipasi dalam pekerjaan menjadi lebih sulit dikarenakan partisipasi dalam keluarga, begitupula sebaliknya. Studi kasus yang dilakukan oleh Setyowati (2013) mengenai workfamily conflict pada dosen wanita yang sudah menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, memperlihatkan bahwa work family conflict dialami karena adanya keterbatasan waktu untuk dapat berkumpul bersama keluarga karena waktu yang dihabiskan di pekerjaan, adanya keterbatasan bantuan dari pihak lain dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang mengakibatkan pekerjaan rumah menjadi terbengkalai. Beban pekerjaan yang menumpuk serta tenggat waktu penyelesaian tugas pekerjaan menyebabkan perhatian yang diberikan untuk urusan rumah tangga berkurang, sehingga menjadi penyebab dari work family conflict yang dialami oleh dosen wanita yang sudah menikah dan terlibat dalam jabatan struktural di Fakultas. Menurut Michel, dkk (2010) konflik peran ganda atau work-family conflict memiliki faktor-faktor penyebab yang berasal dari pekerjaan, kepribadian dan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Michel,dkk (2010) mengenai work-family conflict menghubungkan masing-masing aspek dari pekerjaan, kepribadian dan lingkungan sebagai faktor yang memicu terjadinnya work-family conflict. Michel,dkk (2010) juga menyatakan bahwa salah satu faktor pemicu terjadinya konflik adalah job involvement yang
5
didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan psikologis (ikatan, hubungan) individu dengan pekerjaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa job involvement mempengaruhi work-family conflict. Individu dengan keterlibatan peran yang tinggi memiliki ketertarikan secara kognitif terhadap peran tertentu. Peningkatan keterlibatan kerja (job involvement) akan mengurangi tenaga, waktu dan perhatian yang terbatas dari individu yang mengakibatkan rasa tidak puas pada peran lain yang tidak diperhatikan yang kemudian menimbulkan konflik. Ahmad (2008) meneliti faktor-faktor pekerjaan, keluarga dan individual sebagai prediktor dari work-family conflict. Melalui penelitiannya, dijelaskan bahwa individu dengan job involvement yang tinggi menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Seif, dkk (2014) melakukan penelitian untuk melihat job involvement yang dimiliki para suster wanita yang sudah menikah pada lima Rumah Sakit swasta di Shiraz. Hasil dari penelitian menunjukkan para sustersuster memiliki job involvement tinggi sehingga mengakibatkan mereka lebih sering menghabiskan waktu di Rumah Sakit dibandingkan bersama keluarga. Banyaknya waktu yang dihabiskan di Rumah Sakit merupakan tuntutan dari perannya sebagai seorang suster yang memiliki tanggung jawab mengawasi pasien sesuai dengan jam tugasnya dan terkadang harus melebihi jam kerjanya apabila ada situasi yang mendesak dan membutuhkan perhatian penuh dari para suster. Hal tersebut memicu munculnya konflik pada kehidupan rumah tangga para suster (Seif, dkk., 2014). Hasil penelitan tersebut menujukkan
6
bahwa job involvement memiliki pengaruh signifikan terhadap konflik peran, yang artinya jika tingkat job involvement lebih tinggi maka work family conflict juga cenderung ikut meningkat. Menurut Lodahl dan Kejner (1965) alasan-alasan yang melatar belakangi job involvement adalah adanya harapan besar, keterikatan emosional terhadap pekerjaan, keinginan untuk menggunakan ilmu yang dimiliki dalam pekerjaan, kebutuhan aktualisasi diri, adanya rasa bangga terhadap pekerjaan dan keinginan untuk mobilitas keatas. Cohen (2003) menyatakan individu dengan job involvement yang tinggi sebagai individu yang puas dengan pekerjaannya, memiliki komitmen dan kepedulian tinggi pada pekerjaan, tingkat absen dan turnover rendah, serta motivasi yang tinggi. Sesungguhnya jika individu memiliki job involvement yang tinggi pada pekerjaannya, hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi individu dan organisasi. Namun, ketika job involvement sangat tinggi, seperti pada penelitian Seif, dkk (2014) yang disebutkan di atas pada ibu rumah tangga yang juga berkarir, memiliki potensi lebih besar untuk menimbulkan konflik peran. Selain faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, work-family conflict juga dipengaruhi oleh faktor individual atau faktor personal. Michel,dkk (2010) dalam penelitiannya yang menggunakan teori hubungan pekerjaan-keluarga, menyebutkan bahwa selain faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan keluarga, terdapat pula faktor individual atau yang berasal dari dalam individu tersebut. Salah satu faktor individual yang mempengaruhi work-family conflict adalah locus of control internal. Michel,
7
dkk (2010) dalam penelitiannya mendefinisikan locus of control internal sebagai sejauh mana individu merasa bahwa hasil yang didapat disebabkan oleh individu atau diri sendiri dan bukan dikarenakan kesempatan. Menurut Kreitner & Kinicki (2009), individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal adalah individu yang memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan segala peristiwa dan konsekuensi yang memberikan dampak pada hidup mereka. Rotter (1966) memiliki pandangan bahwa locus of control internal mengacu pada orang-orang yang percaya bahwa keberhasilan atau kegagalan merupakan hasil dari tindakan dan usaha mereka sendiri. Salah satu hipotesis pada penelitian yang dilakukan Michel, dkk. (2010) menggunakan locus of control internal sebagai salah satu variabel yang dianggap merupakan faktor yang mempengaruhi work-family conflict. Setelah menggunakan metode meta-analisis, hipotesis dari penelitian membuktikan locus of control internal memiliki pengaruh terhadap konflik peran yang terjadi. Individu dengan kecenderungan locus of control internal memiliki potensi konflik peran yang lebih kecil. Thomas W.H.Ng, dkk (2006) melakukan penelitian mengenai peran locus of control internal dalam bekerja, hasilnya menunjukkan bahwa locus of control internal berpengaruh secara negatif yaitu mengurangi potensi terjadinya konflik peran. Kekuatan kontrol internal dari individu mendorong individu untuk menjadi lebih proaktif untuk mengurangi dan menangani pengalaman negatif dari pekerjaannya. Individu dengan locus of control
8
internal yang kuat memiliki konflik peran yang lebih rendah karena memiliki dorongan untuk secara aktif mencari solusi guna mencegah atau mengurangi terjadinya konflik. Faktor yang mempengaruhi perkembangan locus of control internal antara lain adalah faktor lingkungan, motivasi internal, serta pelatihan. Individu dengan locus of control internal yang tinggi akan memiliki dorongan yang lebih besar untuk mencari informasi dan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi serta memiliki kemapuan yang lebih baik dalam mengatasi stress dan kesulitan yang ditemui dalam pekerjaan. Kemampuan yang dimiliki tersebut, locus of control internal, menjadi faktor penting yang dibutuhkan ibu rumah tangga dengan peran ganda untuk membantu menyeimbangkan kedua peran yang dimilikinya. Permasalahan yang terdapat pada pekerjaan dapat lebih mudah teratasi ketika individu secara aktif mencari penyelesaiannya dan memiliki perilaku yang lebih positif. PT Angkasa Pura II (Persero) merupakan kantor pusat yang mengelola bandara besar yang ada di Indonesia bagian Barat sehingga tingkat kesibukan yang tinggi karena merupakan. Tanggung jawab yang dimiliki oleh masingmasing karyawan membutuhkan waktu dan konsentrasi dari karyawan untuk menjalannkannya. Selama masa magang di PT Angkasa Pura II (Persero), peneliti melihat bahwa banyak karyawan wanita yang sudah menikah dan tetap aktif dalam bekerja dengan tingkat kesibukan yang tinggi. Peneliti juga melihat beberapa karyawan wanita membawa anak mereka ke tempat kerja, sebagian besar karena tidak ada pihak lain yang dapat membantu menjaga
9
anak mereka. Kejadian lain yang peneliti lihat dari observasi adalah beberapa karyawan wanita yang baru selesai cuti melahirkan menyempatkan diri di sela jam kerja untuk menyediakan ASI untuk diantarkan ke bayi mereka. Secara tidak langsung, hal tersebut tentu mempengaruhi kelangsungan kegiatan bekerja mereka. Jam kerja yang terkadang menuntut untuk lembur karena tugas yang ada juga mempengaruhi peran mereka di rumah. Adanya dua tugas peran yang bertolak belakang berpotensi menjadi pemicu timbulnya konflik peran pada karyawan wanita yang sudah menikah di PT Angkasa Pura II. Berdasarkan fenomena dan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Job Involvement dan Locus of Control Internal dengan Konflik Peran Ganda pada Karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang Sudah Menikah”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah dari penelitian ini yaitu : 1. Apakah ada hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan work-family conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah ? 2. Apakah ada hubungan antara job involvement dengan work-family conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah ?
10
3. Apakah ada hubungan antara locus of control internal dengan work-family conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan work-family conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah. b. Mengetahui hubungan antara job involvement dengan work-family conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah. c. Mengetahui hubungan antara locus of control internal dengan workfamily conflict pada karyawati PT Angkasa Pura II (Persero) yang sudah menikah. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi, wawasan dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi, serta landasan bagi penelitian lain yang sejenis mengenai hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan konflik peran ganda pada ibu rumah tangga yang tetap bekerja.
11
b. Manfaat Praktis 1) Bagi Organisasi Dapat digunakan sebagai salah satu sudut pandang menyangkut karyawan wanita yang sudah menikah, bagaimana keadaan di tempat kerja bukan hanya mempengaruhi perannya sebagai karyawan tapi juga dapat mempengaruhi perannya sebagai ibu rumah tangga. 2) Bagi Ibu Rumah Tangga yang tetap bekerja Dapat memberikan informasi mengenai job involvement dan locus of control internal untuk membantu mengurangi kemungkinan terjadinya work-family conflict. 3) Bagi penelitian selanjutnya Dapat digunakan sebagai referensi yang berhubungan dengan job involvement dan locus of control internal dengan konflik peran ganda pada ibu rumah tangga yang bekerja.