BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskriminasi gender yang terjadi di Sri Lanka bukanlah hal yang baru, namun hingga saat ini masih belum ada jalan keluar bagi permasalahan diskriminasi yang dialami kaum perempuan di negara tersebut. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki secara hukum, tetapi di dalam aturan keluarga dan masing-masing komunitas, ketentuan-ketentuan yang ada cenderung diskriminatif. Seperti halnya mengenai aturan perkawinan, perceraian, properti, hingga transaksi keuangan. Di dalam beberapa kelompok masyarakat, perempuan tidak diakui hak kesetaraannya dengan laki-laki, terutama hak kepemilikan tanah pemukiman yang berasal dari bantuan negara. Undang-Undang ketenagakerjaan telah sesuai dengan standar internasional, tetapi masih relatif lemah implementasinya, Undang-Undang ketenagakerjaan tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Mereka ditempatkan dalam tingkatan yang jauh lebih rendah dari laki-laki dalam piramida kerja. Mayoritas kaum perempuan menerima 13 tahun akses pendidikan gratis untuk dapat bersekolah di sebagian besar daerah di Sri Lanka. Namun demikian, banyak perempuan Sri Lanka yang tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun Sri Lanka termasuk salah satu negara pertama di dunia pada era pemerintahan modern yang mengizinkan kaum perempuan untuk ikut memilih, dan bahkan pernah memiliki perdana menteri perempuan, namun
1
hanya sebagian kecil dari perempuan yang ikut berpartisipasi di tingkat politik. Berbeda dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia Selatan, Sri Lanka tidak memiliki jumlah kuota yang membutuhkan persentase khusus dari perempuan untuk mencalonkan diri untuk suatu jabatan atau posisi yang lebih baik dalam sistem pemerintahan.1 Pada kebanyakan distrik, persentase dari anak-anak yang putus sekolah, tidak bersekolah atau baru mulai bersekolah tidaklah terlalu signifikan. Namun pada salah satu distrik yang rawan konflik, terdapat 17% anak putus sekolah, tidak bersekolah atau tidak pernah mendaftar untuk bersekolah.2 Berbicara tentang politik kaum perempuan, Sri Lanka pernah dipimpin oleh perdana menteri dan presiden perempuan. Namun hal tersebut tidak selalu menunjukkan sebuah profil politik yang tinggi bagi kaum perempuan. Hal tersebut juga tidak mewakili keterlibatan dari kaum perempuan pada suatu kebijakan perencanaan dan pengambilan keputusan untuk tingkat yang lebih tinggi.3 Partai-partai politik besar di Sri Lanka masih belum mampu berbuat banyak sehubungan dengan representasi perempuan di tingkat politik. Panitia pada proses pemilihan memegang kekuasaan yang mempunyai kapabilitas untuk memajukan atau bahkan
menghalangi
representasi
perempuan.
Sejumlah
partai
politik
memperlihatkan kurangnya komitmen untuk mengakui perempuan sebagai 1
Paula Green, "Team 1325 and Women in Sri Lanka:Building a Common Platform for Peace", http://www.karunacenter.org/reports/srilankafall08.pdf, diakses tanggal 10 Januari 2011. 2 Rohan Senarath, "Melanjutkan Isu Sistem Pendidikan di Sri Lanka", http://www.idpeurope.org/eenet-asia/eenet-asia-5-ID/page30.php, diakses tanggal 26 Juni 2011. 3 Nelathi De Soysa, "The Truth behind Sri Lanka’s Gender development statistics",http://www.twnside.org.sg/title/2093.html, diakses tanggal 19 Januari 2011.
2
nominator yang layak untuk memperkuat peran kaum perempuan sebagai pemimpin dalam sistem politik Sri Lanka.4 United Nations Development Programme (UNDP) adalah badan PBB yang berfokus pada program pembangunan di suatu negara. UNDP bekerja dengan mitra nasional untuk membantu negara tersebut mencapai tujuan pembangunan / pemberdayaan manusia. Di antara implementasinya adalah dengan membantu permasalahan kesenjangan antar daerah dengan memperkuat ekonomi lokal dan sistem tata kelola yang mampu memberikan pelayanan sosial secara adil, sambil membantu masyarakat yang kurang beruntung dalam akses sistem keadilan dan memberikan bantuan hukum. UNDP juga bekerja untuk melindungi lingkungan dan mengembangkan kemampuan nasional untuk menanggapi dan mengurangi risiko bencana. Setelah memulai operasinya di Sri Lanka di tahun 1967, UNDP didedikasikan untuk mendukung Sri Lanka dalam pencapaian program Millennium Development Goals (MDGs) dan pengurangan kemiskinan. Program ini ditunjukkan dengan adanya kegiatan para aktivis UNDP yang terjun langsung ke lapangan untuk memberikan pelatihan bagi warga masyarakat di Sri Lanka, terutama kaum perempuan dalam upaya menyetarakan gender dan memperjuangkan hak politiknya di Sri Lanka. Dengan berakhirnya 30 tahun konflik di Sri Lanka, negara ini sekarang
4
Chulani Kodikara, "Sri Lanka: where are the women in local government? ", http://www.opendemocracy.net/5050/chulani-kodikara/sri-lanka-where-are-women-in-localgovernment, diakses tanggal 20 Januari 2011.
3
dalam
posisi
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
mencapai
pembangunan manusia yang adil dan berkelanjutan. Namun tujuan UNDP di Sri Lanka yang seharusnya berjalan dengan positif ternyata seperti jalan di tempat di tengah konflik berdarah antara pemerintah Sri Lanka dengan gerakan separatis Macan Tamil (LTTE). Bahkan pasca berakhirnya konflik, tidak ada kemajuan yang signifikan dari program MDGs. Program-program dari MDGs ini di antaranya adalah upaya pengentasan kemiskinan, pemajuan pendidikan, penyetaraan kaum perempuan, pengurangan angka kematian pada anak, dan pemerangan berbagai macam penyakit, seperti HIV dan malaria. Tantangan ketidaksetaraan gender yang juga termasuk di dalam salah satu poin dari program MDGs masih sulit untuk diatasi. Dilihat dari berbagai indikator, kaum perempuan masih mengalami diskriminasi gender, terutama di ranah politik. Menurut hasil laporan dari Global Gender Gap Report pada tahun 2012, Sri Lanka berada pada peringkat 55 dari 134 negara untuk kesetaraan gender, berada di atas semua negara Asia Selatan dan kedua setelah Filipina dari kawasan Asia. Namun hal tersebut jauh menurun jika dibandingkan pada tahun 2010, di mana Sri Lanka berada di peringkat 16 berdiri di atas negara-negara maju seperti AS, Belanda, Kanada, Australia dan negara-negara Eropa lainnya.5 Global Gender Gap Report yang diperkenalkan oleh World Economic Forum pada tahun 2006, merupakan kerangka untuk menangkap besarnya lingkup berbasis
5
"The Global Gender Gap Report 2012" http://www.weforum.org/reports/global-gender-gap-report-2012.
4
disparitas gender dan pelacakan kemajuan gender itu sendiri. Indeks nasional tentang kesenjangan gender didasarkan pada kriteria ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan, dan memberikan peringkat negara yang memungkinkan untuk perbandingan yang efektif di seluruh wilayah dan kelompok pendapatan dari waktu ke waktu. Laporan ini menilai harapan hidup, gaji, akses ke pekerjaan, akses ke pendidikan dasar dan tingkat yang lebih tinggi, dan apakah perempuan terwakili di pemerintahan dan struktur pengambilan keputusan. Survey ini melihat bagaimana negara-negara membagi sumber daya dan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan, terlepas dari tingkat sumber daya yang tersedia.6 Meskipun dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki dan norma-norma sosial, Sri Lanka telah mencapai tingkat yang lebih baik dalam pencapaian kesetaraan gender jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Pada tahun 1940-an, Sri Lanka telah mendirikan akses bebas bagi pelayanan kesehatan serta pendidikan yang merupakan faktor penting dalam mencapai persamaan gender baik pada pendidikan dasar, menengah, dan atas. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mengambil sebuah rumusan masalah sebagai pertanyaan dasar dalam penelitian ini:
6
"Gender equality, health and survival indicators: Sri Lanka among top Surpasses even some developed countries", http://www.tops.lk/article28855-gender-equality-health-and-survival-indicatorssri-lanka-among-top-surpasses-even-some-developed-countries.html, diakses tanggal 3 Juli 2011.
5
"Mengapa peran UNDP dalam Menyetarakan Gender Di Sri Lanka belum berhasil?" C. Literature Review Dalam penelitian ini, penulis menggunakan literatur atau pedoman yang dianggap dapat menjelaskan dengan baik dan komprehensif atas apa yang akan diteliti. Terdapat beberapa literatur yang dapat digunakan untuk menulis penelitian ini. Yang pertama adalah tulisan dari Nelathi De Soysa yang berjudul “The Truth Behind Sri Lanka’s Gender Development Statistics”. Tulisan ini mengeksplorasi kesenjangan antara indeks pembangunan gender dengan indeks pemberdayaannya, menyoroti realitas tersembunyi yang mempengaruhi perempuan di Sri Lanka, realitas yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam tulisan ini disebutkan bahwa kaum perempuan masih kurang terwakili dalam berbagai bidang dan cenderung untuk mencari pekerjaan di bagian bawah piramida kerja. Kaum perempuan biasanya mendapatkan pekerjaan dengan status dan gaji yang rendah sebagai buruh di perkebunan atau sebagai petani. Selain itu, mayoritas pekerjaan yang tersedia bagi perempuan berada di luar lingkup peraturan ketenagakerjaan. Contoh dari hal tersebut adalah meningkatnya jumlah perempuan yang terlibat dalam industri garmen, yang cenderung menderita cacat fisik langsung terkait dengan kerja keras berjam-jam.7
7
The Truth Behind Sri Lanka’s Gender Development Statistics”. http://www.twnside.org.sg/title/2093.htm diakses tanggal 2 Juni 2014.
6
Kedua, tulisan dari Sunimalee Madurawala yang berjudul “Gender Equality in Human Development: What’s Holding Sri Lanka Back?”. Tulisan ini menyebutkan bahwa pemerintah Sri Lanka pernah dipimpin oleh perdana menteri pertama perempuan di era pemerintahan modern, kemudian kembali dipimpin oleh presiden eksekutif perempuan pertama di tahun 1994. Dalam konteks ini cukup mengejutkan melihat fakta bahwa perempuan di Sri Lanka miskin dalam partisipasi politik. Ini bukanlah sebuah tren baru tapi fenomena yang diamati sejak kemerdekaan Sri Lanka. Hanya ada 13 anggota parlemen atau kurang dari 6% dari total 225 kursi perempuan di dewan perwakilan rakyat Sri Lanka.8 Berbeda dengan literatur di atas, penelitian ini lebih menekankan adanya peran dari PBB melalui UNDP dalam upaya menyetarakan gender di Sri Lanka, mulai dari tingkat efektivitas sampai pada berbagai hambatan yang dialami oleh UNDP dalam mencapai tujuan dari MDGs. Salah satu poinnya adalah mengurangi diskriminasi gender dalam berbagai bidang, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan politik.
D. Kerangka Teori Dalam upaya menjawab rumusan masalah serta menarik suatu asumsi dasar, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu konsep dari Efektivitas Rezim Internasional, terkait peran UNDP di Sri Lanka, kemudian Teori Dominasi Sosial 8
Gender Equality in Human Development: What’s Holding Sri Lanka Back? http://www.island.lk/index.php?page_cat=article-details&page=article-details&code_title=64939 Diakses tanggal 2 Juni 2014.
7
dan Konsep Androcracy. Beberapa pendekatan ini sangat relevan dengan kasus yang sedang dibahas karena mampu menjabarkan secara terperinci, dan sekaligus mampu berperan dalam menjembatani kasus tentang peran UNDP dalam menghadapi permasalahan diskriminasi gender yang terjadi di Sri Lanka. Dalam memahami Efektivitas sebuah rezim internasional, terdapat beberapa pengertian efektivitas rezim internasional. Para ekonom mendefinisikan efektivitas rezim sebagai rasio keuntungan yang didapat dari hasil yang diberikan dan biaya yang berkaitan dengan pencapaian tersebut. Pemahaman ini menyebar kepada banyak penelitian awal pada evaluasi kebijakan publik. Sedangkan hukum internasional berkaitan dengan efektivitas rezim internasional. Hukum internasional memahami efektivitas sebagai status hukum tertentu dari suatu norma, yakni terikat pada tujuan atau terikat dengan pelaksanaan aturan, seperti dampaknya terhadap situasi faktual yang relevan. Definisi efektivitas tersebut memiliki keterkaitan dengan gagasan efektivitas yang diterapkan oleh para ilmuwan politik yang biasanya lebih tertuju pada ketercapaian tujuan daripada penggunaan sumber daya. Contohnya diskusi mengenai institusi domestik. Dengan mengaplikasikan efektivitas rezim tersebut, maka kita dapat mengetahui sejauh mana efektivitas rezim internasional dalam mempertahankan legitimasinya di dalam sebuah fenomena.9 Teori Dominasi Sosial dimulai dengan suatu pengamatan bahwa kelompokkelompok sosial manusia yang cenderung diselenggarakan sesuai dengan suatu
9
Stokke, Olav Schram. (2006). Determining the Effectiveness of International Regimes. http://www.svt.ntnu.no/iss/fagkonferanse2007/intern/papers/
[email protected] meEffectiveness.PDF Diakses pada tanggal 10 Juni 2014.
8
hierarki atau tingkatan. Ketidaksetaraan hierarki sosial berdasarkan kelompok merupakan suatu hasil dari pendistribusian nilai sosial (social value) yang tidak adil terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik nilai sosial positif maupun negatif. Ketidaksetaraan distribusi dari nilai sosial ini pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh ideologi sosial, keyakinan, mitos, serta doktrin religius tertentu sebagai alat pembenaran. Penjelasan dari proses umum yang menghasilkan serta memelihara suatu hierarki sosial berdasarkan kelompok dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1
Sumber: Jim Sidanius & Felicia Prato, Social Dominance, Cambridge, Cambridge University Press 1999, Hal 40. Teori Dominasi Sosial menjelaskan bahwa determinan awal dari segala bentuk dominasi disebut dengan Orientasi Dominasi Sosial (ODS). Pengertian dari ODS yaitu "Derajat keinginan suatu individu untuk mendukung hierarki sosial
9
berdasarkan kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior".10 ODS merupakan komponen paling psikologis dari Teori Dominasi Sosial. Ruang lingkup ODS sangat luas karena berhubungan dengan suatu sikap terhadap ideologi sosial, sikap, keyakinan, jalur karier, maupun kebijakan politik. Selain itu, ODS berkaitan dengan distribusi nilai sosial di dalam masyarakat. Nilai sosial yang didistribusikan juga dapat berbentuk suatu kekayaan, kekuasaan, status, pekerjaan, kesehatan, dan prestis. Sebagai contoh, di dalam sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Jim Sidanius dan Levin, maka ditemukan bahwa seorang individu dengan skor ODS yang tinggi lebih cenderung memiliki afeksi yang negatif terhadap kelompok subordinat. Sedangkan pada beberapa penelitian-penelitian lainnya juga ditemukan bahwa seorang individu dengan skor ODS yang tinggi akan cenderung untuk lebih berprasangka negatif kepada kelompok yang lain, konservatif, mendukung gerakan militer, Status-Enhancing Political Institutions (mendukung peningkatan status institusi politik), dan Favor Status-Enhancing Occupations (mendukung peningkatan terhadap status pekerjaan), serta lebih patriotik. Orang dengan ODS tinggi juga disebut sebagai personal yang kejam, di mana mereka dapat melakukan apa saja untuk mencapai sebuah tujuan serta tidak memperhatikan suatu standar moral yang berlaku. Berbeda halnya dengan seorang individu yang memiliki skor ODS tinggi, individu dengan skor ODS yang rendah akan lebih bersifat
10
Jim Sidanius & Felicia Pratto, Social Dominance, Cambridge, Cambridge University Press 1999, Hal 302.
10
mendukung gerakan feminisme, persamaan hak kaum gay, serta program-program sosial secara umum. Hierarki memiliki suatu struktur. Hal ini berarti bahwa hierarki tersebut didasarkan pada: 1. Umur, yaitu bahwa orang dewasa memiliki lebih banyak kekuatan dan status lebih tinggi dari anak-anak. 2. Gender, yaitu laki-laki memiliki lebih banyak kekuatan dan status yang lebih tinggi daripada perempuan. 3. Sewenang-wenang, yaitu suatu hierarki berbasis kelompok yang budayanya didefinisikan dan tidak selalu terdapat di setiap lapisan masyarakat. Penentuan dari hierarki Sewenang-wenang dapat didasarkan pada etnisitas (misalnya, tingkatan kulit putih atas kulit hitam di negara AS), agama, kebangsaan, dan sebagainya. Hierarki sosial manusia terdiri dari kelas atas atau kelompok hegemonik, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam hal ini masing-masing kelas masih dapat dibagi-bagikan lagi. Peran sosial yang lebih kuat semakin mungkin untuk ditempati oleh anggota dari kelompok hegemonik. Kaum laki-laki lebih dominan daripada kaum perempuan, dan mereka lebih memiliki kekuasaan di tingkat politik. Kebanyakan laki-laki berstatus tinggi dan memiliki posisi yang penting. Keyakinan
11
berprasangka seperti contohnya rasisme, seksisme, nasionalisme, dan kelasisme adalah hasil manifestasi dari hierarki sosial.11 Berbagai tahap diskriminasi hierarki didorong oleh mitos yang dilegitimasi, yang membenarkan suatu kepercayaan dominasi sosial, seperti mitos paternalistik (hegemoni dalam melayani masyarakat yang terlihat setelah minoritas tidak mampu), dan mitos timbal balik (saran bahwa kelompok-kelompok hegemonik dan yang di luar kelompok sebenarnya sama saja), serta mitos suci (hak ilahi dari raja atau sebuah mandat yang disetujui agama tentang hegemoni untuk memerintah). Teori Dominasi Sosial mengacu pada Teori Identitas Sosial, menunjukkan perbandingan sosial pada suatu proses pengendalian diskriminasi individu. Tindakan yang diskriminatif (seperti komentar menghina minoritas) dilakukan untuk meningkatkan harga diri individu yang telah melakukan tindakan tersebut. Pengertian umum tentang gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, serta perkasa. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, dan melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui suatu proses yang panjang, 11
Ibid
12
sosialisasi gender tersebut pada akhirnya dianggap menjadi ketentuan dari Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Dengan demikian perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat kaum laki-laki dan kodrat kaum perempuan.12 Gender dan Dominasi Konsisten dengan asumsi bahwa kaum laki-laki cenderung lebih dominan daripada kaum perempuan, Teori Indentitas Sosial memprediksi bahwa kaum lakilaki akan cenderung memiliki ODS yang lebih tinggi daripada kaum perempuan. Dengan demikian, kaum laki-laki akan cenderung berfungsi sebagai hierarki penegak, yaitu, mereka akan melakukan tindakan diskriminasi seperti teror sistematis yang dilakukan oleh petugas polisi dan contoh ekstrim seperti regu tembak dan kamp konsentrasi Nazi. Hal ini didukung oleh bukti-bukti seperti contoh, seorang petugas kepolisian memiliki ukuran tingkat ODS yang lebih tinggi dibandingkan warga sipil. Teori Dominasi Sosial berpendapat bahwa laki-laki akan cenderung memiliki ukuran tingkat ODS yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya konsep Androcracy atau disebut juga Andrarchy adalah suatu bentuk pemerintahan di mana penguasa pemerintah adalah laki-laki atau suatu bentuk dari pemerintahan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, istilah "Andros" yang berarti "laki-laki", serta istilah "Kratos" yang artinya "memerintah".
12
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hal. 8-9.
13
Munculnya ideologi feminisme pada abad ke-20 telah meningkatkan kesempatan yang sama bagi kaum perempuan, baik yang memungkinkan kaum perempuan untuk menantang hegemoni tradisional dari suatu institusi Androcratic. Meskipun demikian, suatu penelitian yang telah dilakukan di benua Afrika, Australia, dan negara-negara di benua Eropa terus menunjukkan suatu tingkat partisipasi politik yang secara keseluruhan tidak lagi didominasi oleh kaum laki-laki dalam suatu sistem pemerintahan. Pada tahun 2004, negara-negara Nordik di wilayah Eropa Timur dan Atlantik Utara memiliki perwakilan kaum perempuan dengan persentase tertinggi pada angka hampir mencapai 40% dari seluruh anggota parlemen. Hal ini berbeda dari negara-negara Arab dengan jumlah perwakilan terendah yakni pada angka 6%. Konsep Androcracy sebagai bias gender dapat mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan di banyak negara. Isu-isu bahwa perempuan yang kurang terwakili merupakan akibat dari diskriminasi gender. Kleinberg dan Boris menunjukkan suatu paradigma dominan yang mempromosikan image ayah dengan pendapatan produktif dengan image ibu yang tergantung secara finansial, mengesampingkan hubungan antara sesama jenis, serta marginalisasi keluarga orang tua tunggal.13 Berbagai tradisi kebudayaan di Sri Lanka yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan dan tetap dipertahankan oleh berbagai kelompok dan segenap lapisan masyarakat di negara tersebut, kemudian membentuk suatu dominasi yang 13
"Androcracy", http://www.merriamwebster.com/dictionary/androcracy, diakses tanggal 22 Januari 2011.
14
kuat dari laki-laki atas kaum perempuan di Sri Lanka di berbagai bidang. Ini meliputi bidang sosial, pertanian, pendidikan, dan terutama pada tingkat politik. Dominasi maskulin yang telah tercermin di dalam sistem politik pemerintahan Sri Lanka membuat kaum perempuan mengalami berbagai bentuk hambatan untuk turut berperan dalam ranah politik di negara tersebut. Stereotip tumbuh di tengah-tengah masyarakat Sri Lanka bahwa ranah politik bukanlah suatu ranah yang pantas bagi kaum perempuan. Sikap stereotip berlaku dalam masyarakat Sri Lanka terhadap kaum perempuan bahwa mereka tidak didorong untuk terlibat ke dalam arena politik. Kurangnya sumber finansial juga merupakan hambatan besar bagi partisipasi politik perempuan. Dalam skenario ini kaum perempuan merasa enggan untuk ikut berpartisipasi di tingkat politik. Selain itu, adanya berbagai macam hambatan budaya yang meningkatkan kesenjangan gender. Hal tersebut dikarenakan orang-orang yang merupakan penduduk Sri Lanka terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang konservatif dengan keyakinan yang kuat dalam norma-norma budaya dan berakar pada prasangka mendalam yang memperkuat stereotip gender.14 Beberapa masalah yang melekat dalam wacana perempuan dan politik. Kaum perempuan di Sri Lanka sangat sedikit diartikulasikan sebagai perempuan independen dan kuat. Banyak perempuan yang dinominasikan untuk menggantikan kekosongan yang ditimbulkan oleh pengunduran diri atau kematian saudara laki-laki. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di wilayah Asia Selatan, tidak ada kuota 14
"Where is Her + Story in Sri Lankan Political HISTORY ( His + Story)?", http://www.imow.org/dynamic/user_files/file_name_111.doc, diakses tanggal 20 Januari 2011.
15
ataupun akademi politik khusus bagi kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan pelatihan bagi mereka maupun untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan perempuan untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Upaya nyata dari pemerintah Sri Lanka untuk membantu mengangkat peran politik perempuan cenderung nihil dan situasi tersebut dibiarkan terus-menerus.
E. Argumen Utama Penulis mencoba memberikan argumen utama bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi atau menghambat peran UNDP dalam tujuannya untuk menyetarakan gender di Sri Lanka disebabkan oleh beberapa faktor utama. Di antaranya yaitu konflik 30 tahun antara pemerintah Sri Lanka dengan kelompok separatis Macan Tamil (LTTE) yang menghambat aktifitas UNDP di Sri Lanka serta kondisi internal Sri Lanka sendiri, di mana tidak adanya dukungan atau komitmen dari pemerintah Sri Lanka untuk menyetarakan gender. Hal-hal tersebut diperparah oleh sistem patriarki yang kuat di Sri Lanka sehingga menghambat program MDGs, terutama dalam misi “Empowering Women” yang bertujuan untuk menyetarakan gender di Sri Lanka.
F. Jangkauan Penelitian. Penelitian ini mengambil jangkauan waktu sejak tahun 1967, di mana UNDP mulai beroperasi di Sri Lanka dan kemudian menjalankan program MDGs.
16
Tujuannya mengarahkan Sri Lanka pada kesetaraaan gender dan peningkatan partisipasi aktif perempuan di dalam struktur kekuasaan, dan juga pengambilan keputusan politik. Jangkauan waktu dibatasi hingga tahun 2012, dengan melihat situasi gender dalam berbagai bidang di Sri Lanka beberapa tahun setelah berakhirnya konflik yang banyak menelan korban jiwa antara pemerintah Sri Lanka dan kelompok separatis Macan Tamil (LTTE).
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif, karena data yang diperoleh bersifat sekunder sehingga harus dipahami kualitasnya. Kemudian didukung oleh fakta yang berdasarkan pada kerangka teori yang diterapkan sehingga dapat ditemukan adanya hubungan antara fakta yang satu dengan yang lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menunjang metode tersebut adalah melalui studi kepustakaan (library research) yang diambil dari buku-buku, Jurnal, koran majalah, dan media internet yang relevan.
H. Sistematika Penulisan Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang, rumusan masalah, review literatur, kerangka pemikiran, metode penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.
17
Bab II membahas tentang peran UNDP sekaligus kegagalannya di Sri Lanka dalam menyetarakan gender. Bab III adalah gambaran umum mengenai kesenjangan gender terkait kendala yang dihadapi UNDP di Sri Lanka serta konflik berkepanjangan antara pihak pemerintah Sri Lanka dengan kelompok Macan Tamil. Bab IV berfokus pada tidak adanya komitmen dari pemerintah Sri Lanka untuk menyetarakan posisi kaum perempuan agar sama dengan laki-laki terutama dalam pengambilan keputusan, dilihat dari minimnya kuota bagi kaum perempuan di ranah politik. Bab V membahas mengenai faktor patriarki yang menghambat kaum perempuan dalam kesetaraan gender di Sri Lanka. Bab VI merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan.
18
19