BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Justinian, tahun 527-565M.1 Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan tentang adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barangbarang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu untuk terus bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya. Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk didengar oleh karena tingkat terjadinya trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui bahwa trafficking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 dengan sebutan Perdangangan Orang sebagai “the form of modern day slavery”.2
Universitas Sumatera utara
Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia. Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)” melarang semua jenis tindakan, cara, atau semua bentuk ekploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang. Baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara baik pelaku perorangan maupun korporasi. Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan., bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya.3 Proses penegakan hukum tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare).4 Di dalam KUHP, sesungguhnya telah terdapat banyak Pasal yang biasa didayagunakan untuk menindak pelaku trafficking ini, seperti Pasal 263 tentang Memalsukan surat-surat, Pasal 227 tentang Mengaburkan asal usul seseorang. Pasal 258, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, dan masih banyak lagi yang akan dibahas lebih lagi nantinya. Disamping itu, trafficking terhadap manusia juga sesungguhnya dilarang dalam berbagai peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia di luar KUHP yang memuat ancaman
Universitas Sumatera utara
pindak pidana kepada pelaku tindak pidana terkait trafficking, seperti; UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, UndangUndang Nomor 9 tahun 1992 tentang Kemigrasian, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Penghapusan Korupsi dan lain sebagainya. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak misalnya juga menetapkan larangan memperdangangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Upaya penegakan hukum terkait dangan tindak pidana perdagangan orang ini, maka pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara No. 58, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerantasa Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 19 April 2007, lahirlah Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, terbitnya undang-undang ini merupakan suatu
Universitas Sumatera utara
prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam Protokol PBB. Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan derajat dan martabat manusia. Di Indonesia, trafficking merupakan salah satu masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau.5 Sementara itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia mencatat, tahun 1999 hinggal Desember 2007 terdapat 514 kasus trafficking.6 Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, masih banyak pelaku yang belum tertangkap. Kejahatan trafficking seringkali tak hanya berlokasi di negeri sendiri (Indonesia), tetapi juga melibatkan pihak asing yang bertempat di luar negeri (negara lain) sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking. Trafficking manusia juga dikienal diseluruh dunia sebagai satu-satunya tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan terorganisir
untuk
mengalihkan
dana
yang
besar
ke
berbagai
upaya
mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika, pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendisendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang
Universitas Sumatera utara
menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan lintas negara. B. Permasalahan 1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan konsep pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan hukum pidana? 2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana dalam perundangudangan 2. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang dikaitkan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun
2007
(Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
1642/Pid.B/2009/PN.Mdn)
Universitas Sumatera utara
Manfaat Penulisan 1. Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap kajian perkembangan tindak pidana trafficking secara Nasional dan Internasional. 2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah trafficking ini yang sudah merupakan kejahatan lintas Negara.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasli-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisa Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perdagangan orang namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprhensif dalam suatu penelitian ilmiah. Dengan demikian penelitian ini dapata dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademi.
Universitas Sumatera utara
E. Tinjauann Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (WvS) Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Universitas Sumatera utara
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle ). Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang
tersebut
dapat
dicela
karena,
melakukan
perbuatan
pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Universitas Sumatera utara
a. Definisi Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7 Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.8 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syaratsyarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.9 Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan
definisi
pertanggungjawaban
pidana
sebagai
berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat
dijatuhi
pidana
karena
perbuatannya
itu.
7
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11 9 Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75 8
Universitas Sumatera utara
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.10 Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.11 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.12 Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan
sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:
10
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131 12 Universitas Sumatera utara W.P.J. Pompe, op.cit hal. 190 11
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction.13 Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan
konsepsi
liability.
Teori
pertama, menurut Pound, bahwa
liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan
dengan
semakin
efektifnya
perlindungan undang-undang
terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.14 b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan
mengenai
perbuatan
pidana.
Orang
tidak
mungkin
13
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79 14 Ibid, halaman 80
Universitas Sumatera utara
dipertanggungjawabkan untuk dipidana,
apabila
ia tidak melakukan tindak
pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut: TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA Unsur tindak
pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). I.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KHUP KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana
yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan
kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasalpasal
tersebut
sengaja
dibuat
begitu,
dengan
maksud
ke arah
pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
Universitas Sumatera utara
II.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP Untuk
mengetahui
pertanggungjawaban
kebijakan
legislatif
pidana di luar
dalam
menetapkan sistem
KUHP, Seperti contoh dalam
perundang-undangan dibawah ini : a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika d. UU No. 23 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari
masing-masing
undang- undang
tersebut
dapat dianalisis
kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.15 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif
15
Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260
Universitas Sumatera utara
dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.16 Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.17 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah
tindak
pidana
yang
dilakukannya.
Maka,
terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran
atas
“kesepakatan
menolak”
suatu
perbuatan
tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan
16
Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62 Universitas Sumatera utara 17 Ibid hal 63
tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
Universitas Sumatera utara
2. Pengertian Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Percobaan Melakukan Tindak Pidana Pada umumnya orang melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat dihukum, jikalau tindak pidana itu telah seluruhnya diselesaikan, artinya semua unsur-unsur dari tindak pidana itu telah terwujud. Timbul pertanyaan, jika orang itu telah mulai melakukan tindak pidana, akan tetapi tidak samapai selesai? Dalam hal ini kita berhadapan dengan soal percobaan (poging). Kata “percobaan” atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.18 Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan. Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.19 Dari apa yang diterangkan di atas, kiranya ada dua arti percobaan. Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia
18
Ibid. hal. 97. Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Hlm. 1. 19
Universitas Sumatera utara
melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon. Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya. Didalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tetapi dirumuskan syaratsyaratnya. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut: Pasal 53 1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-semata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Universitas Sumatera utara
2) Maksimu pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga 3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).20 Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut21: a) Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bawha orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
20 Lamintang dikutip oleh Muhammad Ekaputra. Percobaan (Poging). 2002 digitized by USU digital library dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1491/1/pidana-ekaputra.pdf diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 pukul 22:15 WIB. 21 Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Hlm. 536.
Universitas Sumatera utara
b) Telah adanya suatu permulaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki. c) Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri. Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54 KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan menganiaya
Universitas Sumatera utara
binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP). Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula. Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Universitas Sumatera utara
Loebby Loqman22 memberikan contoh sebagai berikut: a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951.N.J 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut. Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan
dikatakan
bahwa
tidak
selesainya
pembunuhan
atau
penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”. Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun
demikian
Pengadilan
Arnhem
dalam
pertimbangannya
memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang
22
Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Universitas
Tarumanagara : Jakarta.
Universitas Sumatera utara
dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri. b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan. Sebagai contoh: Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan. Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.
Universitas Sumatera utara
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang. c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi). Sebagai contoh : Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.
F. Metode Penelitian Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.23 Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebgai
23
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka
Cipta, 1994), hal 105.
Universitas Sumatera utara
penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judical process).24 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu tekni pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undagan, buku-buku, karaya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahasa oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupankan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.25 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibagun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubugan fungsional secara konsisten.
24 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hal. 118 25 Universitas Sumatera utara Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), Hal.
1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah penelitian hukum normatif.26 Penelitan hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok
tertentu.27
Deskriptif
analitis
berarti
bahwa
penelitian
ini
menggambarkan suatu peraturan hukum dalam kontesks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang urgensi pidana trafficking.
2. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitan dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitan yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitan ini. a. Bahan Hukum Primer terdiri dari: Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif, mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga Negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundangundangan. 26 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Banyumedia 2007), hal. 295, bahwa penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 27
utara Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta:Universitas Prenada Media,Sumatera 1997), hal. 42.
b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsipprinsip dasar ilmu hukum dan perundang-undangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.28 c. Bahan Hukum Tesier: Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum.29 Jadi penelitan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: Studi Kepustakaan. Studi Kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundangundangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitan ini.30 4. Metode Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. 28
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hal 141 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14. 30 Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal. 97. 29
Universitas Sumatera utara
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:31 a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interprestasi terhadap bahan hukum tersebut. b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah urgensi pidana trafficking kepada traficker; c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
31 32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225. Ibid
Universitas Sumatera utara