BAB I PENDAHULUAN A.
1.
Latar Belakang Masalah
Diabetes dan Arti Pentingnya Manajemen Diri Seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tingkat
kejadian penyakit degeneratif di Indonesia semakin meningkat. Salah satu di antaranya adalah diabetes melitus (Tjokroprawiro, 2003; Waspadji, 2013a). Penyakit diabetes melitus, untuk selanjutnya disebut diabetes adalah sebuah penyakit kronik berbentuk gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, disebabkan kurangnya sekresi atau adanya resistensi insulin (Taylor, 2006). Meskipun sebenarnya diabetes merupakan penyakit hormonal (insulin adalah hormon), namun manifestasi yang menonjol adalah penyakit metabolisme (WHO, 2000). Penyakit diabetes dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya keturunan, kurangnya kegiatan jasmani, kegemukan atau distribusi lemak, nutrisi berlebih, dan efek samping obat-obat atau hormon (Waspadji, 2013a; WHO, 2000). Jika mencermati faktor-faktor ini dapat dilihat bahwa kurangnya kegiatan jasmani, kegemukan, dan nutrisi berlebih merupakan faktor yang dapat diubah. Ini yang mendasari pandangan, seperti yang dikemukakan Sidartawan Soegondo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Diabetisi Indonesia dan Direktur Institut Diabetes Indonesia, bahwa diabetes adalah penyakit akibat gaya hidup atau dalam bahasa Inggris disebut lifestyle disease (Lyons & Chamberlain, 2006). Terkait dengan faktor yang dapat diubah, langkah yang perlu dilakukan untuk mengelola diabetes adalah mengubah gaya hidup (“Cegah Diabetes Sejak
1
2
Dini”, 2008), misalnya dengan melakukan perencanaan makan dan kegiatan jasmani (Waspadji, 2013b; WHO, 2000). Diabetes
merupakan
penyebab
kematian
ke-14
di
dunia
dan
diperkirakan mendekati empat juta orang per tahun (WHO, 2002). Menurut survei yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah penyandang diabetes terbesar di dunia, yaitu sebesar 8,4 juta setelah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan pada tahun 2030 penyandang diabetes di Indonesia akan meningkat sampai dengan sejumlah 21,3 juta, meskipun tetap menempati peringkat ke-4 (Wild, Roglic, Green, Sicree, & King, 2004). Menurut data Depkes tahun 2005, jumlah pasien diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin (Epidemiologi, t.t). Data yang berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan, bahwa prevalensi nasional diabetes adalah 5,7 persen, berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, yang tinggal di perkotaan (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data terbaru Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi diabetes pada penduduk usia lebih dari 15 tahun sebesar 6,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berarti terjadi kenaikan 1,2 % dalam waktu enam tahun. Di Amerika lebih banyak orang terkena diabetes Tipe II dibandingkan dengan Tipe I. Diabetes Tipe II ini bertambah dengan sangat cepat (Taylor, 2006). Diabetes Tipe II ini berjumlah sekitar 90 persen dari semua kasus di Amerika (Glasgow & Nutting, 2004). Data di Indonesia tidak memilahkan antara diabetes Tipe I dan II. Namun demikian, menurut Suyono (2013) di Indonesia penyandang diabetes Tipe I sangat jarang. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan pada pasien diabetes Tipe II.
3
Dampak diabetes dari aspek ekonomi cukup besar. Di Amerika pada tahun 2007 tercatat sebesar 174 milyar dolar Amerika untuk ongkos berobat akibat penyakit
diabetes, termasuk biaya tidak langsung karena terjadi
disabilitas, kehilangan jam kerja, dan kematian dini (Diabetes Statistics, 2011). Meskipun di Indonesia belum dihitung kerugian tidak langsung akibat diabetes, misal hilangnya produktivitas, diperkirakan kerugian tidak langsung jauh lebih tinggi daripada biaya pengobatan penyakit itu sendiri. Tjokroprawiro (2003) memperkirakan biaya perawatan minimal untuk penyandang diabetes rawat jalan di Indonesia sekitar 1,5 milyar rupiah per hari atau 500 milyar rupiah per tahun. Seperti telah disebutkan pada alinea pertama dari tulisan ini, diabetes merupakan penyakit kronik. Penyakit kronik dapat berupa penyakit ringan misalnya kehilangan sebagian pendengaran hingga penyakit berat dan mengancam kehidupan, seperti kanker, jantung, dan diabetes termasuk di dalamnya (Taylor, 2006). Penyakit kronik akan memengaruhi aspek-aspek kehidupan pasien. Hal ini terjadi karena penyakit kronik akan mengakibatkan penyandangnya
mengalami
perubahan-perubahan
sementara
maupun
permanen pada aktivitas fisik, pekerjaan, maupun sosial. Oleh karena itu, penyandang penyakit kronik secara psikologik akan belajar untuk hidup bersama dengan penyakitnya. Penelitian disertasi pada pasien diabetes ini merupakan salah satu usaha untuk mempelajari aspek psikologik pada salah satu penyakit kronik. Sebagai penyakit kronik, diabetes berhubungan dengan komplikasi penyakit lain. Menurut Tjokroprawiro (2004), komplikasi diabetes dapat menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai dengan ujung kaki, termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sejalan dengan Tjokroprawiro (2004), Darmono (2005) juga menyatakan, bahwa hiperglikemi kronik yang terjadi pada diabetes selalu diikuti dengan komplikasi penyempitan vaskuler di seluruh tubuh.
4
Akibatnya, terjadi perubahan berupa kemunduran sampai dengan kegagalan fungsi beberapa organ tubuh, dan yang paling sering adalah terjadinya kerusakan otak, mata, jantung, ginjal, dan gangren. Berkaitan dengan komplikasi, Wild, Roglic, Green, Sicree dan King (2006) pada tahun 1990 dan 2000 meneliti munculnya jenis kompilikasi yang sama, yaitu kebutaan akibat retinopati, gangguan kaki, neuropati dan amputasi. Bahkan komplikasi ini mengakibatkan kematian. Salah satu contoh, kematian akibat kebutaan yang disebabkan oleh retinopati dan atau di antara pasien diabetes dengan retinopati diperkirakan 1,76 kali dibandingkan kasus diabetes yang tidak mengalami komplikasi. Data dari American Diabetes Association (ADA) (dalam Taylor, 2006) menunjukkan bahwa 65% kematian pasien diabetes disebabkan oleh adanya penyakit jantung dan stroke. Data tahun 2008 dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa lima dari enam pasien amputasi terjadi karena komplikasi diabetes. Bahkan data tahun 2010 dari RSCM menyebutkan bahwa hanya 50% pasien amputasi yang dapat bertahan hidup hingga lima tahun (“Amputasi”, 2011). Komplikasi tersebut tidak akan muncul apabila perawatan diabetes dilaksanakan dengan baik, tertib, dan teratur (Tjokroprawiro, 2004). Waspadji (dalam “Amputasi”, 2011) juga menyatakan bahwa amputasi tidak terhindarkan, jika kadar glukosa dalam darah tidak dikendalikan secara ketat. Penelitian Holman dan Turner, serta Johnson, Wolf, dan Kabadi (dalam Koro, Bowlin, Bourgeois, & Fedder, 2004) menunjukkan bahwa diet, olahraga, suntik insulin, atau pengobatan oral akan memperbaiki kadar glukosa dalam darah. Penelitian lain berikut ini juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa kontrol glukosa buruk akan
mengakibatkan
munculnya
komplikasi.
Maryanto
(2009)
dalam
penelitiannya pada 54 pasien diabetes Tipe II rawat jalan maupun rawat inap di Rumah sakit Dr Sardjito, mendapatkan hasil bahwa glukosa darah tidak
5
terkontrol meningkatkan risiko terjadinya nyeri neuropati 2,6 kali dibandingkn dengan glukosa darah terkontrol. Dari 54 pasien yang diteliti, sebanyak 40 orang (74,1%) mempunyai glukosa darah tidak terkontrol dan hanya 14 orang (25,9%) mempunyai glukosa darah terkontrol. Berdasarkan kenyataan tersebut, pengelolaan atau manajemen diabetes merupakan hal yang sangat penting. Bahkan menurut Taylor (2006), jika suatu penyakit merupakan penyakit kronik (dibaca: termasuk diabetes) dan tidak dapat disembuhkan, maka satu-satunya cara adalah melakukan manajemen diri. Atau dengan kata lain, manajemen diri ini menjadi kunci strategi untuk mengelola kesehatan bagi penyandang diabetes (Wellard, Rennie, & King, 2008). Manajemen diri merupakan hal yang lebih menonjol pada diabetes Tipe II dibandingkan dengan Tipe I mengingat bahwa munculnya diabetes Tipe II lebih banyak dipicu oleh gaya hidup, sehingga pasien dengan Tipe II ini mempunyai kondisi yang lebih baik apabila memperbaiki gaya hidupnya (Taylor, 2006). Selanjutnya Taylor (2006) menyebutkan bahwa faktor gaya hidup yang dapat diubah adalah kebiasaan berolah raga, menurunkan berat badan bagi mereka yang mempunyai berat badan berlebih, manajemen stres, dan mengontrol diet. Pada diabetes Tipe I, suntik insulin sangat berperan dalam manajemen diri, sedangkan pada diabetes Tipe II manajemen diri dapat dilakukan dengan berbagai cara (ADA, 2005). Seperti yang dinyatakan Taylor (2006), ADA (2005) juga menyebutkan bahwa pada diabetes Tipe II mengatur asupan makanan dan berolahraga dapat dilakukan pasien untuk menjaga agar kadar glukosa tetap normal, sebelum dibantu oleh obat atau insulin. Dengan demikian, penjelasan tersebut merupakan penguat alasan penelitian manajemen diri ini dilakukan pada diabetes Tipe II. Pentingnya manajemen penyakit tampak dari area penelitian tentang diabetes. Gonder-Frederick, Cox, dan Ritterband (2002) melakukan reviu
6
terhadap penelitian-penelitian diabetes dan menemukan ada empat area dalam penelitian
diabetes.
penyesuaian
sosial
Empat dan
area
kualitas
itu
adalah
hidup,
manajemen
dampak
diri
diabetes,
neuropsikologik,
dan
pengembangan intervensi psikobehavioral. Sedemikian pentingnya kajian tentang manajemen diabetes juga terlihat dari pernyataan Siminerio, Ruppert, dan Gabbay (2013), yang menyatakan bahwa “diabetes is a self-management disease” atau diabetes adalah penyakit manajemen diri. Gonder-Frederick et al. (2002) menemukan kajian manajemen diri diabetes meliputi faktor-faktor psikososial yang memengaruhi manajemen diri. Faktor-faktor psikososial tersebut dibagi tiga, yaitu faktor individu, faktor sosial dan faktor lingkungan. Sebagai contoh, faktor individu, misalnya efikasi diri, kontrol, coping, distres, kecemasan; faktor sosial, misal dukungan, karakteristik keluarga, interaksi dengan profesional kesehatan, dampak diabetes terhadap orang penting dalam kehidupan pasien; dan faktor lingkungan, antara lain akses terhadap pusat kesehatan, hambatan dalam olahraga dan diet, serta faktor budaya. Temuan Gonder-Frederick et al. (2002) tersebut sesuai dengan pendapat Wysocki dan Buckloh (2004), yang menyatakan bahwa salah satu yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen diri adalah faktor-faktor psikologik. Menurut Fisher, Delamater, Bertelson, dan Kirkley (1982), salah satu alasan munculnya perhatian yang besar dari psikologi terhadap diabetes yaitu adanya
kenyataan bahwa diabetes merupakan penyakit kronik, yang
mempunyai muatan psikologik dan perilaku. Diabetes mempunyai muatan psikologik dan perilaku, karena dalam diabetes terdapat suatu proses regulasi diri, yaitu pasien perlu meregulasi proses metabolik, seperti memantau dan ‘menyesuaikan’ kadar glukosa darah (Gonder-Frederick & Cox; Wing, Epstein, Nowalk, Lamparski, dalam Cox & Gonder-Frederick, 1992). Ketika pasien
7
mengikuti petunjuk dokter, maka mereka dihadapkan dengan kondisi psikologik mereka sendiri yang tidak mudah. Kondisi psikologik mereka tidak mudah, karena mereka harus teratur melakukan diet, olahraga, pengobatan, dan tes kadar gula (Glasgow & Nutting, 2004). Dengan kata lain pasien dituntut untuk mengikuti petunjuk dalam manajemen diabetes tersebut. Selain aktivitas rutin tersebut, pasien sekaligus juga harus menyadari bahwa munculnya komplikasi akibat diabetes hampir tidak mungkin dihindari (Gonder-Frederick & Cox; Wing, et al., dalam Cox & Gonder-Frederick, 1992; Glasgow & Nutting, 2004). Berdasarkan gambaran tersebut, tampak bahwa manajemen diri bukan hanya sebuah ‘perjuangan’ bagi pasien, namun juga merupakan ‘tantangan’ bagi profesional kesehatan. Menurut profesional kesehatan, diabetes merupakan penyakit yang lebih sulit untuk dirawat dibandingkan kondisi penyakit kronik lain, seperti hipertensi dan penyakit jantung (Larme & Pugh, dalam Heinrich, 2011). Banyak penelitian telah dilakukan terkait dengan manajemen diri diabetes. Dua penelitian besar dalam dunia diabetes adalah sebagai berikut. Penelitian longitudinal dilakukan oleh The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) Research Group pada pasien diabetes Tipe I, di Amerika pada tahun 1993 (dalam Wysocki & Buckloh, 2004; Glasgow, 2002) dan The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group pada tahun 1998 (dalam Wysocki & Buckloh, 2004) pada pasien diabetes Tipe II. Penelitian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah mempertahankan glukosa darah mendekati normal dalam waktu panjang akan menurunkan onset dan memburuknya komplikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh DCCT Research Group tersebut menunjukkan bahwa, kontrol glukosa darah pasien lebih baik pada kelompok terapi intensif dibandingkan terapi konvensional, pada setiap tahun pengukuran. Pada DCCT Research Group, terapi intensif juga dapat mengurangi mulai munculnya dan memburuknya komplikasi
sampai dengan 50% hingga
8
70%.Terapi intensif berisi usaha untuk tetap mempertahankan glukosa darah mendekati normal dengan pemberian insulin lebih sering melalui penyuntikan atau pompa insulin, lebih sering memantau kadar glukosa darah dibandingkan terapi
konvensional,
dan
menggunakan
data
glukosa
darah
untuk
mempertimbangkan seberapa insulin yang dibutuhkan dan diet. Selain itu pasien juga berkonsultasi dengan perawat, ahli gizi, dan psikolog. Terapi konvensional dilakukan dengan cara insulin disuntikkan satu atau dua kali sehari dan memantau kadar glukosa darah setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian ini, DCCT dan UKPDS menyarankan agar manajemen diabetes dilakukan dengan lebih intensif. Pasien diharapkan terampil menguasai manajemen diri. Secara umum manajemen diri adalah keterlibatan pasien terhadap seluruh aspek dalam penyakit kroniknya dan implikasinya, termasuk manajemen medis, perubahan dalam peran sosial dan pekerjaan, serta coping (Taylor, 2006). Schoenberg dan Drungle (2001), menyatakan bahwa manajemen diri merupakan aktivitas
perawatan
kesehatan
berupa
pencegahan
atau
pengobatan,
bekerjasama dengan profesional kesehatan. Istilah manajemen diri atau self-management sering dipertukarkan dengan istilah perawatan diri atau self-care (dalam Rahim-Williams, 2004). Menurut Pols, Battersby, dan Blunden (2006), perawatan diri merupakan suatu hal yang dikerjakan pasien dengan caranya sendiri, sedangkan manajemen diri merupakan hasil dari hubungan kolaboratif antara pasien, dokter, dan tenaga kesehatan lain, serta kelompok lain. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini
digunakan istilah manajemen diri. Istilah manajemen diri lebih tepat mengingat pasien dalam melakukan perawatan diri mendapat informasi dari dokter maupun perawat, juga ahli gizi. Selain itu jika pasien bergabung dalam kelompok sesama penyandang diabetes, pasien juga mendapatkan informasi tentang perawatan diabetes dari pasien lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terjadi
9
hubungan kolaboratif antar mereka (pasien dengan dokter dan atau perawat, ahli gizi; antar pasien). Dalam penelitian ini manajemen diri yang dimaksud adalah manajemen diri terhadap penyakit diabetes atau biasa disebut sebagai manajemen diri diabetes. Ada beberapa komponen dalam manajemen diri diabetes. Penelitian ini mengacu pada Cox dan Gonder-Frederick (1992), Glasgow dan Nutting (2004), serta Hill-Briggs (2003) bahwa manajemen diri diabetes terdiri dari pengobatan, diet, olahraga, dan pemantauan kadar glukosa dalam darah. Dalewitz, Khan, dan Hershey, serta Rubin dan Peyrot (dalam Keers et al., 2004) menyebutkan bahwa banyak pasien mengalami kesulitan untuk melakukan manajemen diri diabetes, sehingga mengakibatkan kontrol glukosa buruk. Penelitian Hasanat (2008) untuk mengetahui aspek psikologik pasien diabetes ketika mereka melakukan manajemen diri dengan menggunakan Focus Group Discussion (FGD) pada subjek 20 pasien diabetes rawat jalan menemukan, bahwa sebagian dari mereka mempunyai perasaan tidak nyaman ketika menjalani pengobatan, takut pada saat awal harus diet, mempunyai kesulitan dalam menjalankan diet. Kesulitan ini antara lain kesulitan dalam mengendalikan diri, mengontrol keinginan, mengatur 3J (jenis, jumlah, jadwal) makan, merasa jenuh, dan bosan berolah raga. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dapat dilihat dalam kutipan berikut ini (Hasanat, 2008): Ketidak nyamanan pasien ketika menjalani pengobatan: Tadinya memang ada pengalaman ini saya. Waktu itu saya dinyatakan “wah ini anu obatnya seumur hidup”...rasanya kayak agak shock gitu ya..”ah masak iya..mau diinsulin kan saya nggak mau “ah, nggak mau, dibilang diinsulin”..tapi ini minum obatnya seumur hidup... Pasien mengalami kesulitan ketika menjalani diet dan mengatur 3J: ...saya pikir saya sudah bisa tahu sendiri...yang saya tanyakan, kenapa kok saya nggak bisa diet? Lha kuwi lho, tahu 3 J tapi prakteknya sulit..itu yang mau saya tanyakan...kenapa kok saya itu... Pasien merasa bosan berolah raga: ....kalau sudah e...olah raga, rutin, semakin lama semakin bosan itu...sering-sering saya “ya sudahlah saya terima” begitu...
10
Penelitian Ayusmi (2008) ketika melakukan pelatihan manajemen stres untuk meningkatkan manajemen diri pada penyandang diabetes Tipe II di salah satu Puskesmas Sleman, menemukan salah satu peserta sebelum pelatihan dilakukan telah berusaha mengelola diabetes yang dialaminya dengan makan, minum obat secara teratur, olahraga serta periksa rutin ke rumah sakit. Namun demikian, usaha yang dilakukan pasien tersebut sering gagal, terutama sering makan tidak teratur dan minum obat tidak rutin. Penelitian lain dilakukan oleh Budiyani (2010) yang melakukan pelatihan manajemen diri untuk meningkatkan kepatuhan diet pada penyandang diabetes Tipe II di salah satu Puskesmas Sleman. Sebelum pelatihan dilakukan, tiga peserta mengalami kesulitan untuk menjalani diet (salah satu komponen dalam manajemen diri diabetes), terkait dengan jumlah, jadwal, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan datadata tersebut dapat dilihat bahwa kesulitan melakukan manajemen diri diabetes selain terjadi di masyarakat Barat juga terjadi di masyarakat Indonesia, sehingga semakin menguatkan alasan peneliti untuk meneliti manajemen diri diabetes di Indonesia. Pada seseorang yang menyandang penyakit kronik, kualitas hidup mendapat perhatian ketika pasien melakukan manajemen terhadap penyakitnya, yaitu seberapa jauh penyakit dan tritmennya mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari, misal tidur, makan, bekerja, serta aktivitas rekreasional (Taylor, 2006). Kualitas hidup adalah seberapa besar seseorang merasa kehidupannya baik atau buruk (Sing & Bradley, 2006). Pentingnya kualitas hidup pasien diabetes ini tampak dari perhatian dari profesional kesehatan, yang memandang kualitas hidup sebagai hasil dari manajemen diabetes (Sing & Bradley, 2006). Manajemen diabetes yang baik merupakan hal yang penting untuk mencapai kontrol kadar gula dan menurunkan komplikasi diabetes, dan selanjutnya akan menghasilkan kualitas hidup yang baik (Misra & Lager, 2008). Oleh karena itu
11
penelitian manajemen diri diabetes ini merupakan langkah awal penting agar selanjutnya dapat mengetahui kualitas hidup pasien.
2.
Faktor-Faktor Psikososial yang Memengaruhi Manajemen Diri Diabetes Berdasarkan kajian yang sudah disebutkan sebelumnya, tampak bahwa
manajemen diri terhadap diabetes merupakan proses yang kompleks, yang menuntut tanggung jawab pasien, sehingga dalam penelitian diabetes sejumlah variabel psikologik yang relevan dengan manajemen diri diidentifikasi. Menurut Cox dan Gonder-Frederick (1992), identifikasi terhadap variabel psikologik ini penting, sebagai dasar untuk melakukan intervensi agar pasien diabetes dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan fisik. Variabel psikologik yang dibahas oleh Cox dan Gonder-Frederick (1992) ini adalah karakteristik pasien, faktor sosial dan keluarga, faktor lingkungan dan kontingensi perilaku (behavioral contingencies). Kontingensi perilaku ini perlu diperhatikan mengingat dari perspektif perilaku, kemajuan dalam manajemen diri, tetapi disertai dengan kegagalan dalam mencapai glukosa darah normal, akan berdampak pada usaha pasien berikutnya untuk melakukan manajemen diri. Menurut Baumeister, Tice, dan Heatherton (1994) prinsip dasar agar efektif dalam melakukan manajemen diri diabetes adalah mengetahui kekuatan dan kelemahan pasien serta menyusun komitmen, sehingga faktor psikososial penting dipertimbangkan dalam manajemen diabetes (Delamater, Jacobson, Anderson, Cox, Fisher, Lustman et al., 2001). Bahkan Feifer dan Tansman (1999) menyatakan bahwa manajemen diabetes yang lebih baik akan tercapai jika komponen psikologik secara eksplisit masuk ke dalam tritmen diabetes. Sebenarnya, ADA (dalam Feifer & Tasman, 1999) pada tahun 1998 sudah menyusun standar perawatan diabetes. Pada standar tersebut ADA
12
menyarankan agar dokter bekerja secara tim, termasuk dengan profesional kesehatan mental agar perawatan diabetes dapat optimal. Pada standar tersebut ADA juga sudah mencantumkan standar medik dengan mengatasi aspek-aspek psikologik pasien yang memengaruhi manajemen diabetes. Namun demikian, menurut Feifer dan Tasman (1999) rekomendasi tersebut belum cukup karena cara untuk mengatasi masalah psikologik belum ditulis secara operasional dan membiarkan
petugas
kesehatan
untuk
melakukan
interpretasi
dan
mengembangkan caranya sendiri. Pada standar ADA tahun 2005 (ADA, 2005) cara mengatasi masalah psikologik sudah lebih rinci dicantumkan, meskipun belum operasional. Sebagai contoh, salah satu rekomendasi menyebutkan perlunya skrining masalahmasalah psikososial, seperti depresi, gangguan makan, dan hendaya kognitif apabila kepatuhan terhadap aturan-aturan medis rendah. Rekomendasi tersebut menganjurkan bahwa tritmen psikologik hendaknya dimasukkan ke dalam perawatan rutin daripada menunggu identifikasi adanya masalah psikologis pada pasien. Standar ADA tersebut menyebutkan bahwa salah seorang ahli dalam tim perawatan medik bagi pasien diabetes adalah seorang profesional dalam kesehatan mental dan yang berminat dalam diabetes. Pada tahun 2013 rekomendasi tersebut sudah ditambahkan dengan menyebutkan bahwa hendaknya dokter merujuk kepada profesional jika pasien perlu mendapatkan tritmen psikologis (ADA, 2013). Di Indonesia dalam buku “Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu” (Pusat Diabetes dan Lipid, 2013) bagian kedua, yaitu materi penyuluhan pasien, hanya terdapat satu materi tentang “stres emosional pada penyandang diabetes” di antara sembilan materi (Semiardji, 2013). Hal ini menunjukkan masih kurangnya perhatian pada aspek psikologik pasien, meskipun dalam materi strategi edukasi diabetes sudah disebutkan bahwa salah satu anggota tim
13
edukator adalah psikolog (Soegondo, 2013a). Menurut peneliti, dengan dicantumkannya aspek psikologik pada penatalaksanaan diebetes di Indonesia dan secara eksplisit telah disebutkan bahwa psikolog merupakan edukator diabetes, seharusnya psikolog menjadi salah satu anggota tim perawatan diabetes pasien. Namun sejauh pengamatan peneliti, hal tersebut belum terealisasi, sehingga aspek psikologik pasien dalam perawatan atau manajemen diabetes belum sepenuhnya mendapat perhatian. Cox
dan
Gonder-Frederick
(1992)
dalam
tulisannya
tentang
perkembangan riset diabetes dari sisi ilmu perilaku, menyebutkan ada bukti bahwa variabel psikososial merupakan buffer atau penyangga efek negatif dari stres terhadap glukosa darah. Variabel itu adalah dukungan sosial, kompetensi sosial, coping style. Penelitian Glasgow, Toobert, dan Gillette
(2001)
memfokuskan pada tiga konstrak psikologik dan dua faktor sosial/interpersonal yang secara teoretik penting dan dapat diterapkan dalam kedokteran perilaku, serta merupakan faktor penghambat untuk mencapai manajemen diri dan kualitas hidup. Tiga konstrak psikologik tersebut, yaitu efikasi diri, personal illness models (misal keyakinan tentang konsekuensi menyandang diabetes dan efektivitas tritmen) dan health beliefs, serta depresi. Faktor sosial yang diteliti adalah stres dan dukungan dari teman dekat dan keluarga. Glasgow et al. (2001) menyebut faktor psikologik dan sosial/interpersonal sebagai faktor psikososial. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa konstrak yang paling kuat dan secara konsisten berhubungan dengan rendahnya manajemen diri dan kualitas hidup adalah rendahnya efikasi diri dan rendahnya dukungan sosial, yang berasal dari keluarga. Pada tulisan Landel-Graham, Yount, Rudnicki (2003), disebutkan dan dibahas enam faktor psikososial dalam manajemen diabetes, yaitu pengetahuan pasien tentang diabetes, stres, depresi, dukungan sosial, hubungan antara
14
dokter dengan pasien, serta hambatan dalam menjalani manajemen yang dipersepsi oleh pasien dan gaya coping. Pemilihan keenam faktor tersebut berdasarkan alasan bahwa sejumlah penelitian fokus pada faktor tersebut, intervensi yang dilakukan juga banyak yang memfokuskan pada faktor tersebut, dan relevansi secara klinis, yaitu banyaknya kasus yang ditemukan di lapangan. Selain penelitian dan kajian yang telah disebutkan, Delamater et al. (2001) melakukan reviu penelitian ilmu perilaku terkait faktor psikososial dan terapi dalam diabetes. Dalam reviu tersebut ditemukan faktor-faktor yang sering digunakan oleh peneliti-peneliti terkait manajemen diri diabetes, yaitu adjustment, depresi, faktor keluarga seperti stres, konflik organisasi dan kohesivitas, serta keterampilan komunikasi dalam keluarga sebagai faktor psikososial. Selain itu penelitian tersebut juga menggunakan coping, health beliefs, efikasi diri, learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari), dukungan, dan kualitas hidup. Delamater et al. (2001) menyimpulkan bahwa faktor psikososial berperan dalam manajemen diri diabetes pada anak dan dewasa. Penelitian Sarkar, Fisher, dan Schillinger (2006) menemukan ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan perilaku manajemen diabetes, yaitu diet, olah raga, pemantauan glukosa darah, dan perawatan kaki. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengorganisir dan melakukan tindakan untuk mencapai performansi (Bandura, 1989). Performansi dalam hal ini terkait dengan manajemen diri diabetes. Ketika seseorang mengalami diabetes, lingkungan keluarga merupakan penentu potensial yang memengaruhi adaptasi pasien (Anderson, 2002). Oleh karena itu hubungan interpersonal di dalam keluarga berpengaruh terhadap manajemen diri diabetes. Salah satu kajian yang banyak dilakukan adalah expressed-emotion (EE), yang didefinisikan sebagai spontanitas keluarga secara emosional dalam membicarakan pasien (Butzlaff & Hooley, 1998). Konsep awal
15
EE meliputi emosi positif dan negatif, namun pada penelitian-penelitian EE selanjutnya lebih fokus pada emosi negatif (Wearden, Tarrier, Barrowclough, Zastowny, & Rahill, 2000a). Menurut Heltz dan Templeton (dalam Koeniegsberg, Klausner, Chung, Pelino, & Campbell, 1995), kontrol glukosa dipengaruhi oleh faktor emosi keluarga. Keluarga dengan EE tinggi dipandang sebagai sumber stres oleh pasien dan selanjutnya akan memengaruhi kadar glukosa darah melalui mekanisme endokrin (Goetsch, dalam Wearden, Tarrier, dan Davies, 2000b). Stres akan mengakibatkan bertambahnya hormon yang dapat menaikkan kadar gula darah (Sapolsky et al., dalam Musselman, Bowling, Giles, Larsen, Betan, & Phillips, 2007). Penelitian Wearden et al. (2000b) menemukan bahwa pasien diabetes dengan pasangan yang mempunyai EE tinggi, yaitu memberikan komentar kritis (critical comments) dan keterlibatan yang berlebihan (emotional-overinvolvement) mempunyai manajemen diri rendah. Wearden et al. (2000b) menjelaskan bahwa pasien dengan pasangan EE tinggi akan mempunyai penyesuaian antar mereka (dyadic adjustment) yang buruk, memandang penyakit diabetes yang dialami sebagai sesuatu hal yang buruk, dan mengalami depresi karena merasa tidak efektif dalam melakukan manajemen diabetes. Penelitian awal Hasanat (2010) tentang EE pada pasien diabetes dengan menggunakan metode FGD pada 10 orang pasien diabetes menemukan bahwa berbeda dengan hasil penelitian di negara Barat, EE dari keluarga berpengaruh positif terhadap manajemen diri. Penelitian Wearden et al. (2000b) seperti yang telah disebut di depan menunjukkan bahwa ketika keluarga pasien diabetes mengekspresikan komentar kritis (critical comments) dan keterlibatan yang berlebihan
(emotional
over-involvement),
misal
sangat
khawatir,
akan
mengakibatkan manajemen diri mereka rendah. Pada penelitian Hasanat (2010) ditemukan bahwa ketika keluarga pasien sangat khawatir, maka pasien akan
16
berhati-hati dalam melakukan manajemen diri. Ada kemungkinan di Indonesia apabila keluarga sangat khawatir maka dianggap sebagai bentuk perhatian. Hal ini sesuai dengan pendapat Bhugra dan McKenzie (2003) yang menyatakan bahwa keterlibatan yang berlebihan dari keluarga di dunia Barat dianggap sebagai patologis, karena “menyerang” individu, sedangkan pada budaya lain dianggap sebagai hal biasa. Bahkan, ketika keluarga memberikan komentar kritis, dalam penelitian Hasanat (2010) ada pasien yang menganggap sebagai kritik membangun. Selain terkait dengan keluarga, pasien diabetes banyak berinteraksi dengan orang lain selama mereka melakukan manajemen diri. Pasien akan mendapatkan dukungan sosial, yang merupakan sumber daya berupa informasi atau lainnya (Cohen & Syme, 1985). Dukungan sosial ini merupakan hubungan timbal balik dari orangtua, pasangan, anggota keluarga lain, teman, dan kontak sosial serta komunitas (Rietschih, dalam Taylor, 2006). Sebagai contoh, dalam penelitian Hasanat (2008) ditemukan dukungan sosial yang berasal antara lain dari keluarga, dokter, maupun dari komunitas sesama pasien diabetes. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah disebutkan di depan, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang diteliti dapat dikelompokkan menjadi faktor psikologik dan sosial/interpersonal. Mengacu pada Glasgow, et al. (2001) dan Gonder-Frederick et al. (2002), dalam penelitian ini variabel psikologik dan sosial/interpersonal disebut sebagai faktor psikososial. Pemilihan variabel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian Hasanat (2008, 2010). Tidak semua variabel yang ditemukan dalam penelitian tersebut digunakan dalam penelitian ini. Faktor psikologik yang dipilih adalah depresi berdasarkan hasil temuan Hasanat (2008) bahwa pasien merasa sedih, frustrasi, mudah tersinggung pada saat mereka melakukan manajemen diabetes. Gejala-gejala ini merupakan sebagian dari ciri-ciri individu depresi
17
(Beck, 1985). Pemilihan variabel depresi juga diperkuat oleh banyaknya temuan yang menunjukkan bahwa pasien diabetes mengalami depresi (Goldney, Phillips, Fisher, & Wilson, 2004; Lustman, Griffth, Gavard, & Clouse; Kovacs, Goldston, Obrosky, & Bonar, dalam Wysocki & Buckloch, 2004). Penelitian Donsu (2014) menemukan sebagian besar subjek penelitiannya, yaitu pasien diabetes Tipe 2 mengalami depresi sedang, sedangkan penelitian Listiana (2005) menemukan sebagian besar subjek penelitiannya mengalami depresi berat. Ketika seseorang menyandang diabetes dan kemudian mengalami depresi, maka depresi yang dialami dapat mengakibatkan mereka mengalami hambatan untuk menjalani tritmen (Lustman, Griffth, & Clouse, dalam Wysocki & Buckloh, 2004), dalam hal ini melakukan manajemen diri. Faktor personal lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah efikasi diri. Temuan Hasanat (2008) menunjukkan bahwa pasien mengalami kesulitan dalam menjalani manajemen diri, sehingga penulis mengambil efikasi diri, untuk melihat
keyakinan
pasien
terhadap
kemampuannya
untuk
melakukan
manajemen diri. Di sisi lain, ditemukan hubungan positif antara efikasi diri dengan kepatuhan terhadap swakelola makanan (Fathiyah, 2004). Swakelola makanan adalah kata lain dari manajemen diri dalam hal makanan atau diet. Pemilihan variabel efikasi diri ini diperkuat oleh pernyataan Taylor (2006) bahwa efikasi diri merupakan fokus penting dalam semua pasien penyakit kronik, khususnya diabetes. Demikian juga hasil penelitian Sarkar et al. (2006) serta Wagner, Tennen, dan Osborn (2010) menunjukkan terdapat hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien diabetes. Faktor sosial/interpersonal dalam penelitian ini dipilih expressed-emotion, sesuai dengan hasil penelitian Hasanat (2010), juga didukung hasil penelitian Koenigsberg et al. (1995), serta Wearden et al. (2000b). Faktor sosial/ interpersonal lain adalah dukungan sosial. Hal ini sesuai dengan temuan
18
Hasanat (2010), yaitu ada dukungan sosial ketika pasien melakukan manajemen diri, serta hasil penelitian lainnya (Lanting et al., 2008; Skarbek, 2006; Skinner & Hampson, 1998; Skinner, John & Hampson, 2000), yang menunjukkan ada hubungan antara dukungan sosial dan manajemen diri pada pasien diabetes. Rangkuman penelitian-penelitian faktor-faktor psikososial yang memengaruhi manajemen diri pada pasien diabetes dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran A. Tabel 1 Rangkuman Penelitian Faktor-Faktor Psikososial yang Memengaruhi Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Faktor Psikososial 1. Adjustment 2. Coping 3. Depresi
4. Dukungan sosial
5. Efikasi diri
6. Expressed-emotion
7. Faktor keluarga 8. Health belief 9. Hubungan antara pasien dan dokter 10. Kualitas hidup 11. Learned helplessness 12. Pengetahuan 13. Personal Illness Model 14. Stres
Peneliti Delamater et al. (2001) Delamater et al. (2001) Delamater et al. (2001); Glasgow et al. (2001); Goldney et al. (2004); Hasanat (2008); Lustman et al.; Kovacs et al. (dalam Wysocki & Buckloch, 2004) Anderson et al. (dalam LandelGraham et al., 2003); Delamater et al. (2001); Glasgow et al. (2001); Hasanat (2008); Lanting et al. (2008); Skarbek (2006);??>< Skinner & Hampson (1988); Skinner et al. (2000) Delamater et al. (2001) Glasgow et al. (2001); Sarkar et al. (2006); Wagner et al. (2010) Koenigsberg et al. (1995) Hasanat (2010); Wearden et al. (2000b) Delamater et al. (2001) Delamater et al. (2001) Kaplan et al. (dalam Landel-Graham et al., 2003) Delamater et al. (2001) Delamater et al. (2001) Beeney et al. (dalam Landel-Graham et al., 2003) Glasgow et al. (2001) Cox & Gonder-Frederick, 1992) Glasgow et al. (2001)
Seperti telah disebutkan di depan, banyak penelitian menemukan bahwa pasien diabetes mengalami depresi (Goldney, Phillips, Fisher, & Wilson, 2004;
19
Lustman, Griffth, Gavard, & Clouse; Kovacs, Goldston, Obrosky, & Bonar, dalam Wysocki & Buckloch, 2004). Penelitian-penelitian juga menemukan faktor-faktor yang memengaruhi depresi pada pasien diabetes, yaitu efikasi diri (Grey, Sullivan-Bolyai, Boland, Yu & Tamborlane, serta Grey & Boland et al., dalam Howells, 2002; Padgett, 1991), ketegaran/hardiness dan dukungan sosial (Listiana, 2005), dukungan sosial (Connell et al., 1994; Dewi, 2011; Listiana, 2005; Skinner & Hampson, 1998), dan expressed-emotion (Wearden et al., 2000a, 2000b). Pada penelitian disertasi ini kontribusi efikasi diri, dukungan sosial, dan expressed-emotion terhadap depresi juga dilihat. Berdasarkan kajian faktor-faktor yang memengaruhi manajemen diri diabetes dan faktor-faktor yang memengaruhi depresi tersebut di depan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap manajemen diri dan faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap depresi. Penelitian disertasi ini menggunakan desain survei cross-sectional, yang bersifat korelasional (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Dengan demikian dalam penelitian ini, diuji hubungan secara langsung efikasi diri, dukungan sosial, expressed-emotion, dan depresi dengan manajemen diri dan hubungan langsung efikasi diri, dukungan sosial, dan expressed-emotion terhadap depresi. Berdasarkan pertimbangan adanya pengaruh langsung langsung efikasi diri, dukungan sosial, expressed-emotion terhadap depresi dan pengaruh langsung depresi terhadap manajemen diri diabetes, maka peneliti meletakkan variabel depresi sebagai mediator. Dengan demikian dalam disertasi ini diuji pula hubungan tidak langsung antara efikasi diri, dukungan sosial, dan expressed-emotion dengan manajemen diri diabetes melalui depresi. Selain faktor-faktor psikososial yang memengaruhi manajemen diri diabetes tersebut, ada aspek lain yang perlu diperhatikan. Sundberg, Winebarger, dan Taplin (2002) menyatakan bahwa seseorang bersedia
20
mengikuti petunjuk medik dipengaruhi antara lain oleh usia dan jenis kelamin. Misalnya, remaja kurang patuh (catatan: Sundberg et al. menggunakan kata kepatuhan atau adherensi) untuk mengikuti diet atau menyuntik insulin bagi remaja penyandang diabetes yang tergantung insulin. Pada usia lansia, misal 75 tahun ke atas, ketidak patuhan kemungkinan karena pasien lupa dengan petunjuk yang sudah diberikan pihak medik. Contoh lain, wanita di Amerika (dalam Sundberg et al., 2002) kurang mematuhi petunjuk (misal meminum obat penurun kadar gula darah), yang diyakini akan menaikkan berat badan. Faktor lain yang peneliti duga memengaruhi manajemen diri yaitu lama sakit. Sebagai penyakit kronis, pasien akan melakukan manajemen diri diabetes secara terusmenerus. Oleh karena itu peneliti menduga lama sakit akan memengaruhi manajemen diri yang dilakukan. Penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan adanya penggunaan jenis pengobatan yang berbeda pada pasien diabetes, yaitu obat oral dan insulin. Oleh karena itu aspek usia, jenis kelamin, lama sakit, serta jenis pengobatan diperhatikan dalam analisis data.
3.
Permasalahan Teoretik yang Mendasari Manajemen Diri Diabetes Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan perilaku sehat.
Teori-teori tersebut antara lain Social Cognitive Theory (SCT) dari Bandura, The Health Belief Model (HBM), The Theory of Reasoned Action (TRA) dan The Theory of Planned Behavior (TPB), dan The Health Action Process Approach (HAPA). Apabila dibandingkan antara teori satu dengan teori lainnya, terjadinya perilaku sehat dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: SCT memandang faktor perilaku, personal dan lingkungan saling memengaruhi (Bandura, 1989); HBM lebih fokus melihat bahwa perilaku terjadi karena keyakinan seseorang
21
tentang beratnya penyakit yang diterima dan kerentanan terhadap penyakit (Becker, dalam Doherty, James, & Roberts, 2000); TRA dan TPB fokus pada intensi (Ajzen, 1991); HAPA menekankan pentingnya ekspektasi terhadap hasil dan efikasi diri (dalam Doherty et al., 2000). Berdasarkan tulisan tersebut, menurut penulis, selain SCT, teori-teori lain lebih berfokus pada faktor personal sebagai faktor yang memengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu penulis memandang manajemen diri dalam penelitian ini lebih tepat dijelaskan dari sudut pandang SCT atau Teori Kognitif Sosial, karena lebih lengkap dalam memandang munculnya perilaku. Alasan lain menggunakan Teori Kognitif Sosial -yang memerhatikan unsur lingkungan- ,sebagai dasar penelitian disertasi ini yaitu bahwa sebagian besar proses manajemen diri diabetes dilakukan oleh pasien. Anderson dan Funnel (2002) menyatakan bahwa lebih dari 98% manajemen diri tersebut dilakukan oleh pasien. Artinya, ada kemungkinan pasien melakukan manajemen diri ketika berada di tengah keluarga bukan dalam situasi perawatan di Rumah Sakit. Penelitian Hasanat (2008) pada keluarga pasien diabetes menunjukkan bahwa keluarga (anak, suami/isteri) berperan dalam manajemen diri pasien. Oleh karena itu dengan berlandaskan Teori Kognitif Sosial penelitian disertasi ini memperhatikan unsur lingkungan, antara lain keluarga dalam mendampingi pasien melakukan manajemen diri. Menurut Bandura (1989), faktor perilaku, kognisi, dan faktor personal lainnya, serta faktor lingkungan saling memengaruhi satu sama lain. Kekuatan Teori Kognitif Sosial terletak pada kelengkapan faktor yang membangun perilaku, yaitu faktor personal dan lingkungan, bukan hanya dari satu faktor personal atau lingkungan saja. Selain itu, faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling berinteraksi dan bahkan saling memengaruhi untuk memunculkan perilaku. Artinya, faktor personal dapat memengaruhi perilaku dan lingkungan
22
dan sebaliknya faktor perilaku dan lingkungan memengaruhi personal. Selain kekuatan tersebut, terdapat kelemahan Teori Kognitif Sosial. Salah satu kritik terhadap Teori Kognitif Sosial mengatakan bahwa teori tersebut kurang mempertimbangkan
emosi
(http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-Modules/SB/
SB721-Models/SB721-Models 5.html). Oleh karena itu, dalam penelitian disertasi ini melibatkan variabel depresi, sebagai salah satu bentuk emosi. Berdasarkan Teori Kognitif Sosial ini, dapat dilihat bahwa manajemen diri diabetes (perilaku) dipengaruhi oleh faktor personal (efikasi diri; depresi), serta faktor lingkungan (dukungan sosial; expressed-emotion keluarga), atau dalam penelitian ini disebut faktor psikososial. Dengan demikian faktor psikososial yang akan diteliti adalah efikasi diri, depresi, dukungan sosial dan expressed-emotion keluarga. Dukungan sosial dan expressed-emotion keluarga diukur dari persepsi pasien diabetes, yaitu persepsi terhadap dukungan sosial dan persepsi terhadap ekspresi emosi keluarga. Variabel efikasi diri, dukungan sosial, dan depresi merupakan variabel yang sering diteliti pengaruhnya terhadap manajemen diri diabetes (lihat Tabel 1). Berbeda dengan variabel-variabel tersebut, sepanjang pengetahuan penulis, expressed-emotion merupakan variabel yang belum banyak diteliti dalam kaitannya dengan manajemen diri diabetes. Expressed-emotion merupakan konsep yang dikembangkan sejak tahun 1960 untuk menjelaskan dan memprediksi penyakit mental dan fisik dalam berbagai budaya (Bhugra & McKenzie, 2003). Hasil metaanalisis 27 penelitian dengan subjek skizofrenia menunjukkan bahwa EE merupakan prediktor yang signifikan dan kuat terhadap kambuhnya skizofrenia di negara Barat (Bhugra & McKenzie, 2003). Penelitian di Inggris pada keluarga Asia menunjukkan bahwa EE tinggi pada keluarga bukan merupakan prediktor kambuhnya skizofrenia (Bhugra & McKenzie, 2003). Meskipun contoh yang disebutkan merupakan penelitian pada skizofrenia, bukan
23
pada diabetes, namun berdasarkan lamanya sakit, diabetes dapat disejajarkan dengan skizofrenia, yaitu sebagai penyakit kronik. Artinya, hasil penelitian expressed-emotion pada pasien skizofrenia dapat digunakan untuk memprediksi hasil penelitian pada pasien diabetes. Telah disebutkan di depan, penelitian awal Hasanat (2010) menemukan bahwa EE dari keluarga mempunyai kontribusi positif terhadap manajemen diri diabetes. Dengan demikian, ketika variabel EE dilibatkan dalam penelitian ini, terdapat hasil penelitian baru yang dapat menjelaskan kontribusi EE terhadap manajemen diri pada pasien diabetes Tipe II di Indonesia.
B.
Perumusan Masalah
Diabetes, sebagai salah satu penyakit kronik, memerlukan pengelolaan agar tidak terjadi komplikasi. Pengelolaan ini dikenal dengan istilah manajemen diri diabetes, yang terdiri dari pengobatan, diet, olahraga dan pemantauan kadar glukosa dalam darah. Manajemen diri ini lebih kuat untuk dilakukan oleh pasien diabetes Tipe II daripada Tipe I, mengingat munculnya diabetes Tipe II lebih banyak dipicu oleh gaya hidup, Kondisi pasien diabetes Tipe II akan lebih baik apabila pasien mengubah gaya hidupnya melalui manajemen diri. Manajemen diri diabetes yang dilakukan pasien dipengaruhi oleh faktor psikososial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diteliti faktor-faktor psikososial yang mempunyai kontribusi terhadap manajemen diri diabetes Tipe II. Faktorfaktor psikososial yang diteliti yaitu efikasi diri, depresi, dukungan sosial dan expressed-emotion. Dengan demikian muncul pertanyaan: apakah faktor psikososial yang diteliti mempunyai kontribusi terhadap manajemen diri diabetes? Seberapa besar kontribusi masing-masing faktor psikososial tersebut terhadap manajemen diri diabetes? Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut
24
terjawab, maka akan tersusun sebuah model manajemen diri diabetes dengan mempertimbangkan faktor psikososial yang mempunyai kontribusi terhadap manajemen diri diabetes tersebut.
C.
Tujuan
Penelitian ini dengan tema utama manajemen diri pada pasien diabetes dilakukan sebagai bagian dari usaha untuk mengetahui sebagian tema tentang manajemen diri pada pasien penyakit kronik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor psikososial yang berkontribusi terhadap manajemen diri diabetes pada pasien diabetes Tipe II secara empirik. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui model kontribusi expressed-emotion terhadap manajemen diri pada pasien diabetes Tipe II di Indonesia.
D.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teoretik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu,
terutama
pengetahuan
di
Psikologi bidang
Klinis-Kesehatan, Psikologi
serta
Kesehatan.
menambah
Penelitian
ini
khazanah sekaligus
menunjukkan peran nyata Psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya dalam manajemen diabetes. 2. Praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi kepada tim medik dan edukator diabetes pentingnya memperhatikan faktor psikososial pasien dalam membantu pasien mengelola penyakitnya. Selain itu
25
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi bagi pasien diabetes dalam mengelola penyakitnya.
E.
Keaslian Penelitian
Berikut ini penelitian-penelitian manajemen diri yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya: 1.
Disertasi Skarbek (2006) dengan judul “psychosocial predictors of self-care
behaviors in type 2 diabetes mellitus patients: analysis of social support, selfefficacy, and depression”, menggunakan istilah self-care (perawatan diri) secara bergantian dengan self-management (manajemen diri). Tujuan dari penelitian yang dilakukan Skarbek (2006) yaitu untuk menguji peran dukungan sosial, efikasi diri dan depresi dalam perilaku perawatan diri pasien diabetes Tipe II. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kuantitatif.
Penelitian ini juga
menggunakan tiga variabel tersebut dan menggunakan pendekatan kuantitatif, namun menambah satu variabel, yaitu expressed-emotion. Penambahan variabel EE ini menjadi penting artinya dalam penelitian ini, mengingat dalam hasil penelitian awal Hasanat (2010) tentang EE yang telah disebutkan di depan menunjukkan perbedaan dengan temuan penelitian di negara Barat. Pada penelitian Hasanat tersebut ditemukan bahwa keterlibatan yang berlebihan dari keluarga terhadap pasien diabetes, berupa perasaan sangat khawatir, dimaknai oleh pasien sebagai bentuk perhatian keluarga kepadanya. Di negara Barat (Bughra & McKenzie, 2003), keterlibatan keluarga yang berlebihan dianggap sebagai patologis. Oleh karena itu penelitian dalam disertasi ini diharapkan menghasilkan
temuan baru tentang EE pada subjek
pasien diabetes di Indonesia. Pada penelitian ini, dukungan sosial tidak dibedakan menjadi dukungan sosial positif dan negatif seperti pada penelitian Skarbek (2006), namun terdiri
26
beberapa jenis dukungan sosial, yaitu dukungan informasi, emosional, penilaian dan instrumental, serta terbagi sumber dukungan sosial yang berasal dari keluarga/pasangan, teman dan sesama pasien, serta dari dokter dan perawat. 2. Disertasi Xu (2005) dengan judul “understanding the factors influencing diabetes self-management in Chinese people with type 2 diabetes using structural equation modeling”, bertujuan untuk menguji sebuah model yang menggambarkan pengaruh faktor individu dan lingkungan pada manajemen diri diabetes dengan menggunakan analisis structural equation modeling (SEM). Xu (2005) menyamakan istilah self-management dengan self-care. Faktor individu yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu pengetahuan, kepercayaan terhadap tritmen, dan efikasi diri khusus diabetes. Faktor lingkungan yang digunakan yaitu dukungan sosial dan komunikasi antara dokter dengan pasien. Analisis yang digunakan dalam disertasi ini menggunakan analisis jalur untuk menguji faktor-faktor psikososial yang berkontribusi terhadap manajemen diri diabetes. Analisis jalur mempunyai fungsi yang sama dengan analisis SEM. Analisis jalur dapat menguji beberapa variabel eksogen dan endogen sekaligus, sehingga memungkinkan untuk menguji variabel mediator atau intervening/ antara. Analisis jalur juga dapat digunakan untuk mengukur hubungan langsung antar variabel maupun hubungan tidak langsung (Ghozali, 2008; Maruyama, 1998). Perbedaannya yaitu pada analisis dengan SEM memasukkan kesalahan pengukuran (measurement error) pada model, sedangkan pada analisis jalur tidak memasukkan kesalahan pengukuran ini. Variabel yang digunakan dalam penelitian disertasi ini berbeda dengan Xu (2005). Pada penelitian disertasi ini, efikasi diri dan depresi merupakan faktor individu atau personal, sedangkan dukungan sosial, expressed-emotion keluarga terhadap pasien, merupakan faktor lingkungan.
27
2.
Tesis Merrill (2008), dengan judul “perceived spousal criticism, self-
efficacy, and adherence to diet and exercise self-care behaviors in adults with type 2 diabetes”, meneliti pengaruh kritik pasangan, efikasi diri terhadap kepatuhan diet dan olah raga. Kritik pasangan diukur dengan empat macam pengukuran. Berbeda dengan penelitian tersebut, disertasi ini menguji kontribusi expressed-emotion terhadap manajemen diri dan bukan kepatuhan. Selain itu expressed-emotion tidak hanya terbatas menggunakan ekspresi emosi berupa kritik pasangan, namun juga ekspresi lain yang berasal dari keluarga dekat pasien, yaitu berupa EOI (emotional over-involvement) atau keterlibatan berlebihan dan hostility (permusuhan), serta memasukkan warmth (kehangatan) dan positive remarks (ungkapan positif). 3.
Disertasi Rahim-Williams (2004), dengan judul “African American women
with type 2 diabetes: Understanding self-management”, merupakan disertasi dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian tersebut penulisan manajemen diri (self-management) secara bergantian digunakan secara bersamaan dengan self-care atau perawatan diri. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran cara wanita keturunan campuran Afrika-Amerika dalam mengelola dan memahami
penyakitnya.
Pengumpulan
data
dalam
penelitian
tersebut
menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan alat ukur berupa SelfManagement Survey. Tema dan fokus penelitian tersebut sama dengan penelitian dalam disertasi ini, yaitu manajemen diri diabetes, namun RahimWilliams ingin mengetahui bagaimana manajemen diri dilakukan oleh subjek, sedangkan
penelitian dalam disertasi ini meneliti faktor psikososial yang
berkontribusi terhadap manajemen diri. Pada penelitian Rahim-Williams tersebut alat ukur yang digunakan tidak melalui proses ujicoba. Pada penelitian ini semua alat ukur yang digunakan melalui proses validasi.
28
4.
Disertasi Chlewbowy (2002), yang berjudul “impact of social support, self-
efficacy, and outcome expectations on self-care behaviors and glycemic control in Caucasian and African-American adults with type 2 diabetes mellitus”, menguji hubungan variabel psikososial, yaitu dukungan sosial, efikasi diri, dan harapan terhadap hasil dengan perilaku perawatan diri diabetes dan kontrol glikemik. Persamaan dengan
penelitian ini adalah penggunaan dua variabel
dukungan sosial dan efikasi diri. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan disertasi ini adalah pada penelitian tersebut menggunakan istilah perawatan diri, pada penelitian ini menggunakan istilah manajemen diri. Selain itu Chlewbowy menggunakan variabel harapan terhadap hasil, sedangkan
penelitian ini
memasukkan variabel depresi dan expressed-emotion. 5.
Tesis Ayusmi (2008) berjudul “pelatihan manajemen stres untuk
meningkatkan manajemen diri diabetes pada penderita diabetes mellitus tipe 2” , menguji pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap peningkatan manajemen diri. Sama dengan penelitian dalam disertasi ini, penelitian Ayusmi menggunakan variabel dependen manajemen diri diabetes. Perbedaan kedua penelitian itu yaitu, pada penelitian disertasi ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dan menggunakan variabel independen efikasi diri, dukungan sosial, expressedemotion,
dan
depresi,
sedangkan
penelitian
Ayusmi
(2008)
variabel
independennya adalah pelatihan manajemen stres dan metode yang dilakukan berupa metode eksperimen. 6.
Tesis Budiyani (2010) dengan judul “pelatihan manajemen diri untuk
meningkatkan kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe II” menguji pengaruh pelatihan manajemen diri untuk meningkatkan kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe II. Variabel independen yang digunakan Budiyani (2010) adalah pelatihan manajemen diri, sedangkan disertasi ini menggunakan manajemen diri sebagai variabel dependen. Metode penelitian yang digunakan
29
oleh Budiyani (2010) yaitu metode eksperimen. Baik Budiyani maupun disertasi ini berpijak pada Teori Kognitif Sosial. 7.
Tesis Ningrum, R.P. (2011) meneliti peran persepsi sakit dan strategi
koping terhadap manajemen diri penyandang diabetes mellitus tipe 2. Persamaan penelitian Ningrum (2011) dengan disertasi ini ada pada variabel dependen, yaitu manajemen diri, namun berbeda pada variabel independen yang digunakan. Ningrum menggunakan peran sakit dan strategi koping sebagai variabel dependen, sedangkan disertasi ini meneliti efikasi diri, dukungan sosial, expressed- emotion, dan depresi. Metode penelitian yang digunakan sama, yaitu metode survei. 8.
Disertasi Donsu, J.D.T. (2014) meneliti peran faktor-faktor psikologis
terhadap depresi pada diabetes mellitus tipe-2 (DM-2). Kata “faktor-faktor psikologis” yang digunakan oleh Donsu (2014) mirip dengan yang digunakan dalam disertasi ini, yaitu “faktor-faktor psikososial”. Berbeda dengan Donsu (2014), yang menggunakan variabel depresi sebagai variabel dependen, disertasi ini menempatkan depresi sebagai salah satu variabel independen.
Ada beberapa catatan penulis terhadap karya ilmiah yang telah disebutkan dalam Keaslian Penelitian. Catatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada penelitian Rahim-Williams (2004), Rahim-Williams menggunakan konsep “The Cultural Construction and Explanatory Model of Health and Illness”, sedangkan Chlewboy (2002), Merril (2005), Skarbek (2006), Xu (2005), menyebut Teori Kognitif Sosial dari Bandura karena menggunakan variabel efikasi diri, yang berasal dari konsep Bandura. Namun demikian, Teori Kognitif Sosial tidak digunakan untuk menjelaskan konsep penelitian mereka secara utuh. Penelitian disertasi ini menggunakan landasan teori berdasarkan Teori Kognitif Sosial dari Bandura (1986, 1989).
30
2. Dari sembilan karya ilmiah yang telah disebutkan, satu menggunakan metode kualitatif dan delapan lainnya menggunakan metode kuantitatif, dua diantaranya menggunakan metode eksperimen. Pada disertasi Rahim-Wiiliams (2004) jenis metode kualitatif yang digunakan adalah grounded. Tiga karya ilmiah (Merril, 2005; Chlewboy, 2002, Skarbek, 2006) menggunakan analisis statistik korelasi, t-test, untuk menganalisis variabel satu per satu. Tiga tesis lainnya, yaitu Ayuzmi (2008) menggunakan anava, Budiyani (2010) menggunakan analisis non parametrik untuk menguji perbedaan kepatuhan diet subjek sebelum dan sesudah pelatihan, dan Ningrum (2011) menggunakan analisis mediasi. Dua disertasi (Donsu, 2014; Xu, 2005) menggunakan Structural Equation Model (SEM). Pada penelitian disertasi ini analisis data menggunakan analisis jalur.