I. PENDAHULUAN Budidaya jamur pangan (edible mushroom) di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi di masyarakat. Semakin pesatnya perkembangan budidaya jamur ini, akan menghasilkan limbah yang melimpah, salah satunya yaitu limbah medium tanam jamur (baglog). Limbah ini merupakan hasil samping produksi yang tidak digunakan lagi, karena tidak dapat memberikan pertumbuhan tubuh buah jamur secara optimal. Setiawan et al. (2004), menyatakan bahwa limbah medium tanam jamur ini belum dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar limbah tersebut dibakar atau dibiarkan menumpuk begitu saja. Hal ini dapat mengurangi nilai etika dan estetika lingkungan dan lebih jauh lagi dapat mengurangi lahan produktif. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah tersebut sebagai agen dekolorisasi limbah batik. Menurut Romsiyah (2012) dan Wulandari (2012), limbah medium tanam jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) mampu mendekolorisasi limbah batik sampai dengan 95,24% karena masih mengandung miselium jamur tersebut dan selulosa. Kandungan selulosa yang dimiliki berkisar 34,16 - 34,44%. Limbah medium tanam jamur yang diperoleh di Purwokerto tidak hanya dari limbah medium tanam jamur P. ostreatus namun, ada juga dari P. sajor-caju (jamur tiram abu-abu) dan Auricularia auricula (jamur kuping). Menurut Supriyanto (2009), ketiga jenis jamur tersebut termasuk dalam kelompok jamur pelapuk putih (white rot fungi) karena dapat mendegradasi bahan-bahan berlignoselulosa secara efisien dan membuat kayu menjadi lapuk dan meninggalkan warna putih. Barr dan Aust (1994), menyatakan bahwa ketiga jenis jamur tersebut mempunyai kemampuan untuk mendokolorisasi zat warna sintetik. Serbuk kayu yang digunakan sebagai bahan utama medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula sebagian besar komponennya
2 terdiri atas lignin dan selulosa. Penelitian ini perlu dilakukan karena limbah medium tanam jamur P. sajor-caju dan A. auricula masih mempunyai miselium dan selulosa sehingga limbah tersebut mempunyai potensi dalam mendekolorisasi limbah batik. Limbah medium tanam jamur P. sajor-caju dan A. auricula diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi dampak negatif akibat pembuangan limbah batik ke perairan. Adanya pembuangan limbah batik ke perairan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap organisme yang terdapat di badan air karena mengandung zat toksik dan dapat masuk ke rantai makanan, serta dapat merusak nilai estetika badan air, yaitu mengakibatkan perubahan warna air dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah batik dapat bersifat toksik karena memiliki kandungan pewarna, biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solids (TSS), minyak, nitrat, dan logam berat serta nilai pH yang melebihi ambang baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah (Tabel 1.1). Agustina et al. (2011), menambahkan bahwa dampak negatif lain dari pembuangan limbah batik yaitu akan terjadi penurunan kualitas air yang ditunjukkan dengan meningkatnya kekeruhan air yang disebabkan adanya polusi zat warna, sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari ke dasar perairan yang dapat mengganggu keseimbangan proses fotosintesis, dan adanya efek mutagenik serta karsinogenik dari zat warna tersebut. Tabel 1.1 Karakteristik limbah cair industri batik No. Parameter Satuan Nilai Baku mutu *) 1. pH 5,8 6-9 2. Warna mg/L 185 50 3. BOD mg/L 1260 30 4. COD mg/L 3039,7 60 5. TSS mg/L 855 100 6. Nitrat mg/L 82,17 0,06 7. Logam Cr mg/L 2,0 0,0 8. Minyak/lemak mg/L 60,0 1,0 *) Baku mutu : Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. : 5/PERDA/2012
3 Prinsip pengolahan limbah batik yaitu untuk mengurangi kadar bahan pencemar (zat warna) yang terkandung dalam limbah batik, supaya memenuhi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah agar aman dibuang ke lingkungan. Menurut Awaludin et al. (2001), teknologi pengolahan limbah batik dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi maupun kombinasi dari ketiga proses tersebut. Pengolahan limbah batik secara fisika yaitu dengan koagulasi, sedimentasi, adsorbsi dengan menggunakan karbon aktif, silika, dan biomaterial. Pengolahan secara kimia antara lain degradasi warna dengan reaksi oksidasi, reaksi anaerob, dan reaksi fotokatalisis. Singh (2006) menambahkan bahwa perlakuan secara biologi adalah dengan menggunakan teknik biosorpsi menggunakan miselium jamur. Penelitian ini menerapkan teknologi pengolahan kombinasi antara biologi dan fisika, yaitu dengan menggunakan limbah medium tanam jamur P. sajor-caju dan A. auricula. Secara biologi yaitu dengan menggunakan miselium yang masih tersisa pada limbah medium tanam jamur tersebut, sedangkan secara fisika memanfaatkan selulosanya dalam proses adsorpsi. Beberapa alasan mengapa penelitian ini dilakukan adalah karena pemanfaatan limbah tersebut belum maksimal, teknologi yang digunakan mudah diaplikasikan, tidak membutuhkan banyak biaya dan karena limbah medium tanam jamur memilki kemampuan sebagai penyerap pewarna. Menurut Fazli et al. (2010), jamur pelapuk putih memiliki kemampuan dalam mendekolorisasi berbagai jenis pewarna azo. Jamur tersebut dapat hidup dan mempunyai daya toleransi yang tinggi pada lingkungan yang toksik. Mekanisme dekolorisasi limbah batik oleh miselium dapat dilakukan secara enzimatik dan non enzimatik. Proses dekolorisasi secara enzimatik yaitu miselium akan memproduksi enzim berupa lakase (Lac), lignin peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase (MnP) yang diekskresikan oleh hifa, sedangkan secara non enzimatik
4 penyerapan warna terjadi melalui dinding sel miselium (Awaludin et al., 2001). Komponen penyusun kayu yang terdapat di dalam limbah medium tanam jamur seperti selulosa juga dapat mendekolorisasi limbah batik. Menurut Mulyatna et al. (2003), bahan yang mengandung selulosa dapat menyerap zat warna dengan proses adsorbsi secara fisik melalui pori sorben. Hasil penelitian Suwarsa (1998), menunjukkan bahwa serbuk gergaji kayu yang mengandung selulosa dapat menyerap zat warna tekstil. Zat warna tekstil mengandung gugus-gugus yang dapat bereaksi dengan gugus OH pada selulosa sehingga zat warna dapat terikat pada adsorben. Berdasarkan penelitian Setiawan (2004), serbuk gergaji kayu mampu menyerap pewarna sebesar 30-36 mg/g. Kemampuan limbah medium tanam jamur dalam mendekolorisasi limbah batik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Purnama dan Setiati (2004), faktor yang dapat mempengaruhi daya adsorbsi dalam proses dekolorisasi limbah batik yaitu waktu kontak, pH, dan temperatur. Waktu kontak berpengaruh terhadap massa zat pewarna yang terserap pada sorben (limbah medium tanam jamur). Semakin lama waktu kontak, diasumsikan kontak antara sorben dengan zat pewarna akan berlangsung lama pula. Nilai pH dapat mempengaruhi daya adsorpsi karena pH mampu berinteraksi dengan gugus aktif adsorben. Suhu berpengaruh terhadap proses dekolorisasasi, karena kemampuan jamur dalam mendokolorisasi pewarna berada pada kisaran suhu tertentu. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula dengan waktu kontak yang berbeda mempunyai kemampuan dalam mendekolorisasi limbah batik.
5 2. Berapa lamakah waktu kontak optimum penggunaan limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula yang menghasilkan persentase dekolorisasi limbah batik tertinggi. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kemampuan penggunaan limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula dengan waktu kontak yang berbeda dalam mendekolorisasi limbah batik. 2. Mengetahui waktu kontak optimum pada penggunaan limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula yang menghasilkan persentase dekolorisasi limbah batik tertinggi. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai lama waktu kontak limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula terhadap dekolorisasi limbah batik. Hasil penelitian diharapkan dapat diaplikasikan oleh pengusaha industri batik, baik dalam skala kecil maupun skala besar dalam memafaatkan limbah medium tanam jamur sebagai agen dekolorisasi limbah batik. Pada akhirnya hal tersebut akan mengurangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan limbah batik maupun limbah medium tanam jamur. Menurut Setioningrum (2005), miselium membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hasil penelitian Wulandari (2012), waktu kontak optimum limbah medium tanam P. ostreatus dengan berat 25 g dalam 50 ml limbah batik jenis indigosol yang telah diencerkan dengan konsentrasi 20% adalah 60 jam menghasilkan persentase dekolorisasi sebesar 85,64%. Waktu kontak optimum hasil penelitian Theresia (2012), yaitu 72 jam dengan konsentrasi limbah batik 20% menghasilkan persentase dekolorisasi sebesar 90,45% (pada limbah batik jenis naphtol), dan 66,76% (pada limbah batik jenis indigosol green). Menurut
6 Kartikasari (2012), dengan berat limbah medium tanam 25 g dalam 75 ml dalam 20% limbah batik pada sistem inkubasi statis mampu mendekolorisasi sebesar 77,99%; sedangkan hasil penelitan Yulita (2013), dengan menggunakan miselium Penicillium sp. dari hasil isolasi limbah medium tanam P. ostreatus, mampu mendekolorisasi limbah batik murni (konsentrasi 100%) pada waktu 192 jam (8 hari) dengan persentase sebesar 99,01 %. Berdasarkan kerangka pemikiran, hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula dengan waktu kontak berbeda mampu mendekolorisasi limbah batik. 2. Penggunaan limbah medium tanam P. sajor-caju dan A. auricula dengan waktu kontak 168 jam pada limbah batik akan menghasilkan persentase dekolorisasi tertinggi.