BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Beribu-ribu tahun yang lalu manusia sudah menggunakan tumbuhan disekitar sebagai media pengobatan berbagai penyakit. Kini, tumbuhan obat merupakan tren yang tidak dapat diabaikan lagi. Banyaknya produk-produk herbal yang beredar mengajak masyarakat untuk kembali ke alam. Ajakan tersebut juga diikuti dengan kampanye obat herbal yang lebih aman untuk dikonsumsi dibandingkan obat sintetik. Salah satu tumbuhan obat yang banyak tumbuh di Indonesia adalah Eupatorium odoratum, anggota suku Asteraceae. Tumbuhan ini memiliki kandungan minyak atsiri yang telah diteliti memiliki aktivitas sebagai insektisida, pengusir serangga, dan antibakteri. Studi sebelumnya mengungkapkan bahwa minyak atsiri hasil distilasi air mengandung lebih dari 50 komponen. Alfa pinendan beta pinenmerupakan komponen yang paling banyak, yaitu dengan persentase jumlah sebanyak 42,2% dan 10,6% (Owolabi dkk., 2010). Pada penelitian ini,minyak atsiri daun kering E.odoratum diambil dengan dua metode distilasi yang berbeda, yaitu distilasi uap dan distilasi air. Menurut Ketaren (1985), distilasi air merupakan metode distilasi yang sederhana untuk mengambil minyak atsiri, namun minyak atsirinya memiliki rendemen dan mutu minyak atsiri yang rendah. Minyak atsiri hasil distilasi air kebanyakan memiliki rendemen dan mutu yang relatif rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya
1
2
proses hidrolisis dan adanya konstituen minyak yang bertitik didih tinggi tertinggal dalam air pada ketel. Distilasi uap dapat menghasilkan minyak atsiri dengan rendemen dan mutu yang lebih tinggi dibandingkan distilasi air dan distilasi uap-air.Adanya perbedaan rendemen dan mutu minyak atsiri pada distilasi air dan distilasi uap mendasari pemilihan metode distilasi pada penelitian. Minyak atsiri hasil distilasiakan dilihat dan dibandingkan perbedaan kadar dan jenis komponen penyusun minyak atsiri kedua metode tersebut. Perbedaan jenis komponen minyak atsiri hasil distilasi ditentukan dengan penetapan profil kromatografi gas spektroskopi massa dan profil kromatografi lapis tipis (KLT). Selain simplisia, bahan baku obat tradisional dapat berupa ekstrak. Untuk dapat memperoleh kualitas obat tradisional yang baik, dibutuhkan suatu ekstrak sebagai bahan baku obat yang terstandar. Ekstrak yang terstandar harus memiliki kualitas, keamanan serta efikasi yang baik, sehingga dapat memberikan efek terapeutik serta aman untuk dikonsumsi. Dalam memperoleh ekstrak yang terstandar diperlukan proses standardisasi, yaitupenetapan kualitas dan identitas tumbuhan yang tidak dipalsukan ataupun mengandung kontaminan sehingga tidak mengurangi kemampuan zat aktif pada tumbuhan tersebut (Sahil dkk., 2011). Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan stabilitas sebagai produk kefarmasian. Dengan penggunaan bahan terstandar, maka dapat dijamin bahwa produk akhir (obat
3
maupun ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajek) dan ditetapkan terlebih dahulu (Anonim, 2000). Proses standardisasi menggunakan parameter-parameter dalam menjamin keajekan produk yang dihasilkan. Salah satu parameter standardisasi yaitu parameter kandungan kimia pada tanaman.Kandungan minyak atsiri pada daun E. odoratum tidak dapat dijadikan sebagai parameter standardisasi kandungan kimia pada ekstrak. Hal inidikarenakan adanya proses ekstraksi diikuti dengan penguapan yang menyebabkan kandungan minyak atsiri menguap. Oleh karena itu, perlu dicari kandungan lain dalam daun E. odoratum, sehingga dapat digunakan sebagai parameter standardisasi ekstrak. Selain minyak atsiri, daun E. odoratum
dilaporkan kaya akan flavonoid, seperti sinensetin, sakuranetin,
padmatin,
kaempferol,
salvagenin,
isosakuranetin,
kuersetin,
ramnetin,
tamariksetin, kaempferid, dan ombuin (Rungnapa, 2003 cit. Hasnawati, 2008).Pisutthanan (2006) juga menyatakan bahwa fraksinasi menggunakan kromatografi kolom ekstrak metanol-diklorometan didapatkan beberapa jenis flavonoid, antara lain isosakuranetin, sakuranetin, sakuranetin-4’metil eter, persikogenin, aromadendrin-7,4’-dimetil eter, akasetin, ombuin, odoratin serta 6 flavonoid baru yang belum ada pada penelitian sebelumnya. Kandungan flavonoid dihitung sebagai kadar flavonoid total menggunakan metode Chang (2002). Oleh karena itu, kadar flavonoid total dijadikan sebagai parameter kandungan kimia ekstrak daun E. odoratum. Ekstraksi merupakan proses penarikan zat yang dapat larut dari bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses penyarian yang tepat
4
akanmenghasilkan ekstrak dengan kadar zat aktif tinggi, namun dengan senyawa pengotor yang rendah. Senyawa pengotor atau zat ballast tidak terkait dengan bioaktivitas dan efek farmakologinya, sehingga ekstraksi yang tepat akan memberikan bioaktivitas dan efek farmakologi yang baik karena zat aktifnya tinggi (Pramono, 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini juga dilakukan penetapan kadar flavonoid total dengan melihat adanya perbedaan ekivalen flavonoid total antara simplisia dan ekstrak, sehingga dapat diketahui efektivitas penyarian zat aktif berupa flavonoid dengan metode dan pelarut yang ditentukan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan: 1. Apakah terdapat perbedaan kadar dan jenis komponen penyusun minyak atsiri E. odoratum dari sampel yang telah dikeringkan dengan metode distilasi air dan distilasi uap? 2. Apakah terdapat perbedaan kadar ekivalen flavonoid total antara simplisia dan ekstrak?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui perbedaan kadar dan jenis komponen penyusun minyak atsiri dengan perlakuan dua metode distilasi yang berbeda dengan melihat profil kromatografi gas-spektrofotometri massa dan profil kromatografi lapis tipis.
5
2. Mengetahui perbedaan kadar ekivalen flavonoid total pada simplisia dan ekstrak E. odoratumyang dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis.
D. Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya cara distilasi dan proses pembuatan ekstrak yang optimal akan dapat dijadikan pedoman untuk melakukan scaling up pada aras industri.
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tumbuhan a. Nama tumbuhan : Eupatorium odoratum L. b. Klasifikasi Divisi
: Tracheophyta
Anak divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Eupatorium
Jenis
: Eupatorium odoratum L. (Lawrence, 1958 cit. Hasnawati,
2008) c. Sinonim Chromolaena odorata (L.) R.M. King & H. Rob, Eupatorium conyzoides Vahl (Quattrocchi, 2012).
6
d. Nama Daerah Kirinyu (Anonim2, 2013) e. Pemerian Simplisia Semak, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan, di pulau Jawa dinaturalisasi di bagian barat.Dapat ditemui pada 50-1000 m dpa dan di ladang padi kering.Kepala pada ibu tangkai bunga sebesar 1-2 cm, terdiri atas 20-35 bunga. Terdapat daun-daun pembalut, mahkota bunga berwarna ungu cerah, kepala pada ujung bunga cawan memiliki panjang 6-15 cm. Mahkota bunga berbentuk corong (funnel-shaped) berukuran 5 mm, rambut papus berwarna putih dengan ukuran 5 mm. Batang halus, bergaris linier, bentuk daun seperti segitiga memanjang, agak bulat dan memiliki pangkal seperti bangun segitiga terbalik. Ujung daun runcing atau tumpul, bergigi, permukaan atas dan bawah berambut.Permukaan bawah daun memiliki warna yang lebih muda daripada permukaan atas daun dan berkelenjar. Daun berukuran : panjang sebesar 7,5 cm hingga 10 cm dan lebar sebesar 2,5 cm hingga 5 cm (Backer dan Van den Brink, 1968). f. Kandungan kimia Data analisis GC-MS terhadap serbuk kering E. odoratum menunjukkan bahwa lebih dari 50 senyawa yang teridentifikasi.Hasil identifikasi GC-MS menunjukkan bahwaalfa pinen dan beta pinen merupakan komponen yang paling banyak, yaitu dengan persentase jumlah sebanyak 42,2% dan 10,6% (Owolabi dkk., 2010). Studi yang dilakukan oleh Pisutthanan (2006) menyatakan bahwa dari fraksinasi menggunakan kromatografi kolom ekstrak metanol-diklorometan
7
didapatkan beberapa jenis flavonoid,
yaitu: isosakuranetin, sakuranetin,
sakuranetin-4’metil eter, persikogenin, aromadendrin-7,4’-dimetil eter, akasetin, ombuin, odoratin serta 6 flavonoid baru yang belum ada pada penelitian sebelumnya. g. Aktivitas biologi E.odoratum memiliki aktivitas hemolitik, anti-inflamasi, antioksidan, imunostimulan dan antimikroba (Anyasordkk., 2011). Daun mengandung minyak atsiri yang telah digunakan sebagai insektisida, ovisida, dan larvasida (Felicien dkk., 2012). 2. Minyak atsiri Minyak atsiri merupakan zat berbau yang ditemukan pada beberapa bagian dalam tumbuhan.Minyak atsiri menguap ketika berinteraksi langsung dengan udara atau suhu ruangan, sehingga sering disebut minyak menguap. Minyak atsiri biasanya tidak berwarna, terutama jika dalam kondisi segar, namun dalam jangka panjang minyak atsiri dapat teroksidasi dan warnanya menjadi lebih gelap. Minyak atsiri tersimpan dalam organ pada tumbuhan seperti rambut glandula, sel parenkim yang termodifikasi dan lainnya. Kandungan kimia minyak atsiri terbagi menjadi dua berdasarkan asal biosintesisnya, yaitu turunan terpen yang terbentuk lewat jalur asetat-asam mevalonat dan senyawa aromatik yang terbentuk lewat jalur asam sikimat-fenilpropanoid (Claus dkk., 1988). Kandungan terpen dalam minyak atsiri terbagi menjadi dua golongan, yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang dibedakan atas rentang titik didihnya. Monoterpen menguap pada suhu 140-180ºC, sedangkan seskuiterpen menguap
8
pada suhu lebih dari 200ºC. Monoterpen maupun seskuiterpen dapat dibagimenjadi tiga kelompok kecil berdasarkan strukturnya, yaitu asiklik, monosiklik dan bisiklik (Harborne, 1973). 3. Distilasi Distilasi atau penyulingan merupakan proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air (Ketaren, 1985). Proses distilasi terbagi menjadi tiga, yaitu distilasi dengan: air, uap, dan uap-air. Pada distilasi dengan air, bahan yang disuling diletakkan dalam ketel suling dan direndam dengan air, baru dilakukan distilasi. Distilasi air memiliki keuntungan dalam penggunaannya, yaitu memiliki alat yang cukup sederhana dan baik untuk bahan yang menggumpal jika langsung kena uap, seperti bubuk almond, bunga mawar, bunga jeruk (Mulyani, 2012). Distilasi air memiliki beberapa kelemahan, yaitu pengekstraksian minyak atsiri tidak dapat berlangsung dengan sempurna dan terjadinya hidrolisis pada senyawa yang memiliki gugus ester. Minyak atsiri hasil distilasi air kebanyakan memiliki rendemen dan mutu yang relatif rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses hidrolisis dan adanya konstituen minyak yang bertitik didih tinggi tertinggal dalam air pada ketel (Ketaren, 1985). Distilasi uap dan air merupakan metode distilasi yang menggunakan uap dari air. Bahan diletakkan di atas angsang dalam ketel, dan bagian bawah angsang diisi dengan air. Proses distilasi uap dan airini mirip dengan proses menanak nasi
9
dengan dandang (Mulyani, 2012). Keuntungan menggunakan distilasi uap dan air adalah kemungkinan terjadinya proses dekomposisi minyak (hidrolisis ester, polimerisasi, resinifikasi) lebih kecil dibandingkan distilasi air. Kelemahan menggunakan distilasi uap dan air adalah jumlah uap yang dibutuhkan cukup besar dan waktu penyulingan lebih lama. Uap dapat mengembun dan membasahi bahan yang disuling, sehingga dapat terjadi penggumpalan dan menyebabkan rendemen minyak atsiri yang lebih kecil (Ketaren, 1985). Distilasi uap menggunakan air sebagai sumber uap panas yang terdapat dalam boiler yang letaknya terpisah dari ketel penyuling. Pada distilasi ini, uap dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi bahan. Uap yang dihasilkan oleh boiler menjadikan pemanasan terhadap tanaman tidak lebih dari 100ºC, sehingga tidak terjadi degradasi senyawa akibat pemanasan (Handa dkk., 2008). Jika dibandingkan dengan dua metode distilasi lainnya, distilasi uap memiliki konstruksi yang lebih kuat, sehingga kebanyakan industri menggunakan distilasi uap dalam ekstraksi minyak atsiri pada tanaman. Distilasi uap akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendemen yang lebih tinggi dan mutu minyak yang lebih baik jika dibandingkan distilasi air dan distilasi uap-air (Ketaren, 1985). 4. Flavonoid a. Klasifikasi Flavonoid merupakan suatu kelompok besar senyawa polifenolik yang memiliki struktur benzopiron. Flavonoid merupakan hasil biosintesis melalui jalur fenilpropanoid. Gugus hidroksi pada flavonoid memiliki aktivitas antioksidan
10
dengan menangkap radikal bebas dan atau membentuk kelat dengan logam (Kumar dan Pandey, 2013). Flavonoid merupakan senyawa yang mempunyai struktur dasar C6-C3C6.Bagian C6 merupakan cincin benzen yang dihubungkan dengan tiga atom C yang merupakan rantai alifatik. Flavonoid secara kimiawi merupakan struktur yang memiliki 15 atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzen (cincin A dan B) yang dihubungkan dengan cincin heterosiklik piran (cincin C) (Kumar dan Pandey, 2013). Cincin diberi tanda A B C, atom karbon diberi nomor menurut sistem penomoran angka arab untuk cincin A dan C serta angka aksen untuk cincin B.
Gambar 1. Struktur dasar flavonoid (Kumar danPandey, 2013)
Penggolongan flavonoid secara umum didasarkan atas adanya substitusi pada cincin C, sedangkan berbagai jenis flavonoid dalam satu golongan dibedakan atas substitusi gugus tertentu pada cincin A dan cincin B. Flavonoid berada dalam bentuk aglikon, glikosida dan bentuk termetilasi. Bentuk dasar struktur flavonoid terdapat pada Gambar 1. Posisi substituen cincin B dibagi menjadi flavonoid (pada posisi 2) dan isoflavonoid (pada posisi 3). Flavonol dan flavanon memiliki cincin piron.Flavonol memiliki gugus hidroksi pada posisi 3 dan memiliki ikatan rangkap pada posisi C2-C3 (Kumar dan Pandey, 2013). Kerangka tipe-tipe flavonoid yang terdapat di alam terdapat pada Gambar 2.
11
Gambar 2. Tipe-tipe flavonoid (Mabry dkk., 1970)
b. Ekstraksi flavonoid Ekstraksi flavonoid yang berasal dari tumbuhan dapat dilakukan berdasarkan kelarutannya pada pelarut tertentu. Masing-masing golongan flavonoid memiliki kelarutan yang berbeda dalam berbagai pelarut, sehingga perlu diketahui sifat senyawa flavonoid pada tumbuhan untuk dapat memilih jenis pelarut apa yang cocok dalam proses ekstraksi. Kelarutan flavonoid pada suatu pelarut dipengaruhi oleh ada atau tidaknya gula yang membuat sifat flavonoid menjadi lebih polar, atau flavonoid yang tersubstitusi oleh alkil, yang menjadikan flavonoid tersebut lebih non polar. Solven yang sering digunakan dalam ekstraksi yaitu aseton, etanol dan metanol.
12
Solven tersebut dapat dikombinasikan dengan air, sehingga dapat diperoleh kombinasi dua atau lebih pelarut dalam proses ekstraksi (Bohm, 1998). Pelarut yang kurang polar seperti benzen, kloroform, eter digunakan untuk mengekstraksi aglikon yang kurang polar, seperti isoflavon, flavon, dan flavonol yang termetilasi pada gugus hidroksinya.Pelarut yang lebih polar digunakan untuk mengekstraksi glikosida flavonoid (Mabry dkk., 1975). c. Identifikasi flavonoid Flavonoid yang tidak tercampur dengan senyawa lain dapat dideteksi dengan uap amonia. Masing-masing golongan flavonoid akan memberikan warna yang spesifik pada uap amonia. Flavon, flavonol, dan xanton berwarna kuning kemerahan.Antosian berwarna merah biru, flavonon berwarna orange atau coklat.Salkon atau auron berwarna merah atau lembayung dalam suasana asam (Robinson, 1995).Flavonoid dapat membentuk kompleks dengan aluminium klorida menghasilkan warna kuning (Mabry dkk., 1970). d. Kegunaan flavonoid Flavonoid memiliki aktivitas sebagai antioksidan.Flavonoid menghambat enzim yang terlibat dalam ROS (Reactive Oxygen Species), yaitu monooksigenase mikrosomal, glutation S-transferase, dan suksinoksidase mitokondria.(Kumar dan Pandey, 2013). Beberapa senyawa flavonoid seperti katekin, apigenin, kuersetin, naringenin, rutin, dan venoruton juga dilaporkan memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor. Senyawa flavonoid lain seperti apigenin, galangin, flavon dan
13
flavonol glikosida, isoflavon, flavanon dan salkon juga telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri yang poten (Kumar dan Pandey, 2013). 5. Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut. Struktur kimia yang berbeda mempengaruhi kelarutan serta stabilitas suatu senyawa terhadap pemanasan, udara, dan cahaya. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia, pemilihan pelarut dan cara ekstraksi dapat dipilih (Anonim, 2000). Metode ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara dingin (maserasi dan perkolasi) dan cara panas (refluks, soxhlet, digesti, infus dan dekok) (Anonim, 2000). Maserasi adalah proses pengekstrasian simplisia dalam suatu wadah yang diberi pelarut dengan beberapa pengadukan pada suhu ruangan (kamar). Campuran simplisia dan pelarut dipisahkan, ampasnya akan mengendap dan maserat dipisahkan dari ampas melalui penyaringan. Maserasi kinetik berarti adanya pengadukan yang berulang (terus-menerus) (Anonim, 2000). Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan. Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Maserasi memerlukan pengadukan secara terus-menerus untuk meratakan konsentrasi larutan di luar simplisia, sehingga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut tetap terjaga (Anonim, 2000).
14
6. Parameter standar mutu ekstrak a. Parameter spesifik 1) Identitas ekstrak Identitas ekstrak meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan). Identitas ekstrak juga berarti suatu ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. 2) Organoleptik Pengenalan
awal
yang
sederhana
seobjektif
mungkin
dengan
menggunakan pancaindera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. b. Uji Kandungan Kimia Ekstrak 1) Pola kromatogram Memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (Kromatografi Lapis Tipis, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Gas). 2) Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetrik, dan gravimetrik dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya. Uji ini dilakukan untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.
15
3) Kadar kandungan kimia tertentu Adanya kandungan kimia berupa senyawa identitas atau senyawa kandungan utama atau kandungan kimia lain yang terdapat pada tumbuhan dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Uji kadar kandungan kimia tertentu menghasilkan data berupa kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi (Anonim, 2000). 7. Kromatografi a. Tinjauan umum Kromatografi merupakan metode yang telah terbukti untuk memisahkan sampel yang kompleks menjadi konstituennya dan merupakan prosedur penting dalam isolasi dan purifikasi sampel (Miller, 2005). Kromatografi dapat digunakan untuk kualitatif dan kuantitatif.Pemakaian kualitatif dapat mengungkapkan ada atau tidaknya senyawa tertentu dalam cuplikan. Selain itu, kromatografi kualitatif juga dapat memberi informasi mengenai kemurnian suatu campuran. Dalam melakukan analisis kualitatif, kromatografi menjadi sebuah metode yang dapat menganalisis senyawa dengan waktu yang singkat serta jumlah sampel yang sedikit (Gritter dkk., 1991). b. GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectrophotometry) Kromatografi gas merupakan metode yang digunakan untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran. Solut-solut yang mudah menguap serta stabil terhadap panas dalam kromatografi gas
bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu
16
kecepatan yang tergantung rasio distribusinya. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Fungsi sebuah detektor pada kromatografi yaitu melakukan perubahan sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik, yang akan sangat berguna untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah di antara fase diam dan fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007). c. Kromatografi lapis tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase diam yang merupakan penjerap. Fase diam yang sering digunakan adalah silika dan selulosa. Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dengan mengacu pada pustaka. Fase gerak yang digunakan dapat berupa tunggal ataupun campuran pelarut organik yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat optimal. Pada fase diam dilakukan penotolan sampel untuk selanjutnya dilakukan pengembangan atau elusi pada bejana kromatografi yang telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Setelah dilakukan elusi hingga batas tertentu akan terbentuk bercak hasil pemisahan yang biasanya tidak berwarna. Bercak tersebut dapat dideteksi dengan ditampakkan menggunakan pereaksi kimia ataupun sinar UV pada 254 atau 366 nm (Gandjar dan Rohman, 2007). Perilaku senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi tertentu dinyatakan dengan nilai Rf. Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh bercak dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pelarut (bagian atas fase gerak ketika bercak bergerak melalui lapisan, dan
17
setelah pengembangan selesai, merupakan tinggi yang dicapai oleh pelarut). NilaiRf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Gritter dkk., 1991). Kromatografi lapis tipis (KLT)merupakan metode yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui senyawa di dalam sampel. Jenis senyawa di dalam sampel dibandingkan dengan senyawa pembanding. Senyawa tersebut dapat dikatakan sama atau identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama (Gandjar dan Rohman, 2007). Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan alat densitometer.Prinsip kerja densitometer adalah dengan mengukur besar dan intensitas bercak secara langsung pada pelat KLT, yang terdiri atas alat mekanik yang menggerakkan lempeng atau alat pengukur sepanjang sumbu x dan sumbu y, perekam, atau komputer yang sesuai (Anonim, 2008). 8. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri
UV-Vis
merupakan
salah
satu
teknik
analisis
spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm). Spektrofotometer UV-Vis dapat menganalisis sampel berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel larutan, pada pelarut perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya: a. Pelarut tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna. b. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis. c. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis (Mulja dan Suharman, 1995).
18
Hukum Lambert-Beer menyatakan secara empiris hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan, dan hubungan antara intensitas dengan konsentrasi zat. A = a.b.c Keterangan : A
= Absorban
a
= Absorptivitas
b
= Tebal kuvet (cm)
c
= Konsentrasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Metode spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Namun jika digabung dengan metode lain seperti spektroskopi infra merah, spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk identifikasi suatu senyawa. Data yang diperoleh berupa panjang gelombang maksimal, intensitas, absorbansi. Dalam aspek kuantitatif, data spektra UV yang diperoleh yaitu absorbansi (Gandjar dan Rohman, 2007). 9. Spektroskopi UV/Visibel a. Tinjauan umum Teknik spektroskopi dapat melibatkan emisi atau absorpsi radiasi elektromagnetik pada kisaran energi yang luas yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Spektroskopi juga dapat memberikan informasi struktural analit dari level mayor sampai sekelumit (Gandjar dan Rohman, 2007).
19
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah sinar ultraviolet dan sinar tampak tergantung pada struktur elektronik molekul. Spektra ultraviolet dan spektra tampak senyawa-senyawa berkaitan erat dengan transisi-transisi di antara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antar orbital ikatan dan orbital anti-ikatan (Sastrohamidjojo, 1991). Transisi-transisi tersebut adalah: 1) Transisi sigma–sigmastar (-*) Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang terletak di daerah ultraviolet vakum (panjang gelombang kurang dari 180 nm), sehingga kurang bermanfaat untuk analisis dengan spektrofotometri UVVis. 2) Transisi n-sigmastar (n-*) Transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atomatom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang diperlukan untuk jenis transisi ini lebih kecil dibanding transisi ke *, sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih panjang yaitu sekitar 150-250 nm.Nilai absorptivitas molar yang menimbulkan transisi ini besarnya antara 1003000 Liter.cm-1.mol-1. Pengaruh pelarut pada jenis ini adalah pergeseran puncak serapan ke panjang gelombang yang lebih pendek. Pergeseran ini disebut dengan pergeseran biru (hipsokromik). 3) Transisi n–phistar (n-*) dan phi-phistar (-*) Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis ,karena menggunakan rentang panjang gelombang antara 200-700 nm, dan
20
panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer. Pada transisi n-* nilai absorptivitas molar antara 10-100 Liter.cm-1.mol-1, sedangkan pada transisi -* nilai absorptivitas molar antara 1000-10000 Liter.cm-1.mol-1(Gandjar dan Rohman, 2007). b. Spektroskopi UV-Vis untuk flavonoid Spektra UV-Vis untuk flavonoid meliputi dua pita absorbansi. Pita A berkisar antara 310-350 nm untuk flavon, sedangkan untuk flavonol berkisar antara 350-385 nm. Pita B, berkisar antara 250-290 nm.Flavanol memiliki absorbansi maksimum pada panjang gelombang 270-290 nm. Pada panjang gelombang tersebut, banyak senyawa fenolik yang terbaca serapannya, sehingga menjadikan deteksi tidak selektif. Spektra UV-Vis dapat digunakan sebagai alat indikator dalam karakterisasi cincin C (Tsimogiannisdkk., 2007). Tabel I. Rentangan serapan spektrum UV-sinar tampak flavonoid Pita II 250-280 250-280 250-280 245-275
275-295 230-270(kekuatan rendah) 230-270(kekuatan rendah) 270-280
Pita I 310-350 330-360 350-385 310-330 bahu kira-kira 320 puncak 300-330 bahu 340-390 380-430 465-560
Jenis flavonoid Flavon Flavonol (3-OH tersubstitusi) Flavonol (3-OH bebas) Isoflavon Isoflavon (5-deoksi-6,7-dioksigenasi) Flavanon dan dihidroflavonol Khalkon Auron Antosianidin dan antosianin
(Markham, 1988) Adanya penambahan gugus tertentu pada flavonoid dapat mengubah karakter serapannya, misalnya: 1) Efek hidroksilasi
21
Penambahan gugus OH pada cincin A pada flavon dan flavonol menghasilkan pergeseran batokromik pada serapan pita II dan sedikit efek pada serapan pita I. Apabila gugus 5-OH tidak ada pada flavon atau flavonol kedua pita tersebut terlihat mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek dibanding dengan flavon yang memiliki gugus 5-OH. Substitusi pada gugus hidroksi di posisi 3,5, dan 4’ mempunyai sedikit efek atau tidak sama sekali pada spektroskopi UV. 2) Efek metilasi dan glikosilasi Metilasi dan glikosilasi memberi efek pada serapan dari flavon dan flavonol. Jika gugus 3,5, dan 4’-OH pada flavon dan flavonol termetilasi atau terglikosilasi maka akan terjadi pergeseran hipsokromik (khususnya pada pita serapan I). 3) Efek asetilasi Senyawa fenolik karakteristik menunjukkan efek pergeseran batokromik dengan adanya basa. Natrium metoksida merupakan basa kuat dan mengionisasi gugus-gugus hidroksi pada flavonoid. Penambahan natrium metoksida pada flavon dan flavonol dalam metanol umumnya menghasilkan pergeseran batokromik yang besar pada serapan pita I sekitar 40-65 nm tanpa penurunan intensitas, menunjukkan adanya gugus 4’-OH bebas. Flavonol yang tidak mempunyai gugus 4’-OH bebas juga memberikan pergeseran batokromik sekitar 50-60 nm pada pita serapan I dengan penurunan intensitas.Dalam hal ini pergeseran disebabkan oleh adanya gugus 3-OH bebas. 4) Efek natrium asetat
22
Natrium asetat merupakan basa lemah yang mengionisasi gugus yang memiliki sifat asam, seperti gugus hidroksi pada posisi 3,7- dan 4’. Ionisasi pada gugus hidroksi posisi 7 mempengaruhi pita II (dimana ionisasi gugus hidroksi pada posisi 3 dan 4’ mempengaruhi pita I), sehingga natrium asetat sering digunakan secara spesifik dalam mendeteksi gugus hidroksi pada posisi 7. Flavon dan flavonol yang mengandung gugus hidroksi bebas pada posisi 7 menghasilkan pergeseran batokromik pada pita II sebesar 5-20 nm. 5) Efek aluminium klorida Flavon dan flavonol yang mempunyai gugus hidroksi pada posisi C3 dan C5 akan membentuk kompleks yang stabil dengan aluminium klorida. Kompleks tersebut tidak akan terdekomposisi dengan adanya asam. Kompleks yang terbentuk antara aluminium klorida dengan gugus ortodihidroksi pada cincin B bersifat tidak stabil, sehingga akan terjadi dekomposisi jika terdapat penambahan asam. Kompleks yang terbentuk antara aluminium klorida dengan C4-keto dan 3OH atau 5-OH tetap stabil dengan adanya asam (Mabry dkk., 1970).
F. Landasan Teori Minyak atsiri merupakan zat berbau yang ditemukan pada beberapa bagian dalam tumbuhan.Minyak atsiri menguap ketika berinteraksi langsung dengan udara atau temperatur ruangan, sehingga sering disebut minyak menguap (Claus dkk., 1988). Minyak atsiri hasil distilasi air kebanyakan memiliki rendemen dan mutu yang relatif rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses hidrolisis dan
23
adanya konstituen minyak yang bertitik didih tinggi tertinggal dalam air pada ketel. Distilasi uap akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendemen yang lebih tinggi dan mutu minyak yang lebih baik jika dibandingkan distilasi air dan distilasi uap-air (Ketaren, 1985). Data analisis GC-MS terhadap serbuk kering E. odoratum dengan metode distilasi air menunjukkan bahwa lebih dari 50 senyawa yang teridentifikasi. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa α-pinen dan β-pinen merupakan komponen yang paling banyak, yaitu dengan persentase jumlah sebanyak 42,2% dan 10,6% (Owolabi dkk., 2010). Ekstraksi merupakan proses penarikan zat yang dapat larut dari bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses penyarian yang tepat akan menghasilkan ekstrak dengan kadar zat aktif tinggi, namun dengan senyawa pengotor yang rendah. Senyawa pengotor atau zat ballast tidak terkait dengan bioaktivitas dan efek farmakologinya, sehingga ekstraksi yang tepat akan memberikan bioaktivitas dan efek farmakologi yang baik karena zat aktifnya tinggi (Pramono, 2012).
G. Hipotesis 1. Minyak atsiri daun E. odoratum yang dihasilkan dengan distilasi uap dan distilasi air memiliki kadar dan jenis komponen penyusun yang berbeda. 2. Ekstrak etanolik daun E. odoratum memiliki kadar ekivalen flavonoid total yang lebih besar dibanding simplisia.