BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rute oral telah menjadi rute utama penghantaran obat untuk pengobatan berbagai macam penyakit dan 50% pemberian obat secara oral mengalami hambatan karena lipofilisitas obat yang tinggi. Hampir 40% dari calon obat baru menunjukkan kelarutan yang rendah dalam air, yang mengarah ke bioavailabilitas yang rendah, tingginya variabilitas intra- dan inter-subjek, serta kurangnya proporsionalitas dosis (Mofawy, 2009). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat lipofil yaitu dibuat dalam bentuk formulasi dengan basis lipid, dengan penggabungan komponen lipofilik seperti minyak menjadi pembawa inert, dispersi surfaktan, emulsi, liposom, self-emulsifying formulations, self-nanoemulsifying dan self-microemulsifying. SNEDDS adalah metode penghantaran obat melalui pembuatan campuran isotropik minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang secara cepat membentuk nanoemulsi minyak dalam air dengan agitasi ringan (Suresh & Sharma, 2011). SNEDDS dengan segera akan membentuk nanoemulsi ketika mengalami kontak dengan cairan dalam saluran cerna (Mofawy, 2009). Komponen utama SNEDDS berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukkan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka, dan ko-surfaktan untuk membantu surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS dapat diberikan secara oral dalam kapsul gelatin lunak atau keras karena bersifat anhidrat, membentuk nanoemulsi dengan ukuran tetesan antara 20 dan 200 nm segera setelah dilarutkan. Bila dibandingkan dengan
1
2
emulsi, SNEDDS secara fisik lebih stabil dan memberikan peningkatan disolusi dan absorpsi (Wang dkk., 2009). Ketoprofen merupakan obat anti-peradangan kelompok nonstreoidal (NSAID). Ketoprofen merupakan obat anti-rematik yang dikenal memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik (Sherikar dkk., 2010). Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Ketoprofen termasuk dalam kategori Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II yaitu sangat permeabel terhadap membran biologis namun menunjukkan kelarutan rendah di dalam air (Shohin dkk., 2011; Keshavarao dkk., 2011), sehingga menjadi kendala dalam absorpsi ketoprofen karena efek terapi yang ditimbulkan juga kecil. Oleh karena itu, ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS untuk meningkatkan disolusinya. Dalam penelitian ini, dilakukan formulasi self nano-emulsifying drug delivery system ketoprofen dengan menggunakan asam oleat sebagai fase minyak, Tween 80 dan Tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai kosurfaktan dan dilakukan uji difusi untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap absorpsinya dan uji disolusi obat ketoprofen untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap kecepatan disolusinya.
3
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pengaruh kombinasi surfaktan Tween 20 dan Tween 80 terhadap jumlah ketoprofen terdifusi dan kecepatan difusinya melalui membran usus pada formula SNEDDS ketoprofen secara in vitro?
2.
Apakah formula SNEDDS ketoprofen optimum mampu meningkatkan kecepatan disolusi ketoprofen di cairan lambung buatan secara in vitro? C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi surfaktan Tween 20 dan Tween 80 terhadap jumlah ketoprofen terdifusi dan kecepatan difusinya melalui membran usus pada formula SNEDDS ketoprofen secara in vitro. 2.
Untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap kecepatan disolusi ketoprofen di cairan lambung buatan secara in vitro. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam formulasi
ketoprofen yang dapat meningkatkan disolusi ketoprofen sehingga dapat membantu meningkatkan efektivitas penggunaan ketoprofen.
4
E. Tinjauan Pustaka 1.
Ketoprofen
Gambar 1. Struktus kimia ketoprofen
Nama kimia ketoprofen adalah asam 2-(3-benzoilfenil) propionat dengan bobot molekul 254,3. Ketoprofen mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter, praktis tidak larut dalam air (Depkes., 1995). Ketoprofen memiliki permeabilitas yang tinggi, dapat terionisasi, namun memiliki kelarutan dalam air yang rendah (0,13 mg mL-1 pada 25ο°C), sehingga menjadi masalah pada formulasi, membatasi aplikasi terapeutik dan memperlama fase absorpsinya (Khaleel dkk., 2011; Costa dkk., 2006). Ketoprofen memiliki nilai log P sebesar 3,12 dan pKa sebesar 4,45 pada suhu 25oC. Kelarutan ketoprofen meningkat seiring dengan meningkatnya pH media (Shohin dkk., 2012). Nilai π΄1% 1 ππ untuk analisis secara spektrofotometri ketoprofen dalam larutan alkali pada panjang gelombang maksimum 262 nm adalah 647 sedangkan pada larutan asam pada panjang gelombang maksimum 260 nm adalah sebesar 665 (Moffat dkk., 2011). Dosis tunggal tertinggi yang dianjurkan untuk ketoprofen dalam bentuk sediaan oral padat immediate-release adalah 100 mg dan untuk bentuk sediaan extended-release 200 mg. Dosis maksimum tidak boleh melebihi 300 mg/hari. Kadar plasma tertinggi pada penggunaan peroral ketoprofen diperoleh setelah 1-2
5
jam penggunaan. Nilai bioavailabilitas absolut ketoprofen adalah 90% (Shohin dkk., 2011). Ketoprofen adalah NSAID setipe ibuprofen dengan sifat analgesik dan antipiretik. Ketoprofen digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dismenore, dan untuk mengurangi rasa sakit moderat. Ketoprofen memiliki efek farmakologis serupa dengan NSAID lainnya, dan ini dianggap berhubungan dengan penghambatan sintesis prostaglandin (Shohin dik., 2012). Prostaglandin memiliki peran penting dalam menjaga dan memperbaiki integritas mukosal gastrointestinal. Oleh karenanya, gangguan pada sintesis prostaglandin dapat mempengaruhi sistem pertahanan dan perbaikan mukosal. Ketoprofen merupakan obat asam lemah, dalam suasana asam di lambung akan tetap berada pada bentuk tak terionkan. Pada kondisi tersebut, ketoprofen akan berpindah melewati membran lipid dari sel epithelial, yang kemungkinan mengiritasi lambung saat obat dalam bentuk tak terionkan tersebut terjebak dalam sel (Halter dkk., 2001). 2.
Self Nano Emulsfying Drug Delivery System (SNEDDS) Berbagai macam strategi telah diterapkan untuk mengatasi masalah obat-
obat dengan kelarutan yang rendah termasuk penggabungan obat yang sukar larut dalam air dengan minyak, dispersi surfaktan, emulsi, mikroemulsi, nanoemulsi, self emulsifying, self nanoemulsifying (SNEDDS) dan liposom. SNEDDS merupakan campuran isotropik yang mengkombinasikan minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang secara cepat dan mudah membentuk nanoemulsi minyak dalam air saat kontak dengan cairan dalam saluran cerna dan membentuk nanoemulsi dengan ukuran droplet 20 β 200 nm (Suresh & Sharma, 2011).
6
SNEDDS mampu meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dan meningkatkan permeabilitas membrane karena adanya lipid dan surfaktan. Ukuran-ukuran globul yang kecil juga memperbesar luas permukaannya untuk pelepasan obat dan absorpsi. Selain itu, SNEDDS memiliki keuntungan lain yaitu stabilitas yang tinggi, efisiensi penjerapan obat 100%, dosis dan frekuensi dosis yang lebih kecil, dan potensi untuk memberikan perlindungan kepada obat terhadap degradasi dalam usus. SNEDDS lebih disukai dalam sistem nanoemulsi dalam air karena lebih stabil dan volume yang lebih kecil sehingga dimungkinkan untuk diisi dalam kapsul gelatin lunak maupun keras. SNEDDS juga mengandung konsentrasi surfaktan yang lebih kecil dibandingkan dengan SMEDDS, sehingga mengurangi risiko surfaktan yang menyebabkan iritasi lambung dan toksisitas (Gupta dkk., 2011). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam formulasi SNEDDS adalah sifat fisikokimia obat, minyak, surfaktan, ko-surfaktan, perbandingan masingmasing komponen, pH dan suhu. Komponen utama SNEDDS adalah: a. Minyak Fase minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS karena menentukan spontanitas emulsifikasi, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat. Biasanya minyak yang digunakan untuk SNEDDS merupakan minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal. Selain mampu melarutkan obat, minyak harus mampu menghasilkan ukuran tetesan yang kecil agar dapat terbentuk nanoemulsi (Wulandari, 2013). Minyak dengan banyak komponen rantai hidrokarbon seperti minyak nabati atau trigliserida rantai panjang susah teremulsi dibandingkan trigliserida rantai menengah, monogliserida rantai menengah atau
7
ester asam lemak (Anton & Vandamme, 2009). Salah satu minyak yang sering digunakan dalam formulasi SNEDDS adalah asam oleat.
Gambar 2. Struktur kimia asam oleat
Secara struktur kimia, asam oleat (gambar 2) memiliki rumus struktur CH3(CH2)7CHCH(CH2)7COOH. Asam oleat larut dalam benzen, kloroform, dan etanol, praktis tidak larut dalam air. Asam oleat merupakan golongan asam lemak yang berfungsi sebagai agen pengemulsi, penetration enhancer untuk membantu meningkatkan absorpsi untuk obat-obat yang sukar larut dalam air, dan dapat digunakan sebagai pembawa dalam kapsul gelatin lunak. Asam oleat memiliki berat molekul 282,47 dan viskositas 26 mPa. (Rowe dkk., 2009) b. Surfaktan Konsentrasi surfaktan berperan dalam pembentukkan tetesan berukuran nanometer (Dixit & Nagarsenker, 2008). Surfaktan nonionik lebih sering digunakan daripada surfaktan ionik mengingat sifatnya yang kurang terpengaruh oleh pH, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan melalui rute oral (Patel dkk., 2011). Secara umum, surfaktan untuk SNEDDS harus sangat hidrofilik dengan HLB berkisar antara 15-21. Struktur rantai alkil surfaktan memiliki efek dalam penetrasi minyak ke lapisan surfaktan yang memungkinkan pembentukkan nanoemulsi (Rao & Shao, 2008). Surfaktan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kombinasi Tween 80 dan Tween 20.
8
O HO
O O
y
R
z
O O O x
HO
O HO
w w + x + y + z = 20; R = C17H33
Gambar 3. Struktur kimia Tween 80
Nama kimia dari Tween 80 (gambar 3) adalah polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat dan memiliki rumus molekul C64H124O26. Berat molekulnya sebesar 1310. Tween 80 memiliki nilai HLB 15,0 yang sesuai untuk sediaan SNEDDS. Tween 80 dapat larut di dalam etanol dan air. Memiliki nilai tegangan permukaan 42,5 mN/m dan viskositas 425 mPa (Rowe dkk., 2009).
Gambar 4. Struktur kimia Tween 20
Tween 20 (gambar 4) memiliki nama kimia polyoxyethylene 20 sorbitan monolaurat dengan rumus kimia C58H114O26 dan bobot molekul 1128. Tween 20 larut di air dan di etanol, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur, berwarna kuning dan berupa cairan berminyak pada suhu 25oC. Tween 20 memiliki nilai HLB 16,7 dan viskositas 400 mPa (Rowe dkk., 2009). Tween 20 dan Tween 80 digunakan sebagai agen pendispersi, agen pengelmusi, surfaktan nonionik, pelarut, agen pensuspensi, dan pembasah. Tween
9
merupakan surfaktan nonionik hidrofilik yang secara luas digunakan sebagai emulgator dalam sediaan farmasetik emulsi minyak dalam air. Tween stabil dalam elektrolit serta asam dan basa lemah. Tween 20 dan Tween 80 dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and nonirritant (Rowe dkk., 2009). Tween 80 dan Tween 20 diketahui mampu meningkatkan absorpsi mukosal dan serosal obat pada usus tikus (Lo, 2003). c. Ko-surfaktan. Ko-surfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan pada nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan merupakan senyawa ampifilik yang memiliki afinitas terhadap fase air dan minyak. Ko-surfaktan yang dipakai dalam penelitian ini adalah propilen glikol (gambar 5).
Gambar 5. Struktur kimia propilen glikol
Propilen glikol memiliki nama kimia 1,2-propanediol dengan struktur kimia C3H8O2 dan bobot molekul 76,09. Biasanya berfungsi sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, humectant, plasticizer, pelarut, penstabil, dan kosolven larut air (Rowe dkk., 2009). Penggunaan propilen glikol bersama-sama dengan asam oleat diketahui dapat membantu dalam mempertinggi laju penetrasi bermacam-macam senyawa (Barry, 1988).
10
3.
Difusi Membran Proses absorpsi menentukan efek sistemik suatu obat yang diberikan per oral.
Absorpsi dapat terjadi dengan berbagai mekanisme yaitu, difusi pasif, transpor aktif, difusi terfasilitasi dan pinositosis. Absorpsi obat secara difusi pasif terjadi pada seluruh bagian saluran cerna termasuk gastrointestinal. Sebagian besar obat setelah pemberian peroral mengalami absorpsi optimum pada bagian usus halus (Shargel & Yu, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dan tingkat absorpsi usus antara lain sifat fisika kimia obat seperti kelarutan, ukuran molekul, pKa kemampuan agregasi, luas permukaan, dan hidrofobisitas; faktor fisiologis seperti pH dan motilitas usus, aliran darah, dan permeabilitas; faktor formulasi berupa bentuk sediaan, pelepasan obat, dan pengaruh enhancer; dan faktor biokimia. Dinding usus halus adalah bentuk penghalang utama yang mengontrol masuknya nutrisi dan senyawa asing (misalnya obat) ke dalam darah (Deferme dkk., 2008). Usus halus merupakan tempat absorpsi yang paling penting dari sistem pencernaan, terutama bila ditinjau dari luas permukaannya. Permukaan epitel usus halus lebih luas karena adanya mikrovili, makrovili dan lipatan submukosa (Shargel & Yu, 1999). Permukaan usus halus merupakan satu lapisan yang terdiri dari sel epitel kolumnar dan juga mengandung sel-sel yang memproduksi mucus, limfosit dan sel microfold. Keberadaan tight junctions pada usus halus menyebabkan ruang interseluler berkurang menjadi 0,8 nm (pada jejunum) dan 0,3 nm (pada kolon), sehingga hanya molekul kecil, hidrofilik, dan polar yang bisa melewati epitel monolayer usus melalui jalur paraseluler. Namun jalur paraseluler umumnya menghasilkan penyerapan yang rendah karena ruang yang diberikan terbatas,
11
sedangkan untuk obat yang lebih mudah larut dalam lemak (lipofilik), molekul berukuran besar, dan molekul bermuatan tinggi akan lebih mudah melewati membran sel dengan menyeberangi epitel monolayer melalui jalur transelular secara pasif (Deferme dkk., 2008). 4.
Uji In vitro Side by Side diffusion (Ussing Chamber) Studi permeabilitas in vitro merupakan pendekatan yang relevan untuk
mengevaluasi efek peningkatan absorpsi. Keunggulan metode in vitro dibandingkan metode in vivo antara lain pengujian yang lebih cepat, penggunaan hewan uji lebih sedikit dan prosedur analisis yang lebih sederhana (Bravo-Osuna dkk., 2007). Salah satu metode yang digunakan dalam uji in vitro yaitu metode side by side diffusion. Ussing chamber banyak digunakan untuk mempelajari transpor ion
melewati
berbagai
tipe
membran.
Uji
difusi
melewati
membran
mempresentasikan kemampuan obat berpindah oleh adanya gradien konsentrasi (Sari, 2012). Skema transpor obat menggunakan Ussing chamber tipe horizontal terlihat pada gambar 6.
Gambar 6. Skema kerja Ussing chamber tipe horizontal (dimodifikasi dari Sari, 2012)
Tipe membran yang digunakan pada uji difusi yaitu membran usus tikus. Kompartemen pada Ussing chamber tipe horizontal yang terbagi menjadi 2 yaitu
12
kompartemen mukosal (donor) dan kompartemen serosal (akseptor) dengan membran usus tikus yang terisolasi terletak diantaranya. Usus tikus dapat bertahan selam 6 jam dengan kecepatan aliran gas O2 100 gelembung permenit. Pengujian terhadap daya absorpsi obat dengan isolasi usus tikus adalah sebagai studi pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi level first pass metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus. Keunggulan dan keterbatasan uji difusi dengan menggunakan metode side by side (Ussing chamber) disampaikan pada tabel I (Deferme dkk., 2008). Tabel I. Keunggulan dan keterbatasan metode side by side diffusion
Keunggulan Model skrining yang baik Korelasi yang baik dengan data permeabilitas in vivo Memungkinkan untuk mengevaluasi semua saluran GI Mengevaluasi mekanisme transpor
Keterbatasan Viabilitas jaringan Ketersediaan jaringan (manusia) Terdapat lapisan otot melingkar Kesulitan pada proses pengadukan
Mengevaluasi enhancer Menggambarkan daerah serap dengan baik Proses oksigenasi yang baik 5.
Kuantifikasi Hasil Difusi Untuk obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif peranan membran usus
dalam transfer obat hanya sebagai membran difusi. Tenaga pendorong pada difusi pasif yaitu perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum Fick I, molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Shargel & Yu, 1999). dM
J = S.dt
(1)
13
J atau fluks menggambarkan jumlah obat tiap satu satuan luas, tiap satu satuan waktu. Besarnya fluks berbanding lurus dengan gradien kadar dC/dx dan koefisien difusi obat dalam membran, D. dC
J = -D dx
(2)
Tanda negatif pada persamaan 2 menggambarkan bahwa proses difusi berlangsung dari kompartemen dengan kadar obat yang tinggi ke rendah. Dua persamaan di atas dapat digabung menjadi sebuah persamaan baru, yaitu: dM S.dt
dC
= βD dx
(3)
Jika dC = C2 β C1 dan dx = h, maka: dM
J = S.dt = βD
(C2-C1) h
(4)
Besarnya C1 dan C2 tidak dapat dihitung secara langsung, karena merupakan kadar obat yang ada di dalam membran. Namun demikian, besarnya C1 dan C2 dapat diperhitungkan dari besarnya Cd (kadar obat dalam donor) dan Ca (kadar obat dalam akseptor). C1 = Cd x K
(5)
C2 = Ca x K
(6)
Jika persamaan tersebut disubstitusikan ke persamaan (4), dengan K adalah koefisien partisi, maka diperoleh persamaan: dM
J = S.dt = βD
K (Ca-Cd) h
(7)
Proses difusi dalam tubuh ke saluran sistemik selalu dalam kondisi sink dimana kadar obat dalam akseptor (pembuluh darah) selalu jauh lebih kecil
14
dibanding kadar obat dalam donor (Ca < 0,1 Cd), sehingga Ca dapat diabaikan (Ca = 0). Jika permeabilitas, P = DK/h, maka: J=
dM S.dt
= P.Cd ο³ dM = (P.Cd.S) dt
(8)
Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi dari M0 ke Mt untuk dM dan dari tlag ke t untuk dt dengan M0 = 0. Mt = (P.Cd.S)(t - tlag)
(9)
Diperoleh sebuah persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan jumlah obat yang tertranspor (Mt) dengan slope (P.Cd.S) dan intersep (tlag.P.Cd.S). Persamaan ini mengasumsikan bahwa kadar di dalam kompartemen donor (Cd) konstan dan tanpa memperhitungkan volume kompartemen donor (Vd). Jika asumsi Cd konstan ditolak, dapat menggunakan persamaan jumlah obat sama dengan kadar dikalikan volume, maka: J=
dM S.dt
= P.Cd ο³ J=
Vd.dCd S.dt
1
P.S
=P.Cd ο³ Cd dCd = ( Vd ) dt
(10)
Jika diinginkan sebuah persamaan linear, maka dapat dilakukan integrasi dari t0 sampai t baik untuk dCd maupun dt dengan t0 = 0. ln Cd(t) - ln Cd(0) = (
P.S Vd
)t
(11)
Didapatkan persamaan linear antara waktu perlakuan (t) dan logaritma natural kadar obat di dalam kompartemen donor (ln Cd(t)) dengan slope (P.S/Vd) dan intersep ln Cd(0) (Wahyudi, 2013). 6.
Disolusi dan Kinetika Disolusi Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Uji disolusi in vitro memberikan hubungan yang erat
15
antara kontrol kualitas dan jaminan kualitas produk yaitu dengan menilai perubahan yang terjadi pada bagian produksi, proses manufaktur atau formulasi dalam hubungannya dengan bioavailabilitas. Selain itu, juga dapat untuk mengetahui karakteristik biofarmasetikanya. Uji disolusi in vitro dalam bidang pengembangan obat bertujuan untuk mengevaluasi formulasi terbaik untuk menjamin kualitas produk dan juga untuk memahami risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan perjalanan obat melewati saluran pencernaan yang spesifik. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam melakukan uji disolusi secara in vitro antara lain ukuran dan bentuk wadah, jumlah dan sifat pengadukan, suhu, medium disolusi, serta macam dan tipe alat yang digunakan. USP apparatus tipe II (paddle) merupakan alat uji disolusi yang ditetapkan dalam USP sebagai alat uji disolusi tablet atau kapsul. Metode paddle terdiri dari suatu alat dayung dilapisi khusus yang berfungsi untuk memperkecil turbulensi yang disebabkan pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan kecepatan yang terkendali. Kapsul diletakkan dalam labu disolusi dan beralas bulat untuk memperkecil turbulensi. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan (Shargel & Yu, 1999). Interpretasi kuantitatif dari hasil yang diperoleh dari uji disolusi dengan penggunaan persamaan matematis dapat dengan mudah menjelaskan parameter pelepasan obat dari sediaan. Persamaan yang umum digunakan yaitu kinetika orde nol dan orde satu (Costa & Lobo, 2001). Pada kinetika orde nol, pelepasan obat dari sediaan terjadi secara perlahan. Persamaan yang menjelaskan kinetika orde nol secara fraksional sebagai berikut:
16
πΉπ‘ = πΎ0 π‘
(12)
Ft merupakan fraksi obat yang dilarutkan dalam waktu t dan Ko konstante disolusi orde nol, dan persamaan berikut menjelaskan kinetika orde nol: ππ‘ = π0 + πΎ0 π‘
(13)
Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah obat awal, dan K0 adalah konstante disolusi orde nol. Grafik fraksi disolusi obat berbentuk linear terhadap waktu jika kondisi yang ditetapkan telah terpenuhi. Kinetika orde nol ini dapat digunakan untuk menggambarkan disolusi obat pada beberapa jenis sediaan termodifikasi seperti transdermal, tablet matriks dengan obat kelarutan rendah, bentuk salut, sistem osmosis dan lain-lain. Sediaan tersebut melepaskan obat dengan jumlah yang sama tiap unit waktu dan metode ini ideal untuk menggambarkan efek farmakologis obat yang diperpanjang (Costa & Lobo, 2001). Kinetika orde satu dapat digunakan untuk menggambarkan proses absorpsi dan eliminasi beberapa obat, meskipun sulit untuk membuat konsep mekanisme ini secara teoritis, dengan cara ini grafik logaritma desimal dari jumlah obat terdisolusi terhadap waktu akan linear. Kinetika orde satu, disolusi obat sebanding dengan jumlah obat yang tersisa pada sediaan. Dengan kata lain, jumlah obat yang terdisolusi per satuan waktu semakin berkurang. Kinetika orde satu dapat digambarkan dengan persamaan berikut (Costa & Lobo, 2001): πΎ π‘
0 πππππ‘ = ππππ0 + 2,303
(14)
Qt merupakan jumlah obat terdisolusi pada waktu t, Q0 adalah jumlah obat awal, dan K1 adalah konstante disolusi orde satu.
17
Parameter lain yang dapat menerangkan profil disolusi yaitu dissolution efficiency (DE) atau metode Khan yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Costa & Lobo, 2001): π‘
π·πΈ =
β«0 π¦ ππ‘ π¦ 100 π‘
π₯ 100%
(15)
dengan y adalah % obat terlarut pada waktu t Dissolution efficiency (DE) merupakan salah satu cara untuk menganalisis hasil disolusi. DE merupakan parameter paling sesuai dalam uji disolusi secara invitro karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode linearisasi kecepatan disolusi diantaranya memberikan gambaran pelepasan obat dari waktu ke waktu sehingga menggambarkan seluruh proses pelepasan serta dapat menggambarkan hubungan antara in vitro dan in vivo yakni menggambarkan efektivitas absorpsi obat di tubuh (Arimurni, 2013). Dissolution efficiency dari sediaan farmasetis didefinisikan sebagai area under the dissolution curve hingga waktu tertentu (t) (Costa & Lobo, 2001). Perhitungan luas di bawah kurva dilakukan dengan metode trapezoid. Beberapa peneliti menyarankan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100 % zat terlarut. Salah satu cara menentukan kinetika orde disolusi adalah dengan membandingkan parameter orde tersebut. Beberapa program komputer dapat dengan mudah menganalisis kinetika orde disolusi seperti DDsolver, yang merupakan program add-in yang dapat ditambahkan dalam piranti lunak Microsoft Excel yang digunakan
untuk modeling dan perbandingan data disolusi obat.
Program ini mampu menilai kesamaan antara profil disolusi dengan pendekatan model-dependent seperti model orde nol dan model orde satu. DDSolver
18
menyertakan data statistik untuk evaluasi goodness of fit dari model, termasuk diantaranya adjusted coefficient of determination (R2adjusted) dan Akaike Information Criterion (AIC) dengan persamaan sebagai berikut (Zhang dkk., 2010). πβ1
π
2 ππππ’π π‘ππ = 1 β πβπ β (1 β π
2 )
(16)
dimana n adalah jumlah data, p adalah jumlah parameter dalam model. π΄πΌπΆ = π β ln(πππ) + 2 β π
(17)
dimana n adalah jumlah data, WSS adalah weighted sum of square dan p adalah jumlah parameter dalam model. AIC dan R2adjusted digunakan untuk memilih model mana yang paling sesuai. Ketika membandingkan dua model dengan jumlah parameter yang berbeda, model dengan nilai AIC yang lebih rendah dapat dianggap sebagai model yang lebih baik sementara model dengan R2adjusted yang lebih tinggi dianggap sebagai model yang lebih baik (Zhang dkk., 2010). 7.
Simplex Lattice Design Pada berbagai penelitian, perubahan satu atau lebih variabel proses dalam
pengamatan efek dapat merubah variabel respon. Desain penelitian bertujuan untuk meningkatkan efisiensi prosedur dalam rencana penelitian yang berisi data yang dapat dianalisis, sehingga diperoleh hasil yang valid dan kesimpulan yang objektif. Beberapa keuntungan ketika mengggunakan desain penelitian antara lain seperti, penafsiran faktor dan interaksi lebih efektif, dapat memprediksi efek yang diinginkan ketika tidak terjadi interaksi sehingga memberikan efisiensi yang maksimal, namun jika ada interaksi maka perlu untuk mengungkapkan dan mengidentifikasi interaksi tersebut (Patel dkk., 2010).
19
Metode simplex lattice design (SLD) adalah cara optimasi formula pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan. Jumlah total nilai fraksi masingmasing komponen adalah satu. Pengukuran respon dapat dihubungkan dengan model matematika yang cocok untuk masing-masing desain. Ada beberapa model yaitu model linear, quadratic dan special cubic (Bolton, 1997). a. Linear model y = Ξ²1X1+ Ξ²2X2+ Ξ²3X3
(18)
b. Quadratic model y = Ξ²1X1+ Ξ²2X2+ Ξ²3X3+ Ξ²12X1X2+ Ξ²13X1X3+ Ξ²23X2X3
(19)
c. Special cubic y = Ξ²1X1+Ξ²2X2+Ξ²3X3+Ξ²12X1X2+Ξ²13X1X3+Ξ²23X2X3+Ξ²123 X1X2X3
(20)
Y = respon X1, X2, X3 = fraksi dari tiap komponen b1, b2, b3 = koefisien interaksi dari X1, X2, X3 b12, b13, b23 = koefisien interaksi dari X1-X2, X1-X3, X2-X3 b123 = koefisien interaksi dari X1-X2-X3
Desain dan interpretasi multi faktor eksperimen kombinasi proporsi dengan metode simplex lattice desain (SLD) dapat menggunakan bantuan piranti lunak yakni Design Expert versi 7.1.5. Piranti lunak ini menawarkan berbagai macam desain diantaranya faktorial, faktorial fraksional, dan desain gabungan. Piranti lunak ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu, 1) dapat digunakan untuk kedua variabel proses dan variabel campuran, 2) menghasilkan desain optimal untuk desain standar yang tidak applicable dan dapat meningkatkan desain yang sudah ada (Buxton, 2007).
20
8.
WinSAAM Pada Metode pendekatan berbasis kompartemen memandang transpor obat
melalui membran usus sebagai serangkaian proses perpindahan obat dari fase donor (kondisi in vitro) menuju membran usus, selanjutnya obat dari membran mengalami perpindahan menuju fase akseptor (kondisi in vitro) atau ke dalam darah (kondisi in vivo). Untuk memudahkan penggambaran proses transpor obat dalam sistem kompartemen, dapat digunakan piranti lunak WinSAAM (Maharini, 2013). WinSAAM merupakan pemodelan sistem biologi yang berbasis Windows dengan menggunakan model matematis. Keunggulan WinSAAM antara lain mudah dioperasikan, untuk sistem linear dan nonlinear dikerjakan dengan perintah umum, fitting data dilakukan secara otomatis tanpa perlu menerjemahkan model konstruksi, secara otomatis menentukan parameter linier atau nonlinier sesuai model konstruksi, fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet memungkinkan output hasil pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke Excel atau sistem spreadsheet lainnya (Linares dkk., 2010). F.
Landasan Teori
Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi golongan non-steroidal yang biasa digunakan untuk pengobatan osteoartritis dan rematoid artritis. Meskipun ketoprofen memiliki permeabilitas yang baik namun memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air sehingga hal ini dapat menjadi masalah pada efektivitas terapinya. Untuk itu sebagai alternatif mengatasi permasalahan tersebut, ketoprofen diformulasi menjadi bentuk SNEDDS.
21
SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukkan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka, dan ko-surfaktan untuk membantu surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS secara cepat membentuk nanoemulsi dalam cairan gastro intestinal. Nanoemulsi yang dihasilkan memiliki droplet berukuran 20-200nm, sehingga dapat membantu meningkatkan disolusi ketoprofen, dan meningkatkan efektivitas absorpsi ketoprofen. Minyak dalam SNEDDS digunakan sebagai pembawa obat. Asam oleat adalah minyak yang paling sering digunakan. Asam oleat dalam sediaan obat dapat membantu meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air. Tween 80 dan Tween 20 sering digunakan sebagai surfaktan untuk preparasi sediaan emulsi minyak dalam air serta stabil dalam asam maupun basa lemah. Tween 80 dan Tween 20 juga memiliki kemampuan meningkatkan permeabilitas membran. Kosurfaktan yang digunakan yaitu propilen gikol untuk membantu kerja surfaktan. Selain itu, kombinasi propilen glikol dan asam oleat diketahui mampu meningkatkan absorpsi berbagai senyawa obat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan optimasi terhadap Tween 20 dan Tween 80 untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan difusi serta disolusi ketoprofen secara in vitro. G. Hipotesis 1.
Penggunaan kombinasi asam oleat, Tween 80, Tween 20 dan propilen glikol pada SNEDDS ketoprofen dapat meningkatkan jumlah dan kecepatan difusi ketoprofen melalui membran usus secara in vitro.
22
2. Formulasi ketoprofen menjadi bentuk SNEDDS pada SNEDDS ketoprofen optimum dapat meningkatkan disolusi ketoprofen dalam cairan lambung buatan secara in vitro.