BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu, tumbuhan dan bahan alam lainnya telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita secara turun-temurun sebagai obat berbagai macam penyakit. Fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan telah dikenal masyarakat sejak masa sebelum Masehi. Seiring dengan perkembangan zaman, telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa tumbuhan memang berkhasiat sebagai obat. Salah satunya adalah buah mengkudu. Buah mengkudu mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di dunia kesehatan. Buah mengkudu mengandung senyawa-senyawa yang bermanfaat diantaranya triterpen dan steroid (Nagalingam dkk., 2012) Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Adityo tahun 2014 mengenai uji imunosupresan terhadap ekstrak etanol mengkudu, belum terlihat adanya pengaruh signifikan terhadap perbaikan histopatologi darah dari mencit yang diberi induksi Pristane dan ekstrak etanol buah mengkudu. Isoniazid (INH) dikenal luas sebagai obat lini pertama dalam pengobatan tuberkulosis (TB), Pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat anti tuberkulosis (OAT) berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan streptomisin dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas yang lebih baik dan mencegah terjadinya resistensi pada monoterapi. Penggunaan paduan OAT dalam program nasional
1
2
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia didasarkan pada karakteristik infeksi TB yang dialami pasien (Anonim, 2006). Lebih dari lima dasa warsa yang lalu, telah diketahui bahwa beberapa obat dapat menginduksi terjadinya penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang dikatagorikan sebagai Drugs-induced Lupus Erythematosus (DILE) (Vasoo, 2006). Kelompok obat yang dapat menginduksi terjadinya DILE, antara lain: hidralazin, prokainamid dan isoniazid. Penyakit autoimun Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit yang bersifat sistemik. Satu atau beberapa organ tubuh dapat terlibat ditandai adanya inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat dan autoantibodi terutama antibodi antinuklear. Keluhan yang muncul bersifat episodik dengan diselingi periode remisi. Manifestasi SLE sangat bervariasi dengan penyakit yang sulit diduga dan sering berakhir kematian (Akib dkk., 2007). Dengan adanya fakta tersebut, dibutuhkan solusi untuk meminimalisir terjadinya efek samping DILE dari penggunaan isoniazid (INH) kronik yaitu dengan melakukan koterapi sebagai pendamping obat utama. Substansi yang berpotensi dalam pengobatan ini diduga terdapat dalam senyawa alam yang berasal dari buah mengkudu (Morindra Citrifolia L.). Penelitian kali ini dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian EEBM (esktrak etanol buah mengkudu) sebagai kombinasi terapi untuk meminimalkan resiko terjadinya efek samping DILE akibat penggunaan isoniazid pada obat tuberkulosis. Diketahui bahwa SLE, salah satu efek samping INH mengakibatkan
3
kerusakan organ, diantaranya adalah ginjal. Oleh karena itu parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar kreatinin tikus betina galur Wistar yang diinduksi INH bersama dengan pemberian EEBM. Uji aktivitas kreatinin dengan cara
mengukur
absorbansi
serum
darah
tikus
secara
spektrofotometri
menggunakan alat spektofotometer. Selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan SPSS 16 untuk mengetahui apakah kombinasi dari EEBM dapat berpotensi mengatasi efek samping terjadinya DILE akibat dari penggunaan INH. Pada analisis secara statistik serum darah tikus harus dikonversi terlebih dahulu menggunakan rumus tertentu agar mendapatkan nilai kadar kreatinin.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah pemberian ekstrak etanol buah mengkudu dosis 50 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kreatinin tikus betina galur Wistar yang diinduksi INH? 2. Pada kelompok dosis manakah terjadi pengaruh signifikan terhadap kadar kreatinin tikus betina galur Wistar?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah: 1. Mengetahui efek pemberian ekstrak etanol buah mengkudu terhadap perbaikan kadar kreatinin tikus betina galur Wistar yang diinduksi Isoniazid (INH) 2. Mengetahui kelompok dosis yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kadar kreatinin tikus betina galur Wistar
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengetahui efek koterapi estrak etanol buah mengkudu (EEBM) untuk menekan resiko terjadinya DILE. Penelitian ini akan menjadi kesempatan ilmiah dalam penemuan obat baru dan eksplorasi lebih lanjut lagi terhadap tanaman mengkudu karena nantinya EEBM yang memberikan respon positif akan dapat menjadi obat lupus alami.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. INH (Isoniazid) Isoniazid (INH) atau isonicotinic acid hydrazide, 4pyridinecarboxylic acid hydraze mempunyai rumus kimia C6H7N3O (BM 137,1) dan memiliki struktur seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur Isoniazid (Timmins & Vojo, 2006)
Isoniazid berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih, mempunyai kelarutan 1 bagian dalam 8 bagian air; 1 bagian dalam 45 bagian etanol; dan 1 bagian dalam 1000 bagian kloroform; praktis tidak larut dalam benzene dan eter. Dalam larutan asam, INH memberikan serapan UV pada panjang gelombang 266 nm dan dalam larutan alkali memberikan serapan pada panjang gelombang 298 nm (Moffat dkk., 2005). INH adalah bentuk asam hidrazid isonikotinat dan dapat disterilisasi dengan autoclave atau dengan filtrasi (Martindale, 1982). INH dapat bersifat tuberkulositik maupun tuberkulostatik tergantung dosisnya (Jawetz dkk., 1996). INH adalah obat anti TB lini pertama yang telah digunakan sejak tahun 1952 dalam pengobatan dan pencegahan tuberkulosis (TB). INH
6
bisa diberikan sebagai terapi tunggal untuk profilaksis maupun sebagai kombinasi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lain (Weisiger, 2007). Isoniazid merupakan salah satu OAT yang memiliki efek paling kuat terhadap M. tuberculosis.Isoniazid adalah OAT yang paling sering digunakan. Isoniazid memiliki struktur sederhana dengan cincin piridin dan grup hidrazid (McDermott, 1958). Mekanisme kerja secara lengkap dari INH belum diketahui secara pasti. Tetapi ada beberapa hipotesis tentang hal ini, diantaranya adalah INH bekerja pada enzim yang berperan pada penyusunan asam mikolat yang merupakan komponen dinding bakteri (Mycek dkk., 2001). INH dalam kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Senyawa INH termasuk obat yang bersifat bakterisid dimana INH membunuh cepat bakteri yang sedang aktif bermultiplikasi. INH merupakan OAT yang bersifat prodrug dimana obat ini akan diubah menjadi metabolit aktifnya di dalam sel agar menjadi substansi yang toksik untuk sel mikrobakterial (Brunton dkk., 2008; Pym & Cole, 2008; Debbie & Roga, 2004). Mekanisme kerja INH adalah menghambat jalur biosintesis dinding sel. INH yang telah aktif akan menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting pembentukan dinding sel mikrobakterial (Crick dkk., 2004; Palomino dkk., 2007).
7
Senyawa INH mudah diabsorbsi baik pada pemberian peroral atau parenteral. Pemberian dosis lazim (5mg/kgBB/hari) menghasilkan konsentrasi puncak plasma 3-5 µg/ml dalam 1-2 jam. INH berdifusi segera dalam seluruh cairan tubuh dan jaringan. Konsentrasi di susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal ± 1/5 dari kadar plasma (Jawetz dkk., 1998). Saat INH dikonsumsi bersama makanan akan menurunkan kecepatan absorbsi dan kadar puncak obat. Konsentrasi minimal tuberkulostatik INH yaitu 0,025-0,05 µg/mL, dan konsentrasi puncak INH pada pemberian dosis 300 mg per oral adalah 3-5 µg/mL yang dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian obat (Petri, 2006). 2. SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) a. Pengertian Penyakit Lupus, atau yang dikenal sebagai Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisistemik yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat sistem imun. Autoimun sendiri diartikan sebagai keadaan dimana sistem imun tubuh menyerang jaringan atau organ sendiri karena dianggap oleh sistem imun sebagai benda asing. SLE dapat menyerang kulit, persendian, ginjal, hati, sistem saraf pusat (SSP), sistem kardiovaskuler, membran serosa, sistem imun, serta hematologi. Penyakit SLE sangat heterogen dengan masing-masing individu pasien memanifestasikan kombinasi gejala klinis yang beragam (Crow, 2012). Sedangkan menurut Moore (2008), SLE merupakan penyakit dimana antibodi yang kita miliki
8
yang fungsi sebenarnya adalah menyerang patogen-patogen yang masuk ke dalam tubuh, justru menyerang sistem imun kita sendiri, seperti ginjal, hati, sumsum tulang belakang, otot, jantung, jaringan penghubung, mata, dan otak. b. Epidemiologi Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan pria 5:1 (Isbagio, 2009). Prevalensi SLE di Amerika Serikat 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita SLE baru di seluruh dunia dan dapat mengenai semua ras. Wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi 3x lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki perkembangan penyakit pada usia muda dengan komplikasi yang lebih serius. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan Filipina (Bartels dkk., 2011). c. Etiologi Penyebab SLE masih belum diketahui secara jelas. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh, antara lain faktor genetik, lingkungan, dan juga hormonal. Keberadaan berbagai autoantibodi, terutama Antinuclear Antibody (ANA) menunjukkan adanya kerusakan pada mekanisme pertahanan sistem imun (Warren dkk., 2012).
9
Kerentanan terhadap penyakit SLE bersifat multifaktorial dan melibatkan banyak gen. Dari beberapa elemen genetik, gen dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC) telah banyak diteliti sebagai kontributor dalam patogenesis SLE pada manusia. Penelitian menunjukkan bahwa kerentanan terhadap SLE melibatkan gen Human Leucocyte Antigen (HLA) kelas II yang dihubungkan dengan munculnya autoantibodi tertentu seperti anti-Sm (Smith), anti-snRNP (small
nuclear
(Deoxyribose
ribonucleoprotein)
Nucleic
Acid).
dan
antibodi
Diperkirakan
bahwa
anti-dsDNA diperlukan
setidaknya keterlibatan empat gen untuk memunculkan manifestasi penyakit SLE (Mok & Lau, 2003). Untuk faktor hormonal, hormon steroid (sex hormone) mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit meskipun tidak menyebabkan SLE. Penyakit SLE terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause. Anak-anak dengan SLE mempunyai kadar hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone), dan prolaktin yang meningkat. Frekuensi SLE juga meningkat pada saat kehamilan trimester ketiga (Akib dkk., 2007). Estrogen mempunyai pengaruh besar terhadap berbagai macam tipe sel dalam proses imun tubuh. Dalam konsentrasi fisiologis maupun konsentrasi tinggi, estrogen memicu respon humoral sehingga terjadi proliferasi sel B dan produksi antibodi. Sebaliknya, estrogen dalam konsentrasi tinggi akan menghambat respon sel T
10
untuk berproliferasi dan memproduksi IL-2 (Akib dkk., 2007; Rahman & Isenberg, 2008). Untuk kondisi lingkungan dan faktor eksogen, bahan-bahan infeksius dapat menginduksi respon spesifik melalui peniruan molekul sehingga mengganggu mekanisme pengaturan sistem imun.Makanan mempengaruhi produksi mediator inflamasi. Toksin dan obat mengubah respon seluler serta imunogenitas dari antigen tubuh. Sedangkan sinar matahari dapat menyebabkan inflamasi, apoptosis, dan kerusakan jaringan. Beberapa obat seperti prokainamid dan hidralazin yang merupakan amin aromatik serta hidrazin dapat menginduksi SLE terutama pada individu asetilator lambat. Obat lain yang
dilaporkan
berhubungan
dengan
induksi
SLE
adalah
alfametildopa, klorpromazin, etosuksimid, isoniazid, minosiklin, fenitoin,
dan
trimetadion.
Obat-obat
tersebut
dimungkinkan
mempunyai struktur antigen tertentu yang dapat mengganggu respon imun (Akib dkk., 2007). d. Tipe-tipe SLE Komalig dkk. (2008) membagi SLE dalam beberapa tipe, tipe yang pertama adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau penyakit Lupus yang sesungguhnya. Lupus pada tipe ini dapat menimbulkan komplikasi seperti Lupus otak, Lupus pembuluh daraj jari-jari tangan atau kaki, Lupus etina, Lupus sendi, dan lainlain. SLE tipe ini merupakan tipe yang sangat berat karena
11
menyerang organ-organ vital, baik satu atau beberapa organ vital. Selanjutnya tipe yang kedua adalah Lupus Diskoid yang merupakan tipe lupus dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Lupus tipe discoid ini merupakan Lupus yang hanya menimbulkan efek pada kulit penderitanya, dan disebut pula Lupus ringan. Adapun tipe yang lain yaitu Lupus obat, yang merupakan tipe lupus yang timbul akibat adanya efek samping obat dan akan sembuh dengan sendirinya dengan cara menghetikan penggunaan obat terkait. Kemudian tipe selanjutnya adalah Sub-akut Lupus Erythematosus, lupus pada tipe ini ditandai dengan adanya luka pada kulit dan pada bagian tertentu tubuh yang disebabkan pengaruh sinar matahari. e. Gejala SLE Moore (2008) menyebutkan setidaknya ada 13 gejala fisik dan psikis yang biasanya dirasakan dan ditampakkan oleh penderita SLE, antara lain adalah kelelahan yang merupakan gejala SLE paling umum dan melemahkan. Kelelahan jauh lebih parah dari rasa letih. Ini merupakan suatu kelelahan yang begitu parah sehingga terkadang nyaris tidak mampu berjalan. Sebanyak apapun istirahat tidak akan mengurangi kelelahan. Gejala yang kedua adalah rasa nyeri yang membuat penderita seakan merasa terkena flu dan radang sendi pada saat yang bersamaan pada lokasi tertentu. Gejala selanjutnya penderita
12
mengalami ruam-ruam yang paling umum adalah ruam kupu-kupu yang bias juga disebut ruam malar. Ruam ini terasa panas, gatal, dan berdarah jika dibiarkan. Adapun gejala yang lain seperti rambut rontok, hal ini umum terjadi pada penderita. Gejala SLE selanjutnya adalah demam, penderita akan mengalami demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi dalam jangka waktu yang lama. Kadang demam tinggi juga terasa dan akan berkurang pada malam hari. Peka terhadap sinar matahari merupakan gejala yang akan timbul, penderita akan mengalami ruam, demam, atau rasa sakit setelah terpapar sinar matahari. Selain itu ada gejala nyeri dada yang hebat disebabkan peradangan pada lapisan jantung dan paru-paru. Sebanyak 20% penderita akan mengalami ujumg jari tangan dan kaki berubah menjadi biru jika dingin. Selain itu penderita akan sulit mengontrol rasa marah mereka pada saat pramenstruasi. Gejala selanjutnya adalah mata dan mulut kering, Penderita akan mengalami sindrom Sjorgen, yaitu sindrom yang terjadi ketika zat autoantibodi menyerang kelenjar yang memproduksi air liur dan cairan yang melumasi mata. Penderita SLE akan mudah luka jika jumlah platelet (faktor pembekuan darah) menurun karena diserang zat antibody sendiri. Selain mudah luka penderita SLE akan mengalami pembengkakakn di sekitar mata, engkel, atau kaki pada tubuh penderita. Gejala yang
13
terakhir adalah depresi, penderita akan mengalami depresi parah ketika menyadari bahwa tidak ada harapan sama sekali untuk sembuh. Sebagian besar penderita dapat mengalami sebagian kecil atau sebagian besar gejala yang telah disebutkan di atas. Seseorang bisa didiagnosis menderita SLE jika sekurang-kurangnya menunjukkan empat gejala yang telah disebutkan.
3. Mengkudu
Gambar 2. Buah Mengkudu
a. Taksonomi Tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Anak kelas
: Sympatalae
Bangsa
: Rubiales
14
Suku
: Rubiaceae
Marga
: Morinda
Jenis
: Morinda citrifolia L. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991)
b. Nama daerah Di Indonesia mengkudu memiliki berbagai nama daerah yaitu, keumudu (Aceh), Ieodu (Enggano), bakudu (Batak), bangkudu (Batak Toba, Angkola dan Melayu), paramai (Mandailing), makudu (Nias), nateu (Mentawai), bingkudu (Minangkabau), mekudu (Lampung), pace (Jawa Tengah), cangkudu (Sunda), kuduk (Madura), wungkudu (Bali), aikombo (Sumba), manakudu (Roti), dan bakulu (Timor) (Sjabana & Bahlawan, 2002). c.
Morfologi Pohon mengkudu memiliki tinggi 1-6m, berbunga sepanjang tahun, biasa dibudidayakan sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut, dan hidup di hutan sekunder atau dekat bebatuan (Van Steenis, 1975). Mengkudu mempunyai ciri-ciri umum yaitu pohon atau perdu yang tingginya 4-6 m. Batang bengkok, berdahan kaku, kasar, dan memiliki akar tunggang yang tertancap di dalam. Kulit batang coklat keabu-abuan atau coklat kekuningan, berlekah dangkal, tidak berbulu, dan anak cabangnya bersegi empat. Tajuknya
15
selalu hijau 10 sepanjang tahun. Kayu mengkudu mudah sekali dibelah setelah dikeringkan (Bangun & Sarwono, 2002). Buah mengkudu merupakan buah majemuk berdaging dengan panjang 5-10 cm dan diameter 3-4 cm. Bentuk buah lonjong berwarna putih kekuningan, lunak, berair, dan memiliki bau busuk. Biji terdapat di bagian dalam buah dengan bentuk segitiga yang keras, berwarna coklat kehitaman, dan jumlahnya tidak sama dalam satu buah (Dalimarta, 2006; Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). d.
Habitat Tanaman ini tumbuh di daerah pantai berkapur dan tidak tergantung keadaan tanah. Biasanya tumbuh di dekat pantai, batuan lime stone, dan dapat tumbuh pada ketinggan sampai 1000 m di atas permukaan laut.Banyak ditanam di kebun kopi sebagai tanaman pelindung, atau di kebun lada sebagai pohon tempat merambat (Sudarsono dkk., 2002). Dalam kondisi yang baik tumbuhan mengkudu dapat menghasilkan buah ± 9 bulan hingga 1 tahun setelah penanaman (Blanco dkk., 2006).
e. Kandungan kimia Buah mengkudu sendiri mengandung protein, polisakarida, skopoletin, asam askorbat, prokseronin dan prokseroninase (Sjabana & Bahalwan, 2002). Selain itu, buah mengkudu juga mengandung senyawa lain seperti kalium, alkaloid, terpenoid, antrakinon, ester
16
lemak trisakarida dan asam asperulosidat (Wang dkk., 2002). Nagalingam (2012) juga menyebutkan kandungan senyawa triterpen dan steroid di dalam buah mengkudu. f. Efek Farmakologi Masayarakat Polinesia telah memanfaatkan tanaman mengkudu sebagai tanaman obat sejaahhk 2000 tahun yang lalu (Ahn, 2006). Buah mengkudu diklaim dapat mencegah dan mengobati berbagai penyakit terutama untuk menstimulasi sistem imun dan agen antibakteri, virus, parasit, dan jug ajamur (Dixon dkk., 1999; McClatchey, 2002). Buah mengkudu mempunyai efek anti bakteri karena kandungan acubin, L-asperulosida, dan alizarin. Kandungan tersebut bisa membunuh bakteri infeksi antara lain Pseudomonas aeruginosa, Proteus morgaii, Staphylococcus aureu, Bacillis substilis, Eschericia coli, Salmonella, dan Shigela (Tabrah & Eveleth, 1966). Buah mengkudu juga menghambat pertumbuhan tumor secara tidak langsung dengan menstimulasi sistem imun karena mengkudu menunjukkan hasil peningkatan signifikan 75% terhadap usia mencit yang diiimplantasi dengan Lewis lung carcinoma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Hirazumi dkk., 1994). 4. Ginjal a. Anatomi ginjal Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di bagian dorsal abdomen dari peritoneum (Price dan Lorraine, 1995),
17
satu disetiap sisi kolumna vertebralis diantara tulang rusuk kesebelas dan dua belas. Setiap ginjal divaskularisasi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing-masing masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti kacang (Price dan Lorraine, 1995). Kedua ginjal dihubungkan dengan kandung kemih oleh ureter. Panjang ginjal pada orang dewasa sekitar 12-13 cm, lebarnya 6 cm, tebal 2,5 cm dan beratnya antara 120 sampai 150 g. Perbedaan ukuran panjang kedua ginjal dari kutub ke kutub atau perubahan bentuk ginjal merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah pada struktur (Price dan Lorraine, 1995). b. Struktur Makroskopik Ginjal Sebuah ginjal dengan potongan membujur memberi gambaran du daerah yang cukup jelas, yaitu korteks dan medula. Bagian paling luar dari ginjal yang tampak granuler disebut korteks sedangkan bagian lebih dalam berupa segitiga bergaris garis disebut medula. Pada bagian medula ginjal terdapat adanya piramida yang merupakan rangkaian saluran pengumpul.
c. Struktur Mikroskopik Ginjal Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar satu juta nefron yang mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri atas sebuah komponen penyaring
18
yang disebut korpuskula (badan malphigi) dan tubulus renalis. Tubulus renalis terdiri atas tiga bagian, yaitu tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal. Setiap korpuksula mengandung rumbai
kapiler darah
yang disebut
glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman (Price dan Lorraine, 1995). Glomerulus terdiri dari berkas kapiler yang memperoleh supply dari arteriol afferen dan dialirkan keluar melalui arteriol efferen. Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga lapisan yaitu sel-sel epitel, membran basalis, dan sel-sel endotel. Glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan sel-sel darah dan molekulmolekul protein besar dan bagian plasma lainnya, dan mengalirkan bagian plasma tersebut sebagai kemih primer ke dalam ruang dan kapsula bowman (Price dan Lorraine, 1995). d. Evaluasi Klinik Fungsi Ginjal Variabel utama yang menggambarkan efisiensi ginjal dalam pembuangan zat sisa metabolisme adalah laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate [GFR]). Tes yang paling sering digunakan untuk mengukur GFR adalah pengukuran kreatinin plasma, yang merupakan hasil akhir metabolisme otot lurik (kadarmya lebih tinggi pada individu dengan masa otot yang berat). Apabila diduga ada gangguan GFR, tidak hanya dilihat dari kadar kreatinin plasma, sebaiknya digunakan metode pengukuran GFR lain yang lebih akurat
19
seperti creatinine clearance. Prinsip dasar metode pengukuran ini adalah bahwa kreatinin merupakan suatu molekul inert yang difiltrasi secara pasif oleh ginjal, dan GFR dapat dihitung dengan mengetahui jumlah kreatinin urin (Urincr) dan konsentrasi kretinin plasma (Pcr) selama 24 jam dengan rumus: GFR= (Urincr x volume urin)/ Pcr. Pengukuran creatinine clearance biasanya cukup akurat, walaupun perhitungan GFR dengan cara ini dapat memberi hasil yang lebih besar dari GFR sebenarnya sampai 100% pada penyakit ginjal yang parah (Davey, 2005). 5. Kreatinin Kreatinin (kreatinin anhidrida adalah suatu metabolit kreatin yang dibentukk dari keratin fosfat di dalam otot mlalui proses dehidrasi nonenzimatik secara irreversible (Burtis dan Ashwood, 1994). Kadar kreatinin yang diekskresi menggambarkan fungsi masa otot. Kadar kreatinin tubuh kurang lebih 2% dari cadangan kreatinin fosfat dan dalam satu hari diekskresi sebesar 1-2 g. Kadar kreatinin di serum pria lebih tinggi daripada di serum wanita karena umumnya masa otot pria lebih besar daripada wanita (Soewoto dkk., 2000).
20
Kreatinin mempunyai rumus kimia C4H7N30 (BM 113) dan memiliki struktur seperti pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur molekul kreatinin (British dan Ashwood, 1994).
Kreatinin diekskresi seluruhnya dalam urin melalui proses ultrafiltrasi glomerulus tanpa mengalami proses reabsorpsi dan sekresi tubulus (Kaplan dan Pesce, 1996). Sehingga bila terjadi penurunan kecepatan fitrasi glomerulus maka ekskresi kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin darah akan meningkat. Oleh karena itu, kadar kreatinin darah dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG) (Davey, 2005), tetapi peningkatan kadar kreatinin darah aru dapat dideteksi bila fungsi ginjal berkurang 50% (Soewoto dkk., 2000). Kadar normal kadar kreatinin plasma darah manusia adalah 0,7-1,5 mg/dL (Murray dkk., 2003), sedangkan normal kadar kreatinin plasma darah pada mencit adalah 0,3-1,0 mg/dL. Pengukuran kadar kreatinin dilakukan dengan menggunakan metode Jaffe yang dimodifikasi. Metode inin dipilih karena cukup spesifik, lebih sederhana, banyak digunakan dan relatif dapat
21
mengeliminasi interferensi dari komponen-komponen darah yang dapat bereaksi dengan pereaksi pada metode Jaffe tanpa modifikasi (Vogel, 2008). Prinsip kerja pada pengukuran kadar kreatinin yaitu terbentuknya Janovski complex yang berwarna kuning jingga sebagai hasil reaksi kreatinin dalam larutan pikrat alkalis. Kompleks ini diukur serapannya dengan menggunakan spekrofotometer pada panjang gelombang 492 nm. Pengukuran serapan dilakukan pada detik ke- 60 dan ke- 120 dengan tujuan untuk menghindari gangguan zat lain yang akan bereaksi dengan pikrat pada suasana alkalis (Soewoto dkk., 2000).
F. Landasan Teori
Isoniazid (INH) merupakan obat lini pertama pengobatan tuberkulosis. Namun penggunaan jangka panjang dari INH dapat menyebabkan efek samping berupa penyakit Lupus, suatu penyakit autoimun yang menyebabkan produksi antibodi berlebih karena terjadi peningkatan sistem imun tubuh, sehingga antibodi justru menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) memiliki berbagai manfaat dalam bidang kesehatan, salah satunya sebagai imunosupresan (penekan sistem imun). Buah mengkudu mengandung senyawa triterpen dan steroid (Nagalingam dkk., 2012) yang diduga memiliki efek imunosupresan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Indrayanti (2011) yang menyebutkan bahwa kandungan yang ada dalam ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) salah satunya steroid dan
22
triterpen mempunyai efek sebagai imunosupresan. Pemberian ekstrak etanol buah mengkudu diharapkan dapat menurunkan kadar kreatinin sehingga mengurangi efek samping INH sebagai DILE tanpa mengurangi kerja INH sebagai obat tuberkulosis.
G. Hipotesis
Pemberian ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat menurunkan kadar kreatinin tikus betina galur Wistar yang diinduksi Isoniazid
23