BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit adalah bagian terluar tubuh yang secara terus menerus terpapar oleh berbagai faktor lingkungan seperti sinar matahari dan polusi udara. Faktor tersebut menjadi penyebab berbagai kerusakan pada kulit. Paparan akut radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari dapat menyebabkan eritema, tanning, dan penekanan sistem imun lokal atau sistemik (Matsumura dan Ananthaswamy, 2004). Sementara itu, paparan kronis radiasi UV akan menghasilkan produksi ROS berlebih sebagai pemicu terjadinya kanker kulit dan penuaan dini (Waris dan Ahsan, 2006). Polusi udara juga dapat menyebabkan pembentukkan radikal bebas, sehingga dapat mengakibatkan penuaan dini (Vierkötter dan Krutman, 2012). Kulit membutuhkan perlindungan tambahan, sehingga terhindar dari berbagai efek buruk tersebut. Perlindungan tambahan dapat diberikan oleh sediaan tabir surya dan antioksidan. Tabir surya adalah sediaan dengan kandungan senyawa penyaring UV yang berfungsi sebagai penyerap, pemantul atau penyebar radiasi UV, sedangkan antioksidan adalah senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas (González dkk., 2008; Hamid dkk., 2010). Kombinasi tabir surya dan antioksidan dilakukan sebagai upaya peningkatan efek fotoproteksi. Antioksidan topikal akan mengurangi kerusakan akibat ROS. Disamping itu, antioksidan juga akan meningkatkan perbaikan setelah paparan radiasi UV (Matsui dkk., 2009). Beraneka ragam sumber daya alam Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai senyawa penyaring UV dan antioksidan. Salah satu bahan alam Indonesia yang
1
2
dapat dimanfaatkan sebagai penyaring UV dan antioksidan adalah minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae). Minyak kencur di dalam sediaan krim memiliki nilai SPF sebesar 0,67 unit/1% minyak atsiri, sedangkan nilai IC50 minyak kencur murni adalah sebesar 26 µg/mL pada uji in vitro (Athikomkulchai dkk., 2007; Sahoo dkk., 2014). Stabilitas minyak kencur sangat dipengaruhi lingkungan. Minyak kencur juga memiliki bau aromatik kuat dan terasa panas di kulit (Kumar, 2014). Oleh karena itu, inovasi formulasi minyak kencur perlu dilakukan agar minyak kencur dapat digunakan sebagai sediaan tabir surya dan antioksidan topikal. Nanoemulsi adalah teknologi nano yang dapat diterapkan pada formulasi kosmetik karena berbagai kelebihannya. Nanoemulsi dapat meningkatkan stabilitas minyak atsiri (Bilia dkk., 2014). Nanoemulsi tidak mengalami creaming, sedimentasi,
dan
(Guglielmini, 2008).
flokulasi
atau
koalesensi
dibandingkan
makroemulsi
Nanoemulsi juga berpotensi sebagai pembawa dalam
kosmetik karena mampu mengoptimalkan dispersi zat aktif di lapisan kulit. Namun, nanoemulsi memiliki viskositas yang rendah. Nanoemulsi perlu diformulasikan ke bentuk sediaan krim, sehingga lebih sesuai untuk digunakan di kulit. Krim tabir surya harus mudah menyebar pada permukaan kulit. Selain itu, krim juga harus memiliki daya lekat yang cukup pada permukaan kulit (Kumar dkk., 2015). Asam stearat dan setil alkohol adalah suatu stabilizer dan thickening agent yang umum digunakan pada emulsi kosmetik (Mahdi dkk., 2011). Kitosan selain berfungsi sebagai peningkat viskositas sediaan juga berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, dan pelindung dari radiasi UV (Singla dan Chawla, 2001; Chen dan Heh, 1999). Pada penelitian ini akan dilakukan upaya formulasi krim nanoemulsi
3
minyak kencur dengan basis berupa kitosan, asam stearat, dan setil alkohol. Pengembangan formula krim nanoemulsi tabir surya dan antioksidan minyak kencur ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengembangan bentuk sediaan tabir surya dan antioksidan dari berbagai senyawa alam. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, berikut perumusan masalah yang akan diteliti: 1. Apakah nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) dapat diformulasikan menjadi bentuk sediaan krim dengan basis berupa kitosan, asam stearat, dan setil alkohol? 2. Apakah formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) memiliki daya sebar, daya lekat, dan viskositas yang baik, serta bersifat stabil pada cycling test dan uji sentrifugasi? 3. Apakah formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) memiliki aktivitas tabir surya dan aktivitas antioksidan pada uji in vitro? C. Pentingnya Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengembangan bentuk sediaan tabir surya dan antioksidan dari bahan alam dengan memanfaatkan penggunaan teknologi nano.
4
D. Tujuan Penelitian 1. Memformulasikan nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) ke dalam bentuk sediaan krim. 2. Mengetahui sifat fisik dan stabilitas formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) pada uji in vitro. 3. Mengetahui aktivitas tabir surya dan aktivitas antioksidan formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) pada uji in vitro. E. Tinjauan Pustaka 1. Radiasi Ultraviolet Radiasi ultraviolet (UV) dibagi ke dalam tiga daerah berdasarkan perbedaan panjang gelombang dan efek terhadap sistem biologi, yaitu UV A (400-320 nm), UV B (320-290 nm), dan UV C (290-200 nm). UV A dan UV B adalah radiasi yang dapat mencapai permukaan bumi, sedangkan radiasi UV C dapat diabsorbsi dengan sempurna oleh oksigen atmosfer dan ozon. Paparan radiasi UV dapat memberikan efek biologi yang berbeda, tergantung dari panjang gelombangnya (Diffey, 2002). Efek paparan radiasi UV terhadap kulit manusia dapat dibedakan menjadi efek akut dan efek kronis. Efek akut yang paling banyak terjadi akibat paparan radiasi UV adalah inflamasi sunburn (kulit kemerahan; eritema), tanning (peningkatan melanogenesis), dan penekanan sistem imun lokal atau sistemik. Sementara itu, paparan radiasi UV jangka panjang dan terus menerus dapat menginisiasi pembentukkan kanker kulit dan penuaan dini atau
5
photoaging (Matsumura dan Ananthaswamy, 2004). Produksi reactive oxygen species (ROS) berlebih saat paparan kronis akan menyebabkan serangkaian proses oksidatif terhadap DNA, protein maupun lipid. Proses oksidatif ini berperan pada pembentukkan kanker dan penuaan dini (Waris dan Ahsan, 2006; Wlaschek dkk., 2001). Penuaan dini dan kanker kulit juga dapat dipicu oleh polusi udara, kerusakan oksidatif pada lipid, DNA atau protein (Drakaki dkk., 2014). 2. Kulit Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang menutupi seluruh tubuh manusia dengan berat mencapai sepertiga total berat tubuh manusia. Kulit memiliki beberapa fungsi. Salah satu fungsi kulit adalah fungsi perlindungan terhadap komponen-komponen lingkungan seperti energi radiasi sinar matahari, cuaca, senyawa kimia, dan tenaga fisik. Kulit dibagi menjadi 3 lapisan utama, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (So, 2008). Stratum lucidum Stratum corneum
Pori-pori keringat
Ujung saraf Rambut
Stratum spinosum
Otot penegak rambut
Stratum granulosum Stratum basale
Epidermis
Reseptor sentuhan Kelenjar sebasea Reseptor sentuhan Kelenjar minyak Reseptor sentuhan Folikel rambut
Dermis
Hipodermis
Papilla rambut Reseptor Tekanan Vena dan Arteri Gambar 1. Struktur kulit (So, 2008)
6
Lapisan epidermis dibagi menjadi 4 lapisan, yaitu stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum corneum. Stratum basale mengandung melanosit yang berfungsi sebagai sel penghasil pigmen kulit. Melanosit adalah sel dendritik yang mentransfer melanin dari dendrit ke keratinosit. Pembentukkan dan transfer melanin adalah mekanisme perlindungan kulit dari radiasi ultraviolet. Granul melanin membentuk pelindung di atas bagian luar keratinosit. Melanin terdistribusi dengan seragam di stratum corneum untuk membentuk selimut penyerap UV. Selimut penyerap UV dapat mengurangi jumlah radiasi yang menembus kulit. Melanin juga akan memberikan warna pada kulit (Zaidi dan Lanigan, 2010). Kulit memiliki sistem antioksidan sebagai mekanisme pertahanan pertama terhadap radikal bebas dari faktor lingkungan maupun faktor endogen. Sistem antioksidan pada kulit dapat dibedakan menjadi 2, yaitu sistem antioksidan enzimatik seperti glutathione peroxidase, superoxide dismutase, dan katalase, serta sistem antioksidan non enzimatik dengan bobot molekul rendah seperti
isoform vitamin E, vitamin C, glutathion (GSH), asam urat, dan
ubiquinol (Shindo dkk., 1993). Paparan radiasi UV secara kronis dan berlebih seringkali melampaui kemampuan antioksidan kulit, sehingga memicu berbagai kerusakan oksidatif (Poljsak dkk., 2012). 3. Tabir Surya Tabir surya merupakan pelindung kulit dari bahaya radiasi UV. Tabir surya memiliki kandungan senyawa atau kompleks molekuler yang berfungsi sebagai penyerap, pemantul, atau penyebar foton UV (González dkk., 2008).
7
Senyawa-senyawa tersebut biasa disebut sebagai penyaring UV. Berdasarkan jenis penyaring UV di dalam formulanya, tabir surya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: a. Tabir surya anorganik (fisik) Tabir surya anorganik adalah tabir surya yang mengandung partikelpartikel buram. Senyawa dalam tabir surya organik bekerja dengan cara menyebarkan, memantulkan atau menyerap radiasi UV. Contoh senyawasenyawa pada tabir surya anorganik adalah ZnO, TiO, kaolin, talk, kalamin, dan lain-lain (Hassan dkk., 2013). b. Tabir surya organik (kimia) Zat aktif dalam tabir surya organik bekerja dengan menyerap panjang gelombang spesifik dari radiasi UV, sehingga radiasi UV tidak dapat mencapai sel-sel hidup di epidermis. Terdapat 3 golongan senyawa yang paling sering digunakan sebagai tabir surya organik, yaitu penyerap UV B (turunan asam para amino benzoat (PABA), sinamat, salisilat, octocrylene dan ensulizole), penyerap UV A (benzofenon, dibenzoil metan dan antranilat), dan generasi baru dengan spektrum penyerapan luas (UVA+UVB) (ecamsule, silatriazole, bemotrizinol, dan bisoctrizole) (Hassan dkk., 2013). Tujuan utama pengembangan tabir surya adalah untuk melindungi kulit dari radiasi UV B dan UV A. Selain itu, tabir surya juga bermanfaat sebagai penangkap ROS (Reactive Oxygen Species) dan pengaktivasi perbaikan seluler, termasuk perbaikan DNA. Antioksidan, vitamin, dan mineral banyak didesain
8
sebagai tabir surya sistemik, sehingga kulit lebih terlindung dari efek buruk cahaya matahari (Sano dkk., 2005; Hassan dkk., 2013). Aktivitas tabir surya dinilai berdasarkan sun protection factor (SPF). SPF mengukur kapasitas tabir surya sebagai penghalang radiasi UV. Pengukuran SPF dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu in vitro dan in vivo. Pengukuran SPF secara in vitro dapat dilakukan dengan analisis spektrofotometri. Karakteristik absorbansi larutan sediaan tabir surya diukur pada panjang gelombang radiasi UV (Dutra dkk., 2004). Sementara itu, pengukuran secara in vivo dilakukan dengan pengamatan langsung terjadinya eritema pada sel biologis akibat terkena paparan sinar UV, kemudian dibandingkan dengan suatu kontrol. Eritema adalah salah satu tanda terjadinya inflamasi akibat paparan sinar UV. Eritema terjadi ketika volume darah dalam pembuluh darah dermis meningkat 38% di atas volume normal (Tahrir dkk., 2002). Nilai SPF merupakan perbandingan antara Minimal Erythema Dose (MED) pada kulit manusia terlindungi dengan MED pada kulit tanpa perlindungan tabir surya. Efektifitas sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF menurut Wilkinson dan Moore (1982) adalah sebagai berikut: a. Nilai SPF 2-4, memberikan perlindungan minimal. b. Nilai SPF 4-6, memberikan perlindungan sedang. c. Nilai SPF 6-8, memberikan perlindungan ekstra. d. Nilai SPF 8-15, memberikan perlindungan maksimal. e. Nilai SPF ≥ 15, memberikan perlindungan ultra.
9
4. Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan akibat molekul tidak stabil (radikal bebas). Radikal bebas dihasilkan dari reaksi oksidasi. Radikal bebas akan menyebabkan rangkaian reaksi penyebab kerusakan sel. Antioksidan dapat menghilangkan intermediet radikal atau menghambat reaksi oksidasi molekul lain. Antioksidan akan mengoksidasi dirinya sendiri, sehingga rangkaian reaksi kerusakan dapat dihindari (Hamid dkk., 2010). Antioksidan telah digunakan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah industri kosmetik. Industri-industri kosmetik mulai menambahkan antioksidan seperti vitamin C dan E ke dalam produk tabir suryanya. Vitamin C merupakan suatu antioksidan yang efektif. Vitamin C (AscH-) dalam larutan air akan menetralkan radikal hidroksil, alkoksil, dan lipid peroksida (ROO.). Reaksi tersebut akan menghasilkan air, alkohol, dan lipid hidroperoksida. Sementara itu, vitamin C akan menjadi radikal yang sangat stabil (Asc -.) (Lü dkk., 2010). Penambahan antioksidan akan menghasilkan perlindungan tabir surya 2 lapis. Penyaring UV menyediakan perlindungan pasif dengan mekanisme penyerapan dan pemantulan radiasi UV. Sementara itu, antioksidan memberikan perlindungan aktif dengan reaksi penetralan radikal bebas. Antioksidan juga dapat mendorong persediaan antioksidan alami tubuh untuk memadamkan ROS dari radiasi UV yang berhasil melewati penyaring UV (Wang dkk., 2011). Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat dievaluasi secara in vitro menggunakan
metode
peredaman
radikal
DPPH
(2,2-Diphenyl-1-
10
picrylhydrazyl). DPPH adalah suatu radikal bebas yang stabil pada suhu kamar. DPPH akan menghasilkan larutan berwarna ungu dalam etanol. Penentuan aktivitas antioksidan dengan metode ini didasarkan pada terjadinya reduksi reagen DPPH oleh senyawa antioksidan, sehingga berakibat pada penurunan intensitas warna DPPH (Huang, 2005). Aktivitas antioksidan senyawa digambarkan dalam nilai IC50, yaitu konsentrasi antioksidan untuk menghambat pembentukkan radikal DPPH sebanyak 50%. Semakin rendah nilai IC 50 maka aktivitas suatu senyawa sebagai antioksidan semakin kuat (Sahoo dkk., 2014). Reaksi yang terlibat dalam analisis metode peredaman radikal DPPH dapat berupa reaksi transfer hidrogen maupun transfer elektron (Xie dan Schaich, 2014).
N
N N
O2N
NH NO2
+
RH
O2N
NO2
+
R-
NO2
NO2
Gambar 2. DPPH bentuk radikal bebas (Pardede, 2014)
Metode peredaman radikal DPPH merupakan metode sederhana, mudah, dan cepat
untuk
evaluasi
aktivitas
antioksidan
suatu
senyawa
dengan
spektrofotometri, namun memiliki kelemahan pada waktu penggunaanya (Huang dkk., 2005).
11
5. Minyak Kencur Minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) adalah minyak atsiri yang diperoleh dari rimpang kencur. Jumlah kandungan minyak kencur di dalam rimpang kencur kurang lebih sebesar 1,5-2% (Bhuiyan dkk., 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2014), minyak kencur memiliki komponen utama berupa ethyl cinnamate (29,48%), ethyl-pmethoxycinnamate (18,42%), γ-cadinene (9.81%), 1,8-cineole (eucalyptol) (6.54%), δ-carene (6.19%), borneol (5.21%), ethyl-methoxycinnamate (2.15%), camphene (1.58%), linoleoyl chloride (1.35%) dan α-pinene (1.32%). Turunan asam sinamat dalam minyak kencur diketahui dapat beraktivitas sebagai penyerap radiasi UV dan antioksidan (Sharma, 2011). Ethyl-pmethoxycinnamate menunjukkan peningkatan perlindungan terhadap sinar matahari dan lebih efektif terhadap UV B daripada UV A (Athikomkulchai dkk., 2007; Hassan dkk., 2013). Aktivitas tabir surya turunan asam sinamat disebabkan oleh struktur aromatik yang terkonjugasi dengan gugus karbonil dalam molekulnya (Hamblin dan Huang, 2013). Konsentrasi minyak kencur untuk menghambat pembentukkan radikal DPPH sebesar 50% (IC50) adalah 26 µg/ml (Sahoo dkk., 2014). Senyawa yang diduga bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan minyak kencur adalah ethyl cinnamate dan ethyl-p-methoxycinnamate. Kedua senyawa ini memiliki gugus vinyl (-CH=CH-) di antara cincin benzen dan gugus karboksil. Stabilisasi molekul setelah bereaksi dengan radikal bebas akan terjadi melalui efek konjugasi dan resonansi (Leopoldini dkk., 2004).
12
O
O
O
O
ethyl cinnamate ethyl-p-methoxycinnamate Gambar 3. Struktur ethyl-p-methoxycinnamate dan ethyl cinnamate (Kumar, 2014)
O
Penentuan sifat fisika dan sifat kimia suatu minyak atsiri perlu dilakukan sebagai upaya kontrol kualitas. Penentuan sifat fisika minyak atsiri diantaranya adalah penentuan bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam alkohol, titik beku, dan residu penguapan. Sementara itu, penentuan sifat kimia tergantung dari jenis komponen kimia yang akan ditentukan, seperti penentuan bilangan asam, total alkohol, ester, dan lain-lain (Guenther, 1948). Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam udara (medium lebih renggang) dengan kecepatan cahaya dalam zat (medium lebih rapat) seperti minyak atsiri (Baser dan Buchbauer, 2010). Indeks bias minyak atsiri berhubungan dengan komponen-komponen yang terkandung dalam minyak atsiri. Semakin banyak komponen rantai panjang atau komponen bergugus oksigen yang ikut tersuling maka kerapatan medium minyak atsiri akan bertambah. Peningkatan kerapatan medium akan menyebabkan cahaya yang datang lebih sulit dibiaskan. Sementara itu, kandungan air dalam minyak atsiri akan menyebabkan penurunan indeks bias. Hal ini disebabkan karena air mudah membiaskan cahaya. Nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh oksidasi. Oksidasi pada minyak atsiri dapat mengakibatkan terjadinya resinifikasi. Resinifikasi adalah proses bergabungnya molekul kecil (monomer) membentuk rantai polimer dari beberapa monomer. Terbentukknya polimer akan menyebabkan
13
perubahan ukuran molekuler dan peningkatan viskositas. Peningkatan viskositas dapat menyebabkan peningkatan nilai indeks bias (Tisserand dan Young, 2013). 6. Kitosan Kitosan adalah suatu kopolimer D-glucosamine dan N-acetyl-Dglucosamine yang diperoleh dari deasetilasi kitin (Xu dkk., 2014). Kitin dapat diperoleh dari cangkang kepiting, udang, dan lobster (Kumar dkk., 2004). Ketika derajat deasetilasi kitin mencapai kurang lebih 50% (tergantung dari asal polimer), kitin menjadi larut di media larutan asam dan disebut dengan kitosan. Pelarutan terjadi karena adanya protonasi gugus -NH2 pada posisi C-2 unit pengulangan D-Glucosamine, sehingga polisakarida dikonversi menjadi sebuah polielektrolit dalam media asam (Rinaudo, 2006). Kitosan dapat larut dalam larutan asam pada pH di bawah 6, tetapi tidak dapat larut pada larutan netral atau basa pada pH di atas 6,5 (Yi dkk., 2005; Rowe dkk., 2006). Gugus amina akan bermuatan positif pada pH rendah (terprotonasi), sehingga kitosan menjadi polielektrolit kation yang larut di dalam air. Ketika pH dinaikkan di atas 6, gugus amina kitosan menjadi terdeprotonasi, sehingga polimer kehilangan muatannya dan menjadi tidak larut. Transisi larut-tidak larut terjadi pada nilai pKa amina yaitu disekitar pH antara 6 dan 6,5 (Pillai dkk., 2009).
14
CH2OH
CH2OH
H
H OH
O
H
O
H
O
H
OH
H
H H
O
H
H
NHCOCH3
NHCOCH3
n
Kitin CH2OH
CH2OH
H
H OH
O
H
O
H
O
H
OH
H
H H
NH2
O
H
H
NH2
n
Kitosan Gambar 4. Potongan struktur kitin dan kitosan (Kumar, 2000)
Kitosan telah digunakan secara luas di berbagai bidang, seperti fotografi, bioteknologi, kosmetik, pemrosesan makanan, produk biomedis, sistem pelepasan obat terkontrol, dan pemrosesan limbah industri (de Alvarenga, 2011). Kitosan merupakan komponen penting dalam krim perawatan kulit karena sifat antibakterinya. Kitosan dapat membentuk film elastis, pelindung, dan pelembab pada permukaan kulit. Kitosan juga dapat mengikat komponen lain yang bekerja di kulit. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan dalam formulasi tabir surya. Kitosan merupakan agen peningkat viskositas yang sangat baik di lingkungan karena berat molekul yang tinggi dan struktur linier tidak bercabang dalam strukturnya (Singla dan Chawla, 2001). Kitosan juga memiliki aktivitas antioksidan (Ngo dan Kim, 2014). 7. Nanoemulsi Nanoemulsi adalah suatu dispersi air atau minyak dalam minyak atau air yang distabilkan oleh molekul surfaktan dengan ukuran droplet emulsi pada rentang 20-600 nm (Gupta dkk., 2010). Ukuran droplet nanoemulsi yang sangat
15
kecil menyebabkan gaya gravitasi menjadi lebih kecil, sehingga gerak Brown dapat mengatasi pengaruh gaya gravitasi. Akibatnya, creaming, flokulasi, dan pengendapan tidak terjadi selama penyimpanan nanoemulsi (Tadros dkk., 2004). Nanoemulsi adalah penghantar yang potensial bagi kosmetik terkontrol. Nanoemulsi dapat mengoptimalkan dispersi zat aktif ke dalam lapisan kulit tertentu (Guglielmini, 2008). Sistem nanoemulsi dapat menembus kulit pada jangkauan yang lebih besar dibandingkan komposisi topikal biasa. Nanoemulsi memiliki luas area permukaan yang lebih luas dan energi bebas yang lebih besar dari makroemulsi, sehingga nanoemulsi merupakan sistem transport yang lebih efektif. Nanoemulsi juga dapat diformulasikan ke berbagai formulasi, seperti busa, krim, cairan, dan spray (Jansen, 2010). Kelebihan lain dari nanoemulsi adalah kemampuannya meningkatkan stabilitas kimia zat aktif, seperti minyak atsiri, terhadap pengaruh udara, cahaya, kelembapan dan suhu tinggi sebagai faktor-faktor pemicu terjadinya penguapan dan degradasi komponen aktif (Bilia dkk., 2014). 8. Krim Krim adalah suatu sediaan semipadat yang terbuat dari campuran 2 fase (minyak dan air) yang tidak dapat saling campur, sehingga membutuhkan emulgator yang sesuai (semisolid emulsion) untuk pencampurannya. Krim ditujukan untuk aplikasi pada kulit (external application). Krim adalah suatu sistem emulsi dengan karakteristik mudah dioleskan, berpenampilan tidak jernih, konsistensi dan sifat reologinya tergantung pada jenis emulsi (o/w atau w/o), sifat, dan konsentrasi zat padat yang terdapat di dalam formula. Emulsi
16
tipe o/w digunakan sebagai basis tercuci. Sementara itu, emulsi tipe w/o digunakan sebagai emollient dan cleansing (Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008). Disamping organoleptis, krim memiliki beberapa sifat fisik, yaitu viskositas, daya sebar, daya lekat, tipe emulsi, dan rasio pemisahan. Rasio volume pemisahan adalah perbandingan antara volume emulsi yang masih homogen dengan volume emulsi mula-mula. Jika luas penampang wadah yang digunakan sama, maka rasio volume pemisahan dapat dinyatakan sebagai perbandingan tinggi antara emulsi yang masih homogen dengan tinggi emulsi mula-mula. Rasio pemisahan menjadi parameter penting dalam evaluasi stabilitas emulsi. Semakin besar nilai F atau semakin mendekati 1, maka stabilitas emulsi semakin baik (Mollet dan Grubenmann, 2001). Stabilitas suatu sediaan kosmetik dapat diukur dengan metode uji stabilitas dipercepat. Beberapa tipe uji dipercepat yang bisa digunakan adalah temperature and humidity combination test, cyclical temperature test, dan centrifugal separation method (Mitsui, 1997). 9. Simplex Lattice Design Metode Simplex Lattice Design (SLD) adalah metode untuk menentukan formula optimum dari suatu formula yang tersusun dari campuran bahan dengan komposisi jumlah yang berbeda. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam Simplex Lattice Design adalah jumlah total variabel harus konstan (satu bagian) dan variabel bebas adalah faktor yang harus dikombinasikan (Bolton, 1997).
17
Pengukuran respon dapat dihubungkan dengan model matematika yang cocok untuk masing-masing design. Menurut Bolton (1997), model matematika yang cocok untuk masing-masing design ada 3, yaitu: a. Linear model Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 b. Quadratic model Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β12X1X2 + β13X1X3 + β23X2X3 c. Special cubic Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β12X1X2 + β13X1X3 + β23X2X3 + β123X1X2X3 Y adalah respon, X1X2X3 adalah fraksi campuran komponen, dan β 123 adalah koefisien regresi yang dihitung berdasarkan respon percobaan. 10. Monografi Bahan a. Tween 80 (polioksietilen 20 sorbitan monooleat)
w + x + y + z = 20, R= C7H33 Gambar 5. Struktur kimia Tween (Rowe dkk., 2009)
Tween 80 merupakan suatu emulgator, surfaktan non ionik, pelarut, pembasah, dan bahan penyuspensi. Tween 80 digunakan secara luas dalam kosmetik dan sedian topikal. Tween 80 dianggap tidak toksik, serta tidak
18
iritan. Tween 80 adalah cairan berminyak yang berwarna kuning pada suhu 25 oC dengan berat molekul sebesar 1310 dan specific gravity sebesar 1,08. Tween 80 memiliki nilai HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) sebesar 15,0. Viskositas yang dimiliki adalah sebesar 425 mPas. Tween 80 larut dalam etanol dan air. Tween 80 tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur. Tween 80 memiliki toksisitas cukup rendah dengan nilai LD50 pada tikus (oral) sebesar 25 gram/KgBB (Rowe dkk., 2006). b. PEG 400 (Polyethylene Glycol 400) PEG atau α-Hydro-ῳ-hydroxypoly (oxy-1,2-ethanediyl) adalah suatu emulgator, suspending agent, dan penstabil emulsi. PEG telah digunakan secara luas dalam formulasi produk parenteral, topikal, mata, oral, dan rektal. PEG memiliki bentuk yang berbeda tergantung dari berat molekulnya. PEG 400 berwujud cair dan dapat larut di air, aseton, alkohol, benzen, gliserin, dan glikol. pH PEG 400 dalam larutan konsentrasi 5% adalah 4,0-7,0. PEG memiliki viskositas pada suhu 25 0C sebesar 90 mm2/s (cSt) dan HLB sebesar 13,1. PEG bersifat stabil, hidrofilik, dan tidak iritan terhadap kulit (Rowe dkk., 2006). H HO
C
H H2C
H
O
CH2
m
C
OH
H
Gambar 6. Potongan struktur kimia PEG (Rowe dkk., 2009)
c. Minyak zaitun (Oleum Olivarum) Minyak zaitun adalah campuran gliserida asam lemak yang berfungsi sebagai oleaginous vehicle (pembawa berminyak). Minyak zaitun digunakan
19
sebagai suatu pelarut dan kondisioner pada produk kosmetik kulit dan rambut. Minyak zaitun hampir tidak larut dalam etanol (95%). Minyak zaitun larut dalam eter, kloroform, petroleum ringan (50-70 oC), dan karbon disulfida. Indeks refractive minyak zaitun adalah 1,4657–1,4893. Minyak zaitun umumnya dianggap bahan tambahan yang tidak iritan dan tidak toksik (Rowe dkk., 2006). d. Asam stearat (asam oktadekanoat) Asam stearat merupakan serbuk putih, putih kekuningan atau kristal putih atau kuning pudar, keras, dan sedikit mengkilap. Asam stearat digunakan sebagai emulgator dan solubilizing agent pada formula topikal. Basis krim netral (non ionik) akan terbentuk ketika terjadi netralisasi asam stearat oleh alkali. Asam stearat juga digunakan secara luas dalam produk kosmetik dan makanan. Asam stearat bersifat tidak toksik dan tidak iritan. Asam stearat mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter, serta larut dalam etanol (95%), heksan, dan propilen glikol. Asam stearat hampir tidak larut di air. Asam stearat akan meleleh pada suhu ≥ 54 oC (Rowe dkk., 2006).
Gambar 7. Struktur kimia asam stearat (Rowe dkk., 2009)
e. Setil Alkohol Setil alkohol (Heksadekan-1-ol) adalah suatu emulgator dan emolien. Setil alkohol dapat menyerap air. Setil alkohol juga dapat meningkatkan
20
stabilitas, tekstur, dan konsistensi krim. Peningkatan stabilitas emulsi tipe o/w akan terjadi ketika setil alkohol dikombinasikan dengan emulgator larut air. Kombinasi setil alkohol berlebih dengan larutan aqueous emulgator di dalam emulsi semipadat akan menghasilkan fase kontinyu yang viskoelastis. Kombinasi tersebut juga akan memberikan sifat semipadat pada emulsi, dan mencegah terjadinya koalesensi droplet. Setil alkohol praktis tidak larut dalam air dan mudah larut dalam etanol (95%), serta eter. Kelarutan setil alkohol akan meningkat dengan peningkatan suhu. Titik leleh setil alkohol adalah 45-52 oC (Rowe dkk., 2006).
H H
C
H (CH2)14
H
C
OH
H
Gambar 8. Struktur kimia setil alkohol (Rowe dkk., 2009)
f. Air suling Air suling merupakan cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau (Depkes, 1996). F. Landasan Teori Turunan sinamat dalam minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) diduga bertanggung jawab terhadap aktivitas tabir surya dan antioksidan. Uji in vitro terhadap minyak kencur memberikan informasi adanya peningkatan aktivitas tabir surya minyak kencur dalam bentuk sediaan nanoemulsi (Wihelmina, 2011). Minyak kencur dalam konsentrasi 8% memiliki nilai SPF sebesar 3,14, sedangkan minyak kencur dalam bentuk sediaan nanoemulsi pada
21
konsentrasi 5% memiliki nilai SPF sebesar 3,33. Formulasi krim o/w dengan konsentrasi minyak kencur sebesar 7% menghasilkan nilai SPF 4,69 atau setara dengan 0,67 unit/1% minyak kencur (Athikomkulchai dkk., 2007). Aktivitas antioksidan minyak kencur dilaporkan oleh Sahoo dkk. (2014). Nilai IC50 minyak kencur pada uji aktivitas peredaman radikal bebas DPPH adalah sebesar 26 µg/mL (Sahoo dkk., 2014). Aplikasi nanoemulsi pada formulasi minyak atsiri mampu meningkatkan stabilitas terhadap pengaruh lingkungan (Bilia dkk., 2014). Uji stabilitas pada penyimpanan suhu rendah, kamar, dan tinggi, serta cycling test dan uji sentrifugasi terhadap nanoemulsi minyak kencur menunjukkan tidak adanya pemisahan fase nanoemulsi. Mahdi dkk. (2011) memformulasikan sediaan krim nanoemulsi anti aging dengan stabilizer dan thickening agent berupa setil alkohol. Ukuran partikel krim nanoemulsi yang dihasilkan mirip dengan ukuran partikel nanoemulsi tanpa thickening agent. Penggunaan setil alkohol dan asam stearat sebagai basis krim o/w minyak kencur menghasilkan krim tabir surya dengan sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik pada uji freeze thaw selama 6 siklus. Krim minyak kencur yang dibuat memiliki viskositas sebesar 25800 cps dengan pH sebesar 6,61 (Athikomkulchai dkk., 2007). Penggunaan thickening agent berupa kitosan pada berbagai bobot molekuler sebagai pengganti xanthan gum dan Na+EDTA dalam formula losion tabir surya 7019/1C Sun Smat menghasilkan losion dengan rentang nilai pH sebesar 6,7 hingga 7,2 dan nilai SPF sebesar 14,5 hingga 16,2. Viskositas apparent,
22
stabilitas produk, hidrasi, dan efek perlindungan terhadap sinar matahari juga mengalami peningkatan (Chen dan Heh, 1999). G. Hipotesis 1. Nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) dapat diformulasikan menjadi sediaan krim dengan basis berupa kitosan, asam stearat, dan setil alkohol. 2. Formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) memiliki sifat fisik yang baik dan bersifat stabil pada cycling test dan uji sentrifugasi. 3. Formula optimum krim nanoemulsi minyak kencur (Oleum Kaempferiae Galangae Rhizomae) memiliki aktivitas tabir surya dan aktivitas antioksidan pada uji in vitro
23