BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Selama beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak skandal akuntansi
perusahaan besar yang mengguncang dunia. Salah satu yang paling mengundang perhatian adalah kasus Enron (2001). Pada awalnya, Enron adalah perusahaan yang terlalu besar, terlalu penting dan terlalu berharga untuk gagal (Walker, 2002). Namun, kenyataannya Enron telah melakukan window dressing dengan memanipulasi angka-angka dalam laporan keuangan agar kinerjanya terlihat baik. Terungkapnya berbagai skandal keuangan tersebut tidak lepas dari keberanian seseorang untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi di perusahaannya. Pihak yang berani memberikan laporan mengenai suatu dugaan tindakan ilegal, tidak bermoral dan melanggar hukum disebut pengadu atau whistleblower (Near dan Miceli, 1995). Ada beberapa nama whistleblower yang terkenal karena mengungkapkan skandal kecurangan besar kepada publik. Misalnya, Sherron Watkins yang merupakan mantan wakil presiden Enron. Dia memaparkan penerapan metode akuntansi Enron yang sangat tidak teratur yang digunakan
untuk
menyembunyikan
kondisi
keuangan
perusahaan
yang
sebenarnya (Semendawai et al., 2011) Dalam kasus lain, Cynthia Cooper yang merupakan wakil presiden audit internal WorldCom berhasil menemukan dan mengungkapkan kecurangan praktik-praktik akuntansi yang dilakukan oleh CEO, CFO dan auditor senior WorldCom. Praktik kecurangan tersebut berhasil memalsukan pendapatan perusahaan hingga $3,8 milliar. Cynthia Cooper yang menjadi whistleblower dalam kasus WorldCom menunjukkan bahwa seorang akuntan dapat menjadi whistleblower karena akuntan dilatih untuk memeriksa dan mengenali pelaporan aktivitas keuangan yang ilegal dan tidak sesuai. Di samping kemampuan profesionalnya, akuntan juga memiliki kewajiban etis untuk melaporkan aktivitas keuangan yang tidak jujur (Mc Devitt dan Van Hise, 2002; Shawver dan Clements, 2006).
1
Perkembangan jumlah pihak yang berani untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam perusahaan tempat dia bekerja, semakin bertambah seiring dengan mulai adanya perlindungan hukum yang diberikan kepada whistleblower. Menurut Finn (1995), whistleblowing adalah sebuah keputusan yang penuh dengan pertimbangan etis serta konsekuensi pribadi dan profesional yang dapat memunculkan dampak berupa pemecatan atau bahkan lebih. Untuk mengambil keputusan dalam melaporkan kecurangan yang dilakukan perusahaan, whistleblower pasti memiliki beberapa pertimbangan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi niat seseorang untuk melakukan whistleblowing (whistleblowing intention) telah banyak dilakukan dengan membandingkan negara-negara yang mempunyai dimensi kultur yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Keenan (2002), King (2000), Tavakoli et al. (2003), meneliti mengenai pengaruh perbedaan kultur dalam melakukan tindakan whistleblowing. Kultur memegang peranan penting dalam tindakan etis karena orientasi etika berhubungan erat dengan latar belakang kultur (French dan Weis, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Park et al. (2008), Su (2006), dan Teoh et al. (1999) telah membuktikan bahwa perbedaan kultur antar negara akan berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi etis individu dalam melaporkan tindakan yang tidak etis. Penelitian yang dilakukan oleh Brody et al. (1998) menguji pengaruh kultur terhadap persepsi etis, tanggung jawab pribadi dan tindakan yang akan diambil oleh seorang whistleblower. Penelitian ini dilakukan pada 19 orang mahasiswa akuntansi di Jepang dan 20 orang mahasiswa akuntansi di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kultur yang signifikan antar kedua negara terhadap keinginan bertindak, tanggung jawab ke pihak lain dan tanggung jawab pribadi untuk memperbaiki kecurangan yang terjadi. Perbedaan utama terjadi pada dimensi individualisme dan kolektivisme. Mahasiswa akuntansi di Jepang cenderung bersifat kolektivis sehingga mereka lebih melindungi teman daripada atasannya. Dalam berbagai penelitian mengenai pengaruh kultur terhadap whistleblowing, mahasiswa akuntansi banyak menjadi
2
subjek penelitian dibandingkan akuntan atau auditor profesional karena para mahasiswa akuntansi belum menerima pengaruh dari organisasi sehingga perbedaan kultur dalam persepsi etika dapat diamati dengan lebih jelas (Brody et al., 1998). Penelitian lintas kultur antar negara yang telah dilakukan sebelumnya, didasarkan pada dimensi kultur yang dikembangkan oleh Hofstede dan Hofstede (2001). Penelitian Hofstede menilai kultur lebih dari 50 negara yang disurvei ke dalam enam dimensi yaitu jarak kekuasaan (power distance), penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance), individualisme atau kolektivisme (individualism or collectivism), maskulinitas atau feminitas (masculinity or femininity), orientasi jangka panjang atau pendek (long term or short term orientation), dan kesenangan atau pengendalian diri (indulgence or restraint). Salah satu negara yang dinilai kulturnya adalah negara Indonesia. Skor kultur Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Hofstede mengeneralisasi kultur seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan, Indonesia sendiri dikenal sebagai negara kepulauan yang multikultural. Seiring dengan perubahan kultur masyarakat yang dinamis, skor kultur Hofstede yang dilakukan pada tahun 1963 tersebut juga mungkin telah mengalami beberapa perubahan. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa kultur antar provinsi di Indonesia memiliki perbedaaan satu sama lainnya dan apakah kultur yang dimiliki oleh provinsi tersebut akan mempengaruhi niat mahasiswa akuntansi dalam melakukan tindakan whistleblowing. Menurut Christie et al. (2003), kultur akan mempengaruhi pengambilan keputusan etis ketika berinteraksi dengan jenis kelamin, pendidikan dan kepribadian individu. Penelitian Christie et al. (2003) tersebut didukung dengan beberapa penelitian yang menghubungkan kultur dan kepribadian individu dalam pengambilan keputusan etis untuk melakukan tindakan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh Park et al. (2014) menghubungkan whistleblowing dengan faktor individu berdasarkan theory of planned behavior yang meliputi sikap positif atau negatif seseorang terhadap sistem pengaduan, norma subjektif, dan kontrol perilaku.
3
Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Trongmateerut dan Sweeney (2013) menguji hubungan norma subjektif terhadap whistleblowing. Hasil penelitian pada mahasiswa akuntansi di Amerika Serikat dan Thailand menunjukkan bahwa pengaruh norma subjektif terhadap niat untuk melakukan whistleblowing pada mahasiswa akuntansi di Thailand lebih tinggi dari mahasiswa akuntansi di Amerika Serikat. Penelitian mengenai tipe kepribadian yang telah dilakukan oleh Park et al. (2014) menunjukkan bahwa orientasi nilai dan tipe kepribadian akan berpengaruh terhadap perilaku whistleblowing. Penelitian tersebut menggunakan skala kepribadian Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) yang terdiri dari skala extraversion or introversion, sensing or intuition, thinking or feeling, dan judging or perceiving. Park et al. (2014) membuktikan bahwa pengaruh skala kepribadian (MBTI) terhadap sikap whistleblowing akan berbeda sesuai dengan tipe kepribadian dan tipe whistleblowing. Skala kepribadian MBTI dikembangkan dari teori tipe kepribadian yang dikembangkan oleh Jung (1971). Tipe kepribadian Jung membagi tipe kepribadian manusia menjadi dua golongan besar yaitu tipe ekstrovert dan tipe introvert. Kedua tipe kepribadian ini memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda pada sikap dan pola interaksi individu (Sobur, 2003). Eysenck dan Wilson (1982) menyusun Eysenck Personality Inventory (EPI) untuk mengukur skala kepribadian ekstrovert dan introvert seorang individu. Individu
dengan
tipe
kepribadian
ekstrovert
cenderung
berani
mengungkapkan perasaan dan idealismenya. Sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung menjauhkan diri dan tidak mudah bergaul dengan orang lain. Dengan ciri-ciri yang saling bertolak belakang ini, keputusan yang akan diambil oleh individu terkait dengan pengungkapan kecurangan juga akan berbeda. Hingga saat ini belum ada penelitian yang meneliti apakah individu dengan kepribadian ekstrovert atau introvert yang akan lebih berniat melakukan tindakan whistleblowing. Sejauh ini, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya membandingkan sikap ekstrovert dan introvert dengan dimensi lain dalam beberapa alat ukur tipe kepribadian seperti MBTI dan big five personality traits.
4
Penelitian ini akan mengeksplorasi apakah terdapat perbedaan kultur antar provinsi di Indonesia dengan mengambil sampel di tiga provinsi di Indonesia, yaitu provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Mahasiswa akuntansi di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia dan Universitas Sumatera Utara dipilih untuk mewakili masing-masing provinsi. Kemudian, kultur yang dimiliki oleh masing-masing provinsi akan diteliti pengaruhnya terhadap niat mahasiswa akuntansi untuk melakukan whistleblowing. Tidak hanya itu, penelitian ini juga akan menguji apakah perbedaan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert akan mempengaruhi
niat mahasiswa akuntansi untuk melakukan
whistleblowing. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya,
permasalahan yang ingin diteliti dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan kultur antar mahasiswa akuntansi di provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara? 2. Apakah kultur di provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara mempengaruhi niat mahasiswa akuntansi untuk melakukan whistleblowing? 3. Apakah tipe kepribadian mahasiswa akuntansi di provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara mempengaruhi niat mahasiswa akuntansi untuk melakukan whistleblowing? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah kultur dan tipe
kepribadian mahasiswa akuntansi di provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara akan mempengaruhi niat mereka dalam melakukan tindakan whistleblowing. Sebelum mencapai tujuan itu, penelitian ini akan terlebih dahulu menguji apakah terdapat perbedaan kultur diantara provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Berdasarkan tujuan yang sudah disebutkan di atas, penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
5
1.3.1 Di bidang akademis, penelitian ini akan memperkaya literatur terkait dengan pengaruh kultur terhadap etika akuntansi khususnya niat untuk melakukan whistleblowing, terlebih lagi belum adanya penelitian yang menguji pengaruh kultur provinsi di Indonesia terhadap niat untuk melaporkan tindakan kecurangan. Selain itu, penelitian ini juga akan menambah literatur terkait pengaruh tipe kepribadian yang cenderung lebih berniat dalam melakukan tindakan whistleblowing. 2.3.1 Di bidang praktisi, penelitian ini diharapkan memberikan insights baru, baik regulator maupun entitas bisnis, untuk pemahaman mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi seorang individu untuk melakukan tindakan whistleblowing. 1.4
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN;
berisi
latar
belakang
masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
: TELAAH
LITERATUR
DAN
PENGEMBANGAN
HIPOTESIS; berisi landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis. BAB III
: METODE
PENELITIAN;
berisi
uraian
mengenai
variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis. BAB IV
: ANALISIS
DATA
DAN
PEMBAHASAN;
berisi
deskripsi objek penelitian, analisis data, dan interpretasi hasil. BAB V
: PENUTUP; berisi kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya.
6