BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Tulisan ini hendak mengkaji lebih jauh tren profesionalisasi NGO. 1
Praktek profesionalisasi, pada taraf tertentu, dapat memunculkan benturan dan/atau ketegangan institusional dalam pengelolaan NGO.2 Sebab, di satu sisi, profesionalisasi mampu menjadikan NGO lebih terstruktur, formal, wellorganized, dan modern, melalui penerapan standar-standar profesional dalam manajemen organisasi. 3 Namun di sisi lain, ia akan mengurangi atau bahkan mengikis unsur volunterisme dalam operasionalisasi NGO, sehingga kegiatan aktivisme
sukarela
(volunteer-activism)
dan
penyadaran
sosial
(social
conscientization) yang merefleksikan motivasi luhur serta alasan utama kehadiran organisasi selama ini, lambat laun hilang dan/atau bahkan tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Benturan antara keduanya jelas memperlihatkan bahwa profesionalisasi merupakan masalah pelik yang dialami oleh NGO yang mempraktekkannya. Sebagai ikhtiar untuk meningkatkan taraf profesionalisme organisasi, profesionalisasi bukanlah sebuah aktivitas “tanpa cela”. Profesionalisasi yang mengambil
wujud
berupa
pengembangan
kapasitas,
standarisasi
sistem
perencanaan, prosedur rekrutmen personil, mekanisme pelaporan, dan praktek
1_NGO (Non Governmental Organization) merupakan salah satu varian dari Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization/CSO). Selain NGO, CSO memiliki jenis pelembagaan yang beragam, yakni organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, kelompok sosial, organisasi perempuan, organisasi kepemudaan, kelompok tani, organisasi buruh, organisasi profesi, dan lain-lain. 2
_Kata benturan (clash), dalam tulisan ini, secara sederhana diartikan sebagai situasi ketidaksesuaian antara dua unsur (pendekatan) bila diterapkan secara bersamaan, karena alasan dan kondisi tertentu. Dalam situasi tersebut, sebuah unsur akan membatasi atau bahkan meniadakan penggunaan unsur lain atas dasar perbedaan karakteristik yang dimiliki.
3
_Profesionalisasi menghendaki agar NGO dikelola berdasarkan prosedur manajerial-teknokratis demi perwujudan profesionalisme organisasi pada taraf tertentu.
1
akuntabilitas, seringkali menjadi ironi tersendiri yang menyebabkan NGO terkungkung dalam masalah organisasional berkepanjangan. Profesionalisasi, secara sederhana, dapat dimaknai sebagai proses penyiapan dan peningkatan kemampuan profesional meraih taraf profesionalisme tinggi dalam profesinya. Ide tentang profesionalisasi selalu berkenaan dengan bentuk dan konten kehidupan profesional, di mana struktur institusional, aktivitas individu, dan aktivitas organisasi menjadi bagian integral di dalamnya.4 Profesionalisme dipahami sebagai sebuah teknik pendisiplinan baru, dipraktekkan secara luas melalui properti-properti diskursif yang terkandung dalam label profesional. 5 Profesionalisme juga merupakan sebuah ide tentang pentingnya norma-norma etis guna pemeliharaan tindakan yang tepat. Seorang profesional memiliki 3 (tiga) karakteristik utama: (1) netralitas emosional─semua klien profesional diperlakukan secara setara (universalism); (2) layanan profesional disediakan untuk kebaikan kolektif dan dibatasi pada tugas faktual (kekhususan fungsional); serta (3) individu meraih profesionalisme melalui pelatihan personal (kompetensi yang dicapai) dan bukan melalui warisan.6 Profesionalisme sejatinya merupakan pencarian keunggulan, bukan hanya kompetensi. Ia adalah tindakan penyeimbangan kepentingan klien, organisasi, dan personil. Keseimbangan tersebut tidak hanya bersifat penting, tetapi merupakan syarat wajib untuk menjadi profesional yang kompeten, memiliki kualitas unggul dalam pekerjaan, menyediakan layanan sebaik mungkin bagi klien, terikat pada standar-standar baku, dan melakukan hal yang benar dalam semua layanan. 7 Profesionalisme dipandang sebagai taraf di mana personil terlatih berkomitmen 4
_Abbott. Dalam Hart, Lynn, Jennifer. 2002. Activism among Feminist Academics: Professionalized Activism and Activist Professionals. Dissertation. Arizona: University of Arizona. Hal. 16.
5
_Fournier, Valerie. Dalam Dent, Mike & Stephen Whithead (eds). 2002. Managing Professional Identities: Knowledge, Performativity, and the “New” Professional. New York: Routledge. Hal. 3.
6
_Parson, T. Dalam Wadensjo, Cecilia. 2004. Interpreting Professions, Professionalisation, and Professionalism. Dalam Wadensjo, Cecilia et al (eds). 2004. The Critical Link 4: Professionalization of Interpreting in the Community. Amsterdam: John Benjamins B.V. Hal. 3.
7
_Maister, D., H. 1997. True Professionalism. New York: Free Press. Hal. 6.
2
penuh terhadap pekerjaannya. Ia dikarakteristikkan oleh serangkaian atribut yang mencakup komitmen profesional kepada organisasi atau profesi, keyakinan kuat pada layanan altruistik, regulasi diri, dan otonomi.8 Studi mengenai diskursus profesionalisme layanan (professionalism of service) dalam organisasi, dapat diarahkan pada sejumlah elemen, yakni (a) pernyataan tentang profesionalisme yang melahirkan jenis pengetahuan tertentu mengenai sebuah sistem norma bersama dalam layanan; (b) aturan yang meresepkan cara pembahasan khusus tentang topik-topik tersebut dan mengenyampingkan cara lain─mengatur apa yang bisa dikatakan atau dipikirkan perihal profesionalisme; (c) individu yang mempersonifikasikan wacana─seperti, profesional atau manajer etis; (d) metode-metode di mana pengetahuan tentang profesionalisme meraih otoritas dan mulai membentuk kebenaran; (e) praktek institusional dalam memperlakukan semua subyek “tindakan siapa yang diatur serta diorganisir berdasarkan standar-standar profesionalisme; dan (f) pengakuan bahwa
diskursus
lainnya
akan
menggantikan
diskursus
terkini
serta
memungkinkan pembentukan diskursif baru.9 Profesional merupakan elemen penting bagi organisasi modern, sebab ia merupakan pekerja eksepsional yang memiliki pengetahuan khusus, terdidik, kreatif, dan bersosialisasi secara baik dengan pekerjaannya.
10
Profesional
berusaha mengembangkan gagasan-gagasan profesionalisme guna meningkatkan legitimasi diri. 11 Dalam bekerja, secara umum, profesional dimotivasi oleh pertimbangan materi dan/atau solidaritas untuk memenuhi tujuan-tujuan
8
_Antony, Shing, Tak, Chan. 2004. The Impact of Subordinates’ Professionalism on Leadership Effectiveness in the Construction Industry. Thesis. Hong Kong: The Hong Kong Polytechnic University. Hal. 2.
9
_Hall, S. 1997. The Work of Representation. Dalam Hall, S. (ed). 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications. Hal. 45-46.
10
_Benveniste, G. 1987. Professionalizing the Organization: Reducing Bureaucracy to Enhance Effectiveness. London: Jossey-Bass. Hal. 1.
11
_Middlehurst, Robin & Tom Kennie. 1997. Leading Professionals: Towards New Concepts of Professionalism. Dalam Broadbent, Jane et al (eds). 1997. The End of the Professions? The Structuring of Professional Work. New York: Routledge. Hal. 51.
3
individual seperti pendapatan, kekuasaan, gengsi, atau status sosial.12 Ciri seorang profesional jelas sangat bertolak belakang dengan amatir. Amatir adalah seseorang yang tidak berkualitas atau tidak cukup terampil; menunjukkan kekurangan keahlian, pengalaman, atau bakat dalam dirinya (amateurism). Amatir dicirikan oleh kekurangan kompetensi dan pengetahuan berguna. Amatir bukanlah pemain serius dalam pasar kompetitif.13 Gagasan profesionalisme memiliki ciri khusus dan melibatkan serangkaian nilai, sikap, dan perilaku, yakni (i) keahlian teknis-teoritis, kewenangan serta status yang mengalir dari pakar dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan bernilai tinggi; (ii) penyemaian atau penerapan trust sebagai basis hubungan profesional; (iii) kelekatan pada standar khusus dan etika profesional seringkali, tapi tidak selalu, direpresentasikan oleh perolehan lisensi untuk berpraktek; (iv) independensi, otonomi, serta diskresi; dan (v) sikap khusus terhadap pekerjaan, klien, serta sejawat─mencakup dedikasi, reliabilitas, fleksibilitas, juga kreativitas.14 Konsep profesionalisasi seringkali diidentikkan substansinya dengan terminologi “rasionalisasi, formalisasi, birokratisasi, atau korporatisasi” yang menunjuk pada upaya mentransformasi karakteristik organisasi dari konvensional menjadi modern, misalnya perubahan struktur organisasi dari non-hirarkis (flexible) ke hirarkis (fixed), metamorfosa strategi pengambilan keputusan yang semula bersifat kolektif (berdasarkan konsensus) menuju pengambilan keputusan yang mengikuti siklus manajemen rasional (dituntun oleh standar-standar profesional), dan perubahan-perubahan lainnya yang menopang predikat sebagai organisasi modern. Dan profesionalisasi NGO tentunya memuat aktivitas transformasi organisasional semacam itu. Indikator kunci profesionalisme dan 12
_Clark & Wilson. Dalam Brichta, Avraham. 1983. Amateurs and Professionals in Israeli Politics. International Political Science Review, Vol. 4, No. 1, pp. 28-35. Hal. 28.
13
_Dent, Mike & Stephen Whithead (eds). 2002. Managing Professional Identities: Knowledge, Performativity, and the “New” Professional. New York: Routledge. Hal. 3.
14
_Middlehurst, Robin & Tom Kennie. 1997. Leading Professionals: Towards New Concepts of Professionalism. Dalam Broadbent, Jane et al (eds). 1997. The End of the Professions? The Structuring of Professional Work. New York: Routledge. Hal. 51.
4
ukuran rasionalisasi organisasi ditunjukkan oleh penggunaan perencanaan strategis, audit keuangan independen, evaluasi kuantitatif program, dan konsultan.15 Meskipun demikian, sangat disadari bahwa ide tentang profesionalisme dan profesionalisasi cenderung samar serta multi-dimensional. Sedikitnya ada 4 (empat) domain utama profesionalisasi yang telah dikaji oleh para ilmuwan, yakni (1) profesionalisasi dalam domain bentuk organisasi: birokratisasi dan rasionalisasi; (2) profesionalisasi dalam domain strategi organisasi dan dampaknya terhadap nilai-nilai inti; (3) profesionalisasi sebagai suatu jenis khusus identitas dalam serangkaian okupasi; dan (4) profesionalisasi diasosiasikan dengan jenis khusus tindakan, sikap, dan perilaku sosial.16 Profesionalisasi memiliki 3 (tiga) komponen dasar. Ia adalah (a) sebuah proses, (b) memiliki standar-standar, dan (c) dengan tujuan pasti. Sebagai suatu proses, profesionalisasi merupakan prosedur sistematis yang memberikan masukan bagi profesi melalui serangkaian aktivitas pengembangan kapasitas dan persyaratan profesional lainnya serta program berkesinambungan. Yang mengiringi proses tersebut adalah standar-standar yang diatur oleh lembaga profesional yang menjamin kepastian kualitas aktivitas pemberian layanan dan kualifikasi personil, seperti kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan etika), keahlian dalam profesi, advokasi, serta semangat kesukarelawanan. Komponen selanjutnya adalah tujuan pasti yang memperkuat kompetensi dan memperjelas sasaran yang diinginkan.17 Profesionalisasi berkaitan dengan kebutuhan untuk meningkatkan prinsipprinsip gerakan yang bersifat standar, kohesif, dan efektif. Profesionalisasi berarti cara di mana orang-orang: (i) berakulturasi secara formal dan informal ke dalam 15
_Hwang, Hokyu & Walter W. Powell. 2009. The Rationalization of Charity: The Influences of Professionalism in the Nonprofit Sector. Administrative Science Quarterly, Vol. 54, No. 2, pp. 268-298. Hal. 268.
16
_Ganesh, Shiv & McAllum, Kirstie. 2010. Volunteering and Professionalization: Tensions and Trends. Francisco: University of Waikato, pp. 1-10. Hal. 3.
17
_Gines, C., Adelaida. 2013. Professionalization of Adult Educators: The Philippine Experience. American International Journal of Social Science, Vol. 2, No. 8, pp. 152-158. Hal. 156.
5
disiplin akademik; (ii) diakui serta dilegitimasi sebagai profesional dalam suatu disiplin tertentu; dan (iii) membentuk kehidupan profesional guna mengakomodir diri ke dalam konteks kerja di mana mereka berkarir.18 Profesionalisasi, di satu sisi, dikaitkan dengan transformasi aktivisme politik ke dalam bentuk pekerjaan atau karier, dan di sisi lain, dihubungkan dengan ketergantungan sektor pembangunan kepada kualifikasi formal serta pengetahuan ahli.19 Profesionalisasi disimpulkan akan mentransformasi NGO ke dalam rejim baru efisiensi, menuntun pada penyerapan secara intensif praktekpraktek komersil dalam manajemen organisasi.20 Profesionalisasi menunjuk pada proses penyatuan praktek terbaik diskursus-diskursus manajemen yang dipinjam dari sektor privat. Diskursus tersebut mencakup konsep korporatisasi, yakni proses menyerap perangkat-perangkat, atau mengeksebisi perilaku yang secara sederhana dihubungkan dengan korporasi berorientasi laba.21 Profesionalisasi memuat sejumlah tema fundamental, yakni (1) terdapat proses eksklusi, di mana pekerja-pekerja harus menentukan siapa yang berkualitas untuk inklusi: siapa yang memiliki abilitas untuk melaksanakan tugas pekerjaan dengan benar, dan mengenyampingkan semua orang yang tidak pantas dilibatkan. Bagi organisasi non-profit, hal ini mencakup penonjolan eksistensi pekerja yang digaji (paid employee) ketimbang relawan dalam manajemen organisasi; (2) tanpa kemampuan memformalisasikan basis pengetahuan okupasi, maka pendekatan profesional yang utuh bagi pelaksanaan tugas tidak dapat dimunculkan; (3) pengembangan program pelatihan profesional juga menyertakan pendirian asosiasi profesional yang meresepkan mode tindakan khusus baik melalui 18
_Griffin, G., Green, T., & Medhurst, P. 2005. The Relationship between the Process of Professionalization in Academe and Interdisciplinary: A Comparative Study of Eight European Countries. Kingston: University of Hull. Hal. 5.
19
_Roy, Srila. 2011. Politics, Passion, and Professionalization in Contemporary Indian Feminism. Sociology, Vol. 45, No. 4, pp. 587-602. Hal. 588.
20
_McCusker, Monique. 2008. The Politics and Micro-Politics of Professionalization: An Ethnographic Study of a Professional NGO and Its Interface with the State. Thesis. South Africa: University of Stellenbosch. Hal. iii.
21
_Ibid. Hal. 15.
6
penentuan norma-norma implisit maupun institusionalisasi kode etik yang diformalkan bagi anggota; dan (4) harus terdapat aktivisme politik yang berlanjut pada bagian sebuah profesi guna memenangkan simpati dari otoritas-otoritas mapan yang kemudian melanggengkan longevity profesi.22 Profesionalisasi, secara luas, menunjuk pada pengembangan keterampilan, identitas, norma, dan nilai yang dihubungkan dengan upaya menjadi bagian dari sebuah kelompok profesional. Pada level individu, profesionalisasi diukur melalui jenjang pendidikan yang diraih oleh seseorang, juga melalui standar-standar yang ditetapkan oleh asosiasi profesional dalam suatu industri tertentu. Sedangkan pada konteks organisasi non-profit, setidaknya ada 2 (dua) jenis profesionalisasi yang relevan. Pertama, profesionalisasi relawan, yakni meningkatkan taraf keahlian relawan dalam bidang layanan tertentu melalui pelatihan, dan/atau merekrut relawan yang telah memiliki keahlian sebelumnya. Tipe profesionalisasi yang kedua menghendaki penggunaan jasa profesional-profesional untuk mengelola dan menjalankan aktivitas organisasi.23 Istilah NGO profesional menegaskan bahwa suatu organisasi menawarkan layanan-layanan dari spesialis yang telah menempuh studi akademis serta layak disebut ahli dalam bidangnya. 24 Memaksimalkan dampak merupakan tujuan terbesar NGO, dan memaksimalkan pengaruh mensyaratkan keterampilan serta cara baru beroperasi. NGO harus mengatasi beberapa kecenderungan mereka pada insularitas, menjadi lebih percaya diri dengan analisis dan penelitian, juga belajar untuk menempatkan program-program akar rumput mereka dalam konteks makro.
22
_Caplow, 1954; Goode, 1957; Larson, 1977; Wilensky, 1964; Willbern, 1954. Dalam Sandberg, Billie. 2011. Problematizing Service in the Nonprofit Sector: From Methodless Enthusiasm to Professionalization. Dissertation. Arizona: Arizona State University. Hal. 5-7.
23
_Anheier, K., Helmut & Regina A. List. 2005. A Dictionary of Civil Society, Philantrophy, and the Non-Profit Sector. London: Routledge. Hal. 206.
24
_Sandberg, Billie. 2011. Problematizing Service in the Nonprofit Sector: From Methodless Enthusiasm to Professionalization. Dissertation. Arizona: Arizona State University. Hal. 2.
7
Oleh karena itu, NGO harus mempelajari keterampilan dialog, komunikasi, dan perencanaan strategis.25 Selain karena dorongan dan intensi internal organisasi, kebutuhan NGO melakukan profesionalisasi melalui formalisasi, dilatari oleh 2 (dua) faktor, yaitu (a) interaksi efektif NGO dengan pemerintah, mensyaratkan NGO memiliki keahlian memadai dalam bidang khusus, cukup menguasai manajemen organisasi, dalam terminologi transparansi serta akuntabilitas; dan (b) NGO diharuskan memenuhi kriteria kelayakan (eligibility) dalam pengelolaan bantuan atau pelaksanaan program dari lembaga donor yang menjadi sumber utama pendanaan.26 Profesionalisasi dianggap sebagai sesuatu yang mendesak dan penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pengorganisasian dan manajemen NGO. Oleh karenanya, profesionalisasi menjadi salah satu komponen adaptasi NGO terhadap persyaratan-persyaratan yang berhubungan dengan aktivitasnya. Profesionalisasi NGO menunjuk pada proses spesialisasi serta diversifikasi anggota dan struktur internal. 27 Profesionalisasi merupakan proses dalam mana aktivis-aktivis NGO diremunerasi atas dasar aktivitas-aktivitas gerakan yang mereka lakukan.28 Profesionalisasi personil dan rasionalisasi manajemen diterima sebagai cara oleh NGO (atau organisasi non-profit dan CSO pada umumnya) untuk memastikan bahwa layanan diadministrasikan dalam cara yang akuntabel dan
25
_Clark, John. 1992. Policy Influence, Lobbying, and Advocacy. Dalam Edwards, Michael & David Hulme. 1992. Making a Difference: NGOs and Development in a Changing World. London: Earthscan Publication Ltd. Hal. 196.
26
_Jailobaeva, Kanykey. 2008. The Professionalization of NGOs: A New Stage of NGO Development in Kyrgystan? Working Paper. United Kingdom: University of Edinburgh. Hal. 1.
27
_Saurugger, Sabine & Wolf-Dieter Eberwein. 2009. Professionalization and Participation: NGOs and Global Participatory Democracy? A Research Agenda. Paper for International Science Convention, pp. 1-26. Hal. 16-17.
28
_Lebon, Nathalie. 1998. The Labor of Love and Bread: Professionalized and Volunteer Activism in the Sao Paulo Women’s Health Movement. Dissertation. Gainesville: University of Florida. Hal. 2.
8
bertanggung jawab.29 Profesionalisasi ditujukan untuk merutinitaskan proses serta mempertahankan
atau
meningkatkan
kualitas
kerja
organisasi
guna
menjadikannya lebih efektif dan efisien dalam membentuk proses politik.30 Profesionalisasi juga berarti meningkatkan kemampuan teknikal dan manajerial serta menginstalasi sistem kontrol yang baik sehingga NGO bisa berfungsi layaknya badan-badan pemerintahan teknis. 31 Profesionalisasi juga berarti upaya peningkatan pemahaman atas standar ilmiah dan legal yang relevan serta penggunaan prosedur-prosedur yang disetujui. Profesionalisasi menjamin efektifnya transfer norma, sebab ia meninggikan kesadaran pihak-pihak yang telah menjadi terlatih.32 Dengan profesionalisasi, maka pandangan usang perihal organisasi horizontal yang didasarkan pada kesetaraan serta absensi hirarki dan otoritas, mulai beringsut secara bertahap menuju paradigma kompetensi, produktivitas, dan efisiensi yang modern. Nilai-nilai tersebut membentuk lingkungan institusional baru bagi NGO, dicirikan oleh pengaruh pasar yang termanifestasi melalui penyatuan model-model manajemen dengan logika bisnis dan pengaruh negara, melalui pendanaan dan regulasi, sehingga menghasilkan sebuah perubahan progresif dalam identitas organisasional mereka.33
29
_Schambra, W., A. Dalam Sandberg, Billie. 2011. Problematizing Service in the Nonprofit Sector: From Methodless Enthusiasm to Professionalization. Dissertation. Arizona: Arizona State University. Hal. 1.
30
_D. Rucht, B. Blattert, & D. Rink. Dalam Martens, Kerstin. 2006. Professionalised Representation of Human Rights NGOs to the United Nations. The International Journal of Human Rights, Vol. 10, No. 1, pp. 19-30. Hal. 4.
31
_Korten, David. Dalam Cumming, Gordon, D. 2008. French NGOs in the Global Era: Professionalization “Without Borders”? Original Paper. Voluntas, Vol. 19, pp. 372–394. Hal. 374.
32
_Aspinwall, Mark. 2013. Attitude Change: Professionalization, Institutional Permeability, and Rule of Law in Mexico's Labor and Environment Agencies. Numero Publicacion 242, pp. 1-38. Hal. 9.
33
_Vieira, Feitosa, and Correia. Dalam de Lima Rocha, B., Ivan et al. 2014. Governance in Brazilian NGOs: Payment and Professionalization. Proceeding of the 2nd International OFEL Conference of Governance, pp. 230-242. Hal. 232.
9
Dalam makna yang lebih sempit, diskursus profesionalisasi mengacu pada tantangan dan kualitas kerja substantif organisasi, di mana organisasi dianggap sebagai wadah berkumpulnya para ahli (pimpinan dan staf) yang menggunakan 34
pengetahuan luas mereka untuk memecahkan masalah yang kompleks.
Profesionalisasi adalah proses perekrutan staf-staf berbekal pelatihan khusus yang relevan dengan peran mereka dalam NGO. 35 Ia merefleksikan proses di mana masalah-masalah diatasi oleh orang-orang dengan pengetahuan khusus yang relevan dengan subyek masalah, pengalaman dan pelatihan.36 Dengan kata lain, profesionalisasi menegaskan bahwa NGO memiliki sejumlah besar ahli (atau profesional guna memecahkan masalah organisasi yang muncul.37 Profesionalisasi personil tercermin dari proses rekrutmen yang dilakukan. Demi menopang keberhasilan pengelolaan organisasi secara profesional, maka NGO berusaha mencari serta merekrut tenaga-tenaga ahli dan terlatih dengan menawarkan gaji yang atraktif kepada teknisi, ilmuwan pertanian, pekerja sosial, dan manajer dari lembaga-lembaga akademik bereputasi tinggi. Cara lain yang lebih praktis adalah menunggu orang-orang yang berpendidikan dan profesional tersebut datang dengan sendirinya, meminta bergabung dalam NGO bersangkutan. Upaya profesionalisasi personil ini, tak lain, adalah karena didorong oleh peningkatan interaksi dengan funding agency luar negeri yang menggaris-bawahi perlunya staf-staf NGO yang sangat terlatih untuk mengelola pendanaan,
34
_Maier, Florentine and Meyer, Michael. 2011. Managerialism and Beyond: Discourses of Civil Society Organization and Their Governance Implications. Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, Vol. 22, No. 4, pp. 731-756. Hal. 745.
35
_Rucht, D. & Roose, J. 1999. The German Environmental Movement at a Crossroad. Environmental Politics, Special Issues: Environmental Movements: Local, National, and Global, Vol. 8. No. 1, pp. 59-80. Hal. 78.
36
_Martens, Kerstin. 2006. Professionalised Representation of Human Rights NGOs to the United Nations. The International Journal of Human Rights, Vol. 10, No. 1, pp. 19-30. Hal. 21.
37
_Tornquist-Chesnier, Marie. Dalam Minnix, Todd, Christopher. 2007. Professional Public/Private Citizens: Human Rights NGOs and The Sponsoring of Public Discursive Activisim. Dissertation. Knoxville: The University of Tennessee. Hal. 31.
10
pelaporan, dan persyaratan-persyaratan monitoring yang substantif.
38
Guna
memonitor aktivitas-aktivitas NGO, funding agency kemudian menyodorkan sejumlah tuntutan kepada mereka untuk hasil-hasil yang spesifik dan pengembangan sistem informasi yang canggih.39 Profesionalisasi yang berlaku dalam NGO, dapat diidentifikasi melalui upaya pengenalan dan peningkatan kualitas elemen-elemen institusional yang diterapkan, baik pada taraf individu maupun organisasi, yakni: (i) kemunculan asosiasi (keanggotaan dalam sebuah kelompok profesional); (ii) organisasi profesional (pengaturan kode etik, norma, standar, atau publikasi yang dikhususkan bagi kelompok pekerja tertentu); (iii) norma dan standar (ketergantungan pada standar, keahlian, atau pengetahuan yang dikaitkan pada kelompok pekerja khusus); (iv) perilaku dan orientasi layanan (komitmen pada otonomi dan layanan profesional); (v) pendidikan atau pelatihan (spesialisasi pendidikan/pelatihan, menghasilkan kompetensi dan kekuatan profesional); (vi) praktek organisasi atau manajerial (struktur dan prosedur manajemen formal); serta (vii) staf bayaran (staf yang digaji). 40 Meskipun agak tumpang-tindih, klasifikasi elemen substantif tersebut dapat mencerminkan domain dan arah profesionalisasi sektor non-profit yang disasar selama ini. Derajat profesionalisasi diukur bukan saja melalui taraf kesuksesan dalam klaim atas kompetensi teknis eksklusif, tetapi juga melalui tingkat kelekatan (adherence) pada ide pelayanan dan norma-norma tindakan pendukungnya.41 Menyimak muatan sejumlah argumen yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisasi adalah pendekatan yang digunakan untuk mendorong agar NGO dapat diorganisasikan dan dikelola dengan baik mengacu 38
_Ebrahim, Alnoor. 2003. NGOs and Organizational Change: Discourse, Reporting, and Learning. New York: Cambridge University Press. Hal. 40-41.
39
_Ibid. Hal. 77.
40
_Stewart, J., Amanda. 2013. Understanding Nonprofit Professionalization: Common Concepts and New Directions for Research. Literature Survey. School of Public Affairs. New York: American University. Hal. 26.
41
_Wilensky, H. 1964. The Professionalization of Everyone. The American Journal of Sociology, Vol. 72, No. 2, pp. 137-158. Hal. 141.
11
pada standar-standar tertentu. Standar tersebut diinstitusionalisasikan ke dalam sistem, struktur, dan prosedur kerja organisasi demi meningkatkan taraf profesionalismenya. Meskipun demikian, profesionalisasi juga menyertakan beragam konsekuensi yang mempengaruhi kualitas pengelolaan NGO. Secara khusus, implikasi negatif profesionalisasi dapat berupa hilangnya taraf “volunteer activism” individu-individu yang terlibat dalam gerakan sosial. Profesionalisasi dapat mengurangi kadar kesukarelawanan personil NGO, sebab demi pencapaian efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumberdaya organisasi, pihak board-executive NGO mau tidak mau harus melibatkan atau menggunakan jasa kalangan profesional sebagai stafnya (paid staff), tidak lagi mengandalkan peran sukarelawan dalam operasionalisasi organisasi. 42 NGO yang ditopang dengan kuantitas staf profesional dalam besaran tertentu, dianggap dapat bertahan hidup (survive) lebih lama.43 Selain itu, dampak negatif profesionalisasi bagi aktivis gerakan sosial dan NGO adalah berkurangnya komitmen terhadap masalah-masalah yang dialami oleh orang miskin, juga mereduksi komitmen untuk melibatkan diri dalam perubahan sosial. 44 Profesionalisasi dapat menyebabkan sedikitnya pencurahan waktu oleh relawan untuk melibatkan diri dalam pemberian layanan akibat preskripsi dan regulasi restriktif yang melingkupi fungsi-fungsi inti organisasi. Malahan, banyak energi dialokasikan untuk tugas-tugas administratif semata seperti menyusun proposal pendanaan dan mendokumentasikan efektivitas.45 Meningkatnya jumlah staf profesional dan staf bayaran dalam NGO menghasilkan ketergantungan pada pendanaan eksternal dan kontrak pemerintah. Hal ini pada gilirannya akan menghilangkan fitur pembeda NGO seperti 42
_Kleidman, Robert. Dalam Lebon, Nathalie. 1998. The Labor of Love and Bread: Professionalized and Volunteer Activism in the Sao Paulo Women’s Health Movement. Dissertation. Gainesville: University of Florida. Hal. 38.
43
_Staggenborg. Op.Cit. Hal. 39.
44
_Reeser, Cherrey, Linda. 1986. Professionalization and Social Activism. Dissertation. Pennsylvania: Bryn Mawr College. Hal. 22.
45
_Ganesh, Shiv & McAllum, Kirstie. 2010. Volunteering and Professionalization: Tensions and Trends. Francisco: University of Waikato, pp. 1-10. Hal. 6.
12
fleksibilitas, responsivitas kepada kebutuhan lokal, kebebasan mengkritik, dan keleluasaan menentukan nasib sendiri.46 Ketika NGO menjadi profesional, maka mereka berada dalam bahaya kehilangan sentuhan dengan nilai, gaya, dan pendekatan orisinilnya.47 Organisasi-organisasi profesional kemudian akan beralih pada aktivitas lobbying dan penelitian ketimbang kegiatan penyadaran tingkat mikro atau aksi protes. Sebagaimana mereka telah menjauhkan diri dari aktivitas jalanan, mereka akan mengendorkan sejumlah elemen pembangun solidaritas yang memudahkan pemeliharaan basis sosial yang kuat untuk gerakan dan menyediakan kesempatan bagi partisipan baru.48 Profesionalisasi NGO, sebagaimana disimpulkan oleh sejumlah pihak, telah menghadirkan masalah tersendiri dalam pembentukan karakter organisasi. Untuk itu, kajian ini hendak memetakan kontekstualitas profesionalisasi pada NGO tertentu, juga konsekuensi logis yang menyertainya.
1.2
Rumusan Masalah Pertanyaan-pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui studi ini,
dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1 Mengapa volunterisme dapat berbenturan dengan profesionalisme dalam tata kelola NGO? 1.2.2 Bagaimanakah strategi eksekutif NGO meniadakan benturan tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian Rumusan permasalahan di atas, digunakan sebagai pijakan utama
penelitian ini untuk mencermati: 1.3.1 Wujud volunterisme yang diterapkan dalam tata kelola NGO; 46
_Harris. Op.Cit. Hal. 3.
47
_Lewis, David & Nazneen Kanji. 2009. Non-Governmental Organizations and Development. London: Routledge. Hal. 212.
48
_Lebon, Nathalie. 1997. Volunteer and Professionalized Activism in the Sao Paulo Women’s Movement. Paper. Gainesville: University of Florida, pp. 1-17. Hal. 8.
13
1.3.2 Cakupan
profesionalisasi
manajerial
dalam
rangka
perwujudan
profesionalisme NGO; 1.3.3 Strategi integratif penerapan volunterisme dan profesionalisme secara bersamaan dalam manajemen NGO. Pencermatan terhadap ketiga hal tersebut, diyakini akan sangat bermanfaat dalam upaya memproduksi pengetahuan tentang kontektualitas profesionalisasi yang diterapkan oleh NGO tertentu, berikut konsekuensi yang menyertainya.
1.4
Thesis Statement Profesionalisasi memiliki pengaruh siginifikan terhadap gaya pengelolaan
NGO. Profesionalisasi berkaitan erat dengan konsep good governance dan accountability yang menjadi tren terbaru operasionalisasi NGO. Di samping mendatangkan dampak positif, profesionalisasi juga menghadirkan tantangantantangan organisasional bagi NGO yang kemudian memaksa eksekutifnya berhadapan dengan benturan institusional berupa kepelikan untuk tetap mempertahankan eksistensi volunterisme ketika praktek manajemen organisasi telah bersentuhan dengan standar-standar profesional (profesionalisme) secara utuh. Sebagai solusi dan/atau jalan keluar dari kepelikan tersebut, strategi integratif (hybrid strategy) ditempuh eksekutif NGO, yakni menerapkan unsur volunterisme dan profesionalisme secara bersamaan dalam aktivisme organisasi, tanpa meniadakan keberadaan salah satu unsur tersebut.
1.5
Kerangka Teori Kajian ini memfokuskan perhatian pada praktek profesionalisasi NGO
tertentu beserta konsekuensi yang dimunculkannya. Profesionalisasi, sebagai metode mutakhir pengelolaan NGO, diyakini akan memicu benturan antara unsur volunterisme dengan profesionalisme, karena volunterisme yang semula menjadi karakteristik inti pengelolaan organisasi akan bersinggungan langsung dengan unsur profesionalisme
yang hadir belakangan
pada saat
NGO
mulai
mengintroduksi ragam aktivitas profesionalisasi manajerial dalam dirinya. Benturan institusional tersebut merefleksikan kegamangan yang dihadapi oleh
14
eksekutif NGO ketika mengintroduksi sistem dan mekanisme profesional dalam tata kelola organisasi. Berikut akan disajikan secara rinci perihal pendekatan teoritis atau kerangka konseptual yang digunakan untuk memetakan substansi profesionalisasi dan konsekuensi logis yang menyertainya. 1.5.1 Institutional Theory Profesionalisasi NGO menyiratkan kehadiran proses penginstitusionalan (institusionalisasi) di dalamnya. Oleh karena itu, bahasan tentang institutional theory/institutionality/institutionalization adalah bersifat signifikan dalam rangka memahami muatan substantif profesionalisasi yang diterapkan NGO. Akar ilmu politik adalah studi tentang organisasi. Ilmu politik selalu bisa mengklaim secara sah bahwa studi tentang kekuasaan dan institusi merupakan inti perhatian dan kontribusinya. Institusi berkedudukan penting, sebab, sebagai entitas, ia membentuk bagian yang sangat luas dalam landscape politik. Selain itu, ia bersifat signifikan karena tata kelola pemerintahan modern, muncul secara luas melalui institusi. Institusi juga menjadi perhatian sebab ia secara khusus mengontrol kekuasaan serta memobilisir sumberdaya institusional dalam perjuangan politik dan hubungan kepemerintahan. Institusi dipertimbangkan karena mampu membentuk serta membatasi perilaku politik dan pembuatan keputusan atau bahkan persepsi dan kekuasaan aktor-aktor politik dalam serangkaian cara. 49 Perspektif institusional tetap populer dalam studi kebijakan dan tata kelola pemerintahan. Meskipun demikian, pendekatan institusional juga meningkat penggunaannya untuk menjelaskan perilaku pada level individu.50 Institusionalisasi adalah proses di mana struktur maupun aktivitas kognitif, normatif, dan regulatif tersebar luas dalam organisasi melalui sebuah sistem sosial
49
_Fenna, A. 1998. Introduction to Public Policy. Melbourne: Longman. Hal. 2.
50
_Peters, Guy, B. 1999. Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism. New York: Pinter. Hal. 1.
15
dan diterima sebagai cara yang taken for granted dalam melakukan sesuatu. 51 Dengan kata lain, institusionalisasi merupakan aktivitas dan mekanisme di mana struktur, model, aturan, dan rutinitas pemecahan masalah menjadi baku layaknya bagian yang diterima begitu saja dalam realitas sosial sehari-hari. 52 Melalui institusionalisasi, struktur meraih legitimasi dan menjadi taken for granted pada taraf di mana ia tidak diragukan lagi sebagai upaya sadar untuk berubah.53 Selain itu, institusionalisasi juga didefinisikan sebagai proses dalam mana gerakangerakan (dan organisasi) bertransformasi dari pihak luar (outsiders) menjadi partisipan dalam arena-arena utama politik.54 Institusionalisasi organisasi, baik formal maupun informal, dapat dipetakan alur, proses, dan perkembangannya
melalui pendekatan old
institutionalism dan new institutionalism. Institusionalisme lama dan/atau institusionalisme baru merupakan pendekatan yang paling tepat untuk menterjemahkan proses perubahan organisasi (organizational change) atau pengembangan institusional (institutional development). Pendekatan institutionalism menawarkan jawaban variatif terhadap pertanyaan-pertanyaan
tentang
karakteristik
institusi,
bagaimana
institusi
mempengaruhi perilaku, dan bagaimana institusi formal berubah. 55 Sementara new institutionalism digunakan untuk memahami bagaimana terjadinya perubahan institusional dalam organisasi informal. Oleh karena itu, keduanya sama-sama menekankan proses penyesuaian diri organisasi terhadap lingkungan, dan 51
_Rundall, G., Thomas, Shortell, M., Stephen & Jeffrey A. Alexander. 2004. A Theory of Physician-Hospital Integration: Contending Institutional and Market Logics in the Health Care Field. Journal of Health and Social Behavior, Vol. 45, pp. 102-117. Hal. 106.
52
_Schneiberg, Marc & Sarah A. Soule. 2005. Institutionalization as a Contested, Multilevel Process: The Case of Rate Regulation in American Fire Insurance. Dalam Davis, F., Gerald et al (eds). 2005. Social Movements and Organization Theory. New York: Cambridge University Press. Hal. 122.
53
_Vogel, Rick. 2011. Thomas S. Kuhn’s Institutional Theory of Stability and Change. Review of Contemporary Philosophy, Vol. 10, pp. 80-100. Hal. 81.
54
_Lebon, Nathalie. 1998. The Labor of Love and Bread: Professionalized and Volunteer Activism in the Sao Paulo Women’s Health Movement. Dissertation. Florida: University of Florida. Hal. 2
55
_Ibid. Hal. 82.
16
signifikan membantu perluasan pengetahuan akumulatif tentang dinamika organisasi.56 Institusionalisme adalah salah satu pendekatan umum dalam governance dan ilmu sosial (khususnya ilmu politik). Pendekatan ini berkonsentrasi pada institusi-institusi formal dan mempelajarinya dengan menggunakan metode induktif, historis, dan komparatif.57 Contoh aktor institusi formal adalah parlemen, lembaga kepresidenan, pengadilan, departemen pemerintah, dan partai politik. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pendekatan new institutionalism yang berkonsentrasi pada perubahan atau perkembangan institusi informal, misalnya kelompok komunitas, koalisi voting, jaringan kebijakan, dan lain-lain. Teori institusional memandang bahwa organisasi secara esensial melekat pada lingkungannya. Lingkungan tersebut tersusun atas dimensi-dimensial nonmaterial, sebagai pelengkap elemen-elemen material organisasi. Tujuan utama teori institusional adalah bukan menjelaskan outcome instrumental tindakan organisasi, melainkan lebih pada usaha meningkatkan pemahaman tentang bagaimana faktor-faktor lingkungan normatif dan substantif serta aktor-aktor relevan lainnya secara bersama-sama mempengaruhi struktur dan proses dalam organisasi. Salah satu relevansi khusus dalam teori institusional adalah legitimasi, yang dipandang sebagai hasil yang diinginkan dari tindakan organisasi. Teori institusional menegaskan bahwa kinerja akan meningkatkan legitimasi sebab ia mengindikasikan seberapa baik sebuah organisasi memainkan peran dalam masyarakat.58 Teori ini, secara khusus, berguna untuk menyediakan pemahaman mendalam tentang asal-muasal ketegangan dan kontradiksi dalam organisasi melalui kemampuannya mengeksplikasi peran aktor-aktor manusia pada konteks interaksi agen dengan struktur. Teori institusional pun bertindak sebagai sebuah 56
_Abrutyn, Seth & Jonathan H. Turner. 2011. The Old Institutionalism Meets the New Institutionalism. Sociological Perspectives, Vol. 54, Issue 3, pp. 283-306. Hal. 284.
57
_Bevir, Mark. 2009. Key Concepts in Governance. London: Sage Publication Ltd. Hal. 110.
58
_Birdsell, M., Judith. 1997. Policy Making in the Canadian Breast Cancer Research Initiative: An Institutional Analysis. Dissertation. Canada: The University of Calgary. Hal. 32.
17
lensa untuk memahami kepentingan dan harapan stakeholder dari praktek-praktek organisasi yang dijalankan serta bagaimana hal tersebut membentuk rutinitas dan praktek mendatang.59 Teori institutional menekankan bahwa organisasi adalah lebih dari sekedar perangkat untuk memproduksi barang dan layanan, ia adalah sistem sosial dan budaya. Teori inipun mengandaikan organisasi dan aktornya, tidak hanya berusaha bersaing untuk sumberdaya, melainkan berusaha mencari legitimasi.60 Argumen institusional tidak bersandar pada agregasi tindakan individu, atau pada permainan interaksi berpola antarindividu, akan tetapi pada institusi yang membentuk tindakan.61 Scott (1995) membuat sebuah kerangka yang memuat 3 (tiga) pilar institusi ─regulatif (aturan), normatif (kewajiban sosial), dan kognitif (tindakan yang taken for granted)─ untuk menjelaskan alasan mengapa organisasi mengadopsi praktek-praktek yang berlaku umum. Menurutnya, teori institusional fokus pada mengapa organisasi membuat keputusan dalam konteks tekanantekanan organisasional, seperti dari pemerintah, aturan hukum, dan kalangan profesional. Perspektif institusional tidak mempertimbangkan agency yang aktif, melainkan organisasi membuat pilihan-pilihan tertentu karena dipengaruhi oleh hubungan pertukaran dengan konstituen eksternal.62 Perspektif institutional, dengan kata lain, menekankan pengaruh budaya dan kognitif yang membentuk organisasi. Perubahan organisasi terjadi bukan karena digerakkan oleh kepentingan aktor, tetapi karena tindakan-tindakan bukan 59
_Conrad & Guven Uslu. Dalam Phiri, Joseph. 2014. Vertical Donor Funding, Accountability, and Healthcare Performance: An Institutional Perspective from an Emerging Economy. Paper Draft. 50th British Accounting and Finance Association (BAFA) Annual Conference. Norwich: University of East Anglia. Hal. 8.
60
_Suchman, M. Dalam Judge, Q., William et al. 2006. Institutional Predictors of Corporate Governance Legitimacy. Journal of Management. Virginia: Old Dominion University. Hal. 4.
61
_Clemens, Elisabeth S. & James M. Cook. 1999. Politics and Institutionalism: Explaining Durability and Change. Annual Review of Sociology, Vol. 25, pp. 441-466. Hal. 442.
62
_Dalam Geer, Watt, Bobbi. 2009. Nonprofit Accountability: An Institutional and Resource Dependence Lens on Conformance and Resistance. Dissertation. Pittsburgh: University of Pittsburgh. Hal. 23.
18
pilihan (non-choice actions) yang muncul dan dipertahankan melalui kebiasaan (habit), konvensi (convention), kenyamanan (convenience), dan kewajiban sosial (social obligation).63 Perspektif
ini
mengasumsikan
bahwa
organisasi
secara
pasif
menyesuaikan dan mengadopsi tanpa perlawanan norma-norma di lingkungannya, walaupun norma tersebut tidak menuntun mereka pada efisiensi yang lebih besar. Institusionalisme melabelkan survivalitas organisasi lebih mengarah pada penyesuaian
(conformity)
ketimbang
perlawanan
(resistance),
kepasifan
(passivity) bukan keaktifan (activeness), internalisasi norma daripada tindakan politik untuk memanipulasi norma.64 Organisasi dipengaruhi oleh tekanan normatif, yang seringkali muncul dari sumber eksternal seperti negara (atau lembaga donor internasional), dan di lain waktu tekanan tersebut muncul dari dalam organisasi itu sendiri. Dalam beberapa kondisi, tekanan-tekanan semacam ini mengarahkan organisasi pada tuntunan elemen-elemen legitimated, dari prosedur standar operasi ke persyaratan keadaan dan sertifikasi profesional, yang seringkali memiliki dampak mengalihkan perhatian atau fokus organisasi jauh dari pelaksanaan tugas utama.65 Teori neo-institusional berkembang melalui 2 (dua) proposisi. Pertama, sebagaimana aturan-aturan institusional muncul dalam domain aktivitas kerja tertentu, organisasi-organisasi formal terbentuk dan berkembang dengan menyatukan aturan-aturan tersebut sebagai elemen struktural. Kedua, kekuatan motivasional-lah yang menggerakkan organisasi untuk mengadopsi struktur dan proses terinstitusionalisasi. Organisasi-organisasi yang menyatukan elemenelemen
legitimated
secara
sosial
dalam
struktur
formalnya
berniat
memaksimalkan legitimasi serta meningkatkan sumberdaya dan kapabilitas 63
_Oliver, Christine. Dalam Rauh, Karen. 2010. NGOs, Foreign Donors, and Organizational Processes: Passive NGO Recipients or Strategic Actors. McGill Sociological Review, Vol. 1, pp. 29-45. Hal. 31.
64
_Ibid. Hal. 31.
65
_Zucker, G., Lynne. 1987. Institutional Theories of Organization. Annual Review of Sociology, Vol. 13, pp. 443-464. Hal. 443.
19
bertahan
hidup
mereka.
Dengan
kata
lain,
teori
neo-institusional
merekomendasikan bahwa sebuah organisasi harus bertindak isomorfis terhadap pesaing-pesaingnya guna memperoleh legitimasi.66 Sesuai dengan rumusan sejumlah pakar, institusionalisasi merefleksikan 2 (dua) domain analitis, yakni (1) merubah struktur organisasi internal untuk tujuan perubahan aktivitas, dan (2) pengakuan eskternal memicu penyesuaianpenyesuaian dalam organisasi. Sebagai faktor internal, institusionalisasi mewujudkan diri dalam model klasik dan model mobilisasi sumberdaya. Mengacu pada model klasik, institutionalisasi NGO adalah terkait dengan dimensi-dimensi perubahan organisasi yang memiliki implikasi bagi aktivitas-aktivitas mereka. Institutionalisasi dipandang sebagai sebuah proses gradual dalam gerakan sosial, yang dikembangkan melalui serangkaian tahap. Bermula sebagai fenomena yang menyebar dan berserak, di mana aktor-aktor NGO secara lambat mengadopsi struktur organisasi dan kemudian berakhir sebagai institusi besar dengan struktur birokrasi. Dalam model mobilisasi sumberdaya, formasi gerakan sosial tidak bergantung pada eksistensi kepentingan, namun pada kreasi organisasi-organisasi untuk memobilisasi potensi mereka. Menurut model ini, organisasi-organisasi dipandang “eksis” dalam suatu lingkungan yang berubah di mana mereka menyesuaikan diri. Akan tetapi, adaptasi tersebut, bagaimanapun, bergantung sungguh pada struktur internal organisasi.67 Sebaliknya, sebagai tuntutan eksternal, institusionalisasi dalam NGO terjadi karena adanya tekanan-tekanan eksternal dan lingkungan institusional (institutional environment) yang menentukan perilaku mereka. Dikenal dengan istilah “isomorphism” dan “institutional channelling”, tekanan-tekanan dari luar menuntun organisasi untuk mengubah pola-pola aktivitasnya.68 66
_Meyer & Rowan. Dalam Rundall, G., Thomas, Shortell, M., Stephen & Jeffrey A. Alexander. 2004. A Theory of Physician-Hospital Integration: Contending Institutional and Market Logics in the Health Care Field. Journal of Health and Social Behavior, Vol. 45, pp. 102-117. Hal. 106.
67
_Martens, Kerstin. 2005. NGOs and the United Nations: Institutionalization, Professionalization, and Adaptation. New York: Palgrave MacMillan. Hal. 20-21.
68
_Ibid. Hal. 23.
20
Isomorphism adalah sebuah proses yang bersifat membatasi, di mana tekanan-tekanan suatu unit dalam sebuah populasi akan menyerupai unit-unit lain yang menghadapi serangkaian kondisi lingkungan yang sama. Karakteristik organisasi, kemudian dimodifikasi dalam arah meningkatkan kompatibilitas dengan karakteristik lingkungan.
69
Sementara itu, institutional channelling
menekankan pada kumpulan aturan dan regulasi yang menentukan latar di mana aktivitas sosial organisasi diakui secara legal. Persyaratan atau pengakuan hukum oleh institusi-institusi pemerintah digambarkan sebagai institutional channelling melalui suatu badan pemerintahan. Aktor-aktor sosial menerima “status diakui” dari sejumlah otoritas pemerintah guna mengikuti praktek-praktek yang dilegitimasi negara dan memperoleh keistimewaan khusus.70 Kebanyakan teoritisi pendekatan institutionalism menaruh minat dan perhatian lebih besar untuk menjelaskan institusionalisasi organisasi sebagai wujud desakan atau tuntutan pihak-pihak eksternal, yakni pihak yang berada di luar organisasi. Dalam pandangan ini, perubahan atau pengembangan institutional pada organisasi-organisasi dalam suatu bidang khusus (seperti NGO) merupakan bentuk isomorphism atau structural isomorphism semata. Sebuah organisasi akan meniru
praktek-praktek
organisasi
lain
untuk
mendapatkan
legitimasi,
meningkatkan kesamaan strategi bertahan hidup, serta meninggikan dukungan dan gengsi sosial mereka. Terjadinya isomorfisme struktural seperti ini, tidak perlu didahului dan digerakkan oleh sebuah keinginan untuk meningkatkan efisiensi atau efektivitas organisasi, namun praktek-praktek tersebut diadopsi begitu saja sebab mereka diterima sebagai sebuah kenyataan sosial.71
69
_DiMaggio, J., Paul & Walter W. Powell,. 1983. The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. American Sociological Review, Vol. 48, pp. 147–160. Hal. 149.
70
_Martens, Kerstin. 2005. NGOs and the United Nations: Institutionalization, Professionalization, and Adaptation. New York: Palgrave MacMillan. Hal. 24.
71
_Meyer & Rowan, DiMaggio and Powell. Dalam Geer, Watt, Bobbi. 2009. Nonprofit Accountability: An Institutional and Resource Dependence Lens on Conformance and Resistance. Dissertation. Pittsburgh: University of Pittsburgh. Hal. 22-23.
21
Secara lebih eksplisit, yang menjadi sumber institusionalisasi organisasi adalah terdiri dari: (a) lingkungan institusional yang lebih besar (the wider institutional environment), (b) organisasi-organisasi lain (other organizations), dan (c) struktur internal organisasi (internal organizational structure).72 Terdapat 3 (tiga) proses yang menentukan dalam institusionalisasi organisasi, yakni (1) imitatif atau mimetis, mengadopsi elemen-elemen kesuksesan organisasi lain ketika muncul ketidakpastian tentang alternatifalternatif tindakan; (2) transmisi normatif fakta-fakta sosial, umumnya berasal dari sumber-sumber eksternal seperti kalangan profesional/ahli); dan (3) koersif (coercive), terpusat pada legitimasi negara dalam lingkungan ─sebagai─ institusi.73 Versi lain, meskipun dengan substansi yang sama, menegaskan bahwa ada 3 (tiga) mekanisme yang menyediakan penjelasan tentang kekuatan-kekuatan yang beroperasi di balik proses institusionalisasi yang diterapkan oleh sebuah organisasi, yakni (a) tekanan atau paksaan (pressure or coercion), berdasarkan pada perbedaan kekuatan (power) yang muncul dari aturan/hukum, posisi resmi, dan
kontrol
terhadap
sumberdaya
yang
dibutuhkan;
(b)
peniruan
(imitating/imitation/mimetic) terhadap sebuah model yang tampaknya berhasil, didorong oleh karena adanya ketidakpastian mengenai bagaimana cara mengejar tujuan atau ambiguitas tentang tujuan itu sendiri; dan (c) pengaruh kalangan profesional dan ahli-ahli lainnya.74 Masih meminjam tipologi yang diperkenalkan oleh DiMaggio dan Powell (1983), teoritisi lainnya, Beckert (2010) 75 membedakan 4 (empat) mekanisme yang menyediakan penjelasan tentang tipe tekanan yang beroperasi di balik proses 72
_Zucker, G., Lynne. 1987. Institutional Theories of Organization. Annual Review of Sociology, Vol. 13, pp. 443-464. Hal. 449.
73
_Ibid. Hal. 444.
74
_DiMaggio & Powell. Dalam Leiter, Jeffrey. 2005. Structural Isomorphism in Australian NonProfit Organizations. Working Paper No. CPNS 28. Centre of Philanthropy and Nonprofit Studies. Brisbane, Australia: The Queensland University of Technology. Hal. 5.
75
_Beckert, Jens. 2010. Institutional Isomorphism Revisited: Convergence nd Divergence in Institutional Change. Sociological Theory, 28, 2, pp. 150-166. Hal. 152.
22
perubahan institusional. Tiga dari mekanisme tersebut adalah identik dengan bentuk-bentuk isomorfisme struktural-nya DiMaggio dan Powell, yakni (1) kekuasaan (coercive isomorphism), (2) atraksi (normative pressures), (3) mimesis (mimetic processes), dan (4) kompetisi (competition). Keempat mekanisme ini dapat
mendukung
proses-proses
homogenisasi
institusional
(institutional
homogenization). Akan tetapi dalam kondisi yang berbeda, mekanisme tersebut dapat menuntun pada divergensi institusional (institutional divergence). Sehubungan dengan tipologi tersebut, didapati 2 (dua) pendekatan teoritis dalam institusionalisasi, yakni (a) lingkungan sebagai institusi, lazim disebut dengan institutional environment, yang mengasumsikan bahwa proses dasarnya adalah reproduksi (reproduction) atau menyalin sistem atau sektor fakta sosial yang lebih luas pada level organisasi; dan (b) organisasi sebagai institusi, mengasumsikan bahwa proses pusatnya adalah generasi (generation), yang berarti menciptakan elemen-elemen budaya baru pada level organisasi. Dalam pendekatan
kedua
ini,
reproduksi
merupakan
sebuah
konsekuensi
institusionalisasi, bukan penyebab institusionalisasi.76 Sebagaimana diuraikan sebelumnya, sumber praktek institusionalisasi dan/atau profesionalisasi organisasi ada 2 (dua), yakni (1) sumber internal, dan (2) sumber eksternal. Selain karena faktor internal, faktor eksternal berupa kebutuhan untuk adanya pengakuan pihak dari luar organisasi menjadi pemicu utama intensifnya praktek institusionalisasi organisasi. Dalam spektrum pihak eksternal tersebut, sangat dimahfumi bahwa lembaga donor internasional berada di posisi teratas yang mendorong penerapan institusionalisasi organisasi. Sebagai salah satu pendekatan dalam institusionalisasi, institutional environment selalu mengaitkan perubahan organisasi dengan faktor pemicu yang bersumber dari lingkungan di luar organisasi, khususnya yang bersumber dari negara. Lingkungan institusional memperoleh kekuatan penentu dari rasionalisasi dan dari penyertaan elaborasi negara. Lingkungan-lingkungan institusional tersebut dikonstruksi sebagai salah satu konsekuensi suatu “proyek negara” yang 76
_Zucker, G., Lynne. 1987. Institutional Theories of Organization. Annual Review of Sociology, Vol. 13, pp. 443-464. Hal. 444.
23
lebih luas, terkait dengan ekspansi yuridiksi negara. 77 Pandangan statis ini membayangkan keteraturan normatif-kolektif, mencakup kalangan profesional dan sebaran persetujuan yang dibagi oleh anggota-anggota bidang organisasi, sebagaimana dilekatkan pada sebuah konsepsi besar negara.
78
Penyesuaian
organisasi-organisasi pada keteraturan normatif-kolektif, akan meningkatkan aliran sumberdaya masyarakat dan meninggikan prospek survivalitas organisasi yang dapat berjalan panjang.79 Elemen-elemen institusional adalah selalu berasal dari luar organisasi. Elemen tersebut akan menyebabkan perubahan dalam organisasi, akan tetapi dorongan tindakan adalah bersifat tidak jelas sebab organisasi ada dalam sebuah “iron cage”. Ketika organisasi-organisasi merespon tekanan institutional dari luar, mereka memproteksi aktivitas teknis melalui decoupling elemen-elemen struktur dari aktivitas lainnya, kemudian mengurangi efisiensi mereka. Penyesuaian organisasi terhadap lingkungan institusional secara serentak, akan meningkatkan penilaian positif, aliran sumberdaya, peluang bertahan hidup, dan mengurangi efisiensi.80 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme, nilai utama yang hendak diciptakan melalui profesionalisasi, merupakan salah satu indikator institutionalisasi yang bersumber dari lingkungan luar organisasi. Dengan
demikian,
dapat
ditarik
garis
penghubung
antara
pendekatan
institusionalis dengan praktek profesionalisasi NGO. Tren profesionalisasi yang mempengaruhi tata kelola organisasi, menurut pendekatan institusionalis, merupakan sesuatu yang normal dan bahkan sebuah keharusan mutlak.
77
_Thomas & Meyer. Dalam Zucker, G., Lynne. 1987. Institutional Theories of Organization. Annual Review of Sociology, Vol. 13, pp. 443-464. Hal. 444.
78
_Thomas et all. Op.Cit. Hal. 444-445.
79
_Thomas & Meyer. Op.Cit. Hal. 445.
80
_Ibid. Hal. 445.
24
1.5.2 Culture of Change Pergeseran karakteristik pengelolaan NGO dari volunterisme ke profesionalisme menjadi penanda penting terjadinya perubahan organisasi (organizational change). Perubahan tersebut merefleksikan bahwa individu dan kelompok secara konstan menyesuaikan diri guna merespon masalah-masalah baru yang dihadapi organisasi. Hal ini, pada akhirnya, memicu intensi atau dorongan adaptasi di segala lini organisasi.81 Dalam lingkungan yang tidak pasti, organisasi kerap merasakan tekanan lebih besar untuk memprofesionalisasikan dan mengintroduksi kontrol teknokratis dalam manajemennya. Hal ini juga merupakan kecenderungan umum yang menyertai pertumbuhan organisasi.82 Proses perubahan organisasi, secara mendasar, pasti memuat 4 (empat) komponen utama, yakni (i) organisasi formal: ini menunjuk pada struktur─grafik, kebijakan, prosedur, sistem informasi, mekanisme monitoring dan kontrol. Unsurunsur formal tersebut merupakan fitur “keras”, digunakan untuk mengorganisir pekerjaan yang dilakukan; (ii) tugas: organisasi ada untuk melakukan aktivitas kemanusiaan yang bermakna. Tugas merupakan pekerjaan nyata yang dilaksanakan; (iii) individu: organisasi disusun oleh individu-individu berbeda dengan beragam pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan yang wajib dipenuhi. Oleh karena itu, harus terdapat cara mengorganisir mereka sehingga tugas-tugas organisasi diselesaikan. Hal ini mensyaratkan keseimbangan antara kebutuhan individu, cara mereka diorganisir secara formal, dan tugas-tugas yang harus mereka laksanakan; dan (iv) organisasi informal: fitur “lebih lembut’ atau aspek sosial organisasi, yang memberikan makna bagi siapapun yang bekerja dalam organisasi. Ia melumasi struktur formal, dan mencakup “budaya” organisasi yang menjadi faktor penentu utama perilaku. Ia menunjuk pada sebuah sistem nilai bersama (apa yang penting) dan keyakinan (bagaimana sesuatu bekerja) yang
81
_Van Maanen, J. 2001. Afterword: Natives ‘R’Us: Some Notes on the Ethnography of Organizations. Dalam Gellner, D & N. Hirsch. 2001. Inside Organizations: Antropologists at Work. New York: Oxford University Press. Hal. 246.
82
_Anheier, K., Helmut & Regina A. List. 2005. A Dictionary of Civil Society, Philantrophy, and the Non-Profit Sector. London: Routledge. Hal. 206.
25
berinteraksi dengan tiga komponen perubahan lainnya─struktur, tugas, dan individu─untuk memproduksi norma-norma perilaku (cara melakukan sesuatu).83 Organisasi menentukan orientasi pembelajaran dan mewujudkan cita “venturesomeness” guna memungkinkan mereka beradaptasi terhadap tuntutantuntutan yang berubah. Bagaimanapun, kesiapan untuk perubahan, mensyaratkan misi yang diartikulasi secara jelas guna memungkinkan staf merasa terdorong atau harus mengambil resiko, investasi berlanjut dalam kemajuan, dan struktur manajemen “datar” dengan pembuatan keputusan partisipatoris.84 Organisasi mengembangkan praktek strategis guna menyeimbangkan kontradiksi eksternal dengan kontradiksi internal dalam sebuah cara yang memastikan organisasi akan tetap kapabel dalam bertindak dan mampu menciptakan persepsi manajerial mengenai rataan perubahan strategis yang lebih rendah. Hal ini dapat dicapai ketika keputusan-keputusan besar organisasi dikoordinasi dalam wilayah formal dan dibuat di luar wilayah formal. Perubahan strategis merupakan sebuah praktek yang dinegosiasikan, dan keputusankeputusan
dibuat
berdasarkan
perubahan
kontekstual
yang
kemudian
dilegitimasi.85 Profesionalisasi merupakan salah satu ciri perubahan organisasi. Oleh sebab itu, kemunculan praktek profesionalisasi seringkali dihubungkan dengan kebutuhan untuk merubah karakteristik pelaksanaan aktivitas harian guna mempengaruhi atmosfir atau budaya organisasi secara keseluruhan.86
83
_Huffington, Clare, Carol Cole, & Halina Brunning. 1997. A Manual of Organizational Development: The Psychology of Change. London: H. Karnac (Books) Ltd. Hal. 11.
84
_Foster-Fisherman, Maynard, & Yang. Dalam McCusker, Monique. 2008. The Politics and Micro-Politics of Professionalization: An Ethnographic Study of a Professional NGO and Its Interface with the State. Thesis. South Africa: University of Stellenbosch. Hal. 35.
85
_Jager, U. & M. Mitterlechner. 2004. Pulling the Brakes: Strategic Change Practices and Organizational Contradictions in Rapidly Changing Environments. Working Paper. ISTR Sixth International Conference in Toronto. Hal. 1.
86
_Galaskiewicz & Bielefeld, 2000. Dalam McCusker, Monique. 2008. The Politics and MicroPolitics of Professionalization: An Ethnographic Study of a Professional NGO and Its Interface with the State. Thesis. South Africa: University of Stellenbosch. Hal. 34.
26
Kehadiran profesionalisasi dalam organisasi sektor ketiga seperti NGO, sesungguhnya dilatari oleh faktor yang lebih fundamental. Entitas third sector seringkali hadir dengan ciri informalitas, penuh dengan ide dan nilai mulia, niat baik, serta filosofi kemanusiaan, akan tetapi tanpa perencanaan yang baik, strategi yang jelas, target, dan struktur mendasar. Predikat ini biasanya melekat pada permulaan siklus kehidupan organisasi, di mana tidak nampak kebutuhan untuk melakukan
profesionalisasi,
termasuk
praktek
governance
dan
kontrol
institusional. Namun, seiring berkembangnya organisasi, situasi inipun berubah.87 Ketika inisiatif-inisiatif dalam sektor ketiga meningkat, maka kebutuhan akan profesionalisasi juga tumbuh, dengan cara meninggalkan panggung volunterisme, meninggikan kebutuhan atas visi manajerial dan kekuatan finansial.
88
Ketika skala organisasi masih “kecil” dan mengurus jumlah
sumberdaya yang sedikit, kebutuhan terhadap profesionalisasi nampak lebih rendah. Namun, ketika organisasi berkembang, kebutuhan untuk menjamin efektivitas dan pencapaian hasilpun lambat-laun muncul.89 Seiring dengan makin besarnya skala organisasi, maka dorongan untuk melakukan profesionalisasi bisa datang dari beragam stakeholder dan membentuk landscape institusional sektor nonprofit, yakni pemerintah dan international funding agency, juga sektor nonprofit itu sendiri. Meningkatnya tekanan dan tuntutan kompetitif untuk akuntabilitas menjadikan profesionalisasi lebih menonjol bagi sektor non-profit dan menggeser model informal yang kurang laku.90 Profesionalisasi sektor ketiga yang menjadi pelengkap persyaratan pendanaan merupakan kebutuhan untuk perwujudan hasil-hasil tindakan mereka 87
_Grun. Dalam de Lima Rocha, B., Ivan et al. 2014. Governance in Brazilian NGOs: Payment and Professionalization. Proceeding of the 2nd International OFEL Conference of Governance, pp. 230-242. Hal. 232.
88
_Leal & Farma. Op.Cit. Hal. 231.
89
_Grun. Op.Cit. Hal. 231.
90
_Salamon, Lester. 2003. The Resilient Sector: The State of Nonprofit America. Washington D.C: Brookings Institution Press. Hal. 29-30.
27
yang lebih baik. Seiring tumbuhnya aktivitas sektor ini, dengan pelibatan jumlah besar sumberdaya dan beneficiary, maka ke-nonprofesional-an (amateurism) harus diganti dengan teknik-teknik manajerial yang memfasilitasi penerapan sumberdaya guna meningkatkan efisiensi aktivitas serta menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.91 Dan strategi-strategi untuk mempromosikan profesionalisme dalam konteks nonprofit dapat mencakup “penentuan standar, monitoring, evaluasi, inspeksi atau supervisi” untuk seluruh anggota organisasi.92 Lantaran predikat sebagai aktor sosial paling menonjol telah melekat pada sektor non-profit, maka struktur dan staf organisasinya pun telah menjadi lebih professionalized.93 Rasionalitas menjadi elemen penting penopang derajat profesionalisme organisasi. Ia mencerminkan kondisi di mana serangkaian tindakan diorganisir, sehingga dapat menuntun pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan efisiensi maksimum.94 Dalam organisasi semacam ini, rasionalitas sejajar dengan efisiensi. 95 Proses perwujudan tujuan-tujuan organisasi secara efisien adalah ditentukan oleh kekhususan tujuan dan formalisasi. Organisasi menentukan sasaran spesifik sebagai sebuah konsepsi tujuan yang hendak dicapai. Dengan menjadikannya spesifik dan detail, sasaran tidak mengandung kriteria gamang dalam pemilahan kegiatan-kegiatan alternatif, sehingga preferensi atas alternatif-alternatif yang tersedia dapat diatur secara jelas guna menjalankan penilaian dan pilihan rasional. 91
_Salamon, Lester. Dalam de Lima Rocha, B., Ivan et al. 2014. Governance in Brazilian NGOs: Payment and Professionalization. Proceeding of the 2nd International OFEL Conference of Governance, pp. 230-242. Hal. 233.
92
_Morison, J. 2000. The Government-Voluntary Compacts: Governance, Governmentality, and Civil Society. Journal of Law and Society, Vol. 27, No. 1, pp. 98-132. Hal. 101.
93
_Johnson, Erica & Aseem Prakash. 2007. NGO Research Program: A Collective Action Perspective. Policy Sciences, Vol. 40, No. 3, pp. 221-240. Hal. 230.
94
_Scott, Richard, W. 2003. Organizations: Rational, Natural, and Open Systems. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Hal. 33.
95
_Denhardt, B., Robert. 2004. Theories of Public Organization. Fourth Edition. California: Thomson/Wadsworth. Hal. 75.
28
Dan sistem pilihan rasional tersebut tentu mengasumsikan struktur organisasi yang formal.96 Berkenaan dengan aspek rasionalitas ini, profesionalisme organisasi dapat didefinisikan sebagai sebuah diskursus kendali yang menggabungkan bentuk rasional-legal otoritas dan struktur hirarkis tanggung jawab dengan pembuatan keputusan. Ia mencakup standarisasi tinggi prosedur serta praktek kerja dengan kontrol manajerialis. Profesionalisme organisasi bergantung sepenuhnya kepada jenis regulasi dan ukuran akuntabilitas externalized, seperti penentuan sasaran atau tinjauan kinerja.97 Mengacu pada uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisasi
merupakan
penanda
penting
berlangsungnya
perubahan
organisasi. Volunterisme yang menjadi karakteristik awal pengelolaan NGO, mulai digugat relevansinya ketika praktek profesionalisasi diintroduksi ke dalam manajemen NGO tersebut. Benturan antara volunterisme dengan profesionalisme tidak dapat dihindari ketika NGO sangat meyakini “kemujaraban” profesionalisasi sebagai panacea terhadap penyakit inefisiensi dan inefektivitas yang diderita selama ini. Alhasil, semua dimensi NGO pun terus dikembangkan secara rasional, formal, birokratis, dan well-organized. Meniadakan kadar volunterisme dalam operasionalisasi organisasi dianggap sebagai satu-satunya jaminan mutu untuk memastikan efektivitas pencapaian tujuan dan layanan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
1.6
Metode Penelitian Di antara sekian banyak metode pengumpulan data, riset ini bersandar
sepenuhnya pada desk study dan field study. Desk study diterapkan dalam rangka mempelajari dokumen tertulis tentang praktek profesionalisasi NGO. Sedangkan
96
_Scott, Richard, W. 2003. Organizations: Rational, Natural, and Open Systems. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Hal. 34-35.
97
_Evetts, J. 2010. Reconnecting Professional Occupations with Professional Organizations: Risks and Oportunities. Dalam Svensson, G., L. & J. Evetts (eds). 2010. Sociology of Professions: Continental and Anglo-Saxon Traditions. Goteborg: Daidalos. Hal. 129.
29
field study diposisikan sebagai cara memperoleh data riset melalui interaksi langsung peneliti dengan informan tertentu berupa wawancara mendalam (indepth interview) guna mendalami realitas yang sedang diteliti. Substansi dan cakupan profesionalisasi NGO ditelusuri melalui buku, artikel, laporan riset, tesis, disertasi, dan lain sebagainya yang secara khusus berkenaan dengan tema tersebut. Pencermatan terhadap setting global yang mendorong massivitas penerapan profesionalisasi dalam “dunia” NGO di berbagai negara, terutama di negara Selatan, juga dilakukan melalui dokumen tertulis semacam itu. Perolehan data tentang kontekstualitas profesionalisasi yang dipraktekkan oleh NGO tertentu, baik benturan antara volunterisme dengan profesionalisme maupun terapan strategi eksekutif organisasi dalam menangani benturan tersebut, adalah melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan sejumlah informan kunci dari NGO bersangkutan. Adapun NGO yang diposisikan sebagai subyek studi ini adalah IRE (Institute for Research and Empowerment) Yogyakarta. Penggunaan IRE sebagai subyek studi diorientasikan untuk mendapatkan gambaran (ilustrasi) perihal bagaimana profesionalisasi diterapkan oleh sebuah organisasi, termasuk tahapan, taraf, dan konsekuensinya yang ditimbulkannya. Aplikasi strategi khusus yang dilakukan oleh eksekutif NGO dalam rangka penanganan benturan institusional antara volunterisme dengan profesionalisme juga dicermati berdasarkan konteks IRE Yogyakarta.98 Dalam penelitian ini, 2 (dua) informan kunci yang diposisikan sebagai subyek sasaran wawancara mendalam untuk memperoleh data primer berkenaan dengan praktek profesionalisasi IRE adalah sebagai berikut:
98
_IRE merupakan lembaga independen dan non partisan berbasis komunitas akademik yang berdiri di Yogyakarta pada tahun 1994. Fokus kegiatan IRE adalah memperluas serta memperdalam demokrasi melalui penguatan gagasan dan sikap kritis elemen masyarakat sipil, juga sektor swasta. Topik penelitian IRE saat ini berhubungan dengan 3 (tiga) klaster utama, yakni (i) Deepening democracy, (ii) Governance and policy reform, dan (iii) Community development and empowerment. Selain itu, IRE pun bersentuhan dengan isu lintas klaster, yang meliputi poverty aleviation dan village reform.
30
Tabel 1.1 Daftar Informan Kunci Informan
Data Primer
Sejarah pendirian dan transformasi bentuk organisasi; Visi, misi, program, personil organisasi; Interaksi dengan lembaga donor internasional; Tahapan introduksi profesionalisasi dalam manajemen organisasi; Alasan penerapan pengelolaan organisasi secara profesional. b. Deputi Pengembangan SDM Pemahaman mengenai volunterisme dan Kelembagaan dan profesionalisme dalam manajemen organisasi; Varian volunterisme dan profesionalisme yang diterapkan. Elaborasi tentang benturan institusional sebagai konsekuensi dari praktek profesionalisasi; Strategi yang ditempuh untuk mengatasi benturan institusional yang muncul. Sumber: Olahan Peneliti, Oktober 2015. a.
1.7
Direktur Eksekutif
Sistematika Penulisan Guna menciptakan alur pembahasan yang jelas, runtut, dan komprehensif,
maka bagian-bagian penting penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini berisi landasan konseptual dan operasional penelitian, guna memberikan pemahaman kepada pembaca perihal masalah mendasar penelitian, termasuk alasan mengapa masalah penelitian ini sangat penting untuk dikaji sesuai dengan konteks terkini. Bab II mendeskripsikan tentang fenomena NGOisasi sebagai embrio pendorong kepopuleran praktek profesionalisasi dalam manajemen NGO di
31
negara-negara Selatan dan tren perubahan identitas aktivis gerakan sosial menjadi profesional sebagai efek NGOisasi. Bab III mendiskusikan tentang benturan institusional yang terjadi antara volunterisme dengan profesionalisme dalam manajemen NGO. Volunterisme mencerminkan penggunaan sistem dan prosedur kerja konvensional sebagai manifestasi volunteer-activism organisasi, sedangkan profesionalisme tersemai dalam praktek profesionalisasi manajerial yang diterapkan. Pengungkapan alasan mengapa kedua pendekatan tersebut dapat berbenturan satu sama lain ketika digunakan secara bersamaan, menjadi bahasan inti dalam bab ini. Bab IV mengentengahkan ulasan tentang latar historis IRE Yogyakarta, NGO yang digunakan sebagai ilustrasi kasus, dengan memfokuskan perhatian pada
dimensi
organisasi,
personil,
program,
serta
tahapan
introduksi
profesionalisasi dalam manajemen organisasi. Bab ini pun akan mengungkap strategi integratif (hybrid strategy) yang digunakan oleh eksekutif IRE Yogyakarta sebagai solusi untuk meniadakan benturan institusional antara volunterisme dengan profesionalisme yang muncul dalam operasionalisasi NGO. Strategi tersebut menyangkut kombinasi pelaksanaan aktivitas penyadaran sosial dengan riset, advokasi, dan lobbying oleh IRE Yogyakarta. Bab V adalah penutup, yang menterjemahkan secara teoritis praktek profesionalisasi NGO dan benturan institusional yang muncul, disertai kesimpulan yang menegaskan jawaban atas rumusan pertanyaan penelitian.
32