BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau disebut makhluk bermasyarakat, selain itu manusia juga diberikan akal dan pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menunjukkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Selain itu manusia juga memiliki dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Dengan dasar itulah manusia saling ketergantungan dengan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sama halnya seperti manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Budaya dan Komunikasi juga merupakan suatu hal yang saling mempengaruhi antara satu sama lain sehingga terjalinlah kesepahaman dalam memaknai sesuatu. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Berbicara tentang komunikasi antarbudaya tidak akan lepas dari membahas tentang dua konsep yang berbeda, tetapi pada akhirnya keduanya saling mendukung, bahkan ada saling ketergantungan (interdependency). Smith
Universitas Sumatera Utara
(1976) menyatakan bahwa “komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan” atau pernyataan Edward T.Hall (1959) yaitu “ komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Komunikasi antarbudaya memiliki dua konsep didalamnya yaitu konsep komunikasi dan konsep kebudayaan. Konsep komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui lambanglambang yang berarti, yaitu lambang verbal (lisan dan tulisan) dan lambang nonverbal (isyarat/gesture) dengan maksud untuk merubah tingkah laku. Sedangkan konsep kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 2000). Ini berkaitan dengan berbagai perbedaan gagasan, ide, karya yang dibuat, dipelajari oleh manusia yang berada dalam kelompoknya masing-masing. Bila dalam pemaknaan mengenai komunikasi antarbudaya, maka dapat diartikan bahwa komunikasi antarbudaya itu sendiri sebagai pengalihan informasi dari seseorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain. (Liliweri, 2003). Bahkan, William B. Hart II (1996) menyatakan “perlu dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi”. Dengan demikian dianggap bahwa kebudayaan sangat mempengaruhi berjalannya interaksi yang terjadi antara mereka yang berbeda latarbelakang budaya. Seiring perkemangan zaman yang begitu pesat perlalulintasan antar kota, provinsi, bahkan negara bukan lagi menjadi suatu hal yang langka saat ini. Pertemuan dengan orang-orang baru dengan orang asing yang memiliki latar belakang, kebudayaan, agama, bangsa dan bahasa yang berbedapun tak dapat terhindarkan. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahamankesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada
Universitas Sumatera Utara
kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Disinlah komunikasi antar budaya berperan penting, karena tak jarang terjadi akibat kesalahan dalam mengartikan sebuah kata dalam berkomunikasi memiliki dampak yang besar dari komunikasi tersebut.Seperti pada contoh berikut Suatu perang terjadi antara sebuah kerajaan Melayu di Indonesia dan sebuah angkatan perang penjajah karena perkara “ sepele”. Ketika berkunjung ke kerajaan itu, komandan dari negara asing mencium
tangan sang permaisuri
sebagai tanda penghormatan. Raja marah, menganggap kolonial itu kurang ajar. Presiden Amerika Sekirat John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962. Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan tangan Presiden Meksiko. Kennedy pun memuji Lopez “ Betapa indahnya jam tangan anda”. Lopez segera memberikan arlojinya kepada Presiden Amerika seraya berkata,”Jam tangan ini milik anda sekarang”. Kennedy merasa malu karena pemberian itu. Ia berusaha menolaknya, namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai sesuatu, sesuatu itu harus di berikan kepadanya, kepemilikan adalah masalah perasaan dan kebutuhan manusia, bukan milik pribadi. “Kennedy terkesan oleh penjelasan itu dan menerima arloji itu dengan rendah hati. Tak lama kemudian, Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata “Aduh, betapa cantiknya istri Anda,” yang di jawab oleh Kennedy” silahkan ambil kembali jam tangan Anda”. (dalam codon dan Yousef,1985:89) Contoh cerita diatas merupakan komunikasi antarbudaya. Yang berkibat fatal dikarenakan ketidak sepahaman dalam mengartikan suatu informasi yang didapat. Hingga saat ini kesalahan – kesalahan untuk memahami makna masih sering terjadi ketika kita bergaul dengan seseorang ataupun kelompok yang memiliki budaya yang berbeda. Gatewood (Liliweri:2003) mengatakan bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut seperti seluruh periode waktu dan tempat, artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya, maka komunikasi
Universitas Sumatera Utara
adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Sehubungan dengan itu Edward T. Hall menyatakan bahwa “Komunikasi adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah komunikasi”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam komunikasi yang terjadi terdapat pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat eksis terjadi. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa , aturan, adat – istidadat, dan nilai yang berbeda. Sehingga merasa sulit untuk memahami komunikasi bila kita tidak open minded ataupun etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “ memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya, dan hal-hal lainnya di ukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”. Pandangan etnosentrik lainnya dapat terlihat pada bentuk sterotip, dimana memandang budaya lain dengan pandangan mengeneralisasi (biasanya berupa pandangan negatif) budaya lain terhadap budaya yang ia miliki. Menurut Porter dan Samovar (1982), hubungan antara budaya dan komunikasi penting dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Dicontohkan seorang Korea, seorang Mesir, atau seorang Amerika belajar berkomunikasi seperti orang-orang Korea, orang-orang Mesir, atau orang-orang Amerika lainnya. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orangorang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka. Ini menyebabkan timbulnya persepsi budaya. Persepsi budaya diartikan sebagai proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikanrangsangan dari lingkungan eksternal (Porter & Samovar, 1982), yang didalamnya terdapat nilai, adat istiadat, status, agama, kebiasaan yang berbeda. Sehingga tentu saja untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif atau yang memiliki kesamaan makna (common meaning) maka diperlukan saling pengertian di antara mereka yang melakukan komunikasi antarbudaya. Sebab apabila masing-masing tidak mau memahami budaya orang
Universitas Sumatera Utara
lain, maka pengertian tidak akan tercapai. Dalam hal ini diperlukan empati, dan toleransi dari masing-masing budaya agar kesepahaman akan mudah dicapai. Dengan empati dan toleransi yang tinggi, komunikasi yang terjadi di antara orangorang yang berbeda budaya akan meminimalkan prasangka negatif. Kesalahan- kesalahan dalam memahami budaya lain, seperti contoh diatas dapat di minimalisir, apabila kita dapat memahami, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan dapat mempraktikkan dalam penelitian yang pasti akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda. Komunikasi akan lebih berhasil bila seseorang menggunakan informasi tentang orang lain sebagai individu alih – alih berdasarkan informasi budaya ( Hopper dan Whitehead, 1979:177 ) Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut: 1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan. 2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda. 3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya. 4. Setiap individu dan budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri. 5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku. 6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
Universitas Sumatera Utara
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia. 8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya. 9. Pengalaman-pengalaman
antar
budaya
dapat
menyenangkan
dan
menumbuhkan kepribadian. 10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural. 11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan. 12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statis dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan. Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk: 1. Menyadari bias budaya sendiri 2. Lebih peka secara budaya 3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut. 4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri 5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
Universitas Sumatera Utara
6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri. 7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya 8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilainilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya. 9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya. 10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami. Kawasan wisata pada umumnya merupakan suatu tempat yang selalu banyak di kunjungi orang, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga secara sadar ataupun tidak komunikasi antarbudaya pasti selalu digunakan disana. Bukit Lawang merupakan salah satu objek wisata yang cukup terkenal hingga banyak diketahui masyarakat lokal dan internasional yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Dengan banyaknya wisatawan yang mengunjungi Bukit Lawang dengan latar belakang, budaya, agama dan berbeda menjadikan Bukit Lawang salah satu tempat perlintasan komunikasi antarbudaya yang tinggi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di Bukit Lawang. 1.2Pembatasan Masalah Komuikasi lintas budaya merupakan salah satu objek yang menarik untuk diteliti dan juga memiliki pembahasan yang cukup luas, untuk itu peneliti merasa pentingnya pembatasan masalah dalam penelitian ini sehingga hasil penelitian menjadi jelas, terarah dan tidak terlalu luas untuk menghindari kesalahan dalam memahami tentang masalah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini bersifat korelasional, yaitu bersifat mencari ataupun menjelaskan hubungan dan menguji hipotesis. 2. Penelitian ini difokuskan kepada pengaruh komunikasi lintas budaya warga
setempat
terhadap
pembentukan
persepsi
wisatawan
Internasional di Bukit Lawang. 3. Objek penelitian adalah masyarakat setempat dan wisatawan Internasional 4. Penelitian di lakukan pada bulan Maret 2013 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengajukan perumusan masalah sebagai berikut: “ Sejauh manakah pengaruh komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di Bukit Lawang?” 1.4Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui motif terjadinya komunikasi antar budaya di Bukit Lawang. 2. Untuk menganalisis pengaruh komunikasi lintas budaya pada objek wisata Bukit Lawang terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di FISIP USU, khususnya di Departemen Ilmu Komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara
teoritis,
penelitian
ini
bermanfaat
untuk
menguji
pengalaman teoritis peneliti selama mengikuti studi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 3. Secara praktis, data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi
sumbangan
pemikiran
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan.
Universitas Sumatera Utara