Bab 5 Ringkasan Temari adalah simbol perfeksionisme di Jepang. Temari kerap diberikan sebagai hadiah yang diberikan saat berbahagia. Dahulu temari juga dikenal sebagai ”bola kesayangan para ibu”. Di sekitar tahun 1800 hingga 1950,temari adalah mainan yang dibuat untuk anak – anak. Di dalam simbol – simbol Cina, mutiara bercahaya sering tampak dalam genggaman naga. Mutiara adalah simbol kemakmuran ataupun kekuatan alam. Dalam parade tahun baru di Cina ,biasanya boneka naga diarak memanjang bersama bola hias. Di depan gedung – gedung di Cina sering tampak sepasang patung singa menjaga pintu masuk singa betina tampak memeluk anaknya sedangkan singa jantan mencengkeram sebuah bola berhias. Temari diibaratkan bola berhias tersebut Temari diilhami dari bola sepak kulit gantung pria dewasa yang berasal dari Cina. Penggunaannya mirip dengan sandsack masa kini, namun digunakan untuk disepak, bukan ditinju. Bukti adanya permainan ini tercatat kitab peradilan kerjaan tahun 644. Bentuk bola sepak gantung ini seperti gabungan dua bakpao yang ditelungkupkan dan diikat menyatu. Kemungkinan bola berisi rambut kuda atau rangka bambu berbalut kulit kandung kemih binatang. Seiring dengan perkembangan jaman bola sepak tersebut berubah menjadi bola lempar anak – anak, untuk menarik perhatian anak – anak maka temari di hias dengan warna – warna yang menarik di bagian luarnya. Temari begitu populer pada abad ke - 17 bahkan pada jaman itu diadakan kontes pembuatan temari terindah dengan menggunakan benang yang indah dan corak yang menarik. Tetapi seiring waktu berlalu kerajinan temari semakin dilupakan dan hampir punah karena banyak diproduksi bola dari karet, untuk mencegah kepunahan temari kini pemerintah Jepang memerintahkan untuk memproduksi
49
temari di seluruh Jepang ada yang terbuat dari kertas, gulungan kain ataupun katun yang dibebat dengan kain ataupun benang serta dihiasi dengan sulaman. Sekarang ini temari tidak lagi digunakan anak – anak untuk bermain, tetapi dijadikan hiasan saja. Tanabata atau Festival Bintang adalah salah satu festival yang berkaitan dengan musim di Jepang, Cina, dan Korea. Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke7 bulan ke-7. Legenda Tanabata di Jepang dan Cina mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujo), putri Raja Langit yang pandai menenun. Bintang Altair yang berada di rasi bintang Aquila dikisahkan sebagai sebagai penggembala sapi bernama Hikoboshi (Kengyū). Hikoboshi rajin bekerja sehingga diizinkan Raja Langit untuk menikahi Orihime. Suami istri Hikoboshi dan Orihime hidup bahagia, tapi Orihime tidak lagi menenun dan Hikoboshi tidak lagi menggembala. Raja Langit sangat marah dan keduanya dipaksa berpisah. Orihime dan Hikoboshi tinggal dipisahkan sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diizinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Kalau kebetulan hujan turun, sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suami. Sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime bisa menyeberang dan bertemu. Festival Tanabata dimeriahkan tradisi menulis permohonan di atas tanzaku atau secarik kertas berwarna-warni. Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak zaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Di Cina, tali untuk mengikat terdiri dari 5 warna dan bukan kertasnya. Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang
50
yang menulis. Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak festival, tapi kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik. Dalam menganalisis data yang diperoleh penulis akan menggunakan teori untuk mengolahnya, teori – teori yang dipakai adalah teori Medan Makna yang terdapat pada teori semantik, teori semiotika warna yang terdapat pada teori semiotika, teori temari, teori tanabata dan konsep agama Budha. Penulis akan menggunakan teori medan makna untuk membuat satu jaringan asosiasi berdasarkan kesamaan atau hubungan dengan menyebutkan satu kata (Parera,1991:67-68). Dengan menggunakan teori semiotik, penulis akan menganalisis makna yang terdapat dalam warna merah, kuning dan hijau yang dihubungkan dengan konsep agama Budha pada temari yang digunakan pada festival tanabata. Penulis akan menggunakan teori temari untuk menceritakan Asal mula temari tradisional Jepang yang dikatakan telah masuk dari Cina pada periode Asuka. Pada saat itu dikatakan bahwa temari terbuat dari kulit rusa yang digunakan oleh para bangsawan untuk bermain (bola sepak). Ozaki (2010 : 28). Sedangkan menurut Suess (2007 : 7) Di Jepang, secara tradisional temari adalah pemberian yang diberikan untuk saat – saat yang spesial; bola yang khusus dibuat untuk teman – teman atau orang terkasih adalah harta. Penulis akan menggunakan teori tanabata untuk menjelaskan bahwa setiap setahun sekali, tepatnya pada tanggal 7 bulan juli (Tanabata) Otohime dan Hikoboshi 51
bertemu. Tanabata diselenggarakan pada saat malam menjelang festival obon pada bulan ke juli, karena diselenggarakan pada bulan juli tanggal 7 malam maka dinamai tanabata. Pada saat tanabata, permohonan kita ditulis di sebuah kertas yang kemudian diikat pada sebuah bambu. Jang (2009).
Sedangkan konsep agama Budha akan digunakan untuk menjelaskan bahwa Agama Budha datang ke Jepang dari Cina melalui Korea pada abad ke-6. Agama Budha di Jepang dimanifestasikan dalam berbagai bidang kehidupan diantaranya; politik, masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya. Di kuil – kuil Budha, orang – orang memanjatkan doa. Sampai saat ini, ajaran agama Budha masih dipegang terutama dalam kegiatan pemakaman.
Pendiri agama Budha adalah Budha sakyamuni, yang sebelum mencapai pencerahan dan menjadi Budha bernama Siddharta Gautama. Siddharta hidup pada pertengahan abad ke 6 SM, satu zaman dengan Konfusius. Dia adalah pangeran dari kerajaan Kapilavasu, di daerah Nepal. Sejak kecil Siddharta mempunyai kebiasaan merenung dan berfikir yang mendalam. Fenomena hidup yang penuh penderitaan membuatnya mencari-cari sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana agar manusia dapat hidup terbebas dari penderitaan. Kemewahan hidup di istana tidak membuatnya puas dan melupakan hal itu, sehingga pada suatu ketika ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana untuk mengembara mencari cara agar manusia dapat terbebas dari penderitaan. Setelah pencarian yang panjang selama bertahun-tahun, pada suatu malam dalam meditasinya, akhirnya dia berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini dicari olehnya dan hal itu disebut dengan “pencerahan”. Pencerahan artinya pencapaian keBudhaan, dan memperoleh kebijakan sempurna. Setelah mencapai keBudhaan, sang Budha pun
52
mengkhotbahkan ajaran-ajarannya kepada orang-orang dan ajaran inipun menyebar, dan inilah yang disebut dengan ajaran agama Budha (Zhao, 2007 : 2-10).
Warna Simbolisme digunakan dalam berbagai cara menarik dalam seni Budha dan ritual. Dalam ajaran Budha, terutama di Budha Tibet, masing-masing dari lima warna (pancha-varna) melambangkan pikiran yang kokoh, sebuah Budha langit, bagian dari tubuh, bagian dari kata mantra Hum, atau elemen alam. Hal ini di percaya bahwa dengan bermeditasi dengan warna masing – masing, dimana terkandung esensi masing – masing dan berkaitan dengan Budha tertentu atau bodhisattva, transformasi spiritual dapat dicapai.
53