Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Semantik Untuk dapat memahami makna dari lambang – lambang yang terkandung dalam temari yang bercorak tanabata, maka kita harus memahami pengertian dari makna itu sendiri terlebih dahulu sebagai dasar dari analisis. Teori dasar yang dapat membantu memahami pengertian makna tersebut adalah teori semantik. Hiejima (1991 : 1 – 3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, dan kalimat. Menurutnya, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif ataupun secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini karena kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari – hari dan dari setiap individu akan lahir makna – makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Untuk pembagian semantik dalam ilmu bahasa, ahli semantik Ikegami (1991 : 19) juga mengatakan : 言語における意味の問題は、本然言語学の一部門として意味論の対象 になる。意味論は、持に区別されるときは 「言語学的な意味論」 (linguistic semantics)、「哲学的な意味論」(philosphical semantics)、 「一般意味論」(general semantics)というふうにそれぞれ呼ばれるが、 多くはいずれの場合に対しても「意味論」(semantics)という名称が 使われる。 Terjemahan : Kajian bahasa dalam semantik yang merupakan salah satu bagian dalam linguistik. Semantik yang jika secara khusus dibedakan sesuai dengan sebutannya menjadi semantik linguistik, semantik filosofis, semantik umum, tetapi sering digunakan nama semantik saja dalam berbagai macam kesempatan.
8
Semantik adalah studi tentang makna. Untuk memahami suatu ujaran dalam konteks yang tepat seseorang harus memahami makna dalam komunikasi (Keraf, 2007 : 25). Oleh karena itu, berdasarkan dari pengertian akan semantik tersebut, makna kata dalam suatu frase atau kalimat terbagi menjadi dua yaitu 1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frase atau kata yang tidak mengandung arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, biasanya akan cenderung untuk mempergunakan kata – kata yang bermakna denotatif. Tujuan utamanya adalah untuk memberi pengenalan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca (Keraf, 2007 : 28). 2. Makna konotatif adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umumnya. Makna tersebut sebagian terjadi karena pembica ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar dengan orang lain. Sebab itu, bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya (Keraf, 2007 : 20).
2.1.1 Medan Makna Pada awal analisis linguistik struktural para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi asosianistik dalam pendekatan terhadap makna, para linguis dengan intuisi mereka sendiri menyimpulkan hubungan antara seperangkat kata. Dengan demikian konsep asosiasi makna dipelopori oleh Saussure. Salah seorang murid Saussure, memasukan konsep medan asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan
9
terperinci. Ia melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu kata dan muncul ke dalam kehidupan leksikalnya. Seperti misalnya ia menggunakan contoh dengan menggambarkan kata ox (kerbau) yang akan menyebabkan seseorang akan berpikir atau mengaitkannya dengan kata cow (sapi), lalu semakin jauh hingga seseorang akan mengaitkannya dengan strengh (kekuatan). Jadi medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan kepada similiaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera,1991:67-68). Selain itu teori medan makna ini juga dikembangkan oleh seorang linguis bernama J. Trier. Bagi Trier dalam Parera (1991:69), buah pikiran dari Saussure dan muridnya, dan juga buah pikiran dari W. Van Humboldt, Weisgerber, dan R. M. Meyer telah menjadi inspirasi utama baginya dalam pengembangan Teori Medan Makna. Trier dalam Parera (1991:69) melukiskan kosa kata dari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Ia juga menyatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik, dan setiap medan makna itu akan selalu tercocokan antar sesama medan, sehingga membentuk suatu keutuhan bahasa yang tidak tumapng tindih (Parera,1991:69). Seperti dalam contoh yang ditampilkan oleh Trier dalam Parera (1991:69) :
Bagan 2.1 Contoh Medan Makna ‘Cerdik’ cerdik terpelajar terdidik Cerdik bijak berpengalaman cendekiawan Sumber: Trier dalam Parera (1991:69) 10
Medan makna yang diungkapkan oleh Trier dalam Parera (1991:69) ini juga sebenarnya bertentangan dengan medan asosiatif makna, karena medan asosiatif makna sendiri menuntut asosias antara kata yang menjadi pusat dan beberapa kemungkinan kolokasinya. Sebaliknya pendekatan medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata yang dapat dipenggal atas bagian-bagian yang saling berhubungan teratur. Sehingga setiap kata dapat dikelompokan sesuai dengan medan maknanya. Akan tetapi, bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa.
2.2 Teori Semiotika Menurut Pradopo (1990 : 121 - 124) semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda – tanda yang mempunyai arti. Kata – kata sebelum dipergunakan dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan adalah perjanjian masyarakat atau konvensi masyarakat. Lambang – lambang atau tanda – tanda pada kata tersebut, dapat berupa satuan bunyi yang memiliki arti oleh konvensi masyarakat.
Tujuan menganalisis karya sastra itu adalah untuk memahami maknanya. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bagi Pierce dalam Hoed (2008 : 18 – 19) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Dalam teori semiotik ada yang disebut proses semiotik, yakni proses pemaknaan dan penafsiran berdasarkan pengalaman budaya seseorang. Dalam buku yang berbeda menurut Pierce dalam Christomy (2004 : 117), tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi jika ada representamen, acuan, dan interpretan. Dengan kata lain, sebuah senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait : representamen (R) sesuatu yang dapat 11
dipersepsi (perceptible), objek
(O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain
(referential), dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable). Gambar 2.1 Tiga Dimensi Tanda
Objek (O)
Representamen (R)
Interpretan (I)
Sumber : Christomy (2004 : 117) Sebuah tanda (representamen) mengacu kepada objeknya (denotatum) melalui tiga cara utama menurut Pierce dalam Christomy (2004 : 121 – 122) yaitu 1. Ikon adalah tanda hubungan representamen dan objek yang bersifat persamaan bentuk alamiah (keserupaan). 2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara rrepresentamen dan objeknya melalui cara penunjukkan. 3. Simbol adalah tanda menunjukkan hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan kesepakatan atau konvensi masyarakat. Hubungan dalam representamen, objek, dan interpretan menurut Pierce dalam Christomy (2004 : 127 – 128) mengajukan tiga kategori pula, yaitu 12
1. Term, sebagai representamen dari sesuatu kemungkinan denotatum 2. Proposisi, sebagai tanda informatif 3. Argumen, sebagai proses berpikir yang memungkinkan percaya tentang sesuatu Kemudian, menurut Pradopo (1990 : 122 – 124) bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karena, karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dalam bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Menurut Kazama dkk (1993 : 2) menyatakan bahwa dalam karya sastra, arti kata – kata ditentukan oleh konvensi sastra. Jadi, arti satra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakannya dari arti bahasa, arti sastra itu disebut makna (significance) yang terbagi menjadi signifiant atau nouki (能記) 、kigouhyougen ( 記号表現) dan siginifie atau tokoroki ( 所記)、kigounaiyou (記号内容).
2.2.1 Teori Semiotika Warna Mengenai semiotika warna Faur (2007) mengatakan bahwa warna adalah sebuah area yang sering difokuskan dalam bidang desain, seni, filosofi, dan psikologi. Dapat dengan mudah dikenali dalam konjungasi dengan warna yang dengan cepat memberitahu kita tentang potensial adanya bahaya (misalnya warna kuning = peringatan, warna merah = bahaya), warna dapat membimbing kita kepada apa yang
13
diharapkan oleh masyarakat, dan juga sebagai tanda pengenal yang dapat langsung dikenali dari suatu merek barang Warna yang paling umum memiliki persepsi standar masyarakat yakni suatu warna secara spesifik dapat mewakili suatu ide atau mood. Pengertian ini sering kali menjadi pembatas dari apa pengertian yang masyarakat inginkan. Sebagai contoh warna hitam, yang mana sering kali berarti kematian di dalam masyarakat Eropa atau Amerika sementara kebalikannya, warna putih merupakan lambang kematian di kebudayaan Asia. Telah ada sistem yang diletakkan dari masa lalu yang menggunakan warna untuk menggambarkan pengertian abstrak. Sistem ini hubungan dari mereka yang menggunakan coat of arms, bendera, seragam militer hingga ke warna dan pola dari rok Skotlandia yang digunakan sebagai identitas dari suatu klan atau kelompok. Zaman modern seperti sekarang ini, insinyur elektronik menggunakan sistem pengelompokan warna yang dikembangkan untuk mengetahui ketahanan perlawanan (10 warna yang mewakili angka-angka individual dari 0-9), serta pengkodean warna untuk kabel-kabel.
2.3 Konsep Temari Mengenai Temari, Ozaki (2010 : 28), menyatakan sebagai berikut : 日本古来の伝統的なてまりの起源は、飛鳥時代に中国から渡来した といわれています。その頃のてまりは 鹿革で作られており、貴族 の人たちの「蹴鞠」という遊戯に使われていました。 Terjemahannya : Asal mula temari tradisional Jepang dikatakan telah masuk dari Cina pada periode Asuka. Pada saat itu temari terbuat dari kulit rusa yang digunakan oleh para bangsawan untuk bermain (bola sepak). 14
Mengenai Temari, Suess (2007 : 7), mengatakan sebagai berikut : “In Japan, temari are traditionally given as gift for special occasions; a ball made especially for a friends or loved one is a treasure.” yang artinya “Di Jepang, secara tradisional temari adalah pemberian yang diberikan untuk saat – saat yang spesial; bola yang khusus dibuat untuk teman – teman atau orang terkasih adalah harta.”
2.4 Konsep Tanabata Menurut Jang (2009) Tanabata adalah: 七月七日は「七夕」で、織姫と彦星が年に一回だけ会う日だ。七夕は 、もともと七月の夕べのお盆祭りの準備をする日だったので、七月の 七と夕方の夕から七夕という名前になったようだ。七夕では、紙に自 分の願いを書いて竹につることになっている。 Terjemahannya: Setiap setahun sekali, tepatnya pada tanggal 7 bulan juli (Tanabata) Orihime dan Hikoboshi bertemu. Tanabata diselenggarakan pada saat malam menjelang festival obon pada bulan juli, karena diselenggarakan pada bulan juli tanggal 7 malam maka disebut tanabata. Pada saat tanabata, permohonan kita ditulis di sebuah kertas yang kemudian diikat pada sebuah bambu.
2.5 Konsep Agama Budha Agama Budha masuk ke Jepang dari India melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad keenam (tahun 538 Masehi). Setelah memperoleh dukungan kaisar, agama Budha disebarluaskan oleh para penguasa ke semua pelosok. Menurut pendapat Takada (1996) tentang agama Budha adalah: 仏教は、6世紀に中国と韓国を経で日本へ伝わりました。仏教は日本 の政府、社会、文化、美術に大きな影を与えてきました。日本神の寺
15
でさまざまな種類の仏が信仰の対象になっています。葬式は仏教の僧 我執行う、といった具合です。 Terjemahannya :
Agama Budha datang ke Jepang dari Cina melalui Korea pada abad ke-6. Agama Budha di Jepang dimanifestasikan dalam berbagai bidang kehidupan diantaranya; politik, masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya. Di kuil – kuil Budha, orang – orang memanjatkan doa. Sampai saat ini, ajaran agama Budha masih dipegang terutama dalam kegiatan pemakaman. Pada awal abad ke-9, agama Budha di Jepang memasuki periode baru, ketika agama ini secara khusus melayani kaum bangsawan istana. Pada periode Kamakura (1192 - 1333), mulai bermunculan banyak sekte agama Budha yang baru yang memberikan harapan keselamatan baik kepada prajurit maupun kepada rakyat petani. Agama Budha bukan hanya berkembang
sebagai agama, tetapi juga turut
memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan.
Menurut Zhao (2007 : 1), dalam pengertian agama Budha secara luas, adalah religi, mencakup kitab-kitab, tata cara dan ritual, kebiasaan dan tradisi, serta organisasi komunitasnya. Dalam pengertian agama Budha yang lebih khusus, adalah apa yang telah diajarkan oleh Budha, seperti yang dinyatakan oleh Takada (1997 : 40), 仏教とは、言うまでもなく仏の教えです。それは、キリスト教がイエ ス・キリストの教えであり、イスラム教がモハメッドの教えであるの と同じです。 Terjemahan :
Agama Budha adalah ajaran yang diajarkan oleh sang Budha. Sama seperti agama Kristen yang merupakan ajaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus, dan agama Islam yang merupakan ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
16
Pendiri agama Budha adalah Budha Sakyamuni, yang sebelum mencapai pencerahan dan menjadi Budha bernama Siddharta Gautama. Siddharta hidup pada pertengahan abad ke-6 SM, satu zaman dengan Konfusius. Dia adalah pangeran dari kerajaan Kapilavasu, di daerah Nepal. Sejak kecil Siddharta mempunyai kebiasaan merenung dan berfikir yang mendalam. Fenomena hidup yang penuh penderitaan membuatnya mencari-cari sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana agar manusia dapat hidup terbebas dari penderitaan. Kemewahan hidup di istana tidak membuatnya puas dan melupakan hal itu, sehingga pada suatu ketika ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana untuk mengembara mencari cara agar manusia dapat terbebas dari penderitaan. Setelah pencarian yang panjang selama bertahun-tahun, pada suatu malam dalam meditasinya, akhirnya dia berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini dicari olehnya dan hal itu disebut dengan “pencerahan”. Pencerahan artinya pencapaian keBudhaan, dan memperoleh kebijakan sempurna. Setelah mencapai keBudhaan, sang Budha pun mengkhotbahkan ajaran-ajarannya kepada orang-orang dan ajaran inipun menyebar, dan inilah yang disebut dengan ajaran agama Budha (Zhao, 2007 : 2-10).
Singkatnya, ajaran-ajaran Budha mencangkup yang disebut dengan “empat kebenaran mulia”, yaitu duka, asal mula duka, lenyapnya duka, dan cara menuju lenyapnya duka. Hal ini sendiri berhubungan dengan alasan Budha meninggalkan keduniawian yaitu bertujuan untuk mencari suatu cara agar manusia dapat terbebas dari penderitaan yang diakibatkan oleh kelahiran, umur tua, sakit, dan kematian. (Zhao, 2007 :33). Agama Budha memiliki beberapa konsep utama yang merupakan inti dari ajaran-ajaran agamanya, diantaranya adalah konsep kesucian dan pengajaran, dimana menurut Griffiths (1994 : 75), kedua hal tersebut merupakan hakikat dari keBudhaan; konsep ketidakkekalan, dimana menurut Piyadassi (2003 : 103), 17
ketidakkekalan merupakan realitas bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berubah dan tidak ada yang selamanya tetap kekal abadi; konsep karma, yang menurut Dhammananda (2005 : 22), merupakan hukum sebab-akibat, aksi dan reaksi; dan konsep Samsara, yang menurut Piyadassi (2003 : 103), merupakan kepercayaan akan adanya siklus kelahiran kembali setelah kematian, yang terus berulang. Dalam konsep ini dinyatakan bahwa setelah mati, manusia akan dilahirkan kembali ke salah satu dari enam alam, tergantung karma (perbuatan) mereka ketika hidup, dan proses tersebut akan terus berulang.
2.5.1 Konsep Warna dalam Agama Budha
Warna Simbolisme digunakan dalam berbagai cara menarik dalam seni Budha dan ritual. Dalam ajaran Budha, terutama di Budha Tibet, masing-masing dari lima warna (pancha-varna) melambangkan pikiran yang kokoh, sebuah Budha langit, bagian dari tubuh, bagian dari kata mantra Hum, atau elemen alam. (Biru dan hitam kadangkadang saling dipertukarkan.)
Hal ini di percaya bahwa dengan bermeditasi dengan warna masing – masing, dimana terkandung esensi masing – masing dan berkaitan dengan Budha tertentu atau bodhisattva agar transformasi spiritual dapat dicapai.
2.5.1.1 Warna Hijau dalam agama Budha
Hijau adalah warna tengah yang terlihat pada pancaran tujuh warna dan membuat melambangkan keseimbangan, harmoni, kekuatan, tindakan. Tindakan yang dilambangkan oleh warna ini adalah pengusiran setan. Ini adalah warna yang kita hubungkan dengan alam, pohon- pohon dan tanaman. Dengan kata lain warna hijau tara (istilah yang dipakai oleh suku Tibet) untuk melambangkan campuran warna 18
putih, kuning dan biru warna – warna yang melambangkan rasa tanggung jawab, warna yang melambangkan ketenangan, kemajuan, dan kehancuran. Hijau juga simbol dari kekuatan kaum muda beserta kegiatannya atau dengan kata lain hijau tara selalu memperlihatkan seorang perempuan muda yang memiliki pribadi yang semangat dan riang. Dewa karma (Amoghasiddhi) dalam agama Budha (tindakan) juga diasosiasikan dengan warna ini. Warna ini berubah dari kecemburuan menjadi kebijaksanaan pemenuhan, Warna ini melambangkan bagian vokal “u” dari matra Hum. Bagian anggota tubuh yang di lambangkan oleh warna ini adalah kepala (Kumar, 2004).
2.5.1.2 Warna Merah dalam Agama Budha
Merah sepanjang perkembangan zaman telah memiliki konotatif dengan kehidupan dan dianggap suci dalam beberapa cara. Ini telah identik dengan kelestarian dalam gaya hidup kita, seperti yang terdapat dalam simbol Palang Merah. Tanda dan sinyal bahaya juga sering di dikelilingi dengan merah untuk menandakan peringatan atau
ancaman hidup. Api mempunyai dua sisi. Api dapat menjadi
peringatan penyelamat hidup atau bahaya yang tidak terkendalikan
Simbolisme dari warna merah dalam estetika agama Budha di dalam jenis lukisan yang dikenal sebagai thangka merah. Thangka merah adalah sebuah jenis lukisan yang memerlukan keahlian teknik yang tinggi, semua elemen – elemen pembuatan lukisan – lukisan ini termasuk dalam karakteristik di keseluruhan warna merah jenis khusus thangka. Merah adalah warna ritual yang mengekspresikan kekuatan dan tindakan. Ini adalah warna untuk gairah, yang kemudian berubah bentuk menjadi kebijaksanaan diskriminatif. Ini relevan dengan ritual – ritual meditasi yang kuat terutama yang membutuhkan alat meditasi yang sama kuat potensinya. 19
Dimensi lain warna merah dipercaya mengelilingi karang, batu semi mulia yang merupakan hadiah dari laut ibu pertiwi yang mengingatkan kita kepada pondasi yang abadi. Karang ini sebenarnya diciptakan dari kerangka hewan kecil di dalam karang serta ranting – ranting yang keras. Karang ini mengingatkan kita kepada tulang kita yang keras dan tahan lama. Karang mengajarkan kita bentuk, juga aliran dan kelenturan dalam bentuk. Karang hidup dan bernapas di dasar laut tetapi akarnya berlabuh di tanah. Ini adalah satu dari lima batu suci dari agama Budha Tibet, dan melambangkan kekuatan hidup.
Karang sering diyakini sebagai pelindung dari kejahatan. Secara khusus dipercaya bila warna karang menjadi lebih muda dan menjadi pucat jika pemakainya sakit atau bahkan memperlihatkan penyakit atau diracuni. Karang akan berubah menjadi lebih gelap warnanya bila pemakainya sembuh. Atribut yang sama diasosiasikan dengan wanita yang sedang datang bulan, yakni karang dianggap “berbagi” dengan wanita. Karang juga dikaitkan dengan berhentinya aliran darah dari luka, menyembuhkan kegilaan, memberikan hikmah, dan menghentikan badai.
Karang dalam agama Budha dipercaya secara umumnya baik, dan Tibet dan Tibet-Nepal menganggapnya sebagai investasi yang menarik, dan dipercaya bahwa orang yang memakai batu karang akan sukses dalam hidupnya. Warna merah dalam budaya Tibet adalah warna keberuntungan.
Warna merah adalah warna yang suci, salah satu dari lima warna dalam agama Budha dan warna dari pakaian biarawan. Warna ini diyakini memiliki kualitas pelindung dan karena itu sering kali digunakan untuk mengecat bangunan suci. Merah juga melambangkan darah, merah dalam agama Budha melambangkan emosi penaklukan dan pemanggilan, kata – kata untuk warna merah dalam agama Budha 20
adalah Amitabha, bagian dari mantra Hum untuk warna merah adalah suku kata “ha”, bagian tubuh yang dilambangkan warna merah adalah lidah,warna merah memiliki elemen api.
Di lingkungan Cina, karang adalah simbol untuk umur panjang dan di India dipercaya untuk mencegah pendarahan.
Hans Weihreter mencatat kepercayaan
karang di budaya Tibet barat yang berpusat pada keyakinan tentang darah. Karang dikatakan untuk memperkuat darah, dan memiliki pengaruh baik untuk wanita pada saat datang bulan (Kumar, 2004).
2.5.1.3 Warna Kuning dalam Agama Budha
Kuning adalah warna yang paling mendekati dengan matahari sehingga sering dilambangkan dengan kehangatan. Warna kuning memiliki nilai simbolis tertinggi dalam Budha bila dihubungkan dengan jubah safron para biarawan. Warna ini, sebelumnya dikenakan oleh para kriminal, yang kemudian dipilih oleh Gautama Budha sebagai simbol dari kerendahan hati dan pemisahan dari masyarakat materialis.
Dengan demikian menandakan penolakan, ketidakmauan, dan
kerendahan hati. Warna kuning adalah warna untuk bumi, sehingga sebuah akar simbol dan kesederhanaan bumi, emosi atau tindakan yg tercermin dari warna ini adalah menahan dan bergizi. Warna ini berubah dari kebanggaan menjadi kebijaksanaan dari kesamaan. Kata – kata untuk warna kuning dalam agama Budha adalah Ratna-sambhava. Warna ini melambangkan bagian bagian awal atau kepala dari matra Hum, bagian tubuh yang dilambangkan warna ini adalah hidung. Warna kuning melambangkan elemen bumi (Kumar, 2004).
21