21
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1
Landasan Teori Dalam bab ini mengemukakan teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan
sebagai acuan untuk menjelaskan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabelvariabel
yang
(transformational
dimaksud
meliputi
leaderships),
variabel
komitmen
kepemimpinan
transformasional
organisasional
(organizational
commitment), orientasi kewirausahaan (entrepreneurial oriented) dan kinerja organisasional (organizational performance). Selain itu diketengahkan pula hubungan antar konsep yang meliputi: hubungan kepemimpinan transformasional terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional, serta komitmen organisasional terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional, dan juga hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja organisasional. Secara agregat bahwa teoriteori dan konsep-konsep yang dikemukakan itu menaungi variabel-variabel penelitian ini dalam perspektif teori perilaku keorganisasian.
2.1.1 Perilaku Keorganisasian Pentingnya pemahaman secara cerdas tentang perilaku manusia di dalam menentukan efektivitas organisasi telah dirasakan dalam abad ke duapuluh satu dewasa ini oleh setiap organisasi, baik yang berorientasi laba maupun nir-laba. Dalam dunia usaha saat ini yang semakin kompetitif tingkat persaingannya, menuntut semua orang dalam menjalankan bisnis memerlukan pengelolaan secara kreatif dan inovatif.
21
22
Walaupun upaya pengelolaan bisnis yang kreatif dan inovatif sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi, namun bagi pengelolanya harus mempunyai gaya kepemimpinan yang handal serta memiliki komitmen organisasional yang kuat. Robbins (2006) mengatakan bahwa perilaku keorganisasian adalah bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok atau tim, sistem atau struktur pada perilaku keorganisasian dengan tujuan mengaplikasikan pengetahuan untuk memperbaiki efektivitas organisasi. Hal ini berarti perilaku keorganisasian itu merupakan bidang studi yang mempelajari tiga faktor penentu perilaku dalam organisasi yaitu perilaku individu, kelompok atau tim dan sistem atau struktur keorganisasian agar organisasi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Perilaku keorganisasian terkait dengan apa-apa yang dilakukan orang atau kelompok orang di dalam organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi. Perilaku keorganisasian menekankan perilaku yang dikaitkan dengan pekerjaan, koordinasi, komunikasi, produktivitas, komitmen, kepemimpinan, kewirausahaan, kinerja dan manajemen. Luthans (2006) menyatakan bahwa perilaku keorganisasian sebagai pemahaman prediksi dan manajemen perilaku manusia di dalam organisasi. Kreitner dan Kinicki (2003) menyatakan bahwa perilaku keorganisasian itu merupakan bidang interdisipliner yang digunakan untuk memahami dan mengelola orang di tempat kerja dalam organisasi agar menjadi lebih baik. Sedangkan Robbins (2006) mengatakan perilaku keorganisasian adalah suatu disiplin ilmu yang mendukung perilaku organisasi yang meliputi, antara lain ilmu : psikologi, sosiologi, psikologi sosial, psikologi industri, antroplogi dan bahkan ilmu politik. Setiap disiplin ilmu memberikan sumbangan berupa pokok-pokok bahasan yang menjadi pembentuk perilaku keorganisasian. Pokok-pokok bahasan yang dimaksud meliputi : pembelajaran, motivasi, kepribadian, pelatihan dan pengembangan,
23
kepemimpinan, disiplin diri,
komitmen, komunikasi, koordinasi, perubahan
organisasi, budaya organisasi, kinerja individu, kinerja kelompok, kinerja organisasi, lingkungan organisasi, kewirausahaan, dan lain sebagainya. Pokok-pokok bahasan tersebut akan membantu para manajer dan organisasi di dalam menangani manusia yang terlibat didalamnya sehingga dapat dicapai efektivitas dan efisiensi organisasi. Namun demikian, dalam penelitian ini pokok bahasan yang ditekankan menjadi fokus kajian adalah kepemimpinan, komitmen, kewirausahaan, dan kinerja. Lebih spesifik lagi kajian yang akan dibahas adalah kepemimpinan transformasional, komitmen organisasional, orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional.
2.1.2 Kepemimpinan Transformasional Pada hakikatnya esensi kepemimpinan selalu menunjukkan dua kedudukan yang bersifat bipolar yakni melibatkan pemimpin dan yang dipimpin atau pengikut. Danim dan Suparno (2009) yang mengutip pendapat Hersey dan Blanchard menyatakan : “leadership is the process of directing and influencing the task-related activities of an a group members.” Kepemimpinan adalah proses untuk mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tugas kepada para anggota kelompok.
Konsep ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin melakukan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tugas kepada semua anggota kelompok yang menjadi bawahannya. Dalam hal ini
kepemimpinan
merupakan energy yang mempengaruhi dan memberi arah yang terkandung di dalam diri pribadi pemimpin kepada orang-orang yang dipimpinnya. Selain itu
24
kepemimpinan juga merupakan energy yang dapat menggerakkan, menuntun dan menjaga aktivitas orang sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Oleh karena itu, pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi, motivasi, dan bekerja sama dengan bawahannya atau pengikutnya. Dengan kata lain : No Followers, No Leader; and No Leadership, No Followership. Menurut Danim dan Suparno (2009) yang mengutip hasil penelitian Lussier mengidentifikasi sifat-sifat pemimpin dunia yang memiliki sembilan ciri dominan, antara lain: dominasi atau pengaruh, energy tinggi, keyakinan diri, pengendalian dalam lokus internal, stabilitas, integritas, intelegensia, fleksibilitas, dan sensitif terhadap orang lain. Kajian di Ohio State University pada tahun 1940 telah memberi arah yang besar dalam pengembangan teori perilaku. Hasil kajian yang diketemukan dan dikutip Danim dan Suparno (2009) menunjukkan bahwa perilaku pemimpin itu ada dua. Pertama, dimensi struktur awal atau menginisiasi struktur yang mengacu sejauh mana seorang pemimpin kemungkinan menetapkan dan membuat struktur peran serta memerankan bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Dimensi struktur awal yang dimaksud mencakup perilaku pemimpin dalam mengorganisasikan pekerjaan, hubungan kerja, dan tujuan kerja. Pemimpin dikatakan berperilaku struktur awal, bilamana menugaskan bawahannya dengan tugas tertentu sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, mengharapkan bawahannya mempertahankan kinerja standar serta menekankan disiplin untuk ketepatan waktu. Kedua, dimensi pertimbangan yang mencirikan sejauh mana pemimpin memiliki hubungan kerja dengan dilandasi saling percaya, menghargai gagasan bawahan, memperhatikan kenikmatan, kesejahteraan, dan kepuasan kerja bawahannya. Selain pakar dari Ohio State University, pakar dari Michigan University yang dikutip oleh Danim dan Suparno (2009) tentang kajian terhadap karakteristik perilaku
25
pemimpin dikaitkan dengan ukuran kefektifan kerja akan menghasilkan dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu dimensi kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan dan dimensi yang kedua kepemimpinan yang berorientasi pada produksi atau tugas. Pemimpin yang berorientasi pada karyawan akan menekankan hubungan antar pribadi yang tercipta dengan baik. Selain itu, perilaku pemimpin yang teridentifikasi berorientasi pada karyawan adalah berempati terhadap keadaan karyawan, berminat secara pribadi terhadap kebutuhan karyawan, memahami dan menerima perbedaan yang dimunculkan dari setiap bawahannya. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada produksi atau tugas cenderung menekankan pada aspek teknis pelaksanaan tugas-tugas untuk pencapaian tujuan organisasi. Perilaku yang teridentifikasi dari kepemimpinan yang berorientasi pada tugas akan menekankan pada pencapaian tugas kelompok dan anggota kelompok merupakan tim sebagai sarana untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagai kesimpulan dari hasil kajian pakar Michigan University bahwa pemimpin dengan kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan mampu mencapai kinerja karyawan dan produktivitasnya lebih baik daripada kepemimpinan yang berorientasi pada produksi atau tugas. Hal ini kelihatan terjadi disebabkan oleh indikasi terpenuhinya kepuasan kerja dari bawahannya. Kedua teori yang dikemukakan oleh pakar-pakar dari kedua perguruan tinggi terkenal itu tampaknya belum memperhatikan faktor situasional sebagai faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pemimpin. Oleh karena itu dalam dasawarsa terakhir ini muncul teori kepemimpinan kontingensi yang menggabungkan teori kepemimpinan dengan faktor situasional lingkungan. Salah satu teori kepemimpinan yang menggabungkan faktor situasional lingkungan adalah teori kepemimpinan dengan tindakan yang terdistribusikan (the distribution-action theory
26
of leadership) di mana kepemimpinan yang ditampilkan dalam usaha kelompok untuk melaksanakan tugasnya dan meningkatkan efektivitas hubungan kerja diantara anggota kelompok dalam organisasi. Teori kepemimpinan dengan tindakan yang terdistribusikan itu cenderung memperhatikan kinerja individu dikaitkan dengan pencapaian tujuan organiasi. Teori kepemimpinan ini memberikan dua gagasan dasar yakni : (1) setiap anggota kelompok memungkinkan menjadi pemimpin bilamana mampu memberikan aktivitas yang membantu kelompok dalam menjalankan tugas dan meningkatkan hubungan kerja sama yang efektif, dan (2) kepemimpinan berfungsi bilamana dilengkapi atau didukung oleh perilaku anggota kelompok sesuai dengan variasi pekerjaan yang menjadi tugasnya. Kepemimpinan seperti ini menuntut perilaku pemimpin lebih bersifat fleksibel, tergantung pada situasi yang dihadapinya. Untuk itu, sebagai pemimpin dituntut memiliki keterampilan dan kemampuan yang semakin kompleks dan tidak sekadar kemampuan minimum yang dipersyaratkan saja. Pemimpin yang menerapkan teori kepemimpinan dengan tindakan yang terdistribusikan akan membangun iklim kerja dalam organisasi sebagai berikut : 1. Bilamana anggota organisasi tidak berpartisipasi, baik dari pemikiran dan informasi yang dikomunikasikan maupun keterampilan yang mencukupkan, maka akan merusak efektivitas kelompok; 2. Anggota organisasi yang aktif dibangun agar loyal kepada organisasi dan sebaliknya anggota organisasi yang diam atau apatis akan didorong untuk bangkit kepeduliannya terhadap organisasi; dan 3. Sebagian dari anggota organisasi yang aktif ada kekhawatiran terhadap anggota yang pasif dan menganggap bahwa anggota-anggota yang tidak aktif itu tidak peduli terhadap pencapaian tugas yang telah diembannya.
27
Walaupun kepemimpinan yang dikemukakan itu akan menimbulkan konflik di dalam organisasi, tetapi para ahli memandang bahwa teori kepemimpinan dengan tindakan yang terdistribusikan itu merupakan pendekatan yang dianggap paling konkrit dan langsung untuk meningkatkan kemampuan seorang pemimpin dan meningkatkan efektivitas organisasi. Sementara itu, seorang psikolog sosial yaitu Fiedler telah mengembangkan teori kepemimpinan distribution-action dengan modifikasi
memasukkan
sejumlah
situasi
yang
dikondisikan,
sehingga
kepemimpinannya mampu memberikan dampak positif terhadap organisasi (Danim dan Suparno (2009). Fiedler berpandangan bahwa kinerja kelompok akan lebih efektif bilamana ada padanan yang tepat antara gaya interaksi pemimpin dan bawahannya, serta sampai sejauh mana situasi terkendali dan berpengaruh bagi pemimpin. Telaah Fiedler mengembangkan instrumen yang disebut dengan “least preferred coworker” untuk mengukur kecenderungan seseorang apakah berorientasi pada hubungan ataukah pada tugas. Adapun indikator utama yang diikembangkan Fiedler sebagai instrumen penelitiannya adalah gaya kepemimpinan yang mencakup tingkat keyakinan, kepercayaan, respek bawahan terhadap pimpinan, dan struktur tugas untuk menjaring data tentang sampai sejauhmana penugasan pekerjaan diprosedurkan; dan posisi kekuasaan yakni tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya seperti: mendisiplinkan, mempromosikan, memutuskan hubungan kerja, dan menaikkan kompensasi. Kesemuanya itu bilamana dijalankan sepadan, maka pencapaian kefektifan kepemimpinan akan maksimum. Selain Fiedler, Hersey dan Blanchard dalam Danim dan Suparno (2009) juga mengembangkan teori yang dikenal dengan nama “situational theory”, yang pada dasarnya serupa dengan teori Fiedler. Hanya saja Hersey dan Blanchard menggunakan indikator utama yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perbedaan
28
kedua teori perilaku yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard ini bahwa setiap perilaku dibagi menjadi dua dimensi yaitu tinggi dan rendah, kemudian keduanya digabungkan sehingga menjadi empat dimensi perilaku pemimpin. Keempat dimensi perilaku pemimpin yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1. Pemimpin yang berorientasi tugas atau pekerjaan tinggi dan orientasi hubungan rendah, disebut “telling.” Pemimpin seperti ini cenderung menjadi direktif dengan cara mendefinisikan peran dan memerintahkan tentang apa, bagaimana, kapan, dan di mana anggota atau bawahan melaksanakan tugasnya. 2. Pemimpin yang berorientasi tugas atau pekerjaan tinggi dan orientasi hubungan tinggi, disebut “selling.” Pemimpin seperti ini dalam melakukan hubungan komunikasi dua arah dan adanya dukungan sosio emosional kepada anggota atau bawahannya. 3. Pemimpin yang berorientasi tugas atau pekerjaan rendah dan orientasi hubungan tinggi, disebut “participating.” Pemimpin seperti ini dalam melakukan hubungan komunikasi dua arah, bersikap memfasilitasi, dan pengambilan keputusan dilakukan secara bersama dengan melibatkan anggota atau bawahannya. 4. Pemimpin yang berorientasi tugas atau pekerjaan rendah dan orientasi hubungan rendah, disebut “delegating.” Pemimpin seperti ini mempunyai ciri hanya sedikit dalam memberikan arahan dan dukungan kepada anggota atau bawahan. Kebanyakan teori terbaru dari kepemimpinan transformasional terpengaruh oleh McGregor dalam Yukl (2001) dalam karya tulis yang berbentuk buku laris mengenai
kepemimpinan
politis
adalah
kepemimpinan
transformasional
(transformational leaderships). Dalam isi karya tulisnya itu membedakan antara kemimpinan yang melakukan transformasi dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional lebih menyerukan nilai-nilai moral kepada para
29
pengikutnya dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah etis dan memobilisasi energy serta sumber daya manusia guna melakukan reformasi institusi atau organisasi. Sedangkan kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) lebih memotivasi pengikutnya dengan menyerukan kepentingan pribadi masingmasing individual. Sebagai ilustrasi kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) adalah sebuah kepemimpinan politis yang melakukan pertukaran pekerjaan, pemberian subsidi, dan kontrak pemerintah yang menguntungkan dengan pemungutan suara serta adanya kontribusi dari hasil kampanye yang dilakukan, para pemimpin perusahaan yang bertukar gaji dan status dengan upaya kerja. Kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) dapat juga melibatkan nilainilai, tetapi nilai-nilai yang dimaksudkan relevan dengan proses pertukaran atau memerlukan imbalan sesuai dengan kepentingan kedua belah yang saling melakukan pertukaran, seperti: nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab yang harus ada pertukaran timbal balik berupa imbalan yang sesuai dengan kepentingannya. Lain halnya dengan kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) yang merupakan proses di mana para pemimpin menyerukan nilai-nilai dan emosi kepada para pengikutnya yang menjadi fitur sentral dan menurut visi yang ditetapkan oleh organisasi. Teori kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) atau disebut juga sebagai inspirasional yang pada hakikatnya didasarkan pada ide dari pemimpin untuk diinspirasikan kepada pengikutnya atau bawahannya melalui kekuatan pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri. Dengan kepemimpinan transformasionl (transformational leaderships) bahwa pengikut akan merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpinnya. Sebagai akibatnya para pengikut akan termotivasi dan terinpsirasi untuk melakukan aktivitas pekerjaan yang melebihi harapan awal bagi pengikutnya.
30
Kepemimpinan
transformasional
(transformational leaderships)
menurut Bass
(1996) dalam Yukl (2001) bahwa pemimpin akan mengubah dan memotivasi pengikut dengan kecenderungan melakukan cara-cara seperti yakni: (1) membuat para pengikut lebih menyadari pentingnya hasil tugas dari pekerjaan yang dilakukan, (2) mendidik pengikut untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi daripada kepentingan individual, (3) mengaktifkan kebutuhan pengikut yang lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) yang lebih menekankan pada proses pertukaran timbal balik dengan mementingkan kepentingan individual. Oleh karena itu, teori kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) memiliki perilaku antara lain: memiliki pengaruh yang ideal, memperhatikan pertimbangan individual, memberikan motivasi yang inspirasional, dan membuat stimulasi atau rangsangan intelektual. Dengan demikian kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) bagi para pengikut atau bawahannya akan dapat menimbulkan perasaan kepercayaan diri yang kuat dan mendorong para pengikut menjadi lebih kreatif. Kepercayaan diri seseorang dan kreativitas dalam konteks usaha (business) menjadi ciri dari kewirausahaan (entrepreneurship). Beberapa teori kepemimpinan yang telah dikemukakan tersebut pada hakekatnya
tidaklah
mutlak
mengantarkan
seorang
pemimpin
mencapai
kepemimpinan yang optimal. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi, diantaranya adalah karakteristik dan kematangan bawahan atau anggota dalam organisasi. Beberapa pertimbangan dan alasan yang mendasari para ahli untuk meneliti dan mengembangkan pendekatan baru terhadap kepemimpinan, salah satunya adalah kepemimpinan transformasional.
31
Danim dan Suparno (2009) menyatakan bahwa pola kepemimpinan transformasional merupakan salah satu pilihan bagi kepala sekolah untuk memimpin dan mengembangkan
sekolah
yang
berkualitas.
Kepemimpinan
transformasional
memberikan penekanan dalam hal pernyataan visi dan misi yang jelas, menggunakan komunikasi secara efektif, memberikan stimulus intelektual, dan melakukan perhatian atau respek pribadi terhadap permasalahan anggota secara individual dalam organisasi. Selain itu, kepemimpinan transformasional senantiasa mentransformasikan fenomena dan informasi terkini kepada para anggota atau karyawan dalam organisasi melalui sentuhan persuasif, psikologis dan bersifat edukatif. Perilaku pemimpin yang memerankan gaya kepemimpinan transformasional tidak berada dalam ruang hampa belaka, melainkan peran yang dimainkan ditentukan oleh multifaktor. Salah satunya adalah faktor dorongan dari dalam diri pemimpin untuk berkinerja tinggi serta mempunyai wawasan untuk berorientasi dalam kewirausahaan. Faktor dorongan yang berasal dari dalam diri pemimpin untuk melaksanakan tugas dan fungsinya itu akan memiliki nilai yang berbeda dengan faktor dorongan yang berasal dari luar dirinya. Bentuk faktor dorongan semacam ini dalam wujud nyatanya dapat melahirkan kreativitas dan diteruskan dengan tindakan-tindakan yang inovatif. Untuk mempertajam faktor dorongan dari dalam pemimpin yang memiliki nilai berbeda dengan orientasi kewirausahaan sebagai wujud nyata yang dilakukan, maka salah satu faktor penting yang juga memperkuat pencapaian tujuan kinerja organisasi bahwa pemimpin memiliki komitmen yang kokoh pada organisasi. Komitmen ini akan melahirkan loyalitas sebagai seorang pemimpin dalam setiap melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga keberanian dan ketegasan sebagai seorang
pemimpin
menunjukkan
bahwa
pemimpin
itu
berorientasi
pada
kewirausahaan. Hal ini dikarenakan dengan loyalitas yang dibangun begitu kuat yang
32
memunculkan keberanian dan ketegasan dalam setiap tindakan yang dilakukan, maka akan memunculkan risiko yang akan dihadapinya. Dalam organisasi yang sedang berjalan dewasa ini tampak sekali berhadapan dengan berbagai tantangan dan berhubungan dengan kompleksitas percepatan serta proses perubahan yang tidak kontinyu oleh Nadler dan Hayes dalam Kaplan dan Norton (1996). Hal ini muncul berbagai aktivitas seperti: restrukturisasi, downsizing, outsourcing, dan lain-lain yang menjadi bagian meningkatnya realitas yang dihadapi secara organisasional. Hal ini melekat pula terjadinya dinamika dalam persaingan pasar, yang memerlukan penyesuaian untuk berubah dan badan usaha apapun perlu membuat untuk melakukan inovasi dengan cara perubahan (transform) secara terus menerus. Selanjutnya bahwa transformasi rupanya menjadi referensi beraneka-ragam untuk sejumlah macam harapan, ekspektasi, proyeksi, dan merespon adanya perubahan lingkungan bisnis, seperti misalnya pemecahan untuk beragam masalah dan pada gilirannya untuk memperbaiki tekanan-tekanan yang dialami dalam organisasi badan usaha. Kondisi semacam ini menuntut keharusan untuk diperankan oleh seseorang dalam organisasi agar dapat bermain peran yang seringkali dinamakan gaya kepemimpinan transformasional (transformational leaderships). Secara umum istilah transformasi didefinisikan sebagai perubahan bentuk, struktur dan sifat dari segala sesuatu, sehingga memunculkan pernyataan yang dimodifikasi yakni sesuatu apa yang akan ditransformasikan itu ? Seringkali perubahan secara kualitatif misalnya untuk memperbaiki atau meningkatkan semua entitas dalam organisasi yang terlibat. Oleh karena itu, transformasi merupakan proses kemenduaan yang tinggi dan tidak kontinyu, sehingga tidak mudah untuk diprediksikan atau dikendalikan bagi organisasi konvensional dan menjadi pilihan dalam penalaran manajerial. Dengan demikian, transformasi itu kerapkali tidaklah
33
linier, tetapi jelas memiliki logika yang beragam dan / atau penjelasannya bisa diruntut. Namun demikian, kadangkala masih kabur dalam membawakannya dan prosesnya tidak mudah untuk diharapkan, serta mempunyai ruang terbuka dengan berbeda interpretasi, serta transformasi yang dikemukakan itu bisa menimbulkan kemenduaan yang beragam. Karena itu untuk menjadi pertimbangan dengan adanya keruwetan dari transformasi yang cenderung bersifat resiprokal, maka memerlukan pemahaman secara mendalam untuk dikembangkannya, sehingga penting sekali dipikirkan tentang implikasi dalam bentuk apa dari transformasi itu ? Hal ini yang lebih relevan sebagai bentuk dan menjadi elemen esensial bagi organisasional dengan segala aktivitasnya adalah kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan transformasional bisa diibaratkan seperti melakukan sebuah perjalanan, dan menunjukan pernyataan arah dan tujuan secara terus menerus dengan menyadarkan bahwa perubahan yang terjadi selalu terus menerus, serta polanya berulang-ulang melalui bentuk-bentuk yang berbeda-beda dalam media beraneka macam dalam organisasi. Situasi ini merupakan kenyataan yang relevan diketemukan untuk transformasi yang terjadi antara pemimpin (leader) dan pengikut (follower). Bentuk dan transformasi antara pemimpin (leader)
dan pengikut (follower) yang dikemukakan oleh dalam Yukl (2001)
dinamakan “new leaderships” yakni konsep kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) yang memadukan antara berbagai gagasan dengan pendekatan dan teori-teori yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Burns’s dalam Yukl (2001) dengan mudah mendefinisikan pemimpin transformasional disandingkan dengan transaksional, sedangkan menurut Bass dan Avolio dalam Yukl (2001) mengembangkan berdasarkan hasil empirik serta teoritik untuk penyelidikan kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) secara intensif. Hasil pendekatan yang ditetapkan berdasarkan pada berbagai identitas sosial, bahwa
34
pemimpin secara aktif mengintervensi dalam menciptakan dan mendefinisikan kembali identitas serta mencitrakan dan menstransformasikan kepada para pengikutnya serta bagi dirinya sendiri. Untuk itu yang paling relevan dari kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) adalah fakta yang pada saat itu menjadikan pemicu “pengaruh melakukan transformasi.” Sebagai pemimpin yang berpengaruh akan memunculkan kesadaran dan kepercayaan diantara para pengikutnya akan misi dan maksud dari organisasi yang selanjutnya para pengikutnya tertarik untuk bergerak dengan sesegera mungkin menjadi menyukai pemimpinnya. Jadi, kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) pada hakekatnya turut terlibat dalam perubahan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebutuhan-kebutuhan para pengikutnya untuk di bawa kearah hasil atau kinerja (performance) yang diinginkan pada tingkat individual atau tingkatan mikro, sedangkan
tingkatan
makro
yang
bersifat
agregat
berupa
budaya
dalam
organisasional. Dengan berlandaskan orientasi ini akan diketahui komponenkomponen kepemimpinan transformasional (transformational leaderships)
seperti:
pengaruh idealisme, motivasi yang memberikan inspirasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individualisme; kesemuanya itu kritikal untuk direspon dalam permintaan atas situasi yang tidak rutin, pembaharuan dan diimplementasikan dalam proses perubahan. Kesatuan
susunan
(transformational leaderships)
komponen
kepemimpinan
transformasional
yang hebat sekali itu janganlah dipandang rendah
dengan adanya hasil temuan meta-analitis dan empiris serta didukung berbagai pendekatan transformasional yang memunculkan banyak kritik dari Burns, Gron, Kupers dan Weibler dalam Yukl (2001); yang juga menunjukkan adanya kelemahan dari kepemimpinan transformasional (transformational leaderships)
yang masih
35
konvensional dan faktanya telah banyak diwujudkan oleh dimensi estetika dan emosional. Selanjutnya telah tersedia pula penginterpretasian kembali terhadap komponen-komponen utama dari kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) yang diistilahkan yakni estetika. Pada dasarnya bahwa pengalaman kualitas estetika dalam organisasi yang menjadi dimensi kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) yang ditunjukkan oleh terbentuknya persepsi dengan tersusunnya emosi dan apresiasi atau tidak diapresiasi oleh pemimpin dan pengikut. Berikut ini ada beberapa catatan contoh hubungan antara emosi yang dirasakan atau diterima dan kualitas estetika, walaupun hal ini menunjukkan sesuatu yang mendua. Salah satu contoh dari pengalaman antara pemimpin dan pengikut adanya pengalaman yang sangat menyenangkan keduanya (pemimpin dan pengikut) atau juga pengalaman yang menyakitkan bagi keduanya dalam hubungannya dengan fungsi atau tidak berfungsinya masing-masing dalam aturan-aturan formal ataupun tidak formal. Terjadinya kemenduaan atau ambivalensi persepsi dan apresiasi atau tidak diapresiasi dengan melibatkan emosi dalam pekerjaan dan estetika dalam pekerjaannya. Berdasarkan pengertian dimensi estetika yang diperluas oleh pemimpin dan pengikut transformasional, berikut ini diinterpretasikan kembali dalam kepemimpinan transformasional klasikal
(transformational
leaderships)
dengan
komponen-komponen
secara estetika yakni:
a.Pengaruh idealisme – yakni seni yang memimpikan dan saling meningkatkan imajinasi. Salah satu tugas kepemimpinan transformasional (transformational leaderships)
adalah menawarkan dan memunculkan visi, mendiskripsikan konsep-
konsep dan gagasan-gagasan melalui pencitraan yang menggairahkan. Penyampaian visi dapat diinterpretasikan dengan kapasitas yang memungkinkan diikuti oleh intuisi
36
– bahwa untuk imajinasi apakah bisa membawa ke dalam dunia nyata dan menerawangkan untuk masa yang akan datang. Secara estetika kepemimpinan transformasional yang karismatik ditunjukkan oleh adanya sublemasi fungsi-fungsi yang memungkinkan diikuti oleh pengikutnya yang memiliki kapasitas untuk merealisasikan visi yang sudah terimajinasikan sebagai agen-agen yang responsif. b.Motivasi inspirasional – yakni seni dari antusiasme resiprokal yang instrinsik. Salah satu tugas kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) adalah dapat memberikan inspirasi yang
berimplikasi pada nafas,
menggerakan jiwa, sehingga bisa menyatakan dan meningkatkan potensi, dan mempunyai karakter yang memahami kognitif-emosional dan persepsi synaesthetic. c.Stimulasi intelektual – yakni seni dari kepemimpinan transformasional yang “memberikan
perspektif”
untuk
mencerahkan
gagasan-gagasannya.
Sebagai
komponen estetika pemimpin dan pengikut transformasional akan memicu kedalaman,
kemungkinan-kemungkinan
dan
perspektif-perpektif
yang
baru.
Implikasinya akan membangkitkan gagasan-gagasan baru dan cara-cara yang berbeda dalam mendekatkan tantangan-tantangan sebagai masalah-masalah yang menjerat. Oleh karena itu, saling terjadi stimulasi dari masing-masing pemimpin dan pengikut transformasional akan menempatkan pada situasi yang banyak tidak diharapkan sebagai peluang untuk belajar dan melakukan sesuatu yang kreatif. Jadi, secara estetika pemimpin dan pengikut transformasional dapat mempengaruhi dengan melakukan stimulasi dengan berbagai aktivitas yang sengaja dipraktikkan. d.Pertimbangan
individualime
–
yakni
seni
dari
kepemimpinan
transformasional (transformational leaderships) untuk meningkatkan situasi dengan idiosyncratic (kehebatan-kehebatan atau keanehan-keanehan) atau situasi-situasi yang memunculkan terobosan-terobosan secara kreatif dan inovatif. Dengan salah satu
37
komponen ini akan memberikan perhatian dan pengakuan atas keunikan kualitas dan membedakan individu untuk memunculkan situasi yang berbeda sebagai bagian dari saling terdapatnya hubungan individual antara pemimpin dan pengikutnya. Dalam praktik, hal ini dapat diwujudkan dengan cara-cara empati, mendengarkan secara aktif dan terinci untuk kedua belah pihak (pemimpin dan pengikut), menyatukan perasaan dalam ekspresi dan melakukan komunikasi secara terbuka dalam setiap saat, pada tempat dimanapun, dan secara berurutan dilakukan dalam berbagai tindakan-tindakan untuk meningkatkan potensi secara spesifik. Hal ini bisa dilakukan secara spontan yang sepenuhnya muncul di dalam benak dan / atau pikirannya untuk selalu respek dalam berbagai aktivitas yang diselenggarakan serta fakta secara individual akan memberikan kontribusi atau menjadi sebuah gaya dari masing-masing pemimpin dan pengikut transformasional yang dapat membawa pada suatu tim atau tugas pekerjaannya. Semua komponen-komponen yang diinterpretasikan kembali secara estetika perlu dibawakan secara bersama-sama yang ditunjukkan secara terpadu. Transformasi yang dipahami sebagai responsif secara estetika akan dijadikan sebagai pola yang dikoneksikan dan menjadi pedoman komponen-komponen yang ditujukan kearah untuk memunculkan penciptaan bersama dan melakukan perubahan cepat
secara
bersama-sama. Oleh karena itu, menjadi suatu kesepahaman bersama ketika hubungan antara pemimpin dan pengikut transformasional rasanya tidak hanya mengenali salah satu dengan memperhitungkan pertukaran transaksional semata, tetapi juga menjadi saling responsif dalam mempraktikkan transformasional yang dapat diwujudkan untuk diimplementasikan. Menurut Clarke (1999) bahwa kepemimpinan memiliki dua arti penting yakni: pertama, menyediakan visi, arah, dan mengetahui kemana organisasi itu akan pergi
38
atau dijalankan; kedua, melakukan persuasif orang lain untuk menuju kesana atau arah yang akan dituju organisasi. Oleh karena itulah, peranan pemimpin sangat penting
sebagai
orang
yang
akan
mengembangkan,
memelihara,
dan
menyebarluaskan, dan bukannya “duduk di kantor” dengan memimpikan visi yang sudah
digagas.
Adapun
menurut
Suryana
(2003)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan yang berorientasi kewirausahaan adalah seorang wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepemimpinan antara lain: (1) memiliki sifat kepeloporan, (2) memiliki sifat keteladanan, (3) berani tampil berbeda dan percaya diri, serta (4) mampu berpikir divergen dan sekaligus juga konvergen atau dengan kata lain fleksibel. Sedangkan menurut Kasali (2010) mengemukakan bahwa dari hasil riset kepemimpinan pada awalnya pemimpin itu terfokus dengan ciri-ciri atau karakter pemimpin yang mungkin digunakan untuk membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin, termasuk didalamnya pimpinan dan memiliki enam karakter yang terkait dengan kepemimpinan efektif dalam entrepreneurship. Namun demikian setelah memperhatikan uraian dan penjelasan terkait dengan kredo kepemimpinan transformasional, maka karakter yang dapat dijadikan indikator dalam kepemimpinan transformasional seperti yang dikemukakan oleh Suryana dan Kasali yang terdiri dari sepuluh karakter sebagai berikut : (1) mempunyai dorongan atau motivasi (pemimpin adalah orang-orang yang memiliki tingkat usaha atau dorongan atau motivasi yang tinggi, serta memiliki kehendak yang kuat untuk pencapaian prestasi, memiliki ambisi positif, energy yang melimpah, tak kenal lelah dalam kegiatan, dan menunjukkan inisiatif dalam banyak hal); (2) mempunyai kehendak atau purpose untuk memimpin (pemimpin adalah orang yang karakter dan kehendak yang kuat untuk mempengaruhi dan memimpin orang lain, menunjukkan kemauan dalam mengemban tanggung jawab, meskipun pekerjaan atau tugas yang diembannya berbahaya atau berisiko);
39
(3)
mempunyai
kejujuran
dalam
melaksanakan
fungsi
kepemimpinannya;
(4) memiliki integritas ( yakni pemimpin mempunyai keinginan untuk membangun saling mepercayai dengan memberi teladan serta menunjukkan konsistensi yang tinggi antara perkataan dan perbuatan); (5) mempunyai kepercayan diri (para pengikut melihat pemimpinnya tidak ragu-ragu dalam bertindak, pemimpin perlu menunjukkan kepercayaan dirinya untuk meyakinkan para pengikutnya tentang kebenaran sasaran dan keputusannya); (6) mempunyai kecerdasan (pemimpin adalah orang yang cerdas dan berpengetahuan untuk mengumpulkan data dan informasi, menganalisis, dan menafsirkan informasi, pemimpin juga harus mampu menciptakan visi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan yang tepat); (7) memiliki kepeloporan (artinya sebagai pemimpin mempunyai kesanggupan, keberanian dan tekad yang kuat dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya), (8) memiliki keteladanan (sebagai pemimpin harus berkarakter sehingga dapat dijadikan panutan oleh yang dipimpin), (9) berani tampil beda (sebagai pemimpin berani melakukan diferensiasi tindakan dan memiliki keunikan gagasan untuk dilaksanakan), dan (10) mampu berpikir fleksibel (memiliki keuletan dalam bersikap dan tegas dalam berindak serta memiliki toleransi untuk kepentingan mulia bersama).
2.1.3 Komitmen Organisasional Komitmen berasal dari bahasa asing commitment yang diartikan sebagai perasaan terikat secara emosional dan intelektual terhadap serangkaian tindakan (American Dictionary, 1998). Menurut Porter (1984) menyatakan bahwa komitmen merupakan :
40
“the strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization.” Kekuatan dari identifikasi seorang individu dengan dan keterlibatan dalam fakta yang ada dalam organisasi.
Komitmen merupakan kekuatan dengan mengidentifikasi individu dalam keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Keberadaan komitmen ini ditandai oleh adanya : (1) penerimaan nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2) kesediaan untuk selalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan organisasi, dan (3) keinginan untuk mempertahankan
keanggotaannya
di
dalam
organisasi.
Robbins
(2006)
mengemukakan bahwa komitmen organisasi itu tergolong sebagai sikap seseorang atau karyawan, yang artinya pada tingkat sejauh mana seseorang atau karyawan itu mengkaitkan dirinya pada organisasi tertentu dan sasaran-sasarannya serta berharap mempertahankan keanggotannya dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya keterlibatan yang tinggi dalam tugas dan pekerjaannya berarti orang tersebut mengkaitkan diri pada tugas dan pekerjaan secara spesifik, sedangkan komitmen organisasi yang tinggi berarti orang yang bersangkutan mengkaitkan dirinya pada organisasi yang telah mempekerjakannya. Mowday yang dikutip oleh Luthans (2006) beranggapan bahwa komitmen sebagai sikap yang mencerminkan loyalitas seseorang atau karyawan pada organisasi dan selama proses keberlanjutannya di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap keberhasilan organisasi serta kemajuannya secara berkelanjutan. Anggapan Mowday, et al. (1982), ini sesuai dengan indikator komitmen organisasional oleh Porter (1984) yang meliputi antara lain : 1. Identifikasi terhadap organisasi yang berupa penerimaan tujuan-tujuan organisasi yang tampak nyata dalam sikap oran atau karyawan menyetujui semua kebijakan
41
organisasi. Penerimaan ini menjadi dasar komitmen organisasi, kesamaan nilainilai pribadi dan nilai-nilai organisasi serta rasa bangga menjadi bagian organisasi. 2. Keterlibatan yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab terhadap pekerjaan masing-masing orang atau karyawan dalam organisasi. 3. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi serta adanya ikatan emosional dalam keterlibatannya sebagai anggota dari organisasi. Komitmen dalam perspektif komponen keperilakuan dapat diidentifikasikan yaitu : pertama, kesediaan untuk menampilkan usaha yang tampak nyata bersedia bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat berkembang maju, sehingga
seorang
karyawan
yang
memiliki
komitmen
tinggi
selalu
ikut
memperhatikan nasib organisasi; dan kedua adalah keinginan untuk tetap dalam organisasi, dalam arti bahwa karyawan yang berkomitmen tinggi maka tidak ada alasan untuk keluar dari organisasi dan selalu ingin untuk bergabung dengan organisasi. Komitmen organisasional menurut Steers (1985) mendefinisikan sebagai perasaan teridentifikasi / adanya kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi, keterlibatan / kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi serta loyalitas / keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap organisasinya. Luthans (2006) menyatakan komitmen organisasional itu ditentukan oleh : (1) variabel individu yang mencakup usia dan kedudukannya dalam organisasi; (2) variabel organisasi yang terdiri dari rancangan pekerjaan, nilai-nilai, dukungan dan gaya kepemimpinan; dan (3) variabel non organisasional. Komitmen organisasional itu tidak sekadar seorang karyawan menjadi anggota organisasi secara formal belaka, tetapi merupakan bentuk sikap yang aktif dalam tugas dan pekerjaan pada organisasi (David dan Newstorm, 1999).
42
Menurut Umiker dalam Herscovitch dan Meyer (2002) berpandangan bahwa komitmen dapat dicirikan sebagaimana setiap individual yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab secara profesional yang harus dilakukan
memiliki dimensi
komitmen yang dianggap mencukupi dengan memberikan indikasi komitmen atau tidaknya seseorang. Dimensi komitmen yang dianggap mencukupi dengan indikasi yang memiliki komitmen atau tidaknya ditunjukkan oleh adanya dimensi afektif (perasaan), dimensi kontinyuitas atau kesinambungan atau keberlanjutan, serta dimensi nilai atau normatif. Dimensi-dimensi tersebut bisa dirinci terkait dengan beban tugas dan tanggung jawabnya, antara lain: (1) akuntabilitas (accountability), yang pada hakekatnya menunjukkan identifikasi diri atau bertanggung jawab secara professional, memiliki kemauan dan kemampuan yang dicurahkan untuk bekerja keras guna memecahkan masalah, dan mempunyai kesediaan serta kesanggupan untuk menjalankan secara normatif untuk selalu berkembang seiring dari hasil proses internalisasi diri dengan melakukan serangkaian tindakan dan menerima keuntungan yang ditimbulkan oleh adanya perasaan atas kewajiban yang dilakukan sebagai balasannya; (2) konsistensi, yang pada dasarnya bahwa komitmen sekecil apapun yang memungkinkan tidak dihargai, tidaklah menjadi persoalan daripada tidak memiliki komitmen sama sekali, sehingga kepercayaan diri cukup beralasan atas dasar kejujuran dan perilaku konsisten sepanjang waktu dan bisa memperkuat untuk meninggikan reputasi di masa mendatang dikarenakan memegang teguh tentang komitmen secara konsisten; dan (3) proaktif, merupakan komitmen seseorang yang berkehendak dengan memiliki perspektif usaha-usaha saat ini dan masa mendatang dibandingkan dengan kemauan serta kemampuan untuk memberikan respon sebagai reaksi dengan penjelasan-penjelasan tertentu.
43
Seperti yang dikemukakan Gibson (2000) dan Ivancevich (1999) bahwa komitmen
merupakan cakupan yang melingkupi identifikasi, keterlibatan dan
loyalitas yang diekspresikan oleh seseorang terhadap organisasinya. Selain itu bahwa komitmen terhadap organisasi yang melibatkan tiga sikap tersebut meliputi identifikasi dengan tujuan oganisasi, perasaan adanya keterlibatan dalam tugas-tugas yang dibebankan oleh organisasi, dan perasaan adanya loyalitas teradap organisasi. Sedangkan Robert & Hunt (1991) menjelaskan komitmen bagi karyawan terhadap organisasi dapat didekati dengan pendapat Etzioni dalam Robert & Hunt (1991) bahwa komitmen itu berakar dari keterlibatan seseorang atau karyawan dalam organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif komitmen dan keterlibatan dalam organisasi memiliki kontinyuitas mulai dari seseorang atau karyawan yang tidak berkomitmen sampai dengan seseorang atau karyawan yang memiliki komitmen total. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa kriteria yang mengindikasikan tingkatan komitmen itu sendiri, yakni: (1) keterlibatan moral (ditunjukan oleh orientasi positif beserta besarannya terhadap organisasi yang dihasilkan dari proses internalisasi tentang nilai, tujuan, dan norma organisasi); (2) keterlibatan kalkulatif (ditunjukkan oleh tingkat komitmen yang kurang kuat dan bertumpu pada hubungan transaksional antara individu dan organisasi, sehingga hitungan kalkulasinya itu adalah untung atau rugi); (3) keterlibatan alternatif (ditunjukkan oleh kurangnya komitmen terhadap organisasi ketika seseorang atau karyawan merasa bingung dengan keadaan yang dihadapinya dikarenakan tidak cocok dengan kapasitasnya, sehingga individu tersebut merasa terpaksa untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi pekerjaannya atau secara psikologis belum menyatu dengan organisasi yang ditempatinya itu). Komitmen bisa juga didekati melalui pendapat Kanter dalam Roberts & Hunt (1991) bahwa komitmen mempunyai tiga bentuk yang berbeda dan bisa saling melengkapinya,
44
yakni: (1) komitmen kontinyuitas (komitmen yang ditunjukkan oleh dedikasi seseorang atau karyawan untuk kelangsungan hidup organisasi);
(2)
komitmen kohesivitas (komitmen yang ditunjukkan oleh adanya kedekatan karena hubungan sosial dalam organisasi); dan (3) komitmen control atau pengendalian (komitmen yang ditunjukkan oleh adanya kedekatan terhadap tata nilai atau norma yang membentuk perilaku sesuai dengan keinginan organisasi). Kesemua pendekatan komitmen yang dikemukakan itu pada hakikatnya tertuju pada kemanfaatan organisasi dan organisasi akan dapat memberikan manfaat bilamana kinerja organisasional dapat dicapai seperti yang diharapkan. Berdasarkan uraian terkait dengan penjelasan berbagai pakar tentang komitmen organisasional, maka penelitian ini dengan pertimbangan yang cukup relevan dijadikan indikator komitmen organisasional adalah keterlibatan secara terus menerus dan kohesivitas serta pengendalian, bersikap positif dan tegas dalam berperilaku, memiliki akuntabilitas dan konsisten dalam melaksanakan keputusannya serta selalu proaktif terhadap tugas dan pekerjaannya bagi pemimpin organisasi.
2.1.4 Orientasi Kewirausahaan Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Hisrich dan Peters (2002) adalah proses dari penciptaan sesuatu yang baru dan bernilai melalui upaya dan waktu yang dicurahkan dengan disertai anggapan kekuatan batin, keuangan, risiko sosial dan menerima penghargaan hasil berupa nilai uang dan kepuasan personal serta memiliki sifat independen. Sedangkan Hisrich (2002) menyatakan pula bahwa intrapreneuship adalah suatu metode untuk menstimulasi segala sesuatu dan kemudian seorang individual mengkapitalisasikan atau mempergunakan kesempatan dalam organisasi untuk berpikir sesuatu yang kreatif yang dapat dikerjakan secara baik dan berbeda.
45
Pengertian kewirausahaan ini menekankan pada empat aspek dasar yang berkaitan dengan wirausaha yang menjalaninya. Aspek pertama, kewirausahaan menekankan pada keterlibatan dalam proses penciptaan yakni menciptakan segala sesuatu yang baru dan bernilai. Aspek kedua, menekankan kewirasahaan memerlukan penyertaan upaya-upaya dan penyediaan waktu yang cukup. Aspek ketiga, kewirausahaan beranggapan ada keberanian berhadapan dengan risiko yang mencukupi. Sedangkan aspek keempat, mencakup penghargaan sebagai wirausaha yang terpenting adalah sifat independensinya, barulah diikuti oleh kepuasan personalnya yang berdampak pada kinerja organisasional. Oleh karena itu, dalam orientasi kewirausahaan sebuah badan usaha adalah suatu iklim atau budaya organisasional yang diciptakan oleh intrapreneuship dengan suatu metode untuk menstimulasi tugas dan pekerjaan yang kemudian dikapitalisasikan atau dipergunakan sebagai
kesempatan untuk berpikir
sesuatu yang kreatif dan dapat dikerjakan secara baik dan berbeda dalam badan usaha tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari menurut Suryana (2003) menyatakan bahwa masih banyak orang menafsirkan dan memandang bahwa kewirausahaan identik dengan apa yang dimiliki baru untuk dilakukan oleh “usahawan” atau “wiraswasta”. Pandangan seperti ini tidaklah tepat, karena jiwa dan sikap kewirausahaan tidak hanya dimiliki oleh usahawan saja, tetapi dapat dimiliki oleh setiap orang yang berpikir kreatif dan bertindak inovatif, baik kalangan usahawan maupun masyarakat umum seperti: karyawan pemerintah, mahasiswa, guru, karyawan swasta, dan pimpinan organisasi lainnya. Sebagai seorang pemimpin organisasi yang memiliki jiwa dan sikap yang berorientasi kewirausahaan berarti memahami inti dari kewirausahaan yakni kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang serta berani menanggung
46
segala konsekuensinya. Banyak orang yang berhasil dan sukses karena memiliki kemampuan berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Karya dan karsa hanya terdapat pada orang-orang yang berpikir kreatif dan tidak sedikit pula bahwa orang dan perusahaan yang berhasil meraih sukses karena memiliki kemampuan kreatif dan inovatif. Banyak pakar yang menunjukkan bahwa kewirausahaan korporat secara tunggal sebagai proses organisasional telah memberikan kontribusi pada kehidupan dan kinerja perusahaan. Maksud dari kewirausahaan korporat secara tunggal adalah seseorang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan dalam proses menjalankan perusahaannya berorientasi pada kewirausahaan. Oleh karena itu, orientasi kewirausahaan dalam organisasi adalah suatu iklim atau suasana yang diciptakan oleh pemimpin organisasi yang
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
bertumpu pada karakter yang dimilikinya yaitu jiwa dan sikap kewirausahaan. Sebagaimana Kelana (2008) menyatakan model dan prinsip kewirausahaan Muhammad SAW dalam bukunya Paulus Winarto mengemukakan lima ciri wirausaha unggulan, yakni : (1) berani mengambil risiko, (2) menyukai tantangan, (3) punya daya tahan yang tinggi, (4) punya visi jauh ke depan, dan (5) selalu berusaha memberikan yang terbaik. Selain itu dipetakan pula lima karakter dengan singkatan MACAN yang artinya Mulai dari diri sendiri, Ambil risiko, Ciptakan impian, Aksi nyata, dan Never give up. Rhenald Kasali dalam Kelana (2008) mengemukakan prinsip sukses seorang wirausaha menunjukkan adanya : reputasi, tumbuh dari bawah, konsentrasi, anti kerumunan, dan modal hanya pelengkap. Kesemua ciri, karakter dan prinsip sukses seorang wirausaha tersebut telah melekat pada diri Muhammad SWA sebagai wirausaha mandiri yang handal, sehingga praktis sekali model dan prinsip kewirausahaan bagi siapapun juga ingin meneladani dan mempraktikkannya.
47
Sebagai ciri kewirausahaan yang mempunyai beberapa nilai hakiki adalah penting menurut Suryana (2003) yaitu (1) percaya diri yang merupakan perpaduan antara sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas dan pekerjannya; (2) selalu berorientasi pada tugas dan hasil yang dalam hal ini seorang wirausaha selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, memiliki dorongan yang kuat untuk maju, energik dan selalu berinisiatif; (3) ada keberanian mengambil risiko yakni kemauan dan kemampuan seseorang untuk mengambil risiko yang sudah diperhitungkan dengan seksama dan menjadi salah satu nilai utama dalam berwirausaha, sehingga orang tersebut berani menghadapi tantangan usaha untuk mencapai keberhasilan atau kegagalan daripada usaha yang dijalankannya kurang menantang; (4) kepemimpinan yakni seorang wirausaha memiliki sifat sebagai pemimpin , kepeloporan, dan keteladanan, sehingga selalu ingin tampil beda dan lebih menonjol atau bahkan berani tampil lebih dahulu; (5) berorientasi ke masa depan atau visioner yakni seorang wirausaha memiliki perspektif dan pandangan yang jauh ke masa depan, sehingga kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan sudah dimulai sejak sekarang; dan (6) orisinalitas yang ditunjukkan oleh kreativitas dan inovasi dalam melakukan usahanya. Untuk itu dalam penelitian ini yang menjadi indikator sebagai orientasi kewirausahaan adalah pengurus badan usaha koperasi yang memiliki jiwa dan karakter wirausaha di dalam menjalankan aktivitas usaha koperasi. Keenam nilai kakiki inilah yang dijadikan indikator pengurus badan koperasi yang berorientasi pada kewirausahaan, yakni: adanya percaya diri dalam profesi, berorientasi pada tugas dan hasil, keberanian mengambil risiko, berorientasi ke masa depan atau visioner, serta memiliki orisinalitas dalam kreativitas dan inovasi.
48
2.1.5 Kinerja Organisasional Suatu organisasi perusahaan dibentuk untuk mencapai tujuan bersama, tetapi untuk mencapai tujuan secara efektif diperlukan manajemen yang baik dan benar. Pengertian manajemen adalah suatu seni dan ilmu untuk mendapatkan segala sesuatu yang dilakukan melalui bantuan orang lain. Pendapat ini berkembang berdasar kenyataan bahwa pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain untuk melakukan pekerjaan yang diperlukan, tanpa harus melakukan pekerjaan sendiri. Manajemen merupakan praktik spesifik yang mengubah sekumpulan orang menjadi kelompok yang efektif dan berorientasi pada tujuan serta produktif. Manajemen menurut Stoner dan Freeman (1992) juga dikatakan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian dan mengawasi atau mengendalikan pekerjaan anggota organisasi serta menggunakan semua sumber daya organisasi yang tersedia untuk mencapai tujuan organisasi yang dinyatakan dengan jelas. Robbins dan Coutlar (1996) menyatakan manajemen sebagai suatu proses untuk membuat aktivitas yang terselesaikan secara efisien dan efektif dengan melalui orang lain. Efisiensi menunjukkan hubungan antara input dan output dengan mencari biaya sumber daya minimum, sedangkan efektif menunjukkan makna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan mendayagunakan semua sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian manajemen adalah proses penggunaan sumber daya organisasi dengan menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Tujuan organisasi yang dicapai secara efesien dan efektif itu dapat ditunjukkan oleh kinerja individu serta terakumulasi secara agregat menjadi kinerja organisasional. Kinerja menurut Armstrong dan Baron (1998) adalah hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen,
49
dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kinerja adalah tentang “apa” yang dikerjakan dan “bagaimana” cara mengerjakannya. Manajemen kinerja menurut Bacal (1999) merupakan proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasannya langsung. Proses komunikasi ini mencakup kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Proses komunikasi merupakan sistem, memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan, apabila manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan. Armstrong (2004) dalam mendefinisikan manajemen kinerja lebih menekankan sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati. Armstrong dan Baron (1998) sebelumnya berpandangan bahwa manajemen kinerja adalah sebagai pendekatan strategis dan terpadu untuk menyampaikan keberhasilan berkelanjutan pada organisasi dengan memperbaiki kinerja karyawan yang bekerja didalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas tim serta kontributor individual. Sementara Schwartz (1999) memandang bahwa manajemen kinerja sebagai gaya manajemen yang dasarnya adalah komunikasi terbuka antara manajer dan karyawan yang menyangkut penetapan tujuan, memberikan umpan balik, baik dari manajer kepada karyawan maupun sebaliknya dari karyawan kepada manajer, begitu pula penilaian kinerjanya. Costello (1994) menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan dasar dan kekuatan pendorong yang berada di belakang semua keputusan organisasi, usaha kerja, dan alokasi sumber daya. Dengan memperhatikan berbagai pandangan dan pendapat yang dikemukakan dapat dinyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan gaya manajemen dalam
50
mengelola sumber daya yang berorientasi pada kinerja yang melakukan proses komunikasi secara terbuka dan berkelanjutan dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan srtategis serta terpadu sebagai kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi. Gaya manajemen dalam mengelola sumber daya organisasi yang berorientasi pada kinerja akan diperankan oleh pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen kinerja yang efisien dan efektif sebagai tujuan organisasi dalam mengelola sumber daya organisasi diperlukan upaya manajemen dalam melaksanakan aktivitas organisasi. Manfaat manajemen kinerja bukan hanya bagi individu atau tim dalam melaksanakan pekerjaan, tetapi juga bagi organisasi. Bagi organisasi bahwa manfaat
manajemen kinerja antara lain: untuk menyesuaikan tujuan organisasi
dengan tujuan individual, memperbaiki kinerja, memotivasi pekerja, meningkatkan komitmen,
mendukung
pengembangan
sumber
nilai-nilai daya
inti,
manusia,
memperbaiki meningkatkan
proses dasar
pelatihan
dan
keterampilan,
mengusahakan perbaikan dan pengembangan organisasi secara berkelanjutan, mendukung inisiatif kualitas total dan pelayanan pelanggan, dan mendukung program perubahan budaya organisasional. Manfaat kinerja bagi organisasi berarti memberi manfaat pula pada pemimpin yang mengelola organisasi, sehingga bagi pemimpin organisasi bahwa manajemen kinerja akan mendukung secara menyeluruh dalam organisasi dengan mengkaitkan pekerjaan yang dilakukan para pekerja dan pemimpin yang sudah menjadi misi keseluruhan dari unit-unit aktivitas pekerjaan dalam organisasi. Oleh karena itu menurut Costello (1994) menyatakan bahwa seberapa baik pemimpin organisasi mengelola kinerja bawahan akan secara langsung mempengaruhi tidak hanya kinerja masing-masing pekerja secara individu dan unit kerjanya, tetapi juga kinerja seluruh organisasi. Manajemen kinerja yang baik dalam organisasi akan
51
dirasakan oleh pelanggan ketika mendapatkan layanan, dan kinerja yang dirasakan oleh pelanggan itu merupakan manifestasi aktivitas pemimpin dalam menjalankan organisasi melalui para pekerja yang menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian, manajemen kinerja itu memerlukan kerjasama, saling pengertian, serta komunikasi secara terbuka antara pemimpin dan pekerja sebagai pengikutnya yang kesemuanya itu akan dirasakan oleh para pelanggan dalam mendapatkan pelayanan. Sebagai prinsip dasar manajemen kinerja yang dapat dijadikan acuan agar dapat mencapai hasil yang diharapkan, maka manajemen kinerja menjadi landasan yang kuat bagi kinerja organisasi untuk mencapai tujuan. Prinsip dasar manajemen kinerja bersifat strategis, untuk merumuskan tujuan, menyusun perencanaan, mendapatkan umpan balik, melakukan pengukuran dan perbaikan kinerja, bersifat berkelanjutan, menciptakan budaya, dan melakukan pengembangan organisasi. Selain itu prinsip dasar manajemen kinerja bertumpu atas dasar kejujuran, memberikan pelayanan kepada pelanggan, menjalankan tanggung jawab, terdapatnya konsensus dalam melakukan kerjasama serta terjadi komunikasi dua arah sebagaimana fungsi umpan balik yang dijalankan. Dalam menjalankan prinsip dasar manajemen kinerja bahwa organisasi memerlukan orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang handal dan mempunyai komitmen yang kuat untuk menjalankan tugas dan pekerjaannya. Untuk itu kepemimpinan yang handal dan komitmen yang kuat bagi pemimpin atau manajer yang mengelola organisasi akan mencapai tujuan seperti yang diharapkan akan ditunjukkan oleh kinerja individual dan secara keseluruhan ditunjukkan oleh kinerja organisasional. Kinerja menurut Wibowo (2007) adalah berkaitan dengan melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah berkaitan juga tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja
52
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi (Armstrong & Baron, 1998). Begitu pula menurut Mulyasa (2005) bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, dan unjuk kerja sebagai hasil dari suatu proses dalam periode waktu tertentu. Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja individu adalah sesuatu yang mempengaruhi seberapa banyak seseorang memberi konstribsi kepada organisasi, antara lain: kuantitas dan kualitas serta jangka waktu output yang dapat diselesaikan, tingkat kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatifnya. Sedangkan kinerja menurut Mangkunegara (2002) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikanya. Menurut Mathis dan Jackson (2002) bahwa kinerja pada dasarnya mempunyai dimensi yang berbeda-beda untuk setiap jenis pekerjaan yang berlainan, karena setiap pekerjaan memiliki kriteria pekerjaan yang spesifik. Gomes (1995) mengemukakan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. Kriteria kinerja individu atau prestasi kerja yang didasarkan pada perilaku yang spesifik berupa, antara lain: a) quantity of work, yakni jumlah pekerjaan yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; b) quality of work, yakni kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-sayarat kesesuaian dan kesiapannya; c) creativeness, yakni gagasan yang asli dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul; d) cooperation, yakni berupa kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota organisasi; e) dependability, yakni kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran serta penyelesaian kerja; f) initiatif, yakni gagasan atau semangat untuk
53
melaksanakan tugas; g) personal qualities, yakni kualitas pribadi seperti kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas pribadi. Karakteristik kinerja yang baik dikemukakan oleh Hoy dan Miskel dalam Nugroho (2008) adalah seperti berikut: a) individu melaksanakan tugas sesuai dengan harapan organisasi; b) menggunakan peralatan kantor yang tersedia; c) memiliki semangat yang tinggi; d) mempunyai hubungan yang baik dengan atasan ataupun dengan teman sejawat; dan e) dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tugas rutin. Stoner dalam Suddin (2009) mendefinsikan kinerja sebagai kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh individu, kelompok atau organisasi. Pendapat Stoner tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja itu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni kinerja individu, kinerja kelompok dan kinerja organisasi. Khusus berkenaan dengan kinerja individu menurut Mulyasa (2005) bahwa kinerja individual dapat dilihat dari apa-apa yang dilakukan oleh individu dalam kerjanya. Hal ini dapat diamati melalui perilaku yang ditampilkan oleh seseorang dalam melakanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Dari berbagai pendapat para ahli tentang kinerja individu cenderung menyatakan dapat bahwa kinerja yang kerapkali disebut prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan dalam periode waktu tertentu. .Kinerja individu kemungkinannya dapat mencapai tujuan dan sasaran seperti yang diharapkan, tetapi dapat pula tidak mencapai harapan. Perbaikan terhadap kinerja harus dilakukan karena prestasi kerja yang dicapai tidak seperti yang diharapkan. Dengan melakukan perbaikan kinerja diharapkan tujuan organisasi di masa mendatang dapat dicapai dengan lebih baik. Oleh karena itu, perbaikan kinerja
54
harus dilakukan secara terus menerus agar individu dapat mencapai prestasi kerja yang diharapkan organisasi. Seringkali karena seseorang sebagai individu di masa mendatang dapat menetapkan target kuantitatif yang lebih tinggi atau dengan kualitas yang lebih tinggi. Dengan cara pendekatan seperti ini maka dapat membuka peluang bagi setiap orang untuk mengembangkan dirinya dan meningkatkan kinerjanya. Perbaikan kinerja dilakukan dengan menggali dan mengerahkan seluruh potensi diri untuk perbaikan yang pada akhirnya akan memperbaiki proses manajemen kinerja. Perbaikan proses manajemen kinerja mancakup perumusan tujuan dan sasaran, proses perencanaan kinerja, proses pelaksanaan kinerja, aktivitas coaching dan monitoring dalam sumber daya manusia organisai, proses penilaian dan review, pengukuran kinerja dan melakukan evaluasi kinerja. Tanggung jawab merupakan prinsip dasar pengembangan kinerja. Dengan memahami dan menerima tanggung jawab atas apa yang dikerjakan dan tidak dikerjakan untuk mencapai tujuannya, maka setiap individu akan belajar tentang apa yang perlu diperbaiki. Pengembangan kinerja didasarkan pada anggapan bahwa individu dapat mempengaruhi hasilnya dengan belajar memperbaiki kecerdasan emosi yang dimiliki, kecakapan dalam kompetensi perilaku, menggali dan memahami karakteristik
individunya,
serta
memperkuat
komitmen pada profesi
yang
diembannya. Pada dasarnya lingkungan tugas dan pekerjaan dapat mempengaruhi perilaku kerja individu seperti beberapa faktor berikut ini: 1. Faktor internal individu, yakni beberapa faktor berasal dari dalam diri seseorang yang dibawa sejak lahir dan terus berkembang diperoleh hingga kini. Faktor bawaan yang dimaksud adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh bakat, sifat pribadi, keadaan fisik dan kejiwaan yang dapat diakumulasikan membentuk
55
karakteristik seseorang. Sedangkan faktor yang diperoleh dari hasil pembelajaran atau pengalaman seperti pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan motivasi kerja yang dapat diakumulasikan membentuk kecerdasan (baik intelektual maupun emosional) dan kompetensi individual. Oleh karena itu, semakin tinggi faktor-faktor internal individu dipengaruhi maka semakin tinggi pula kinerja seseorang ; demikian juga sebaliknya. 2. Faktor-faktor lingkungan internal organisasi atau dalam menjalankan tugas dan pekerjaan. Setiap individu dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya memerlukan dukungan organisasi di mana tempat seseorang itu dipekerjakan. Dukungan organisasi ini sangat mempengaruhi tinggi atau rendahnya kinerja individu, sehingga bilama sistem kompensasi dan suasana kerja organisasi rendah maka kinerja individu cenderung menurun, begitu pula sebaliknya. Faktor-faktor lingkungan internal organisasi atau dalam menjalankan tugas dan pekerjan inilah yang dapat membentuk komitmen individu dan akan mempengaruhi kinerjanya. Faktor-faktor yang dimaksudkan dapat dirasakan oleh individual dalam pelaksanaan strategi organisasi, wujud dukungan terhadap sumber daya dan sistem manajemen yang berlaku dalam organisasi. 3. Faktor lingkungan eksternal organisasi. Faktor ini menunjukkan suatu keadaan, kejadian atau peristiwa atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang memberikan dampak pada organisasi. Sebagai ilustrasi yakni terjadinya krisis ekonomi dan keuangan secara terus menerus yang terjadi di suatu negara akan cenderung meningkatkan inflasi dan sekaligus menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bilamana ini tidak diikuti dengan kebijakan kompensasi yang sepadan dengan kenaikan inflasinya maka kinerja akan menurun. Ilustrasi lain yang berasal
56
dari lingkungan eksternal organisasi adalah dampak globalisasi dan demokratisasi dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi yang dapat mempengaruhi struktur dan kultur dalam sendi-sendi kehidupan dewasa ini. Ilustrasi ini membawa dampak perubahan bagi individu terkait dengan faktorfaktor internal individu itu sendiri dan internal organisasi di mana individu itu melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Adapun Pengukuran kinerja untuk ukuran individu menurut Wibowo (2007) menyatakan bahwa ukuran kinerja bagi individu berhubungan dengan akuntabilitas dan ditetapkan dalam kriteria kuantitas, kualitas, produktivitas, ketepatan waktu, dan efektivitas biaya. Dengan demikian, ukuran kinerja individu sangat bervariasi menurut pekerjaan dan tanggung jawabnya. Ukuran kinerja individu yang dinyatakan dengan kuantitas adalah dalam bentuk jumlah output atau persentase antara output aktual dengan output yang dijadikan target. Ukuran kinerja individu yang dinyatakan dengan kualitas adalah dalam bentuk pengawasan kualitas yang bervariasi di luar batas toleransi, jumlah keluhan yang masih dalam batas toleransi yang dapat dipertimbangkan. Ukuran kinerja individu yang dinyatakan dengan produktivitas adalah diukur dengan output setiap pekerja. Ukuran kinerja individu yang dinyatakan dengan ketepatan waktu adalah bentuk pencapaian batas waktu pengiriman atau penyampaian, jumlah unit atau seperangkat tugas dan pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Ukuran kinerja individu yang dinyatakan dengan efektivitas biaya adalah biaya per unit produksi, variasi tenaga kerja langsung atau tenaga kerja tidak langsung. Kriteria ukuran kinerja menurut Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007) menyatakan bahwa seharusnya ukuran kinerja itu : a) dikaitkan dengan tujuan
57
strategis dan mengukur apa yang secara organisasional penting dan mendorong kinerja organisasi; b) relevan dengan sasaran dan akuntabilitas individu yang berkepentingan; c) memfokuskan pada output yang terukur dalam penyelesaian tugas dan pekerjaan serta bagaimana orang bertindak dan bagaimana tingkah lakunya; d) mengindikasi data yang akan tersedia sebagai dasar pengukuran; e) dapat diverifikasi dengan mengusahakan informasi yang akan mengkonfirmasi tingkat seberapa jauh harapan dapat dipenuhi; f) menjadi setepat mungkin dalam hubungan dengan maksud pengukuran dan ketersediaan data; g) mengusahakan dasar untuk umpan balik dan tindakan; dan h) bersifat komprehensif serta mencakup semua aspek kinerja sehingga sarana pengukuran tersedia. Sebagai kunci untuk menciptakan ukuran kinerja yang efektif menurut Wibowo (2007) adalah sebagai berikut: a. Ukuran mempunyai penggunaan spesifik bagi individu secara aktual. Ukuran kinerja yang efektif akan selalu membantu orang memonitor, mengontrol, mengelola, mediagnosis, memperbaiki, atau merencanakan beberapa aspek tugas dan pekerjaan menjadi lebih baik; b. Ukuran kinerja ditangkap dan disampaikan kepada pengguna yang dimksudkan dalam waktu yang ditentukan sebelumnya. Ketepatan waktu merupakan atribut penting terhadap kegunaan, ukuran kinerja yang baik harus disampaikan pada waktu yang tepat sehingga benar-benar dapat dipergunakan; c. Ukuran kinerja dibagikan kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat, atau dengan mudah dapat diakses oleh orang yang tepat. Oleh karena itu, harus diidentifikasi siapa pengguna yang memerlukan informasi sehingga dapat dihindari untuk kemungkinan jatuh pada orang yang tidak tepat; d. Ukuran kinerja berarti dapat diserap dan dimengerti dengan cepat dan mudah. Ukuran kinerja yang baik, tidak memerlukan studi secara mendalam untuk
58
memahami arti pentingnya.Ukuran kinerja juga berisi beberapa tipe dasar perbandingan yang cepat membiarkan pengguna membandingkan tingkat kinerja yang diinginkan dengan tingkat kinerja sekarang; e. Penyajian ukuran kinerja harus sesuai dengan pedoman standar. Seperti penggunaan warna (atau simbol hasil kinerja) harus memberi makna yang sama untuk semuanya sehingga diperlukan pedoman yang ditentukan terlebih dahulu. Penciptaan ukuran kinerja yang efektif dalam penelitian ini merupakan kinerja organisasional suatu badan usaha koperasi yang menggunakan pendekatan pemeringkatan koperasi sebagai sarana dalam penilaian kinerja badan usaha koperasi. Pendekatan pemeringkatan koperasi ini didasarkan pada Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 22/PER/M.KUMK/IV/2007 dan selanjutnya telah diubah/disempurnakan dengan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 06/Per/M.KUMK/III/2008 tentang Pedoman Pemeringkatan Koperasi dengan beberapa aspek koperasi berkualitas sebagai berikut : (a) badan usaha aktif, (b) kinerja usaha yang semakin sehat, (c) kohesivitas dan partisipasi anggota, (d) orientasi kepada pelayanan anggota, (e) pelayanan kepada masyarakat, dan (f) kontribusi terhadap pembangunan daerah. 2.1.6 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Orientasi Kewirausahaan Dan Kinerja Organisasional Sebagai entrepreneur atau wirausaha menurut Astamoen (2005) adalah kemampuan seseorang untuk memimpin menjadi sangat penting karena sebagai salah satu peran bagi entrepreneur bahwa sebagai pemimpin itu bukanlah hanya pimpinan semata, yakni ketika hendak berusaha mencapai visi yang diinginkan serta demi tujuan dan kemajuan serta meraih sasaran organisasi atau perusahaan. Menurut Maxwell dalam Kasali (2010) bahwa tanpa kepemimpinan bahwa sukses bagi
59
entrepreneurship akan terbatasi oleh mimpi-mimpi belaka, karena itu perlu ditandaskan bahwa dedikasi suci (dalam arti jujur dan terpercaya) akan membuat orang menjadi sukses; tetapi rendahnya kepemimpinan
akan mengakibatkan
efektivitas usaha menjadi terbatas. Dalam perilaku keorganisasian memang harus diakui bahwa kepemimpinan selalu menjadi isu sentral dan menjadi perhatian penting sejak awal ketika orangorang hendak bergabung untuk suatu usaha guna mencapai sesuatu yang diinginkan. Barangkali yang sangat kritikal mendesak sekali untuk dapat meraih kesuksesan sebagai pemimpin menurut Kaplan dan Norton (2001) adalah seorang individual pemimpin yang menunjukkan bahwa organisasi yang dirasakan perlu melakukan penyesuaian
untuk
kesuksesan
dengan
mengkomunikasikan
tentang
sangat
pentingnya menghadapi tantangan-tantangannya. Pemimpin seperti ini mengerti betul bahwa tidak dapatnya diimplementasikannya semua strategi yang dirancang tanpa diketahui dan dirasakan dengan hati dan pikiran oleh orang-orang yang menjalankannya sebagai yang dipimpinnya, yakni para pengikut atau bawahannya. Dalam konteks kewirausahaan bahwa kepemimpinan dan komitmen menjadi esensial dalam pencapaian kinerja organisasional agar situasi dan kondisi yang tercipta bisa memunculkan kreativitas dan inovasi-inovasi yang diwujudkan dalam organisasi. Situasi dan kondisi seperti inilah yang senantiasa harus dikuasai oleh seorang pemimpin, sehingga memang benar-benar pemimpin itu harus memiliki visi, karena visi (masa depan) akan memiliki daya tarik dan menjadi momentum untuk menghadapi perubahan. Dengan kepemimpinan yang memiliki visi berarti pula menjadi tanda awal dari komitmen dan melalui komunikasi dan koordinasi serta penjabarannya
dalam
organisasi
akan
dapat
diciptakan
perubahan
secara
berkelanjutan. Dengan demikian sebagai seorang pemimpin yang berusaha
60
mewirausahakan organisasional diperlukan komitmen yang kuat agar suasana dan iklim organisasi tercipta keharmonisan antara pemimpin dan pengikut atau bawahannya. Salah satu ciri penting yang harus dimiliki dalam kewirausahaan adalah terwujudnya kepemimpinan yang pada hakekatnya menjadi modal yang sama pentingnya dengan kepercayaan dan kreativitas. Hal ini mengingat bahwa kreativitas yang tinggi membuat seorang wirausaha menjadi inovatif dan adaptif, sehingga kaya dengan pembaharuan dan tidak mudah dihambat oleh kejadian-kejadian dari luar usahanya. Tetapi kalau tanpa adanya kepercayaan, maka kreativitas yang hebat sekalipun tidak akan mempunyai nilai pasar, sehingga tidak dapat diterima dimanamana. Karena itu, kepemimpinan akan menggabungkan antara kreativias dan kepercayaan yang akan menjadi sebuah usaha (business) yang efektif dan senantiasa memberikan pengaruh yang luas serta secara terus menerus hidup. Sebuah usaha (business) yang dibangun tanpa kepemimpinan yang kuat hanya akan menjadi usaha kecil (small business) yang cenderung stagnant atau tidak tumbuh dan tidak pula berkembang. Tanpa kepemimpinan, tidak akan ada orang atau bawahan yang hebat dalam menyelesaikan pekerjaan pada usaha (business) yang digelutinya. Sebagai akibatnya bawahan atau karyawan yang terlibat dalam usaha (business) itu menjadi tidak betah bekerja sama atau enggan bergabung dalam organisasi perusahaan, sehingga pengetahuan atau pengalaman yang didapatkannya hilang begitu saja bersamaan dengan kepindahan karyawan atau bawahan ke perusahaan lainnya. Tanpa kepemimpinan, berarti tidak ada visi besar yang dapat dibangun menjadi organisasi perusahaan besar dan akhirnya hanya orang-orang atau karyawan-karyawan yang tidak bisa kemana-mana atau menjadi orang statis yang bertahan bekerja di organisasi perusahaan. Sebaliknya dengan adanya kepemimpinan akan membentuk organisasi
61
perusahaan menjadi besar dan banyak orang yang mau bekerja sama untuk bergabung di organisasi perusahaan. Kebanyakan teori terbaru dari kepemimpinan kepemimpinan transformasional terpengaruh oleh McGregor dalam Yukl (2001) mengenai kepemimpinan politis adalah kepemimpinan transformasional (transformational leaderships). Dalam isi karya tulisnya itu membedakan antara kemimpinan yang melakukan transformasi dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional lebih menyerukan nilai-nilai moral kepada para pengikutnya dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah etis dan memobilisasi energy serta sumber daya manusia guna melakukan reformasi institusi atau organisasi. Sedangkan kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) lebih memotivasi pengikutnya dengan menyerukan kepentingan pribadi masing-masing individual. Sebagai ilustrasi kepemimpinan
transaksional
(transactional
leaderships)
adalah
sebuah
kepemimpinan politis yang melakukan pertukaran pekerjaan, pemberian subsidi, dan kontrak pemerintah yang menguntungkan dengan pemungutan suara serta adanya kontribusi dari hasil kampanye yang dilakukan, para pemimpin perusahaan yang bertukar gaji dan status dengan upaya kerja. Kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) dapat juga melibatkan nilai-nilai, tetapi nilai-nilai yang dimaksudkan relevan dengan proses pertukaran atau memerlukan imbalan sesuai dengan kepentingan kedua belah yang saling melakukan pertukaran, seperti: nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab yang harus ada pertukaran timbal balik berupa imbalan yang sesuai dengan kepentingannya. Lain
halnya
dengan
kepemimpinan
transformasional
(transformational
leaderships) yang merupakan proses di mana para pemimpin menyerukan nilai-nilai dan emosi kepada para pengikutnya yang menjadi fitur sentral dan menurut visi yang
62
ditetapkan oleh organisasi. Teori kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) atau disebut juga sebagai inspirasional yang pada hakikatnya didasarkan pada ide dari pemimpin untuk diinspirasikan kepada pengikutnya atau bawahannya melalui kekuatan pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri. Dengan kepemimpinan transformasionl (transformational leaderships) bahwa pengikut akan merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpinnya. Sebagai akibatnya para pengikut akan termotivasi dan terinpsirasi untuk melakukan aktivitas pekerjaan yang melebihi harapan awal bagi pengikutnya. Kepemimpinan
transformasional
(transformational leaderships)
menurut Bass
dalam Yukl (2001) bahwa pemimpin akan mengubah dan memotivasi pengikut dengan kecenderungan melakukan cara-cara seperti yakni: (1) membuat para pengikut lebih menyadari pentingnya hasil tugas dari pekerjaan yang dilakukan, (2) mendidik pengikut untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi daripada kepentingan individual, (3) mengaktifkan kebutuhan pengikut yang lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leaderships) yang lebih menekankan pada proses pertukaran timbal balik dengan mementingkan kepentingan individual. Oleh karena itu, teori kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) memiliki perilaku antara lain: memiliki pengaruh yang ideal, memperhatikan pertimbangan individual, memberikan motivasi yang inspirasional, dan membuat stimulasi atau rangsangan intelektual. Dengan demikian kepemimpinan transformasional (transformational leaderships) bagi para pengikut atau bawahannya akan dapat menimbulkan perasaan kepercayaan diri yang kuat dan mendorong para pengikut menjadi lebih kreatif. Kepercayaan diri
63
seseorang dan kreativitas menjadi dalam konteks usaha (business) menjadi ciri dari kewirausahaan (entrepreneurship). Salah satu pilihan gaya kepemimpinan yang selalu berusaha mencapai visi yang diinginkan serta demi tujuan dan kemajuan untuk meraih sasaran oragnisasi atau perusahaan adalah kepemimpinan transformasional. Seperti ungkapan yang dinyatakan oleh Danim dan Suparno (2009) bahwa kepemimpinan transformasional dalam kiprahnya menekankan pernyataan visi dan misi yang jelas, berkomunikasi secara efektif, memberi stimulus intelektual, dan selalu respek terhadap masalah yang dihadapi oleh bawahannya. Selain itu kepemimpinan transformasional selalu mentransformasikan fenomena dan informasi terkini kepada bawahannya melalui sentuhan persuasif, psikologis dan edukatif. Perilaku pemimpin yang memerankan gaya kepemimpinan transformasional pada hakikatnya tidaklah berada dalam ruang hampa belaka, melainkan peran yang dimainkan ditentukan oleh multifactor. Salah satu faktornya adalah faktor dorongan dari dalam diri sendiri sebagai pemimpin selalu berorientasi dengan kewirausahaan dan berkinerja tinggi. Bentuk faktor dorongan semacam ini memunculkan wujud nyatanya dengan melahirkan kreativitas dan dilanjutkan dengan tindakan-tindakan inovatif. Kepemimpinan transformasional yang diperankan oleh seorang pemimpin adalah relevan ketika organisasi berhadapan dengan berbagai tantangan disertai kompleksitas percepatan dan proses perubahan yang tidak kontinyu, sehingga organisasi memerlukan penyesuaian untuk berubah dengan melakukan inovasi melalui cara perubahan (transform) secara terus menerus. Transformasi menjadi referensi beraneka ragam dengan sejumlah macam harapan, proyeksi, dan merespons
64
perubahan lingkungan bisnis yang pada gilirannya memperbaiki tekan-tekan yang dialami oleh organisasi. Transformasi acapkali tidaklah linier dan bahkan sifatnya resiprokal, tetapi jelas memiliki logika beragam dan penjelasannya dapat diruntut. Seperti yang dikemukakan oleh Bryman dalam Yukl (2001) bahwa konsep kepemimpinan transformasional itu disebut dengan “new leadership”, yakni kepemimpinan yang memadukan antara berbagai pendekatan gagasan dan teori yang berbeda-beda. Perpaduan inilah yang memunculkan pikiran-pikiran kreatif dan tindakan-tindakan inovatif. Sebagai pemimpin transformasional yang berpengaruh akan memunculkan kesadaran dan kepercayaan diantara orang-orang yang dipimpinnya (bisa bawahan dan bisa juga pengikutnya) akan misi dan maksud organisasi, sehingga orang-orang tersebut tertarik untuk bergerak dengan sesegera mungkin menjadi menyukainya. Hakikat kepemimpinan transformasional adalah seorang pemimpin yang turut terlibat di dalam perubahan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebutuhan-kebutuhan apa saja dari para pengikutnya untuk di bawa ke arah hasil atau kinerja yang diinginkan individu (pada tingkatan mikro) dan kinerja organisasi yang menjadi agregatnya (pada tingkatan makro). Komponen-komponen kepemimpinan transformasional yang diorientasikan adalah pengaruh idealism, motivasi, inspirasi, stimulasi intelektual, kritik yang mengarah konstruktif, suasana pembaharuan dan implementasi proses perubahan. Dalam suatu kelompok manusia yang berhimpun dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dan sasaran bersama, hakekatnya terdapat tiga unsur yang sulit dipisahkan keberadaannya. Ketiga unsur yang dimaksud adalah orang atau sekelompok orang, manajemen dan organisasi. Sebagai unsur orang atau sekelompok
65
orang yang berusaha untuk menjalankan manajemen dan hendak mencapai tujuan dan sasaran organisasional diperlukan adanya kepemimpinan dan komitmen yang kuat. Manajemen yang pada dasarnya adalah mengerjakan sesuatu melalui orang lain atau doing things through other people, dan manajemen dapat pula dikatakan mengerjakan dengan baik tentang segala sesuatu atau do things right dalam arti singkat adalah efisien serta mengerjakan segala sesuatu dengan baik atau do the right things dalam arti singkat efektif. Secara spesifik manajemen dalam hal ini adalah upaya organisasi yang
berorientasi
dalam
kewirausahaan
badan
usaha,
sehingga
orientasi
kewirausahaan badan usaha yang berbasis manajemen adalah berupaya menjalankan segala sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya menjalankan segala sesuatu dengan cara efektif dan efisien ini diwujudkan dalam pencapaian tujuan dan sasaran organisasional yang secara singkat dapat disebut sebagai kinerja organisasional. Jadi, manajemen yang dijalankan dengan diwujudkan orientasi kewirausahaan
akan
dilakukan secara efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan dan sasaran yang ditunjukkan oleh kinerja organisasional. Manajemen yang dijalankan dengan mewujudkan orientasi kewirausahaan akan memerlukan kepemimpinan yang efektif. Beberapa pakar yang menunjukkan bahwa kewirausahaan korporat secara tunggal sebagai proses organisasional telah memberikan kontribusi kehidupan dan kinerja perusahaan. Maksud dari kewirausahaan korporat secara tunggal adalah seseorang yang memiliki jiwa dan sikap dalam proses menjalankan perusahaannya dengan berorientasi pada kewirausahaan. Sedangkan makna orientasi kewirausahaan adalah iklim atau suasana dalam organisasi yang diciptakan oleh pemimpin ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya bertumpu dengan karakter yang dimilikinya yaitu berjiwa dan bersikap kewirausahaan.
66
Sementara pengertian kinerja organisasional
(organizational performance)
kerapkali diartikan sebagai hasil kerja yang mempunyai makna lebih luas yang bukan hanya menyatakan hasil kerja atau prestasi kerja semata. Namun, terkait dengan bagaimana proses kerja yang dihasilkan bisa dicapai dari sekumpulan aktivitas pekerjaan yang tersedia. Menurut Armstrong dan Baron (1998) menyatakan bahwa kinerja organisasional merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasional, kepuasan konumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Dalam pemahaman manajemen dan kinerja organisasional dapat dikatkan bahwa pada hakekatnya manajemen kinerja organisasional adalah bagaimana kinerja dikelola. Sebagai pijakan dasar untuk melasanakan manajemen kinerja organisasional terkait dengan perumusan tujuan, terdapatnya konsensus dan kerja sama, mempunyai sifat berkelanjutan, terdapatnya komunikasi dua arah secara intensif, dan terdapatnya pemenuhan umpan balik sebagai aktivitas pengendalian bagi manajemen. Pengelolaan kinerja organisasional mendukung keberhasilan tujuan organisasi secara menyeluruh dengan mengkaitkan antara satu aktivitas pekerjaan dengan pekerjaan lainnya dan peranan manajer yang dimainkan pada keseluruhan unit aktivitas pekerjaan. Menurut Wibowo (2011) menyatakan bahwa para pekerja dan manajer akan memainkan peran kunci atas keberhasilan kinerja organisasional, sehingga seberapa baik seorang pemimpin mampu mengelola kinerja bawahan akan secara langsung mempengaruhi kinerja individu, kinerja unit kerja, dan kinerja organisasional. Menurut Costello (1994) menyatakan bilamana para pekerja sudah jelas memahami tentang apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan mendapat dukungan pimpinan agar memberikan kontribusi pada organisasi secara efektif dan efisien, serta memahami tujuan dan termotivasi untuk mengerjakannya; maka harga diri para pekerja akan meningkat. Oleh karena itu, pengelolaan kinerja organisasional
67
adalah mutlak bagi pimpinan organisasi untuk pencapaian tujuan dengan melakukan pengaturan kerja sama secara harmonis dan terintegrasi antara pemimpin dan bawahan. Dengan demikian, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan bisa dikatakan bahwa secara implisit ada hubungan antara kepemimpinan transformasional (transformational
leaderships)
dan
kinerja
organisasional
(organizational
performance). Dengan uraian-uraian yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan pemahaman bahwa kepemimpinan transformasional melahirkan seorang pemimpin yang memiliki orientasi kewirausahaan, dan kepemimpinan transformasional yang diperankan oleh seorang pemimpin selalu berusaha dari faktor dalam dirinya mendorong semua orang yang dipimpinnya (bawahan atau pengikutnya) mengarahkan kepada kinerja individu (pada tingkatan mikro) dan berimplikasi pada kinerja organisasional (sebagai agregat pada tingkatan makro). Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional akan berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional.
2.1.7
Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Orientasi Kewirausahaan Dan Kinerja Organisasional Komitmen yang dinyatakan oleh Porter (1984) adalah “the strength of an
individual’s identification with and involvement in a particular organization.” Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen merupakan kekuatan identifikasi seorang individu dengan dan sekaligus terlibat langsung ke dalam fakta dan fenomena yang ada di organisasi. Padahal fakta dan fenomena yang dihadapi oleh organisasai dewasa ini banyak tantangan dengan kompleksitas percepatan serta proses perubahan yang tidak kontinyu. Oleh karena itu kekuatan identifikasi diri dan sekaligus terlibat langsung ke
68
dalam dinamika perubahan di dalam organisasi, menjadi komitmen pula selalu kreatif dan inovatif dalam menghadapi dinamika perubahan tersebut. Kreativitas dan inovasi yang menjadi komitmen seorang individu yang dalam hal ini adalah pemimpin, maka sikap dan perilaku yang diperankan selalu berorientasi pada kewirausahaan. Keterlibatan secara langsung dan menjadikan identitas dirinya di dalam organisasi sebagai bentuk komitmen ditandai dengan kesediaan dan kesanggupan menerima nilai-nilai serta tujuan organisasi, selalu bersungguh-sungguh mencapai tujuan organisasi, selalu ingin mempertahankan dirinya di dalam organisasi. Seperti pernyataan Robbins (2006) secara ringkas dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi menunjukkan sikap dan perilaku orang dalam organisasi , termasuk pemimpinnya mengkaitkan dirinya pada organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran serta mempertahankan dirinya terikat dalam organisasi. Seperti yang dikemukakan Gibson, Ivancevich dan Donnelly (2000) bahwa komitmen merupakan cakupan yang melingkupi identifikasi, keterlibatan dan loyalitas yang diekspresikan oleh seseorang terhadap organisasinya. Selain itu bahwa komitmen terhadap organisasi yang melibatkan tiga sikap tersebut meliputi identifikasi dengan tujuan oganisasi, perasaan adanya keterlibatan dalam tugas-tugas yang dibebankan oleh organisasi, dan perasaan adanya loyalitas teradap organisasi. Sedangkan Robert & Hunt (1991) menjelaskan komitmen bagi karyawan terhadap organisasi dapat didekati dengan pendapat Etzioni dalam Robert & Hunt (1991) bahwa komitmen itu berakar dari keterlibatan seseorang atau karyawan dalam organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif komitmen dan keterlibatan dalam organisasi memiliki kontinyuitas mulai dari seseorang atau karyawan yang tidak berkomitmen sampai dengan seseorang atau karyawan yang memiliki komitmen total. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa kriteria yang mengindikasikan tingkatan
69
komitmen itu sendiri, yakni: (1) keterlibatan moral (ditunjukan oleh orientasi positif beserta besarannya terhadap organisasi yang dihasilkan dari proses internalisasi tentang nilai, tujuan, dan norma organisasi); (2) keterlibatan kalkulatif (ditunjukkan oleh tingkat komitmen yang kurang kuat dan bertumpu pada hubungan transaksional antara individu dan organisasi, sehingga hitungan kalkulasinya itu adalah untung atau rugi); (3) keterlibatan alternatif (ditunjukkan oleh kurangnya komitmen terhadap organisasi ketika seseorang atau karyawan merasa bingung dengan keadaan yang dihadapinya dikarenakan tidak cocok dengan kapasitasnya, sehingga individu tersebut merasa terpaksa untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi pekerjaannya atau secara psikologis belum menyatu dengan organisasi yang ditempatinya itu). Komitmen bisa juga didekati melalui pendapat Kanter yang dimuat dalam Roberts & Hunt (1991) bahwa komitmen mempunyai tiga bentuk yang berbeda dan bisa saling melengkapinya, yakni: dedikasi
seseorang
(1) komitmen kontinyuitas (komitmen yang ditunjukkan oleh atau
karyawan
untuk
kelangsungan
hidup
organisasi);
(2) komitmen kohesivitas (komitmen yang ditunjukkan oleh adanya kedekatan karena hubungan sosial dalam organisasi); dan (3) komitmen control atau pengendalian (komitmen yang ditunjukkan oleh adanya kedekatan terhadap tata nilai atau norma yang membentuk perilaku sesuai dengan keinginan organisasi). Kesemua pendekatan komitmen yang dikemukakan itu pada hakikatnya tertuju pada kemanfaatan organisasi dan organisasi akan dapat memberikan manfaat bilamana kinerja organisasional dapat dicapai seperti yang diharapkan. Menurut Umiker dalam Herscovitch dan Meyer (2002) berpandangan bahwa komitmen dapat dicirikan sebagaimana setiap individual yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab secara profesional yang harus dilakukan
memiliki dimensi
komitmen yang dianggap mencukupi dengan memberikan indikasi komitmen atau
70
tidaknya seseorang. Dimensi komitmen yang dianggap mencukupi dengan indikasi yang memiliki komitmen atau tidaknya ditunjukkan oleh adanya dimensi afektif (perasaan), dimensi kontinyuitas atau kesinambungan atau keberlanjutan, serta dimensi nilai atau normatif. Dimensi-dimensi tersebut bisa dirinci terkait dengan beban tugas dan tanggung jawabnya, antara lain: (1) akuntabilitas (accountability), yang pada hakekatnya menunjukkan identifikasi diri atau bertanggung jawab secara professional, memiliki kemauan dan kemampuan yang dicurahkan untuk bekerja keras guna memecahkan masalah, dan mempunyai kesediaan serta kesanggupan untuk menjalankan secara normatif untuk selalu berkembang seiring dari hasil proses internalisasi diri dengan melakukan serangkaian tindakan dan menerima keuntungan yang ditimbulkan oleh adanya perasaan atas kewajiban yang dilakukan sebagai balasannya; (2) konsistensi, yang pada dasarnya bahwa komitmen sekecil apapun yang memungkinkan tidak dihargai, tidaklah menjadi persoalan daripada tidak memiliki komitmen sama sekali, sehingga kepercayaan diri cukup beralasan atas dasar kejujuran dan perilaku konsisten sepanjang waktu dan bisa memperkuat untuk meninggikan reputasi di masa mendatang dikarenakan memegang teguh tentang komitmen secara konsisten; dan (3) proaktif, merupakan komitmen seseorang yang berkehendak dengan memiliki perspektif usaha-usaha saat ini dan masa mendatang dibandingkan dengan kemauan serta kemampuan untuk memberikan respon sebagai reaksi dengan penjelasan-penjelasan tertentu. Proaktif yang dimaksudkan adalah merupakan sikap yang mendasarkan pada keterikatan emosional, identifikasi diri dan keterlibatan seseorang atau karyawan terhadap organisasi. Sikap proaktif seseorang akan menjadi sangat kuat bilamana ditandai dengan banyaknya pengalaman dalam organisasi yang secara konsisten sesuai dengan harapan-harapan dan memberikan kepuasan atas kebutuhan dasarnya
71
atau bahkan bisa terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, komitmen seseorang akan dipengaruhi oleh pengembangan diri bilamana kerapkali terlibat dalam organisasi yang sudah menjadi bukti bahwa pengalaman yang memuaskan dengan memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan memberikan hasil keterampilan yang berharga. Ketiga dimensi afektif, kontinyuitas dan normatif yang diterjemahkan menjadi uraian dimensi akuntabilitas, konsistensi dan proaktif yang terinci untuk memberikan indikasi komitmen seseorang akan cenderung menjadi prasyarat sebagai faktor pendorong dalam jiwa kewirausahan. Untuk mendorong terciptanya iklim atau budaya organisasional yang diperankan oleh intrapreneurship yakni seseorang yang berorientasi kewirausahaan pada badan usaha menurut hasil studi yang dilakukan oleh Alma (2010) adalah (1) menerapkan teknologi yang dapat membangkitkan keberanian untuk menunjang gagasan-gagasan baru, (2) terbuka peluang untuk melakukan eksperimen, (3) tidak memberikan ukuran baku terhadap sesuatu keberhasilan asalkan tidak merugikan bagi organisasi, (4) tersedianya dana yang cukup untuk melakukan kebebasan mengembangkan gagasan-gagasan, (5) gagasan yang dikembangkan bertumpu pada multidisiplin dan terjadi iklim saling kerjasama antar organisasi, (6) membangkitkan semangat intrapreneuship yang bukan semata-mata didasarkan pada perseorangan belaka, tetapi atas dasar kesukarelaan serta adanya rewards, dan (7) adanya semangat intrapreneurship agar mendapat dukungan penuh, baik dukungan secara fisik maupun dukungan dalam bentuk keuangan. Sebagaimana proses kreatif dan inovatif dalam kewirausahaan pada hakekatnya dimulai dengan memuculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Dalam organisasi perusahaan besar, biasanya proses kreatif dan inovatif dilakukan melalui kegiatan yang intensif dalam
72
bidang penelitian dan pengembangan. Menurut Zimmerer (1996) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis dalam menerapkan kreativitas dan inovasi untuk memenuhi kebutuhan dan peluang pasar. Selain itu kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari. Sedangkan Drucker dalam Suryana (2003) menyatakan kewirausahaan dengan merujuk pada sifat, watak, dan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia usaha yang nyata dan dapat mengembangkannya secara tangguh. Schumpeter dalam Suryana (2003) menyatakan entrepreneur merupakan pengusaha yang melaksanakan kombinasi-kombinasi baru dalam bidang teknik dan komersial ke dalam bentuk praktik. Inti dari fungsi pengusaha adalah pengenalan dan pelaksanaan kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang perekonomian. Menurut Meredith dalam Suryana (2003) menyatakan entrepreneur berarti orang yang memadukan watak pribadi, keuangan, dan sumber daya. Oleh karena itu, berwirausaha merupakan suatu pekerjaan atau karier yang harus bersifat fleksibel dan imajinatif, mampu merencanakan, mengambil risiko, mengambil keputusankeputusan dan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan. Schumpeter dalam Suryana (2003) mendiskripsikan kewirausahaan sebagai suatu proses dari perubahan secara kreatif, di mana wirausaha secara terus menerus memamerkan dan mengubah-ubah produk-produk yang sudah ada atau metode-metode berproduksi dengan sesuatu yang baru. Proses yang terjadi akan menunjukkan dengan memberikan keuntungan, karena inovasi-inovasi yang disajikan memberikan perbaikan dalam produk yang dihasilkan atau utilitas proses yang dijalankan serta sebagai hasilnya menciptakan daya tarik pembeli yang lebih besar dan mendorong kegiatan perekonomian secara keseluruhan.
73
Untuk dapat mewujudkannya bahwa kewirausahan memerlukan komitmen yang kuat untuk
dapat
menumbuh
kembangkan
perusahaan
yang
dijalankan
secara
berkelanjutan. Komitmen yang kuat bisa dimulai dari komitmen individual untuk bekerja keras dan berlanjut pada komitmen tim atau dalam kelompok kerja yang menjadi tanggung jawabnya, dan akhirnya dapat meningkat lagi menjadi komitmen organisasional sebagai upaya untuk membesarkan perusahaan. Uraian penjelasan yang dikemukakan ada runtutan benang merah bahwa komitmen organisasional yang bermula dari komitmen individual menjadi salah satu dari ciri khas dari seorang wirausaha, yakni senantiasa berusaha untuk bekerja keras dalam menjalankan usahanya. Komitmen individual yang secara terus menerus dapat dilakukan dan berubah menjadi cikal bakal komitmen organisasional, berarti akan menumbuh kembangkan perusahaan. Dengan bertumbuh dan berkembangnya perusahaan yang menjadi tujuan dari komitmen organisasional adalah menjadi salah satu ciri khas dari jiwa kewirausahaan. Oleh karena itu, dari hasil uraian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan antara komitmen organisasional dan orientasi kewirausahaan. Kinerja organisasional harus dikelola dengan menciptakan suatu hubungan dan memastikan komunikasi secara efektif terhadap semua aktivitas pekerjaan yang tercakup dalam organisasi. Menurut Bacal (1999) memandang bahwa pengelolaan kinerja organisasional merupakan suatu proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam hubungannya dengan kemitraan antara bawahan dan atasan atau pemimpinnya. Sebagai proses komunikasi yang dimaksud meliputi kegiatan untuk membangun harapan yang jelas serta memberikan pemahaman mengenai aktivitas pekerjaan yang dilakukan. Proses komunikasi ini merpakan suatu sistem, memiliki sejumlah bagian-bagian yang semuanya harus diikutsertakan, dan memberikan nilai
74
tambah bagi kinerja organisasional, manajer serta pekerja atau karyawan itu sendiri. Sedangkan menurut Schwartz (1999) memandang bahwa pengelolaan kinerja organisasional merupakan gaya manajemen yang pada hakikatnya adalah bentuk komunikasi terbuka antara manajer atau pimpinan dan karyawan atau bawahan yang berhubungan dengan tujuan organisasi, memberikan umpan balik bagi manajer atau pimpinan kepada karyawan atau bawahan atau sebaliknya. Tujuan organisasi terkait dengan kinerja organisasional dapat berupa perbaikan layanan pelanggan, pemenuhan permintaan pasar, peningkatan kualitas produk atau jasa, meningkatnya daya saing, dan meningkatkan kinerja organisasional. Pencapaian tujuan organisasi akan menunjukkan hasil kerja atau prestasi kerja pada setiap karyawan dan secara keseluruhan menunjukkan pula kinerja organisasional. Untuk menjamin agar aktivitas kerja dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya pengelolaan dalam pelaksanaan aktivitasnya. Menurut Costello (1994) menyatakan bahwa pengelolaan kinerja organisasional merupakan dasar pedoman dan menjadi kekuatan pendorong yang berada di belakang semua pengambilan keputusan organisasi, usaha kerja, dan pengalokasian sumber daya. Dengan memperhatikan penjelasan yang dikemukakan bahwa kesemuanya itu memerlukan komitmen organisasional terutama bagi manajer atau pimpinan. Komitmen organisasional yang dimaksud adalah senantiasa berupaya menggerakkan semua aktivitas pekerjaan dengan mengalokasikan sumber daya organisasi yang berorientasi pada kinerja organisasional melalui proses komunikasi yang dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan. Komitmen organisasional yang berorientasi pada kinerja melalui proses komunikasi yang dimaksudkan adalah dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan strategis serta secara terintegrasi menjadi kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, dengan memahami secara seksama mengenai uraian yang telah dikemukakan bahwa
75
secara implisit menunjukkan terdapatnya hubungan antara komitmen dan kinerja organisasional. Seperti anggapan yang ditegaskan oleh Luthans (2006) bahwa komitmen sebagai sikap yang mencerminkan loyalitas seseorang yang dalam hal ini adalah seorang
pemimpin,
dan
selama
proses
keberlanjutannya
mengekspresikan
perhatiannya pada keberhasilan organisasi serta mencapai kemajuan secara berkelanjutan. Sedangkan komitmen dalam perspektif keperilakuan diidentifikasikan sebagai kesediaan menampilkan usaha yang tampak nyata untuk bekerja melebihi harapannya agar organisasi berkembang maju, serta keinginan untuk tetap berada di dalam organisasi dan tidak ada sedikitpun dibenaknya untuk keluar dari organisasi. Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Steers (1985) bahwa komitmen organisasi merupakan identifikasi perasaan adanya kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi, keterlibatan berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi, dan loyal untuk tetap menjadi anggota organisasi sampai kapanpun. Begitu pula penegasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar seperti Luthans (2006), Umiker, Herscovitch, dan Meyer dalam Davis, Newstorm dan Werther (1990) secara ringkas bahwa komitmen organisasi bagi seorang pemimpin terkait dengan beban tugas dan tanggung jawab harus memiliki akuntabilitas, konsisten, dan selalu proaktif dalam perspektif usahausaha saat ini dan masa mendatang. Tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada
pemimpin oleh organisasi, salah satunya pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi yang ditunjukkan dengan kinerja organisasi. Sebagaimana yang dikemukkaan oleh Kelana (2008) bahwa model prinsip kewirausahaan Muhammad SAW dalam bukunya Paulus Winarto mengemukakan lima ciri wirausaha unggulan, yaitu: berani mengambil risiko, menyukai tantangan, punya daya tahan yang tinggi, punya visi jauh ke depan, dan selalu berusaha
76
memberikan yang terbaik. Bahkan untuk menjadi seorang wirausaha yang unggul itu menurut Kelana (2008) bahwa Muhammad SAW sebagai entrepreneurial sejati menjalani empat tahap karakter penting yang dilalui secara berurutan yaitu: integritas, loyalitas, profesionalitas, dan spiritualitas. Keempat karakter ini dapat dijadikan komitmen utama bagi siapapun dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab agar menjadi seorang wirausaha yang unggul, sehingga bisnis apapun yang dijalankannya akan memberikan kinerja organisasi yang unggul pula. Dengan uraian yang telah dikemukakan bahwa fakta dan fenomena yang dihadapi organisasi adalah penuh tantangan dengan kompleksitas percepatan dan proses perubahan dalam organisasi, maka komitmen organisasi bagi kepemimpinan yang efektif ditunjukkan oleh sikap dan perilaku dalam menjalankan organisasi secara kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi yang diperankan oleh kepemimpinan yang efektif akan membutuhkan orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan yang dilakukan oleh seorang pemimpin diperlukan empat karakter (integritas, loyalitas, profesionalitas, dan spiritualitas) yang dilaluinya untuk dijadikan komitmen utamnya agar dapat mencapai kinerja organisasi yang unggul. Selain itu bahwa komitmen organisasi yang diperankan oleh kepemimpinan yang efektif adalah pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang ditunjukkan dengan salah satunya adalah kinerja organisasi. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi sebagai pemimpin berhubungan erat dengan orientasi kewirausahaan, dan komitmen organisasi yang dipegang erat itu juga ditujukan pada kinerja organisasi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bagi pemimpin yang efektif bahwa komitmen organisasi berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional.
77
2.1.8
Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja Organisasional Seperti yang dikemukakan oleh Hisrich dan Peters (2002) secara ringkas
bahwa entrepreneurship merupakan proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda yang memiliki kepuasan individual serta bersifat independen. Sedangkan Hisrich sendiri (2002) menyatakan intrapreneurship merupakan metode menstimulasi agar seseorang individual mengkapitalisasikan untuk berpikir kreatif secara baik dan berbeda di dalam organisasi. Perbedaan kontras keduanya adalah terletak pada kedudukannya bahwa entrepreneurship lebih bersifat independen, sedangkan intrapreneurship masih terikat di dalam organisasi, sehingga intrapreneurship dengan pola pikiran kreatifnya tidak sebebas entrepreneurship. Singkat kata bahwa intrapreneurship itu dapat dikatakan sebagai seorang kreatif yang professional tetapi masih ikut di dalam organisasi perusahaan, sedangkan entrepreneurship adalah seorang pengusaha kreatif yang profesional yang memiliki usaha sendiri sehingga penuh dengan kemandirian. Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Zimmerer dalam Suryana (2003) seperti yang telah dikemukakan dalam sub-sub bab terdahulu merupakan hasil suatu disiplin yang berproses sistematis untuk menerapkan kreativitas dan inovasi guna memenuhi kebutuhan pasar, sehingga dapat dikerjakan setiap hari untuk menangkap dan memanfaatkan peluang pasar. Sedangkan Drucker yang telah dalam bab terdahulu juga menyatakan kewirausahaan (entrepreneurship) lebih menekankan pada sifat, jiwa dan karakter seorang wirausaha untuk mewujudkan gagasan inovatifnya ke dalam dunia usaha secara nyata dan secara tangguh mengembangkannya. Secara makro yang dikemukakan oleh Schumpeter bahwa kewirausahaan kekinian dapat menumbuhkan agen-agen ekonomi melalui inovasiinovasi yang diciptakan oleh para wirausaha guna mendorong pertumbuhan perekonomian.
78
Pandangan-pandangan yang telah dikemukakan bahwa kewirausahaan telah didefinisikan secara baik dan sesuai untuk keperluan penelitian badan usaha adalah seperti yang dinyatakan oleh Hisrich dan Peters (1995) ialah: “entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social risks, and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence.” Kewirausahaan adalah proses dari
penciptaan
sesuatu
yang
berbeda
dengan
mencurahkan waktu dan usaha yang cukup bernilai, disertai anggapan keuangan, perasaan batin, dan risiko sosial, serta mendapatkan penghargaan hasil berupa moneter dan kepuasan personal serta bersifat independen.
Hal ini menunjukkan bahwa kewirausahaan merupakan
proses penciptaan
sesuatu yang memberikan nilai berbeda dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan risiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan secara personal. Sebagai hasil proses penciptaan yang memberikan nilai berbeda dalam organisasi (perusahaan) dapat dinyatakan dengan hasil kinerja organisasional. Pengelolaan kinerja organisasional harus dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat memberikan manfaat. Manfaat dari hasil pengelolaan kinerja organisasional bukan hanya dapat dirasakan oleh organisasi saja, tetapi juga dirasakan oleh individual termasuk manajer atau wirausahanya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Suryana (2003) bahwa inti kewirausahaan adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang serta berani menanggung segala konsekuensinya. Banyak orang yang berhasil dan sukes karena memiliki kemampuan berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Karya dan karsa hanya
79
terdapat pada orang-orang yang berpikir kreatif dan tidak jarang pula bahwa orang dan perusahaan yang berhasil meraih sukses karena memiliki kedua hal tersebut. Dalam bisnis menurut Kelana (2008) bahwa kredibilitas (attitude) dan kapabilitas (skill & knowledge) sangatlah penting untuk memunculkan hasil yang positif bagi perkembangan bisnis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Penetapan visi dan misi dalam upaya membangun kredibilitas, sedangkan kapabilitas yang handal menjadi “titik mulainya” usaha yang penting dan kemudian dijabarkan dalam strategi-strategi yang jitu melalui gagasan-gagasan terobosan atau break through ideas. Seperti yang dicontohkan Roy Sembel dalam Kelana (2008) yang dijadikan tokoh panutan yaitu Nabi Sulaiman AS yang memiliki kekayaan luar biasa sepanjang sejarah dengan mengemukakan singkatan WISDOM, yakni: Watak, Ingin, Strategi, Didik, Otak/Otot, dan Manajemen. Dengan WISDOM (sebagai singkatan) inilah menunjukkan jalan menghasilkan kecermelangan bisnis yang tahan lama, sehingga bisa menghimpun kebaikan berupa: kekayaan, kejayaan, dan kelanggengan. Menurut Kelana (2008) bahwa Muhammad SAW telah mempraktikkan WISDOM dengan cara cerdas sehingga menjadi warisan bagi kaum Muslim untuk mencapai kekayaan, kejayaan, dan kelanggengan yang berbasis spiritual. Sementara itu bahwa prinsip dasar dalam pengelolaan kinerja oganisasional seperti yang dikemukaan oleh Wibowo (2011) adalah mempunyai sifat yang strategis, dengan merumuskan tujuan organisasi, menyusun perencanaan, mendapatkan umpan balik, melakukan pengukuran, melakukan perbaikan kinerja, bersifat berkelanjutan, menciptakn budaya, melakukan pengembangan, berdasarkan kejujuran, memberikan pelayanan, menjalankan tanggung jawab, dirasakan seperti bermain, adanya rasa kasihan, terdapat konsensus dan kerja sama serta terjadinya komunikasi dua arah. Sedangkan kinerja yang dinyatakan oleh Armstrong dan Baron (1998) adalah hasil
80
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan kinerja atau hasil kerja organisasi. Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan organisasi. Aktivitas organisasi dapat berupa pengelolaan sumber daya organisasi atau proses pelaksanan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menjamin agar aktivitas dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya. Dengan demikian, hakekat dari pengelolaan kinerja adalah bagaimana mengelola seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kinerja menurut Simamora dalam Agusty (2006) merupakan kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan seseorang atau karyawan. Kinerja seseorang mencerminkan seberapa baik capaian seseorang telah memenuhi persyaratan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Sementara dalam pendekatan sistem manajemen bahwa kinerja menurut Spencer (1993) ditunjukkan oleh adanya siklus dari pekerjaan manajer atau pimpinan terhadap bawahannya yang meliputi: (1) plan performance, yakni pertanggung jawaban pekerjaan dan harapan-harapan serta sekumpulan tujuan-tujuan yang telah dicapai untuk periode tertentu; (2) coach manage, yakni umpan balik yang ditawarkan, dukungan, dan pengembangan pemberdayaan secara keseluruhan selama periode tertentu; dan (3) appraise performance, yakni penilaian kinerja secara formal pada akhir periode pencapaian kinerja. Dalam penilaian kinerja selalu tersedia adanya : (1) kompensasi yakni penentuan secara tetap terhadap kinerja dengan basis pembayaran; (2) keberhasilan dalam perencanaan yakni mengidentifikasi orang-orang terhadap pekerjaan yang telah
81
diselesaikan; (3) disiplin yakni suatu keadaan terjadinya tindakan untuk memberikan percobaan atau pemutusan hubungan kerja sebagai akibat ketidakdisiplinan karyawan; (4) pengembangan yakni berhubungan dengan pelatihan, penugasan pekerjaan atau pembimbingan guna meningkatkan kompetensi karyawan; dan (5) jalur karir yakni perencanaan di masa mendatang untuk meracang tugas-tugas pekerjaan yang akan diberikan kepada karyawan secara spesifik untuk mengasah pengalaman dan atau kompetensinya. Namun demikian, secara individual yang diharapkan berimbas pada organisasi atau perusahaan bahwa kinerja merupakan deskripsi keberhasilan seseorang yang bekerja pada organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran secara menyeluruh sesuai dengan standar yang ditentukan. Penilaian kinerja pada dasarnya dapat dinilai sebagai kontribusi seseorang atau karyawan kepada organisasi atau perusahaan selama periode waktu tertentu. Oleh karena itu, sebagai salah satu ukuran kinerja seseorang yang diingat menurut Wibowo (2007) akronim dengan SMART yakni bermakna specific, measurable, achievable, relevant, dan timeliness. Untuk itu, ketika kriteria suatu pekerjaan sudah dapat ditentukan dan selanjutnya dapat juga diukur kinerja atau prestasi kerja (job performance) seseorang dengan cara mengumpulkan segala informasi yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah diselesaikan sehingga membuahkan hasil prestasi seseorang, maka selanjutnya hasil prestasi yang telah dicapai itu diperbandingkan dengan stadar kerja (job standard) yang sudah ditentukan oleh perusahaan sehingga tingkat prestasi kerja seseorang dapat dijadikan ukuran pencapaian prestasi atau kinerja seseorang. Robbins (1996) mendefiniskan kinerja merupakan suatu model harapan yang menjadi penilaian individu atas pekerjaan yang dikerjakan. Untuk memotivasi secara maksimum, setiap orang membutuhkan usaha-usaha yang diterima dan dirasakan
82
dengan menunjukkan penilaian kinerja yang baik dan penilaian baik akan menunjukkan penghargaan dalam bentuk nilai. Model dari motivasi yang diharapkan bilamana tujuan-tujuan yang diharapkan dicapai oleh seseorang atau karyawan masih belum jelas, kecuali jika kriteria untuk mengukur tujuan sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan juga jika karyawan tidak yakin atas usaha-usaha yang menunjukkan penilaian memuaskan atas kinerjanya atau percaya akan ketidakpuasan yang dibayarkan oleh organisasi ketika tujuan kinerja adalah dicapai, sehingga individu dapat berharap terhadap pekerjaan potenisial yang menjadi pertimbangannya. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan bahwa aktivitas kewirausahaan yang dilakukan akan menghasilkan kinerja organisasional (perusahaan) sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kinerja organisasional yang merupakan suatu proses dalam organisasi (perusahaan) bemula dari hasil pencapaian kinerja individual dan berlanjut menjadi kinerja tim atau kelompok kerja yang akhirnya terintegrasi menjadi kinerja organisasional. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan dalam kewirausahaan akan berujung pada kinerja organisasional dan kinerja orgaisasional itu sendiri akan menjadi tujun serta capaian yang diharapkan oleh seorang wirausaha. Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh banayak pakar dalam ranah kewirausahaan dengan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi bisnis dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin yang menjalankan usaha dengan senantiasa berorientasi kewirausahaan akan berimpliksai pada keberhasilan kinerja usahanya. Denmgan demikian dapat ditarik kesimpulan ada pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja organisasional.
83
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu digunakan sebagai pembanding dan menjadi dasar dalam
menunjang konsep-konsep yang dicakup dalam penelitian ini. Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan dasar adalah sebagai berikut :
2.2.1 A. Shahab (2010) Judul penelitian dari A.Shahab (2010) adalah “Implementasi Kepemimpinan Islami dan Komitmen serta Pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan pada Baitul Maal Wa Tamwil di Provinsi Jawa Tengah dalam Perspektif Islam,” bertujuan untuk menguji dan mengalisis pengaruh kepemimpinan dan komitmen terhadap kepuasan kerja dan kinerja. Populasi penelitian ini teridentifikasi sebanyak 1.326 orang karyawan atau 324 organisasi BMT, sedangkan sampel yang diambil sebanyak 132 orang karyawan dengan cara multistage purposive sampling dengan rincian di Kabupaten Rembang sebanayak 55 orang untuk 3 organisasi BMT, Wonosobo sebanyak 42 orang untuk 3 organisasi BMT, dan 35 orang karyawan untuk 3 organisasi BMT di Kabupaten Wonogiri. Model analisis yang dibangun dengan menggunakan model persamaan struktural. Hasil studinya menunjukkan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan atas kepemimpinan terhadap kepuasan kerja, dan pengaruh positif yang signifikan atas kepemimpian terhadap kinerja karyawan. Selain itu komitmen berpengaruh positif yang signifikan, baik terhadap kepuasan maupun kinerja karyawan; serta ada pengaruh positif yang signifikan pula atas kepuasan terhadap kinerja karyawan. Secara ringkas hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan bahwa keenam hipotesis penelitian yang menjawab enam masalah penelitian adalah terbukti dan signifikan semuanya.
84
Penelitian A.Shahab (2010) memiliki kesamaan dengan penelitian dalam disertasi ini, yaitu keduanya menggunakan variabel kepemimpinan, komitmen, dan kinerja. Perbedaannya dalam konteks memaknakan masing-masing variabel serta indikator dan pengukuran yang digunakan untuk unit analisis yang berbeda. Selain itu populasi dan sampel yang dipergunakan keduanya ada perbedaan yakni untuk penelitian A.Shahab (2010) unit analisisnya individu karyawan BMT, sedangkan penelitian dalam disertasi ini organisasi badan usaha koperasi. Model analisisnya juga ada perbedaan bahwa A.Shahab (2010) menggunakan model persamaan struktural sedangkan penelitian disertasi ini menggunakan analisis jalur.
2.2.2
T.Yusuf (2010) Judul penelitian dari T.Yusuf (2010) adalah “Pengaruh Kualitas Kehidupan
kerja, Komitmen Karyawan dan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan PDAM Kota Balikpapan,” bertujuan untuk menguji dan mengalisis kualitas kehidupan kerja, komitmen dan Motivasi terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja. Populasi penelitian ini semua karyawan karyawan PDAM Kota Balikpapan, sedangkan teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Model analisis yang dibangun dengan menggunakan model persamaan struktural. Secara ringkas hasil penelitian T.Yusuf (2010) menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan kualitas kehidupan kerja terhadap kepuasan kerja, komitmen terhadap kepuasan kerja, motivasi kerja terhadap kepuasan kerja, kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja, komitmen terhadap kinerja, motivasi kerja terhadap kinerja, dan kepuasan kerja terhadap kinerja pada karyawan di PDAM Balikpapan. Penelitian T.Yusuf (2010) memiliki kesamaan dengan penelitian dalam disertasi ini, yaitu keduanya menggunakan variabel komitmen dan kinerja.
85
Perbedaannya dalam konteks memaknakan variabel masing-masing serta indikator dan pengukuran yang digunakan untuk unit analisis yang berbeda. Selain itu populasi dan sampel yang dipergunakan keduanya ada perbedaan yakni untuk penelitian T.Yusuf (2010) unit analisisnya individu karyawan PDAM, sedangkan penelitian dalam disertasi ini organisasi badan usaha koperasi. Model analisisnya juga ada perbedaan bahwa T.Yusuf (2010) menggunakan model persamaan struktural sedangkan penelitian disertasi ini menggunakan analisis jalur.
2.2.3 Margiati, L (2010) Penelitian
yang
dilakukan
berjudul
“Pengaruh
Kecerdasan
Emosi,
Karakteristik Individu, Self Leadership, Komitmen Pada Profesi, Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Dan Karier Dosen Pada Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah VII Jawa Timur,” bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis pengaruh: kecerdasan emosi terhadap kinerja dosen, karakteristik individu terhadap kinerja dosen, self leadership terhadap kinerja dosen, komitmen pada profesi terhadap kinerja dosen, iklim organisasi terhadap kinerja dosen, kecerdasan emosi terhadap karier dosen, karakteristik individu terhadap karier dosen, self leadership terhadap karier dosen, komitmen pada profesi terhadap karier dosen, iklim organisasi terhadap karier dosen, dan kinerja terhadap karier dosen pada PTS Kopertis Wilayah VII Jawa Timur. Populasi penelitian seluruh dosen tetap Kopertis Wilayah VII Jawa Timur yang berstatus dosen tetap yayasan (sejumlah 14.947 orang) dan dosen tetap negeri yang diperbantukan di PTS (1.575 orang), sehingga secara total sebanyak 16.522 orang (ESBED Kopertis Wilayah VII, 2009). Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik multistage sampling dan banyaknya sampel 200 orang dengan rincian 100 orang dosen tetap yayasan dan 100 orang lagi dosen tetap negeri yang
86
diperbantukan di PTS. Hasil penelitian yang menguji sebelas hipotesis menunjukkan semuanya berpengaruh signifikan dan positif, antara : kecerdasan emosi terhadap kinerja, karkteristik individu terhadap kinerja, self leadership terhadap kinerja, komitmen pada profesi terhadap kinerja, iklim organisasi terhadap kinerja, kecerdasan emosi terhadap karier, karakteristik individu terhadap karier, self leadership terhadap karier, komitmen individu terhadap karier, iklim organisasi terhadap karier, dan kinerja terhadap karier. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Margiati, L (2010) dengan disertasi ini terletak pada variabel kepemimpinan dan komitmen diposisikan sebagai variabel eksogen, sedangkan kinerja ditempatkan sebagai variabel endogen. Selain itu persamaan lainnya bahwa keduanya menggunakan model analisis persamaan struktural, sehingga langkah-langkah dalam melakukan teknis analisis mempunyai kesamaan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Margiati, L (2010) dengan disertasi ini bahwa memaknakan variabel kepemimpinan, komitmen , dan kinerja dengan perspektif yang berbeda. Selain itu unit analisis yang menjadi fokus kajian menunjukkan perbedaan. Dalam penelitian Margiati, L (2010) terfokus pada unit analisis sebagai kajiannya adalah individual pada PTS Wilayah VII di Jawa Timur, sedangkan disertasi ini lebih terfokus pada unit analisis organisasional pada Badan Usaha Koperasi di Kota Surabaya.
2.2.4
Djamaludin, M. (2008) Penelitian berupa disertasi yang dilakukan oleh Djamaludin, M. (2008)
memberikian judul “Pengaruh Komitmen Organisasional, Pengembangan Karier, Motivasi Kerja dan Karakteristik Individual terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur.” Populasi dan sampel yang
87
digunakan adalah semua pegawai pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dengan sampel sebanyak 200 orang pegawai dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan metode proportional stratified random sampling. Model analisis yang digunakan adalah model persamaan struktural dengan perangkat pengolahan menggunakan AMOS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh signifikan : komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasional terhadap kinerja, pengembangan karier terhadap kepuasan kerja, pengembangan karier terhadap kinerja, motivasi kerja terhadap kepuasan kerja, motivasi kerja terhadap kinerja, karakteristik individual terhadap kepuasan kerja, karakteristik individual terhadap kinerja, dan tidak ada pengaruh yang signifikan kepuasan kerja terhadap kinerja pada pegawai Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur. Persamaan penelitian Djamaludin, M (2008) dengan penelitian disertasi ini terletak bahwa keduanya meneliti pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi. Perbedaannya ditunjukkan bahwa penelitian Djamaludin, M ini meneliti variabel pengembangan karier, motivasi kerja, karakteristik individu, dan kepuasan kerja; sedangkan disertasi ini yang membedakan bahwa yang diteliti adalah variabel kepemimpinan transformasional dan orientasi kewirausahaan. Selain itu perbedaan lainnya terletak pada unit analisis yang digunakan untuk kedua penelitian, termasuk obyek dan subyek penelitiannya.
2.2.5
Tambunan, DB (2007) Penelitian yang dilakukan berjudul “Analisis Hubungan Self Leadership
terhadap Keberhasilan Kerja dengan mediasi Self Efficacy,” bertujuan untuk menguji pengaruh self leadership terhadap kinerja distributor MLM Tianshi. Sampel yang digunakan sebanyak 207 distributor MLM Tianshi dan metode analisisnya
88
menggunakan multiple regression analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : self leadership berpengaruh signifikan terhadap self efficacy, self efficacy berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan kerja, dan self efficacy menjadi variabel mediasi atau antara pengaruh self leadership terhadap keberhasilan kerja. Kesamaan antara penelitian Tambunan, DB (2007) dan penelitian disertasi ini adalah keduanya menguji kepemimpinan terhadap kinerja, hanya saja perbedaannya terdapat pada konteks memaknakan kepemimpinan dan kinerja serta subyek penelitian yang digunakan. Perbedaan lain terkait dengan variabel intervening yang digunakan bahwa Tambunan, DB (2007) menempatkan self efficacy sedangkan penelitian disertasi ini entrepreneurial oriented yang dipergunakan untuk menguji pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja. Selain itu, perbedaan berikutnya terkait dengan obyek dan subyek penelitiannya, bahwa Tambunan, DB (2007) menggunakan distributor MLM Tianshi sedangkan disertasi ini menggunakan badan usaha koperasi.
2.2.6
Polities, John D. (2006) Penelitian yang dilakukan oleh Polities, John D. (2006) dengan Judul “Self
Leadership – Behavioral Focus Strategies and Team Performance” (Kepemimpinan Diri – Strategi yang terfokus pada Keperilakuan dan Kinerja Tim), bertujuan meneliti hubungan self leadership dengan kepuasan kerja dan kinerja kelompok. Varibel self leadership merupakan variabel eksogen, kepuasan kerja sebagai veriabel intervening dan variabel endogennya adalah kinerja tim. Penelitian yang dihasilkan menunjukkan bahwa : ada pengaruh positif yang signifikan self leadership terhadap kepuasan kerja, ada pengaruh positif yang signifinan kepuasan kerja terhadap kinerja tim, dan ada pengaruh yang signifikan self leadership terhadap kinerja tim dengan variabel intervening kepuasan kerja.
89
Kesamaan penelitian Polities, John D. (2005) dengan penelitian disertasi ini terutama menguji pengaruh self leadership terhadap kinerja tim, sedangkan perbedaannya terletak pada konteks memaknakan kepemimpinan dan kinerja dalam kedua penelitian ini. Perbedaan lainnya adalah dalam melakukan pengukuran pada kedua variabel yang dimaksudkan terutama berkenaan dengan kinerja itu sendiri, yakni Polities, John D. (2005) menggunakan ukuran kinerja kelompok sedangkan disertasi ini menggunakan kinerja organisasi.
2.2.7
Yousef, Darwis (2000) Penelitian yang dilakukan dengan judul “Organizational Commitment and Job
Satisfaction as Predictors of Attitudes Toward Organizational Change in a NonWestern Setting,” bertujuan menginvestigasi peran berbagai macam dimensi sikap kearah perubahan organisasi yang ada d dunia Non-Barat. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 474 karyawan pada 30 organisasi di United Arab Emirates dengan menggunakan uji statistik analisis jalur melalui operasionalisasi program LISREL VIII. Asil studi yang diketemukan bahwa komitmen afektif secara langsung dan positif mempengaruhi kognitif, afektif dan kecenderungan berperilaku sebagai dimensi sikap terhadap perubahan organisasi; Komitmen secara kontinyu (sebagai alternatif yang dirasakan rendah) secara langsung dan negatif mempengaruhi sikap terhadap perubahan organisasi; Komitmen secara kontinyu (sebagai pengorbanan pribadi yang tinggi) tidak berpengaruh signifikan terhadap sikap terhadap perubahan organisasi dan komitmen normative tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan oreganisasi. Komitmen afektif dan komitmen secara kontinyu (sebagai alternatif yang dirasakan rendah) terbukti memediasi kepuasan kerja dengan dimensi kondisi kerja, gaji, promosi, supervisi, rekan kerja dan keamanan terhadap sikap terhadap
90
perubahan; dan Komitmen secara kontinyu (pengorbanan pribadi yang tinggi) dan komitmen normatif tidak terbukti sebagai mediasi antara kepuasan dengan sikap terhadap perubahan. Kepuasan dengan dimensi gaji dan promosi terbukti berpengaruh signifikan terhadap sikap terhadap perubahan sedangkan dimensi kepuasan yang lain yaitu kondisi kerja, supervisi, rekan kerja dan keamanan tidak berpengaruh signifikan terhadap sikap terhadap perubahan. Kesamaan penelitian Yousef, Darwis (2000) dengan penelitian disertasi ini terutama penggunaan variabel komitmen organisasional dan pengujian statistik dengan pendekatan analisis jalur (path analysis) menguji sedangkan perbedaannya terletak hubungan antar variabel komitmen organisasional bahwa penelitian disertasi ini dihubungankan dengan orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional. Sementara studi Yousef, Darwis bahwa komitmen organisasional dihubungkan dengan sikap kearah perubahan organisaional. Perbedaan lainnya adalah sampel yang digunakan adalah karyawan suatu perusahaan yang dilakukan studi oleh Yousef, Darwis, sedangkan dan anggota serta pengurus badan usaha koperasi .pada penelitian disertasi ini.
2.2.8
Testa, Mark (2001) Studi yang dilakukan berjudul “Organizational Commitmen, Job Satisfaction,
and Effort in the Service Environment,” dengan tujuan melakukan investigasi hubungan kausal antara komitmen organisasional dengan kepuasan kerja. Sampel yang diambil sebanyak 425 orang karyawan dari dua perusahaan jasa dan menguji dua model persamaan structural. Hasil temuan pentingnya bahwa kepuasan kerja terbukti berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional. Kesimpulan hasil studi yang dikemukakan bahwa komitmen organisasional yang ditempatkan sebagai
91
variabel moderator antara kepuasan dengan hasil terbukti lebih baik daripada model ketika kepuasan menjadi variabel moderator antara komitmen organisasional dengan upaya. Kesimpulan lain yang dikemukakan bahwa kepuasan kerja dapat diposisikan sebagai
variabel
bebas
yang
berpengaruh
langsung
terhadap
komitmen
orgasnisasional. Persamaan studi Testa, Mark (2001) dengan penelitian disertasi ini bahwa penggunaan
variabel
organisasional
pengambilan
sampel
penelitian
yang
dipergunakan. Perbedaan studi Testa, Mark (2001) dengan penelitian disertasi ini dapat diidentifikasi, antara lain: ketika menghubungkan secara kausal komitmen organisasional, yakni studi Testa komitmen organisasional dihubungkan dengan kepuasan kerja sedangkan disertasi ini dihubungkan dengan orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional; studi Testa membandingkan dua perusahaan dengan model SEM pertama yang menempatkan komitmen organisssional sebagai moderator dan model SEM kedua yang menempatkan kepuasan pelanggan sebagai moderator untuk membuktikan upaya atau effort; Sedangkan penelitian disertasi ini bahwa komitmen organisasional ditempatkan sebagai variabel bebas, baik terhadap orientasi kewirausahaan maupun kinerja organisasional.
2.2.9 Widagdo, B. (2000) Studi yang dilakukan diberi judul “Pengaruh Karakteristik Individu dan Kepemimpinan terhadap Budaya Organisasi, Manfaat Kehidupan Kerja dan Kepuasan Kerja serta Kinerja Dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa Timur,” bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik individu dan kepemimpinan terhadap budaya organisasi, manfaat kehidupan kerja dan kepuasan kerja serta kinerja dosen.
92
Sampel penelitian sebanyak 392 dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa Timur dan metode analisis yang dipergunakan dengan model persamaan struktural. Persamaan studi Widagdo, B (2000) dengan penelitian disertasi ini bahwa variabel kepemimpinan ditempatkan sebagai variabel eksogen dan kinerja ditempatkan sebagai variabel endogen. Kesamaan lain adalah untuk menguji pengaruh kepemimpinan terhadapm kinerja. Perbedaannya bahwa kepemimpian yang dipergunakan secara konseptual berbeda, karena dalam penelitian disertasi ini pengertian kepemimpinan yang dimaksudkan dengan pendekatan transformasional. Perbedaan lain bahwa kepemimpinan sebagai variabel eksogen untuk studi Widagdo dihubungkan dengan budaya organisassi, manfaat Kehidupan Kerja, dan Kepuasan Kerja; Sedangkan penelitian disertasi ini bahwa kepemimpinan transformasional dihubungkan dengan orientasi kewirausahaan dan kinerja organisasional. Sampel penelitian yang dipergunakan adalah dosen, sedangkan penelitian disertasi ini anggota dan pengurus badan usaha koperasi; demikian juga perbedaan terletak pada unit analisis yang dipergunakan bahwa studi Widagdo adalah dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa Timur, sedangkan unit analisis penelitian disertasi ini menggunakan organisasi badan usaha koperasi di kota Surabaya.
2.2.10 Meyer, John and Allen, Natalie (1993) Studi ini berjudul “Organizational Commitment : Evidance of Career Stage Effect,? Bertujuan untuk membandingkan komitmen organisasional antara karyawan perpustakaan universitas dan supervisor beserta karyawan manajerial di rumah sakit umum. Ada 2 (dua) kelompok sampel yang diambil untuk dikomparasikan dengan menetapkan tahapan karir atas dasar umur, masa jabatan di organisasi dan masa jabatan posisi. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok sampel ternyata
93
komitmen afektif dan normative secara signifikan meningkat bagi karyawan yang umurnya lebih tua dibandingkan dengan umurnya lebih muda, begitu juga bagi pekerja yang memiliki masa kerja lebih tinggi komitmen afektif dan normatifnya ternyata signifikan meningkat dibanding karyawan yang memiliki masa kerja lebih rendah. Hasil temuan lainnya bahwa komitmen kontiyuitas tidak berbeda berdasarkan kelompok umur untuk masing-masing kelompok sampel, namun demikian komitmen kontnyuitas akan meningkat melalui kelompok sampel untuk masa kerja di organisasi dan masa kerja pada suatu posisi. Persamaan studi Meyer, John and Allen, Natalie (1993) dengan penelitian disertasi ini terletak pada pemilihan variabel komitmen oreganisasional yang dijadikan kajian. Selain itu sampel penelitian dilihat dari karakteristiknya ada kemiripan bahwa studi Meyer, John and Allen, Natalie adalah karyawan setingkat manajerial, sedangkan penelitian disertasi ini adalah pengurus badan usaha koperasi yang menjalankan fungsi manajerial juga. Perbedaannya terletak dari tujuan studi yang begitu kontras bahwa meyer, John and Allen, Natalie melakukan studi komparatif, sedangkan penelitian disertasi ini studi hubungan kausal. Dengan demikian teknik analisisnyapun sangat berbeda sekali yaknin antara pengujian untuk membuktikan adanya perbedaan dan pengujian untuk membuktikan adanya hubungan atau pengaruh.
2.2.11 Suprihhadi. H (2013) Penelitian disertasi yang berjudul “Orientasi Kewirausahaan sebagai Mediasi Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Badan Usaha Koperasi Di Kota Surabaya,” bertujuan untuk menganlisis dan menguji pengaruh kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasional
94
terhadap kinerja organisasional melalui mediasi orientasi kewirausahaan pada badan usaha koperasi di kota Surabaya. Sampel yang dipergunakan adalah anggota badan usaha koperasi untuk merespon kepemimpinan transformasional, komitmen organisasional, dan orientasi kewirausahaan yang diperankan oleh pengurus badan usaha koperasi; sampel berikutnya adalah pengurus badan usaha koperasi untuk merespon kinerja organisasional badan usaha koperasi berdasarkan acuan dari Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor:o6/Per/M.KUKM/III/2008 Tentang Pedoman Pemeringkatan Koperasi yang dijadikan pendekatan pengukuran kinrja koperasi yang baik. Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi badan usaha koperasi dan model analisis yang dipergunakan dengan pendekatan analisis jalur atau path analysis. Hasil studi menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan, komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan, dan orientasi kewirausahaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasional. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja organisasional, dan juga komitmen organisasional tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja organisasional. Namun demikian, bahwa hasil studi ini menemukan bahwa kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasional berpengaruh signifikan
terhadap
kinerja
organisasional
yang
harus
melalui
orientasi
kewirausahaan. Karena itu, dari hasil temuan studi ini menunjukkan bahwa variabel orientasi kewirausahaan
adalah
variabel intervening
yang
sangat
esensial
kedudukannya sebagai jembatan yang harus dilalui oleh kedua variabel yakni kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasional untuk mencapai kinerja organisasional. Begitu pentingnya kedudukan variabel orientasi kewirausahaan
95
sebagai mediasi kedua variabel tersebut bagi pengurus badan usaha koperasi, maka studi ini menyarankan kepada pengurus di masa mendatang dalam mengelola badan usaha koperasi di kota Surabaya sudah saatnya mulai memiliki jiwa dan karakter kewirausahaan ketika mengelola badan usaha koperasi, agar kinerja koperasi dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, sehingga tujuan untuk kesejahteraan anggota khususnya dapat dicapai sesuai yang diharapkan dan masyarakat pada umumnya memperoleh maslahat, termsuk pemerintah daerah setempat.