BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Paru (TBC Paru) 2.1.1. Pengertian Tuberkulosis Tuberklulosis adalah penyakit menular yang umumnya disebabakan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (Depkes,2008). Penyakit TB Paru merupakan penyakit menahun, bahkan seumur hidup. Penderita yang sakit tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50% penderita TB Paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% lagi menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Bakteri TB Paru disebut Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam atau Bakteri Tahan Asam (BTA). Bila dijumpai BTA dalam dahak orang yang sering batuk-batuk maka orang tersebut di diagnosis sebagai penderita TB Paru aktif dan sangat berbahaya karena memiliki potensi yang amat berbahaya (Achmadi, 2011). Bakteri TBC akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab (Achmadi, 2008). 2.1.2. Bahaya dan Gejala TB Paru Bakteri secara khas berbentuk granula dan paling berbahaya. Dalam paru menimbulkan nekrosis dan kerusakan jaringan, memiliki efek jangka pendek dan
Universitas Sumatera Utara
jangka panjang bagi kesehatan manusia. Gejala TB Paru dapat di jelaskan sebagai berikut (Crofton, 2002). 1. Permulaan sakit atau influenza Pertumbuhan TB Paru sifatnya menahun, berangsur-angsur memburuk secara teratur, tetapi terjadi secara melompat-lompat. Serangan pertama menyerupai influenza. Serangan kedua bisa
terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan
seterusnya. Serangan ke 2 akan bertahan lebih lama dari yang pertama sebelum orang sakit sembuh kembali. Sebaliknya masa tidak sakit menjadi lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Masa aktif influenza makin lama makin panjang, sedangkan masa bebas influenza makin pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TBC adalah sering mendapatkan serangan influenza. 2. Malaise Peradangan ini bersifat sangat kronik akan diikuti tanda-tanda malaise seperti: anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, badan pegal-pegal, demam yang diikuti berkeringat malam dan sebagainya. 3. Batuk Mycobacterium tuberclosis mulai berkembang biak dalam jaringan paru. Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk. Batuk pertama akan terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang produk-produk eksresi dari peradangan keluar.
Universitas Sumatera Utara
4. Batuk darah Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah makan akan terjadi batuk darah ringan, sedang dan berat tergantung dari berbagai faktor. Batuk darah juga terjadi pada berbagai penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru. 5. Sakit/nyeri dada, keringat malam, demam, sesak napas Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal, jika terpapar oleh organisme penyebab Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Gejala tambahaan yang mungkin ditemukan, adalah penurunan berat badan, dan gangguan pernapasan yang berat. Komplikasi pada penderita TBC pada stadium lanjut yaitu: Hemoptis berat (pendarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial, bronkiaktasis (pelabaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru, peneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan, penyebaran infeksi ke organ lain seperti: otak, tulang, persendian, ginjal dsbnya (Depkes, 2002). Tidak semua penderita TB punya semua gejala seperti di atas, kadang-kadang hanya 1 atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing sangat bervariasi. Gejala tersebut dijumpai pada penyakit paru selain TB Paru. Oleh karena setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut di atas harus dianggap
Universitas Sumatera Utara
sebagai Suspec Tuberkulosis atau tersangka penderita TB Paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Aditama, 2002). Terdapat laporan penelitian yang menyatakan bahwa kejadian infeksi TBC meningkat pada penderita yang menghirup debu. Selain gejala di atas, akibat penumpukan debu dalam tubuh ini dan berkaitan dengan sistem imun tubuh, akan muncul juga penyakit rematik (Rheumatoid arthritis). Gangguan ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Belum diketahui secara pasti mengapa jumlahnya lebih banyak pada laki-laki. Penyakit TBC ini tentunya lebih berbahaya pada bayi, balita, dan anak-anak. Salah satunya karena fungsi dan kerja organ-organ sistem pernapasan belum berkembang sempurna seperti orang dewasa. Sel-sel rambut dan rambutrambut di dalam lubang hidung kita memainkan peranan sebagai pertahanan mekanik lini pertama terhadap partikel-partikel yang dihirup. Secara medis, belum ada obatobatan pencegah yang efektif.
Kalaupun ada, hanya bersifat meningkatkan
pertahanan imun tubuh melalui pemberian multivitamin. 2.1.3. Faktor Risiko Penyebab TBC Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit TB Paru antara lain: 1. Umur Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB Paru. Dari hasil penelitian di New York menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB Paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Pada wanita, prevalensi mencapai pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang, sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). Di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia diperkirakan 75% penderiat TB Paru usia produktif, yakni usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2007). Umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau martunitas karyawan. Kedewasaan terdiri dari kedewasaan teknis dalam melaksanakan tugas-tugas maupun kedewasaan psikologis. Umumnya kinerja personel akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Semakin lanjut usia seseorang akan meningkat kedewasaan teknis demikian juga psikologis serta menunjukan kematangan jiwa. Mengendalikan emosi dan toleransi terhadap pandangan orang lain sehingga berpengaruh terhadap peningkatan motivasi (Siagian, 2000). 2. Tingkat pendidikan Sebagian penderita TB Paru usia produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga pengetahuan tentang TB Paru dan kesadaran untuk menjalani pengobatan secara teratur pun rendah. Pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya risiko penularan penyakit TB Paru. Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang mengenai rumah sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat (Suarni, 2009). Menurut Kartini Kartono dikutip Salsabila (2009) “Pendidikan adalah segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional dibantu oleh metode dan teknik ilmiah diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu. Pendidikan saja tidak diterima dari bangku sekolah, akan tetapi dapat diterima dari pendidikan formal dan informal lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Satropoetro (1998), mengatakan bahwa pendidikan yang dimikili oleh seseorang akan mencerminkan cara berpikir orang tersebut, dan semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka pola masyarakat tersebut akan lebih baik. 3. Penghasilan (Pendapatan) keluarga Penyebab utama berkembangnya bakteri-bakteri Mycobacterium tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan masyarakat. Pada umumnya yang terserang penyakit TB Paru adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Seorang dengan tingkat penghasilan rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan, mungkin karena tidak mempunyai cukup biaya untuk membeli obat. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga memicu peningkatan angka kurang gizi di kalangan masyarakat miskin yang akan berdampak terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit TB Paru. Penyebab terbesar menurunnya penyakit TB Paru adalah meningkatnya sosial ekonomi keluarga (Tjiptoherijanto, 2008). Penelitian oleh Ongko (1998) dalam Tukiman, (2001) tentang demand masyarakat ke balai kesehatan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh faktor harga. Individu akan lebih muda memanfaatkan pelayanan kesehatan apabila pelayanan yang diberikan bebas biaya. Menurut Purwani dalam Mufidah, 2001 mengatakan pendapatan atau penghasilan merupakan suatu gambaran tentang posisi ekonomi seseorang atau keluarga dalam perkapita di masyarakat yang dihitung berdasarkan bulanan, yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian ditambah dengan penghasilan tambahan lainnya. Hal ini diukur dan disesuaikan dengan pengeluaran seseorang atau keluarga tersebut. Ada asumsi yang mengatakan bahwa semangkin tinggi tingkat pendidikan, maka pendapatan setiap bulannya yang mereka terima akan menjadi lebih baik. Partisipasi dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan spontan berupa uang dan barang. Bantuan yang diberikan masyarakat berupa sumbangan materi yang bersifat sukarela biasa disebut dengan istilah swadaya masyarakat (Sutiyanti, 1999). 4. Sanitasi lingkungan rumah Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu: ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu: kepadatan penghuni. Penularan-penularan penyakit pernapasan seperti TB Paru akan mudah terjadi diantara penghuni rumah (Notoadmodjo, 2003). Lingkungan rumah yang kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti TB Paru. Faktor lingkungan rumah erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti lingkungan fisik, biologi, ekonomi, sosial dan budaya (Soemirat, 2009). 5. Perilaku Perilaku merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang orang anggota keluarganya. Jika perilaku tidak positif sangat
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh dalam menularkan penyakit menular, sehingga lingkungan dapat berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan penyakit. Perilaku penderita yang tidur bersama-sama dalam suatu tempat tidur dengan anak dan istri dan anggota keluarga lainnya dapat menularkan Penyakit TB Paru 68% (Supriyono, 2002).
Kebiasaan berperilaku kurang sehat terhadap
lingkungan dan diri sendiri dapat menyebabkan tertular dan juga menjadi sumber penularan bagi keluarga maupun lingkungan sekitarnya (Notoatmodjo, 2007). 2.1.4. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Menurut Aditama (2006), pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), yaitu sebagai berikut : 1
S (sewaktu) dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2
P (pagi) dahak di kumpulkan dirumah pada hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
3
S (sewaktu) dahak di kumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak pagi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa Diagnosis TB Paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya satu spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil rontgen menunjukan TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita Paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, maka pemeriksaan dahak SPS diulang (Depkes, 2005). Pemeriksaan lainnya seperti foto toraks dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB Paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto toraks tidak selalu memberi gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi over diagnosis. Gambaran Kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukan aktifitas penyakit TB Paru (Chin, 2000). 2.1.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita TB Paru Menurut Depkes (2006), ada beberapa klasifikasi penyakit dan tipe penderita TBC yaitu: 1. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis a. Tuberkulosis BTA positif Tuberkulosis BTA positif yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan gambaran 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
Universitas Sumatera Utara
positif dan biakan bakteri TB Paru positif dan 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. b. Tuberkulosis BTA negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran TB Paru yang aktif. TB Paru BTA negatif, rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas. 2.1.7. Cara Penularan Tuberkulosis Penyakit Tuberkulosis Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang daya tahannya luar biasa, dan bahwa infeksi terjadi melalui penderita TB Paru yang menular adalah penderita dengan basil-basil tuberkulosis di dalam dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk-batuk, bersin, ketawa keras akan menghembus keluar percikan-percikan dahak halus yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang akan melayang–layang di udara. Hal ini akan mengandung basil TB, Bila mana hinggap disaluran pernapasan yang agak besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segara di keluarkan gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan ini. Tetapi bila mana berhasil masuk sampai kedalam alveolus atau pun menempel pada mukosa bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil TB
Universitas Sumatera Utara
akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak setempat, maka berhasil suatu infeksi Tuberkulosis Paru (Danusantoso, 2000). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositipan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008). Kuman Mycrobacterium tuberculosis pada penderita Tuberkulosis Paru dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA positif) dan sangat infeksius. Sedangkan kumannya tidak dapat di lihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang menular. Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara berbentuk dropler yang sangat kecil pada saat waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi dropler yang mengandung kuman Tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain, jika kuman tersebut menetap dalam paru orang yang menghirupnya.
Universitas Sumatera Utara
Kuman mulai membelah diri dan terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman Tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transmisi ini. Pertama-tama ialah jumlah basil dan virulensinya. Dapat dimegerti bahwa makin banyak basil di dalam dahak seorang penderita makin besar bahaya penularannya. Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi. Karena basil TB tidak tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil. Juga mudah dimengerti bahwa ventilasi yang baik, dengan adanya pertukaran udara dari dalam rumah dengan udara segar dari luar, akan dapat juga mengurangi bahaya penularan bagi penghunipenghuni lain yang serumah. Dengan demikian, bahaya penularan tersebut terdapat di perumahan-perumahan yang berpenghunian padat dengan ventilasi jelek serta cahaya matahari yang tidak dapat masuk (Danusantoso, 2000). Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsenterasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB Paru dengan BTA negatif. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi positif. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Daya tahan tubuh yang rendah memungkinkan seseorang menjadi pasien TB (Depkes RI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.8 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Pada prinsipnya pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis Paru dijalankan dengan usaha-usaha: (Depkes RI, 2001) 1.
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis Paru, bahaya-bahaya, cara penularannya, serta usaha-usaha pencegahan antara lain.
a.
Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan yaitu : mandi minimal 2 kali sehari, gosok gigi, cuci tangan, membuang sampah, air limbah, kotoran pada tempatnya, membuka jendela pada siang hari.
b.
Makan makanan yang sehat yaitu: makanan yang bersih, bebas dari kuman penyakit, cukup kualitas, dan bagi penderita TB Paru untuk tidak makan dengan piring dan gelas yang sama dengan anggota keluarga yang lain.
c.
Cara hidup sehat dan teratur yaitu: Makan, tidur, bekerja dan istirahat secara teratur, penderita tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga lainnya.
d.
Meningkatkan daya tahan tubuh yaitu: dengan makan makanan yang bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya sistem immun senantiasa terjaga dan kuat, menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit, menghindari pergaulan yang tidak baik, membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan, tidur dan istirahat yang cukup dan tidak begadang, tidak merokok dan minuman yang beralkohol, segera periksa bila timbul batuk lebih dari 3 minggu.
2.
Pencegahan dengan:
a. Vaksinasi B.C.G. pada anak-anak umur 0-14 tahun.
Universitas Sumatera Utara
b. Chemoprophylactic dengan I.N.H. pada keluarga penderita atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita. 3.
Menghilangkan sumber penularan dengan mencari dan mengobati semua penderita dalam masyarakat.
4.
Kesadaran berobat si penderita Kadang-kadang walupun penyakitnya agak berat sipenderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mencari pengobatan.
5.
Penyuluhan penderita tuberkulosis Tujuan penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan Tuberkulosis. Petugas memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain. Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila di antara warganya ada yang mempunyai gejala-gejala Penyakit Tuberkulosis Paru. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit Tuberkulosis Paru bukan bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain. Untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan melakukan
Universitas Sumatera Utara
menjadi suatu penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan. Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang terpenting yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan penderita. Supaya komunikasi berhasil baik, petugas kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan bersahabat, penuh hormat dan simpati, mendengar keluhan-keluhan mereka serta tunjukan perhatian terhadap kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti (Depkes, RI. 2001). Makin rendahnya pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit TB untuk dirinya, keluarga dan masyarakat di sekitarnya, makin besar pula bahaya sipenderita sebagai sumber penularan, baik di rumah maupun di tempat pekerjaannya. Untuk keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya pengetahuan yang baik tentang penyakit ini akan menolong masyarakat dalam menghindarinya (Entjang, 2000). Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Debu Industri diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang berterbangan (Yunus, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Manajemen penyakit mestinya tidak hanya dilakukan pada manusia atau sejumlah penduduk yang mengalami suatu penyakit. Manajemen demikian tidak akan menyelesaikan problem penyakit tersebut, karena hanya berupa pendekatan kuratif, yaitu penanganan pada tingkat hilir (Achmadi, 2008). Seharusnya dalam penanganan suatu penyakit, termasuk penyakit TBC yang disebabkan oleh udara yang tercemar oleh debu. Manajemen penyakit yang paling tepat digunakan adalah manejemen berbasis lingkungan. Manajemen berbasis lingkungan untuk penanggulangan penyakit dimulai dari tingkat hulu menuju hilir. Perhatian utama pada faktor penyebab, media transmisi, dengan memperhatikan faktor penduduk sebagai objek yang terjangkit dan terpajan, sebelum melakukan penanganan pada manusia yang menderita penyakit. Dalam proses kejadian penyakit yang berpotensi ditimbulkan oleh debu diudara pada hakikatnya dapat diuraikan dalam empat simpul (Achmadi, 2008): 1.
Simpul A merupakan simpul paling hulu, yaitu sumber penyakit dalam hal ini adalah debu yang diakibatkan oleh proses sandblasting oleh perusahan Shipyard.
2.
Simpul B, merupakan komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit tersebut dalam hal ini udara.
3.
Simpul C adalah masyarakat yang berisiko terpapar suatu penyakit
4.
Simpul D atau simpul paling hilir yaitu nelayan dalam keadaan sakit atau terganggu kesehatannya akibat pajanan oleh komponen lingkungan dalam hal ini udara yang mengandung debu.
Universitas Sumatera Utara
2.1.9. Pengobatan Tuberkulosis Paru Mengobati pasien Tuberkulosis Paru juga cukup mudah, kerana penyebab Tuberkulosis sudah jelas yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini dapat hidup dengan kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya. Kombinasi obat untuk membunuh kuman Tuberkulosis Paru terdiri dari rifampisin, INH, prazinamid, etambutol, streptomisin. Bila seseorang penderita Tuberkulosis Paru, baik Tuberkulosis Paru ataupun Tuberkulosis lainnya minum obat tersebut secara teratur menurut petunjuk dokter selama minimal 6-8 bulan. Pada umumnya pengobatan penyakit Tuberkulosis Paru akan selesai dalam jangka 6 bulan, yaitu 2 bulan pertama setiap hari dilanjutkan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan.
2.2. Debu 2.2.1. Pengertian Debu Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya (Suma’mur, 1996). Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara
Universitas Sumatera Utara
(suspended particulate metter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996). Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan (Pudjiastuti, 2002). 2.2.2. Konsentrasi Debu di Lingkungan (Udara Ambient) Konsentrasi debu pada udara ambient di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10 mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA sebesar 230 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004 dalam Putranto, 2007). 2.2.3. Pencemaran Udara oleh Partikulat (Debu) Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1992) adalah sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk
Universitas Sumatera Utara
yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.Partikel di atmosfer dalam bentuk suspense, yang terdiri atas partikel-partikel padat dan cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang daari 0,01 mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya (Fardiaz 1992). Dampak kesehatan utama dari pemajanan debu adalah penyakit Asma dan penyakit Saluran Pernapasan lainnya, batuk dan naiknya mortalitas tergantung kepada konsentrasi dari sifat fisik debu itu sendiri. Polutan debu masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernapasan,oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada system saluran pernapasan. Faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran partikel, karena ukuran ini menentukan seberapa jauh penetrasi ke dalam system pernapasan (Fardiaz, 1992). Partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting yaitu: partikel tersebut mungkin beracun karena sifat kimia dan fisiknya, partikel tersebut mungkin inert tetapi mengganggu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya dan partikel tersebut mungkin dapat membawa gas-gas berbahaya. Mekanisme yang mungkin dapat menerangkan mengapa debu dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan adalah dengan makin banyaknya pemajanan debu maka cilia akan terus-menerus mengeluarkan debu tersebut sehingga lama-kelamaan cilia teriritasi dan tidak peka lagi, sehingga debu akan lebih mudah masuk. Selain itu yang terpenting orang tersebut akan rentan terhadap infeksi saluran
Universitas Sumatera Utara
pernapasan lainnya. Kasus penyakit yang banyak dilaporkan dan berhubungan dengan debu adalah bronchitis kronis dan emphysema. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran. 2.2.4. Efek Debu terhadap Kesehatan Bahaya debu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan penyakit khususnya berupa gangguan sistem pernafasan yang ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum. Pekerja yang terpapar debu secara kontinu pada usia 15 sampai dengan 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan dan kematian (Triatmo, 2006). Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut: debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran
Universitas Sumatera Utara
1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang berukuran 0,1-1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002). Menurut Pope (2003), mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara: 1.
Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran nafas karena gaya gravitasi.
2.
Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan yang kecil.
3.
Brown difusionyang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.
4.
Elektrostatic terjadi karena saluran nafas dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik.
5.
Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru.
Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Jenis Debu Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Suma’mur(1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik. Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli. Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara (pope, 2003). 2.2.6. Konsentrasi Partikel Debu dan Lama Paparan Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7. Mekanisme Timbulnya Debu dalam Paru-Paru a. Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007): 1) Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia) Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus, partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk selaput lendir dan hinggap di paru-paru. 2) Pengendapan (Sedimentasi) Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm per detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan mengendapnya. 3) Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel tersebut membentuk permukaan alveoli dan tertimbun di paru-paru. b. Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007): 1) Inhalation adalah jalan masuk(rute) yang paling signifikan di mana substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis. 2) Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi kulit dimana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit, tetapi menyebabkan kerusakan serius pada kulit. 3) Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan (jarang terjadi).
Universitas Sumatera Utara
2.2.8. Jarak Industri dengan Pemukiman Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri yang dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel diwilayah lokasi kawasan. Selain itu dikembangkannya suatu Kawasan Industri juga akan memberikan dampak terhadap beberapa fungsi di sekitar lokasi kawasan. Oleh sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam pemilihan lokasi Kawasan Industri, salah satu diantaranya adalah jarak terhadap Pemukiman. Pertimbangan jarak terhadap pemukiman bagi pemilihan lokasi kegiatan industri, pada prinsipnya memiliki dua tujuan pokok, yaitu: 1.
Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan aspek pemasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkannya adanya kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari pembangunan kawasan industri. Dalam kaitannya dengan jarak terhadap pemukiman disini harus mempertimbangkan masalah pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi areal tanah disekitar lokasi industry menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak antara perumahan dengan kegiatan industri.
2.
Berdampak negatif karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan limbah yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
3.
Jarak terhadap pemukiman yang ideal minimal 2 (dua) Km dari lokasi kegiatan industri (Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/MIND/PER/3/2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan ”apa” (what). Pengetahuan merupakan hasil tahu dan hal ini terjadi setelah orang yang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) tingkat pengetahuan dibagi menjadi enam tingkatan, yaitu: 1. Mengetahui Mengetahui artinya dapat mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Mengetahui merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Seseorang dikatakan tahu apabila ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan materi tersebut. 2. Memahami Memahami artinya kemampuan untuk menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang yang paham haruslah dapat menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya (riil).
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis Menunjukkan pada suatu kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagianbagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Seseorang dapat merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori. 6. Evaluasi Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi (penilaian) terhadap suatu objek materi atau objek penilaian berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau responden. 2.3.1. Perilaku Sehat Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sehat ini merupakan pengembangan dari perilaku yang dikembangkan oleh Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga domain
yaitu : pengetahuan kesehatan, sikap terhadap
kesehatan, dan praktek kesehatan. Hal ini untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian (Notoadmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2007), ada 4 pokok unsur perilaku kesehatan yaitu : 1.
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit yaitu: a. Perilaku sehubungan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti: makan makanan yang bergizi, olahraga. b. Perilaku pencegahan penyakit, seperti: perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain. c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan seperti: berusaha mengobati sendiri penyakitnya, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan baik yang modren maupun tradisional. d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, yaitu usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.
2. Perilaku sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. 3. Perilaku terhadap makanan yaitu respon seseorang terhadap makana sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. 2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003) ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan yaitu: a. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun media massa. Semakin banyak informasi yang masuk maka semakin pula pengetahuan yang di dapat tentang kesehatan. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dipendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek positif dan negatif. b. Informasi Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. c. Budaya dan Ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan lingkungan. d. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. e. Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang di peroleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahauan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi
Universitas Sumatera Utara
dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya. f. Usia Usia memengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehungga
pengetahuan
yang
diperolehnya
semakin
membaik.
Kemampuan
intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup, semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
2.4. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Sikap belum berbentuk tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003). Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip dalam Notoatmodjo (2005), sikap mempunyai tiga komponen pokok, yakni: 1. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
Universitas Sumatera Utara
2. Kepercayaan dan ide terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bersikap Seperti halnya dengan pengetahuan, Rogers(1974) dalam Notoatmodjo (2003), juga membagi sikap dalam beberapa tingkatan, yaitu: 1. Menerima Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon Suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah. 3. Menghargai Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4. Bertanggung Jawab Bertanggung jawab atas segala sesutu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. Sikap orang yang positif belum tentu terwujud dalam tindakan positif, begitu pula sebaliknya. Menurut Brecter dan Wiggins dalam Azwar (2007) sikap seseorang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku sangat tergantung dari kondisi apa, waktu bagaimana dan situasi. 2.4.1. Fungsi Sikap Teori fungsional yang dikemukakan oleh Katz (1953) dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk memahami sikap menerima dan menolak perubahan haruslah beranjak dari dasar motivasional sikap itu sendiri. Apa yang dimaksud oleh
Universitas Sumatera Utara
Katz sebagai dasar motivasional merupakan fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan. Fungsi sikap manusia telah dirumuskan menjadi empat macam yaitu: a. Fungsi instrumental, fungsi penyesuaian, fungsi manfaat Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan sikapnya berusaha untuk mamaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasaknnya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasakan akan merugikan dirinya. b. Fungsi pertahanan ego Sewaktu individu mengalami hal yang tidak menyenangkan dan diarasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui bahwa fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sifatnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindungi dirinya dari kepahitan kenyataan tersebut. Sikap dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan. c. Fungsi pertahanan nilai Nilai adalah konsep dasar mengenai apa yang dipandang baik dan diinginkan. Nilai-nilai terminal merupakan preferensi mengenai keadaan akhir tertentu seperti persamaan, kemerdekaan dan hak asasi. Nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan mengenai berbagai perilaku dan sifat pribadi seperti kejujuran, keberanian atau kepatuhan akan aturan. Dengan fungsi ini seseorang seringkali mengembangkan sikap tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya. Fungsi inilah yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan orang sering lupa diri sewaktu berada dalam situasi masa seidologi atau sama nilai. d. Fungsi pengetahuan Menurut fungsi ini manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencapai penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai suatu skema yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia di sekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk
melakukan
evaluasi
terhadap
fenomena
luar
yang
ada
dan
mengorganisasikannya. 2.5. Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada simpul determinan penyakit. Gangguan kesehatan disebabkan oleh multifaktor dan dalam manajemen kesehatan lingkungan dikenal dengan teori simpul. Ada empat simpul terhadap terjadinya suatu gangguan kesehatan terdiri dari simpul satu yang disebut sumber penyakit, simpul dua yaitu media transmisi penyakit, simpul tiga perilaku pemajanan dan simpul empat kejadian penyakit. Simpul-simpul dalam penelitian ini berhubungan dengan manajemen penyakit saluran pernapasan. Simpul pertama yaitu sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agen penyakit, yaitu komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan melalui kontak langsung atau melalui perantara.
Universitas Sumatera Utara
Simpul kedua yaitu media transmisi penyakit adalah komponen-komponen yang berperan memindahkan komponen penyakit ke dalam tubuh manusia, Ada lima media transmisi agen penyakit yang lazim yaitu udara, air, tanah/pangan, binatang/serangga dan manusia langsung. Simpul ketiga yaitu perilaku pemajanan adalh jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakitdan dalam konteks status kesehatan dalam penelitian ini agen penyakit masuk kedalam tubuh manusia melalui system pernapasan. Simpul ke empat yaitu kejadian penyakit atau gangguan adalah hasil hubungan interaktif manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manajemen Penyakit
Sumber -
Ambient
Industri,
Transmisi melalui wahana
Simpul 1
Simpul 2
Manusia Nelayan
Udara
Simpul 3
Dampak Kes. Out Come
Akut Sub klinis Sehat Simpul 4
Iklim Topografi Gambar 2.1. Landasan Teori
Universitas Sumatera Utara
2.6. Kerangka Konsep Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Konsentrasi Debu
Karakteristik - Umur - Tingkat Pendidikan - Pendapatan - Pengetahuan - Sikap
Kejadian Penyakit TBC
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara