eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
BAB 2 MENUJU MIMBAR SETAN
Kini kami berada di air terjun Niagara. Kami menginap di Clifton-House, tidak jauh dari kaki jembatan gantung yang dibangun di sisi Kanada. Dari hotel ini orang bisa melayangkan pandangan tak terhingga ke tempat curahan air terjun yang mempesona. Kamar-kamar terbaik ada di lantai pertama dan menghadap ke air terjun. Semua kamar ini mengarah kepada sebuah balkon sempit, kira-kira delapan langkah lebarnya. Balkon itu merupakan tempat umum dan dinaungi atap. Tamu yang keluar dari koridor dan menjejakkan kaki di kamarnya, kemudian berjalan memotong secara diagonal dan keluar ke balkon lewat pintu yang ada di hadapannya, akan bisa melihat dengan tepat kedua jeram – yang satu berbentuk lurus dan yang lainnya seperti ladam kaki kuda – persis di depan matanya. Jika hotel ini dibangun di Jerman, semua tamu yang menginap di deretan kamar tadi pasti menganggap balkon itu tidak layak karena dirancang sebagai tempat umum dan sebagai gantinya pasti sudah dibangun dinding-dinding pemisah. Tetapi di Amerika setiap orang membentengi diri dengan tembok yang memang tak kelihatan, tetapi sangat tinggi dan kokoh, sehingga bahkan tidak diperlukan dinding penyekat guna menghadang gangguan dan rasa ingin tahu. Walaupun demikian saya merasa senang karena ketika kami tiba, kamar paling pojok dari deretan kamar ini dan yang paling dekat dengan air terjun, baru saja ditinggalkan. Karena itu kami hanya mempunyai satu tetangga dan bukannya dua. Dan kamar sebelah kami dihuni oleh adalah sepasang gentleman yang bernama ... Harriman F. Enters dan Sebulon L. Enters. Sudah saya duga, kedua bersaudara itu tidak akan menunggu sampai kami tiba, mereka tentunya menginap di sini lebih dulu supaya langsung tahu kalau kami sudah ada. Namun bahwa kamar kami bersebelahan, ini sungguh di luar dugaan. Harus saya akui, saya bukannya tidak keberatan mereka tinggal di sebelah saya. Setiap tamu baru yang masuk di Clifton-Hotel harus langsung mendaftarkan diri di kantor yang terletak di resepsionis. Hanya inilah satu-satunya informasi pribadi yang diminta. Saya menulis nama kami berdua sebagai ‘Mr. & Mrs. Burton’ di buku tamu. Nama samaran tersebut penting karena mau tak mau saya harus merahasiakan alasan perjalanan saya yang sebenarnya. Jadi untuk saat ini saya terpaksa menyembunyikan nama saya yang sesungguhnya, nama yang sangat dikenal orang-orang di sini. Kamar kami memiliki tiga ruangan yang – seperti sudah disinggung – mengitari sebuah pojok. Kamar istri saya lebih besar daripada kamar saya, tanpa balkon dan terletak di dekat air terjun yang berbentuk mirip ladam kuda. Kamar saya menghadap ke air terjun
1
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
yang mengalir ke bagian Amerika Serikat. Di kamar ini saya bergerak dengan leluasa seperti di rumah sendiri. Di antara kedua kamar ini terdapat kamar untuk gantung pakaian dan toilet yang disatukan demi kepraktisan. Ketika kamar ini ditunjukkan kepada kami dan kami diantar ke sana, saya bertanya kepada pelayan yang bertugas tentang siapa yang menginap di sebelah kami. “Dua orang bersaudara,” jawabnya. “Mereka adalah yankee dan nama mereka Enters. Tetapi sebenarnya mereka hanya tinggal setengah hari di rumah kami. Di sini mereka hanya tidur, sedangkan makan di luar. Pagi-pagi buta mereka keluar dan baru kembali lagi waktu malam, ketika santap malam telah selesai.” Karena pada waktu itu dia menunjukkan ekspresi wajah yang sangat aneh, saya bertanya, “Mengapa begitu?” Dia hanya mengangkat bahu dan menjawab, “Clifton-House adalah hotel untuk golongan atas. Yang tidak termasuk dalam golongan ini bisa tidur di sini, tetapi tidak bisa makan atau bergaul dengan tamu-tamu lain. Rasanya dia pernah mencobanya sekali, namun dia merasa dikenali dan ditolak dengan cepat sehingga dia tentu tidak berani lagi mengulanginya.” Jawabannya sungguh lugas. Setidak-tidaknya enampuluh persen pelayan di hotel ini adalah orang Jerman atau Austria. Sedangkan pelayan yang satu tadi orang Inggris keturunan Kanada, terpancar jelas dari cara bicaranya yang tegas dan penuh rasa percaya diri. Pada waktu dia memandangi saya, bukan dengan tatapan sekedar memeriksa melainkan sepertinya mau menaksir saya, saya katakan bahwa saya pun termasuk kelompok orang yang membagi uang tip. Sebagian diberikan di awal, untuk menunjukkan bahwa dia ingin mendapat pelayanan yang memuaskan, dan sebagian lagi diserahkan sebelum meninggalkan hotel, untuk mengatakan apakah dia puas dengan pelayanan atau tidak. Sambil berkata saya menyelipkan separuh uang tip ke telapak tangannya. Seperti menganggap remeh dia memeriksa uang tersebut untuk memastikan jumlahnya. Tetapi dia kemudian membungkuk dalam-dalam – tak ada satu pun orang Jerman atau orang Austria yang bisa mengalahkannya – kemudian berkata, “Saya
siap
menjalankan
semua
perintah
Tuan.
Dan
saya
akan
segera
menginstruksikan pelayan kamar Tuan! Barangkali Anda merasa terusik dengan Enters bersaudara, Mr. Burton? Kami akan memindahkan mereka secepatnya!” “Jangan, biarkan saja mereka. Saya tidak merasa terganggu.” Sekali lagi dia membungkuk dalam-dalam seperti sebelumnya lalu melangkah pergi, penuh rasa hormat dan sukacita. Ketika si pelayan kamar datang setelahnya untuk memperkenalkan diri supaya kami pun bisa mengenalnya, kami langsung tahu bahwa dia telah diberitahu tentang penyerahan separuh uang tip. Dan kepada dia pun kami melakukan
2
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
yang sama seperti kepada pelayan sebelumnya. Dengan ini tentu kami tidak bermaksud menunjukkan kesan berdompet tebal. Saya pun menyinggungnya di sini bukan karena alasan itu atau alasan-alasan serupa. Sudah saya katakan, saya sama sekali tidak kaya, saya hanya memiliki penghasilan yang pas-pasan. Tapi dampak dari tindakan kami – dari awal kami langsung menunjukkan diri sebagai orang yang mengerti dan tahu berterima kasih atas pelayanan – segera terlihat. Dan dari wajah pelayan bisa terbaca, mengapa saya melakukan demikian. Kami tiba pada sore hari dan langsung menempuh dua perjalanan, perjalanan terkenal yang harus dilakukan oleh semua wisatawan di Niagara. Yang pertama dengan kereta dan yang lainnya dengan kapal uap. Rel kereta melintas turun persis di pinggiran Niagara yang menjadi bagian Kanada dan naik lagi di sisi seberang yang menjadi milik Amerika Serikat. Di bawahnya, jauh di dasarnya air bergemuruh dan bergelora. Dinding cadas berdiri tegak menjulang ke angkasa dan rel kereta seringkali cuma dua meter dari tepi jurang. Pada bagian terakhir kereta melejit dengan cepat seperti pesawat terbang. Dan karena hanya terlihat jurang yang menganga lebar dan sisi seberangnya, dari awal hingga akhir orang merasa seolah-olah langsung terlontar tinggi ke udara lalu jatuh tercebur ke dalam
jurang.
Sementara
itu
perjalanan
lainnya
dengan
kapal
dilakukan
dengan
menumpang Maid of the Mist (Gadis Kabut ) yang terkenal dan sangat digemari. Dengan berani kapal dikemudikan hingga begitu dekat ke jeram dan setelah sampai di tempat yang aman, di sana diturunkan para pelancong yang kelak ingin memamerkan kebolehannya di kampung halamannya karena telah berada ‘di balik jeram’. Setelah itu kami menikmati santap malam di hotel, di sebuah ruang makan besar di lantai bawah, sambil diiringi alunan musik nan merdu yang dimainkan kuartet ganda. Lalu kami kembali ke kamar, atau lebih tepat kalau dikatakan, kami kembali ke balkon terbuka, di mana kami mereguk kepuasan yang tak terlukiskan karena bisa menikmati air terjun yang terpantul dalam temaram cahaya bulan yang remang-remang. Kami duduk di sana sampai kira-kira pukul sebelas. Pada waktu itu datanglah gadis pelayan tergesa-gesa dan melapor, “Enters bersaudara sudah datang.” “Di mana?” tanya Herzle. “Masih di bawah, di kantor. Pada malam hari, kalau mereka pulang, biasanya mereka membolak-balikkan dulu buku, setelah itu baru pergi ke kamarnya.” “Apa maksud mereka membolak-balikkan buku?” “Untuk mengecek, apakah satu pasangan suami istri dari Jerman sudah tiba di sini, orang yang bernama Mr. May dan istrinya. Dulu mereka hanya bertanya. Namun kini mereka memeriksa sendiri buku tamu karena merasa kedatangan mereka kemari tidak diinginkan. Saya pun tidak berbicara dengan mereka.”
3
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Dia beranjak pergi dan kami pun meninggalkan balkon supaya tidak terlihat. Keterangan tadi merupakan buah pertama dari uang tip yang telah mereka terima. Agar lebih mudah mengerti tentang manfaatnya bagi kami, saya harus menerangkan lebih dulu tentang pintu yang memisahkan kamar saya dari balkon. Setiap tamu Clifton-House tahu bahwa semua pintu yang bermuara ke balkon yang lapang mempunyai konstruksi yang sama. Pintu-pintu itu dibuat agar kamar benar-benar tertutup rapat sehingga tak seorang pun bisa mengintip dari luar. Walaupun demikian kamar tetap mendapat cukup udara dan cahaya sebagaimana yang diharapkan para penghuninya. Karena itu pintu dilengkapi dengan kaca jendela dan kerai lipat. Kerai bisa dibuka atau ditutup dan kaca jendela ditutupi lagi dengan gorden. Dengan demikian setiap saat kita bisa melihat dan mendengar pembicaraan orang-orang di luar, tapi tidak terlihat ataupun terdengar oleh mereka. Untuk maksud ini kami tak mau menyalakan lampu. Kami hanya diam di kamar saya dan membuka kerai karena kami mesti menunggu, dalam keyakinan bahwa kedua bersaudara itu tidak akan tinggal di dalam kamarnya melainkan akan keluar ke balkon. Dan terjadilah seperti yang sudah dibayangkan: tidak berapa lama kemudian mereka muncul. Bulan masih bersinar di angkasa. Kami langsung mengenali salah seorang mereka, yaitu dia yang dulu mengunjungi kami. Mereka berbincang-bincang dan berjalan mondarmandir ke sana kemari. Akhirnya mereka duduk, tepatnya di meja yang berada di pojok luar kamar kami. Saya menyuruh menempatkan meja tersebut di sana agar bisa saya pakai kalau mau menulis. Kini bisa kami mendengar dan mengerti semua tutur kata mereka, walaupun mula-mula isi pembicaraan itu tidak menarik bagi kami. Tapi setelahnya mereka diam membisu. Kemudian salah seorang dari mereka, orang yang belum kami kenal, yakni Sebulon, mengakhiri keheningan dan berkata, “Menyebalkan! Sangat menyebalkan, kita harus duduk di sini sekian lama! Bisa berminggu-minggu, sampai mereka tiba!” “Yang jelas tidak selama itu!” sahut Harriman. “Mereka akan tiba di sini lebih awal, sebelum mereka mengunjungi agen penjualan buku. Setiap saat mereka bisa tiba.” “Dan kamu tetap berpegang pada pendirianmu?” “Ya. Tetap bersikap jujur! Orang itu memang tidak memperlakukan saya begitu ramah, namun kita tak bisa mengelabuinya dengan bersikap curang. Inilah kesan yang saya tangkap dari dirinya. Dan tentang istrinya boleh saya katakan, perlahan-lahan saya mulai menyukainya. Saya benar-benar menyesal karena tidak bisa bersikap jujur di hadapannya.” “Pshaw! Tak bisa bersikap jujur! Apa artinya bersikap jujur! Sikap jujur pertamatama harus dikonfrontasikan dengan diri sendiri. Dan jika kita ingin berbisnis dan kalau bisnis ini kita mulai dengan lihai ....” “Pssst! Tenang!” potong yang lainnya mengingatkan. “Mengapa?”
4
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Pak Tua bisa mendengarnya.” Sambil berkata dia menunjuk ke arah pintu kamar kami. “Pak Tua?” tanya Sebulon. “Kamu ‘kan tahu, setiap hari dia berada di ruang baca di bawah sana hingga tengah malam dan setelahnya masih juga membaca di kamarnya sampai pukul satu dini hari. Lampunya tidak menyala. Jadi pasti dia masih di bawah.” “Tetap saja! Lagipula saya capek. Sekarang saya mau tidur. Besok pagi saya ke Toronto dan baru pulang lusa. Kita harus beristirahat. Ayo!” Mereka bangkit dari meja dan masuk ke kamar. Kami tidak menangkap banyak isi pembicaraan mereka. Tetapi paling tidak kami tahu bahwa Harriman F. Enters mau bersikap jujur terhadap kami. Tapi kami masih harus menyelami hati Sebulon, saudaranya. Keesokan harinya ketika kami turun untuk sarapan pagi, kami diberitahukan oleh pelayan bahwa Enters bersaudara telah meninggalkan hotel pagi-pagi buta. Mereka pun meninggalkan pesan, apabila Mr. May dan istrinya telah tiba, tolong disampaikan bahwa keduanya sedang pergi ke Toronto dan baru bisa pulang besok malam. Pelayan tadi membuat gerakan tangan seperti mengebas lalu menambahkan, “Rowdys, kedua kakak beradik Enters! Mereka hanya luntang-lantung tak karuan di sini. Dan si Mr. May dari Jerman serta istrinya yang mencari orang-orang seperti mereka, mereka pun tidak cocok tinggal di tempat ini. Mereka tak akan diberi kamar!” Alangkah beruntungnya bahwa saya membubuhkan nama lain di buku! Luapan amarah dari pelayan ini pun menjadi peringatan bagi kami untuk berhati-hati. Walaupun rowdy pada dasarnya kasar, tetapi tidak selamanya mereka harus digolongkan sebagai manusia jahat. Sarapan pertama ini benar-benar berlimpah-limpah: ada kopi, teh, kakao, coklat, setumpuk buah-buahan dan telur, buah anggur, nanas, juga semangka dalam jumlah yang sangat banyak. Kami dilayani oleh pelayan kamar kami. Dia disuruh oleh pimpinannya untuk tugas ini. Saya sangat senang. Di Clifton-House hanya ada meja tunggal, tak ada meja besar yang dipakai untuk santap bersama. Posisi terbaik untuk duduk dan makan adalah di serambi panjang yang berujung di ruang besar. Serambi tersebut begitu sempit sehingga hanya cukup untuk dua baris meja. Dari sini orang bisa menikmati pemandangan yang mempesona ke arah air terjun. Kami memilih meja itu dan memutuskan untuk mem-booking-nya. Tatkala kami bertanya kepada sang pelayan, apakah kami boleh mem-booking-nya, dia menjawab, “Biasanya tidak boleh, akan tetapi untuk Mr. dan Mrs. Burton boleh. Saya akan mengupayakannya. Sebenarnya meja terbaik bukanlah yang ini, melainkan yang paling belakang, karena di sana orang hanya bisa dilihat, didengar atau pun diganggu dari satu sisi saja. Tapi meja itu sudah lebih dulu dipesan oleh dua gentlemen. Keinginan mereka tak bisa ditolak.”
5
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Hal itu dikatakannya dengan suara biasa. Namun dengan suara yang sengaja dikecilkan, dia lalu melanjutkan, “Karena mereka membayar semuanya dengan nuggets! Mereka menitipkan satu kantung besar dan berat yang berisi bijih-bijih emas murni!” Selama kami duduk di meja kami banyak orang yang datang dan ingin mengambil tempat duduk di meja itu, tetapi ditolak, sampai suatu ketika kami melihat dua orang muncul ketika jam sarapan hampir berakhir. Semua mata berpaling menatap mereka. Keduanya kira-kira sebaya, orang Indian. Hal itu sudah langsung terlihat sejak awal. Mereka tinggi dan berdada bidang, wajahnya tajam, namun – boleh saya katakan – terurus rapi. Seperti tidak menghiraukan orang-orang lain, mereka melangkah maju perlahan-lahan dan dengan penuh wibawa menuju ke meja yang disinggung di atas lalu duduk di sana. Mereka tidak mengenakan pakaian khas Indian melainkan jas seperti orang-orang kebanyakan, jas yang terbuat dari bahan halus. Rambut mereka pun ditata rapi seperti orang-orang biasa. Namun orang bisa bertaruh tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa di atas pelana kuda, di atas hamparan sabana dan di antara keagungan Rocky Mountains mereka akan tampil lebih garang daripada di sini. Dan meskipun kulit wajah mereka cokelat terbakar matahari, di sana terpantul jelas guratan-guratan halus yang unik, guratan yang hanya dijumpai pada orangorang yang banyak merenung dan telah terbiasa mendasarkan pemikiran mereka pada tataran metafisis. Biasanya orang menyebut pribadi-pribadi seperti ini sebagai manusia berwajah “cerdik pandai”, manusia berparas “jenius”. Dan kesan akan “kedalaman ilmu” mereka semakin kuat, semakin kentara dan semakin dalam jika orang mengamati mata mereka, mata yang memancarkan dukacita mendalam. Dukacita yang secara tepat membahasakan luka hati sebuah suku yang perlahan-lahan akan punah dalam hitungan hari dan tahun. Elegi bisu yang bersuara lantang dan tak terlukiskan itu kini dijumpai di mata kedua orang Indian ini. “Di sanalah gentlemen itu,” ujar sang pelayan. “Manusia-manusia berbudi pekerti, walaupun mereka hanya orang Indian! Sangat menghargai sopan santun!” Sambil berkata dia membuat lingkaran dengan mempertemukan ibu jari dan jari telunjuk untuk memberikan penekanan pada pujiannya. “Dari mana mereka?” tanya saya. “Entahlah. Yang seorang datang dari daerah yang jauh, sangat jauh, sedangkan yang lainnya dari dekat sini. Keduanya melintasi Quebec dan Montreal dan menyusuri sungai ke sini.” “Siapa nama mereka?” “Messieurs Athabaska dan Algongka. Nama-nama yang indah, bukan? Kedengaran sangat menakjubkan, seperti alunan musik! Dan memang menakjubkan: mereka hanya membayar dengan nuggets!”
6
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Itulah patokan yang dipakainya. Dan dia pun sama sekali tidak sungkan-sungkan membeberkannya di hadapan kami. Dia masih menambahkan, kedua gentlemen itu pun menginap di kamar atas, di deretan kamar yang menjadi tanggung jawabnya, dan mereka diberi ruangan paling besar dan paling mahal di hotel ini. Setelah itu dia pergi untuk menyelesaikan tugas lain. Messieurs Athabaska dan Algongka menikmati sarapan pagi dengan perlahan-lahan dan sangat terukur, seolah-olah mereka sudah terbiasa tinggal di hotel-hotel sekelas CliftonHouse. Sangat menarik memperhatikan mereka. Tentu saja sedapat mungkin kami melakukannya tanpa terlihat. Herzle terkagum-kagum akan kesahajaan dan wibawa yang terpancar dari diri mereka, wibawa yang juga terlihat dalam setiap gerakan kecil. Tak ada cincin di jari mereka, tak ada rantai sebagai penggantung arloji atau pun perhiasan lainnya yang menunjukkan taraf kemakmuran atau pun kekayaan pemiliknya. Hal ini sangat sepadan dengan kepribadian istri saya, wanita yang bahkan saya desak supaya mau membeli topi atau baju baru untuk dirinya sendiri! Konsentrasi saya lebih tertuju pada aspek lain, yakni bahwa mereka bercakap-cakap dengan seru, sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan Indian yang umumnya cuma membisu, dan bahwa mereka sangat rajin membuat catatan dalam buku yang mereka bawa. Masing-masing membawa satu buku yang menjadi miliknya sendiri. Tampaknya buku itu hanyalah buku catatan, tetapi pasti sangat penting karena mereka memperlakukannya dengan sangat hati-hati dan penuh perasaan, seakanakan itulah harta terindah dan termahal yang pernah dipunyai pemiliknya. Catatan-catatan tadi dibuat dengan lincah dan pasti, suatu petanda bahwa mereka telah terlatih menulis dengan sempurna. Bisa terlihat kalau mereka tidak hanya tahu dan terlatih memegang tomahawk dan pisau berburu, melainkan juga pena dan pensil. Dan mereka pun terpelajar. Di Clifton-Hotel biasanya orang langsung memberikan uang tip setelah makan. Ketika kami menyerahkannya kepada pelayan setelah sarapan pagi, dia mengajukan pertanyaan. Rupanya dia bisa membaca rasa penasaran kami pada kedua orang Indian tadi, “Barangkali Mr. dan Mrs. Burton mau memesan tempat di samping kedua gentlemen itu?” “Ya,” jawab Herzle-ku dengan cepat. “Untuk setiap kali jam makan?” “Untuk selama-lamanya!” “Well! Akan diusahakan!” Tatkala kami pergi makan siang, kedua kepala suku telah ada. Semua meja lainnya pun sudah ditempati, kecuali meja yang kami pesan. Pelayan kami sudah berdiri menunggu dan memberitahukan bahwa atasannya meminta kami untuk selalu duduk di meja itu. Jadi sekarang kami berada sangat dekat dengan kedua kulitmerah dan bisa mendengarkan semua isi pembicaraan mereka. Kali ini pun mereka membawa buku dan membuat sejumlah
7
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
catatan di waktu jeda. Namun sering kali mereka juga mencatat selagi mengunyah, tentunya dengan meletakkan pisau dan garpu buat sementara waktu. Coba bayangkan, alangkah terkejutnya saya ketika mendengar mereka bercakap-cakap. Mereka berbicara dalam bahasa Winnetou, sahabat saya. Mereka diserahi tugas untuk merajut dan mempererat ikatan kekerabatan di antara semua suku yang memakai bahasa Athabaska – suku Apache termasuk juga di dalamnya! Bagi kepala suku Athabaska tugas ini mencakup berbagai jenis kosa kata dalam bahasa daerahnya, tapi tidak demikian halnya dengan kepala suku Algongka. Tampaknya dia berasal dari suku Krih di Kanada. Selama diskusi yang amat hangat saya menangkap kesan yang sangat menarik, yakni bahwa dia memakai banyak sekali perbendaharaan kata bahasa Nahuatl, bahasa klasik suku Aztek, yang masih serumpun dengan bahasa daerahnya. Tetapi hasil paling penting yang saya peroleh dari usaha saya menguping pembicaraan mereka kali ini, adalah sebuah sentilan kecil yang terlontar begitu saja, namun memampukan saya menyimpulkan bahwa ternyata mereka pun bermaksud pergi ke Jebel1
Winnetou. Dan sekarang dengan sengaja mereka bercakap-
cakap dalam dialek Apache sebagai latihan supaya kelak tidak kaku dalam berbicara atau supaya tidak kelihatan dungu begitu sampai di tempat tujuan. Sungguh luar biasa kemampuan berbahasa yang dimiliki kedua orang ini! Ya, mereka adalah kepala suku, itu sudah jelas! Tetapi tentunya bukan hanya sekedar kepala suku, melainkan lebih dari itu! Tapi siapakah mereka? Saya tak perlu pusing memikirkan pertanyaan terakhir ini saat ini. Tujuan perjalanan mereka toh sama seperti saya. Dan saya yakin, saya pasti akan mengenal mereka lebih dekat di sana, karena sekarang hal itu tidak mungkin dilakukan di Niagara. Pada sore hari kami berangkat ke Buffalo untuk mengunjungi makam dan patung kepala suku terkenal Sa-go-ye-wat-ha, yang terletak di Forest Lawn Cemetary2, dan meletakkan karangan bunga di sana. Saya menaruh simpati yang sangat besar dan rasa hormat yang tinggi terhadap pribadi hebat ini, pribadi yang hingga hari ini masih dijuluki sebagai strong and peerless orator’3 oleh semua suku Indian-Seneca. Lahan keramat tempat peristirahatan terakhirnya memang indah, luar biasa indah. Dalam urusan menata taman pemakaman boleh saya katakan, orang Amerika memang sangat jenius. Mereka pun menghilangkan nuansa kematian dengan konsep seni, yakni dengan meniadakan gundukan tanah yang pada dasarnya tidak lebih daripada sebuah tempat pembusukan dalam tanda petik. Sebaliknya mereka mengubah kematian menjadi hidup dengan memilih lahan pemakaman di dataran yang kadang mendaki, kadang menurun, jadi bervariasi. Dataran tersebut ditata seperti taman yang indah, disinari cahaya mentari dan senantiasa hijau segar. Patung-patung yang berdiri berpencar di sana tidak menyita banyak tempat, malahan 1 2 3
Jebel (Arab), gunung. Pemakaman Taman Hutan Orator nan handal dan tak tertandingi.
8
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
sepertinya menyuarakan pesan kebangkitan ke kejauhan. Di daerah pemakaman ini diberlakukan prinsip sama rata bagi semua orang yang telah meninggal. Di sana orang miskin menjadi tamu di tempat orang kaya, orang bodoh berbaring di kuburan orang bijak, dan orang pinggiran mendapat tempat peristirahatan di bawah batang-batang marmer milik pengusaha terpandang. Ada seorang miskin yang tertabrak, tak dikenal dan tak punya nama. Dia mati. Seorang jutawan datang ke tempat kecelakaan. Dia berhenti. Dia bertanya, apakah ada yang mengenal korban. Jawaban yang diperolehnya “tidak”. “Kalau begitu dia menjadi milik saya”, ujar sang jutawan. Lalu dia membawa pulang mayat korban ke rumahnya dan memberinya sebuah tempat di kuburan keluarganya. Hal seperti ini akan dilakukan seorang yankee. Siapa lagi yang melakukannya? Waktu itu udara sangat cerah, hangat dan tak berawan. Setelah menaruh bunga di batu nisan milik sang kepala suku, kami duduk di kaki undakan kubur yang menjadi pijakan patung sang kepala suku, berdiri menjulang hingga menyentuh pucuk-pucuk pohon yang ditanam mengelilingi makam. Kami berbincang-bincang tentang dia, tapi dengan suara yang agak lemah, seperti berbicara di makam orang yang dikunjungi dan biasa dimintai nasihat. Ini karena ada keyakinan bahwa dia akan bangkit dan hidup di alam seberang. Makanya suara kami tak didengar oleh mereka yang sekarang sedang berjalan menuju ke makam terdekat. Demikian pula kami pun tidak mendengar apa-apa karena lahan tersebut ditutupi rerumputan halus dan bunyi langkah mereka seperti diserap ke dalam tanah. Kami pun tidak melihat mereka sebelum mereka muncul dari sudut undakan yang menghalangi mereka dari pandangan kami. Mereka menatap kami dan kami pun balas menatap mereka. Siapakah mereka? Kedua kepala suku Indian yang menginap di Clifton-House! Keduanya pun bermaksud berziarah ke makam ahli pidato terkenal suku Seneca itu dan kini tersentak karena bahwa pikiran yang sama pun mengantar kami ke sini. Hanya saja mereka berbuat seolah-olah tidak melihat kami. Perlahan-lahan mereka terus melangkah maju ke batu nisan, yang dipancangkan di bagian depan kuburan untuk mengenang dia dan semua anggota keluarganya. Pada batu nisan itulah terletak bunga kami. Ketika melihatnya, mereka berhenti sejenak. “Uff!” ujar Athabaska. “Di sini ada seseorang yang berbicara dalam bahasa cinta! Siapakah dia?” “Yang jelas bukan seorang kulitputih,” jawab Algongka. Dia membungkuk dan memungut beberapa pucuk bunga lalu mengamatinya. Athabaska pun berbuat yang sama. Keduanya saling bertukar pandang dengan cepat dan terperanjat. “Masih segar, baru dipetik belum sampai sejam yang lalu!” kata Athabaska.
9
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Dan belum sampai seperempat jam diletakkan di sini,” timpal Algongka setuju sambil memeriksa jejak kami kami yang masih terekam jelas di atas rerumputan. “Jadi ada kulitputih yang sebelumnya ada di sini!” “Ya, mereka di sini. Apa kita harus berbicara dengan mereka?” “Kalau saudaraku kulitmerah menghendaki begitu. Saya hanya menurut.” Dugaan kedua kepala suku memang benar. Kami tidak membawa kembang itu dari Niagara melainkan memetiknya di sini, dan bunga itu masih segar. Herzle masih menyimpan dua kuntum yang tersisa, satunya untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk saya. Hingga saat ini percakapan singkat di antara kedua Indian itu dibuat dalam bahasa Apache. Dengan sangat lembut dan penuh hati-hati dia meletakkan kembali kedua kuntum bunga ke tempat asalnya. Saat itu kepala suku Athabaska berpaling kepada kami dan berkata dalam bahasa Inggris, “Kami kira, kalianlah yang menghadiahkan kembang ini. Benar?” “Ya,” jawab saya lalu dengan sopan bangkit dari tempat duduk. “Ditujukan bagi siapa?” “Bagi Sa-go-ye-wat-ha.” “Mengapa?” “Karena kami mencintainya.” “Barangsiapa mencintai seseorang, dia pasti mengenalnya!” “Kami mengenalnya. Dan kami memahami keinginannya.” “Memahami?” tanya Algongka seraya menyipitkan sedikit bola matanya untuk menunjukkan kalau dia sangsi. “Apa kalian mendengar suaranya? Dia telah lama mati! Hampir delapan puluh tahun telah berlalu, terhitung sejak dia meninggal.” “Dia tidak mati. Dia tidak binasa. Kami acapkali mendengar suaranya. Siapa yang terbuka telinganya, sekarang pun dia bisa mendengar dengan jelas seperti dulu, ketika dia berpidato dan mengajak sukunya untuk membentuk ‘Perkumpulan Serigala’. Sayang mereka tidak mendengarkan dia.” “Apa yang seharusnya mereka dengarkan?” “Bukan gema hampa kata-katanya, melainkan pesan mendalam yang dititipkan Manitou Agung.” “Uff!” seru Athabaska. “Pesan apa?” “Bahwa tak seorang pun, tak ada suku ataupun ras yang tetap tinggal seperti bocah dan anak kecil. Bahwa setiap padang sabana, setiap gunung dan setiap lembah, setiap negeri dan setiap jengkal tanah di muka bumi diciptakan Tuhan untuk menyokong kehidupan manusia beradab, tetapi bukan untuk mereka yang masih tetap berkelahi dan bergulat, walaupun usia mereka telah melewati batas kedewasaan. Bahwa yang memutar poros dunia, yakni Yang Mahakuasa dan Mahakasih, memberikan baik waktu maupun
10
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
kesempatan kepada setiap orang dan setiap negeri untuk beralih dari periode kekanakkanakan. Dan bahwa pada akhirnya semua orang yang cuma diam di tempat dan tidak mau bergerak maju, akan kehilangan hak hidup. Manitou Agung memang bermurah hati, namun Dia pun adil. Dia menghendaki supaya kaum Indian pun bermurah hati, khususnya kepada saudara-saudaranya kulitmerah. Tapi ketika kulitmerah tidak mau berhenti mencincang saudaranya sendiri, Dia mengirim kulitputih kepada mereka ....” “Supaya kami lebih cepat binasa!” seru Algongka memotong pembicaraan. Keduanya menatap saya dengan tegang dan menanti, bagaimana tanggapan saya atas cetusan tadi. “Bukan, melainkan supaya kalian diselamatkan,” jawab saya. “Sa-go-ye-wat-ha telah mengerti dan dia berharap semoga suku bangsanya pun akhirnya mengerti. Tetapi dia tidak didengarkan. Supaya bisa selamat sebenarnya saat sekarang pun masih ada kesempatan, jika orang Indian yang kekanak-kanakan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjadi seorang lelaki dewasa.” “Jadi harus menjadi prajurit?” tanya Algongka. “O, bukan! Karena justru perang dan latihan tanding ala Indian adalah bukti nyata bahwa mereka tetap saja kekanak-kanakan dan akan digusur oleh manusia yang lebih berakal. Menjadi seorang pria tidak selamanya berarti harus menjadi prajurit, melainkan menjadi orang. Hal itu sudah diulangi ribuan kali oleh kepala suku Seneca dan kini kita berdiri di kuburnya. Hendaknya kalian menangkap ini bukan sebagai suara saya, melainkan suara dia, dia yang sekarang mengingatkan kalian untuk kesekian kalinya. Apabila kalian menurutinya, maka dia pun tidak akan mati di hati kalian melainkan hidup dan akan tetap hidup dalam diri kalian!” Saya memberi salam dengan mengangkat topi dan bermaksud melangkah pergi. Alangkah terkejutnya saya karena Herzle pun berani bersuara. Dia berkata, “Dan terimalah kedua kuntum ini! Ini pun bukan berasal dari saya, melainkan dari dia! Kembang-kembang pengertian, kemurahan hati dan cinta kasih yang dulu pernah dia titipkan kepada sukunya kini sudah layu kulit luarnya, namun aromanya masih tetap semerbak. Amatilah sinar surya yang datang perlahan-lahan dan lembut supaya nama-nama yang terpahat di batu nisan ini bisa diterangi dan dihangatkan! Dan apakah kalian mendengarkan bisikan dedaunan yang tertimpa bayangannya? Kuburan ini pun tidak mati. Kami pergi.” Dia memberikan sekuntum bunga kepada setiap mereka. “Jangan pergi, tinggallah di sini!” ujar Athabaska meminta. “Ya, tinggallah sebentar!” kata Algongka mendukung. “Kalau kalian mencintainya, kalian harus tinggal di sini!”
11
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Tapi bukan sekarang,” ujar saya. “Saya hanyalah temannya. Sedangkan kalian adalah saudara-saudaranya. Tempat ini milik kalian. Kita masih punya waktu.” Kami berangkat tanpa menoleh sedikit pun. Ketika kami sudah lumayan jauh dan tidak lagi terlihat, Herzle bertanya kepada saya, “Hei, apakah kita tidak melakukan kesalahan?” “Tidak,” jawab saya. “Tapi barangkali ya!” “Kesalahan apa?” “Kamu
langsung
berbicara
panjang
lebar
di
hadapan
mereka.
Dan
saya
menghadiahkan kembang kepada mereka, padahal mereka sama sekali asing di mata kita. Apakah sikap seperti itu termasuk ladylike, terhormat bagi seorang wanita?” “Barangkali tidak. Namun tak usah repot-repot! Ada saat-saat tertentu, di mana kesalahan menjadi hal terbaik yang harus dilakukan seseorang. Dan saya sangat yakin, yang kita alami sekarang adalah saat-saat seperti itu. Tentu saja di hadapan orang lain saya tak akan ‘berpidato’ panjang lebar. Namun saya kira, saya telah mengenal orang Indian. Dan selain itu saya pun sadar akan situasinya, sehingga saya bukan hanya boleh melainkan juga wajib berbicara lebih banyak daripada biasanya. Lagipula sudah terlihat bukti bahwa apa yang kita lakukan memang tepat. Kita diminta untuk tinggal! Coba pikirkan baik-baik! Tinggal di makam! Bersama mereka, kepala-kepala suku! Ini adalah sebuah penghargaan, penghargaan yang amat mulia! Jadi dalam pandangan mereka, kita telah bertingkah laku dengan sangat baik. Membuat kesalahan? Tentu saja tidak!” Bahwa perkiraan saya tadi benar, itu langsung terbukti dalam perjalanan pulang. Kami baru kembali pada malam hari karena kami tidak naik kereta tetapi
berlayar
menumpang kapal ke Niagara. Setelah pelayan mendengar bahwa kami telah tiba lagi di sana, dia segera mendatangi dan menyalami kami dengan membungkuk begitu dalam, tidak seperti biasanya. “Maaf kalau saya langsung mengganggu!” ujarnya. “Ada sesuatu yang hebat, sesuatu yang luar biasa yang ingin saya sampaikan!” “Ada apa?” tanya saya. “Malam ini Messieurs Athabaska dan Algongka tidak makan di bawah, melainkan di atas, di tempat mereka!” Setelah itu dia menatap kami, seolah-olah telah dan masih akan menyampaikan sesuatu yang akan menggemparkan dunia. “Oh ya?” sahut saya seadanya. “Barangkali ada hubungannya dengan kami?” “Saya kira, ya! Saya merasa tersanjung karena diberi kepercayaan untuk boleh mengundang Mr. dan Mrs. Burton ke santap malam itu!”
12
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Hal ini tentu saja di luar dugaan kami. Tapi saya bertindak sangat wajar, seakanakan tak terlintas dalam pikiran kami untuk bersuka cita mendengarnya. Lalu dengan suara acuh tak acuh saya bertanya, “Kapan?” “Pukul sembilan. Kedua gentlemen akan datang sendiri menjemput Anda. Tapi saya harus memberikan laporan secepatnya, apakah undangan itu diterima atau tidak.” ”Tentang hal itu Mrs. Burton-lah yang akan memutuskannya, bukan saya.” Ketika dia melayangkan pandangan bertanya-tanya ke arah istri saya, istri saya menjawab, “Undangan ini akan kami turuti dan kami akan tiba tepat pada waktunya.” “Terima kasih! Akan segera saya sampaikan. Menyangkut tata cara berpakaian, para gentlemen minta agar mereka diterima sebagai sobat walaupun tidak mengenakan jas.” Keterangan terakhir ini membuat kami lega. Itu bukannya demi kami, justru kami berharap agar kedua kepala suku tidak merasa risih lantaran kami berpakaian terlalu necis. Tepat pukul sembilan mereka datang untuk menjemput kami. Ini adalah suatu langkah terobosan dari pihak mereka, terobosan yang lebih keras berbicara ketimbang kata-kata. Ketika datang ke tempat kami, mereka melewati koridor di bagian dalam rumah. Sedangkan ketika kembali, kami diminta untuk melalui balkon yang terbuka. Di sana terlihat pintu kamar mereka terbuka, sama seperti pintu kamar kami. Ketika kami menuju ke balkon dengan melewati pintu kaca dan kerai yang sudah disinggung di atas, bulan masih bergantung di angkasa dan sinarnya lebih terang daripada kemarin malam. Di hadapan kami terlihat kedua jeram air terjun, seperti mujizat dalam negeri dongeng. Gemuruhnya bergema hingga ke tempat kami ibarat hukum abadi, hukum yang bakal menjerat orang-orang yang tidak mau mengindahkannya. Kedua kepala suku ragu-ragu sejenak sebelum melangkah maju. Mereka berhenti. Lalu Athabaska berkata, “Bukan hanya kulitputih, kulitmerah pun kini tahu bahwa segala yang ditawarkan alam tidak lebih dari sebuah perumpamaan. Salah satu dari perumpamaan besar dan bermakna dalam yang dikotbahkan Manitou Agung kepada kita terletak di depan mata. Mari kita amati!” Dia melangkah maju bersama Algongka hingga ke tepi balkon. Saya mengikuti mereka bersama Herzle. Tangannya menggenggam tangan saya dan dengan remasan halus dia memberikan sebuah tanda yang sangat saya pahami artinya. Kami senantiasa memiliki pikiran yang satu dan sama. Dan pada saat ini pun dia tahu alasan, mengapa kepala suku berkata demikian. Dia bermaksud menguji kami, walaupun cuma dengan satu pertanyaan. Hasilnya akan menentukan, bagaimana dia nantinya akan memperlakukan kami, apakah dengan cara yang biasa seperti kepada orang-orang kebanyakan atau dengan cara khusus. Apa yang dulu saya ucapkan di makam Seneca, sang ahli pidato ulung, mungkin pernah
13
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
saya baca di suatu tempat atau saya rekam dan catat supaya kelak kalau diulangi pada waktu yang cocok akan menimbulkan gema yang lebih kuat di telinga kepala suku. Itulah alasannya istri saya melalui meremas tangan saya tadi. Dan sebagai jawaban saya pun balas meremas tangannya untuk mengatakan bahwa saya mengerti maksudnya dan sudah siap menghadapi ujian. Selama beberapa menit kami berdiri diam di pinggiran balkon. Tiba-tiba Algongka menaikkan tangannya, menunjuk ke seberang, ke air terjun, kemudian berkata, “Itu adalah sebuah gambaran manusia kulitmerah. Apakah kulitputih ini sanggup memahaminya?” “Mengapa tidak?” tanya saya. “Karena ini tidak berkaitan dengan nasibnya, melainkan nasib orang lain.” “Anda kira, kami manusia kulitputih hanya mengerti diri sendiri dan tidak mengerti hal-hal lain?” “Baik, kalau begitu apakah Anda bisa menguraikan teka-teki ini?” “Menguraikan teka-teki? Tadi Anda tidak menyebut tentang teka-teki, melainkan tentang sebuah perumpamaan. Namun perumpamaan tidak bisa diuraikan, melainkan harus dijelaskan.” “Baik, kalau begitu tolong jelaskan artinya!” “Dengan senang hati! Kita melihat guyuran air yang jatuh menggelegar dan berdebum. Namun danau, Danau Besar, yang mengalirkan airnya kemari, danau itu tidak kita lihat. Begitu pun danau yang menampung aliran air sungai ini, danau itu pun tak terlihat. Keduanya tidak tampak oleh mata kita.” “Benar! Itulah perumpamaannya,” ujar Athabaska sambil mengangguk serius. “Tapi apa artinya?” “Zaman ini hanya menggariskan kehancuran bagi kulitmerah, kehancuran yang dahsyat, memilukan,
dan menyedihkan. Suara jeram yang menggelegar adalah jeritan
kematian orang-orang yang telah dan akan binasa. Di mana ada suku yang besar dan perkasa, suku yang damai, tapi yang anak-anaknya telah diremukkan dan akan diremukkan? Di negeri mana dijumpai suku ini? Dan kapan? Kita tak tahu dan kita tak bisa melihatnya! Kita hanya bisa melihat bahwa setiap bongkahan air yang jatuh ke dasar akan pecah menjadi ratusan, bahkan beratus-ratus ribu butir air, sebagai lambang sukubangsa, marga, kawanan, kelompok dan kerabat, di mana setiap bagian acapkali memiliki tidak kurang dari seratus anggota. Begitulah, mereka dipermainkan dan diseret arus, tanpa henti, sampai akhirnya tenggelam! Dan makin sedikit, makin samar-samar terdengar suara, bahasa, idiom dan dialek mereka lantaran digilas, digiling, dipipihkan, dilumatkan, dihancurkan menjadi bubuk dan dikoyakkan oleh arus yang bergelora di dasar. Karena itu para ahli bahasa yang nekat terjun ke tengah pusaran air ini, harus menghadapi bahaya
14
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
tersedot ke dasar sungai, seperti nasib orang-orang yang ingin mereka teliti! Di mana ada suku bangsa yang lebih perkasa, lebih tangguh dan lebih menakjubkan daripada suku yang satu ini, suku bangsa yang harus berenang melawan arus Niagara yang mengusung perpecahan, keruntuhan dan kebinasaan bahasa dan etnografi mereka, supaya mereka semuanya bisa kembali bersatu, hidup dalam aman sentosa dan memulai tahap baru yang lebih menjanjikan? Di negeri mana akan dijumpai suku ini? Kita tak tahu dan kita pun tak bisa melihatnya. Dari curahan air sungai yang jatuh di sini yang menyodorkan perumpamaan buat kita, kita hanya bisa mengatakan bahwa sungai ini mengalir dari Danau Erie dan bermuara ke Danau Ontario. Yang sama pun kita ketahui tentang ras kulitmerah yang tercerai-berai, kita hanya bisa mengatakan bahwa mereka berasal dari zaman dan negeri milik manusia liar dan kini harus terbang ke zaman dan negeri manusia milik luhur agar bisa membaur di pesisir negeri yang baru. Itulah perumpamaannya, gentlemen, dan itulah artinya!” Keduanya terdiam. Kami masih berdiri selama beberapa saat sampai ada pelayan yang muncul dari balik pintu kamar mereka yang dibiarkan terbuka. Pada waktu itu Athabaska meraih tangan Herzle lalu melangkah menuju ke pintu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saya mengikutinya bersama-sama Algongka yang juga hanya diam membisu. Seperti kami, kedua kepala suku memesan beberapa kamar. Kamar-kamar yang paling besar dilengkapi dengan pelayan. Saya harus mengacungkan pujian buat mereka sebab tak terlihat sedikit pun tanda-tanda bahwa keduanya berlagak menyombongkan diri atau menarik perhatian kami. Menu yang mereka cicipi pun tak ada bedanya, tetap sama seperti yang disajikan kepada kami di ruang makan. Di atas meja yang diatur rapi ada anggur dan di depannya ada botol air. Herzle menjelaskan secara jujur bahwa di rumah kami lebih suka meneguk air setelah makan ketimbang anggur. Maka pelayan diberi tanda agar segera menyingkirkan botol-botol anggur. Tetapi di hadapan masing-masing kepala suku dipajang dua pot kecil berisi air dan dihiasi kembang yang sebelumnya dihadiahkan istri saya. Bagi saya maupun istri saya, mawar indah tadi terlalu sederhana untuk ditaruh di depan kepala suku. Segala sesuatu ada manfaatnya! Kami hanya berbicara pada waktu jeda, sedangkan selagi makan tidak. Mereka tidak bercerita sedikit pun tentang dirinya sendiri atau bertanya tentang kami dan status kami. Hanya ada satu bahan yang menjadi inti pembicaraan kami, yakni masa silam dan masa depan suku Indian, jadi tentang takdir suku kulitmerah. Dan tanpa bermakud mengada-ada mesti saya akui, saya telah banyak, sangat banyak belajar dari kedua orang ini, walaupun tak banyak kata yang terucap atau waktu yang belum terlalu lama sejak kami bersamasama mereka, karena dari mulut mereka tak pernah mengalir kata yang tidak mengandung makna khusus. Kadang-kadang sepatah kata sudah sanggup merangkum pengalaman hidup
15
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
secara menyeluruh dan lengkap. Kedua kepala suku itu ibarat raksasa yang merontokkan ide-ide raksasa dan kokoh dari Rocky Mountains dan mengalirkannya ke dataran sehingga manusia-manusia kecil di bawahnya bisa menempanya menjadi perkakas-perkakas halus. Malam itu terasa sangat indah, walaupun amat menegangkan, dan memperkaya daya pikir, perasaan, pengetahuan dan tekad kami. Dan sudah tentu, selama masih hidup, malam itu akan tetap membekas dalam ingatan kami. Menjelang tengah malam, kami berpisah. Hingga tengah malam, kami tidak menghabiskan seluruh waktu di dalam kamar melainkan menyuruh pelayan mengambil meja serta kursi dan menempatkannya di atas balkon. Di sana kami duduk setelah makan untuk membiarkan jeram Niagara meresap ke relung hati kami. Baru menjelang detik-detik terakhir, tatkala kami ingin pamit, kami mendapat kabar bahwa besok Athabaska dan Algongka akan meneruskan perjalanan. Jadi inilah malam terakhir yang mereka hadiahkan untuk makan malam bersama kami. Dan penyebabnya? Bunga dari Herzle! Tak seorang pun dari keduanya yang tahu bahwa kami orang Jerman, apalagi bahwa tujuan perjalanan kami sama seperti mereka. Mereka tidak bertanya tentang alamat kami. Mereka hanya diam dan tidak mengungkapkan keinginan, apakah sekali waktu mereka bertemu lagi dengan kami atau tidak. Namun tatkala saya menyodorkan tangan kepada mereka, tangan saya digenggam lama-lama, lebih lama daripada yang digariskan adat sopan-santun. Lalu Athabaska maju begitu rapat menghampiri istri saya, sangat rapat tapi tidak sampai menyentuh tubuhnya, meletakkan kedua tangan di atas ubun-ubunnya, menarik kepalanya agar lebih dekat kemudian mendaratkan bibirnya di atas rambutnya. “Athabaska memberkati Anda!” katanya. Algongka pun berbuat yang sama sambil mengucapkan kata-kata yang sama, katakata yang keluar dari belahan jiwa. Dan hal itu bisa langsung terlihat. Orang bisa memahaminya dengan cepat, secepat langkah keduanya yang kembali menghilang ke dalam kamar. Kamar mereka kira-kira ada di tengah-tengah deretan kamar. Sedangkan kamar kami, yang pintunya dibiarkan terbuka, terletak paling ujung. Jadi untuk sampai di kamar paling akhir, kami harus melewati kamar Enters bersaudara yang berdampingan dengan kamar kami. Ketika mendekat ke sana, kami melihat lampu di kamar tersebut menyala. Memang pintu kamar mereka tertutup seperti kamar kami, namun kerai lipatnya tetap terbuka. Dari dalam bukan hanya cahaya yang menembus keluar, tapi juga suara keras dari dua orang yang saat ini sedang terbakar emosinya. Kedua bersaudara itu sudah pulang hari ini. Mereka melangkah kian kemari di dalam kamar sambil mencak-mencak. Tentu kami tidak segera berlalu melainkan berhenti di pintu mereka dan mendengar apa yang baru saja dikatakan Harriman,
16
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“... saya ulangi lagi: jangan berteriak seperti itu! Kita toh tidak tinggal sendirian di hotel ini!” “Kualat, dasar Clifton-House! Semua menganggap kita setengah waras! Lagipula kita membayar sewa kamar ini, jadi di sini saya bisa berteriak sepuas-puasnya! Si Tua tidak bisa lagi mendengar, dia telah pergi. Namanya telah dicoret. Tapi nama May masih belum tercatat di sana. Tidak cocok dengan rencana saya! Berapa lama kita harus menunggu! Justru pada saat ini, ketika kita baru saja mendengar bahwa urusan di Devil’s Pulpit (Mimbar Setan) sudah sangat mendesak! Seandainya kita terlambat, meskipun hanya setengah hari, kita akan kehilangan uang yang jumlahnya tidak bisa diperkirakan untuk saat ini!” Yang berbicara adalah Sebulon. Harriman menyahut, “Tentu saja itu pun saya khawatirkan. Namun bisakah kita pergi tanpa menunggu kedatangan pasangan Jerman itu, pasangan yang sangat berharga bagi kita?” “Kenapa tidak? Paling tidak salah seorang dari kita boleh pergi untuk menahan Kiktahan Schonka (dialek Apache: Anjing Jaga) sampai yang lainnya menyusul! Namun bukan itu yang membuat saya cemas. Yang membuat saya jengkel adalah kejujuranmu yang di mata saya sungguh-sungguh suatu kegilaan dalam urusan ini, sampai-sampai saya tidak bisa lagi memahaminya! Ya, kita ingin dan kita mesti tahu letak Nugget-tsil dan Danau Gelap atau yang menurut hemat saya disebut ‘Danau Keruh’. Dan si Jerman itulah satusatunya orang yang sanggup menunjukkan kita tempat-tempat itu. Namun itu toh bukanlah alasan untuk memperlakukan dia, seperti yang kamu inginkan, dengan cintakasih yang tidak pada tempatnya!” “Siapa yang mengatakan demikian? Bukan saya! Saya hanya menuntut kejujuran, bukan cintakasih yang tidak pada tempatnya!” “Pshaw! Jujur di hadapan sang pembunuh ayah kita!” “Dia bukanlah pembunuh ayah! Ayah sendirilah yang bersalah sehingga akhirnya mati dengan cara seperti itu! Dan dia akan memanggil kita, kita semua, kita semuanya! Hanya kita berdua yang masih hidup. Seandainya kita tidak jujur, maka nasib kita juga akan segera berakhir, malahan dua kali lebih cepat! Saya berharap dan masih berharap supaya diselamatkan! Namun hal tersebut hanya mungkin, jika semua yang telah terjadi bisa dimaafkan. Dan dalam kasus ini hanya orang Jerman itulah satu-satunya yang bisa memberikan maaf. Semua yang lainnya sudah mati! Apakah kamu tidak sadar?” Sebulon tidak langsung menjawab. Selama beberapa saat suasananya hening. Kami mendengar suara orang berdehem, tapi sebenarnya lebih mirip suara isakan. Dari siapa? Harriman? Sebulon? Kemudian dengan nada yang kedengaran menuduh, bukan sekedar marah, orang yang terakhir tadi berkata,
17
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Mengerikan, sungguh-sungguh mengerikan, batin selalu dihantui oleh teriakan dan godaan, dorongan dan pergolakan, tekanan dan paksaan, selalu berulang-ulang, terusmenerus! Rasanya lebih baik saya mati saja!” “Saya juga, saya juga!” Lagi-lagi suasananya hening. Sesudahnya Sebulon berkata, “Saya masih berharap, masih berharap! Tak putus-putusnya! Siang dan malam! Andaikan kita bisa mengangkat kembali harta yang tenggelam bersama ayah di dasar danau! Dan bayangkan berapa banyak Kiktahan Schonka akan membayar kita, apabila lelaki Jerman itu digiring ke mata pisaunya! Sangat banyak, banyak pundi-pundi penuh berisi nuggets, barangkali sebuah bonanza4, seluruh placer5!” “Astaga!” teriak Harriman terkejut. “Singkirkan jauh-jauh pikiran itu!” “Apa? Pikiran itu bisa menyingkirkan saya, tapi tidak sebaliknya! Dia datang, dia datang! Dan kalau dia datang, artinya dia ada, lebih kuat dan lebih hebat daripada saya yang hanya memiliki sedikit tenaga! Dan kini ... kini sekonyong-konyong saya dihinggapi rasa rakut, rasa takut! Ada apa gerangan? Barangkali ada orang di luar sana, di depan pintu, yang menguping kita ...!” Pada waktu itu saya meraih tangan istri saya dan cepat-cepat menariknya masuk ke kamar saya yang terletak di sebelah. Kami tak mau membuang-buang waktu dengan menutup pintu lalu menerobos melintasi kamar itu sampai ke kabin, di mana kami lalu berhenti dan menguping. Baik sekali bahwa kami membiarkan pintu terbuka! Kedua bersaudara itu keluar. Mereka berdiri di depan pintu kami. “Tak ada orang di dalam,” ujar Harriman. “Dugaanmu keliru.” “Barangkali,” jawab Sebulon. “Hanya prasangka saya. Saya tak mendengar apa-apa, tak sedikit pun. Namun pintu ini! Apakah tadi masih tertutup ketika kita datang?” “Ya. Si Tua sudah keluar. Pintu dibiarkan terbuka supaya ada pertukaran udara.” “Saya akan masuk ke dalam!” “Gila! Jika ada orang yang menguping dari dalam, maka tentu dia akan menutup pintu. Sudah jelas!” “Mungkin saja sebaliknya.” Namun dia benar-benar masuk, maju beberapa langkah dan tersandung pada sebuah kursi. “Jangan membuat keributan!” kata Harriman mengingatkan. Setelah itu dia berbalik dan segera keluar. Sedangkan saudaranya menyibakkan kedua kerai lipat sehingga tertutup, lalu kembali menghilang ke dalam kamarnya. Kami pergi
4 5
Sumber kekayaan yang sangat besar. Deposit mineral dalam jumlah besar, ladang emas.
18
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
ke kamar istri saya, karena letaknya pada sisi yang lain, dan menyalakan lampu di sana tanpa terlihat oleh Enters. Herzle gemetar. “Kamu digiring ke mata pisau!” ujarnya. “Bayangkan! Siapa itu Kiktahan Schonka yang tadi mereka singgung?” “Mungkin saja seorang kepala suku Sioux. Saya tidak mengenalnya, namanya pun belum pernah saya dengar. Kamu khawatir, anak manis? Tak ada alasan, sama sekali tak ada alasan untuk cemas!” “Oh ya? Kamu akan digiring ke mata pisau! Artinya kamu akan disembelih! Dan kamu bilang, tak ada alasan untuk khawatir?” “Saya tahu, tapi itu tak akan terjadi. Lagipula hal itu pun belum pasti, masih sebatas ide yang masih menjadi bahan pertentangan pria jahat tadi. Dan yang ketiga: kalaupun itu benar, orang tak berani mengapa-apakan saya sebelum mereka menemukan danau, di mana Santer dulu tenggelam. Sebelum hal itu berhasil, hidup saya aman-aman saja. Semuanya tidak terlalu berbahaya seperti kamu dengar.” “Juga dengan mimbar setan? Sebuah kata yang mengerikan!” “Saya tidak menganggapnya mengerikan, melainkan sangat romantis. ‘Mimbar Setan’ banyak dijumpai di negeri ini, sebanyak nama-nama tempat seperti Breitenbach, Ebersbach atau Langerberg di tanah Jerman. Di mana letak Devil’s Pulpit, sebagaimana yang dimaksudkan di sini, akan saya cari tahu besok pagi di Prospect-House.” “Rumah apaan itu?” “Sebuah hotel, tempat saya menginap malam ini.” “Menginap? Kamu?” tanyanya terperanjat. “Ya. Menginap! Saya!” saya mengangguk. “Di hotel yang lain?” “Di hotel yang lain!” “Aneh!” “Untuk saya tidak! Dalam sebuah bahtera perkawinan yang sejahtera dan bahagia, yang menentukan adalah apakah sang suami aneh atau tidak. Saya rasa, saya tidak perlu membeberkan terlebih dahulu semua alasan dan menjelaskannya dengan susah payah untukmu. Sekarang saya pergi ke Prospect-House, makan sedikit di sana, menyuruh memesan sebuah kamar lalu meminta dua atau tiga orang menemui Mr. Harriman F. Enters untuk menyampaikan pesan bahwa saya telah tiba di air terjun Niagara dan saya telah membaca di buku tamu di Clifton-Hotel bahwa dia menginap di sana. Dengan itu saya mempunyai alasan yang masuk akal untuk pergi ke Prospect-House, di mana saya bisa menerima dia dan saudaranya dari jam delapan hingga jam sepuluh. Tapi tidak boleh
19
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
terlambat, karena saya masih harus mengurus istri saya yang belum tiba. Apakah kamu setuju?” “Hmmm, sudah tentu!” dia tersenyum. “Kamu tak perlu menjelaskan alasannya satu persatu. Izin saya bagimu untuk berangkat sudah dikeluarkan. Tetapi apakah hal itu mungkin? Larut malam begini?” “Semuanya mungkin!” “Juga tanpa membawa kopor? Haruskah saya siapkan paling kurang sebuah tas kecil buatmu? Kamu pasti akan kelihatan sangat tak keruan, kalau tiba di hotel tanpa membawa apa-apa dan hanya dengan tangan kosong!” “Kopor hanya menarik perhatian orang, tak ada gunanya! Saya hanya mempunyai satu permintaan yang sebenarnya berlebihan: jangan menampakkan diri!” “Tentu saja sangat berlebihan!” katanya setuju. “Bolehkah saya menemanimu sejenak? Barangkali hanya sampai di pintu di bawah?” “Terima kasih! Kamu harus tetap tidak boleh dikenali! Kita berpisah di sini!” Di bawah, di ruang tamu semuanya masih terjaga. Namun tak seorang pun yang memperhatikan saya. Saya keluar lalu berjalan menyeberangi jembatan menuju ke sisi seberang dari daerah ini. Seperempat jam kemudian saya sudah menempati sebuah kamar di Prospect-House lalu mengirim sepucuk kartu kepada Mr. Harriman F. Enters, menikmati makan malam dan merebahkan diri di tempat tidur – puas dengan kerja hari ini. Tentu saja di sini pun saya mendaftarkan diri dengan nama Mr. Burton. Keesokan paginya jam setengah delapan saya masuk ke kedai untuk minum kopi. Enters bersaudara sudah duduk di sana. Harriman cepat-cepat memperkenalkan Sebulon kepada saya dan menyampaikan, pada awalnya mereka merasa senang ketika mendengar bahwa saya telah datang. Tapi setelahnya mereka kecewa lantaran tak ada manusia di hotel ini yang mengenal orang-orang seperti Mr. dan Mrs. May. “Saya bepergian secara diam-diam, dengan memakai nama Burton.” “Well!” Harriman mengangguk. “Gara-gara pembaca yang selalu mengusik Anda, Sir, kalau mereka tahu bahwa Anda ada di sini.” “Memang.” “Dan Mrs. Burton? Dia tidak kelihatan.” “Dia belum ada di sini. Kalian akan melihatnya nanti. Barangkali besok atau lusa. Tentu pertama-tama saya ke Clifton-House. Namun nama kalian sudah tertera di dalam buku tamu di sana. Karena itu saya lantas berpaling kemari. Saya harap, moga-moga kalian tidak salah mengerti.” “Tentu, tentu saja tidak! Dan menyangkut Mrs. Burton, sebenarnya kami ingin sekali mengucapkan selamat datang kepadanya hari ini, tapi hari ini kami sudah harus berangkat.”
20
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Oh ya? Kalau begitu benarlah yang dahulu pernah saya ramalkan: pembicaraan hari ini pun tidak akan membuahkan hasil.” “Belum tentu demikian. Sebaliknya kami sangat berharap semoga bisa membuat kesepakatan dengan Anda, Mr. Burton.” “Apa alasan yang mendorong kalian untuk tetap berharap?” “Kecerdasan Anda, kebijaksanaan Anda. Tapi baiklah kita bicarakan soal itu kelak! Saya lihat, tempat ini tidak cocok.” Dia memang benar. Kedai minum ini ramai dikunjungi orang-orang yang ingin minum kopi, teh dan cokelat. Jadi kami harus pandai-pandai menahan diri supaya tidak membicarakan hal-hal yang bersifat rahasia. Saya bergegas menghabiskan sarapan pagi. Dan setelahnya kami berjalan-jalan sebentar di pesisir sungai lalu duduk di atas sebuah undakan di tepi sungai. Di sana kami bisa membicarakan semuanya tanpa terdengar oleh seorang pun. Harriman masih tetap sama seperti yang telah saya uraikan dalam bab satu. Mata Sebulon muram, tapi tampaknya karakternya keras dan tidak dapat dipercaya. Tentang diri saya, saya membulatkan tekad untuk tidak mau – mengutip ungkapan yang lazim dipakai orang – ‘berkaret-karet’ dengan keduanya, melainkan mengungkapkan semuanya sesingkat mungkin. Setelah kami mengambil tempat duduk, Harriman langsung berbicara, “Sudah saya katakan, kami percaya akan kebijaksanaan dan kecerdasan Anda, Sir. Bisakah kita mulai dengan urusan bisnis ini?” “Ya,” jawab saya. “Namun terlebih dahulu saya harus bertanya, kalian ingin berbicara dengan saya sebagai seorang westman atau sebagai seorang penulis buku?” “Dengan yang pertama barangkali nanti dulu, mula-mula dengan yang terakhir.” “Well! Kedua pilihan terbuka lebar bagi kalian. Tapi untuk masing-masing pilihan hanya diberi waktu paling lama seperempat jam. Waktu saya sangat terbatas.” Saya mengeluarkan jam, memperlihatkannya kepada mereka dan menambahkan, “Seperti yang kalian lihat, sekarang tepat pukul delapan. Jadi kalian bisa berbicara dengan sang penulis buku sampai pukul delapan lewat lima belas dan dengan westman sampai setengah sembilan. Setelah itu pertemuan kita berakhir.” “Tetapi Sir,” Sebulon menyela, “bukankah Anda menulis bahwa Anda menyediakan waktu dua jam penuh buat kami!” “Benar! Saya sudah menghitung waktu satu setengah jam untuk mereka yang menjadi ‘sahabat’ saya. Tapi karena kalian hanya mau berbicara dengan penulis buku dan mungkin juga dengan ‘westman’ dan semua itu tak bisa dimasukkan dalam kategori seorang ‘sahabat’, maka waktunya dipotong setengah jam.” “Tapi kami berharap semoga kita bisa menjadi sahabat. Jika demikian, apakah kami boleh mengharapkan dua jam?”
21
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Ya, bahkan lebih. Jadi, sekarang kita mulai! Dari lima belas menit sesi pertama, tiga menit telah berlalu ....” “Anda memiliki cara yang aneh dalam urusan bisnis!” teriak Sebulon geram. “Hanya terjadi seandainya saya sudah menolak namun terus saja dipaksa untuk mengorbankan waktu lagi demi urusan semacam ini. Jadi... ayolah ...!” Kali ini Harrimanlah yang bersuara, “Urusan ini menyangkut ketiga buku Winnetou yang Anda tulis. Kami ingin membelinya ....” “Supaya dicetak?” potong saya menyela. “Apakah orang membeli buku supaya ....” “Tolong, jangan berbelit-belit! Jawablah dengan singkat! Ya atau tidak! Kalian mau menerjemahkan atau mencetaknya?” Mereka saling berpandangan salah tingkah. Tak ada yang menjawab. Maka saya melanjutkan, “Karena kalian diam, maka sebagai gantinya sayalah yang menjawab: kalian tak ingin mencetaknya melainkan memusnahkannya, dengan maksud agar bisa menutup-nutupi nama kalian yang sebenarnya dan ayah kalian yang sudah mati.” Keduanya melonjak bangkit bersamaan dari kursi dan menghujani saya dengan seruan dan pertanyaan. Untuk menghentikannya terpaksa saya menggerakkan tangan dengan gigih sambil berseru, “Tenang! Tenang! Saya minta supaya diam! Mungkin seorang penulis buku bisa kalian kibuli, tetapi seorang westman tidak. Nama kalian adalah Santer. Kalian berdua adalah anak Santer, tentang dia saya menyimpan banyak kenangan yang benar-benar tidak menyenangkan. Saya harap semoga saya bisa bercerita lebih baik tentang kalian daripada tentang dia!” Mula-mula mereka berdiri seakan tidak bergerak, ibarat tiang penyangga dari kayu. Kemudian mereka kembali duduk, satu setelah yang lainnya, seolah-olah tak ada tenaga lagi yang menopang mereka untuk berdiri tegap. Mereka hanya tertunduk lesu dan tidak mengatakan sepatah kata pun. “Bagaimana?” tanya saya. Harriman berpaling kepada Sebulon. “Sudah saya katakan dulu tapi kamu tidak mau percaya. Orang tidak boleh mendatangi dia dengan cara seperti ini! Apakah saya harus bicara?” Sebulon mengangguk. Maka Harriman berpaling lagi kepada saya lalu bertanya, “Apakah Anda bersedia menjual kisah-kisah tersebut supaya bakal dilenyapkan?” “Tidak.” “Walaupun bayarannya menggiurkan?”
22
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Juga tidak, berapa pun bayarannya! Tetapi ini bukan lantaran dendam kesumat atau sifat keras kepala, melainkan karena transaksi seperti itu sama sekali tak akan membawa manfaat bagi Anda. Apa yang telah saya tulis, tak bisa dimusnahkan lagi. Sudah ada ribuan eksemplar Winnetou dalam bahasa Jerman yang tersebar di Amerika Serikat ini dan berdasarkan undang-undang di sini saya sebagai penulis tidak mendapat hak paten. Setiap orang berhak menerjemahkan atau mencetak ulang sebanyak yang dikehendakinya. Hal itu sudah diketahui oleh pihak percetakan. Dan melalui penawaran yang Anda ajukan dulu, ketika Anda mengunjungi saya, telah terbukti bahwa Anda bukanlah agen penjual buku. Saya bisa mengantongi uang Anda dan setelahnya tertawa terbahak-bahak di belakang Anda. Anda mau begitu?” “Kamu dengar itu?” tanya Harriman kepada saudaranya. “Dia jujur!” Sebulon bangkit lagi dari tempat duduknya dan maju berdiri lurus di hadapan saya. Matanya berapi-api dan bibirnya bergetar hebat. “Mr. Burton,” ujarnya, “tunjukkan jam Anda!” Saya menuruti keinginannya. “Tinggal dua menit lagi. Dan setelah itu seperempat jam berlalu!” katanya sambil mengangguk. “Anda lihat, saya menepati porsi waktu yang telah Anda tetapkan bagi kami. Saya akan mengatakannya secara singkat, seperti yang Anda inginkan. Tetapi akibatnya tidak akan menjadi tanggungan kami, melainkan Anda dan suara hati Anda! Ya, nama kami Santer dan ayah kami adalah orang yang juga Anda kenal. Maukah Anda menjual Winnetou kepada kami?” “Tidak!” “Selesai dengan penulis buku! Waktunya sudah habis, persis sampai hitungan detiknya. Sekarang lima belas menit berikutnya untuk westman! Saya bertanya: berapa bayaran yang mau Anda minta dari kami, seandainya Anda bersedia mengantar kami berdua ke Nugget-tsil dan ke ‘Danau Gelap’?” “Tak akan saya lakukan. Saya bukanlah pemandu orang asing.” “Namun bagaimana kalau Anda dibayar mahal, sangat mahal?” “Juga tidak. Saya tak butuh uang. Saya tak pernah melakukan sesuatu semata-mata lantaran uang.” “Juga seandainya jumlahnya sangat besar?” “Ya!” Pada waktu itu Sebulon menanyai saudaranya. “Apakah saya harus? Bolehkah saya?” Yang ditanya mengangguk. Lalu sambil menghadap saya, Sebulon berkata, “Anda pasti akan melakukannya, walaupun bukan semata-mata karena uang. Percayalah! Anda mengenal suku Sioux?”
23
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Ya.” “Juga suku Apache?” “Sudah keterlaluan! Jika kalian merasa sudah membaca buku saya ‘Winnetou’, tentu kalian pun tahu sebaik saya, bahwa pertanyaan seperti itu sungguh berlebihan!” “Kalau begitu dengarlah apa yang ingin saya sampaikan! Untuk membuktikan kebenaran kata-kata saya, kami berdua bersedia memanggang tangan kami di atas api. Begini, kepala-kepala suku Sioux diundang oleh kepala-kepala suku Apache. Mengapa dan untuk apa, saya tak tahu. Hanya yang saya dengar, akan dirajut perdamaian di antara mereka. Cuma kepala suku yang boleh datang ke sana, tak ada yang lain. Tetapi suku Sioux telah sepakat menggunakan kesempatan ini untuk bersekongkol dengan semua musuh Apache guna membasmi mereka. Anda percaya?” “Harus diuji lagi,” jawab saya dingin. “Kalau begitu saya teruskan: sudah ditetapkan sebuah tempat, di mana musuhmusuh Apache akan bertemu untuk merundingkan rencana perang dan penghancuran. Saya mengenal tempat tersebut.” “Sungguh?” “Ya.” “Dari mana? Dari siapa?” “Itu rahasia bisnis. Tapi kepada Anda saya berani berterus terang karena saya berpikir, Anda akan bersyukur karena saya. Saya mengenal suku Sioux dan mereka pun mengenal saya. Karena mata pencaharian kami sebagai penjual kuda dan lembu, kami seringkali pergi ke tempat mereka. Sekarang mereka menawarkan bisnis yang sangat besar dan mendatangkan keuntungan yang sangat banyak, keuntungan yang belum pernah kami raih sebelumnya. Kami bakal memperoleh jarahan yang mereka rampas dari tangan Apache. Anda paham apa yang saya maksudkan?” “Sangat paham.” “Dan Anda pun yakin bahwa kami mendapat keterangan yang benar?” “Itu masih harus dibuktikan lagi!” “Akan terjadi perang yang mengakibatkan banjir darah. Saya tahu, Anda adalah sahabat suku Apache. Saya mau menyelamatkan mereka. Saya ingin menawarkan kesempatan kepada Anda untuk menggagalkan rencana musuh-musuh mereka. Anda akan saya antar ke tempat, di mana musuh-musuh mereka akan berunding. Saya rela melepaskan semua keuntungan yang sudah dijanjikan kepada kami. Dan sebagai gantinya hanya ada satu permintaan dari saya, yakni Anda harus menemani kami ke kedua tempat yang sudah saya terangkan tadi. Sekarang katakan, apakah Anda setuju! Tapi jawablah dengan cepat, pasti dan jelas! Kami tak punya waktu!”
24
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Dia berbicara dengan sangat cepat supaya sedapat mungkin tak ada waktu yang terbuang. Kedengarannya dua kali lebih panik dan memelas. Walaupun demikian saya bertanya dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, “Kalian mau memandu saya ke tempat perundingan itu? Ke mana?” “Ke atas sana, ke Trinidad.” “Trinidad mana yang kalian maksudkan? Ada beberapa kota Trinidad.” “Di Colorado.” Di kota Trinidad yang ini tinggal seorang kawan lama saya, kawan baik, namanya Max Pappermann. Dahulu dia seorang pemburu prairie yang sangat andal, namun kini dia mengelola sebuah hotel yang diberi nama persis seperti namanya sendiri. Dia mewarisi garis keturunan Jerman dan tergolong unik karena tetap mempertahankan namanya walaupun nama ini menjadi sumber semua malapetaka yang menimpanya. Dia tidak menyebut nama depannya dengan e seperti dalam bahasa Inggris, melainkan masih dengan a seperti dalam bahasa Jerman. Karena kesalahan dalam pengucapan dia tak mampu menyebut x dengan sempurna. Maka Max kemudian berubah menjadi Maksch. Meskipun dia ditimpa nasib sial, nasib yang sangat sial, tidak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk melakukan apa yang pasti sudah dilakukan orang lain kalau mereka mengalami nasib yang sama, yakni secepatnya menyingkirkan nama tersebut. Dia justru sebaliknya selalu menggunakan nama itu dari waktu ke waktu. Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya akhirnya dia dipanggil “Blue Maksch”. Dalam petualangan keliling melintasi daerah Barat dia ditimpa sebuah kecelakaan, wajah bagian kirinya terbakar akibat terkena ledakan bubuk mesiu. Memang matanya tidak sampai cacat, akan tetapi separuh wajahnya yang terkena bubuk meninggalkan bekas berwarna biru yang tak bisa hilang. Dia hidup membujang, tapi tetap menjadi seorang teman yang baik, gagah, setia dan rela berkorban. Sudah beberapa kali saya bertemu dengannya secara singkat. Waktu itu dengan dibantu Winnetou, saya menolongnya menghadang serbuan suku Sioux. Dan dia mempererat tali persaudaraan kami melalui beberapa pertolongan kecil karena – seperti yang selalu diutarakannya kepada kami – dia ‘merasa berutang budi hingga selama-lamanya’. Dia adalah satu dari jajaran westman yang saya sukai dengan tulus dan sepenuh hati. Untuk melengkapi saya ingin menambahkan, Trinidad adalah ibukota county Las Animas yang terletak di negara bagian Colorado yang ada di Amerika Utara. Kota ini menjadi titik temu sejumlah jalur kereta api dan hingga hari ini masih menjadi tempat perdagangan ternak yang cukup penting. Rupanya inilah alasannya, mengapa Enters bersaudara pun mengenal baik kota ini dengan sangat baik dan juga daerah-daerah di sekitarnya. Sebulon terus mengorek keterangan lebih dalam dengan bertanya, “Anda pernah ke atas sana, ke Trinidad, Mr. Burton?” Dengan maksud mengelak, saya menyahut,
25
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Saya lupa-lupa ingat. Saya sudah mengunjungi terlalu banyak tempat, karena itu ada beberapa yang sudah terhapus dari ingatan saya. Jadi di sanalah tempat rendezvous, ‘pertemuan’ semua musuh suku Apache?” “Ya, tapi bukan di kota Trinidad, melainkan sedikit ke luar, ke arah pegunungan.” “Oh ya? Rupanya kalian menganggap saya seperti anak kecil yang baru belajar huruf ABC karena kalian kira, dalam pemikiran saya kulitmerah akan memilih sebuah kota yang hiruk-pikuk
sebagai
tempat
perundingan
supaya
rencana
mereka
tetap
dijaga
kerahasiaannya. Siasat kalian supaya saya pun akhirnya ikut terpancing bersekongkol dengan kalian rupanya tidak jitu. Kini saya hanya mau bertanya, kapan mereka akan bertemu di atas?” “Hari ini pukul empat kami sudah harus berangkat, karena kami masih ada urusan di Chicago selama sehari penuh dan di Leavenworth dua hari. Anda boleh menyusul setelahnya. Perundingan akan berlangsung tepat sepuluh hari lagi, terhitung sejak hari ini. Kami akan menanti Anda selama tiga hari di Trinidad.” “Jelaskan lebih terperinci tentang tempat itu! Atau apakah Trinidad begitu kecil sehingga kalian bisa langsung mengenali kami begitu kami tiba?” “Tanyakan saja hotel milik si tua Pappermann yang biasa dipanggil ‘Blue Maksch’. Di sana kami akan tinggal sepanjang malam. Kami sudah memesan tempat di sana. Namun, Sir, sebelas menit sudah lewat. Jadi tinggal empat menit lagi. Putuskan segera dan berikan jawabannya, kalau tidak nanti sudah terlambat!” “Jangan panik! Kita akan selesai tepat pada waktunya.” “Mudah-mudahan! Ini lebih menyangkut urusan Anda daripada urusan kami!” “Benar begitu?” “Karena tanpa kami, Anda tak bisa menyelamatkan suku Apache!” Sekarang saya harus melancarkan pukulan balasan supaya tuntutan dan impian mereka yang mengada-ada bisa dimentahkan. Maka saya menatap wajahnya, seakan merasa lucu, lalu berkata, “Apakah kalian tidak keliru? Kalian benar-benar yakin bahwa saya akan kesulitan menemukan Kepala Suku Kiktahan Schonka di Devil’s Pulpit?” Pukulan telak! Akibatnya langsung terlihat dan luar biasa dahsyat! Kini Harriman pun melompat dari kursinya dan berteriak terkejut, “Heavens! Dia sudah tahu! Anda tahu semuanya, Sir?” “Ya, Anda tahu semuanya?” tanya Sebulon ikut-ikutan. Mereka berdiri berdampingan di hadapan saya layaknya dua bocah kecil yang kepergok lagi mencuri apel. Saya mengeluarkan jam, melihat jarumnya lalu menjawab, “Tak ada manusia yang tahu semua, tak seorang pun. Namun karena pada detik ini saya bukan lagi penulis, melainkan seorang westman, maka sudah tentu saya harus tetap
26
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
waspada. Rahasia yang kalian simpan, itu sudah saya ketahui jauh-jauh hari sebelum kalian ceritakan sekarang. Kalian benar-benar berada di jalan yang keliru kalau kalian mengira saya akan menjual Nugget-tsil dan Danau Gelap untuk membayar ganti keterangan yang kalian berikan. Duduk persoalannya justru terbalik: kalian bisa meraih kemenangan bukannya dengan bantuan suku Sioux, melainkan hanya dengan suku Apache. Dan hanya sayalah yang menjadi penentu kemenangan kalian.” Sekarang saya pun beranjak bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi. “Tujuh hari yang akan datang saya sudah berada di Trinidad, di hotel yang kalian sebutkan. Mulai hari ini saya akan menguji kalian: jika lulus, maka kalian bisa melihat Nugget-tsil dan juga Danau Gelap, tetapi jika gagal, maka kalian tak akan melihatnya! Terserah, apakah kalian mau bersekutu dengan Sioux atau dengan Apache. Akibatnya, seperti yang sebelumnya sudah kalian bilang, tidak akan menjadi tanggungan saya, melainkan tanggungan kalian sendiri! ... Ya! Lima belas menit yang ini pun telah berakhir, tepat sampai ke hitungan detik. Selamat tinggal, Mesch’schurs! Sampai berjumpa lagi di Trinidad, di tempat si tua Pappermann!” Saya memasukkan kembali jam lalu pergi tanpa berpaling untuk melihat mereka. Mereka pun tidak berusaha menahan saya. Tiada kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka benar-benar terperangah. Saya langsung menuju ke Clifton-House. Di sana tak seorang pun yang tahu bahwa saya menghilang sepanjang malam. Dan siapa yang melihat saya saat ini pasti akan berpikir, saya baru pulang dari jalan-jalan pagi. Sejak saya pergi, Herzle tak pernah beranjak dari kamarnya, bahkan untuk sarapan pun tidak. Saya turun bersamanya ke meja kami supaya dia bisa mengisi perut. Kedua kepala suku sudah pergi. Di tempat mereka sekarang duduk orang lain. Saya melaporkan pertemuan dengan Enters bersaudara, kata demi kata, dan mendapatkan pengakuan yang sudah selayaknya diperoleh seorang nakhoda rumah tangga. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, jendela kami mengarah ke sungai – dan kami duduk di dekatnya. Dari sini orang bisa memperhatikan semua yang melewati jembatan. Baru saja saya selesai melapor, tiba-tiba kami melihat kedua kakak-beradik itu. Mereka datang melalui jembatan menuju ke hotel. Pelayan pun melihatnya. Sambil menunjuk ke arah mereka dia berkata, “Itu tamu yang menginap di samping kamar Anda! Hari ini mereka keluar sangat dini. Ada sebuah surat yang masuk untuk mereka. Biasanya mereka tidak pernah tampak pada siang hari, kecuali hari ini. Saya akan mencari tahu penyebabnya!” Tak ada yang lebih kami harapkan selain rasa ingin tahunya. Dia keluar. Hanya beberapa menit kemudian dia sudah kembali dan melapor, “Mereka telah pergi! Meneruskan perjalanan! Hari ini ke Buffalo, lalu dari sana ke Chicago dengan kereta berikutnya. Persis sama seperti kedua gentlemen pagi tadi yang juga
27
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
berangkat ke Chicago. Sayang, sayang sekali bahwa mereka telah pergi! Mereka membayar semuanya dengan nuggets!” Tak berapa lama kemudian kami melihat Enters bersaudara meninggalkan hotel dan kembali menyeberangi jembatan. Masing-masing mereka hanya membawa sebuah tas kulit. Bagi saya tak ada alasan untuk mencari tahu lebih jauh, di mana mereka akan menghabiskan waktunya sepanjang hari. Paling tidak untuk saat ini urusan dengan mereka sudah saya anggap selesai. “Jadi apakah kita pun akan segera berangkat?” tanya istri saya. “Ya, besok pagi,” jawab saya. “Sampai sejauh mana?” “Hmmm! Seandainya sendirian, saya akan segera melakukan tour tanpa istirahat sampai ke Trinidad.” “Kamu pikir, saya tak kuat?” “Perjalanan ini melelahkan, anak manis!” “Untukku tidak! Kalau saya mau, tak ada masalah! Bersabarlah, saya akan pergi mengecek.” Dia pergi ke office untuk mengambil jadwal kereta. Kami membacanya bersama dan menaksir-naksir waktunya. Yang paling penting, kami tak boleh menampakkan diri baik di Chicago maupun di Leavenworth. Ini tidaklah sulit, mengingat kami tidak melalui Leavenworth melainkan Kansas City yang terletak agak dekat ke kota itu. Memang jarak dari sana hingga ke Trinidad masih jauh, namun gerbong kereta api di Amerika Serikat menawarkan pelayanan demi kenyamanan penumpang, karenanya tentu saja kesulitan itu cukup mudah diatasi. “Sepakat!” ujar Herzle. “Kita menempuh perjalanan tanpa henti! Saya akan mengurus tiketnya!” Apabila dia berbicara dengan nada seperti itu, maka saya mengerti bahwa tekadnya sudah bulat. Maka pada hari berikutnya kami telah mengambil tempat duduk di satu kompartemen kereta Pullman yang sebelumnya dipesan melalui telegram, lalu bergerak menuju ‘Far West’ untuk menyongsong petualangan yang tengah menanti – dan mudahmudahan tidak menyertakan bahaya. Daripada menceritakan tentang lama atau tentang indahnya perjalanan ini, saya hanya ingin menyebutkan bahwa kami tiba di Trinidad dalam kondisi tubuh yang sehat wal’afiat dan langsung menyuruh orang mengantar kedua kopor kami ke Hotel ‘Blue Maksch’. Saya mengingatkan Herzle bahwa mulai saat ini, sejak melangkah keluar dari gerbong kereta api di Trinidad, kami harus melupakan dunia yang telah teradabkan untuk kurun waktu yang lama. Kemudian terbukti bahwa saya benar, sangat benar. Trinidad memang tidak jauh berbeda dari masa lalu, ketika saya menatapnya untuk pertama kali di
28
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
antara padang prairie dan pegunungan, namun kini sudah banyak yang berubah. Tatkala saya bertanya tentang seseorang bernama Mr. Pappermann dan hotelnya di stasiun kereta, seorang pegawai kereta menjawab singkat, “Tak ada lagi!” “Apa?” tanya saya. “Apakah hotelnya sudah tutup?” “Tidak. Hotelnya masih ada.” “Kalau begitu Mr. Papperman sudah mati?” “Tidak. Dia masih hidup.” “Tapi baru saja Anda bilang, dua-duanya sudah tiada!” “Kalau dihitung bersama-sama, ya! Namun kalau sendiri-sendiri, keduanya masih ada! Hanya bercerai!” Dia girang tiada duanya karena guyonan murahan ini, tertawa beberapa selama saat kemudian meneruskan, “Mr. Pappermann telah menjualnya, terpaksa menjualnya! Namanya yang aneh itu menjadi biang keladinya!” Setelah itu dia pergi, masih tertawa terbahak-bahak. Hotel tersebut memang tak pantas diberi nama seperti itu. Yang namanya losmen-losmen di Jerman saja jauh lebih menarik dan cantik daripada hotel ini. Walaupun demikian dulu kami pernah diantar kemari. Lagipula demi sahabat lama saya, saya tak tega mencari penginapan lain. Kami diberi dua kamar yang letaknya bersebelahan. Kamar-kamar itu memang kecil dan sangat sederhana tetapi bersih. ‘Kamar-kamar’ itu – di sini perlu diberi penekanan khusus – memberi keuntungan karena memiliki dua jendela yang menghadap ke ‘taman’. Pada waktu kami melihat-lihat ke taman, tampak sebidang lahan persegi empat yang dikelilingi tembok setengah rapuh. Di dalamnya terdapat benda-benda berikut: dua meja yang sudah reyot dan masih-masing dilengkapi tiga kursi yang jauh lebih reyot; sebatang pohon yang hampir kehilangan seluruh daunnya dan harus berjuang mati-matian agar bisa dikategorikan sebagai linde6 ataupun pappel7; empat semak belukar yang sama sekali tidak saya kenal, terutama karena mereka sendiri pun mungkin tidak tahu namanya masing-masing; yang terakhir dan paling penting adalah beberapa helai tangkai rumput yang selama bertahuntahun rupanya tidak dianggap sebagai rumput. Seorang pria duduk di sebuah meja, sedangkan meja yang lainnya ditempati seorang pria lain. Keduanya duduk sedemikian rupa, sehingga kami bisa melihat wajah mereka dari samping. Pria pertama memegang gelas bir di tangan. Tapi dia tidak minum karena gelasnya sudah kosong. Pria kedua menjepit rokok di antara jarinya. Tetapi dia tidak mengisapnya karena hanya tinggal puntung. Keduanya tidak duduk berhadapan dan bukannya saling membelakangi. Keduanya adalah pemilik 6 7
Sejenis pohon waru. Pohon poplar, cottonwood (Hawwlar).
29
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
rumah penginapan. Pria dengan gelas kosong – seperti yang kami ketahui kemudian – adalah pemilik baru. Sementara itu pria dengan puntung rokok – seperti yang langsung terlintas dalam benak kami – adalah pemilik lama. Keduanya tampak tidak terlalu bahagia dan terkesan seolah-olah menyesal karena yang satu telah menjual dan yang lainnya telah membeli hotel tersebut. Dan kini keduanya memeras otak untuk memikirkan, apakah masih bisa menarik keuntungan lebih dari transaksi itu. “Hei,” ujar Herzle, “yang duduk di sebelah kanan sana tampaknya seperti temanmu Pappermann. Baru saja dia memalingkan tubuhnya, hanya setengah, dan saya bisa melihat bagian kiri wajahnya. Berwarna biru.” “Ya, dialah orangnya,” sahut saya. “Sudah tua, tua dan beruban! Tetapi kelihatan masih cukup kuat. Perhatikan! Saya akan membuat kejutan untuknya! Hanya usahakan agar kamu tetap tidak terlihat!” Saya maju lebih dekat ke jendela, namun masih tetap berlindung di balik tembok. Lalu saya memasukkan jari telunjuk ke mulut dan membunyikan pekik peperangan suku Sioux dengan nyaring. Akibatnya langsung terlihat. Keduanya cepat-cepat melonjak bangkit dari tempat duduk. ‘Blue Maksch’ berseru, “Halloo, halloo, ada Sioux datang, suku Sioux!” Keduanya melayangkan pandangan ke segenap penjuru. Namun karena tak ada orang atau pun musuh yang terlihat, akhirnya pandangan mereka saling beradu satu sama lain. “Sioux?” tanya pemilik baru. “Saya ingin tahu, dari mana mereka datang, ke tengahtengah kota ini! Dan jaraknya ditempuh berhari-hari dengan kuda dari sini, mana mungkin!” “Tapi tadi memang pekikan Sioux!” bantah Pappermann. “Bego!” “Oho! Saya tidak bego! Saya mengenal pekikan itu! Bahkan saya tahu suku pemilik suaranya. Orang Sioux Ogellallah!” “Jangan membuat dirimu menjadi bahan tertawaan! Apabila ada seorang ....” Dia tidak jadi meneruskan kata-katanya karena saya membunyikan lagi pekikan tadi untuk kedua kalinya. “Itu, dengar! Kalau dia memang bukan Ogellallah sungguhan, saya rela kulit saya dikelupas untuk dijadikan tali!” “Kalau begitu katakan, di mana dia bersembunyi!” “Tak tahu! Suara itu, seperti yang terdengar, datang dari atas, jauh di atas kita!” “Ya, dari bawah, jauh di bawah kita, tentu saja tidak mungkin. Benar sekali! Itu hanya gangguan kecil, tak ada apa-apanya!” “Tidak, itu ada artinya! Yang tadi memang bukan pekik peperangan, melainkan isyarat, sebuah isyarat yang jelas!”
30
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Saya mengulanginya untuk ketiga kali. “Kau dengar itu!” teriak Pappermann. “Ini bukan lelucon murahan! Orang itu pasti seorang Sioux Ogellallah sejati atau seorang pencari jejak tua seperti saya, yang tahu menirukan pekik pembantaian kulitmerah supaya bisa mengelabui orang. Dia seorang sobat lama saya yang telah melihat kalau saya duduk di sini dan dia mau mengatakan bahwa ....” Kalimatnya terpotong karena dari pintu belakang rumah terdengar suara seorang wanita, “Cepat masuk, masuk! Saya tak tahu, apa yang harus dimasak!” “Masak? Jadi bukan hanya minum?” “Ya! Makan termasuk juga! Bahkan boleh menginap!” “Jadi ada seorang tamu di sini?” “Ya, bahkan ada dua!” “Syukur kepada Tuhan! Akhirnya, akhirnya ada tamu lagi! Di mana mereka?” “Di kamar nomor tiga dan empat! Pasangan suami-istri!” Tiba-tiba Pappermann tersentak, “Kamar nomor tiga dan empat? Letaknya mengarah ke belakang! Mengarah ke sini! Jendelanya terbuka! Sekarang saya tahu, di mana sumber suara itu!” “Lagi-lagi bego!” bantah pemilik baru. “Sejak kapan ada pasangan suami-istri yang melolong?!” “Sangat sering! Namun yang tadi tentunya bukan dari seorang wanita, melainkan seorang pria! Dia sahabat saya! Tak salah lagi. Atau tubuh saya boleh dilumuri aspal, dicukur, digantung dan...” “Ayo, masuk saja ke dalam!” Lagi-lagi suara wanita itu memotong. “Tamu-tamu ingin makan. Tapi saya tak punya daging dan juga tak punya uang lagi!” Mereka menghilang ke dalam rumah. Sementara itu sambil tertawa Herzle berkata kepada saya, “Hei, kita akan mendapat penginapan istimewa! Namun sahabatmu Pappermann tidak bodoh dan juga tidak jelek! Kini saya perlahan-lahan mulai tertarik padanya dan saya ....” Tiba-tiba pintu digedor dengan keras. “Masuk!” teriaknya setelah menghentikan kalimatnya tadi. Dan siapa yang masuk? Sudah tentu Pappermann! “Pardon!” katanya meminta maaf. “Dari bawah saya mendengar suara pekik peperangan Sioux Ogellallah dan saya mau ... dan saya pikir ... dan tampaknya ... dan... dan ... Mr. Shatterhand, Mr. Shatterhand ... halloo, welcome, welcome!” Mula-mula dia berbicara dengan lancar. Tapi setelah melihat saya, dia berbicara tersendat-sendat selama beberapa saat, sampai dia mengenali saya dan menghambur ke
31
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
arah saya sambil bersorak riang. Kedua tangannya direntangkan seakan-akan ingin mendekap dan mencium saya. Namun kemudian dia sadar, hal tersebut kurang sopan dan karenanya dia hanya meraih tangan saya. Tetapi dia segera meremasnya, menarik ke dadanya, ke bibirnya, disertai seruan yang mengungkapkan rasa senangnya yang tak terperikan, menatap saya berulang-ulang dengan mata yang berlinang; singkatnya, dia tak sanggup menahan rasa bahagianya. Kata orang, manusia tak boleh disejajarkan dengan binatang. Namun yang terjadi di sini adalah benar-benar cinta dan kebahagiaan yang terlukiskan dari seekor anjing setia yang bertemu lagi dengan tuannya, melompat-lompat kegirangan dan tidak tahu harus berbuat apa dengan rasa sukacitanya yang tak terbendung. Mata Herzle berkaca-kaca karena terharu melihatnya. Dan saya pun harus menguasai diri agar tetap terlihat tenang. “Benar ‘kan, tadi Anda yang melolong, Anda, Anda, Mr, Shatterhand?” tanyanya, setelah gemuruh dalam dadanya telah berlalu. “Ya, benar,” saya mengaku. “Saya tahu! Saya tahu! Itu hanya bisa dilakukan oleh orang seperti Anda!” “Ya, hanya saya,” saya tertawa. “Istri saya tak bisa, benar sekali yang Anda katakan kepada rekan Anda.” “Istri Anda? Istri Anda? ‘sdeath... Celaka dua belas, saya benar-benar lupa untuk menyampaikan ucapan selamat. Bukankah di atas semua hamparan padang prairie dan padang sabana berlaku adat mulia, orang harus lebih dulu menyalami wanita sebelum pria! Pardon! Saya akan memperbaikinya!” Dia mencoba membungkuk dengan segala kerendahan hati dan dengan sangat elegan. Saya menegurnya dalam bahasa negeri saya yang juga menjadi bahasanya, “Sie koennen deutsch mit ihr reden, lieber Papperman; sie ist eine Deutsche. Anda boleh berbicara dengan istri saya dalam bahasa Jerman, Pappermann. Ia orang Jerman.” “Orang Jerman? Lagi-lagi Jerman! Kalau begitu saya harus mengecup tangannya! Atau lebih baik kedua tangannya!” Dia melakukannya, sudah tentu dengan kesopanan ala beruang, tapi maksudnya baik. Kemudian dia ingin secepatnya mendengar tentang nasib saya supaya setelah itu dia bisa bercerita tentang nasibnya sendiri. Sudah pasti saya tidak mau menuruti keinginannya karena yang paling penting di sini, pertama-tama orang mesti menjaga jarak. Dan yang kedua, harus ada waktu luang dan suasana batin yang cocok untuk membicarakan urusan seperti itu. Saya mengundangnya untuk makan bersama kami lalu memintanya untuk menyampaikan ke dapur bahwa kami ingin makan di taman, namun baru satu jam lagi. Sampai jam makan tiba, saya dan istri saya bermaksud berkeliling sebentar agar dia bisa mengenal kota, kota tempat tinggal seorang sahabat lama saya yang menjadi pemilik hotel yang indah ini.
32
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Sekarang saya bukan lagi pemiliknya, itu dulu,” katanya membetulkan. “Saya akan menceritakannya kepada Anda.” “Namun bukan saat ini, nanti saja! Berkaitan dengan itu ada sebuah permintaan dari saya supaya Anda sedapat mungkin bercerita sangat sedikit tentang saya. Tidak boleh ada yang tahu tentang nama saya dan bahwa saya orang Jerman ....” “Sayang! Sayang sekali!” potongnya. “Saya justru ingin sekali bercerita tentang Anda di sini ....” “Lebih baik jangan, jangan!” potong saya. “Saya akan segera berangkat dan tak akan melihat Anda lagi! Menurut saya, Anda bisa bercerita bahwa saya adalah seorang westman tua ....” “Seorang westman yang termasyhur, sangat termasyhur!” “Tidak, tidak boleh! Ada alasan yang kuat, mengapa saya harus merahasiakan jati diri. Sekarang nama saya Burton. Lagipula dulu Anda lebih jauh termasyhur daripada saya. Paham?” “Ya.” “Jadi kita tak akan berbicara lagi satu sama lain dalam bahasa Jerman. Jangan membuat kesalahan yang merugikan saya!” “Jangan khawatir! Nama saya Maksch Pappermann dan menyangkut urusan ini saya akan bisu dan tuli. Dugaan saya, apa ini berkaitan dengan satu dari petualangan lama Anda atau tepatnya yang kini menjadi petualangan baru?” “Barangkali! Mungkin saya akan mempercayai Anda, tapi saya hanya bercerita kalau sudah yakin bahwa Anda benar-benar menutup mulut! Sekarang pergilah!” Dia membungkuk lagi untuk kedua kali lalu beranjak pergi menuruti perintah saya. Sementara itu kami berdua pergi berjalan-jalan di kota seperti yang sudah direncanakan dan kembali lagi tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Mula-mula kami pergi ke kamar. Dari sana kami melihat bahwa ada tamu-tamu baru yang datang, yakni enam pria muda, yang juga ingin makan di ‘taman’. Meja untuk kami sudah disiapkan dengan rapi, sedangkan untuk mereka belum. Untuk mereka disediakan semacam meja makan panjang dan dilengkapi dengan bangku. Sebotol brandy ada di hadapan mereka. Mereka membuat suara ribut gaduh lantaran taplak meja berwarna putih, satu-satunya yang dimiliki pemilik hotel, dibentangkan di atas meja kami dan bukannya di meja mereka. Selain itu mereka pun menuntut diberi hidangan yang telah disiapkan bagi kami. Mereka memaksa Pappermann untuk duduk dan minum bersama mereka. Dia begitu cerdik dan pergi bergabung dengan mereka. Sekarang mereka semua menyoraki kami. Dengan itu mereka bukan hanya mau memanas-manasi, mereka juga ingin mempermainkan dia. Tapi dia tetap tenang dan tidak terusik, seperti yang sering terlihat pada pemburu prairie dan pemburu sabana yang berpengalaman. Kemudian baru kami tahu, seorang dari mereka yang bersuara paling
33
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
lantang bernama Howe. Ketika kami baru saja menjejakkan kaki di kamar, yang jendelanya masih terbuka, kami mendengar dia berkata, “Siapa sebenarnya orang yang bernama Mr. Burton, yang memesan semuanya mendahului kami?” Pappermann melayangkan pandangan ke jendela kami. Dia melihat saya berdiri di sana. Dia mengangguk-angguk kecil lalu menjawab, “Seorang pemain musik.” “Pemain musik? Apa maksudnya?” “Dia meniup harmonika tangan dan istrinya memetik gitar.” “Meniup ... meniup harmonika tangan! Mengapa istrinya tidak sekalian saja meniup gitar?” Humor murahan ini disambut dengan gelak tawa meriah. “Mengapa Pappermann bicara begitu bodoh?” tanya Herzle gusar. “Biarkan saja!” sahut saya. “Dia punyai maksud tertentu. Dan maksudnya baik. Perkiraan saya, di bawah sana tengah berlangsung suatu adegan yang senantiasa mendatangkan kegembiraan besar bagi seorang westman, yakni penghinaan terhadap orang-orang yang menganggapnya dungu atau kampungan.” “Apakah mereka kaum rowdy?” “Saya kira, tidak. Namun tingkah laku mereka seperti rowdy. Karena itu mereka pantas diberi pelajaran yang keras, lebih keras daripada untuk rowdy. Saya menduga ... ah, kuda-kuda di sana! Tampaknya milik mereka!” “Apa hewan-hewan itu kuat?” “Kuat? Itu saja belum cukup.” “Jadi berharga?” Saya tidak langsung menjawab karena seluruh perhatian saya terarah kepada hewan-hewan yang sedang dibicarakan. Melalui bagian belakang tembok di taman, saya melihat sebuah pintu yang terbuka menghadap ke hamparan tanah tandus yang tidak ditempati suatu bangunan pun. Tadinya sewaktu kami datang lahan itu masih kosong. Namun sekarang telah ada beberapa peon8 di sana, sedang giat-giatnya mendirikan sebuah kemah. Di dekatnya berkeliaran dua kelompok kuda yang menyedot seluruh perhatian saya. Kelompok yang pertama terdiri dari sembilan ekor kuda dan empat bagal. Hewan yang disebut lebih dulu dijuluki kuda-kuda ‘baik’, tidak berlebihan dan juga tidak mengada-ada. Sedangkan yang disinggung terakhir tentu saja berasal dari Mexico dan telah dilatih secara khusus melalui apa yang disebut ‘Nobillario’9. Harganya paling kurang seribu Mark, kalau dijual di antara saudara sekandung. Sementara itu kelompok yang kedua hanya terdiri dari 8 9
Peon (Spanyol): pelayan, penjaga kuda. Nobillario (Spanyol): ningrat, berdarah biru.
34
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
tiga ekor kuda, tetapi kuda-kuda yang luar biasa! Binatang-binatang tersebut dulunya adalah kuda putih hasil kawin silang, namun bulunya tidak dipenuhi bintik-bintik hitam dan putih, melainkan hitam dan coklat kemerah-merahan, suatu perpaduan warna yang sangat menakjubkan yang lahir setelah proses ? latihan yang lama dan meletihkan. Bentuk tubuh, gerakan dan perilaku hewan ini mengingatkan saya akan kuda jantan nan gagah lagi terkenal milik sahabat saya Winnetou, sekaligus akan kuda pacu dari Dakota yang panjang napasnya dan kini telah punah. Hewan-hewan tersebut dikembangbiakkan oleh sejumlah suku Indian di daerah Utara dan karena dilatih terus-menerus akhirnya berhasil mencapai kecepatan yang melebihi kecepatan yang diraih kuda biasa. Itu pikiran saya. Tapi untuk bisa memastikan dan merasa yakin, orang harus pergi ke sana lalu mengamati serta memeriksanya dari dekat. Tapi bahwa ketiga kuda hasil kawin silang termasuk kuda-kuda ‘berdarah biru’, itu sudah terlihat karena mereka dipisahkan dari kuda-kuda lain dan dari tingkah lakunya yang lembut. Hewan-hewan itu saling menjilat dan mengelus rekannya yang lain. Mereka mengejar yang lainnya dari belakang, namun kemudian bergabung bersama-sama, begitu rapat, seperti layaknya saudara sendiri atau setidaknya teman bermain sejak kecil yang belum pernah berpisah satu dari yang lainnya. Di dekat kemah ada setumpuk selimut dan perlengkapan-perlengkapan lainnya untuk pengembaraan dan berkemah. Di sana terdapat juga pelana kuda dalam jumlah yang banyak, setidaknya lebih dari duapuluh. Di antaranya ada juga beberapa pelana kuda untuk wanita. Tapi untuk apa? Apakah dalam kelompok keenam pria muda yang berisik itu ada juga beberapa wanita yang saat ini belum kelihatan? Dan apakah rombongan mereka sangat besar, sebanyak jumlah pelana, jadi lebih dari duapuluh orang? Hingga sekarang hanya terlihat keenam orang dan ketiga peon. Terlepas dari semua ini tadi saya tidak keliru ketika menduga bahwa mereka memang bukan rowdy. Namun mereka agak kurang ajar dan juga tidak dibekali pendidikan keluarga atau pendidikan hati nurani yang cukup. Itu terbukti dari cara mereka yang seenaknya memperlakukan Pappermann dan kini beralih kepada kami. Mereka lebih brutal daripada rowdy! Saya mengeluarkan kedua revolver saya dari kopor, mengisikan peluru dan memasukkan kembali ke dalam saku. “Ya, Tuhan! Mau apa kamu?” tanya Herzle. “Tak ada apa-apanya, tak ada yang harus membuatmu ketar-ketir,” sahut saya. “Namun kamu mau menembak!” “Bukan! Kalaupun menembak, saya toh tak akan membidik ke orangnya.” “Kamu ‘kan sudah bersiap-siap! Lebih baik kita pergi makan di atas!” “Apakah diam-diam kamu menganggap saya pengecut?” “Bukan!” jawabnya tegas. “Ayo!” Kami ke atas kemudian duduk di meja kami tanpa memberi salam. Suasana hening sejenak.
Semua
mata
memandang
kami.
Mereka
ingin
mereka-reka
siapa
kami.
35
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Pappermann bangkit meninggalkan meja mereka dan datang menghampiri kami karena kami mengundangnya untuk makan bersama. Waktu itu mereka kepala saling merapat. Dan dari cara mereka berbicara satu sama lain, terlihat kalau mereka sedang menyusun suatu rencana kecil yang akan diterapkan atas diri kami. “Mereka adalah seniman,” ujar Pappermann setelah duduk bergabung bersama kami. “Dalam bidang apa?” tanya saya. “Melukis dan memahat patung. Mereka ingin ke Selatan, ke tempat suku Apache, demikian kata mereka.” “Ah! Apa yang mau dan ingin mereka cari di sana?” “Entahlah. Mereka tidak mengatakan apa-apa. Saya hanya menyimpulkan hal itu dari cerita mereka. Kelihatannya mereka diundang ke sana. Mereka ingin segera pergi besok pagi. Hati mereka dijejali ribuan setan. Tak seorang pun yang sudah berusia tigapuluh tahun. Semuanya masih hijau! Tapi perilakunya seolah-olah mereka sudah makan garam berbakul-bakul. Anda dengar, apa yang mereka tanyakan?” “Ya.” “Juga jawaban saya tentang siapa Anda?” “Ya.” “Apa benar begitu?” “Tidak salah, juga tidak benar. Saya tak peduli, apa pandangan mereka tentang saya.” “Oh, sabar dulu! Mereka jengkel terhadap Anda. Saya menduga, tak lama lagi akan terjadi keributan.” “Biarkan saja terjadi!” Belum selesai saya berbicara, kata-kata saya sudah menjadi kenyataan. Howe bangkit dan melangkah perlahan-lahan ke tempat kami. “Bersiap-siaplah!” ujar Pappermann mengingatkan. “Saya senang,” jawab saya. “Biarkan saya menghadapinya dan tak usah campur urusan saya.” Howe telah sampai ke tempat kami. Dia membungkuk sinis untuk menghormati saya lalu bertanya, “Ini Mr. Burton, kalau saya tidak salah?” “Ya,” saya mengangguk. “Anda bisa meniup harmonika?” “Mengapa tidak? Dengan senang hati saya bisa melakukannya demi Anda.” “Dan ini Mrs. Burton?” Katanya sambil menunjuk kepada Herzle. “Benar,” jawab saya.
36
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Dia bisa bermain gitar?” “Anda mau mendengarnya?” “Sekarang belum, tapi barangkali nanti. Yang kami butuhkan sekarang hanyalah ini.” Dia merenggut taplak meja putih dari meja kami, membawanya pergi kemudian membentangkannya di atas meja mereka. “Berani sekali! Bahkan kurang ajar!” ujar Pappermann marah. Raut wajah Herzle bergeming. “Tenang saja!” kata saya. “Kita terima saja semuanya, semuanya!” Waktu itu datanglah pemilik baru untuk melayani kami. Mula-mula dia mengantar piring dan peralatan makan. Belum sempat dia membalikkan punggung, Howe sudah datang dan mengangkut semua barang itu dan membawanya ke mejanya. Setelah itu sang pemilik losmen mengatarkan sup. Dia melihat, di mana hidangan tadi berada, tapi tinggal diam dan meletakkan nampannya di atas meja kami. Dengan cepat nampan itu direbut ke sebelah dan dikosongkan. Lalu dipulangkan lagi kepada kami. Jadi bukan hanya sup, tapi juga semua hidangan lainnya, bahkan sampai pada buah-buahan. Piring, mangkuk, dan nampan yang penuh berisi dirampas dari kami. Dan ketika dipulangkan semuanya dalam keadaan kosong. Sementara itu ejekan dan tertawaan terus membumbui aksi ini. “Mereka bukan orang Negro!” kata Pappermann. “Juga bukan orang Indian! Mereka adalah manusia kulitputih! Apa pendapat Anda, Sir?” “Barangkali Anda akan mendengarnya sebentar lagi,” jawab saya. “Saya akan segera memesan hidangan lain buat kita!” “Tidak, sekarang belum saatnya. Sandiwara ini harus dimainkan dulu sampai akhir. Kapan para gentleman ini akan mendapat sajian makanannya?” “Bisa satu jam lagi. Tukang masak saya yang tua dan baik hati sudah minggat. Dan istri dari pemilik baru losmen ini, yang juga menjadi pemasak, membutuhkan waktu berlarut-larut. Untuk mencabut bulu seekor anak ayam saja diperlukan waktu tiga bulan, karena dia mencabut bulunya satu persatu. Gerombolan ini memesan sup ayam. Tetapi yang ada sekarang tinggal satu ayam tua berumur enam tahun. Sampai semua bulunya tercabut, kalau saya tidak salah hitung, butuh lima hingga enam bulan. Nah, sekarang tanyakan sendiri, kapan para ‘gentleman’ itu akan disajikan makanan!” “Pas! Herzle, kamu berminat untuk memainkan gitar?” “Apa maksudmu?” dia balik bertanya. “Kamu akan tahu kelak. Kini cukup katakan, apakah kamu berminat! Harmonika tarik dan gitar ada di dalam tas saya.” “Ah, tas yang berisi revolver?” “Ya.” “Berbahaya?”
37
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“O, tidak, sama sekali tidak!” “Kalau begitu saya mau!” “Bagus! Saya kira, sandiwara babak kedua segera dimulai. Layar segera dibuka.” Howe datang lagi ke tempat kami lalu berdiri dengan kaki mengangkang di depan kami dan berkata, “Saya kemari sambil mengusung sebuah permintaan. Kami adalah pelukis. Kami ingin membuat sketsa Mr. Burton dan istrinya, juga Mr. Pappermann.” “Kalian berenam?” tanya saya. “Ya.” “Sketsa kami bertiga?” “Ya. Apa Anda memperbolehkan kami?” “Dengan
senang
hati,
dengan
senang
hati.
Saya
hanya
mengajukan
satu
persyaratan.” “Apa?” “Bahwa kami tetap duduk diam di tempat kami yang sekarang.” “Well! Sebenarnya kami mau kalian mengubah posisi, posisi yang sangat lain, namun dengan ini pun kami sudah puas. Tetapi duduklah sedemikian rupa sehingga kalian sedapat mungkin tidak bergerak, kalau tidak karya seni yang indah ini tak bakal selesai! Kita bisa mulai!” Mereka mengeluarkan kertas dan pensil dari tas dan mulai melukis. Pada waktu itu kami melihat seseorang datang dari kejauhan, dari lahan tandus. Pakaiannya khas Indian dan dia memikul sebuah beban yang dibungkus kulit di atas punggungnya. Beban itu tampaknya tidak ringan. Dia berjalan membungkuk dengan langkah perlahan-pelan. Dia sungguh-sungguh teramat letih. Tatkala telah tiba di dekat kuda, dia berhenti lalu mengamatinya. Kemudian langkahnya diteruskan. Ketika dia sudah begitu dekat sehingga wajahnya menjadi jelas, kami melihat bahwa usianya kira-kira duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun. Raut wajahnya sangat menawan. Seperti dahulu Winnetou, dia mengikat rambutnya
membentuk
kepang
tunggal
dan
membiarkannya
tergantung
di
balik
punggungnya. Tampaknya dia mengenal daerah di sini, karena dia berjalan lurus dan langsung menuju ke pintu yang menjadi gerbang menuju ke ‘taman’. “Egad, ternyata dia!” ujar Pappermann. “Anda mengenalnya?” tanya saya. “Ya. Dialah si ‘Rajawali Muda’. Empat tahun yang lalu dia turun dari pegunungan dan datang kemari, bukannya berkuda melainkan berjalan kaki, seperti juga hari ini. Dia tinggal dua hari di tempat saya untuk beristirahat. Selain jas yang dikenakannya, dia masih memiliki sebuah jas baru yang lebih bagus. Jas itu diserahkan kepada saya, ketika dia pergi, untuk disimpan. Katanya, jika berumur panjang, dia akan kembali lagi setelah beberapa tahun
38
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
untuk mengambilnya. Dia tidak membawa uang melainkan nuggets, namun tidak banyak. Jumlahnya tak sampai tiga atau empatratus dollar. Ya ampun, dia kelihatan letih lesu dan tak berdaya!” “Dia kelaparan!” kata saya menambahkan. “Anda kira begitu?” “Saya tak hanya mengira, memang demikianlah kenyataannya. Bisa kelihatan.” “Saya pun merasa demikian!” timpal Herzle. “Dia sangat letih. Kakinya goyah! Dia harus makan bersama kita! Akan saya sampaikan padanya. Cepat keluarkan lagi satu kursi, Mr. Pappermann!” Yang disebut namanya segera pergi untuk mengerjakan apa yang diminta. Herzle bangkit, berjalan ke pintu yang sedang dituju oleh pemuda Indian itu, lantas membukakan pintu, menyambutnya, menggenggam tangannya, menuntunnya menuju meja kami dan memintanya untuk bergabung bersama kami. Dan pada saat itu pun kursi yang dibawa Pappermann sudah ada. Walaupun pemuda Indian itu begitu letih, dia tidak langsung duduk. Dia tetap berdiri. Matanya yang besar dan legam menatap wajah wanita yang tadi telah menyambutnya dengan cara yang tak lazim. “Persis seperti Nscho-tschi yang senantiasa berbelas kasih!” katanya. Kemudian dia rebah ke atas tempat duduknya dan memejamkan mata. Dia begitu letih sampai-sampai tak berpikir sedikit pun untuk menurunkan beban yang dipikulnya. Kami melepaskan beban itu dengan memotong talinya. Bawaan itu panjang, berat dan dibungkus dalam kulit keras. Beratnya berkisar antara tigapuluh sampai empatpuluh kilogram. Pasti potongan logam! Kami menempatkan bawaannya di samping kursinya. Pappermann pergi ke meja sebelah dan meminta segelas brandy. “Untuk siapa?” tanya mereka. “Untuk orang Indian yang di sana, kalian bisa lihat sendiri!” sahutnya. “Brandy tidak diperuntukkan bagi kulitmerah, hanya kulitputih. Jadi bukan untuk dia, melainkan untuk kami! Enyahlah dari sini!” Westman tua itu geram atas penolakan tadi. Saya menenangkan dia dengan berusaha meyakinkan, “Jangan marah! Mereka akan membayarnya buat kita! Pergilah ke dapur dan bawalah sepiring sup kemari, ambil saja apa yang Anda suka! Itu lebih baik daripada brandy!” Dia menuruti petunjuk saya. Pemuda Indian mendengar kata-kata saya. Memang matanya masih tetap terpejam, namun dengan suara halus dia berkata, “Jangan suguhkan brandy! Tak pernah!” Dia menyebut nama Nscho-tschi, saudari sahabat saya Winnetou. Barangkali dia pun seorang pria Apache? Pappermann datang membawa sup.
39
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Hanya ada kaldu ayam tua,” katanya. “Tapi rasanya lezat!” Dia duduk di hadapan si Indian. Tapi orang itu tidak bereaksi sedikit pun. Maka Herzle mengambil sendok dan mulai menyuapinya. Di meja sebelah sana terdengar suara tawa beramai-ramai. “Kaldu ayam itu sebenarnya untuk kami!” kata Howe. “Tetapi demi lukisan yang indah ini, kami merelakannya. Kini lukisan yang dibuat dilatarbelakangi oleh tema: ‘Tiga Orang Samaria, atau Sang Indian yang Kelaparan’. Dalam lima menit semuanya sudah harus selesai! Siapa yang butuh waktu lebih lama, harus membayarnya dengan sebotol brandy!” Maka pensil-pensil mereka pun mulai bergerak. Dan belum sampai lima menit, sudah ada enam karikatur yang diperlihatkan kepada kami. Akan tetapi yang ini bukanlah karikatur melainkan coret-moret yang tidak karuan. Maksud mereka hanya mau membuat kami berang sehingga terpancing untuk melakukan suatu tindakan konyol. Akan tetapi sikap kami justru sebaliknya, seolah-olah kami menyukai apa yang mestinya membuat kami marah. “Mempesona!” kata saya. “Sungguh mempesona! Berapa harga lukisan seperti itu?” “Lukisan, lukisan!” Howe tertawa. “Dia menyebut ini lukisan! Gratis, gratis! Kami menghadiahkannya buat Anda!” “Gratis?” tanya saya. “Ya.” “Semuanya?” “Ya, tentu saja, ya!” “Terima kasih!” Saya mengumpulkan semua lembaran, memasukkannya dan berkata, “Namun saya orang yang memiliki budi pekerti. Saya tidak membiarkan dihadiahi sesuatu tanpa memberikan balas jasa. Barangkali ada yang bisa melukis saya di atas punggung kuda? Berapa yang harus saya bayar, itu tidak menjadi persoalan, entah tiga, empat atau lima dollar.” “Lima dollar? Thunder-storm, besar sekali! Saya akan pergi, saya akan berlari, saya akan buru-buru! Saya segera mengambil kuda!” teriak salah seorang dari mereka. Dia pergi dan yang lainnya pun menyusulnya untuk mencarikan kuda yang paling jelek. “Anda punya maksud tertentu?” tanya Pappermann. “Tentu saja! Sekarang tiba hukumannya! Segera temui pemilik losmen di dalam dan sampaikan padanya, saya memerlukan dua sampai tiga orang saksi yang layak dan sah, sedapat mungkin advokat, polisi, atau orang-orang lain dari lembaga pemerintahan. Mereka harus ke atas, ke kamar kami, supaya bisa melihat dan mendengar semua yang terjadi dan yang akan dibicarakan.”
40
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Well, well! Akan diatur, segera, segera!” Dia bergegas pergi dan sudah ada lagi di sana ketika kuda dibawa kepada kami. Howe menuntut lima lembar dollar yang prenumerando10. Saya membayarnya. Maka saya boleh naik ke atas kuda. Saya berlagak, seolah-olah saya belum pernah duduk di punggung kuda, dan berjuang tiga kali agar sampai di atas, tetapi tak berhasil. Pada kali keempat lompatan saya begitu kuat sehingga saya tak hanya sampai di punggungnya, melainkan langsung melorot ke sisi sebelah. Ini memancing gelak tawa yang riuh rendah. Akhirnya saya digotong ke atas dan setelahnya kepada saya diberikan tali kekang. Paduan suara yang sama itu terulang kembali. “Luar biasa, sungguh-sungguh luar biasa!” ujar salah seorang dari para ‘seniman’. “Mr. Burton duduk begitu tegap dan berwibawa di atas kuda, laksana seorang pahlawan dan penunggang kuda yang mampu memenangkan setiap pacuan!” Namun yang dia maksudkan tentu saja sebaliknya. “Benar? Benar?” tanya saya dengan penuh sukacita dan bangga. “Jelas! Jelas! Bisa terlihat, tak seorang pun dari kami yang sanggup menandingi Anda dalam menunggang kuda!” “Benar?” “Ya, benar!” “Kalau begitu tolong bilang, berapa harga kuda ini?” “Anda mau membelinya seekor?” “Mungkin beberapa ekor! Kalau Anda bilang, saya seorang penunggang kuda handal, maka rasanya bodoh sekali kalau saya bepergian dengan kereta yang mahal. Menunggang kuda ‘kan lebih murah! Atau saya salah?” “Tentu lebih murah, sudah pasti! Kami masih memiliki beberapa ekor kuda lain. Mungkin kami bisa menjual satu darinya untuk Anda.” Mereka saling mengerdipkan mata. Mestinya hal itu terjadi secara rahasia. Tapi saya bisa melihatnya. “Hanya seekor?” tanya saya. “Saya membutuhkan lima atau enam ekor!” “Oho! Untuk siapa?” “Untuk saya dan Mrs. Burton...” “Yang bisa bermain gitar?” potong Howe untuk meledek. “Ya. Selain itu masih ada beberapa kerabat baik.” “Juga pemain musik?”
10
Prenumerando (Spanyol): setiap lembar uang yang dicetak harus dibubuhi nomor atau kode tertentu oleh bank yang mencetak uang. Pemberian nomor ini disebut prenumerando, artinya keabsahan uang tersebut diakui, uang itu sah dan bukan palsu.
41
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Apabila kalian tidak keberatan, ya. Saya lebih suka memilih tiga ekor kuda dan tiga ekor bagal serta pelana yang cocok. Berapa harganya?” Mula-mula mereka terperangah. Mereka menatap saya kemudian saling bertukar pandang. Howe bertanya untuk mengecek, “Tiga ekor kuda dan tiga ekor bagal? Yang mana?” Saya menunjuk ke arah kuda-kuda bagal dan menjawab, “Dari kelompok kuda, saya ingin memilih kuda-kuda yang sekarang berbaring, di sana, di bagian kanan, yang telinganya panjang.” Pada waktu itu wajah mereka yang tegang kembali mengendur. Sementara itu saya terus melanjutkan sambil menunjuk kepada ketiga blasteran, “Dan saya pun menyukai ketiga bagal di sana. Saya akan membayar seluruh harganya!” Suara tertawa kembali terdengar membahana. “Bagal-bagal itu! Dan kuda-kuda itu! Menakjubkan, menakjubkan, sungguh tiada duanya!” Maka enam teriakan terdengar susul-menyusul. Dan tatkala kegaduhan mulai mereda, bertanyalah Howe, “Anda mau membayar semuanya? Sungguh? Sebenarnya berapa banyak uang yang Anda bawa, Sir?” “Duaratus limapuluh dollar!” saya menggerutu. “Jumlah itu tentunya lebih besar daripada biaya seluruh perjalanan Anda!” Kini suara tawa mereka menjadi amat memekakkan telinga. Mereka merapatkan kepala untuk mencari akal bulus dan hal itu tentunya menguntungkan bagi saya. Mereka tak lagi berpikir tentang lukisan saya di atas punggung kuda, melainkan bagaimana mereka bisa mendapatkan duaratus limapuluh dollar dari tangan saya. “Turunlah dari kuda itu!” kata Howe memberi perintah. “Anda membuat kami merasa sangat tertarik, sangat tertarik, Mister Burton! Anda bisa memperoleh semua kuda dan bagal, dan juga pelananya. Bahkan Anda bisa memperoleh semuanya secara cuma-cuma, kalau Anda mau!” “Secara cuma-cuma? Bagaimana bisa?” tanya saya. “Kami ingin menonton Anda menunggang kuda, menunggang kuda. Duduklah di punggung kuda dan di punggung bagal! Kami akan memasang pelananya sekarang untuk Anda, keenam-enamnya. Anda naik di luar sana dan memacunya kemari, tetapi tidak melalui pintu melainkan melewati tembok!” “Jadi harus melompati tembok ini?” tanya saya. “Ya. Cobalah saja!”
42
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Mengapa tidak? Anda sendiri yang mengatakan bahwa saya seorang penunggang kuda yang andal! Apakah orang bisa tergelincir jatuh, seandainya kakinya sudah dimasukkan ke sanggurdi dan tangannya telah menggenggam tali kekang?” “Tidak, pasti tidak!” dia tertawa dan yang lain pun ikut-ikutan. “Jadi semua kuda dan semua bagal yang bisa Anda pacu kemari dengan melewati tembok akan menjadi milik Anda, sejauh Anda tidak mengalami patah tulang leher dan tidak terlempar jatuh!” “Apakah saya boleh menanggalkan topi dan kemeja berburu saya?” Rekan-rekannya berteriak, rupanya karena kegirangn. Hanya dia yang mampu menguasai diri lalu menjawab, “Anda boleh melepaskan baju atau – menurut saya – memakai baju, semuanya terserah Anda. Bahkan kalaupun Anda memakai kostum seperti badut, kami tidak melarangnya. Tapi yang menjadi inti persoalan adalah apa inti dari transaksi ini. Yang terpenting orang menepati yang telah disepakati. Anda harus segera meletakkan duaratus limapuluh dollar. Seandainya Anda berhasil melompati tembok sampai enam kali, maka Anda akan mendapatkan kembali semua itu, juga kuda dan bagal. Namun kalau gagal, Anda tak akan mendapat apa-apa. Dan seluruh uang itu akan menjadi milik kami. Apakah Anda sadar bahwa Anda hanya akan menelan pil pahit?” “Tentu! Anda hanya mempertaruhkan nasib kuda-kuda Anda. Dan tentunya saya pun harus mempertaruhkan sesuatu. Uang saya memang lebih bernilai daripada semua kuda Anda, tapi saya mau bertindak jujur!” Lagi-lagi mereka semua terbahak-bahak. Lalu dia menyahut, “Sangat benar, benar sekali! Dan karena sekarang kami sudah memperlihatkan kuda dan bagal kami, maka Anda pun harus segera menunjukkan uang Anda.” “Ya, segera setelah selesai diadakan perjanjian.” “Perjanjian?” tanyanya. “Jelas! Perjanjian! Saya dengar, pedagang kuda adalah makhluk-makhluk paling cerdik yang pernah ada di muka bumi. Dan karenanya orang harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap mereka, dalam semua hal.” “Tapi kami bukan pedagang kuda, kami seniman!” “Walaupun begitu sama saja! Ini menyangkut urusan jual-beli kuda. Tak ada bedanya, siapa dan apa peran kita!” “Well! Saya setuju. Kesinikan kertasnya!” “Dan saya akan mendikte!” ujar saya. Waktu itu saya turun dari kuda, namun saya bukannya melompat dengan mantap melainkan seperti tergelincir. Howe duduk. Saya mengucapkan isi perjanjian kata demi kata dan dia mencatatnya tanpa mengubah satu huruf pun. Dia memang benar-benar yakin bisa menandatangani apa saja, tanpa sedikit pun memikirkan dampaknya karena dalam
43
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
benaknya sudah terbayang jelas bahwa saya pasti langsung terpental dari pelana kuda begitu hewan tersebut mengayunkan langkah pertama. Saya mendiktenya dengan suara lantang karena ketika saya melirik ke jendela kami, di sana tampak orang-orang yang kehadirannya sudah ditunggu-tunggu, orang-orang yang harus mendengar dan mengerti setiap kata yang diucapkan. Saya masih menambahkan, saya hanya akan menyerahkan uang kepada pihak netral dan selain dia tiada seorang pun yang berhak memasang pelana di punggung kuda dan bagal. Dan pihak netral yang saya tunjuk adalah Mr. Pappermann. Howe, begitu pun rekan-rekannya yang lain, terkesan sangat yakin dengan urusan ini sehingga dia gegabah dan mau menyetujui saja persyaratan ini. Maka perjanjian ditandatangani oleh mereka semua, dan yang terakhir oleh saya. Lalu saya menyerahkan surat itu kepada si westman tua dan dia segera memasukkannya ke dalam saku. Mulai detik ini saya sudah boleh menganggap keenam hewan pilihan itu sebagai milik sendiri. Saya mengeluarkan dompet dan memaparkan jumlah uang yang telah disepakati dengan penuh sukacita. Herzle pun hanya senyum-senyum. Diam-diam dia mengangguk kepada saya. Sementara itu pemuda Indian yang duduk bersamanya sudah pulih tenaganya sehingga bisa mengikuti semua rentatan kejadian ini dengan bersemangat. Matanya terpaku menatap saya, seolah-olah memeriksa, dan tatapan itu bisa mengatakan kalau dia tahu apa yang bakal terjadi. “Dan sekarang ayo naik ke pelana!” kata Howe memberi perintah. Dia menghambur keluar bersama gerombolannya menuju ke pintu, disusul oleh si tua Pappermann. Saya mengikuti mereka dengan perlahan-lahan sambil mengamat-amati mereka. Mereka menjelaskan kepada peon tentang apa yang akan terjadi. Peon adalah pembantu penjaga kuda, pesuruh, jongos. Umumnya mereka berasal dari kasta paling rendah dalam susunan masyarakat Mexico. Tetapi peon-peon yang ada di sini sekarang adalah gerombolan yankee murni, bahkan mungkin saja termasuk ‘penjaga kuda’ yang sangat berpengalaman. Usia mereka tidak lagi muda, tampaknya di atas empatpuluh tahun. Ketika bercakap-cakap dengan para ‘seniman’, mereka tidak berdiri sebagaimana sikap seorang hamba kepada majikannya melainkan justru sebaliknya. Hal ini menarik perhatian saya. Namun para peon pun tampaknya setuju dengan lelucon murahan ini, di mana saya akan menjadi korbannya, karena pada akhirnya mereka larut dalam tawa beramai-ramai. Pada waktu Howe pergi bersama dua orang dari antara mereka menuju ke tempat kuda blasteran, orang ketiga berseru dari belakang dengan suara keras, “Sayang, Sebulon dan Harriman tak ada di sini! Mereka pasti tertawa sampai semaput! Setidaknya Sebulon!” Bisa dibayangkan bagaimana saya tersengat mendengar kedua nama itu! Jadi kakakberadik Enters! Bahwa kedua nama ini yang dimaksud, bagi saya hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Dan urutan penyebutan nama pun tepat: Sebulon disebut duluan. Dia lebih
44
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
pantas dimasukkan dalam gerombolan ini daripada saudaranya. Dan dia pun pasti lebih girang dengan rencana konyol mereka daripada saudaranya. Namun saya tak punya waktu untuk terus bergumul dengan pemikiran ini, karena kini saya telah tiba di tempat perlengkapan pelana dan harus memilih pelana yang saya sukai. Apakah pelana-pelana itu benar-benar akan saya butuhkan kelak, untuk detik ini hal itu hanyalah masalah sampingan. Walaupun begitu sekarang saya sudah memoles rencana yang kadangkala hanya dibangun di atas dugaan-dugaan sementara, namun akibatnya bakal terbukti kelak. Pilihan saya jatuh pada sebuah pelana untuk wanita serta lima pelana terbaik lainnya. Pelana-pelana yang disebut terakhir, kalau dugaan saya benar, akan ditukarkan dengan dua kantung beban. Mulai saat itu sudah jelas bagi saya, keenam pria ini bukanlah seniman atau pun orang baik-baik. Dan saya merasa sedikit kasihan lantaran telah memainkan peran seorang bego di hadapan mereka, padahal justru merekalah – terlepas dari pendapat mereka tentang diri sendiri – yang sebenarnya adalah orang-orang bego, orang yang membutuhkan pelajaran tambahan. Karena apabila saya sanggup memilih secara tepat lima pelana terbaik dari tumpukan dua puluh pelana, fakta ini seharusnya bisa mengatakan kepada mereka bahwa saya mungkin bukanlah anak bawang seperti yang mereka bayangkan. Akan tetapi mata mereka buta, sampai-sampai seorang peon datang menghampiri saya sambil membawa roda pemacunya yang besar supaya bisa dipasangkan di kaki saya. Saya membiarkan saja dia melakukannya. Mula-mula Pappermann memasang pelana di punggung ketiga bagal, kemudian baru di kuda blasteran. Hewan-hewan itu tenang-tenang saja, tapi akan segera berulah jika ada orang mendekati dari samping. Saya mesti tahu, apakah ini hanya dari sisi kiri, artinya dari sisi di mana orang naik, atau juga dari sisi kanan. Maka saya berbuat seakan-akan ingin datang dari sisi itu. Namun hewan-hewan tersebut selalu berputar, sepertinya ingin tetap menghadang saya. Mendekat dari belakang pun sia-sia. Mereka menendang-nendang dengan telapak kakinya. Sungguh sangat berbahaya. Dan hal ini dilakukan oleh ketigatiganya, baik kuda pertama, kedua, maupun kuda ketiga. Sekarang apa yang saya tahu sudah cukup. Lebih mudah bagi saya untuk melewati tembok dengan ketiga kuda jantan tadi daripada dengan bagal, karena masih harus dibuktikan, apakah hewan-hewan terakhir ini telah mendapat suatu pelatihan ataukah hanya cocok dipakai untuk memikul beban. “Sekarang kita mulai, Mr. Burton!” kata Howe memberi komando. “Waktunya sudah tiba! Izinkanlah kami terlebih dahulu kembali ke taman supaya bisa menyaksikan dan mengagumi Anda ketika Anda terbang melejit melewati tembok!” “Kalau begitu tolonglah menaikkan saya dulu ke atas!” pinta saya sambil maju mendekati seekor bagal. Saya diangkat ke atas dan mereka bergegas menuju ke ‘taman’ sambil tertawa. Sementara itu para peon tetap tinggal di luar, begitu pun Pappermann. Dia tak beranjak dari
45
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
sisi mereka. Dan dengan anggukan halus dia sepertinya mau mengatakan kepada saya bahwa dalam urusan ini dia bisa diandalkan. Dia tetap seorang yang bijaksana dan mempertimbangkan segala hal, seperti yang saya kenal di tahun-tahun yang silam. Kini saya memacu bagal agar bergerak maju. Tampaknya seolah-olah hewan itu bergerak dengan sendirinya, mulanya perlahan-lahan, lalu sedikit cepat. Dia bergerak lurus ke depan, lalu ke kiri, kemudian ke kanan, kelihatannya semaunya. Dia berputar-putar, berlari membentuk lingkaran, lalu berbalik, meligas-ligas, bahkan coba melesat maju. Saya terlempar kian kemari. Saya dipermainkan seenaknya oleh hewan yang satu ini. Berkali-kali tali kekang terlepas dan saya mengontrolnya dengan mengandalkan kaki di sanggurdi. Semuanya kelihatan begitu sederhana, akan tetapi dalam kenyataan yang sesungguhnya ini merupakan ujian yang berat, sangat berat, ujian yang harus saya jalani bersama bagal. Sebenarnya binatang itu tak akan bergerak maju, walaupun cuma selangkah, tanpa perintah dari saya. Dan saya langsung sadar, apa yang harus saya lakukan. Makhluk luar biasa ini mendapat pelatihan terbaik di Mexico. Tatkala saya memberinya sentakan halus agar melompat, dia menurutinya dengan setia dan cepat sehingga saya tak perlu lagi memberikan perintah supaya berhenti. Makin lama kami semakin mendekati tembok taman sampai jaraknya hanya tinggal empat atau lima langkah. Di seberangnya terdengar suara tawa mengejek. Mereka yakin, bagal itu hanya sekedar berjalan-jalan menghirup angin segar dengan saya. “Ayo, ke sini, ke sini, Mr. Burton! Ke sini!” Howe meneriaki saya. “Ya, apa saya mesti melewati tembok?” tanya saya. “Tentu!” “Tapi tolong jangan kecewa kalau saya tak bisa!” “Tidak sama sekali! Ayo, kemarilah!” “Salto! Alto! Elevado!” Setelah saya mengucapkan ketiga kata ini, kata yang sering saya ucapkan pada waktu melompat, kami melejit ke udara, melewati tembok lalu mendarat dengan tenang di seberang dan langsung berdiri tak bergerak, seolah-olah kami tidak beranjak dari tempat semula. Tatapan saya pertama-tama mencari sang pemuda Indian. Matanya berkilat-kilat. “Ya ampun!” maki Howe. Rekan-rekannya pun mengeluarkan seruan dengan nada serupa. “Nah?” tanya saya kepadanya. “Sekarang saya sudah berada di sini atau masih di seberang?” “Terkutuk!” dia berteriak marah. “Kelihatannya Anda bisa berkuda!” “Kelihatannya? Tapi kok bisa begitu? – Apakah saya mengatakan bahwa saya tak bisa menunggang kuda?”
46
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Saya meluncur turun dari pelana, menggiring bagal keluar dari taman menuju ke pekarangan dan menambatkannya di sana. “Mengapa kamu menggiring hewan itu keluar?” ada yang bertanya kepada saya. Saya tidak menyahut. Saya hanya mengangguk dengan girang ke arah Herzle lalu pergi menjemput bagal berikutnya. Hewan itu pun sanggup melompat seperti yang pertama. “Kalian lihat!” teriak Howe. “Keparat itu bisa berkuda! Dia telah berbohong!” Saya acuh tak acuh menanggapi penghinaan tadi lalu mengantar bagal tersebut ke pekarang seperti bagal sebelumnya. Kemudian saya meminta Herzle, “Begitu saya menjemput bagal ketiga, tolong turunkan kopor saya dan taruh di atas meja kita!” Ketika saya melewati tempat para peon sedang menunggu, seorang dari mereka berkata, “Sir, tampaknya Anda hanya mau mengerjai kami!” “Kalau hal itu memang benar, maka sebenarnya saya hanya sekedar meniru maksud Anda!” jawab saya. “Waspadalah supaya tidak terjadi sesuatu yang merugikan Anda!” “Untuk saya semua lelucon sama seriusnya. Untuk Anda mungkin lain?” Waktu itu dia melangkah maju dan mengancam saya, “Saya mengingatkan Anda!” “Pshaw!” ujar saya mencemooh. “Ya, saya mengingatkan Anda! Namun alasannya lain, tidak seperti yang Anda pikirkan. Kuda tidak sama dengan bagal yang tolol. Tulang belulang Anda bakal dibuat remuk dan leher Anda akan patah!” “Kita tunggu saja hasilnya!” Sekarang saya merasa tak perlu lagi bermain sandiwara. Saya melompat ke atas punggung bagal yang sedang dipegang tali kekangnya oleh Pappermann. “Bagaimana dengan kuda-kuda?” tanyanya halus. “Sama seperti sebelumnya!” sahut saya. “Namun jangan biarkan seorang pun mendekat!” “Jangan panik! Saya bukan hanya sanggup ke seberang, melainkan juga bisa melewati temboknya!” Setelah kata-kata ini saya melesat melintasi tempat itu dan melewati tembok. Waktu saya mengantar mulo11 ke pekarangan, tempat itu sudah hampir penuh dipadati oleh manusia. Adegan ini telah menarik perhatian khalayak ramai. Dan orang berduyun-duyun datang kemari untuk menyaksikannya. Pemilik losmen senang karena dengan itu dia
11
Mulo (Spanyol): bagal.
47
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
mendapat lagi tamu. Juga pekarangan dan ‘taman-taman’ terdekat mulai dipenuhi oleh para penonton. Kopor saya sudah tiba. Herzle pergi mengambilnya sendiri dari atas. Dia bilang, empat orang saksi tengah berdiri di jendela kamar kami, tiga polisi dan seorang tuan yang menurut kata orang memangku jabatan corregidor, semacam walikota. “Orang Mexico biasa menggunakan istilah-istilah Spanyol,” saya memberikan penjelasan. “Dia baru saja datang, paling akhir. Seorang polisi pergi menjemputnya karena satu alasan tertentu yang tidak saya ketahui namun akan sangat menarik kita, begitu yang diterangkan kepada saya. Dia sangat sopan. Kamu membutuhkan sesuatu dari dalam kopormu?” “Ya. Pertama-tama jubah untuk perundingan.” Saya membuka kopor dan mengeluarkan potongan pakaian yang dimaksud, yaitu sehelai baju dari kulit berwarna putih yang jahitannya disulam dengan gulungan scalp. “Uff!” pemuda Indian berseru kagum dengan setengah suara. “Itu hanya boleh dipakai oleh kepala suku! Juga hanya pada waktu perundingan di seputar api unggun dan di pesta-pesta suku!” Saya menanggalkan baju saya lalu mengenakan jubah Indian ini. “Mengapa?” tanya Herzle. “Kamu dengar? Lawan-lawanmu di sana tertawa dan mengejekmu!” “Biarkan saja mereka. Berikan juga mahkota kepala suku. Ini semata-mata hanya untuk kuda. Hewan-hewan itu dilatih ala Indian dan tidak mau membiarkan seorang kulitputih pun mendekat, kecuali tuannya. Dan tanpa kostum seperti ini saya tak bisa naik ke pelana.” “Ah! Jadi persyaratan untuk menanggalkan dan mengenakan pakaian tadi sudah masuk dalam maksudmu?” “Ya. Engkau lihat, semua kata-kata saya sudah dipertimbangkan dengan matang, walaupun engkau sendiri tidak tahu, mengapa dan untuk apa.” Tatkala saya menarik keluar mahkota kepala suku dari pembungkusnya, untuk kedua kalinya pemuda Indian itu berseru kagum. “Uff, uff! Asli, bulu-bulu yang sungguh asli milik panglima perang yang kini tiada lagi! Ada lima kali sepuluh bulu?” “Lebih dari itu,” jawab saya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri penuh hormat dan berkata, “Kalau begitu saya harus memberi salam dan meminta maaf atas...”
48
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Tenang, tenang!” potong saya. “Kita bukannya sedang duduk di seputar api unggun perundingan. Agar bisa mendekati kuda-kuda yang mempesona di sana, saya harus menguraikan rahasia ini yang artinya, untunglah, tidak dimengerti di daerah ini.” Tentang perhiasan yang dimaksud, bulu-bulu yang disematkan di sana hanya dipilih dari dua bulu terluar dari sayap rajawali raksasa. Mahkota saya yang menggantung dari belakang kepala hingga ke tanah, dihasilkan oleh tangan Indian dan amat teliti serta mempunyai riwayat tersendiri yang sangat menyentuh perasaan. Pada waktu saya mengenakannya ke atas kepala, dua atau tiga dari keenam orang itu mulai tertawa lagi. Tetapi Howe membentak marah, “Diam! Apa kalian tidak lihat apa yang akan terjadi! Dia tahu rahasia ketiga kuda jantan itu! Tak ada yang lucu! Walaupun begitu saya tetap berharap, mudah-mudahan lehernya patah!” Saya berjalan lewat di tengah-tengah mereka, menuju ke kuda. Di sana berdiri para peon. Tak seorang pun dari mereka yang bersuara ... tapi seandainya tatapan mata sanggup menghujam seperti peluru, tentu saja saya langsung roboh di tengah-tengah mereka. Kuda blasteran berdiri berkerumun rapat. Perlahan-lahan saya melangkah ke sana. Hewan-hewan itu mengamati saya tanpa gerak. Kemudian hidung mereka yang kemerah-merahan bergerak halus. Telinganya yang kecil pun mulai bermain-main. Dan ekornya yang panjang dan indah bergoyang-goyang. Dua ekor kuda dari kawanan itu tidak berisik pada waktu saya mendekat. Sedangkan kuda ketiga mendengus. Hewan itu mengelak mundur, namun tak bermaksud menerjang atau menggigit saya. Inilah kuda yang paling cerdik. Dia akan saya simpan untuk lompatan yang terakhir. Ada sebuah bintik mouche berwarna putih terang, tepat di atas hidungnya, tidak lebih besar dari sekeping pfennig12. Matanya jernih dan sehat, dengan perawakan yang tegap dan bersih. Kulitnya sehalus sutra dan ia memiliki tubuh yang tanpa cacat sehingga saat itu pun saya sudah membulatkan tekad – walaupun hewan tersebut belum menjadi milik saya – untuk menjadikannya sebagai milik saya. Tetapi sekarang saya melompat ke atas punggung salah satu dari kedua kuda pertama. Ia hanya diam tanpa memberikan perlawanan. Sambil membawa saya di punggungnya dia berlari memutar dua kali dan melejit melewati tembok, seakan-akan penghalang itu tidak cukup tinggi. Tepuk tangan meriah terdengar dari pekarangan. Sementara itu keenam ‘seniman’ hanya diam membisu. Saya menggiring kuda itu ke tempat bagal dan pergi keluar untuk mengambil kuda berikutnya. Kali ini pun berhasil. Ketika saya terakhir kali keluar ke tempat peon, seorang dari mereka yang sudah disinggung sebelumnya, maju mendekati saya dan berkata, “Sir, Anda harus mengaku bahwa Anda hanya bermaksud ....” 12
Pfennig (Jerman): satuan mata uang terkecil dari Deutsche Mark (DM), kira-kira memiliki harga sebesar sen.
49
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Memberikan Anda suatu pelajaran?” kata saya menyela. “Ya, itulah yang saya inginkan.” “Baiklah! Semuanya sudah terjadi. Namun sekarang mesti dan harus diajukan keberatan! Kami tak mau lagi!” “Saya pun sama! Rasanya tak lagi penting! Urusan kita akan segera berakhir!” “Belum sepenuhnya. Karena kuda ini tak akan menjadi milik Anda.” Dia maju dari depan menuju ke kuda jantan untuk merebut tali kekangnya, tetapi saya lebih cepat. Kuda yang melihat kedatangan si peon berpikir bahwa dia akan melompat ke pelana. Karena itu ia membalikkan kepala dan dadanya lalu mendengus mengancam. Kesempatan ini saya gunakan. Dengan mengambil langkah-langkah cepat saya datang dari arah belakang ... mengambil awalan yang pas, melompat, terbang dan sudah duduk di atas pelana. Namun sekarang saya harus cepat-cepat memasukkan kaki ke sanggurdi dan meraih tali kekang! Pada waktu itu kuda tadi menerjang ke udara dengan keempat kakinya. Si peon terpaksa melompat ke samping agar terhindar dari tendangan kaki kuda. “Anjing!” bentaknya geram. “Kamu harus membayarnya!” Lalu sambil berpaling kepada rekan-rekannya dia berseru, “Cepat masuk ke pekarangan! Kesepakatan tidak boleh ditepati! Dia harus menggiring semua kuda keluar, semuanya!” Dia berlari bersama mereka. Karena saya sudah duduk di atas punggung kuda, mereka tak sanggup berbuat apa-apa untuk menghalangi saya yang segera membuat loncatan terakhir dan keluar. Yang terpenting sekarang, saya harus bergegas memacu kuda untuk mengamankan barang jarahan yang pantas saya peroleh dari jerih payah hari ini. Karena itu mereka pun berusaha sedapat mungkin untuk mendahului saya. Mereka menyangka, kuda ini tak akan menuruti perintah saya, sebagaimana layaknya dua kuda sebelumnya. Namun mereka keliru. Begitu saya duduk di atas pelana, ia tak meronta sedikit pun ataupun melemparkan saya. Ini semua adalah pengaruh pakaian Indian. Walaupun demikian kuda itu kembali mengenali saya. Ia tahu kalau saya bukan seorang kulitmerah, melainkan kulitputih, dan karenanya ia mulai berjalan perlahan-lahan. Saya menolak menggunakan
pemacu
untuk
memaksanya
maju.
Sebagai
gantinya
saya
hanya
mengucapkan kata-kata manis. Karena saya yakin, kuda ini mendapat pelatihan di daerah jalur silang di Dakota, maka pertama-tama saya coba berbicara dalam bahasa tersebut. Saya mengucapkan dua kata yang selalu dipakai penunggang kuda dari suku Dakota untuk melecut semangat kudanya, “Schuktanka waschteh, waschteh! Tokiya, tokiya! – ayolah, ayolah, kuda manis! Berlarilah, berlarilah, ayo maju!” Seruan ini tidak membuahkan hasil. Maka saya mencobanya sekali lagi dalam dialek Apache, “Yato, yato! Tatischah, tatischah ... ayolah, ayo! Maju, maju!”
50
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Telinganya berdiri tegak dan ekornya bergoyang-goyang. Ia mengenali seruan itu, walaupun belum seluruhnya. Karena itu sekarang saya mencobanya dalam dialek Comanche, “Ena, ena! Galak ... maju terus, maju!” Saya berhenti di tengah-tengah. Saya tak perlu mengucapkannya hingga selesai karena kuda jantan ini mengeluarkan ringkikan halus sebagai tanda sukacita lalu mulai bermain-main dengan kakinya. Tiba-tiba terbersit di dalam benak saya sebuah ide, ide yang sebenarnya hanya dicari-cari, tapi di kemudian hari terbukti kebenarannya: saya terkenang akan seekor kuda putih dengan bulu-bulu merah dan putih, kuda hebat yang dahulu gemar sekali ditunggangi teman saya Apanatscha ketika dia masih menjadi kepala suku ComancheNaiini. Tentang kuda itu sudah saya ceritakan dan gambarkan dalam “Old Surehand III”. Dan saya tahu, Apanatscha dan Old Surehand berjuang mati-matian untuk mengawinkan kuda Comanche yang gagah itu dengan kuda kesayangan Winnetou dan kuda pacuan terbaik dari Dakota untuk menghasilkan jenis kuda yang mewarisi keunggulan ketiga ras di atas. Cita-cita ini berhasil. Kini keduanya memiliki sejumlah peternakan yang besar. Dan peternakan yang paling penting terletak di dekat Bijou-Creek, yang adalah anak sungai dari dataran rendah di selatan. Selain bangunan untuk peternakan, di sana pun Old Surehand mendirikan rumah, dan pada umumnya dia menginap di rumah itu selama beberapa bulan dalam setahun. Rumah yang dibangun dengan nuansa yang sangat unik inilah yang dimaksudkannya ketika dia menulis dalam suratnya kepada saya: “Anggaplah rumah saya sebagai rumahmu, juga meskipun kami tidak berada di tempat.” Apakah ketiga kuda blasteran itu harus dibawa ke sana? Juga kuda bagal? Apakah keenam orang yang menamakan diri ‘seniman’ dan peon-nya termasuk gerombolan maling kuda? Kota Trinidad sangat terkenal dengan perdagangan kudanya dan menjadi tempat yang ideal dan nyaman bagi para tengkulak untuk menyalurkan barang-barang curian kepada pemesannya. Semua pemikiran ini bergerak secepat kilat dalam benak saya, saya tak bisa menahan atau mengalihkannya ke tempat lain. Seperti yang telah saya katakan di atas, kuda blasteran mulai menari-nari dan bermain-main dengan keempat kakinya. Kedua rekan dan kerabatnya telah pergi. Ia pun ingin menyusul, pergi ke tempat mereka. Saya memegangnya, memacunya berderap maju, namun hanya sampai di tembok. Di sana saya menghentikannya. Dengan dengkuran halus dan dalam, hewan itu meminta agar dibiarkan melewati tembok. Saya bisa mendengarnya. Ia tidak bisu, ia bisa berbicara! Sekarang saya akan memenuhi keinginannya. Tembok itu, mengutip istilah ilmiah para penunggang kuda, “bisa dilalui dengan sangat elegan”. “Menang, menang! Kuda-kuda itu menjadi miliknya, miliknya!” terdengar seruan beramai-ramai.
51
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Cepat-cepat Pappermann mengejar saya dari belakang. Saya menyerahkan kuda kepadanya agar bisa digiring ke tempat kuda lainnya di pekarangan. “Tunggu! Berhenti di tempat!” teriak Howe mencegahnya. “Kuda jantan itu milik kami, begitu pun semua yang lainnya. Semua kuda harus dibawa kembali ke dalam, ke sini, kepada kami!” Dia meraih tali kekang. Pada waktu itu saya maju ke dekatnya dan menjawab, “Jangan sentuh hewan itu! Saya menghitung sampai tiga: satu ... dua ... tiga!” Dia tak mau melepaskannya. Maka pada hitungan ketiga, tinju saya melayang ke samping sehingga tubuhnya terbang ke tengah-tengah rekannya lalu akhirnya roboh ke tanah. Sesaat dia berusaha untuk bangun dengan susah payah agar secepatnya bisa balas memukul saya, tapi tak bisa. Hanya dengan perlahan-lahan dia beringsut bangkit. Sebelum dia sempat berdiri, seorang rekannya sudah mengambil alih urusannya, yakni peon yang tadi menghina saya dengan sebutan ‘anjing’. Dengan tangan terkepal dia maju menghadang saya dan berteriak, “Pukul, kamu juga berani memukul? Itu sangat tidak sehat buat ....” Kata-katanya tidak selesai. Dia dihentikan oleh pemilik losmen yang baru saja masuk ke ‘taman’, diikuti oleh beberapa pria tegap dan berotot kekar yang cepat-cepat dipanggilnya untuk menyelamatkan suasana yang menegang. “Tenang, tenang! Tutup moncongmu!” balasnya meneriaki sang peon. “Makanan sudah siap! Ada sup! Akhiri urusan kalian, kalau kalian mau makan! Di hotel saya orang tak diizinkan langsung melayangkan tinju seenaknya! Di sini berlaku, pertama-tama sup ayam, kemudian baru urusan bisnis!” Dia memang cerdik. Guna menenangkan peon, mula-mula dia melemparkan kesalahan kepada saya, tapi dengan kerdipan mata dia meminta saya supaya kata-kata ‘tak diizinkan langsung melayangkan tinju seenaknya’ tidak diambil sampai ke hati. Dia datang membawa baskom berisi kaldu ayam, sementara itu orang-orang yang menyusulnya dari belakang mengantar piring dan alat-alat makan. Sambil berbicara, dia mengeluarkan kaki ayam tua yang sudah dimasak dan mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga bisa terlihat oleh semua orang. Maka terjadilah, apa yang sudah dipikirkannya dengan cerdik. Dari pekarangan dan ‘taman’ terdengar suara tawa yang keras hingga ke tempat kami. Terdengar juga suara-suara lucu yang hiruk pikuk, “Benar sekali! Benar sekali! Pertama-tama sup ayam, baru urusan bisnis! Hidup ayam! Semoga panjang umur!” Ada pengaruhnya. “Well!” kata peon. “Setuju! Mula-mula sup ayam dahulu, kemudian baru urusan kuda! Ambillah tempat duduk! Kita mau makan! Mr. Burton bisa menunggu sampai kita selesai makan!”
52
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Tidak! Dia tak boleh menunggu!” timpal Howe yang menyambar kursinya agar bisa duduk. “Dia harus memainkan musik buat kita! Musik pengiring perjamuan! Dia meniup harmonika tarik dan Mrs. Burton memetik gitar!” “Ya, benar, benar!” teriak peon setuju sambil memberikan perintah kepada saya dengan tangan. “Bawa harmonika tarik kemari! Dan juga gitar!” “Secepatnya!” jawab saya. “Secepatnya!” Saya menghampiri Herzle, mengambil kedua revolver dari kedua saku luar dari kemeja yang tadi ditanggalkan dan bertanya kepadanya, “Bisa kamu bayangkan, apa yang harus terjadi sekarang?” “Ya,” jawabnya. “Dan kamu tak takut?” “Saya kira tidak!” “Kalau begitu, ayolah!” Saya mengokang kedua revolver dan memberinya sepucuk. Sampai kini saya berdiri sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa melihat senjata itu. Namun sekarang saya membalikkan tubuh dan menghadap meja. Herzle pun segera mengikuti contoh saya. Sambil mengacungkan tangan kanan yang menggenggam revolver, saya berkata, “Ini harmonika saya!” “Ini gitar saya!” Herzle menyahut. “Permainan dimulai!” kata saya lebih lanjut. “Barangsiapa dari antara kalian yang meraba-raba senjatanya, dia akan langsung terkena peluru di tempat! Makanan kami tadi telah kalian ambil, sekarang giliran kami mengambil makanan kalian! Ayolah, Mr. Pappermann, mari kita makan! Datanglah ke meja kami dengan taplak itu! Bawalah juga perlengkapan makan dan piring! Dan bawa juga ayam itu ke sini!” Suasana hening mencekam selama beberapa saat. Saya lihat, revolver di tangan Herzle sedikit gemetar. Dengan tangannya yang lain, dia menggenggam tangan saya supaya lebih pasti. Tetapi ancaman ini membawa pengaruh. Tiada seorang pun dari ‘seniman’ maupun peon yang berani bergerak. Dan sekarang tiba-tiba bergema tepuk tangan meriah di sekeliling kami. “Bawa juga ayamnya ke sana!” semua yang bisa bersuara berseru, berteriak dan mengolok-olok. “Bawa ke sana, bawa ke sana! Juga ayamnya, juga ayamnya!” Pappermann segera mengerjakan apa yang saya perintahkan. Dan tak seorang pun menghalangi
dia.
Sekonyong-konyong
tampak
orang berdesak-desakan
di luar,
di
pekarangan. Ada seseorang yang datang dari sana dan ingin masuk ke ‘taman’. “Corregidor datang!” terdengar suara orang. “Corregidor!” Jadi Walikota sendiri yang datang! Dan di belakangnya ada tiga polisi. Orang-orang yang menjadi saksi mata. Tetapi mereka kemari bukan hanya sebagai saksi, melainkan
53
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
karena suatu alasan yang sangat lain, alasan yang sangat serius. Begitu sampai di tempat kami, mula-mula Corregidor berpaling kepada saya, “Masukkan kembali revolver, Mr. Burton! Alat itu telah menjalankan tugasnya dan sekarang tidak diperlukan lagi karena saya sendirilah yang akan mengambil alih urusan ini. Kuda dan bagal itu menjadi milik Anda. Tak ada orang yang boleh merebutnya dari tangan Anda. Dan juga uang Anda kembali menjadi milik Anda!” “Oho, tunggu dulu!” peon yang tadi disinggung kembali berteriak ketika sadar bahwa senapan kami tidak lagi ditodongkan ke arahnya. “Itu adalah milik kami!” “Tentu saja milik Anda! Justru Anda! Khususnya Anda! Saya merasa wajib untuk tahu nama Anda! Tapi bukan nama palsu, melainkan nama sesungguhnya!” “Nama saya?” tanya peon. “Mengapa? Untuk apa? Tak pernah saya memakai nama palsu!” “Paling tidak
saya mengenal sepuluh hingga sebelas nama palsu yang sampai
sekarang Anda gunakan untuk menutup kedok. Nama Anda yang asli adalah Corner. Dengan nama palsu terakhir Anda telah dijatuhi hukuman di bawah sana, di Springfield, karena kasus perampokan dan pencurian kuda, tetapi Anda berhasil melarikan diri!” “Itu tidak benar! Bohong! Hanya fitnah belaka! Saya seorang manusia yang jujur dan belum pernah menghabisi nyawa seseorang hanya gara-gara sekeping sen!” “Sungguh? ... Maukah Anda melihat orang yang bukan hanya mengatakan yang sebaliknya, melainkan juga sanggup menunjukkan buktinya?” “Bawa dia kemari!” “Inilah orangnya!” Setelah itu pegawai pemerintahan itu mengelak selangkah ke samping, sehingga polisi yang dari tadi hanya berdiri di belakangnya bisa kelihatan. Dia mengangguk sinis kepada peon lalu berkata, “Anda mengenal saya ‘kan, Mr. Corner? Sayalah orang yang menangkap Anda di Springfeld. Dan hari ini saya mengulanginya sekali lagi dengan penuh sukacita. Saya sudah mendapat tempat tugas baru di Trinidad!” Sebelum melihat dan mendengarkan kata-kata polisi itu, si peon berteriak keras, “Bajingan ini ada di sini, bajingan ini! Enyahlah kalian semua ke neraka ... ke tempatnya para iblis! Ayo, ayolah!” Setelah ajakan terakhir ditujukan kepada rekan-rekannya ini, dia meloncat untuk menjauhi kami lalu berlari cepat seperti memakai sepatu per, keluar dari taman melewati lahan tandus lalu menuju ke tempat kuda. “Kejar dia, kejar dia! Dia mau melarikan diri!” perintah Corregidor lalu segera memburunya dari belakang. Tapi peon itu tidak kabur sendirian. Seluruh gerombolannya bangkit dan menyusulnya dengan cepat dan begitu cekatan, sehingga bisa terlihat kalau
54
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
mereka telah dibekali latihan khusus dalam situasi-situasi semacam ini. Saya pun terbiasa bertindak sangat cepat, apabila diharuskan demikian. Maka dengan cepat saya memburu, tetapi hasilnya saya hanya bisa membekuk dan menahan orang yang paling akhir dari mereka. Memang dia memberontak dan ingin melepaskan diri, akan tetapi Pappermann – yang sangat kuat – menariknya dari tangan saya, membantingnya ke tanah lalu menindih dia dengan lututnya sehingga pria malang itu tak bisa lagi bergerak. Sekarang semua orang berlari. Paling depan mereka yang melarikan diri, di belakangnya orang-orang yang mengejarnya. Kelompok pertama mencapai kudanya, meloncat ke pelana lalu memacunya kabur sambil membawa serta bagal keempat dan juga kuda milik rekannya yang sedang kami tahan. “Bangsat!” teriak orang itu marah ketika melihat saya. “Bagaimana dengan saya!” “Tergantung pada kamu sendiri,” sahut saya. “Mengapa?” tanyanya. “Tunggu saja!” Perhatian saya dibelokkan ke rentetan peristiwa di luar yang begitu menggelikan. Bukan hanya sebagian dari orang yang hadir terlibat dalam pengejaran, melainkan semuanya, kecuali Pappermann, pemilik losmen beserta anak buahnya, sang pria Indian, istri saya, dan saya sendiri. Tetangga yang rumahnya dibatasi dengan pagar kayu atau kebanyakan oleh pagar tembok pun berhamburan datang dan memburu. Mereka tidak berpikir sedikit pun untuk berhenti atau pun berbalik, mengingat kawanan itu memakai kuda. Malahan kami mendengar Corregidor berseru, “Segeralah ke Corrals! Dan buntuti mereka!” Corrals adalah daerah kosong yang tidak dipagari, tempat orang menambatkan kuda. Tempat-tempat seperti ini banyak disediakan untuk penduduk Trinidad. Sekarang mereka bergegas ke sana supaya secepatnya bisa memacu kuda dan menelusuri jejak orang-orang yang tadi berlari kalang kabut dengan begitu cepat. Hanya kami sendiri yang tinggal. Saya berpaling kepada tawanan yang masih dikunci oleh Pappermann. “Bangun, anak bandel! Dan dengarkan apa yang saya katakan!” Pappermann melepaskannya sehingga dia bisa berdiri. Kemudian kata saya, “Jika kamu menjawab pertanyaan saya dengan jujur dan benar, kamu akan kami lepas.” “Jadi saya boleh ke mana pun sesuka hati?” tanyanya cepat. “Ya.” Dia menatap saya seperti menguji kebenaran kata-kata saya. Lalu katanya, “Anda tidak kelihatan seperti seorang pembohong. Saya berharap Anda memegang janji Anda. Jadi ajukan pertanyaan tentang apa yang ingin Anda ketahui!” “Dari mana kalian memperoleh ketiga kuda blasteran itu?” “Dari peternakan milik seseorang yang bernama Old Surehand.”
55
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
“Dan bagal?” “Juga dari sana.” “Dicuri?” “Tidak, sebenarnya tidak. Hanya dengan tipu muslihat, muslihat sederhana tetapi ampuh. Corner diberitahu bahwa kuda-kuda dan bagal terbaik milik Old Surehand akan disediakan untuk seorang Jerman yang sedang dinantikan kedatangannya bersama istrinya. Akan datang juga beberapa pelukis dan pemahat patung yang masih muda dan mereka harus membawa perlengkapan ....” “Membawa perlengkapan? Untuk apa?” potong saya. “Agar bisa berkuda ke daerah Apache guna menghadiri suatu pertemuan akbar. Young Surehand mengundang mereka ke sana, tetapi dia sendiri, seperti juga ayahnya, sudah pergi lebih dulu. Di sanalah kami akan bertindak. Kami membuat semacam pesta topeng, ibarat sandiwara pada waktu karnaval. Pihak bendahara akan percaya dan memenuhi semua yang kami minta.” “Ah! Karena itulah Anda sekarang bekerja juga sebagai pemahat dan pelukis!” “Benar!” dia tertawa. “Terus dengan pertanyaan lain!” “Saya sudah selesai. Apabila saya mau mengorek lebih jauh rahasia Anda, maka rasanya sangat sulit atau bahkan mustahil bagi saya untuk tetap menjaga janji saya. Jadi saya tak mau tahu lebih banyak lagi.” “Dan saya boleh pergi?” “Ya.” “Terima kasih! Anda manusia yang memegang janji, Sir! Tetapi apa arti harga diri saya kalau tanpa kuda!” “Saya tak bisa membantu.” “Bukankah Anda bisa memberikan saya setidak-tidaknya seekor bagal?” “Bagal hasil curian? Tidak!” “Tapi, sekarang Anda ‘kan sudah tahu, hewan-hewan itu sebenarnya bukan milik kami, jadi Anda pun tak boleh menahannya!” “Saya pun tidak bermaksud demikian. Saya mengenal Old dan Young Surehand. Anda boleh percaya pada saya, dia akan mendapatkan kembali semua yang Anda curi, paling tidak sebanyak yang bisa saya selamatkan. Selain itu kemah pun akan saya tahan.” “Well! Bagi saya sama saja! Namun tanpa kuda saya tak bisa pergi. Hari ini Anda akan tahu bahwa tak ada satu kuda pun yang lenyap, terserah kuda milik siapa. Apakah hati nurani Anda tidak dibebani rasa bersalah?” “Tidak sedikit pun! Karena tak terbayangkan sedikit pun dalam benak saya untuk menukarkan apa yang telah diperjuangkan oleh orang lain. Jadi pergilah!” “Baik! Selesai! Selamat tinggal!”
56
eBook ini dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) www.indokarlmay.com
Dia membalikkan tubuh lalu pergi. Pemilik losmen yang mendengar semuanya, berkata kepadanya, “Apabila Anda sangat berkeinginan mencari hati nurani yang lain untuk dimintai nasihat, saya bersedia menawarkan diri. Saya akan segera mengatur supaya di sini dan hari ini tak ada kuda yang raib! Juga tidak tempat lain atau kuda milik siapa pun! Karena dalam sepuluh menit seluruh kota akan tahu bahwa Anda telah kabur dari sini dan ingin mencuri kuda. Enyahlah!” Orang itu bermaksud mau pergi, namun Pappermann mencengkeram lengannya sekali lagi dan berkata, “Masih ada satu pesan lagi! Kedua gentleman ini yang mau membebaskan Anda sudah melupakan hal yang paling utama. Anda punya uang ‘kan?” “Ya, cukup untuk membeli semua yang saya perlukan.” “Di mana?” “Di sini, di dalam saku.” Dia mengeluarkan sebuah pundi-pundi yang penuh terisi dan memamerkannya dengan angkuh kepada kami lalu bertanya, “Mengapa Anda menanyakan tentang uang saya?” “Untuk membayar ongkos makan!” jawab Pappermann sambil tertawa menatap wajahnya. “Nama saya Maksch Pappermann dan saya tak membiarkan diri dikibuli oleh keparat-keparat seperti Anda. Anda harus membayar semuanya, untuk Anda dan juga rekan-rekan Anda!” “Untuk saya, hanya untuk saya! Saya tak mau membayar untuk yang lainnya!” “Anda pasti akan mau! Kemarikan pundi-pundi itu!” Dia merenggutnya dari tangan orang itu, cepat-cepat menyerahkannya kepada saya lalu berkata, “Apakah Anda bersedia menghitung bayarannya, Sir! Untuk sementara saya menahan bajingan ini.” Seperti yang dikatakan, begitu pula yang dilaksanakan. Pemilik losmen yang baru menghitung ongkosnya. Saya membayarnya dan mengembalikan pundi-pundi beserta uang sisa kepada orang itu. Setelah itu dia menghilang, mengambil langkah seribu sambil menyembur sumpah serapah, ya, dia kabur secepat-cepatnya ....
*****
57