JAnalisis u r n aTingkat l E K OKemiskinan N O M I K Adi IProvinsi N D O NAceh ESIA Volume 1, Nomor 1, Juni 2012 Hal. 61-71
ISSN: 2338-4123
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
The problem of poverty has always been a discussion in any development planning, have a dimension that is very unique and complicated due to the characteristics that can affect poverty itself. In this research the characteristics that are considered to affect poverty in the province of Aceh of the place of residence, gender, age, education level, employment sector, long working hours and the number of family members. The data used in this research is the data that comes from the SUSENAS 2010 conducted by BPS. The research method used is logistic regression. Individual and household variables used in this research comes from 11.394 selected household sample. Logistic regression model estimation results concluded that the place of residence, gender, age, education level, employment sector, long working hours, and number of household members collectively affect the trend level of income. To improve the well-being and reduce the amount of poverty so it takes concrete action to increase revenues, among others, through the improvement and development of these factors. Especially for the educational factors, job training, help venture capital and equitable development among regions.
Jariah Abu Bakar Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Keywords : Poverty, household characteristics, logistic regression
Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
61
Jariah Abu Bakar
Latar Belakang Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern saat ini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembagalembaga yang ada dimasyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan daripada pemerataan. Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya kepemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil dan lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir, sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam pengambilan keputusan. Provinsi Aceh dalam perjalanannya telah banyak mengalami pasang surut dalam pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Banyak kejadian-kejadian yang membawa 62
pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan Provinsi Aceh. Konflik yang berkepanjangan dan terjadinya tsunami tahun 2004 yang lalu terbukti mampu memporak porandakan Provinsi Aceh, bukan hanya dari tatanan ekonomi dan pembangunannya saja tapi juga tatanan kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Dua faktor diatas yang membuat Provinsi Aceh tetap masuk dalam 15 besar provinsi yang masih memiliki angka kemiskinan yang tinggi di wilayah Republik Indonesia. Kemiskinan di Aceh sebagian besar lebih disebabkan oleh fenomena pedesaan, dimana terlihat bahwa lebih dari 30 persen rumah tangga yang berada diwilayah pedesaan hidup dibawah garis kemiskinan. Hal ini bila dibangdingkan dengan tingkat rumah tangga miskin diwilayah perkotaan yang kurang dari 15 persen. Masalah lainnya yang terkait dengan tingginya tingkat kemiskinan yaitu ukuran rumah tangga yang lebih besar, tingkat pendidikan yang lebih rendah, dan rumah tangga dengan mata pencarian di bidang pertanian. Pasca bencana tsunami tahun 2004, tingkat kemiskinan di Aceh meningkat, hal ini disebabkan karena besarnya kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh bencana oleh tsunami, namun demikian hal ini sekaligus mencerminkan dampak yang positif dari upaya awal rekonstruksi. Berdasarkan hasil laporan dari Bank Dunia menyebutkan bahwa sebenarnya tingkat kemiskinan di Aceh Menurun pada tahun 2006 hingga mencapai 26,5 persen, yang ternyata lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum terjadinya bencana alam Tsunami. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemiskinan yang berkaitan dengan tsunami tidak berlangsung lama dan aktivitas rekonstruksi kemungkinan besar memfasilitasi penurunan tersebut. Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan di Aceh menurun, sementara tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah lain di Indonesia meningkat. Walaupun demikian, kemiskinan JURNAL EKONOMIKA INDONESIA
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
di Aceh tetap jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Aceh telah mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah atau negative selama hampir tiga decade terakhir, tertinggal dibelakang Indonesia dan Sumatra Utara hampir setiap tahun. Alasan utama pertumbuhan yang lambat tersebut adalah konflik yang berlangsung lama yang berdampak buruk pada provinsi Aceh, meskipun ketertinggalan ekonomi secara structural juga berkontribusi terhadap kinerja ekonomi yang buruk. Akibatnya, Aceh memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan hampir semua wilayah lain di Indonesia. PDB per kapita yang tinggi di Aceh, pada dasarnya merupakan hasil dari banyaknya cadangan minyak dan gas bumi di pantai timur, tidak menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih rendah di Aceh. Mengingat bahwa kemiskinan merupakan fenomena pedesaan, pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin akan memerlukan peningkatan pertumbuhan sektor pertanian, melalui peningkatan produktivitas petani, menghilangkan hambatan terhadap pertumbuhan di daerahdaerah pedesaan (seperti kurangnya akses keuangan), perbaikan prasarana pedesaan dan akses petani kepasar serta memfasilitasi pergerakan penduduk desa menuju kutubkutub pertumbuhan di wilayah-wilayah perkotaan. Berlimpahnya sumber daya alam di Aceh tidak menyebabkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi atau tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Pada kenyataannya, kekayaan sumber daya terkait erat dengan konflik yang telah merusak Aceh selama lebih dari 30 tahun dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi, pemerintahan yang lemah, rendahnya tingkat pelayanan umum, serta salah satu tingkat kemiskinan yang tertinggi di Indonesia. Sumber daya alam tidak seharusnya menimbulkan konflik. Penetapan kebijakan yang baik dapat membantu mengurangi kemungkinan Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
timbulnya konflik akibat sumber daya, seperti investasi di bidang pendidikan dan kesehatan, diversifikasi ekonomi dari ketergantungan yang berlebihan terhadap sumber daya alam, peningkatan transparansi distribusi dan penggunaan pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam, dan jaminan supremasi hukum. Kondisi keamanan yang semakin membaik di provinsi Aceh, akan membantu meningkatkan pertumbuhan perluasan lapangan usaha. Sehingga dengan demikian pengusaha merasa aman untuk menanamkan modalnya, hal ini akan mengakibatkan akan beratmbahnya lapangan pekerjaan dan jenis lapangan pekerjaan yang bervariasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan. LANDASAN TEORItis Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis. Sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan,dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alatalat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai alemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan 63
Jariah Abu Bakar
masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan. Pemahaman kemiskinan selama ini sangat beragam, tergantung dari sisi mana kita melihat sisi kemiskinan itu terjadi. Kemiskinan dapat dilihat mulai dari ketidakmampuan memenuhi keperluan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial, politik dan moral atau budaya. Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan materi. Dalam pengertian ini, maka seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memrnuhi standar minimum keperluan pokok untuk dapat hidup secara layak. Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang bebicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. 64
Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. JURNAL EKONOMIKA INDONESIA
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang didalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan objective atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subjective menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), (2004). Dari pendekatan-pendekatan tersebut indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kurangnya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya. Tulus Tambunan (2001; 71) besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat ratarata dari distribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju (DCs), kemiskinan relatif diukur sebagai suatu proporsi dari Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
tingkatan pendapatan rata-rata perkapita. Sebagai suatu ukuran relatif, kemiskinan relatif dapat berbeda menurut negara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhankebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen nonmakanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Walaupun kemiskinan absolut sering juga disebut kemiskinan ekstrim, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interprestasi setempat atau kalkulasi. Penyebab Kemiskinan Menurut kuncoro (2000; 107) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan adalah: 1. Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah; 2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan; 3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Kemiskinan (vicious circle poverty), adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya tabungan dan investasi yang berakibat pada keterbelakangan. Logika ini dikemukakan oleh Nurkse dalam Kuncoro (2000;107) yang menyatakan 65
Jariah Abu Bakar
bahwa ‘Negara miskin itu miskin karena dia miskin. Ketiga penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Sen dalam Ismawan (2003:102) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa yang terpaksa saat ini dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat.
rendah tidak sampai tamat sekolah dasar, waktu mereka habis tersita untuk mencari nafkah dan mendapatkan tambahan penghasilan. Keempat, kebanyakan mereka tinggal dipedesaan, tidak memiliki tanah dan kalaupun ada sangat kecil. Pada umumnya mereka menjadi buruh tani, atau pekerja kasar diluar sektor pertanian. Kelima, mereka yang hidup di daerah kota masih berusia sangat muda dan tidak didukung dengan ketrampilan yang memadai. METODE PENELITIAN
Indikator Kemiskinan Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk melihat tingkat kemiskinan atau tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara umum peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antara lain diliat dari dua indikator yang berdampak untuk bidang kesehatan dan pendidikan yaitu kenaikan angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah.
Penelitian ini mencakup 23 daerah kabupaten/kota di Provinsi Aceh yaitu 4 kota dan 17 kabupaten. Sasarannya variabel individu dan rumahtangga diperoleh dari sampel rumahtangga terpilih Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 13.0. Variabel rumahtangga dan individu yang digunakan dalam penelitian berasal dari 11.394 sampel rumahtangga terpilih. Variabel yang berasal dari karakteristik rumahtangga adalah pengeluaran per kapita per bulan (sebagai pendekatan pendapatan), lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota rumahtangga. Sedangkan variabel individu yang digunakan berasal dari karakteristik kepala rumahtangga untuk variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, sektor pekerjaan, usia, dan jumlah jam kerja.
Ciri-Ciri Kemiskinan Prof. DR. Emil Salim pernah mengemukakan lima ciri-ciri mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan. Pertama, pada umumnya mereka tidak memiliki faktor produksi seperti tanah, modal,ataupun ketrampilan yang cukup sehinga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. Kedua, mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikannya
Model dan Metode Analisis Analisis deskriptif dengan tabulasi silang adalah metode analisis yang sederhana, namun memiliki daya menerangkan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antarpeubah. Dalam tabulasi silang ditampilkan juga distribusi persentase tingkat pendapatan menurut peubahpeubah penjelas. Metode analisis regresi logistik : π(X) = exp (β0 + β1X1 + β2X2 + … + βxXx) 1 + exp (β0 + β1X1 + β2X2 + … + βxXx)
66
JURNAL EKONOMIKA INDONESIA
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
Uji Signifikansi Model Untuk menguji signifikansi model digunakan statistik uji G2. Statistik uji ini digunakan untuk menguji kesesuaian model dengan melihat semua peubah bebas dalam model (Johnson & Wichern, 1992). Statistik ujinya adalah:
G2
§L 2 ln ¨¨ 0 © L1
· ¸¸ ¹
Dimana L0 = likelihood tanpa peubah penjelas, dan L1 = likelihood dengan peubah penjelas Pengujian Parameter Untuk pengujian parameter digunakan statistik uji Wald. Statistik uji ini digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dalam model regresi logistik. Statistik ujinya adalah
Wi
§ βˆi ¨ ¨ SE βˆ i ©
· ¸ ¸ ¹
2
Dimana βˆi = penduga βi SE βˆ i = simpangan baku penduga βi
HASIL PENELITIAN Setiap rumahtangga mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda baik karakteristik umum rumahtangga maupun karakteristik individu kepala rumahtangga. Beberapa karakteristik tersebut dapat memberikan implikasi yang berbeda terhadap pendapatan. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 11.394 rumahtangga sampel penelitian dalam Susenas 2010, 9.671 rumahtangga (84,88 persen) termasuk dalam kelompok pendapatan tinggi/diatas garis kemiskinan (tidak miskin) dan 1.723 rumahtangga (15,12 persen) berpendapatan rendah/sama dengan atau dibawah garis kemiskinan (miskin). Selanjutnya akan diperlihatkan karakteristik rumahtangga
Tabel 1 Rumahtangga Menurut Karakteristik Rumahtangga dan Pendapatan Karakteristik Rumahtangga
Berpendapatan Tinggi Jumlah
Persen Baris
1. Wilayah Perkotaan 3.538 81,31 Perdesaan 6.133 87,08 2. Jenis Kelamin Laki-laki 7.977 84,69 Perempuan 1.694 85,77 3. Tingkat Pendidikan Diatas = SLTP 5.135 84,74 SLTP kebawah 4.536 85,04 4. Sektor Pekerjaan Formal 3.359 84,72 Informal 6.312 84,96 5. Usia ≤ 50 tahun 6.093 84,37 > 50 tahun 3.578 85,76 6. Jam Kerja ≥ 35 jam 6.119 84,81 < 35 jam 3.552 85,00 7. Jumlah Anggota Rumahtangga ART ≤ 4 6.036 84,98 ART > 4 3.635 84,71 Total 9,671 84,88
Berpendapatan Rendah
Total
Persen Kolom
Jumlah
Persen Baris
Persen Kolom
Jumlah
Persen Baris
Persen Kolom
36,68 63,42
813 910
18,685 12,921
47,185 52,815
4.351 7.043
100,00 100,00
38,19 61,81
82,48 17,52
1.442 281
15,309 14,228
83,691 16,309
9.419 1.975
100,00 100,00
82,67 17,33
53,10 46,90
925 798
15,264 14,961
53,685 46,315
6.060 5.334
100,00 100,00
53,19 46,81
34,73 65,27
606 1.117
15,284 15,036
35,171 64,829
3.965 7.429
100,00 100,00
34,80 65,20
63,00 37,00
1.129 594
15,633 14,238
65,525 34,475
7.222 4.172
100,00 100,00
63,38 36,62
63,27 36,73
1.096 627
15,191 15,004
63,610 36,390
7.215 4.179
100,00 100,00
63,32 36,68
62,41 37,59 100,00
1.067 656 1.723
15,022 15,288 15,122
61,927 38,073 100,00
7.103 4.291 11.394
100,00 100,00 100,00
62,34 37,66 100,00
Sumber: BPS, SUSENAS 2010 (diolah)
Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
67
Jariah Abu Bakar
baik yang berpendapatan rendah maupun yang berpendapatan tinggi. Wilayah Tempat Tinggal Sebagian kecil rumahtangga (38,19 persen) bertempat tinggal di perkotaan dan mayoritas masih berada di wilayah perdesaan (61,81 persen). Rumahtangga berpendapatan rendah yang berada di perkotaan sebanyak 18,69 persen dari total rumahtangga di daerah tersebut, sementara di wilayah perdesaan jumlahnya juga menurun yaitu 12,92 persen dari keseluruhan rumahtangga di perdesaan. Perbedaan yang cukup besar tersebut mengindikasikan adanya ketidaksamaan pendapatan yang diperoleh penduduk perdesaan dan perkotaan yang dapat terjadi karena perbedaan upah, produktivitas, atau akibat keterampilan pekerja. Jenis Kelamin Rumahtangga yang dikepalai oleh laki-laki sebanyak 82,67 persen dan yang dikepalai oleh perempuan sebanyak 17,33 persen. Rumahtangga yang dikepalai lakilaki sebanyak 15,31 persen diantaranya berpendapatan rendah, sedangkan yang dikepalai perempuan lebih sedikit yaitu 14,23 persen. Namun dari seluruh rumahtangga berpendapatan tinggi, sebanyak 84,69 persen diantaranya dikepalai oleh laki-laki. Kaum perempuan mempunyai peran ganda yaitu mengurus rumahtangga disamping bekerja. Waktu yang digunakan tersita untuk kegiatan tersebut sehingga dapat mengurangi jam kerja serta produktivitasnya. Sekitar 72,57 persen perempuan mengurus rumahtangga daripada laki-laki yang hanya 9,70 persen. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh menjadi lebih kecil daripada lakilaki. Perempuan juga seringkali mendapat perlakuan diskriminatif di lingkungan kerjanya atau dapat pula perempuan cenderung menginginkan pekerjaan yang ringan dan mudah sehingga berpengaruh
68
pada pendapatan yang diperoleh (Mankiw, 2002). Akses terhadap pendidikan yang lebih mengutamakan laki-laki juga menghambat kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan yang sama dengan laki-laki sehingga berakibat pada pendapatan yang diperoleh. Pendidikan Sebanyak 46,81 persen dari rumahtangga dengan kepala rumahtangga berpendidikan paling tinggi hanya menamatkan sekolah lanjutan pertama, mempunyai rata-rata pendapatan per kapita per bulan rendah, yaitu Rp 80.269,84 (lihat Tabel 14, Lampiran 1). Sedangkan rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga diatas sekolah lanjutan pertama sebesar 53,19 persen dari total rumahtangga kelompok itu. Rendahnya pendidikan kepala rumahtangga berakibat dari rendahnya tingkat pendapatan, pekerja hanya mempunyai kemampuan dan keterampilan terbatas, sehingga produktivitasnya juga rendah dan pendapatan yang diperoleh pun terbatas. Sektor Pekerjaan Sektor pekerjaan formal hanya dilakukan oleh sepertiga dari seluruh rumahtangga. dua pertiga bagian lainnya bekerja di sektor informal. Namun demikian, dari seluruh rumahtangga dengan kepala rumahtangga bekerja di sektor formal sebanyak 84,72 persen termasuk kelompok berpendapatan tinggi. Biasanya pekerja informal mempunyai kemampuan terbatas sehingga tidak terserap lapangan kerja formal. Selanjutnya mereka terpaksa bekerja apa adanya dengan sumber-sumber yang terbatas, baik modal maupun keterampilan. Bahkan seringkali mereka bekerja dibawah standar jam kerja normal per minggu. Dengan keterbatasan yang sedemikian besar, peluang untuk mendapatkan pendapatan tinggi menjadi sangat kecil.
JURNAL EKONOMIKA INDONESIA
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
Usia Hampir 30 persen kepala rumahtangga sampel berusia lebih dari 50 tahun. Dari jumlah tersebut 14,24 persen diantaranya berpendapatan rendah. Sedangkan rumahtangga dengan kepala rumahtangga berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun sebanyak 15,63 persen rumahtangga sampel berpendapatan rendah. Pendapatan selain dipergunakan untuk konsumsi, sisanya ditabung. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak tabungan yang dihasilkan, sehingga rumahtangga dengan kepala rumahtangga berumur 50 tahun lebih mempunyai kemungkinan berpendapatan rendah yang lebih kecil daripada kelompok usia dibawahnya. Jika tabungan yang diperoleh juga digunakan untuk investasi, maka penghasilan orang tersebut bertambah dan semakin besar peluang rumahtangga tersebut tidak miskin atau berpendapatan rendah. Jam Kerja Banyak di antara rumahtangga dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan rendah ternyata harus bekerja lebih lama atau paling tidak selama 35 jam per minggu.
Sebanyak 63,61 persen rumahtangga berpendapatan rendah melakukan pekerjaannya selama 35 jam per minggu atau lebih. Sedangkan 36,39 persen rumahtangga berpendapatan rendah lainnya kepala rumahtangganya hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu, lebih tinggi daripada rumahtangga berpendapatan tinggi (36,73 persen). Terlihat jelas bahwa proporsi rumahtangga berpendapatan rendah yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu lebih besar daripada rumahtangga berpendapatan tinggi. Dengan tingkat produktivitas yang sama, seseorang yang bekerja lebih lama lebih produktif daripada pekerja dengan waktu lebih sedikit. Jumlah Anggota Rumahtangga Sebanyak 15,29 persen rumahtangga berpendapatan rendah mempunyai anggota rumahtangga lebih dari empat orang dan merupakan 38,07 persen dari seluruh rumahtangga berpendapatan rendah. Bukti ini memperkuat kenyataan bahwa rumahtangga dengan jumlah anggota rumahtangga lebih dari 4 orang berpeluang lebih besar untuk masuk dalam kelompok berpendapatan rendah daripada
Tabel 2 Uji Ketergantungan Beberapa Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan Variabel
Statistik Uji
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
pendapatan * tempat tinggal
Pearson Chi-Square
69,634
1
0,000
Likelihood Ratio
68,303
1
0,000
pendapatan * jenis kelamin
Pearson Chi-Square
1,488
1
0,223
Likelihood Ratio
1,508
1
0,219
pendapatan * pendidikan
Pearson Chi-Square
0,203
1
0,652
Likelihood Ratio
0,204
1
0,652
pendapatan * sektor
Pearson Chi-Square
0,124
1
0,725
Likelihood Ratio
0,124
1
0,725
pendapatan * usia
Pearson Chi-Square
4,009
1
0,045
Likelihood Ratio
4,038
1
0,044
pendapatan * jam kerja
Pearson Chi-Square
0,072
1
0,788
Likelihood Ratio
0,072
1
0,788
pendapatan * jumlah ART
Pearson Chi-Square
0,147
1
0,701
Likelihood Ratio
0,147
1
0,701
Sumber: BPS, SUSENAS 2010 (diolah)
Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
69
Jariah Abu Bakar
rumahtangga dengan anggota paling banyak 4 orang. Semakin banyak jumlah anggota, maka proporsi pendapatan yang diperoleh masing-masing anggota rumahtangga semakin kecil, karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga harus dibagi atau dipergunakan oleh seluruh anggota rumahtangga. Hubungan Antarvariabel Untuk mengetahui ada atau tidaknya ketergantungan antara variabel tak bebas pendapatan dan masing-masing variabel tak bebas digunakan uji ketergantungan. Statistik uji Pearson Chi-Square dan Likelihood Ratio menunjukkan bahwa terdapat adanya ketergantungan yang signifikan antara pendapatan dengan variabel tempat tinggal, serta pendapatan dengan usia (Tabel 4.7). Sedangkan variabel bebas lainnya yaitu jenis kelamin, pendidikan, sektor pekerjaan, jam kerja, serta jumlah anggota rumahtangga tidak mempunya ketergantungan yang signifikan terhadap pendapatan. Sesuai dengan signifikansi uji ketergantungan sebelumnya, hubungan terkuat berturut-turut adalah antara pendapatan dengan tempat tinggal dan pendapatan dengan usia. Sebaliknya antara pendapatan dan jenis kelamin, pendapatan dan usia, pendapatan dan pendidikan, pendapatan dan sektor pekerjaan, pendapatan dan jam kerja, serta pendapatan dan jumlah anggota rumahtangga tidak terdapat ketergantungan yang signifikan pada α = 5%. Kesimpulan Hasil penelitian terhadap pendapatan rumahtangga di Provinsi Aceh menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010, mengidentifikasi beberapa faktor dari karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi pendapatan.
70
Mayoritas rumahtangga dengan rata-rata berpendapatan rendah berada di wilayah perkotaan, dikepalai oleh laki-laki, dan tidak menamatkan sekolah menengah pertama atau sederajat. Mereka berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun, bekerja di sektor informal, hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu, mempunyai anggota rumahtangga lebih dari empat orang. Model regresi logistik menyimpulkan bahwa wilayah tempat tinggal, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, sektor pekerjaan, jumlah jam kerja, dan jumlah anggota rumahtangga secara bersama-sama mempengaruhi kecenderungan tingkat pendapatan yang memberikan peluang besar kecilnya terjadi kemiskinan di Provinsi Aceh Saran Merujuk hasil penelitian bahwa terdapat beberapa faktor yang secara nyata mempengaruhi pendapatan, untuk itu disarankan perlunya ditindaklanjuti untuk meningkatkan pendapatan per kapita penduduk. Misalnya setelah mewujudkan wajib belajar 9 tahun, hendaknya hal itu diikuti dengan tercapainya Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar sesuai Permendiknas No. 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Dengan demikian kualitas pendidikan dapat ditingkatkan yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dibutuhkan tindakan nyata untuk meningkatkan pendapatan antara lain melalui perbaikan dan pembangunan faktor-faktor tersebut. Berbagai instansi dan institusi pemerintah dan swasta bekerja sama dalam program kerja yang terintegrasi, terutama dalam memperbaiki faktor terpenting seperti pendidikan, pelatihan kerja, program bantuan kerja dan modal, pembinaan keluarga berkualitas, dan pemerataan pembangunan antarwilayah.
JURNAL EKONOMIKA INDONESIA
Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh
REFERENSI Aris Ananta, 1988. Perencanaan Makro Ketenagakerjaan. PAU-EK-UI. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2004. Aceh Dalam Angka. Didik J. Rachbini. 1989. Tenaga Kerja Pengembangan Agro Industri. Prosfek Pengembangan Pada PJP II. Penerbit FE-UI Jakarta. Faisal Kasryno. 1985. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Fakhriah 2007. Analisis Kemiskinan penduduk di Kabupaten Bireun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Thesis. Tidak dipublikasikan Gujarati Damodar, 1979. Basic Econometrics. McGraw-Hill International Book Company. Irawan dan M. Suparmoko. 1983. Ekonomi Pembangunan. BPFE, Yogyakarta. Jhingan. ML, 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerbit Rajawali Press. Jakarta. Katumanga Musambayi dan Ayako, Aloys B. 1997 Kemiskinan dan Permasalahannya. Penerbit Rajawali Press. Jakarta Kuncoro 2000. Pembangunan Ekonomi di Negara-Negara Berkembang. Penerbit Erlangga Jakarta Licoln Arsyad, 1988. Ekonomi Pembangunan. STIE-YKPN. Yogyakarta. Mankiw. N. Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi. Penerbit Erlangga, Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Otto Soemarwoto, 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jembatan Jakarta. http://www.dephan.go.id. 6 Desember 2009 Penduduk Miskin Aceh Capai 1,6 juta. Bivitri Susanti. 6 Desember 2009. Lagi, Potret BuramKemiskinan. Undang-Undang untuk Aceh yang Berkeadilan, Sejahtera, dan Demokratis. http://www.Aceh-eye.org Bungong. 6 Desember 2009.Kemiskinan di Aceh. Ibarat Tikus Mati Dilumbung Padi. beujroh.org http://siteresources.wordbank.org/INTINDONESIA/Kajian Kemiskinan di Aceh. Dampak Konflik, Tsunami dan Rekonstruksi terhadap Kemiskinan di Aceh Siti Rahmah. 24-30 Mei 2007. Kehidupan Masyarakat Miskin dalam Pembangunan Aceh. Published: Koran Raja Post Volume 1, Nomor 1, Juni 2012
71
Jariah Abu Bakar
72
JURNAL EKONOMIKA INDONESIA