KEMISKINAN MASYARAKAT GAMPONG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA DI PROVINSI ACEH Oleh : Yusri Abstrak Usaha mengaiasi kemiskinan budaya merupakan kunci untuk menyelesaikan akar masalah kemiskinan lainnya. Tujuan penelitian ini adalQh mengidentifikasi kemiskinan dari perspektif budaya, khususnya budaya Aceh, mengidentifikasi potensi-potensi sosial-budaya masya-rakat Aceh terkait dengan pengentasan kemiskinan, menganalisa perspektif masyarakat terhatJilp kemiskinan, dan menganalisa program yang dilakukan agar keluarga miskin dapat keluar dari himpitan kemiskinan. Penelitian ini diIakukan di Provinsi Aeeh dengan mengambil sampel beberapa kabupalen/kota. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive random sampling. Daerah yang dijadilaln sampel penelitian yaitu Aceh Besar, Bireuen, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Aceh tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan strukiural, tetapi juga kemiskinatl budaya. Seeara struktur, masyarakat Aceh menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktur sehingga meteka titUzk mempunyai akses dalam budaya, politik, dan ekonomi. Seeara budaya, ada nilai-nilai budaya yang tidJlk disadari akan membawa kepada kemiskinan, seperti kebiasaan ngopi di kedai, budaya konsumtif, tidak disiplin, titUzk menghargai tiakiu. Olell karena itu, untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi di Aceh harus melalui pendekatan konfrehensij dan ber-kesinambungan. Strategi yang digunakan melalui metode pem-berdayaan terhadap sumber daya manusia dan aspek kelembagaannya. Masyarakat Aceh memiliki potensi sasial budaya yang hams tetap dilestarikan melalui dunia pendidikan agar generasi muda yang akan datang dapat menatap masa depan dengan tanpa diliputi oleh dunia kemiskinan, baik kemiskinan struktural maupun kebudayaan kemiskinan. Kata Kunci : Kemiskinan, Budaya, Campong
144
p L
B • 11
d 51
k
k b 5'
k k
F 5
F b 5 5
b 11
1, 1: C t Y 1: ~ 5
145 Pendahuluan Latar Belakang Masalah Pemerintah Aceh terus berupaya mengurangi penduduk miskin. : i' Berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin telah di, . implimentasikan, disamping membangun secara bertahap infrastruktur , dan prasarana sosial ekonomi di daerah gampong, hal ini dilakukan sebagai wujud komitmen Pemerintah Aceh guna membangun kembali Ilk, kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang sempat terpuruk akibat lh i ' konflik politik dan bencana alam tsunami. Pemerintah Aceh sangat ~/ i: berkomitmen bahwa penanganan masyarakat miskin harus dilakukan lIt ' , secara sungguh-sungguh, terpadu, serta memerlukan langkah-langkah tp khusus. . ~~ Berbagai program pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan masyarakat yang telah dilaksanakan Pemerintah Aceh n selama ini diakui lebih terfokus pada pemberdayaan ekonomi. ~ Pendekatan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan 'n sehingga diharapkan masyarakat miskin mampu memenuhi kebutuhan n pangan sehari-hari. Padahal, karakteristik masyarakat miskin sangat h berbeda atau multidimensi, disamping juga masalah yang dihadapi 'k sangat komplek. Kemiskinan tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi a semata, namun juga hams dilihat dari perspektif lainnya, termasuk 1/ budaya. k Patut dipahami, bahwa usaha mengatasi kemiskinan budaya ,..1 merupakan kunci untuk menye1esaikan akar masalah kemiskinan I. lainnya. Budaya adalah pikiran dan akal budi. Dari pikiran dan akal rz budi, manusia kemudian bertindak yang menggiring kepada hasil. [ika 1 diamati saat ini masih ada masyarakat dihimpit dengan kemiskinan, ~ tidak terlepas dari akibat tindakannya yang bersumber dari pola pikir I yang berkembang dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. I Persoalan yang mengernuka dalam konteks ini adalah pertama, bagaimana kerniskinan masyarakat dilihat dari perspektif budaya, khususnya budaya Aceh?; Kedua, potensi-potensi sosial-budaya apa saja yang dimiliki masyarakat Aceh terkait dengan pengentasan
e: /
146 kemiskinan?; Ketiga, bagaimana perspektif masyarakat terhadap kemiskinan?; Keempat, program apa saja yang dapat dilakukan agar keluarga miskin dapat keluar dari himpitan kemiskinan? Tujuan Penelitian Secara spesifik, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kemiskinan dari perspektif budaya, khususnya budaya Aceh; 2. Mengidentifikasi potensi-potensi sosial-budaya yang dimiliki masyarakat Aceh terkait dengan pengentasan kemiskinan; 3. Menganalisa perspektif masyarakat terhadap kemiskinan; 4. Menganalisa program yang dilakukan agar keluarga miskin dapat keluar dari himpitan kemiskinan. Kegunaan Penelitian Hasil studi ini diharapkan sangat berguna bagi para penentu kebijakan (eksekutif dan legislatif), terutama sebagai strategi awal dalam menangani secara tuntas pengurangan kemiskinan di Aceh. Selain itu, hasil kegiatan ini diharapkan pula menjadi kesepakatan (konsensus) bersama antar pemangku kepentingan di Aceh untuk mengatasi masalah kemiskinan dengan tidak menyampingkan peran pembangunan sosial dan budaya secara komprehensif.
Metode Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh dengan mengambil sampel beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi ini. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive random sampling. Adapun daerah yang dijadikan sampel penelitian yaitu Aceh Besar, Bireuen, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.
1 1
147
:\p :ar
,
.
,eu ya
ki at
tu al
h. In
lk In
Teknik Pengumpulan Data 1. Interview bebas mendalam (Depth intervie) Untuk mendapatkan data yang bermanfaat dalam rangka peneltian ini dilakukan dengan cara interview bebas mendalam (depth intervie). Sebelum melakukan interview peneliti melakukan pemilihan informan. Mereka yang terpilih sebagai informan adalah mereka yang mengetahui tentang budaya dan kemiskinan di Aceh. Metode pemilihan informan akan dilakukan dengan teknik snowball. Beberapa informan diantaranya, yaitu: Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Stakeholder yang bergerak dalam bidang budaya dan pengetasan kemiskinan. Data yang diperoleh dari satu informan kemudian akan dilakukan croschek dengan informasi yang diperoleh dari informan lainnya sehingga dapat diperoleh data yang valid dan realible. 2. Observasi Selain itu, penelitian ini juga akan melakukan observasi atau pengamatan untuk melihat kemiskinan dan upaya pengentasannya di Aceh. 3. Wawancara Peneliti juga mewancarai responden dengan menggunakan kuesioner dalam bentuk pertanyaan terbuka dan tertutup sehingga diperoleh gambaran kemiskinan yang dialami oleh keluaga miskin. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian adalah kepala keluarga (KK) miskin dengan tolok ukur definisi kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil dan Pembahasan ill
g. t,
Kemiskinan Masyarakat dalam Perspektif Budaya Aceh Agama Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing lagi. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam yang taat.
148 Bagi uteueng orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala perilaku, sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek, baikburuk dan segala macam bentuk penilaianselalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Ureueng Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dati bingkai agama yang mereka anut (Nyak Pha, 2000: 10). Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa Jzndilt maja di bawah ini.
1.
2. 3.
"Adat bak Poteumeureuhom, Hukam bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Plznng, Reusam bak Laksamana". (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/ pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung [awab ulama, adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab Putro Phang dan adat istiadat atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasapenguasa atau pemimpin-pemimpin se-tempat). Hukom ngon adat Ingee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).
Hukom ngon atiat hanjeuet aee, lagee mata itam ngon mata puteh
(Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih) Seorang responden bernama Muhammad A. Rahman (33 tahun) juga mengatakan, bahwa "Kemiskinan merupakan suatu "penyakit" yang memang harus diobati, Seandainya terus berlanjut akan memati-
149
n n
n p
n u a
n U a
g u
a ()
a I 1
a .t
)
,
kan perekonomian masyarakat secara umum dan tidak baik untuk daerah. Kemiskinan juga membawa seseorang kepada kekerasan, kejahatan, dan sebagainya". Nilai yang ada dalam ajaran Islam dalam memandang kemiskinan tersebut telah mempengaruhi budaya Aceh. Kebudayaan merupakan cara dan sikap tertentu yang dipelajari seseorang dari lingkungannya secara turun temurun. Dalam proses lahirnya suatu kebudayaan menunjukkan bahwa adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan disini termasuk manusia dan sumber-sumber material yang ada di alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kebudayaan kemudian lahir dan muncul di permukaan bumi dengan menawarkan suatu keteraturan, wama bentuk atau corak tersendiri. Ada dua keuntungan yang dapat diambil dengan adanya kebudayaan, yaitu: (1) Terjalin suatu komunikasi; (2) Keseragaman sikap yang relatif dengan masyarakat di sekitamya. Dengan demikian akan terjalinlah suatu hubungan yang harmonis di antara keduanya. Kebudayaan dapat bersifat dinamis dan statis. Kebudayaan yang dinamis sangat tergantung pada kreativitas dan kemampuari/kesanggupan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik daripada yang sudah ada. Berbagai tamsilan ataupun ungkapan dalam bahasa Aceh terhadap konsepsi nilai budaya tersebut, antara lain: ungkapan "paleh ureueng gasien han tom hareukat" merupakan 'sentilan' bagi orang miskin yang malas tidak mau berusaha. Kemudian ada pula ungkapan yang berbunyi "utak. peunoh na raseuki, utak simpi payah meuatra", ini pentingnya menuntut ilmu dan terus belajar karena orang-orang yang berilmu akan lebih terbuka pintu rezekinya selain derajat hidupnya juga terangkat. "Carat udep ingat, carat himat kaya, meunyo na ingat teunte seulamat, ta himat wate na, mangat 'oh na wate tan', menunjukkan sikap hidup hemat/efisien dan selalu ingat (bersyukur) kepada tuhan. maka sebenamya kreasi budaya Aceh secara logika adalah "tangan diaias" membangun kesejahteraan umat/rnasyarakat artinya yang mencuat dan membudaya semua orang bekerja, tanpa kemiskinan. Semua lini
150 masyarakat mestinya penuh dengan bebagai kegiatan sesuai dengan pisik kemampuannya. Segi potensial SDM dan SDA Aceh sangat memungkinkan perwujudan program semacam itu, apalagi prinsip utama masyarakat Aceh bahwa bekerja mencari rezeki adalah kewajiban setiap individu yang sehat jasmani dan rohani, Hidup dalam kemiskinan adalah identik dengan kesusahan, kesakitan, dan sebagainya. Untuk itu, tidak mengherankan banyak anggapan bahwa miskin adalah suatu kondisi yang mana seseorang tidak memiliki suatu hal yang diperlukan untuk hidup. Kalaupun ada, tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam menunjang kehidupannya. Seorang responden Safrani (39 tahun), mengatakan, bahwa :
"Kemiskinan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki harta benda sehingga hanya mampu memenuhi kebutuhan seluzri-hari. Ada rejeki hari itu dibelanjakan untuk hari itu saja. Tidak tnhu apa hari esok dapat memenuhi kebutuhan aiau tidak. Secara materi pun tidak punya, kalaupun ada 1umya .. " mInim.... Hal yang sama diungkapkan pula oleh seorang responden bernama Nurdinsyah (29 tahun) mengatakan, bahwa :
"Orang miskin adalah orang yang kurang mampu dalam mencasi naJkah untuk keperluan sehari-hari. Akibatnya, merasa kekurangan dalam keperluan hidup. Tidak mempunyai tempat tinggal yang layak, tidak mempunyai usaha yang tetap, hidup kurang tenang... pokoknya selalu dalam kekurangan". Untuk itu, kemiskinan kemudian dicirikan oleh sebuah kondisi serba kekurangan dalam berbagai bidang, mulai dari penghasilan, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan sebagainya, seperti dikatakan oleh seorang responden Hakamah (26 tahun) sebagai berkut,
"... kalau ditanya tentang orang miskin... seperti bapak lihat di tempat saya, misalnya rumah tidtzk layak huni, tidak ada kerja tetap, pendidikan rendah, hari-hat! selalu bertanya apa harl ini bisa makan aiau tidtzk. /adinya kita hidup serba susah". Kondisi-kondisi seperti yang dikatakan oleh responden merupakan bagian ciri-ciri yang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat miskin. Akan tetapi apa yang dikatakan tersebut juga
J
1
1
151
Il1
it .p h .1,
k g I,
g ,
a u
II
a
n
k
,•
,i -r
1 , J
, r
1 I I
merupakan latar belakang penyebab seseorang menjadi miskin. Misalnya, pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang tidak dapat bekerja dengan layak sehingga penghasilannya pun tidak layak. Dapat dikatakan pula penyebab kemiskinan ibarat sebuah lingkaran setan dan disebabkan banyak faktor, tidak dapat dilihat dari satu sisi. Seorang tokoh masyarakat, Asbar Yoga (49 tahun) mengatakan sebagai berikut :
"Menurnt saya mengapa orang menjadi miskin, banyak penyebabnya ... tidak dapat diliha: dari satu faktor, antara satu faktor dengan faktor saling berhubungan membentuk sebuall maia rantai. Misalnya, seseorang yang memiliki penghasilan minim tentunya disebabkan pendidikan yang rendah, pekerjaan tidak tetap, keeehatan yang tidak memadai, dan sebagainya. Saya ibaratkan seperti sebualt lingkaran setan. Kadang tidak ada ujung pangkalnya". Untuk melihat kondisi kemiskinan yang dialami responden, salah satunya dapat dilihat pada kasus di bawah ini,
"ketika tim peneliti mendatangi sebualt rumah yang dimiliki olelt seorang yang dianggap masuk dalam kategori miskin di Kabupaten Aceh Tengalt. Tim peneliti melihai rumah tersebut tidak layak, baik menurui kesehaian maupun aspek lainnya, beratap rumoia, berdinding papan, iidak: ada MCK yang layak, berlantai tanah. Si pemilik rumali pun tidak berpendidikan, pekerja tidak tetap dengan penghnsilan yang tidak menentu". Budaya Kemiskinan dalam Masyarakat Oscar Lewis, seorang antropolog, mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan bukanlah masalah ekonomi, bukan pula masalah ketergantungan antar negara atau masalah pertentangan kelas. Memang hal-hal tadi dapat dan merupakan penyebab kemiskinan, tetapi kemiskinan itu sendiri adalah budaya atau sebuah cara hidup. Dengan demikian karena kebudayaan adalah sesuatu yang diperoleh dengan belajar dan sifatnya selalu diturunkan kepada generasi selanjutnya maka kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi, yang sebagian besar berlaku dalam kehidupan keluarga (Kisah Lima Keluarga, Yayasan Door Indonesia, Jakarta 1988).
152 Menurut para ahli, bahwa apa yang disebut cara hidup miskin ini merupakan "penyakit" hampir di semua belahanbumi yang menurut ukuran negeri kapitalis (maju) adalah negeri yang sedang betkembang atau miskin. Padahal bisa jadi kalau diukur kekayaan alamnya bisa lebih kaya. Negara-negara yang biasanya pernah dijajah dan mengaIanu benturan budaya karena terkejut dan tidak bisa menerima kemajuan teknologi. Di satu sisi beberapa negara ini masih memiliki kebudayaan petani yang kental tetapi tiba-tiba juga harus menghadapi kebudayaan material yang diusung oleh negara kapitalis tersebut dan menguasai hampir semua lini kehidupan, [adi kemiskinan di sini dilanggengkan karena secara langsung ataupun tidak langsung dipelajari dan dipraktekkan cara hidupnya oleh masyarakat pendukungnya. Dalam konteks keacehan kita dapat melihat beberapa hal yang mengandung aspek-aspek budaya kemiskinan, seperti : 1. Kebiasaan minum kopi di warung atau kedai kopi
Ada yang menarik dari kebiasaan rnasyarakat Aceh, ketika peneliti mengamati perilaku keseharian masyarakat, yaitu kebiasaan minum kopi di warung/kedai. Kebiasaan ini jarang ditemui pada beberapa masyarakat lain di Indonesia. Betapa tidak, kebiasaan ini dapat dilihat hampir di semua sudut kota atau desa di Aceh. Kebiasaan minum kopi di warung tidak hanya sebagai ajang pelepas lelah setelah bekerja, tetapi telah berubah menjadi ajang untuk kumpul-kumpul yang telah membudaya di kalangan masyarakat Aceh. Pembicaraan di warung kopi lebih terasa asyik dan nikmat apabila warung/kedai tersebut menyediakan seperangkat alat hiburan seperti TV, Radio/tape, atau video. Tidak terasa duduk di warung/kedai kopi tersebut dapat berjam-jam lamanya. Apa yang dipaparkan tersebut pada dasamya dapat menjadi negatif bagi perekonomian seseorang, apalagi dilakukan oleh orang yang kurang mampu. Secara tidak sadar sebagian pendapatan setiap hari terbuang yang seharusnya pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Gambaran hal tersebut dapat dilihat pada sebuah iklan tentang kebiasaan ngopi dengan pembayaran
153
:in 'Ut n.g sa
hi
an in
sn ai tn
tn ~g
I1l
la :ti n h
.g Ii
listrik, "Ada seorang ibu bertanya kepada suaminya apakah Iistrik sudah dibayar. Dijawab oleh suaminya, uang sebesar Rp, 200.000,(untuk membayar listrik) digunakan untuk minum kopi dirinya dengan kawan-kawan. Kemudian istrinya marah mendengar penuturan suaminya. Akan tetapi, dijawab suaminya, uang listrik akan dibayar dengan uang lain". Seorang responden Muhammad A. Rahman (33 tahun) mengatakan bahwa "Banyak penyebab kemiskinan seperti karena malas, tidak ada peluang dan kesempatan, tidak ada pemerataan/kebijakan yang menyentuh masyarakat secara langsung. Selain itu, budaya yang mengarah pada hal negatif akan memperluas kemiskinan. Budaya yang negatif dimaksud adalah kebiasaan suka nongkrong atau minum kopi berlama-lama di kedai. Habis waktu, uang tidak ada, malahan uang habis", Gambaran orang malas dalam bekerja terdapat dalam hadih maja Aceh : (1) Lagee Ieumo eh yuh trieng (Seperti lembu tidur di bawah pohon bamboo)
(2) Lagee nggang keumiet abeuek (Seperti bangau menunggui rawa-rawa)
(3) Manok agam tuIeueng rapoh (Ayam jantan tulang rapuh). (4) Inong mita agam pajoh (Istri yang carl, suami yang makan) (Harun, 2009: 167-168)
li
e,
2. Pola hidup konsumtif
It
Globalisasi dan liberalisasi pasar telah melanda ke seluruh dunia. Berbagai produk luar negerl masuk ke Indonesia dan Aceh khususnya. Mall, super market berdiri dimana-mana. Media massa, baik cetak maupun elektronik mengiklan berbagai produk untuk dijual kepada konsumen. Hal ini mendorong kepada kita menjadi pembeli terhadap produk yang ditawarkan. Bahkan seringkaIi kita membeli produk bukan didasarkan kepada kebutuhan. Kita seringkali menjadi seorang pemboros, yang tidak sanggup mengendalikan nafsu untuk
Ii g p n It n
154 tidak berbelanja. Ia selalu tergoda dengan makanan atau barang yang mewah. Gambaran tersebut terdapat dalam hadih maja Aceh di baWah .. nu :
Meujan kaya pajoh bah drien Meujan gasien pajah bah meuria (Sewaktu kaya makan durian Sewaktu miskin makan buah rumbia) (Harun, 2009: 165-166) Menurut hadih maja tersebut digambarkan bahwa ketika kita memilihi uang/harta kita ingin hidup dengan penuh kemewahan. Makanan enak dan mewah dimanifestasikan dengan buah durian. Karena tergiur terus-menerus dengan kemewahan, maka habislah uang yang dimilikinya. Akibatnya, ia terpaksa makan nasi saja atau makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, yang dalam hal ini dilambangkan dengan buah rumbia, Potensi Budaya Aceh dalam Mengatasi Kemiskinan Potensi sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat memberikan sumbangan yang tidak temilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat di Aceh. Secara formalitas hukum, keberadaan potensi sosial budaya dinaungi dalam UndangUndang No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat Bagi masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (kini Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Usaha pelestarian sosial budaya yang dimiIiki oleh masyarakat Aceh telah dilakukan dalam beberapa dekade terakhir. Dengan pertimbangan tersebut Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh melahirkan Perda No.2 tahun 1990 yaitu peraturan daerah yang mengatur pembinaan dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat, serta lembaga adat di Daerah Istimewa Aceh. Kemudian
155
l
r
)
I
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Kalau kita merunut kebelakang, pelestarian budaya telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat dalam bentuk Pekan Kebudayaan. Selama ini, di Aceh telah terselenggara sebanyak 3 .kali pekan kebudayaan, yaitu Pekan Kebudayaan Aceh I tahun 1958, Pekan Kebudayaan Aceh II tahun 1972, dan Pekan Kebudayaan Aceh III tahun 1988. Pada tahun 2004, pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menyelenggarakan pula Pekan Kebudayaan Aceh IV dan Pekan Kebudayaan Aceh V diselenggarakan pada tahun 2009. Dalam sumber daya manusia terdapat nilai-nilai (budaya) yang mendorong manusia untuk menggapai kernajuan. Adapun potensi nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yaitu :
1. Etos Kerja Etos adalah sifat, watak, kualitas dan moral kehidupan manusia. Etos merupakan sikap mendasar terhadap diri sendiri dan terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan. Etos sebagai kode moral tidak dapat dipisahkan dari aspek kognitif kenyataan hidup, yakni pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan gambaran tentang kenyataan, khususnya konsep tentang alam, diri dan masyarakat. Pandangan dunia ini mengandung gagasan-gagasan yang paling komprehensif tentang tatanan. Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja orang Aceh didasari oleh prinsip utama bahwa bekerja mencari rezeki adalah kewajiban setiap individu yang sehat jasmani dan rohani (Harun, 2008). Prinsip ini ditemukan dalam sejumlah hndih maja, antara lain : (1) Meunyo hana tauseuha,
Pane atra rhot di manyang Kalau tidak kita berusaha, Manalah ada harta jatuh dari langit
156 ,
,
Ungkapan '(mana) mungkin ada harta jatuh dari langit' mengandung maksud bahwa rezeki seorang manusia tidak datang' begitu saja tanpa diusahakan. Karena itu, berusaha mencari rezeki hukumnya wajib, meskipun dalam pandangan Islam ada tiga macam rezeki, yaitu rezeki yang dijanjikan Allah, rezeki yang diberikan Allah, dan rezeki yang didapat karena Allah. Rezeki itu tidak mungkin datang dengan sendirinya dengan jalan menghayal dan berdoa seja, sepern ungkapan 'ya ghani, ya ghani, berikan hamba uang segoni'. Perihal kewajiban mencari rezeki diungkapkan juga dalam hadih maja berikut.
(2) Gaki jak urat meunari Na tajak na raseuk (Kaki berjalan urat menari Ada berjalan ada rezeki) (3)
Tuwah deungon tagagah Raseuki deungon tatuntu
(Bertuah karena diusahakan Rezeki karena dicari) Dalam mencari rezeki, masyarakat Aceh harus berusaha mencari rezeki untuk pribadi dan keluarganya dan waktunya selama hayat masih dikandung badan (Harun, 2008). Hal ini tampak pada hadih maja berikut.
(4) Sabe tae1c gle tatron palOh Sabe tamita sabe tapajoh (Selalu mendaki gunung menuruni jurang Selalau kita cari selalu kita makan) Dengan demikian, sesuai dengan janji Allah, dia tidak akan menderita kelaparan. Sebaliknya, seorang pemalas akan menderita kelaparan, yang pada gilirannya menyebabkan kegusaran dalam hidupnya. Hal semacam ini tercermin dari hadih maja berikut.
(5) Meunyo beutah beureng Meunyo malah gigeng (Bila rajin kenyang Bila malas gusar)
157 2. Sifat Komunal Ada empat karakteristik orang Aceh, salah satu di antaranya ng . adalah bahwa orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif (Irwan Abdullah, 2007). Hal ini tampak dari kebiasaan orang Aceh untuk ~ki berkumpul, dati fenomena warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta lin !.h, ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). Dalam kumpulan semacam ini sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama ng dibangun, tumbuh melalui kesenian-kesenian, Seudati, Saman, Debus, rti Rapa'I dan berbagai tarian Aceh menegaskan kekayaan seni budaya rih dan pranata sosial yang melibatkan banyak orang di dalam setiap aktivitas kebudayaan. Basis komunal dalam berbagai kegiatan, upacara adat, perkawinan, pertemuan kampung, musyawarah adat, dan berbagai ucapara lingkaran hidup Aceh memperlihatkan pentingnya komunalisme di Aceh di mana nilai-nilai dibangun, dikembangkan, dan diadaptasikan secara kolektif dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, meunasan atau masjid memiliki fungsi penting di Aceh sebagai ruang bersama (common space) untuk berbagai kegiatan. Musyawarah desa berlangsung di meunasah atau masjid. Sifat komunal yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sangat ri bermanfaat apabila dapat ditempatkan secara proposional. Hal ini It tampak tatkala bangsa Indonesia membutuhkan dana untuk 'a mempertahankan kemerdekaan. Rakyat Aceh telah menyumbangkan emas untuk pembelian dua pesawat yang dipergunakan untuk menembus blokade Belanda. Tentunya, sifat komunal ini dapat digerakkan pula untuk kepentingan lain, misalnya melaksanakan pembangunan melalui metode gotong royong. ~t'
3. Lembaga adat Lembaga-Iembaga di desa memiliki peranan penting di dalam pembangunan, terutama agar hasil-hasil pembangunan juga dapat dinikmati oleh lapisan masyarakat bawah (Esman dan Uphoff (1982). Esman dan Uphoff mengeluhkan kurangnya perhatian para ahli pembangunan pedesaan terhadap lembaga-Iembaga di desa. Mereka juga mencatat bahwa teori-teori pembangunan tahun lima puluhan dan
158 enam puluhan tidak membahas secara mendalam tentang peranan dati lembaga-lembaga lokal di dalam pembangunan, Di Indonesia seorang pakar sosiologi yang memberikan perhatian besar terhadap lembaga_ lembaga di pedesaan adalah Soedionono MP. Tjondronegoro yang mengadakan penelitian di [awa Barat dan [awa Tengah pada pertengahan tahun tujuh puluhan. Ia menemukan bahwa lembaga_ lembaga sosial yang rnantap bahkan bukan pada lingkup desa, namun pada lingkup yang lebih kecil, yaitu dusun (dukuh). Mengacu pada pendapat kedua pakar tersebut, Aceh pun memiliki lembaga-lembaga yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam rangka pemberantasan kemiskinan. Dalam bUdaya Aceh terdapat dua struktur yang sangat penting, yaitu Gampong dan Mukim. Keduanya merupakan dua kawasan penting sebagai wilayah komunitas masyarakat Aceh, yang memiliki kewenangan, otoritas demokrasi, independensi yang memiliki tanggung jawab "hak dan kewajiban" untuk membangun kehidupan masyarakat dalam wilayahnya sejahtera, bahagia, adil, makmur, rukun damai (equilibrium), berdasarkan tatanan adat yang bersendikan syara'. Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, lembaga-Iembaga adat yang telah mendapatkan legalitas yuridis formal adalah sebagai berikut : 1. MAA (Majelis Adat Aceh). 2. lmeum Mukim atau nama lain. 3. lmeum Chiek atau nama lain. 4. Keuchik atau nama lain. 5. TUM Peut atau nama lain. 6. TUM Lapan atau nama lain. 7. Imeum Meunasah atau nama lain. 8. Keujruen Blang atau nama lain. 9. Panglima Laot atau nama lain. 10. Pawang Glee atau nama lain. 11. Peutua Sineubok atau nama lain. 12. Haria Peukan atau nama lain. 13. Syahbandar atau nama lain.
159
ari ng ~a-
ng
da ;a-
U1
lSi
fa tn
lh as In
~
I),
19 n
Program Pengentasan Kemiskinan Strategi pembangunan untuk mengatasi kemiskinan ditujukan kepada dua arah yaitu menyadari ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial, yang memisahkan lapisan masyarakat yang maju dan berada di sektor modern, serta yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk kedua sektor itu tidak dapat disarnakan begitu saja. Oleh karena itu, strategi pemberdayaan rnasyarakat miskin agar dapat layak hidupnya dapat dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), agar mereka yang mengalami hidup dalam garis kemiskinan lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kernampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya, tetapi sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi, sosial masyarakat miskin dan pemberdayaan lembaga yang melingkupi rnasyarakat miskin dengan memperkuat kelembagaannya. Dalam rangka memberdayakan masyarakat miskin dan kelembagannya hams dilakukan melalui tiga arah/jalur, Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin untuk dapat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap anggota masyarakat miskin memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada satupun dari mereka yang sarna sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam kerangka ini diperlukan Iangkahlangkah lebih positif selain dati hanya menciptakan ik1im dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat rnasyarakat menjadi makin berdaya.
160
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan hams dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat miskin dan lembaganya, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat miskin dan lembaganya bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Berdasarkan strategi, arah/jalur di atas ada beberapa program yang dapat dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam strategi pemberdayaan masyarakat miskin dan lembaganya yaitu :
a. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam banyak teori-teori pembangunan, sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan dalam berhasil atau tidaknya sebuah pembangunan. Sumber pertumbuhan, dalam teori endogen, yaitu meningkatnya stok pengetahuan dan ide bam dalam perekonomian akan mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif . yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif (Romer, 1990). Teori pertumbuhan endogen ini didasarkan pada berbagai premis pokok antara lain pengenalan bahwa pasar tidak sempuma dan adanya ekstemalitas dalam perekomomian. Teknologi atau penemuanpenemuan bam itu memberi ekstemalitas bagi perekomian. Pengembangan teori pertumbuhan endogen ini meningkatkan perhatian yang lebih besar terhadap pembangunan manusia, Apabila pengetahuan bam dan ketrampilan dalam sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi tergantung pada peningkatan teknologi, pengetahuan, dan cara-cara baru dalam proses produksi, maka keberhasilan pembangunan akan ditentukan oleh proses akumulasi dari kualitas sumber daya manusia (Becker dan Tamura, 1990). Atas dasar
161
:L :Ii 19 in
h n g it
n a i, n '-
a i1 i 1
f 5 I
1 1
1
, l
i •
itu, berkembanglah konsep mengenai modal manusia (human capital). Investasi dalam modal manusia yaitu dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan kesehatan. Program pengembangan sumber daya manusia tersebut dapat dilakukan melalui pemberian beasiswa pendidikan/ pelatihan.
b. Program Bantuan Langsung Tunai (BLl) Bagi orang miskin keberadaan uang sangat penting karena mereka sangat terbatas penghasilannya. Sekecil apa pun uang yang ada sangat berarti bagi mereka. Untuk itu, keberadaan bantuan tunai langsung dapat membantu mereka untuk mencukupi kebutuhannya. Pembetian bantuan tunai langsung diberikan kepada warga miskin yang berusia lanjut, cacat atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Selain itu, perIu diupayakan pula bantuan dalam bentuk subsidi, baik untuk kesehatan, makanan, pertanian dan sebagainya. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat.
c. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lembaga-Iembaga atau instansi terkait yang dapat terlibat dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, seperti Dinas Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan sebagainya. Pemberdayaan ekonomi masyarakat paling tidak dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu : 1. Membuka lapangan kerja dan menjaga keberIangsungan pekerjaan. Pengangguran adalah suatu awal dati kemiskinan karena ketiadaan pekerjaan akan membawa ketiadaan penghasilan. Untuk itu, pembukaan lapangan kerja adalah salah satu solusinya. Selain lapangan pekerjaan, program keberIanjutan lapangan kerja juga sangat penting. Instansi terkait harus menyediakan infrastruktur atau fasilitas agar seseorang tetap bekerja. Misalnya, petani agar mereka tetap dapat melakukan pekerjaanya sebagai petani, maka pemerintah harus membantu mereka menyediakan prasarana dan
;
:
162 sarana pertanian seperti tersedianya pupuk dengan harga yang terjaungkau, menyediakan alat-alat pertanian. 2. Pemberian bantuanmodal usaha Modal adalah salah unsur yang penting dalam melakukan aktifitas ekonomi, baik berupa sumber daya manusia maupun modal infrastruktur. Modal infrastuktur dapat berupa dalam bentuk uang, peralatan, tempat usahanya,
d. Program Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Miskin Untuk mendukung program pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam masyarakat, program pembangunan kelembagaan menjadi teramat penting pula. Lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan yang mendukung pengentasan kemiskinan perlu diperkuat agar pembangunan dapat dilaksanakan secara efektip dan efesien dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah mukim dan masyarakat miskin. Untuk menanggulangi kelemahan-kelernahan yang ada di dalam struktur lembaga mukim dan perubahan-perubahan yang ada, maka program yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut : 1. Revitalisasi Peran Mukim dalam Pembangunan dengan memperkuat kembali fungsi lmeum Mukim dan Keuchik sebagai fungsional yang mengemban tanggung jawab pembinaan masyarakat Campong dan Mukim, dalam tema "Peukong Pageu Gampong", untuk membangun "pola malu/iman", dalam kehidupan masyarakat, dimana masyarakat miskin ada di dalamnya, melalui revitalisasi fungsi Meunasall dan Mesjid sebagai bekal kehidupan dunia akhirat (Badruzzaman, 2002: 7-31). Kegiatan ini dapat diampu oleh lembaga Majelis Adat Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2. Pelestarian Nilai Budaya yang positif terhadap Pengentasan Kemiskinan (Gotong Royong). Kegiatan ini dapat diampu oleh lembaga Majelis Adat Aceh. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan stakeholder lainnya.
163
lS
II r
" a :t :t
1 1 )
1 I
3. Pembudayaan Pembayaran zakat, dan sedekah terutama kepaIa masyarakat yang merniliki kecukupan harta dan berpenghasilan tetap. Kegiatan ini dapat diampu oIeh Badan Ami! Zakat dan Kantor Kementerian Agama setempat. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat disirnpulkan bahwa : 1. Kemiskinan dapat membawa manusia kepada kekufuran. Oleh karena itu, kemiskinan harus diberantas. Nilai budaya Aceh telah mewajibkan manusia untuk bekerja selama ia berada dalam kondisi sehat. Pantang bermalas-malasan sehingga tidak memperoleh rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masalahnya menjadi lain ketika seseorang tetap dalam kondisi miskin. Tentu, ada faktor penyebabnya mengapa menjadi demikian. Dalam kerangka teoritis, hal ini dapat dimungkinkan karena adanya kemiskinan struktural dan kemiskinan budaya. Kemiskinan yang terjadi di Aceh tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan struktural, tetapi juga kemiskinan budaya. Secara struktur, masyarakat Aceh menghadapi ketimpanganketimpangan struktur sehingga mereka tidak mempunyai akses dalam budaya, politik, dan ekonomi. Secara budaya, ada nilai-nilai budaya yang tidak sadari akan membawa kepada kemiskinan, seperti kebiasaan ngopi di kedai, budaya konsumtif, tidak disiplin, tidak menghargai waktu dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi di Aceh harus melalui pendekatan konfrehensif dan berkesinambungan. Strategi yang digunakan adalah dengan metode pemberdayaan. Pemberdayaan yang dilakukan mencakup kepada sumber daya rnanusia dan aspek keIembagaannya. 2. Masyarakat Aceh memiliki potensi sosial budaya yang dapat dikembangkan dalam mengatasi kemiskinan. Akan tetapi, potensi sosial budaya tersebut harus tetap dilestarikan melalui dunia pendidikan agar generasi muda yang akan datang dapat menatap masa depan dengan tanpa diliputi oleh dunia kemiskinan, baik kemiskinan struktural maupun kebudayaan kemiskinan.
164 Rekomendasi Mengacu kepada kesimpulan di atas, maka direkomendasikan sebagai berikut: 1. Dukungan dan konsistensi kebijakan (politicall will) dati Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi/Kabupaten/Kota dalam pembangunan (pengembangan program dan penyediaan dana) untuk mengatasi kemiskinan agar berbagai potensi sumber daya (Sumber Daya Manusia/Sumber Daya Alam) dan potensi budaya dapat dikelola secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan pembangunan tersebut diarahkan penyediaan sarana dan prasarana ekonomi wilayah, fasilitas umum, mengintroduksi skim kredit berbunga rendah untuk mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah, pemberian bantuan dana tunai langsung, pendidikan, kesehatan, dan memperluas kesempatan kerja. Selain itu, diarahkan pula pada pelestarian budaya yang mendukung pada upaya-upaya pemberantasan kemiskinan. seperti revitalisasi budaya gotong royong. 2. Perlu diupayakan pelestarian nilai-nilai budaya yang positif dalam rangka pengentasan kemiskinan. Pelestarian ini dapat dilakukan melalui masyarakat atau dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan diharapkan akan tercapai manusia yang memiliki karakter yang beriman dan bertaqwa.
Daftar Pustaka Abd. Majid, M. Shabri H. 2009. "Menggempur Kemiskinan Rakyat Aceh Secara Islami". http://www.tarsa.orgioldiartikeV menggempur_
kemiskinanl.html. Alhumami, Amich. 2009. "Menggugat Makna Kemiskinan". Kompas tanggal150ktober.
165
th III
n
si 'a a 'a 1-
1,
g a n
g 1
1 1 1
, I
Chaidir. 2008. "Sebuah Pandangan terhadap Penetapan Perda Provinsi No. 36 Tahun 2001 Tentang Pola Pembangunan Daerah Provinsi Riau". www.publik dan politik lokal Melayu. Colby, M.E. 1990. Environmental Management in Development: The Evolution of Paradigms. World Bank Discussion Papers. Reading V. Washington De. Cutter, S.L., Renwick, HL., Renwick, W.H., 1985. Exploitation,
Conservation, Preservation: A Geographic Perspective on Natural Resources Use. New Jersey: Rowman & Allan Held Publisher. Fajar Alam P. 2008. "Kemiskinan atau Pemiskinan Budaya". 'http://fajarmaverick2.blogspot.com/2008108/ikm-ji.html. Hadiwerdoyo, Cyrillus Harinowo, 2009. "Menelaah Angka Kemiskinan", Kompas tanggal23 Oktober. Hasan, Ishak. "Batee Meutudong, Hikayat Petani Miskin di Aceh [aya" dalam Serambi Indonesia 20 agustus 2009. Harun, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis. _ _ _ _ _.2008. Etos Kerja Orang Aceh. Jeumala No. 27/2008. Kartasasmita, Ginandjar. 1996 Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Cides. Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965 Desa. Bandung, Sumur Bandung. Koentiaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Mowen, J.e. 1993. Consumer Behaviour. Third edition. Boston: Richard D. Irwin Inc. Mubyarto. 1979. "Prospek Perekonomian Indonesia dalam Pelita III". Prisma,8 (1). 3-4. Nely Murni. 2008. Kemiskinan, Kebudayaan, dan Globalisasi.
http://nellymurni.blogspot.comaOO6!06,1kemiskinan-kebudayaan-danglobalisasi.html Salim, Emil. 1984. "Kebijaksanaan Pemerataan Mengatasi Kemiskinan". DaIam Selo Soemardjan, Alfian, Mely G. Tan (00.) Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
166 _ _ _ _ _"1987. "Membudayakan Pembangunan". Prisma,3 (16), 10-17. Samhadi, Sri Hartati. 2008. "Fokus Belajar dari Korea Selatan", Kompas tanggal18 [uli, hIm. 1 dan 15. Singarimbun, Masri dan D. H. Penny. 1984. Penduduk dan Kemiskinan Kasus Srillarjo. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soedjatmoko. 1978. "Berbagai Implikasi Kebiiaksanaan Nasionaj Kebutuhan Dasar", Prisma, 7 (10). 59-79. _ _ _ _. 1984. "Dimensi-dimensi Struktural Kemiskinan". Dalam Selo Soemardjan, Alfian, Mely G. Tan (ed.) Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.