ANALISIS SITUASI PASOKAN BAHAN BAKU AGROINDUSTRI GELATIN Penelitian ini menganalisis sistem kelembagaan pasokan bahan baku kulit sapi yang digunakan untuk memproduksi gelatin guna memastikan asal usul dan proses pengadaan bahan baku tersebut telah memperoleh perlakukan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan. Penelitian dilakukan pada industri penyamakan kulit PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery untuk mengkaji proses perlakukan kulit yang dihasilkan dari industri penyamakan kulit tersebut yang kemudian digunakan sebagai bahan baku agroindustri gelatin.
Data yang
dikehendaki adalah data potensi bahan baku, data ketersediaan bahan baku, data proses produksi kulit samak, data pengadaan kulit dan data distributor dan pemasok kulit sapi ke industri penyamakan kulit. Penelitian dilanjutkan untuk mengkaji pemasok kulit pada industri penyamakan kulit yaitu RPH (Rumah Pemotongan Hewan), pengumpul kulit sapi pada tingkat kelurahan, tingkat kecamatan dan tingkat propinsi. Data yang diinginkan dari kajian ini adalah data distribusi dan jumlah RPH yang tersedia di suatu wilayah, data proses pemotongan hewan di RPH terkait, data sertifikasi pelaku pemotongan hewan serta data keterkaitan antara suatu RPH dengan pengumpul kulit atau distributor kulit. Selain itu juga dikaji kelembagaan dari distributor dan pengumpul kulit yang ada saat ini serta cakupan untuk setiap pengumpul kulit dalam suatu wilayah (Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur). Industri penyamakan kulit Industri penyamakan kulit di Indonesia memiliki sejarah panjang dengan para produsen dalam negeri yang sebagian besar menggunakan kulit sapi, kerbau, domba dan kambing dalam proses produksinya. Industri penyamakan kulit kelas menengah hingga besar berada di sejumlah daerah di seluruh pulau Jawa, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat (Cianjur dan Bandung), Jawa Tengah (Yogyakarta, Solo, Semarang) dan Jawa Timur (Malang, Pasuruan, Sidoarjo dan Surabaya); sementara penyamakan rumahan sebagian besar berada di Jawa Barat (Garut) dan Jawa Timur (Magetan). Data APKI (Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia) 2008 menyebutkan di Indonesia saat ini terdapat 70 industri
63
64
penyamakan kulit skala menengah dan besar, sementara skala industri rumahan sebanyak 400 unit usaha (Tabel 13). Tabel 13 Jumlah Industri Penyamakan kulit yang beroperasi di Indonesia Tahun
Jumlah industri penyamakan kulit menengah-besar
1998 2000 2002 2004 2006 2008 Sumber: APKI, 2009.
Jumlah penyamakan kulit rumahan
112 76 46 55 67 70
400 252 136 200 240 400
Kapasitas produksi pabrik kulit sapi 140 juta kaki persegi atau 5 juta lembar kulit sapi yang berarti 5 juta ekor per tahun. Dengan bobot rata-rata kulit sapi per lembar sebesar 20 Kg, maka diperlukan bahan kulit sapi sebesar 100 juta Kg per tahun. Jumlah hasil samping kulit dari proses split mencapai 11,5 % dari bahan baku kulit mentah yang diproses (Winter 1984), oleh karena itu akan tersedia bahan baku kulit sapi split sebesar 11.500 ton per tahun di Indonesia. Industri penyamakan kulit yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery yang bergerak dalam bidang penyamakan kulit, khususnya kulit sapi dan kerbau. Industri ini terletak di Kampung Muhara Sarongge, Desa Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Bahan baku yang digunakan berupa kulit basah dan kulit awet garam yang berasal dari Jawa Barat yaitu; Bekasi, Bogor, Serang, Bandung, Jawa Tengah yaitu ; Semarang, dan Jawa Timur yaitu; Kediri. Bahan penolong atau pembantu yang digunakan antara lain : NaCl, Ca(OH) 2 , NaHSO 3 /NaHSO 4 , H 2 SO 4 , HCOOH, chrom tanning, sulfiter fisionil/ sulfeter fisionil, oropon, sintar, minyak sintesistourel AA, minyak nabati (NFO) dan sulfeter. Kapasitas produksi pada umumnya tidak tetap, tergantung dari besarnya permintaan dan ketersediaan bahan baku. Rata-rata produksi dapat mencapai 2550 ton per bulan. Produk yang dihasilkan berupa kulit samak dengan jenis dan warna yang disesuaikan dengan permintaan konsumen. Pabrik ini mampu menghasilkan hampir semua jenis kulit samak.
65
Daerah pemasaran kulit jadi merupakan daerah pemasaran domestik dan ekspor. Daerah pemasaran domestik antara lain Bogor, Jakarta, Bandung, Tangerang, Bekasi, Majalaya, Cibubur. Pasar ekspor salah satunya adalah ke Jepang. Ketersediaan bahan baku kulit sapi split. Kulit sapi split merupakan kulit sapi yang dihasilkan dari proses pembelahan kulit menjadi dua bagian untuk mendapatkan ketebalan kulit yang diharapkan dalam proses penyamakan kulit di Industri penyamakan kulit. Proses spliting dilakukan setelah proses perendaman basa atau liming untuk mengembalikan kondisi kulit menjadi seperti semula dan proses penghilangan lemak. Adapun alur proses yang dilakukan oleh industri penyamakan kulit untuk mendapatkan kulit sapi split dapat dilihat pada Gambar 6. Kulit sapi awet garam
Pencucian / penghilangan garam & kotoran
Pemotongan ujung kulit (Trimming)
Penghilangan bulu (Soaking)
Perendaman Basa (Liming)
Pencucian / Deliming
Penghilangan lemak (Degressing)
Pembelahan (spliting)
Kulit sapi split
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan kulit sapi split di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery. Dari proses ini rata-rata kulit sapi split yang dihasilkan adalah sebesar 20%-25% dari jumlah kapasitas bahan baku yang digunakan dalam industri penyamakan kulit. Oleh karena itu jika penggunaan bahan baku kulit sapi di
66
Industri penyamakan kulit PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery adalah sebesar 2-10 ton/hari, maka ketersediaan kulit sapi split adalah berkisar 500 Kg sampai dengan 2 ton/hari Berkaitan dengan mutu bahan baku gelatin proses kritis yang perlu diperhatikan dalam kegiatan ini adalah penggunaan bahan kimia dalam proses soaking atau penghilangan bulu. Karena proses ini biasanya menggunakan bahan kimia natrium sulfida yang sangat beracun. Oleh karena itu perlu diperhatikan proses deliming dan pencucian agar mendapatkan hasil yang baik.
Rantai pasokan kulit Sapi Rantai pasokan kulit sapi dimulai dari peternak sampai pada industri penyamakan kulit. Pelaku rantai pasokan kulit tersebut disajikan pada Gambar 7. Peternak
Pemeliharaan sapi
Pedagang sapi
Pembelian dan pengiriman sapi
Rumah pemotongan Hewan (RPH)
Pemotongan dan pemisahan kulit
Pedagang Pengumpul Kulit
Agen/pedagang kulit
Industri penyamakan kulit
Industri gelatin
Pengumpulan, penyimpanan dan penggaraman kulit sapi Proses penggaraman, penyimpanan dan distribusi kulit sapi
Proses perendaman dan pemotongan kulit sapi menjadi split
Proses pembuatan gelatin dari kulit sapi split
Gambar 7 Pelaku dan aktifitas rantai pasok kulit sapi (Hasil Survey)
Peternak sapi merupakan pelaku yang berkepentingan dalam tata-laksana pemeliharaan dan budidaya ternak sapi. Perlakuan sapi pada saat dibudidayakan dapat mempengaruhi mutu kulit dilihat dari sisi industri penyamakan kulit. Peternak di pulau Jawa pada umumnya melakukan pemeliharaan sapi dengan cara
67
dikandangkan sehingga mutu kulit sapi lebih terjaga, sedangkan peternak dari luar pulau Jawa pemeliharaan sapi dilakukan dengan cara digembalakan (tidak dikandangkan) sehingga kulit menjadi kurang baik mutunya karena adanya tanda kepemilikan berupa cap dari setiap sapi peliharaan yang dapat menimbulkan kerusakan pada kulit. Mutu kulit sapi juga dapat dilihat dari kandungan benda asing yang menempel pada kulit seperti garam atau tanah. Hal ini disebabkan oleh cara penggaraman yang dilakukan oleh pengumpul kulit sapi yang tidak sesuai dengan prosedur penggaraman yang baik yaitu dengan cara mencampur garam dengan lumpur laut untuk mengurangi penggunaan jumlah garam. Pedagang sapi bertindak sebagai pembeli sapi dari peternak kemudian mengirimkan ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) untuk menjualnya atau melakukan pemotongan. Sebagian besar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tidak melakukan pembelian sapi tetapi hanya melakukan pemotongan sapi yang dibawa oleh pedagang sapi. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) menyediakan tempat peristirahatan bagi sapi yang akan dipotong dan menyediakan tukang potong (penjagal). Setiap penjagal di RPH biasanya sudah mempunyai sertifikasi halal yang diberikan oleh LPPOM-MUI, sedangkan RPH sendiri secara institusi belum mempunyai sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.
Proses pengumpulan kulit dimulai dari
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) karena proses pemisahan kulit sapi dengan daging sapi dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Pengumpul kulit sapi biasanya dilakukan oleh pedagang sapi atau penjagal sapi yang berperan sebagai pengumpul kulit sapi. Kulit sapi yang diperoleh di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kemudian diawetkan dengan penggaraman. Pengawetan kulit dengan garam dilakukan pada kulit yang akan digunakan sebagai bahan kulit tersamak. Garam yang digunakan dalam pengawetan kulit adalah garam dapur, bukan garam murni, tetapi garam teknis yang berkadar 90%. Pengawetan kulit dengan garam dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu penggaraman basah (wet salting), dan penggaraman kering (dry salting). Proses pengawetan kulit dengan penggaraman basah dilakukan dengan merentangkan kulit yang telah dibersihkan pada lantai miring yang telah ditaburi garam dengan posisi bagian bulu di bawah, dan kemudian pada bagian daging ditaburi garam
68
sebanyak 30% dari berat basah. Selanjutnya, di atas kulit tersebut direntangkan lagi kulit dengan posisi bulu berada di bawah. Bagian daging yang menghadap ke atas ditaburi garam seperti yang telah dilakukan terhadap kulit yang sebelumnya, begitu seterusnya hingga mencapai tinggi satu meter. Kulit paling atas diletakkan sebagai penutup dengan posisi bagian bulu di atas, kemudian didiamkan selama satu malam. Pedagang kulit atau agen kulit biasanya bertindak sebagai pemasok bagi industri penyamakan kulit. Seorang agen kulit mendapatkan kulit dari beberapa pengumpul kulit yang terdapat di beberapa Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Tindakan yang dilakukan oleh seorang agen kulit adalah melakukan penggaraman ulang terhadap setiap kulit yang diterima agar dapat disimpan lebih lama. Penaburan garam oleh agen adalah mengulangi penaburan garam semula sebanyak 20%. Kulit yang telah digarami dibiarkan selama beberapa hari, yakni dua hari sampai empat minggu agar supaya air hasil penggaraman mengalir. Setelah kadar air minimal tercapai, kulit dilipat dan disimpan hingga proses penyamakan. Tabel 14 Pemasok bahan baku kulit sapi PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery No
Lokasi
I
Jawa Barat
Asal Kulit
Nama Pemasok
Rumah Potong Hewan
Pasokan
Pedagang
H. Ruslan Cibinong
Frekwensi (Minggu)
Perlakuan Keteranglama an Penyimpanan (hr)
Jumlah (ton)
Total (ton/bl)
2-3 kali
4
48
garam tabur
7
Pemasok Utama
1 kali
4
16
garam tabur
15
Pemasok tak tetap
6-7 ton
56
7
Pemasok Utama
Proses
Cakung Tangerang Hankam H. Asmuri Cakung Tangerang Jabotabek
II
Gunawan
Tangerang
H.Yayat 2 kali
Bogor
H.Eman
Bandung
Helmi
Ciwastra
Serang
Ahin
Serang
1 kali
6 ton
24
garam tabur
+
1 kali
7 ton
28
garam tabur
+
1 kali
20 ton
80
garam tabur
Pemasok tak tetap Pemasok tak tetap
Jawa Tengah Semarang
Ismail
Semarang Solo
III Jaw Timur Kediri
Abd Baqi
Kediri
Catatan: Hasil survey lapang.
14
Pemasok tak tetap
69
Industri penyamakan kulit mendapatkan pasokan kulit dari beberapa agen kulit. Terdapat pemasok utama dan pemasok tak tetap di industri penyamakan kulit PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery. Pemasok utama dari Jabodetabek dilakukan oleh H. Ruslan dengan pasokan sebanyak empat ton setiap 2-3 kali/minggu. Agen kulit ini memperoleh kulit dari beberapa RPH di Jawa Barat yaitu RPH Cibinong, Cakung, Tangerang dan Hankam. Pemasok utama yang lain adalah Gunawan yang berasal dari Jabodetabek juga dengan jumlah pasokan 6-7 ton per minggu dua kali pasokan dengan total pasokan perbulan sebanyak 56 ton. Pemasok kulit bukan utama (pemasok tak tetap) berasal dari Bandung, Serang, Semarang dan Kediri.
Rincian dari jumlah pasokan masing-masing dapat
diperlihatkan pada Tabel 14. Dalam penyediaan bahan baku agroindustri gelatin perlu diperhatikan titik-titik kritis pada setiap tahapan rantai pasokan bahan baku agar mendapatkan standar mutu yang dikehendaki. Dalam mendapatkan titik kritis tersebut dapat dilakukan dengan standarisasi mutu tertentu misal standar halal atau dengan HACCP. Untuk memenuhi standar tersebut perlu diperhatikan proses, kandungan dan asal-muasal bahan baku. Selain itu dalam penyediaan bahan baku melibatkan berbagai tingkatan rantai pasok yang masing-masing memiliki proses dan tahapan yang berbeda, oleh karena itu untuk dapat mengantisipasi kejadian yang dapat menurunkan atau mengganggu proses jaminan mutu perlu mengidentifikasi setiap tindakan yang akan berpengaruh dalam proses jaminan mutu, sehingga akan diperoleh alternatif tindakan yang dapat dilakukan dalam mengatasi kondisi kritis tersebut. Titik kritis dalam proses pengadaan yang perlu diantisipasi adalah adanya kontaminasi pada bahan yang dapat menurunkan mutu dan adanya proses yang dapat merusak mutu. Titik titik kritis dari pasokan bahan baku agroindustri gelatin disajikankan pada Tabel 15.
70
Tabel 15 Titik-titik kritis proses penyediaan bahan baku gelatin dari kulit sapi. No 1.
2.
3.
4.
5.
Tingkatan rantai pasok kulit Peternak sapi
Proses kritis pasokan bahan baku terhadap mutu produk gelatin • Penggunaan pakan sapi dan pakan tambahan serta obatobatan • Tempat ternak sapi tidak campur dengan ternak yang tidak halal Pedagang sapi • Penggunaan suplemen makanan dan minuman pada ternak • Penggunaan alat transportasi dan tempat peristirahatan sapi Rumah • Metode pemotongan sapi pemotongan hewan • Penjagal telah tersertifikasi (RPH) • Tempat peristirahatan sapi Pengumpul kulit • Proses penggaraman kulit • Tempat penyimpanan kulit • Alat transportasi kulit Pedagang kulit • Proses penggaraman kulit /agen kulit • Tempat penyimpanan dan proses penyimpanan kulit • Proses pengumpulan kulit
6
Industri penyamakan kulit
• • •
Proses penerimaan bahan baku Proses perendaman kulit Penggunaan bahan kimia
7
Agroindustri gelatin
• •
Penggunaan bahan kimia Proses pembuatan gelatin
Tindakan koreksi Jangan memerima pasokan sapi terhadap peternak yang belum teridentifikasi dengan baik
Setiap pedagang sapi harus mendapat sertifikasi mutu terhadap dagangannya dan terdaftar sebagai pemasok sapi Setiap RPH atau TPH harus menggunakan penjagal yang bersertifikat Pengumpul kulit harus terdaftar dan tersertifikasi Tolak bahan baku kulit yang bukan dari agen yang telah mendapat persetujuan dari LPPOM MUI Identifikasi pemasok bahan kimia dan perketat proses penerimaan kulit sesuai standar mutu yang berlaku Bahan kimia diperoleh dari supplier yang bersertifikasi dan proses tidak menyalahi aturan mutu dan HACCP
Peta jaringan pasokan bahan baku industri penyamakan kulit Peta jaringan pasokan bahan baku kulit sapi di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery berasal dari berbagai daerah yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Jabodetabek dan Jawa Timur. Pemasok kulit dari Jawa Tengah dilakukan oleh Ismail yang memasok kulit setiap minggu sekali sebanyak 28 ton per bulan. Kulit dari Jawa Tengah diperoleh dari RPH Semarang. Pemasok kulit dari Jawa Barat memperoleh kulit dari RPH Ciwastra Bandung dan RPH Serang. Pemasok kulit
71
dari RPH Ciwastra Bandung dilakukan oleh Helmi dengan pasokan sebanyak 24 ton per bulan dengan jadwal pasokan seminggu sekali. Pemasok kulit dari RPH Serang dilakukan oleh Ahim yang memasok kulit seminggu sekali dengan jumlah pasokan 24 ton per bulan. Pemasok kulit dari Jabodetabek mendapatkan kulit sapi dari RPH Cibinong, RPH Cakung, RPH Hankam dan RPH Tangerang. Pemasok kulit dari Jabodetabek dilakukan oleh H. Ruslan, H. Asmuri dan Gunawan. H. Ruslan dan Gunawan merupakan pemasok kulit utama yang memberikan pasokan kulit setiap minggu masing-masing dua kali dengan jumlah pasokan per bulan sebesar 48 ton dan 56 ton. H. Asmuri merupakan pemasok tidak tetap yang memasok kulit setiap minggu sekali dengan jumlah pasokan 16 ton per bulan. Pemasok kulit dari Jawa Timur dilakukan oleh Abdul Baqi dengan pasokan kulit sebesar 80 ton per bulan yang dilakukan dua kali seminggu. Kulit sapi dari Jawa Timur ini diperoleh dari RPH Kediri, dengan jenis sapi Brahman dan sapi Jawa. Selain itu jika pasokan bahan baku kurang mencukupi, PT. Muhara Dwitunggal Tanery juga mendapatkan pasokan kulit dari Luar Jawa seperti Kalimantan. Namun kendala pasokan kulit dari luar Jawa adalah mutu kulit yang kurang baik, sehingga pasokan kulit dari luar Jawa jarang dilakukan. Peta pasokan bahan baku kulit sapi di PT. Muhara Dwitunggal Tanery disajikan pada Gambar 8. RPH Semarang Semarang RPH Jawa Tengah Tengah Jawa RPH Semarang RPH Solo
RPH Ciwastra Ciwastra Bandung Bandung RPH
RPH Serang Serang RPH
Jawa barat barat Jawa Luar jawa jawa Luar
RPH Cibinong Cibinong RPH PT. Muhara Muhara PT. Dwitunggal Laju Laju Dwitunggal Tanery Tanery
RPH Bogor RPH Cakung Cakung RPH
Jabodetabek Jabodetabek
Kulit impor impor Kulit (wet blue) blue) (wet
RPH Hankam Hankam RPH RPH Tangerang Tangerang RPH
RPH Kediri Kediri RPH
Jawa Timur Timur Jawa
Gambar 8 Peta pasokan bahan baku industri penyamakan kulit PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery (Hasil Survey).
72
Kelembagaan Sertifikasi Mutu Halal Analisis sistem kelembagaan pada sertifikasi mutu halal sangat penting dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini dari sistem kelembagaan jaminan mutu halal.
Penentuan sistem kelembagaan yang tepat akan dapat mengatur
penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisiensi yang tinggi, keadilan (fairness) kearah pembagian yang lebih merata dan aktifitas ekonomi dapat langgeng.
Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi
sumberdaya secara optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional dengan produktifitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan kelanjutan spesialisasi adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi. Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim.
Di Indonesia, untuk memberikan
keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal LPPOM MUI. Perusahaan yang telah mensertifikasikan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten. Sistem yang menjamin kesinambungan halal secara konsisten disebut Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem ini merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasikan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal-haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. SJH dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal. SJH dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH sebagai sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi. Konsep-konsep syariat dan etika usaha akan menjadi input utama dalam SJH yang senantiasa akan dijiwai dan didasari kedua konsep tersebut.
Prinsip Sistem Jaminan Halal (SJH) pada
dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), yaitu sistem
73
manajemen mutu terpadu yang menekankan pada pengendalian mutu pada setiap lini. Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal.
Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada
Gambar 9.
Dokumen SJH1
Dolumen sertifikasi produk
Pendaftaran
Audit produk
Evaluasi audit
Tidak
Audit memorandum bahan
Ya
Fatwa ulama
Tidak Sesuai
Dokumen SJH2
Ya
Sertifikat halal
Gambar 9 Diagram alir proses sertifikasi halal di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery (Hasil survey). Sistem Jaminan Halal (SJH) harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang dapat memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada tiga zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun barang haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan keharaman produk, dan tidak menimbulkan resiko dengan penerapan ini. Oleh karena itu perlu adanya komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi
74
pemasaran.
Sistem Jaminan Halal (SJH) berkembang karena kesadaran dan
kebutuhan konsumen muslim untuk melindungi dirinya agar terhindar dari produk yang dilarang (haram) dan meragukan (syubhat) menurut ketentuan syariah Islam. Sistem jaminan Halal (SJH) dalam penerapannya harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima aspek: 1) Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal policy) 2) Panduan halal (Halal Guidelines) 3). Sistem Organisasi Halal 4) Uraian titik kendali kritis keharaman produk 5) Sistem audit halal internal (LPPOM MUI, 2008). Manajemen halal merupakan organisasi internal perusahaan yang mengelola seluruh fungsi dan aktivitas manajemen dalam menghasilkan produk halal. Manajemen yang terlibat merupakan perwakilan dari manajemen puncak, Quality Assurance (QA)/Quality Control (QC), produksi, research and development (R & D), purchasing, PPIC serta pergudangan. Organisasi manajemen halal dipimpin oleh seorang Koordinator Auditor Halal Internal (KAHI) yang melakukan koordinasi dalam menjaga kehalalan produk serta menjadi penanggungjawab komunikasi antara perusahaan dengan LPPOM MUI.
Struktur organisasi
manajemen halal di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery dapat dilihat pada Gambar 10. Direktur
LP POM MUI
QA / QC
Koordinator Auditor Halal Internal
Purchasing
R&D
Produksi
Gudang
Gambar 10 Struktur organisasi manajemen halal Divisi Gelatin di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery (Hasil survey).
Persyaratan, tugas dan wewenang auditor halal internal adalah sebagai berikut : 1. Persyaratan Auditor halal internal a. Karyawan tetap perusahaan bersangkutan b. Koordinator Tim Auditor halal internal adalah seorang muslim yang mengerti dan menjalankan syariat Islam.
75
c. Berada dalam lingkup Manajemen Halal. d. Berasal dari bagian yang terlibat dalam proses produksi secara umum seperti bagian QA/QC, R&D, Purchasing, Produksi dan Pergudangan. e. Memahami titik kritis keharaman produk, ditinjau dari bahan maupun proses produksi secara keseluruhan. f. Diangkat melalui surat keputusan pimpinan perusahaan dan diberi kewenangan penuh untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan SJH termasuk tindakan perbaikan terhadap kesalahan sampai pada penghentian produksi atau penolakan bahan baku, sesuai dengan aturan yang ditetapkan LPPOM MUI 2. Tugas Tim Auditor halal internal secara umum a. Menyusun Manual SJH perusahaan b. Mengkoordinasikan pelaksanaan SJH c. Membuat laporan pelaksanaan SJH d. Melakukan komunikasi dengan pihak LPPOM MUI. 3. Uraian Tugas dan Wewenang Auditor halal internal berdasarkan fungsi setiap bagian yang terlibat dalam struktur manajemen halal: a.
Manajemen puncak 1) Merumuskan kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan kehalalan produk yang dihasilkan. 2) Memberikan dukungan penuh bagi pelaksanaan SJH di perusahaan. 3) Menyediakan fasilitas dan sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan SJH. 4) Memberikan wewenang kepada koordinator auditor halal internal untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggap perlu yang berkaitan dengan pelaksanaan SJH termasuk tindakan perbaikan terhadap kesalahan sampai pada penghentian produksi atau penolakan bahan baku, sesuai dengan aturan yang ditetapkan LPPOM MUI.
b.
Riset dan Pengembangan (R & D)
76
1) Menyusun sistem pembuatan produk baru berdasarkan bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI 2) Menyusun sistem perubahan bahan sesuai dengan ketentuan halal. 3) Mencari alternatif bahan yang jelas kehalalalannya. 4) Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam formulasi dan pembuatan produk baru. c.
Pengendalian dan Pengawasan Mutu (Quality Assurance/ Quality Control) 1) Menyusun dan melaksanakan prosedur pemantauan dan pengendalian untuk menjamin konsistensi produksi halal. 2) Melaksanakan pemeriksaan terhadap setiap bahan yang masuk sesuai dengan sertifikat halal, spesifikasi dan produsennya. 3) Melakukan komunikasi dengan KAHI terhadap setiap penyimpangan dan ketidakcocokan bahan dengan dokumen kehalalan.
d.
Pembelian (Purchasing) 1) Menyusun prosedur dan melaksanakan pembelian yang dapat menjamin konsistensi bahan sesuai dengan daftar bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI 2) Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam pembelian bahan baru dan atau pemilihan pemasok baru. 3) Melakukan evaluasi terhadap pemasok dan menyusun peringkat pemasok berdasarkan kelengkapan dokumen halal
e.
Produksi (Production) 1) Menyusun prosedur produksi yang dapat menjamin kehalalan produk 2) Melakukan pemantauan produksi yang bersih dan bebas dari bahan haram dan najis. 3) Menjalankan kegiatan produksi sesuai dengan matrik formulasi bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI. 4) Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam hal proses produksi halal.
Sistem audit internal merupakan sistem auditing yang dilakukan oleh perusahaan secara periodik untuk mengevaluasi pelaksanaan sistem jaminan halal.
77
Pelaksanaan auditing internal dilakukan oleh tim organisasi halal yang dikoordinir oleh Auditor internal halal. Tujuan dilaksanakannya audit internal antara lain: 1. Untuk memastikan konsistensi operasi untuk memelihara mutu halal suatu produk 2. Memperbaiki cara produksi dengan memperhatikan tahapan proses yang dianggap kritis bagi kehalalan produk 3. Menetapkan kerangka kerja untuk proses peningkatan mutu lebih lanjut 4. Mengevaluasi dan menetapkan secara jelas tanggungjawab dan wewenang dari personel kunci yang menentukan pada kegiatan produksi secara halal. Untuk mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan dalam proses produksi halal, perusahaan perlu mengetahui dan menentukan titik-titik kritis keharaman produk. Titik kritis ini mengacu pada pedoman halal yang telah dibuat, yang mencakup bahan-bahan yang digunakan untuk berproduksi, serta tahapantahapan proses yang mungkin berpengaruh terhadap keharaman produk. Untuk menentukan titik-titik kendali kritis, harus dibuat dan diverifikasi bagan alir bahan, yang selanjutnya diikuti dengan analisa, tahapan yang berpeluang untuk terkena kontaminasi bahan yang menyebabkan haram. Dalam hal ini harus ada sistem yang dapat mendeteksi, dimana bahan haram berpeluang untuk mempengaruhi kehalalan produk. Tahapan berikut dapat digunakan untuk menyusun Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP). 1) ditentukan dan diakses seluruh bahan yang haram dan najis 2) ditentukan titik-titik kendali kontrol 3) dibuat prosedur pemantauan 4) diadakan tindakan untuk mengoreksi 5) diadakan sistem pencatatan 6) dibuat prosedur verifikasi Kebijakan-kebijakan perusahaan tentang produksi halal secara operasional dirumuskan dalam Prosedur Pelaksanaan Baku (SOP). SOP tersebut menguraikan hal-hal atau tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh bagian operasional sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misalnya SOP untuk R&D menguraikan prosedur perubahan formula, penggantian bahan, dan pengembangan produk. SOP untuk bagian purchasing akan menjelaskan ketentuan tentang penentuan supplier,
78
penggantian supplier, dan syarat-syarat kelengkapan order bahan, dsb. SOP untuk bagian QA/QC menguraikan tentang prosedur penggunaan bahan bahan, dst. Secara administratif, perusahaan harus mendisain suatu sistem administrasi terintegrasi yang dapat ditelusuri (traceable) dari pembelian bahan sampai dengan distribusi produk. Secara rinci administrasi yang terkait dengan SJH dimulai dari administrasi bagian pembelian bahan (Purchasing), penerimaan barang (Quality Control/QC), penyimpanan bahan (Warehousing/PPIC), Riset dan Pengembangan (R&D), Produksi / Operasi, Penyimpanan Produk (Finish Product) dan Distribusi. Secara skematik sistem administrasi yang terintegrasi disajikan pada Gambar 11. Produksi Pembelian
Penerimaan
Penyimpanan
Pengendalian mutu
Pengolahan
Pengiriman Penyimpanan
Penelitian dan Pengembangan
Gambar 11 Rantai sistem administrasi SJH di PT. Muhara Dwitunggal Laju Tannery (Hasil Survey).
Dari Gambar 11 terlihat bahwa proses administrasi dalam pembelian bahan perlu melakukan pengecekan terhadap bahan yang dibeli secara penelusuran bahan. Tetapi dari informasi ini belum diperoleh proses penelusuran dan sistem penelusuran yang dapat memudahkan pihak perusahaan untuk mendapatkan data dan informasi tentang bahan yang dibeli secara cepat. Oleh karena itu pelu adanya sistem kelembagaan penelusuran bahan baku yang dapat diintegrasikan dengan sistem SJH sehingga proses pengecekan pada saat pembelian bahan dapat dilakukan secara cepat dan tepat serta tidak menyalahi aturan sertifikasi halal. Analisis jaminan mutu pasokan bahan baku di beberapa agroindustri gelatin Agroindustri gelatin lain yang disurvey adalah agroindustri gelatin yang berada di Pandaan Jawa Timur. Industri ini menggunakan bahan baku tulang sapi, sehingga gelatin yang dihasilkan juga merupakan gelatin halal.
Kapasitas
79
produksi yang dimiliki oleh industri ini sebesar 1 ton/bulan, dengan rendemen sebesar rata-rata 10%, maka bahan baku tulang sapi yang dibutuhkan setiap bulannya adalah sekitar 10 ton. Dalam pengadaan bahan baku industri ini melakukan kerjasama dengan pemasok tulang yang berada di Jombang.
Proses pengadaan bahan baku
dilakukan dengan kontrak kerjasama dengan cara jual beli sesuai kualitas yang diharapkan dengan spesifikasi tulang dalam keadaan sudah dicacah dan dikeringkan. Pedagang tulang atau pemasok membeli tulang di pasar atau RPH dengan harga Rp 1000/Kg, kemudian pemasok melakukan pencacahan dan pengeringan dengan menggunakan alat yang sudah disediakan agroindustri gelatin, kemudian agroindustri gelatin membeli tulang yang sudah kering tersebut dengan harga Rp.3000/Kg. Industri ini tidak hanya menghasilkan gelatin, tetapi juga menghasilkan kolagen yang berasal dari tulang. Selain itu ampas tulang yang telah diekstrak akan mengasilkan phosfat yang digunakan sebagai campuran pakan ternak. Namun dengan berjalannya waktu proses pengadaan bahan baku ini mempunyai kendala kualitas yaitu pasokan tulang yang diberikan tidak memenuhi kualitas yaitu masih terdapat banyaknya kandungan lemak dalam tulang hasil pencacahan yang dilakukan oleh pemasok sehingga mempersulit proses produksi gelatin yang diharapkan sudah tidak ada lemak lagi dari tulang yang akan diproses sebagai bahan bakunya.
Untuk menghindari hal ini berlanjut lagi proses
penyiapan bahan baku dilakukan juga oleh agroindustri gelatin untuk mendapatkan spesifikasi tulang yang diharapkan yaitu tulang kering yang sudah dicacah lembut dengan tidak ada lemak didalamnya.
Selain itu untuk
meningkatkan pasokan tulang dari pemasok yang sesuai spesifikasi yang diharapkan agroindustri gelatin melakukan pelatihan dan penyediaan peralatan yang dapat digunakan oleh pemasok untuk melakukan proses awal penyediaan bahan baku. Agroindustri gelatin berikutnya yang dipelajari adalah industri Qinghai gelatin. Industri Qinghai Gelatin berada di Cina yang memproduksi gelatin dari berbagai bahan baku. Bahan baku untuk memproduksi gelatin halal berasal dari kulit sapi dan tulang sapi. Untuk memproduksi gelatin halal perusahaan tersebut telah memisahkan tempat dengan gelatin tidak halal. Adapun proses produksi
80
untuk mendapatkan mutu halal di agroindustri gelatin ini telah menggunakan aturan standar yang baku yang meliputi pengadaan bahan baku, penyimpanan bahan baku, dan proses produksinya. Rincian proses untuk mendapatkan produk gelatin halal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Persyaratan umum dalam pembelian bahan baku: a.
Berdasarkan persyaratan Islam dalam penyembelihan hewan, sebelum disembelih hewan harus dalam keadaan hidup, sehingga dapat dikatakan “halal”.
Ketika bahan baku sampai ke pabrik
harus ditentukan oleh pegawai yang profesional. b. Bahan baku halal yang dibeli tidak dibenarkan menggunakan alat transportasi yang kotor dan kebanyakan polusi. c. Penentuan bahan baku halal dilakukan oleh tiga orang, dua orang pegawai yang menguji bahan baku, satu berasal dari perusahaan gelatin, dan satunya lagi berasal dari pabrik pemasok bahan baku, dan seorang manajer bahan baku dari perusahaan yang harus bertanggung jawab untuk menandatangi dan memberikan stempel. Pengujian dapat dilakukan pada saat penimbangan dalam bongkar muat barang. Proses bongkar muat merupakan proses yang sangat ketat dan dapat tertumpuk setelah pemeriksaan mutu lebih lanjut. 2. Kondisi tempat bahan baku: a. Tidak boleh terpolusi kotoran b. Tidak boleh mengandung bahan pengotor lain c. Tempat harus dalam keadaan bersih (tidak terkena hujan) d. Harus tersedia wilayah bahan baku halal, dengan diberikan logo halal yang ditempelkan. Tempat harus bersih, setiap kotoran dan bahan baku tidak halal tidak boleh dicampur dalam bahan baku halal, jika hal ini ditemukan, maka semua bahan baku yang sudah terpolusi tersebut tidak digunakan untuk memproduksi produk halal. 3. Persyaratan air untuk membersihkan peralatan a. Harus air alami b. Air yang sudah digunakan sebelumnya tidak boleh untuk mencuci.
81
c. Air yang sudah terkena najis tidak boleh untuk mencuci alat. 4. Persyaratan membersihkan alat dari najis menurut Islam: a. Najis yang terlihat atau tidak harus dicuci b. Alat harus dicuci tujuh kali, yang salah satunya menggunakan campuran air dan tanah c. Pencucian pertama untuk menghilangkan adanya najis dengan menggunakan sedikit air dan tanah, air yang digunakan untuk pencucian awal tidak boleh digunakan lagi dan pencucian kedua dan selanjutnya dengan air yang tidak boleh digunakan lagi dan seterusnya. d. Banyaknya tanah yang digunakan untuk membersihkan alat bergantung pada perkiraan bahan padat yang terdapat pada kotoran. 5. Persyaratan proses produksi a. Pemandangan proses produksi harus bersih, tidak boleh ada tumpukan puing-puing. Dalam setiap bagian proses, dilarang ada barang yang tidak halal, lingkungan harus bersih dan sehat. Tumpukan bahan baku halal dilarang berserakan dimana-mana. b. Dalam setiap bagian proses, perlu menggunakan alat khusus dan tidak boleh dicampurkan dengan peralatan yang menggunakan bahan baku tidak halal. c. Seleksi bahan baku tahap kedua harus tertumpuk secara tertib dengan besar, sedang dan kecil. Pemandangan seleksi tahap dua harus menjaga kebersihan dan kesehatan. d. Setelah mengurutkan tumpukan bahan baku, tempat penumpukan harus diberi logo halal, dan tidak boleh digunakan untuk menumpuk bahan tidak halal. Dari kedua agroindustri gelatin tersebut dapat disimpulkan bahwa agroindustri gelatin yang terdapat di Pandaan Jawa Timur, lebih mementingkan pemberdayaan pedagang pemasok dalam usaha untuk mendapatkan pasokan bahan baku gelatin dari tulang sapi karena adanya spesifikasi yang harus dipenuhi agar proses produksi dapat dilakukan secara lebih efisien, sedangkan agroindustri gelatin Qinghai yang berada di Cina lebih menekankan pada usaha penjaminan
82
mutu secara internal dalam perusahaan untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang bermutu sesuai standar yang telah ditentukan. Permasalahan kelembagaan jaminan mutu pasokan agroindustri gelatin Untuk membangun sebuah struktur kelembagaan agroindustri gelatin diperlukan beberapa aktor yang berperan. Setiap aktor yang berperan memiliki kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi kebutuhan setiap pelaku atau institusi yang terlibat dan berkepentingan dalam sistem. Berdasarkan hasil kajian, komponen pelaku atau institusi yang terlibat beserta dengan kebutuhannya dalam rekayasa sistem kelembagaan agroindustri gelatin adalah sebagai berikut: a) Peternak •
Keuntungan memadai
•
Harga sarana produksi tidak berfluktuasi
•
Harga produk peternakan yang stabil dan wajar
•
Kemudahan dalam pemasaran produk peternakan
•
Kemudahan memperoleh modal dengan kredit dari lembaga keuangan
•
Tersedianya teknologi budidaya dan pascapanen yang terjangkau
•
Terkendalinya risiko penyakit pada ternak yang dipelihara
b) Pedagang kulit (pengepul) •
Kemudahan memperoleh informasi pasar
•
Kestabilan harga
•
Keuntungan yang optimal
•
Kontinuitas pasokan bahan baku terjamin
•
Terkendalinya risiko transportasi
c) Rumah Pemotongan Hewan •
Tersedianya sarana dan prasarana yang bersertifikat
•
Kemudahan akses teknologi
•
Kemudahan akses informasi harga dan sarana produksi
•
Kemudahan melakukan koordinasi pedagang dan pemasok sapi
•
Tersedianya SDM yang paham tentang pemotongan hewan yang benar
d) Industri penyamakan kulit
83 •
Keuntungan yang memadai
•
Pengembalian atas investasi yang tinggi
•
Terjaminnya bahan baku kulit sapi
•
Pangsa pasar meningkat
•
Ketersediaan informasi asal-usul bahan baku
•
Ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan dan bermutu
•
Terjaminnya pemasaran produk
e) Agroindustri gelatin •
Ketersediaan bahan baku yang berkesinambungan dan bermutu
•
Harga bahan baku yang stabil dan dapat diprediksi
•
Tercapainya target produksi
•
Keuntungan yang memadai
•
Pengembalian investasi yang tinggi
•
Pangsa pasar meningkat
•
Iklim usaha yang baik
•
Terjaminnya pemasaran produk
f) Konsumen •
Kemudahan akses produk yang bermutu
•
Kestabilan harga produk
•
Pasokan produk yang stabil
•
Kemudahan akses informasi pasar dan produk
•
Produk tersedia dengan kuantitas dan mutu yang cukup
g) Lembaga keuangan •
Peningkatan jumlah nasabah
•
Pengembalian kredit lancar
•
Mendapatkan kepastian usaha pemberian kredit
•
Minimnya risiko kredit macet
•
Peningkatan penyaluran dana dalam sektor usaha produktif
•
Terjaminnya pengembalian investasi yang ditanam
h) Pemerintah pusat/daerah •
Peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha
84 •
Tercipta iklim investasi agroindustri yang kondusif
•
Peningkatan pendapatan asli daerah
•
Peningkatan mutu produk dan komoditas
•
Peningkatan daya saing produk agroindustri
•
Peningkatan produktivitas petani
i) Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian •
Tersedianya sarana untuk melakukan penelitian
•
Kemudahan akses informasi
•
Peningkatan daya saing produk agroindustri
•
Kemudahan akses teknologi
Permasalahan yang sering muncul dalam rekayasa sistem kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk adalah konflik kepentingan antar aktor atau pelaku yang terlibat.
Hal ini karena
terjadinya ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing aktor. Adapun rincian dari permasalahan tersebut adalah Informasi asal usul bahan baku kurang memadai sehingga mutu bahan baku tidak terjamin kehalalannya, Kinerja kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri gelatin belum terjalin dengan baik sehingga setiap pelaku mempunyai keinginan untuk mengejar keuntungan yang besar, sumberdaya manusia (SDM) pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) belum bersertifikat sehingga proses pemotongan hewan belum terjamin kehalalannya. Posisi tawar peternak kecil dalam penentuan harga kulit sapi sangat rendah karena kurangnya akses informasi pasar. Selain itu Belum berkembangnya kesadaran peternak dalam berorganisasi dan bermitra dengan pihak lain dalam meningkatkan taraf hidup dan peningkatan sumberdaya manusia sehingga belum memberlakukan proses manajemen usaha secara efektif.
Belum tersedianya
dukungan infrastruktur yang memadai berupa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang bersertifikat. Keterbatasan modal dan kesulitan petani mendapatkan kredit komersial, karena usaha pertanian dan agroindustri dianggap memiliki risiko yang relatif tinggi sehingga menyebabkan peran lembaga keuangan belum beroperasi secara optimal dalam menunjang pengembangan agroindustri.