REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN BAHAN BAKU BERBASIS JARINGAN PADA AGROINDUSTRI FARMASI
NUNUK ADIARNI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Sistem Rantai Pasokan Berbasis Jaringan pada Bahan Baku Agroindustri Farmasi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2007
Nunuk Adiarni P 256 00010
ABSTRACT NUNUK ADIARNI. Network-based supply chain system for raw materials of Pharmaceutical Agroindustry. Under the direction of IRAWADI JAMARAN, ANAS M FAUZI, MARIMIN, MACHFUD and RIZAL SJARIEF. The pharmaceutical agroindustry required a variety of medicinal plants for traditional or herbal products. However, the raw materials’ quality product still not satisfied the industry standard requirement due to weaknesses in processing raw materials and communication between farmers and industry. The objective of this research was to develop the network-based supply chain system for raw materials of pharmaceutical agroindustry that may increase farmer’s income and sustainably. Under such a system, the farmers as members of the network are expected to gain more benefits than the traditional supply chain. The network-based supply chain system was structured by connecting farmers, group of farmers and central management of the network. Results of the network structuring by using Interpretative Structural Modelling indicated that the structure and system of the network were considered to be critical elements to integrate the processing chain. The result of customers’ preference analysis using Quality Function Deployment (QFD) indicated water content and cleanliness of the material as priority aspects and the dominant process that produced such quality should be controlled by members’ of the network. Conflict analysis within the network organization using Analytical Hierarchy Process (AHP) illustrated that the management of farming business was very potential to trigger conflicts and required continuous solution on guidance and socialization. Verification of the network proved that farmers would gain increase of income 23.5 % compared with traditional supply chain and members would still received Rp 93,000,-/farmer/year as an additional incentive after 10 % of the margin of the network was reserved. Feasibility analysis showed NPV Rp 2,229,719,300,-, IRR 22.75 %, payback period (month) 7.52. The network should be operated at 1,581 ton/year and distributed to: Zingiber officinale 46 %, Curcuma xanthorriza 11 %, Curcuma domesticae 15 % and 27 % others herb-medicinal plant of Zingiberaceae familia. Such result would be achieved with the assumption that there would be supported by 620 farmers based on 0.2 ha/farmer. The Analytical Network Process (ANP) in benefit cost opportunity risk (BCOR) approach was used for validation with respect to the purpose and the result was valid in optimistic condition. Considering the farmers’ weaknesses, the implementation would be proposed under four stages strategy initiated by industry and supported by government. The condition required were the commitment of industry to absorb the supply of herbal plants, presence of the facilitators to facilitate exchange between members and commitment of the members. Key words : supply chain network, pharmaceutical agroindustry, quality function deployment, analytical hierarchy process, benefit cost opportunity result.
NUNUK ADIARNI. Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi. Dibawah bimbingan : IRAWADI JAMARAN, ANAS M FAUZI, MARIMIN, MACHFUD dan RIZAL SJARIEF.
RINGKASAN Agroindustri farmasi membutuhkan bahan baku tanaman obat dengan jaminan kebenaran jenis, kestabilan dan keseragaman kualitas agar produk yang dihasilkan sesuai klaim khasiat. Keseragaman kualitas dimaksud dapat terwujud, dengan memperhatikan pemilihan bibit, proses penanganan pada saat panen, pascapanen sampai produk jadi. Rantai pasokan tanaman obat menghadapi permasalahan dimana para aktor bekerja secara sendiri-sendiri dan petani tampak sebagai pihak yang kurang cepat mendapatkan informasi inovasi produk yang dilakukan industri. Keterbatasan petani dalam memenuhi kebutuhan pasokan dan kualitas mendorong agroindustri farmasi membeli dari pedagang pengumpul. Konsep jaringan merupakan pendekatan manajemen rantai pasokan yang menekankan hubungan anggota secara erat dimana masing-masing berkontribusi sesuai peran yang disepakati dalam integrasi proses secara kesatuan. Masingmasing anggota jaringan bagaikan node yang walaupun terdiri dari individu maupun lembaga yang bebas tetapi dapat menjalin hubungan secara terstruktur. Tujuan penelitian adalah menghasilkan sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi berbasis jaringan yang mampu meningkatkan pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan. Pasokan bahan baku agroindustri farmasi menghadapi kompleksitas permasalahan dengan kerumitan hubungan antar elemen dan perubahan dinamis permintaan dan penawaran bahan baku. Sistem rantai pasokan akan direkayasa agar terdapat integrasi strategis antara petani dan industri dimana petani berlokasi tersebar, berkontribusi sesuai perannya atas dasar saling ketergantungan. Kerangka pemikiran pembangunan jaringan, diawali dengan mempelajari secara seksama kebutuhan agroindustri farmasi dan kondisi rantai pasokan saat ini. Pendekatan kesisteman dilakukan melalui analisis usaha tani, matriks persyaratan mutu dan analisis elemen jaringan. Keluaran analisis usaha tani adalah kondisi situasional rantai pasokan, atribut mutu dan proses terkait sebagai hasil dari analisis matriks persyaratan mutu serta elemen kunci sebagai hasil analisis elemen jaringan. Setelah struktur jaringan terbentuk kemudian dianalisis konflik dan perhitungan manfaat. Struktur jaringan yang telah dihasilkan kemudian divalidasi menggunakan pendapat pakar dan analisis Analytical Network Process melalui pendekatan benefit, cost, opportunity dan risk (BCOR). Kebaruan dari disertasi ini adalah hubungan pemasok-pemasok pada rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi yang bergabung melalui jaringan dengan memanfaatkan kelompok sebagai bagian dari tata kelola. Penekanan hubungan yang erat dan saling berbagi kekuatan berlangsung dengan mengoperasikan fungsi yang terdistribusikan pada pusat manajemen jaringan dan anggota. Penjabaran elemen kunci menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM) menghasilkan sub-elemen struktur dan sistem organisasi dari elemen tujuan. Namun, sub-elemen permodalan dan perkembangan agroindustri farmasi menjadi
kendala keberhasilan jaringan. Matriks perbandingan aspek proses dan harapan pelanggan menggunakan Quality Function Deployment-QFD menghasilkan proses pengeringan sangat berpengaruh pada atribut mutu kadar air, terutama untuk produk tanaman obat kering. Konfigurasi jaringan terdiri dari petani, kelompok tani, dan pusat manajemen, yang membagi fungsi sesuai kemampuan masing-masing. Pengaturan dimaksud memperjelas pengintegrasian proses sehingga menempatkan tanggungjawab produksi dan pascapanen berada pada anggota. Dengan demikian upaya menjamin mutu telah dimulai sejak dini dan kendali proses yang berpengaruh terhadap mutu sebagaimana hasil Quality Function Deployment QFD kemudian menjadi tanggungjawab petani. Pusat manajemen lebih memfokuskan penanganan pemasaran, distribusi dan pelayanan pelanggan. Validasi terhadap jaringan dilakukan terhadap elemen tujuan jaringan, keterlibatan petani dan perilaku. Validasi tujuan dengan menggunakan metode Benefit Cost Opportunity Risk dari Analitycal Network Process, dinyatakan valid pada kondisi optimistik. Sedangkan validasi menggunakan pendapat pakar dinyatakan valid dengan skala tinggi. Dalam hal validasi keterlibatan petani untuk mematuhi aturan dihasilkan valid pada skala tinggi berdasarkan pendekatan pendapat pakar, tetapi konsistensi perilaku petani dinyatakan berskala sedang. Hasil verifikasi menunjukkan petani mampu memperoleh peningkatan pendapatan 23,5 % apabila diusahakan secara campuran irisan kering dan segar. Melalui pengelolaan fungsi pemasaran dan pengaturan masukan-keluaran bahan baku, keuntungan jaringan pada tahun kelima akan mencapai 18 % per tahun. Bilamana keuntungan ditahan sebesar 10%, dan sisanya didistribusikan kepada petani maka masing-masing masih akan memperoleh tambahan sebesar Rp 93.000,- per orang per tahun, dan bilamana bahan baku hasil reject dikonversikan menjadi produk serbuk maka masih diperoleh pendapatan tambahan bagi setiap petani sebesar Rp 156.000,- . Kondisi tersebut tercapai ketika jaringan beroperasi pada kapasitas penjualan 1.581 ton per tahun melibatkan 620 petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan 2000 m2 dengan komposisi lahan untuk tanaman jahe 46 %, temulawak 11 %, kunyit 15 % dan sisanya berasal tanaman obat lainnya. Konflik diantara anggota jaringan mungkin terjadi mengingat perubahan dari petani yang semula mengusahakan tanaman obat secara mandiri menjadi satu kumpulan dalam jaringan. Tiga faktor pemicu konflik berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process berasal dari sumber daya manusia, pengelolaan organisasi dan usaha tani. Alternatif pemecahan konflik dilakukan melalui penyuluhan dan sosialisasi untuk mengatasi pemicu utama yakni pengelolaan usaha tani. Keberhasilan pengoperasian jaringan memerlukan persyaratan berupa dukungan industri untuk menyerap hasil tanaman obat, peran pemerintah untuk fasilitasi pinjaman modal dan perilaku anggota menjaga komitmen serta integritas. Pengimplementasian jaringan ini dilakukan melalui empat tahapan strategis dengan pemrakarsa yang dipandang tepat berasal dari industri untuk menyelesaikan tahap pertama yakni peletakkan dasar organisasi. Kata kunci : tanaman obat, jaringan, agroindustri farmasi, kelembagaan, ISM, QFD, AHP.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
Judul Disertasi
: Rekayasa Sistem Rantai Pasokan Bahan Baku Berbasis Jaringan pada Agroindustri Farmasi : Nunuk Adiarni : P 256 00010
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Anggota
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Machfud, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief, DESS Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian : 31 Januari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari pasangan Soenarjo dan Waloejamin. Penulis menempuh pendidikan dasar di beberapa sekolah yakni sekolah dasar katolik susteran Pontianak, SD Strada Tangerang, dan SD Xaverius IV Palembang. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius Palembang dan melanjutkan di SMA Katolik Pendowo Magelang. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjahmada lulus tahun 1981. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen program magister manajemen di sekolah Tinggi Manajemen PPM. Penulis mengawali bekerja sebagai pengajar dan konsultan manajemen di Lembaga PPM pada tahun 1984.
Pada tahun 1990, penulis bekerja di PT Berca
Indonesia sebagai Training & Development Manager, HRD Manager PT Daya Tata Matra dari tahun 1996 sampai dengan 2002 dan sejak tahun 2003 sebagai Staff Direksi bidang HRD di PT Agung Automall main dealer Toyota. Selain itu juga sebagai pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi Tenaga Kerja Indonesia, dan sejak 2005 pengajar di jurusan agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mendapatkan beasiswa dari AOTS Jepang untuk belajar program for Quality Management di Tokyo, program for Indonesia Enterpreneur di Osaka, dan Small Medium Enterprises di Manila. Memproleh sertifikat Lead Assessor ISO 9001 dari BSI di London tahun 1993. Bersuamikan Ir Bambang Nuryanto, ibu dari Astari Nuryandani, Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina.
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pencarian fakta di lapangan, kajian konsep dan teori, merupakan pembelajaran atas keilmuan yang multi disiplin yang memberikan wawasan luar biasa. Terimakasih dan penghargaan setingginya penulis haturkan kepada komisi pembimbing yaitu Dr. Ir Irawadi Jamaran selaku ketua pembimbing, Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng, Prof. Dr. Ir Marimin, M.Sc, Dr. Ir. Machfud, MS dan Prof. Dr. Ir Rizal Sjarief, DESS sebagai anggota, atas motivasi yang tiada henti, dan pengarahan yang mempertajam pemahaman kaidah ilmiah serta tanggung jawab sebagai ilmuwan. Kepada Lala M Kolopaking, Ph.D sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Nadirman Haska, APU dan Dr.Dedi Mulyadi, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan untuk menguji, dan memberikan masukan. Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah keilmuan manajemen rantai pasokan yang menempatkan petani sebagai tokoh penting dalam pengembangan agroindustri farmasi. Pemikiran strategis dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani perlu dikedepankan, sehingga rencana besar membangun agroindustri farmasi unggul dan memiliki kemampuan bersaing dapat tercapai. Disertasi ini diawali dengan latar belakang permasalahan pasokan, tujuan dan ruang lingkup. Guna menarik kajian ilmiah yang relevan, hasil penelitian dari peneliti sebelumnya disajikan pada tinjauan pustaka dalam lingkup rantai pasokan, aliansi strategis, analisis konflik dan kelembagaan. Alat bantu pengolahan data yang dihimpun dari responden petani, pengumpul dan para pihak di industri menggunakan Quality Function Deployment, Intrepretative Structural Modelling, Analytical Hierarchy Process, Analytical Network Process - yang ditinjau dari aspek benefit, cost, opportunity, risk (BCOR) dan analisis kelayakan.
Keberhasilan menyelesaikan disertasi ini tidak lepas dari jasa baik pimpinan PT Agung Automall main dealer Toyota, Pimpinan Yayasan Lembaga Uji Kompetensi Mandiri yang memberikan kelonggaran waktu, bahkan bantuan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga tuntas. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada : 1. Para responden pakar yang telah menyediakan waktu untuk menjelaskan mengenai Agroindustri farmasi, mengisi kuisioner dan berdiskusi. 2. Responden perusahaan agroindustri farmasi : PT Air Mancur, PT Phapros Tbk, dan PT Indofarma Tbk serta agroindustri farmasi menengah – kecil di Nguter Sukoharjo yang mengizinkan melakukan observasi dan wawancara dengan para pihak. 3. Para responden petani, pengumpul di beberapa desa. Penyelesaian disertasi ini merupakan wujud tanggung jawab kepada Ir. Bambang Nuryanto suami penulis yang turut bersusah payah membantu saat proses perkuliahan hingga penelitian. Anak-anakku, Astari Nuryandani, Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina yang memudahkan berbagai aktivitas yang penulis lakukan. Terima kasih disampaikan kepada keluarga di Surakarta yang memperlancar pelaksanaan penelitian dan para pihak yang telah memberikan motivasi tanpa henti.
Bogor, Maret 2007
Nunuk Adiarni
RIWAYAT HIDUP
Penulis, lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari keluarga Soenarjo dan Waloejamin. Kehidupan yang berpindah-pindah di masa kecil memberikan kekayaan wawasan atas budaya masyarakat. Penulis menempuh pendidikan dasar di sekolah katolik ’susteran’ Pontianak, SD Strada Tangerang dan SD Xaverius IV Palembang. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius II Palembang dan SMA ditempuh di SMA Katolik Pendowo Magelang. Tahun 1977, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjahmada dan mengambil jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, lulus tahun 1981. Tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen program magister manajemen di Sekolah Tinggi manajemen PPM. Penulis mengawali bekerja tahun 1984 sebagai pengajar dan konsultan manajemen PPM. Kemudian tahun 1990 menjabat sebagai Training & Development Manager di PT Berca Indonesia, HRD Manager di PT Daya Tata Matra dari tahun 1996 sampai dengan 2002. Sejak tahun 2003, penulis bekerja di main dealer Toyota PT Agung Automall. Selain itu sebagai pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi menangani uji kompetensi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan tahun 2005, sebagai pengajar pada jurusan agribisnis - Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Penulis mendapatkan beasiswa dari AOTS Jepang untuk belajar program for Quality Management di Tokyo, program for Indonesia Entrepreneur di Osaka, dan Small Medium Entreprises di Manila. Memperoleh sertifikat Lead Assessor ISO 9000 dari BSI di London tahun 1993. Bersuamikan Ir. Bambang Nuryanto, Ibu dari Astari Nuryandani, Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina.
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. x DAFTAR ISTILAH .................................................................................................. xi I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Tujuan ...................................................................................................... 5 1.3. Ruang Lingkup ......................................................................................... 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroindustri Farmasi ............................................................................... 6 2.2. Rantai Pasokan .........................................................................................21 2.3. Konflik .....................................................................................................30 2.4. Kelembagaan ............................................................................................32 2.5. Resiko Petani ............................................................................................35 2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................................37
III.
LANDASAN TEORITIS 3.1. Quality Function Deployment (QFD) .....................................................39 3.2. Intrepretative Structural Modelling (ISM ) ..............................................44 3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) ......................................................46 3.4. Analytical Network Process (ANP) .........................................................50 3.5. Penilaian Investasi ....................................................................................52
IV.
METODOLOGI 4.1. Kerangka Pemikiran .................................................................................55 4.2. Pendekatan Sistem ...................................................................................60 4.3. Tata Laksana Penelitian ...........................................................................61
V.
Analisis Situasi Tanaman Obat 5.1. Bahan Baku Tanaman Obat .....................................................................67 5.2. Kondisi Usaha Tani...................................................................................69 5.3. Pergerakkan Harga Tanaman Obat ..........................................................75 5.4. Permasalahan Petani Tanaman Obat ........................................................78
v 5.5. Pedagang Pengumpul ...............................................................................79 5.6. Agroindustri Farmasi ................................................................................84 5.7. Identifikasi Resiko ....................................................................................87 VI.
REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN 6.1. Aliran Bahan Baku ...................................................................................94 6.2. Analisis Kualitas dan Eleme n Kunci Jaringan .........................................95 6.3. Struktur Rantai Pasokan Berbasis jaringan ..............................................117
VII.
RANCANGAN IMPLEMENTASI 7.1. Tahapan Strategis Pembangunan Jaringan ...............................................133 7.2. Kepemilikan Jaringan ..............................................................................143 7.3. Persyaratan Impelementasi ......................................................................144 7.4. Kekuatan dan Keterbatasan jaringan ........................................................147
VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM 8.1. Validasi ....................................................................................................150 8.2. Verifikasi ..................................................................................................153 8.3. Manfaat untuk Petani ...............................................................................166 8.4. Manfaat untuk Masyarakat ......................................................................168 8.5. Manfaat untuk Industri .............................................................................168 8.6. Analisis Konflik .......................................................................................169 8.7. Analisis Manfaat menggunakan BCOR ...................................................174 8.8. Implikasi Kebijakan .................................................................................175 IX.
KESIMPULAN dan SARAN 9.1. Kesimpulan ..............................................................................................177 9.2. Saran .........................................................................................................178
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................179 LAMPIRAN ..............................................................................................................188
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1 - Data IOT dan IKOT 2002 ................................................................................ 9 2 - Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di 8 IOT....................13 3 - Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002 ..............................14 4 - Produksi tanaman obat tahun 2000 – 2002 ......................................................14 5 - Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan ............................................27 6 - Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu ..........................................29 7 - Skala banding berpasangan pada AHP ............................................................48 8 - Analisis kebutuhan para aktor pada rantai pasokan ........................................61 9 - Biaya dan hasil produksi per hektar ................................................................78 10 - Permasalahan petani ........................................................................................79 11 - Aspek pengadaan bahan baku industri ...........................................................86 12 - Kandungan tanaman obat pada jamu
...........................................................87
13 - Proses, resiko dan tanggungan biaya pada rantai pasokan .............................91 14 - Bentuk pengendalian vertikal .........................................................................92 15 - Aliran bahan baku pada rantai pasokan ...........................................................94 16 - Elemen tujuan....................................................................................................99 17 - Hasil reachability matrix final elemen tujuan .................................................100 18 - Hasil reachability matrix final elemen kendala ...............................................106 19 - Hasil reachability matrix final elemen aktivitas ..............................................110 20 - Hasil reachability matriks final perubahan yang dimungkinkan ..........................................................................................114
vii
21 - Analisis faktor penghambat dan pendorong keterlibatan petani ......................128 22 - Fungsi pusat manajemen jaringan ...................................................................129 23 - Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi ..................................152 24 - Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya ........................................154 25 - Asumsi analisis usaha tani ..............................................................................155 26 - Skenario asumsi analisis usaha jaringan
......................................................160
27 - Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas ....................................................................................161 28 - Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar ............164 29 - Analisis konsistensi AHP ................................................................................173 30 - Hasil analisis BCOR ..........................................................................................175
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 - Skema aliran pasokan bahan baku ..............................................................12 2 - Skema bahan baku menjadi irisan kering .. ................................................17 3 - Kerangka manajemen rantai pasokan ........................................................26 4 - Rumah mutu .. ............................................................................................42 5 - Struktur hirarki AHP .. ...............................................................................49 6 - Ketergantungan antar elemen dalam ANP .. ..............................................51 7 - Kerangka pemikiran penelitian ...................................................................56 8 – Tahapan penelitian .....................................................................................59 9 - Peta lokasi penelitian .. ................................................................................62 10 - Alur proses penanganan bahan baku .. .......................................................69 11 - Kondisi harga temulawak di lapangan ......................................................76 12 - Kondisi harga jahe di lapangan .................................................................77 13 - Aktor pada rantai pasokan tanaman obat ..................................................82 14 - Hasil final matriks rumah kualitas – QFD ................................................98 15 - Struktur hirarki dari elemen tujuan ............................................................101 16 - Matriks DP -D elemen tujuan .. ..................................................................101 17 - Struktur hirarki kendala.. ............................................................................107 18 - Matriks DP -D elemen kendala .. ...............................................................107 19 - Struktur hirarki aktivitas jaringan .. ........................................................... 111
ix
20 - Matriks DP -D untuk elemen aktivitas .. ....................................................112 21 - Struktur hirarki elemen perubahan .. ..........................................................115 22 - Matriks DP -D perubahan yang diinginkan ................................................116 23 – Struktur jaringan .. ......................................................................................118 24 – Mekanisme pengendalian ..........................................................................125 25 - Empat tahapan strategis pembangunan jaringan .. ......................................132 26 - Penerimaan petani anggota jaringan .. ........................................................134 27 - Skema pengambilan keputusan jaringan ....................................................140 28 - Kegiatan operasi pusat manajemen jaringan .............................................142 29 - Biaya usaha tani tanaman obat ....................................................................156 30 - Harga tanaman obat dijual ke jaringan .....................................................157 31 - Keuntungan jaringan selama 5 tahun .........................................................163 32 - Struktur hirarki analisis konflik .................................................................170
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Asumsi biaya jaringan ............................................................................... 188 2. Proporsi bahan baku dari target nasional ................................................... 189 3. Penetapan komposisi penjualan tanaman obat ........................................... 190 4. Target penyaluran ....................................................................................... 191 5. Harga bahan baku segar .............................................................................. 192 6. Biaya pembelian bahan baku jaringan ....................................................... 193 7. Pembiayaan teknis jaringan ....................................................................... 194 8. Biaya sewa dan investasi ............................................................................ 195 9. Perkiraan arus kas jaringan ........................................................................ 196 10. Target penyaluran bahan baku perhitungan BEP ....................................... 197 11. Harga Jual Bahan Baku ............................................................................. 198 12. Pembiayaan teknis jaringan posisi BEP .................................................... 199 13. Penjualan tanaman obat posisi BEP .......................................................... 200 14. Perkiraan arus kas posisi BEP ................................................................... 201 15. Manfaat Jaringan bagi masyarakat ........................................................... 202 16. Manfaat Jaringan bagi masyarakat kondisi BEP ...................................... 203 17. Permasalahan petani .................................................................................. 204 18. Pengendalian vertikal industri terhadap pemasok ..................................... 205 19. Pengendalian vertikal pedagang terhadap pemasok .................................. 206
DAFTAR ISTILAH Agroindustri Didefinisikan sebagai industri yang mengolah hasil pertanian menjadi barang lain bernilai tambah lebih tinggi melalui kemampuan teknologi yang melibatkan aspek fisik, kimia maupun biologi. Boleh dikatakan agroindustri sebagai revolusi nilai tambah yang menyempurnakan keberhasilan di bidang pertanian. Kegiatan agroindustri dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu daur singkat dan daur panjang. Konsep agroindustri mensimbiosakan dua bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan proses produksi dan manajemen. Agroindustri farmasi Industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Departemen Kesehatan menyebutkan sebagai Industri Obat Tradisional. Analytical Hierarhcy Process Proses hierarki analitik diajukan oleh Profesor Thomas L.Saaty yang merupakan model pengambilan keputusan yang mampu memecahkan persoalan kompleks secara kuantitatif. Tujuannya adalah memodelkan problem yang tidak berstruktur. Tiga unsur dalam AHP adalah menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis yaitu memecah persoalan menjadi unsur terpisah-pisah. Kemudian pembedaan prioritas dan sintesis dan dilanjutkan dengan konsistensi logis untuk menjamin bahwa semua elemen telah dikelompokka n dan diperingkatkan secara konsisten sesuai kriteria yang logis. Analytical Network Process Merupakan metode pemecahan masalah tidak berstruktur dan membutuhkan ketergantungan hubungan antar elemennya. Konsep ini dikembangkan dari teori AHP dimana tidak membutuhkan level khusus sebagaimana dalam hierarki. Dengan konsep hubungan yang saling mempengaruhi antar elemen digunakan sebagai sarana memprediksi dengan memasukkan interaksi dan kekuatan relatif untuk pemecahan masalah. Hubungan ketergantungan antar elemen ditandai dengan anak panah bolak-balik. Hubungan saling ketergantungan pada level yang sama ditunjukkan dengan sebuah loop. Bentuk interaksi ketergantungan antar elemen pada masing- masing level ini diturunkan menjadi supermatrik.
BCOR Pengambilan keputusan dipertimbangkan dari sisi menguntungkan dan merugikan. Pertimbangan menguntungkan ini disebut sebagai manfaat (benefit – B), pertimbangan merugikan ditinjau dari sisi biaya (cost – C). Saaty, melengkapi pendekatan pengambilan keputusan menggunakan ANP, dengan memperhatikan peluang (opportunity – O) dan hal- hal yang menuju akibat negatif sebagai resiko (risk – R). Sintesa dari manfaat, biaya, kesempatan dan resiko menjadi kesimpulan akhir pengambilan keputusan (BCOR). Fitofarmaka Produk yang harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan secara uji klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Herbal terstandardisir Produk yang berasal dari bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, yang harus memenuhi kriteria aman, klaim khasiat yang dibuktikan secara ilmiah/ praklinik, telah dilakukan standarisasi bahan baku yang digunakan dalam produk jadi danmemenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Intrepretative Structural Modelling Adalah proses pengkajian kelompok guna memotret perihal komples suatu sistem. Secara metodologi dan teknik, ISM dibagi dua bagian yakni penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasar adalah identifikasi struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi dan untuk pengambilan keputusan lebih baik. Jamu Bentuk sediaan masih sederhana, berwujud serbuk seduhan, dan bahan rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilah- istilah tradisional. Produk jamu berasal dari resep tradisional dan tidak mengikuti standar ilmiah, sehingga terfragmentasi sangat lebar dengan kandungan tanaman obat dan klaim yang bervariasi. Klaim kegunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan pengalaman empiris. Quality Function Deployment QFD dikembangkan di Jepang oleh Mitsubishi’s Kobe Shipyard dan diadopsi oleh Toyota tahun 1978. Merupakan format terstruktur yang menerjemahkan persyaratan nilai pelanggan ke dalam karakteristik produk dan jasa spesifik dan
pada akhirnya ke dalam proses dan sistem yang memberikan produk dan jasa benilai tersebut. Dengan kata lain tujuan QFD adalah menerjemahkan kebutuhan pelanggan ke dalam persyaratan teknis dan menset prioritas. Terlebih dulu, pada rumah mutu QFD diterjemahkan kebutuhan pelanggan yang diletakkan pada lajur kiri kolom, kemudian menerjemahkan serangkaian proses yang dibutuhkan, selanjutnya dilakukan hubungan berpasangan antara fitur persyaratan mutu dan proses untuk dilihat mana proses yang berpengaruh kuat atas fitur dimaksud. Rantai pasokan Merupakan pergerakan fisik bahan baku atau produk, aliran informasi, pergerakan uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual. Rantai pasokan tidak sama dengan istilah logistik karena di dalamnya akan termasuk fungsi pembelian, produksi, pemasaran, keuangan, perekayasaan dan aktivitas pengendalian. Rantai pasokan berbasis jaringan Menunjukkan alur berstruktur dari obyek yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas dengan dasar ketergantungan yang diakui dan wujud keikatan bersama. Analogi dari basis jaringan sebagaimana sel dalam organisme hidup yang dapat beraktivitas sendiri untuk memenuhi kebutuhan tetapi dengan bertindak dalam kesatuan dapat menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Membangun kekuatan jaringan strategik memerlukan berbagi teknologi, manfaat, pengembangan dan kepemilikan di dalam jaringan. Uraian terperinci terdapat pada tinjauan pustaka. Simplisia Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolaha n apapun juga dan kecuali dinyatakan lain. Simplisia dapat berasal dari nabati, hewani, pelikan atau mineral. Simplisia nabati Simplisia tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara sponta n keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat tradisional dengan tujuan penggunaan untuk promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif telah dikenal oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Obat tradisional
atau dikenal sebagai jamu merupakan
ramuan yang dapat dibuat sendiri, diolah oleh penjual jamu gendong atau berasal dari produk industri. Berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan, tingkat pembuktian khasiat, produk agroindustri farmasi dikelompokkan menjadi : a) jamu, yakni ramuan tradisional yang secara empiris dibuktikan khasiatnya, b) herbal terstandar yakni obat tradisional yang telah melalui uji pra klinik, dan c) fitorfarmaka yakni obat tradisional yang telah melalui uji klinik sehingga dapat digunakan pada pelayanan kesehatan formal. Walaupun saat ini dikenal pengobatan kesehatan formal, namun terdapat kecenderungan masyarakat mencari alternatif pengobatan kembali pada alam (back to nature) karena persepsi manfaat berdasarkan pengalaman empirik. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan – BPOM (2003), terdapat peningkatan jumlah industri obat tradisional (IOT) pada tahun 2000 dari 96 menjadi 118, dan industri kecil obat tradisional (IKOT) dari 856 meningkat hampir 10 % menjadi 917 pada tahun 2002. Penyerapan bahan baku atau simplisia untuk memenuhi kebutuhan IOT/ IKOT dan industri farmasi sebesar 63 %, keperluan ekspor sebesar 14 % dan konsumsi rumah tangga 23 %. Laju pertumbuhan Industri Obat Tradisional berdasarkan data litbang Deptan 2006 sebesar 6,40 %. Pasar obat farmasi di Indonesia mencapai nilai Rp 17 triliun dan obat herbal Rp 2 triliun pada tahun 2003. Pasar obat herbal mengalami peningkatan menjadi Rp 2.9 triliun pada tahun 2005, naik 11 % dibandingkan tahun lalu (BPPT, 2006). Total pasar produk herbal Indonesia relatif sangat kecil apabila dibandingkan dengan pasar dunia.
Pasar herbal dunia pada tahun 1999
mencapai US $ 19.4 miliar dimana pasar Eropa mencapai US $ 6.7 miliar,
diikuti Asia US $ 5.1 miliar, Amerika Utara US $ 4.0 miliar, Jepang US $ 2.2 miliar dan negara lain US $ 1.4 miliar (Laird dan Pierce, di dalam WWF 2006). Pengembangan agroindustri farmasi lebih maju telah dilakukan oleh China dengan mengintegrasikan kebun, pabrik dan
lembaga layanan
kesehatan formal (Pramono, 2001). Agroindustri farmasi membutuhkan
beraneka jenis bahan baku
tanaman obat untuk memenuhi kebutuhan produk obat tradisional yang telah dikenal lama oleh masyarakat, maupun guna keperluan bahan baku produk hasil inovasi yang dilakukan industri. Kebutuhan bahan dasar obat tradisional seperti
jahe, kunyit, dan
temulawak meningkat 5 % pada tahun 2001, di mana kunyit naik mencapai 12 % dan permintaan jahe diperkirakan tumbuh mencapai rata-rata 11 % per tahun. Pada saat kebutuhan jahe dan kunyit meningkat, produksi jahe terlihat menurun sebesar 7 % dan kunyit mencapai 11 %, sedangkan temulawak mengalami kenaikan produksi mencapai 15 % pada tahun 2002. Pada kenyataannya, tidak semua tanaman obat telah dibudidayakan. Bahan baku hasil budidaya diperoleh dari petani yang mengikuti program pembinaan industri, petani yang secara mandiri atau berasal dari kebun milik industri. Menurut Darusman (2004), diperlukan pedoman teknis dalam produksi bahan baku jamu, herbal terstandarisir maupun fitofarmaka yang mencakup teknik budidaya, pengumpulan dan produksi bahan baku, proses pasca panen dan proses pengendalian kualitas bahan baku. Usaha pemerintah dalam mengembangkan obat tradisional menjadi fitofarmaka mendorong kebutuhan bahan baku yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia dan persyaratan lain yang berlaku (Depkes, 1985). Menurut Chanisah (1996), masih terdapat permasalahan pada rantai pasokan, mengingat para aktor masih bekerja secara sendiri-sendiri dan lemahnya standarisasi hasil dari masing-masing proses. Kondisi dimaksud terjadi karena komunikasi
di antara petani dan industri belum terjalin akibat
ketidaksamaan tujuan dan belum terbangun saling percaya (Sudarsono,
2004). Akibatnya, petani kurang cepat mendapatkan informasi inovasi produk dan kebutuhan jenis dan tanaman obat yang dibutuhkan oleh industri. Manajemen rantai pasokan menurut Kotler (2000), adalah representasi dari sistem pengiriman bahan baku dimana di satu pihak terdapat kebutuhan pasokan dan di lain pihak terdapat permintaan yang mendorong terjadinya pertukaran dalam bentuk aliran pergerakkan
fisik bahan atau produk,
informasi, uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual (Ayers, 2002). Manajemen rantai pasokan telah menjadi area penelitian yang tidak saja difokuskan pada logistik dan proses operasi, namun diteliti dari berbagai perspektif seperti: manajemen strategik, kelembagaan, hubungan antar organisasi, manajemen pengetahuan , biaya transaksi dan jaringan. Konsep rantai pasokan mengintegrasikan proses bisnis dari pemasok hingga pemakai akhir sehingga memberikan produk, jasa dan informasi guna menambah nilai (Tracey et al., 2004; Maku et al, 2005), di mana pendekatan lintas fungsi dan organisasi menjadi penting. Selain dipandang memiliki kepentingan jangka panjang, dipergunakan sebagai strategi untuk menjalin kerjasama dan menurunkan kehilangan peluang bisnis (Dobler dan Burt, 1996). Manajer yang berada pada
rantai pasokan bekerja bersama agar
keseluruhan bagian menjadi lebih kompetitif dengan syarat memandang seluruh
rantai
sebagai
satuan
proses
dengan
tujuan
mengurangi
ketidakefisienan dan terjadinya pengulangan proses sehingga secara keseluruhan menjadi lebih fleksibel serta responsif terhadap kebutuhan pelanggan (Vokurka et al. 2002). Kerangka kerja dalam memformulasikan strategi rantai pasokan tergantung pada strategi sumber, aliran permintaan, layanan pelanggan dan integrasi pasokan (Evans dan Danks, 1998). Terdapat tiga dimensi strategis yang berkaitan dengan struktur fisik rantai pasokan yakni mensintesa dimensi struktural, sinergi interaksi manusia dan hubungan di dalam rantai pasokan dan sinkronisasi kendali operasional proses (Giannakis dan Croom, 2004). Ketidaksinkronan pada rantai pasokan terjadi ketika pihak yang memiliki kekuatan pengatur pasokan cenderung mendominasi, dengan keuntungan yang diperoleh pihak yang mendominasi atas tanggungan biaya
pihak lain. Kondisi dimaksud menurut Sumardjo (2002), mempunyai ciri tidak terdapat hubungan fungsional dan disebut sebagai sistem dispersial serta hanya mementingkan diri sendiri sehingga petani berada pada posisi tidak menguntungkan. Kedudukan petani dengan keterbatasan dan kemampuannya, kurang berposisi sejajar dengan pihak pada rantai di atasnya. Sifat hubungan jangka pendek berdasarkan mekanisme pasar
kurang mengarah pada hubungan
jangka panjang yang saling membutuhkan. Manajemen rantai pasokan berbasis jaringan akan meninjau keterhubungan antar individu bahkan antar organisasi sehingga domain manajemen rantai pasokan tidak sekedar unit analisis, tetapi bagaimana interaksi dan interdependensi dari fungsi-fungsi, kelompok bahkan organisasi (Giannakis, 2004). Dengan kata lain menurut Barba et al. dalam Gattorna (1998), anggota jaringan bertanggung jawab untuk masing-masing aktivitas transaksi dengan pelanggan. Kerjasama antara agroindustri farmasi dan petani telah dilakukan di daerah penelitian dengan fasilitasi pemerintah daerah, atau lembaga penelitian.
Tanaman obat yang dibutuhkan industri dibudidayakan oleh
petani kemudian dibina oleh agroindustri farmasi. Pembinaan petani oleh pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait sangat
tergantung pada
keberlanjutan proyek dan dana yang tersedia. Hasil kerjasama petani dan agroindustri farmasi berupa hasil panen petani dibeli oleh industri sebagai bagian dari kontrak pembelian, atau industri hanya memberikan penyuluhan budidaya dan standar pengolahan bahan baku tanpa kewajiban membeli hasil panen petani. Pembelian melalui pedagang pengumpul pada kenyataannya masih tetap dominan dengan alasan lebih praktis dan tidak terlibat pada permasalahan budidaya yang mengharuskan menyediakan tenaga petugas tersendiri untuk melakukan penyuluhan. Mengingat unsur strategis kontinuitas pasokan dalam menjamin kelangsungan usaha agroindustri farmasi, maka merekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan menjadi penting untuk meningkatkan keterhubungan pemasok dengan industri yang memberikan nilai tambah.
Kajian sistem rantai pasokan saat ini ditelaah dan direkayasa agar dapat mengakomodasikan kebutuhan pihak industri berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku sekaligus memenuhi harapan petani dalam hal harga yang lebih baik, kecepatan penyaluran dan kepastian penerimaan uang. Penelitian mendalam mengenai organisasi jaringan dipergunakan untuk menerjemahkan seluruh elemen dan disain struktural dengan memperhatikan kemungkinan kendala implementasi dan konflik internal jaringan. 1.2. Tujuan Penelitian bertujuan untuk menghasilkan sistem pasokan bahan baku agroindustri
farmasi
berbasis
jaringan
yang
mampu
meningkatkan
pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan. 1.3. Ruang Lingkup Penelitian menitikberatkan pada rantai pasokan petani hingga industri dengan
fokus tanaman obat familia Zingiberaceae yakni umbi Curcuma
xanthorizza (temulawak), Curcuma domestica (kunyit), Zingiberis officinale (jahe) sebagai bahan baku yang banyak digunakan agroindustri farmasi yang menghasilkan jamu. Untuk merancang sistem, dilakukan identifikasi tata niaga dan pola pengadaan dan permintaan tanaman obat, menjabarkan harapan pelanggan dan matriks hubungan kriteria mutu dengan aspek teknis operasional menggunakan Quality Function Deployment. Analisis elemen kritis dalam menstrukturkan jaringan menggunakan Intrepretative Structural Modelling dengan meninjau tujuan, kendala utama, aktivitas yang dibutuhkan dan perubahan diharapkan. Untuk mengkaji manfaat yang diperoleh anggota jaringan dilakukan analisis finansial. Guna mempertahankan jaringan agar dapat bertahan lama, dikaji kemungkinan konflik yang mengganggu dengan
menggunakan Analytical
Hierarchy Process sehingga dapat disiapkan solusi yang tepat. Dalam mengkaji pada kondisi apa tujuan jaringan tercapai, didekati dengan analisis Benefit Cost Opportunity Risk – BCOR.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroindustri Farmasi Industri obat tradisional (IOT) sebagaimana dinyatakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 246 / Menkes / Per / V / 1990 adalah industri yang memproduksi obat tradisional dengan total aset di atas Rp 600.000.000,- dan disebut Industri kecil obat tradisional (IKOT) bilamana total aset lebih rendah. Industri obat tradisional menghasilkan produk dengan menggunakan bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman empiris. Bentuk sediaan berwujud serbuk seduhan, dan bahan rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilahistilah tradisional sehingga produk yang beredar memiliki kandungan tanaman obat dan klaim yang bervariasi. Menurut pendapat Sinambela sebagai responden ahli, sesungguhnya tidak tepat menyebutkan kata obat pada produk tradisional walaupun masyarakat menyatakan demikian. Menurut kalangan berpendidikan atau masyarakat kesehatan, bilamana dinyatakan sebagai obat berarti menuntut pembuktian secara ilmiah. Kalau khasiat produk tidak terbuktikan, maka tidak dapat dikatagorikan sebagai obat tetapi suplemen makanan herbal atau herbal food supplement. Merujuk pada definisi obat tradisional, beberapa industri obat tradisional sudah tidak tepat menyandang penamaan dimaksud karena telah menghasilkan produk herbal terstandardisir dan fitofarmaka. Beberapa industri obat tradisional yang dikenal masyarakat antara lain Sidomuncul, Nyonya Meneer, Air Mancur, Jamu Jago, Jamu Iboe yang memberi kontribusi signifikan terhadap total produk obat tradisional. Selain produk yang dihasilkan oleh industri dengan merek yang telah dikenal, produk jamu juga berasal dari industri kecil dengan jumlah terbesar berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti terdapat pada Tabel 1. Strategi pemasaran dan pengembangan produk yang dilakukan oleh agroindustri farmasi telah menghasilkan inovasi produk dengan bentuk dan tujuan khasiat lebih bervariasi. Tampilan obat tradisional menjadi lebih
praktis untuk dikonsumsi berupa kaplet, pil maupun kapsul. Perubahan bentuk produk agar dapat diterima konsumen yang kurang menyukai rasa pahit bilamana mengkonsumsi produk dalam bentuk bubuk. Katagori produk obat tradisional
menurut definisi dari
Nyonya
Meneer adalah : jamu wanita, jamu laki-laki, jamu untuk tujuan kecantikan, kesejahteraan keluarga, kesehatan dan penyembuhan. Menurut responden ahli Widyastuti dari Balai Penelitian Tanaman Obat, produk untuk meningkatkan kesehatan atau kesegaran merupakan produk yang umum dihasilkan industri penghasil obat tradisional. Agroindustri farmasi kecil lebih cenderung menggunakan merek lokal atau bahkan tanpa merek. Pemrosesan produk masih menggunakan peralatan pengolahan sederhana, yang bersifat padat karyan dan melibatkan keluarga. Produk obat tradisional dijual dengan harga relatif murah berkisar Rp 1.000,per sachet dengan berat 7 gram, pada saat penelitian ini dilakukan. Dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia sebagai salah satu pesaing obat tradisional di wilayah Asia Tenggara, produk tanaman obat di negara tersebut diposisikan sebagai produk herbal terstandardisir. Sejak tahun 1998, Malaysia memfokuskan pada penanganan produk herbal dan melalui National Herbal Product Blueprint mencanangkan tekad menjadi pemain dunia (Tahir, 2004). Negara China yang dikenal sebagai pemasok produk herbal terkemuka, melakukan pendekatan strategis dan mengaitkan secara konsisten berbagai sektor untuk program pengembangan bahan baku guna memperkuat posisi industri produk herbal. Arah kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan obat tradisional menjadi fitofarmaka ditujukan agar terdapat rasionalisasi dan peningkatan
pemanfaatan
di
dalam
pelayanan
kesehatan
formal.
Pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka sebagaimana dinyatakan oleh Peraturan Menteri Kesehatan 760/MENKES/PER/IX/1992, harus melalui uji toksisitas, uji farmakologik eksperimental, uji klinik dan terbukti memiliki efek kuratif. Pendekatan menuju produk fitofarmaka dilakukan melalui pengembangan formula obat tradisional dan penyusunan formula obat baru berlandaskan ilmiah. Kebijakan tersebut perlu mendapatkan
dukungan pasokan dan komunikasi dengan konsumen dari kalangan layanan kesehatan formal mengingat persepsi terhadap fitofarmaka masih disamakan dengan jamu. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kebenaran jenis bahan baku masih diragukan dan kualitas pasokan bahan baku masih belum stabil. Atas kondisi tersebut, tujuan menghasilkan produk fitofarmaka masih menghadapi kendala. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan, baru terdapat empat obat tradisional yang dinyatakan sebagai fitofarmaka sampai tahun 2003. Produk dimaksud, berasal dari perusahaan farmasi milik negara dan satu perusahaan swasta. Darusman (2004) menyatakan bahwa produksi tanaman obat
sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan farmakope
Indonesia, ekstrak farmakope Indonesia, materia medika Indonesia, dan ketentuan persyaratan lain yang berlaku. Istilah agroindustri tanaman obat sering digunakan dalam forum ilmiah sampai dengan tahun 2000 untuk menjelaskan industri pengolah tanaman obat, walaupun istilah agromedisin juga dipakai untuk penggambaran yang sama. Selanjutnya, sejak tahun 2001 istilah biofarmaka sering digunakan. Biofarmaka adalah tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, nutriceuticals, makanan kesehatan untuk manusia, hewan, maupun tanaman (Darusman, 2004). Penulis memakai istilah agroindustri farmasi yakni industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan, industri yang menghasilkan obat tradisional terkonsentrasi di Jawa dengan jumlah paling banyak berada di Jawa Tengah. Jumlah industri obat tradisional tumbuh mencapai 20 % pada tahun 2001 dibanding tahun 2000, dan meningkat penggambaran
selanjutnya
mencapai 4 % pada tahun 2002. Menurut Sinambela, peningkatan jumlah industri tidak secara otomotis
meningkatkan jumlah produksi produk yang dihasilkan.
Tabel 1 Data industri obat tradisional (IOT) dan industri kecil obat tradisional (IKOT) 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Provinsi DI Aceh Sumatera Utara Suamtera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Papua Indonesia
2000 IOT IKOT 25 3 49 4 8 11 6 4 23 128 46 94 15 200 20 8 176 8 12 9 2 33 10 7 1 2 26 17 3 94 856
2001 IOT IKOT 25 3 50 4 8 11 1 6 4 23 134 55 108 17 207 21 14 186 8 14 10 2 36 11 7 1 2 26 17 3 113 903
2002 IOT IKOT 25 3 50 4 8 1 11 1 7 4 24 134 34 98 22 16 17 207 22 190 16 8 14 2 2 36 11 7 1 2 26 17 3 118 917
Sumber : Badan pengawas obat dan makanan (2003)
2.1.1. Bahan Baku Agroindustri Farmasi. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan hayati dengan 9.606 spesies tanaman obat, baru sekitar 4 % dimanfaatkan secara komersiil (Sastroamidjojo, 1997). Bahan baku obat tradisional berasal dari panen hasil hutan dan pembudidayaan. Tumbuhan liar kurang baik dijadikan sumber bahan baku dibandingkan dengan tanaman budidaya, disebabkan keragaman umur tanaman, homogenitas spesies kurang terjamin dan lingkungan tempat tumbuh yang berlainan. Kondisi tersebut berakibat pada
keseragaman kandungan metabolit sekunder. Gangguan kelestarian sumber plasma nutfah dapat dikurangi dengan pelaksanaan pembudidayaan tanaman obat. Walaupun demikian, pemanenan hasil hutan masih saja berlangsung sehingga dikhawatirkan dengan berjalannya waktu akan mengalami kepunahan. Tanaman obat memiliki sifat khusus dengan kandungan metabolit sekunder yang berkhasiat obat baik
diperoleh dari akar hingga daun.
Metabolit sekunder sebagaimana dinyatakan Jamaran (1995), memiliki karakteristik biosintesis adaptif, spesifik dan variatif. Tanaman obat dalam satu familia mensintesis metabolit sekunder yang menyerupai ditinjau dari struktur kimia inti namun berbeda dengan familia lain. Respon terhadap rangsangan yang tidak selalu sama antara spesies satu dengan yang lain, berakibat kandungan senyawa metabolit sekunder bervariasi
baik kadar
maupun komposisinya ketika metabolit sekunder menyerupai dari beberapa spesies dari salah satu keluarga disintesis. Agroindustri farmasi memerlukan jaminan kebenaran jenis tanaman obat, kestabilan dan keseragaman kualitas. Keseragaman kualitas dipengaruhi oleh keterkaitan proses satu dengan lainnya dimulai saat pemilihan bibit, proses penanganan saat panen, pascapanen hingga produk jadi (Sudarsono, 2004). Keseragaman kadar senyawa aktif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan tumbuh, perlakuan selama masa tumbuh, saat pascapanen. Adapun penentuan masa panen
panen dan
tergantung pada waktu dan
bagian tanaman yang dibutuhkan. Waktu panen tersebut, terkait
dengan
pembentukan senyawa aktif pada bagian tanaman yang dipanen, sehingga waktu yang tepat adalah saat bagian tanaman mengandung senyawa aktif dalam jumlah terbesar (Sudiatso, 2002). Bilamana mengharapkan penelusuran historikal hasil panen dan terstandarisasi maka budidaya merupakan cara yang tepat karena melalui praktek pertanian yang baik (good agricultural practices) dengan perpaduan teknologi agronomik. Praktek budidaya demikian, mencakup penggunaan bibit
terpilih,
pengolahan
tanah,
pengaturan
perlindungan dan penentuan masa panen.
tanaman,
pemupukan,
Terdapat dua cara pembudidayaan tanaman obat yakni menggunakan cara monokultur dan polikultur. Pendekatan monokultur dilakukan dengan menanam jenis tanaman obat tertentu pada satu hamparan lahan. Pendekatan polikultur dilakukan secara tumpang sari dengan alasan mengurangi resiko kegagalan panen akibat hama dan penyakit, mengurangi kerugian saat harga tanaman obat rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Tanaman
keluarga
Zingiberaceae
sebagai
contoh,
lazim
ditumpangsarikan dengan jagung (Zea mays), kacang tanah (Arachis hipogea) dan ketela pohon (Manihot utilisima). Pemilihan jenis tanaman tumpangsari tergantung pada iklim, selera dan harga pasar, dimana petani akan memperoleh manfaat ganda (Paimin dan Murhananto, 1999). Sampai saat ini, aspek kelayakan usaha tani untuk beberapa tanaman obat telah berhasil dikaji seperti jahe gajah, temulawak, kunyit, lengkuas, adas, cabai jawa, katuk, dan kapulaga. Tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut : (1) Tumbuhan obat tradisional Merupakan spesies yang diketahui atau dikenal masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Contoh : temulawak, jahe, kencur, kumis kucing. (2) Tumbuhan obat modern Merupakan spesies
yang secara ilmiah telah dibuktikan
mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertangungjawabkan secara medis. (3) Tumbuhan obat potensial Merupakan spesies yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaanya secara ilmiah
sebagai bahan obat
(Zuhud, 2001). Ditinjau dari aliran pasokan, tanaman obat dapat langsung dipasok ke industri atau terlebih dahulu diolah menjadi bahan setengah jadi, minyak atsiri atau bentuk lain oleh industri antara (Suharti, 2000). Tanaman obat juga
dipasok kepada pedagang yang mengolah serbuk untuk dijual kepada pedagang jamu gendong di berbagai kota di Indonesia. Pedagang demikian, sering disebut sebagai pedagang racikan. Kata racikan adalah istilah yang ditujukan terhadap pedagang jamu yang membuat jamu berdasarkan resep yang dipahami turun temurun untuk kegunaan
sediaan dasar. Pedagang
pengumpul kabupaten dapat pula berlaku sebagai pedagang racikan. Petani dalam kelompok, yang berkemampuan memasok dalam jumlah dan kontinuitas sebagaimana dikehendaki industri dapat menjual langsung kepada industri. Skema aliran pasokan bahan baku dapat digambarkan sebagai berikut :
Petani tanaman obat
Pedagang pengumpul desa
Eksportir
Kerjasama/ contract farming
Agroindustri farmasi
Pedagang kecamatan/kabupaten
Pedagang Racikan
Jamu gendong Konsumen
Gambar 1. Skema aliran pasokan bahan baku
Data Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Hortikultura (2004) menunjukkan empat jenis tanaman obat yang banyak dibutuhkan yakni : lempuyang (Zingiberis aromatica rhizoma), jahe (Zingiberis rhizoma), temulawak (Curcuma xanthoriza rhizoma) dan kunyit (Curcuma domestica rhizoma). Industri yang memanfaatkan temulawak sebagai bahan baku ramuan obat sejumlah 916 produk dengan klaim penggunaan untuk menjaga stamina dan pemeliharaan kesehatan. Jahe dimanfaatkan pada 753 produk dan kunyit 664 jenis produk. Ditinjau dari kategori produk yang banyak
diproduksi, tercatat sejumlah 66 produk untuk peningkatan stamina dan 964 produk untuk pemeliharaan kesehatan (Badan POM, 2003). Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku dapat berasal dari daun, akar, kulit batang, buah, semua bagian, batang/ kayu, biji, bunga, getah, pucuk daun/ tunas, rimpang, umbi, cabang/ ranting, dan air batang. Menurut Zuhud et al. (2001), daun merupakan bagian tanaman yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku. Data pada Tabel 2, menyajikan dua puluh nama bahan baku yang digunakan di delapan Agroindustri farmasi / industri obat tradisional
(IOT) pada tahun 2002. Dari data tersebut
menunjukkan temulawak sebagai tanaman obat paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku produk.
Tabel 2
Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di delapan IOT
No
Nama Bahan baku
Nama Indonesia
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Curcuma Rhizoma Zingiberis aromatica rhizoma Languatis rhizoma Zingiberis rhizoma Foeniculli fructus Alyziae cortex Kaemferiae rhizoma Curcuma domestica rhizoma Retrofrati fructus Imperatae radix Eugenia aromaticae folium Zingiberis zerumbeti rhizoma Zingiberis purpurei rhizoma Boesenbergiae rhizoma Orthosiphonis folium Centellae herba Piperis nigri fructus Myristicae fructus Parkiae semen Physalis peruvianum folium
Temulawak Lempuyang wangi Lengkuas Jahe Adas Pulosari Kencur Kunyit Cabe Jawa Alang – alang Cengkeh Lempuyang Bengle Temu Kunci Kumis Kucing Pegagan Merica Pala Kedawung Alba
Sumber : Badan Pengawas Obat dan Makanan 2003
Total pemakaian (kg/tahun) 324.832 202.445 190.904 157.599 156.419 94.932 87.959 83.371 59.213 57.333 56.468 55.986 46.467 43.687 40.647 40.467 39.200 34.802 34.604 34.467
Dari penelitian pendahuluan,
diperoleh fakta bahwa sebagian atau
seluruh tanaman obat obyek penelitian jahe, kunyit, temulawak dipergunakan di kelompok produk : jamu sehat perempuan, sehat laki-laki, pegal linu dan masuk angin. Kebutuhan pasokan jahe, temulawak meningkat 8 % dan kunyit hampir 10 % pada tahun 2002 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Permintaan jahe dari industri menduduki peringkat pertama. Saat kebutuhan tanaman obat jahe, kunyit, dan temulawak meningkat, produksi komoditas jahe menurun sebesar 7 %, kunyit 11 % sedangkan temulawak mengalami kenaikan produksi sebesar 15 % pada tahun 2002. Tabel 3 Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Jahe Lengkuas Kunyit Kencur Temulawak Lempuyang Temuireng Kejibeling
9 10
Dringo Kapulaga
2000 106.194 26.566 22.572 12.215 6.813 4.309 2.889 582 348 681
2001 111.670 27.934 23.740 12.848 7.170 4.531 3.040 612 366 718
2002*) 121.204 30.195. 25.999 14.116 8.104 4.917 3.386 683 400 860
*) olahan. Ukuran dalam ton/ tahun
Tabel 4 Produksi tanaman obat tahun 2000 - 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas 2000 2001 2002 Jahe 115.092 128.437 118.496 Lengkuas 27.512 26.154 27.934 Kunyit 24.813 27.195 23.993 Kencur 9.490 11.112 12.848 Temulawak 5.674 6.089 7.174 Lempuyang 4.485 4.794 4.531 Temu ireng 2.853 1.663 3.040 Keji beling 470 678 611 Dringo 140 115 366 Kapulaga 2.490 1.929 3.539 Jumlah 193.018 208.167 202.533 Sumber : Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Ditjen Bina Produksi Holtikultura 2004 (Ukuran dalam ton/tahun)
2.1.2. Penanganan Bahan Baku. Kadar senyawa aktif simplisia berbeda-beda tergantung dari bagian tanaman yang digunakan, umur, saat waktu panen dan lingkungan tumbuh. Tanaman obat yang banyak mengandung minyak atsiri, akan lebih baik dipanen pada pagi hari. Bahan baku yang dipanen harus bebas dari tanaman lain yang mengandung komponen bioaktif. Menurut Sandra (2001), kurangnya keahlian pada tingkat
hulu
mendorong terjadinya kesalahan penanganan lepas panen. Akibatnya, bahan baku mudah ditumbuhi jamur
penghasil aflatoksin, kontaminasi nabati,
mikroorganisme dan mineral tanah yang disebabkan oleh proses pencucian yang kurang bersih. Penanganan pascapanen terdiri dari pembersihan tanah, kotoran, batu atau benda asing lainnya, pencucian, dan pengemasan bilamana tidak terjadi pemrosesan perubahan bentuk. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir seperti menggunakan air dari mata air. Penggunaan air sumur harus dilakukan secara tepat agar tidak menambah jumlah mikroba. Penggunaan air yang kotor akan berakibat pada pertambahan jumlah mikroba pada permukaan dan air yang menempel pada permukaan mempercepat pertumbuhan mikroba. Tanaman obat jenis akar dan umbi perlu mengalami perubahan bentuk berupa irisan tipis apabila akan diproses menjadi simplisia kering dengan tujuan mempermudah proses pengeringan. Proses dilakukan melalui perajangan berupa penipisan dengan tebal 5 – 7 mm menggunakan pisau atau mesin perajang. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan semakin dapat membantu mempercepat penguapan air sehingga waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Namun, perajangan yang sangat tipis
dapat menyebabkan
berkurangnya zat berkhasiat mudah menguap sehingga mempengaruhi bau dan rasa yang diinginkan. Proses perajangan tanaman obat
temulawak,
kencur, jahe, dan temu giring, perlu dijaga agar tidak banyak kehilangan kandungan minyak atsiri. Pengeringan sampai mencapai kadar air 10–12 % sebagaimana permintaan industri atau pedagang pengumpul dilakukan agar bahan baku
lebih tahan lama dan tidak cepat rusak. Kadar air tanaman obat hasil panen berkisar 60 – 80 %, sedangkan bahan kering yang diperoleh rata – rata berkisar 50 – 60 % dari bahan asalnya (Paimin dan Murhananto, 1999). Lama pengeringan menggunakan sinar matahari
berkisar 5 – 8 hari,
sedangkan bilamana menggunakan alat bantu pengeringan membutuhkan 3 – 4 hari. Cara pengeringan dengan
bantuan sinar matahari, lebih biasa
digunakan. Bahan baku yang telah diiris tipis dihamparkan pada lantai pengeringan menggunakan alas plastik, tikar, tampah atau lantai pengeringan saja. Proses pengeringan dengan cara ini memang sederhana tetapi sangat mengandalkan kondisi cuaca dan intensitas matahari. Bahan baku harus sering dilakukan pembalikan dan relatif rawan kontaminasi akibat pengeringan tidak sempurna. Bahan baku yang tidak melalui proses pengeringan, hanya dilakukan pencucian kemudian diseleksi dan dikemas dengan menggunakan karung plastik. Biasanya pedagang pengumpul akan mengambil bahan baku pada gudang petani terkecuali bilamana dipersyaratkan bahan baku dikirim ke gudang pengumpul pada lokasi yang ditetapkan. Tanaman obat hasil panen rentan terhadap kehilangan kadar air. Laju kehilangan kadar air bahan baku segar tergantung pada cara penanganan bahan baku, penggunaan kemasan dan cara mengemas, lama pengiriman, penyusunan bahan baku dalam kendaraan pengangkut dan selama proses penyimpanan. Penanganan bahan baku segar perlu dilakukan secara cepat agar terhindar dari penyusutan volume dan kehilangan kesegarannya. Tanaman obat irisan
kering
dapat disimpan lebih lama dengan
pengaturan suhu, kelembaban dan cara penyimpanan yang tepat agar tidak terkontaminasi oleh kutu, rayap, dan jamur. Bahan baku tanaman obat irisan kering dapat diproses lebih lanjut menjadi serbuk. Petani jarang melakukan pengolahan menjadi serbuk disebabkan alat kerja yang tidak memadai dan keinginan petani segera menjual hasil guna untuk mendapatkan uang tunai. Skema pada gambar 2, memaparkan proses yang dilalui untuk menghasilkan bahan baku kering.
Pembersihan dari kotoran
Pencucian bahan baku
Penirisan
Irisan kering
Pengeringan
Perajangan menjadi irisan
Gambar 2. Skema proses bahan baku menjadi irisan kering
Sarana dan cara pengolahan yang kurang memadai menjadi penyebab kontaminasi dan rendahnya kualitas bahan baku. Selain itu, kualitas bahan baku dari masing – masing sentra pasokan bervariasi karena perbedaan agroklimat, dan penanganan pascapanen. Perbedaan kualitas tersebut menimbulkan permasalahan bagi industri penghasil produk fitofarmaka, karena harus melakukan pengaturan standarisasi dosis dan formulasi. Bahan baku tanaman obat rentan terhadap cahaya dan oksigen udara karena dapat terjadi kerusakan atau perubahan kualitas. Senyawa tertentu dalam bahan baku dapat mengalami perubahan kimiawi karena proses oksidasi, reaksi kimia intern oleh enzim, dehidrasi dan pengaruh penyerapan air. 2.1.3. Pengadaan Bahan Baku Pembelian bahan baku tanaman obat jenis rimpang dengan tanam selama 9 – 10 bulan biasanya
masa
berlangsung sekitar bulan Juli –
September atau sebelum masuk musim penghujan. Setelah dilakukan proses seleksi, pembersihan, bahan baku disimpan sambil menunggu datangnya pedagang pengumpul. Kemampuan membeli dan kapasitas gudang menjadi penentu jumlah pembelian untuk memenuhi kebutuhan produksi pabrik satu periode panen atau memenuhi pesanan pedagang pengumpul bagi keperluan ekspor atau kebutuhan rumah tangga. Perdagangan tanaman obat umumnya dengan rantai pasokan bertingkat. Pedagang pengumpul desa membeli bahan baku dari petani dan setelah
diproses sederhana dijual kepada pedagang pada tingkat berikutnya dengan harga sesuai kualitas bahan baku yang dihasilkan. Industri bebas membeli bahan baku dari berbagai pihak baik. Keterbatasan petani dalam melakukan transaksi, kemampuan pasokan dan lokasi yang jauh dari pabrik atau gudang industri, mendorong industri memanfaatkan
peran
pedagang
pengumpul.
Mekanisme
pembelian
berdasarkan pola dagang atau kontrak terbatas yang kurang terkoordinasi dimana pihak pembeli menjalin hubungan cukup
lama dengan pemasok
tetapi penentuan harga tetap ditentukan berdasarkan situasi penawaran dan permintaan. (Chanisah, 1996; Sudarsono, 2004). Menurut Sajogyo (1999), kehadiran pedagang pengumpul di desa telah diterima. Pedagang dimaksud dianggap pihak yang memiliki hubungan luas dan mampu menembus batas desa. Keberadaan pedagang pengumpul ini memberikan manfaat mengingat pengetahuan petani mengenai pasar terbatas. Petani kemudian memanfaatkan jasa pedagang pengumpul sebagai pemasar dan melaksanakan kegiatan pemasaran bahan baku kepada pihak pembeli lainnya. Pedagang pengumpul tingkat pertama yang berasal dari desa yang sama sangat mengenal situasi pasokan dan bahkan petani. Dalam hal pembinaan kepada petani, agroindustri farmasi besar telah melakukan namun dalam lingkup terbatas. Industri lebih menitikberatkan pada aktivitas dan pemecahan masalah pemrosesan serta upaya memenuhi persyaratan efikasi dan keamanan produk. Pengadaan bahan baku yang dikelola sendiri oleh agroindustri farmasi tidak menjadi alternatif karena akan menuntut biaya investasi, operasional dan penyediaan sumber daya manusia. Sebagaimana penelitian Rademakers dan Valkengoed (1995), agroindustri farmasi
tidak terlalu melakukan pengintegrasian ke hulu dalam hal
pengadaan bahan baku. Kalaupun terjadi kekurangan pasokan lebih berkecenderungan melakukan impor. Bahan baku yang dipasok harus memenuhi standar dan lolos inspeksi mutu pada saat penerimaan melalui pemeriksaan visual dan laboratorium. Pemeriksaan mutu bahan baku akan mencakup tingkat kekeringan, bentuk fisik, penampilan, warna, kebersihan, kemurnian bahan, dan kadar zat
berkhasiat. Bahan baku yang diterima dari petani maupun pedagang pengumpul, akan dilakukan pembersihan ulang, pemilahan, pencucian hingga pengeringan sebelum diubah bentuk menjadi partikel kecil sesuai dengan kebutuhan formulasi. 2.1.4. Komoditas Penelitian Penelitian dibatasi pada tiga komoditas keluarga Zingiberaceae yakni : temulawak, kunyit, dan jahe sebagai komoditas yang banyak digunakan oleh agroindustri farmasi. a. Temulawak ( Curcuma xanthorrhiza ) Rimpang tanaman temulawak berukuran besar, bercabang-cabang dan berwarna cokelat kemerahan atau kuning tua. Tumbuh pada ketinggian 750 dpl. Minyak esensial temulawak kurkuimin, desmetoksi
gandung p-toluil-metil karbinol,
kurkumin, bidesmetil kurkumin, felandren,
sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, arutmeron, ksantorizol, dan germakron. Temulawak mempunyai dua komponen utama yaitu minyak atsiri dan kurkuminoid (Oei et al. diacu dalam Yuliani. 2003). Kurkuminoid merupakan substansi yang paling menonjol ditemukan pada temulawak. Temulawak
dimanfaatkan
untuk
menurunkan
kadar
kolesterol,
menghilangkan rasa nyeri, mencegah penyakit hati, pengobatan radang lambung, pelepasan gas dalam perut dan pengobatan pada orang yang kurang nafsu makan. Kualitas rimpang temulawak sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuh tanaman tersebut. Temulawak yang tumbuh di dataran rendah akan mengandung pati
lebih tinggi, dan lebih mengandung minyak atsiri
bilamana ditanam pada dataran tinggi. Tanaman temulawak lebih baik ditanam dengan menggunakan pohon naungan. Ketidakseragaman budidaya temulawak dari berbagai daerah
mengakibatkan kandungan
senyawa esensial temulawak yang dipasok bervariasi.
b. Kunyit ( Curcuma domestica Val ) Kunyit atau kunir tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan sekitar 2.000 – 4.000 mm setiap tahun dan di area yang sedikit terlindung.
Rimpang kunyit tumbuh dari umbi utama yang
berbentuk bulat panjang, pendek, tebal, lurus, dan melengkung. Bercabang dan berkembang secara terus menerus. Tanaman kunyit dapat hidup di tempat terbuka atau sedikit ternaungi dan orang membudidayakannya sepanjang tahun. (Winarto, 2003). Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri 3 – 5 % terdiri dari turmeron, simen, artumeron, kurkumin, pati, dan damar. Kunyit digunakan untuk menurunkan tekanan darah, stimulan, penyakit pencernaan, penambah tenaga, dan infeksi kulit. Selain berguna bagi
pengobatan,
kunyit banyak dimanfaatkan oleh industri kosmetik dan pewarna serta rumah tangga. Kualitas kunyit menjadi kurang baik bilamana ditanam di tempat yang kurang ternaungi. Walaupun dapat dipanen terus menerus, tetapi panen kunyit yang paling baik berada pada umur 12 bulan dan ditanam pada awal musim penghujan. Rimpang kunyit dalam bentuk kering dicapai sekitar 7 hari dengan pengeringan matahari, dan mengalami penyusutan 16 % untuk mencapai kadar air 8 – 13,7 %. c. Jahe ( Zingiber officinale Rose ) Tanaman jahe tumbuh berumpun, dengan rimpang bercabang tidak teratur, umumnya ke arah vertikal. Berdasarkan ukuran, bentuk dan warnanya, rimpang jahe dibedakan dalam tiga jenis yakni : jahe gajah dengan rimpang lebih besar dan ruas rimpang yang lebih mengembung, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah ini cocok untuk ramuan obat karena kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding jahe gajah dan rasanya lebih pedas.
Jahe dapat dibudidayakan dan terbaik pada ketinggian sekitar 200 – 600 m dpl. Iklim ideal untuk jahe adalah panas sampai sedang, dengan sinar matahari yang cukup dan ternaungi. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 2 – 3 % terdiri dari zingiberin, kamfena, limonen, borneol, sineol, linalool, geraniol, kavikol, zingiberen dan zingiberol serta gingerol dan shogaol.
Jahe berasal dari China Selatan, dan sekarang banyak
dibudidayakan di semua daerah Asia baik tropik maupun subtropik. India menghasilkan 50 % dari jahe dunia ( www-ang.kfunigraz.ac.at/katzer/engl/zing_off.html - 22 September 2003 ) Rimpang
jahe
digunakan
oleh
agroindustri
farmasi
untuk
memperlancar keluarnya keringat, menghalau masuk angin, penambah nafsu makan, dan menghambat pertumbuhan bakteri. Jahe juga digunakan bagi industri kosmetik dan minuman. Jahe dapat ditanam secara polikultur maupun monokultur. Kandungan minyak atsiri dalam rimpang jahe ditentukan oleh umur panen dan jenisnya. Kebutuhan pasokan bagi industri yang menghasilkan produk untuk kesehatan lebih diinginkan hasil panen jahe tua karena memiliki kandungan minyak atsiri optimum (Paimin dan Murhananto,1999).
2.2. Rantai Pasokan Logistik dan manajemen rantai pasokan (supply chain management) acapkali membingungkan dan saling dipertukarkan (Tracey et al., 2004). Konsep rantai pasokan menekankan pada upaya mencari optimasi dan integrasi rantai nilai
dengan menciptakan kompetensi unik di mana di
dalamnya termasuk logistik. Menurut the Council of Logistics Management (CLM), logistik merupakan bagian dari proses rantai pasokan dimana perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran dari barang, jasa dan informasi yang berkaitan dimulai dari hulu hingga saat dikonsumsi konsumen dengan memenuhi persyaratan. Riset rantai pasokan berkembang diluar domain logistik atau proses operasi
ditinjau
dari
perspektif
manajemen
strategik,
organisasi,
kelembagaan, biaya transaksi, kesisteman, hubungan antar organisasi (inter-
organizational), aliansi, manajemen pengetahuan, dan jaringan. Sebagai terobosan
strategik, manajemen rantai pasokan terwujud karena operasi
pabrikasi dan pemasaran yang mengintegrasikan proses bisnis yang kompleks untuk menuju konsumen (Levi et al., 2000, Gowen dan Talion di dalam Maku et al., 2005). Rantai pasokan menciptakan nilai dan penjabaran modal intelektual dari pemasok-pemasok yang berhubungan guna
memenuhi persyaratan
pengguna (Ayers, 2000). Dalam hal ini terjadi pengelolaan hubungan upstream dan downstream antara pemasok dan pelanggan dengan sasaran menghilangkan inefisiensi dan pengulangan proses pada rantai. Menurut Evans dan Danks (1998), terdapat empat aliran strategis pada rantai pasokan yakni : permintaan, penawaran, informasi dan uang yang perlu dipahami proses dan pergerakkannya. Prinsipnya adalah bagaimana bekerja kooperatif dengan organisasi lain dan bukan mengalahkan. Hasil yang dicapai pada akhirnya menjadi lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Sebagai contoh, bilamana tujuannya untuk mengurangi sediaan penyangga (buffer stock) satu entitas yang termasuk dalam rantai, maka diperlukan penyebaran informasi mengenai jumlah permintaan dan pengaturan tingkat sediaan (Christopher, 1998). Dengan demikian, manajemen rantai pasokan dipandang strategis meningkatkan
pelayanan
pelanggan,
mengurangi
biaya
transaksi,
mempertahankan pelanggan, meningkatkan daya saing, meningkatkan profitabilitas, menciptakan nilai, meningkatkan mutu dan ketersediaan produk (Evans dan Dank, 1998; Beech 1998; Stock dan Lambert, 2001). Tinjauan terhahadap aktivitas proses rantai pasokan mensyaratkan koordinasi dan integrasi dalam satu kesatuan
dan setiap manajer
yang
terdapat pada rantai bekerja bersama agar keseluruhan proses pada rantai menjadi kompetitif (Vokurka et al., 2002). Integrasi proses dimulai dari perusahaan yang
mendorong aktivitas dari tingkat strategik hingga
operasional. Pembangunan kemampuan rantai pasokan memerlukan perhatian terhadap pengembangan dan peningkatan kemampuan operasi yang bermutu,
ketergantungan proses yang disesuaikan dengan perubahan yang cepat. Perubahan ini
harus disadari oleh setiap tingkat dari rantai pasokan.
Penanggung jawab dari setiap tingkatan harus mampu bergerak fleksibel, menyajikan kualitas tinggi dengan tenggang waktu singkat untuk sejumlah variasi produk yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Stock dan Lambert (2001) menawarkan delapan proses bisnis penting di dalam rantai pasokan yakni : (1) manajemen hubungan pelanggan, (2) manajemen pelayanan pelanggan, (3) manajemen permintaan, (4) pemenuhan pesanan, (5) manajemen aliran pembuatan, (6) pembelian, (7) pengembangan produk dan komersialisasi, dan (8) perolehan. Dari pengembangan kerangka konseptual rantai pasokan, Giannakis (2004) menyatakan perlunya sintesa, sinergi, dan sinkronisasi. Yang pertama adalah bagaimana mensintesakan aspek struktur fisik rantai pasokan. Struktur fisik dimaksud
berkaitan
konfigurasi pasokan,
dengan
pengambilan
bentuk saluran
dan
keputusan
strategik,
pengelolaan organisasi.
Pensinergian dilakukan dengan menelaah sifat dan pengaruh interaksi diantara aktor yang berbeda dan sinkronisasi seluruh keputusan operasional dikaitkan kendali produksi dan pengiriman barang. Rantai pasokan tidak semata terletak pada fungsi tunggal sebagai unit analisis namun melibatkan interaksi dan interdependensi fungsi, kelompok dan organisasi. Untuk itu diperlukan formulasi strategi yang tepat mencakup arus permintaan, sumber, jenis layanan kepada pengguna dan bentuk integrasi pasokan yang diinginkan, (Evans dan Danks, 1998). Kesulitan memanajemeni rantai pasokan menurut Maku et al. (2005) berasal dari kompleksitas yang mempengaruhi struktur dan variabilitas yang aliran pasokan. Levi et al. (2000), Frankel dan Whipple, di dalam Stanek, (2004); Anslinger dan Jenk (2004), meninjau manajemen rantai pasokan dari
sudut aliansi yang berarti menyatukan keunggulan kompetensi anggota guna mencapai
tujuan strategik bersama. Melalui aliansi akan menghapuskan
hambatan antar orang, antar unit organisasi dan hambatan organisasi itu sendiri yang berarti kemitraan jangka panjang dimana resiko dan manfaat jangka panjang dinikmati bagi pihak yang beraliansi. Menurut Giles dan Hancy di dalam Gattorna (1998), penyatuan kompetensi inti dipandang sebagai upaya untuk mengatasi persaingan yang tidak perlu. Masing-masing pihak, harus memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan mitra kerjanya dan bagaimana semua faktor dapat sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dari aliansi strategik (Stanek, 2004). Informasi harus terbuka dan mengalir setelah informasi yang diproteksi dijabarkan secara jelas. Melalui pertemuan, fungsi masing-masing pihak dapat dipastikan. Peneliti terdahulu meninjau sejumlah perilaku yang diperlukan guna menjamin implementasi rantai pasokan yakni: hubungan berdasarkan kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai, hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama, harmonisasi,
solidaritas,
integrasi
peran,
berbagi
pengetahuan
dan
keuntungan (Barba et al.,1998; Daboub 2002; Vokurka et al., 2002). Persyaratan dimaksud sebagaimana prinsip dasar dalam membangun supplier-supplier relationship yang diajukan oleh Choi et al. (2002) yang menuntut kerjasama secara erat, pertukaran ide dimana masing-masing berkontribusi dalam sumberdaya, pengetahuan teknologi dan kapasitas produksi. Jaringan menurut Bowersox (1992) adalah alur berstruktur dari obyek yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas atas saling ketergantungan yang diakui bersama dan keikatan. Konsep jaringan, akan menerobos batas dan menciptakan komunikasi antara orang yang terfokus pada aktivitas, dan pengetahuan yang sama (Hastings, 1996). Terdiri dari individu, kelompok yang menggunakan bauran talenta dan sumberdaya untuk ber ko-operasi sehingga mencapai efisiensi dan mencapai pasar.
Analogi jaringan, seperti sel dalam organisme hidup yang dapat beraktivitas sendiri memenuhi kebutuhannya tetapi dengan bertindak dalam kesatuan sehingga menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Bilamana tujuan utama manajemen rantai pasokan lebih ditujukan pada pencapaian penciptaan nilai dan keunggulan bersaing industri, maka keberadaan jaringan lebih memudahkan pertukaran informasi, dan efektivitas pembelian dari sisi industri dan sebaliknya pemasok dapat memahami tuntutan pelanggan. Orang berkontribusi sesuai dengan kemampuan, dimana masingmasing memiliki kekuatan yang unik, baik pemasaran, distribusi, produksi, atau pengembangan. Uraian tugas tidak digariskan, tetapi anggota berkontribusi, berkomitmen diantara mereka dengan umpan balik dan menjalankan disiplin. Organisasi jaringan terdiri dari divisi yang berdiri secara otonomik sebagaimana perilaku perusahaan yang terpisah tanpa tugas dan peran yang terdefinisikan dengan baik (Halal dalam Daboub, 2002). Membangun
kekuatan
jaringan
strategik
memerlukan
berbagi
teknologi, manfaat, pengembangan, ketrampilan, biaya, akses pasar dan kepemilikan. Koordinasi, pengendalian strategik, pengintegrasian proses, dan aliansi dengan kemampuan sinergetik
menjadi penting dalam
membangun rantai pasokan berbasis jaringan (Stock dan Lambert, 2001). Evans dan Danks dalam Gattorna (1998) memandang perlu keterkaitan informasi, finansial, operasional, dan pengambilan keputusan dari anggota. Struktur menjadi lebih fleksibel untuk berhubungan dengan kelompokkelompok dalam bidang yang berbeda. Sehingga, akan terjadi perubahan dari saluran menjadi multisaluran (Barba et al.1998). Tiga prinsip penting dalam struktur jaringan yang perlu diperhatikan menurut Stock dan Lambert (2001) adalah : keanggotaan dari rantai pasokan, dimensi struktural dalam jaringan dan perbedaan tipe proses yang terkait dengan rantai pasokan. Kerangka rantai pasokan sendiri mengandung tiga unsur sebagaimana digambarkan pada gambar 3.
Proses bisnis
Tingkat integrasi dan pengelolaan dari setiap proses
Proses yang dikaitkan dengan anggota
Rantai pasokan
Struktur Jaringan Rantai pasokan
Komponen Manajemen rantai pasokan
Anggota rantai yang terkait
Gambar 3. Kerangka manajemen rantai pasokan (Stock dan Pemilihan anggota menjadi Lambert,penting 2001) ketika membuat struktur jaringan.
Dalam menarik anggota, perlu membedakan anggota utama yakni yang memberikan sumber daya, pengetahuan, fasilitas atau aset dari rantai pasokan, dan anggota pendukung. Menetapkan berapa jumlah optimal, lokasi, dan peran masing-masing pihak merupakan elemen kritis dari keseluruhan strategi. Para aktor tersebut menurut Callon di dalam Murdoch (2000) penting
dikoordinasikan
guna
mengembangkan,
menghasilkan
dan
mendistribusikan produk yang memenuhi persyaratan pelanggan. Faktor yang diperhatikan ketika menyeleksi anggota yang layak adalah : kemampuan finansial, kecakapan, kemampuan mengaitkan proses, dan tumbuh bersama organisasi usaha serta kompetensi dalam rantai pasokan (Stock
dan
Lambert,
2001).
Aspek
yang
paling
sulit
dalam
mengorganisasikan anggota adalah bagaimana modal dan investasi dapat distrukturkan. Menurut Hastings (1995), yang penting adalah memiliki jaringan itu sendiri
kemudian
menghadirkan
dan
mengaktifkan
anggota
memobilisasi jaringan. Organisasi jaringan memerlukan
dalam
lingkungan
organisasi pembelajar dengan sumber daya manusia yang berdaya, berkreasi mencari jawaban dan berinovasi. Untuk itu diperlukan pengembangan kepercayaan dan komitmen, solidaritas dan upaya harmonisasi konflik, serta pengendalian kekuasaan (Achrol diacu dalam Daboub, 2002).
Struktur horizontal dan vertikal merupakan bentuk hubungan di dalam jaringan. Struktur vertikal menjadi alat mengorganisasikan transaksi barang ataupun jasa yang diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi dan mengurangi ketidakpastian. Menurut Mc Fetridge (2000), bilamana tidak ada transaksi vertikal dapat disatukan atau diinternalisasikan, maka tidak akan bermanfaat. Struktur hubungan horizontal, terjalin antara pemasok dengan pemasok memberikan alternatif yang mendorong kontribusi sumber daya, teknologi dan sumber daya manusia dalam pertukaran yang lebih kooperatif. Hubungan kooperatif
ini akan lebih baik dibandingkan hubungan kompetitif yang
mendorong terjadinya negosiasi ketat dan tekanan harga, akibat ketakutan akan adanya resiko yang dilakukan oleh pihak lebih kuat (Choi et al., 2002). Giles dan Hancy dalam Gattorna (1998) menguraikan bahwa terdapat pengembangan tipe organisasi dari struktur vertikal ke organisasi jaringan. Transisi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini : Tabel 5. Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan Tipe Produksi Proses Sistem jaringan organisasi tersentralisasi desentralisasi Gaya Komando dan Efisiensi dan Koordinasi dan kepemimpinan hirarki kendali kendali ekonomik kendali strategik dan sistem kendali Integrasi Integrasi vertikal Deintegrated Integrasi sistem Hubungan pasokan Ukuran Diferensiasi spesialisasi Fokus pada efektivitas kerja kelompok
Pemasok
Outsourcing
Aliansi
Ukuran luas Organisasi fungsional Skala ekonomi
Ukuran diciutkan Organisasi proses
Globalisasi Organisasi lintas fungsi Kemampuan sinergik
Kompetensi inti
Sumber : Robert Porter – Lynch dan Ian Somerville di dalam Giles dan Hancy (1998)
Menggunakan kerangka manajemen rantai pasokan yang diajukan Stock dan Lambert (2001); Daboub (2002), anggota jaringan bertanggung jawab pada bagian proses yang disepakati sanggup dilaksanakan. Peran anggota didefinisikan secara seksama . Teori organisasi jaringan berkembang dari aliansis strategik semula atas dasar
yang
pemasok yang diinginkan (preferred vendors) dalam
upaya mencapai profitabilitas diperluas menjadi pemahaman konsep organisasi tanpa batas, melibatkan orang, kelompok dan organsisasi. Evolusi struktur organisasi demikian
mendorong fleksibilitas yang menghasilkan
organisasi lebih ramping. Diperlukan transisi yang dicerminkan pada turunan program-program yang akan diikuti anggota. Dalam kondisi seperti ini akan terjadi transformasi dari kepemilikan pengetahuan menjadi distribusi pengetahuan. Anggota didorong saling bertukar pengetahuan dan lembaga tempat anggota bernaung perlu memberikan ruang pertukaran tersebut dan melaksanakan pemantauan. Peneliti terdahulu mengajukan contoh jaringan yang dibangun oleh perusahaan Toyota dalam menjalin hubungan dengan banyak organisasi tersebar sehingga persediaan bahan baku dan respon dapat ditelusuri dalam waktu 24 jam dengan tingkat kesesuaian tinggi. Demikian pula General Motor yang melakukan keterhubungan dalam sistem informasi manajemen. Menurut Beech (1998), kerangka strategi jaringan bersifat holistik yang mensinkronisasikan sejumlah entitas untuk bekerja bersama mengunakan basis teknologi informatika. Unsur pengurangan biaya dilakukan dengan mengalihkan bidang-bidang pekerjaan tidak utama kepada pihak yang berada pada jaringan dan perusahaan inti lebih memfokuskan pada bidang yang menjadi keunggulan strategik. Kondisi ini berakibat informasi terfragmentasi dan tergantung pada pihak lainnya (Hall di dalam Daboub, 2002). Kegagalan pengaturan jaringan, terjadi ketika terdapat oportunistik, konflik tujuan, keengganan berkontribusi secara seimbang dan batasan resiko yang lebar. Simpulan dari pembangunan jaringan pada rantai pasokan menurut peneliti terdahulu melibatkan struktur, perilaku, pengaturan, dan sebagaimana terlihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu Faktor
Uraian 1 Terdapat anggota dengan kedudukan independen, namun dengan peran terdefinisikan. 2 Tanggung jawab anggota mengarah pada rantai nilai, pada transaksi yang disanggupi 3 Organisasi datar, dan ramping.
Struktur
4 Informasi terdistribusikan 5 Pengintegrasian proses dan tingkat integrasi dari proses bisnis 6 Sinkronisasi aset 7 Penatalaksanaan dan koordinasi 8 Pengukuran atas dasar prestasi Perilaku
Pengaturan
Pemrakarsa
Terdapat 13 sub-elemen perilaku yang diperlukan saat membangun jaringan menurut peneliti sebelumnya yakni: hubungan berdasarkan kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai, hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama, harmonisasi, solidaritas, integrasi peran, berbagi pengetahuan dan keuntungan 1 Sinergi dan sinkronisasi menurut Ginneakis dan Croom (2004) 2 Inventory deployment menurut Evan dan Danks (1998) 3 Tanggung jawab pada bagian yang disepakati, menurut Barba et al. (1998) Peneliti terdahulu tidak secara tajam menggariskan siapa yang menjadi pemrakarsa, tetapi tersirat lebih ditujukan pada perusahaan inti untuk mendapatkan keunggulan strategik.
Williamson diacu pada Dorward (2001), menyatakan terdapat tiga dimensi dalam pengaturan kontrak yakni : 1.
unsur ketidakpastian karena kurangnya informasi,
2.
rasionalitas, dan oportunisme dari pihak yang menjalin transaksi,
3. spesifikasi aset dan frekuensi dalam menjalin kesepakatan kontraktual antar pihak.
Pengaturan kontrak acapkali gagal memberikan penekanan pada hubungan yang lebih mendalam. Kelemahan utama adalah terlalu terfokus pada upaya meminimalisasikan biaya sehingga mengabaikan aspek penciptaan nilai. Pengaturan yang diperlukan pada pendekatan biaya transaksi adalah sejauh mana aset dapat diturunkan oleh pengguna tanpa merusak nilai – nilai produktif (Williamson 1998 di dalam Tsang, 2000). Biaya transaksi dipengaruhi oleh kondisi pasar yang tidak menentu, perilaku oportunistik, resiko, pengaruh harga beli dikaitkan dengan kondisi pasar dan perilaku penjual. Sistem kontrak mengandung bahaya, ketika dari salah satu pihak yang lebih memiliki informasi bersikap oportunis dan menolak untuk menginvestasikan pada sumber – sumber yang diperlukan karena takut salah satu pihak akan mengingkari hubungan 2.3. Konflik Sistem rantai pasokan berbasis jaringan memerlukan komitmen para pihak atas dasar manfaat bersama. Anggota rantai pasokan harus dapat mewujudkan aktivitas operasional dalam rangkaian proses dan berarti memberikan sumber daya, pengetahuan atau aset yang dimiliki. Dalam konteks peralihan antara pola tidak berstruktur menjadi kehidupan dalam rangkaian kerja tertata, dimungkinkan terjadinya konflik karena perubahan kebiasaan, cara pengambilan keputusan dan perbedaan kepentingan. Konflik merupakan ketidaksepakatan yang terjadi pada kondisi dua atau lebih orang berbeda dalam hal keinginan, idea, keyakinan dan nilainilai. Saaty (1996) menyebutkan konflik dimulai dengan premis
selalu
terdapat pemenang dan yang kalah dalam situasi orang saling bertentangan. Konflik dapat menghasilkan dampak positif atau negatif terhadap kinerja, tergantung bagaimana konflik ditangani dan lebih mudah diselesaikan bilamana dikenali sejak dini. Menurut Ohbuchi dan Suzuki (2003), konflik dipandang mengganggu organisasi karena menimbulkan permusuhan dan ketidakpercayaan di antara anggota dan akhirnya mengintervensi fungsi organisasi bahkan akan memecahbelah organisasi. Terdapat konflik substantif yang berhubungan
dengan perbedaan idea dan pekerjaan atau bidang minat dari berbagai pihak (Blackard dan Gibson, 2002). Tipe konflik seperti ini menyangkut interpretasi strategi, kebijakan, sudut pandang dan pertanyaan atas apa yang akan dilakukan. Adapun tipe lainnya adalah konflik personal atau emosional menurut Wood et al. (1998), terjadi ketika hubungan antar personal mengalami friksi, kondisi frustasi dan benturan kepribadian. Selain konflik personal terdapat juga konflik relasional (Ohbuchi dan Suzuki, 2003) yang merupakan ketidaksepakatan atas kepemimpinan, alokasi kerja, dan perbedaan kepribadian. Adapun konflik tugas dapat terjadi karena ketidaksetujuan atas isi dan prosedur kerja. Terlepas dari tipe konflik, akan terdapat
konsekuensi
ketidaksepakatan
dan
perselisihan
sehingga
mengakibatkan kontraproduktif berupa kinerja rendah dan ketidakpuasan kelompok. Dengan demikian lebih baik ditemukenali kemungkinan konflik pada implementasi rantai pasokan sehingga dapat dirancang langkah pencegahan yang tepat. Menurut Saaty (1998) untuk
mengubah ketidaksepakatan menjadi
kesepakatan dapat dilakukan melalui : a. bekerja bersama, b. bekerja terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi, c. bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi atau kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi. Ohbuchi dan Suzuki menyebutkan sebagai kolaborasi dalam upaya menyelesaikan konflik
agar
sasaran semua pihak yang terlibat dapat
diakomodasikan. Konfrontasi atau istilah competitor berdasarkan Wood et al., adalah pendekatan yang sama dengan pemecahan berdasarkan bekerja terpisah. Namun semua metode pemecahan konflik tidak hanya perlu mengidentifikasi semua konteks bahasan secara detil dan menghubungkannya tetapi hendaknya
membahas untung rugi. Karenanya, analisis konflik
dilakukan dengan cara yang rasional dan pertimbangan akurat sehingga memenuhi dan memuaskan nilai-nilai orang dan tujuan.
Penelitian terdahulu mengenai negosiasi dan pemecahan konflik menggunakan AHP dilakukan oleh Tabtabai dan Thomas (2004), yang diterapkan pada manajemen proyek. Hasil penelitian menyatakan bahwa proses pemecahan konflik harus dapat memuaskan berbagai pihak yang terlibat
sehingga memberikan jaminan hasil lebih stabil, di mana perlu
diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan diperoleh di pihak lain. Terlebih dahulu digambarkan konteks konflik, kemudian disusun hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat. Keberadaan organisasi yang melibatkan berbagai pihak tidak saja dapat menimbulkan konflik antar personal maupun antar kelompok, tetapi juga memungkinkan terjadinya persaingan antar organisasi terlebih bilamana beroperasi pada pasar yang sama. Hal ini oleh Wood et al. (1998) disebut sebagai interorganisational conflict. Pengumpul tanaman obat yang telah beroperasi secara bertahun-tahun akan berhadapan dengan jaringan yang beranggotakan
petani
sehingga
dianggap
mengganggu
kenyamanan
beroperasi. Saaty (1989), mengajukan perlunya dibuat pemodelan konflik dalam rangka pemecahan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan pihakpihak yang berkonflik, dan sasaran atau kebutuhan dari masing-masing pihak. 2.4. Kelembagaan Kelembagaan menurut Arifin (2004), memberikan naungan dan hambatan bagi individu atau anggota masyarakat, baik secara tertulis formal maupun berdasarkan kebiasaan atau tidak tertulis seperti aturan adat dan norma yang dianut. Kelembagaan akan mencakup konvensi dan aturan main, sehingga mengandung kegiatan kolektif dalam suatu kontrak atau jurisdiksi, pembebasan atau liberalisasi, dan perluasan kegiatan individu. Menurut Haeruman (2001), kelembagaan masyarakat pedesaan mencakup dua pola hubungan yakni lembaga adat dengan ikatan sosial antar anggota masyarakat yang kuat. Hubungan dimaksud kemudian bergeser sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi di mana semula berdasarkan aspek sosial beralih pada pertimbangan imbalan ekonomi.
Pembahasan tentang kelembagaan menjadi penting ketika menetapkan bentuk dan instrumen yang dapat mengatur tata nilai dan aturan main. Ketika membahas sekumpulan orang untuk pencapaian tujuan yang tunggal, maka perlu dilakukan pengorganisasian sejumlah aktivitas, aset/ fasilitas, peran dan sub-sub tujuan. Tujuan lembaga adalah agar memberikan perlindungan kepada anggota secara taat azas dan mampu menciptakan manfaat bagi para anggota. Gibson et al. di dalam Nasution (2002) menyebutkan lima kriteria guna menilai keefektifan lembaga yaitu : 1) kemampuan organisasi menghasilkan jumlah dan kualitas keluaran yang dibutuhkan lingkungan, 2) efisiensi yang merupakan rasio keuntungan dengan biaya atau waktu yang digunakan, 3) kepuasan, yakni ukuran yang menunjukkan tingkat organisasi memenuhi kebutuhan karyawan, 4) adaptasi terhadap perubahan dan 5) pengembangan yang mengukur kemampuan organisasi meningkatkan kapasitas menghadapi tuntutan lingkungan. Berdasarkan yang berlaku
kajian sosiologi pedesaan, pola umum kelembagaan
di pedesaan bertumpu
pembagian pekerjaan. Korten di dalam
pada spesialisasi fungsi
dan
Pratikno menjelaskan bahwa
membangun kelembagaan perlu menekankan pentingnya energi sosial yang merupakan
produk
(www.fppm.org/makalah%20pratikno.htm).
pembelajaran Pendekatan
sosial birokratis
yang
terlalu berlebihan harus diarahkan untuk memobilisasi energi sosial yang biasa dihasilkan dari aktivitas masyarakat yang mandiri. Struktur organisasi tradisional terbentuk dengan gaya yang dipakai adalah hirarkis dengan garis komando dan kontrol yang tinggi guna beradaptasi dengan perubahan (Giles dan Hancy
dalam Gattorna, 1998). Dalam
struktur
jaringan, bentuk
organisasi yang baru lebih condong pada kerja kelompok untuk mengatur hubungan eksternal yang lebih kompleks.
Hubungan kemitraan usaha antara pengusaha kecil dan besar dapat berbentuk : (a)
kontak bisnis dengan interaksi pasif antar organisasi tanpa perjanjian formal yang mengikat
(b)
kontrak bisnis dicirikan oleh adanya hubungan bisnis
(c)
kerjasama bisnis aktif sampai pada penanganan
manajemen dan
membentuk usaha patungan (d)
keterkaitan bisnis dengan kondisi antar pihak bersepakat untuk melakukan subkontrak perekayasaan.
Pengembangan kelembagaan agribisnis menurut Sumardjo (2002), perlu menempatkan kedudukan petani tidak hanya sebagai sub-ordinasi struktur pembangunan pertanian, tetapi diperlukan pengembangan pemberdayaan petani melalui peningkatan kualitas dengan pendekatan konvergen antar berbagai pihak yang menjadi pelaku dalam sistem agribisnis. Kegiatan kelembagaan bergantung pada fasilitator yang berfungsi untuk memediasi seluruh jalur komunikasi dan distribusi informasi. Fasilitator diharapkan memiliki kompetensi
yang diperlukan dalam
melaksanakan peran motivator dan organisator. Kata kompetensi dianggap paling tepat untuk menggambarkan kemampuan yang multi dimensi mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Menurut Spencer & Spencer (1993 ) terdapat tiga kelompok kompetensi yakni : 1.
Kompetensi generik merupakan serangkaian sifat – sifat generik yang sebaiknya dimiliki seorang fasilitator yaitu : a. elemen entrepreneurship yang merupakan keinginan untuk bekerja dengan baik. Dengan demikian seseorang yang tepat menjadi fasilitator adalah orang yang senantiasa termotivasi menghasilkan karya yang lebih dari biasa, berkeinginan terus berkreasi sehingga memiliki daya dorong anggota lain. b.
elemen pengaruh strategik (strategic influence) yakni kemampuan untuk meyakinkan, mempengaruhi dan memberikan gambaran prospektif pada pihak lain dalam hal ini anggota sehingga diharapkan petani bersedia mendukung agenda kerja jaringan.
c.
elemen kerjasama yang menunjukkan keinginan untuk bekerja secara kooperatif dengan pihak lain. Dalam pengertian ini, fasilitator adalah seseorang yang akan berusaha menggalang dinamika kelompok, dan memotivasi anggota berkontribusi sekaligus menghidupkan komunikasi dua arah.
2.
Kompetensi manajerial, merupakan serangkaian kemampuan bidang manajerial yang sebaiknya dimiliki oleh fasilitator agar kelompok efektif. Terdapat dua elemen manajerial yakni : a) pengembangan pihak lain (developing others) dan b) penggorganisasian (organizing).
3.
Kompetensi teknikal, merupakan kemampuan berkaitan dengan bidang pokok usaha. Seorang fasilitator setidaknya memahami budidaya yang memberikan produktivitas hasil terbaik dan pemrosesan pascapanen yang berkualitas. Bauran kelompok kompetensi ini akan membuat suasana kehidupan
berorganisasi lebih produktif dan
mendorong anggota aktif untuk
menghidupkan kelembagaan jaringan. 2.5. Resiko Petani Resiko
yang dihadapi
petani cenderung berhubungan dengan
variabilitas tingkat pendapatan bersih, yang terkait dengan harga perolehan, produksi, dan kuantitas. Studi Patrick, (1985) dalam Blank et al. (1997) menunjukkan dua klasifikasi sumber resiko yakni resiko produksi dan pasar. Resiko produksi dipengaruhi hama, banjir, ketersediaan tenaga, dan kekeringan. Sedangkan resiko pasar timbul karena faktor fisik, tenaga kerja, dan harga yang akan sangat mempengaruhi keputusan petani. Langkah
penting
dalam
mengurangi
tingkat
kerugian
adalah
menetapkan resiko yang harus ditanggung, dengan mendekomposisi variabel pada pendapatan. Apakah seluruh resiko, produksi maupun pasar, harus ditanggung sekaligus oleh petani atau produser ataukah terdapat penyebaran resiko. Menurut Sporleder dalam Royer (1995), penting untuk memahami alternatif pertukaran
dalam saluran pemasaran di mana resiko dapat
didistribusikan di antara perusahaan yang berada pada saluran. Dalam bentuk
integrasi, resiko dapat dialihkan dari produser kepada pemain tengah. Resiko pada tingkat petani akan berkaitan dengan harga, mutu, jumlah dan waktu distribusi. Resiko tersebut dapat dialihkan kepada pemain tengah dalam pengaturan kontrak dan pengendalian manajerial. Petani tanaman obat tidak lepas dari kemungkinan menanggung resiko berkurangnya penghasilan. Resiko tersebut berupa resiko produksi yang diakibatkan oleh
hama dan penyakit sehingga rimpang menjadi
busuk
dengan tanda – tanda agak gelap. Penyakit busuk rimpang terjadi pada tanaman jahe akibat Fusorium oxysporium sp zingiberi, penyakit bercak daun
dan hama (Paimin dan Murhananto,1999). Tanaman kunyit sering
diserang busuk akar yang disebabkan jamur Sclerotium rolfsii, Botryotrichum sp, dan Fusarium sp. Penyakit busuk akar dimaksud biasanya disebabkan karena drainase yang kurang baik atau rimpang terluka oleh alat pertanian saat penyiangan. Fusarium sp menyebabkan bagian pusat akar rimpang busuk basah dan keropos. Sclerotium rolfsii dapat mengakibatkan rimpang menjadi keriput dan Botryotrichum sp mengakibatkan rimpang menjadi layu (Winarto, 2003). Kerusakan dan kemunduran mutu saat penyimpanan adalah bentuk resiko lain yang dihadapi petani. Menurut Sudiatso (2002), kerusakan atau kemunduran mutu tersebut diakibatkan oleh cahaya, oksidasi, reaksi kimiawi internal, dehidrasi, absorpsi air, pengotoran dari sumber debu, pasir, kotoran serangga, bahan asing, dan fragmen wadah, serangga dan kapang. Dengan demikian, gudang harus mempunyai ventilasi udara yang baik, bebas kebocoran,
terpisah
dari
penyimpanan
bahan
yang
tidak
sejenis,
berpenerangan cukup dan mencegah masuknya sinar matahari yang berlebih serta bebas dari sampah atau limbah yang menjadi sarang serangga dan hama. Dari sisi proses pengemasan, petani masih dimungkinkan menghadapi resiko terjadinya perubahan mutu tanaman obat. Menurut Widyastuti (2004), pengemasan tergantung pada jenis dan tujuan pengemasan. Bahan pengemas harus bersifat netral dan tidak menimbulkan reaksi dengan tanaman obat yang dapat menimbulkan perubahan warna, rasa, dan bau. Dari sudut resiko ekonomi, petani menghadapi kelemahan akibat masing-masing aktor masih
bekerja sendiri-sendiri disamping kelemahan informasi pasar sehingga kurang dapat memenuhi keinginan pasar. 2.6. Penelitian Terdahulu Maulana (2005) menyoroti menurunnya motivasi petani nanas di Subang karena kondisi ketidaksetaraan dengan industri pengolah sehingga diperlukan integrasi melalui penyetaraan hasil nenas dengan kapasitas olah industri. Syaratnya adalah dengan membuat model kemitraan setara di mana industri menyediakan fasilitas pengolahan. Walaupun tetap menggunakan basis pembentukan koperasi petani untuk berhubungan dengan industri pengolahan nanas, Maulana lebih memfokuskan pada implementasi kesetaraan. Guna mencapai manfaat ekonomi dan sosial yang lebih baik, hubungan kerja yang memberikan manfaat antara industri dan pemasok perlu dijalin atas dasar saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan. Dalam hal menjalin aliansi strategis rantai pasokan petani sayuran, Suryati (2002) menyebutkan kendala yang layak diperhatikan yakni konsepsi, perilaku, manajerial dan lingkungan yang menempatkan elemen kunci pada perbedaan misi, minat, dan tujuan. Membangun aliansi strategis dipandang sangat menguntungkan untuk jangka panjang. Keberhasilan
kerjasama
akan
bertumpu
pada
kepemimpinan,
pembagian resiko, dan keuntungan serta kekuatan manajemen. Organisasi saat ini dirancang lebih menjadi ramping, datar, dan lebih fokus pada kontribusi rantai nilai. Daboub (2002) mengajukan contoh General Electric yang oleh Jack Welch dijadikan organisasi tanpa batas (bounderless organization). Apa yang dibangun di GE adalah jaringan pasar yang dinamis dari berbagai organisasi. Halal di dalam Daboub menyatakan bahwa iklim yang dibangun bertumpu pada kepercayaan dibanding wewenang. Dalam hal pembentukan jaringan antar perusahaan, maka sebaiknya tergambar dibenak bahwa terlebih dulu terdapat pembentukan hubungan yang dikembangkan oleh individu-individu. Fasilitator sangat perlu memiliki kemampuan untuk memastikan bahwa semua stakeholder mengungkapkan pendapat, dan tidak terdapat dominasi pada pertemuan dan diskusi yang
berlangsung dengan struktur yang sesuai. Peran fasilitator diperlukan dalam mewujudkan keberhasilan strategi kemitraan sebagaimana penelitian oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia - Latin (1999) di kabupaten Jember.
.
III. LANDASAN TEORITIS 3.1. Quality Function Deployment (QFD) QFD dikembangkan pertama kali oleh Mitsubishi’s Kobe Shipyard sebagai cara menjabarkan harapan konsumen, selanjutnya secara sistematis diterjemahkan
ke dalam proses internal (Zairi, 1994). Konsep yang
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen pada pengembangan produk, melahirkan disiplin untuk menjamin persyaratan mutu (Ansari dan Modarress, 1994). QFD memungkinkan integrasi perekayasaan guna menjamin efektivitas biaya pada setiap bagian proses guna menghasilkan produk bermutu. Pelaksanaan QFD melalui penjabaran sejumlah persyaratan mutu dengan informasi berasal dari
konsumen. Persyaratan dimaksud kemudian
ditempatkan pada bagian horizontal yang disebut tabel konsumen dari rumah mutu. Bagian vertikal dari matriks rumah mutu, berisi informasi teknis berdasarkan masukan konsumen yang disebut tabel teknis (Marimin, 2004). Dengan hubungan matriks antara
elemen persyaratan mutu dengan
spesifikasi teknikal dan membandingkan antara masing-masing elemen spesifikasi teknik maka dapat dikaji secara terstruktur dan konsisten proses yang relevan dalam mewujudkan mutu sebagaimana diharapkan konsumen. Tujuan penjabaran harapan konsumen terhadap tanaman obat dimaksudkan kedalam
untuk memperoleh kriteria mutu agar dapat diterjemahkan
pengelolaan
dan
pengendalian
proses.
Pengumpulan
data
dilaksanakan melalui wawancara petani, pengumpul dan wakil industri yang telah memahami persyaratan mutu, dan proses mewujudkkan mutu serta keterkaitan antar proses. Responden menilai aspek mana yang memberikan pengaruh kuat hingga lemah dalam mewujudkan atribut mutu kemudian menghubungkan antara aspek proses dan atribut mutu dengan nilai yang sudah ditetapkan.
Terlebih dahulu ditanyakan kepada responden persyaratan konsumen dengan menggunakan
pembobotan. Bobot merupakan nilai preferensi
dengan sifat : 0 ≤ We ≤ 1 dimana We = bobot ke e dan e = 1,2,……k k e =1
We
=1
Pemberian bobot dilakukan secara langsung pada setiap kriteria, yang dilakukan oleh orang yang mengerti, dan berpengalaman. Penentuan bobot dilakukan dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai dimana urutan pertama dengan tingkat yang tertinggi dan urutan kedua dengan tingkat di bawahnya demikian seterusnya (Maarif, 2003). Bilamana terdapat beberapa kriteria keputusan maka urutan 1 mempunyai nilai = k – 1 dan seterusnya. Formula penentuan bobot adalah sebagai berikut : n
We =
j =1
λej untuk e = 1,2,…k
k e =1
λej
n j =1
eej
λej
= nilai tujuan ke λ oleh pakar ke j. Jumlah pakar = n eej = nilai ke e oleh pakar ke j
Bobot kriteria ke 1 = (nilai urutan 1* jumlah pakar yang memberikan nilai pada urutan 1) + ( nilai urutan 2 * jumlah pakar yang memberikan nilai pada urutan 2 ) + (nilai urutan ke n* jumlah pakar yang memberikan nilai dari urutan n ) dibagi dengan (nilai urutan 1 * jumlah pakar yang memberikan nilai dari urutan 1 tersebut dan seterusnya) dijumlahkan sampai urutan ke n untuk seluruh kriteria. Rumah mutu sebagaimana pada gambar 4, terdiri dari lajur tabel konsumen yang memberikan penilaian atas atribut produk berdasarkan
persyaratan konsumen. Kolom horisontal terdiri dari daftar proses yang relevan atau aspek teknikal yang berkaitan dengan persyaratan konsumen. Kombinasi atau matriks hubungan
antara
teknikal dan persyaratan
konsumen akan menggunakan simbol-simbol seperti : = hubungan kuat = hubungan sedang = hubungan sangat lemah Matrik korelasi pada atap digunakan untuk mengidentifikasikan persyaratan teknikal mana yang saling mendukung satu sama lain di dalam desain produk. Pemberian simbol pada matrik korelasi terdiri dari : ++
= hubungan proses berkorelasi sangat erat
+
= hubungan proses berkorelasi erat Pada lajur paling kanan
dignakan untuk mengukur kinerja teknik
lyakni dengan membandingkan antara target dan realisasi. Hasil akhir matriks adalah nilai target untuk setiap persyaratan teknikal, dengan demikian pengambil keputusan dari internal organisasi dapat terfokus dan menerapkan langkah implementasi yang tepat dalam mewujudkan atribut produk sebagaimana dikehendaki melalui peryaratan konsumen.
MATRIKS KORELASI
DESAIN ATRIBUT (HOW)
H A R A P A N K O N S U M E N
B O B O T
HUBUNGAN HARAPAN KONSUMEN DAN DESAIN ATRIBUT
PENILAIAN KOMPETITIF
(HUBUNGAN MATRIKS)
KONSUMEN
BENCHMARK UKURAN KINERJA/ TECHNICAL IMPORTANCE RATING
Gambar 4. Rumah mutu (Bounds, 1994); Marimin, 2004).
Berdasarkan hasil preferensi konsumen, terdapat tiga elemen mutu sebagai persyaratan bahan baku yakni : (1) mutu bahan baku, (2) kemampuan pasokan dan (3) kemampuan teknis pengelolaan Sub-elemen mutu bahan terbagi atas : (K1) kadar air, (K2) kebersihan dari cemaran kotoran, tanah, ranting, (K3) kandungan metabolit sekunder. Pengertian elemen kemampuan pasokan menunjukkan sejauh mana pemasok sanggup memenuhi jadwal dan jumlah pasokan. Pedagang pengumpul dan industri cenderung menanyakan elemen tersebut sebagai dasar perencanaan pengadaan bahan baku dan produksi.
Kemampuan pasokan terurai dalam sub elemen : (L1) kontinuitas pasokan, dan (L2) jumlah pasokan. Elemen pengelolaan menunjukkan kondisi operasional usaha pengadaan bahan baku pemasok sebagai cermin profesionalitas. Walaupun kemampuan pengelolaan jarang dipergunakan sebagai penentu seleksi pemasok bahan baku, tetapi pemasok yang berkemampuan mengelola sesuai harapan industri memiliki nilai tambah dan berpeluang lebih diperhatikan. Dalam menjalin kemitraan jangka panjang, pihak pembeli dimungkinkan melakukan tinjauan pengecekan hingga ke lokasi pengolahan bahan baku sehingga calon pembeli dapat melihat sejauh mana kesiapan pemasok. Kemampuan teknis terdiri atas sub-elemen : (T1) ketersediaan alat dan (T2) kemampuan sumber daya manusia. Aplikasi diawali dengan meminta pendapat responden mengenai urutan kepentingan atau prioritas dari pertanyaan yang telah disajikan dan pendapat responden kemudian diolah sehingga menghasilkan bobot sub elemen. Berdasarkan masukan dari wawancara responden ahli diperoleh masukan karakteristik proses ditinjau dari
sepuluh aspek teknikal atau
operasi (AO) sebagai berikut : AO1. pembersihan
AO6. penyimpanan
AO2. pencucian
AO7. pengemasan
AO3. pengirisan
AO8. pengelolaan lahan
AO4. pengeringan
AO9. pengelolaan dana
AO5. pemilahan
AO10.pengelolaan operasional
Responden
diminta
memberikan
pendapat
atas
perbandingan
berpasangan antara harapan terhadap pasokan tanaman obat dan aspek teknis operasi dengan memberikan nilai 10 mewakili hubungan kuat. Nilai tersebut memberikan pengertian aspek teknis sangat berpengaruh mewujudkan harapan konsumen, nilai 5 mewakili hubungan sedang, 3 mewakili hubungan lemah, 1 mewakili hubungan sangat lemah dan 0 tidak ada hubungan sama
sekali. Responden ahli berasal dari pihak industri yang mengerti mengenai persyaratan tanaman obat, pengumpul dan petani yang masing-masing diajukan pertanyaan yang sama. Dari aplikasi QFD tersebut, menjadi masukan merancang desain fungsi dari lembaga jaringan yang dapat menjadi perhatian dan pembelajaran bagi anggota sehingga produk yang dihasilkan memenuhi peryaratan konsumen. 3.2. Interpretative Structural Modeling (ISM) Kompleksitas rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi dengan kerumitan interaksi antar elemen dan dinamika masing-masing aktor dipandang strategis didekati dengan pendekatan kesisteman. Pertanyaan dan pemikiran kritis digali guna memahami harapan berbagai pihak dan konflik kepentingan yang timbul. Teknik ISM digunakan sebagai proses pengkajian kelompok di mana model struktural dihasilkan untuk memotret sistem yang kompleks melalui pola yang dirancang secara seksama dengan grafis dan kalimat (Eriyatno,1999). Struktur diperlukan untuk menjelaskan pemahaman pokok kajian dari sistem yang berjenjang. Penentuan tingkat jenjang didasarkan atas lima kriteria, yakni (1) kekuatan pengikat, (2) frekuensi relatif terhadap guncangan, (3) konteks, (4) liputan tingkat dan (5) hubungan fungsional. Kemudian program yang telah disusun secara berjenjang itu, dibagi menjadi elemen-elemen. Menurut Saxena (1992), dalam Eriyatno (1999), program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yakni : a) Sektor masyarakat yang terpenuhi b) Kebutuhan program c) Kendala d) Perubahan yang dimungkinkan e) Tujuan program f) Tolok ukur penilaian tujuan g) Aktivitas yang akan dilaksanakan h) Ukuran aktivitas i) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Elemen-elemen tersebut dijabarkan dalam sub-elemen yang berasal dari masukan pakar. Selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen tersebut, kemudian disusun SSIM atau Structural Self Interaction Matrix. Penyusunan SSIM menggunakan simbol V,A, X dan O yaitu : V adalah eij = 1 dan eji
=0
A adalah eij = 0 dan eji
=1
X adalah eij = 1 dan eji
=1
O adalah eij = 0 dan eji
=0
Simbol 1 mengandung pengertian terdapat hubungan kontekstual antar elemen i dan j yang diperbandingkan, sedangkan simbol 0 tidak terdapat hubungan kontestual di antara elemen i dan j. Hubungan kontekstual dapat berupa : (a) pembandingan komperatif, (b) pernyataan, (c) pengaruh, (d) keruangan, (e) waktu. Perhitungan aturan Transivity dilakukan untuk
mengoreksi SSIM
sampai matriks menjadi tepat dan tertutup, bilamana : A mempengaruhi B B mempengaruhi C Sehingga seharusnya A mempengaruhi C Tabel Reachability Matrix dibuat untuk menggambarkan ada tidaknya hubungan satu arah antar sub-elemen yang satu dengan lainnya, setelah dilakukan pengecekan menggunakan Transivity. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi aturan Transivity ini diolah untuk menetapkan pilihan jenjang. Hasil pengolahan diklasifikasikan dalam empat sektor :
Sektor 1 Weak Driver – Weak Dependent Variable ( Autonomous ). Variabel sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 Weak Driver –Strongly Dependent Variable (Dependent). Umumnya variabel bersifat tidak bebas. Sektor 3 Strong Driver – Strongly Dependent Variable (Linkage). Variabel sektor ini harus dikaji secara hati–hati, sebab hubungan antar variabel tidak stabil. Setiap tindakan pada variabel tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya. Sektor 4 Strong Driver – Weak Dependent Variable ( Independent ). Merupakan variabel bebas, sebagai sisa dari sistem. Pengolahan pendapat responden dilakukan menggunakan alat bantu program ISM terbagai atas daftar pakar, analisis pakar, survei, hasil survei, dan resume survei dengan penjelasan sebagai berikut : 1) menu daftar pakar, berisi identifikasi responden yang akan memberikan pendapat, 2) menu analisis pakar, untuk menjabarkan sub elemen dari setiap elemen yang akan dikaji, 3) menu survei, menampung pendapat pakar 4) hasil survei, menampilkan struktur hirarki pendapat dan dependence – driver power. Analisis elemen ISM meliputi : tujuan, perubahan yang diinginkan, kendala program, dan aktivitas program. 3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) Kehidupan yang semakin kompleks dengan berbagai interaksi dan saling ketergantungan di antara berbagai faktor memerlukan pendekatan yang dapat mewakili situasi tersebut. Cara memandang masalah dalam suatu kerangka teroganisir tetapi kompleks, memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor.
AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan metode untuk memecahkan
situasi kompleks dan tidak berstruktur tersebut ke dalam
komponen-komponen yang tersusun secara hirarki, baik struktural maupun fungsional. AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, untuk aneka ragam persoalan tak berstuktur, memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. Proses sistemik AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi dari komponen-komponen yang telah disusun dalam hirarki secara simultan. Keharusan untuk memberikan nilai numerik pada setiap variabel masalah akan membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikir yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Sistem yang kompleks dapat mudah dipahami bilamana dipecah menjadi berbagai elemen dan elemen tersebut disusun secara hirakis. Hirarki melibatkan pengindentifikasian elemen suatu persoalan, pengelompokan elemen-elemen ke dalam kumpulan yang homogen dan menata kumpulan pada tingkat yang berbeda. Terdapat dua macam hirarki, struktural dan fungsional. Pada hirarki struktural, sistem yang kompleks disusun ke dalam komponen pokoknya dengan urutan menurun menurut sifat struktural. Sedangkan hirarki fungsional menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen – elemen pokok menurut hubungan esensial. Penyusunan secara hirarkis AHP mencerminkan pemilahan elemen sistem dalam beberapa tingkat yang berlainan dan pengelompokan unsur serupa pada setiap tingkat. Setiap perangkat elemen dalam hirarki fungsional menduduki satu tingkat hirarki. Tingkat puncak yang disebut fokus, hanya terdiri atas satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Pada tingkat berikutnya masing – masing dapat memiliki beberapa elemen, meskipun jumlahnya biasanya kecil antara lima dan sembilan. Elemen-elemen dari suatu tingkat akan dibandingkan satu dengan lainnya terhadap kriteria yang berada di tingkat atas,
sehingga elemen-
elemen pada setiap tingkat harus dari derajat besaran yang sama. Selain
identifikasi faktor penting dalam struktur hirarki, juga diperlukan cara untuk memutuskan apakah faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap hasil atau apakah sebagian boleh diabaikan. Unit dasar analisis adalah perbandingan berpasangan dengan hubungan aji =1/aij. Bilamana matriks menunjukkan aij = 5
berarti aktivitas i penting dan sangat penting
dibandingkan dengan aktivitas j. Ancangan dalam menyusun hirarki tergantung pada jenis keputusan yang perlu diambil. Jika persoalannya memilih alternatif, dapat dimulai dari tingkat dasar dengan menderetkan semua alternatif. Tingkat berikutnya harus terdiri atas kriteria untuk mempertimbangkan alternatif tersebut dan tingkat puncak terdiri atas satu elemen saja yakni fokus tujuan menyeluruh. Selain itu, AHP juga memberi peluang menguji konsistensi penilai. Bilamana terjadi penyimpangan terlalu jauh, maka penilaian perlu diperbaiki atau hirarki distruktur ulang (Marimin, 2004). Skala banding berpasangan menurut Saaty dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 7. Skala Banding Berpasangan pada AHP Intensitas
Definisi
Keterangan
1
Kedua elemen sama penting
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding lainnya Elemen yang satu penting atau sangat penting dibanding elemen lain Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen atas lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung, dan terlihat dominan pada praktek. Bukti yang mendukung elemen yang satu atas lainnya memiliki tingkat penegasan atau yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan.
5 7 9
Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai di antara dua pertimbangan yang berdekatan.
Kebalikan : Jika aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
AHP juga dapat dipergunakan bagi penyelesaian masalah konflik. Menurut Saaty (1993), terlebih dahulu dilakukan identifikasi dari pihak – pihak yang berkonflik, sasaran dan keingingan masing-masing pihak, solusi yang diharapkan, asumsi cara yang diinginkan oleh masing-masing pihak terutma dalam pandangannya terhadap pentingnya sasaran dan hasil. Namun, pemecahan masalah konflik dan pencarian informasi dari berbagai pihak yang terlibat resiko memungkinkan terjadinya bias dalam memahami situasi. Tabtabai dan Thomas (2004), menyatakan perlunya terlebih dahulu memformulasikan masalah keputusan pada struktur hirarki. Setelah hirarki dibangun, maka mulai memprioritaskan prosedur untuk menetapkan kepentingan relatif dari elemen dalam masing-masing tingkat hirarki. Contoh tingkat hirarki AHP dapat dilihat sebagaimana gambar 5.
Tingkat I FOKUS
Tingkat 2 SKENARIO
Tingkat 3 FAKTOR
Tingkat 4 ALTERNATIF
FOKUS
SKENARIO 1
FAKTOR 1
SKENARIO 2
FAKTOR 2
ALTERNATIF 1
FAKTOR 3
ALTERNATIF 2
SKENARIO 3
FAKTOR 4
ALTERNATIF 3
FAKTOR 5
ALTERNATIF 4
Gambar 5. Struktur hirarki AHP.
Elemen setiap tingkat diatur dalam kelompok yang homogen dan dibandingkan dengan
perhatian terhadap kepentingan dalam membuat
keputusan yang penuh pertimbangan. Perbandingan dari dua elemen mana yang lebih penting dengan memperhatikan (with respect to) kriteria pada
tingkat yang lebih atas menggunakan skala 1 – 9. Pengalihan bentuk verbal diterjemahkan dalam angka absolut 1, 3, 5, 7 dan 9 dengan 2, 4, 6 dan 8 sebagai nilai tengah/ antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan. Perbandingan rating untuk masing-masing tingkat dimulai dari atas hirarki ke bawah. Ketika membandingkan elemen A dengan B, apabila A lebih penting maka angkat tertinggi diterakan, kemudian B menjadi angka sebaliknya. Menurut Saaty, menjadi penting untuk mengetahui konsistensi penetapan keputusan para pengambil keputusan. Mencapai tingkat konsistensi sempurna memang sulit, tetapi sebaliknya konsistensi yang rendah juga akan merefleksikan pertimbangan yang tidak fokus. Konsistensi ini menjadi penting guna memperoleh hasil yang sahih pada dunia nyata. Rasio konsistensi
menjadi
parameter
yang digunakan untuk memeriksa
perbandingan berpasangan telah dilakukan konsekuen. Rasio konsistensi (CR) diperoleh dengan pembagian indeks konsistensi dibagi indeks random atau CR = CI/ RI. Nilai CR seharusnya tidak lebih dari 0,10. 3.4. Analytical Network Process (ANP) Analytical Network
Process (ANP) merupakan generasi lanjutan
pendekatan AHP yang dikembangkan oleh Saaty. ANP menjawab kondisi bahwa nilai dan pendapat antar individu sangat bervariasi dan dibutuhkan suatu pengetahuan baru untuk membantu mencapai objektivitas dan universalitas. Menurut Saaty, banyak keputusan tidak dapat distrukturkan secara hirarki karena melibatkan interaksi dan ketergantungan mulai dari elemen yang tinggi hingga elemen paling rendah. ANP ini dimaksudkan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dalam bidang ekonomi, sosial maupun manajemen. Perbedaan
dengan
AHP
bahwa
struktur
ANP
terdiri
atas
ketergantungan antar elemen di dalam komponen (inner dependence) dan dari ketergantungan antar elemen dari komponen di luar (outer dependence) dan terdapat hirarki kontrol. Hirarki kontrol pada pendekatan ANP sangat penting. Hirarki ini lebih berupa jaringan.
Kriteria pada hirarki kontrol digunakan untuk membandingkan komponen-komponen yang biasanya merupakan kriteria utama. Sedangkan sub-kriteria digunakan untuk membandingkan elemen komponen. Dengan demikian kriteria untuk komponen lebih luas dibanding sub-kriteria untuk elemen
komponen.
Dengan
kata
lain,
kriteria
digunakan
untuk
membandingkan komponen sistem. Jaringan dalam ANP memungkinkan menampilkan beberapa elemen secara terfokus pada awal proses dan akhir seperti pada AHP. Gambaran bagaimana ketergantungan antar elemen pada ANP dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini.
Komponen sumber
Komponen antara
Komponen sumber (lingkar umpan balik)
Komponen tersembunyi
Gambar 6. Ketergantungan antar elemen dalam ANP (Saaty, 1996).
ANP merupakan struktur non linear terdiri dari sumber, siklus dan looping yang memiliki prioritas, tidak hanya pada elemen tetapi juga pada komponen atau klaster. ANP merupakan teori nilai matematik yang didasarkan pada skala rasio secara berpasangan. Masing-masing skala rasio menunjukkan perbandingan berpasangan antar elemen di dalam suatu komponen, dan dengan elemen di luar komponen. Elemen yang tidak memberikan pengaruh pada elemen lain memberikan nilai nol. Hasil perbandingan diwujudkan dalam bentuk matriks vertikal dan horizontal, bersifat stokhastik yang disebut supermatriks. Guna meninjau
semua faktor dan kriteria yang digunakan dan keterkaitannya satu sama lain diperlukan pendekatan holistik. Pendekatan ANP akan mengukur pengaruh dominan elemen yang harus memenuhi standar atau kriteria. Bentuk pertanyaan yang diajukan kepada pakar dalam perbandingan berpasangan adalah : ” mana yang lebih berpengaruh antara komponen atau elemen, berdasarkan kriteria kontrol dibandingkan dengan kandungan komponen atau elemen yang lain ? ” Hasil analisis supermatrik ANP menghasilkan nilai BCOR (benefit, cost, opportunity dan risk) dimana pengambilan keputusan merupakan proses berdasarkan Pertimbangan
pertimbangan yang
yang
menguntungkan
menguntungkan
disebut
dan
sebagai
merugikan. manfaat
dan
pertimbangan yang merugikan disebut sebagai biaya. Selain itu juga dipertimbangkan adanya kemungkinan positif di masa datang yang disebut peluang dan kemungkinan negatif disebut resiko. 3.5. Penilaian Investasi Pengambilan keputusan untuk program sistem pasokan bahan baku berbasis jaringan, harus didasarkan pada pertimbangan kelayakan finansial sehingga program layak atau tidak untuk dilaksanakan. Beberapa parameter yang digunakan adalah : a. Payback Period (PBP) b. Net Present Value (NPV) c. Benefit-Cost Ratio (B/C) d. Internal Rate of Return (IRR) a. Metode Payback Period Payback period merupakan periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran suatu investasi dengan mengunakan aliran kas masuk neto yang diperoleh. Terlebih dahulu dijabarkan
seluruh biaya dan
kemungkinan penyusutan bahan baku yang berkorelasi pada biaya. Kemudian arus kas masuk dijabarkan berdasarkan perkiraan penjualan bahan baku yang telah diolah lebih lanjut. Arus kas masuk netto
diperhitungkan setelah pengeluaran pajak dan penyusutan. Formula mencari payback periode adalah :
PBP
Nilai Investasi ________________ = Aliran kas masuk
x 1 tahun
Rumus ini dipergunakan bilamana aliran kas masuk tetap setiap tahun. Bilamana aliran kas masuk tidak sama, maka sisa investasi yang belum kembali diperhitungan dengan aliran kas masuk netto pada tahun berikutnya sehingga PBP terdiri atas tahun di mana aliran kas netto yang telah berhasil ditutup ditambah total bulan sisa nilai investasi, dapat ditutup secara proporsional. b. Metode Net Present Value ( NPV) Metode PBP memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan nilai waktu
uang, padahal uang memiliki nilai yang berbeda apabila
waktu memperolehnya berbeda. Hal ini dikarenakan faktor diskonto berupa bunga dan biaya modal yang lain.
Metode NPV akan
mengakomodasikan kedua hal tersebut. Metode NPV mencari selisih nilai sekarang dari aliran kas netto dengan nilai sekarang dari suatu investasi.
NPV =
n
A
t
t t =0 (1 + i )
−I
0
At
= Aliran kas netto pada periode ke t
Io
= Nilai Investasi
r
= Discount rate
t
= Jangka waktu proyek investasi / umur proyek investasi
c. Metode Benefit – Cost Ratio (B/C) Metode Benefit Cost Ratio atau Profitability Index merupakan metode yang memiliki hasil keputusan sama dengan metode
NPV.
Apabila suatu proyek investasi diterima, maka akan diterima pula jika dihitung dengan menggunakan formula. Suatu usulan proyek investasi akan diterima atau layak apabila > 1. Formula yang dipergunakan dalam menghitung B/C adalah :
B/C
=
Total PV dari arus kas bersih _____________________ Investasi
d. Metode Internal Rate of Return ( IRR ) Metode Internal Rate of Return merupakan metode penilaian investasi untuk mencari tingkat bunga (discount rate) yang menyamakan nilai sekarang dari aliran kas neto ( Present Value of Proceeds ) dan investasi (Initial Outlays). Pada saat IRR tercapai, maka NPV sama dengan nol. Pengambilan keputusan menggunakan metode IRR akan sejalan dengan perhitungan menggunakan metode NPV walaupun kadang – kadang terjadi pertentangan antara kedua metode tersebut. IRR dapat dihitung dengan rumus
IRR = rk +
NPVrk (rb − rk ) TPVrk − TPVrb
IRR
= Internal Rate of Return
rk
= tingkat bunga yang rendah
rb
= tingkat bunga yang tinggi
PV rk = present value dari arus kas netto pada tingkat bunga kecil PV rb = present value dari arus kas netto pada tingkat bunga besar
IV. METODOLOGI 4.1. Kerangka Pemikiran Manajemen rantai pasokan berkembang menjadi langkah strategis yang menyinergikan pemasaran, pabrikasi, dan pengadaan dalam suatu hubungan yang kompleks dalam rangkaian
proses bisnis secara satu kesatuan.
Pengertian, filosofi, dan alur berstruktur rantai pasokan telah diajukan oleh peneliti terdahulu dan menegaskan perbedaan manajemen rantai pasokan dengan manajemen logistik (Christopher, 1998; Bowersox, 1992; Ayers, 2000; Levi 2002; Vokurka, 2002; Giannakis, 2004; Tracey, 2005; Gowen di dalam Maku, 2005). Membangun rantai pasokan berbasis jaringan melibatkan anggota, dan formulasi kerangka kerja (Evans dan Danks, 1998; Stock dan Lambert, 2001; Halal dalam Daboub, 2002). Fungsi jaringan adalah mendistribusikan
menurut peneliti terdahulu
manfaat dan resiko berdasarkan tujuan melalui
mekanisme umpan balik, insentif, dan sanksi yang dijabarkan serta dikelola (Barba et al. 1998; Levi, 2000; Goold dan Quinn, di dalam Stanek, 2004). Membangun jaringan memerlukan persyaratan perilaku berupa hubungan berbasis kepercayaan, penyatuan keahlian saling melengkapi, peran aktif, harmonisasi, solidaritas dan pengendalian kekuasaan (Achrol di dalam Daboub, 2000; Barba et al. 1998; Choi et al. 2002). Pasokan bahan baku agroindustri farmasi menghadapi kompleksitas permasalahan dengan kerumitan hubungan antar elemen dan perubahan dinamis permintaan dan penawaran bahan baku. Permasalahan yang dihadapi petani
umumnya terletak pada akses pasar, kemampuan dan kualitas
pasokan, permodalan, kemampuan pengelolaan bahan baku sehingga standarisasi hasil dari masing-masing aktor lemah karena tidak menyatunya rantai proses. Sistem rantai pasokan direkayasa agar terdapat integrasi strategis antara petani dan industri dimana petani berlokasi tersebar, berkontribusi sesuai perannya atas dasar saling tergantung sehingga tercapai kesejahteraan petani dan mendorong pengusahaan tanaman obat secara berkelanjutan.
Kerangka pemikiran pembangunan jaringan dapat dilihat pada Gambar 7 dan tahapan penelitian sebagaimana pada Gambar 8 berikut ini.
AGROINDUSTRI FARMASI
PETANI TANAMAN OBAT
KONDISI SISTEM RANTAI PASOKAN SAAT INI DAN KEBUTUHAN 1. Usaha tani 2. Pola pembelian 3. Rantai pasokan 4. Persyaratan mutu
PENDEKATAN SISTEM
ANALISIS USAHA TANI
ANALISIS MATRIKS PERSYARATAN MUTU
ANALISIS ELEMEN JARINGAN
KONDISI SITUASIONAL USAHA TANI
ATRIBUT UTAMA DAN PROSES TERKAIT
ELEMEN KUNCI
PEREKAYASAAN SISTEM RANTAI PASOKAN BASIS JARINGAN
PERHITUNGAN MANFAAT
FAKTOR PENGHAMBAT
STRUKTUR JARINGAN
ANALISIS KONFLIK
PERSYARATAN IMPLEMENTASI
SISTEM RANTAI PASOKAN BASIS JARINGAN
Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian.
FAKTOR PENDUKUNG
Penelitian mengkaji sistem rantai pasokan saat ini mencakup pengadaan bahan baku oleh agroindustri farmasi, hubungan petani dengan rantai di atasnya dan keunikan rantai pasokan tanaman obat. Aspek hubungan vertikal
sistem pasokan yang dikaji adalah : cara memilih dan menilai
pemasok, penetapan mutu, harga dan nilai-nilai kerjasama. Selanjutnya dilakukan analisis usaha tani, persyaratan mutu dan elemen kritis membangun jaringan. Nilai keilmuan dari penelitian adalah bagaimana jaringan dalam ranah manajemen rantai pasokan diimplementasikan pada agroindustri farmasi dan memberikan manfaat bagi petani tanaman obat. Validasi terhadap pembangunan jaringan dilakukan dengan melalui pengujian antar variabel dirujuk pada teori yang mendukung dan berdasarkan pendapat pakar untuk kesesuaian realitas di lapangan. Uji konsistensi dari pendapat pakar atas perbandingan berpasangan dilakukan walaupun pada kenyataanya sulit mendapatkan konsistensi sempurna tetapi analisis berpasangan atas elemen telah memperoleh kepastian.
Analisis usaha tani dan rantai pasokan bahan baku petani (1) Persyaratan pasokan bahan baku dan ciri rantai pasokan
Komponen biaya biaya usaha tani
Metode : wawancara pelaku, perhtiungan rugi laba
Analisis usaha tani dan rantai pasokan bahan baku
A
Peryaratan mutu pembeli, tingkat rantai pasokan, ketentuan pembelian
Biaya usaha tani tanaman obat, R/L menjual pada pembeli non jaringan
B
Analisis persyaratan mutu bahan baku (2) Kriteria mutu bahan baku
Aspek pengolahan bahan baku
Metode : Quality Function Deploypment, Pembobatan MPE
Analisis persyaratan mutu bahan baku dan aspek teknis pengolahan
Bobot kriteria mutu, target nilai proses yang terkait mutu
A
C
A Analisis Elemen Strukturisasi Jaringan (3) Elemen - elemen sistem pembentukan kelembagaan
Analisis Elemen Kelembagaan rantai pasokan berbasis jaringan Elemen Kunci yang diperhatikan saat membangun lembaga
Metode : ISM
D
Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku (4) A
B
C
D
Metode : Penstrukturan (Giannakis & Croom, 2004-Stock & Lambert,,2001 Giles & Hancy,1998)
Rekayasa Sistem Rantai Pasokan bahan baku
Lembaga jaringan : struktur, fungsi, mekanisme operasional
Analisis dan solusi konflik
AHP
Mekanisme penanganan konflik
R/L, Analisis kelayakan,
Perhitungan manfaat yang diterima anggota hasil rekayasa
Nilai manfaat yang diterima petani
Gambar 8. Tahapan penelitian
Untuk merancang sistem, terlebih dahulu dilakukan analisis kebutuhan para aktor sehingga diperoleh gambaran harapan dan faktor berpengaruh terhadap pengambilan keputusan industri berkaitan dengan perencanaan pengadaan bahan baku, perilaku masing – masing aktor
dan pola
pengelolaan. Harapan konsumen industri didekati dengan menggunakan alat bantu Quality Function Deployment sehingga diperoleh ketegasan atas preferensi utama dari kualitas dan dihubungkan dengan proses internal, akan diperoleh prioritas proses yang sangat berpengaruh. 4.2. Pendekatan Sistem Sistem rantai pasokan merupakan permasalahan yang tidak berdiri sendiri. Sub-sistem satu dan lainnya akan saling berkaitan mulai dari saat pembudidayaan sampai produk diterima oleh industri. Banyaknya pelaku yang terlibat dalam proses bisnis menjadikan sistem bersifat dinamis, kompleks dan rawan pada konflik kepentingan. Menurut Eriyatno (1999), metodologi sistem bertujuan untuk mendapatkan gugus alternatif sistem yang layak, mencakup kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Perancangan sistem, diawali dengan memahami
para aktor yang
terlibat pada sistem rantai pasokan dan kebutuhan masing-masing. Aktor utama pada sistem rantai pasokan bahan baku meliputi petani, pedagang pengumpul dengan satu atau lebih tingkatan, hingga industri. Kebutuhan aktor dimaksud dapat serupa, namun dapat terjadi bertentangan sehingga berpotensi terjadinya konflik kepentingan. Tabel 8 berikut ini memberikan gambaran mengenai kebutuhan yang menjadi fokus oleh pelaku utama.
Tabel 8 Analisis kebutuhan para aktor pada rantai pasokan No
Kebutuhan
Petani
Pedagang pengumpul
Pedagang besar
Industri
1
Harga Jual
x
x
x
x
2
Kesesuaian pasokan
x
x
x
x
3
Biaya budidaya
x
4
Mutu
x
x
x
x
5
x
x
x
7
Informasi persyaratan Pembinaan berkelanjutan Teknologi
8
Ketersediaan SDM
x
9
Ketepatan waktu pasokan Modal kerja
6
10 11
Peningkatan keuntungan
Potensi konflik
x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
= Yang berkepentingan atas kebutuhan dimaksud
4.3. Tata Laksana Penelitian Penelitian rekayasa sistem pasokan tanaman obat difokuskan pada tanaman obat yang dipasok ke agorindustri farmasi penghasil obat tradisional. Penelitian melalui empat tahapan yakni (1) analisis usaha tani dan rantai pasokan bahan baku petani, (2) analisis persyaratan mutu bahan baku, (3) analisis elemen kelembagaan, (4) rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku. Adapun kerangka berpikir penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 7. a. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Data primer mencakup luas lahan petani, biaya – biaya, kapasitas produksi, perlakuan budidaya dan pemrosesan, tingkat penolakan kualitas, pola perdagangan tanaman obat. Responden ditetapkan dengan batasan : 1. Petani dan pengumpul yang telah menekuni bidang tanaman obat secara terus menerus selama lima tahun. 2. Pengumpulan data dilakukan di daerah Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, dan sekitar Slahung.
3. Industri penghasil jamu dan obat herbal yang dipilih secara sengaja yakni : PT Air Mancur, PT Phapros tbk, dan PT Indofarma tbk.
Lokasi : Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri
Gambar 9 Peta lokasi penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu : (1) penelitian pendahuluan melalui wawancara dengan pejabat BPTO Tawangmangu dan petani pada bulan Februari 2003 (2)
penelitian utama melalui wawancara
petani, pengumpul dan
agroindustri farmasi penghasil obat tradisional, industri farmasi yang menghasilkan fitofarmaka dan obat herbal, serta agroindustri kecil obat tradisional yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2003 (3)
pencarian data sekunder di Badan Pengawasan Obat dan Makanan subdit Obat Asli Indonesia, Badan Pusat Statistik pada bulan November, Desember 2003
(4)
pengecekan silang melalui wawancara pengumpul di Caruban dan Slahung, pada bulan Juli 2004
(5)
melakukan wawancara pakar
Wawancara dengan kelompok petani menggunakan struktur pertanyaan terarah untuk memperdalam obyek telaah. Kuesioner ditujukan
bagi responden yang mampu menjawab pertanyaan tanpa
memerlukan bantuan. Kuesioner berisi sekumpulan pertanyaan untuk menggali informasi sehingga diperoleh gambaran mengenai aktor, kemampuan pasokan, mempengaruhi,
resiko
: peran
persyaratan kualitas, dan faktor yang
produksi
dan
pengolahan,
faktor
yang
mempengaruhi harga, nilai berpengaruh pada hubungan pemasok dan pembeli. Wawancara konfirmasi dilakukan pada kelompok petani dan pengumpul di daerah berbeda. Pendekatan pengamatan diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai : a)
penanganan pascapanen hingga penyimpanan pada tingkat petani.
b)
penerimaan dan perlakuan bahan baku pada tingkat pedagang pengumpul
c)
penerimaan dan perlakuan bahan baku pada tingkat industri
d)
kondisi fasilitas di areal petani dan pengumpul Seluruh
informasi
dipergunakan
untuk
mengkaji
faktor
berpengaruh terhadap pengadaan dan distribusi bahan baku, kelemahan dan kekuatan rantai pasokan yang berlangsung saat ini serta peluang mengembangkan sistem rantai pasokan baru. Responden ahli yang menjadi nara sumber adalah : peneliti tanaman obat sekaligus Kepala BPTO Tawangmangu, ketua koperasi karyawan BPTO, manajer-manajer terkait dari agroindustri farmasi terpilih, pembina petani, dan ketua Koperasi Jamu (KOJAI) Nguter – Sukoharjo. b.
Teknik pengolahan dan analisis data 1. Pengolahan data harapan konsumen menggunakan Quality Function Deployment, dengan memberikan bobot kepentingan atas harapan konsumen dimaksud.
2. Penjabaran harapan konsumen menggunakan QFD melalui tahapan berikut : a.
Mengajukan pertanyaan pendahuluan kepada kelompok pakar, sehingga dihasilkan sekumpulan persyaratan tanaman obat kemudian disarikan menjadi kriteria-kriteria kualitas.
b.
Elemen yang dihasilkan tersebut disusun dalam bentuk kuesioner dan diajukan kepada responden terpilih terdiri atas petani, dan pedagang pengumpul. Responden diminta mengurutkan dari prioritas pertama hingga ke n dari kriteria konsumen dimaksud.
c.
Melakukan pembobotan atas kriteria konsumen.
d.
Menguraikan aspek pemrosesan dalam menghasilkan bahan baku sebagaimana diharapkan konsumen. Penguraian proses dilakukan melalui wawancara pakar industri dan diikuti dengan observasi.
e.
Melakukan penilaian berpasangan atas kriteria konsumen dengan proses. Tahap ini dimaksudkan
untuk mendapatkan nilai
pengaruh hubungan kuat, sedang atau tidak sama sekali dari proses. Tinjauan matriks antara kriteria konsumen dan proses dilakukan melalui wawancara pakar. f.
Tahap akhir adalah melakukan proses trade off antar aktivitas proses untuk melihat apakah terdapat pengaruh positif kuat (+ +), pengaruh negatif (-), sehingga dapat disimpulkan korelasi proses satu dengan proses lainnya.
3. Teknik ISM dipergunakan dalam mengkaji hubungan sub-elemen dari elemen-elemen yang perlu diperhatikan saat membangun jaringan. Kaitan kontekstual antara elemen dan sub-elemen dan bagaimana kuat-lemahnya pengaruh satu elemen terhadap lainnya dianalisis. Analisis memanfaatkan kelompok pakar untuk mendeskripsikan berbagai elemen dan keterkaitan kontekstualnya. 4. Pendekatan supermatrik ANP digunakan untuk mengkaji hubungan yang kompleks dari elemen–elemen yang saling berpengaruh. Pendekatan ini memberi ruang interaksi dan umpan balik di dalam
dan di antara kelompok elemen. Hasil analisis supermatrik berupa nilai BCOR, ditinjau dari kriteria optimistis, pesimistis, dan normal. 5.
Perhitungan kelayakan jaringan dilakukan dengan terlebih dulu menetapkan asumsi : target penjualan, nilai investasi dan prosentase kerusakan bahan baku. Sedangkan analisis manfaat akan mengkaji nilai insentif yang masih mampu didistribusikan kepada anggota.
6.
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai tambah dari perubahan produk tanaman obat irisan kering dan segar dari jahe dan kunyit sebagai studi kasus dengan menghitung selisih nilai produk setelah mendapatkan pemrosesan tertentu dengan nilai yang dikorbankan untuk permrosesan.
7.
Tinjauan konflik internal jaringan dimaksudkan untuk menduga kemungkinan
ketidakselarasan
di
dalam
organisasi.
Proses
pengolahan pertanyaan dilakukan melalui AHP. Responden diminta membandingkan secara berpasangan antar kriteria. Bila ternyata pendapat mereka tidak konsisten, maka dilakukan pengulangan, sehingga diperoleh kesimpulan akhir. c. Tahap pengembangan sistem, validasi dan verifikasinya Pengembangan sistem jaringan dilakukan dengan mengkaji kembali seluruh teori jaringan dari peneliti terdahulu berdasarkan studi pustaka, wawancara dari sejumlah nara sumber dan melakukan cek silang dengan sistem rantai pasokan yang telah berjalan selama ini. Jaringan kemudian dikembangkan dengan
melibatkan penstrukturan,
mekanisme, persyaratan dan pembagian fungsi. Validasi model konseptual dimaksudkan untuk menetapkan bahwa teori dan asumsi-asumsi yang mendasari tepat dan model telah merepresentasikan masalah. Baik struktur model, logika dan matematika serta hubungan sebab telah tepat terhadap tujuan dari model yang dikehendaki. Dalam hal ini, pengembang model atau peneliti mengkaji secara seksama dan mengevaluasi bagaimana model bekerja. Validasi tidak
dapat dilaksanakan oleh peneliti semata tetapi memerlukan komunikasi dengan pengguna (Sargent, 2000; Carson, 2002; Martis, 2006). Validasi terhadap jaringan yang telah dibangun dilakukan sejak awal dengan memeriksa logika berpikir, asumsi-asumsi yang digunakan dan teori jaringan yang mendukung. Perubahan pendapatan petani dan jaringan dianalisis dengan mengambil tanaman obat terpilih sebagaimana disebutkan pada ruang lingkup. Verifikasi dilakukan untuk melihat apakah model telah menjawab tujuan dan seberapa tinggi pencapaiannya. Verifikasi manfaat jaringan dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh di lapangan dan dengan memasukkan beberapa asumsi-asumsi.
V. ANALISIS SITUASI USAHA TANAMAN OBAT 5.1. Bahan Baku Tanaman Obat Agroindustri farmasi terutama yang menghasilkan produk fitofarmaka membutuhkan bahan baku sesuai standar formulasi agar memberikan efek khasiat. Proses seleksi bahan baku agroindustri farmasi penghasil produk fitofarmaka dilakukan melalui tahapan : 1.
menetapkan kandungan zat aktif berkhasiat positif dari tanaman obat obyek.
2.
memetakan sumber pasok bahan baku yang memiliki kandungan khasiat aktif optimal.
3.
mengecek fluktuasi kandungan berkhasiat di setiap musim dengan memperhitungkan kemampuan mereproduksi zat aktif gabungan.
4.
membuat penanda berupa isolate yang mengandung kandungan utama. Pemeriksaan kesesuaian dan kemurnian, tingkat kekeringan, kadar
cemaran kutu dan zat asing serta tingkat kebaruan bahan baku merupakan pemeriksaan awal, sebelum dilakukan analisis kandungan senyawa metabolit sekunder. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder yang dilakukan secara rutin, menghasilkan data kondisi bahan baku dari berbagai daerah sumber pasok. Melalui data dimaksud diperoleh perbandingan kinerja bahan baku antara daerah satu dan lainnya. Perbedaan kandungan metabolit sekunder khususnya agroindustri farmasi penghasil fitofarmaka, akan memerlukan perhitungan reprodusibilitas zat aktif gabungan. Kondisi ini memerlukan tindakan koreksi pada proses ekstraksi, yang berdampak pada biaya produksi. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang tidak sesuai dengan penanda, mendorong industri melakukan peninjauan kembali pemesanan dari pemasok dan mengambil keputusan atas penetapan asal daerah sumber pasokan. Selain persyaratan dasar, kadangkala industri juga menetapkan kriteria tambahan pasokan bahan baku seperti : standar usia tanam, waktu panen dan ketinggian daerah tanam. Alasannya adalah, metabolit sekunder akan berbeda menurut cara bagaimana tanaman obat ditanam dan cara pemanenan. Namun,
ketika bahan baku sulit diperoleh maka persyaratan yang ditetapkan akan sedikit diperlonggar. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dilakukan di laboratorium pengawasan kualitas untuk setiap kedatangan bahan baku, dirujuk pada sampel yang telah dikirimkan sebelumnya. Cara pengambilan sampel disesuaikan dengan ketentuan Material Medika Indonesia. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian dipakai sebagai penilaian kinerja pemasok. Bahan baku tanaman obat yang diterima melalui tahapan persiapan sebelum dipergunakan sebagai bahan baku ramuan. Salah satu bentuk standar proses yang dilakukan di Air Mancur antara lain : 1.
Sortasi untuk memisahkan bahan dari cemaran pasir dan kotoran lain dengan cara hembusan dan pengayakan.
2.
Penggorengan tanpa minyak agar dihasilkan aroma yang diinginkan atau mempermudah bahan baku dikupas dari kulitnya.
3.
Vaporasi dilakukan, khusus terhadap bahan yang mempunyai angka cemaran kuman tinggi. Vaporasi, biasanya dilakukan untuk bahan baku jenis daun-daunan.
4.
Pengeringan bahan baku dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari langsung atau pengeringan menggunakan oven. Bahan baku kemudian dikemas setelah diangin-anginkan terlebih dulu.
5.
Pengecilan dimensi untuk mempermudah proses standarisasi, mengingat bahan baku yang berasal dari daerah berbeda mempunyai kadar zat berkhasiat yang berbeda pula.
6.
Bahan baku yang tidak langsung mengalami pemrosesan, akan disimpan dalam kemasan yang terbuat dari plastik polipropilena, tidak beracun, tidak bereaksi dengan isi, dan melindungi bahan baku dari cemaran mikroba.
Sebagai contoh, alur perlakuan bahan baku pada agroindustri jamu PT.Air Mancur dapat dilihat pada halaman berikut ini :
Pemasok
Bahan baku
Quality specification
Gudang simpan
Sortasi
Penggorengan
Pencucian
Penguapan
Pengeringan/ hembus Pengecilan dimensi
Standarisasi Quality specification Bahan baku ruah
Formulasi
Produk antara
Gambar 10. Alur proses penanganan bahan baku
5.2. Kondisi Usaha Tani a. Sumber pasokan Petani di daerah obyek penelitian lebih mendahulukan mengelola tanaman pangan dibanding tanaman obat karena tanaman obat diposisikan
sebagai
penambah penghasilan. Areal yang digunakan untuk budidaya
tanaman obat berada di pekarangan, lahan kering atau lahan yang tidak cocok untuk tanaman pangan. Luas lahan tanaman obat yang diusahakan oleh petani relatif sempit berkisar 0,03 ha hingga 3 ha per petani. Petani biasanya tidak menanam untuk satu jenis tanaman obat atau monokultur, tetapi campuran atau polikultur dari beberapa tanaman obat seperti temulawak, kunyit, lempuyang wangi, lempuyang pahit, jahe dan sebagainya, dengan sifat penanaman berupa tanaman sela atau berada di bawah naungan tanaman tertentu. Tanaman obat di daerah Malang misalnya, ditanam pada ketinggian 1500 dpl dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman apel sebagai naungan. Sedangkan tanaman obat di Kediri pada ketinggian sekitar 800 dpl ditanam dengan naungan tanaman kopi. Tanaman obat di daerah Pacitan dilakukan tumpangsari dengan ketela dan jagung. Data dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri (2004), menunjukkan tanaman obat familia Zingiberacea terutama jahe dan lengkuas, terdapat di seluruh kecamatan meliputi areal menghasilkan seluas 360 hektar, dengan produksi sebesar 1.839 ton. Jumlah produksi tersebut, melibatkan 3.082 kepala keluarga (kk) petani atau rata-rata setiap kk petani menangani 0,117 hektar atau 1.170 m2. Kecamatan
Pracimantoro
yang
berbatasan
dengan
kabupaten
Wonosari, merupakan wilayah yang paling sedikit membudidayakan tanaman obat dengan luas 7,97 hektar, melibatkan 55 kk petani. Kecamatan Karangtengah menghasilkan tanaman obat terbesar dibanding kecamatan lain di kabupaten Wonogiri dengan luas lahan 47 hektar. Pasokan tanaman obat jahe, dan kunyit paling banyak berasal dari kecamatan ini. Produksi tanaman obat sejumlah tersebut, melibatkan 222 kk petani. Berdasarkan data tahun 2002, kabupaten Karanganyar memiliki 504 hektar lahan tanaman obat dengan produksi sebesar 2.342,5 ton tersebar di 13 kecamatan dari total 17 kecamatan (Dinas Pertanian Karanganganyar, 2002). Kecamatan Ngargoyoso yang berada di lereng Gunung Lawu merupakan daerah penghasil utama jahe dengan produksi sebesar 652,5
ton, berasal dari lahan seluas 130,5 hektar, melibatkan sekitar 1.680 kk petani bilamana
rata-rata petani memiliki lahan seluas 0,3 hektar.
Sedangkan kunyit dan kencur lebih banyak terdapat di kecamatan Jumapolo dengan luas lahan masing-masing 20 dan 35 hektar dengan hasil produksi 175 ton kunyit dan 60 ton kencur. Dari kedua kabupaten tersebut, jahe merupakan tanaman obat paling banyak ditanam dibanding lainnya. Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Surakarta, sangat dikenal sebagai penghasil
kencur yang berkualitas, terutama dipasok dari
kecamatan Nogosari dan Simo. Boyolali juga menghasilkan jahe yang baik, berada di kecamatan Ampel seluas 280 hektar dengan produksi pada tahun 1999 sebesar 1.540 ton. Sumber pasokan tanaman obat tersebar di beberapa
kabupaten
seperti : Karanganyar, Wonogiri, Boyolali termasuk Malang, Madiun dan Pacitan menjadi sumber pasokan penting untuk agroindustri farmasi besar yang berada di sekitar Solo dan Semarang serta industri skala menengah kecil yang berada di kabupaten Sukoharjo hingga Cilacap. Teknik budidaya tanaman obat yang digunakan petani umumnya berdasarkan informasi secara turun temurun dan hasil olah pengalaman petani sendiri. Beberapa petani menjadi anggota kelompok petani memperoleh masukan dari pertemuan kelompok atau dari petani yang lebih diandalkan. Kehadiran petani yang memiliki pengetahuan lebih, bertindak sebagai pembina
untuk rekan petani lainnya dan keberadaan merekan
sangat membantu. b. Penanganan pascapanen Penanganan pascapanen tanaman obat tidak memerlukan peralatan yang mahal.
Kegiatan pembersihan, dan bilamana dilanjutkan dengan
pengeringan atau penggerusan menjadi serbuk dilakukan secara padat karya dan cenderung melibatkan anggota keluarga. Proses perajangan umum dikerjakan oleh buruh perempuan, sedangkan tenaga kerja laki-laki lebih menangani kegiatan pengeringan. Proses pengeringan memerlukan tenaga fisik lebih besar, mengingat bahan baku yang dihamparkan pada lantai
pengeringan harus dibalik beberapa kali, kemudian dilakukan penataan gudang. Tanaman obat bentuk segar lebih dipilih sebagai produk yang dijual petani dengan alasan lebih mudah penanganan, tidak memerlukan waktu dan tenaga serta langsung dijual guna memperoleh uang tunai. Tanaman obat segar tersebut, biasanya dijual dengan kondisi tanpa sortasi sehingga berakibat bervariasinya ukuran dan kondisi bahan baku. Bilamana petani menilai bahwa harga pembelian bahan baku tidak menarik maka tanaman obat tetap dibiarkan tidak dipanen. Penanganan bahan baku segar harus dilaksanakan segera untuk mencegah kerusakan. Petani biasa menyimpan bahan baku di dalam rumah tempat tinggal atau pada bangunan sederhana di pekarangan yang diperuntukkan sebagai gudang. Cara menyimpan bahan baku dengan ditumpuk di atas tanah atau di atas para-para dalam kemasan karung bekas berisi bahan baku irisan kering. Cara perhitungan biaya pada tingkat petani terbatas pada komponen biaya yang langsung dikeluarkan seperti biaya bibit, sewa lahan bilamana lahan tidak dimiliki sendiri, biaya pemeliharaan tanaman dan biaya buruh. Apabila tenaga keluarga dipakai atau dilibatkan maka tidak dikatagorikan sebagai penyumbang biaya. Kegiatan yang dilakukan saat panen terdiri dari : 1. melakukan pencabutan/ pembongkaran tanaman yang telah memenuhi umur panen dengan bantuan garpu. 2. membersihkan rimpang dari tanah, diikuti pemotongan sulur/ akar tanaman. 3. membersihkan tanah dengan pencucian menggunakan air bertekanan sehingga tanah-tanah yang melekat akan jatuh dan kulit tidak cacad atau tergores. Namun, biasanya
petani hanya melakukan pencucian
sekedarnya. 4. mengemas dalam karung seberat 50 sampai 60 kilogram bilamana dijual dalam bentuk segar menggunakan karung bekas.
c. Kehidupan petani tanaman obat Berdasarkan hasil pengamatan, petani terlibat di dalam kelompok sebagai sarana berbagi pengalaman serta membahas berbagi masalah usaha tani secara umum. Pelaksanaan pertemuan kelompok tidak diatur secara kaku dan dapat dilaksanakan dimana saja. Pengurus desa ada yang terlibat aktif untuk mengembangkan pengetahuan petani, tetapi lebih sering petani berusaha sendiri memperoleh masukan dari petani lainnya anggota kelompok. Walaupun terdapat tenaga penyuluh dari kantor dinas kabupaten, cakupan penyuluhan belum
menjangkau petani yang letaknya lebih di
pelosok. Menurut petani, program penyuluhan jarang diperoleh sehingga petani cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri. Bentuk kerjasama melibatkan petani ditemui di daerah observasi antara lain: 1. Kerjasama industri dan lembaga penelitian untuk mengembangkan tanaman tertentu dan mendorong petani membudidayakan dan mengelola pascapanen secara tepat. Contoh : kerjasama antara Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu dengan agroindustri farmasi tertentu yang melakukan pembinaan dengan petani-petani setempat. Selanjutnya hasil produksi petani tersebut dipasok ke agroindustri farmasi dimaksud, dengan terlebih dahulu menyepakati teknis pemasokan dan harga pembelian. 2. Kerjasama antara agroindustri farmasi dan pemerintah daerah dalam program pembinaan petani pada desa-desa yang ditetapkan. Contoh : pemerintah daerah kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Air Mancur. 3. Kerjasama langsung antara industri dengan kelompok tani yang menjadi pembinaan dari petani andalan seperti dijumpai di Wonogiri kemudian memasok bahan baku ke agroindustri farmasi yang membina. Dari pertanyaan yang diajukan melalui kuisioner kepada 30 responden petani mengenai , “ pernahkah mendapatkan penyuluhan dan dari instansi mana “, diperoleh hasil 60 %
responden tidak
pernah mendapatkan
bantuan penyuluhan dari instansi manapun dan sisanya menjawab kadangkala penyuluhan diperoleh. Pihak yang memberikan penyuluhan berasal petugas kecamatan, atau dinas perkebunan kabupaten. Dari tiga perusahaan yang menjadi responden, memang telah melakukan penyuluhan pada kelompok petani sebagai bagian dari kegiatan pengembangan lingkungan tetapi masih bersifat insidental. Sejumlah 76 % responden petani mengatakan tidak terdapat hubungan dengan agroindustri farmasi besar maupun menengah-kecil. Pada kenyataannya, petani cenderung mengandalkan sesama petani yang lebih memiliki akses dan selanjutnya bertindak sebagai pedagang pengumpul desa dalam pola dagang atau istilah di desa disebut jual putus. Prinsip jual beli sederhana dengan aturan yang mudah, lebih dimengerti oleh petani dimana antara petani dan pembeli lebih berpegang pada unsur kepercayaan dengan ketentuan formal yang longgar. Untuk mengetahui faktor penentu dalam menetapkan keputusan menjual diajukan pertanyaan apa alasan keputusan menjual kepada pihak pembeli tertentu atau menjual bebas. Hasilnya adalah 74 % menyatakan harga merupakan alasan utama keputusan menjual pada pembeli tertentu atau bebas. Faktor lain yang menjadi pertimbangan selain harga adalah: (1) kontinuitas pembelian (2) standar penolakan kualitas, (3) bantuan pembinaan pascapanen, (4) bantuan peningkatan kesejahteraan dan (5) informasi. Selain pedagang pengumpul desa,
pejabat desa atau perwakilan
kelompok petani yang aktif dapat bertindak sebagai mediator dalam pemasaran hasil panen petani. Petani yang memiliki akses pemasaran ke agroindustri farmasi akan diminta membantu menjual bahan baku milik petani lainnya. Pedagang pengumpul membeli bahan baku dengan kondisi harga beli lokasi petani sehingga petani tidak harus mengupayakan alat transportasi. Alternatif lain adalah menjual tanaman obat melalui pasar yang hanya dibuka pada “hari pasaran”. Pasaran adalah hari dalam penanggalan Jawa saat pembeli dan penjual bertransaksi. Petani yang menjual hasil di hari
pasaran memiliki pilihan pembeli walaupun perbedaan antara satu pembeli dan pembeli lain tidak terlalu mencolok. Pola penjualan ini ditemui di daerah Slahung dan Caruban. Petani tanaman obat datang dari berbagai desa dan menawarkan hasil panennya pada pedagang penerima di pasar dimaksud dan kemudian transaksi harga berlangsung hingga tercapai kesepakatan. Harga menjadi kriteria
penting dalam keputusan menjual bahan
baku dibandingkan alasan kedekatan hubungan dengan pembeli. Harga masih merupakan harapan tertinggi dibandingkan dengan jumlah, kepastian waktu, frekuensi pembelian, bantuan modal, bibit dan pupuk terhadap pertanyaan apa harapan petani terhadap pembeli. Tidak jarang petani dikecewakan oleh perilaku pedagang yang tidak
memenuhi
janji
pembelian atau menunda pembelian dalam waktu yang tidak jelas. Merujuk pada hubungan pembeli-pemasok menurut Choi et al. (2002), hubungan petani tanaman obat dengan pedagang pengumpul merupakan permodelan hubungan diadik (dyadic buyer-supplier model) dengan mengandalkan logika resiko ekonomi yang kemudian diatur melalui kontrak. Ketika pembeli menerapkan tipe kompetitif maka berpeluang mengatur dan mengkoordinasikan informasi dan pengaturan pertukaran material. Kepemilikan kendali terhadap aliran informasi tersebut dapat diarahkan untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan pihak pembeli. Kondisi ini disebut sebagai sifat oportunisme sebagaimana dinyatakan oleh Williamson di dalam Ghoshal dan Moran (1995) Ketakutan atas resiko ekonomi, mendorong diterapkannya mekanisme bertahan dalam wujud negosiasi yang sangat tegas dan kontrak terbatas.
5.3. Pergerakan Harga Tanaman Obat Rata-rata tanaman obat keluarga Zingiberaceae dipanen pada bulan Mei sampai dengan Agustus. Pada bulan-bulan ini, bahan baku tersedia dalam jumlah besar dan menurun memasuki musim penghujan. Pedagang tanaman obat harus jeli mengamati perubahan harga. Ketidaktepatan menghitung harga
saat membeli dari petani dan pada saat kapan dan harga berapa bahan baku dijual kembali akan berakibat kerugian karena kesalahan penetapan harga jual. Harga pembelian bahan baku yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pergerakan harga tersebut dipengaruhi oleh kegagalan panen di beberapa daerah sumber pasokan, peningkatan produksi produk dari industri yang membutuhkan pasok tanaman obat tertentu, peningkatan ekspor atau terdapat pedagang besar yang
sengaja menahan
bahan baku di gudang dengan tujuan mencari harga tinggi. Harga temulawak berada pada
kisaran Rp 400,- - Rp 700,- dan relatif
stabil selama dua tahun dibandingkan dengan harga jahe segar berkisar Rp 1.500,- hingga Rp 2.500,- per kilogram pada lokasi gudang petani. Alasan yang dikemukakan pedagang terhadap perbedaan harga mencolok antara temulawak dan jahe karena temulawak mudah diperoleh dan penggunaan lebih terbatas dibandingkan jahe sehingga mengurangi tarik-menarik antara kebutuhan agroindustri farmasi dengan industri lainnya yang menggunakan jahe. Jahe dan kunyit selain dimanfaatkan oleh
agroindustri farmasi juga
dibutuhkan industri minuman, kosmetik dan keperluan rumahtangga.
Ja
nu a Fe ri br ua ri M ar et A pr il M ei Ju ni Ju A li gu Se stus pt em be r O kt ob N o v er em D ber es em be r
700 600 500 400 300 200 100 -
Gambar 11. Kondisi harga temulawak di lapangan
Ja
nu a Fe ri br ua ri M ar et A pr il M ei Ju ni Ju A li gu Se stu pt s em b O er kt N obe ov r em D ber es em be r
harga / kilogram (Rp)
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
Gambar 12. Kondisi harga Jahe di Lapangan Penyimpanan bahan baku segar memiliki resiko penyusutan berat dan kerusakan, sehingga petani cenderung menjual secepatnya. Petani memilih menunda panen atau disimpan sementara pada tempat penyimpanan yang lembab ketika kondisi harga kurang menarik. Mengubah bentuk tanaman obat segar menjadi irisan kering pada musim penghujan, cenderung merugikan karena akan dihasilkan kualitas bahan baku yang kurang baik. Bahan baku yang dikeringkan pada musim penghujan membutuhkan jumlah bahan baku lebih banyak dibandingkan saat pengeringan di musim kemarau. Petani biasa menggunakan istilah satu banding lima yakni lima kilogram tanaman obat segar untuk menjadikan satu kilogram irisan kering, dan meningkat menjadi satu berbanding tujuh pada musim penghujan. Biaya produksi atau biaya budidaya untuk tiga jenis bahan baku temulawak, jahe dan kunyit dengan menghitung unsur biaya sewa lahan untuk lahan yang tidak dimiliki sendiri, biaya pupuk, kemasan, buruh tani, pestisida, bibit diperoleh gambaran sebagai berikut :
Tabel 9 Biaya dan hasil produksi / hektar Komoditas
Biaya produksi
Hasil produksi/ha
Temulawak
Rp
8.250.000,-
12 ton
Jahe
Rp 12.000.000,-
15 ton
Kunyit
Rp
9.000.000,-
7 ton
Data observasi lapangan bulan Juli 2003
5.4. Permasalahan Petani Tanaman Obat Terdapat dua permasalahan dihadapi petani yakni akses pasar menempati urutan pertama diikuti modal kerja. Permasalahan akses pasar adalah upaya untuk mendapatkan pembeli dengan harga yang lebih baik. Akses pasar dihadapi oleh petani yang berada jauh di pelosok atau daerah yang baru berusaha tanaman obat. Daerah yang terjangkau oleh pedagang pengumpul, membuka peluang disalurkannya tanaman obat hasil panen. Petani yang lebih dekat kota kecamatan atau kabupaten, lebih leluasa memperoleh informasi dan
mudah membandingkan harga satu tempat
dengan lainnya. Petani jarang hingga hampir tidak pernah berhubungan dengan lembaga pembiayaan untuk meminta kredit pinjaman. Kalaupun kendala modal kerja terjadi, petani lebih sering menyesuaikan dengan kondisi keuangan yang dimiliki atau melakukan pinjaman secara perseorangan. Keterbatasan ini berakibat pengelolaan budidaya dilakukan seadanya. Permasalahan petani tanaman obat sebagaimana terlihat pada tabel 10, terdapat tujuh masalah dengan tiga masalah dinilai sangat tinggi yakni : akses pasar, modal kerja dan negosiasi.
Tabel 10 Permasalahan Petani Aspek Akses pasar Modal kerja
Teknik pengolahan Teknik budidaya Negosiasi
Uraian permasalahan
Nilai
Ketidakmampuan mencari alternatif pasar industri. Petani kurang dapat mengakses lembaga keuangan karena persyaratan, kurangpengetahuan, selain lembaga keuangan belum tertarik mendanai produk pertanian. Kelemahan dalam teknik pengolahan pascapanen. Kurang pengetahuan dalam budidaya dan langkah pemeliharaan selama masa tanam Kurang kuat dalam posisi tawar terhadap pihak pembeli.
ST ST
T T ST
Fasilitator penyuluh
Kurangnya penyuluhan dari fasilitator
R
Buruh pengolah
Kendala tenaga buruh tani
R
ST = Sangat tinggi, T = Tinggi, R = Rendah 5.5. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul tanaman obat terdiri dari : (1)
petani yang
bertindak sebagai pengumpul, dan (2) pedagang bukan petani, yang semata berdagang tanaman obat. Pedagang pengumpul desa adalah orang yang melakukan pengumpulan tanaman obat langsung dari petani. Kemampuan pengumpulan rata-rata kurang dari lima ton per bulan. Pedagang pengumpul desa aktif mencari pasokan hingga sumber-sumber yang jauh di pelosok dengan mendatangi rumah-rumah petani atau petani mengirimkan bahan baku ke gudang yang ditunjuk. Petani yang menanam jahe di sekitar lereng gunung misalnya sangat memerlukan kehadiran pedagang pengumpul mengingat lokasi yang sulit dicapai. Pedagang pengumpul desa yang berasal dari komunitas sama dengan petani tanaman obat lebih memahami persoalan di lapangan atau kebutuhan petani sehingga pola hubungan cenderung informal.
Pedagang menengah yang berdomisili di kota kecamatan atau kabupaten memperoleh pasokan baik dari pengumpul desa dan petani. Kemampuan membeli tanaman obat berkisar 25 hingga 50 ton per bulan. Sedangkan pedagang menengah-besar mampu membeli di atas 50 ton per bulan. Pedagang menengah-besar mampu menyediakan gudang penyimpanan dan fasilitas pendukung lainnya seperti areal penjemuran maupun truk pengangkut. Besar kecilnya pedagang pengumpul juga tergantung pada kesanggupan mengumpulkan jumlah maupun jenis komoditasnya. Berdasarkan wawancara nara sumber, pasar tanaman obat mengenal spesialisasi pengumpulan seperti spesialis tanaman obat dasar, daun-daunan, batang atau tanaman obat yang spesifik sesuai kebutuhan. Tanaman obat keluarga Zingiberaceae disebut sebagai bahan baku dasar yang relatif dapat dilakukan oleh setiap pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul biasa mengenakan pemotongan berat tanaman obat yang dipasok petani sebesar 5 % hingga 10 %, yang dianggap sebagai faktor cemaran. Bilamana diketemukan cemaran seperti ranting, tanah dan faktor pemberat lain dilakukan pengecekan total atas seluruh kemasan. Standar pemeriksaan kualitas tanaman obat yang dipasok petani ditinjau dari kenampakan visual, faktor kebersihan, ukuran, dan kebenaran jenis. Pembelian tanaman obat dari petani umumnya dibayar secara tunai. Pendekatan ini disukai oleh petani karena tidak terdapat penundaan dan sederhana. Pedagang pengumpul dengan kemampuan lebih tinggi akan mengolah kembali bahan baku sehingga memiliki nilai tambah. Pada musim penghujan dimana bahan baku sulit diperoleh, harga akan meningkat dan kadang disertai kelangkaan. Sebagai contoh, harga pembelian jahe segar pada bulan Desember 2004, berkisar Rp 3.500,- per kilogran harga irisan kering Rp 25.000,- per kilogram. Penetapan harga jual di tingkat pedagang pengumpul umumnya naik 15 % hingga 20 % dibanding harga pembelian dari petani. Kerjasama pedagang dan petani tidak menggunakan ikatan kontrak formal. Pedagang dan petani bebas menjalin dan memutuskan hubungan. Hubungan yang terjalin antar dua pihak terbentuk atas nilai-nilai :
1. kemampuan memberi harga yang baik 2. saling percaya / hubungan 3. kemudahan 4. kedekatan jarak / hidup di desa yang sama 5. rekomendasi petani sebelumnya Pedagang pengumpul yang ditemui di daerah penelitian tidak terbiasa bergabung pada suatu organisasi satu profesi dengan alasan tidak perlu, membuang waktu, tidak bermanfaat, dan karena persaingan. Kondisi ini oleh Choi et al. (2002) dikatakan sebagai model pemasok-pemasok yang kompetitif. Pengertiannya adalah pemasok diibaratkan memasang dinding pembatas dengan interaksi yang minimum atau tidak terdapat hubungan sama sekali. Pembeli secara independen berinteraksi dengan masing-masing pedagang pengumpul. Aktivitas mencari pasokan
tanaman obat biasa
menggunakan petani yang telah terlebih dahulu menjalin hubungan usaha dan kemudian secara berantai menginformasikan pada petani lain akan adanya pengumpul yang membutuhkan tanaman obat atau mendatangi petani di pusat sumber pasokan. Pedagang tingkat kabupaten umumnya didatangi oleh pengumpul desa dibanding melakukan pencarian ke sumber pasok, terkecuali apabila terdapat kesulitan bahan baku. Hubungan usaha
dengan pengumpul memberikan
manfaat bagi petani, dari segi informasi walau sifatnya terbatas pada kebutuhan
tanaman
obat
dan
tidak
mendalam
seperti
bagaimana
meningkatkan kualitas dan bentuk pembinaan lainnya. Pengumpul desa mengumpulkan tanaman obat dari berbagai desa sumber pasok sejumlah yang dibutuhkan kemudian dilakukan proses sortasi sederhana, dan disalurkan kepada pedagang pengumpul berikutnya. Pedagang pengumpul dimaksud akan melakukan proses lanjutan berupa pembersihan, pencucian, pengeringan, dan pemisahan kelas/grade atau diubah bentuk menjadi irisan kering, bubuk atau sediaan galenik. Jenis komoditas yang diperdagangkan tidak terbatas tergantung dari permintaan, tetapi umumnya
berupa tanaman obat dasar seperti kunyit,
temulawak, jahe, lempuyang, kencur dan kelompok temu-temuan. Ditinjau produk yang dihasilkan dapat dibedakan sebagai berikut : 1.
Petani menghasilkan bahan baku basah/segardalam kondisi bersih tanah.
2.
Pengumpul desa menghasilkan bahan baku basah/segartersortasi dan bersih lanjut.
3.
Pedagang
pengumpul
kabupaten
menghasilkan
bahan
baku
basah/segartersortasi menurut ukuran, bersih, terkemas rapih dan bahan baku irisan kering cerah dan terkemas. Peran petani, pedagang, industri dan proses yang ditangani dapat dilihat pada Gambar 13.
Petani
Uang, info
Harga Jual produk
Pedagang pengumpul desa Uang, info
Harga Jual produk+
Pedagang pengumpul kabuputen Uang Info
Harga Jual produk ++
Proses : budidaya, panen, pascapanen
Proses : pengumpulan, pemisahan,
Proses : olah lanjut – kering/ bubuk, grading, kemasan, label
Rimpang segar. Bersih tanah tidak merata.
Rimpang basah/segarbersi h atau kering
Rimpang basah/segar bersih/ kering iris/ bubuk.
Industri
Gambar 13 Aktor pada rantai pasokan tanaman obat.
Petani berperan sebagai produsen yang menghasilkan tanaman obat segar dengan kondisi tanaman obat bersih dari tanah. Pedagang pengumpul
berperan sebagai perantara yang berfungsi menerjemahkan informasi umumnya berupa jenis, jumlah dan waktu tanaman obat yang harus dipasok. Pembeli berusaha mencari maksimasi utilitas dalam situasi pasar tidak menentu dan berusaha melakukan perhitungan bersifat protektif dalam rangka mengurangi resiko kerugian transaksi. Terdapat dimensi kritis yang mempengaruhi biaya transaksi yakni ketidakpastian kuantitas,
kualitas,
harga, frekuensi transaksi dan penggunaan aset. Tingkat kehilangan saat bertransaksi menjadi tinggi bilamana penyediaan aset tidak dipertimbangkan secara seksama. Kehilangan dimaksud terjadi ketika fasilitas yang disediakan tidak dimanfaatkan, pemborosan tenaga kerja akibat
bahan baku tidak
mengalir sebagaimana waktu ditetapkan. Kondisi ini membentuk perilaku tertentu, seperti penetapan pemotongan kualitas
5 – 10 %, sebagaimana
pada tanaman obat. Terdapat keterkaitan antara harga beli komoditas pada kondisi pasar dan perilaku pembeli tertentu, sehingga terjadi pemberlakuan kesepakatan kontrak yang berbeda antara pembeli dan penjual. Penetapan harga pada kondisi pasokan tanaman obat melimpah, mendorong harga beli turun. Sedangkan pemeriksaan kualitas lebih ketat terhadap pemasok tertentu dibanding lainnya sebagaimana teori biaya transaksi yang diaplikasikan untuk menghindari akikbat kerugian. Hubungan penjual dan pembeli akan mempengaruhi negosiasi keduabelah pihak pada saat transaksi. Peraturan lebih tegas ditetapkan oleh agroindustri farmasi yang melakukan ttransaksi dengan pedagang dimana waktu pengiriman, jumlah, jenis tanaman obat, harga, kemasan dan jenis angkutan ditetapkan secara jelas. Ketidakpatuhan atas aturan yang ditetapkan oleh satu pihak berakibat kerugian pihak lainnya. Secara
umum,
aktivitas
perdagangan
tanaman
obat
dapat
dikelompokkan tiga bagian yakni : mencari dan mengumpulkan aneka tanaman obat, proses pengolahan lanjutan dan pemasaran/pendistribusian. Berdasarkan
masukan
responden,
pendistribusian tanaman obat yakni :
terdapat
beberapa
jenis
jalur
1.
pasokan didistribusikan ke pasar induk, misal pasar induk Jakarta dan Surabaya.
2.
pendistribusian kepada pedagang antar pulau.
3.
distribusi pasokan bagi pemenuhan ekspor.
4.
distribusi pasokan untuk keperluan pedagang antara yang memiliki pesanan pabrik.
5.
pasokan langsung menuju pabrik.
6.
distribusi sedia galenik atas dasar pesanan. Pertimbangan pedagang dalam menentukan harga jual kepada pembeli
berikutnya akan ditinjau dari pegerakkan harga tanaman obat. Resiko yang ditanggung pedagang yang menempati urutan pertama adalah harga diikuti kerusakan dalam penyimpanan. Apabila pedagang pengumpul berkeinginan menarik petani sebagai sumber pemasok berjangka panjang maka nilai utama adalah : 1.
kemampuan pasokan,
2.
kestabilan kualitas,
3.
pemenuhan jadwal kirim. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kaum perempuan lebih
mengambil peran sebagai negosiator dalam melakukan
transaksi,
pengecekan kualitas dan menentukan keputusan membeli atau menjual. Adapun tenaga lelaki berperan besar dalam hal pencarian sumber pasokan, pengelolaan bahan baku dan pendistribusian ke lokasi penyimpanan pembeli.
5.6. Agroindustri farmasi Agroindustri
farmasi
penghasil
fitofarmaka
mempersyaratkan
kandungan zat aktif standar sesuai dengan persyaratan dosis. Karenanya, industri melakukan pemetaan kandungan zat khasiat aktif optimal dari daerah sumber pasokan. Namun rendahnya kemampuan pasokan bahan baku petani dan kestabilan kualitas menambah kesulitan pemrosesan di tingkat pabrikan. Industri lebih memilih membeli dari pedagang dengan alasan keamanan, kepercayaan, bahan baku sudah terklasifikasi, dan dikemas.
Industri menetapkan jumlah pesanan bahan baku untuk setiap satuan pengiriman dimana jumlah tersebut kurang memungkinkan dipenuhi oleh petani. Petani mampu memasok bahan baku ke industri apabila bergabung dalam satu kelompok. Pemasok baru yang belum tercatat di dalam daftar rekanan pemasok harus memasukkan sampel terlebih dulu dan apabila diterima baru kemudian diterbitkan surat pemesanan. Beberapa responden pengumpul menyatakan tidak mudah untuk diterima sebagai rekanan karena harus memenuhi persyaratan yang ketat mencakup kemampuan pasok, kontinuitas pasokan, kestabilan kualitas dan kualitas serta kemampuan pengelolaan. Prosedur pembelian oleh agroindustri farmasi dimulai dari tahapan : (1) penerimaan sampel, (2) penetapan pesanan pembelian disertai ketetapan jadwal pengiriman, (3) penyerahan barang, (4) pemeriksaan kualitas, (5) pembayaran. Prosedur pembelian demikian dipandang oleh petani terlalu birokratis dan menyita waktu. Cara pembayaran yang dilakukan industri kurang fleksibel dibandingkan pedagang pengumpul dimana pembayaran ditetapkan tiga minggu hingga dua bulan kemudian. Berbeda dengan pembelian bahan baku oleh pedagang pengumpul yang dilakukan secara tunai. Bahkan terhadap petani yang sudah sangat dikenal, pedagang pengumpul dapat saja bertindak meminjamkan dana bilamana terdapat kebutuhan mendesak yang dianggap sebagai pembayaran dimuka. Hubungan industri dengan pemasok memiliki pola : a) industri – pedagang pengumpul, b) industri – kelompok petani, dan c) industri lembaga perantara Berdasarkan informasi responden pola hubungan industri dan pedagang pengumpul paling banyak ditemui. Pembelian langsung kepada petani terutama dilakukan melalui kelompok petani terutama hasil pembinaan atau melalui lembaga perantara yang menjalin hubungan dengan petani. Lembaga dimaksud seperti balai penelitian sebagaimana dilakukan kerjasama oleh BPTO Tawangmangu.
Terdapat tujuh aspek yang menjadi pertimbangan agroindustri farmasi dalam pengadaan bahan baku dan hubungan dengan pemasok berdasarkan hasil wawancara responden sebagaimana dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Aspek pengadaan bahan baku industri No
Aspek
1
Harga
2
Sediaan (stock)
3
Seleksi pemasok
4
Pembelian
5
Pembayaran
6
Pengiriman dan penerimaan
7
Kerjasama
Deskripsi Ditetapkan berdasar harga yang berlaku di pasar. Industri akan membandingkan posisi pasokan dan permintaan untuk perkiraan tahun mendatang Diputuskan berdasarkan rencana pemasaran, rencana produksi tahun mendatang, posisi stock tersedia, dan ketersediaan pasokan Ditinjau dari hasil sampel yang dikirimkan, kemampuan pasokan, kesediaan memenuhi persyaratan dan dalam bentuk terbatas dilakukan tinjauan lokasi permrosesan. Pembelian terbatas dalam jangka pendek, setelah persyaratan dipenuhi. Hubungan lebih lama didasarkan pada kinerja pemasok. Ditentukan dari keseluruhan hasil pemeriksaan kualitas pasokan baik pemerian maupun uji laboratorium, dan bilamana administrasi telah selesai. Terhadap pemasok baru, melalui pengiriman sampel dan pasokan dalam skala percobaan dengan pemeriksaan lengkap. Dijalin sebagai bagian dari hubungan pemasok, khususnya terhadap pemasok yang telah berhubungan lama. Pembinaan ditujukan pada penanganan pascapanen.
Masyarakat peminum jamu berdasarkan wawancara responden ahli dari industri, umumnya berasal dari segmen bawah yang peka terhadap harga. Harga jamu di beberapa gerai penjualan berdasarkan pengumpulan data bulan Desember 2004, berkisar antara Rp 700 – Rp 1.000,- per sachet ukuran 7 gram dengan kandungan lima hingga delapan jenis tanaman obat.
Tidak terdapat standarisasi untuk tujuan yang
penggunaan tanaman obat antar industri
sama. Sebagai contoh,
jamu sehat lelaki akan
mengandung tanaman obat yang berbeda antar satu industri dengan industri lainnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kandungan tanaman obat pada jamu No
1
Keterangan Jenis
Curcuma.
Curcuma
Zingiber
Zingiber
Zingiber
Jamu
xanthoriza
domestica
officinale
aromatica
purpurei
rizhoma
rizhoma
Temulawak
Kunyit
Jahe
Lempuyang
Bengle
Lengkuas
Kencur
x
x
x
x
Jerawat Nirmalasari (AM)
2
Encok (AM)
x
3
Benkwat (AM)
x
4
Kuat Majun (AM)
5 6
Sehat lelaki (AM) Jaket Jampur sari (AM)
x
7
Sesak Napas (AM)
x
8 9
Sanggageni (AM) Sehat P erempuan (AM)
10
Tujuh Angin (AM)
11
RaLinu (AM)
x
12
Seger (AM)
x
13
Pegal Linu (SM)
x
14
Sehat wanita (SM)
x
15
Galian Sehat (NM)
x
Languatis Kampferia
x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x
x
x x
x
x
x x
x x
x x
x x
x x x
x
AM = Air Mancur SM = Sidomuncul NM = Nyonya Meneer
5.7. Identifikasi Resiko Berdasarkan analisis resiko, petani menghadapi kemungkinan kerugian atau kehilangan/ losses disebabkan gagal panen, panen yang tidak optimal maupun kehilangan karena penangangan pascapanen yang kurang baik, resiko kerusakan saat pengiriman dan kerugian harga. Kondisi harga yang ditetapkan
pengumpul
cenderung
diterima
mengingat
kemampuan
pemenuhan kualitas bahan baku pasokan, terkecuali bilamana tanaman obat tertentu sedang sulit diperoleh. Contohnya, tanaman harga selama tiga kali
masa pengamatan sejak tahun 2003 berada pada harga yang lebih tinggi dibanding tanaman obat satu keluarga Zingiberaceae, karena kekurangan pasokan. Apabila kondisi dimaksud terjadi, maka posisi tawar petani menjadi lebih kuat sehingga petani leluasa memilih pembeli yang dapat memberikan harga lebih baik. Gejolak harga dapat mengakibatkan pedagang pengumpul menderita kerugian. Kondisi ini terjadi ketika harga jual bahan baku tiba-tiba menurun sehingga harga pembelian dari petani beberapa waktu sebelumnya menjadi lebih tinggi. Seorang pedagang pengumpul maupun industri harus memiliki ketajaman pengamatan terhadap harga, kemampuan menganalisis pasokan dari berbagai daerah dan perkiraan tanaman obat yang masih tersimpan di beberapa pedagang besar atau di gudang industri, perkiraan
produksi
industri, baru kemudian mengambil keputusan secara tepat apakah sudah saatnya menjual bahan baku yang dimiliki atau tersimpan di gudang. Pedagang pengumpul juga menghadapi resiko kerugian akibat pasokan tercemar benda asing hasil dari perilaku petani yang kurang jujur maupun cara penanganan pascapanen yang kurang baik. Campuran tanah, ranting, daun dan kotoran lain, bila tidak diperhatikan secara seksama pada saat penerimaan bahan baku dari petani akan merugikan pengumpul. Tidak saja mengurangi berat bersih dari tanaman obat yang diterima, tetapi juga memerlukan
tambahan
aktivitas
melakukan
pembersihan
dengan
mengerahkan tenaga buruh. Pemberat bahan baku merupakan cara tidak etis yang dilakukan petani agar memperoleh pendapatan tinggi. Namun, perilaku tersebut mendorong pedagang
pengumpul
melakukan
tindakan
pencegahan
dengan
memberlakukan potongan berat 5 – 10 % yang dinyatakan sebagai faktor cemaran dan mencatat petani yang terbukti telah melakukan pelanggaran dengan kemudian hari tidak lagi bersedia menerima pasokan dari petani dimaksud. Resiko lain yang dihadapi pedagang adalah penyusutan berat bahan baku segar bilamana tidak segera dijual adalah
kerusakan penyimpanan
seperti patah, kulit keriput, busuk, dan perubahan warna kenampakan visual.
Pihak yang memiliki kendali lebih kuat dapat mengalihkan resiko kepada pihak lain, berbeda dengan petani yang sulit untuk melakukan hal serupa kepada pihak manapun. Bilamana pembeli menemukan kondisi bahan baku tidak memenuhi persyaratan, pembeli dapat melakukan tindakan untuk mengurangi resiko dengan cara : 1.
penurunan/pemotongan harga beli bahan baku
2.
pengenaan potongan kualitas lebih besar dari 5 %
3.
pengurangan frekuensi pasokan,
4.
pengawasan lebih ketat dan inspeksi 100 %
5.
penangguhan pengiriman
6.
penghentian pembelian Pemasok yang diketemukan masih mempunyai perilaku kurang etis
dengan memberikan tanaman obat yang tidak sesuai persyaratan standar kualitas. Pengenaan potongan kualitas adalah sebagai bentuk pinalti atas kontaminan yang sengaja disisipkan atau karena faktor penanganan pascapanen yang kurang baik. Pihak pembeli dapat bertindak selaku pengendali bagi pihak lainnya dengan standar perlakuan yang ditetapkan bagi kepentingan operasional. Luas cakupan pengendalian akan berbeda satu sama lain tergantung pada upaya mengamankan standar dan kelancaran aliran pasokan. Pengertian pengendalian adalah kekuatan untuk mengatur atau menetapkan ketentuan yang harus dipatuhi oleh pihak pemasok. Konsekwensi pemasok yang kurang mampu memenuhi persyaratan industri akan berakibat tidak dipilih sebagai pemasok. Kedudukan pemasok lebih mudah dihilangkan dan dapat digantikan dengan pemasok lainnya. Sebagai contoh, industri dapat mewajibkan pemasok memenuhi ketentuan antrian pengiriman. Terhadap pemasok yang tidak memenuhi ketentuan akan berakibat terkena penjadwalan ulang yang sudah tentu akan berdampak pada penambahan biaya operasional yang dipergunakan untuk sewa kendaraan atau membayar supir dan buruh. Lama proses penyelesaian setiap satuan pengiriman tergantung jumlah kemasan
yang diangkut dan kecepatan penimbangan. Pemasok dalam urutan berikut harus menunggu proses pemeriksaan pemasok sebelumnya. Dibandingkan dengan industri, pengendalian di tingkat pedagang pengumpul relatif lebih fleksibel dan lebih leluasa melakukan negosiasi. Pedagang pengumpul lebih melihat siapa petani pemasok berdasarkan kinerja lalu. Bilamana catatan pengiriman di masa lalu tidak pernah menghasilkan cacad yang tinggi, maka kemasan relatif tidak dibongkar seluruhnya tetapi cukup secara sampel acak. Resiko industri dapat diakibatkan oleh pihak pada rantai pasok sebelumnya dan kelemahan internal dari industri sendiri. Bilamana kondisi ini terjadi, maka tanggungan resiko industri mencakup
bidang operasional,
pemasaran, dan keputusan manajemen. Variasi kualitas bahan baku sebagai contoh, merupakan bentuk resiko disebabkan pihak pada rantai sebelumnya. Apabila kondisi ini ditemui, pihak industri akan menetapkan keputusan operasional seperti pemeriksaan ulang, penataan kembali proses persiapan bahan baku dan perubahan perhitungan produksi. Produk obat tradisional umumnya mengandung lima jenis tanaman obat. Kontinuitas pasokan dari seluruh jenis tanaman sangat menentukan kelancaran produksi. Kelangkaan pada salah satu jenis tanaman obat, akan beresiko gangguan produksi produk tersebut walaupun tanaman obat lainnya telah tersedia. Sebagian resiko industri dapat dialihkan pada rantai pasokan sebelumnya, tetapi kesalahan akibat kebijakan dan keputusan manajemen lebih ditanggung oleh pihak industri. Kesalahan mengantisipasi pergerakan pasar dan berakibat pada ketidaktepatan keputusan manajemen atas perencanaan pengadaan bahan baku dan pengaturan aliran pasokan, akan menjadi tanggungan industri. Pembelian bahan baku dalam jumlah besar saat panen raya, berakibat diperlukannya pengaturan penyimpanan secara baik dan kebutuhan kapasitas gudang. Penyimpanan
dalam
jangka
lama
memerlukan
pencahayaan,
kelembaban, kebersihan, penyusunan agar terhindar dari kerusakan bahan baku berupa kontaminasi, perubahan kenampakan dan kandungan senyawa
aktif. Bentuk pengendalian pemasok yang dilakukan industri dan pedagang diklasifikasikan : pengendalian atas produk, pasokan, harga dan perlakuan. Yang dimaksudkan dengan pengendalian produk adalah ketentuan bentuk pasokan dalam jenis segar, atau kering dengan persyaratan bentuk, ukuran, kadar air, kenampakan visual dan berat per rimpang. Tabel 13
berikut ini memperlihatkan ruang lingkup proses yang
dilakukan pada masing-masing mata rantai, resiko dan komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak. Tabel 13 Proses – Resiko – tanggungan biaya pada rantai pasokan Keterangan Petani Proses
Budidaya Pascapanen Penyediaan bahan baku basah/segar
Resiko
Rusak panen Rusak pascapanen Rusak seleksi rimpang segar/basah/segar Kerusakan saat pengiriman Resiko harga
Biaya
Budidaya Proses panen Pascapanen Pengangkutan
AKTOR Pedagang pengumpul Sortasi basah/segar Perajangan Pengeringan menjadi bentuk kering tipis Penggerusan menjadi bubuk Pengemasan Peracikan menjadi sediaan galenik Kontaminan Kerusakan saat penyimpanan Kerusakan saat pengiriman Kerugian saat menunggu antrian pemeriksaan pabrik Fluktuasi harga Sortasi Perajangan pengeringan Penyimpanan Pengiriman
Agroindustri farmasi Pengolahan produk jadi, diawali dengan persiapan bahan baku Penelitian Pemasaran Keragaman kualitas bahan baku Pemrosesan ulang Penambahan sumber daya dan modal kerja
Proses ulang dan Kualitas rendah Variasi proses Pemeriksaan
Pengendalian pasokan adalah ketentuan frekuensi pengiriman per satuan waktu, waktu atau jadwal pengiriman yang terdiri hari dan jam pengiriman, jumlah pengiriman dan dalam kasus tertentu menetapkan jenis angkutan berupa angkutan truk ukuran tonase tertentu. Pengendalian harga juga dilakukan pembeli berupa penetapan harga pembelian per kilogram, pengurangan harga bilamana kualitas tidak memenuhi syarat dan cara pembayaran. Untuk memperoleh tingkat kualitas pasokan, pembeli industri akan menetapkan pemeriksaan kualitas, pemrosesan administrasi dan pengaturan tertentu. Tabel 14 Bentuk pengendalian vertikal Katagori Produk Pasokan
Harga Perlakuan
Bentuk pengendalian Jenis produk Kemasan Standar Produk Frekuensi Pasokan Waktu pengiriman Jumlah per pengiriman Jenis angkutan Penetapan harga Bentuk pinalti Cara pembayaran Pemeriksaan kualitas Prosedur pemrosesan Petugas pengiriman
T= tinggi; S = Sedang; R = Rendah
Intensitas Industri Pedagang T T S R T S T S T S T R R R T S S R T R S S R R S
R
VI. REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN Tujuan manajemen rantai pasokan dalam penciptaan nilai, profitabilitas, dan keunggulan bersaing dari perspektif pembeli, didekati melalui konsep jaringan yang memfokuskan pada keterhubungan pemasok-pemasok secara kooperatif. Pemasok satu dan lainnya yang bergabung dalam satu jaringan saling bertukar informasi, sehingga lebih memahami kebutuhan pembeli dan pencapaian tujuan dibandingkan apabila dilakukan sendiri. Kkarakteristik jaringan yang menekankan pada hubungan antar pihak menurut Choi et al. (2002); Barba et al. (1998) mempersyaratkan perilaku: kemauan bekerja bersama secara erat, berbagi keahlian, pengetahuan teknologi, aset maupun sumber daya yang akhirnya memberikan kepuasan bagi pelanggan yang menjadi tujuan pasokan. Teori jaringan yang telah dibangun oleh peneliti terdahulu, direkayasa pada sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi dimana rantai pasokan distruktur ulang sehingga memungkinkan terjalin keterhubungan horisontal antar pemasok dan selanjutnya secara vertikal menjalin hubungan dengan pembeli industri. Jaringan diharapkan menyatukan sumber daya yang terpisah-pisah,
keragaman
kemampuan petani, menjadi kegiatan yang mencakup aspek pemasaran, produksi, pembiayaan, legalitas sehingga mampu menjawab tantangan usaha. Mengingat terdapatnya orang-orang, fasilitas, aliran fisik dan informasi maka diperlukan pengorganisasian aktivitas, sehingga jaringan juga ditinjau dari aspek organisasi. Hakekat berjejaring bukan dilandasi oleh semangat siapa memanfaatkan siapa, tetapi memadukan berbagai kekuatan yang dimiliki masing-masing anggota untuk menutup setiap kelemahan yang dimiliki. Kondisi masyarakat jaringan akan membentuk komposisi yang semula ruang hubungan manusia direstruktur menjadi jaringan socio technological akibat peningkatan pemahaman kehidupan ekonomi modern dan sosial (Murdoch, 2000).
6.1. Aliran Bahan Baku Bahan baku mengalir dari petani melalui satu hingga tiga pedagang pengumpul pada rantai pasokan sebelum sampai ke industri (lihat tabel 15). Walaupun terdapat spesialisasi pengumpulan bahan baku tanaman obat, tetapi rata-rata pengumpul memperdagangkan aneka tanaman obat jenis rimpang, akar, daun, maupun buah. Daerah pengumpulan tergantung kemampuan masing-masing pengumpul dalam menjangkau desa sumber pasokan hingga lokasi terpencil. Dengan kehadiran jaringan, bahan baku mengalir dari petani ke industri sesuai dengan pengaturan dari pusat lembaga guna memenuhi kebutuhan industri. Kendala kemampuan petani yang terbatas untuk mencukupi permintaan industri dipecahkan dengan menghimpun sejumlah petani yang berdekatan yang berhimpun dalam satu kelompok.
Tabel 15 Aliran bahan baku pada rantai pasokan Aktor
Kondisi saat ini
Petani H bahan segar Pengumpul desa (P1)
Keterangan Bahan segar, dengan harga lokasi petani, bahan belum terklasifikasi Bahan segar bersih kotoran – tanah.
Pedagang (P2)
h Bahan segar
Pedagang (P3)
h Jenis bahan
Industri Eksportir
Rekayasa sistem
terklasifikasi/kering
h
(segar,kering,serbuk), grading, kualitas lebih tinggi. 1.Produk jamu/fitofarmaka 2.Bahan kering/serbuk terkemas
h = perbedaan harga
6.2. Analisis Kualitas dan Elemen Kunci Jaringan 6.2.1. Hasil analisis harapan konsumen Harapan konsumen tanaman obat terlebih dahulu dipelajari agar bahan baku diproses sesuai yang dikehendaki. Pendekatan quality function
deployment,
diawali
dengan
memperoleh
informasi
persyaratan kualitas tanaman obat melalui wawancara responden. Dari hasil wawancara, diperoleh tujuh atribut kualitas yakni : pemenuhan persyaratan kadar air dan kebersihan bahan baku, kontinuitas, jumlah pasokan, kandungan metabolit sekunder bahan baku. Adapun ketersediaan alat pemrosesan, dan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki pemasok merupakan persyaratan pelengkap yang apabila dipenuhi akan memberikan nilai lebih baik dibanding pemasok lain dan keyakinan kepada pembeli. Hasil pengolahan menggunakan teknik QFD sebagaimana gambar 14 menunjukkan kadar air memiliki bobot paling tinggi, diikuti dengan persyaratan kebersihan dari cemaran. Kondisi dimaksud menunjukkan kadar air merupakan persyaratan bahan baku yang sangat diminta konsumen. Kadar air simplisia kering umumnya ditetapkan
10 %. Bilamana kadar air bahan baku lebih tinggi akan
mempercepat kerusakan bahan baku selama penyimpanan karena rawan ditumbuhi mikroba. Agroindustri farmasi biasanya membeli bahan baku dalam jumlah besar kemudian disimpan untuk masa enam bulan atau lebih sampai saat pengolahan. Atribut berpasangan
kualitas dengan
yang
diperoleh,
aspek proses
kemudian
pengolahan.
dianalisis
Hasil
olahan
keterkaitan antara kriteria kualitas dan aspek proses menunjukkan nilai tingkat kepentingan (TK) proses pengeringan tertinggi 102 diikuti pemilahan 98. Nilai relatif karateristik proses yang merupakan pembagian antara tingkat kepentingan proses dibagi jumlah total nilai kepentingan masing-masing, diperoleh hasil 0,15 untuk
aspek
pengeringan. Hasil QFD memberikan kesimpulan bahwa pengeringan
dan pemilahan bahan baku harus dikendalikan agar kualitas bahan baku terwujud. Hasil perhitungan rasio target pencapaian kualitas dan kenyataan menunjukkan kandungan nilai rasio persyaratan kualitas metabolit sekunder 1,33, kontinuitas pasokan 1,33 dan kebersihan/kemurnian 1,25. Hasil tersebut menunjukkan kinerja pasokan bahan baku saat ini masih belum memenuhi harapan. Analisis perbandingan berpasangan antar proses satu dan lainnya dimaksudkan untuk mengkaji keeratan korelasi satu proses dan lainnya. Dengan pengertian terdapat keluaran dari satu proses yang akan langsung berakibat pada proses berikut. Hasil perbandingan antar proses perajangan dan pengeringan berkorelasi sangat erat (++).
Kondisi ini menyimpulkan proses
perajangan mempengaruhi pengeringan sehingga perlu dikendalikan. Setiap keluaran proses perajangan yang tidak memenuhi kriteria proses pengeringan berkibat pengeringan tidak berjalan sempurna. Sebagai contoh : perajangan yang terlalu tebal berakibat pengeringan berlangsung lebih lama. Perajangan yang terlalu tipis mendorong tingkat kehilangan lebih tinggi karena lebih mudah hancur. Ketepatan perajangan membantu lama proses pengeringan secara alamiah. Ketebalan pengirisan dan luas penampang irisan menjadi penting. Irisan dengan ketebalan yang tepat, rata dan lebar membantu sinar matahari atau panas pengering buatan mengenai seluruh bidang secara merata. Mengingat umumnya industri membeli dalam bentuk irisan kering, maka proses perajangan yang tepat perlu diturunkan kepada anggota jaringan sehingga keluaran dari masingmasing proses memiliki kualitas hasil yang sama. Proses perajangan dilakukan oleh buruh perajang secara manual atau menggunakan alat bantu.
Proses yang menunjukkan berkorelasi erat ditandai dengan kode + yakni : -
pembersihan dan pencucian,
-
pemeriksaan dan pengemasan,
-
pemilahan dan pemerikaan
-
pengelolaan lahan dan dana.
Proses pembersihan berkorelasi erat dengan pencucian dengan penjelasan bahwa bahan baku lepas panen harus dipisahkan dari tanah, sulur, daun, dan akar kemudian dicuci menggunakan air bertekanan atau dalam bak pencucian. Pembersihan dimulai saat tanaman obat selesai dipanen dan dibersihkan oleh petani. Petani adalah pihak pertama yang mengolah tanaman obat segar. Bahan baku yang tidak bersih akan mempercepat tumbuhnya mikroba yang mengganggu proses berikutnya. Bahan baku yang mengandung kontaminan selain berakibat dikenakan peningkatan potongan pinalti, juga
menurunkan
kepercayaan
pembeli.
Proses
pemeriksaan
berhubungan dengan pengemasan untuk mencegah bahan baku tidak sesuai standar, tidak lolos kepada pembeli. Melalui hubungan berpasangan antar dua proses, membantu anggota memahami pentingnya pengendalian yang menjamin setiap keluaran proses sesuai dengan persyaratan proses berikutnya. Melalui pendekatan QFD, tergambar secara jelas korelasi harapan pelanggan dan
proses
sehingga
jaringan
perlu
memperhatikan
menjabarkan pada langkah-langkah operasional.
dalam
Gambar 14 Hasil final matriks rumah mutu – QFD.
6.2.2. Analisis elemen kunci pembentukan jaringan Guna menstrukturikan jaringan, elemen–elemen kunci
dikaji
menggunakan Intrepretative Structural Modeling - ISM yang mencakup tujuan sistem rantai pasokan, kendala, dan aktivitas dalam pembentukan sistem, serta perubahan yang diharapkan. Dari setiap elemen dibagi menjadi
sejumlah
menggambarkan memberikan
sub-elemen
situasi.
pengertian
dalam
Penelaahan mendalam
mencapai pemecahan terbaik.
jumlah setiap
memadai
yang
sub-elemen
akan
pembentukan
jaringan
guna
1. Tujuan Pembentukan Jaringan Struktur berjenjang dari elemen tujuan terbagi menjadi sejumlah
sub-elemen
yang
dikaji
hubungan
kontekstual.
Penjenjangan struktur diperlukan untuk lebih menjelaskan hal yang dikaji (Eriyatno, 1999). Sub-elemen tujuan yang terletak pada hirarki lebih tinggi beroperasi dengan jangka waktu yang lebih lambat dan mencakup tujuan pada tingkat yang lebih rendah. Terdapat tujuh subelemen tujuan jaringan berdasarkan masukan petani sebagaimana diuraikan pada Tabel 16. Harapan utama petani adalah perbaikan pendapatan sehingga memberikan peluang terwujudnya kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan dimaksud, terdapat sub-sub elemen tujuan lainnya yang harus diperhatikan. Tabel 16 Elemen tujuan Kode
Sub-elemen
Deskripsi
E1
Kesejahteraan petani
Kemampuan jaringan untuk memberikan manfaat bagi petani secara finansial.
E2
Kelangsungan hubungan anggota
Lama periode bertahan petani sebagai anggota dan aktif memberikan kontribusi. Dengan kata lain, petani merasakan manfaat bergabung.
E3
Kelangsungan hubungan pembeli
E4
Perluasan pasar
E5
Operasionalisasi fungsi jaringan
E6
Tercapainya kualitas pengelolaan
E7
Terwujudnya sistem organisasi
Lama waktu pembeli memanfaatkan produk jaringan dalam memenuhi kebutuhan pasokan tanaman obat Merupakan kemampuan pertambahan jumlah pembeli yang tersebar di beberapa tempat. Sejauh mana jaringan mampu melaksanakan fungsinya seperti pengadaan/pengumpulan, pembinaan, pemasaran, dan pengelolaan. Adalah kesanggupan organisasi dalam mengelola kepercayaan anggota, dan manajemen anggota. Adalah kesanggupan membuat prosedur dan tata cara pengorganisasian yang efektif .
Berdasarkan hasil olahan
hubungan kontekstual tersusun
Structural Self Interaction Matrix (SSIM) menggunakan simbol V, A, X dan O dan pada tabel reachability matrix simbol dimaksud diganti menjadi bilangan 1 dan 0 dimana simbol 1 terdapat hubungan kontekstual dan simbol 0 tidak terdapat hubungan kontekstual. Hasil SSIM final yang memenuhi syarat transivity rule dengan pengecekan aturan lingkaran sebab akibat dari hubungan kontekstual yang telah dikoreksi diwujudkan dalam bentuk matriks
tertutup,
sebagaimana
Tabel 17. Tabel 17. Hasil reachability matrix final elemen tujuan E1
E2
E3
E4
E5
E6
E7
DEP
DRP
E1
1
0
0
0
0
0
0
7
1
E2
1
1
0
1
1
1
0
6
5
E3
1
1
1
1
1
1
0
2
6
E4
1
1
0
1
1
1
0
6
5
E5
1
1
0
1
1
1
0
6
5
E6
1
1
0
1
1
1
0
6
5
1
1
1
1
E7 DRP DEP
1 1 Driver Power Dependence
E5 = Operasionalisasi Fungsi Jaringan E4 = Perluasan pasar E3 = Kelangsungan hubungan pembeli E2 = Kelangsungan hubungan anggota E1 = Kesejahteraan petani
*
1 1 Elemen Kunci
7
E6 = Kualitas pengelolaan anggota E7 = Struktur dan Sistem
Hasil pengolahan reachibility matriks yang telah memenuhi aturan transivity tersebut tersusun struktur berjenjang dari elemen tujuan sebagaimana dinyatakan pada Gambar 15 dimana E7 struktur dan sistem organisasi jaringan berada pada
tingkat paling bawah hirarki dan
dinyatakan sebagai sub-elemen kunci.
E 1 KESEJAHTERAAN PETANI
E 2
KELANGSUNGAN HUBUNGAN ANGGOTA
PENCAPAIAN PERLUASAN PASAR
E 4
E 5
FUNGSI JARINGAN
E 6
KUALITAS PENGELOLAAN ANGGOTA
E KELANGSUNGAN 3 HUBUNGAN PEMBELI
E 7
STRUKTUR & SISTEM ORGANISASI
Gambar 15 Struktur hirarki dari elemen tujuan.
Dependence 8
sektor IV
E7
D r i v e r p o w e r
sektor III
7
E3
6
E2, E4, E5, E6
5 4 0
1
2
3
3
4
5
6
7
8
2 1 sektor I
0
E1 sektor II
Gambar 16 Matriks DP-D elemen tujuan.
Sub-elemen struktur jaringan menetapkan siapa yang menjadi anggota, garis komunikasi, prosedur dan pengorganisasian yang memungkinkan anggota berinteraksi dalam berbagi pengetahuan, keterampilan, informasi akses pasar atas prinsip kepercayaan.
Sub-elemen sistem organisasi jaringan mengatur keterhubungan proses dan tingkatannya, pembagian
tanggungjawab proses kepada
anggota sesuai keahlian dan pengetahuan teknologi yang dimiliki. Penetapan sistem berimplikasi pada pengaturan aliran bahan baku, informasi, uang, pengetahuan. Dengan kata lain, sinkronisasi proses mendorong mengalirnya fisik material, informasi dan sumber daya lainnya guna memenuhi preferensi konsumen. Hak kepemilikan anggota, konvensi atau aturan yang jelas mengajarkan anggota cara beroganisasi, berbagi manfaat bersama, sehingga anggota aman bergabung di dalam jaringan. Sub-elemen kunci struktur dan sistem pada disertasi ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Barba et al. (1998) yang menekankan kepemimpinan sebagai elemen kunci. Transparansi dan kejelasan menjadi penting dalam membangun kepercayaan untuk mencegah kondisi oportunistik salah satu pihak. Akibatnya, terjadi perubahan kepemilikan informasi menjadi pembagian informasi. Merujuk pada uraian Evans dan Danks (1998), faktor yang mempengaruhi manajemen rantai pasokan adalah : strategi sumber, pengelolaan permintaan dan penawaran serta integrasi pasokan yang akan membentuk struktur dan variabilitas yang berciri sesuai dengan aliran bahan baku. Mekanisme pengelolaan bahan baku dilakukan dengan menganalisis informasi permintaan dan kemudian diturunkan kepada anggota melalui kelompoknya. Permintaan bahan baku dari agroindustri farmasi kemungkinan mempunyai persyaratan spesifik seperti menyebutkan asal daerah sumber bahan baku yang diinginkan. Dengan demikian akan terdapat variasi aliran permintaan dan pasokan. Pengaturan operasional pembagian permintaan untuk setiap anggota diselesaikan dengan fasilitasi fasilitator agar pemenuhan permintaan cepat dan sesuai. Struktur jaringan diatur fleksibel yang memungkinkan anggota berkreasi menjawab dinamika di lapangan dan tidak mengalami hambatan birokrasi. Fleksibilitas dicapai ketika pasokan dapat mengalir dari lokasi
sumber langsung menuju gudang tujuan berdasarkan pertimbangan biaya dan efektivitas atau mungkin melalui pemrosesan terlebih dulu di luar lokasi sumber. Hasil ISM menyatakan bahwa posisi
sub-elemen kesejahteraan
anggota yang berada pada hirarki level
pertama dinilai mudah
mengalami goncangan bilamana elemen pada hirarki sebelumnya kurang diperhatikan. Sub-elemen pada level kedua dari elemen tujuan adalah kelangsungan hubungan (E2), perluasan pasar (E4), operasionalisasi fungsi jaringan (E5), dan kualitas pengelolaan anggota (E6). Seluruh sub-elemen tujuan tersebut dinilai sama penting ditandai dengan tanda panah bolak balik yang menunjukkan keempat elemen pada level dua mempunyai tingkatan yang sama dan saling berpengaruh. Pengelolaan fungsi jaringan sebagaimana tertera pada hirarki kedua, dapat
meningkatkan
kesanggupan
memenuhi
harapan
pelanggan
sebagaimana telah diuraikan pada analisis QFD. Ditinjau dari matriks driver power-dependence pada Gambar 16, struktur dan sistem jaringan (E7) berada pada sektor independent, sehingga dinilai sebagai sub-elemen pendorong yang kuat sedangkan subelemen kesejahteraan petani (E1) merupakan sub-elemen dependen yang dipengaruhi oleh pencapaian tujuan lainnya. Sub-elemen (E2,E4,E5,E6) berada pada sektor linkage yang memberi pemaknaan sebagai peubah pengait sistem. Setiap tindakan pada sub-elemen tersebut akan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan jaringan. Gangguan terhadap hubungan anggota akan mempengaruhi pencapaian pengumpulan bahan baku. Demikian pula bilamana pengelolaan anggota tidak terlaksana dengan baik, akan mengganggu kelangsungan fungsi jaringan yang mewakili kepentingan anggota. 2. Kendala Sistem Rekayasa
sistem
pasokan
berbasis
jaringan
membutuhkan
pengorganisasian untuk mengatur permintaan, penawaran pasokan, informasi, dan uang. Mengubah perilaku petani dari semula terbiasa pada
mekanisme pedagang pengumpul yang lebih lentur, ke arah tuntutan jaringan pada pemberdayaan diri dan pemenuhan persyaratan yang ketat dalam empat bidang tersebut di atas memungkinkan timbulnya kendala. Analisis kendala sistem penting untuk mengkaji kemungkinan terjadi dan sub-elemen apa yang memberikan pengaruh. Terdapat tujuh penjabaran sub-elemen kendala dalam membangun jaringan dengan deskripsi sebagai berikut : a.
Fasilitas jaringan Fasilitas yang terkait pada budidaya, pengolahan pascapanen, penyimpanan maupun distribusi diperlukan untuk menghasilkan bahan baku berkualitas sesuai harapan konsumen. Pengadaan fasilitas menjadi faktor yang mempengaruhi keunggulan bersaing jaringan. Pembeli akan menilai sejauh mana kredibilitas pemasok memenuhi persyaratan. Selain itu ketersediaan fasilitas ini penting dalam mendukung proses untuk menghasilkan bahan baku berkualitas maupun bagi keperluan penyimpanan.
b.
Meyakinkan anggota Alasan memasukkan sub-elemen ini sebagai salah satu kendala,
mengingat
petani
terbiasa
berhubungan
dengan
pengumpul sehingga kemungkinan terpola suatu pandangan tersendiri. Suatu pendekatan baru dan belum dikenal akan memunculkan pertanyaan, fase membandingkan apa yang yang ditawarkan oleh jaringan dengan pedagang pengumpul. Anggota akan menimbang sejauh mana manfaat diperoleh, dan keyakinan berjalannya sistem. Penjelasan mengenai pengertian, manfaat dan fungsi jaringan secara distinktif memperjelas apa yang menjadi tujuan, mekanisme dan manfaat yang diperoleh sehingga muncul dorongan untuk bergabung. c.
Permodalan Kendala permodalan umum dihadapi petani dan kelembagaan desa. Kurangnya perhatian dan peraturan birokrasi lembaga pembiayaan dari aspek kondisi, kolateral, penilaian kapasitas calon
pencari kredit menahan turunnya aliran kredit pinjaman atau menyurutkan
calon
nasabah
untuk
mengajukan
kredit.
Ketidakmampuan menyediakan modal kerja maupun investasi akan menghambat aktivitas jaringan dalam membeli dan menyalurkan bahan baku. Di sisi lain, jaringan memerlukan tahapan sosialisasi ke sentra – sentra pasokan untuk menyakinkan petani, dan menyiapkan fasilitas dimana seluruh aspek tersebut memerlukan dana investasi. Dengan demikian sub-elemen permodalan menjadi penting untuk dikaji. d.
Meyakinkan pihak pembeli Sebagai pemasok baru yang belum tercatat terdaftar sebagai pemasok
industri
kemampuan
agar
memerlukan terbangun.
usaha
untuk
Kegagalan
menjelaskan
pendekatan
dan
mempromosikan kemampuan jaringan kepada calon pembeli berakibat bahan baku yang telah dihimpun dari anggota menemui kesulitan penyaluran yang pada akhirnya merusak kepercayaan anggota. e.
Persaingan dengan pihak non jaringan Sub-elemen
persaingan
dengan
pihak
non
jaringan
dimasukkan sebagai kendala dengan pertimbangan kemungkinan munculnya persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh pihak yang menganggap keberadaaan jaringan sebagai ancaman. Apabila kondisi tersebut terjadi,
berpeluang membatasi gerak jaringan
menarik petani sebagai anggota, dan membatasi gerak operasi. f.
Perkembangan agroindustri farmasi Sub-elemen ini berhubungan sebab akibat antara permintaan bahan baku dengan pertumbuhan industri. Agroindustri farmasi yang tumbuh diharapkan dapat menjamin kelangsungan permintaan pasokan bahan baku dari petani. Sebaliknya pertumbuhan industri yang terus menurun akan memberikan efek ikutan kepada petani.
g. Komitmen anggota Komitmen anggota merupakan kesepakatan untuk memenuhi kewajiban selaku anggota. Kebiasaan hidup mandiri dan bebas mengambil keputusan, kemudian terlibat dalam pola teratur merupakan perubahan bagi petani. Perubahan ini memerlukan adaptasi untuk memahami peran dan bagaimana berperilaku. Komitmen terhadap persyaratan bahan baku yang dipasok dan pertukaran informasi merupakan tuntutan baru bagi
petani.
Keutuhan jaringan yang ditopang oleh anggota yang aktif turut membangun jaringan yang kuat. Hasil reachibility matrix final untuk elemen kendala pembentukan sistem rantai pasokan berbasis jaringan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini, dan struktur hirarki elemen kendala tersaji pada Gambar 17. Tabel 18 Hasil reachability matrix final elemen kendala E1
E2
E3
E4
E5
E6
E7
DEP
DRP
E1
1
1
0
1
0
0
1
4
4
E2
0
1
0
1
0
0
1
6
3
E3
1
1
1
1
1
1
1
1
7
E4
0
0
0
1
0
0
0
7
1
E5
1
1
0
1
1
0
1
3
5
E6
1
1
0
1
1
1
1
2
6
0
1
0
0
1
6
3
E7 DEP DRP
0 1 Driver Power Dependence
E 7 = Komitmen anggota E 6 = Pertumbuhan agroindustri farmasi E 5 = Persaingan dengan pedagang E 4 = Meyakinkan pihak pembeli E 3 = Permodalan awal E 2 = Meyakinkan anggota E 1 = Fasilitas jaringan
E 4
E 2
MEYAKINKAN PIHAK PEMBELI
MEYAKINKAN ANGGOTA
E KOMITMEN ANGGOTA 7
E 1
FASILITAS JARINGAN
E 5
PERSAINGAN DENGAN PEDAGANG
E 6
PERTUMBUHAN AGROINDUSTRI FARMASI
E 3
PERMODALAN
Gambar 17 Struktur hirarki kendala.
Dependence 8
sektor IV D r v e r
E3
sektor III
7 6
E6
E5 5
P 0 o w e r
4 1
2
3
3
E1 4
5
6
7 E2, E7
8
2 1
sektor I
0
E4 sektor II
Gambar 18 Matriks DP-D elemen kendala. Struktur hirarki sub-elemen kendala sistem sebagaimana gambar 17 menunjukkan permodalan menjadi sub-elemen kunci yang perlu ditangani. Fasilitas untuk mendukung kegiatan operasional perlu disediakan baik dengan alternatif sewa maupun beli. Keberadaan fasilitas jaringan berhubungan dengan
alat bantu proses yakni : alat rajang, lantai
pengeringan, oven pengeringan, kendaraan angkutan, ruang penyimpanan
dan sebagainya. Ketika modal tidak tersedia berakibat gangguan operasional jaringan secara keseluruhan. Penjabaran elemen kendala, menghasilkan sub-elemen meyakinkan industri (E4 berada pada sektor dependen yang akan dipengaruhi oleh subelemen lain seperti permodalan (E3), persaingan dengan pihak pedagang (E5) dan perkembangan agroindustri farmasi (E6). Ketiga sub-elemen dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar 18, berada pada sektor 4– independent yang merupakan peubah bebas yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan jaringan. Persaingan dengan pedagang misalnya, ketika memberikan efek mengganggu maka akan mengurangi efektivitas sosialisasi untuk menarik petani menjadi anggota. Komitmen anggota (E7) berada pada sektor dependen, yang berarti peubah tidak bebas di mana kendala tersebut akan tergantung dari sub-elemen yang lain. 3. Aktivitas Perekayasaan Sistem Diperlukan beberapa aktivitas untuk membangun jaringan. Elemen aktivitas ini dianalisis secara seksama dengan mempertimbangkan elemen kendala yang telah dibahas sebelumnya. Terdapat enam sub-elemen aktivitas yakni : a.
Sosialisasi program Pengertian sub-elemen sosialisasi program adalah
kegiatan
untuk menginformasikan keberadaan organisasi, keunggulan, dan manfaat kepada calon anggota maupun pembeli. Aktivitas ini penting untuk mengenalkan sistem baru yang lebih baik dibandingkan dengan sistem rantai pasokan konvensional. Keunggulan sistem yang menghubungkan para anggota atas dasar kepercayaan dan pengintegrasian proses, perlu dijelaskan terlebih dahulu. Sosialisasi program kepada petani juga termasuk manfaat finansial terlibat di jaringan. Kesalahan pendekatan akan menghasilkan persepsi negatif terhadap keberadaan jaringan. Dengan demikian, sub-elemen sosialisasi penting dianalisis.
b.
Penyiapan sumber daya manusia Sistem berfungsi melakukan
pertukaran
bilamana anggota saling berinteraksi dan informasi
dan
material.
Kemampuan
memadukan unsur teknologi dan bisnis ini memerlukan penyiapan sumber daya manusia dari sisi pengelola maupun anggota. Pengaturan orang, aliran bahan baku, pemahaman kondisi pasar dan pemasaran maupun kegiatan sosialisasi memerlukan tokoh yang memiliki wawasan terhadap usaha tanaman obat, kehidupan petani selain sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Sub-elemen sumber daya manusia ini menjadi sub-elemen yang layak diperhatikan. c.
Pencarian akses pasar industri Sub-elemen
pencarian
pasar
industr
imencakup
aktivitas
memetakan prospek pembeli, identifikasi kebutuhan, pola pembelian, kapasitas pasokan, sumber-sumber pasokan yang sudah terdaftar dan bahan baku substitusi sehingga menjadi masukan potensi pasar bagi jaringan.
Sebagai
pendatang
baru,
jaringan
perlu
berupaya
mengenalkan keberadaan jaringan mengingat industri telah memiliki pemasok. d.
Penyiapan fasilitas Sub-elemen penyiapan fasilitas
mencakup pengadaan, dan
penataan fasilitas dalam rangka mendukung operasional. Fasilitas yang dimaksud tidak saja bagi kegiatan pengolahan tetapi juga penyimpanan. Penyiapan fisik fasilitas dimaksud mencakup keputusan fasilitas yang dibutuhkan, berapa banyak, kapasitas dan penentuan lokasi keberadaan, pengadaan dan penataan yang memerlukan waktu. Sehingga sub-elemen aktivitas ini penting dikaji. e.
Penyiapan organisasi Mengingat terdapat kumpulan orang, maka diperlukan penataan, pengelolaan, penciptaan sistem kerja, legalitas, dan cara
yang
memungkinkan dilaksanakannya pengorganisasian aktivitas secara tertib. Penyiapan organisasi ini menjawab sub-elemen kunci pada tujuan yakni struktur dan sistem organisasi yang harus ditetapkan
terlebih dulu. Sebagaimana organisasi lainnya, diharapkan dapat terwujud tertib administrasi dan tertib kerja dari seluruh pendukung organisasi. f.
Survei lokasi pasokan Merupakan aktivitas pemetaan dan pencarian desa sumber pasokan yang berpotensi terdapat petani untuk menjadi anggota. Dengan diketahuinya peta sumber, maka kegiatan sosialisasi lebih mudah dilakukan. Peta sumber dimaksud sekaligus mendata kekuatan di masing-masing daerah dan kekuatan petani mencakup jumlah, kemampuan, dan produktivitas lahan. Hasil analisis reachability matrix final menggunakan metode ISM
atas enam aktivitas dapat dilihat pada Tabel 19 dan susunan sub elemen aktivitas program berdasarkan hasil hirarki sebagaimana pada Gambar 19. Tabel 19 Hasil reachability matrix final elemen aktivitas E1
E2
E3
E4
E5
E6
DEP
DRP
E1
1
0
0
0
0
0
6
1
E2
1
1
1
1
1
0
2
5
E3
1
0
1
1
1
0
5
4
E4
1
0
1
1
1
0
5
4
E5
1
0
1
1
1
0
5
4
1
1
1
1
1
6
E6 DRP DEP
1 1 Driver Power Dependence
E 6 = Survei lokasi pasokan E 5 = Penyiapan organisasi E 4 = Penyiapan fasilitas pendukung E 3 = Pencarian akses pasar E 2 = Penyiapan sumber daya manusia E 1 = Sosialisasi kegiatan jaringan
Survei lokasi pasokan (E6) merupakan sub-elemen penting dalam menjamin keberhasilan membangun jaringan. Aktivitas survei pasokan akan memberikan informasi potensi daerah sumber pasokan dan petani yang akan menjadi calon anggota. Penyiapan sumber daya manusia (E2)
dimaksudkan sebagai aktivitas yang dapat memberikan pengetahuan kepada pengelola maupun anggota jaringan agar dapat menjalankan fungsi operasional.
Jaringan
dapat
menjalin
kerjasama
dengan
lembaga
pemberdayaan
anggota
pemerintah untuk perluasan wawasan. Pelatihan
diperlukan
sebagai
bagian
mencakup tata nilai organisasi, tata cara pemasokan, pemahaman mengenai tanaman obat, proses produksi yang baik (good manufacturing practice), dan fungsi organisasi dalam jangka panjang. Aktivitas pencarian akses industri (E3) dan penyiapan fasilitas pendukung (E4) merupakan sub-elemen yang saling mempengaruhi. Fasilitas pendukung operasional dimaksud antara lain penyiapan area pemrosesan dan penyimpanan. Keputusan fasilitas gudang akan tergantung pada jumlah pasokan untuk memenuhi kebutuhan industri secara efektif dan efisien. Efisien dinilai dari segi biaya operasional yang dikeluarkan dan efektif dalam hal pengelolaan dan pengaturan.
E SOSIALISASI KEGIATAN 1
E 3
PENCARIAN PASAR INDUSTRI
E 4
PENYIAPAN FASILITAS PENDUKUNG
E 2
PENYIAPAN SDM
E 6
SURVEI LOKASI
E 5
PENYIAPAN ORGANISASI
Gambar 19. Struktur hirarki aktivitas jaringan
Dependence 7
sektor IV
E6
D r i v e r 0
sektor III
6 E2
5 E3, E4, E5
4 1
P o w e r
2
3 3
4
5
6
7
2 1
sektor I
0
E1 sektor II
Gambar 20 Matriks DP-D untuk Elemen Aktivitas.
Berdasarkan matrik driver power-dependence pada Gambar 20, subelemen pencarian akses pasar industri (E3), penyiapan fasilitas gudang (E4), dan penyiapan organisasi (E5), terletak pada sektor linkage yang memberi pemaknaan peubah pengait sistem. Setiap tindakan pada subelemen tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan jaringan. Sub-elemen survei lokasi pasokan (E6) dan penyiapan SDM (E2) merupakan variabel yang terletak pada sektor independent, yang merupakan variabel penggerak yang berpengaruh terhadap sub-elemen sosialisasi. Keberhasilan aktivitas survei lokasi dalam membangun jaringan akan menghasilkan data daerah yang berpeluang sebagai sumber anggota. Keberhasilan menarik calon anggota, tergantung dari kemampuan petugas
(E2) yang mensosialisasikan kegiatan. Aktivitas sosialisasi
program (E1), dikategorikan peubah tidak bebas yang berarti aktivitas tersebut tergantung pada tindakan aktivitas sub-elemen lainnya. Dengan demikian, menjadi penting dilakukan sosialisasi pada petani calon anggota pada lokasi sumber yang telah diidentifikasi saat dilakukan survei lokasi.
4. Perubahan yang diharapkan Kehadiran jaringan diharapkan memberikan perubahan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitar keberadaan anggota jaringan. Namun, untuk mencapai perubahan dimaksud terdapat sub-sub elemen terkait yang layak diperhatikan dan dianalisis keterkaitan satu sama lain antara lain: a.
Sinergi dengan industri Sub-elemen ini menjamin keberlanjutan hubungan jaringan dan pembeli industri. Interaksi antara jaringan dan pembeli industri menjamin kontinuitas aliran pasokan yang pada akhirnya memberikan manfaat kedua belah pihak. Anggota termotivasi untuk terus menciptakan produk bernilai, dan industri terdorong berbagi informasi dalam upaya peningkatan kemampuan untuk menghasilkan bahan baku terstandarisir.
b.
Pengelolaan usaha tani Jaringan dapat memberikan stimuli agar petani
dalam
pengelolaan usaha tani secara, sehingga. menurunkan deviasi ketidaksesuaian kualitas dan kesalahan penanganan. Hasil analisis permasalahan menunjukkan bahwa petani relatif berkembang sendiri dengan cara yang dikenal secara turun menurun dan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman. Perubahan pengelolaan usaha tani yang dibantu oleh jaringan diharapkan mencapai manfaat yang lebih besar. c.
Perilaku berorganisasi Sub-elemen ini mencakup cara berpikir, bertindak, dan bekerjasama di dalam jaringan. Terdapat dinamika kelompok ketika sekumpulan individu berkumpul. Masing-masing akan membawa kebiasaan berbudidaya, pengolahan atau mengelola suatu organisasi. Diharapkan melalui pembelajaran dapat memperkecil deviasi karena kekurangpengetahuan
atau
cara-cara
bertindak
yang
kurang
beradaptasi dengan lingkungan usaha secara luas. Keterlambatan dalam menyelesaikan nilai-nilai anutan akan membuka ruang konflik diantara anggota. Melalui jaringan, anggota
difasilitasi berlatih memberikan komitmen, menyalurkan pendapat, pengajuan pemikiran dalam rangka kemajuan jaringan. d. Kemajuan desa setempat Keberadaan jaringan dengan anggota lebih sejahtera, dapat memberikan efek positif bagi desa di mana anggota berada. Anggota jaringan
diharapkan
memberikan
manfaat
positif
terhadap
kesejahteraan masyarakat di desa, dengan imbas ekonomi pada sektor lainnya yang berkaitan seperti : usaha – usaha pendukung, maupun yang relatif jauh dalam memenuhi keinginan perbaikan keluarga petani. e.
Manfaat bagi masyarakat Perubahan yang diajukan oleh jaringan berupa perbaikan kesejahteraan
masyarakat
sekitar
akibat
keberadaan
jaringan.
Masyarakat adalah para individu di luar petani yang memperoleh pendapatan dari tumbuhnya jaringan. Mereka dapat buruh yang menjual tenaga lepas, perajang atau penyokong kegiatan lainnya. Matriks reachability final hasil analisis ISM elemen perubahan yang dimungkinkan dapat dilihat pada Tabel 20. Sinergi jaringan dengan industri dimungkinkan terjadi dengan tumbuhnya kepercayaan dari pembeli. Pembelajaran internal anggota akan mendorong terwujudnya komitmen dalam memenuhi jaminan kualitas. Tabel 20 Hasil reachability matrix final perubahan yang dimungkinkan E1
E2
E3
E4
E5
DEP
DRP
E1
1
0
0
1
1
1
3
E2
0
1
0
1
1
2
3
E3
0
1
1
1
1
1
4
E4
0
0
0
1
0
5
1
0 0 Driver Power Dependence
0
1
1
4
2
E5 DEP DRP
E 5 = Manfaat pada masyarakat E 3 = Perilaku organisasi E 1 = Sinergi dengan industri
E 4 = Kemajuan desa E 2 = Pengelolaan usaha tani
E 4
KEMAJUAN DESA SETEMPAT
E 5
MANFAAT BAGI MASYARAKAT
E PENGELOLAAN USAHA 2
E 3
E 1
SINERGI DENGAN INDUSTRI
PERILAKU BERORGANISASI
Gambar 21. Struktur hirarki elemen perubahan Sub-elemen perilaku berorganisasi merupakan elemen kritis perubahan untuk mencapai kemajuan desa. Giannakis dan Croom (2004) menyebutkan sebagai pengaruh interaksi antar pihak pada dimensi sinergi. Di dalam dimensi sinergi tersebut dipersyaratkan perilaku : rasa saling percaya, kesediaan membagi informasi dan bertindak proaktif yang diwujudkan oleh anggota jaringan. Dengan demikian, tidak lagi siapa mengatur atau mendominasi siapa tetapi bagaimana memahami apa yang dikontribusikan dan pada tingkatan apa dari proses bisnis. Ketika persoalan internal organisasi dapat diatasi, maka selanjutnya berkonsentrasi pada pencapaian perubahan sinergi dengan industri (E1), karena keterlibatan industri dapat memberikan stimuli tidak saja pada pengetahuan usaha tani tanaman obat, tetapi yang lebih penting memberikan peluang menjadi pemasok tanaman obat untuk kebutuhan agroindustri farmasi. Selain petani anggota, masyarakat memperoleh manfaat (E5) sebagai bagian dari bergeraknya kegiatan ekonomi usaha tanaman obat, dalam hal penyediaan tenaga kerja dalam berbagai aktivitas proses, alat transportasi, dan seluruh komponen pendukung lainnya. Dengan keberadaan jaringan,
pengelolaan usaha tani tanaman obat (E2) diharapkan menjadi usaha yang produktif akibat arus pembelian bahan baku. Dependence 5
D sektor IV r i v e r P 0 o w e r
E3
4
E1 1
sektor III
E2 2
3 2 3
4 E5
1
sektor I
0
5
6
E4 sektor II
Gambar 22 Matriks DP-D perubahan yang diinginkan.
Sub-elemen sinergi dengan industri (E1), pengelolaan usaha tani (E2) dan perilaku organisasi (E3) berada pada sektor independen yang merupakan peubah bebas yang memiliki sedikit ketergantungan pada sistem tetapi mempunyai penggerak yang besar. Kegagalan menjalin hubungan dengan industri (E1), akan menghambat perubahan yang diinginkan. Posisi sinergi dengan industri adalah peubah bebas dan bilamana disatukan dengan perubahan perilaku organisasi serta pengelolaan usaha tani menjadi faktor penggerak kemajuan desa. Dengan demikian kemajuan desa (E4) dan manfaat bagi masyarakat (E5) dapat menjadi
akibat dari
keberhasilan tindakan atau pencapaian perubahan. Dari seluruh hasil sintesa ISM memberikan kesimpulan bahwa mekanisme pengorganisasian yang menatakelola jalannya aktivitas jaringan dan bagaimana anggota berinteraksi perlu dipersiapkan terlebih dulu. Sebagaimana dinyatakan oleh Ginneakis dan Croom (2004), diperlukan sinkronisasi operasional mengingat terdapat peran dari sejumlah anggota.
Tata kelola di dalam jaringan yang diawali dengan struktur dan sistem jaringan mempertajam pengertian saling berbagi, kepercayaan dan kontribusi yang diajukan oleh peneliti sebelumnya. Pengaturan struktur dan sistem organisasi jaringan mendorong terbentuknya pemahaman atas apa yang perlu diintegrasikan sebagaimana diajukan oleh Stock dan Lambert (2001). Sub-elemen ini menjadi pendorong paling tinggi agar tujuan kesejahteraan anggota tercapai. Namun, kendala utama dalam mewujudkan jaringan terletak pada permodalan. Dengan demikian, dana pengadaan fasilitas dan modal kerja perlu dicarikan jalan keluar. Aktivitas survei lokasi pasokan menjadi sub-elemen penggerak aktivitas lainnya, dimana survei menjadi titik kritis untuk keberhasilan sosialisasi kegiatan jaringan mengingat lokasi calon anggota berada pada desa-desa yang tersebar. 6.3. Struktur Rantai Pasokan berbasis Jaringan Jaringan direkayasa dengan
mengacu pada Giannakis dan Croom
(2004), Choi et al. (2002), Barba et al. (1998), Giles dan Hancy (1998) dengan ciri keterhubungan antar individu dengan individu menembus batas organisasi. Desain menggunakan tiga dimensi strategis yakni struktural, sinergi interaksi manusia dan hubungan di dalam rantai pasokan. Penstrukturan
jaringan terlebih dahulu menetapkan
siapa yang menjadi
anggota utama. Kebaruan jaringan terletak pada pengaturan berjejaring dimana pada penelitian sebelumnya lebih ditekankan pada unsur perilaku. Jaringan yang diajukan memadukan perilaku dan operasionalisasi sehingga abstraksi ditegaskan melalui pembagian fungsi.
Anggota yang menyebar dengan
tingkat kerumitan pengelolaan, dipecahkan dengan memasukkan unsur kelompok mewujudkan ciri jaringan salin berbagi. Hakekat berjejaring yang menekankan pada hubungan, diwujudkan dengan terjalinnya koneksi antar petani secara horisontal menembus batas lokasi, kemampuan, usia dan perbedaan kapasitas.
Atas dasar analisis sub-elemen dan kondisi faktual, maka jaringan didesain mencakup : 1. para aktor dan lembaga yang terlibat 2. garis hubungan 3. penjabaran fungsi 4. aliran fisik dan informasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 23
Personnel
Aliran manfaat
PETANI Aliran Keputusan operasional Bergabung dlm kelp
Kelompok petani
Fasilitator
Aliran bahan baku
Melalui gudang jaringan
F Pemasaran dan U hubungan eksternal N Sosialisasi dan G pembinaan S I Pengelolaan keuangan dan distribusi dana
Aliran manfaat fungsi jaringan
Aliran informasi
Kelompok petani
PETANI
industri
Aliran informasi
Penyimpanan/ pergudangan
PETANI
Bergabung dlm kelp
Perencanaan, pengendalian, koordinasi jaringan
Aliran dana
pedagang
Lembaga Penelitian/ Perguruan tinggi Lembaga usaha Pendukung
Aliran Keputusan operasional
Aliran bahan baku Garis komunikasi antar kelompok
Gambar 23 Struktur Jaringan.
Langsung gudang industri
Kelompok petani
Pusat Manajemen Jaringan
Kerja sama usaha
Bergabung dlm kelp
Lembaga Pembiayaan
Informasi penelitian
Fasilitator
Pemerintah daerah
Aliran kredit
Aliran informasi
Melalui gudang jaringan
PETANI
Aliran keputusan strategis
Bergabung dlm kelp
Aliran keputusan strategis
Personnel
Aliran manfaat
Aliran kerjasama
Kelompok petani
Langsung gudang industri
Aliran bahan baku Aliran Keputusan operasional
Struktur jaringan terdiri dari petani, kelompok, dan pusat manajemen. Ketika menstrukturkan jaringan, penetapan siapa yang menjadi anggota menjadi penting. Melalui jaringan, anggota diberi ruang untuk menyatukan dan menghubungkan proses rantai pasokan. Pasokan bahan baku yang semula mengalir melalui beberapa tingkat pedagang pengumpul direstruktur menjadi satu tingkat melalui pusat manajemen jaringan sebagai operator yang mengatur proses permintaan dan penawaran bahan baku. Hubungan secara horizontal antara petani dan secara vertikal berhubungan dengan industri merupakan model jaringan baru untuk pemberdayaan dan kemajuan petani. Jaringan memberikan ruang pada
peningkatan kualitas hubungan
yang mendorong perubahan kemampuan anggota. Perbedaan jaringan dibandingkan dengan sistem pasokan yang telah berlangsung saat ini adalah pedagang pengumpul yang walaupun memiliki banyak pemasok, terdapat pengaturan yang bersifat mekanisme defensif dari pembeli. Model hubungan tersebut disebut sebagai hubungan pembeli-pemasok diadik. Ketika hubungan diantara pemasok berlangsung sangat terbatas dan memiliki jarak,
maka merupakan hubungan antar pemasok
yang
berkompetisi dan bukan sebagaimana dikehendaki pada jaringan. Model hubungan tersebut, pada kenyataannya tidak membuka peluang perilaku bertukar pengetahuan atau proses lintas fungsi diantara pemasok yang menjadi landasan jaringan sebagaimana dinyatakan oleh Giles dan Hancy (1998). Teori jaringan pada rantai pasokan agroindustri farmasi dengan kompleksitas tanaman obat dan keragaman petani mengubah rantai pasokan yang bekerja sendiri-sendiri diintegrasikan dalam satu kesatuan. Jaringan dimiliki dan dikelola oleh petani. Masing-masing petani mengidentifikasi kemampuan yang dikuasai. Keluaran dari petani, dapat menjadi masukan proses yang diselenggarakan oleh petani lainnya. Secara bertahap kemampuan proses petani berpindah pada tingkat yang lebih maju. Anggota jaringan ketika beraktivitas dalam kesatuan, menghasilkan fungsi lebih menyeluruh. Jaringan tidak sekedar penyatuan lahan
sebagaimana corporate farming namun sebagai entitas yang luas, berdaya dan berada pada kekuatan seimbang dalam interaksi dengan pembeli industri. Persyaratan agar jaringan berfungsi dengan baik adalah bilamana struktur dan sistem, nilai-nilai anutan menjadi perilaku, pengintegrasian proses, pengendalian strategik, sebagaimana diuraikan di atas dapat terwujud. Jaringan mengambil ruang gerak yang relatif sama dengan kegiatan pedagang pengumpul yang telah beroperasi selama ini sehingga terdapat kemungkinan ancaman menggagalkan operasi jaringan. Kondisi ini perlu ditangkal melalui penguatan keanggotan, memberikan manfaat kuantitatif yang lebih baik dan pemberdayaan terus menerus. Pedagang pengumpul dapat memperoleh peran lain dari keberadaan jaringan melalui aktivitas pendukung maupun proses lanjutan berasal dari distribusi pekerjaan jaringan. Keberadaan pedagang pengumpul besar dapat disetarakan dengan industri sehingga kedudukannya akan berlaku sebagai perusahaan pembeli. Penjelasan mengenai penstrukturan adalah sebagai berikut : a. Anggota jaringan Adalah petani yang memiliki usaha tanaman obat. Petani dengan ciri tersebut terlibat sebagai anggota utama dan memberikan sumber daya, pengetahuan, dan hasil panen tanaman obat. Walaupun terdapat variasi kepemilikan luas lahan, jaringan didesain tanpa pengklasifikasian anggota berdasarkan luas lahan. Sejauh petani bersedia mematuhi ketentuan dan perilaku yang ditetapkan bekerjasama, petani diterima sebagai anggota. Petani tidak direkrut untuk tugas tertentu tetapi berkontribusi sesuai dengan kemampuan. Petani anggota berhimpun dan menjadikan jaringan sebagai organisasi yang berkekuatan dan sebagai sarana pemberdayaan, sehingga pada akhirnya jaringan menjadi organisasi petani yang kuat. Fungsi produksi dan pengolahan hasil panen menjadi tanggungjawab petani. Petani yang belum memiliki kemampuan pemrosesan bahan baku sebagaimana dipersyaratkan dapat diambil alih petani lain atau oleh pusat
manajemen. Pada saatnya dengan teknis pengolahan petani yang bertambah baik akibat pembelajaran, aktivitas variasi pengolahan bahan baku segar dapat diserahkan kepada sehingga memberikan penghasilan lebih baik kepada anggota. Menggunakan gambaran sumber bahan baku tanaman obat di Jawa Tengah, petani berlokasi mulai dari kecamatan Karangpandan, Ngargoyoso yang terletak di lereng gunung Lawu dan kecamatan Karanganyar serta Nguter yang relatif dekat dengan pusat agroindustri. Lokasi petani yang jauh dari pusat industri lebih mengalami kendala akses dan transportasi dalam menyalurkan bahan baku, sehingga sangat mengandalkan pengumpul. Petani yang tersebar di 842 desa di empat kabupaten penghasil tanaman obat yakni Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri dan Karanganyar berpotensi menjadi anggota utama bilamana jaringan diimplementasikan di daerah tersebut. Total petani yang dibutuhkan oleh jaringan sebesar jumlah target pasokan yang mampu dipasok jaringan kepada industri. Menggunakan perhitungan rata-rata luas petani sekitar 2000 m2 dengan break even point pada kondisi 332 ton, diperkirakan akan membutuhkan 110 petani (lihat bab VIII). b. Kelompok petani Ketika petani telah bergabung, dimungkinkan terdapat sejumlah lokasi dan variasi kemampuan yang perlu dikoordinasikan. Dalam kondisi ini pasokan dan informasi akan mengalir dalam sebaran yang lebar dengan kerumitan pengelolaan. Karenanya, dipandang perlu dibuat mekanisme yang memudahkan interaksi dan penyampaian pesan. Mempelajari kebiasaan petani di desa cenderung terlibat di dalam kelompok secara informal (Sajogyo,1999), maka pendekatan tersebut dipandang baik untuk dipergunakan. Manfaat secara positif adalah terbangun kerjasama dan satu sama lain dapat berbagi pengetahuan dan informasi. Anggota diarahkan berhimpun di dalam kelompok sehingga mempermudah pengimplementasian proses dan pertukaran informasi
serta pengetahuan. Hal ini untuk menjawab perlunya penatakelolaan sebagaimana hasil sintesa ISM, dimana kondisi tersebut kurang dibahas oleh peneliti terdahulu yang lebih memfokuskan pada perilaku hubungan. Melalui kelompok, diberikan ruang untuk mengubah kepemilikan pengetahuan menjadi distribusi pengetahuan. Alasan lain memanfaatkan kelompok petani adalah dalam hal pengelolaan sejumlah besar petani dengan melibatkan interaksi dan pertukaran informasi. Hubungan
antar anggota dan antar kelompok secara horisontal
dibangun dengan fasilitasi fasilitator. Interaksi inter dan intra kelompok memungkinkan mengalirnya informasi kondisi pasokan bahan baku, status anggota, dan pertukaran informasi usaha tanaman obat.
Wujud
sinergi ini sebagaimana dinyatakan oleh Giannakis dan Croom (2004) dilakukan dalam bentuk mengalirnya informasi: pengetahuan, 3)
1) usaha, 2)
kondisi pasar dan harga, 4) keuangan, 5) kondisi
organisasi dari pusat manajemen jaringan. Berapa sebaiknya jumlah petani yang menjadi anggota kelompok tergantung
dari
jumlah
yang
masih
memungkinkan
pertemuan
diselenggarakan secara efektif. Memakai kondisi di pedesaan, bisa terdapat satu desa berhimpun banyak petani tetapi berlokasi saling berjauhan dibatasi oleh lahan yang luas atau sebaliknya pada jarak yang saling berdekatan. Petani dari desa yang sama atau berbeda bilamana dipandang masih dalam jarak jangkauan dapat bergabung dikarenakan konsep jaringan tidak membedakan batas lokasi. c. Pusat manajemen jaringan Struktur jaringan, menetapkan garis hubungan dimana informasi, bahan baku, manfaat dan keputusan mengalir. Aliran informasi ini berlangsung dari kelompok ke kelompok dan dari kelompok ke pusat manajemen jaringan secara bolak-balik. Aliran bahan baku dari anggota menuju lokasi pengiriman berdasarkan perintah kirim. Keberadaan pusat manajemen diperlukan guna pengelolaan empat bagian besar aliran dimaksud disamping
anggota, proses, aset dan
sumberdaya. Mengingat perilaku pembeli senantiasa menekankan pada
ketepatan waktu, jumlah dan kualitas maka kendali operasional mengarah pada ketercapaian keluaran dari daerah otonomi masing-masing anggota dan mengendalikan sesuai tanggungjawab bersangkutan. Manajemen rantai pasokan melibatkan dua bagian besar menurut Maku et al. (2005) yakni demand dan supply process dengan tujuan kepuasan pembeli. Fungsi jaringan berkaitan distribusi, pemasaran, manajemen permintaan dan hubungan pelanggan (Customer Relation Management) sebagaimana dinyatakan oleh Stock dan Lambert (2001), disolusikan dengan menghadirkan pusat manajemen jaringan. Fungsi produksi dan pengolahan hasil panen menjadi tanggungjawab petani. 1.
Mekanisme Pengendalian Pengendalian dilakukan untuk menilai kinerja organisasi secara keseluruhan yang terbagi atas : keanggotaan, pasokan, proses, usaha dan keuangan. Penjelasan mekanisme pengendalian sebagaimana gambar 24 sebagai berikut : • Kendali keanggotaan dimaksudkan untuk memantau masukan, kontribusi dan perilaku anggota. Anggota yang aktif berarti akan memasok bahan baku sebagaimana diminta. Pusat manajemen mengendalikan penerimaan, pengolahan permintaan dan kemudian diturunkan melalui kelompok dengan fasilitasi fasilitator. Anggota akan
memberikan
informasi
kesanggupan
pasokan
melalui
kelompoknya. • Kendali pasokan dimaksudkan untuk memantau sejauh mana anggota menjamin bahan baku pasokan dapat dipenuhi baik jumlah, jenis, kualitas, waktu dan harga. Apabila tidak terpenuhi, akan dilakukan penelusuran terhadap kontribusi anggota. • Kendali proses akan mengecek pencapaian mutu dari setiap bagian proses. Pusat manajemen akan mendata kinerja anggota ditinjau dari total penolakan, atau ketidaksesuaian hasil. Standar kualitas dan tingkat penolakan telah terlebih dulu diserahkan kepada kelompok untuk disebarkan kepada anggota.
• Kendali usaha mencakup sejauh mana permintaan dapat dipenuhi sesuai dengan jumlah, jenis, kualitas dan waktu. Ketidaksanggupan penyaluran akan ditelusur kembali kearah persiapan pasokan. Kendali usaha juga akan memantau kemajuan perluasan pasar. Dalam hal ini dimonitor sejauh mana terdapat tambahan pembeli baru dan apakah mampu dipenuhi. Apabila ternyata tidak bisa, maka dilakukan penundaan untuk persiapan kemampuan internal.
Pusat manajemen
jaringan menerima permintaan pasokan dari industri sebagai hasil kegiatan pemasaran dan memperhitungkan kesanggupan waktu kirim berdasarkan
waktu
proses
dan
distribusi.
Kendali
terhadap
penyimpanan bahan baku dipecah menjadi tanggung jawab jaringan dan anggota melalui kelompok masing-masing. Informasi terhadap data stok mengalir dari kelompok ke jaringan sebagai dasar pengambilan keputusan penawaran kepada industri. • Kendali keuangan melibatkan kemampuan pengelola mengatur keuangan sehingga organisasi sehat dan mampu meraih keuntungan yang masih dapat dibagikan kepada anggota. Kendali keuangan akan memantau pendapatan dan rugi laba operasi. Bilamana tidak tercapai ditelusur lagi ke arah persiapan pasokan. Sub-elemen perilaku berorganisasi yang menjadi elemen kritis, membuka pemahaman diperlukan seseorang untuk memediasikan arus informasi dan berbagai bentuk pengambilan keputusan. Unsur bekerja sangat erat atas dasar kepercayaan yang ditemui di semua rujukan jaringan, dipertegas melalui struktur dan sistem jaringan yang jelas. Tanggungjawab menjamin ketercapaian kualitas produk dan proses yang diintegrasikan sebagaimana hasil QFD, perlu dimengerti oleh anggota jaringan.
125
PENCAPAIAN SASARAN ANGGOTA
PASOKAN
KEANGGOTAAN
MASUKAN BAHAN BAKU PASOKAN
Survei Tidak
Jml, lokasi, lahan, kemampuan Tidak
KEUANGAN
PEMENUHAN TARGET PENYALURAN
Jml, jenis,kualitas, waktu harga
Pendapatan R/L ya
ya
ya
KONTRIBUSI
USAHA
Tidak
Jml, jenis,kualitas, waktu Tidak
ya
Kembali ke pasokan
PROSES PERLUASAN PASAR
ya Biaya, kecepatan, kualitas
Aktif ?
Tidak
PEMBINAAN
ya
ya
Mampu ?
HASIL Tidak ya Kualitas, Jenis, Kemasan, Harga
Tunda
Gambar 24. Mekanisme Pengendalian
KINERJA JARINGAN
2.
Fasilitator Fasilitator diperlukan dan berperan di dalam lintas informasi dan kegiatan teknis maupun kendali proses. Siapa yang paling tepat sebagai fasilitator, adalah tokoh yang telah dikenal petani agar mengurangi resistensi dan menjadi pendorong. Keberadaan fasilitator menjadi penting mengingat
kelangsungan
hubungan
dengan
anggota
petani
harus
dipertahankan. Fasilitator melaksanakan aktivitas: (1) memfasilitasi berbagai kepentingan petani, (2) mendata kemampuan petani, (3) menyalurkan informasi, (4) mengelola konflik, (5) memberikan motivasi, (6) mengorganisasikan proses (7) mengorganisasikan aktivitas petani dan (8) memfasilitasi pembahasan persoalan di lapangan. Fasilitator adalah seseorang yang mampu mewujudkan kepercayaan anggota terhadap jaringan dan membangun dinamika kelompok agar diperoleh
pengambilan
keputusan
bersama.
Tugas
fasilitator
menerjemahkan informasi sesuai dengan tingkat pemahaman petani dan sebaliknya menyampaikan ke pusat manajemen mengenai kondisi di lapangan. Fasilitator juga menginformasikan kepada pusat manajemen jaringan pencapaian hasil kelompoknya dan sejauh mana proses pertukaran dan pengintegrasian proses berlangsung. 3.
Pengelola Pusat Manajemen Penyelenggara aktivitas di pusat manajemen adalah manajer yang memahami perdagangan tanaman obat dan direkrut untuk menjalankan fungsi pusat manajemen jaringan dimaksud. Manajer bertanggung jawab terhadap hubungan eksternal yakni industri sebagai pelanggan utama dan lembaga terkait seperti lembaga pemerintah yang membidangi tanaman obat di tingkat kabupaten. Jaringan akan menjadi mata rantai pasokan
dengan berbagai industri tidak saja dengan industri yang menghasilkan obat tradisional atau herbal terstandardisir, tetapi juga industri berorientasi ekspor, dan industri kosmetik atas dasar sinergi. Manajer selaku pengelola menjalin hubungan dengan lembaga pembiayaan
sebagaimana dimaksudkan pada Gambar 23,
agar
memperoleh akses pinjaman modal baik bagi anggota maupun lembaga jaringan. Kendala utama membangun jaringan adalah permodalan yang dipergunakan untuk mengadakan fasilitas, sebagaimana hasil ISM. Sumber dana tersebut dapat digali dari lembaga di luar jaringan. Kemudahan memperoleh pinjaman diharapkan difasilitasi oleh pemerintah dan/atau industri. Hubungan dengan lembaga penelitian dijalin baik yang dimiliki oleh perguruan tinggi maupun pemerintah sehingga dapat diperoleh bimbingan teknis guna kepentingan anggota, dan bantuan penyuluhan hasil penelitian mengalir dengan koordinasi pusat manajemen jaringan. Jaringan mengambil ruang gerak yang relatif sama dengan kegiatan pedagang pengumpul yang telah beroperasi selama ini sehingga terdapat kemungkinan ancaman menggagalkan operasi jaringan. Bentuk persaingan usaha di satu sisi dapat diterima dengan wajar, dengan mendorong langkah positif dalam upaya bersaing secara konstruktif. Apabila terdapat tindakan persaingan tidak sehat, anggota perlu menangkal melalui penguatan keanggotan, memberikan manfaat kuantitatif yang lebih baik dan pemberdayaan terus menerus. Sesungguhnya pedagang pengumpul dapat memperoleh peran lain dari keberadaan jaringan melalui aktivitas pendukung maupun proses lanjutan berasal dari distribusi pekerjaan jaringan. Keberadaan pedagang pengumpul
besar
dapat
disetarakan
dengan
industri
kedudukannya akan berlaku sebagai perusahaan pembeli.
sehingga Penjabaran
kemungkinan faktor penghambat internal dan eksternal diperlukan untuk memperdalam sejauh mana konsep jaringan dapat diimplementasi.
Tabel 21 Analisis faktor penghambat dan pendorong keterlibatan petani
Faktor Penghambat
Faktor Pendorong
INTERNAL PETANI 1. Respon petani kurang, akibat pandangan negatif proyek penyuluhan sebelumnya yang tidak konsisten. 2. Enggan melepaskan ikatan dengan pedagang karena a. Jasa pedagang di masa lalu. b. Telah mengenal pedagang. 3. Keterikatan pinjaman pada pihak pedagang. 6. Tidak terbiasa dengan pola berstruktur.
1. Keinginan mendapatkan alternatif akses pasar. 2. Harga beli lebih baik atau keuntungan menarik. 3. Mendapatkan pembinaan dan kemudahan penyaluran. 4. Ingin mempunyai alternatif lain selain pedagang pengumpul. 5. Kekecewaan berhubungan dengan pedagang pengumpul. 6. Mendapatkan bantuan mediasi modal.
7. Ketidakcocokan nilai jaringan dengan nilai yang dikenal saat ini. EKSTERNAL PETANI 2. Desakan pedagang pengumpul untuk tidak beralih. Desakan dimaksud dapat berupa : a. tindakan membujuk b. penggunaan ikatan hubungan masa lalu c. ancaman/ tindakan kontra produktif 3. Perubahan taktik perdagangan dari pedagang pengumpul dalam meraih simpati.
1. Terdapat tokoh yang menjadi fasilitator/ pengurus. 2. Anggota petani lain telah menjadi anggota. 3. Melihat manfaat yang diperoleh akan memberikan dorongan keinginan untuk bergabung. 4. Tawaran manfaat bilamana bergabung. 5. Peluang mendapatkan pembiayaan.
Penjabaran lebih rinci terhadap fungsi – fungsi pusat manajemen jaringan dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini. Tabel 22 Fungsi pusat manajemen Jaringan Ke arah anggota (internal) Informasi dan layanan 1. Persyaratan bahan baku 2. Sistem dan prosedur organisasi, kebijakan, norma-norma, perkembangan organisasi, dan laporan keuangan 3. Penilaian kinerja. 4. Pergerakan harga, data persaingan 5. Data produksi 6. Informasi peminjaman dana Pengolahan 1. Melanjutkan pemrosesan bahan baku pada tingkat lebih lanjut seperti : menjadi simplisia kering, bubuk, sediaan galenik atau hasil penyulingan. 2. Mengemas hasil pasokan petani menjadi lebih baik lagi dalam tampilan, pelabelan. Pembelian 1. Mencari sumber pasok. 2. Menetapkan rencana pengadaan bahan baku. 3. Membeli dengan harga yang tepat. 4. Mengumpulkan bahan baku. Pembinaan dan layanan 1. 2. 3.
Ke arah luar anggota (eksternal) Pemasaran 1.
Analisis perkembangan permintaan konsumen 2. Memberikan sampel, melaksanakan kegiatan penjualan 3. Mencari akses pasar/ memperluas pasar 4. Menetapkan strategi bersaing dan mencari cara memenangkan persaingan.
Pengiriman 1. Pengadaan alat transportasi, buruh angkut. 2. Pengawasan selama pengiriman. 3. Penyertaan dalam pemeriksaan di pabrik penerima. 4. Pengapalan (bila diperlukan) Pembinaan
Mencari masukan dari pembeli dalam berntuk kesediaan bimbingan guna meningkatkan produktivitas, peningkatan kualitas. Pelayanan pembeli 1. Menangani keluhan. Budidaya, pasca panen, 2. Mempertahankan pembeli pengelolaan usaha. melalui kunjungan. Kualitas berorganisasi. 3. Melakukan kontak untuk Penyelesaian permasalahan. menggali kebutuhan
Baik Hall dan
Valenzuela and Villacorta di dalam Daboub
(2002)
menyoroti pentingnya membangun nilai-nilai yang mendorong terbangunnya jaringan diantara para pihak. Tiga nilai penting yang diajukan pada disertasi ini agar jaringan utuh adalah : a. komitmen, b. integritas dan c. kerjasama. Merujuk pada pengalaman membina petani tanaman obat oleh Koperasi BPTO, komitmen sangat penting karena akan terwujud dalam tindakan mematuhi kesanggupan / janji pasokan dalam jumlah, jenis, kualitas dan seluruh ketentuan yang berlaku. Nilai integritas merupakan wujud kepatuhan untuk menyatukan langkah operasi individual dengan organisasi. Nilai kerjasama menunjukkan kesediaan berbagi dengan anggota lainnya. Penerapan nilai dimaksud menjadi pedoman perilaku yang memerlukan sosialisasi terus menerus. Responden pakar yang berpengalaman membina petani menyatakan bahwa pelanggaran komitmen kadangkala masih ditemui bahkan ketika kesepakatan telah dibuat. Apabila diketahui terdapat anggota yang tidak menjalankan aturan secara konsisten, maka pembuat kesalahan perlu dibina hingga bentuk teguran atau pinalti. Memperhatikan penerapan sanksi pada petani anggota pendukung Koperasi Karyawan BPTO (Kobapto) di Tawangmangu, sanksi akan dijatuhkan bilamana petani tidak mematuhi tata cara berbudidaya yang digariskan, atau secara diam-diam menjual pada pihak lain. Ketidakpatuhan juga dapat berupa tidak mematuhi cara berproduksi yang baik, tidak menjalankan standar pascapanen, mengalihkan pasokan kepada pihak lain baik terbuka maupun terutup, dan tidak terlibat aktif dalam kegiatan organisasi. Bentuk sanksi tergantung dari derajat kesalahan yang menentukan kriteria ketidakpatuhan dan sanksi ditetapkan atas keputusan kelompok. Bentuk sanksi dapat berupa : teguran administratif, pengurangan jumlah pasokan, penghentian penerimaan pasokan sementara waktu atau penghentian sebagai anggota.
VII. RANCANGAN IMPLEMENTASI Implementasi jaringan dirancang melalui empat tahapan strategis. Jaringan yang didesain dimiliki oleh petani perlu dibantu perwujudannya, mengingat berbagai
keterbatasan
dimungkinkan
untuk
petani.
Terdapat
mewujudkan
tiga
jaringan
alternatif yakni:
pemrakarsa
pemerintah,
yang
lembaga
pemberdayaan masyarakat, dan agroindustri farmasi. Secara detil keunggulan dan kelemahan masing-masing alternatif pemrakarsa sebagai berikut : 1.
Pemrakarsa berasal dari pemerintah Pemrakarsa dari pemerintah memiliki nilai positif yakni sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan petani tanaman obat dan menjadikan agroindustri farmasi sebagai industri strategis yang layak dikembangkan. Kelemahan dari pemrakarsa pemerintah terletak dari aspek pengambilan keputusan dan pengalokasian dana mengingat harus melalui persetujuan anggaran oleh dewan legislatif yang memerlukan tahapan pembahasan. Birokrasi dan keterbatasan dana berakibat pada kontinuitas dan luas cakupan areal pembinaan petani tanaman obat. Selain itu, kemungkinan terdapat
persinggungan
teknis
operasional
mengingat
penanganan
agroindustri farmasi menginduk kepada departemen pertanian dan kesehatan sehingga dikhawatirkan terjadi penundaan pengambilan keputusan. 2.
Pemrakarsa berasal dari lembaga pemberdayaan/swadaya masyarakat Lembaga pemberdayaan masyarakat yang profesional sudah terbiasa melakukan pendampingan kepada kelompok marginal sehingga memiliki keunggulan lebih mengenal karakter masyarakat desa dan pendekatan yang sebaiknya dilakukan. Kelemahan yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat adalah
masih
jangkauan
pembinaan
dan.
akses
industri
sehingga
dikhawatirkan mengalami kesulitan di dalam penyaluran hasil produksi. 3.
Pemrakarsa dari agroindustri farmasi Pemrakarsa yang berasal dari agroindustri farmasi memiliki keunggulan memahami karakter pemasok dan permasalahan pasokan. Kebutuhan industri relatif dapat diterjemahkan secara tepat kepada petani. Namun, pemrakarsa industri memiliki kelemahan karena harus berkonsentrasi memenuhi ketentuan pemerintah untuk menghasilkan produk yang bermutu dan cara
pembuatan obat yang baik, selain beranggapan bahwa memberdayakan petani dan penyelesaian di tingkat hulu merupakan tanggungjawab pemerintah. Setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan masing – masing, kombinasi antara pemrakarsa industri dengan pemerintah menjadi pendekatan
harmonis
untuk membangun sistem rantai pasokan basis jaringan. Industri akan mencari tokoh-tokoh di desa yang memiliki kesamaan pandangan untuk memajukan usaha tani tanaman obat tetapi memiliki keterbatasan dalam cakupan pembinaan. Industri akan menjelaskan perlunya mempererat hubungan secara lebih berstruktur dan mendorong para tokoh yang telah mempunyai hubungan dengan petani untuk mewujudkan jaringan. Mengacu pada temuan selama penelitian, memang terdapat tokoh yang peduli terhadap kemajuan usaha tanaman obat petani. Tokoh dimaksud, atas usaha sendiri melakukan pembinaan dalam skala terbatas. Dengan bertemunya pihak dengan visi sama menjadi kekuatan luar biasa untuk pembangunan jaringan. Pemerintah sesuai dengan perannya mengeluarkan kebijakan dalam hal memajukan petani. Adapun empat tahapan strategis pembangunan jaringan dapat dilihat pada Gambar 25 berikut ini. JARINGAN DIMILIKI PETANI
INDUSTRI
PEMERINTAH
TAHAP I PELETAKKAN DASAR ORGANISASI JARINGAN
TAHAP II OPERASIONALISASI
TAHAP III PEMBINAAN
TAHAP IV PENGELOLAAN MANDIRI
Gambar 25 Empat tahapan strategis pembangunan jaringan.
7.1. Tahapan Strategis Pembangunan Jaringan 1. Tahap Pertama : Penetapan dasar organisasi jaringan Tahap pertama menyelesaikan lima bagian pekerjaan penyiapan jaringan yakni: penataan organisasi, keanggotaan, penataan proses, penyiapan fasilitas dan petugas pelaksana. Tujuannya adalah : a. Menghasilkan cetak biru pengorganisasian jaringan dengan menetapkan kewenangan pusat manajemen, kelompok petani, petani anggota dan fasilitator. Mengelompokkan fungsi dan menempatkan pada pelaksana fungsi. Menetapkan garis komunikasi dan bagaimana pemrosesan dan aliran informasi. Pengaturan lingkup keputusan dan bagaimana disebarkan ke setiap anggota untuk mencegah timbulnya konflik internal. b. Menyelesaikan pendeskripsian
hak dan kewajiban anggota,
ruang
lingkup tanggung jawab anggota dan mekanisme koordinasi anggota dan kelompok. c. Menghasilkan keterhubungan proses, dan data kemampuan proses yang sanggup dilakukan oleh anggota, siapa yang akan mengerjakan bagian proses yang mana dan keterhubungan proses satu sama lain. Seluruh prosedur diuraikan dengan jelas, demikian pula penetapan titik kendali dari setiap proses dan menjadi manual organisasi jaringan. d. Mempersiapkan
fasilitas
mencakup
lokasi
kantor
untuk
pusat
manajemen, gudang penyimpanan, lantai pengeringan dan alat bantu kerja lainnya. e. Mempersiapkan petugas pengelola di pusat manajemen jaringan sehingga kegiatan dalam lingkup fungsi hubungan eksternal mulai dilakukan. Peletakkan dasar organisasi pada tahap pertama ini dengan memperhatikan hasil sintesa ISM terhadap sub-elemen struktur dan sistem organisasi pada elemen tujuan. Kejelasan pengorganisasian akan membantu calon anggota membandingkan dan mempelajari apa manfaat yang akan diperoleh bilamana menjadi anggota jaringan. Penjabaran
konsep pada tahap pertama memerlukan kegiatan berpikir secara konseptual sehingga peran pemrakarsa menjadi tinggi. Aktivitas kunci yang dihasilkan dari sintesa ISM yakni survei lokasi, telah mulai dilaksanakan pada tahap pertama sehingga petani anggota dari beberapa daerah sumber pasokan yang telah tergerak bergabung dapat ditempatkan pada kelompoknya. Bersamaan dengan pertambahan jumlah petani bergabung dengan jaringan, fasilitator akan terus mensosialisasikan manfaat berjejaring. Mekanisme penerimaan anggota diatur sebagaimana Gambar 26 berikut ini.
Mulai
Analisis kesediaan petani bergabung tinjauan status saat ini (kontrak)
ya
Potensi lahan, tanaman obat, kondisi ikatan dengan pihaklain
Menolak ?
tidak Analisis kesediaan memenuhi norma organisasi tinjauan sikap dan perilaku
Bersedia ?
tidak
Rujukan norma: integritas, komitmen, kerjasama
Tetap mekanisme dagang/ tidak terikat
ya
Analisis potensi petani andalan, untuk fasiltator
tidak
Pengembangan/ pendampingan
Kompetensi sesuai ?
Kriteria fasilitator
Kepemimpinan, penerimaan lingkungan, pengetahuan
ya
Sesuai ?
ya
tidak
Petani, fasilitator terdaftar
Selesai
Gambar 26 Penerimaan petani anggota jaringan.
Siapa sebaiknya menjadi fasilitator diperoleh berdasarkan informasi dari petugas pemrakarsa industri atau mitra kerja di desa. Fasilitator dimaksud dapat berasal dari petani, tokoh non petani yang memiliki kemampuan mengkoordinasikan kegiatan dan memahami tanaman obat. Apabila setelah dilakukan survei, ternyata tidak terdapat orang yang tepat sebagai fasilitator, maka industri dapat menempatkan petugasnya sementara waktu sambil melakukan pembinaan atau meminta bantuan pemerintah untuk menempatkan petugas berkemampuan guna memfasilitiasi kegiatan kelompok. 2.
Tahap Kedua : Operasionalisasi kegiatan Setelah tahap penyusunan organisasi jaringan selesai, maka tahap kedua adalah melaksanakan pengoperasian kegiatan dengan sasaran terselenggaranya proses produksi, pemasaran dan pengendalian keuangan secara tertib dan terkendali. Kinerja pengelolaan operasi dinyatakan dengan tingkat penolakan bahan baku rendah, perolehan harga premium, kesesuaian jumlah produksi dengan serapan pasar guna mencegah bahan baku tertahan di gudang. Perincian ruang lingkup kegiatan pada tahap kedua sebagai berikut : a.
Mencari anggota sehingga mencapai jumlah petani sesuai target.
b.
Melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada industri dengan sasaran pengenalan dan perluasan pembeli.
c.
Mengoperasikan transaksi dengan pembeli dan penyaluran bahan baku dalam waktu, jumlah dan tingkat mutu yang sesuai lebih giat dilaksanakan dengan bantuan dari pemrakarsa. Keberhasilan pada tahap ini ditunjukkan dengan kesediaan industri membeli bahan baku yang dipasok.
d.
Melaksanakan pembelajaran anggota dan petugas pusat manajemen jaringan
dalam mengelola organisasi jaringan. Pembelajaran
mencakup perencanaan pengadaan dan pemasaran berdasarkan analisis permintaan dan penawaran, pengambilan keputusan, pengelolaan persediaan, manajemen transportasi dan pembukuan.
e.
Mengalihkan pengetahuan dari petugas pemrakarsa yang memiliki kemampuan pengelolaan kepada fasilitator dan pengelola pusat manajemen jaringan, sehingga secara bertahap peran industri dikurangi.
f.
Mencari akses modal mengingat faktor tersebut menjadi kendala pada pembangunan jaringan sebagaimana hasil sintesa ISM. Terdapat alternatif sumber modal yakni pinjaman bank, pinjaman industri berupa uang muka pembelian bahan baku dan iuran anggota yang jumlahnya ditetapkan oleh organisasi. Jaringan dapat mengusahakan pencarian pinjaman kepada
lembaga pembiayaan
untuk kepentingan anggota. Apabila petani kurang
memiliki
kemampuan melakukan pembayaran iuran anggota secara sekaligus, maka diatur
penempatan uang muka
dalam prosentase yang
disepakati dari total dana penempatan yang ditetapkan. Sisa kewajiban diangsur dari hasil penjualan bahan baku. Pemerintah dapat mengambil peran memfasilitasi kemudahan pinjaman dari pihak pemberi pinjaman. Bilamana dua tahapan strategis telah dikuasai maka peran pemrakarsa dapat berangsur berkurang dan dialihkan pada pengelolaan terkendali yang dilakukan oleh anggota dan pengurus. Guna melaksanakan aktivitas operasional pusat manajemen jaringan,
pekerjaan dikelompokkan menjadi
operasional dan
dua bagian
yakni
keuangan - administrasi umum. Bagian operasional
mencakup kegiatan pokok : 1. pengadaan bahan baku, 2. pembinaan anggota dan 3. pemasaran. Kegiatan pengadaan bahan baku mencakup : perencanaan dan pendataan produksi, penyiapan pasokan, pengendalian mutu dan penyimpanan. Pengaturan arus masuk dan keluar bahan baku dikelola berdasarkan perhitungan saat panen, persediaan bahan baku di gudang dan perkiraan permintaan.
Pembinaan anggota merupakan aktivitas yang dilakukan oleh fasilitator untuk meningkatkan kemampuan anggota dari segi : budidaya, pascapanen dan berorganisasi. Petani diajak untuk berusaha secara profesional dengan mengedepankan komitmen. Kegiatan pemasaran merupakan serangkaian aktivitas perencanaan target pasar, membina hubungan untuk mempertahankan pembeli, melakukan aktivitas pemasaran, dan menyalurkan bahan baku.. Perluasan pasar akan menjadi perhatian guna
memperbesar kemungkinan
menyalurkan pasokan anggota. Desain organisasi yang bertumpu pada peran aktif anggota akan meminimalisir penggunaan pegawai tetap di pusat manajemen sehingga menekan pengeluaran biaya tetap. Bagian keuangan dan administrasi umum mencakup kegiatan pendukung yakni : (1) akunting dan keuangan (2) administrasi dan pengelolaan orang Kelompok keuangan dan administrasi umum akan mengelola aktivitas uang masuk dan keluar, pencatatan keuangan, pengadaan fasilitas organisasi, hubungan dengan lembaga pembiayaan, legalitas dan izinizin, serta pengelolaan tenaga kerja. Pengelola pusat manajemen jaringan adalah manajer yang dibantu oleh petugas pelaksana yang menangani operasional dan pengendalian keuangan. Petugas pelaksana operasional bertanggung jawab memantau pergerakan harga tanaman obat dari berbagai sumber pasokan dan harga jual yang ditetapkan oleh pengumpul dari berbagai daerah, berkunjung kepada kelompok petani dan aktivitas berkaitan pemrosesan permintaan dan pasokan. Petugas pelaksana keuangan bertanggungjawab dalam pengendalian arus kas, pengelolaan fasilitas/ aset lembaga, pembayaran berbagai pihak, pembagian sisa hasil usaha, hubungan dengan lembaga pembiayaan, pengolalaan pelaksana dan buruh kerja. Manajer, bertanggung jawab atas pencapaian kinerja jaringan ditinjau dari keterlibatan anggota, perolehan pendapatan organisasi, dan penjualan / penyaluran bahan baku kepada pihak industri. Manajer
memastikan bahwa perencanaan dan pengendalian staf di bawahnya berjalan dengan baik. Melalui kemampuan berkomunikasi, terdapat kemungkinan diperoleh dana bantuan ataupun pembinaan bekerjasama dengan agroindustri farmasi, departemen teknis atau pemerintah daerah setempat. Setiap individu dapat menjadi manajer dengan syarat memenuhi kelayakan kompentensi generik, teknikal dan manajerial. Manajer digaji dengan standar upah minimum regional ditambah dengan
tunjangan
jabatan.
Tenaga
pelaksana
diperhitungkan
mendapatkan upah setara dengan upah minimum regional. Bilamana kegiatan jaringan berkembang, dimungkinkan derajad bagian operasional yang dipimpin oleh seorang kepala bagian operasional dan tidak sekedar seorang staf dengan cakupan tanggungjawab yang lebih luas dalam pensupervisian. Mekanisme pengkoordinasian kegiatan dilakukan melalui pertemuan reguler pusat manajemen dengan fasilitator sehingga senantiasa dapat disampaikan kondisi pasar tanaman obat. Pada tahap ini, pemrakarsa memperkenalkan cara menilai kinerja jaringan secara kuantitatif yang mencakup kinerja : pemasaran, keuangan, operasional / proses internal, dan pembelajaran. 3.
Tahap ketiga : Pembinaan Jaringan Sasaran pada tahap ini adalah memperbaiki fungsi jaringan yang dinilai belum efektif, tercapai pengelolaan operasional berupa kapasitas produksi dan mutu produk, kinerja hubungan antar anggota dan perubahan perilaku anggota. Anggota didorong untuk menganalisis rantai proses yang belum menunjukkan kinerja sebagaimana diharapkan, menilai kembali anggota yang belum terlibat aktif, dan koordinasi yang masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Permasalahan di lapangan dianalisis di dalam kelompok untuk dicari solusinya. Berapa lama tahapan ketiga ini berlangsung, tergantung dari kemajuan pembentukan kelompok dan kemandirian pengelola.
Bilamana target pada tahap ketiga tercapai, menjadi tanda bahwa perangkat organisasi siap memasuki tahap keempat yakni pengelolaan mandiri dimana keterlibatan industri diganti dengan partisipasi anggota dan pengelola pusat manajemen. Kehadiran industri hanya dilakukan dimana diperlukan dan bertindak sebagai konsultan organisasi. Dalam kegiatan jaringan yang melibatkan banyak individu, diperlukan pengambilan keputusan yang tepat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Lingkungan bisnis yang berubah cepat sering memerlukan keputusan lebih cepat, yang dapat berakibat pada mutu pengambilan keputusan (Turban, Aronson dan Peng Lian, 2005). Pengambilan keputusan semakin kompleks bilamana melibatkan beberapa orang di dalam kelompok. Area pengambilan keputusan dibagi menjadi dua yakni keputusan strategis dan teknis sebagai berikut : a. Keputusan teknis operasional adalah keputusan yang diambil oleh kelompok mencakup cara bagaimana anggota berkontribusi dan bagaimana
pelaksanaan
teknis
diselenggarakan
mencakup:
budidaya dan usaha tani, pengelolaan aktivitas, mekanisme pemecahan masalah anggota dan berpendapat. Dengan bantuan fasilitator, keputusan teknis dikelola sejalan dengan keputusan yang ditetapkan oleh pusat manajemen jaringan. b.
Keputusan strategis berada pada pusat manajemen jaringan mencakup : pemasaran, pengembangan usaha, keorganisasian, dan pemberdayaan anggota dengan cakupan yang lebih luas untuk kepentingan seluruh anggota. Keputusan strategis akan menjadi anutan dari seluruh anggota. Bagan di bawah ini akan menunjukkan bagaimana dua keputusan ditetapkan oleh lembaga jaringan.
Mulai
Analisis persaingan
Analisis Kebutuhan
Lingkungan Industri dan Jauh
- pergerakkan permintaan
- pergerakkan harga - pendekatan pesaing - jumlah pesaing
- pergerakkan harga industri - perkembangan pasar agroinidustri
Analisis pengadaan nasional
- peraturan - inflasi - suku bunga
Analisis faktor pendukung
- pasokan desa - nasional - produksi petani non anggota - prediksi stock
- ketersediaan gudang - kemungkinan dana pinjaman - penyediaan buruh
KEPUTUSAN STRATEGIS Rujukan (1). Total ped pengumpul, Jml
serapan tan obat, harga beli. (2). Total permintaan industri. (3). Harga beli AIF (Ai Mancur, Sidomuncul, Nyonya Meneer Jago) (4). Suku bunga kredit. Tkt inflasi (5), Sewa,lokasi, luas gudang, biaya buruh.
tidak Data lengkap ya Kebijakan pembelian,tingkat kualitas dan harga
tidak
Harga sesuai Jumlah stock gudang Jumlah penyaluran ya - Keputusan harga - Kebijakan produk (jenis, tingkat mutu, pasokan) - Jumlah pembelian
Penetapan lokasi penyimpanan
tidak
Kapasitas ? Sewa < /= batas ?
KEPUTUSAN OPERASIONAL
ya
Lokasi gudang, FIFO
Selesai
Gambar 27. Skema pengambilan keputusan jaringan
4.
Tahap keempat : Pengelolaan Mandiri Tanggung jawab pengelolaan jaringan pada tahap ini telah diserahterimakan kepada petani. Dengan demikian rekayasa rantai pasokan berbasis jaringan yang dimiliki sepenuhnya oleh anggota terwujud. Indikator jaringan siap berada pada tahap pengelolaan mandiri ditunjukkan dengan: 1. kemampuan pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh petani, fasilitator dan pengurus, 2. proses bisnis berjalan, 3. pengelolaan administrasi terpenuhi, 4. cara petani beraktivitas telah tepat. Kondisi dimana kegiatan rutin berjalan sesuai proses bisnis dengan tingkat kesalahan rendah menunjukkan proses pembelajaran telah berjalan baik. Aktivitas kerja jaringan yang berada dalam tanggung jawab masing-masing bagian mengikuti
proses bisnis sebagaimana
diterakan pada gambar 28. Masing – masing penanggung jawab bagian melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dalam proses bisnis.
kegiatan
Kegiatan pemasaran
Manajer
Industri Lembaga teknis
Pelaksana operasional
Kegiatan Sosialisasi
Pusat penyimpanan data
Petani anggota
Evaluasi pencapaian
Penyaluran
Penyimpanan
Pengolahan
Pembelian
Perencanaan pengadaan b.baku
Perkiraan kebutuha n bahan baku
Pembinaan petani
Kegiatan operasi Pengadaan fasilitas pergudangan, transportasi Penyediaan buruh operasional Keuangan/ dana operasi
Staf akunting dan administrasi umum
Kegiatan pendukung
Gambar 28 Kegiatan operasi pusat manajemen jaringan. Keberhasilan jaringan diukur dari : a. keuntungan, arus kas, b. pertumbuhan permintaan, c. tingkat penolakan produk, d. umur keanggotaan dan e. tingkat kepuasan pelanggan. Tolok ukur tersebut merefleksikan kemampuan operasional jaringan memuaskan pembeli industri, maupun memenuhi komitmen organisasi memberikan nilai lebih bagi anggota dalam wujud kepuasan, pembinaan dan kemajuan. Efektivitas pengelolaan diwujudkan dari seberapa cepat permintaan pasok bahan baku dapat dipenuhi kepada pembeli. Dalam pemenuhan
permintaan
pasokan,
tenggang
waktu
(lead
time)
diperhitungkan secara seksama dengan menganalisis waktu pengalihan permintaan kepada masing-masing anggota, melakukan pengumpulan bahan baku dan memproses sesuai persyaratan yang diminta. 7.2. Kepemilikan Jaringan Pada tahap awal pembangunan, jaringan tidak dipusingkan dengan pemilihan hukum usaha. Terdapat tiga jenis badan hukum usaha yang dikenal di Indonesia yakni : 1) usaha swasta, 2) badan usaha pemerintah dan 3) koperasi (Hendrajogi, 1998). Esensi berjejaring lebih mengedepankan bagaimana hubungan pemasok-pemasok. Jaringan diharapkan segera beroperasi tanpa terkendala oleh persyaratan legalitas. Jaringan menempatkan anggota sebagai pemilik, dimana salah satu alternatif memperoleh modal adalah dari anggota. Setoran modal diatur agar tidak terjebak pada pemusatan modal sehingga dikhawatirkan mempengaruhi keputusan. Dengan demikian, modal saham anggota tidak dipindahtangankan dengan tujuan mendorong anggota petani bersungguh-sungguh berhimpun di dalam jaringan. Atas dasar ini pula diharapkan jaringan menjadi kuat. Setoran modal anggota merupakan tanda keikutsertaan sebagai anggota. Modal tersebut tidak dihitung untuk mendapatkan manfaat atau nilai deviden. Pengaturan-pengaturan dalam hal permodalan dan pengelolaannya diperlukan sehingga memberikan kepastian. Modal saham diatur tidak dapat ditarik untuk satu masa, yang lama masa tersebut ditetapkan dalam rapat pengurus terutama bagi anggota yang bermaksud mengundurkan diri. Jaringan berazaskan manfaat pada anggota dimana masing-masing bertanggungjawab atas bagian yang disanggupi,
berpartisipasi dan
menyumbangkan kemampuan untuk keberhasilan organisasi. Pengelola pusat manajemen akan menetapkan kebijakan dasar, visi dan misi organisasi dan pengendalian operasional secara menyeluruh. Tenaga pengelola di pusat manajemen ditetapkan oleh anggota. Pengelola berasal dari petani, kemungkinan sulit diperoleh pada tahap pertama dan kedua langkah strategis. Alternatif pertama untuk mengatasi kendala tenaga pengelola dilakukan dengan menarik tenaga profesional yang
dapat mengelola jaringan. Alternatif kedua, memperoleh tenaga pengelola yang berasal dari pemrakarsa industri. Kelanjutan dari pemakaian tenaga profesional sebagai pengelola pusat manajemen dapat diputuskan oleh anggota. Pengambilan keputusan strategis dan penetapan rencana tahunan akan menemui kesulitan apabila melibatkan seluruh anggota mengingat domisili anggota yang berjauhan. Pemecahannya dilakukan dengan mewakilkan suara anggota kepada anggota lain atau fasilitator. Kebijakan sisa hasil usaha akan ditetapkan berdasarkan masukan anggota. Distribusi sisa hasil usaha akan terdiri dari keuntungan jaringan setelah disisihkan dana cadangan untuk menghadapi paceklik atau resiko penurunan
penjualan,
sejumlah
prosentase
tertentu
untuk
tujuan
pengembangan. Apabila jaringan menderita kerugian, maka ditetapkan alokasi tanggungan anggota. Bilamana terjadi pembubaran, maka modal saham yang telah disetorkan sejauh masih dimiliki sisa, dikembalikan kepada anggota secara proporsional. Biaya operasional bagi fasilitator disiapkan berasal dari biaya pengelolaan yang dicadangkan untuk setiap kilogram bahan baku sebesar Rp 20,- Adapun alokasi insentif bagi pengelola jaringan disisihkan berasal dari biaya transaksi sebesar Rp 15,- per kilogram. 7.3. Persyaratan Implementasi Jaringan
memerlukan
persyaratan-persyaratan
agar
dapat
diimplementasikan. Keberhasilan penerapan sistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan usaha dan kemungkinan penghambat internal. Sesungguhnya, apapun bentuk usaha memerlukan komitmen pemerintah dalam memberikan kemudahan dan keamanan berusaha, prasarana, sarana, dan paket kebijakan yang mendorong kemajuan usaha, dan pemihakan kepada kalangan petani. Lingkungan industri merupakan faktor yang sangat dekat dengan kelangsungan hidup petani tanaman obat. Ekspansi industri akan memberikan dampak pada peningkatan volume produksi yang pada akhirnya mendorong permintaan bahan baku. Sebaliknya kesulitan pemasaran dan hambatan
perluasan usaha industri memberikan dampak negatif kepada petani. Untuk dapat menyejahterakan petani jaringan terlebih dahulu berhasil secara usaha. Persyaratan yang diharapkan terpenuhi dalam membangun rantai pasokan berbasis jaringan adalah : 1. Respon industri Keberhasilan
mewujudkan
jaringan
dan
pengoperasiannya,
memerlukan respons industri, dalam bentuk kesediaan menjalin kemitraan dengan jaringan. Dampak dari kesediaan bermitra akan menghasilkan keputusan pembelian bahan baku dengan harga terbaik disesuaikan dengan tingkat mutu bahan baku. Harapan kepada industri agar jaringan dapat diimplementasikan adalah : a. memiliki visi membangun usaha agroindustri farmasi yang kuat, dan menempatkan petani sebagai aktor penting di dalam manajemen sumber bahan baku. b. komitmen memberikan informasi kebutuhan bahan baku. c. tidak memutuskan kontrak secara sepihak dan bersedia memberikan pembinaan. d. melakukan pembayaran tunai terhadap pembelian bahan baku bahkan bilamana dimungkinkan membayar uang muka pembelian bahan baku yang dapat dipergunakan sebagai modal kerja jaringan minimal pada tahap pertama dan kedua dari empat tahapan strategis. e. melakukan transaksi secara wajar dan tidak melakukan penekanan yang bersifat oportunistik. Harga sebagai instrumen penentu transaksi dicapai bilamana keduabelah pihak saling terbuka dan mencapai titik temu untuk kepentingan bersama. Dalam hal penetapan harga beli, kedua belah pihak sebaiknya mencapai kesepakatan harga pembelian bahan baku untuk jangka tertentu. Mengingat harga tanaman obat cenderung berfluktuasi maka pada saat harga bergerak naik di luar kesanggupan pembeli, industri dan jaringan dapat melakukan kesepakatan perubahan harga baru yang tidak merugikan industri. Sebaliknya, bilamana harga bergerak turun, maka
dapat disepakati pada tingkat harga sebagaimana ditetapkan
sebelumnya atau terdapat keputusan lain yang saling tidak merugikan. Peluang penyesuaian harga meningkat atau menurun dapat dibicarakan pada saat pertemuan penetapan harga beli yang pada prinsipnya adalah keterbukaan kedua belah pihak dan mempunyai komitmen penyelesaian terbaik sehingga tumbuh secara sehat. 2. Dukungan pemerintah Keterbatasan membutuhkan
kemampuan
kehadiran
petani
pemrakarsa
membangun
industri
dengan
jaringan, dukungan
pemerintah. Pemerintah membantu jaringan dalam : 1. penyuluhan atau pembinaan kepada petani tanaman obat melalui dinas terkait. 2. mendorong lembaga pembiayaan memberikan kredit bagi kepentingan usaha tani tanaman obat 3. perbaikan infrastruktur, dan menjamin kemudahan sarana produksi . 4. bekerjasama dengan balai penelitian melakukan penyuluhan budidaya. 5. konsistensi
peraturan
yang
melindungi
konsumen
terhadap
agroindustri farmasi ilegal yang tidak dijamin keamanan produknya sehingga merusak citra produk secara keseluruhan. 6. mengalokasikan lahan bagi pengembangan tanaman obat dengan memberikan peluang petani mengolahnya. 7. memasukkan pengembangan usaha tanaman obat sebagai kebijakan strategis yang layak mendapatkan dukungan dari DPRD terutama di kabupaten-kabupaten sumber pasokan.. 3. Respon petani anggota Keberhasilan jaringan bertitiktolak pada partisipasi anggota. Tokoh panutan akan mendorong petani menjadi
anggota dan memberikan
komitmen memasok tanaman obat. Lahan petani yang terbatas dengan luas rata – rata 0.3 hektar per petani, bilamana disatukan dalam kelompok dapat diubah menjadi lahan satu hamparan lebih luas sehingga terjadi
efektivitas kegiatan melalui berbagi informasi dan perencanaan budidaya terpadu. Diasumsikan petani memiliki komitmen mengikuti cara berbudidaya yang tepat dan terdorong meningkatkan pengelolaan usaha tani. Untuk mencapai hal dimaksud dipersyaratkan kesediaan petani : 1. mematuhi prosedur organisasi jaringan dan tata laksana teknis operasional yang ditetapkan 2. aktif dalam kegiatan bagi kepentingan kelompok 3. berkomitmen mengembangkan diri 4. berkontribusi membentuk hubungan kerja antar anggota dan dengan pusat manajemen jaringan, mencegah kemungkinan persaingan usaha tidak sehat dari pihak ekseternal dan 5. bersedia menyerahkan bahan baku dengan waktu pembayaran menunggu dari penerimaan pembayaran dari industri.
4. Lembaga Pembiayaan Lembaga pembiayaan yang berasal dari
institusi perbankan,
lembaga pembiayaan mikro maupun non perbankan seperti perusahaan milik negara pembina unit usaha kecil menengah, bersedia memberikan pinjaman modal kerja bagi keperluan petani anggota atau jaringan. Melalui intervensi pemerintah diharapkan lembaga pembiayaan bersedia memberikan kredit dengan surat kontrak pembelian dari industri. Kredit bank ditujukan untuk modal investasi dan modal kerja. 7.4. Kekuatan dan Keterbatasan Jaringan Rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan memperkaya studi tentang manajemen rantai pasokan, dengan mengkonkritkan tinjauan hubungan di dalam jaringan melalui tatakelola berdasarkan kekuatan pembagian proses dan pembelajaran. Berhimpunnya petani dengan berorientasi kepada kebutuhan pembeli mendorong perhatian seksama akan mutu proses sebagaimana telah dihasilkan dari penerjemahan Quality
Function Deployment. Kemampuan untuk menghasilkan lebih baik, akan berimplikasi pada harga beli yang lebih tinggi. Kekuatan jaringan bertumpu pada kontribusi aktif dan bukan berdasarkan hubungan atas-bawah yang kaku. Kumpulan petani ini akan menghubungkan beragam kemampuan pembudidayaan tanaman obat, menyatukan proses dan menembus batas desa sehingga jenis tanaman obat yang berhasil dikumpulkan akan beragam. Melalui jaringan yang dimiliki petani, akan menjadi sarana pemberdayaan petani untuk memiliki kekuatan yang mampu berinteraksi dan melakukan negosiasi dengan
lembaga-
lembaga usaha lainnya. Namun, selain kekuatan sistem sebagaimana diuraikan diatas, jaringan memiliki keterbatasan yakni : 1.
Jaringan bekerja dengan jumlah petani dengan kesanggupan memasok sampai batas BEP (lihat bab VIII). Pasokan disalurkan kepada pembeli tanpa jeda waktu atau masa tunggu. Kondisi ini penting karena berakibat perubahan mutu atau terjadi penyusutan berat.
2.
Semua batasan atau asumsi bekerja dengan tepat. Kegagalan perkiraan kerusakan panen, resiko rusak pengolahan maupun penyimpanan menjadi peluang ketidaksanggupan memenuhi komitmen pasokan dan pada akhirnya mengurangi kepercayaan. Dengan demikian, setiap kali perubahan dua asumsi tersebut akan berpengaruh pada perhitungan pendapatan jaringan secara keseluruhan.
3.
Jaringan mengandalkan kehadiran fasilitator dan telah diasumsikan terdapat figur dimaksud, dan bilamana belum ada diatur dengan kehadiran fasilitator dari pemrakarsa sambil secara bertahap dilakukan pembinaan menjadi fasilitator.
4.
Jaringan bertumpu kepada
industri sebagai pemrakarsa sekaligus
pembeli. 5.
Jaringan
bekerja dengan asumsi, petani memegang nilai integritas,
kebersamaan dan komitmen sudah menyatu pada diri petani selaku anggota. Sistem tidak memasukkan resiko pembelotan petani atau tindakan tidak terpuji dengan melanggar komitmen. Jaringan tidak
memasukkan perhitungan resiko terjadi pengalihan lahan untuk dipergunakan menanam tanaman lain selain tanaman obat. 6.
Seluruh perhitungan semata dengan menggunakan pengalihan tanaman obat segar menjadi bahan baku irisan kering dan belum dengan variasi jenis lainnya.
VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM 8.1. Validasi Validasi bertujuan menelaah logika berpikir dalam membuat perekayasaan sistem sehingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan dengan memeriksa kembali teori, asumsi dan pendekatan yang mendukung atau dipergunakan. Suatu model dinyatakan valid untuk satu set kondisi tertentu dengan mencapai ketelitian sebagaimana dikehendaki oleh tujuan dari model. Validitas model konseptual adalah menetapkan bahwa teori dan asumsi yang melandasi model konseptual tersebut tepat dan model telah merepresentasikan dari entitas permasalahan yang diarahkan untuk mencapai tujuan (Sargent, 2000). Validasi, adakalanya tidak dilakukan untuk keseluruhan model sistem mengingat permasalahan yang kompleks. Pengumpulan data yang relevan untuk membangun rekayasa sistem diperlukan sebagaimana dinyatakan Campbell di dalam Bungin (2005). Beberapa teknik validasi diajukan oleh Martis (2006) antara lain membandingkan dengan model lainnya, memprediksi perilaku sistem, data eksperimental dibandingkan dengan data historis, mengajukan pertanyaan kepada pihak yang memiliki pengetahuan untuk menilai apakah perilaku model sistem dapat dipertanggungjawabkan dan pendekatan scoring. Langkah validasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan kelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam dunia usaha tanaman obat. Hal ini sesuai dengan apa yang diajukan oleh Martis yakni menggunakan individu yang berpengetahuan.
Langkah-langkah yang
dilakukan adalah : 1.
merancang sejumlah elemen yang merefleksikan kriteria yang akan divalidasikan.
2.
mendeskripsikan
metode
validasi
melalui
rujukan
teori
dan
penggunaan kelompok pakar. 3.
memilih kelompok pakar terdiri dari praktisi, peneliti, pembina petani, dan ketua koperasi yang berhubungan dengan petnai tanaman obat.
4.
mengajukan pertanyaan dengan satuan skala 5 dari sangat tidak mungkin (skala 1) atau sangat rendah hingga sangat mungkin atau sangat tinggi (skala 5).
Kuisioner berisi sejumlah faktor faktor yang berpengaruh terhadap sistem rantai pasokan berbasis jaringan, diajukan kepada responden pakar. Faktor akan berhubungan dengan penilaian : 1. tujuan jaringan mensejahterakan anggota 2. keterlibatan petani di dalam jaringan 3. perilaku petani Selain menggunakan kelompok pakar, validasi atas tujuan jaringan didekati dengan penggunaan analisis benefit, cost, opportunity, risk. Berdasarkan hasil perhitungan, sistem rantai pasokan berbasis jaringan dinyatakan valid dapat mencapai tujuan kesejahteraan petani pada kondisi optimistik. Validasi terhadap elemen tujuan berdasarkan agregasi pendapat pakar menggunakan skala sangat rendah sampai sangat tinggi, diperoleh nilai tinggi. Fungsi jaringan yang melibatkan aktivitas petani untuk mengintegrasikan proses dinyatakan valid sebagaimana dirujuk pada Vokurka et al., (2002). Integrasi proses telah ditelaah menggunakan metode QFD dengan hasil terbukti terjadi korelasi antara mutu dan proses. Agregasi pendapat responden terhadap kepatuhan pada tata cara budidaya dan pascapanen dihasilkan nilai tinggi. Namun, hasil agregasi terhadap perilaku petani untuk tidak mengalihkan pasokan pada pihak lain dinyatakan sedang. Menurut responden Sinambela, dalam hal penggunaan tenaga fasilitator dinyatakan valid, mengingat petani tidak berkemampuan melakukan pemberdayaan diri mereka dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar. Fasilitator harus seseorang yang dikenal dan memiliki daya tahan untuk melakukan pendekatan dan pensosialisasian. Figur fasilitator yang dinilai tepat oleh responden adalah aparat di desa. Esensi dari mengapa aparat desa dipergunakan, karena lebih mengenal masyarakat di desanya. Dengan demikian alasan
mengenal masyarakat, merupakan kriteria atas
siapa yang paling tepat sebagai fasilitator yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya.
Responden Widyastuti, membenarkan hubungan antara petani dan industri tepat dilakukan karena kebenaran bahan baku yang menjadi permasalahan industri harus dimengerti oleh petani dan kondisi tersebut harus tercermin pada pemrosesan bahan baku awal. Dalam hal permasalahan mutu dinyatakan valid sebagaimana terdapat di lapangan dan jaringan mempunyai peran untuk mewujudkan ke dalam proses yang bermutu. Mengingat petani sering mengubah cara pengelolaan usaha tani, maka sistem pengawasan dan penyuluhan menjadi tepat diterapkan. Sub-elemen konflik telah divalidasi dengan mencari logika pendukung atas elemen pemicu konflik berdasarkan pendapat responden pakar Harsono ketua Koperasi BPTO, dimana sub-elemen konflik dan solusi telah tepat. Dengan demikian, ketika sistem diimplementasikan di lapangan akan mengurangi gap konflik karena telah disiapkan langkah-langkah pencegahan. Hasil agregasi pendapat responden atas sub-elemen validasi memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi No 1
2
3
Elemen Tujuan jaringan
Keterlibatan petani pada jaringan
Perubahan perilaku petani
ST = sangat tinggi
Kriteria Kemampuan jaringan mensejahterakan petani
Agregasi pendapat pakar T
Kemampuan jaringan mencerdesakan petani Petani memenuhi tata cara budidaya Petani mematuhi tata cara pascapanen Petani memenuhi jadwal Komitmen Integritas Sinkronisasi keputusan dan integrasi proses Kompetisi Tidak Sehat T = tinggi S = sedang
T ST ST T T S T S
Validitas penggunaan AHP sebagai alat pengambil keputusan telah dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi sempurna juga sulit dicapai. 8.2. Verifikasi Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri.
Selanjutnya,
dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 % dan mampu menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli. 1. Komponen Biaya Usaha Tani Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah : a. Biaya budidaya tani Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk kandang dan buatan, serta obat-obatan. b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.
c. Biaya pemasaran Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk mencari pembeli. d. Biaya pengelolaan Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya tidak diperhitungkan oleh petani. Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar Uraian
Satuan
Temulawak Lempuyang Lempuyang Kunyit wangi
Bibit
kg
Harga bibit
Rp/kg
Pengolahan tanah orang Penanaman
orang
Pemeliharaan
orang
Pupuk kandang
kwintal
Panen
orang
Biaya pembersihan Rp/kg Obat-obatan
Jahe
Kg
Kencur
pahit
2.500
1.875
2.000
2 000
1.700
2.000
1.000
250
400
400
400
400
25
25
25
25
25
25
40
30
30
30
30
30
40
30
30
30
30
30
25
10
15
15
15
15
40
30
30
30
30
30
15
15
15
15
15
15
20
20
20
20
20
20
Tabel 25 Asumsi analisis usaha tani Uraian
Satuan
Nilai
Pembiayaan Rp/ha/th Kg/unit Rp/ unit Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg % Rp
2.500.000,50 1.000,5020,75,20,14 5.000.000,-
Tingkat kerusakan dan penolakan Rata-rata kerusakan panen % 5 Penolakan oleh pembeli % 5 Produksi rata-rata Jahe kg/ha/thn 15.000 Temulawak kg/ha/thn 15.000 Lempuyang wangi kg/ha/thn 10.000 Lempuyang pahit kg/ha/thn 10.000 Kunyit kg/ha/thn 10.000 Kencur kg/ha/thn 10.000 Rasio panen terhadap bibit Jahe Per kg 6 panen Temulawak 8 Lempuyang wangi 8 Lempuyang pahit 8 Kunyit 6 Kencur 6 Sewa lahan Kapasitas karung Biaya karung kemasan Biaya buruh ( naik dan turun ) Biaya pengelolaan Biaya truk angkutan Biaya pemasaran/transaksi Suku bunga Biaya investasi dalam 5 tahun
2. Perhitungan Biaya Usaha Tani Hasil perhitungan
usaha tani
per hektar dengan alat bantu
program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit, temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 % dari seluruh lahan, temulawak sebesar 10,5 %, kunyit 14,3 % dan tanaman lainnya sebesar 30,2 %.
Berdasarkan hasil perhitungan,
biaya
usaha tani tanaman
temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi, walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional.
20 18
17.2
Biaya usaha tani (Rp. juta/hektar)
16 14
11.85
11.38
12
9.17
10 8 6 4 2 0 Jahe
Kunyit
Temulawak
Campuran
Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat. Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan, tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa sampai ke kota kabupaten.
Perhitungan pendapatan petani, mempergunakan harga tanaman obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di lapangan, harga tanaman obat temulawak
dibandingkan dengan
tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan
harga jual jahe
segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan komoditas lain.
Harga TO (Rp/ kg)
7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pergerakan Harga setiap bulan Jahe
Temulawak
Kunyit
Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan. Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur, lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil perhitungan keuntungan
menanam tanaman campuran tampak
mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya. Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar sebesar 62 % dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35 % dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 %. Namun, bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian sebesar (32,50 %). Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani
tanaman obat pada prosentase tersebut, dikarenakan rendahnya biaya budidaya dan biaya operasional. Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 % bilamana biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa petani sesungguhnya
tidak menikmati jerih payah bertanam
temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang antar tanaman obat. Walaupun
menurut petani sudah memperoleh
keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun menengah
dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang
diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai manfaat bagi petani. Dibandingkan
dengan
menjual
kepada pengumpul,
petani
jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 %. Kondisi ini terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan pembelajaran. Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang (net present value) untuk tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar. Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit. Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2 per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan
kemudian sebesar Rp 2.483.609- atau setara Rp 207.000,- per bulan. Kalau
petani
mengandalkan
tidak
menyertakan
tanaman
lainnya
dan
hanya
tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di
bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp 390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat signifikan sebesar Rp 1.035.000,Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat sebagai
hanya
tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata
pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga. Menurut Gittinger (1986), sesungguhnya terjadi kehilangan biaya peluang atau (opportunity loss). Seharusnya petani berpeluang memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati keuntungan sebesar 10 – 15 % menjadi benar bilamana beberapa komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka perlu menghitung peralihan biaya oportunitas. 3. Analisis Keuangan Jaringan Skenario perhitungan menggunakan penyaluran
bahan baku
dalam bentuk kombinasi bahan baku segar (simplisia segar) dan irisan kering (simplisia kering). Jaringan dirancang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan
penolakan. Dengan kemampuan pengelolaan bahan baku, jaringan diasumsikan mampu mengendalikan tingkat tidak sesuai standar
sebesar 3 %.
penolakan akibat mutu
Penolakan
atas mutu pasokan
diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah : Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan No
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Keterangan
Penolakan bahan baku oleh pembeli Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa pasar (rata-rata) Biaya transaksi perkilogram Biaya pengelolaan perkilogram Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram Biaya perajangan perkilogram Biaya transportasi perkilogram Biaya kunjungan ke petani perbulan Biaya kuli angkut perkilogram Biaya kunjungan pemasaran ke prospek/ industri Biaya tetap perbulan Modal sendiri Bunga
Satuan
Angka
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp % %
15,20,100,125,150,400.000,25,300.000,6.700.000,50 14
% % %
3 1 7
Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : (1) kemudahan pembudidayaan, (2) perkiraan keuntungan yang diperoleh dan (3) jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai berikut : jahe (2.109), campuran (1.498), temulawak (993) dan kunyit (649). Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan diatur sebagaimana hasil olahan MPE. Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor
ditetapkan sebesar Rp 6.700.000,- yang dipergunakan untuk membiayai gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional daerah setempat. Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 %. Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat pemesanan. Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas Kriteria Keuangan
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga tetap
Nilai pada biaya operasi tetap, harga jual turun 10%
2.229.719.300
2.077.995.786
1.698.091.832
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga jual turun 10% 1.506.023.615
IRR (%)
22,75
21.04
17,85
15,83
Payback period (bl) B/C Ratio
7,.52
8,67
11,53
13,41
20,39
19.07
15,77
14,10
NPV (Rp)
Nilai pada kondisi Normal
Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada
Tabel 27.
Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga diturunkan 10 % berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya operasi naik 10 %, terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya pascapanen. Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan menjual tanaman obat segar adalah 15,88 % dan
13,21 %. Rata-rata
biaya bahan baku sebesar 70,2 % dari penjualan dan biaya pegawai – umum dan variabel sebesar 10, 2 % dari penjualan. Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan baku
temulawak
kering.
Analisis
jaringan
menunjukkan
lebih
menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan dalam transportasi. Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar 332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized Reduced Gradient. Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp 705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-. Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5 tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama. Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.
Keuntungan jaringan (%)
20 18 16
16
14
18
17
14
12 10 8 6
5
4 2 0
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun Analisis
nilai
tambah
dilakukan
untuk
meninjau
berapa
pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger (1986), nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan nilai tambah memerlukan data : a. Output atau total produksi b. Input bahan baku c. Faktor konversi output terhadap input d. Harga output e. Harga input bahan baku f. Sumbangan input lainnya Nilai tambah adalah : nilai output (faktor konversi x harga output) dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe. Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama
perhitungan nilai tambah dapat digunakan terhadap tanaman obat lainnya. Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga untuk
perhitungan
jahe
ditetapkan
secara
proporsional.
Hasil
perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar
Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering. Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp 3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat
diproses menjadi bentuk irisan kering.
Jaringan harus sanggup
memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik. Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi, namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah : a.
Harga eceran produk jamu pegel linu persachet @ 7 gram dari toko
pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- /
sachet. b.
Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario 65 %, biaya pemrosesan 20 % dan biaya umum 15 %.
c.
Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar.
d.
Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.
e.
Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan harga sebagaimana dengan harga beli pabrik. Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang
diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 %. Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan keuntungan industri sebesar 20 %, maka diperoleh harga pabrik. Dari harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon harga bahan baku persatuan sachet dengan ketentuan 65 % dialokasikan untuk bahan baku serbuk.
Dengan perhitungan konversi bahan baku serbuk menjadi bahan baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik sebesar Rp 2.475.000.000,-.
Apabila digunakan nilai pembelian
tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp 2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku berdasarkan perhitungan
proporsi biaya bahan baku dibandingkan
dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 %. Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan dan industri diperoleh sama sebesar 22 %, maka harga beli temulawak berdasarkan simulasi dapat
menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan
kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga sebagaimana ditetapkan industri. Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani. Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap berbudidaya tanaman tersebut .
8.3. Manfaat untuk Petani Dengan bergabung melalui jaringan, petani memperoleh manfaat berupa keuntungan yang lebih baik dan manfaat non finansial dalam hal kontinuitas permintaan, pembinaan dan integrasi proses berkelanjutan serta akses pasar. Menggunakan kapasitas lahan 1 hektar dengan komposisi 45 %
jahe, 11 % temulawak, 14 % Kunyit dan sisanya tanaman lain satu keluarga, petani
diperhitungkan memperoleh net present value sebesar Rp
70.605.849,-. Hasil tersebut berbeda sebesar Rp 28.372.361,- dibandingkan bilamana petani menjual di luar jaringan. Bilamana batas bawah keuntungan ditetapkan sebesar 10 % dengan asumsi sedikit diatas bunga deposito bank setahun, maka insentif dapat dibagikan kepada anggota bilamana keuntungan jaringan dicapai lebih besar dari batas tersebut. Berdasarkan perhitungan,
anggota
jaringan
dapat
memperoleh rata-rata Rp 93.000,- per anggota/ per tahun. Selain itu petani masih memperoleh tambahan penghasilan
yang berasal dari penjualan
tanaman obat reject yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi bahan baku bubuk/serbuk. Perhitungan konversi tanaman obat segar menjadi serbuk adalah setiap sepuluh kilogram simplisia segar akan menjadi satu kilogram serbuk dengan harga jual rata-rata sebesar dua puluh lima kali dari harga simplisia segar. Bilamana hasil penjualan bahan baku reject yang telah diolah menjadi serbuk didistribusikan semua kepada anggota maka rata-rata anggota akan mendapatkan sebesar Rp 156.000,- per tahun. Jaringan akan melibatkan 620 petani dengan asumsi
rata-rata lahan
petani seluas 2000 m2. Atas dasar tersebut diperlukan sejumlah 5 petani untuk setiap satu hektar. Kebutuhan fasilitator sangat tergantung dari jumlah petani dan jangkauan jarak satu desa dengan yang lainnya agar kegiatan fasilitasi
efektif.
Bilamana
menggunakan
asumsi
bahwa
masih
dimungkinkan terdapat satu hamparan seluas 3 hektar di satu desa atau berdekatan maka diperkirakan terdapat 15 petani untuk digabungkan di dalam satu kelompok. Sehingga
menggunakan skenario tersebut,
diperkirakan dibutuhkan 41 orang fasilitator. Guna mendukung kegiatan usaha jaringan skenario kebutuhan lahan adalah seluas 124 hektar yang layak ditanami tanaman obat. Namun, seluruh perhitungan ini berlaku bilamana penyerapan atau pembelian bahan baku oleh industri bersifat langsung tanpa masa tunggu, sehingga tidak diperlukan perhitungan penurunan nilai uang.
8.4.
Manfaat untuk Masyarakat Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat dengan
keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses
perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan, penyedia bibit atau sarana produksi pertanian. Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan proses
pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih
memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku. Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram. Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,.per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam. Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,per bulan melibatkan 138 orang. 8.5
Manfaat untuk Industri Bilamana industri berhubungan dengan jaringan akan mendapatkan manfaat finansial berupa penghematan transaksi sebesar Rp 4.125.000,untuk setiap 15 ton yang berasal dari biaya transportasi dari gudang jaringan ke gudang industri. Selain itu pengurangan biaya yang berasal dari
biaya buruh angkut
dan pengolahan pembersihan. Industri juga
memperoleh manfaat berupa mutu lebih baik dengan jaminan jaringan dan kepastian pasokan. Dengan demikian, secara keseluruhan akan mengurangi biaya pengolahan pemrosesan awal sebelum produksi dan mengurangi beban kendali proses/supervisi serta pengambilan sampling saat inspeksi penerimaan bahan baku. 8.6. Analisis Konflik Konflik kemungkinan terjadi mengingat terdapatnya perubahan atas pola usaha tani dan cara pengaturan kehidupan petani yang semula sendiri dengan cara-cara yang dianggap petani paling tepat kemudian dikelola dengan tata cara budidaya dan pengolahan yang tertata. Akibat konflik dapat bersifat ketidaknyamanan, keengganan hingga penarikan diri yang melemahkan posisi lembaga jaringan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap kinerja tim dan kepuasan. Dalam hal mengubah ketidaksepakatan menjadi kesepakatan
dapat dilakukan melalui bekerja bersama, bekerja
terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi dan bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi dan kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi ( Saaty, 1998). Pemecahan masalah
konflik pada disertasi ini didekati dengan
menggunakan AHP dimana proses penyelesaian harus memuaskan para pihak. Perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan didapatkan oleh pihak lain. Dalam hal ini digambarkan fokus konflik disusun secara hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat. Untuk penelusuran analisis konflik dipergunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process dengan hasil struktur sebagai berikut :
170
Meminimumkan konflik di dalam Jaringan
FOKUS
FAKTOR
SDM
Pengelolaan Organisasi
0,1286
Pengelolaan Usaha Tani
0,2199
0,6514
SUB-FAKTOR Pemenuhan Norma Organisasi 0,0277
ALTERNATIF
Perilaku Anggota 0,0462
Kepemimpinan Fasilitator 0,0547
Penetapan Pinalti dan Pengendalian 0,1182
Distribusi Pasokan 0,0614
Pengelolaan Keuangan 0,0859
Penyuluhan dan Sosialisasi 0,5386
Standard Proses Operasi 0,0726
Pembinaan 0,3432
Gambar 32. Struktur hirarki analisis konflik.
Budidaya
Pemanenan
0,2606
0,1706
Pascapa nen 0,2702
Pemicu konflik terbagi atas faktor manusia, pengelolaan organisasi dan pengelolaan usaha tani. Penjabaran
sub faktor dan penjelasannya
sebagai berikut : 1. Pemenuhan norma jaringan. Jaringan
akan menetapkan cara bagaimana berorganisasi dan
bertindak sehingga memberikan arahan untuk menjadi kelompok yang kohesif. Nilai budaya organisasi yang dianut dan diterapkan akan menata apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kondisi tersebut kemungkinan tidak sejalan dengan nilai anutan dari petani selama ini. Norma organisasi mencakup
sikap
dan
pandangan-pandangan
dalam
kehidupan
berorganisasi. 2. Perilaku anggota Sehubungan dengan pemenuhan norma organisasi, diperlukan perilaku positif untuk menjadikan organisasi jaringan profesional dan diakui
oleh
pihak
konsumen.
Penyimpangan
perilaku
akan
menghasilkan situasi di mana anggota tidak bersedia belajar berbagi pengetahuan/ informasi dan melanggar komitmen yang disepakati atau bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika terdapat larangan menjual hasil panen kepada pihak lain dilanggar oleh sejumlah anggota, maka anggota lain terdorong meniru tindakan negatif tersebut bilamana tidak dikenakan sanksi. Perilaku memproses hasil panen secara serampangan dan sengaja menyisipkan kontaminan merupakan bentuk perilaku negatif. 3. Kepemimpinan fasilitator Kemungkinan
konflik
terjadi
ketika
anggota
meragukan
kemampuan fasilitator mengatasi perbedaan pendapat, menyatukan langkah dan mengarahkan pada keutuhan kelompok dalam rangka mencapai sasaran usaha. Konflik kepentingan dan ketidakpercayaan bisa saja terjadi ketika fasilitator tidak mampu menunjukkan kredibilitasnya. Keberpihakan
pada
seseorang
atau
sekelompok
orang
dan
ketidakmampuan mengambil keputusan membuka ruang penolakan atas keberadaan fasilitator.
4. Distribusi pasokan Konflik ini terjadi bilamana keputusan atau kebijakan ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan bersama dan terdapat diskriminasi dalam pendistribusian pasokan. Pengaturan pembagian jumlah yang akan dipasok petani, jadwal penerimaan bilamana tidak dijelaskan secara transparan akan menimbulkan pandangan negatif
dan
kesalahpahaman. Ketika ketersediaan bahan baku berlimpah, perlu pengaturan pendistribusian sehingga adil dan dalam hal ini informasi sangat penting disampaikan agar tidak berkembang menjadi kabar berita negatif. 5.
Pengelolaan keuangan Faktor keuangan merupakan pemicu konflik yang rawan memecah keutuhan anggota dan merusak kepercayaan. Ketidakjelasan pencatatan, pertanggungjawaban, dan ukuran – ukuran keuangan bilamana tidak disampaikan akan membuka peluang kecurigaan. Informasi pergerakkan harga harus disampaikan sehingga tidak terdapat kecenderungan mengabaikan aturan jaringan.
6. Standar prosedur operasi Konflik pada standar prosedur operasi terjadi bilamana tidak terdapat pengaturan
dan kejelasan di setiap proses bisnis seperti :
prosedur pengadaan bahan baku, pemeriksaan penerimaan bahan baku, pemrosesan, penyimpanan, dan penjualan. Prosedur operasi akan mencakup persyaratan-persyaratan, tata aturan yang harus dianut bersama. 7. Budidaya Perbedaan cara budidaya antara yang dikenal secara turun temurun dan menurut ilmu pengetahuan dapat membuka ruang konflik. Petani di daerah terpencil yang jauh dari akses informasi, dimungkinkan masih memegang tata cara sebagai dikenal saat ini walaupun cara tersebut sesungguhnya kurang tepat. Kultur yang menghormati apa yang diajarkan oleh pendahulunya dianggap sebagai sesuatu yang benar, disementara pihak harus dilakukan perubahan.
8. Pemanenan. Konflik terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan pemanenan mencakup jadwal panen
(bulan dan waktu, cara panen). Keinginan
segera memanen hasil dengan pertimbangan memperoleh uang tunai, akan mendorong ketidakpatuhan atas aturan dan bilamana terjadi tidak saja berakibat pada pemenuhan persyaratan mutu tetapi juga harga terbaik tidak tercapai dan perencanaan pasokan menjadi terganggu. 9. Pascapanen. Ketidaksesuaian
mungkin
terjadi
dikarenakan
petani
menggunakan cara sendiri pada masa pascapanen yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang diatur jaringan. Berdasarkan olahan AHP, hasil menunjukkan pengelolaan usaha tani (0,65) berada pada
bobot tertinggi diikuti dengan pengelolaan organisasi
(0,22). Resolusi konflik yang diharapkan dapat meredakan sehingga tercapai kondisi yang lebih baik adalah aktivitas penyuluhan (0,54) dan pembinaan anggota berorganisasi (0,34). Dalam perhitungan tersebut telah dilakukan analisis konsistensi perbandingan elemen yang berpengaruh sebagai berikut : Tabel 29. Analisis konsistensi AHP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perbandingan elemen terhadap Analisis konflik Pemenuhan norma Perilaku anggota Kepemimpinan fasilitator Distribusi pasokan Pengelolaan keuangan Standar proses Budidaya Pemanenan Pasca panen
Consistency Index
Consistency ratio
0.0001 0,0254 0,0016 0,0009
0,0001 0,0438 0,0027 0,0016
0,0001 0,0001 0,0001 0,0004 0,0100 0,0117
0,0001 0,0002 0,0001 0,0007 0,0172 0,0201
8.7. Analisis Manfaat Menggunakan BOCR Tujuan pembentukan rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan yang mengarah pada kesejahteraan petani, dilengkapi dengan pertimbangan atas tinjauan manfaat (Benefit) dan pertimbangan biaya (Cost), maupun peluang (Opportunity) dan resiko (Risk) di kemudian hari. Pendekatan BOCR, akan menyempurnakan analisis dengan mempertimbangkan faktor kualitatif
dan
melengkapi
perhitungan
kuantitatif.
Metode
ANP
mensyaratkan konsistensi untuk penilaian kriteria. Hasil penilaian pendapat dikelompokkan menjadi normal, pesimistis dan optimistis. Penilaian normal dengan masih mempertahankan faktor peluang dan resiko memiliki formula : Hasil =
(B × O ) (C × R )
(1)
B
= benefit
O
= opportunity
C
= cost
R
= risk
Rumus penilaian optimistis dengan mengabaikan resiko dalam pengambilan keputusan sebagaimana disajikan dalam persamaan pada butir 2. Adapun rumus penilaian pesimistis tanpa mempertimbangkan peluang dapat dilihat pada butir 3.
(B × O ) (C ) (B ) Hasil = (C × R )
Hasil =
(2) (3)
Hasil verfikasi BOCR sebagaimana tabel 30 menyimpulkan bahwa dalam kondisi optimistis tanpa memperhitungkan faktor resiko tujuan kesejahteraan petani memiliki bobot paling tinggi 0,58 dimungkinkan terwujud dibandingkan dengan kelangsungan hubungan anggota yang memiliki bobot 0,28. Dengan demikian, peluang alternatif tujuan kesejahteraan menjadi keputusan terbaik setelah ditelaah dari pertimbangan manfaat, biaya, dan peluang.
Tabel 30 Hasil analisis BCOR
8.8. Implikasi Kebijakan Sistem rantai pasokan berbasis jaringan ini bilamana diterapkan sebagaimana diuraikan pada persyaratan dan rancangan implementasi, memerlukan peran serta pemerintah untuk berkontribusi dalam kesuksesan penerapan. Pemerintah berkewenangan menerbitkan kebijakan. Kebijakan yang diharapkan adalah pengaturan lahan peruntukan bagi pengembangan tanaman obat, kredit mikro melalui lembaga keuangan mikro, penyediaan bibit tanaman obat dan sarana produksi. Melalui fasilitasi pemerintah, hubungan antara petani, asosiasi industri jamu dan asosiasi pedagang tanaman obat dijalin dengan tujuan memetakan kebutuhan tanaman obat nasional dan daerah. Selanjutnya, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah memperluas lahan untuk budidaya tanaman obat sesuai dengan kondisi agroklimat.
Guna mencegah mengalirnya tanaman obat segar bernilai tambah rendah ke luar negeri, maka ekspor tanaman obat yang dibutuhkan oleh agroindustri farmasi dalam negeri dapat dikenakan biaya pajak ekspor lebih tinggi. Berdasarkan wawancara responden, salah satu sebab terjadinya kekurangan pasokan jahe karena tanaman obat tersebut diekspor ke luar negeri. Lebih lanjut menurut responden, ekstraksi dari tanaman obat yang dibeli dengan harga rendah, kemudian kembali ke Indonesia dengan harga berlipat. Perlindungan konsumen dan agroindustri farmasi menengah-kecil perlu dilakukan dengan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap produk herbal impor dengan : 1) pengawasan registrasi produk, 2) pengawasan kepada importir, 3) menetapkan pajak barang impor, 4) konsistensi pengawasan di lapangan. Komitmen pemerintah ditunjukkan dengan keterlibatan pejabat teknis di dinas terkait pemerintah daerah setempat yang berpihak kepada petani melalui tindakan penyuluhan dan program pembinaan usaha tani. Adapun kebijakan makro mengatur bagaimana ketersediaan sarana produksi yang diperlukan bagi petani seperti pupuk, infrastruktur dan penataan menyeluruh agroindustri farmasi. Penataan agroindustri farmasi dimulai dengan melakukan pengawasan produsen sehingga tingkat penggunaan bahan kimia yang disisipkan di dalam obat tradisional nihil, pengawasan terhadap registrasi produk tradisional, herbal dan fitofarmaka setelah dilakukan pengujian, pengawasan proses dan kepatuhan cara – cara pemasaran obat tradisional yang beretika.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Kesimpulan penelitian sebagai berikut : 1. Pendekatan jaringan pada sistem rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi, menghasilkan struktur dan sistem organisasi sebagai elemen kunci untuk penatakelolaan jaringan sehingga perlu diselesaikan terlebih dahulu pada tahapan pertama pengimplementasian. Konfigurasi jaringan terdiri dari petani, kelompok, dan pusat manajemen yang membagi fungsi sesuai kemampuan
masing-masing.
Pengaturan
dimaksud
memperjelas
pengintegrasian proses sehingga menempatkan tanggungjawab produksi dan pascapanen berada pada anggota, dan pusat manajemen fokus pada penanganan pemasaran, distribusi dan pelayanan pelanggan dengan para pihak eksternal. 2. Konsep jaringan yang menekankan pada hubungan erat dan saling berbagi kekuatan berlangsung bilamana fungsi jaringan yang memberikan jaminan mutu produk sebagaimana harapan konsumen berjalan, dan ketika anggota konsisten menjaga komitmen, dan integritas. 3. Jaringan berpotensi mengalami perpecahan dipicu konflik keberbedaan pada pengelolaan usaha tani sebagaimana hasil strukturisasi AHP dan sedini mungkin dicegah melalui penyuluhan dan sosialisasi berkesinambungan. 4. Validasi konsep jaringan yang direkayasa, dinyatakan valid menggunakan metode ANP-BCOR pada kondisi optimistik. Kepuasan internal dengan pencapaian tujuan mensejahterakan anggota, dinyatakan valid berdasarkan pendapat pakar dengan skala tinggi. Dalam hal keterlibatan petani untuk mematuhi aturan dinyatakan valid pada skala tinggi menurut pendapat pakar, tetapi konsistensi perilaku petani dinyatakan berskala sedang. 5. Hasil verifikasi menunjukkan jaringan layak dengan
NPV
Rp
2.229.719.300,-, IRR 22,75 %, payback periode (bulan) 7,52. Perhitungan dimaksud dengan komposisi jahe 46 %, temulawak 11 %, kunyit 15 % dan sisanya berasal tanaman obat lainnya. Kelayakan jaringan dicapai tanpa terdapat masa tunggu antara penyelesaian proses dan penjualan, dengan prosentase kegagalan yang ditetapkan, beroperasi pada kapasitas penjualan
1.581 ton/tahun melibatkan 620 petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan 2000 m2. Dalam kondisi tersebut, jaringan peningkatan pendapatan membagi insentif
petani
sebesar
mampu memberikan
sebesar 23,5 %. Jaringan masih dapat
Rp 93.000,-
per anggota/ per tahun dan
tambahan penjualan produk reject yang diolah menjadi serbuk sebesar Rp 156.000,- per tahun. Jaringan beroperasi dengan BEP 332 ton. Berdasarkan analisis nilai tambah, tanaman obat lebih baik dijual dalam bentuk irisan kering. 6. Jaringan membutuhkan persyaratan implementasi yakni respon industri dan petani dalam wujud kesediaan membeli bahan baku dan komitmen petani. Pemrakarsa yang tepat dalam mewujudkan jaringan adalah industri yang didukung pemerintah. 9.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian konsep jaringan pada agroindustri farmasi, diajukan beberapa saran yakni : 1. Model jaringan yang diajukan, memerlukan dukungan pemerintah secara konsisten untuk farmasi
melalui
sinkronisasi manajemen bahan baku dan agroindustri :
pemberdayaan
petani,
penyediaan
lahan-lahan
pembudidayaan, fasilitasi lembaga pembiayaan, pendisiplinan pelaporan produksi dari pelaku industri. 2. Gabungan pengusaha jamu yang menghimpun industri obat tradisional, memiliki komitmen memajukan petani tanaman obat melalui : pembinaan petani, memperluas penerimaan pasokan, mengatur strategi pemasaran dan inovasi produk yang menghasilkan produk premium sehingga dapat dikembalikan dalam bentuk insentif harga. 3. Pada tahap awal, agroindustri farmasi bersama pemerintah bersungguhsungguh memfasilitasi pembangunan jaringan agar terwujud dan petani pada akhirnya mampu mengelola secara mandiri.
4. Perluasan penggunaan konsep jaringan pada dasarnya dapat dipergunakan pada komoditas lain di luar Zingiberaceae, dan melibatkan anggota atau lembaga lain (linkage firm) di luar petani tetapi diperlukan penelitian mendalam terhadap pengintegrasian proses dan bentuk berbagi (sharing) dari kekuatan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA Ansari A dan Modarres B. 1994. Quality function deployment. International Journal of Purchasing and Materials Management; “ Fall Ed “.p 28-35. Anslinger P dan Jenk J. 2004. Creating successful alliances. The Journal of Business Strategy. 25:2. 18 – 22. Ayers JB. 2002. Supply Chain Management. London. St Lucie Press. Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta. Penerbit Kompas. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Data Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Obat Tradisional Kecil (IKOT). Jakarta. BPOM. Badan Pengembangan Ekspor Nasional.2005. Pasar Jamu Nasional bisa capai Rp 3 Trilyun. http://www.nafed.go.id/indo/berita/index/php?artc=2566 (4 April 2006). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.2005. Pasar Obat Herbal Meningkat Pesat. http://www.bppt.go.id/index.2.php?option.com_content & do_pdf =1&id =1556. (8 April 2006 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.1995. Strategi Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Tanaman Obat secara Terpadu. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember.BPPT. hlm 8-13. Barba R, Roussel P, Bendix B. Gattorna. Editor. 1998. Strategic Value Networks. England. Gower. Beech J. Gattorna. Editor.1998. The Supply-demand nexus from integration to synchronization. England. Gower Blackard K dan Gibson JW. 2002. Capitalizing on Conflict – Strategies and Practices for Turning Conflict to Synergy in Organizations. California. Davies-Black Publishing. Blank SC, Carter CA, McDonald J.1997. Is The market failing agricultural producers who wish to Manage Risk. Western Economic Association International; 15-July. Bound G, York L, Adam M, Ranney G, 1994. Beyond Total Quality Management – Toward The Emerging Paradigm. Singapore: McGraw-Hill.
180
Bowersox DJ dan Cooper MB. 1992. Strategic Marketing – Channel Management. “ Edisi Internasional”. Singapore. McGraw-Hill. Bungin B, 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta. RajaGrafindo Persada. Carson JS.II. 2002. Model Verification and Validation. Proceedings of the 2002 Winter Simulation Conference. USA Chanisah S. 1996. Status, perkembangan dan kendala pemasaran hasil tanaman obat Indonesia. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor: 28–29 Nopember. BPPT. hlm 56 – 77. Choi TY, Wu Z, Ellram L, Koka BR. 2002. Supplier – Supplier relationships and Their implications for buyer – supplier relationships; IEEE Transactions on Engineering Management; 49 (2). May. Choi TY, Rungtusanatham M. 1999. Comparison of quality management practices: Across The Supply Chain and Industries. The Journal of Supply Chain Management; 35 (1): 20 – 27. Christopher M. 1998. Logistic and Supply Chain Management. “Ed ke-2”. London : Financial Times Professional Limited. Daboub AJ. 2002. Strategic alliances, network organizations, and ethical responsibility; Sam Advanced Management. Autumn.2002. 40-63. Darusman LK (2004). Standard dan mutu Produk Biofarmaka. Prosiding ilmiah Indonesian Biopharmaca Exhibition Congress 14-18 Juli 2004. Yogyakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Direktorat Jenderal Pengawasan Obat & Makanan, Departemen Kesehatan RI, 1995. Kodifikasi Peraturan Perundangan Obat Tradisional. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2004. Informasi Pengembangan Agribisnis Tanaman Biofarmaka. Jakarta. Dobler DW, Burt D, 1996. Purchasing and Supply Management. “Ed ke-6”. USA: The McGraw Hill Companies Inc.
181
Dorward A. 2001. The Effects of transaction costs, power and risk on contractual arrangements : a Comceptual Framework for Quantitative Analysis. Journal of Agricultural Economics; 52(2). 59-73. Endardjo S. 1995. Pengembangan Obat Fitofarmaka menunjang Agroindustri Tanaman Obat. Di dalam : BPPT. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28–29 Nopember. BPPT. hlm 105 –112. Eksiklopedi Tokoh Indonesia. 2005. Generasi ketiga Nyonya Meneer. http:// www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/c/charles-saerang/index.shtml (8 April 2006). Eriyatno.1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor : IPB Press. Evans R dan Danks A. Gattorna. Editor. 1998. Strategic Supply Chain. England. Gower. Fetridge DG, 1999. The Economics of vertical integration. Canadian Journal Agricultural Economy; 42: 525-531. Ghoshal S dan Moran P.1995. Bad for Practice: A Critique of The Transaction Cost Theory. Academy of Management Journal. Giannakis M dan Croom SR. 2004. Toward the development of a supply chain management paradigm: a conceptual framework. Journal of Supply Chain Management; Spring 2004. 40,2. Giles dan Hancy. Gattorna. Editor. 1998. Alternative organization optins. Moving from lines of hierarchy to networks of alliances. England. Gower. Haeruman H Js. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta. Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia. Hastings G. 1996. The New Organization. Growing the culture of organizational networking. England McGraw-Hill. Hill CC, Li H, Davies B. 2003. The paradox of Co-operation and competition in strategic alliances: Towards a Multi Paradigm Approach. Management Research News; 26:1. 1-20. Hutapea JR.2000. Obat Tradisional Indonesia menghadapi Era Globalisasi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 6: 36-38
182
Jamaran I. 1995. Peranan Iptek dalam Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Bogor. 28 – 29 Nopember. BPPT. hlm 1 - 7 . Indrawanto C dan Wahyudi A.1995. Profil Tataniaga Beberapa Tanaman Obat Hasil dari Usaha tani di Indonesia. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember.BPPT. hlm 168-170. Karmawati E, Effendi DS, Wahid P. 1995. Potensi, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Tananam Obat. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember. BPPT. hlm 23-28. Kotler P.2000. Marketing Management. International Edition. USA. Prentice Hall. Lembaga Alam Tropika Indonesia-LATIN. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. LATIN. Bogor. Lembaga Alam Tropika Indonesian – LATIN. 1999. Strategi Kemitraan. Dalam mengelola sumber daya alam di Kabupaten Jember. Bogor. Pustaka Latin. Levi DS, Kaminsky P, Levi ES. 2000. Designing and Managing the Supply Chain. USA. Irwing McGraw-Hill. Nasution. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri. IPB Press. Bogor. Maarif M dan Tanjung H. 2003. Teknik-teknik kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta. Grasindo. Maku TC, Collins, TR, Beruvides MG. 2005. The Impact of human interaction on supply chain management practices. Performance Improvement; Silver Spring: 2005. Vol 44. Iss 7. 26-34. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta. Grasindo. Martha Tilaar Innovation Center. 2002. Tanaman Obat Rimpang. Jakarta. Penebar Swadaya.
183
Martin S dan McLeay F. 1998. The Diversity of Farmers’Risk Management Strategies in a Deregulated New Zealand Environment. Journal of Agricultural Economics; Spring 1998. Vol 49:2. 218-233. Martis SM. Validation of Simulation Based Models : A Theoritical Outlook. The Electronic Journal of BusinessResearc Methods. Vol 4. Issue 1, pp 39 – 46. Maulana A. 2005. Model Pengembangan Agroindustri Nenas Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani – Pengusaha Industri Pengolahan. (Disertasi). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Peranian Bogor. McFetridge DG. 2000. The Economics of Vertical Integration. Canadian Journal Agricultural Economic; 42: 525-531. Murdoch J. 2000. Networks – a new paradigm of rural development. Journal of Rural Studies; 16(2000) 407-419. Nasution M. 2002. Pengembangan kelembagaan KOPERASI pedesaan untuk Agroindustri. Bogor. IPB-Press Newbery DMG dan Stiglitz JE, 1985. The Theory of Comodity Price Stabilization. New York. Clarendon Press – Oxford. Ohbuchi K dan Suzuki M. 2003. Three Dimension of Conflict Issues and Their Effect on Resolution Strategies in Organizational Settings. International Journal of Conflict Management; Bowling Green. 2003. Vol 14. Iss.1. Paimin FB dan Murhananto,1999. Budidaya, Pengolahan, Perdagangan JAHE.Jakarta: Penebar Swadaya. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4obat. (8 April 2006). Pramono E.2001. Pengembangan Agromedisin Indonesia : Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia menjadi Komoditas Farmasi Unggulan. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Kerjasama Departemen Pertanian dan Institut Pertanian Bogor. Jakarta. November. 2001. Pratikno.2001. Kelembagaan Politik Desa. Forum FPPM ke - 4 ” Demokratisasi Masyarakat Desa”. Tenggarong 19-22 Juni 2001. www.fppm.org/makalah%20pratikno.htm (10 April 2006).
184
Pyzdek T, 2001. The Six Sigma Handbook. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Rademakers MFL dan Valkengoed JR. 1995. Inter-firm Linkages in the Modern Jamu Industry; Netherlands. Tilburg University. Riordan MH. 1998. Anticompetitive vertical integration by a dominant firm. The American Economic Review; 88: 5. Royer JS. 1995. Potential For Cooperative Involvement in Vertical Coordination and Value Added Activities. John Wiley & Sons, Inc. 11 (5) : 473-481. Saaty Tl.1993. Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin. Jakarta. Pustaka Binaman Pressindo. Saaty TL, 1996. Decision Making with Dependence and Feedback. The Analytical Network Process. USA. RWS Publications. Saaty TL, 1998. An Alternative Approach to Conflict Resolution in terms of Games of Strategy.
[email protected]. Sandra AA, Munif G, Nuri A, Latifah KD. 2001. Dukungan Teknologi Pengembangan Obat Asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Departemen Pertanian – IPB. Sajogyo, Sajogyo P. 1999. Sosiologi Pedesaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sargent RG. 2000. Verification, Validation, and Accreditation of Simulation Models. Proceedings of the 2000 Winter Simulation Conference. USA. Sastroamidjojo AS, 1997. Obat Asli Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat. Sidik. 1995. Status dan Perkembangan IPTEK Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Di dalam : BPPT. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28–29 Nopember. BPPT.hlm 42 – 51. Silver EA, Peterson R, 1985. Decision Systems for Inventory Management and Production Planning. “Ed ke-2”. Canada. John Wiley & Sons. Soediro I, 2000. Tinjauan Aspek Keamanan Obat Tradisional. Warta Tumbuhan Obat Indonesia; 6:33-35.
185
Spencer LM, Spencer SM.1993. Competence at Work-Models for superior performance. Boston-USA. John Wiley & Sons.Inc Sporleder TL.1999. Assessing vertical strategic alliances by agribusiness. Canadian Journal of Agricultural Economic; 42 : 533 – 540. Stanek MB. 2004. Measuring alliance value and risk. Management Decision; 42: 2.182-204. Stock JR dan Lambert DM, 2001. Strategic Logistic Management. Singapore. “Edisi ke-4”. McGraw-Hill Irwin. p 54-94. Subagyo P. 2000. Manajemen Operasi. Yogyakarta : “ Edisi ke – 1 “. BPFE. Sudarsono. 2004. Kesamaan Persepsi Stakeholders Biofarmaka sebagai modal dasar Pengembangan di masa depan. Prosiding Indonesian Biopharmaca Exhibition Congress, 14-18 Juli 2004, Yogyakarta. Sudiarto, Hubir, Rahardjo M, Rosita SMD, Nurhayati H. 2001. Dukungan Teknologi Budidaya untuk Pengembangan Industri Obat Tradisional. Di dalam : Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka. 13–15 November 2001 di Jakarta. hlm 1 – 21. Sudiatso S. 2002. Budidaya dan Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat. Langkah Awal Standarisasi Bahan Baku Obat Tradisional Obat Asli Indonesia. Prosiding Seminar Sehari Standarisasi bahan baku langkah awal menjamin khasiat dan keamanan obat asli Indonesia. Jakarta. Puslitbang Farmasi dan obat Tradisional Badan Litbang Kesehatan bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. 2002. Suharti NS. 2000. Pengadaan dan pengolahan bahan baku obat tradisional di PT Air Mancur Solo. Warta Tumbuhan Obat Indonesia; 6:27-29. Sumardjo, Sulaksana J, Darmono WA. 2002. Kemitraan Agribisnis. Jakarta. Penebar Swadaya. Suryati A. 2002. Model Aliansi Strategis Agroindustri Sayuran Bernilai Ekonomi Tinggi. (Disertasi). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutrisno, Syukur, Budiyanto. 1999. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta. Yayasan Mitra Pembangunan desa-kota dan Business Innovation Center of Indonesia.
186
Tabtabai HM dan Thomas VP. 2004. an Negotiation and Resolution of Conflict using AHP : an Application to project Management. Engineering Construction and Architecture Management; 11,2 : 90-100. Tahir NM. 2004. Public-Private Sector Partnership in Developing Herbal Industry in Malaysia. Prosiding : Indonesia Biopharma Exhibition Congress 2004. Yogyakarta 15 Juli 2004. Tracey M, FIte RW, Sutoon MJ. 2004. An Explanatory model and measurement instrument : A Guide to Supply Chain Management Research and Applications. American Journal of Business; Fall 2004;19,2. Tsang EWK. 2000. Transaction cost an resource – based explanation of joint venture : a comparison and synthesis. Organization Studies.; 21(1):215-242. Turban E, Aronson JE, dan Peng Liang T. 2005. Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Cerdas. Ed ke- 7. Prabantini D, penerjemah. Yogyakarta : Penerbit Andi;2005. Terjemahan dari : Decision Support Systems and Intelligent Systems. Ouden Md, Dijkhuizen AA, Huime RBM, Zuubier PJP. 1996. Vertical cooperation in agricultural production marketing chain, with special reference to product differentiation in Pork;. 12(3). 277-290. Vokurka RJ, Zank GM, Lund III CM. 2002. Improving competitiveness through supply chain management: A cumulative improvement approach. Competitiveness Review. Indiana. Vol.12.Iss.1. Widyastuti YS. 2002. Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial. Jakarta. Penebar Swadaya. Winarto. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta : Agromedia Pustaka. Wood, Wallace Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn. 1998. Organisational Behaviour. An Asia – Pacific Perpective. Singapore. John Wiley & Sons. Yuliani S. 2003. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka. Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat http://pustakabogor.net/publ/jp3/jp203-41.htm. (22 September 2003). Zairi M. 1994. Measuring performance for business result. Chapman & Hall. 43-56.
187
Zuhud EAM., Azis S, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan Teknologi Pengembangan Obat Asli Indonesia dari segi Budidaya, Pelestarian dan Pasca Panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Jakarta. Departemen Pertanian dan IPB. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/komoditas/b4obat - (8 April 2006). http://(www.bppt.go.id/index 2.php ? option. Com_content & do_pdf = 1 % id = 1556 (8 April 2006), http://www-ang.kfunigraz.ac/at/-katzer/engl/zing_off.html (22 September 2003). Ginger (Zingiber officinale Rosc). http://www.wwf.org.uk/filelibrary/pdf/tradeplants.pdf - 16 April 2006. Trade in Medicinal and aromatic plants http://www.druid.dk/conferences/winter 1997/conf papers/Gelsing pdf - 08 Juni 2006. Promoting Inter-Firm Networks in Industrial policy by Gelsing L dan Nielsen K.
188
Lampiran 1 Asumsi Biaya Jaringan No. Uraian 1 Biaya - Biaya Langsung Biaya kuli naik turun (2x25) Reject Penjualan Biaya transportasi Biaya pembersihan dan kemas Biaya transaksi Biaya pengelolaan Reject pembelian Resiko Kerusakan 2 Khusus Jual Kering Rendemen Pengeringan Biaya perajangan 3 Biaya Umum dan Pegawai Listrik, telepon Umum dan ATK Pemeliharaan Biaya pegawai tetap Upah Harian Dana taktis 4 Biaya Kunjungan Kunjungan Sumber Kunjungan Pembeli 5 Perbedaan Harga beli-jual 6 Pendanaan Modal Sendiri Bunga Jangka Waktu Pelunasan Tenggang 7 Harga Bahan Baku 8 Penjualan Kembali Reject Harga Reject Penjualan Angka cemaran Biaya Tenaga Proses Serbuk Rasio Harga Jual Serbuk Rasio Basah - Serbuk
Satuan
Nilai
Rp./kg % Rp./kg Rp./kg Rp./kg Rp./kg % %
50,00 3,00 150,00 100,00 15,00 20,00 3,00 1,00
% Rp./kg
20,00 125,00
Rp./bulan Rp./bulan Rp./bulan Rp./bulan Rp./bulan Rp./bulan
400 15 100 4.950.000 1.000.000 100.000
Rp./bulan Rp./bulan %
400.000 300.000 30,00
% %/bulan Bulan Bulan
50,00 1,16 60 0
% harga jual % Rp./kg x harga basah basah/serbuk
50,00 2,00 20,00 25,00 10,00
189
Lampiran 2 Proporsi Bahan Baku dari Target Nasional Th.
Tanaman Obat
1 Temulawak Jahe Lempuyang Kunyit Kencur 2 Temulawak Jahe Lempuyang Kunyit Kencur 3 Temulawak Jahe Lempuyang Kunyit Kencur 4 Temulawak Jahe Lempuyang Kunyit Kencur 5 Temulawak Jahe Lempuyang Kunyit Kencur Total
Nasional 3.000,00 5.000,00 200 3.000,00 2.000,00 3.210,00 5.350,00 214 3.210,00 2.140,00 3.434,70 5.724,50 228,98 3.434,70 2.289,80 3.675,13 6.125,22 245,01 3.675,13 2.450,09 3.932,39 6.553,98 262,16 3.932,39 2.621,59 75.909,75
Bagian Jaringan Penjualan Jaringan 0,04
528
0,06
847,44
0,1
1.511,27
0,15
2.425,59
0,15
2.595,38
7.907,67
190
Lampiran 3 Penetapan Kompisisi Penjualan Tanaman Obat
Kode
Deskripsi
Komposisi
T1
Jahe
46,17
T2
Temulawak
10,84
T3
Kunyit
15,03
T4
Lempuyang Wangi
10,13
T5
Lempuyang pahit
T6
Kencur
9,82
Penetapan komposisi diperlukan untuk mengatur berapa proporsi tanaman obat yang akan diperdagangkan
8
191
Lampiran 4 Target Penyaluran Tanaman Obat Jaringan Tahun
Target (Ton)
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
1
528
20
60
20
2
564,96
20
60
20
3
906,76
20
60
20
4
1.617,06
20
60
20
5
1.730,25
20
60
20
192
Lampiran 5 Harga Bahan Baku Segar Tanaman Obat
Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
6.500
5.500
4.950
3.850
2.750
1.500
1.500
2.750
6.500
4.400
5.500
800
700
650
650
600
600
500
500
550
700
800
Kunyit
2.750
2.200
1.650
1.650
1.100
900
900
1.100
1.650
2.200
2.750
Lempuyang Wangi
4.400
3.725
3.350
2.600
1.860
745
745
1.860
4.400
2.980
3.725
Lempuyang Pahit
3.850
3.260
2.935
2.280
1.630
650
650
1.630
3.850
2.600
3.260
Kencur
3.850
3.260
2.935
2.280
1.630
650
650
1.630
3.850
2.600
3.260
Jahe Temulawak
192
12 6.500 800 3.300 4.400 3.850 3.850
Lampiran 7 Pembiayaan Teknis Jaringan ( Komposisi Menjual Bahan baku segar dan kering ) Uraian 1 1. Biaya - Biaya Langsung
2
Tahun 3
4
151.904.266 243.806.350 434.787.990 697.834.726
Biaya Kuli naik turun
25.605.440 41.096.724
73.289.164 117.629.116
Biaya kuli transportasi
12.802.720 20.548.364
36.644.584
5 746.683.154 125.863.156
58.814.560
62.931.576
Biaya pembersihan dan kemasan 51.210.880 82.193.460 146.578.340 235.258.236
251.726.304
Biaya transaksi
7.681.636 12.329.020
21.986.756
35.288.736
37.758.944
Biaya pengelolaan
10.242.176 16.438.696
29.315.664
47.051.644
50.345.260
Perajangan dan Pengeringan
44.361.422 71.200.084 126.973.486 203.792.442
218.057.914
2. Biaya Umum dan Pegawai
80.400.000 80.400.000
80.400.000
80.400.000
88.440.000
Listrik, telepon per bulan
4.800.000
4.800.000
4.800.000
4.800.000
4.800.000
Umum dan ATK
1.800.000
1.800.000
1.800.000
1.800.000
1.800.000
Pemeliharaan
1.200.000
1.200.000
1.200.000
1.200.000
1.200.000
Biaya pegawai tetap
59.400.000 59.400.000
59.400.000
59.400.000
59.400.000
Perkiraan harian
12.000.000 12.000.000
12.000.000
12.000.000
12.000.000
Dana taktis
1.200.000
1.200.000
1.200.000
1.200.000
1.200.000
8.400.000
8.400.000
8.400.000
8.400.000
8.400.000
Kunjungan Sumber
4.800.000
4.800.000
4.800.000
4.800.000
4.800.000
Kunjungan User
3.600.000
3.600.000
3.600.000
3.600.000
3.600.000
3. Biaya Kunjungan
Total
240.704.266 332.606.350 523.587.990 786.634.726
843.523.154
Lampiran 8 Biaya Sewa dan Investasi No.
Uraian
1 Sewa Ruang kantor 100 m2 Gudang 1000 m2 Areal penjemuran 500 m2 2 Investasi Peralatan kantor - furniture Peralatan elektronik :: Fax :: Komputer :: Mesin ketik Motor operasional Izin dan legalitas Mobil angkutan Total
Satuan Rp./tahun Rp./tahun Rp./tahun Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
Nilai 15.000.000 5.000.000 7.500.000 2.500.000 100.000.000 5.000.000 1.500.000 5.000.000 1.000.000 14.000.000 3.500.000 70.000.000 115.000.000
Lampiran 9 Perkiraan Arus Kas ( tanaman obat segar dan kering) No
Tahun
Uraian 0
1 Inflow
1
2
3
4
5
1.726.831.269
2.771.564.186
4.942.622.798
7.932.909.590
9.337.034.588
1.545.112.978
2.395.311.300
4.162.107.736
6.595.587.887
7.670.293.799
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
0
0
0
0
0
1.253.382.218
2.011.678.458
3.587.493.254
5.757.926.670
6.777.079.692
240.704.266
332.606.350
523.587.990
786.634.726
843.523.154
Penyusutan
20.000.004
20.000.004
20.000.004
20.000.004
20.000.004
Angsuran Pinjaman
16.026.492
16.026.492
16.026.492
16.026.492
14.690.951
181.718.291
376.252.886
780.515.064
1.337.321.704
1.666.740.792
0
0
0
0
0
181.718.291
376.252.886
780.515.064 1.337.321.704 1.666.740.792
81.718.291 1.726.831.269 0,05
376.252.886 2.771.564.186 0,14
780.515.064 4.942.622.798 0,16
2 Outflow
100.000.000
Sewa Lahan Investasi
100.000.000
Pembelian Bahan Baku Pembiayaan Teknis
3 Laba Sebelum Pajak
-100.000.000
4 Pajak 5 Laba Bersih Laba Pendapatan Keuntungan
-100.000.000
1.337.321.704 7.932.909.590 0,17
1.666.740.792 9.337.034.588 0,18
Lampiran 10 Target Penyaluran perhitungan BEP
Tahun
Target (Ton)
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
1
331,77
20
60
20
2
331,77
20
60
20
3
331,77
20
60
20
4
331,77
20
60
20
5
331,77
20
60
20
Lampiran 11 Harga Jual Tanaman Obat ( bahan baku segar dan irisan kering ) Tanaman Obat
Bulan 1
2
3
4
5
6
Jahe
8.450
7.150
39.600
30.800
22.000
12.000
Temulawak
1.040
910
3.250
3.250
3.000
3.000
Kunyit
3.575
2.860
12.375
12.375
8.250
6.750
Lempuyang Wangi
5.720
4.843
18.425
14.300
10.230
4.098
Lempuyang Pahit
5.005
4.238
16.143
12.540
8.965
3.575
Kencur
5.005
4.238
16.143
12.540
8.965
3.575
Penjualan irisan kering Harga diskenariokan tetap, terkecuali di tahun ke-5
dan irisan kering ) Bulan 7
8
9
10
11
12
12.000
22.000
8.450
5.720
7.150
8.450
2.500
2.500
715
910
1.040
1.040
6.750
8.250
2.145
2.860
3.575
4.290
4.098
10.230
5.720
3.874
4.843
5.720
3.575
8.965
5.005
3.380
4.238
5.005
3.575
8.965
5.005
3.380
4.238
5.005
Lampiran 12 Pembiayaan Teknis Jaringan Posisi BEP Uraian
Tahun 1
1. Biaya - Biaya Langsung Biaya Kuli naik turun Biaya kuli transportasi Biaya pembersihan dan kemas Biaya transaksi Biaya pengelolaan Perajangan dan Pengeringan 2. Biaya Umum dan Pegawai Listrik, telepon per bulan Umum dan ATK Pemeliharaan Biaya pegawai tetap Perkiraan harian Dana taktis 3. Biaya Kunjungan Kunjungan Sumber Kunjungan User Total
95.450.305 16.089.390 8.044.695 32.178.780 4.826.817 6.435.756 27.874.868 80.400.000 4.800.000 1.800.000 1.200.000 59.400.000 12.000.000 1.200.000 8.400.000 4.800.000 3.600.000 184.250.305
2
3
95.450.305 95.450.305 16.089.390 16.089.390 8.044.695 8.044.695 32.178.780 32.178.780 4.826.817 4.826.817 6.435.756 6.435.756 27.874.868 27.874.868 80.400.000 80.400.000 4.800.000 4.800.000 1.800.000 1.800.000 1.200.000 1.200.000 59.400.000 59.400.000 12.000.000 12.000.000 1.200.000 1.200.000 8.400.000 8.400.000 4.800.000 4.800.000 3.600.000 3.600.000 184.250.305 184.250.305
Diskenariokan terdapat kenaikan 10 % biaya umum pada tahun ke-5
4
5
95.450.305 95.450.305 16.089.390 16.089.390 8.044.695 8.044.695 32.178.780 32.178.780 4.826.817 4.826.817 6.435.756 6.435.756 27.874.868 27.874.868 80.400.000 88.440.000 4.800.000 4.800.000 1.800.000 1.800.000 1.200.000 1.200.000 59.400.000 59.400.000 12.000.000 12.000.000 1.200.000 1.200.000 8.400.000 8.400.000 4.800.000 4.800.000 3.600.000 3.600.000 184.250.305 192.290.305
Lampiran 13 Penjualan Tanaman Obat posisi BEP ( untuk jenis segar dan campuran ) Tanaman Obat
Tahun 1
2
3
4
5
737.330.938
737.330.938
737.330.938
737.330.938
811.064.032
23.407.067
23.407.067
23.407.067
23.407.067
25.747.774
101.170.824
101.170.824
101.170.824
101.170.824
111.287.907
Lempuyang Wangi
87.878.242
87.878.242
87.878.242
87.878.242
96.666.066
Lempuyang Pahit
74.549.154
74.549.154
74.549.154
74.549.154
82.004.069
Kencur
60.732.508
60.732.508
60.732.508
60.732.508
66.805.759
Jahe Temulawak Kunyit
Total
1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.193.575.608
Lampiran 14 Perkiraan Arus Kas kondisi BEP ( bahan baku segar dan kering ) Tahun No
Uraian
0
1
2
3
4
5
1.085.068.734
1.085.068.734
1.085.068.734
1.085.068.734
1.193.575.608
1.022.849.896
1.022.849.896
1.022.849.896
1.022.849.896
3.154.011.457
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
45.000.000
0
0
0
0
0
Pembelian Bahan Baku
787.573.101
787.573.101
787.573.101
787.573.101
866.330.411
Pembiayaan Teknis
184.250.305
184.250.305
184.250.305
184.250.305
192.290.305
Penyusutan
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
Angsuran Pinjaman
16.026.490
16.026.490
16.026.490
16.026.490
14.690.949
62.218.838
62.218.838
62.218.838
62.218.838
85.263.942
1 Inflow 2 Outflow
100.000.000
Sewa Lahan Investasi
100.000.000
3 Laba Sebelum Pajak
-100.000.000
Total Variabel Cost Total Fixed Cost
4.493.874.341 705.836.908
Lampiran 15 Manfaat Jaringan bagi masyarakat No
Uraian
Satuan
Perajangan Jumlah Hari kerja Hari/bulan Kapasitas Perajangan kg/orang/hari Rata-Rata Perajangan ton/bulan Produktifitas Perajangan ton/orang/bulan Jumlah Tenaga Perajang orang Pendapatan Tenaga Perajang Rp./orang/bulan Total Biaya Perajangan Rp./bulan 2 Luas Lahan dan Keterlibatan Petani Produktifitas ton/ha/tahun Luas lahan petani ha/orang Rata-Rata Produksi Aktual Ton/tahun Kebutuhan Lahan Ha Jumlah Petani Terlibat orang
Nilai
1
26 50 178,96 1,3 138 162.500 22.425.000 12,78 0,2 1.581,38 124 620
Lampiran 16 Manfaat Jaringan bagi masyarakat kondisi BEP No.
Uraian
Satuan
Nilai
1 Tenaga Perajangan Jumlah Hari kerja
Hari/bulan
26
Kapasitas Perajangan
kg/orang/hari
50
Rata-Rata Perajangan
ton/bulan
Produktifitas Perajangan
ton/orang/bulan
1,3
Jumlah Tenaga Perajang
orang
29
Pendapatan Tenaga Perajang Total Biaya Perajangan
Rp./orang/bulan Rp./bulan
37,54
162,500 4.712.500
2 Luas Lahan dan Keterlibatan Petani Produktifitas
ton/ha/tahun
Luas lahan petani
ha/orang
Rata-Rata Produksi Aktual
Ton/tahun
Kebutuhan Lahan Jumlah Petani Terlibat
Ha orang
12,7755 0,2 331,74 26,00 130
Lampiran 17 Permasalahan Petani Matriks Pendapat Aspek Masalah
RESPONDEN 2 3
1
4
5
HASIL AGREGASI
AKSES PASAR
ST
ST
ST
ST
ST
ST
PERMODALAN
ST
ST
ST
ST
ST
ST
TEKNIK PENGOLAHAN
T
T
ST
ST
T
T
TEKNIK BUDIDAYA
ST
ST
T
T
T
T
NEGOSIASI
R
R
ST
ST
ST
ST
FASILITATOR
SR
R
R
R
R
R
TENAGA KERJA
SR
ST
SR
SR
SR
R
Skala Penilaian SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI SANGAT TINGGI
SR R S T ST
Lampiran 18 Pengendalian Vertikal Industri terhadap Pemasok Matriks Pendapat ELEMEN PENGENDALIAN
SUB-ELEMEN
RESPONDEN 1 2 3 4 S T T T T S S S T ST ST T
5
HASIL AGREGASI
PRODUK
Jenis Produk Kemasan Standar produk
S T T
T S T
PASOKAN
Frekuensi pasokan Waktu Pasokan Jumlah per pengiriman Jenis Angkutan
S S R SR
T S R SR
T T T SR
S T T R
T T T R
T T T R
HARGA dan PEMBAYARAN
Harga Bentuk Pinalti Cara Pembayaran
S R S
S R S
S S T
T S T
T S S
T S T
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Mutu Prosedur Pemrosesa Petugas Pengiriman
S S R
S S R
S R S
T R S
T R S
S R S
Lampiran 19 Pengendalian Vertikal Pedagang terhadap Pemasok Matriks Pendapat ELEMEN PENGENDALIAN
SUB-ELEMEN
RESPONDEN 1 2 3 4 S T T T R R S S T S S S
5
HASIL AGREGASI
PRODUK
Jenis Produk Kemasan Standar produk
S R T
T R S
PASOKAN
Frekuensi pasokan Waktu Pengiriman Jumlah per pengiriman Jenis Angkutan
S S R SR
T S R SR
T T R R
S T SR R
S S R R
S S R R
HARGA dan PEMBAYARAN
Harga Bentuk Pinalti Cara Pembayaran
S R R
S R R
T R SR
T S SR
T S R
T R R
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Mutu Prosedur Pemrosesan Petugas Pengiriman
S S R
S S R
S R R
T R S
T R S
S R R