ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL
RIZMA ALDILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Rizma Aldillah NIM H451100281
RINGKASAN RIZMA ALDILLAH. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional. Dibimbing oleh HARIANTO dan HENY K. DARYANTO. Kedelai dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau World's Miracle mengingat kualitas protein tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai di Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Namun produksi kedelai belum mencukupi kebutuhan lokal, sehingga pada 5 tahun terakhir impor rata-rata mencapai 80 persen per tahun (FAO, 2013), walaupun demikian, dalam rencana strategis pengembagan pertanian, Indonesia memiliki tujuan mencapai swasembada kedelai tahun 2020. Permasalahan utama adalah produksi kedelai nasional lebih rendah daripada kebutuhan dalam negeri, sehingga selalu mengalami defisit. Untuk itu, dilakukan analisis produksi dan konsumsi kedelai nasional yang bertujuan menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai nasional, bagaimana proyeksi produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahun yang akan datang, serta bagaimana alternatif simulasi yang dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kedelai nasional. Hasil analisis simultan menyimpulkan bahwa produksi kedelai nasional (PKN) dipengaruhi oleh luas area (LATKN) dan produktivitas (PRKN), dimana perubahan LATKN dan PRKN resposif terhadap LATKNt1 dan PRKNt-1. Sedangkan perubahan konsumsi (KKN) responsive terhadap penawaran (SKN), dimana SKN mempengaruhi harga nasional (HKN), begitupun harga impor (HKI) terintegrasi oleh HKN, sehingga perubahan harga impor mempengaruhi volume impor (KIK), kesesuaian model bagus (fit) berada dalam kisaran 75 – 98 persen. Hasil peramalan tahun 2013 – 2020 menghasilkan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 1.2 jutaan ton atau sekitar 6.8 persen per tahun dan konsumsi sebesar 2.8 jutaan ton atau sekitar 2.1 persen per tahun, namun demikian, defisit rata-rata mengalami penurunan rata-rata sekitar 0.98 persen atau 1.4 jutaan ton per tahun. Analisis simulasi kebijakan bertujuan menganalisis strategi untuk meningkatkan produksi kedelai nasional pada periode 2013 – 2020 sesuai hasil peramalan, dimana simulasi tersebut diantaranya meningkatkan LATKN 7 persen, HKI 100 persen dan HKN 50 persen. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar penerapan pembelian harga petani spesifik lokasi, penetapan tarif impor kembali sesuai aturan WTO, kontribusi agribisnis misalnya diversifikasi produk, serta pemotongan jalur tataniaga yang lebih efisien dan efektif dari produsen ke konsumen. Kata kunci: kebijakan, kedelai, konsumsi, peramalan, produksi, simulasi
SUMMARY RIZMA ALDILLAH. Production and Consumption Analysist of National Soybeans. Supervised by HARIANTO and HENY K. DARYANTO. Soy dubbed as Gold from the Soil, or the World's Miracle considering the quality of balanced and complete high protein. Soybean consumption in Indonesia increase every year considering several considerations such as increasing population, increasing income per capita, public awareness of food nutrition. However, soybean production is insufficient local demand, so that in the last 5 years average imports reached 80 percent per year (FAO, 2013), nevertheless, in the agricultural development of the strategic plan, Indonesia have purpose to reach soybean self-sufficiency by 2020. The main problem is the national soybean production is lower than the domestic demand, so it is always in deficit. So that, an analysis of national soybean production and consumption aims to analyze the variables that influence of national soybean production and consumption, how the predictions of the national soybean production and consumption in the future, and how alternative simulations that can be done to improve the national soybean production. The results of simultaneous analysis concluded that production is influenced by area and yield, whereas of area and yield modification is responsive by themselves in the previous year. However, modification of consumption is responsive by quantity supplies which is influence by nastional prices, and of course, the national prices integrated with import prices, and also the modification of it influence of import quantity. Goodness of fit of simultaneous model in the range of 73 – 98 percent. The results of forecasting at 2013 - 2020 shows average production growth of 1.2 million tons, or about 6.8 percent per year and average consumption of 2.8 million tons, or about 2.1 percent per year, however, it shows an average deficit of diminishing about 0.98 percent or 1.4 million ton per year. Simulation analysis to make strategic policy performed in the corresponding increase at national soybean production forecast results, including increase the area harvested by 7 percent, import prices by 100 percent, and national prices by 50 percent. Based on the research results, it is suggested that the application of the purchase price at the farm level by spesific location, re import tariffs according to the rules of the WTO, the contribution of agribusiness, for example: product diversification, make the trading system more efficient and effective from producers to consumers. Key words: consumption, forecasting, policy, production, simulation, soybeans
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL
RIZMA ALDILLAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, M. Adev.
Penguji Wakil Komisi Pendidikan
: Dr Ir Burhanuddin, MS.
Judul Tesis Nama NIM
: Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional : Rizma Aldillah : H451100281
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr IrHen
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 10 Juli 2014
Tanggal Lulus2
1 Agustus
2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah produksi dan konsumsi, dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Dr Ir Harianto MS dan Dr Heny K Daryanto M Ec sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan perhatian baik secara moril maupun substansi dan teknis yang sangat berarti dari awal penelitian hingga penyusunan tesis ini selesai. 2. Dr Ir Suharno MAdev dan Dr Ir Burhanuddin MS sebagai dosen penguji dalam siding akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnakan tesis. 3. Dr Ir Ana Fariyanti MS sebagai dosen evaluator kolokium atas saran yang diberikan untuk proposal penelitian. 4. Dr Ir Parulian Hutagaol MS sebagai dosen moderator seminar hasil penelitian atas saran yang diberikan untuk tesis. 5. Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS sebagai Ketua Program Studi S2 Agribisnis yang selalu mendukung secara moril dan administratif dari awal perkuliahan hingga kelulusan. 6. Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Dr Ir Handewi P Saliem MS, dan Staf kepegawaian atas dukungan moril serta keadministrasi-an sejak awal perkuliahan hingga kelulusan. 7. Suami tercinta, Ya’ Thohir, SKM atas doa dan dukungan moril maupun materil, serta kasih sayang yang diberikan, serta anak-anakku Ya’ Muhammad Riztho Rizaldi dan Ya’ Ibrahim Ditho Al-Fathir yang selalu menjadi penyemangat bunda dalam menyelesaikan studi di MSA (Magister Sains Agribisnis). 8. Orang tua, H. Armadi Chaniago dan Hj. Maisaroh, adikku Rizda Anferiz, SE atas doa dan dukungan moril maupun materil serta kasih sayang yang diberikan. 9. Prof Dr Ir Budiman Hutabarat MS, Dr Ir Adang Agustian MSi, Rina Hartini, SSi MB, dan Novindra Taher SP MS atas bantuan dalam pengolahan data dan saran dalam pembahasan. 10. Seluruh dosen dan staf sekretariat Departemen Agribisnis atas ilmu yang diberikan selama perkuliahan, serta bantuan ke-administrasi-an. 11. Teman-teman MSA angkatan pertama atas perhatian, dukungan dan kerjasama kita selama di bangku perkuliahan. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Agustus 2014 Penulis
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian
1 1 5 7 7 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Kedelai Produksi Kedelai Nasional Konsumsi Kedelai Nasional Kebijakan Perdagangan Kedelai Model Ekonomi Kedelai Review Penelitian Terdahulu Penelitian Kedelai di Negara Lain Penelitian Kedelai di Indonesia Model Simultan dan Non Simultan Model Persamaan Simultan Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan
9 9 11 14 16 19 19 19 21 26 27 29 30
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Produksi Teori Konsumsi Teori Persamaan Simultan Kerangka Pemikiran Operasional Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Model Persamaan Simultan
33 33 33 34 37 40 40 41 42 44
4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Penentuan Model Metode Peramalan Analisis Simulasi Kebijakan
47 47 47 49 50 50
x
DAFTAR ISI (lanjutan) 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kedelai Nasional Keragaan Luas Area Tanam Kedelai Nasional Keragaan Produktivitas Kedelai Nasional Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Kedelai Keragaan Harga Kedelai Impor Keragaan Kuantitas Impor Kedelai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kedelai Nasional Keragaan Konsumi Kedelai Nasional Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kedelai Nasional Keragaan Harga Kedelai Nasional Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Simulasi Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Kedelai Nasional Simulasi Kebijakan Pertama Simulasi Kebijakan Kedua Simulasi Kebijakan Ketiga
51 51 51 53 54 54 55 56 56 57 57 61 64 65 66 67
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
70 70 70
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
80
RIWAYAT HIDUP
112
xi
DAFTAR TABEL 1.1 1.2 1.3 1.4 2.1 3.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2000 – 2010 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1961–2012 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 – 2012 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Hasil Estimasi Parameter LATKN
Hasil Estimasi Parameter PRKN Hasil Estimasi Parameter HKI Hasil Estimasi Parameter KIK Hasil Estimasi Parameter KKN Hasil Estimasi Parameter HKN Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2010 – 2020 5.8 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Pertama 5.9 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Kedua 5.10 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Ketiga
2 3 3 4 26 44 52 53 54 56 57 58 62 65 66 67
DAFTAR GAMBAR 1.1 1.2 3.1 3.2
Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 – 2012 Harga Ekspor dan Harga Impor Kedelai Nasional 1961 – 2012 Kerangka Pemikiran Konseptual Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013 – 2020
5 7 40 44 63
DAFTAR LAMPIRAN 1 2a 2b 2c 3 4
Negara-Negara Produsen Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2010 Data Historis Data Historis Data Historis Jenis Variabel Data dan Sumber Data Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 5a Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 5b Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 5c Perkembangan Pertumbuhan Data Historis
80 80 81 83 84 84 86 87 88
xii
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan) 6a 6b 7 8a 8b 9
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model Rekapitulasi Perangkingan Hasil Respesifikasi Model Nilai U-Theil Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih Hasil Output SAS, Peramalan Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan
89 102 102 103 106 106
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan dan merupakan sumber utama protein dan minyak nabati utama dunia. Kedelai merupakan tanaman pangan utama strategis terpenting setelah padi dan jagung. Kedelai juga berguna untuk usaha peternakan yaitu untuk pakan ternak dan pupuk hijau dari daun dan batangnya. Selain itu, kedelai dapat dimanfaatkan menjadi bahan industri makanan, seperti tahu, tempe, susu, vetsin, kue, dan sebagainya, sedangkan untuk industri non makanan seperti kertas, tinta cetak, cat air, dan sebagainya. Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan Gliserida, seperti minyak goreng, tinta, pernis, margarin, dan sebagainya. Kedelai dapat digunakan untuk bahan Lecithin, seperti margarin, isolat protein, puff kedelai, insektisida, plastik, industri farmasi, dan sebagainya (CGPRT Center 1986), sehingga ketersediaan kedelai sebagai bahan pangan maupun non pangan sangat penting. Begitu besarnya kontribusi kedelai dalam hal penyediaan bahan pangan bergizi bagi manusia sehingga kedelai biasa dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau sebagai World's Miracle mengingat kualitas asam amino proteinnya yang tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai oleh masyarakat Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Dibandingkan protein hewani, protein asal kedelai murah dan terjangkau oleh kebanyakan masyarakat. Dengan demikian, tanaman kedelai memiliki manfaat ekonomis yang luas dan strategis, sekaligus berkaitan erat dengan pengembangan industri hilir1. Peningkatan kebutuhan akan kedelai dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap (Mursidah 2005), serta berkembangnya olahan kedelai dan industri pakan ternak (Siregar 2003). Produsen terbesar di dunia adalah Amerika, hingga tahun 2012 produksi kedelai USA telah mencapai 82 juta ton, dengan pertumbuhan produksi dan produktivitas rata-rata selama periode 1961 – 2012 masing-masing sebesar 54 juta ton dan 2.2 ton per tahun (FAO 2012). Tujuh negara produsen kedelai terbesar di dunia dapat menghasilkan rata-rata produksi mencapai 1.4 jutaan ton hingga 53 jutaan ton per tahun, seperti negara Canada, China, Argentina, USA, Brazil, India, Paraguay, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2 – 45 persen per tahun (Lampiran 1). Pentingnya komoditas kedelai di dunia ditunjukkan oleh area tanam, produksi dan produktivitas yang cenderung meningkat (Tabel 1.1).
1
)
Agribisnis. 2001. Produksi Kedelai Nasional Belum Mencukupi. Jumat, 24 Agustus 2001; 18:21WIB. Jakarta. www. agribisnis.tripod.com
2
Tabel 1.1
Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2002 – 2012 Tahun 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Pertumbuhan rata-rata per tahun
Area Produksi Produktivitas (Juta Ha) (Juta Ton) (Ton/Ha) 79.0 181.7 2.3 91.6 205.5 2.2 95.3 221.9 2.3 96.4 231.2 2.4 102.4 261.6 2.5 104.9 241.8 2.3 56.9 114.1 1.8
Sumber: FAO (2013), diolah
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa rata-rata area tanam, produksi dan produktivitas kedelai dunia masing-masing sebesar 56.9 juta ha, 114.1 juta ton, dan 1.8 ton per ha per tahun, sedangkan Indonesia hanya memiliki luas area ratarata sebesar 0.83 juta ha, produksi rata-rata sebesar 0.85 juta ton dan produktivitas rata-rata sebesar 1.001 ton per ha per tahun. Pertumbuhan area, produksi dan produktivitas kedelai Indonesia yang cenderung kecil menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia dalam memenuhi kedelai dunia hanya sebesar 1.5 persen, 0.7 persen dan 5.4 persen terhadap luas area, produksi dan produktivitas kedelai dunia. Sampai saat ini, produktivitas kedelai di tingkat petani masih rendah, ratarata 1.3 ton/ha dengan kisaran 0.6-2.0 ton/ha, sedangkan potensi hasilnya bisa mencapai 3.0 ton/ha. Senjang produktivitas yang sangat besar tersebut memberikan peluang bahwa peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas di tingkat petani masih bisa dilakukan. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Kementerian Pertanian, dimana dari laporan Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (2012) bahwa selama kurun waktu 93 tahun (1918–2012), pemerintah Indonesia telah melepas 73 varietas kedelai. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai salah satunya dengan perluasan wilayah tanam. Namun, upaya peningkatan produktivitas kedelai tidak hanya perluasan wilayah tanam, tetapi juga penggunaan varietas unggul. Varietas unggul sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani (Zanetta, Waluyo dan Karuniawan 2013). Permasalahan yang menyebabkan terjadi kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional yang dirangkum dari Kementerian Pertanian (2010) dan Suyamto dan Nyoman (2010) yaitu: (1) Masih rendahnya tingkat produktivitas dan keuntungan usahatani kedelai dibanding komoditas lain seperti padi dan jagung, sehingga petani kurang berminat menanam kedelai dan berpindah ke usahatani tanaman lain yang lebih menguntungkan. Sebagai akibatnya luas areal pangan kedelai makin menurun tajam dan produksi kedelai nasional makin menurun. (2) Belum berkembangnya industri perbenihan kedelai. (3) Rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga stabilitas hasih rendah. (4) Persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain. (5) Swasta kurang
3
berminat mengembangkan kedelai karena resiko kegagalan yang tinggi dan kurang menguntungi. (6) Petani belum mengusahakan kedelai secara intensif dengan cara-cara budidaya yang maju. (7) Tata niaga kedelai belum kondusif, impor kedelai lebih mudah dan lebih murah, sehingga petani yang rata-rata petani kecil kurang dapat bersaing.
Tabel 1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1961–2012 Tahun 1961 1970 1980 1990 2000 2001 2005 2010 2012 Jumlah rata-rata per tahun Indonesia Pertumbuhan rata-rata Indonesia per tahun (%) Jumlah rata-rata dunia per tahun 1961 – 2012 Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%)
Area (juta ha) 0.62 0.69 0.73 1.33 0.82 0.68 0.62 0.66 0.57 0.83 0.81 56.9 1.5
Produksi Produktivitas (juta ton) (ton/ha) 0.43 0.07 0.50 0.07 0.65 0.09 1.49 0.11 1.02 0.11 0.83 0.12 0.81 0.13 0.91 1.37 0.85 1.50 0.85 1.001 2.39 1.64 114.1 1.85 0.7 5.4
Sumber: FAO (2013), diolah
Dinamika perdagangan kedelai dunia dapat mempertajam posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui posisi kedelai Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat mengantisipasi kebijakan apa yang akan diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pilihan kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja dipengaruhi oleh keinginan politik penguasa (Oktaviani 2010). Tabel 1.3 memperlihatkan laju rata-rata penurunan ekspor dan impor kedelai dunia masingmasing sudah mencapai 64.04 persen dan 63.93 persen, dengan perkembangan ekspor dan impor masing-masing sebesar 32.73 juta ton dan 32.76 juta ton per tahun.
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 Tahun 1961 1970 1980 1990 2000 2003
Ekspor (juta ton) 4.17 12.63 26.88 25.88 47.38 65.03
Impor (juta ton) 4.09 12.29 27.04 26.33 48.48 65.80
4
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 (lanjutan) Tahun Ekspor (juta ton) 2006 67.0 2009 81.54 2011 91.02 Jumlah rata-rata per tahun (juta ton) 32.73 Pertumbuhan rata-rata per tahun (%) -64.04 Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 0.007
Impor (juta ton) 66.36 79.94 90.81 32.76 -63.93 1.93
Sumber: FAO (2013), diolah
Kontribusi Indonesia terhadap perdagangan kedelai dunia menunjukkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara produsen, tetapi Indonesia merupakan negara importir kedelai, dimana kontribusi Indonesia terhadap impor kedelai dunia sebesar 1.93 persen, sedangkan terhadap ekspor kedelai dunia hanya sebesar 0.007 persen. Seperti yang dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa semenjak Bulog tidak lagi menjadi importir tunggal, mudahnya importir swasta mengimpor kedelai, menyebabkan volume impor kedelai cenderung meningkat karena harga kedelai di pasar internasional lebih murah. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.4 bahwa impor kedelai rata-rata mencapai 631 ribu ton, sedangkan ekspor ratarata hanya sebesar 2300 ton per tahun.
Tabel 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 – 2012 Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton) 1961 0.000410 0 1970 0.002690 0 1980 0.000311 0.10 1990 0 0.54 2000 0.000290 1.28 2005 0.000876 1.086180 2010 0.003850 1.740505 2012 0.000466 1.914561 Jumlah Rata-rata per tahun (ton) 0.002374 0.631821 Pertumbuhan rata-rata/tahun (%) 357.76 264.42 Sumber: FAO (2013), diolah
Dinamika perkedelaian nasional juga dipengaruhi harga kedelai, rendahnya daya saing harga kedelai nasional terhadap harga kedelai internasional disebabkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa di negara-negara maju seperti USA, pemerintah selalu memberikan subsidi ekspor terhadap petani, sehingga menjamin hasil panen petani yang selalu terserap oleh pasar internasional dengan harga yang layak.
5
1.2 Perumusan Masalah Kebutuhan kedelai di Indonesia akan terus meningkat, dari waktu ke waktu, seiring pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan gizi makanan yang bersumber dari protein nabati. Dalam kurun waktu 5 tahun (2010 – 2014), kebutuhan kedelai setiap tahunnya sekitar 2.3 jutaan ton, namun kemampuan produksi kedelai nasional hanya berkisar 800 ribuan ton per tahun (Dirjentanpan 2013 dan FAOSTAT 2012), sehingga untuk memenuhi kekurangan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Seperti dikutip dari hasil penelitian Kustiari et al (2009) bahwa laju produktivitas relatif stabil, namun laju perkembangan luas area tanam relatif menurun, kondisi ini terjadi karena semakin tebatasnya lahan pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir, sedangkan kebutuhan kedelai untuk konsumsi diproyeksikan akan meningkat ratarata 2.44 persen per tahun (Sudaryanto dan Swastika 2007). Permintaan kedelai per kapita sejak tahun 1990 – 2010 diperkirakan tumbuh sebesar 2.92 persen per tahun (Siregar 1999). Laju pertumbuhan rata-rata data historis menunjukkan bahwa selama 52 tahun (1961 – 2012), konsumsi kedelai nasional meningkat sebesar 1.2 jutaan ton per tahun atau sekitar 5.4 persen per tahun (Lampiran 5b). Peningkatan kebutuhan akan kedelai juga dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap (Mursidah 2005). Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional ditutup oleh kedelai impor, dimana menurut Amang dan Sawit (1996) impor kedelai banyak menyita devisa negara.
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 – 2012 (sumber: FAO 2013) Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional sudah dimulai sejak tahun 1961 – 2012 (Gambar 1.1). Meningkatnya permintaan kedelai karena
6
berkembangnya industri pengolahan pangan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku menyebabkan tingkat kebutuhan konsumsi kedelai meningkat (Firdausy, Mulya dan Nurlia 2005). Saat ini kebutuhan kedelai dalam negeri sudah mencapai 2.9 jutaan ton, dengan penggunaan konsumsi untuk makanan hampir 2.3 jutaan ton dan sisanya sekitar 600 ribuan ton digunakan untuk non makanan. Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 42 persen konsumsi domestik (FAO 2012). Ketidakstabilan produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai yang mana produktivitas kedelai relatif stabil (Malian, 2004). Kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 60 persen lebih dipenuhi dari kedelai impor (Departemen Pertanian 2008). Lonjakan konsumsi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan (tahu dan tempe), semakin populer digunakan unuk substitusi produk hewani pada beberapa kondisi. Kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia tergolong skala kecil–menengah, namun dalam jumlah sangat banyak, sehingga menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai. Peningkatan konsumsi kedelai tidak diimbangi oleh gairah petani dalam budidaya kedelai yang semakin menurun (Ariani 2003), menyebabkan areal tanam semakin menurun dan produktivitas relatif stabil (Oktaviani 2010). Soesastro dan Basri (1998) mengemukakan bahwa impor kedelai yang semula merupakan monopoli pemerintah, dalam hal ini Bulog, sejak 1 Januari 1998 bebas diimpor dengan menggunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula 20 persen turun menjadi 5 persen pada tahun 2003. Walaupun dalam kesepakatan tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk menetapkan tarif impor kedelai, tetapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk dengan bebas. Pasar bebas yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1999 menyebabkan impor kedelai terus meningkat akibat dari turunnya bea masuk impor kedelai juga dikemukakan oleh IPDN (2008). Penyebab lain meningkatnya impor adalah fasilitas GSM 102 yang diberikan oleh Amerika Serikat yang memudahkan importir kedelai Indonesia (Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2002). Impor kedelai yang semakin meningkat didukung oleh harga yang lebih murah, sehingga berdampak pada kualitas kedelai itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Arifin (2012) bahwa kedelai impor yang berasal dari kedelai transgenik akan berdampak buruk pada kesehatan manusia pada jangka panjang. Selain itu, impor kedelai yang semakin meningkat juga akan menyebabkan devisa negara yang menghilang semakin meningkat. Ekspor kedelai tidak berhasil karena tidak adanya dukungan “political will” dari pemerintah yang sangat besar, antara lain dalam bentuk subsidi agro input (benih, pupuk dan obat-obatan), peralatan mekanisasi dan subsidi harga dengan penetapan harga jual (support price). Ekspor kedelai juga dapat membuat daya saing kedelai di pasar internasional menjadi lebih baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas, dan harga. Selain itu, adanya kebijakan penetapan tarif impor yang menurun hingga 5 persen pada tahun 2004 juga membuat kondisi pertanian kedelai semakin terpuruk (Departemen Pertanian 2002).
7
Gambar 1.2 Harga Ekspor (HKE) dan Harga Impor Kedelai (HKI) 1961 – 2012 (Sumber: FAO 2013)
Harga kedelai impor pada Gambar 1.2 secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 3 persen per tahun, sedangkan laju rata-rata harga kedelai nasional mencapai 14 persen per tahun pada periode 1961 – 2012 (FAO 2012). Dengan semakin meningkatnya harga kedelai impor, membuat posisi daya saing harga kedelai lokal lebih baik. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi kedelai nasional? 2. Bagaimana pola kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi kedelai nasional di masa mendatang? 3. Bagaimana alternatif simulasi kebijakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia. 2. Memproyeksikan tingkat produksi dan konsumsi kedelai Indonesia di masa mendatang. 3. Merumuskan simulasi kebijakan alternatif untuk meningkatkan produksi kedelai nasional.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini berguna untuk beberapa pihak, antara lain: 1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah penelitian.
8
2. Bagi pemerintah (pengambil kebijakan), penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk acuan membuat aternatif-alternatif kebijakan perkedelaian nasional. 3. Bagi pelaku akademisi, penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi dalam melakukan analisis yang terkait dengan produksi dan konsumsi kedelai.
Batasan Penelitian Batasan dan ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Penelitian difokuskan pada produksi dan konsumsi kedelai nasional dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Penelitian menggunakan data sekunder, tidak dilakukan pengambilan data di tingkat petani. 3. Penelitian memberikan gambaran simultan antara produksi dan konsumsi serta faktor yang mempengaruhinya, melakukan proyeksi peramalan hingga beberapa tahun ke depan, serta memberikan gambaran simulasi kebijakan alternatif.
II TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1 Ekonomi Kedelai Indonesia hingga saat ini termasuk negara produsen kedelai keenam terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Cina, dan India. Namun, produksi kedelai domestik belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui peningkatan produksi domestik. Untuk mencukupinya, pemerintah melakukan impor. Diperkirakan kebutuhan kedelai Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2.79 juta ton (Nasution 1990). Untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai impor yang terus meningkat,diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, baik melalui perluasan areal tanam, peningkatan produktivitas maupun pemberian dukungan pemerintah melalui kebijakan yang berpihak kepada petani, seperti pengaturan tata niaga kedelai, tarif bea masuk, Dan penetapan harga dasar. Diharapkan berbagai kebijakan tersebut dapat memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi kedelai. Kedelai dari sisi ekonomi dapat dikemukakan melalui naiknya nilai tukar yang akan mempengaruhi jumlah kedelai yang diimpor yang selanjutnya akan mempengaruhi penawaran dan stok kedelai di dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian Kumenaung (1994), dengan naiknya nilai tukar 15 persen telah menyebabkan turunnya jumlah impor sebesar 12.58 persen. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing turun, mengakibatkan kemampuan untuk membayar kebutuhan kedelai melalui impor semakin kecil. Penurunan jumlah impor ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penawaran kedelai nasional. Jumlah penawaran kedelai nasional menurun 2.63 persen karena impor kedelai merupakan salah satu unsur yang menyusun jumlah penawaran kedelai. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi industri tahu dalam negeri yang juga mengalami penurunan produksi sebesar 1.33 persen. Jika harga impor naik, merangsang harga kedelai domestik naik sehingga akan menguntungkan petani. Terjadi surplus, begitupun dengan industri tahu dan tempe, ketika surplus, kebutuhan kedelai dalam negeri akan terpenuhi oleh kedelai domestik, kemudian surplus di ekspor untuk menambah devisa negara. Ekonomi kedelai di Indonesia dapat dikemukakan melalui beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: (1) penerapan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi pengusahaan komoditas kedelai cukup tepat untuk meningkatkan permintaan akan kedelai lokal dan menurunkan permintaan terhadap kedelai impor dari manca negara; (2) pengaruh yang cukup besar dan berbeda-beda dari peubahan kebijakan perdagangan internasional dari negara-negara pengekspor kedelai ke Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memperoleh volume impor kedelai yang dibutuhkan dengan meminimalkan pengeluaran devisa; (3) pengaruh yang cukup besar dan berbeda-beda dari perubahan biaya transportasi untuk setiap negara pengekspor kedelai ke Indonesia, dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kedelai impor dengan harga lebih kompetitif, sehingga dapat menekan pengeluaran devisa Indonesia; (4) pemerintah dapat memanfaatkan kondisi krisis moneter yang amsih berlangsung di Indonesia untuk menurunkan permintaan impor kedelai, misalnya pelaksanaan program yang dapat meningkatkan daya substitusi kedelai lokal, seperti pengembangan benih kedelai yang disukai petani dan pengusaha tahu tempe, yang
10
dapat mensubstitusi kedelai impor, untuk mendukung efektivitas kebijakan lainnya (Rachmawati 1999). Kedelai saat ini merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat penting dalam kehidupan penduduk Indonesia, masalah yang dihadapi agribisnis kedelai di Indonesia adalah pendapatan usahatani kedelai yang rendah. Akibatnya kedelai nasional tidak berdaya saing dibandingkan dengan kedelai impor. Usahatani kedelai telah mencapai efisiensi teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis. Usahatani kedelai tanpa maupun dengan side product memiliki peluang daya saing, sehingga diperlukan kebijakan harga (floorprice) diatas harga jual petani (farm gate price) untuk meningkatkan efisiensi ekonomis komoditas kedelai, serta apabila harga kedelai impor lebih rendah, maka diperlukan barier dalam bentuk Rate Protection Tax dengan memperhitungkan Effective Rate of Protection (ERP).Untuk menambah tingkat daya saing perlu diperhitungkan side product budidaya kedelai (Sutrisno, Titis dan Rini 2010). Beberapa argumen tentang pentingnya pengembangan ekonomi kedelai adalah: 1) pertambahan jumlah penduduk, 2) usahatani kedelai melibatkan lebih dari dua juta rumah tangga petani, 3) peningkatan pendapatan masyarakat dan kesadaran pentingnya mengonsumsi protein nabati, 4) perkembangan industri makanan berbahan baku kedelai, seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco, serta 5) perkembangan industri pakan yang salah satu komponen utamanya adalah bungkil kedelai. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan terhadap kedelai terus meningkat setiap tahun (Zakaria 2010c). Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat di gunakan untuk mengkukur secara lagsung kualitas sumber daya dengan cara mengatur kecukupan pangan dan gizinya karena sifat kedelai sangat ekonomis dan dinamis. Dari sisi ekonomi, kedelai sebagai komoditas pangan yang strategis, beresiko bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, pertimbangan pokoknya adalah memegang peranan yang sangat kuat dalam menu pangan penduduk. Kedelai berperan dari sisi sosial ekonomi, psikologis dan politis yang cukup tinggi adanya gejolak seperti berkurangnya pasokan yang diikuti dengan lonjakan harga akan membuat susah masyarakat, bukan hanya perajin tahu dan tempe yang terancam bergulung tikar. Krisis kedelai seperti krisis komoditas pangan lain sebenarnya akumulasi dari tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam membangun ketahanan pangan (Sri 2011). Sintesis dari beberapa wacana mengenai ekonomi kedelai diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi pertanian, hal yang harus dicapai terlebih dahulu adalah memperkuat ketahanan pangan dari ancaman globalisasi, dimana terdapat dua pilihan antara lain pencapaian berswesembada artinya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri minimal tergantung pada perdagangan luar negeri, lalu yang kedua pencapaian kemandirian dalam pangan yaitu berusaha menyediakan minimal pangan yaitu berusaha menyediakan minimal pangan perkapita untuk melindungi dari ketergantungan impor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan akses terhadap pangan. Persoalan kedelai Indonesia di masa mendatang, harus diarahkan ke swasembada, ketergantungan impor dapat mengganggu kestabilan sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk itu, ketika swasembada kedelai tercapai, maka Indonesia akan memiliki peluang menjadi salah satu negara eksportir terbesar di dunia. Hal ini tentunya berdampak pada nilai kepercayaan luar negeri
11
kepada komoditas pertanian Indonesia. Disaat produk pertanian Indonesia memiliki daya saing yang baik di dunia internasional, maka hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan semakin membaik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2.2 Produksi Kedelai Nasional Produksi kedelai dalam negeri secara tidak langsung di subsidi oleh pemerintah melalui subsidi pupuk dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan persoalan bagi kebijaksanaan nasional, karena biaya produksi kedelai di Indonesia lebih tinggi daripada harganya di pasaran internasional. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan (viabilitas) ekonomi program subsidi pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Namun penting dilakukan perlindungan terhadap produksi kedelai, karena banyak industri kecil pedesaan kepada produksi kedelai setempat. Peningkatan produksi diperlukan agar biaya ekonomi program pemerintah tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi ekonomi nasional (CGPRT Center 1986). Suryana dan Sudaryanto (1997) menyatakan bahwa di masa yang akan datang dinamika perubahan lingkungan strategis baik di tingkat nasional maupun internasional akan mewarnai aspek produksi dan konsumsi pangan domestik. Faktor-fakor yang menunjang meningkatnya produksi komoditas kedelai, diantaranya adalah: (1). Dibangunnya prasarana irigasi; (2). Digunakannya varietas unggul berproduksi tinggi dari lahan gangguan hama/penyakit; (3). Penyuluhan tentang teknik budidaya kedelai yang baik; (4). Pemberian fasilitas kredit berbunga rendah; (5). Pemberian subsidi pupuk; (6). Harga dasar yang cukup relatif untuk kedelai; (7). Program intensifikasi seperti Bimas (Bimbingan Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), dan Insus (Intensifikasi Khusus), dan ada program khusus untuk kedelai dan jagung yaitu Opsus (Operasi Khusus). Program peningkatan produksi kedelai diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan kedelai nasional yang cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap kandungan gizi beberapa produk makanan yang berbahan baku kedelai. Diantara produk kedelai, konsumsi tahu dan tempe meningkat lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi biji kedelai dan keperluan lainnya (Sahara dan Endang 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai adalah perkembangan luas areal tanam, jumlah benih yang tersedia, produktivitas, kuantitas dan harga ekspor dan impor, serta harga jual di tingkat petani. Konsep produksi menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia di banyak tempat dan murah harganya (Ariani 2003). Tuhana dan Novo (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan produksi kedelai nasional rendah adalah cara bercocok tanam dan pemeliharaan kurang intensif, mutu benih kurang baik dan daya tumbuh rendah, varietas lokal yang digunakan tidak mempunyai daya produksi tinggi, suatu areal yang sempit sering ditanami beberapa varietas kedelai yang berbeda, dan pencegahan hama belum intensif. Untuk itu upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatan produksi kedelai nasional, antara lain: (1) Membantu pihak Usaha Kecil (UK) dalam bidang agribisnis tanaman kedelai agar mereka mampu
12
memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi yang dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor pemerintah, moneter dan sektor riil. (2) Mendorong usaha besar (UB) untuk turut aktif meningkatkan produksi kedelai dalam bentuk kemitraan dengan UK dalam Program Kemitraan Terpadu (PKT). (3) Mengarahkan pengembangan PKT tanaman kedelai ke kawasan-kawasan yang masih potensial di luar Jawa, khususnya daerah-daerah transmigrasi yang telah memiliki jaringan irigasi teknis, atau daerah transmigrasi yang memiliki lahan usaha II tetapi belum dimanfaatkan (lahan tidur) (Bank Indonesia 2004). Prospek pasar kedelai baik di pasar domestik maupun pasar dunia sangat cerah. Pasar kedelai domestik masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini produksi kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhannya. Meningkatnya konsumsi kedelai dunia terutama dari negara-negara Asia akibat berkembang pesatnya industri pangan dan susu serta bahan bakar kedelai di negara tersebut dan pasar kedelai dunia sangat terbuka lebar bagi para eksportir baru). Tahun 1986, luas panen di luar Jawa mencapai 431.000 ha, atau meningkat 300 persen dari tahun 1982. Implikasinya adalah kedelai ditanam di lingkungan yang lebih luas, sehingga kurang peka terhadap cuaca yang merugikan di lingkungan tertentu. Kedelai sering ditanam di sawah pada bulan April setelah panen padi, dan dipanen pada permulaan bulan Juli. Sekalipun luas panen cenderung meningkat, namun besarannya beragam dari tahun ke tahun. Berbagai faktor menyebabkan ketidakstabilan ini, khususnya cuaca dan hujan yang tidak dapat diprakirakan, bencana alam seperti kemarau dan banjir, serta kepekaan tanaman terhadap hama dan penyakit. Ketidak-pastian dalam penyediaan masukan-masukan pokok seperti pupuk dan pestisida juga diduga turut menentukan produksi kedelai (Departemen Pertanian 2005). Secara teknis upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman kedelai sudah tentu harus mengubah pola tanam yang belum intensif menjadi pola tanam intensif (Departemen Pertanian 2005). Hal tersebut dilaksanakan dengan cara lebih memantapkan penataan yang meliputi perbaikan serta penyempurnaan dalam penerapan teknologi pada setiap siklus produksi, yang dimulai dari: a. Proses persiapan dan pembuatan serta penyediaan pembenihan kedelai yang unggul. b. Persiapan lahan budidaya. c. Penerapan teknologi penanaman. d. Pemeliharaan tanaman. e. Proses pemanenan. f. Proses penanganan hasil. g. Distribusi dan pemasaran hasil. Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan seperti tahu, tempe yang jenis makanan ini semakin banyak atau populer digunakan sebagai pengganti daging. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15 persen per tahun, sasaran produksi 60 persen dicapai pada tahun 2009. dan swasembada baru tercapai pada tahun 2015. Untuk mendukung upaya khusus peningkatan produksi kedelai tersebut diperlukan investasi sebesar Rp. 5.09 trilyun (2005-2009) dan 16.19 trilyun (2010-2025). Dalam periode yang sama, investasi swasta diperkirakan masing-masing sebesar Rp. 0.68 trilyun dan Rp. 2.45 trilyun (Munandar et al 2008). Produksi kedelai nasional dipengaruhi, kuantitas impor, depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS, produktivitas dan nilai tukar mata uang yang dapat menimbulkan penurunan kinerja ekonomi, depresiasi
13
nilai rupiah terhadap mata uang asing khususnya dollar AS menguntungkan produk-produk Indonesia yang berbahan baku impor rendah untuk go international. Khususnya dalam memanfaatkan peningkatan daya saing dalam rangka melakukan substitusi impor, sehingga dapat meningkatan produksi dan produktivitas kedelai nasional (Aji 2009). Atman (2009) mengemukakan bahwa untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi kedelai nasional ada lima strategi penting yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) Perbaikan harga jual; (2) Pemanfaatan potensi lahan; (3) Intensifikasi pertanaman; (4) Perbaikan proses produksi; dan (5) Konsistensi program dan kesungguhan aparat. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Hutapea dan Ali 2010). Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh jenis tanah, kualitas benih, varietas. Pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama penyakit, waktu tanam dan teknologi budidaya yang dianjurkan. Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri merupakan suatu keharusan, dan hal ini dapat dilaksanakan melalui dua jalan yaitu: (1) program intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas lebih dari 2 ton/ha, dan (2) ekstensifikasi, untuk meningkatkan perluasan areal menjadi dua atau tiga kali lipat (Zakaria 2010a). Upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat usaha tani sulit diwujudkan karena beberapa alasan berikut: 1) varietas kedelai di Indonesia mempunyai tingkat produktivitas yang relatif rendah, yaitu 1.50 – 2.50 ton/ha, 2) adopsi teknologi baru usaha tani kedelai oleh petani masih rendah, dan 3) efisiensi usaha tani kedelai yang dipraktekkan petani masih rendah. Kondisi tersebut menyebabkan pengembangan budi daya kedelai belum sesuai dengan yang diharapkan sehingga tingkat produksi tidak dapat mengimbangi kebutuhan kedelai nasional (Zakaria 2010b). Kesimpulan review dari beberapa literatur mengenai produksi kedelai nasional yang telah diuraikan sebelumnya adalah bahwa produksi kedelai nasional dari tahun 1961 – 2010 mengalami kemunduran hingga 0.7 persen per tahun. Sejak tahun 2000, impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena meningkatnya kedelai impor hingga mencapai 1 persen per tahun, selain itu, kredit pinjaman yang mudah diperoleh dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri, namun harga lebih rendah dibanding total biaya produksi. Sementara itu, harga kedelai impor semakin rendah mencapai Rp.6000,-/kg, sedangkan kedelai lokal sudah mencapai Rp. 8000,-/kg, sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya, dari segi harga, kedelai lokal tidak bisa bersaing dengan kedelai Impor. Selain itu, banyaknya program pemerintah mengenai teknologi budidaya pangan tidak dilakukan dengan efektif dan efisien, sehingga kurang bermanfaat bagi petani kedelai. Petani kedelai pun tidak mengerti dengan teknologi modern yang mana pengenalannya masih belum maksimal oleh badan-badan penyuluhan maupun litbang setempat. Selain itu tingkat kesuburan lahan pertanian produktif juga semakin menurun, sehingga menyebabkan tingkat produktivitas kedelai rendah. Hal ini dikarenakan pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain
14
seperti permukiman dan pusat bisnis. Kurangnya inovasi terhadap pengolahan agribisnis kedelai juga menjadi salah satu lemahnya daya saing kedelai lokal terhadap kedelai impor.
2.2 Konsumsi Kedelai Nasional Tingkat konsumsi suatu barang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga barang tersebut (relatif terhadap harga barang-barang lainnya), dan selera. Tingkat partisipasi konsumsi kedelai meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan, pangsa kedelai yang dikonsumsi untuk pangan saat ini cukup besar, begitupun dengan konsumsi kedelai yang lebih pesat bersumber dari industri tahu, tempe, kecap dan susu (Suryana dan Sudaryanto 1997). Kedelai sebagai salah satu komoditas substitusi beras dan jagung dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan. Sebagai pangan pokok, kedelai memperlihatkan sifat barang inferior, baik di pedesaan maupun di perkotaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Namun komoditas ini masih tetap merupakan penyumbang protein nabati terpenting bagi penduduk pedesaan pada kelompok berpendapatan rendah (Kasryno et al 2001). Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang secara nyata telah mengubah pola konsumsi penduduknya dari pangan penghasil energi ke produk penghasil protein. Oleh karena itu,kebutuhan akan protein nabati maupun hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan (Silitonga, Santosa dan Indiarto 1996 dan Hutabarat 2003). Konsumsi kedelai yang tinggi menyebabkan Indonesia selalu mengalami defisit kedelai nasional, hal ini ditunjukkan oleh net impor yang meningkat dari sekitar 0.54 juta ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.31 juta ton pada tahun 2004. Penurunan produksi kedelai jauh lebih tajam daripada penurunan total konsumsi, maka untuk menutupi defisit diperkirakan impor akan terus meningkat. Namun, Indonesia pernah berswasembada kedelai sebelum tahun 1976, dengan indeks swasembada lebih besar dari satu (Swastika 1997 dan 2003). Krisis ekonomi berdampak pada penurunan daya beli dan harga pangan menjadi mahal. Penurunan tingkat partisipasi, tidak menyebabkan penurunan jumlah kedelai yang dikonsumsi oleh penduduk. Saat krisis ekonomi, konsumsi kedelai (termasuk tahu,tempe, kecap) meningkat sebesar 66.8 persen di kota dan 47.3 persen di desa pada tahun 1996. Artinya, terjadi subsitusi dari pangan sumber protein yang harganya mahal seperti daging/telur/ikan beralih kepada pangan nabati terutama tahu dan tempe sebagai lauk pauknya. Tingkat konsumsi tahu tempe di kota pada periode 1996-1999 meningkat sebesar 46.6 persen (dari 30.4 kg menjadi 44.6 kg/kap/th), sedangkan di desa 63.5 persen, dari 19.0 kg menjadi 31.1 kg/kap/th (Ariani dkk 2003). Ariani (2003) juga mengemukakan bahwa analisis konsumsi rumah tangga dapat didekati dengan dua cara yaitu tingkat partisipasi konsumsi yang mencerminkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tertentu dan tingkat konsumsi pangan per kapita. Dalam penelitian ini analisis konsumsi kedelai mencerminkan pendekatan konsumsi rumahtangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi kedelai adalah tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga pangan itu sendiri, harga pangan lain sebagai substitusinya (dalam hal ini pangan umbi-umbian), gaya makan, budaya gengsi atau gaya hidup,
15
pendidikan atau pengetahuan, serta ketersediaan pangan. Disebutkan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi kacang-kacangan juga semakin meningkat, dimana perubahan secara signifikan terlihat pada konsumsi kedelai. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan barang normal. Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan (snack). Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi per kapita kedelai selama 1.5 dekade terakhir menurun dari sekitar 11.38 kg/kapita pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.97 kg/kapita pada tahun 2004, atau menurun rata-rata 1.69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995. Selama periode 1995 – 2000, konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kg/kapita pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg/kapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata 1.57 persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000 – 2004, yaitu rata-rata 4.81 persen per tahun (Swastika, Marwoto dan Swastika 2005). Konsumen kedelai terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri pakan. Semakin baiknya kehidupan ekonomi, maka konsumsi protein hewani akan semakin meningkat. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan industri pengolahan agribisnis kedelai khususnya industri tahu dan tempe. (Syam et al 1996). Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin meningkat. (Munandar et al 2008). Review konsumsi kedelai nasional yang telah diuraikan adalah bahwa sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik demografis penduduk Indonesia berubah, dimana perubahan tersebut jelas membawa perubahan dalam pola konsumsi pangannya. Apalagi dengan azas keterbukaan dan arus globalisasi, yang memungkinkan masyarakat dengan mudah dapat mengakses budaya asing termasuk budaya makan. Karena pada dasarnya, faktor yang mempengaruhi pola makan, tidak hanya pendapatan tetapi juga sosial seperti gengsi, pendidikan/pengetahuan, ketersediaan pangan dan harga pangan. Bahkan pada wilayah atau struktur masyarakat tertentu, gaya hidup berpengaruh pada gaya makan dan budaya gengsi lebih menonjol dalam pemilihan menu makanannya. Namun seiring dengan pesatnya informasi kesehatan melalui berbagai media, sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi protein nabati dibanding protein hewani yang memang harganya lebih mahal. Untuk itu, kedelai menjadi pilihan utama sebagai substitusi protein hewani yang khususnya sebagai bahan dasar tahu dan tempe. Di Indonesia, tahu dan tempe telah menjadi makanan yang banyak dikonsumsi semua lapisan masyarakat, bahkan Warga Negara Asing baik di Indonesia maupun di Negara-negara lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa dengan semakin sejahtera masyarakat, pangan umbi-umbian semakin ditinggalkan masyarakat, dan sebaliknya untuk kacang-kacangan (termasuk kedelai) semakin tinggi permintaannya. 2.3 Kebijakan Perdagangan Kedelai
16
Tujuan kebijakan perdagangan kedelai, seperti kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: (i) meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; dan (v) menjaga kestabilan politik; (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi secara efisien (Tomeck dan Robinson 1972). Timmer, Falcon dan Pearson (1983) mengatakan bahwa Kebijakan selalu mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, pemerintah di dalam negeri melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya. Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual (Amang dan Sawit 1996). Kenaikan harga jual produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan (trade) lebih sering diartikan sebagi perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena kebijakan perdagangan biasanya memberikan dukungan kepada kebijakan harga (Siregar 2000). Kebijakan perkedelaian nasional dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti halnya diungkapkan oleh Karo Karo (2011) bahwa kebijakan jangka pendek dapat dilakukan melalui kebijakan bagi perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan atau stoknya ke pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Untuk meningkatkan supply, dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan impor, namun hal ini sulit dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan waktu sekitar 5 – 7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang tiba di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah dapat menurunkan tarif impor
17
sebesar 10 persen menjadi nol persen, sehingga kedelai impor bisa masuk dengan harga yang lebih murah. Namun pada kenyataannya, harga kedelai impor tetap mahal. Dampak penurunan tarif impor ini hanya menurunkan harga kedelai domestik dari harga Rp. 7.500,- menjadi Rp. 6.750,- per kg pada tahun 2011. Terakhir adalah pemerintah harus menghimbau pada pengrajin tahu dan tempe agar melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tempe, seperti penggunaan singkong, kacang tanah dan kacang hijau. Kebijakan jangka panjang terkait dengan aspek teknis, seperti dukungan pemerintah terhadap penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi yang efektif dan efisien, memperluas area tanam kedelai (Karo Karo 2011). Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga secara bersama-sama seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dan masyarakat tentunya harus saling mendukung dan terus meningkatkan kinerja usahataninya dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan lainnya adalah dengan himbauan pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk melakukan diversifikasi pangan, misalnya dengan mengkonsumsi makanan tradisional khas Indonesia, tidak hanya mengkonsumsi makanan yang asalnya dari luar negeri. Dengan demikian, dalam jangka panjang bahan makanan yang berasal dari luar negeri akan semakin menurun ketika permintaannya di dalam negeri juga menurun. Umumnya negara sedang berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negaranegara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan perdagangan internasional terdiri atas kebijakan harga dan perdagangan (Irsyad 2011). Tujuan utama kebijakan perdagangan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi dan sekaligus member insentif kepada pengrajin tahu tempe. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979 – 1991 dan setiap tahun diterapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Berdasarkan laporan perkembangan harga FAO, harga dasar kedelai pada tahun mencapai Rp. 6.500,-/kg pada tahun 2011 sudah mencapai Rp. 7.000,- /kg, dari gambaran peningkatan harga dasar kedelai ini memperlihatkan pemerintah mulai berpihak kepada petani kedelai. Walaupun perubahan harga dasar tersebut menggambarkan perubahan perhatian pemerintah terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai (Siregar 2000). Hasil penelitian oleh Zakiah (2011) menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai impor dengan korelasi positif. Artinya, ketika harga impor meningkat, maka harga kedelai nasional juga
18
akan meningkat. Sedangkan variabel jumlah produksi kedelai dan jumlah kedelai impor berkorelasi negatif. Ini menunjukkan harga kedelai di tingkat petani akan menurun jika jumlah kedelai impor meningkat. Karena itu perlu adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor kedelai dari luar negeri. Impor akan menurunkan harga kedelai di tingkat petani, dan ini menyebabkan gairah petani untuk menanam kedelai menurun disebabkan petani tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya. Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun 1980 BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selam 3 tahun (1979-1983) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Sementara itu stok kedelai meningkat terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto 1989), tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik, karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal. Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga tingkat produsen, sehingga penghapusan tarif tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen. Kebijakan perdagangan internasional lainnya adalah pengenaan tarif advalorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 – 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 – 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 – 2012 (Siregar 2000 dan Dirjen Pajak 2012). Review kebijakan perkedelaian nasional yang telah diuraikan secara mendasar memuat misi bahwa disatu sisi sektor pertanian harus mampu menyediakan kebutuhan konsumsi langsungbagi masyarakat dengan cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, sektor pertanian harus dapat menjadi pendorong berkembangnya berbagai kegiatan, baik pada sektor hulu maupun hilir, pada setiap pembangunan wilayah pertanian. Dalam operasionalnya, kebijakan kedelai yang mendukung program pembangunan pertanian diantaranya adalah kebijakan ekonomi terbuka atau perdagangan internasional, yang mencakup kebijakan harga dan perdagangan, dalam hal ini yaitu kebijakan tarif impor dan quota impor. Dengan adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan perkedelaian ini, maka produksi kedelai nasional akan dapat memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga tidak diperlukan impor kedelai, maka pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada kedelai nasional tercapai. 2.4 Model Ekonomi Kedelai
19
Model ekonomi kedelai berdasarkan beberapa literatur oleh Sari (2005), Adetama (2011), Handayani et al (2011) secara mendasar adalah model permintaan dan penawaran kedelai. Dimana model permintaan pada dasarnya dipengaruhi oleh harga kedelai dalam negeri, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sementara model penawaran kedelai idealnya sama dengan permintaan dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemandirian pangan, dalam hal ini untuk mengurangi bahkan menghilangkan impor kedelai. Sehingga program pembangunan pertanian melalui yaitu berupa ketahanan pangan melalui program swasembada pangan tercapai. Namun pada kenyataannya, harga kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh harga kedelai impor. Kedelai impor juga dipengaruhi oleh produksi kedelai dalam negeri, bea masuk impor (tarif impor) kedelai, serta permintaan kedelai impor di dalam negeri. Terlihat hubungan simultan, dimana model permintaan yang awalnya dipengaruhi oleh harga kedelai nasional, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk, namun juga mempengaruhi kuantitas kedelai impor. Model ekonomi kedelai yang biasa dilakukan dalam beberapa penelitian tersebut, bertujuan melihat bagaimana perkembangan permintaan dan penawaran kedelai nasional saat ini dan ke depannya, yang mana dipengaruhi oleh variabelvariabel mikro ekonomi maupun makro ekonomi. Pada akhirnya tujuan analisis ini untuk melihat apakah antara penawaran dan permintaan yang melalui pendekatan produksi dan konsumsi kedelai nasional seimbang atau bahkan surplus di masa mendatang, dengan menganalisis simulasi kebijakan untuk mengetahui apakah swasembada kedelai di masa mendatang dapat tercapai yang dibantu dengan simulasi kebijakan.
2.5 Review Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dibahas menjadi dua bagian, penelitian kedelai di Indonesia dan di negara lain, secara rinci sebagai berikut:
2.5.1 Penelitian Kedelai di Negara Lain Kebijakan kedelai di USA yaitu dapat melakukan intervensi terhadap penetapan harga kedelai di tingkat petani. Besarnya subsidi pemerintah yang diberikan kepada petani, membuat pemerintah USA menetapkan harga kedelai ekspor rendah, agar ekspor semakin meningkat, namun hal ini membuat pendapatan petani kedelai semakin rendah. Untuk meningkatkan pendapatan petani sebesar 9 persen, maka pemerintah harus menurunkan harga kedelai ekspor sebesar 7.8 persen pada tahun 1980 – 1987 dan 5.9 persen per tahun pada periode 1987 – 1991. Disimpulkan bahwa ketika petani kedelai tidak menerima subsidi dari pemerintah, maka pemerintah tidak memiliki hak intervensi terhadap penetapan harga kedelai di tingkat petani, sehingga petani dapat menentukan harga berdasarkan biaya produksi total (Chen 1998). Analisis perdagangan saham, ekspor dan perdagangan kedelai dengan pendekatan sistem simultan oleh Reddy (2008) menunjukkan bahwa di India tingkat produksi mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20 persen per tahun dan ekspor kedelai meningkat rata-rata sebesar 14.7 persen per tahun. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara
20
parameter kedelai dengan harga minyak kedelai di pasar domestik. Hal ini dikarenakan harga minyak kedelai lokal bergantung pada harga minyak kedelai internasional. Harga komoditi kedelai di India sangat berfluktuasi, karena sebgian besar dipengaruhi oleh harga dan pasokan minyak kedelai Brazil dan Argentina yang berlaku di pasar internasional. Sedangkan pengaruh dari harga sawit Malaysia dan Indonesia dipengaruhi oleh intervensi pemerintah berupa tarif impor. Formasi harga di pasar minyak kedelai dunia, dalam sebuah analisis ekonometrik oleh Sekhar (2008) menganalisis mekanisme pembentukan harga di pasar minyak kedelai dunia untuk melihat tingkat kompetitifnya. Dengan menggunakan model persamaan simultan struktural disimpulkan bahwa faktor penentu utama harga minyak kedelai dunia sebagai substitusi minyak kelapa sawit dunia dengan simulasi proyeksi permintaan minyak kedelai dunia hingga tahun 2015 adalah terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan minyak dunia, karena produksi menurun sedangkan permintaan meningkat di negara-negara pengekspor minyak sawit dunia. Simulasi ini juga mengkombinasikan penurunan harga minyak sawit dunia, dan hasilnya ketika harga minyak sawit dunia menurun menyebabkan kuantitas dan harga ekspor kedelai dunia juga menurun. Menurunnya harga minyak sawit dunia menyebabkan kuantitas impor minyak sawit ke India juga semakin menurun, implikasinya adalah kehidupan petani kedelai di daerah kering ini semakin sejahtera, karena penggunaan minyak kedelai akan semakin meningkat. Cooke and Robles (2009) menginterpretasikan bahwa sebelum dan sesudah krisis pangan, aktivitas yang banyak spekulasi nya pada saat krisis sedang berlangsung tidak mempengaruhi pembentukan harga kedelai di Mexico. Namun bukan berarti sebelum dan sesudah krisis spekulasi harga tidak terjadi. Namun tidak menyebabkan pergeseran harga kedelai. Dari analisis deret waktu dapat disimpulkan bahwa kegiatan di pasar berjangka yang sifatnya spekulasi mempengaruhi perilaku harga komoditas kedelai dalam beberapa tahun ini. Pada kenyataannya, harga kedelai mulai pertengahan 2005 hingga Desember 2007 menunjukkan peningkatan kedelai ekspor dunia yang disebabkan meningkatnya harga kedelai dunia. Hal ini juga dipengaruhi oleh kegiatan di pasar saham untuk komoditi pertanian walaupun sifatnya spekulasi. Sebuah analisis ekonometrik hubungan antara ethanol, jagung dan kedelai serta harga minyak dunia di USA oleh Savernini (2009) menyimpulkan bahwa harga jagung dan produksi ethanol di USA memiliki hubungan yang negatif. Karena sebagian besar produksi ethanol di USA berbahan baku jagung, sehingga ketika harga jagung dunia meningkat, maka produksi ethanol menurun. Harga minyak dunia memiliki hubungan negatif dengan harga jagung dan kedelai. Dimana harga minyak yang lebih tinggi menyebabkan permintaan bensin menurun, sehingga permintaan ethanol berkurang. Akibatnya produksi jagung menurun, maka harga jagung juga akan menurun. Implikasinya adalah produksi kedelai meningkat dan harga kedelai akan menurun. Berdasarkan hasil estimasi, karena shock harga minyak dunia baik menurun atau meningkat akan berpengaruh kepada minyak jagung dan minyak kedelai di USA. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Argentina dalam meningkatkan produksi kedelai adalah dengan cara adopsi teknologi melalui pakan ternak. Meningkatnya penggunaan pakan ternak yang berbahan dasar
21
kedelai digunakan untuk sapi perah. Produksi sapi perah ditingkatkan, sehingga kebutuhan akan pakan ternak yang berbahan dasar kedelai meningkat, maka permintaan akan kedelai semakin meningkat, pada akhirnya produksi kedelai semakin meningkat. Kebijakan ini telah dilakukan sejak tahun 2000, dan terus mengalami kinerja yang semakin baik (Lence 2010). Harga kedelai telah naik tajam sejak pertengahan Desember 2011 ketika pasar berjangka menetapkan perdagangan kedelai rendah tepat di bawah 11 US $ per gantang. Harga kedelai dunia diakhir Desember 2011 terkait dengan beberapa permintaan kedelai yang meningkat dari Cina. Keuntungan juga didorong oleh berita bahwa, cuaca panas dan kering di Argentina menyebabkan kerusakan pada tanaman jagung dan kedelai. Harga kemudian kembali meningkat tajam karena cuaca panas dan kering yang berkelanjutan di Argentina dan Brazil Selatan yang tampaknya menyebabkan kerugian yang signifikan, karena produktivitas kedelai tidak potensial. Kemungkinan terjadi risiko di USA yang mana ketika harga kedelai dunia meningkat, maka dampaknya permintaan kedelai dari Brazil dan Argentina pun semakin berkurang, sehingga ekspor dari USA ke kedua negara tersebut semakin menurun (Agroclipping 2012)2.
2.5.2 Penelitian Kedelai di Indonesia Analisis dampak kebijakan ekonomi terhadap industri komoditi kedelai di Indonesia oleh Kumenaung (1994) bertujuan membentuk model permintaan dan penawaran komoditi kedelai Indonesia, dapat melihat perubahan kesejahteraan para pelaku ekonomi karena adanya kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi melalui kebijakan peningkatan harga dasar petani, peningkatan tarif impor terkait quota impor dan peningkatan harga impor kedelai. Menggunakan model persamaan simultan 3SLS disimpulkan bahwa produksi kedelai Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan kedelai yang terus meningkat, dimana kebutuhan kedelai dalam negeri 35 persen masih berasal dari impor, nilai tukar dan pendapatan per kapita, serta jumlah penduduk. Kebijakan tarif impor dan quota impor mempengaruhi perdagangan luar negeri, namun permintaan kedelai di dalam negeri tidak terpengaruh. Luas areal tanaman kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai, harga jagung, tingkat suku bunga, tingkat upah pada usahatani kedelai dan harga faktor produksi kedelai, luas lahan dan mempengaruhi jumlah produksi kedelai. Ketika harga kedelai domestik meningkat, maka jumlah permintaan kedelai dalam negeri akan menurun terhadap kedelai lokal, dan akan membuat permintaan terhadap kedelai impor meningkat dengan catatan harga kedelai impor lebih murah. Penyelesaian simultan persamaan-persamaan regresi rekursif dibakukan oleh Budiwinarto (1999) menggunakan analisis lintas dengan sistem rekursif atau one way causal, yang merupakan analisis regresi linier dengan peubah-peubah baku, dengan konteks persamaan simultan yang digunakan adalah 2SLS dan 3SLS. 2)
Agroclipping. 2012. Soybean Supplies Could Get http://www.agroclipping.com.ar/2012/03/28/Soybean-supplies-could-get-tight/
Tight
[Article].
Secara ringkas hasilnya adalah bahwa peubah pendapatan rumahtangga memberikan pengaruh yang besar baik pengaruh langsung terhadap total pengeluaran maupun pengaruh tak langsung terhadap peubah endogen lainnya,
22
yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai konsumsi pangan, dan saldo. Sedangkan rantai hubungan yang paling lemah adalah rantai hubungan peubah banyaknya anggota rumahtangga yang mempengaruhi secara tak langsung terhadap peubah endogen yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai konsumsi pangan dan saldo. Pendekatan sistem persamaan simultan yang dilakukan dalam penelitian dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap permintaan dan penawaran kedelai di Indonesia oleh Hadipurnomo (2000) menggunakan model overidentified dengan model pendugaan yaitu 2SLS. Secara ringkas hasilnya adalah bahwa respon luas areal panen lebih besar daripada respon produktivitas terhadap perubahan harga produsen, harga benih, harga pupuk, upah tenaga kerja dan harga pestisida. Areal panen dan produktivitas bersifat responsif terhadap intensifikasi produksi. Impor hanya responsif dalam jangka pajang terhadap tarif impor, tetapi kurang responsif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek terhadap harga pedagang besar, harga impor, nilai tukar Rupiah, GNP dan dalam jangka pendek terhadap tarif impor. Kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi, terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Penerapan intensifikasi produksi dan peningkatan harga dasar berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani (produsen kedelai) dan industri (konsumen kedelai). Penghapusan subsidi pupuk atau benih dan kombinasi keduanya berdampak pada penurunan kesejahteraan petani dan industri. Peningkatan kuota impor berdmpak pada peningkatan kesejateraan industri, tetapi menurunkan kesejateraan petani. Sebaliknya, penerapan tarif impor berdampak pada penurunan kesejahteraan industri tetapi meningkatkan kesejahteraan petani. Penghapusan tarif impor berdampak pada peningkatan kesejahteraan industri, tetapi menurunkan kesejahteraan petani, yang mana penurunan kesejahteraan petani itu dapat mengkombinasi penghapusan tarif impor dengan peningkatan harga dasar. Penelitian oleh Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) mengenai Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia yang menggunakan metode OLS menyimpulkan bahwa proyeksi konsumsi kedelai mengalami peningkatan dari 2.35 juta ton pada tahun 2009 menjadi 2.71 juta ton pada tahun 2015 dan 3.35 juta ton pada tahun 2025. Jika sasaran produktivitas rata-rata nasional 1.5 t/ha bisa dicapai, maka kebutuhan areal tanam diperkirakan sebesar 1.81 juta ha pada tahun 2015 dan 2.24 juta ha pada tahun 2025. Analisis efisiensi usahatani kedelai oleh Fauziyah (2007) menggunakan metode OLS memberikan gambaran tentang rata-rata pengaruh beberapa variabel bebas terhadap produksi kedelai, diantaranya luas lahan yang berpengaruh secara signifikan terhadap produksi, dimana hasilnya adalah jika luas lahan bertambah 1 persen, maka produksi kedelai akan bertambah sebesar 0.95 persen. Sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena jika persentase tenaga kerja ditambah, produksi kedelai relatif tetap, justru varietas kedelai yang berpengaruh terhadap produksinya. Penambahan jumlah bibit tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena walaupun jumlah bibit ditambah 1 persen, maka produksi kedelai hanya bertambah sekitar 0.09 persen. Namun penambahan pupuk urea akan membuat produksi kedelai menurun, ketika pupuk urea ditambah 1 persen justru akan mengurangi produksi kedelai sekitar 0.2 persen, sama hal nya dengan pestisida.
23
Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor kedelai di Indonesia adalah metode analisis linear berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dalam penelitian ini, analisis regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh variabel produksi kedelai domestik, harga kedelai domestik, harga kedelai luar negeri, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan dummy tarif impor sebesar 10 dan 5 persen terhadap volume impor kedelai ke Indonesia. Dari tahun ke tahun impor kedelai relatif tinggi, sekitar 60 persen kebutuhan dalam negeri dipenuhi dengan impor. Volume impor kedelai secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai domestik, harga kedelai luar negeri, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan dummy penetapan tarif impor sebesar 10 persen. jika harga kedelai internasional rendah, maka tarif impor dapat dinaikkan. Berdasarkan hasil penelitian, penetapan tarif impor sebesar 10 persen dapat mengurangi impor. Dengan ditetapkannya tarif sebesar 10 persen, harga kedelai impor akan meningkat, hal tersebut dapat memacu minat petani kedelai untuk kembali berproduksi sehingga volume impor dapat berkurang (Anggasari 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Kustiari et al (2009) mengenai Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran dengan tujuan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditas pertanian utama, mengestimasi elastisitas permintaan dan penawaran komoditas pertanian utama, melakukan proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pertanian utama 2009 – 2014, serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan dan pengembangan pertanian. Model parsial yang digunakan untuk mengestimasi elastisitas permintaan adalah LA/AIDS (Linear Approximation Almost Ideal Demand Sistem), sedangkan model parsial yang digunakan untuk mengestimasi elastisitas penawaran adalah model koreksi kesalahan (Error Correction Mechanism = ECM). Secara ringkas hasil penelitian menunjukkan adanya laju peningkatan produktivitas yang lebih besar dibanding laju peningkatan luas area. Kondisi ini terjadi karena semakin tebatasnya lahan pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir. Oleh karena itu pengembagan areal dan produksi perlu diupayakan secara seksama. Analisis permintaan kedelai nasional dan dampak kebijakan tarif impor yang dilakukan oleh Adetama (2011) menggunakan metode 2SLS. Pada persamaan permintaan kedelai diperoleh bahwa variabel-variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap permintaan kedelai adalah variabel harga kedelai dalam negeri. Pada persamaan impor kedelai diperoleh diperoleh bahwa variabel-variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap impor kedelai adalah variabel permintaan kedelai. Handayani et al (2011) dalam penelitiannya mengenai simulasi kebijakan dayasaing kedelai lokal pada pasar domestik mempelajari dan menetapkan faktorfaktor penentu dalam meningkatkan daya saing kedelai lokal terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen dalam industri berbahan baku kedelai melalui simulasi kebijakan untuk mengetahui peubah yang berpengaruh dalam upaya meningkatkan daya saing kedelai lokal pada pasar nasional. Secara ringkas menyimpulkan bahwa luas panen kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai lokal, harga jagung dan luas panen tahun sebelumnya. Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga jagung dan produktivitas tahun sebelumnya. Harga
24
kedelai lokal dipengaruhi oleh harga tingkat produsen, harga dan volume impor, produk-tivitas dan harga tahun sebelumnya. Harga tingkat produsen dipengaruhi oleh produksi, volume impor, konsumsi, dummy monologi Bulog dan harga tingkat produsen tahun sebelumnya. Volume impor kedelai dipengaruhi produksi dan konsumsi kedelai. Harga kedelai impor dipengaruhi oleh harga kedelai internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor dan harga kedelai impor tahun sebelumnya. Kebijakan menaikkan harga kedelai akan menguntungkan petani dan menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi. Kebijakan kenaikan harga akan efektif apabila diikuti peraturan pendukung dan terobosan teknologi, sehingga terjadi peningkatan produksi sekaligus kualitas kedelai. Simulasi harga kedelai tingkat produsen sama dengan harga impor menunjukkan bahwa harga kedelai tingkat produsen mengalami penurunan, sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai. Peningkatan tarif impor, mengakibatkan harga kedelai lokal dan harga tingkat produsen meningkat, sehingga terjadi peningkatan luas panen dan produksi. Simulasi dampak kebijakan produksi terhadap ketahan pangan kedelai oleh Zakiah (2010) dan (2011) menggunakan metode simultan 2SLS dengan tujuan menetapkan faktor-faktor penentu produksi dan permintaan kedelai, sehingga dapat menghasilkan suatu kebijakan sehubungan dengan peningkatan produksi kedelai untuk menyeimbangi kebutuhan akan kedelai yang semakin meningkat. Luas panen kedelai secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai, harga pupuk urea tahun sebelumnya, harga jagung sebagai komoditi alternatif. Variabel harga kedelai dan lag luas panen kedelai berkorelasi positif dengan luas panen kedelai, sedangkan variabel harga pupuk dan harga jagung berkorelasi negatif. Ini menunjukkan luas panen kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat petani meningkat. Produktitas kedelai secara nyata dipengaruhi oleh lag harga kedelai, harga pupuk, teknologi dan produktivitas tahun sebelumnya. Variabel harga kedelai, teknologi dan lag produktivitas kedelai berkorelasi positif dengan produktivitas kedelai, sedangkan variabel harga pupuk berkorelasi negatif. Ini menunjukkan produktivitas kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat petani meningkat dan tingkat teknologi yang tinggi. Review dari hasil studi empiris yang telah diuraikan sebelumnya adalah bahwa produksi kedelai menurun sangat tajam sementara di sisi lain kebutuhan kedelai dalam negeri terus meningkat, menyebabkan Indonesia bergantung pada kedelai impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan kedelai terus meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui kemampuan produksi domestik, baik untuk memenuhi kebutuhan industri makanan maupun pakan dan agroindustri lainnya. Sehingga upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat petani tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis dan ekonomis maupun intervensi melalui kebijakan pemerintah, tetapi juga strategi menggalang partisipasi petani dalam pengembangan kedelai, sehingga komoditas kedelai lokal dapat berdaya saing dengan kedelai impor. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antar variabel mikroekonomi dalam produksi dan konsumsi kedelai nasional lebih tepat menggunakan analisis simultan, karena dengan metode ini, antar variabel dependen dengan independen dapat diketahui hubungan saling pengaruh-mempengaruhinya. Secara teknis, teknologi dan luas area tanam paling besar pengaruhnya secara nyata terhadap produksi kedelai, sedangkan secara
25
ekonomis, harga yang paling berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai nasional. Dari sisi konsumsi, pendapatan, jumlah penduduk serta harga paling berpengaruh secara nyata terhadap laju peningkatan konsumsi kedelai nasional. Sedangkan tarif impor paling berpengaruh nyata terhadap penurunan kuantitas impor kedelai. Model ekonomi mikro dari penawaran dan permintaan kedelai nasional dilakukan dalam beberapa penelitian terdahulu bertujuan untuk melihat perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional mendatang. Apakah kondisi defisit atau surplus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekonomi kedelai mendatang masih menunjukkan defisit. Hal ini karena secara teknis usahatani kedelai belum berjalan secara efektif dan efisien, baik penggunaan input produksi maupun sarana produksi. Selain itu, produksi yang belum dapat mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri juga dikarenakan keterbatasan luas area tanam dan semakin menyempitnya lahan pertanian yang subur. Sehingga tingkat produktivitas tidak bisa mencukup kebutuhan dalam negeri. Masalah yang paling mendasari adalah karena kebijakan harga kedelai yang belum berpihak pada petani. Karena besarnya tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor, membuat kuantitas impor kedelai jauh lebih besar daripada produksi kedelai lokal, sehingga menyebabkan harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal. Selain itu, penetapan tarif impor kedelai yang menjadi nol persen pada tahun 2012 juga menjadi penyebab semakin mudahnya impor kedelai ke Indonesia. Apalagi kualitas kedelai Indonesia dibawah kualitas kedelai impor. Secara ekonomi, ketika suatu harga barang lebih murah dengan kualitas yang lebih bagus dibanding barang lainnya dengan jenis yang sama, maka konsumen akan memilih barang tersebut. Penelitian-penelitian tersebut juga menganalisis bagaimana simulasi kebijakan dilakukan ketika intervensi pemerintah harus dilaksanakan guna memperbaiki kondisi ekonomi kedelai dalam negeri maupun di pasar internasional. Secara ringkas, pada dasarnya ketika tarif impor kedelai dinaikkan hingga mencapai 20 persen, maka masuknya kedelai impor ke Indonesia akan semakin sulit, karena saat ini hingga Januari 2012, harga kedelai dunia semakin menurun. Hal ini juga terkait dengan krisis ekonomi yang saat ini sedang terjadi di Eropa dan Amerika, diperparah dengan lambannya ekonomi di China. Sehingga dengan jatuhnya harga kedelai dunia menyebabkan impor kedelai dari negaranegara sentra kedelai tersebut menjadi semakin sulit. Harga kedelai Indonesia memang sangat tergantung dari harga kedelai dunia. Karena harga yang berlaku di pasar inetrnasional tidak menutupi biaya impornya, khsusnya tarif impor yang diberlakukan hingga kedelai tersebut sampai di tujuan. Ketika kedelai impor semakin berkurang, maka harga kedelai impor pun akan semakin meningkat, karena hubungan antara harga kedelai impor dengan harga kedelai lokal positif, sehingga ketika harga kedelai impor meningkat maka harga kedelai lokal juga akan meningkat. Harga kedelai lokal menjadi baik di tingkat petani membuat petani semakin bergairah untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Ketika produksi kedelai semakin meningkat maka tentunya Pemerintah akan semakin memperhatikan petani dengan memberi dukungan langsung seperti subsidi input sarana dan prasarana produksi dengan tujuan meningkatkan kualitas kedelai lokal. Pada akhirnya tujuan untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri dengan kedelai lokal tercapai dan bahkan bisa surplus, implikasinya adalah kuantitas
26
ekspor semakin meningkat. Maka tujuan akhir yaitu swasembada kedelai tercapai, sehingga membuat ketahan pangan Indonesia semakin baik dan tentunya meningkatkan pertumbuhan ekonomi pertanian dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini diantaranya, sumber database yang digunakan berbeda, dimana penelitian terdahulu di Indonesia mayoritas menggunaan data yang bersumber dari Kementerian Pertanian dan BPS, timeseries hanya sampai tahun 2009, dengan hasil peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2014 dan 2025 menunjukkan hasil defisit dengan nilai rata-rata 1 jutaan – 2 jutaan ton per tahun, sedangkan dalam penelitian ini defisit yang terjadi sekitar 1.1 jutaan ton per tahun dengan sumber data FAO.
2.6 Model Simultan dan Non Simultan Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai hubungan antara suatu variabel dengan satu atau lebih variabel lain. Hubungan ini merupakan konsep dasar regresi. Ide dasar mengenai analisis regresi pertama kali diperkenalkan oleh Sir Francis Galton. Regresi modern adalah merupakan studi mengenai ketergantungan 1 variabel dependen dengan 1 atau lebih variabel independen, dengan tujuan untuk mengestimasi dan atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui yang menitikberatkan pada hubungan statistik. Dimana hubungan antara 2 atau lebih variabel merupakan hubungan regresi Suliyanto (2011). Manfaat analisis regresi adalah mengukur kekuatan hubungan antar variabel, dan menunjukkan arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Regresi terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: Regresi Linier Sederhana, Regresi Linier Berganda, Regresi Non Linier, Regresi dengan Variabel Dummy, Regresi Logistik, dan Regresi Simultan. Secara ringkas perbedaan regresi simultan dan regresi non simultan yang disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan 1. Regresi Linier Sederhana dengan 1 variabel dependen dan 1 variabel independen independen 2. Regresi Linier Berganda dengan 1 variabel dependen dan lebih dari 1 variabel independen 3. Regresi Dugaan dengan Variabel Dummy dapat menggunakan variabel bebas dengan skala ukuran non metrik 4. Regresi Non Linier merupakan model yang tidak dapat dinyatakan dalam model tersebut. 5. Regresi SImultan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan (lanjutan)
27
H0 : Semua variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel tidak bebas (Y) H1 : Semua variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas (Y) atau paling tidak ada 1 variabel bebas yangmempengaruhi variabel tidak bebas (Y) Sumber: Romio, 20113
Penelitian ini menggunakan analisis regresi simultan. Sehingga pembahasan lebih terkonsentrasi pada sistem persamaan simultan sebagai berikut:
2.7 Model Persamaan Simultan Dalam merumuskan suatu model ekonometrik yang berupa sistem, perlu diperhatikan masalah spesifikasi, identifikasi dan estimasi. Spesifikasi meliputi tahapan mempelajari hubungan antar peubah dalam sistem, menentukan pengukuran peubah, merumuskan bentuk persamaan termasuk memperkirakan tanda koefisien. Sedangkan identifikasi model persamaan simultan akan menentukan metode pendugaan yang akan dipakai dalam estimasi model (Koutsoyiannis 1977). Untuk menentukan fungsi linier atau log linier. Rao dan Miller (1971) memberikan suatu cara pengujian dengan statistik d sebagai berikut: ………………………………………………………….…(2.1.) dan adalah jumlah kuadrat sisaan dari kedua bentuk fungsi untuk peubah tak bebas Y yang telah ditransformasi oleh nilai c=exp[-∑logYt)/T], dengan T adalah banyaknya contoh. Statistik d diasumsikan mengikuti sebaran Chi kuadrat 2) dengan derajat bebas 1, sehingga jika d hitung lebih besar dari nilai 2 tabel dalam taraf kepercayaan yang dipilih, maka hipotesis nol, bahwa kedua fungsi ekuivalen secara empiris akan ditolak. Artinya bentuk fungsi linier lebih baik digunakan dibandingkan bentuk fungsi log linier. Peubah endogen maupun eksogen dapat berbentuk waktu sekarang (current variabel) atau beda kala (lagged variabel). Peubah eksogen selalu berkedudukan sebagai peubah penjelas, sedangkan peubah endogen tidak selalu merupakan peubah tak bebas namun bisa berperan sebagai peubah bebas. Misalnya dalam model distribusi beda kala, khususnya model harapan adaptif yang merupakan model autoregressif. Dengan demikian dalam model persamaan simultan peubah yang menentukan atau peubah predetermined dapat berupa peubah eksogen atau peubah endogen beda kala (Kmenta 1986).
3)
Romio, Arifin Kasuga. 2011. Analisis Regresi dan Korelasi http://arifinkasugaromio.files.wordpress.com/2011/01/analisis_regresi.pdf
[Slide
Presentasi].
Pada umumnya bentuk struktural dari model persamaan simultan yang berupa sistem persamaan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Β11 γ1t + … + Β1G γGt + γ11 x1t + … + γ1K xKt = U1t
28
Β21 γ1t + … + Β2G γGt + γ21 x1t + … + γ2K xKt = U2t . . . . . . . . . . ΒG1 γ1t + … + ΒGG γGt + γG1 x1t + … + γGK xKt = UGt ...................... (2.2.) dengan γ sebagai peubah endogen sebanyak G, x sebagai peubah predetermined sebanyak K, U sebagai unsur galat, t = 1,2,3, … , T. β dan γ diketahui sebagai koefisien struktural. Pada umumnya tidak semua peubah endogen dan peubah predetermined akan muncul dalam setiap persamaan, artinya beberapa nilai β dan γ akan sama dengan nol. Selanjutnya dalam setiap persamaan diambil satu peubah endogen dengan koefisien β = 1 yang menunjukkan peubah tak bebas dalam persamaan regresi biasa. Juga beberapa persamaaan dalam model semakin merupakan persamaan identitas yang menghubungkan peubah endogen dengan predetermined. Dalam persamaan identitas seluruh koefisien telah diketahui nilainya secara a priori (berdasarkan teori ekonomi) dan tidak mengandung unsur galat (Kmenta 1986). Apabila setiap persamaan mempunyai bentuk yang sama berarti seluruh pengamatan sebanyak T dimasukkan dalam sistem. Dengan menggunakan bentuk matriks maka model dapat dinyatakan sebagai berikut: Y B ‘ + X Γ’ = U ……………………………………………………....(2.3.) dimana: Y adalah matriks data peubah endogen (T x G) X adalah matriks data peubah predetermined berukuran (T x K) U adalah matriks unsur galat berukuran (T x G) B’ adalah matriks koefisien struktural (G x G) Γ’ adalah matriks koefisien struktural (K x G) Setiap unsur galat dalam persamaan (2.2.) dan (2.3.) dianggap memenuhi asumsi regresi linier klasik. Bentuk reduksi sistem persamaan diperoleh dengan memecahkan persamaan bentuk struktural untuk nilai-nilai peubah endogen berdasarkan nilai peubah predetermined, artinya menyatakan Y dalam bentuk X dan U. Secara matematis dapat dinyatakan: Y1t = π11 x1t + π12 x2t + … + π1K xKt + v1t Y2t = π21 x1t + π22 x2t + … + π2K xKt + v2t . . . . . . . . . . YGt = πG1 x1t + πG2 x2t + … + πGK xKt + vGt ………………………..(2.4.) dengan π yang menyatakan koefisien bentuk reduksi dan v adalah unsur galat bentuk reduksi. Secara umum setiap galat bentuk reduksi adalah fungsi linier seluruh unsur galat struktural. Hubungan antara bentuk struktural dan bentuk reduksi dapat diturunkan secara eksplisit dengan menggunakan B pada persamaan (2.2.) sebagai matriks non singular sehingga diperoleh bentuk reduksi: y = - B-1Γ xt + B-1 ut ……………………………………………………(2.5.) masalah dalam pendugaan model persamaan simultan dengan menggunakan matriks data Y dan X adalah menduga parameter-parameter sistem persamaan (2.3.) yang berupa koefisien matriks B’, Γ’ dan matriks peragam Ф (Intriligator 1980). Apabila matriks data peubah endogen yTxG dibuat partisi sekatan menjadi: Y = ( y1 Y1 Y2 ) ……………………………………………………(2.6.) TxG
Tx1
Tx(G’-1) Tx(G-G’)
29
dimana: y1 adalah vektor kolom data peubah endogen yang tidak bebas Y1 matriks data peubah endogen yang menerangkan (G’ – 1) dalam Yi1 Y1 matriks data peubah endogen yang dikeluarkan (G – G’) dan dengan cara yang sama matriks data peubah predetermined XTxK dibuat partisi menjadi: …………………….……………………………...…(2.7.) X = ( X1 X2 ) TxKTxK
Tx(K–K*)’
dimana: X1 adalah matriks data peubah predetermined K* yang terkandung dalam sistem di dalam Xi1 X2 adalah matriks data peubah predetermined K* yang dikeluarkan (K–K*) Dalam notasi matriks kedua persamaan diatas dapat ditulis: B’1 + X1 Γ’1 + u1 ……………………...(2.8.) Y1 = Y1 Tx1
T x(G’ – 1)
(G’ – 1)x!
TxK*
K*x1
Tx1
Subskrip angka 1 menyatakan bahwa persamaan merupakan persamaan yang pertama dari sistem persamaan tersaebut sebenarnya dipenuhi dalam persamaan (2.5.3.) dan partisi matriks data Y dan X, sehingga: - y1 + Y1 B’1 + X1 Γ’1 = - u1 ………………………………………(2.9.) Untuk model persamaan simultan yang dinyatakan dalam persamaan (2.9.) terdapat masalah bias dalam pendugaan model. Kehadiran peubah endogen Y1 sebagai peubah yang menjelaskan, merupakan sumber terjadinya bias. Timbulnya korelasi antara peubah bebas dengan unsur galat akan menyebabkan koefisien regresi yang diduga dengan metoda OLS menjadi tidak konsisten.
2.8 Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan Identifikasi dalam model persamaan simultan adalah cara menyatakan koefisien struktural β dan γ dalam bentuk koefisien model bentuk reduksi π. Suatu persamaan dikatakan dapat diidentifikasi (identified) apabila perkiraan parameter struktural dapat diperoleh dari perkiraan parameter bentuk reduksi. Persamaan yang identified dapat bersifat identifikasi tepat (exactlyidentified) atau identifikasi berlebihan (overidentified). Sedangkan kurang identifikasi dinamakan underidentified (Kmenta 1986). Dalam suatu persamaan yang identified, parameternya dapat diduga secara statistik dengan metode pendugaan yang sesuai. Oleh karena itu, identifikasi akan menentukan metode pendugaan yang dapat digunakan. Untuk identifikasi suatu persamaan dalam model persamaan simultan perlu dipenuhi syarat order dan syarat pangkat (Koutsoyiannis 1977). Misalkan: G’ = jumlah peubah endogen yang terdapat pada persamaan ke-g (jumlah unsur β0 yang tidak sama dengan nol). G’’ = G–G‘, banyaknya peubah endogen dalam sistem dikurangi banyaknya peubah endogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi. K* = jumlah peubah predetermined yang terdapat dalam persamaan ke–g (Jumlah unsur γg yang tidak sama dengan nol).
30
K** = K–K*, banyaknya peubah predetermined dalam sistem dikurangi banyaknya peubah predetermined dalam persamaan yang akan diidentifikasi. Syarat order untuk identifikasi adalah: K** ≥ G’ – 1 …………………………………………………….….(2.10.) yang artinya jumlah peubah predetermined di luar persamaan yang diidentifikasi paling sedikit sama atau lebih besar dari jumlah peubah endogen dalam persamaan tersebut dikurangi satu. Persamaan (2.10.) merupakan syarat perlu namun tidak cukup. Syarat cukup agar persamaan teridentifikasi adalah jika dan hanya jika paling sedikit ada sebuah determinan yang tidak sama dengan nol dari matriks koefisien berpangkat (G–1) diluar persamaan yang bersangkutan.
2.9 Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan Untuk menduga model persamaan simultan terdapat beberapa metode pendugaan yang didasari teknik kuadrat terkecil dan kemungkinan maksimum. Metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) yang digunakan untuk menduga model regresi persamaan tunggal akan memberikan dugaan parameter terbaik (ragam minimum), tak bias dan linier (BLUE/Best Linier Unbiased Estimate) dan juga konsisten. Tetapi untuk model persamaan simultan metode OLS memberikan dugaan yang bias dan tak konsisten, sebab dalam model persamaan simultan terdapat pelanggaran asumsi metode OLS seperti adanya korelasi antar peubah endogen sebagai peubah penjelas dengan unsur galat (Kshirsagar 1983). Menurut Intriligator (1980), walaupun penduga OLS untuk model persamaan simultan memberikan penduga yang berbias dan tak konsisten, namun tidak seharusnya ditolak secara total sebagai suatu teknik pendugaan, sebab metode OLS juga dapat digunakan dalam pendugaan parameter dengan menggunakan beberapa penyempurnaan. Salah satu metode pendugaan dalam pendekatan informasi terbatas yang menghasilkan penduga konsisten untuk persamaan struktural bersifat overidentified adalah metode kuadrat terkecil dua tahap atau 2SLS (Two-Stage Least Squares). Metode 2SLS yang dikembangkan pertama kali oleh Theil (1958) dan Theil dan Zellner (1962) dan Basmann (1957), secara teoritis merupakan perluasan dari metode ILS (Indirect Least Square) dan metode instrumen variabel. Metode 2SLS mencakup pemakaian kuadrat terkecil klasik terhadap dua jenis fungsi, yaitu persamaan bentuk reduksi dan persamaan struktural yang ditransformasi. Transformasi tersebut merupakan penggantian peubah endogen Y oleh nilai dugaannya (Ŷ) yang diperoleh dari persamaan bentuk reduksi. Penggunaan metode 2SLS didasari oleh asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Bentuk galat u dari persamaan struktural harus memenuhi asumsi-asumsi stokastik biasa, yaitu mempunyai rataan nol, ragam konsisten dan peragam nol. 2. Bentuk galat v dari persamaan bentuk reduksi harus memenuhi asumsiasumsi stokastik biasa, artinya: a. v harus mempunyai rataan nol, ragam yang konstan dan peragam nol.
31
b. v harus bebas dari peubah eksogen yang terdapat dalam seluruh persamaan struktural (x1, x2, … , xk) Asumsi a biasanya dipenuhi oleh v, sebab v merupakan fungsi linier dari unsur galat persamaan struktural u. 3. peubah-peubah penjelas tidak bersifat multikolinier dan peubah-peubah makroekonomi dibuat agregat secara tepat. 4. Spesifikasi model diasumsikan benar, artinya peubah jelas dalam sistem telah diketahui. 5. Jumlah sampel (pengamatan) diasumsikan cukup besar, khususnya jumlah pengamatan harus lebih besar dari jumlah peubah predetermined dari sistem struktural. Penggunaan metode OLS pada persamaan yang pertama dalam sistem seperti persamaan (2.5.8.) y1 = Y1 β1 + x1 γ1 + u1. Penduga 2SLS akan menghasilkan dugaan yang konsisten dengan cara menghilangkan komponen y1 yang berkorelasi dengan u1 dan menduga kembali persamaan regresi yang baru dengan metode OLS (Intriligator 1980). Tahap pertama dari metode 2SLS adalah menggunakan metode OLS pada model regresi dimana setiap peubah endogen di ruas kanan diregresikan pada seluruh peubah predetermined dalam sistem. Hal tersebut ekuivalen dengan menduga persamaan bentuk reduksi yang bersesuaian dengan (G’–1) peubah endogen pada ruas kanan, yaitu: Y1 = xπ + V1 Dugaan parameter yang dihasilkan pada tahap pertama dengan metode OLS adalah: π = (x ‘ x) -1 x’Y1 sehingga nilai dugaan Y1 adalah: Ŷ1 = x π = x (x’ x)-1 x’Y1 …………………………………..………..(2.11.) dan nilai dugaan sisaan adalah V1 = Y1 - Ŷ1 serta tidak berkorelasi dengan semua peubah predetermined. Pada tahap kedua metode 2SLS, dilakukan pendugaan OLS untuk model Y1 terhadap Ŷ1 dan x1 sehingga didapat dugaan parameter 2SLS untuk β1 dan γ1, untuk persamaan: Y1 = Ŷ1 β1 + x1 Y1 + u1, dimana: Ŷ1 = Y1 - V1 = [ x π1 x π1 … x πG ], maka Y1 = (Y1 - V1 ) β1 + x1 ’Y1 + u1.…………………………………...…..(2.12.) Dalam persamaan tahap ke dua ini (Y1 - V1 ) hanya tergantung pada peubah x dan tidak melibatkan unsur galat u1 sehingga (Ŷ1 - V1) tidak berkorelasi dengan u1. Oleh karena itu, penggunaan metode OLS pada persamaan (2.5.12.)memberikan dugaan β1 dan Y1 yang konsisten. Apabila Z1 = [ Ŷ1 x1 ], maka pendugaan OLS untuk persamaan pada tahap kedua menghasilkan dugaan 2SLS yang dalam bentuk matriks dinyatakan: β1 = 2SLS = ( Z1 ' Z1)-1 Z1 ‘ Y1 2SLS 1 = { [Ŷ1 X1] ‘ [Ŷ1X1]}-1 [Ŷ1 x1] ‘ y1 = Ŷ1’Ŷ1 Ŷ1’X1 -1 Ŷ1’Y1 X1’ Ŷ1 X1’X1 X1’ Y1 ………….(2.13) Karena alasan regresi tahap pertama tidak berkorelasi dengan semua peubah predetermined, maka Ŷ1 tidak berkorelasi baik dengan X1 maupun Ŷ1, artinya:
32
V1 ‘ X1 = 0 dan V1’ Ŷ1 = 0 Karena Y1 kombinasi linier dari peubah predetermined, maka: Y1 ‘ Y1 = (Ŷ1 + V1 ) ‘ (Ŷ1 + V1 ) = Ŷ1’ Ŷ1 + V1’ V1 Sehingga Ŷ1’ Ŷ1 = Y1’ Y1 - V1’ V1 ………………………………..….(2.14.) dan X1’ Y1 = X1’ (Ŷ1 + V1) = X1’ Ŷ1 …………………….….….(2.15.) Ŷ1’X1 = (Y1 - V1) ‘ X1 = Y1’ X1 ……………………………(2.16.) Substitusi persamaan (2.14.), (2.15.) dan (2.16.) pada persamaan (2.17.) didapat: β1 = (Y1’ Y1 – V1 ‘ V1) Y1 ‘ X1-1 (Y1 – V1) ‘ y1 Ŷ1 X1’ Y1 X1 ‘ X1x1 ‘ y1 …….(2.17.) Penduga 2SLS pada persamaan (2.5.17.) merupakan penduga parameter model persamaan simultan yang memberikan dugaan berbias tapi konsisten (Intriligator, 1980), sebab dapat dibuktikan bahwa : E ( 2SLS ) ≠ dan plim 2SLS = . Metode 2SLS lebih sering digunakan karena: 1. Dapat diterapkan pada setiap persamaan dalam suatu sistem (model) tanpa memberikan pengaruh yang jelek pada persamaan lain dalam sistem. 2. Hanya memberikan satu dugaan untuk satu parameter. 3. Mudah dipahami penerapannya, serta sederhana perhitungannya. 4. Selain digunakan untuk menduga persamaan struktural yang bersifat overidentified, dapat pula diterapkan pada persamaan bersifat exactlyidentified, dengan catatan hasilnya akan sama dengan dugaan metode ILS (Indirect Least Square). 5. Dapat memberikan nilai galat baku dari dugaan parameter, sebab koefisien struktural diduga secara langsung pada regresi tahap kedua. 6. Apabila koefisien determinasi R2 pada tahap pertama sangat tinggi (lebih dari 80 persen), maka nilai dugaan parameter dengan metode OLS dan metode 2SLS akan sangat dekat. 2SLS
=
III KERANGKA PEMIKIRAN
33
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kebutuhan kedelai akan tercukupi ketika produksi kedelai sama dengan atau melebihi kebutuhan dalam negeri. Namun dikarenakan, produksi kedelai yang tidak pernah mencukupi konsumsinya, maka dari itu diperlukan upaya peningkatan produksi kedelai, dengan cara peningkatan areal tanam dan produktivitas. Kemudian, dalam meningkatkan produksi kedelai, upaya meningkatkan gairah petani dalam berbudidaya kedelai dipengaruhi oleh tingkat harga yang dapat memberikan keuntungan yang sesuai. Kebutuhan kedelai dalam negeri yang tinggi dipenuhi 80 persen lebih dari kedelai impor. Permintaan kedelai dipengaruhi oleh tingkat harga kedelai nasional maupun internasional. Dengan demikian penelitian ini terdiri dari teori-teori yang berhubungan dengan analisis dan parameter penelitian, seperti teori produksi dan konsumsi, serta teori permodelan. Secara rinci disajikan sebagai berikut:
3.2 Teori Produksi Hubungan fungsional antara berbagai faktor produksi termasuk pengelolaannya memerlukan koordinasi yang baik sehingga dapat menghasilkan output optimal (Mubyarto 1986). Apabila keterbatasan biaya menjadi kendala, maka tindakan yang dilakukan adalah dengan meminimumkan biaya (cost minimization), dan jika tidak dihadapkan pada keterbatasan biaya maka dapat dilakukan melalui pendekatan memaksimumkan keuntungan (profit maximization). Teori produksi adalah produksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi. Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi disebut dengan input. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan menjadi 2 kelompok (Soekartawi 1990), antara lain: (1) Faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, produktivitas, jumlah benih, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, produksi barang substitusi, dan sebagainya; (2) Faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga input dan harga output, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, nilai tukar petani, upah buruh, tarif impor, resiko dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya. Produksi yaitu proses kombinasi dan koordinasi material-material dan kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang atau jasa output atau produk (Beattie dan Taylor 1994). Pappas dan Mark (1995) mengemukakan tentang teori produksi adalah berkaitan dengan cara bagaimana sumberdaya (masukan) dipergunakan untuk menghasilkan produk-produk perusahaan (keluaran). Teori produksi oleh Sudarsono (1995) dijelaskan melalui pendekatan fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi (masukan atau input) dan hasil produksinya (produk atau output). Fungsi produksi juga menggambarkan teknologi yang dipakai oleh suatu perusahaan, suatu industri atau perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, fungsi produksi menggambarkan semua metode produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan kuantitas bahan mentah yang minimal, tenaga kerja minimal dan barang-barang modal lain yang
34
minimal. Produksi dapat disederhanakan menjadi dua perilaku yang berbeda dan dapat segera dikontrasan. Dalam jangka pendek, faktor tenaga kerja dianggap sebagai faktor produksi variabel yang penggunaannya berubah-ubah sesuai dengan perubahan volume produksi. Dalam jangka panjang, faktor produksi tetap, dalam arti jumlahnya tidak berubah dan tidak terpengaruh oleh volume produksi. Ahyari (1997) mengemukakan produksi adalah kegiatan yang dapat menimbulkan tambahan manfaatnya atau penciptaan faedah baru. Faedah atau manfaat ini dapat terdiri dari beberapa macam, misalnya faedah bentuk, faedah waktu, faedah tempat, serta kombinasi dari beberapa faedah tersebut di atas. Produksi tidak hanya terbatas pada pembuatan, tetapi sampai pada distribusi. Komoditi bukan hanya dalam bentuk output barang, tetapi juga jasa. Salvatore (2001) menjelaskan produksi adalah merujuk pada transformasi dari berbagai input atau sumberdaya menjadi output berupa barang atau jasa. Lebih spesifik lagi produksi adalah kegiatan perusahaan dengan mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output dengan biaya yang minimum. Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input (Joesran dan Fathorrozi 2003). Produksi atau memproduksi menambah kegunaan nilai guna suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Menurut Putong (2003), produksi atau memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Yang dimaksud fungsi produksi adalah hubungan teknis yang antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak ada, maka tidak ada juga produksi. Produksi yang dihasilkan tanpa teknologi, modal dan manusia, disebut produksi alami, yaitu produksi yang dilakukan oleh proses alam, sedangkan produksi yang dilakukan dengan penggunaan modal, teknologi dan manusia disebut produksi rekayasa. Faktor produksi yang paling utama adalah manusia dan tanah (Sumber Daya Alam). Teori produksi yang telah dijelaskan dapat memberikan gambaran bahwa produksi dipengaruhi oleh luas area tanam dan produktivitas kedelai, harga kedelai serta harga komoditas pesaingnya (komoditas substitusinya), teknologi, serta inut produksi seperti jumlah kuantitas benih kedelai, kuantitas penggunaan pupuk, serta faktor produksi seperti upah buruh.
3.3 Teori Konsumsi Spencer (1977) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah pendapatan disposable yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga, usia anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan di masa yang akan datang. Colman dan Trevor (1990) mengatakan bahwa dalam teori ekonomi tradisional, yang berdasarkan kepada selera dan preferensi konsumen, maka konsumsi untuk komoditas tertentu ditentukan oleh beberapa hal yaitu: harga produk tersebut, harga produk barang lain, dan pendapatan atau penghasilan konsumen. Konsumsi suatu barang tertentu adalah sejumlah barang tertentu yang dikonsumsi langsung,
35
yang mana konsumen bersedia dan mampu membeli dalam kondisi tertentu, per unit waktu, di pasar tertentu dan pada harga tertentu. Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan Hukum Engel (Engel’s Law). Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposable yang berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan rekreasi semakin bertambah. Faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi di masa yang akan datang (Samuelson dan Nordhaus 1992). Pengeluaran konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin (1993) yang paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua, yaitu: pendapatan disposable dan pengharapan terhadap pendapatan di masa yang akan datang (expected future income). Konsumsi adalah suatu hubungan antara tingkat konsumsi rumahtangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional perekonomian tersebut. Konsumsi rumahtangga juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain: (a). ekspektasi merupakan keadaan di masa mendatang; (b). jumlah penduduk dan (c). tingkat harga (Sukirno 2001). Konsumsi merupakan bagian dari permintaan, dimana konsumsi itu dibagi menjadi konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi tidak langsung digunakan untuk bahan olahan, sedangkan konsumsi langsung digunakan sebagai makanan yang langsung dikonsumsi oleh konsumen atau pemakai akhir (Ruchjana 1992 Priyanti et al 1997 dan Ariani 2003). Teori konsumsi dilihat dari sudut pandang perilaku konsumen menurut Putong (2003) pada dasarnya menjelaskan bagaimana konsumen mendayagunakan sumberdaya yang ada (uang) dalam rangka memuaskan keinginan, kebutuhan dari suatu atau beberapa produk. Penilaian kepuasan umumnya bersifat subyektif, baik bagi pemakai langsung maupun bagi penilai. Secara teori tingkah laku konsumen dalam upayanya memuaskan diri dapat dijelaskan melalui dua teori nilai guna, yaitu nilai guna ordinal dan nilai guna kardinal. Teori nilai guna kardinal memberikan penilaian subyektif akan pemuasan kebutuhan dari suatu barang. Artinya, tinggi rendahnya suatu barang tergantung pada subyek yang memberikan penilaian. Dengan kata lain, suatu barang akan memberikan nilai guna yang tinggi bila barang yang dimaksud memberikan nilai guna yang tinggi bagi si pemakai. Teori nilai guna ordinal menjawab keraguan teori nilai guna kardinal dalma mengukur kepuasan. Asumsi teori nilai guna ordinal adalah sebagai berikut: (1). Rasionalitas, konsumen akan berusaha meningkatkan kepuasannya atau akan memilih tingkat kepuasan yang tertinggi yang bisa dicapainya; (2). Konveksitas; semakin tinggi tingkat kepuasan,
36
maka semakin besar anggaran yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan tersebut; (3). Nilai guna tergantung pada jumlah barang yang dikonsumsi; (4). Transitivitas, konsumen akan menjatuhkan pada pilihan terbaik dan beberapa pilihan; (5). Kurva kepuasan tidak boleh bersinggungan atau saling berpotongan. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy 2004). Godam (2007) menyebutkan terdapat 3 penyebab perubahan konsumsi, yaitu: 1. Penyebab Faktor Ekonomi, diantaranya: a. Pendapatan; Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi; b. Kekayaan; Kekayaan secara eksplisit maupun implisit, sering dimasukan dalam fungsi konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan konsumsi; c.Tingkat Bunga; Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang; d. Perkiraan Masa Depan; Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. 2. Penyebab Faktor Demografi, terdiri dari: a. Komposisi Penduduk; Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi; b. Jumlah Penduduk; Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula. 3. Penyebab/Faktor lain, berupa: a. Kebiasaan Adat Sosial Budaya; Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar; b. Gaya Hidup Seseorang; Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran konsumsi yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun lembaga keuangan bank (kredit). Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain hal di atas antara lain: (1). Selera; (2). Faktor sosial ekonomi; (3). Keuntungan/kerugian kapital; (4). Tingkat harga; (5). Barang tahan lama; (6). Kredit; (7). Inflasi; (8). Pendapatan domestik regional bruto. Teori konsumsi menurut Dornbusch, Stanley dan Richard (2008) yaitu berupa teori konsumsi lanjutan dimana konsumsi seumur hidup (lifetime consumption) berhubungan dengan pendapatan seumur hidup (lifetime income), tapi hubungan konsumsi tahun ini dengan pendapatan tahun ini adalah cukup lemah. Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas (kegunaan) dengan kendala pendapatan (jumlah pengeluaran). Dari syarat
37
maksimisasi dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai fungsi dari harga barang dan pendapatan. Konsumsi suatu komoditas berdasarkan tujuannya dapat dibedakan menjadi konsumsi dalam negeri dan pasar internasional. Pembahasan difokuskan pada konsumsi dalam negeri. Konsumsi berdasarkan penggunaannya dibedakan menjadi konsumsi langsung untuk pangan rumahtangga, dan konsumsi tidak langsung untuk penggunaan antara, yaitu sebagai bahan baku sektor industri pengolahan (Kustiari et al 2009). Bahasan mengenai konsumsi mencakup perkembangan secara agregat dan per kapita serta faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan proyeksi konsumsi. Pengeluaran konsumsi masyarakat atau rumahtangga merupakan salah satu variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsimasyarakat negara yang bersangkutan (Rahardja 2001 dalam Siregar 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah harga barang yang bersangkutan, harga dan ketersediaan barang lain yang berkaitan, perkiraan akan perubahan harga, pendapatan konsumen, harga riil barang itu sendiri di tingkat konsumen dan produsen, produksi barang itu sendiri, selera, preferensi konsumen, populasi penduduk nasional, pengeluaran periklanan dan sebagainya (Pappas (1995) dan Handayani et al (2011). Berdasarkan teori-teori konsumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka konsumsi kedelai nasional dalam penelitian ini dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi seperti harga kedelai nasional, penawaran kedelai nasonal, pendapatan nasional perkapita, harga dan kuantitas impor kedelai, harga kedelai internasional, produktivitas kedelai nasional, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, serta tarif impor kedelai.
3.4 Teori Persamaan Simultan Regresi linear klasik dicirikan oleh adanya variabel dependen Y dipengaruhi oleh satu atau beberapa independen X, namun dalam bidang ekonomi sering terjadi interdependensi, dimana bukan hanya X yang mempengaruhi Y, bahkan Y juga bisa mempengaruhi X, sehingga terjadi suatu hubungan dua arah. Dalam keadaan dimana terdapat beberapa variabel yang saling pengaruhmempengaruhi inilah digunakan model persamaan simultan (Simultaneous Equation Model). Menurut Chow (1964 dan 1968), model persamaan simultan baik digunakan karena dua alasan sebagai berikut: 1. Sistem persamaan simultan merupakan suatu model yang cocok untuk banyak aplikasi ekonomi. 2. Sistem persamaan simultan merumuskan suatu model stokastik yang cocok untuk menguji teori ekonomi serta menguji hubungan ekonomi tersebut dengan uji statistik. Model persamaan simultan dapat memberikan suatu gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal, hal ini karena variabel-variabel antara satu persamaan dengan persamaan lainnya dapat berinteraksi satu sama lain. Sebuah model ekonomi biasanya mengandung beberapa hubungan yang bersifat saling mempengaruhi yang digambarkan dalam
38
sebuah sistem persamaan. Model persamaan simultan ini dalam kenyataannya dapat menjelaskan permasalahan ekonomi yang begitu kompleks, dimana ada beberapa variabel didalam suatu persamaan mempunyai keterkaitan dengan variabel yang sama, yang terdapat didalam persamaan lainnya atau dengan kata lain peubah ekonomi mempunyai kaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai taksiran dari parameter model persamaan tunggal. Salah satunya adalah metode Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Squares-OLS). Masalah yang kemudian muncul adalah pendugaan dengan menggunakan metode OLS menjadi tidak berarti, apabila model yang dibuat merupakan suatu persamaan simultan dimana pada model ini berlaku hubungan dua arah yang membuat variabel bebas dan variabel tak bebas menjadi tidak jelas atau dengan kata lain menjadi meragukan yang mana sebenarnya variabel bebas dan variabel tak bebasnya. Hal ini terjadi karena model persamaan simultan memiliki beberapa persamaan. Pada persamaan yang satu suatu variabel dapat bertindak sebagai variabel yang bebas dan pada persamaan yang lainnya variabel tersebut dapat juga bertindak sebagai variabel yang tak bebas. Oleh karena itu, pemberian nama variabel bebas dan variabel tak bebas di dalam sistem persamaan simultan sudah tidak tepat lagi. Sehingga untuk selanjutnya dalam persamaan simultan akan ada yang namanya variabel endogen dan variabel eksogen (Gujarati 2003). Model persamaan simultan perlu metode yang lebih spesifik untuk memperoleh penaksir dari parameter-parameternya sehingga yang dihasilkan konsisten. Terdapat beberapa metode pendugaan dalam mengestimasi persamaan simultan. Diantaranya adalah Metode Kuadrat Terkecil Tidak Langsung (Indirect Least Squares-ILS), Kuadrat Terkecil Dua Tahap (Two Stage Least Squares2SLS), Kuadrat Terkecil Tiga Tahap (Three Stage Least Squares-3SLS), Instrumental Variabel (IV), k - class estimator, Informasi Terbatas Kemungkinan Terbesar (Limited Information Maximum Likelihood – LIML), Informasi Penuh Kemungkinan Terbesar (Full Information Maximum Likelihood – FIML) dan lain sebagainya (Gujarati, 2003). Bentuk model persamaan simultan adalah sebagai berikut: Y = β + β11X1 β21X2 X1 = β02 + β12Y Persamaan ini memiliki harapan bahwa baik X1 dan X2 adalah faktor yang mempengaruhi Y. Sedangkan pada persamaan lainnya, memiliki harapan bahwa Y adalah faktor yang mempengaruhi X1.Terlihat di kedua persamaan dapat diharapkan bahwa antara Y dan X1 mempengaruhi satu sama lain. Dua istilah yang dikenal dalam persamaan simultan berkenaan dengan model yaitu Model Struktural dan Model Reduksi (reduced form). Model struktural disebut juga model perilaku, mempunyai bentuk yang didasarkan pada teori yang mendasarinya sehingga sesuai dengan perilaku atau struktur pasar yang ada. Model struktural memiliki karakteristik yang terdiri dari variabel endogen yang berada pada ruas kiri, dan di ruas kanan terdapat variabel eksogen dan endogen. Model Reduksi adalah model struktural yang disederhanakan. Model ini memiliki karakteristik yaitu semua variabel endogen berada di ruas kiri persamaan dan semua variabel eksogen berada di ruas kanan persamaan (Gujarati 2003).
39
Setelah perumusan model, tahap berikutnya adalah identifikasi model. Ada dua kemungkinan yang akan muncul pada tahap identifikasi model, yaitu: 1. Underidentified (tidak teridentifikasi), jika tidak ada cara menduga parameter persamaan struktural dari persamaan model reduksi. 2. Identified (teridentifikasi), jika dapat memperoleh dugaan parameter persamaan struktural dari persamaan model. Suatu persamaan struktural dikatakan: a. Exactly identified (terindikasi dengan tepat), jika diperoleh dugaan parameter yang khas atau unik, menggunakan metode ILS (Indirect Least Squares). b. Over Identified (terindikasi berlebih), jika diperoleh dugaan parameter persamaan struktural yang tidak khas (lebih dari satu nilai) dari persamaan model reduksi, dengan metode 2SLS atau 3SLS. Identifikasi model ditentukan berdasarkan order condition sebagai syarat perlu dan rank condition sebagai syarat kecukupan, yaitu: 1. Order condition. Order condition digunakan untuk menentukan apakah persamaan yang ada identified atau underidentified. Langkah-langkah dalam order condition, yaitu: a. Jika (K - M) > (G - 1) maka persamaan tersebut identified b. Jika (K - M) < (G - 1) maka persamaan tersebut underidentified dimana: K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predetermined) M = Jumlah variabel yang dimasukkan dalam persamaan tertentu dalam model G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model 2. Rank condition. Identifikasi melalui order condition hanya merupakan prasyarat dasar tetapi belum merupakan prasyarat cukup (sufficient condition). Melalui metode rank condition bisa memenuhi kedua prasyarat identifikasi persamaan simultan. Rank condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi dan selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau over identified. Jika setidaknya satu determinan tidak sama dengan nol maka disimpulkan: a) persamaan overidentified, jika (K - M) > (G - 1), dan b) persamaan exactly identified, jika (K - M) = (G - 1). Selanjutnya jika semua determinan sama dengan nol, maka persamaan underidentified. Teori-teori yang digunakan sebagai konsep dalam penelitian ini, sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, maka secara ringkas disajikan pada Gambar 3.1.
Teori Produksi
Teori Konsumsi
40
Variabel Endogen: 1. Produksi Kedelai Nasional 2. Luas Area Tanam Kedelai Nasional 3. Produktivitas Kedelai Nasional
Variabel Endogen: 1. Konsumsi Kedelai Nasional 2. Harga Kedelai Nasional 3. Harga Kedelai Impor 4. Kuantitas Impor Kedelai 5. Penawaran Kedelai Nasional
Variabel Eksogen: 1. Harga jagung nasional 2. Teknologi 3. Jumlah ketersediaan pupuk urea 4. Upah buruh tani kedelai
Variabel Eksogen: 1. Pendapatan nasional perkapita 2. Harga Kedelai Internasional 3. Nilai Tukar Rupiah terhadap US DOllar 4. Tarif Impor Kedelai 5. Stok Kedelai Nasional 6. Kuantitas Ekspor Kedelai
Keterangan:
= terdiri dari
= mempengaruhi
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual
3.4 Kerangka Pemikiran Operasional Dinamika produksi dan konsumsi kedelai nasional selalu menunjukkan defisit, sehingga untuk meningkatkan produksi kedelai, perlu diketahui ffaktorfaktor apa saja yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai nasional. Untuk menangkap adanya hubungan antara variabel yang mempengaruhi produksi dengan variabel yang mempengaruhi konsumsi, maka dapat dilakukan analisis simultan. Setelah itu, dilakukan prediksi produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahun yang akan datang. Kemudian, mengacu kepada peningkatan produksi, maka perlu juga dianalisis bagaimana alternatif kebijakan alternatif yang dapat dilakukan untuk peningkatan produksi kedelai nasional. Secara rinci hubungan antar variabel ekonomi kedelai dengan produksi dan konsumsi kedelai nasional dijelaskan sebagai berikut:
3.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam Perluasan areal tanam dapat diupayakan melalui: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (2) Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan (Alihamsyah, Muhrizal dan Isdianto 2002). Kustiari et al (2009) mengemukakan areal tanam kedelai dipengaruhi oleh luas area tanam tahun sebelumnya, harga komoditas itu sendiri, serta harga komoditas alternatif lainnya, yang mana dalam penelitian ini harga kedelai, harga jagung, harga singkong dan harga ubi jalar dalam skala nasional. Selain itu, luas area tanam kedelai juga dipengaruhi oleh luas area total, dimana kedelai merupakan tanaman yang hanya tumbuh di lahan sawah.
41
Upaya peningkatan produksi kedelai nasional dapat ditempuh dengan tiga pendekatan, yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanam, dan perluasan areal tanam. Pemerintah telah mencanangkan Program Khusus Kedelai Bangkit Kedelai atau Program Peningkatan Produksi Kedelai Nasional (P2KN). Potensi lahan untuk perluasan kedelai di lahan sawah cukup besar. Daerah-daerah yang pernah menjadi sentra produksi kedelai di era tahun 1980-1990-an terutama merupakan lahan sawah di mana kedelai ditanam setelah musim tanam padi pada MK-1 dan/atau MK-2. Telah tersedia inovasi teknologi produksi hasil penelitian untuk mendukung pengembangan budidaya kedelai di lahan sawah di antaranya melalui pengembangan varietas-varietas unggul kedelai yang sesuai di lahan sawah yang sudah dihasilkan saat ini. Perkembangan harga kedelai yang baik saat ini sangat memungkinkan dan merangsang petani untuk mau menanam kedelai dan hal ini merupakan peluang perluasan penanaman kedelai di lahan sawah (Rachman 2012).
3.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh ekspor impor kedelai, ketika impor kedelai semakin banyak, maka kedelai lokal akan semakin kalah saing dengan kedelai impor, baik dari aspek harga maupun kualitas. Dampaknya, produksi kedelai lokal akan menurun. Indonesia memiliki prospek pengembangan kedelai di dalam negeri untuk menekan impor. Mengingat ketersediaan sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang telah dihasilkan, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil dalam usahatani. Disamping itu, pasar komoditas kedelai masih terbuka lebar. Sehingga, dengan besarnya peluang ekspor kedelai, akan membuat gairah petani semakin baik dalam meningkatkan produksinya, karena harga kedelai ekspor lebih bagus daripada harga kedelai lokal yang diterima petani. Upaya untuk menekan laju impor, salah satunya dapat ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas. Indonesia mempunyai potensi untuk meningkatkan produkivitas kedelainya. Lebih banyak kedelai dapat diproduksi dengan menanam di luar musim dengan sistem non-tradisionil, tumpangsari, dan penanaman di lahan marjinal dimana tanaman lain sulit tumbuh. Cara-cara ini dapat di kombinasikan, tetapi tumpangsari cocok terutama untuk Jawa, sedangkan cara-cara lainnya untuk luar Jawa. Fluktuasi hasil produktivitas makin berkurang, disebabkan semakin baiknya teknologi produksi di luar Jawa. Secara keseluruhan, ada kecenderungan yang tetap mengenai peningkatan hasil per satuan hektar are (CGPRT Center 1986). Produktivitas kedelai yang rendah tidak bisa membuat produksi mencukupi kebutuhan kedelai lokal. Rendahnya produktivitas dan daya saing kedelai yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya kedelainya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produktivitas nasional. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun (Adiningsih S dkk 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Gurdev S Kush 2002).
42
Upaya peningkatan produktivitas kedelai juga dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan petani dalam berbudidaya suatu komoditas tertentu, termasuk dalam hal ini, yaitu kedelai. Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah Nilai tukar Petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar oleh rumah tangga tani. Artinya, tingkat kesejahteraan petani dapat dilihat dari tingkat pendapatannya melalui usaha budidaya tersebut. Pendapatan petani adalah produktivitas tenaga kerja yang diukur sebagai nilai PDB per tenaga kerja di sektor pertanian. Ukuran keberhasilan pertumbuhan pertanian dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan produksi komoditas pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dapat dilihat dari PDB nasional (Departemen Pertanian 2006). Produktivitas kedelai yang efisien, dipengaruhi juga oleh tenaga kerja. Tenaga kerja akan merasa sejahtera ketika upah yang diterima dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, tingkat efisiensi dalam penggunaan input dan saprodi. Beberapa diantaranya dijabarkan oleh Departemen Pertanian (2007) mengenai strategi pengembangan sistem produksi kedelai dapat ditempuh melalui penerapan teknologi budidaya tepat guna, pemanfaatan lahan yang masih luas untuk perluasan areal tanam kedelai, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela, penyediaan kredit lunak yang mudah diakses petani, penyediaan kredit dan pendampingan untuk penerapan teknologi PTT, penanaman kedelai pada Musim Kering di lahan tidur, pelatihan penyuluh dalam identifikasi dan penanggulangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) serta anomali iklim. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas secara ringkas yaitu harga output, dalam hal ini merupakan harga kedelai itu sendiri, harga input tidak tetap, seperti upah tenaga kerja, harga teknologi yang digunakan, namun karena data harga teknologi tidak dipublikasikan dan biasanya bersifat confidential perusahaan, penggunaan teknologi, sumberdaya manusia, iklim, perdagangan kedelai, NTP, serta pelatihan dan penyuluhan.
3.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Faktor yang mempengaruhi konsumsi kedelai nasional berdasarkan hasil penelitian Ariani (2003), Kustiari et al (2009) dan Adetama (2011) serta Handayani et al (2011) yaitu harga kedelai nasional, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, harga kedelai impor dan kuantitas kedelai impor, serta harga komoditas substitusinya, yang utama adalah umbi-umbian dan jagung. Secara ringkas dibuktikan oleh hasil penelitian tersebut bahwa ketika harga kedelai impor meningkat, maka harga kedelai dalam negeri juga meningkat. Namun permasalahannya adalah harga kedelai dalam negeri lebih tinggi dibanding harga kedelai impor, sehingga, konsumen industri maupun rumahtangga cenderung membeli kedelai impor yang kualitasnya juga lebih bagus dibanding kedelai lokal. Untuk itu, kuota impor kedelai seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah, agar masuknya kedelai impor bisa dibatasi dan tidak melebihi jumlah produksi kedelai nasional. Dengan begitu, harga kedelai impor akan semakin melambung karena jumlah ketersediaannya di dalam negeri semakin sedikit. Implikasinya adalah permintaan akan kedelai di dalam negeri akan berpindah pada kedelai lokal, sehingga dengan harga kedelai lokal yang sama dengan harga kedelai impor
43
akan membuat petani kedelai semakin bergairah untuk meningkatkan produktivitas usahatani kedelainya. Untuk itu, diperlukan analisis mengenai tingkat perkembangan harga kedelai yang selalu bergejolak di Indonesia dan selalu dipengaruhi oleh harga kedelai dunia. Perilaku tingkat perubahan harga kedelai dapat dilihat dari suatu indeks harga. Kenaikan harga-harga yang terjadi dari satu periode ke periode lainnya tidak berlaku secara seragam. Kenaikan tersebut biasanya berlaku untuk banyak komoditas pertanian, tetapi kenaikannya berbeda antar komoditas. Berlakunya tingkat perubahan harga yang berbeda tersebut menyebabkan perlunya indeks harga dibentuk untuk menggambarkan tingkat perubahan harga yang berlaku dalam suatu wilayah pada periode tertentu. Indeks Harga Konsumen merupakan salah satu indikator ekonomi yang populer digunakan untuk mengukur tingkat perubahan harga dan tingkat inflasi (Rizqal 2010). Konsumsi kedelai oleh masyarakat Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti: bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, dan kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Sehingga tingkat konsumsi masyarakat terhadap jenis makanan berupa kacang-kacangan juga dipengaruhi oleh ketersediaan jenis makanan lain seperti umbi-umbian dan jagung. Karena pola fikir masyarakat Indonesia saat ini dalam hal kandungan gizi dalam makanan sudah lebih baik. Sebagai contoh dalam penelitian Arini (2003) dikatakan bahwa dahulu masyarakat cenderung mengkonsumsi makanan dengan kandungan dominan karbohidrat, karena lebih cepat mengenyangkan. Namun sekarang masyarakat Indonesia cenderung mengkonsumsi makanan yang kandungan gizinya dominan protein nabati, karena khasiat bagi kesehatan lebih baik. Konsumsi kedelai tidak ada batas maksimal karena dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional. Artinya pangan yang boleh dikonsumsi tanpa takaran saji, berapapun boleh dikonsumsi, yang menentukan nantinya adalah selera (Diennazola dan Ratna 2011)4. Hal ini juga ditunjang oleh sasaran pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah prilaku hidup sehat yang salah satunya meningkatnya jumlah penduduk dengan gizi seimbang. Data Departemen Kesehatan tahun 1999 dalam Nurmalita (2011), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mengalami perimenopouse akan bertambah jumlahnya hingga 80 juta orang pada tahun 2025. Implikasinya adalah pada pola hidup masyarakat yang semakin natural, dimana salah satunya adalah mengkonsumsi kedelai yang juga sering dikampanyekan mengenai manfaat kedelai yang begitu banyak untuk kesehatan, diantaranya untuk anti oksidan, meningkatkan daya tahan tubuh, mereduksi kadar kolestrol dalam darah, mengobati penyakit semacam ginjal dan impotensi, menghaluskan kulit, menyuburkan rambut, mengurangi potensi penuaan dini, pembentukan kecerdasan genetik manusia khususnya anak-anak, menanggulangi penyakit diabetes, dan sebagainya.
4) Diennazola, Renda dan Ratna B. Wulandari. 2011. Sehat dengan Cara Murah ? Kedelai! [Artikel]. Tabloid Agrina 9 Mei 2011. http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=12&aid=2985
3.5 Model Persamaan Simultan
44
Model persamaan simultan dalam penelitian ini berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian terdahulu mengenai dinamika produksi dan konsumsi kedelai nasional dan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Produksi kedelai nasional dipengaruhi oleh luas area dan produktivitas kedelai nasional. Luas area dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga kedelai nasional di tingkat produsen, harga benih kedelai dan harga jagung (produk substitusi) dan luas area tanam kedelai pada tahun sebelumnya. Produktivitas itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti jumlah ketersediaan benih kedelai, pupuk urea dan tenaga kerja, harga kedelai dan jagung nasional, upah buruh, dan produktivitas tahun sebelumnya. Terlihat bahwa harga kedelai dan jagung nasional sama-sama mempengaruhi produksi kedelai nasional. Konsumsi kedelai nasional dipengaruhi oleh konsumsi kedelai nasional per kapita dan jumlah penduduk nasional, sehingga diperoleh konsumsi kedelai nasional total. Konsumsi kedelai nasional per kapita tentunya dipengaruhi oleh konsumsi kedelai nasional per kapita tahun sebelumnya, harga kedelai dan jagung nasional, pendapatan nasional dan jumlah penduduk Indonesia, serta harga dan kuantitas kedelai impor. Terlihat bahwa harga kedelai dan jagung nasional samasama mempengaruhi area tanam, produktivitas, produksi dan konsumsi kedelai per kapita. Variabel harga merupakan variabel yang selalu turut serta dalam perdagangan kedelai nasional maupun internasional. Model persamaan simultan dari sisi perdagangan ini terbagi menjadi model fungsi harga kedelai nasional, kuantitas ekspor dan impor kedelai, serta harga kedelai impor. Fungsi harga kedelai nasional dipengaruhi oleh harga dan kuantitas impor kedelai, harga kedelai nasional tahun sebelumnya dan produktivitas kedelai nasional. Kuantitas ekspor kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai internasional, produksi kedelai nasional, juga harga dan kuantitas ekspor. Selanjutnya, kuantitas impor kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai internasional, produksi dan konsumsi total, jumlah penduduk dan kuantitas impor tahun sebelumnya. Fungsi harga kedelai impor dipengaruhi juga oleh harga kedelai internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor dan harga kedelai impor tahun sebelumnya. Secara operasional, model persamaan simultan ekonomi kedelai secara operasional disajikan pada Gambar 3.2.
Keterangan:
= variabel endogen = fungsi
= variabel eksogen = variabel lag endogen
Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Definisi variabel operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
45
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Luas area kedelai nasional tahun ke-t adalah luas lahan atau area tanam kedelai nasional pada tahun berjalan (LATKN). Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai nasional di tingkat produsen tahun berjalan (HKN). Harga jagung nasional tahun ke-t adalah harga jagung nasional pada tahun berjalan (HJN). TREN merupakan variabel dummy dari teknologi pada tahun ke-t (TREN). Luas area tanam kedelai tahun ke t-1 adalah luas area tanam kedelai tahun sebelumnya (LLATKN). Produktivitas kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional per satuan hektar are pada tahun berjalan (PRKN). Jumlah ketersediaan pupuk urea tahun ke-t adalah jumlah pasokan pupuk urea pada tahun berjalan (JKPU). Upah buruh tani tahun ke t-1 adalah upah buruh tani kedelai pada tahun sebelumnya (LUBTK). Produktivitas kedelai nasional tahun ke t-1 adalah produksi kedelai nasional per satuan hektar are pada tahun sebelumnya (LPRKN). Konsumsi total kedelai nasional tahun ke-t adalah konsumsi kedelai nasional tahun berjalan (KKNt). Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai di tingkat produsen pada tahun berjalan (HKN). Penawaran kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional ditambah kuantitas impor kedelai dan stok kedelai tahun sebelumnya dikurangi kuantitas ekspor kedelai pada tahun berjalan (SKN). Pendapatan nasional tahun ke t-1 adalah pendapatan nasional per kapita yang merupakan pendapatan nasional total dibagi dengan jumlah penuduk Indonesia pada tahun sebelumnya (LPNPK). Harga kedelai impor tahun ke-t adalah harga kedelai impor pada tahun berjalan (HKI). Kuantitas impor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai impor pada tahun berjalan (KIK). Konsumsi total kedelai nasional tahun ke t-1 adalah konsumsi kedelai nasional tahun berjalan (LKKN). Harga kedelai nasional tahun ke t-1 adalah harga kedelai nasional di tingkat produsen tahun berjalan (LHKN). Harga kedelai internasional tahun ke-t adalah harga kedelai dunia berdasarkan harga kedelai di negara USA tahun berjalan (HKIN) Nilai tukar Rupiah terhadap $ US tahun ke-t adalah nilai tukar 1 $ US terhadap Rupiah pada tahun berjalan (ER). Harga kedelai impor tahun ke t-1 adalah harga kedelai impor pada tahun sebelumnya (LHKI). Tarif impor kedelai tahun ke-t adalah bea masuk atau tarif impor kedelai pada tahun berjalan (TIK). Produksi kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional pada tahun berjalan (PKN). Stok kedelai nasional tahun ke-t adalah ketersediaan kedelai nasional tahun sebelumnya (SK)
46
24.
Kuantitas ekspor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai ekspor pada tahun berjalan (KEK).
47
IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang merupakan data time series tahunan pada Lampiran 2a, 2b dan 2c. Secara rinci variabel data dan sumbernya dijelaskan dalam Lampiran 3. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 2012 sampai dengan Agustus tahun 2013.
4.2 Metode Analisis Hubungan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional serta variabelvariabel yang mempengaruhinya perlu dibentuk suatu model persamaan simultan. Model ini dicirikan dengan adanya saling keterkaitan antara variabel-variabel ekonomi, sehingga dalam model akan dijumpai lebih dari satu persamaan. Pada persamaan simultan, terdapat suatu model dimana terdapat saling keterkaitan antar variabel yang ada dalam model. Diharapkan melalui penyelesaian suatu persamaan yang ada dalam model itu, diperoleh koefisien-koefisien persamaan simultan, dimana pemilihan model yang telah dilakukan sebanyak 16 kali respesifikasi, yang terdiri dari 2 persamaan identitas dan 6 persamaan struktural. Analisis simultan dilakukan dengan bantuan komputer yaitu menggunakan program software SAS 9.1. Secara rinci model penelitian sebagai berikut: 4.2.1 Produksi PKNt = LATKNt * PRKNt
………………………...……………………………..(1)
Dimana : = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) PKNt LATKNt = luas area tanam kedelai nasional tahun ke-t (ha) PRKNt = produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha) Fungsi Luas Area Tanam Kedelai LATKNt = a0 + a1HKNt + a2HJNt + a3TRENt + a4LATKNt-1 + µ1 ……………….…(2)
Dimana : LATKNt = luas area tanam kedelai nasional pada tahun ke-t (ha) HKNt = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/ton) HJNt = harga jagung nasional pada tahun ke-t (Rp/ton) TRENt = dummy yang menggambarkan teknologi yang digunakan LATKNt-1 = luas area tanam kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ha) = intersep a0 ai = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4) µ1 = peubah pengganggu Nilai parameter yang diharapkan a1, a3 > 0; a2 < 0; 0 < a4 < 1 Fungsi Produktivitas Kedelai Nasional
48 PRKNt = b0 + b1JKPUt + b2UBTKt-1 + b3LATKNt + b4PRKNt-1 + µ2……………...(3)
Dimana : PRKNt = produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha) JKPUt = jumlah ketersediaan pupuk urea pada tahun ke-t (ton/ha) UBTKt-1 = upah buruh tani kedelai tahun sebelumnya (Rp) LATKNt = luas area tanam kedelai nasional tahun ke-t (ha) LPRKNt-1 = produktivitas kedelai nasional tahun sebelumnya (ton/ha) b0 = intersep = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4) bi µ2 = peubah pengganggu Nilai parameter yang diharapkan b1, b3 > 0; b2 < 0; 0 < b4 < 1 4.2.2 Impor Fungsi Harga Kedelai Impor
HKIt = e0 + e1HKINt + e2HKNt + e3ERt + e4HKIt-1 + µ3 ………………….…….….(4)
Dimana: HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton) HKINt = harga kedelai internasional tahun ke-t (US $/ton) HKNt = harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton) = nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (Rp./US $) ERt HKIt-1 = harga kedelai impor tahun sebelumnya (Rp/ton) e0 = intersep ei = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4) µ3 = peubah pengganggu Nilai parameter yang diharapkan e1, e2 > 0; e3 < 0; 0 < e4 < 1 Fungsi Kuantitas Impor Kedelai KIKt = f0 + f1HKNt- + f2TIKt + f3HKIt + µ4 ………...……………......................……(5)
Dimana: KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton) = harga kedelai nasional pada tahun ke-t (Rp/ton) HKNt TIKt = tarif impor kedelai pada tahun ke-t (persen/tahun) HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton) = intersep f0 fi = dugaan parameter (i = I, 2, 3) = peubah pengganggu µ4 Nilai parameter yang diharapkan f1, f3 > 0; f2 < 0 4.2.3
Penawaran
Fungsi Penawaran Kedelai Nasional SKNt = PKNt + KIKt + SKt - KEKt ……..................................................………....(6)
Dimana: SKNt PKNt KIKt SKt KEKt
= penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton) = stok kedelai pada tahun ke-t (ton) = kuantitas ekspor kedelai pada tahun ke-t (ton)
49
4.2.4 Konsumsi Fungsi Konsumsi Kedelai Nasional KKNt = c0 + c1HKNt + c2SKNt + c3PNPKt-1 + c4HKIt + c5KIKt + c6KKNt-1 + µ5…(7)
Dimana: KKNt = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) HKNt = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/ton) SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) PNPKt-1 = pendapatan nasional per kapita pada tahun sebelumnya (Rp/tahun) HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton) KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton) KKNt-1 = konsumsi total kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ton) c0 = intersep ci = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6) µ5 = peubah pengganggu Nilai parameter yang diharapkan c2, c3, c4 > 0; c1, c5 < 0; 0 < c6 < 1 4.2.5 Harga Fungsi Harga Kedelai Nasional HKNt = d0 + d1KKNt + d2HKIt + d3SKNt + d4KIKt + d5HKNt-1 + µ6.........................(8)
Dimana: HKNt KKNt PRKNt HKIt SKNt HKNt-1
= harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton) = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) = produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha) = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton) = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun sebelumnya (Rp/ton) = intersep d0 = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5) di µ6 = peubah pengganggu Nilai parameter yang diharapkan d1, d2, d4 > 0; d3 < 0; 0 < d5 < 1
4.3 Penentuan Model Penentuan model berdasarkan kriteria statistik secara umum, yaitu penilaian terhadap slope koefisien (F-value) yang berarti paling tidak ada 1 variabel bebas yang mempengaruhi secara nyata terhadap variabel terikat, nilai signifikansi yaitu Prob > [T], dan nilai kesesuaian model atau goodness of fit (R2), serta penilaian terhadap autokorelasi (DW atau DH statistik), dimana DH-stat jika terdapat lag endogen dalam suatu model. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfield (2008) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi ke-efisiensi-an estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.
50
4.4 Metode Peramalan Peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional dilakukan selama periode 2013 – 2020. Metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan yaitu: penerapan 2SLS menghasilkan penafsiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan spesifikasi model, sedangkan OLS tidak dapat digunakan dalam peramalan dengan persamaan ssimultanis (Gujarati 2003).
4.5 Analisis Simulasi Kebijakan Simulasi dilakukan untuk menghasilkan alternatif kebijakan dalam meningkatkan produksi kedelai nasional. Untuk melihat pengaruh perubahan dampak kebijakan dan faktor ekonomi terhadap keragaan produksi kedelai dalam penelitian digunakan simulasi. Simulasi kebijakan dibuat untuk menentukan alternatif apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, dimana produksi kedelai nasional yang digunakan adalah sesuai hasil peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini. Kebijakan alternatif dibuat berdasarkan uraian permasalahan serta hasil estimasi parameter, untuk meningkatkan produksi sebesar hasil proyeksi produksi dan konsumsi yang dilakukan, dengan justifikasi bahwa jika produksi sama dengan konsumsi, maka Indonesia akan dapat berswasembada kedelai. Sehingga simulasi kebijakan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Simulasi pertama : LATKN naik 5 – 10 persen. 2. Simulasi kedua : HKI naik 15 – 100 persen. 3. Simulasi ketiga : HKN naik 15 – 100 persen
51
V HASIL DAN PEMBAHASAN Kriteria-kriteria statistika yang umum digunakan dalam mengevaluasi hasil estimasi model cukup meyakinkan. Seluruh nilai persamaan perilaku memiliki koefisien determinasi adjusted (R2) antara 75 – 98 persen, artinya, goodness of fit antara data dengan model adalah baik, karena nilai koefisien determinasinya mendekati angka satu. Secara umum model yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki rata-rata 80 persen lebih variasi dari variabel-variabel independen yang dapat menerangkan dengan baik atas prediksi dari variabel dependennya. Proses respesifikasi disajikan dalam Lampiran 6a, sedangkan rekapitulasi perangkingan hasil respesifikasi disajikan dalam Lampiran 6b, dimana hasil output SAS disajikan dalam Lampiran 8a dan 8b, masing-masing persamaan perilaku tersebut dijelaskan secara detil sebagai berikut:
5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kedelai Nasional Jumlah produksi kedelai di Indonesia di peroleh dari perhitungan antara luas area tanam kedelai yang dikalikan dengan produktivitasnya, sehingga untuk mengetahui keragaan produksi kedelai juga melalui fungsi perkalian antar kedua variabel tersebut, seperti pada hasil penelitian oleh Sastra et al (2012) bahwa produksi kedelai nasional dipengaruhi oleh produktivitas dan luas area tanam kedelai nasional, serta kebijakan impor seperti tarif dan harga impor kedelai, dan teknologi. Luas area tanam dipengaruhi oleh variabel seperti harga kedelai nasional, harga jagung nasional, serta harga benih kedelai nasional. Sedangkan produktivitas kedelai nasional dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan benih kedelai nasional, jumlah ketersediaan pupuk urea, upah buruh tani kedelai, serta luas area tanam kedelai itu sendiri. Berikut secara rinci keragaan dari luas area tanam dan produktivitas kedelai nasional yang dipengaruhi berbagai variabel bebas yang mana fungsi kedua variabel tersebut mempengaruhi produksi kedelai.
5.1.1 Keragaan Luas Area Tanam Kedelai Nasional Hasil estimasi menunjukkan bahwa luas area tanam kedelai nasional (LATKN) dipegaruhi secara signifikan oleh harga kedelai nasional (HKN), harga jagung nasional (HJN) dan teknologi, serta luas area tanam kedelai nasional tahun sebelumnya (LLATKN) pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen. Penelitian sebelumnya oleh Sastra et al (2012) juga menyimpulkan bahwa luas area tanam kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan luas area tahun sebelumnya. Begitupun hasil penelitian Zakiah (2011) mengenai keragaan luas area tanam kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai, harga pupuk urea, harga jagung dan luas area tanam sebelumnya, begitupun hasil penelitian oleh Kumenaung (1994) bahwa LATKN dipengaruhi oleh HKN HJN, tingkat suku bunga, UBTK, harga faktor produksi kedelai lainnya.
52
Hasil estimasi yang disajikan dalam Tabel 5.1 menunjukkan bahwa perubahan luas area tanam responsif terhadap luas area tanam pada tahun sebelumnya, namun dinamika teknologi menunjukkan bahwa ketika dalam jangka panjang, teknologi akan mempengaruhi luas area secara negatif, artinya ketika teknologi semakin baik, justru akan mengurangi luas area tanam, namun dalam jangka pendek perubahan teknologi berhubungan positif dengan perubahan luas area. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketika adopsi teknologi secara terus menerus akan menambah biaya produksi, sehingga untuk mensiasatinya, petani mengurangi luas area tanam, guna menekan biaya produksi. Berbeda dengan hasil penelitian Kumenaung (2002), dimana respon LATKN dalam jangka pendek dan jangka panjang elastis terhadap harga kedelai di tingkat petani di luar Jawa, berbeda juga dengan hasil penelitian oleh Handayani (2007) bahwa harga kedelai lokal dan jagung lebih responsif terhadap luas area dalam jangka panjang dan jangka pendek, dibanding curah hujan, harga benih kedelai dan lag luas area, lain halnya penelitian oleh Setiabakti (2013) bahwa luas area panen resonsif terhadap perubahan harga dan upah baik jangka panjang dan jangka pendek. Secara rinci Tabel 5.1 menunjukkan hasil estimasi dari model luas area tanam kedelai nasional.
Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter LATKN Variabel
Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label Estimasi SR LR Intercep 62.327 0.121 HKN 0.068 0.093 0.100 0.0175 harga kedelai nasional HJN -0.213 -0.164 -0.136 0.0100 harga jagung nasional TREN 3.756 0.120 -0.044 0.077 teknologi LLATKN 0.874 0.879 6.979 <.0001 luas area tanam kedelai nas t-1 R2 adj = 86% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = -1.112
Tabel 5.1 menyimpulkan bahwa luas area kurang responsif terhadap faktor pembentuknya. Hal tersebut, artinya harga maupun teknologi tidak berpengaruh secara nyata terhadap perubahan luas area. Hal tersebut juga mengindikasikan adanya intervensi pemerintah dalam perluasan area tanam kedelai nasional, misalnya dengan memanfaatkan lahan bera’ (lahan tidur), membuka lahan bekas perkebunan sawit, serta membatasi terjadinya konversi lahan. Seperti yang di kemukakan oleh Suyamto dan I Nyoman (2010) bahwa perluasan area dapat dilakukan melalui peningkatan IP (Intensitas Pertanaman) pada lahan-lahan tersedia yang baru ditanam 2 kali padi dan/atau 1 kali padi kemudian bera, seperti pada lahan sawah irigasi di sepanjang pantura Jawa Barat dan pada lahan sawah tadah hujan di Sulawesi. Cara ini dinilai lebih mudah dan murah, namun diperlukan gerakan secara nyata di lapangan. Kedua, penanaman kedelai pada lahan-lahan di bawah tegakan, dan bermitra dengan PT. Perhutani, PT. Perkebunan, Hutan Tanaman Industri, KOPTI dan Swasta. Ketiga, perluasan areal panen kedelai di daerah-daerah bukaan baru, termasuk peluang swasta untuk membuka perkebunan kedelai (soybean estate) di Merauke. Tentunya hal tersebut
53
memerlukan gairah petani dalam berbudidaya kedelai yang lebih intens, serta intervensi pemerintah sebagai fasilitator untuk kemitraan serta program pembukaan lahan baru.
5.1.2 Keragaan Produktivitas Kedelai Nasional Produktivitas kedelai nasional (PRKN) dipengaruhi oleh jumlah kuantitas pupuk urea (JKPU), upah buruh tani kedelai nasional pada tahun sebelumnya (LUBTK), luas area tanam kedelai nasional (LATKN) dan produktivitas kedelai nasional itu sendiri pada tahun sebelumnya (LPRKN) pada taraf nyata 1 dan 5 persen. Namun, hasil penelitian Zakiah (2011) memperlihatkan keragaan produktivitas yang dipengaruhi secara nyata oleh harga pupuk, teknologi dan produktivitas sebelumnya, secara tidak nyata dipengaruhi oleh harga kedelai, sedangkan hasil penelitian oleh Handayani (2007) menunjukkan bahwa PRKN dipengaruhi oleh JKPU, HJN, HKN, curah hujan, LPRKN, sama hal nya dengan Kumenaung (2002) namun ditambahkan variabel penjelas suku bunga dan LATKN. Hasil estimasi menunjukkan bahwa seluruh peubah penjelas tidak responsif terhadap produktvitas, kecuali LPRKN, hal ini dikarenakan perkembangan produktivitas relatif stabil. Begitupun hasil penelitian oleh Zakiah (2011), menunjukkan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang produktivitas kedelai tidak respon terhadap semua peubah penjelas yang dimasukkan dalam model, begitupun hasil penelitian oleh Setiabakti (2013) bahwa produktivitas relatif stabil, artinya kurang responsif terhadap faktor-faktor pembentuknya, sama hal nya dengan hasil penelitian Kumenaung (2002) menunjukkan bahwa mempengaruhi produktivitas kedelai memberikan respon yang inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam penelitian ini hasil estimasi menunjukkan bahwa lag produktivitas tahun sebelumnya (LPRKN) lebih responsif terhadap PRKN pada jangka panjang, dimana ketika LPRKN meningkat 1 persen, maka PRKN dalam jangka panjang akan meningkat sebesar 4.6 persen. Secara rinci penjelasan mengenai hasil estimasi parameter model PRKN disajikan dalam Tabel 5.2 berikut.
Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter PRKN Variabel
Parameter Estimasi Intercept 0.116 JKPU 0.00003 LUBTK -0.00003 LATKN 0.00003 LPRKN 0.822 R2 adj = 98%
Elastisitas SR LR 0.072 0.072 -0.013 -0.013 0.025 0.025 0.814 4.575 Pr>|F| <.0001
Pr > |T| Varibel Label 0.005 0.007 0.081 0.053 <.0001
jumlah ketersediaan pupuk urea
upah buruh tani kedelai t-1 luas area tanam kedelai nas provitas kedelai nasional t-1 Durbin-H stat = -1.270
54
Tabel 5.2 menyimpulkan bahwa perubahan produktivitas relatif stabil, artinya semua variabel penjelas tidak responsif terhadap perubahan PRKN, kecuali peubah LPRKN dalam jangka panjang lebih responsif. Hal ini sedikit berbeda dari hasil penelitian oleh Handayani (2007) yang menunjukkan bahwa produktivitas lebih responsif terhadap harga jagung pada jangka panjang. Relatif stabilnya produktivitas kedelai nasional, serta tidak adanya variabel penjelas yang responsif terhadap perubahan PRKN mengindikasikan bahwa perubahan PRKN tergantung dari gairah petani dalam berbudidaya kedelai, dimana ketika PRKN meningkat pada tahun sebelumnya, maka PRKN tahun berikutnya akan meningkat juga.
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Kedelai Penelitian ini membahas impor dari keragaan kualitas dan harga kedelai impor, begitupun penelitian yang dilakukan oleh Hadipurnomo (2000) Kumenaung (2002) bahwa impor dapat dilihat dari sisi harga, tarif, exchange rate. Secara rinci keragaan kuantitas impor kedelai dan keragaan harga kedelai impor sebagai berikut:
5.2.1 Keragaan Harga Kedelai Impor Harga Kedelai Impor (HKI) dipengaruhi secara signifikan oleh Harga Kedelai Internasional (HKIN), Harga Kedelai Nasional (HKN), Nilai tukar Rupiah terhadap US $ atau Exchange Rate (ER), serta Harga Kedelai Impor tahun sebeluumnya (LHKI) pada taraf nyata 1 dan 10 persen. Sebagaimana penelitian terdahulu oleh Handayani (2007) bahwa harga kedelai impor dipengaruhi oleh harga kedelai internasional, exchange rate, tarif impor kedelai, lag harga kedelai impor. Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa HKI responsif terhadap HKIN dan LHKI dengan sifat elastis saat jangka panjang. Ketika LHKI meningkat 1 persen, maka HKI akan meningkat sebesar 1.5 persen, sedangkan ketika HKIN meningkat 1 persen, maka HKI akan meningkat sebesar 1.03 persen. Hal yang berbeda diperlihatkan dari hasil penelitian oleh Handayani (2007) bahwa tidak ada satupun variabel penjelas yang memberikan respon elastis kepada harga kedelai impor. Begitupun juga dengan hasil penelitian oleh Kumenaung (2002) bahwa harga kedelai internasional dan tarif impor memberikan respon yang inelastis terhadap harga kedelai impor baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara rinci, hasil estimasi parameter model HKI disajikan dalam Tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI Variabel intercept
Parameter Estimasi -17.581
Elastisitas SR LR
Pr > |T| Varibel Label 0.315
55
HKIN HKN
0.529 0.49 1.03 0.007 harga kedelai internasional 0.013 0.06 0.06 0.072 harga kedelai nasional Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI (lanjutan)
Variabel
Parameter Elastisitas Estimasi SR LR ER -0.003 -0.06 -0.05 LHKI 0.608 0.59 1.51 R2 adj = 85% Pr>|F| <.0001
Pr > |T| Varibel Label 0.258 exchange rate <.0001 harga kedelai impor t-1 Durbin-H stat = -0.397
Tabel 5.3 menyimpulkan bahwa seluruh variabel penjelas mempengaruhi harga impor secara positif, hanya exchange rate yang mempengaruhi secara negatif, sedangkan HKIN dan LHKI lebih responsif terhadap perubahan HKI. Sesuai hasil penelitian sebelumnya bahwa harga kedelai impor terbentuk oleh integrasi pasar, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan harga kedelai dunia terintegrasi sempurna sampai ke harga impor kedelai di Indonesia Indonesia (Kumenaung 2002).
5.2.2 Keragaan Kuantitas Impor Kedelai Kuantitas Impor Kedelai (KIK) dipengaruhi oleh Harga Kedelai Impor (HKI), Harga Kedelai Nasional (HKN), serta Tarif Impor Kedelai (TIK) pada taaf nyata 1 persen. CGPRT 1986 menunjukkan bahwa impor kedelai semakin meningkat karena konsumsi kedelai dalam negeri semakin meningkat, serta permintaan terhadap kedelai yang digunakan untuk pakan ternak juga meningkat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kumenaung (1994 dan 2002), Hadipurnomo (2000), dan Handayani (2007) bahwa volume impor dipengaruhi oleh harga dan tarif impor, konsumsi dan produksi nasional, harga kedelai internasional, exchange rate, populasi penduduk, dan pendapatan per kapita. Kuantitas impor kedelai (KIK) lebih responsif terhadap Tarif Impor Kedelai (TIK), dimana ketika TIK naik 1 satuan, maka KIK akan menurun sebesar 53.714 satuan. Jika dilihat nilai elastisitasnya, tidak ada satupun variabel penjelas yang responsif secara elastis terhadap KIK. Secara rinci, hasil estimasi parameter model KIK disajikan dalam Tabel 5.4 di bawah ini. Pengaruh TIK terhadap perubahan KIK telah diperlihatkan sejak tahun 1970an lalu, bahwa saat itu pemerintah telah menetapkan tarif ad valorem sebesar 30 persen, namun sejak tahun 1998 TIK ditiadakan, dampaknya, sebelum tahun 1998 rata-rata KIK hanya sekitar 200 ribuan ton per tahun, atau meningkat hanya sebesar 200 persen per tahun, tetapi sejak tahun 1998, rata-rata KIK sudah di atas 1 juta ton bahkan mencapai 1.6 jutaan ton per tahun. Tetapi sejak tahun 2004, TIK kembali ditetapkan antara 10 – 15 persen, alhasil, rata-rata KIK hanya meningkat sebesar 35 persen per tahun (FAO 2013). Hasil estimasi memperlihatkan bahwa tarif impor memiliki pengaruh yang lebih responsif terhadap perubahan volume impor. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam merealisasikan dan mengawasi pajak impor kedelai yang berlaku di lapangan.
56
Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter KIK Variabel
Parameter Elastisitas Estimasi SR LR intercept 970.76 HKN 0.221 0.40 0.51 TIK -53.714 -0.94 -0.0171 HKI 0.032 0.01 0.01 R2 adj = 73% Pr>|F| <.0001
Pr > |T| Varibel Label 0.003 <.0001 harga kedelai nasional 0.002 tarif impor kedelai 0.483 harga kedelai impor Durbin-W stat = 2.715
Tabel 5.4 menyimpulkan bahwa seluruh variabel penjelas kurang responsif terhadap perubahan kuantitas impor, namun hanya TIK yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap perubahan KIK. Yaitu, ketika TIK berubah sedikit saja, maka KIK akan berubah cukup besar, hasil tersebut mengindikasikan bahwa TIK dapat berpengaruh langsung terhadap kuota impor, misalnya ketika TIK diturunkan maka volume impor semakin banyak, sehingga dapat memberikan implikasi bagi petani untuk meningkatkan provitas kedelai lokal-nya, sebaliknya, ketika TIK dinaikkan, tujuan pemerintah membatasi masuknya volume impor kedelai, guna membuat HKI meningkat melebihi HKN, sehingga kedelai nasional memiliki daya saing yag baik terhadap kedelai impor. Berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang menyimpulkan bahwa KIK responsif secara langsung terhadap HKI (Handayani 2007).
5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kedelai Nasional Konsumsi kedelai nasional pada penelitian ini dipengaruhi oleh harga kedelai nasional, penawaran kedelai nasional, pendapatan nasional per kapita tahun sebelumnya, harga kedelai impor, kuantitas impor kedelai, serta konsumsi kedelai nasional itu sendiri pada tahun sebelumnya. Secara rinci, perilaku konsumsi kedelai nasional yang dianalisis disajikan pada sub bahasan sebagai berikut:
5.3.1 Keragaan Konsumsi Kedelai Nasional Semua variabel penjelas kurang responsif terhadap perubahan KKN, hanya penawaran kedelai nasional (SKN) saja yang menunjukkan respon elastis positif terhadap KKN. Beda hal nya dengan penelitian terdahulu oleh Susetyanto (1994) bahwa konsumsi kedelai responsif terhadap harga kedelai dalam negeri. Hasil penelitian terdahulu oleh Riana dan Ikbal (2011) memperlihatkan bahwa konsumsi kedelai nasional dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan nasional, sedangkan harga kedelai dan konsumsi kedelai tahun sebelumnya berpengaruh tidak signifikan. Beda hal nya dengan hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa konsumsi kedelai nasional dipengaruhi oleh harga tempe, harga benih, lag
57
konsumsi kedelai nasional, tren waktu, harga kedelai di tingkat pedagang besar, tingkat suku bunga, serta tingkat upah industri. Secara rinci, hasil estimasi parameter model KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 menyimpulkan bahwa konsumsi kedelai nasional responsif terhadap penawaran kedelai nasional. Penawaran kedelai dalam negeri berasal dari produksi kedelai nasional dan impor kedelai, seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu, yaitu pada tahun 2012-2013, ketika terjadi musim banjir berkepanjangan di banyak wilayah di Indonesia, produksi kedelai menurun, sehingga penawaran kedelai di pasaran langka, akibatnya industri pengolahan yang berbahan baku kedelai, khususnya industri tahu dan tempe mengurangi produksinya, hal tersebut dikarenakan harga kedelai melonjak, sehingga harga tahu dan tempe juga ikut melonjak, bahkan beberapa industri olahan kedelai memberhentikan pekerjanya, sehingga konsumsi makanan yang berbahan dasar kedelai pun menurun, khususnya tahu dan tempe. Dampaknya, banyak masyarakat Indonesia yang mensubstitusi tahu dan tempe dengan makanan lainnya, seperti ubi kayu dan jagung. Secara rinci, hasil estimasi parameter model KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5 Hasil Estimasi Parameter KKN Variabel
Parameter Elastisitas Estimasi SR LR Intercept -39.339 HKN -0.246 -0.22 -0.17 SKN 0.639 0.69 1.92 LPNPK 0.09 0.27 0.30 HKI 0.149 0.03 0.03 KIK -0.402 -0.20 -0.14 LKKN 0.377 0.37 0.59 R2 adj = 97% Pr>|F| <.0001
Pr > |T| Varibel Label 0.2065 <.0001 harga kedelai nasional <.0001 penawaran kedelai nasional <.0001 pendapatan nasional per kapita t-1 0.275 harga kedelai impor 0.0003 kuantitas impor kedelai <.0001 konsumsi kedelai nasional t-1 Durbin-H stat = -3.432
5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kedelai Nasional Variabel yang mempengaruhi harga kedelai nasional yaitu konsumsi kedelai nasional, harga kedelai impor, penawaran kedelai nasional, kuantitas impor kedelai, serta harga kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumenaung (2002) bahwa harga kedelai di tingkat petani dipengaruhi oleh harga kedelai impor. Secara rinci, keragaan harga kedelai nasional sebagai berikut:
5.4.1 Keragaan Harga Kedelai Nasional Hasil estimasi menunjukkan bahwa model HKN lebih dinamis dan variatif, hasil menunjukkan bahwa HKI, SKN dan KIK memberikan pengaruh paling besar terhadap perubahan HKN. Begitupun hasil penelitian oleh Zakiah
58
(2011) menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh produksi kedelai nasional, kuantitas kedelai impor, harga kedelai impor, permintaan kedelai, serta harga kedelai nasional tahun sebelumnya. Tabel 5.6 menyimpulkan bahwa penawaran kedelai nasional paling responsif pengaruhnya terhadap perubahan HKN, dimana ketika SKN meningkat 1 persen, maka HKN akan menurun sebesar 1.3 persen dalam jangka pendek, sedangkan KIK dan LHKN responsif terhadap perubahan HKN dalam jangka panjang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa HKI dapat merangsang perubahan HKN (Kumenaung 2002). Berbeda dengan hasil penelitian oleh Zakiah (2011) bahwa harga kedelai relatif respon terhadap permintaan kedelai dibanding keempat peubah penjelas lainnya. Begitupun hasil penelitian oleh Handayani (2007) menunjukkan bahwa PKN dan KKN responsif terhadap HKN baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, sama hal nya dengan hasil penelitian Kumenaung (1994) permintaan dan penawaran kedelai responsif terhadap HKN. Sebaliknya, harga kedelai impor tidak responsif terhadap HKN, ini sama dengan hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa respon inelastis harga kedelai impor terhadap harga kedelai nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang. Secara rinci hasil estimasi parameter model harga kedelai nasional disajikan dalam Tabel 5.6 berikut. Tabel 5.6 Hasil Estimasi Parameter HKN Variabel
Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label Estimasi SR LR intercept 66.486 0.380 KKN 0.426 0.486 0.846 0.122 konsumsi kedelai nasional HKI 3.055 0.623 -0.303 0.002 harga kedelai impor SKN -1.077 -1.332 -0.641 0.013 penawaran kedelai nasional KIK 1.129 0.630 -4.881 0.008 kuantitas impor kedelai LHKN 0.829 0.719 4.207 <.0001 harga kedelai nasional t-1 R2 adj = 92% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = 3.973
Hasil estimasi pada Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa harga nasional paling responsif terhadap penawaran kedelai nasional, volume impor serta harga kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Artinya, untuk meningkatkan daya saing harga kedelai nasional terhadap harga kedelai impor, maka ketersediaan kedelai lokal di dalam negeri harus lebih besar dibanding ketersediaan kedelai impor. Untuk itu, stok kedelai nasional dijaga agar jangan sampai langka, karena jika hal ini terjadi, maka HKN akan lebih mahal dibanding HKI. Hasil estimasi model simultan menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi kedelai nasional adalah luas area tanam dan produktivitas kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Konsumsi kedelai nasional dipengaruhi secara langsung dan responsif oleh penawaran kedelai nasional. Harga internasional terintegrasi langsung dengan harga impor di dalam negeri, yang mana implikasinya terhadap perubahan harga nasional. Namun, harga kedelai nasional sendiri terintegrasi langsung dengan penawaran kedelai dalam negeri
59
baik yang berasal dari produksi kedelai dalam negeri maupun yang berasal dari kedelai impor. Akar utama dari permasalahan produksi kedelai di Indonesia tidak pernah mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri adalah karena keterbatasan luas area tanam kedelai. Seperti dikutip dari RPJPN5) bahwa ketersediaan pangan semakin terbatas disebabkan oleh semakin meningkatnya konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif lainnya, sehingga menyebabkan rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, serta buruknya kondisi jaringan irigasi dan prasarana irigasi di lahan produksi. Dilansir dari sebuah artikel bahwa Kementerian Pertanian tetap melanjutkan program perluasan areal tanam kedelai pada 2014 seluas 340 ribu hektar guna meningkatkan produksi kedelai6). Review hasil estimasi model produksi dan konsumsi kedelai nasional, yaitu untuk meningkatkan produksi kedelai nasional harus dilakukan perluasan area tanam, perbaikan harga kedelai di tingkat produsen hingga bantuan subsidi input produksi. Hasil estimasi model produksi kedelai nasional, bahwa ketika harga input produksi kedelai meningkat maka luas area tanam kedelai yang berimplikasi secara langsung dengan produktivitasnya akan menurun. Ketika kuantitas input produksi meningkat, seperti pupuk, benih, jumlah tenaga kerja dan ketersediaan lahan, maka produktivitas kedelai akan meningkat, karena petani akan semakin bergairah untuk menanam kedelai, serta memperluas area tanam kedelai pada lahan sawah yang tersedia. Begitupun ketika teknologi budidaya semakin baik, seperti sarana dan prasarana irigasi serta infrastuktur, hal tersebut dibuktikan oleh hasil penelitian Widitono dan Zainul (2008) bahwa tingkat penerapan teknologi budidaya kedelai masih rendah, untuk itu hasil penelitian oleh Supadi (2009), Hamundu dan Rianse (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan adopsi teknologi. Luas area sangat dipengaruhi oleh teknologi serta dukungan pemerintah, teknologi megindikasikan penggunaan pupuk, benih, saprotan lainnya, tentunya terkait dengan harga saprodi dan saprotan, ketika biaya yang dikeluarkan lebih kecil, keuntungan yang diperoleh petani lebih besar, dampaknya luas area semakin meningkat, untuk itu, guna menekan biaya produksi, diperlukan subsidi saprodi dan saprotan dari pemerintah. Produktivitas relatif stabil, hanya pengaruh lag produktivitas tahun sebelumnya saja dalam jangka panjang yang responsif terhadap produktivitas kedelai tahun berjalan. Seperti penelitian oleh Setiabakti (2013), Kumenaung (2002), dan Hadipurnomo (2000) menyimpulkan bahwa produksi kedelai secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga saprodi dan saprotan, dimana harga tersebut lebih responsif dalam mempengaruhi perubahan luas area dibanding produktivitas. Ketika semua input produksi mendukung kegiatan budidaya kedelai, maka petani akan semangat dan bergairah untuk memperluas area tanam kedelai dari ketersediaan lahan sawah yang sudah ada, sehingga produktivitas secara berkesinambungan juga akan meningkat. Hal tersebut juga dijelaskan dalam penelitian Widotono dan Zainul (2008) bahwa jika semakin besar output dengan input yang sama atau semakin kecil input dengan output yang sama, maka usahatani lebih efisien. Namun daripada itu, pemerintah juga harus memperhatikan sistem distribusi kedelai mulai dari tengkulak, pemasok, hingga pedagang besar sampai ke konsumen.
60 5) 6)
Draft Rancangan Awal: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. http://search.4shared.com/postDownload/EwEpAHPH/04-draft-rpjp-final-4-feb-2005.html. Artikel: Kementan Lanjutkan Perluasan. Areal Tanam Kedelai. Kamis 30 Mei 2013, 15:28 WIB. Pewarta: Subagyo. http://www.antaranews.com/berita/377464/kementan-lanjutkan-perluasan-areal-tanam-kedelai
Hasil analisis estimasi konsumsi kedelai memperlihatkan bahwa ketika harga kedelai lokal meningkat, maka permintaan akan komoditas tersebut semakin menurun, menyebabkan konsumsi kedelai impor akan meningkat. Jagung, merupakan komplementer dari kedelai, ketika harga jagung meningkat, maka permintaan jagung semakin menurun, sehingga permintaan kedelai akan meningkat. Sama halnya ketika pendapatan nasional per kapita meningkat, maka konsumsi kedelai nasional juga meningkat. Sebaliknya, ketika harga kedelai impor meningkat, maka permintaan kedelai impor menurun, menyebabkan permintaan kedelai lokal meningkat. Seperti yang terjadi pada tahun 2013 ini di sekitar bulan september – desember, bahwa harga kedelai impor naik hingga mencapai Rp.10.000,-/kg. Impor kedelai dapat dianalisis dari dua sisi utama, yaitu harga dan kuantitas kedelai impor, dimana harga impor dipengaruhi oleh harga internasional dan exchange rate, sedangkan volume impor dipengaruhi oleh tarif dan harga impor. Harga kedelai impor dapat berdampak pada harga kedelai nasional di tingkat petani, seperti hasil penelitian oleh Kumenaung (1994) jika harga impor naik, maka akan merangsang harga di tingkat petani naik, sehingga menguntungkan petani. Tetapi jika tarif impor yang diaikkan, maka volume impor akan berkurang, menyebabkan penurunan jumlah penawaran kedelai nasional. Gejolak kenaikan harga kedelai impor dipicu oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, hingga per 6 september 2013 sudah mencapai Rp. 11.450,- hingga Rp. 11.950,- per 1 USD (sumber: BCA). Pernyataan oleh Wamentan dalam TribunNews7) bahwa menurutnya gejolak harga kedelai impor terus meningkat disebabkan oleh nilai tukar Rupiah yang semakin melemah terhadap USD, mengingat impor kedelai di Indonesia paling banyak berasal dari USA. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika Rupiah menguat, maka kuantitas kedelai impor akan berkurang, karena harga kedelai impor di dalam negeri semakin menurun, membuat importir kedelai enggan melakukan impor kedelai ke Indonesia. Sehingga ketersediaan stok kedelai impor juga sedikit, ketika kedelai impor tidak dapat memenuhi permintaan kedelai dalam negeri, maka permintaan kedelai lokal akan semakin meningkat. Ketika ketersediaan kedelai impor berkurang dan tidak dapat memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri, maka pedagang atau pengrajin dalam industri kedelai akan mengkonsumsi kedelai lokal, sehingga permintaan akan kedelai lokal meningkat. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Riana dan Ikbal (2011) bahwa produksi hanya dapat memenuhi 35 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. Kondisi ini tentunya lebih baik untuk produsen kedelai lokal, karena dapat meningkatkan harga kedelai lokal. Seperti yang dilansir dari Tempo online8) bahwa harga kedelai impor semakin meningkat karena disebabkan pasokan kedelai impor yang tidak bisa langsung didatangkan ke Indonesia.
61 7) 8)
Artikel: TribunNews.com. Wamentan Salahkan Rupiah Soal Harga Kedelai. Jumat, 30 Agustus 2013; 17:07 WIB. http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/08/30/wamentan-salahkan-rupiah-soal-harga-kedelai Artikel: Perajin Tempe Minta Penetapan Harga Jual Kedelai. Kamis, 5 September 2013; 09:10 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/092510761/Perajin-Tempe-Minta-Penetapan-Harga-JualKedelai
Selain itu, gejolak harga impor kedelai juga disebabkan oleh adanya praktek kartel, serta data stok kedelai yang tidak sama antara kementerian pertanian dengan kementerian perdagangan9). Artikel yang dikutip dari Sumatera Ekspres10) yang dikemukakan oleh Mentan Suswono bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membawa dampak peningkatan harga kedelai di pasaran karena 70 persen kebutuhan kedelai dalam negeri harus diimpor. Hasil estimasi harga kedelai nasional diperoleh bahwa ketika penawaran kedelai nasional meningkat, maka harga kedelai nasional akan semakin menurun, namun jika konsumsi atau permintaan kedelai lokal meningkat, maka peluang bagi harga kedelai nasional semakin meningkat. Seperti yang terjadi saat ini, bahwa adanya kecurangan dari importir kedelai yang dengan sengaja menahan suplai kepada pengrajin tahu dan tempe, sehingga tersebarlah informasi bahwa pasokan kedelai tidak ada, sehingga timbul persepsi di masyarakat bahwa suplai kedelai juga tidak ada, akibatnya penjual kedelai menahan penjualan dengan asumsi jika dijual dikemudian hari akan lebih mahal11). Terbukti hingga saat ini harga kedelai masih tinggi dan bertahan pada tingkat petani hingga mencapai ratarata Rp 9.000 per kilogram. Saat ini tercatat produksi dalam negeri hanya sekitar 700.000 ton, sementara kebutuhan kedelai mencapai 2,5 juta ton per tahun. Gejolak impor kedelai, disebabkan oleh dinamika nilai tukar rupiah, tarif impor, serta harga kedelai di tingkat internasional. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika harga kedelai di tingkat internasional, tarif impor kedelai, serta kuantitas impor kedelai semakin meningkat, maka harga kedelai impor meningkat. Begitupun ketika nilai tukar rupiah melemah, maka kuantitas impor kedelai akan semakin meningkat. Kuantitas kedelai impor meningkat saat harga kedelai nasional meningkat, menyebabkan permintaan terhadap kedelai lokal menurun. Sehingga permintaan kedelai impor semakin besar.
5.5 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Hasil peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2020 menunjukkan adanya defisit dengan nilai rata-rata sebesar 1.6 jutaan ton per tahun atau dengan kata lain, defisit rata-rata setiap tahunnya menurun sekitar 0.984 persen. Peramalan produksi hingga tahun 2020 mencapai 1.2 jutaan ton per tahun atau meningkat rata-rata sebesar 6.79 persen per tahun, sedangkan konsumsinya meningkat rata-rata sebesar 2.8 jutaan ton per tahun atau sebesar 2.1 persen per tahun, sedangkan hasil peramalan dengan OLS oleh Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) bahwa proyeksi konsumsi 2009 – 2025 rata-rata meningkat sebesar 2.3 persen per tahun.
62 9)
Artikel: Komisi Temukan Indikasi Kartel Impor Kedelai. Jumat, 6 September 2013; 09:05 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2013/09/06/090510898/Komisi-Temukan-Indikasi-Kartel-Impor-Kedelai 10) Artikel: Tekan Harg Kedelai, Kementan Perluas Lahan Tanam. Kamis, 5 September 2013; 21:35 WIB. http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=18805:tekan-harga-kedelaikementan-perluas-lahan-tanam&catid=60:news-update&Itemid=134 11) Artikel: KPU Tuding Importir Tahan Stok. Suara Karya Online, Jumat, 6 september 2013. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333923
Peramalan sebaiknya dilakukan untuk jangka waktu yang tidak panjang, karena peramalan merupakan sesuatu yang tidak pasti, dimana kondisi di tahun mendatang, seperti cuaca, kemungkinan terjadinya bencana alam, kemungkinan terjadinya krisis ekonomi dan politik, dapat menyebabkan hasil peramalan tidak sesuai dengan kenyataan yang akan terjadi di tahun yang diramalkan tersebut, untuk itu, peramalan sebaiknya dilakukan tidak terlalu panjang. Seperti teori peramalan bahwa, peramalan merupakan suatu ketidakpastian, sehingga dapat dilakukan untuk waktu yang tidak panjang, agar lebih mendekati kenyataan (Hanke, 2003), dimana asumsi utamanya adalah ketidakpastian cuaca, gejolak politik dan ekonomi. Hasil – hasil penelitian sebelumnya mengenai proyeksi produksi dan konsumsi kedelai nasional selalu menunjukkan defisit antara produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahun yang akan datang, diantaranya sebagai berikut. Produksi kedelai nasional belum dapat memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 35 persen masih berasal dari impor, selanjutnya jumlah produksi kedelai akan mempengaruhi suplai kedelai (Kumenaung, 1994). Berbeda dengan hasil penelitian oleh Riana dan Ikbal (2011) menunjukkan bahwa hasil peramalan 2010 – 2019 dengan OLS menunjukkan defisit rata-rata meningkat 4 persen per tahun, begitupun hasil penelitian oleh Komalasari (2008) menunjukkan hasil prediksi dengan metode Winter’s Multiplikatif bahwa produksi kedelai nasional 2009 – 2010 meningkat sebesar 2.6 persen per tahun. Perbedaan hasil peramalan juga dilakukan oleh Santoso (2006) bahwa peramalan produksi kedelai dengan metode SUR yang dibandingkan dengan hasil ramal BPS pada tahun 2005, dimana model produksi dipengaruhi oleh luas panen, harga kedelai nasional, harga kedelai impor tarif impor, tenaga kerja. Hasil peramalan terjadi perbedaan antara Aram BPS dengan metode SUR, dimana hasil SUR lebih rendah dibanding hasil Aram BPS. Secara rinci hasil penelitian peramalan hingga tahun 2020 dalam penelitian ini dilampirkan dalam Tabel 5.7. Tabel 5.7 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013 – 2020
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017
PKN 933699 1024721 1139761 1222550 1272334
Partum buhan (%) 9.749 11.226 7.264 4.072
KKN 2626395 2738803 2866630 2678386 2962363
Partum buhan (%) 4.280 4.667 -6.567 10.603
Defisit -1692696 -1714082 -1726869 -1455836 -1690029
Pertumbuhan Defisit (%) naik turun 1.263 0.746 -15.695 16.086
63
Tahun
PKN
Partum buhan (%)
KKN
Partum buhan (%)
2018 1333744 4.827 2930139 -1.088 2019 1405660 5.392 3005511 2.572 2020 1475965 5.002 3012377 0.228 Rata-rata 1226054 6.790 2852576 2.099 Perbandingan produksi terhadap konsumsi (%)
Defisit -1596395 -1599851 -1536412 -1626521 42.981
Pertumbuhan Defisit (%) naik turun -5.540 0.216 -3.965 -0.984
Hasil peramalan menunjukkan bahwa swasembada kedelai belum dapat dilaksanakan hingga tahun 2020, karena dari hasil proyeksi menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai nasional hanya mampu dipenuhi oleh produksi kedelai nasional sebesar 42.981 persen, namun trend produksi dan konsumsi menunjukkan kecenderungan meningkat, begitupun dengan defisit yang terjadi juga menunjukkan kecenderungan semakin menurun, dapat dilihat pada Gambar 5.1. Untuk itu, perlu dilakukan strategi peningkatan produksi kedelai nasional untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, dimana untuk meningkatkan produksi rata-rata sebesar 6.79 persen per tahun diperlukan analisis simulasi kebijakan alternatif yang dalam penelitian ini dibahas pada sub bab selanjutnya. Kesimpulan dari hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai yang terlihat dari Gambar 5.1 adalah bahwa jumlah rata-rata produksi belum dapat memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri. Artinya, terjadi defisit dalam neraca kedelai hingga beberapa tahun mendatang. Namun, dilihat dari perkembangannya, defisit kedelai semakin menurun, artinya terdapat peluang di masa yang akan datang bahwa produksi kedelai nasional memungkinkan untuk memenuhi sebagian besar dari konsumsi kedelai dalam negeri. Sedangkan rata-rata konsumsi kedelai nasional relatif lebih stabil perkembangannya.
Gambar 5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013 – 2020 Hal tersebut mengindikasikan bahwa diperlukan diversifikasi pangan dalam komoditas kedelai, misalnya penggunaan kedelai tidak melulu hanya
64
sebagai bahan makanan tradisional seperti tahu dan tempe, tetapi kedelai juga dapat digunakan untuk bahan makanan yang modern, misalnya dapat dijadikan bahan untuk membuat kue tart, kue lapis, dan sejenis pancake lainnya. Seperti yang saat ini juga sudah tersedia jus tempe atau sereal tempe, namun diperlukan strategi pemasaran yang lebih baik lagi untuk ke depannya. Selain itu, belum berhasilnya Indonesia dalam memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri, dimungkinkan kualitas kedelai yang masih terbilang kurang bagus dibanding kedelai impor, misalnya kedelai lokal memiliki kadar air lebih banyak sehingga cepat busuk dan berbau tidak sedap, serta lebih kotor bercampur dengan tanah serta ranting dan daun, ukurannya tidak seragam dan cenderung kecil, kulit ari sulit terkelupas. Berdasarkan hasil estimasi dalam penelitian ini serta ditunjang oleh berbagai teori serta penelitian terdahulu, maka pencapaian peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui strategi sebagai berikut: 1. Peningkatan Produktivitas Upaya peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sistem perbenihan kedelai melalui industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usahatani berskala besar dan efisien seperti: perbaikan teknik budidaya kedelai di tingkat petani, memperlancar penyediaan saprodi, modal dan teknologi, dan mempercepat adopsi paket teknologi melalui SL-PTT disertai pengawalan, sosialisasi, pemantauan, pendampingan dan koordinasi. 2. Perluasan Areal dan Pengelolaan Lahan Perluasan areal dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan bera’ (lahan tidur), pembukaan lahan baru di luar Pulau Jawa, seperti lahan bekas perkebunan kelapa sawit, hingga pembatasan konversi lahan pertanian ke non pertanian. 3. Penyempurnaan Manajemen Penyempurnaan manajemen dimulai dari tingkat petani hingga stakeholder, yang dikhususkan pada kebijakan harga kedelai nasional, hingga penetapan tarif impor untuk membatasi volume kedelai impor ke Indonesia.
5.6 Simulasi Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Kedelai Nasional Simulasi kebijakan dilakukan guna melihat seperti apa kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional atau menurunkan impor kedelai, seperti penelitian terdahulu yang telah diakukan oleh Kumenaung (1994 dan 2002). Kasryno dan Pribadi (1991) menyarankan empat kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi kedelai, yaitu: (1) kebijakan harga yang berorientasi pada produsen; (2) pengembangan paket teknologi; (3) subsidi sarana produksi; dan (4) pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri. Kebijakan menaikkan harga kedelai untuk meningkatkan produksi kedelai sesuai dengan tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam penentuan harga dasar padi dan palawija, serta penghapusan subsidi pupuk (Susetyanto 1994). Simulai yang dilakukan oleh Handayani (2007) bertujuan untuk mengetahui keinginan petani kedelai dengan industri untuk meningkatkan produksi kedelai. Kebijakan dalam penelitian oleh Susetyanto (2012) meliputi skenario kenaikan harga kedelai 25
65
dan 37.5 persen, serta kombinasi antara harga kedelai dengan harga input produksi seperti harga benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan harga gabah. Permasalahan kedelai dalam negeri selama ini terkait dengan produktivitas kedelai yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga dilakukan impor kedelai yang jumlahnya jauh melebihi produksi kedelai lokal. Sehingga pola perilaku produksi kedelai nasional bergantung dari dinamika pergerakan harga kedelai lokal dan impor, serta ketersediaan area tanam yang implikasinya adalah pada jumlah benih kedelai, karena kuantitas dan mutu benih akan mempengaruhi gejolak harga kedelai nasional maupun impor. Untuk itu, perlu beberapa alternatif kebijakan dalam rangka peningkatan produksi kedelai nasional, yang direncanakan dapat berswasembada kedelai di masa yang akan datang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka analisis simulasi kebijakan ditentukan oleh perubahan luas area tanam, harga kedelai nasional, dan harga kedelai impor. Simulasi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan untuk periode 2013 – 2020, seperti pada penelitian oleh Kumenaung (2002) bahwa simulasi dapat dilakukan untuk periode historis atau periode peramalan atau keduanya. Secara rinci hasil analisis simulasi kebijakan sebagai berikut:
5.6.1 Simulasi Kebijakan Pertama Hasil analisis simulasi alternatif yang pertama adalah ketika LATKN naik 7 persen, maka PKN akan meningkat sebesar 6.77 persen, sesuai dengan hasil peramalan yang dilakukan. Kenaikan PKN memungkinkan adanya indikasi bahwa terjadi kenaikan pada SKN sebesar 2.99 persen. Implikasinya adalah KKN meningkat sebesar 3.5 persen, hal ini dapt memicu penurunan HKN sebesar 3.96 persen. Sedangkan kenaikan harga kedelai impor relatif kecil yaitu sebesar 1.29 persen, kemudian diikuti penurunan HKI sebesar 0.21 persen, yang berdampak pada penurunan KIK sebesar 1.57 persen. Seperti penelitian oleh Susetyanto (1994) bahwa untuk menaikkan produksi kedelai, diantaranya diperlukan kebijakan kenaikan harga benih kedelai dan harga kedelai di tingkat petani. Menurut Hadipurnomo (2000) bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas area panen dan produktivitas terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa dibanding di Pulau Jawa. Secara rinci analisis simulasi yang pertama disajikan dalam Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Pertama Variabel LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 1 (rata-rata) Perubahan (%) 831.4 886.3 6.60 1.016 1.018 0.17 1313 1359.1 3.50 1149 1103.8 -3.96 234.9 234.4 -0.21 642.5 632.4 -1.57 860.1 918.3 6.77 1610.8 1659.0 2.99
66
Simulasi kebijakan pertama: LATKN naik 7 %
Simulasi pertama dapat dikatakan wajar karena logik, karena sulitnya Pemerintah untuk memperluas lahan pertanian, khususnya untuk budidaya kedelai, mengingat prosesnya yang sedikit lebih sulit dibanding padi, namun provitas kecil. Namun jika LATKN dinaikkan 7 persen per tahun, maka PKN dapat meningkat sesuai hasil proyeksi, juga dikarenakan adanya kenaikan SKN, sehingga KKN meningkat, walaupun dapat menyebabkan HKN menurun, tetapi dampaknya HKI juga menurun, sehingga dapat memicu penurunan KIK. Ketika KIK turun, stok kedelai dalam negeri diperkirakan akan langka, dengan demikian kedelai lokal dapat beraksi “unjuk gigi” dalam pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri. Sehingga, hal tersebut memicu para petani kedelai untuk meningkatkan produktivitas kedelai nya. Sehingga analisis simulasi yang pertama dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. Hasil penelitian oleh Tastra et al (2012) memperlihatkan hasil penelitian mengenai skenario simulasi sistem dinamik untuk meningkatkan produksi kedelai nasional di atas 10 persen, dengan meningkatkan luas area tanam kedelai 15 persen dan produktivitas 4 persen per tahun. Begitupun hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa peningkatan area dan produktivitas sebesar 10 – 12 persen per tahun, akan meningkatkan produksi sebesar 35 persen per tahun.
5.6.2 Simulasi Kebijakan Kedua Analisis simulasi kedua yaitu dengan meningkatkan HKI sebesar 105 persen akan meningkatkan PKN sesuai harapan hasil peramalan yaitu sebesar 6.79 persen per tahun. Harga impor terintegrasi hingga ke dalam harga nasional, maka kenaikan HKI juga menyebabkan HKN juga meningkat sebesar 64 persen. Kebijakan menaikkan harga kedelai impor berdampak pada kenaikan harga kedelai nasional, sehingga merangsang petani untuk memperbesar usahataninya (Kumenaung, 1994), dalam penelitian ini juga terbukti dengan peningkatan LATKN sebesar 6 persen. Begitupun hasil penelitian oleh Hadipurnomo (2000) bahwa kebijakan impor berdampak pada perubahan volume impor, harga impor serta permintaan kedelai di tingkat industri. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kenaikan PKN ditenggarai oleh kenaikan HKN yang cukup tinggi. Selain itu kenaikan PKN memicu kenaikan SKN, sehingga membuat gairah petani meningkatkan provitas kedelai dalam usahataninya, terbukti dari kenaikan LATKN. Hal ini merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan PKN yang berdampak pada kenaikan HKN. Secara rinci hasil analisis simulasi yang kedua disajikan dalam Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Kedua Variabel LATKN
Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 2 (rata-rata) Perubahan (%) 831.4 881.2 5.99
67
1.016 1.018 0.17 PRKN 1313 1250.4 -4.78 KKN 1149 1881.7 63.73 HKN 234.9 501.2 113.37 HKI 642.5 812.9 26.52 KIK 860.1 918.5 6.79 PKN 1610.8 1839.7 14.21 SKN Simulasi Kebijakan Kedua: HKI naik 100% Kesimpulan simulasi kedua yaitu dengan meningkatkan HKI 105 persen dapat meningkatkan PKN sesuai hasil peramalan yang dilakukan. Ketika HKI meningkat maka akan diikuti oleh kenaikan HKN, sehingga memicu petani meningkatkan provitas kedelai, dengan demikian, memungkinkan pemerintah merealisasikan perluasan area tanam kedelai bagi petani. Ketika provitas kedelai meningkat, maka SKN juga akan meningkat. Jika stok kedelai lokal dalam negeri meningkat maka daya saing kedelai lokal terhadap kedelai impor juga semakin baik dari sisi kualitas dan kuantitas.
5.6.3 Simulasi Kebijakan Ketiga Simulasi ketiga dengan menaikkan HKN sebesar 64 persen diharapkan dapat meningkatkan PKN sesuai hasil peramalan. Seperti hasil penelitian oleh Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) menyimpulkan bahwa harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar, oleh permintaan dan persediaan, sehingga diperlukan kebijakan pemerintah untuk menentukan harga kedelai di tingkat petani guna meningkatkan gairah petani dalam berbudidaya kedelai. Petani sangat diuntungkan dengan adanya kebijakan naiknya harga kedelai nasional di tingkat petani, naiknya harga impor, dan kuota impor (Kumenaung 1994). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan meningkatkan HKN sebesar 64 persen, maka PKN akan meningkat sebesar 6.79 persen. Sesuai teori konsumsi ketika harga naik maka permintaan akan turun. Begitupun ketika HKN naik sebesar 64 persen, maka KKN akan turun sebesar 6.3 persen. Namun kenaikan HKN hanya memicu sedikit saja kenaikan HKI, yaitu sebesar 3.5 persen, sehingga kenaikan KIK hanya sebesar 21.6 persen, masih lebih kecil dibanding kenaikan rata-rata KIK selama 52 tahun terakhir ini, yaitu mencapai 260 persen per tahun. Secara rinci hasil analisis simulasi yang ketiga disajikan dalam Tabel 5.10.
Tabel 5.10 Ringkasan Analisis Simulasi Ketiga Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 3 (rata-rata) 831.4 874.0 LATKN 1.016 1.018 PRKN 1313 1230.4 KKN 1149 1776.4 HKN 234.9 243.1 HKI
Perubahan (%) 5.12 0.17 -6.31 54.56 3.49
68
Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 3 (rata-rata) 642.5 781.3 KIK 860.1 918.5 PKN 1610.8 1808.1 SKN Simulasi Kebijakan Ketiga: HKN naik 64%
Perubahan (%) 21.60 6.79 12.25
Kesimpulan dari hasil analisis simulasi kebijakan ketiga yaitu dengan meaikkan HKN 64 persen, akan memicu kenaikan LATKN, sehingga tentunya akan menambah gairah petani kedelai dalam meningkatkan hasil usatahaninya. Kenaikan HKN yang lebih besar ini tidak diikuti serta merta oleh kenaikan HKI, karena sejatinya importir berharap dengan kenaikan HKN yang lebih tinggi membuat konsumen beralih kepada kedelai impor. Namun untuk jangka panjang, ketika HKN terus meningkat, maka PKN juga akan terus meningkat, dan pada akhirnya pemerintah akan membatasi kuota kedelai impor guna mencapai cita-cita Indonesia sejak dahulu dalam pembangunan jangka panjang program strategis Indonesia, yaitu menjadi negara swasembada pangan, termasuk kedelai yang merupakan komoditas terpenting dan strategis di Indonesia setelah padi dan jagung. Langkanya kedelai impor di pasaran, membuat harga kedelai nasional ikut naik, bisa saja terjadi kenaikan harga kedelai impor namun tidak diimbangi dengan meningkatnya kuantitasnya, justru semakin menurun karena tarif yang semakin meningkat. Sehingga kenaikan harga kedelai nasional melambung tinggi, hal ini memacu luas area tanam kedelai meningkat, sehingga dampaknya produksi kedelai nasional juga meningkat. Namun, pada kenyataannya, untuk membuat harga kedelai nasional di pasaran meningkat, maka penawaran kedelai nasional dibuat menurun oleh para pelaku pasar, sehingga seolah-olah terjadi kelangkaan kedelai nasional juga di pasaran. Dengan begitu, harga kedelai nasional dapat dinaikkan setinggi-tingginya, namun akibatnya akan membuat permintaan terhadap kedelai nasional tidak meningkat, kalaupun meningkat, nilainya tidak signifikan, ini bisa terjadi jika konsumen mengganti kedelai dengan produk subtitusinya, misalnya dengan jagung. Sistem pengendalian dan pemantauan harga kedelai ini yang tentunya diperlukan bantuan dari Pemerintah, mulai dari harga di tingkat petani hingga ke konsumen, sehingga stok kedelai di pasaran tidak menjadi “permainan” lagi bagi pelaku pasar kedelai. Hasil ketiga analisis kebijakan diatas dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, agar kebutuhan kedelai dalam negeri selalu terpenuhi oleh kedelai lokal. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan produksi kedelai, diperlukan sejumlah kebijakan, antara lain: pertama, memperbaiki kualitas benih guna meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu untuk dapat bersaing dengan kedelai impor. Apabila kualitas benih sudah ditingkatkan, diharapkan mutu kedelai produksi dalam negeri juga akan meningkat. Jika mutu kedelai lokal telah bagus, maka secara otomatis pengrajin tahu dan tempe akan lebih memilih kedelai lokal ketimbang kedelai impor. Petani harus melakukan pemupukan tanaman sesuai aturan yang telah digariskan oleh Kementerian Pertanian. Untuk kedua kegiatan ini, pemilihan benih unggul dan pemupukan harus sesuai aturan dan diperlukan bimbingan yang
69
intensif oleh aparat Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kementerian Pertanian perlu lebih aktif mendampingi petani dalam bercocok tanam. Kebijakan yang kedua melalui perluasan areal tanam. Perluasan areal tanam berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas dan pengelolaan lahan. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sistem perbenihan kedelai, perbaikan teknik budidaya kedelai, memperlancar penyediaan saprodi, modal dan teknologi, sosialisasi, pemantauan, pendampingan dan koordinasi. Perluasan areal dan optimasi lahan dilaksanakan dengan menarik minat dan gairah petani dan investor dalam pengembangan kedelai, meningkatkan IP (intensitas produksi) dalam rangka optimalisasi lahan dan teknologi, perluasan wilayah baru untuk mengembangkan pusat pertumbuhan, pengembangan kerjasama investor dengan petani dan koperasi, pengembangan produksi kedelai skala besar untuk bahan baku industri, dan pengembangan budidaya tumpang sari. Kebijakan yang ketiga adalah dengan memberikan jaminan harga. Kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan memberi peran yang lebih besar kepada Perum Bulog yaitu disamping sebagai penyalur juga sebagai stabilitator harga. Usahatani kedelai dapat berjalan dengan efektif dan efisien apabila petani memperoleh insentif atau keuntungan yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga kestabilan harga dan pasar melalui penetpan harga pembelian oleh pemerintah. Dalam pengendalian tersebut diperlukan koordinasi dengan instansi dan stakeholder terkait, baik pada tingkat pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jaminan harga juga dapat dilakukan dengan menyederhanakan tataniaga, karena rantai tataniaga kedelai nasional cenderung rumit dan panjang, sehingga selisih harga di tingkat produsen (petani) dengan harga di tingkat grosir dan eceran cukup mencolok. Untuk meminimalisir hal tersebut, pemerintah perlu mengatur tataniaga kedelai agar lebih sederhana dengan rantai tataniaga yang lebih pendek. Sedangkan penetapan harga impor terkait langsung oleh penetapan tariff impor kedelai, dimana jika pemerintah menetapkan tarif impor lebih tinggi, maka harga impor juga akan meningkat, bahkan bias lebih mahal dibanding harga kedelai lokal, sehingga, kedelai lokal memiliki daya saing dari sisi harga yang lebih kompetitif dengan harga kedelai impor.
70
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan bahasan yang telah diuraikan, disimpulkan sebagai berikut: 1. Produksi kedelai secara nyata dipengaruhi oleh luas area tanam dan
produktivitas. Dimana perubahan luas area responsif terhadap perubahan luas area tahun sebelumnya, begitupun perubahan produktivitas responsif terhadap perubahan produktivitas tahun sebelumnya. 2. Perubahan konsumsi kedelai nasional responsif terhadap perubahan
penawaran, dimana ketika penawaran meningkat maka konsumsi juga akan meningkat. Penawaran mempengaruhi harga nasional yang terintegrasi langsung dengan harga internasional dan harga impor, yang mana harga impor mempengaruhi volume impor. 3. Peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2020
memperlihatkan defisit, namun tingkat defisit relatif menurun. Diperkirakan impor kedelai di masa yang akan datang masih diperlukan untuk memenuhi setengah dari kebutuhan kedelai dalam negeri. 4. Hasil simulasi kebijakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional
sebesar hasil peramalan, diperlukan perluasan area yang hanya kurang dari 10 persen, serta meningkatkan harga nasional minimal setengah dari harga yang berlaku saat ini, tetapi diimbangi dengan menaikka harga impor 2 kali lipat daripada harga saat ini.
6.2 Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Penentuan harga beli petani seharusnya spesifik lokasi, karena di setiap daerah (provinsi dan kabupaten) berbeda biaya produksi nya maupun teknologinya. 2. Pemberlakuan tarif impor kembali sebesar maksimal, dimana dalam WTO telah ditentukan maksimum tarif 30 persen.
71
3. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai, dapat mencari bahan baku alternatif lain untuk pembuatan tahu dan tempe, misalnya dari kacang koro dan kacang tunggak. 4. Pendampingan terhadap petani oleh penyuluh lapang dan dinas pertanian setempat untuk penentuan harga kedelai di pasar yang dapat memberikan keuntungan yang sesuai dengan kesepakatan petani dengan tengkulak.
72
DAFTAR PUSTAKA Adetama, Dwi Sartika. 2011. Analisis Permintaan Kedelai Nasional dan Dampak Kebijakan Bea Masuk Impor. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Adiningsih J., Sri; M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Hartati, Wiwik. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994. Ahyari, Agus. 1997. Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi. Edisi Keempat. Yogyakarta: Penerbit Balai Pustaka Fakultas Ekonomi. Aji. 2009. Analisis Tanaman Kedelai. Pasuruan: Agrobisnis Yudharta Pasuruan. Rabu, 6 Maret 2013. http://ajichrw.wordpress.com/author/ajichrw/page/301/. Alihamsyah T.; Sarwani, Muhrizal dan Ar-Riza, Isdianto. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Amang, Bedu dan Sawit, M. Husein. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor: IPB Press. Anggasari, Popy. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Kedelai Indonesia [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Ariani, Mewa; Saliem, Handewi Purwati; S. H. Suhartini; Wahida; Sawit, M. Husein. 2003. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Bogor: Laporan Penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian. Ariani, Mewa. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian di Indonesia. Jurnal Socca. Bali. P. 47 – 72. Arifin, Bustanul. 2012. Krisis Kedelai, Potret Kebijakan Pangan yang Buruk. Kamis, 18 April 2013. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9328&coid=2&caid=19 &gid=2 Atman. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Jurnal Ilmiah Tambua. Jakarta. Vol. VIII, No.1, Januari-April 2009. P. 39-45. ISSN 1412-5838. Balitkabi. 2012. Kedelai Hitam: Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi Kedelai Hitam: Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi. Selasa, 1 Juli 2014. Malang: Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id Bank Indonesia. 2004. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Budidaya Kedelai. Jakarta: Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. Senin, 23 Juni 2014. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/50136021-7442-455A8ED7-E91CC6C3C17/16004/BudidayaKedelai2.pdf Basmann, R.L. 1957. A Generalized Classical Method of Linear Estimation of Coefficients in A Structural Equation. Econometrica 25 (1). JSTOR 1907743
73
Beattie R, Bruce dan Taylor, Robert C. 1994. Ekonomi Produksi. Yogyakarta: UGM Press. BPS (Biro Pusat Statistik). 2001. Stasistik Indonesia 2000. BPS Jakarta. Budiwinarto, Kim. 1999. Penyelesaian Simultan Persamaan-Persamaan Regresi Rekursif Dibakukan [Tesis]. Program Studi Statistika, Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. CGPRT Center. 1986. Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia. CGPRT No. 17. Bogor: Pusat Palawija, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Chen, Yu Hui. 1998. Quarterly Econometric Analysis of US Soybean Market [Annual Meeting]. Taiwan: National Taiwan university. Chow, Gregory C. 1964. A Comparison of Alternative Estimators for Simultaneous Equations. Econometrica 32. P. 532-553. Chow, G.C. 1968. Two Methods of Computing Full-Information Maximum Likelihood Estimates in Simultaneous Stochastic Equations. International Economic Review. Colman, David and Young, Trevor. 1990. Principals of Agricultural Economics: Market and Pricesin Less Developed Countries. New York: Cambridge University Press. Cooke, Bryce and Robles, Miguel. 2009. Recent Food Prices Movements: A Time Series Analysis. IFPRI Discussion Paper No. 00942, December 2009. USA: International Food Policy Research Institute. Deparetemen Perindustrian dan Perdagangan. 2002. Analisis Bea Masuk Impor Kedelai. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Departemen Pertanian. 2002. Sektor Pertanian Pulih Kembali [Bahan Konferensi Pers, 27 Desember 2001]. Jakarta: Departemen Pertanian. Jumat, 17 Mei 2013. http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/konferensipers271202.htm Departemen Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha Agribisnis Kedelai. Jakarta: Ditrektorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. . 2005. Agro Inovasi; Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. . 2006. Program dan Kegiatan Departemen Pertanian Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian. . 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai, Edisi Kedua. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Jumat, 17 Mei 2013. . 2008. Mutu Kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor [Siaran Pers]. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Dirjentanpan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan). 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian. Dornbusch, Rudiger; Fischer, Stanley; and Startz, Richard. 2008. Makroekonomi. Edisi 10. Jakarta: PT. Media Global Edukasi. Dumairy, 2004. Perekonomian Indonesia, cetakan ke-lima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
74
Erwidodo dan Hadi, Prayogo U. 1999. Effects of Trade on Agriculture in Indonesia: Commodity Aspects. Working Paper 48, October 1999. Bogor: The CGPRT Centre. Fauziyah, Elys. 2007. Analisis Efisiensi Usahatani Kedelai di Desa Sukosari Kecamatan Gondanglegi. Embryo Vol. 4 No. 1. ISSN 0216-0188, Juni 2007. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. P. 23 – 47. FAOSTAT. 2012. Database. Selasa, 3 Juli 2012. http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx FAO. 2013. Jum’at, 20 September 2013. http://faostat3.fao.org/faostatgateway/go/to/download/T/TP/E Firdausy; Carunia, Mulya; Listiani, Nurlia. 2005. Kondisi Ekspor dan Impor Subsektor Tanaman Kedelai di Era Golablisasi [Makalah]. Pusat Penelitian Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. P. 44 – 71. Godam. 2007. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi/Pengeluaran Rumahtangga – Pendidikan Ekonomi Dasar. Rabu, 5 Februari 2014. http://organisasi.org/faktor-yang-mempengaruhi-tingkat-konsumsipengeluaran-rumah-tangga-pendidikan-ekonomi-dasar Gujarati, DN. 2003. Basic Econometrics. Singapore: MacGraw Hill International Edition. Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK Padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Cianjur. Hadipurnomo, Tidar. 2000. Dampak Kebijakan Produksi dan Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hamundu, Mahmud dan Rianse, Usman. 2004. Kebijakan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Petani dan Nelayan menunjang Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian Indonesia dalam Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian. Jakarta: PERHEPI. Handayani, Dian. 2007. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. , Dian; Bantacut, Tajuddin; Munandar, Jono M.; Budijanto, Slamet. 2011. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Bogor. Vol. 19 No. 1. P. 7 – 15. Hanke, J.E., Wichern, D.W., Reitsch, A.G. 2003. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Prenhallindo. Hutabarat, B. 2003. Prospect of Feed Crops to Support the Livestock Revolution in South Asia Framework of the Study CGPRT Centre Monograph No. 42. Bogor: UN-ESCAP. Hutapea , Jaegopal, DR. dan Mashar, Ali Zum SP. 2010. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. Jakarta. Rabu, 5 Februari 2014. http://zaifbio.wordpress.com/2010/05/ Intriligator, M.D. 1980. Econometric Model, Techniques and Applications. New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited. IPDN. 2008. Prospek Pengembangan Kacang Kedelai [Artikel]. Rabu, 5 Februari 2014. Selasa, 5 November 2013. http://ipdn-
75
artikelgratis.blogspot.com/2008/09/prospek-pengembangan-kacangkedelai.html Irawan, B. dan A. Purwoto. 1989. Kebijaksanaan Pengolahan Agro Industri dan Mekanisasi Pertanian. dalam Masdjidin . 2003. Kebijakan Perdagangan dan Daya Saing Komoditas Kedelai. Selasa, 5 November 2013. Available online with updates at http://pse.litbang.deptan.go.id. Irsyad. 2011. Kebijakan Perdagangan Komoditas Pertanian. Selasa, 5 November 2013. http://thetawonlanang.blogspot.com/2011/06/kebijakanperdagangan-komoditas.html Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat. Karo Karo, Feryanto W. 2011. Kedelai dan Kita [Artikel]. Selasa, 5 November 2013. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/03/08/kedelaidan-kita/ Kasryno, F., E. Pasandaran, P. Simatupang, Erwidodo, dan T. Sudaryanto. 2001. Membangun kembali sektor pertanian dan kehutanan. Buku I, hlm. 1−31. dalam I.W. Rusastra, P.U. Hadi, A.R. Nurmanaf, E. Jamal, dan A. Syam (Ed.). Prosiding Seminar Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Kasryno, F. dan N. Pribadi. 1991. Evaluasi Kebijaksanaan Kedelai di Indonesia dan Alternatif Pengembangannya. Halaman 1-18. Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai: Potensi, Kendala dan Peluang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kmenta, J. 1986. Elements of Econometrics. 2nd Edition. New York: Macmillan Publishing Co. Inc. Komalasari, Wieta B. 2008. Prediksi Penawaran dan Permintaan Kedelai dengan Analisis Deret Waktu. Jurnal Informatika Pertanian, Volume 17, No. 2, halaman 1195 – 1209. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. 2nd Edition. New York: Harper and Row Publisher, Inc. Barners and Nobles Import Division. Kshirsagar, A. 1983. A Course in Linear Models. New York: Marcell Dekker, Inc. Kumenaung, Anderson Guntur. 1994. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Industri Komoditi Kedelai di Indonesia [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. . 2002. Dampak Kebijkan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai Indonesia [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kustiari, Reni; Pantjar Simatupang; Dewa Ketus Sadra S; Wahida; Adreng Purwoto; Helena Juliani Purba; Tjetjep Nurrasa. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Laporan Akhir Penelitian TA 2009. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
76
Lence, Sergio H. 2010. The Agricultural Sector in Argentina: Major Trends and Recent DevelopmentsMajor Trends and Recent Development. The Shifting Patterns of Agricultural Production and Productivity Worldwide. The Midwest Agribusiness Trade Research and Information Center, Iowa State University, Ames, Iowa. Chapter 14. Malian, A. Husni. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Perdagangan, Vol. 2 No. 2, Juni 2004. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Mubyarto. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Munandar, Azhar; Marlianda, Dias; Nopriyanti, Rini; Cempakapuri, Tirtha. 2008. Komoditi Kedelai [Makalah Agribisnis]. Jurusan Manajemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi. Jambi: Universitas Jambi. Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya Pengembangannya di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal LIPI. P. 21 - 45. Nasution, L.T. 1990. Faktor Pendukung Eksternal Program Benih Kedelai. Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai. 13 Desember 1990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Nicholson, Walter. 1991. Teori Ekonomi Mikro I, terjemahan Deliarnov. Jakarta: Penerbit Rajawali. Nur, Yudha Hadian; Nuryati, Yati; Resnia, Ranni; Santoso, A. Sigit. 2012. Analisis Faktor dan Proyeksi Konsumsi Pangan Nasional: Kasus Pada Komoditas: Beras, Kedelai dan Daging Sapi. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6, No. 1, Juli 2012. P. 37 – 52. Nurmalita, Yanne. 2011. Tinjauan Konsumsi Kedelai dan Haisl Olahannya terhadap Syndrom Perimenopause pada Wanita Usia45 – 55 Tahun di Jorong III Kenagarian Tanjung Beringin Kec. Lubuk Sikaping Kab. Pasaman Tahun 2010 [Artikel]. Jumat, 12 Juli 2013. http://yannenurmalita.blogspot.com/2011/06/tinjauan-konsumsi-kedelaidan-hasil.html Oktaviani, Rina. 2010. Impor Kedelai: Dampaknya terhadap Stabiliats Harga dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri. Jumat, 12 Juli 2013. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perdagangan%20kedelai%20d unia%20&source=web&cd=3&ved=0CDEQFjAC&url=http%3A%2F%2F agrimedia.mb.ipb.ac.id%2Fuploads%2Fdoc%2F2010-07-06_rinaOImpor_Kedelai.doc&ei=ReaGT6uUI_GXiAe4xZHhBw&usg=AFQjCNFs vJGqfqSSjaQNaNXbLtfGq1zkOg&cad=rja Pappas, James L dan Mark, Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Edisi Keenam, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara Indonesia. Parkin, Michael. 1993. Economics. New York: Adison Wesley Publishing Company. Pindyck, Robert S dan Rubinfield, Daniel L. 2008. Econometric Models and Economic Forecasts; 5th edition. Boston, Mass: Irwin/McGraw-Hill. Priyanti, Atien; T.D. Soedjana; R. Matondang; P. Sitepu. 1997. Estimasi Sistem Permintaan dan Penawaran Daging Sapi di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (2). P. 71-77. Putong, Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia.
77
Rachman, Jan. 2012. Analisis Kelayakan Perluasan Areal Kedelai di Lahan Sawah pada Pola Tanam Padi – Padi Bera [Artikel]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang pertanian. Kementerian Pertanian. Jumat, 12 Juli 2013. http://pangan.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_berit a&&id_menu=3&id_submenu=3&id=179 Rachmawati, Merry. 1999. Analisis Perdagangan Kedelai Indonesia (Penerapan Model Armington) [Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Jumat, 12 Juli 2013. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/39774/A99MRA_a bstract.pdf?sequence=2 Rao, Potluri dan Miller, Roger LeRoy. 1971. Applied Econometrics. California: Wadsworth Publishing Company, Inc. Reddy Dilip. 2008. Futures Trade, Export and Direction of Trade in Soya: an Econometric Analysist [Thesis]. Dharwad: Departement of Agribusiness Management, University of Agricultural Sciences. Riana, Fitria Dina dan Ikbal Hardiyanto. 2011. Analisis Peramalan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2010 – 2019. AGRISE, Volume XI Nomor 1 Bulan Januari 2011, halaman 8 – 18. Malang: Universitas Brawijaya. Rizqal, Mochammad. 2010. Analisis Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya [Tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ruchjana, Budi Nurani. 1992. Model Ekonomi Mikro Penawaran dan Permintaan Daging Broiler di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Suatu Pendekatan Persamaan Simultan) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sahara, Dewi dan Gunawati, Endang S. 2004. Analisis Permintaan Kedelai di Kabupaten Banyusmas Jawa Tengah.Jawa Tengah. Selasa, 18 Maret 2014. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ persen2812 persen29 persen20socadewi persen20sahara-permintaan persen20kedele persen281 persen29.pdf Said, Nusa Idaman; Indriatmoko, Haryoto; Raharjo, Nugro; dan Herlambang, Arie. 2010. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob [Artikel]. Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair. Direktorat Teknologi Lingkungan. Kedeputian Bidang Teknologi, Informasi, Energi dan Material. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Selasa, 18 Maret 2014. http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limbahtt.html Salvatore, Dominicck. 2001. Managerial Economics, dalam Perekonomian Global. Edisi Keempat, Jilid ke 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. Samuelson. P. A. and W.D. Nordhaus. 1992. Economics. Fourteenth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Santoso, Paulus Basuki Kuwat. 2006. Pemodelan Produksi Kedeli Naional dengan Metode SUR [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
78
Sari, Novita Kartika. 2005. Analisis Permintaan Kedelai Indonesia [Skripsi]. Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Savernini, Maira Q.M. 2009. An Econometric Analysis of the Relationships among the U.S. Ethanol, Corn and Soybean Sectors, and the World Oil Prices [Thesis]. USA: Faculty of Art and Sciences, Ohio University. Sekhar, CSC.2008. Price Formation in The World Soybean Oil Marke – an Econometric Analysist. Indian Economic Review Vol. XXXXIII No. 2. P. 183 – 204. Setiabakti, Devi. 2013. Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Silitonga, C., B. Santosa, dan N. Indiarto. 1996. Peranan Kedelai dalam Perekonomian Nasional. dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor: IPB Press. Simatupang, P., Marwoto, dan D.K.S. Swastika. 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal. Malang, 26 Juli 2005. Malang: Balitkabi. Siregar, Masjidin. 1999. Metode Alternatif Penentuan Tigkat Hasil dan Harga Kompetitif: Kasus Kedelai. Jurnal Forum Agro Ekonomi (FAE), 22 (2), P. 26-41. Bogor: Pusat Analisis Sosial Eonomi dan Kebijakan Pertanian. . 2000. Tinjauan Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai [Jurnal Pertanian]. Selasa, 18 Maret 2014. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%283%29%20soca-asjidin%20siregarperdg%20komoditas%20kedele.pdf . 2003. Kebijakan Perdagangan dan Daya Saing Komoditas Kedelai. [Laporan Analisis Kebijakan]. Bogor: Pusat Analisis Sosial Eonomi dan Kebijakan Pertanian. , Khairani. 2009. Analisis determinan Konsumsi Masyarakat di Indonesia [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Medan: Universitas Sumatera Utara. Selasa, 18 Maret 2014. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7210/1/09E00793.pdf Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi, dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta: Rajawali Press. Soesastro, Hadi dan Basri, M. Chatib. 1998. Survey of Recent Development. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 34 No. 1, April 1998, halaman 3 – 54. Spencer, H. Milton. 1977. Contemporary Macroeconomics. New York: Worth Publicer Inc. Sri, Rahayu. 2011. Dampak Ketahan Kedelai di Indonesia [Artikel]. Selasa, 18 Maret 2014. http://rahayu91.wordpress.com/2011/02/13/dampakketahanan-kedelai-di-indonesia/ Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Cetakan ke-Delapan, Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES. Sudaryanto, T. dan D. K. S. Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Forum Agro Ekonomi (FAE), 12 (3), P. 1 – 27. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
79
Sujoni M., Nurhadi; Mahfudz, Masyhuri; dan Siswadi, Bambang. 2007. Model Simulasi Kebijakan Ekonomi Kedelai Dan Prospek Swasembada Pada Era Liberalisasi Perdagangan Menuju Ketahanan Pangan Di Indonesia. [Laporan Penelitian]. Malang: Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang. Kamis, 10 April 2014. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia PDII-LIPI . http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/58256 Sukirno, Sadono. 2001. Teori Pengantar Makro Ekonomi, edisi ke-2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Edisi pertama. Yogyakarta: Penerbit CV ANDI OFFSET. Supadi. 2009. Dampak Impor kedelai Berkelanjutan Terhadap Ketahanan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7 Nomor 1. Maret 2009: 87 – 102. Kamis, 10 April 2014. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-1e.pdf Suryana, Ahmad dan Sudaryanto, Tahlim. 1997. Penawaran, Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Perilaku Makan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Susetyanto. 1994. Analisis Dampak Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Produksi, Pendapatan, dan Konsumsi Rumahtangga Petani Kedelai di Kabupaten Subang [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Susetyanto. 2012. Model Eonomi Rumahtangga Petani Kedeli di Indonesia: Analisis Dampak Kebijkan terhadap Tenaga Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sutrisno, Salyo; Adisarwanto, Titis; dan Susilowati, Rini. 2010. Analisis Efisiensi Kedelai Varietas Unggul Baru dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Kedelai Nasional [Laporan Hasil Penelitian]. Malang: Universitas Brawijaya. Suyamto dan Widiarta, I Nyoman. 2010. Kebijakan Pengebangan Kedelai Nasional. Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi. Halaman 37 – 50. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Swastika, Dewa K Sadra. 1997. Swasembada Kedelai Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.15(1), P. 57–66. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. . 2003. Soybean Self-Sufficiency in Indonesia: Dream or Reality?. Shoert Article. CGPRT-Flash. Vol.1(5), P. 15-29. Bogor: CGPRT. Syam, M., A. Widjono, Hermanto, G. I. Ismail, H. Anwarhan, dan M. Sabrani. 1996. Usaha tani Tanaman Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani. Puslitbangtan. Bogor: Badan Litbang Pertanian. Tastra, IK.; Ginting, Erliana dan Fatah, Gatot S. A. 2012. Menuju Swaembada Kedelai Melalui Penerapan Kebijakan yang Sinergis. Jurnal IPTEK Tanaman Pangan, Volume 7, No. 1, P. 47 – 57. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Kementerian Pertanian.
80
Theil, H. 1958. Economic Forecasts and Economic Policy, (second edition), Amsterdam: North-Holland Publishing Co. Theil, H and A. Zellner. 1962. Three Stages Least Squares; Simultaneous Estimation of Simultaneous Equation. Econometrica 1. Timmer CP, Falcon WP dan Pearson SR. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Tomeck, WG dan KL Robinson. 1972. Agricultural Product Price. Ithaca and London: Cernell Univercity Press. Tuhana, Taufiq Andriyanto dan Indarto, Novo. 2004. Budidaya dan Analisis Usahatani Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Yogyakarta: Absolut. Widitono, Hendri dan Arifin, M. Zainul. 2008. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai Sebagai Upaya Meningkatkan Keuntungan Petani di Jawa Timur. J-SEP, Vol. 2, No. 1, P. 38 – 47. Jawa Timur: Universitas Bondowoso. Zakaria, Amar. K. 2010 (a). Dampak Penerapan Teknologi Usahatani Kedelai di Agrosistem Lahan Kering Terhadap pendapatan Petani. Agrika, Volume 4, No. 2, November 2010. P. 27 – 59. Malang: Universitas Widyagama. . 2010 (b). Kebijakan Pengembangan Budidaya Kedelai Menuju Swasembada melalui Partisipasi Petani. Analisis Kebijakan Pertanian: Volume 8 No. 3. September 2010, P. 259-272. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. . 2010 (c). Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Jurnal Litbang Pertanian, 29(4), P. 31 – 56. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Zakiah. 2010. Elastisitas Produksi dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Jurnal Agrisep. Vol. 11 No.2, P. 53-61. . 2011. Simulasi Dampak Kebijakan Produksi Terhadap Ketahan Pangan Kedelai. Sains Riset Volume 1 – No. 2, P. 49 - 72. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Zanetta, Chindy Ulima; Budi Waluyo dan Agung Karuniawan. 2013. Karakteristik Fisik dan Kandungan Kimia Galur–Galur Harapan Kedelai Hitam UNPAD Sebagai Bahan Baku Kecap. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian “Inovasi Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kedaulatan Pangan dan Peningkatan Perekonomian Masyarakat Pertanian yang diselenggarakan di Balitkabi Malang, 22 Mei 2013. Malang: Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman KacangKacangan dan Umbi-Umbian.
81
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Negara-Negara Produsen Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2012 Tahun
USA 18,47 30,67 48,92 52,42 75,01 85,01 87,00 80,75 90,61 82,05
Brazil 0,27 1,51 15,16 19,90 42,77 49,55 52,46 59,83 68,52 65,85
Argentina 0,0009 0,03 3,50 10,70 30,00 31,58 40,54 46,24 52,68 40,10
Negara China India 6,26 0,005 8,77 0,01 7,965 0,44 11,01 2,60 16,50 4,65 17,40 6,88 15,50 8,86 15,54 9,91 15,08 9,81 12,8 11,5
Paraguay 0,002 0,04 0,54 1,79 3,30 3,58 3,80 6,31 7,46 8,35
Canada 0,18 0,28 0,69 1,26 2,33 3,04 3,46 3,33 4,34 4,87
Lainnya 1,69 2,39 3,83 8,78 7,12 8,48 10,34 9,35 16,75 16,32
1,66
1,37
7,93
22,35
9,39
5,05
1961 1970 1980 1990 2002 2004 2006 2008 2010 2012 Rata-rata Produksi 53,04 20,88 11,97 10,97 2,94 (juta ton) Pertumbuhan rata3,93 13,5 44,9 2,22 19,56 rata (%) Negara yang berkontribusi dalam perkedelaian dunia ada 103 negara Total negara di dunia ada 237 negara Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
Lampiran 2a. Data Historis TAHUN 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978
PKN 426.300 396.800 350.200 391.700 409.500 416.900 415.900 419.932 388.907 497.883 515.644 518.229 541.040 589.239 589.831 521.777 522.821 616.599
LATKN 625.000 594.000 539.000 571.000 584.000 605.000 589.000 677.000 553.000 695.000 680.000 698.000 744.000 753.499 752.000 646.336 646.121 733.000
PRKN 0.682 0.668 0.650 0.686 0.701 0.689 0.706 0.620 0.703 0.716 0.758 0.742 0.727 0.782 0.784 0.807 0.809 0.841
HBKN 1.113 1.390 1.738 2.173 2.714 3.389 8.625 36.189 41.544 41.490 53.019 54.909 81.954 99.320 128.680 142.000 160.000 177.000
HKN 27.258 29.138 31.152 33.304 35.601 38.057 40.682 43.488 46.488 49.694 53.122 56.786 60.702 64.889 69.365 74.150 79.264 84.731
HJN 0.804 0.932 1.080 1.251 1.450 1.680 4.275 12.400 18.009 17.793 20.115 21.384 23.886 34.800 46.540 62.000 56.000 51.000
JKPU 9.844 12.152 15.000 46.000 46.000 41.000 44.000 42.100 39.300 45.267 48.185 53.682 56.194 95.255 182.600 168.500 376.700 666.953
82 1979 1980
679.825 652.762
784.489 732.000
0.867 0.892
259.856 306.394
90.576 96.823
69.000 90.000
841.025 920.533
HJN 110.000 125.000 125.000 141.250 166.670 141.000 178.250 196.394 207.414 231.800 267.948 247.700 273.352 339.510 394.087 477.614 499.048 868.854 1073.870 930.320 1230.540 1212.018 1255.018 1366.810 1338.403 1501.983 1707.971 2499.516 2730.707 2933.9 3579.35 4366.81 639.471
JKPU 929.543 896.276 1030.942 1236.900 1632.100 1713.900 1861.200 1912.200 2235.830 2323.200 2287.700 2277.000 2359.900 2433.000 2712.000 2852.000 2900.600 2831.100 2745.600 2749.900 2445.308 2762.861 5731.409 5848.655 5848.655 5654.692 5865.856 6213.292 7396.031 8816.07 10508.8 12526.4 2409.408
Lampiran 2a. Data Historis (lanjutan) TAHUN PKN LATKN PRKN HBKN HKN 1981 703.811 810.000 0.869 352.647 103.501 1982 521.394 607.788 0.858 376.407 110.640 1983 536.103 639.876 0.838 376.407 118.272 1984 769.384 859.000 0.896 425.340 126.429 1985 869.718 896.220 0.970 501.900 135.150 1986 1226.727 1253.767 0.978 566.400 144.472 1987 1160.963 1100.565 1.055 666.400 154.437 1988 1270.418 1177.400 1.079 748.899 165.089 1989 1315.113 1198.096 1.098 748.547 176.310 1990 1487.433 1334.100 1.115 855.822 188.471 1991 1555.453 1368.199 1.137 923.821 281.417 1992 1869.713 1665.000 1.123 893.839 268.781 1993 1708.530 1470.210 1.162 990.780 317.667 1994 1564.847 1406.920 1.112 1109.290 385.248 1995 1680.010 1477.432 1.137 1131.725 434.206 1996 1517.180 1273.290 1.192 1231.884 450.449 1997 1356.891 1119.079 1.213 1367.704 485.286 1998 1305.640 1095.070 1.192 2454.813 679.055 1999 1382.848 1151.079 1.201 2608.220 824.103 2000 1017.634 825.000 1.233 2268.290 906.305 2001 826.932 678.848 1.218 2663.080 1352.578 2002 673.056 544.522 1.236 3110.249 1438.723 2003 671.600 526.796 1.275 3278.278 1557.654 2004 723.483 565.155 1.280 3499.490 1689.040 2005 808.353 621.541 1.301 3893.734 1942.989 2006 747.611 580.534 1.288 3730.961 2549.582 2007 592.634 459.116 1.291 4300.021 2549.853 2008 776.491 591.899 1.312 6211.928 7022.728 2009 974.512 722.791 1.348 6588.062 8096.471 2010 907.031 660.823 1.373 8221.901 6712.67 2011 843.838 620.928 1.359 10260.933 7672.584 2012 851.647 567.871 1.500 12805.644 8769.764 rata-rata 847.669 828.276 1.001 1745.518 1132.985 Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2011
Lampiran 2b. Data Historis TAHUN 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967
JKTK 3.430 3.948 4.544 5.230 6.019 6.928 7.974
UBTK 1.145 1.334 1.555 1.812 2.112 2.462 2.869
KKN 381.890 352.110 308.889 348.700 365.210 345.454 361.042
PNPK 3 4 5 6 8 10 13
HKI 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
SKN 425.890 394.110 349.889 391.700 409.210 389.454 409.042
HKIN 95.566 96.629 97.704 98.790 99.889 101.000 91.000
83 1968 1969
9.178 10.563
3.344 3.897
364.616 347.158
16 21
0.000 0.000
411.616 388.158
89.000 86.000
SKN 493.930 515.189 515.357 505.141 585.241 607.603 692.969 611.911 747.097 856.443 753.640 1064.751 882.384 757.602 1170.408 1171.674 1586.481 1447.828 1736.360 1705.673 2028.413 2228.072 2559.798 2431.454 2365.046 2287.007 2262.791 1972.886 1648.721 2683.987 2293.687 1960.399 2037.009 1862.576 1838.879 1892.568 1874.348 2830.361 1948.010 2288.639 2407.648 2532.846 2664.554 1401.470
HKIN 105.000 111.000 161.000 209.000 244.000 181.000 250.000 216.000 245.000 231.000 279.000 223.000 210.000 288.000 215.000 186.000 176.000 216.000 273.000 209.000 211.000 205.000 204.000 235.000 201.000 247.000 247.000 238.000 181.000 170.000 167.000 161.000 203.000 270.000 211.000 208.000 236.000 371.000 366.000 347.000 415.000 430.000 448.920 212.625
Lampiran 2b. Data Historis (lanjutan) TAHUN JKTK UBTK KKN PNPK HKI 1970 12.158 4.541 440.930 24 0.000 1971 13.994 5.293 462.189 26 21.661 1972 16.106 6.168 462.357 31 43.716 1973 18.538 7.189 448.141 44 118.812 1974 21.336 8.378 523.241 69 86.667 1975 24.557 9.764 545.603 80 52.466 1976 28.264 11.380 628.969 97 118.367 1977 32.531 13.263 551.531 114 248.822 1978 37.442 15.457 678.877 130 284.625 1979 43.095 18.014 779.443 169 315.870 1980 61.270 26.172 683.640 246 328.397 1981 75.922 34.184 995.879 298 329.640 1982 83.621 34.623 821.384 362 268.698 1983 110.545 49.170 685.602 439 280.333 1984 93.155 42.800 1069.408 469 323.125 1985 99.868 46.631 1080.674 503 263.827 1986 124.248 56.938 1459.481 506 232.284 1987 137.644 61.992 1332.828 603 220.247 1988 160.031 82.386 1597.360 669 296.336 1989 169.140 85.735 1569.673 763 328.378 1990 159.002 69.743 1870.413 883 270.719 1991 197.649 106.288 2047.072 1004 273.461 1992 215.018 102.601 2369.798 1119 268.333 1993 247.838 133.304 2242.454 1445 272.316 1994 277.322 130.530 2190.046 1650 304.492 1995 247.499 109.007 2110.007 1961 297.320 1996 255.183 134.176 2093.791 2288 337.192 1997 457.572 234.040 1827.886 2624 335.306 1998 659.961 333.903 1527.721 4078 287.631 1999 659.961 333.903 2511.987 4478 231.754 2000 758.966 390.081 2133.687 5453 215.609 2001 887.990 460.296 1817.399 6973 210.593 2002 1056.709 552.355 1890.009 7508 219.168 2003 1278.617 673.873 1724.576 8018 277.095 2004 1572.699 835.603 1700.879 9111 373.952 2005 1965.874 1052.859 1751.568 11158 283.571 2006 2496.660 1347.660 1733.348 12752 264.612 2007 2496.950 1751.958 2679.361 14964 213.954 2008 3271.005 2312.584 1787.010 18975 594.992 2009 4317.727 3052.612 2117.639 20936 697.840 2010 5043.105 3629.555 2231.992 25245 482.640 2011 5890.346 4315.541 2352.519 30496 596.550 2012 6879.924 5131.178 2479.555 36839 544.773 rata-rata 821.440 535.274 1291.981 4532 231.080 Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2013
84
Lampiran 2c. Data Historis TAHUN 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
ER 1951.605 1951.605 1951.832 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1952.059 1950.224 1950.224 1950.224 2030.068 2087.171 2160.674 2248.609 2342.430 2909.389 10015.557 7856.084 8422.911 10262.351 9312.123 8577.389 8927.270 9695.553 9157.980
TIK 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
KIK 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.000 0.277 0.183 0.101 0.150 17.802 171.746 89.100 130.498 176.620 100.878 361.000 361.000 221.515 401.024 301.956 359.271 286.705 465.839 390.471 541.060 672.757 694.133 723.864 800.461 607.393 746.329 616.375 343.124 1301.760 1277.690 1136.420 1365.250 1192.720 1117.790 1086.180 1132.140
SK 44.000 42.000 41.000 43.000 44.000 44.000 48.000 47.000 41.000 53.000 53.000 53.000 57.000 62.000 62.000 64.000 60.380 68.220 77.000 70.000 68.872 61.000 72.000 101.000 91.000 127.000 115.000 139.000 136.000 158.000 181.000 190.000 189.000 175.000 177.000 169.000 145.000 121.000 172.000 160.000 143.000 147.000 138.000 138.000 141.000 141.000
KEK 0.410 2.690 0.311 0.000 0.290 27.446 6.860 8.316 0.749 3.953 0.732 3.055 36.000 4.148 0.030 0.554 0.010 0.000 0.002 0.000 0.060 0.010 0.016 0.000 0.000 0.000 0.000 0.038 0.151 0.240 0.265 3.911 0.746 0.031 0.083 0.240 0.006 0.000 0.016 0.521 1.188 0.235 0.433 1.300 0.876 4.633
85 2007 2008
9139.258 9698.560
5.000 5.000
2240.800 1173.100
151.000 161.000
1.872 1.025
Lampiran 2c. Data Historis (lanjutan) TAHUN ER TIK KIK SK KEK 2009 10324.498 5.000 4505.528 171.000 5.119 2010 10964.617 5.000 1740.510 178.508 3.850 2011 11644.423 5.000 2088.620 180.042 0.547 2012 12366.380 5.000 1914.561 178.915 0.466 rata-rata 4243.278 11 631.821 109.422 2.374 Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2013
Lampiran 3. Jenis Variabel Data dan Sumber Data NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
VARIABEL ENDOGEN Produksi Kedelai Nasional Luas Area Tanam Kedelai Nasional Produktivitas Kedelai Nasional Harga Kedelai Nasional Konsumsi Kedelai Nasional Harga Kedelai Impor Penawaran Kedelai Nasional Kuantitas Impor Kedelai VARIABEL ENDOGEN Harga Jagung Nasional Jumlah Kuantitas Pupuk Urea Upah Buruh Tani Kedelai Pendapatan Nasional Per Kapita Harga Kedelai Internasional Tarif Impor Kedelai Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar USA Stok Kedelai Nasional Kuantitas Ekspor Kedelai
KODE PKN LATKN PRKN HKN KKN HKI SKN KIK KODE HJN JKPU UBTK PNPK HKIN TIK ER SK KEK
SATUAN RIBU TON RIBU HA TON/HA RIBU RP/TON RIBU TON US $/TON RIBU TON RIBU TON RIBU RP/TON RIBU TON RIBU RP/HA RIBU RP./JIWA/TH US $/TON % RP/US $ RIBU TON RIBU TON
SUMBER DATA FAO FAO FAO FAO FAO FAO FAO FAO SUMBER DATA FAO Kementan Kementan FAO FAO Kemenkeu FAO FAO FAO
Lampiran 4. Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970
PKN 426.300 396.800 350.200 391.700 409.500 416.900 415.900 419.932 388.907 497.883
Pertumbuhan (%) -6.92 -11.74 11.85 4.54 1.81 -0.24 0.97 -7.39 28.02
KKN 381.890 352.110 308.889 348.700 365.210 345.454 361.042 364.616 347.158 440.930
Pertumbuhan (%) -7.80 -12.27 12.89 4.73 -5.41 4.51 0.99 -4.79 27.01
Neraca 44.410 44.690 41.311 43.000 44.290 71.446 54.858 55.316 41.749 56.953
Pertumbuhan (%) (%) 0.63 -7.56 4.09 3.00 61.31 -23.22 0.83 -24.53 36.42
86 1971
Lampiran 4.
515.644
3.57
462.189
4.82
Pertumbuhan Pertumbuhan KKN (%) (%) 1972 518.229 0.50 462.357 0.04 1973 541.040 4.40 448.141 -3.07 1974 589.239 8.91 523.241 16.76 1975 589.831 0.10 545.603 4.27 1976 521.777 -11.54 628.969 15.28 1977 522.821 0.20 551.531 -12.31 1978 616.599 17.94 678.877 23.09 1979 679.825 10.25 779.443 14.81 1980 652.762 -3.98 683.640 -12.29 1981 703.811 7.82 995.879 45.67 1982 521.394 -25.92 821.384 -17.52 1983 536.103 2.82 685.602 -16.53 1984 769.384 43.51 1069.408 55.98 1985 869.718 13.04 1080.674 1.05 1986 1226.727 41.05 1459.481 35.05 1987 1160.963 -5.36 1332.828 -8.68 1988 1270.418 9.43 1597.360 19.85 1989 1315.113 3.52 1569.673 -1.73 1990 1487.433 13.10 1870.413 19.16 1991 1555.453 4.57 2047.072 9.44 1992 1869.713 20.20 2369.798 15.77 1993 1708.530 -8.62 2242.454 -5.37 1994 1564.847 -8.41 2190.046 -2.34 1995 1680.010 7.36 2110.007 -3.65 1996 1517.180 -9.69 2093.791 -0.77 1997 1356.891 -10.56 1827.886 -12.70 1998 1305.640 -3.78 1527.721 -16.42 1999 1382.848 5.91 2511.987 64.43 2000 1017.634 -26.41 2133.687 -15.06 2001 826.932 -18.74 1817.399 -14.82 2002 673.056 -18.61 1890.009 4.00 2003 671.600 -0.22 1724.576 -8.75 2004 723.483 7.73 1700.879 -1.37 2005 808.353 11.73 1751.568 2.98 2006 747.611 -7.51 1733.348 -1.04 2007 592.634 -20.73 2679.361 54.58 2008 776.491 31.02 1787.010 -33.30 2009 974.512 25.50 2117.639 18.50 2010 907.031 -6.92 2231.992 5.40 2011 843.838 -6.97 2352.519 5.40 2012 851.647 0.93 2479.555 5.40 Rata-rata (%) 847.669 2.39 1291.981 5.37 perbandingan produksi thd konsumsi 65.61 Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah Tahun
53.455
-6.14
Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional (lanjutan) PKN
Neraca 55.872 92.899 65.998 44.228 -107.192 -28.710 -62.278 -99.618 -30.878 -292.068 -299.990 -149.499 -300.024 -210.956 -232.754 -171.865 -326.942 -254.560 -382.980 -491.619 -500.085 -533.924 -625.199 -429.997 -576.611 -470.995 -222.081 -1129.139 -1116.053 -990.467 -1216.953 -1052.976 -977.396 -943.215 -985.737 -2086.727 -1010.519 -1143.127 -1324.961 -1508.681 -1627.908 -444.312
Pertumbuhan (%) 4.52 66.27 -28.96 -32.99 -342.36 -73.22 116.92 59.96 -69.00 845.88 2.71 -50.17 100.69 -29.69 10.33 -26.16 90.23 -22.14 50.45 28.37 1.72 6.77 17.10 -31.22 34.10 -18.32 -52.85 408.44 -1.16 -11.25 22.87 -13.47 -7.18 -3.50 4.51 111.69 -51.57 13.12 15.91 13.87 7.90 23.80
87
Lampiran 5a. Laju Pertumbuhan Data Historis Tahun 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PKN (%) -6.920 -11.744 11.850 4.544 1.807 -0.240 0.969 -7.388 28.021 3.567 0.501 4.402 8.909 0.100 -11.538 0.200 17.937 10.254 -3.981 7.820 -25.918 2.821 43.514 13.041 41.049 -5.361 9.428 3.518 13.103 4.573 20.204 -8.621 -8.410 7.359 -9.692 -10.565 -3.777 5.913 -26.410 -18.740 -18.608 -0.216 7.725 11.731 -7.514
LATKN (%) -4.960 -9.259 5.937 2.277 3.596 -2.645 14.941 -18.316 25.678 -2.158 2.647 6.590 1.277 -0.199 -14.051 -0.033 13.446 7.024 -6.691 10.656 -24.964 5.279 34.245 4.333 39.895 -12.219 6.981 1.758 11.352 2.556 21.693 -11.699 -4.305 5.012 -13.817 -12.111 -2.145 5.115 -28.328 -17.715 -19.787 -3.255 7.282 9.977 -6.598
PRKN (%) -2.062 -2.738 5.582 2.217 -1.727 2.470 -12.155 13.378 1.864 5.852 -2.090 -2.053 7.536 0.300 2.924 0.233 3.958 3.018 2.904 -2.562 -1.271 -2.335 6.905 8.346 0.825 7.813 2.287 1.730 1.573 1.967 -1.224 3.486 -4.290 2.236 4.787 1.759 -1.667 0.760 2.676 -1.245 1.470 3.141 0.414 1.595 -0.981
HBKN (%) 24.936 25.029 25.016 24.871 24.880 154.500 319.583 14.797 -0.130 27.787 3.565 49.254 21.190 29.561 10.351 12.676 10.625 46.811 17.909 15.096 6.738 0.000 13.000 18.000 12.851 17.655 12.380 -0.047 14.331 7.945 -3.245 10.845 11.961 2.022 8.850 11.025 79.484 6.249 -13.033 17.405 16.791 5.402 6.748 11.266 -4.180
HKN (%) 6.897 6.910 6.910 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.897 6.797 6.897 49.316 -4.490 18.188 21.274 12.708 3.741 7.734 39.929 21.360 9.975 49.241 6.369 8.266 8.435 15.035 31.220
JKPU (%) 23.436 23.442 206.667 0.000 -10.870 7.317 -4.318 -6.651 15.183 6.446 11.408 4.679 69.511 91.696 -7.722 123.561 77.051 26.100 9.454 0.979 -3.579 15.025 19.978 31.951 5.012 8.594 2.740 16.924 3.908 -1.528 -0.468 3.641 3.098 11.467 5.162 1.704 -2.396 -3.020 0.157 -11.076 12.986 107.445 2.046 0.000 -3.316
88 2007 2008
-20.730 31.024
-20.915 28.921
0.234 1.631
15.252 44.463
0.011 175.417
3.734 5.923
Lampiran 5a. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan) PKN LATKN PRKN HBKN 2009 25.502 22.114 2.775 6.055 2010 -6.92 -8.57 1.81 24.80 2011 -6.97 -6.04 -0.99 24.80 2012 0.93 -8.54 10.35 24.80 rata-rata (%) 2.393 0.809 1.636 24.881 Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah Tahun
HKN 15.290 -17.09 14.30 14.30 13.735
JKPU 19.036 8.51 0.00 0.00 2.160
Lampiran 5b. Laju Pertumbuhan Data Historis Tahun 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
JKTK (%) 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 15.096 42.176 23.913 10.140 32.197 -15.731 7.206 24.412 10.781 16.265 5.692 -5.994 24.306 8.787 15.264 11.896 -10.754
UBTK (%) 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 16.544 45.288 30.613 1.284 42.015 -12.955 8.951 22.103 8.876 32.898 4.065 -18.653 52.400 -3.469 29.925 -2.081 -16.489
KKN (%) -7.798 -12.275 12.888 4.735 -5.409 4.512 0.990 -4.788 27.011 4.821 0.036 -3.075 16.758 4.274 15.280 -12.312 23.090 14.814 -12.291 45.673 -17.522 -16.531 55.981 1.053 35.053 -8.678 19.847 -1.733 19.159 9.445 15.765 -5.374 -2.337 -3.655
PNPK (%) 28.168 28.320 28.179 28.151 28.205 28.130 28.146 25.448 18.480 6.826 19.393 41.554 57.400 15.767 21.524 16.825 14.002 30.674 45.321 21.164 21.203 21.259 6.970 7.278 0.614 19.129 10.865 14.130 15.688 13.736 11.400 29.121 14.186 18.857
HKI (%) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 101.821 171.782 -27.056 -39.462 125.606 110.213 14.389 10.978 3.966 0.379 -18.487 4.330 15.265 -18.352 -11.956 -5.182 34.547 10.813 -17.559 1.013 -1.875 1.484 11.816 -2.355
SKN (%) -7.462 -11.220 11.950 4.470 -4.828 5.030 0.629 -5.699 27.250 4.304 0.033 -1.982 15.857 3.821 14.050 -11.697 22.092 14.636 -12.003 41.281 -17.128 -14.141 54.489 0.108 35.403 -8.740 19.929 -1.767 18.922 9.843 14.888 -5.014 -2.731 -3.300
89 1996 1997
3.105 79.311
23.089 74.427
-0.769 -12.700
16.696 14.682
13.410 -0.559
-1.059 -12.812
Lampiran 5b. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan) JKTK UBTK KKN 1998 44.231 42.670 -16.421 1999 0.000 0.000 64.427 2000 15.002 16.825 -15.060 2001 17.000 18.000 -14.824 2002 19.000 20.000 3.995 2003 21.000 22.000 -8.753 2004 23.000 24.000 -1.374 2005 25.000 26.000 2.980 2006 27.000 28.000 -1.040 2007 0.012 30.000 54.577 2008 31.000 32.000 -33.305 2009 32.000 32.000 18.502 2010 16.80 18.90 5.40 2011 16.80 18.90 5.40 2012 16.80 18.90 5.40 rata-rata (%) 16.850 18.986 5.370 Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah Tahun
PNPK 55.427 9.796 21.777 27.883 7.670 6.792 13.629 22.470 14.285 17.353 26.803 10.333 20.58 20.80 20.80 20.861
HKI -14.218 -19.427 -6.967 -2.326 4.072 26.431 34.954 -24.169 -6.686 -19.144 178.093 17.286 -30.84 23.60 -8.68 12.568
SKN -16.431 62.792 -14.542 -14.531 3.908 -8.563 -1.272 2.920 -0.963 51.005 -31.175 17.486 5.20 5.20 5.20 5.169
Lampiran 5c. Laju Pertumbuhan Data Historis Tahun 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
HKIN (%) 1.112 1.112 1.112 1.112 1.112 -9.901 -2.198 -3.371 22.093 5.714 45.045 29.814 16.746 -25.820 38.122 -13.600 13.426 -5.714 20.779 -20.072 -5.830 37.143 -25.347
ER (%) 0.000 0.012 0.012 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
TIK (%) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -25.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -33.333 0.000 0.000 0.000
KIK (%) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -33.935 -44.809 48.515 11768.000 864.757 -48.121 46.462 35.343 -42.884 257.858 0.000 -38.639 81.037
SK (%) -4.545 -2.381 4.878 2.326 0.000 9.091 -2.083 -12.766 29.268 0.000 0.000 7.547 8.772 0.000 3.226 -5.656 12.984 12.870 -9.091 -1.611 -11.430 18.033 40.278
KEK (%) 556.1 -88.439 -100 100 9364.1 -75.005 21.224 -90.993 427.77 -81.482 317.35 1078.4 -88.478 -99.277 1746.7 -98.195 -100 100 -100 100 -83.333 60 -100
90 1985 1986
-13.488 -5.376
0.000 0.000
0.000 0.000
-24.704 18.981
-9.901 39.560
0 0
Lampiran 5c. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan) Tahun
HKIN ER TIK 1987 22.727 0.000 0.000 1988 26.389 0.000 0.000 1989 -23.443 -0.094 0.000 1990 0.957 0.000 0.000 1991 -2.844 0.000 0.000 1992 -0.488 4.094 0.000 1993 15.196 2.813 0.000 1994 -14.468 3.522 0.000 1995 22.886 4.070 -50.000 1996 0.000 4.172 0.000 1997 -3.644 24.204 0.000 1998 -23.950 244.249 0.000 1999 -6.077 -21.561 0.000 2000 -1.765 7.215 0.000 2001 -3.593 21.839 0.000 2002 26.087 -9.259 0.000 2003 33.005 -7.890 0.000 2004 -21.852 4.079 0.000 2005 -1.422 8.606 0.000 2006 13.462 -5.545 0.000 2007 57.203 -0.204 0.000 2008 -1.348 6.120 0.000 2009 -5.191 6.454 0.000 2010 19.60 6.20 0.00 2011 3.61 6.20 0.00 2012 4.40 6.20 0.00 rata-rata (%) 4.690 6.186 -2.124 Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
KIK -20.198 62.480 -16.179 38.566 24.341 3.177 4.283 10.582 -24.120 22.874 -17.412 -44.332 279.385 -1.849 -11.057 20.136 -12.637 -6.282 -2.828 4.231 97.926 -47.648 284.070 -61.37 20.00 -8.33 264.425
SK -9.449 20.870 -2.158 16.176 14.557 4.972 -0.526 -7.407 1.143 -4.520 -14.201 -16.552 42.149 -6.977 -10.625 2.797 -6.122 0.000 2.174 0.000 7.092 6.623 6.211 4.39 0.86 -0.63 3.534
KEK 0 100 297.37 58.94 10.417 1375.8 -80.926 -95.845 167.74 189.16 -97.5 -100 100 3156.3 128.02 -80.219 84.255 200.23 -32.615 428.88 -59.594 -45.246 399.41 -24.79 -85.79 -14.81 367.561
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model Alternatif respesifikasi ke – 1 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -1.112
100% 100% bagus
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat KKN
4/5 4/5 98% -1.28
80% 80% 0.98 bagus
rangking 10 10 9 10 9.75 rangking 8 8 10 10 9 rangking
91 kesesuaian signifikansi
5/6 5/6
83% 83%
9 9
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan) R2 adj Durbin-H stat
95% -3.275
ada +/-
HKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/7 3/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
57% 43%
95% -26.606
ada +/-
HKI 67% 83% 88% 0.563
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.715
Alternatif respesifikasi ke – 2 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -1.112
bagus
100% 100% bagus
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 6/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/7 2/7
80% 80%
98% -1.303
bagus
KKN 100% 100%
97% -4.415
ada +/-
HKN 57% 29% 95% 176.5
ada+/-
10 0 7 rangking 6 5 10 0 5.25 rangking 7 9 9 10 8.75 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 10 9.75 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 10 10 0 7.5 rangking 6 3 10 0
92 4.75 rangking
HKI
Lampiran
6a.
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
2/3 2/3
83% 83% 92% 1.152
bagus
KIK 67% 67% 73% 2.74
Alternatif respesifikasi ke – 3 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.686
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/7 3/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj
3/3 2/3
100% 80% 98% 1.27
bagus
KKN 83% 83%
95% -3.328
ada+/-
HKN 57% 43%
95% -26.786
ada+/-
HKI 67% 83% 87% 0.523
bagus
KIK 100% 67% 73%
9 9 10 10 9.5 rangking 7 7 8 10 8 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 10 8 10 10 9.5 rangking 9 9 10 0 7 rangking 6 5 10 0 5.25 rangking 7 9 9 10 8.75 rangking 10 7 8
93 Durbin-W stat
2.716
bagus
10 8.75
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan) Alternatif respesifikasi ke – 4 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.686
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 6/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/7 3/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
2/3 2/3
80% 80%
98% -1.291
bagus
KKN 100% 100%
97% -4.398
bagus
HKN 57% 43%
95% -27.236
ada+/-
HKI 83% 83% 87% -0.33
bagus
KIK 67% 67% 73% 2.74
Alternatif respesifikasi ke – 5 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.669
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian
4/5
80%
rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 10 10 0 7.5 rangking 6 5 10 0 5.25 rangking 9 9 9 10 9.25 rangking 7 7 8 10 8 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8
94 signifikansi R2 adj
Lampiran
6a.
4/5
80% 98%
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
Durbin-H stat
-1.282
bagus
KKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
3/7 3/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
83% 83%
95% -3.275
ada +/-
HKN 43% 43%
95% -26.606
ada+/-
HKI 67% 83% 88% 0.57
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.691
Alternatif respesifikasi ke – 6 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4669
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 6/6
98% -1.303
80% 80% bagus
KKN
HKN
8 10
97% -4.415
100% 100% bagus
10 9 rangking 9 5 10 0 6 rangking 5 5 10 0 5 rangking 7 9 9 10 8.75 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 5 4 10 0 4.75 rangking
95 kesesuaian signifikansi
Lampiran
6a.
4/7 2/7
57% 29%
6 3
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
R2 adj Durbin-H stat
95% -27.026
ada+/-
HKI kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
83% 83% 88% 1.152
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.689
Alternatif respesifikasi ke – 7 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.686
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/7 3/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 5/6
100% 80% 98% -1.27
bagus
KKN 83% 83%
95% -3.328
ada +/-
HKN 57% 43%
95% -26.786
ada +/-
HKI 67% 83% 87% 0.523
bagus
10 0 4.75 rangking 9 9 9 10 9.25 rangking 5 7 8 10 7.5 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 10 8 10 10 9.5 rangking 9 9 10 0 7 rangking 6 5 10 0 5.25 rangking 7 9 9 10 8.75
96 KIK kesesuaian
Lampiran
6a.
3/3
100%
rangking 10
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi R2 adj Durbin-W stat
2/3
67% 73% 2.69
Alternatif respesifikasi ke – 8 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.775
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 6/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
7/7 5/7
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
80% 80%
98% -1.287
bagus
KKN 100% 100%
97% -5.848
ada +/-
HKN 100% 71%
95% -14.878
ada +/-
HKI 83% 83% 87% 0.973
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.682
Alternatif respesifikasi ke – 9 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86%
bagus
100% 100%
7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 10 10 0 7.5 rangking 10 8 10 0 7 rangking 9 9 9 10 9.25 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9
97 Durbin-H stat
Lampiran
6a.
-4.704
ada +/-
0 7.25
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
PRKN
rangking kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
2/5 3/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
80% 80%
98% -1.303
bagus
KKN 100% 83%
97% -5.286
ada +/-
HKN 40% 60% 95% 1.014
ada +/-
HKI 100% 75%
85% -0.392
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.685
Alternatif respesifikasi ke – 10 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.722
ada +/-
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi
6/6 5/6
98% -1.299
80% 80% bagus
KKN 100% 83%
8 8 10 10 9 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 4 6 10 0 5 rangking 10 8 9 10 9.25 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 9
98 R2 adj Durbin-H stat
Lampiran
6a.
97% -5.998
ada +/-
10 0
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
HKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
3/5 5/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
60% 100% 96% 1.808
ada +/-
HKI 100% 75%
84% -0.688
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.688
Alternatif respesifikasi ke – 11 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.704
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
3/6 4/6
kesesuaian
4/4
98% -1.303
80% 80% bagus
KKN
97% -5.286
100% 83% ada +/-
HKN
95% -33.63
50% 67% ada +/-
HKI 100%
7.25 rangking 6 10 10 0 6.5 rangking 10 8 9 10 9.25 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 5 7 10 0 5.5 rangking 10
99 signifikansi R2 adj
Lampiran
6a.
¾
75% 85%
8 9
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
Durbin-H stat
-0.397
bagus
KIK kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
100% 67% 73% 2.685
Alternatif respesifikasi ke – 12 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.722
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 4/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
80% 80%
98% -1.299
bagus
KKN 100% 83%
97% -5.998
ada +/-
HKN 67% 67%
96% -53.85
ada +/-
HKI 100% 75%
84% -0.688
bagus
KIK
Alternatif respesifikasi ke – 13
100% 67% 73% 2.688
bagus
10 9.25 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 7 7 10 0 6 rangking 10 8 9 10 9.25 rangking 5 7 8 10 7.5
100 LATKN kesesuaian
Lampiran
6a.
4/4
100%
rangking 10
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
2/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
100%
86% -4.722
ada +/-
PRKN 80% 80%
98% -1.299
bagus
KKN 100% 83%
97% -5.998
ada +/-
HKN 40% 80% 92% 6.43
ada +/-
HKI 100% 75%
84% -0.688
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.688
Alternatif respesifikasi ke – 14 LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -4.722
bagus
100% 100% ada +/-
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5 98% -1.299
80% 80% bagus
10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 4 8 10 0 5.5 rangking 10 8 10 10 9.5 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 8 8 10 10
101 9 KKN
rangking
Lampiran
6a.
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 6/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
100% 83%
97% -5.998
ada +/-
HKN 100% 100%
88% -13.24
ada +/-
HKI 100% 75%
84% -0.688
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.688
Alternatif respesifikasi ke – A LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -1.112
bagus
100% 100% bagus
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/5 4/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj
5/6 4/6
98% -1.28
80% 80% 0.98 bagus
KKN 100% 83%
97% -3.432
ada +/-
HKN 83% 67% 92%
10 9 10 0 7.25 rangking 10 10 9 0 7.25 rangking 10 8 9 10 9.25 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 10 9.75 rangking 8 8 10 10 9 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 9 7 10
102 Durbin-H stat
Lampiran
6a.
-10.839
ada +/-
0 6.5
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan)
HKI
rangking kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-W stat
3/3 2/3
67% 83% 88% 0.57
bagus
KIK 100% 67% 73% 2.715
Alternatif respesifikasi ke – B LATKN kesesuaian 4/4 signifikansi 4/4 R2 adj 86% Durbin-H stat -1.112
bagus
100% 100% bagus
PRKN kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 4/4
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
6/6 5/6
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
5/5 5/5
kesesuaian signifikansi R2 adj Durbin-H stat
4/4 ¾
kesesuaian signifikansi
3/3 2/3
100% 100% 98% -1.27
bagus
KKN 100% 83%
97% -3.432
ada +/-
HKN 100% 100% 92% 3.973
ada +/-
HKI
85% -0.397
100% 75% bagus
KIK 100% 67%
7 9 9 10 8.75 rangking 10 7 8 10 8.75 rangking 10 10 9 10 9.75 rangking 10 10 9 10 9.75 rangking 10 9 10 0 7.25 rangking 10 10 10 0 7.5 rangking 10 8 9 10 9.25 rangking 10 7
103 R2 adj Durbin-W stat
Lampiran
6a.
73% 2.715
8 10
bagus
Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model (lanjutan) 8.75
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 6b. Rekapitulasi Perangkingan* Hasil Respesifikasi Model model/respesi fikasi ke-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
9.8 9.8 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 LATKN 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 PRKN 7.0 7.5 7.0 7.5 6.0 4.8 7.0 7.5 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 KKN 5.3 4.8 5.3 5.3 5.0 4.8 5.3 7.0 5.0 6.5 5.5 6.0 5.5 7.3 HKN 8.8 9.5 8.8 9.3 8.8 9.3 8.8 9.3 9.3 9.3 9.3 9.3 9.5 9.3 HKI 8.8 8.0 8.8 8.0 8.8 7.5 8.8 8.8 8.8 8.8 8.8 7.5 8.8 8.8 KIK 8.1 8.1 7.8 7.7 7.5 7.1 7.8 8.1 7.8 8.0 7.8 7.7 7.9 8.1 rata-rata keterangan warna abu-abu adalah model terpilih dari nilai rangking respesifikasi yang paling bagus, yang kemudian untuk dikombinasikan kembali 1. LATKN 1, karena nilai signifikansinya ada yang lebih kecil pada variabel HJN 2. PRKN terpilih 1, karena niai Dh-stat paling kecil, variabel lainnya sama 3. KKN 2, nilai rangking paling tinggi 4. HKN 14 paling bagus kriterianya 5. HKI 2 paling banya variabel penjelasnya dan paling tinggi rangking nya 6. KIK 1 & 14 semua variabel sama, dipilih 1 karena variabel eksogen yang dipilih HKI, bukan LHKI kombinasi hasil respesifikasi ke 1, 2, dan 14 menjadi 2 bagian respesifikasi sebagai berikut: B respesifikasi ke- A
model 9.75 9.75 9.00 9.75 7.25 7.25 6.50 7.50 8.75 9.25 8.75 8.75 8.33 8.71 B, model terpilih Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah * perangkingan berdasarkan kriteria kesesuaian tanda pada slope, nilai Pr>[T], nilai Dh atau Dwstat dan R2adj
LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK rata-rata
Lampiran 7. Nilai U-Theil Nilai U-Theil Simulasi Dasar
104 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE ® (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 14220.3 0.92 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.1344 0.0675 PRKN 51 0.00119 0.99 0.06 0.11 0.83 0.07 0.86 0.0333 0.0166
Lampiran 7. Nilai U-Theil (lanjutan) KKN 51 44249.4 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1390 0.0696 HKN 51 376882 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.2432 0.1230 HKI 51 4550.4 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2340 0.1184 KIK 51 170839 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4001 0.2090 PKN 51 16590.9 0.95 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1355 0.0678 SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137
Nilai U-Theil Simulasi Pertama, LATKN naik 7 persen Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE ® (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728 PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167 KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704 HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237 HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186 KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101 PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749 SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129
Nilai U-Theil Simulasi Kedua Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE ® (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733 PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169 KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760 HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949 HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680 KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161 PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779 SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295
Nilai U-Theil Simulasi Ketiga Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE ® (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835 PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171 KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927 HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356 HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227 KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246 PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967 SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih Model LATKN The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LATKN Dependent Variabel LATKN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 4166144 1041536 76.82 <.0001
105 Error 46 623697.6 13558.64 Corrected Total 50 4818002 Root MSE 116.44159 R‐Square 0.86979 Dependent Mean 832.26196 Adj R‐Sq 0.85846 Coeff Var 13.99098 Parameter Estimates
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan) Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 62.32692 52.41442 1.19 0.2405 HKN 1 0.067987 0.031263 2.17 0.0348 HJN 1 ‐0.21281 0.088509 ‐2.40 0.0203 TREN 1 3.755558 2.593729 1.45 0.1544 LLATKN 1 0.874492 0.070693 12.37 <.0001 Durbin‐Watson 2.264958 Number of Observations 51 First‐Order Autocorrelation ‐0.14102
Model PRKN The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PRKN Dependent Variabel PRKN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2.951034 0.737758 666.98 <.0001 Error 46 0.050881 0.001106 Corrected Total 50 3.001442 Root MSE 0.03326 R‐Square 0.98305 Dependent Mean 1.00759 Adj R‐Sq 0.98158 Coeff Var 3.30078 Parameter Estimates Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.116511 0.042556 2.74 0.0088 JKPU 1 0.000025 9.676E‐6 2.57 0.0136 LUBTK 1 ‐0.00003 0.000020 ‐1.43 0.1607 LATKN 1 0.000033 0.000020 1.66 0.1047 LPRKN 1 0.822145 0.062444 13.17 <.0001 Durbin‐Watson 2.308117 Number of Observations 51 First‐Order Autocorrelation ‐0.19511
Model HKI The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model HKI Dependent Variabel HKI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1206294 301573.6 70.08 <.0001 Error 46 197959.0 4303.457 Corrected Total 50 1407957 Root MSE 65.60074 R‐Square 0.85903 Dependent Mean 235.61067 Adj R‐Sq 0.84677 Coeff Var 27.84286 Parameter Estimates Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐17.5811 36.14529 ‐0.49 0.6290 HKIN 1 0.529315 0.207806 2.55 0.0143 HKN 1 0.012844 0.008636 1.49 0.1438 ER 1 ‐0.00283 0.004317 ‐0.66 0.5154 LHKI 1 0.607902 0.094547 6.43 <.0001 Durbin‐Watson 2.081249 Number of Observations 51
106 First‐Order Autocorrelation ‐0.07639
Model KIK The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan) Model KIK Dependent Variabel KIK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 25060498 8353499 46.50 <.0001 Error 47 8443344 179645.6 Corrected Total 50 33259111 Root MSE 423.84621 R‐Square 0.74799 Dependent Mean 644.20969 Adj R‐Sq 0.73190 Coeff Var 65.79321 Parameter Estimates Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 970.7603 330.9181 2.93 0.0052 HKN 1 0.221376 0.039810 5.56 <.0001 TIK 1 ‐53.7138 17.57710 ‐3.06 0.0037 HKI 1 0.032397 0.754336 0.04 0.9659 Durbin‐Watson 2.715187 Number of Observations 51 First‐Order Autocorrelation ‐0.39117
Model KKN The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KKN Dependent Variabel KKN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 27684609 4614102 238.36 <.0001 Error 44 851733.3 19357.57 Corrected Total 50 29318809 Root MSE 139.13150 R‐Square 0.97015 Dependent Mean 1309.82561 Adj R‐Sq 0.96608 Coeff Var 10.62214 Parameter Estimates Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐39.3390 47.61689 ‐0.83 0.4132 HKN 1 ‐0.24616 0.041545 ‐5.93 <.0001 SKN 1 0.639167 0.093363 6.85 <.0001 LPNPK 1 0.089962 0.012888 6.98 <.0001 HKI 1 0.149264 0.248111 0.60 0.5505 KIK 1 ‐0.40174 0.107601 ‐3.73 0.0005 LKKN 1 0.376952 0.065396 5.76 <.0001 Durbin‐Watson 2.205933 Number of Observations 51 First‐Order Autocorrelation ‐0.11599
Model HKN The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model HKN Dependent Variabel HKN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 2.396E8 47920272 119.04 <.0001 Error 45 18114847 402552.2 Corrected Total 50 2.5694E8 Root MSE 634.46999 R‐Square 0.92971
107 Dependent Mean 1154.66545 Adj R‐Sq 0.92190 Coeff Var 54.94838 Parameter Estimates Parameter Standard Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 66.48659 215.0266 0.31 0.7586
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan) KKN 1 0.425862 0.361028 1.18 0.2444 HKI 1 3.055597 1.010912 3.02 0.0041 SKN 1 ‐1.07671 0.467576 ‐2.30 0.0260 KIK 1 1.129197 0.453400 2.49 0.0165 LHKN 1 0.828689 0.091379 9.07 <.0001 Durbin‐Watson 1.825687 Number of Observations 51 First‐Order Autocorrelation 0.074224
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
Lampiran 8b. Hasil Output SAS Peramalan The SAS System Obs _TYPE_ _LEAD_ LATKN PRKN KKN HKN HKI 52 ACTUAL 0 567.871 1.5 2479.555 8769.764 544.773 53 FORECAST 1 636.61816505 1.4772772703 2626.3947377 6646.166894 528.42543317 54 FORECAST 2 707.92232937 1.4712920334 2738.8033561 5706.4600459 520.40934547 55 FORECAST 3 793.71182401 1.4748164169 2866.6297635 5788.1251944 518.01023946 56 FORECAST 4 854.82171174 1.4837438127 2678.3857051 5043.8527573 519.39803403 57 FORECAST 5 893.12883826 1.4957409991 2962.3633404 4234.5668371 523.33891083 58 FORECAST 6 939.10951252 1.5094823262 2930.1392634 4749.9240608 529.00104455 59 FORECAST 7 988.9489552 1.5242146092 3005.5110302 4955.682469 535.8236287 60 FORECAST 8 1044.3776635 1.5395099163 3012.377 4830.1616483 543.42857439 Obs KIK PKN SKN HJN TREN LLATKN JKBKN 52 1914.561 851.8065 2944.8165 4366.811 52 620.93 51 53 1926.481323 933.69939689 3200.1867213 3909.9781786 53 705.11 53.917612511 54 1881.3418653 1024.7214426 3184.3539996 3560.1824785 54 775.55 55.522077167 55 1911.4732384 1139.761144 3309.9273417 3294.8855642 55 849.07 57.684644309 56 1918.5104878 1222.5496299 3344.7333286 3096.2948983 56 938.57 58.639141897 57 1956.0125208 1272.3337345 3426.8656988 2950.3644396 57 1001.51 60.374374097 58 1984.1675402 1333.7440678 3478.6196642 2846.0057602 58 1039.99 61.881752545 59 2024.6527416 1405.6601547 3546.213025 2774.4652735 59 1087.08 62.876414149 60 2061.354874 1475.9655824 3603.6392121 2728.832597 60 1138.62 63.862768127 Obs JKPU LUBTK LPRKN LPNPK LKIK LKKN LHKN UBTK 52 12526.435 4315.54 1.35900 30496.00 2088.62 2352.52 7672.58 5131.178 53 11125.387452 3791.33 1.38432 27495.78 1750.26 2499.81 5438.02 4556.819083 54 10133.275302 3380.58 1.40644 25122.77 1915.95 2634.11 4434.08 4099.4457765 55 9443.1341571 3060.56 1.42644 23259.52 1804.32 2748.58 4522.48 3737.1275766 56 8975.9780813 2813.07 1.44503 21810.54 1896.32 2872.91 3714.23 3452.0451429 57 8673.4813279 2623.58 1.46269 20698.24 1876.28 2684.10 4330.44 3229.7196069 58 8492.5742962 2480.46 1.47973 19859.58 1938.50 2966.56 4610.60 3058.3863559 59 8401.4530122 2374.42 1.49636 19243.29 1955.47 2933.52 4503.83 2928.4862099 60 8376.6324023 2298.02 1.51272 18807.72 2005.67 3008.10 4820.29 2832.2519838 Obs HBKN HKIN LHKI ER TIK 52 12805.644 448.92 596.550 12366.377 5 53 11060.121207 417.41157934 555.647 12012.149111 3.8005705349 54 9786.0145981 396.11657601 531.870 11749.558969 2.8420905085 55 8865.365261 382.12462911 519.346 11563.211287 2.0556549631 56 8209.7302522 373.35469864 514.216 11440.297209 1.3920638767 57 7752.7970376 368.31874665 513.945 11370.159789 0.8161870897 58 7444.845968 365.95275856 516.866 11343.932464 0.3029407084 59 7248.5983664 365.4959157 521.885 11354.238269 ‐0.165585852 60 7136.1035174 366.40419822 528.283 11394.93958 ‐0.60218124
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan
108
Simulasi Kebijakan Dasar The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan) Endogenous 8 Parameters 32 Equations 8 Number of Statements 8 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary Variabels Solved 8 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 8.037E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 103 Average Iterations 2.019608 Observations Processed Read 52 Solved 51 Failed 1 Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 831.4 290.4 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0163 0.2543 KKN 51 51 1309.8 765.8 1313.2 750.5 HKN 51 51 1154.7 2266.9 1149.3 2206.7 HKI 51 51 235.6 167.8 234.9 156.6 KIK 51 51 644.2 815.6 642.5 699.7 PKN 51 51 855.9 417.1 860.1 404.7 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1610.8 950.8 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 ‐0.8716 1.3982 87.5360 10.9048 119.2 14.8383 0.8495 PRKN 51 0.00875 0.8006 0.0260 2.7366 0.0345 3.7941 0.9798 KKN 51 3.3658 3.1132 148.6 11.9861 210.4 14.1782 0.9230 HKN 51 ‐5.3987 ‐23.7221 319.3 193.3 613.9 284.7 0.9252 HKI 51 ‐0.6663 . 43.5109 . 67.4565 . 0.8352 KIK 51 ‐1.7443 . 260.5 . 413.3 . 0.7380 PKN 51 4.1451 2.1251 91.4071 10.6301 128.8 14.9267 0.9027 SKN 51 2.4008 2.2174 267.1 19.4529 430.1 23.5489 0.8299 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 14220.3 0.92 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.1344 0.0675 PRKN 51 0.00119 0.99 0.06 0.11 0.83 0.07 0.86 0.0333 0.0166 KKN 51 44249.4 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1390 0.0696 HKN 51 376882 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.2432 0.1230 HKI 51 4550.4 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2340 0.1184 KIK 51 170839 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4001 0.2090 PKN 51 16590.9 0.95 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1355 0.0678
109 SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan) LATKN 50 0.0226 0.20 0.00 0.11 0.88 0.19 0.81 1.0402 0.6706 PRKN 50 0.00138 0.41 0.03 0.01 0.97 0.32 0.66 0.8547 0.5050 KKN 50 0.0276 0.53 0.00 0.00 1.00 0.37 0.63 0.8174 0.5242 HKN 50 8.5316 0.01 0.00 0.99 0.01 0.82 0.17 10.0229 0.9126 HKI 50 . . . . . . . . . KIK 50 . . . . . . . . . PKN 50 0.0234 0.21 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 1.0182 0.6474 SKN 50 0.0744 0.54 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.8788 0.4721 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Pertama, Jika LATKN Naik 7 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8 Endogenous 8 Parameters 32 Equations 8 Number of Statements 8 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary Variabels Solved 8 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 8.822E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 103 Average Iterations 2.019608 Observations Processed Read 52 Solved 51 Failed 1 Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 886.3 309.3 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0180 0.2544 KKN 51 51 1309.8 765.8 1359.1 766.3 HKN 51 51 1154.7 2266.9 1103.8 2206.7 HKI 51 51 235.6 167.8 234.4 156.5 KIK 51 51 644.2 815.6 632.4 698.5 PKN 51 51 855.9 417.1 918.3 432.0 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1659.0 965.8 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 54.0151 8.1007 101.6 13.2273 132.9 17.7099 0.8131 PRKN 51 0.0104 0.9697 0.0262 2.7540 0.0349 3.8259 0.9793 KKN 51 49.3089 7.4050 162.6 14.0251 216.2 16.3953 0.9187
110 HKN 51 ‐50.8998 ‐53.8822 327.4 200.2 614.8 297.4 0.9250 HKI 51 ‐1.2578 . 43.6233 . 67.4927 . 0.8350 KIK 51 ‐11.8190 . 258.8 . 413.9 . 0.7373 PKN 51 62.4012 9.0587 110.6 13.8701 147.1 18.1879 0.8732 SKN 51 50.5823 5.9361 272.3 19.8989 432.5 24.3073 0.8280
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan) Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728 PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167 KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704 HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237 HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186 KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101 PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749 SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0271 0.20 0.14 0.12 0.74 0.13 0.73 1.1376 0.6432 PRKN 50 0.00140 0.41 0.04 0.00 0.95 0.32 0.64 0.8585 0.4989 KKN 50 0.0311 0.51 0.08 0.00 0.91 0.27 0.65 0.8667 0.4990 HKN 50 9.1650 0.03 0.02 0.97 0.01 0.81 0.16 10.3883 0.9179 HKI 50 . . . . . . . . . KIK 50 . . . . . . . . . PKN 50 0.0292 0.21 0.18 0.11 0.72 0.13 0.69 1.1373 0.6074 SKN 50 0.0761 0.54 0.02 0.13 0.86 0.02 0.96 0.8891 0.4661 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Kedua, Jika HKI Naik 105 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8 Endogenous 8 Parameters 32 Equations 8 Number of Statements 8 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary Variabels Solved 8 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.256E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 104 Average Iterations 2.039216 Observations Processed Read 52 Solved 51 Failed 1 Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
111 Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 881.2 296.7 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0178 0.2551 KKN 51 51 1309.8 765.8 1250.4 728.6
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan) HKN 51 51 1154.7 2266.9 1881.7 2619.7 HKI 51 51 235.6 167.8 501.2 333.8 KIK 51 51 644.2 815.6 812.9 802.3 PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 426.2 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1839.7 1096.3 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 48.9340 7.9227 101.5 13.2893 133.2 18.0944 0.8122 PRKN 51 0.0102 0.9382 0.0264 2.7672 0.0352 3.8297 0.9790 KKN 51 ‐59.4132 ‐2.2079 147.1 11.4059 224.8 14.5362 0.9121 HKN 51 727.0 321.5 866.3 428.5 1116.6 618.2 0.7525 HKI 51 265.5 . 265.5 . 327.0 . ‐2.874 KIK 51 168.6 . 341.3 . 468.9 . 0.6628 PKN 51 62.6002 8.8866 112.6 13.7660 152.8 18.9077 0.8631 SKN 51 231.2 16.7136 374.6 28.0461 525.0 34.5362 0.7465 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733 PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169 KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760 HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949 HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680 KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161 PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779 SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0283 0.20 0.14 0.16 0.71 0.08 0.78 1.1632 0.6360 PRKN 50 0.00141 0.41 0.04 0.01 0.95 0.30 0.66 0.8619 0.5002 KKN 50 0.0348 0.40 0.07 0.01 0.92 0.27 0.65 0.9169 0.6188 HKN 50 44.3573 ‐0.12 0.29 0.71 0.00 0.64 0.07 22.8539 0.9518 HKI 50 . . . . . . . . . KIK 50 . . . . . . . . . PKN 50 0.0314 0.22 0.17 0.17 0.66 0.06 0.78 1.1800 0.6014 SKN 50 0.1247 0.50 0.19 0.26 0.55 0.01 0.80 1.1378 0.4961 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Ketiga, Jika HKN Naik 64 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8 Endogenous 8 Parameters 32 Equations 8 Number of Statements 8 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary
112 Variabels Solved 8 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 6.114E‐9 Maximum Iterations 3
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan) Total Iterations 110 Average Iterations 2.156863 Observations Processed Read 52 Solved 51 Failed 1 Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 874.0 277.3 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0176 0.2560 KKN 51 51 1309.8 765.8 1230.4 678.4 HKN 51 51 1154.7 2266.9 1776.4 3402.5 HKI 51 51 235.6 167.8 243.1 169.8 KIK 51 51 644.2 815.6 781.3 951.4 PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 424.9 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1808.1 1256.9 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 41.7755 8.0794 110.6 14.7437 150.5 21.1769 0.7602 PRKN 51 0.0100 0.8990 0.0267 2.7905 0.0357 3.8538 0.9783 KKN 51 ‐79.4568 ‐0.9755 178.4 13.5130 270.1 16.5910 0.8731 HKN 51 621.8 18.1398 831.6 315.5 1492.2 445.8 0.5580 HKI 51 7.4868 . 43.9211 . 71.6585 . 0.8140 KIK 51 137.1 . 331.2 . 506.8 . 0.6061 PKN 51 62.5706 9.0908 128.1 15.2265 189.6 22.5598 0.7892 SKN 51 199.7 9.8049 375.4 26.1454 611.4 32.2442 0.6561 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835 PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171 KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927 HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356 HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227 KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246 PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967 SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0399 0.11 0.10 0.38 0.52 0.00 0.90 1.3817 0.6607 PRKN 50 0.00143 0.39 0.04 0.02 0.95 0.27 0.69 0.8692 0.5026 KKN 50 0.0406 0.31 0.04 0.12 0.85 0.11 0.86 0.9911 0.6027 HKN 50 21.0478 0.01 0.01 0.99 0.00 0.88 0.11 15.7428 0.9383 HKI 50 . . . . . . . . . KIK 50 . . . . . . . . . PKN 50 0.0468 0.14 0.12 0.42 0.46 0.00 0.88 1.4405 0.6370 SKN 50 0.0948 0.57 0.07 0.28 0.65 0.01 0.92 0.9922 0.4537 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
113
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Maret tahun 1982. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak H. Armadi Chaniago dan Ibu Hj. Maisaroh. Penulis menikah pada November tahun 2010 dengan Ya’ Thohir dan memiliki dua orang anak lelaki, Ya’ Muhammad Riztho Rizaldi yang lahir tanggal 29 Agustus 2011, dan Ya’ Ibrahim Ditho Al-Fathir yang lahir pada tanggal 29 Maret 2013. Penulis menyelesaikan studi di IPB sejak tahun 2000 – 2003 di jurusan Budidaya Hutan Tanaman, Fakultas Kehutanan, kemudian tahun 2003 – 2006 di jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan tahun 2010 – 2014 di jurusan Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis memiliki pengalaman bekerja tahun 2006 di bidang telekomunikasi PT. TELKOM yang bertempat di Bogor, kemudian pada tahun 3007 di bidang percetakan, Majalah Franchaise Indonesia, Jakarta, selanjutnya di bidang geodesi, tahun 2007 – 2008 di PT. Eksamap Asia, Jakarta. Saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, tahun 2008 – sekarang. Tesis penelitian ini juga dijadikan artikel ilmiah untuk di beberapa jurnal dengan 3 judul yang berbeda. Pertama, telah diterima untuk dipublikasikan di Jurnal Agribisnis Indonesia, Departemen Agribisnis, IPB, Bogor, pada edisi Juni 2014. Kedua, diterima di Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, pada edisi Desember 2014. Ketiga, masih dalam proses review kedua untuk kemudian diterima di Journal of Agriculture Resources Economy and Environment (JAREE), Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor, pada edisi tahun 2014.
115
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Maret tahun 1982. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak H. Armadi Chaniago dan Ibu Hj. Maisaroh. Penulis menikah pada November tahun 2010 dengan Ya’ Thohir dan memiliki dua orang anak lelaki, Ya’ Muhammad Riztho Rizaldi yang lahir tanggal 29 Agustus 2011, dan Ya’ Ibrahim Ditho Al-Fathir yang lahir pada tanggal 29 Maret 2013. Penulis menyelesaikan studi di IPB sejak tahun 2000 – 2003 di jurusan Budidaya Hutan Tanaman, Fakultas Kehutanan, kemudian tahun 2003 – 2006 di jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan tahun 2010 – 2014 di jurusan Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis memiliki pengalaman bekerja tahun 2006 di bidang telekomunikasi PT. TELKOM yang bertempat di Bogor, kemudian pada tahun 3007 di bidang percetakan, Majalah Franchaise Indonesia, Jakarta, selanjutnya di bidang geodesi, tahun 2007 – 2008 di PT. Eksamap Asia, Jakarta. Saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, tahun 2008 – sekarang. Tesis penelitian ini juga dijadikan artikel ilmiah untuk di beberapa jurnal dengan 3 judul yang berbeda. Pertama, telah diterima untuk dipublikasikan di Jurnal Agribisnis Indonesia, Departemen Agribisnis, IPB, Bogor, pada edisi Juni 2014. Kedua, diterima di Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, pada edisi Desember 2014. Ketiga, masih dalam proses review kedua untuk kemudian diterima di Journal of Agriculture Resources Economy and Environment (JAREE), Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor, pada edisi tahun 2014.