ANALISIS PENDAPATAN USAHA GARAM RAKYAT BERDASARKAN STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)
RIZKY AMELIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif: Studi Kasus Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu” adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
November 2013
Rizky Amelia H44070112
ABSTRAK RIZKY AMELIA. Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA. Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Meskipun memiliki kekayaan laut yang berlimpah, namun Indonesia masih menjadi importir garam yang cukup besar setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2006 – 2010, Pemerintah Indonesia melakukan impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton. Desa Santing merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Kabupaten Indramayu, sementara Kabupaten Indramayu merupakan penghasil garam terbesar di Jawa Barat. Oleh karena itu dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, diharapkan dapat lebih mengoptimalkan produksi garam. Produksi berbanding lurus dengan pendapatan, sehingga untuk dapat meningkatkan pendapatan maka petani garam harus meningkatkan produksi dengan cara mengoptimalkan input yang digunakan sebagai faktor produksi. Zat aditif yang bernama ramsol digunakan sebagai tambahan input pembuatan garam oleh beberapa petani di Desa Santing dan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas serta output garam Dari hasil wawancara dengan 100 responden diperoleh 62 orang responden yang menggunakan zat aditif sebagai tambahan input produksi sedangkan sisanya 38 orang responden tidak menggunakan zat aditif.. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam adalah jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja dan zat aditif. Adapun dalam satu musim tahun 2011 petambak garam yang menggunakan zat aditif mampu menghasilkan garam ratarata sebesar 85.053,76 kg per ha, sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif adalah sebesar 71.903,51 kg per ha. Analisis pendapatan usaha garam rakyat dibedakan berdasarkan status lahan dan penggunaan zat aditif. Status lahan terbagi menjadi petambak dengan status lahan milik sendiri, petambak dengan status lahan milik sewa dan petambak dengan status lahan bagi hasil (penyakap). Pendapatan tertinggi diperoleh oleh petambak yang menggunakan zat aditif dan berada pada status lahan milik sendiri. Pendapatan terendah diperoleh oleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif dan berstatus lahan bagi hasil. Kata Kunci: garam, zat aditif, ramsol, produksi, pendapatan
ABSTRACT RIZKY AMELIA. The analysis of people's Salt Revenues based on the Status of the land and the use of Additives (case study: Village Santing, Indramayu Regency Losarang District). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA. Indonesia is a maritime country with a variety of marine and fishery resources of wealth. One that can be utilized is sea water as a raw material for producing salt. Although it has abundant marine wealth, Indonesia still remains a substantial importer of salt annually. Since 2006 – 2010, the Government of Indonesia imports amounted to 1.731.309 tons, 4, on average per year. Santing village is one of the largest salt manufacturer in Indramayu Regency, while Indramayu Regency is the largest salt producer in West Java. Therefore base on the potential of the area, Indramayu Regency is expected to optimize more the production of salt. Production propotionally compares to income, so the farmers have to increase the production of salt by optimizing the input that is used as a factor of production in order to improve their income. The additives substance named ramsol is used as additional inputs in producing salt by some farmers in the village of Santing and it is good to improve the quality and output of salt, from the results of interviews with 100 respondent, 62 respondents use additives as additional inputs to their salt production, and the rest, 38 respondents do not use additives. The factors that affect the production of salt are the number of windmills, land area, labor and additives. But in a season of 2011 salt farmers who use additives caan improve their salt production on average 85.053,76 kg per ha, while the farmers who do not use additives is only 71.903 .51 kg per ha. The analysis of people’s salt revenues is differed based on the status of the land and the use of additives. Status of land is divided into two categories, first the farmers’s production sharing land (penyakap) and the second is the farmers on the leased land. The highest income will be obtained by the farmers who use additives on their own land. The lowest income will be gained by the farmers whoo do not use additives and they produce on the production sharing land status. Key words: salt, additives, ramsol, production, income
ANALISIS PENDAPATAN USAHA GARAM RAKYAT BERDASARKAN STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)
RIZKY AMELIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu) Nama : Rizky Amelia NIM : H44070112
Disetujui oleh
Ir .Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc Pembimbing
Diketahui oleh
Dr.Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Ibu Munawaroh dan Bapak Yusman Karsiwan atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan selama ini baik berupa moril maupun materil, serta kepada Mohammad Yudi, kakak Harry, Dwi, dan Diah.
2.
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa dengan penuh ketekunan
membimbing penulis,
memberikan arahan, dan saran hingga skripsi ini selesai. 3.
Ir. Nindyantoro, M.SP dosen penguji utama yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
4.
Nuva, S.P. M.Sc selaku dosen penguji wakil departemen atas koreksi dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan skripsi ini.
5.
Ibu Hastuti,SP,M.Si, Mba Putri dan Mba Aam yang sudah banyak membantu dalam administrasi dan kelulusan penulis.
6.
Bapak Heri Wahyu Hartono selaku Ketua Koperasi Segoromadu Indramayu dan Bapak Tarman selaku Sekretaris Desa Santing serta seluruh petambak garam rakyat responden yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan informasi, bantuan dan pengarahan selama penulis melakukan kegiatan turun lapang.
7.
Bapak/ibu dan kakak/adik yang menjadi responden pada penelitian ini untuk meluangkan waktu wawancara dan memberikan informasi yang sangat berharga untuk penulisan skripsi ini.
8.
Rekan-rekan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ESL 44 khususnya untuk Syifa Azizah, Erin Roslina, Wahyu Nugraha, Kartika Putri S., Anggun Eka E., Wikaniati, Ario Bismoko S., dan Astrid Yeyen yang telah memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama penulisan skripsi ini.
9.
Rekan-rekan bimbingan skripsi yang telah membantu dalam suka maupun duka selama penyelesaian skripsi ini: Raisa, Norita, Dinda, Heti Septiani, M. Fadhli Diana, Dea Amanda, dan Imam Mukti W.
10. Abdul Aziz, Herdiana, Destia, dan Nadia Khairunnisa yang telah memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama penulisan skripsi ini. 11. Teman-teman kosan Wisma Balio Atas (WBA) yang telah memberikan support, semangat dan masukan-masukan positif dalam penyelesaian skripsi ini. 12. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Bogor, November 2013
Rizky Amelia
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Garam ............................................................................................ 9 2.2 Zat Aditif ....................................................................................... 10 2.2.1 Pengertian Zat Aditif ............................................................ 10 2.2.2 Tata Cara Pemakaian Zat Aditif ........................................... 11 2.3 Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan............................... 12 2.4 Fungsi Produksi ............................................................................. 13 2.5 Fungsi Produksi Cobb-Douglas ..................................................... 17 2.6 Skala Usaha (Return to Scale) ....................................................... 19 2.7 Elastisitas ....................................................................................... 19 2.8 Biaya Usahatani ............................................................................. 20 2.9 Analisis Pendapatan Usahatani ....................................................... 20 2.10 Analisis Profitabilitas ................................................................... 22 2.11 Analisis Faktor-Faktor Produksi Usahatanu ................................. 22 2.12 Hasil Penelitian Terdahulu ........................................................... 25 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................................... 31 3.1.1 Analisis Fungsi Produksi ....................................................... 31 3.1.2 Skala Usaha ........................................................................... 33
3.1.3 Konsep Usahatani.........................................................34 3.1.4 Biaya Usahatani .......................................................... 36 3.1.5 Pendapatan Usahatani..................................................38 3.1.6 Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)..............39 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional...........................................39 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................43 4.2 Jenis dan Sumber Data............................................................43 4.3 Metode Pengambilan Sampel.................................................44 4.4 Metode Analisis Data.............................................................45 4.4.1 Analisis Fungsi Produksi................................................45 4.4.2 Pengujian Hipotesa.........................................................47 4.4.3 Analisis Pendapatan Usahatani......................................51 4.4.4 Analisis Profitabilitas.....................................................52 4.4 Batasan Penelitian.....................................................................53 V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografi dan Sosial Ekonomi.......................55 5.2 Keadaan Umum Usaha Garam Rakyat di Desa Santing..........56 5.2.1 Pendapat Petambak Garam terhadap Produksi Garam....59 5.2.2 Pendapat Petambak Garam terhadap Kualitas Garam.....60 5.3 Karakteristik Responden...........................................................61 5.3.1 Jenis Kelamin Responden................................................61 5.3.2 Usia Responden................................................................61 5.3.3 Tingkat Pendidikan Responden........................................62 5.3.4 Status Penguasaan Lahan Responden..............................62 5.3.5 Luas Lahan Garapan Responden......................................63 5.3.6 Pengalaman Usaha Garam Rakyat Responden................64 5.3.7 Pengguna Zat Aditif Responden......................................64 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat di Desa Santing..........................................................................65 6.1.1 Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi
Cobb-Douglas...........................................................................65 6.1.2 Analisis Uji Ekonometrika.......................................................65 6.1.2.1 Uji Multikolinearitas...................................................65 6.1.2.2 Uji Heteroskedastisitas................................................66 6.1.2.3 Uji Normalitas.............................................................66 6.1.2.4 Uji Autokorelasi..........................................................66 6.1.3 Analisis Uji Statistik.................................................................66 6.1.3.1 Uji Adjusted R2.............................................................66 6.1.3.2 Uji F-hitung .................................................................67 6.1.3.3 Uji t-hitung .................................................................67 6.1.4 Analisis Ekonomi ..................................................................67 6.1.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam di Desa Santing ............................................................67 6.1.4.2 Elastisitas dan Skala Usaha.........................................69 6.1.4.2.1 Elastisitas Produksi Garam...........................69 6.1.4.2.2 Skala Usaha...................................................70 6.2 Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Desa Santing............71 6.2.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat...........................................72 6.2.1.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri........72 6.2.1.2 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa............73 6.2.1.3 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil.............74 6.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat.....................................................75 6.2.2.1 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri................................................................76 6.2.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa..................................................................78 6.2.2.3 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil...................................................................80 6.2.2.4 Komponen Biaya Usaha Garam Rakyat di Desa Santing.......................................................... 82 6.2.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat...........................................86 6.2.3.1 Pendapatan Usaha Garam Rakyat
Milik Sendiri..............................................................87 6.2.3.2 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa ......... 88 6.2.3.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil........... 89 6.2.4 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat ...................................... 90 6.2.4.1 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri .... 90 6.2.4.2 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sewa ...... 91 6.2.4.3 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil ........ 93 6.2.5 Analisis Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing Tahun 2011.............................94 6.2.5.1 Status Penguasaan Lahan..................................94 6.2.5.2 Penggunaan Zat Aditif......................................96 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan.................................................................................99 7.2 Saran.....................................................................................100 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................103 LAMPIRAN....................................................................................105 RIWAYAT HIDUP .......................................................................136
DAFTAR TABEL Nomor 1 2
Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton) .......................
Halaman 2
Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat PeGaram Rakyat Rakyat di Indonesia Tahun 2005 – 2011 (Rupiah/Kg) .......................................................................
5
3
Jenis Data yang Digunakan pada Penelitian ......................
44
4
Metode Prosedur Analisis Data .........................................
45
5
Luas Wilayah di Desa Santing Menurut Penggunaan, Tahun 2010 ........................................................................
55
Usia Responden Petambak di Desa Santing, Tahun 2011....................................................................................
62
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Santing, Tahun 2011.............................................
62
Karakteristik Responden Berdasarkan Status Penguasaan Lahan di Desa Santing, Tahun 2011 ..................................
63
Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan di Desa Santing, Tahun 2011 ...........................
63
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Garam di Desa Santing, Tahun 2011 .....................
64
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengguna Zat Aditif Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011 .............................................................................................
64
Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011......................
65
13
Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas................................
70
14
Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 ............................................................................................
72
Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 ........
74
6
7
8
9
10
11
12
15
16
Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Hasil Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 ..................
75
Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 ................................
77
Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ...............
79
Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ................
81
Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 ..
88
Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 .....
89
Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ......
90
Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011..
91
Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ....
92
Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ....
94
Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011..............................
97
DAFTAR GAMBAR Nomor 1
Halaman Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka Pendek .................................... ...........................................
15
2
Kerangka Pemikiran Operasional .....................................
42
3
Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan Produksi Garam .................................................................
60
Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan Kualitas Garam .................................................................
60
4
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2
Potensi Lahan garam di Indonesia Tahun 2011 .................
Halaman 105
Lokasi Potensi Pengembangan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ...................................
106
3
Denah Kabupaten Indramayu, Provinsi jawa Barat ...........
107
4
Denah Lokasi Penelitian di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ..................
108
Karakteristik Responden Petambak Garam Rakyat di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011 ...................
109
Input Fungsi Produksi yang Dianalisis pada Penelitian Ini di Desa Santing, Tahun 2011 .............................................
114
Hasil Pendugaan Uji Regresi Model 1 dengan Menggunakan Software Minitab 14.0 ................................
117
Hasil Uji Asumsi Klasik Ordinary Least Square (OLS) Model 1 dengan Menggunakan Software Eviews 6 dan Minitab 14 ..........................................................................
118
Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
119
Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
120
Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
121
Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
123
Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
125
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per
15
16
17
18
19
20
21
Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 .........................................................................
127
Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16...................................................
129
Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16...............................................................................
130
Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16.....................................................................................
131
Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16..............................................................................
132
Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16..........................................................................................
133
Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS 16..........................................................................................
134
Dokumentasi ......................................................................
135
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan. Pada pembangunan di masa mendatang, pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan harus dijadikan prioritas. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan penghasil devisa negara, khususnya bagi masyarakat daerah setempat. Salah satu potensi laut yang dapat dikembangkan adalah air laut, dimana air laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan garam. Garam merupakan pelengkap pangan yang sangat penting bagi tubuh manusia.
Peranan
penting
garam
bagi
tubuh
manusia,
diantaranya
menyeimbangkan elektrolit dalam cairan san sel-sel tubuh, dan membantu transmisi impuls saraf ke otak 1. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat akan fungsi garam harus dapat dipenuhi. Berdasarkan fungsinya, garam dibedakan menjadi dua macam, yakni garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan industri makanan. Garam industri digunakan untuk industri perminyakan, pembuatan soda dan chlor, penyamakan kulit, dan obat-obatan. Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan garam semakin meningkat dari tahun ke tahun, dimana kebutuhan tersebut terbagi untuk kebutuhan industri dan kebutuhan konsumsi (rumah tangga). Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa permintaan (kebutuhan) garam setiap tahunnya mengalami peningkatan, dimana terjadi peningkatan sebesar 609.160 ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan persediaan garam yang berasal dari produksi domestik hanya meningkat sebesar 67.000 ton dan turun drastis pada tahun 2010 mencapai 30.600 ton. Pada tahun 2010 terjadi anomali cuaca tidak dapat diperkirakan. Sehingga terjadi over demand yang melanda Indonesia saat itu. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan, maka pemerintah melakukan impor garam dalam skala besar. 1
http://health.kompas.com/read/2011/09/19/12144289/10.Alasan.Harus.Mengontrol.Garam . [diakses Januari 2013]
2
Tabel 1. Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton) Permintaan Garam Konsumsi Garam Industri 2006 650.000 1.519.000 2007 671.000 1.935.375 2008 680.000 2.071.910 2009 686.800 2.092.629 2010 686.000 2.092.160 Sumber : Kementrian Perdagangan RI (2011) Tahun
Produksi Garam Rakyat 1.304.000 977.000 1.033.000 1.371.000 30.600
Impor 1.552.750 1.661.488 1.657.548 1.701.418 2.083.343
Produksi garam nasional hingga saat ini lebih banyak dipasok untuk memenuhi keperluan rumah tangga atau biasa disebut dengan garam konsumsi, sedangkan industri selama ini dipenuhi oleh pasokan dari produksi impor. Hal tersebut disebabkan oleh tidak cukupnya produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan industri. Produksi garam nasional ditaksir tidak mampu memenuhi kebutuhan garam masyarakat Indonesia. Hal tersebut membuat pemerintah RI harus melakukan impor garam agar mampu menanggulangi masalah ketersediaan garam. Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2010 pemerintah memasukkan garam impor ke dalam negeri sebesar 2.083.343 ton. Pemberlakuan impor ini dinilai lebih berpihak kepada konsumen, sedangkan produsen khususnya para petambak garam terabaikan. Kondisi tersebut menyebabkan petambak merugi, karena beberapa sudah meminjam modal kepada tengkulak dan koperasi untuk mempersiapkan lahan produksi. Produksi tidak dapat dilakukan karena ketidakpastian cuaca dan kurangnya sinar matahari yang berfungsi dalam hal pengkristalan air laut. Guna menanggulangi beberapa permasalahan yang melanda industri garam dalam negeri, maka diperlukan inovasi dan teknologi yang dapat membantu para petambak garam untuk mengoptimalkan produksi garam setiap musimnya tiba. Saat ini telah ditemukan sebuah inovasi yang berguna dalam mengoptimalkan produksi garam serta meningkatkan kualitasnya. Inovasi tersebut adalah penambahan input produksi bubuk zat aditif ke dalam meja garam yang berisi air laut. Selanjutnya air laut akan diubah menjadi garam dengan bantuan sinar matahari, sehingga dengan penambahan zat aditif ke dalam proses produksi dapat menghasilkan produksi garam yang lebih banyak dan lebih berkualitas.
3
1.2 Perumusan Masalah
Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Fungsi garam terbagi menjadi dua macam yaitu garam konsumsi dan garam industri. Setiap tahunnya kebutuhan garam baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan garam. Permintaan garam meningkat sebesar 609.160 ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan persediaan garam dari produksi domestik hanya meningkat 67.000 ton dan tahun 2010 mencapai 30.600 ton (Kementrian Perdagangan RI, 2011). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan, maka pemerintah melakukan impor garam dalam skala besar. Terhitung sejak tahun 2006-2010, Pemerintah Indonesia melakukan impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton. Peningkatan permintaan garam seharusnya diiringi dengan peningkatan produksi garam domestik. Faktor produksi garam rakyat dapat diwujudkan dengan cara penambahan areal penambakan garam, dan penggunaan inovasi/teknologi, sedangkan yang terjadi pada usaha garam rakyat bahwa luas lahan garapan petani garam kurang dari satu hektar dan minimnya penggunaan teknologi. Selain itu, kondisi usaha garam rakyat di Indonesia saat ini terlalu mengandalkan cuaca, angin, sinar matahari dan tenaga kerja atau metode tradisional, sehingga yang terjadi banyak faktor ketidakpastian yang terjadi pada usaha garam rakyat di Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan yang dilakukan, baik terhadap input pertanian maupun metode-metode yang digunakan. Pada Tabel 1 menggambarkan produksi garam nasional tidak seimbang memenuhi tingkat permintaan garam nasional baik kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun konsumsi industri. Permintaan garam yang melebih pasokan produksi garam dari domestik, maka diperlukan langkah strategis berupa inovasi dan teknologi. Adanya sentuhan inovasi dan teknologi serta dukungan dari pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan produksi garam nasional. Usaha produksi
garam
rakyat
dilakukan
secara tradisional
dan
mengandalkan keramahan iklim. Terjadinya perubahan iklim menjadi kendala
4
utama untuk memproduksi garam, karena masyarakat pesisir masih memerlukan pemanasan dengan bantuan matahari sebagai sumber panas. Selain prosesnya tradisional, kualitas garamnya juga masih rendah disebabkan masih tingginya kandungan pengotor terutama logam Magnesium dan Calcium dalam senyawa MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr yang disebabkan oleh proses produksi yang masih sangat sederhana. (Priyono, 2011). Kabupaten Indramayu merupakan sentra penghasil garam di Jawa Barat (Lampiran. 1). Lokasinya yang berdekatan langsung dengan Laut Jawa, membuat Kabupaten Indramayu mampu menghasilkan garam lebih besar dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat (Lampiran 3). Musim kemarau banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakatnya yang berprofesi sebagai petambak garam. Sistem usaha garam rakyat di sana masih sangat tradisional. Garam yang dihasilkan bergantung kepada cuaca, sehingga apabila tiba-tiba terjadi hujan, maka petambak memanen garam lebih cepat atau bahkan tidak bisa sama sekali untuk memanen garam. Pada tahun 2010, petambak garam khususnya di Indramayu mengalami kerugian yang besar, ketika itu mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan untuk memulai produksi garam, namun sulit mendapatkan cahaya matahari dan angin yang baik untuk bisa menghasilkan garam. Hal tersebut terjadi akibat kondisi cuaca yang tidak menentu. Agar pembangunan pertanian dapat berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa bertambah maka harus selalu terjadi perubahan. Ketika perubahan itu berhenti, maka berhenti pula pembangunan pertanian (Hanafie, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan berupa inovasi dan teknologi, sehingga dapat menanggulangi permasalahan yang sifatnya bergantung dengan sesuatu yang sulit dipastikan. Dibutuhkan teknologi khusus untuk bisa mengoptimalkan produksi garam baik di musim hujan maupun musim kemarau. Zat aditif ramsol dianggap mampu mengoptimalkan produksi yang dihasilkan petambak garam. Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih dan pemutih garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan
5
pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono 2, istilah Ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku Ramsol terdiri dari rumput laut, kulit kerang dan zeolit. Menurut Bapak Hasan, zat tersebut mampu meningkatkan produksi garam dalam sekali panen. Selain itu zat aditif ramsol mampu mengikat NaCl lebih kuat dalam pembentukan yodium, sehingga menghasilkan garam yang berkualitas 3. Garam berkualitas akan mempengaruhi harga jual yang akan diterima oleh petambak garam, sehingga dengan penggunaan zat aditif ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petambak. Penetapan harga dasar penjualan garam rakyat per kg di tingkat petambak dari tahun 2005-2011 tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat Petambak Garam Rakyat di Indonesia Tahun 2005-2011 (Rupiah/kg) No
Kualitas
2005
2008
2011
1.
KP 1
200
325
750
2.
KP 2
150
250
550
Keterangan -
Kadar NaCl ≤ 94,7% Warna Putih Bening Bersih Ukuran Butiran 4 mm Kadar NaCl 85%-94,7% Warna Putih Ukuran Butiran 3 mm
Sumber: Kementerian Perdagangan, (2011)
Tabel 2 menginformasikan harga garam di tingkat petambak yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk wilayah pergaraman di Indonesia. Harga garam rakyat disesuaikan dengan jenis kualitas produksinya (KP). Tahun 2005 harga penjualan garam rakyat hanya Rp 200 per kg untuk KP-1 dan Rp 150 per kg untuk KP-2. Tahun 2008 harga dasar garam rakyat dinaikkan menjadi Rp 325 per kg untuk garam KP-1 dan Rp 250 per kg untuk garam KP-2, lalu pada tahun 2011 harga dasar dinaikkan oleh pemerintah menjadi Rp 750 per kg untuk garam KP-1 dan Rp 550 per kg untuk garam KP-2 . Pada umumnya harga rata-rata garam rakyat tahun 2011 di sejumlah daerah pergaraman tidak sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga garam rakyat saat awal bulan Juli tahun 2011 hanya berkisar
2
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/5603/training-of-trainer-garam-bagi-pelatih/?category_id=91. [diakses Januari 2013] 3 https://ooyi.wordpress.com/2011/03/20/ayo-dukung-swasembada-garam-2012-swasembada-garam-industri-2015-di-ntt02/ [diakses Januari 2013]
6
Rp 400 per kg untuk KP-1 dan 320 per kg untuk KP-2. 4 Pada saat panen raya, harga dasar garam KP-1 berkisar Rp 350 per kg dan Rp 300 per kg untuk KP-2. Rendahnya harga garam rakyat dapat menyebabkan pendapatan petambak menjadi rendah. Pada usaha garam rakyat, lahan merupakan faktor produksi penting terhadap keberlanjutan usaha garam rakyat tersebut. Lahan merupakan modal dalam usaha garam rakyat guna menjamin kehidupannya serta keluarganya. Pada faktor produksi, lahan erat kaitannya dengan status penguasaan lahan. Status penguasaan lahan pada pokoknya dibagi menjadi tiga, yaitu pemilik penggarap (owner operator), penyewa (cash tenant) dan penyakap atau bagi hasil (share tenant). Ada beberapa anggapan yang menilai bahwa sistem bagi hasil kurang efisien karena petambak dengan status penguasaan lahan tersebut berada pada ketidakpastian dalam menggarap lahan tersebut. Kemampuan petambak untuk tetap bisa menggarap lahan bergantung dari wewenang pemilik lahan, bahkan pemilik lahan dapat sewaktu-waktu meminta orang lain untuk menggantikan petambak tersebut agar menggarap lahan yang sebelum dikelola. Meskipun penyakap dibebaskan dari biaya atas lahan, namun ia harus membagi hasil tani nya kepada pemilik lahan. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali bagaimana
pengaruh
pemberian
zat
aditif
dalam
mengatasi
beberapa
permasalahan usaha garam rakyat khususnya dalam hal produksi dan penerimaan yang nantinya akan mempengaruhi pendapatan petambak garam. Selain itu akan dibahas juga pengaruh status penguasaan lahan terhadap pendapatan petambak garam. Peningkatan produksi garam, dilakukan dengan cara mengoptimalkan faktor produksi garam. Pada umumnya, produksi berbanding lurus dengan pendapatan. Semakin meningkat output produksi yang dihasilkan, maka semaki meningkat pendapatan petani/petambak tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam di Desa Santing?
4
[APKI] Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2011. Harga garam: jelang panen harga garam rakyat anjlok. http://apki.net/?p=2030. Diakses tanggal 03 Maret 2012.
7
2.
Bagaimana pengaruh penggunaan zat aditif dan status penguasaan lahan terhadap pendapatan usaha garam rakyat di Desa Santing?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam di Desa Santing.
2.
Menganalisis pengaruh pemberian zat aditif dan status penguasaan lahan terhadap pendapatan petambak garam di Desa Santing.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1.
Petambak, sebagai informasi bahwa belanja daerah di sektor pertanian dapat menjadi insentif dan memberikan berkontribusi dalam pembangunan daerah.
2.
Pemerintah, sebagai salah satu bahan masukan bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan mengenai perbaikan produksi gatam dan peningkatan kesejahteraan petambak garam, khususnya dalam mewujudkan Program Swasembada Garam Nasional.
3.
Masyarakat, sebagai informasi bahwa proporsi belanja daerah di sektor
4.
Akademisi, khususnya untuk penelitian mengenai analisis pendapatan dan profitabilitas usaha garam rakyat menurut status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif agar dapat dievaluasi guna perumusan kebijakan selanjutnya di masa mendatang dan sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan usaha garam rakyat yang berkelanjutan.
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan kebijakan harga dasar garam rakyat yang ditetapkan pada tahun 2011. Lokasi pengambilan data primer dilakukan di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Data produksi garam rakyat yang digunakan adalah data produksi tahun 2011. Produksi garam hanya dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan November. Penelitian ini akan menilai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam serta dampak apa saja yang diakibatkan dari penggunaan zat aditif terhadap pendapatan petambak di Desa Santing.
9
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Garam
Garam natrium klorida (NaCl) adalah elektrolit ekstra seluler dasar yan penting bagi keberlangsungan dan perkembangbiakan makhluk hidup (Korovessis dan Lekkas 2000). Garam merupakan salah satu mineral terbaik di dunia dan substansi kimia yang berhubungan erat dengan sejarah peradaban manusia. Garam diproduksi menggunakan evaporasi tenaga surya sejak awal mula peradaban manusia. Kehidupan dimulai dari laut dimana organisme monoseluler mulai diciptakan. Garam rakyat Indonesia sebagian besar masih diolah dengan cara tradisional, yaitu dengan menimba, mengaliri dan memasukkan air laut ke dalam lahan-lahan yang sudah disiapkan diatas tanah. Garam rakyat atau garam krosok merupakan sebutan bagi garam yang diproduksi oleh masyarakat diatas lahan milik pribadi atau milik orang lain. Garam rakyat nantinya akan menjadi bahan baku pembuatan garam konsumsi ataupun garam industri. Masa produksi garam hanya dapat dilakukan pada saat musim kemarau yaitu sekitar 4-6 bulan dari bulan Juni hingga bulan November. Proses produksi garam sangat bergantung pada faktor cuaca. Garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut yang dipompa di lahan pegaraman. Kondisi cuaca menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam (Mahdi, 2009). Evaporasi air garam dapat tercapai jika didukung oleh radiasi surya serta bantuan rekayasa iklim mikro pada areal pegaraman, khususnya angin, curah hujan, suhu dan kelembaban, serta durasi penyinaran matahari. Proses produksi garam memerlukan cuaca yang kering dengan laju evaporasi tinggi. Curah hujan menjadi faktor pengurang evaporasi yang memberikan efek negatif pada proses pembuatan garam (Zhiling et al, 2009). Indonesia hanya dapat memproduksi garam pada musim kemarau, yakni ketika curah hujan di Indonesia relatif sedikit, sedangkan di negara-negara subtropis dapat memproduksi garam sepanjang tahun karena iklim yang relatif kering sepanjang tahun.
10
2.2
2.2.1
Zat Aditif
Pengertian Zat Aditif Produksi garam rakyat di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan
garam dengan kualitas tiga (K3) dengan mutu rendah dari kadar NaCl rendah pula. Dengan demikian diperlukan penambahan zat aditif selama proses pembuatan garam untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam. Saat ini telah ditemukan beberapa zat aditif sebagai filter untuk menjadikan garam dari kualitas tiga (K3) mnejadi kualitas satu (K1). Salah satu dari zat aditif adalah Garam Solusi (ramsol). Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih dan pemutih garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono, istilah ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku ramsol terdiri dari rumput laut, kulit kerang dan zeolit. Pada tanggal 10 Maret 2009 Ramsol telah memperoleh sertifikat Perlindungan Hak Merek dengan Nomor IDM000161720 dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ramsol tersebut juga memperoleh Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT-SNI) sebagai garam konsumsi beryodium dengan SNI No. 01-35562000. Pada tanggal 7 Juni 2010 Ramsol memperoleh sertifikat dai Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
01061030100608.
Propinsi Badan
Jawa
Pengawas
Barat Obat
dengan dan
sertifikat
Makanan
halal
(POM)
No. telah
mengeluarkan persetujuan pendaftaran produk pangan No. BPOM RI MD 245728001223 tanggal 31 Agustus 2010 (Aris, 2011). Produksi Ramsol skala industri Hasan Achmad Sujono melakukan kerjasama dengan Ir. Cholidi selaku Direktur Utama PT. Sumber Alam Niagamas (PT. SUN). Perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha Industri Pengolahan Mineral Garam (Garam Iodium). Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian telah melakukan uji laboratorium terhadap Ramsol dan menyatakan bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk garam konsumsi beryodium. Beberapa uji laboratorium yang dilakukan adalah sebagai berikut (Aris, 2011) :
11
1.
Sampel garam krosok dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (8 Januari 2007)
2.
Sampel garam halus dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (19 Februari 2007)
3.
Sampel garam halus beryodium diuji oleh Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (24 Mei 2010). Sampel dinyatakan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk garam konsumsi beryodium. Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia telah
memberikan penghargaan kepada Hasan Achmad Sujono atas inovasi Ramsol sebagai bahan aditif dalam memproduksi garam yang juga dapat meningkatkan kesehatan dan kecerdasan manusia. Analisis kelayakan usaha terhadap pemberian Ramsol dalam proses produksi garam yang dilakukan secara tradisional, semi intensif, dan back yard menunjukkan bahwa Ramsol dapat meningkatkan produksi dan kualitas garam yang dihasilkan, sehingga menguntungkan dari segi ekonomis. Dengan demikian Ramsol memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil produksi penggaraman nasional serta meningkatkan pendapatan petambak garam.
2.2.2
Tata Cara Pemakaian Zat Aditif Menurut Prasetyanto (2011) dalam modul pelatihan garam tingkat dasar
menyebutkan tata cara pemakaian ramsol pada masing-masing teknik pembuatan garam baik tradisional, semi intensif, dan back yard adalah sebagai berikut : 1.
Siapkan ramsol sebanyak 700 gr yang diaduk dengan air 10 liter hingga merata sampai terlihat keruh keabu-abuan.
2.
Taburkan ke meja-meja garam sampai habis yang dimulai dari tiap-tiap meja mengikuti arah angin agar tercampur dengan sendirinya (homogen).
12
2.3
Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan
Soeharjo dan Patong (1973) membedakan status petani dalam usahatani menjadi tiga, yaitu: 1.
Petani Pemilik Petani pemilik adalah golongan petambak yang memiliki tanah dan ia
pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktorfaktor produksi baik yang berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri.
Dengan demikian, ia bebas dalam
menentukan kebijaksanaan usahataninya tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golongan petani yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan tanamannya sendiri dan juga mengusahakan lahan orang lain 2.
Petani Penyewa Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang
lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara pemilik tanah dengan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu tahun, dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, resiko usahatani hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi oleh resiko usahatani yang mungkin terjadi. 3.
Penyakap Penyakap adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain
dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, resiko usahatani ditanggung bersama oleh pemilik tanah dan penyakap. Besarnya bagi hasil tidak sama untuk setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah masingmasing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya pemintaan dan penawaran dan peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah, besarnya bagi hasil ialah 50 persen untuk pemilik lahan dan 50 persen untuk penyakap setelah dikurangi dengan biaya - biaya produksi yang berbentuk sarana. Disamping kewajiban terhadap usahataninya, dibeberapa daerah terdapat pula tambahan bagi
13
penyakap, misalnya kewajiban membantu pekerjaan dirumah pemilik tanah dan kewajiban - kewajiban lain berupa materi.
2.4
Fungsi Produksi
Produksi adalah kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu barang atau menciptakan barang baru sehingga mempunyai manfaat dalam memenuhi kebutuhan, khususnya untuk manusia. Analisis fungsi produksi sering dilakukan oleh para peneliti, karena mereka menginginkan informasi mengenai cara agar sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh. Dalam praktek, penggunaan masukan produksi masih dipengaruhi oleh faktor lain di luar kontrol manusia, misalnya serangan hama – penyakit dan iklim. Oleh karena itu, dalam fungsi produksi dikenal istilah faktor ketidakpastian (uncertainty) dan risiko (risk). Besarnya tingkat faktor ketidakpastian akan menentukan besarnya risiko yang dihadapi. Dalam memberi arti terhadap besarnya fungsi produksi, hendaknya perlu berhati-hati, karena tidak semua variabel independen dimasukkan dalam model. Hal ini dikarenakan terbatasnya data, sehingga perlu berhati-hati terhadap bias yang terjadi dalam model pendugaan tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah (Soekartawai, 1993): a)
Model pendugaan yang dipakai adalah diketahui, dalam artian bahwa model tersebut diduga tidak bias terlalu banyak,
b)
Variabel yang dipakai dalam keadaan ketidakpastian dan tidak berisiko,
c)
Pendugaan dalam fungsi produksi menunjukkan gambaran rata-rata suatu pengamatan, kalau data yang dipakai adalah data “cross-section”,
d)
Data yang dinyatakan dengan uang, mungkin bias dengan keadaan sebenarnya, karena adanya biaya yang dluangkan (opportinity cost). Hal ini mungkin terjadi karena adanya pasar yang bekerja tidak sempurna, dan
e)
Setiap pengusaha atau petani mempunyai usaha yang khusus, sehingga masukan-produksi dan produksi mungkin sangat spesifik.
14
Menurut Nicholson (2002), fungsi produksi suatu barang memperlihatkan jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan menggunakan berbagai alternatif kombinasi input. Hubungan antara input dan output bisa diformulasikan oleh suatu fungsi produksi secara matematis, yaitu (persamaan 1) : Y = f(X 1 , X 2 , X 3 , ...., X n ) dimana: Y
= total output yang dihasilkan dalam satu periode tertentu,
Xn
= input yang digunakan dalam memproduksi pupuk urea,
f
= bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output. Jumlah barang yang diproduksi dapat ditambah dengan menaikkan jumlah
input atau dengan menambah jumlah salah satu inputnya dan mempertahankan jumlah input yang lainnya. Pelaku ekonomi menghadapi berbagai macam teknik produksi dan akan memilih hasil yang optimal dalam batas modal yang dimiliki. Fungsi produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari tiaptiap tingkat input (Beattie dan Taylor, 1994). Fungsi produksi dapat pula dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan asumsi bahwa hanya ada satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Grafik fungsi produksi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini :
15
Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka Pendek Sumber : Nicholson (1994)
Produk Total (PT) adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara input dengan output. Ketika salah satu faktor produksi meningkat dan faktor produksi lainnya dianggap konstan, maka jumlah output akan meningkat sampai pada batas maksimum. Jika sudah melebihi batas maksimum, maka output yang dihasilkan akan semakin menurun. Kurva produk total dapat diturunkan menjadi kurva produk marjinal (PM) dan kurva produk rata-rata (PR). Produk rata-rata adalah hasil pembagian antara output total dengan input total produksi yang digunakan. Produk Marjinal (PM) adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan (Nicholson, 1994). Fungsi produksi dibagi kedalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas produksinya, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol sampai satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III).
16
Daerah produksi I terletak antara titik nol sampai X**. Elastisitas produksi pada daerah satu bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor produksi sebanyak satu persen akan menambah produksi lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini produksi marjinal (PM) mencapai titik maksimum lalu mengalami penurunan, tetapi masih lebih besar dari produk rata-rata (PR). Keuntungan maksimum belum tercapai pada daerah ini karena produksi masih bisa ditingkatkan dengan penambahan faktor produksi, sehingga daerah ini disebut daerah irrational. Daerah yang terletak antara X** dan X*** merupakan daerah produksi II. Pada daerah ini elastisitas produksinya antara nol sampai satu, artinya setiap penambahan faktor produksi satu persen akan menambah produksi sebesar nol sampai satu persen. Pada daerah ini produksi marjinal dan produksi rata-rata mengalami penurunan, sedangkan pada produksi total daerah ini merupakan daerah decreasing diminishing return karena setiap penambahan faktor produksi akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, sehingga disebut daerah rational. Daerah tiga mempunyai elastisitas lebih kecil dari nol, yang dimulai dari titik X*** sampai seterusnya. Pada daerah ini produksi marjinal mengalami penurunan bahkan bernilai negatif, sehingga produksi totalnya mengalami penurunan. Setiap penambahan faktor produksi pada daerah ini akan menyebabkan penurunan output yang dihasilkan. Oleh karena itu, daerah II ini disebut daerah irrational. Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi yaitu hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Deminishing Returns). Hukum tersebut mempunyai arti bahwa jika faktor produksi ditambah secara terus menerus dalam suatu proses produksi, sedangkan faktor lainnya konstan, maka tambahan jumlah produksi pada akhirnya akan mengalami penurunan. Hukum ini juga bisa menggambarkan adanya kenaikan hasil yang berkurang dalam kurva fungsi produksi.
17
2.5
Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Fungsi produksi Cobb-Douglas menjadi terkenal setelah diperkenalkan oleh Cobb, C.W. dan Douglas, P.H. pada tahun1928 melalui artikelnya yang berjudul “A Theory of Production“. Artikel ini dimuat pertama kalinya di majalah ilmiah American Economic Review 1 halaman 139 – 165. Sejak saat itu fungsi Cobb-Douglas
dikembangkan
oleh
para
peneliti,
sehingga
bukan
saja
diperuntukkan untuk fungsi produksi, melainkan juga digunakan untuk fungsi biaya dan fungsi keuntungan. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa fungsi CobbDouglas memang dianggap penting dalam peristiwa ekonomi (Souekartawi, 1993). Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan ang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependent (yang dijelaskan atau Y), dan yang lainnya adalah variabel independent (yang menjelaskan atau X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti persamaan 2 : Y = aX 1 b1 X 2 b2...... X n bn eu
(2)
Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka dapat dituliskan seperti persamaan 3: Y = f(X 1 ,X 2 ,....X n )
(3)
Dimana : Y
= output (variabel yang dijelaskan)
a
= intersep
bn
= koefisien regresi penduga variabel ke-n
xi
= jenis faktor produksi ke-n (variabel yang menjelaskan)
u
= residual
e
= 2,1782 (logaritma natural) Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah
bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas.
18
Persyaratan ini diantaranya adalah (Soekartawi, 1993) : a)
Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui;
b)
Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Ini artinya, kalau fungsi Cobb Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisa yang merupakan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.
c)
Tiap variabel X adalah perfect competition
d)
Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan, u. Fungsi produksi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk
fungsinya menjadi linier, dan harus sesuai dengan persyaratan yang telah diuraikan sebelumnya. Output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi tergantung pada input yang digunakan, secara sistematis menjelaskan suatu fungsi produksi yang merupakan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (total produksi pupuk urea) dengan variabel yang menjelaskan (faktor-faktor produksi). Berikut ini beberapa alasan fungsi Cobb-Douglas banyak diminati oleh para peneliti, yaitu (Soekartawi, 1993): a)
Penyelesaian fingsi Cobb-Douglas relaltif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, misalnya fungsi kuadratik suatu model dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear.
b)
Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas. Jadi besaran koefisien regresi pada model adalah elastisitas dari variabel masukan produksi yang bersangkutan.
c)
Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale.
19
2.6
Skala Usaha (Return to Scale)
Konsep return to scale menjelaskan keadaan suatu kenaikan proporsional dari semua input terhadap hasil produksi total. Hasil berbanding skala atau dapat disebut juga dengan skala usaha digunakan untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dari sejumlah input yang digandakan terhadap output yang dihasilkan (Nicholson, 1994). Menurut Soekartawi (2003), return to scale perlu diketahui agar dapat melihat apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale. Jumlah dari setiap koefisien dari suatu model, memberikan informasi mengenai pengaruh skala terhadap hasil (return to scale), yaitu tanggapan output terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika b= 1, maka terdapat pengaruh skala terhadap hasil yang konstan (constant return to scale), yaitu jika terjadi kenaikan input sebesar dua kali lipat, maka output akan meningkat sebesar dua kali lipat pula. Jika jumlahnya lebih kecil daripada satu, maka ada pengaruh skala yang menurun terhadap tingkat hasil (decreasing return to scale), yaitu adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan menyebabkan penurunan output yang kurang dari dua kali lipat. Jika jumlahnya lebih besar daripada satu, maka ada pengaruh skala yang meningkat terhadap tingkat hasil, artinya adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan meningkatkan output sebesar lebih dari dua kali lipat (Gujarati, 1995)
2.7
Elastisitas
Pada proses produksi, jumlah faktor produksi urea yang digunakan cenderung berubah-ubah. Perubahan tersebut disebabkan adanya elastisitas produksi dari faktor produksi urea yang digunakan. Elastisitas produksi adalah (E p ) adalah perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari perubahan faktor produksi yang dipakai. Elastisitas produksi merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input.
20
Perubahan jumlah output yang disebabkan oleh faktor input yang digunakan dapat dinyatakan dalam elastisitas produksi. Menurut Nicholson (1994), hubungan lain juga membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dengan menggunakan rumus dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Nilai koefisien dari masing-masing input yaitu modal,bahan baku, tenaga kerja, dan stream days mencerminkan elastisitas hasil terhadap modal, bahan baku, tenaga kerja, dan stream days
2.8
Biaya Usahatani
Biaya adalah korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi semula fisik, kemudian diberi nilai rupiah (Hernanto, 1989). Sedangkan menurut Soekartawi, et.al. (1986) menyebutkan bahwa biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua nilai masuk yang habis dipakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petambak. Menurut Daniel (2004), dalam usahatani dikenal dua macam biaya, yaitu iaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak tunai atau biaya yang tidak dibayarkan/diperhitungkan. Biaya tunai atau biaya yang dibayarkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan bawon panen juga termasuk biaya iuran pemakaian air dan irigasi, pembayaran zakat dan lain- lain. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petambak jika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Selain itu, biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung nilai penyusutan dari penggunaan suatu peralatan.
2.9
Analisis Pendapatan Usahatani
Usahatani sebagai satu kegiatan produksi pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973),
21
mengartikan pendapatan usahatani sebagai balas jasa dari kerjasama antara faktorfaktor produksi dengan petani sebagai penanam modal dan sekaligus pengelola usahatani. Tingkat pendapatan didapatkan dengan analisis pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dapat dijadikan tolak ukur sederhana tentang tingkat keberhasilan suatu usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), menjelaskan terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usaha. Analisis pendapatan memerlukan dua komponen utama, yaitu keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam usahatani dan keadaan penerimaan pasca produksi dan pemasaran usahatani (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Soekarwati et al. (1986), penerimaan adalah besaran output usaha, baik produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan. Sedangkan pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumber daya yang terukur dalam satuan nominal uang (rupiah) yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan usahatani. Komponen pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai (cash cost) dan pengeluaran diperhitungkan (inputted cost). Beban biaya dalam pengeluaran tunai meliputi: pembayaran tunai sarana produksi pertanian seperti pembelian benih, pupuk, obat-obatan (pestisida), beban biaya sewa dibayar dimuka seperti sewa lahan garapan, sewa alat mesin pertanian (bila ada), dan biaya tenaga kerja. Beban biaya yang termasuk dalam pengeluaran diperhitungkan (inputted cost) adalah pendapatan bunga modal, pendapatan yang dipergunakan untuk usahatani berikutnya seperti benih hasil panen dan nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan. Komponen penerimaan usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Pendapatan tunai bersumber dari penjualan tunai hasil produksi panen (output) usahatani yang dilakukan, sedangkan penerimaan non tunai bersumber dari (1) produk hasil panen (output) yang dikonsumsi keluarga petambak dan (2) kenaikan nilai inventaris, yaitu nilai
22
benda-benda investasi yang dimiliki rumah tangga petambak berdasarkan selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun.
2.10
Analisis Profitabilitas
Keberhasilan dari suatu usahatani selain diukur dengan nilai mutlak (analisis pendapatan), juga diukur dari analisis efisiensinya (Soeharjo dan Patong, 1977). Salah satu ukuran efisiensinya adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio). Dalam analisis R/C akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Semakin tinggi nilai R/C ratio, menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan, sehingga dengan perolehan nilai R/C ratio yang semakin tinggi maka tingkat efisiensi pendapatan pun semakin baik.
2.11
Analisis Faktor-faktor Produksi Usahatani
Usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaikbaiknya (Suratiyah, 2006). Menurut Soekartawi (1986), usahatani adalah organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terkait biologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Usahatani dilakukan untuk mengkoordinasikan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin untuk mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin. Menurut Suratiyah (2006), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yaitu : 1.
Lahan Lahan usahatani dapat berupa sawah ataupun lahan pekarangan yang bisa
diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil
23
(menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Lahan mewakili unsur dalam dan merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan usahatani. 2.
Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam usahatani merupakan faktor penting selain tanah,
modal dan pengelolanya. Ada tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam usahatani yaitu manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas, tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk mengolah tanah dan pengangkutan. Tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak. Kekurangan tenaga kerja dapat diantisispasi dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa upah. 3.
Modal Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi
yang lainnya untuk menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Modal mempunyai pengaruh yang besar terhadap usahatani, terutama modal operasional. Modal operasional terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan usahatani dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi, tenaga kerja bahkan untuk membiayai pengelola. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap seperti tanah dan bangunan, sedangkan modal bergerak seperti alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman dan ternak. 4.
Pengelola Pengelola
usahatani
adalah
kemampuan
dalam
menentukan,
mengorganisasikan dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelola adalah peningkatan produksi setiap faktor maupun dari setiap usahanya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dikendalikan oleh petambak, meliputi petambak pengelola, tenaga usaha, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petambak mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga. Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar usahatani yang mempengaruhi keberhasilan
24
usahatani meliputi sarana transportasi dan komunikasi, pemasaran dan fasilitas kredit. Hubungan sumberdaya lahan, modal, dan tenaga kerja saling terkait dalam pertanian. Aspek sumberdaya pertanian menurut Soekartawi (2006) adalah aspek alam (tanah), modal dan tenaga kerja. Selain aspek tersebut juga terdapat aspek manajemen dalam pengelolaan sumberdaya produksi. Mahdi (2009) memaparkan bahwa pegaraman hendaknya memenuhi beberapa faktor yang menjadi variabel produksi pada proses produksi garam antara lain: 1.
Peningkatan kecepatan penguapan air laut
2.
Penurunan peresapan tanah
3.
Pengaturan konsentrasi pengkristalan garam
4.
Perbaikan cara pengolahan tanah
5.
Penggunaan teknologi baru. Proses produksi garam yang disarankan adalah dengan metode kristalisasi
bertingkat, yakni model pembaruan dari metode konvensional. Proses ini sudah dilakukan oleh PT Garam (Persero). Tahap pembuatan garam untuk memproduksi garam berkualitas sebagai berikut (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003): 1.
Persiapan Persiapan dilakukan paling lambat 2 minggu sebelum musim kemarau
dengan cara melakukan perbaikan kembali semua saluran, tanggul-tanggul kolam pegaraman, dan lain-lain. 2.
Pengaliran air laut ke kolam pengumpul/pengendapan Air laut dialirkan ke kolam pengumpul jika musim kemarau tiba. Pada saat
pengisian air laut dilakukan pembukaan pintu air ke kolam pengumpul, sedangkan pada saat air laut pasang pintu air ditutup rapat dan diupayakan tidak ada kebocoran. Air laut didiamkan kurang lebih 14-15 hari sampai konsentrasi air garam mencapai 10oBe. 3.
Aliran larutan garam pada kolam-kolam pegaraman Larutan air garam (brine) dialirkan ke kolam-kolam setelah beberapa hari
diendapkan dan mengalami peningkatan konsentrasi, dengan demikian dibuat empat seri kolam penguapan dengan target konsentrasi berbeda-beda. Ketika konsentrasi air garam mencapai konsentrasi 24.5oBe larutan garam dipindahkan
25
ke kolam pemekatan, sehingga mencapai konsentrasi 29.5oBe namun tidak boleh lebih dari 30.5oBe, sebab kualitas garam akan menurun pada konsentrasi tersebut. Pemindahan brine dari satu kolam ke kolam lain melewati pintu-pintu air. Pengukuran konsentrasi brine harus dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut baumeter. Proses penguapan air garam di lahan peminihan umumnya berlangsung selama 70 hari. 4.
Kolam kristalisasi dan pengambilan kristal garam
Kolam kristalisasi telah dipersiapkan sebelum garam pekat dari kolam pemekatan dipindahkan ke kolam kristalisasi. 5.
Pencucian garam
Pencucian garam adalah suatu cara menghilangkan/mengurangi komponenkomponen yang tidak diinginkan dengan melalui pengkontakkan antara benda padat dengan cairan. 6.
Pengeringan garam
Pengeringan garam adalah tahap terakhir sebelum pengarungan, dimana garam yang sudah dicuci diletakkan diatas geribik, lalu dijemur dibawah sinar matahari. 7.
Pergudangan Pergudangan didesain untuk menjaga garam agar tidak mengalami
penurunan kualitas. Karena sifat garam yang higroskopis sehingga mudah menyerap air, maka kelembaban gudang harus dikontrol
2.12
Hasil Penelitian Terdahulu
Usaha garam rakyat merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh petambak atau petani garam dengan menggabungkan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, dan lain-lain) untuk mencapai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan. Usaha garam rakyat di Indonesia dikenal masih sangat tradisional, karena melalui proses evaporasi hanya dengan bantuan sinar matahari dan angin, tanpa adanya sentuhan teknologi. Oleh karena itu, untuk mencapai keuntungan atau produksi yang maksimal, maka penggunaan faktor-faktor produksi (sumberdaya) sebagai korbanan harus diketahui dan efisien.
26
Tingkat pendapatan merupakan indikator dari keberhasilan yang diperoleh dari setiap usaha garam rakyat. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya (Soekartawi, 2006). Untuk menganalisis, apakah usaha garam rakyat yang dilakukan menguntungkan (profitable) atau tidak, maka dilakukan perbandingan antara jumlah penerimaan dan biaya (R/C). Usaha yang menguntungkan (profitable) mempunyai nilai R/C > 1. Nilai R/C dapat pula menunjukan ukuran efisiensi suatu usaha. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Ihsannudin (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Lokasi penelitian bertempat di Pulau Madura tepatnya di Kabupaten Sampang. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan sentra penggaraman rakyat paling luas di Madura. Latar belakangnya penelitian ini adalah tentang tidak sejahteranya petani penggarap garam atau tidak memiliki status kekuasaan lahan. Widodo (2010) dalam Ihsannudin (2013) mengatakan masyarakat pesisir pada umumnya menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan bergantung musim. Kondisi iklim dan cuaca yang seringkali tidak bersahabat, mekanisme harga dan pasar garam yang cenderung tidak berpihak kepada petani garam menjadikan usaha garam ini dilingkupi risiko (Ihsannudin, 2012). Demikian pula mengenai tingkat pendidikan penduduk yang rendah dan keterampilan yang terbatas. Kondisi tersebut semakin terpuruk apabila petani tersebut tidak memiliki kuasa lahan atau biasa disebut penyakap (petani penggarap), sehingga selain memiliki keterbatasan modal, penyakap juga tidak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan dalam usaha garam rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini berujuan mengetahui pendapatan petani penggarap garam dari usaha produksi garam serta alternatif kebijakan pertanahan yang dapat ditetapkan untuk dapat memberdayakannya. Analisis data yang dilakukan adalah analisis pendapatan, sedangkan alat analisis yang digunakan untuk mengestimasi keberhasilan usaha adalah sebagai berikut : NI
= Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC) = (Q.Pq) – (TFC+TVC)
27
Dimana : NI
: Nett Income (Pendapatan Bersih)
Q
: Total produksi
Pq
: Harga per satuan produk
TFC
: Total biaya tetap
TVC
: Total biaya variabel
Sementara upaya pemberdayaan petani penggarap garam dengan kebijakan pertanahan dilakukan dengan melakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pada isi pembahasan dijelaskan bahwa 40,34% biaya yang dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja pada saat penggarapan persiapan sebelum panen dan pemeliharaan selama masa panen. Garam selanjutnya dipungut setiap 10 hari sekali. Biaya terbesar selanjutnya adalah biaya pengangkutan (22,6%). Biaya yang dikeluarkan petani garam akan menjadi unsur pengurang dari penerimaan yang diperoleh. Berdasarkan data yang diperoleh, usaha garam pada musim 2011 diperoleh rata-rata produksi per hektar per musim sebesar 52,93 ton, dengan harga yang diterima adalah Rp484.000 per ton, sehingga penerimaan petani tersebut adalah Rp25.640.907. Selanjutnya setelah dikurangi total biaya sebesar Rp16.394.966 maka diperoleh pendapatan petani garam sebesar Rp9.245.941 per hektar per musim. Perjanjian yang telah dibuat oleh penggarap dengan pemilik lahan adalah bahwa pembagian hasil sebesar 30% untuk penggarap dan 70% untuk pemilik lahan, dengan asumsi jika seluruh alat-alat produksi berasal dari pemilik lahan. Oleh karena itu, pendapatan bersih yang diperoleh petani penggarap garam adalah Rp2.773.782,3 per hektar per musim. Alternatif kebijakan pemberdayaan petani penggarap dimaksudkan agar petani penggarap ini tidak berada dalam lingkaran kemiskinan. Sebagaimana dibahas di depan bahwa lahan atau tanah adalah variabel yang penting, maka diharapkan upaya kebijakan ini bisa membantu menyejahterakan petani penggarap garam. Alternatif kebijakan tersebut terdiri dari empat pendekatan, yaitu (1) peningkatan produktivitas; (2) efisiensi biaya; (3) memanfaatkan hak pakai atau mengelola tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun milik orang lain
28
sesuai UUPA tahun 1960 atau dengan kata lain dengan melakukan sewa atau lelang; (4) upaya redistribusi tanah, dengan harapan dapat meningkatkan kemandirian petani garam dalam memproduksi garam. Penelitian Wahyuni (2007) berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodimu di Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi permasalahan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Penelitian ini telah memenuhi asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana variabel dependennya adalah output riil yang dihasilkan industri (dalam ribuan rupiah), sedangkan variabel independennya terdiri dari bakan baku riil (ribuan rupiah), modal riil (ribuan rupiah), bahan bakar riil (ribuan rupiah), jumlah tenaga kerja (ribu orang/jiwa). Data yang digunakan dalam penelitian harus bisa menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Data yang diperoleh memiliki satuan rupiah dalam nilai nominal dan untuk tenaga kerja mempunyai keterbatasan data, sehingga data yang digunakan dalam satuan orang. Data yang riil diperoleh dengan cara membagi data nominal dari variabel-variabel yang akan diamati dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sub sektor garam beryodium di Indonesia, lalu hasilnya dikalikan dengan 1000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakan baku, modal , dan bahan bakar memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap output industri garam beryodium di Indonesia pada taraf nyata lima persen, sedangkan tenaga kerja memberikan pengaruh negatif dan nyata terhadap peningkatan nilai output pada industri tersebut pada taraf nyata lima persen. Pada penelitan ini industri garam beryodium di Indonesia berada pada kondisi decreasing return to scale yang artinya laju pertumbuhan output lebih kecil dari laju pertumbuhan input. Rifqie (2008) menelti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Hasil menunjukkan bahwa faktorfaktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas positif adalah pupuk kandang (selang kepercayaan 90 persen), benih, pupuk kimia, dan pestisida padat (selang kepercayaan 85 persen). Faktor-faktor produksi yang
29
berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas negatif adalah tenaga kerja (selang kepercayaan 85 persen) dan pestisida cair (selang kepercayaan 80 persen). Purba (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang menyarankan agar input tenaga kerja dalam fungsi produksi dioptimalkan lagi agar dapat menghasilkan outpun yang efisien. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa (1) dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya (analisis R/C ratio), diperoleh nilai ratio R/C atas biaya total sebesar 0,76 (lebih kecil dari satu), sehingga dapat disimpulkan bahwa cabang usahatani padi ladang di Desa Wanajaya tidak menguntungkan bagi petani, (2) faktor- faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi ladang adalah tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga, yang signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Sedangkan faktor pupuk, benih, dan pestisida tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan yang ditetapkan, (3) penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien secara ekonomis dicapai pada saat penggunaan faktor pupuk sebesar 282,51,
faktor tenaga kerja luar keluarga sebesar
146,33HOK, penggunaan benih yang semula sebesar 60 kilogram harus ditingkatkan menjadi 69,69 kilogram, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga harus dikurangi dari yang semula sebesar 237,37 HOK menjadi sebesar 59,94 HOK, faktor produksi pestisida harus ditingkatkan dari sebesar 1,7 liter dalam penggunaan aktualnya menjadi sebesar 2,47 liter. Berdasarkan referensi penelitian terdahulu yang sudah diulas dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja adalah faktor penting dalam suatu kegiatan produksi. Produksi garam di Indonesia termasuk unik dan berbeda jika dibandingkan dengan usahatani lainnya. Hal tersebut dikarenakan faktor ketidakpastiannya yang lebih tinggi, karena input yang digunakan banyak mengandalkan cuaca, angin dan kelembaban yang sifatnya sulit untuk diprediksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005) juga dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis kelayakan suatu usahatani dengan analisis pendapatan, maka perlu dilakukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi komoditi usahatani tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila petani ingin meningkatkan pendapatan dari usahatani, maka petani
30
tersebut perlu mengetahui ukuran input produksi yang efisien agar menghasilkan output produksi yang optimal.
31
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Analisis Fungsi Produksi Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dengan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Melalui fungsi produksi, hubungan antara faktor-faktor produksi dengan tingkat produksi dan hubungan antara faktorfaktor produksi itu sendiri dapat diketahui. Berbagai macam fungsi produksi yang digunakan pada berbagai penelitiaan antara lain : 1.
Faktor produksi linear
2.
Faktor produksi kuadratika atau fungsi polinominal kuadratika
3.
Faktor produksi eksponesial atau fungsi Cobb–Douglas
4.
Selain itu,terdapat pula fungsi produksi CES (Constant Elastiscity of Substitution), Transcendental, dan Translog. Fungsi produksi yang umum dibahas dan digunakan oleh para peneliti
adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi Cobb -Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut sebagai variabel dependen (Y) dan yang lain disebut variabel independen (X). Penyelesaian hubungan biasanya dilakukan dengan cara regresi. Secara matematik, persamaan dari fungsi Cobb– Douglas dapat dituliskan sebagai berikut : Y = b 0 . X 1 b1 X 2
b2
. . . Xn
bn
eu
Keterangan : Y
= hasil produksi
Xn
= nilai faktor produksi ke n
b0
= intersep
bn
= dugaan slope yang berhubungan dengan variabel X n
e
= bilangan natural (e = 2,782)
u
= kesalahan (residual)
32
Logaritma dari persamaan sebelumnya adalah : log Y = log a + b 1 log X 1 +b 2 log X 2 + ... + b n log X n + v Penyelesaian fungsi produksi Cobb–Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain: 1.
Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol
2.
Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan
3.
Tiap variabel X adalah perfect competition
4.
Perbedaan lokasi pada fungsi produksi, seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (u). Menurut Doll dan Frank (1984), model fungsi produksi Cobb Douglas
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain (1) perhitungan sederhana karena dapat dibuat dalam bentuk linier, (2) hasil penjumlahan koefisien elastisitas masing-masing faktor produksi pada fungsi ini juga dapat menunjukkan fase pergerakan skala usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yang berlangsung, (3) pada model ini koefisien pangkatnya sekaligus menunjukkan besarnya elatisitas produksi, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi, (4) fungsi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang paling banyak dipakai dalam penelitian sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis yang sama. Pedoman yang digunakan untuk memilih fungsi produksi yang baik diantaranya (Soekartawi et al, 1986) : 1. Memiliki dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi 2. Mudah dianalisis 3. Mempunyai implikasi ekonomi
33
3.1.2. Skala Usaha Elastisitas produksi (Ep) adalah respon perubahan output sebagai akibat dari perubahan input. Elastisitas ini dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: Ep= ∆Y/∆X . X/Y = PM/PR ∆Y/∆X adalah rumus PM (Produk Marjinal) sehingga besarnya Ep tergantung dari besar kecilnya PM dari suatu input, misalnya input X. Terdapat tiga bentuk sakala usaha (return to scale) dalam suatu proses produksi, yaitu decreasing return to scale, constant return to scale, dan increasing return to scale. Suatu proses produksi berada pada fase decreasing return to scale apabila proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Hal ini ditunjukkan dengan elastisitas produksi yang kurang dari satu. Fase constant return to scale ditunjukkan dengan elastisitas sama dengan satu sehingga proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. Sementara, fase increasing return to scale menjelaskan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Pada fase ini elastisitas produksi lebih besar dari satu. Fungsi produksi terbagi ke dalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas dari masing-masing faktor-faktor produksi, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi kurang dari nol (daerah III). Ketiga daerah produksi tersebut dapat terlihat pada Gambar 1. Daerah produksi I terletak antara titik asal dan X2. Pada daerah ini, PM mencapai titik maksimum, kemudian mengalami penurunan, tetapi PM masih lebih besar dari Produk Rata-rata (PR). PM akan bernilai sama dengan PR saat PR maksimum. Elastisitas produksi pada daerah I bernilai lebih dari satu, artinya penambahan faktor produksi secara bersama-sama sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum pada daerah ini belum tercapai karena produksi masih dapat
34
diperbesar dengan penambahan faktor produksi yang lebih banyak. Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irrasional (irrational region). Daerah produksi II terletak antara X** dan X***
dengan elastisitas
produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar antara nol dan satu persen. Daerah ini dikatakan daerah decreasing/diminishing returns karena setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu, penggunaan input akan mencapai produksi total yang maksimum yaitu pada saat PM sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, maka dikatakan daerah II merupakan daerah rasional (rational region). Daerah III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Pada daerah ini, produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh PM yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga daerah III ini disebut daerah irrassional (irrational region).
3.1.3. Konsep Usahatani Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan oleh Soekartawi (2006), yakni ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi pemasukan (input). Soekartawi et al. (1986) menambahkan bahwa tujuan usahatani adalah memaksimalkan
keuntungan
atau
meminimumkan
biaya.
Konsep
memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan
35
maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya, yaitu bagaimana menekan biaya sekecil mungkin untuk mencapai tingkat produksi tertentu. Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan. Tingkat produksi dan produksi usahatani dipengaruhi oleh teknik budidaya, yang meliputi varietas yang digunakan, pola tanam, pemeliharaan, dan penyiangan, pemupukan serta penanganan pasca panen. Hernanto (1996) berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di atasnya juga bervariasi. Oleh karena itu, manusia yang beragam menyebabkan beragam juga putusan yang ditetapkan untuk usahataninya. Secara umum beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik yang ada di lingkungan usahataninya. Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Dan yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006). Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produksi, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut :
36
1.
Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata.
2.
Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas.
3.
Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan.
4.
Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula
dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006) benda-benda termasuk tanah yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagi modal. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barangbarang baru, yaitu produksi pertanian. Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah (Hernanto, 1996) : 1. Tanah 2. Bangunan- bangunan (gudang, kandang, pabrik, dan lain-lain) 3. Alat- alat pertanian (traktor, sprayer, cangkul, parang, dan lai-lain) 4. Tanaman, ternak dan ikan di kolam 5. Bahan- bahan pertanian (pupuk, bibit, obat- obatan)
3.1.4. Biaya Usahatani Biaya total (TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (Total Fixed Cost = TFC) dan biaya variabel total (Total Variabel Cost = TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yaitu bertambah besar seiring peningkatan produksi, dan sebaliknya semakin berkurang seiring penurunan produksi. Klasifikasi biaya usahatani menjadi biaya tetap dan variabel tersebut dijelaskan dalam formulasi (Lipsey et al 1995): TC = TFC + TVC TC = TFC + Px 1 .x 1 + Px 2 .x 2 + .... + Px n .x n keterangan: TC
= Biaya total
37
TFC
= Biaya tetap
TVC
= Biaya variabel
Px 1 , Px 2 , Px n = Harga satuan input variabel x 1 , x 2, x n x 1 , x 2, x n
= Jumlah penggunaan input variabel x 1 , x 2, x n
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa biaya tetap nilainya tetap pada setiap periode produksi sedangkan biaya variabel nilainya ditentukan oleh jumlah penggunaan input variabel, dimana jumlah penggunaan dan harga input variabel tidak selalu sama di setiap periode produksi. Oleh karena itu, peningkatan dan penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah biaya variabel usahatani. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel; serta pengeluaran usahatani tunai dan yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani bila bunga modal dan niai kerja keluarga diperhitungkan. Modal yang digunakan petani diperhitungkan sebagai modal pinjaman pinjaman meskipun modal tersebut milik petani sendiri. Kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu anggota keluarga menyumbangkan kerja dan pada tempat mereka bekerja. Selain berwujud biaya tetap dan biaya variabel, pengeluaran juga mencakup penurunan nilai inventaris usahatani. Nilai inventaris berkurang karena hilang, rusak, atau karena penyusutan. Penyusutan terjadi karena pengaruh umur atau karena dipakai, contohnya gedung-gedung, traktor, bajak, cangkul, dan lain sebagainya. Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran usahatani sering juga disebut sebagai biaya usahatani. Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Bunga pinjaman dan pembayaran pinjaman pokok tidak termasuk pengeluaran usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional dengan
38
tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani yang meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Soekartawi (2006) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan tanpa dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi, bahkan berjalan atau tidaknya usahatani. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah produksi. Biaya ini dapat berubah sesuai dengan jumlah produksi yang ingin dihasilkan. Selain itu, pengeluaran usahatani juga dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran tunai dan tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Pengeluaran tunai merupakan pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, sedangkan pengeluaran tidak tunai merupakan pengeluaran yang diperhitungkan secara tidak langsung karena tidak dilakukan secara verbal. Contoh pengeluaran tidak tunai atau pengeluaran yang diperhitungkan adalah penyusutan sarana produksi, gaji untuk tenaga kerja dalam keluarga petani, dan lain sebagainya.
3.1.5. Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan digunakan untuk melihat manfaat ( keuntungan) dari suatu usaha, sehingga dapat dinilai tingkat kelayakan usaha tersebut. Kriteria analisis pendapatan bertitik tolak pada prinsip bahwa efisiensi suatu usaha sangat dipengaruhi oleh nilai input yang digunakan dalam nilai output yang dihasilkan dengan proses produksi. Ada tiga variabel yang perlu diketahui dalam analisis usahatani. Tiga variabel tersebut adalah penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani. Analisis tiga variabel ini disebut analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis). Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual, biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Selanjutnya Soeharjo dan Patong (1977) menyebutkan bahwa analisis pendapatan
39
usahatani mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi dimana dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu : (1) menggambarkan keadaaan sekarang dari suatu kegiatan usahatani, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani sangat bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat keberhasilan dari usahataninya.
3.1.6. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio) Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah ratio imbangan penerimaan dan biaya (Return and Cost). Ratio R/C ini menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk memproduksi tiap satuan produksi. Alat analisis ini dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan financial sehingga dapat dijadikan penilaian terhadap keputusan petani untuk menjalankan usahatani tertentu. Titik tekan pada konsep ini adalah unsur biaya merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soeharjo dan Patong 1973). Usahatani efisien apabila R/C lebih besar dari 1 (R/C>1) artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan lebih dari Rp. 1,00. Sebaliknya jika ratio R/C lebih kecil satu (R/C<1) maka dikatakan bahwa untuk setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan memberikan penerimanaan lebih kecil dari Rp. 1,00 sehingga usahatani dinilai tidak efisien. Semakin tinggi nilai R/C, semakin menguntungkan usahatani tersebut (Gray et al, 1992).
3.2.
Kerangka Pemikiran Operational
Indonesia merupakan negara maritim. Berbagai kekayaan laut dunia bisa didapatkan di negara ini. Besarnya potensi tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan setiap kekayaan laut Indonesia. Kekayaan laut terbagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang didapatkan dari perikanan dan kekayaan yang didapatkan dari kelautan. Sumberdaya yang didapatkan dari kelautan biasanya berupa air laut, rumput laut dan bahan-bahan
40
lainnya yang bukan berupa ikan. Salah satu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia adalah air laut, dimana air laut nantinya akan dijadikan bahan utama pembuatan garam. Sentra pembuatan garam di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu. Luas lahan yang paling luas adalah berada di Kecamatan Losarang tepatnya di Desa Santing. Usaha garam rakyat disana merupakan usaha budidaya air laut dengan lahan berhektar-hektar dan dikelola secara tradisional oleh tenaga kerja baik dari dalam keluarga dan luar keluarga. Usaha tambak ini pun merupakan salah satu tombak penghasilan yang diharapkan pada musim kemarau oleh para petambak. Pada tahun 2010, kerugian pun dialami oleh para petambak di Desa Santing, umumnya di Indonesia. Dalam setahun curah hujan disana sangat tinggi, sehingga para petambak garam tidak bisa melakukan proses pengkristalan air laut dengan bantuan cahaya matahari yang jarang sekali muncul. Maka mereka pun harus meminjam uang untuk keperluan sehari-hari kepada para tengkulak. Pada umumnya tidak semua petambak memiliki lahan sendiri. Ada beberapa status penguasaan lahan yang ada pada usaha garam rakyat di Indramayu. Status lahan yang ada disana, diantaranya lahan milik sendiri dan lahan bukan milik sendiri. Lahan bukan milik sendiri adalah lahan yang dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun milik perseorangan. Pemindahtanganan manajemen pengelolaan lahan nanti dibuat berupa lelang, penyewaan maupun dengan sistem bagi hasil. Umumnya perbedaan status penguasaan lahan tersebut bisa membedakan pendapatan yang akan diterima oleh masing-masing petambak. Pemerintah dalam hal ini membantu beberapa petambak di Desa Santing. Bantuan tersebut terhimpun dalam Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang masuk kedalam Program Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Tidak semua petambak di Indramayu mendapatkan bantuan ini, namun bantuan yang ada sudah cukup membantu beberapa petambak untuk meningkatkan pendapatannya. Bantuan tersebut berupa pemberian alat dan bahan yang biasa digunakan untuk usaha garam rakyat. Pada umumnya, usaha tambak padi menggunakan pupuk untuk meningkatkan produksi lahannya dimana dengan lahan yang sempit (<0,5Ha) dapat menghasilkan output produksi yang tinggi. Perbedaan pada usaha garam rakyat adalah tidak menggunakan pupuk. Bahan yang digunakan untuk
41
meningkatkan produksi lahan pada usaha garam rakyat adalah zat aditif. Nama dagang zat aditif yang ada di setiap daerah produksi garam mempunyai nama yang berbeda-beda. Produk yang diberikan oleh pemerintah di Kabupaten Indramayu adalah Ramsol (Garam Solusi). Penggunaan zat aditif terhadap pendapatan dapat diketahui dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi produksi garam di Desa Santing. Selain itu zat aditif akan dimasukkan kedalam model sebagai dummy, sehingga nanti akan diketahui seberapa besar pengaruhnya zat aditif terhadap produksi garam. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam dan dampak penggunaan zat aditif terhadap pendapatan pada usaha garam rakyat. Variabel yang diduga mempengaruhi produksi garam, diantaranya jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja pada masa produksi, dan zat aditif. Analisis pendapatan dilakukan dengan mengambil sampel petambak yang telah distratifikasi kedalam dua bagian. Bagian pertama distratifikasi berdasarkan status penguasaan lahan menjadi petambak milik dan petambak bukan milik. Khusus pada petambak bukan milik kemudian akan dilakukan stratifikasi lagi berdasarkan petambak sewa, dan petambak bagi hasil. Kemudian bagian kedua merupakan analisis pendapatan petambak menurut penggunaan zat aditif. Responden terbagi menjadi dua, diantaranya petambak yang menggunakan zat aditif dan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Dari masing-masing sub-populasi dari kedua bagian tersebut akan dianalisis tingkat pendapatan dan profitabilitas usaha tambaknya untuk melihat sejauh mana pendapatan yang diperoleh dari usaha garam rakyat yang dilakukan berdasarkan status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif, serta apakah usaha tambak yang dilakukan oleh petambak tersebut cukup menguntungkan atau tidak. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.
42
Permasalahan Garam di Indonesia
Belum mencapai kualitas 1
Bergantung Dengan Sinar Matahari
Jumlah Permintaan Lebih Tinggi Daripada Jumlah Penawaran
Berpengaruh Terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Garam Inovasi Penggunaan Teknologi Zat Aditif
Kualitas Garam
Pendapatan Petambak Garam
Status penguasaan Lahan
Analisis Pendapatan
Fungsi Zat Aditif : 1. Meningkatkan Kualitas 2. Meningkatkan Produksi
Produksi Garam
Pengguna/Non Pengguna Zat Aditif
Analisis Profitabilitas
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam
Analisis Regresi Berganda
Rekomendasi Kepada Pemerintah dalam Hal Pengambilan Keputusan Mengenai Masalah Usahatani Garam di Desa Santing Khususnya dan Pada Umumnya di Indonesia
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operational
43
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa di daerah tersebut merupakan lokasi pengembangan usaha garam yang paling luas di Kabupaten Indramayu (Lampiran 2). Penelitian dimulai dari Agustus 2011 dengan mengumpulkan data yang terkait dengan penelitian ini. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan September Oktober 2012.
4.2.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data cross section dan dikumpulkan dari petambak secara langsung, dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik petambak garam, input yang digunakan, biaya produksi, penerimaan dan rata-rata harga garam yang diterima. Data sekunder adalah data yang telah disajikan dalam bentuk dokumentasi. Data sekunder merupakan data penunjang yang berfungsi untuk memberikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian. Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari text book, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, BAPPEDA Kabupaten Indramayu, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu, Kantor Kuwu Santing, Kantor Kecamatan Losarang, Kementrian Perindustrian RI, Kementrian Perdagangan RI, dan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh suatu instansi, lembaga atau personal yang berkaitan dengan penelitian ini. Klasifikasi dari jenis data dan sumber data yang digunakan agar menjawab setiap tujuan dapat dilihat pada Tabel 3.
44
Tabel 3. Jenis Data yang Digunakan Pada Penelitian No 1
2
Tujuan Penelitian
Jenis Data
Mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi produksi petambak garam di Desa Santing.
Data Primer (wawancara melalui kuesioner yang disediakan)
Menganalisis pendapatan usahatani garam di Desa Santing berdasarkan status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif
Data Primer (wawancara melalui kuesioner yang disediakan)
Keterangan • • • • • • • • •
4.3.
Karakteristik Responden Input Produksi Output Produksi Pengguna/Non-pengguna Aditif
Zat
Penerimaan dalam setahun musim tanam (Tahun 2011) Pengeluaran dalam setahun musim tanam (Tahun 2011) Bahan dan Alat yang Digunakan Umur Tekhnis Bahan dan Alat yang Digunakan Status Penguasaan Lahan
Metode Pengambilan Sampel
Pada awalnya penentuan responden petambak garam rakyat akan dilakukan secara stratifikasi, dimana petambak garam dibedakan berdasarkan pengguna garam yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif. Faktanya di lapangan peneliti kesulitan melakukannya karena tidak tersedia data mengenai kelompok petambak yang menggunakan zat aditif dan kelompok yang tidak menggunakan zat aditif, sehingga pengambilan sampel yang dilakukandalam penelitian ini dengan cara acak sederhana (Simple random Sampling). Simple random sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak sehingga tiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Jumlah populasi petambak garan rakyat adalah 350 orang. Penentuan sampel dalam penelitian ini merujuk kepada rumus Slovin (Husein, 2007) sebagai berikut:
Keterangan : N
: jumlah populasi (350)
n
: jumlah sampel
d
: persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir (10%).
45
4.4.
Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer melalui program Microsoft Office Excel 2007, SPSS 16.0, Minitab 14.0 dan eviews 6. Metode prosedur analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Metode Prosedur Analisis Data No
Tujuan Penelitian
Metode Analisis Data
Alat Analisis
1
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan petambak garam di Desa Santing.
Analisis berganda Doughlas)
regresi (Cobb-
• Microsoft Office Excel 2007 • Minitab 14.0;dan • Eviews 6
2
Mengidentikasi tingkat pendapatan yang ada pada usaha garam rakyat berdasarkan status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif.
Analisis pendapatan dan ratio penerimaan dan biaya
• Microsoft Office Excel 2007 • SPSS 16.0
4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Analisis fungsi produksi adalah analisis yang menjelaskan hubungan antara produksi dengan faktor-faktor produksi yang mempengaruhinya. Fungsi produksi yang digunakan untuk menduga variabel tidak bebas (Y) dan variabel bebas (X) pada usahatani garam hidroponik ini adalah fungsi produksi CobbDouglas. Dalam melakukan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu faktor-faktor produksi yang digunakan, kemudian disusun suatu model fungsi produksi untuk menduga hubungan antar faktor-faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi yang dijadikan sebagai variabel independent berasal dari perumusan berdasarkan studi penelitian terdahulu serta beberapa referensi. Perumusan mengacu kepada intisari dari faktor-faktor produkis usahatani adalah lahan, modal, tenaga kerja, dan keterampilan/manajemen. Adapun faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menganalisis usaha garam rakyat adalah:
46
1. Jumlah Kincir (X ) 1
Kincir berfungsi sebagai pemompa air yang akan dialirkan ke meja garam. Sehingga, kincir termasuk kedalam faktor produksi utama pada usahatani garam. Satuan luas yang digunakan untuk mengukur jumlah kincir adalah buah. Hipotesisnya adalah semakin banyak jumlah kincir digunakan maka semakin tinggi produksi garam. Maka diharapkan koefisien dari X 1 bernilai positif. 2. Luas Lahan (X ) 2
Lahan merupakan faktor produksi utama dalam usahatani garam. Satuan luas yang digunakan untuk mengukur lahan adalah hektar. Hipotesisnya adalah semakin luas lahan yang digunakan maka semakin tinggi produksi garam. Maka diharapkan koefisien dari X 2 bernilai positif. 3. Jumlah Tenaga Kerja Pengerik (X ) 3
Tenaga kerja pengerik merupakan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses mengerik garam yang siap dipanen. Hipotesisnya adalah semakin banyak tenaga kerja yang digunakan pada proses mengerik garam
maka
semakin
cepat
proses
pemanenan,
sehingga
akan
menghasilkan output garam yang lebih banyak. Sehingga, diharapkan nilai koefisien dari X 3 bernilai positif. 4. Zat Aditif (X 4 ) Tidak semua responden menggunakan zat aditif pada proses produksinya. Nantinya akan dilihat perbedaan bagi petambak yang menggunakan
dan
tidak.
Hipotesisnya
adalah
petambak
yang
menggunakan zat aditif, memiliki hasil produksi yang lebih besar dibandingkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Maka diharapkan nilai koefisien dari X 6 adalah positif. Menurut Doll dan Orazem (1984), penggunaan fungsi produksi CobbDoughlas mempunyai beberapa keuntungan antara lain : 1. Perhitungan sederhana karena dapat dibuat dalam bentuk linear, 2. Pada model ini, koefisien pangkatnya sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan
47
dalam produksi, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi, 3. Hasil penjumlahan koefisien elastisitas masing-masing faktor produksi pada fungsi ini juga dapat menunjukkan skala usaha return to scale atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yang sedang berlangsung. Secara matematis model fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditulis sebagai berikut : b1
Y=b X o
1
b2
X
2
b3
X
3
b5D+u
b4
X
4
e
Dari fungsi produksi Cobb-Douglas di atas, kemudian model diubah ke bentuk linier, sehingga fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut :
ln Y = lnb + b lnJK + b lnX + … + b lnX + b lnD + u 0
1
2
2
5
5
4
Dimana : LnY
= produksi garam responden (kg/tahun)
b0
= Intercept
b 1, b 2, b 3, b 4, b 5, b 6
= koefisien regresi
X1
= jumlah kincir (buah)
X2
= luas lahan (hektar)
X3
= jumlah tenaga kerja pengerik (orang)
D (X 4 )
= dummy (dummy bernilai 1 adalah bagi petambak yang menggunakan zat aditif dan dummy bernilai 0,001 adalah bagi petambak yang tidak menggunakan zat aditif)
4.4.2. Pengujian Hipotesa Pengujian hipotesa secara statistik hanya dilakukan untuk hasil regresi dari model fungsi produksi yang dihasilkan dari perolehan data. Pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
48
1)
Pengujian Terhadap Model Penduga
Pengujian variabel secara keseluruhan, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama variabel dependen dengan variabel independen secara keseluruhan (Gujarati, 2006). Hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut Prosedur pengujian : H 0 : b 1 = b 2 = ... = b 6 = 0 H 1 : paling sedikit ada satu bi ≠ 0
dimana: 2
R = koefisien determinasi k = jumlah variabel bebas = 6 n = jumlah sampel = 100 Kriteria uji: Jika F-hitung > F- tabel (k-1, n-k), maka tolak H , artinya faktor-faktor produksi 0
(X i ) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi garam pada selang kepercayaan (1-α). Jika F-hitung < F- tabel (k-1, n-k), maka terima H , artinya faktor-faktor produksi 0
(X i ) secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap produksi garam pada selang kepercayaan (1-α). 2)
Pengujian Koefisien Regresi
Pengujian ini digunakan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya (Gujarati, 2006). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah: H :b =0 0
i
H :b ≠0 1
i
49
Dimana: b = koefisien regresi ke-i i
Sb = standar deviasi koefisien regresi ke-i i
Kriteria pengujian : Jika t-hitung > t-tabel (α/2, n-k), atau P-value <α, maka tolak H 0 , artinya X i berpengaruh nyata terhadap P pada selang kepercayaan (1-α). Dan jika t-hitung < t-tabel (α/2, n-k), maka terima H , artinya X i tidak berpengaruh nyata terhadap P 0
pada selang kepercayaan (1-α). 3)
Pengujian Koefisien Determinasi Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel
dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared memiliki dua sifat yang memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared< 1. Jika R-squared bernilai nol maka artinya keragaman dari variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2006). Kelemahan mendasar penggunaan koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam model. Setiap tambahan satu variabel independen maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Kuncoro, 2011). Oleh karena itu, banyak peneliti menganjurkan untuk menggunakan nilai Adjusted R2 pada saat mengevaluasi mana model yang terbaik. Adjusted R2 dihitung dari : Koefisien determinasi (R-Squared) adjusted dari model yang digunakan adalah ratio dari jumlah kuadrat regresi dan total jumlah kuadrat seperti yang terlihat berikut ini
Dimana : R2
= koefisien determinasi
50
R2 Adj = koefisien determinasi yang disesuaikan k
= jumlah variabel penjelas termasuk intercept
n
= jumlah sample
Kriteria pengujian : Jika R2 adj tinggi mendekati 100%, artinya model yang digunakan baik dan mampu menjelaskan keragaman dari P, dan demikian juga sebaliknya. 4)
Pengujian Asumsi Ordinary Least Square (OLS) Metode pendugaan model yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil
(ordinary least square, OLS), sehingga agar model yang digunakan sesuai dengan asumsi OLS maka dilakukan pengujian-pengujian: a.
Normalitas Untuk menguji normalitas suatu model, maka dapat menggunakan uji
Jarque-Bera. Jarque-Bera adalah uji statistik untuk mengetahui apakah data terdistribusi secara normal atau tidak (Winarno, 2011). Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Rumus yang digunakan adalah :
Dimana : n
= jumlah observasi;
k
= nol untuk suatu data biasa dan jumlah koefisien pada saat meneliti residual dari suatu persamaan;
S
= Skewness;
K
= Kurtosis. Peluang (probablity) menunjukan kemungkinan nilai Jarque-Bera melebihi
(dalam nilai absolute) nilai terobservasi di bawah H 0 . Nilai peluang yang kecil cenderung mengarahkan pada penolakan H 0 distribusi normal. Apabila nilai probability jarque bera lebih besar dr α maka kesimpulannya terdistibusi normal b.
Heteroskedastisitas Suatu model memenuhi asumsi heteroskedastisitas jika memiliki varians
error yang sama, yaitu nilai-nilai Y bervariasi dalam satuan yang sama baik untuk
51
nilai X yang tinggi maupun nilai X yang rendah, hal ini dapat dilihat dari plot antara sisaan dengan nilai dugaan telah menunjukan bahwa titik-titik telah menyebar secara acak dan tidak membentuk pola (Iriawan dan Astuti, 2006). Penentuan ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai probabilitas chi- squared uji White. Jika nilai probabilitas lebih besar dari nilai α yang digunakan maka terima H 0. Artinya model regresi tersebut homoskedastis. Sebaliknya, jika nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α yang digunakan maka tolak H 0 yang berarti model regresi bersifat heteroskedastis. c.
Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu situasi dimana nilai-nilai pengamatan
mempunyai hubungan yang kuat sehingga variabel X tertentu tidak begitu mempengaruhi variabel Y, tetapi justru variabel X tertentu dipengaruhi variabel X (Soekartawi, 2003). Untuk mengidentifikasi adanya multikolinearitas dalam model digunakan nilai VIF (Variance Inflation Factor), pengujiannya adalah jika nilai VIF lebih besar dari 10 untuk masing-masing variabel maka terdapat multikolinearitas (Iriawan dan Astuti, 2006). d.
Autokorelasi Autokorelasi merupakan kondisi linier antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang (Gujarati, 1993). Masalah autokorelasi ini umumnya terjadi pada data time series, sehingga pada penelitian tidak dilakukan, karena data yang digunakan adalah cross section.
4.4.3. Analisis Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan usahatani garam dilakukan dengan cara mencatat seluruh penerimaan dan pengeluaran usahatani. Data pengeluaran dibedakan menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Kemudian dilakukan perhitungan pendapatan usahatani atas biaya total. Secara sistematis pendapatan dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 1986) : П = NP – BT – BD Dimana : П
= pendapatan (Rp)
NP
= nilai produksi (hasil kali jumlah fisik dengan harganya)
52
BT
= biaya tunai usahatani
BD
= biaya diperhitungkan
NP – BT
= pendapatan atas biaya tunai
NP – (BT+BD)= pendapatan atas biaya total Pendapatan dianalisis berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa
besar jumlah tunai yang
dibutuhkan petambak untuk menjalankan kegiatan usahatani (secara bisnis). Biaya diperhitungkkan digunakan untuk melihat seberapa besar pengeluaran petambak jika penyusutan, sewa lahan dan tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan. Sedangkan biaya total adalah penggabungan antara biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya total berguna untuk melihat seberapa besar jumlah minimum yang dikeluarkan oleh suatu usahatani dari kepemilikan dan pengoperasian sebuah aset tani.
4.4.4. Analisis Profitabilitas Profitabilitas pada usahatani dapat dilihat dengan menghitung nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio) atau menghitung efisien atau tidak usahatani untuk dilakukan. Ratio penerimaan dan biaya menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya yang dilakukan dalam suatu usahatani. Nilai R/C ratio tersebut dianalisis dengan maksud untuk melihat nilai keuntungan pada suatu usaha. Semakin besar nilai R/C ratio maka akan semakin menguntungkan usaha tersebut. Secara sistematik R/C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dimana : R
= Revenue (Penerimaan)
C
= Cost (Biaya)
Q
= Total Produksi (kg)
Pq
= Harga persatuan produk (Rp)
TFC
= Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
53
TVC
= Total Variable Cost (Biaya Variabel Total) Jika
nilai
R/C
ratio lebih
dari
satu
berarti
usahatani
tersebut
menguntungkan, sedangkan jika nilai R/C ratio kurang dari satu berarti usahatani garam tidak menguntungkan. Apabila nilai R/C ratio sama dengan satu maka usahatani garam tersebut mengalami impas, tidak untung dan tidak rugi. Secara sistematiis R/C ratio dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995).
4.5.
Batasan Penelitian
Dalam menganalisis pendapatan usaha garam rakyat serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam di lokasi penelitian, variabel-variabel yang diukur/dianalisis adalah : 1.
Luas lahan garapan adalah sepetak tahan dimana petambak melakukan kegiatan penanaman padi dalam satu musim tanam dan diukur dengan satu satuan hektar.
2. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan pada proses persiapan lahan, produksi dan pemanenan garam. Tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Seluruh tenaga kerja disetarakan dengan Hari Kerja Pria (HKP). Tingkat upah berdasarkan tingkat upah yang berlaku di lokasi penelitian. 3. Produksi total adalah hasil garam yang didapat dari luas tertentu, diukur dalam kilogram (kg). 4. Biaya total adalah semua jenis pengeluaran dalam usaha garam rakyat baik berupa tunai maupun tidak tunai (diperhitungkan). 5. Zat aditif yang digunakan oleh responden mempunyai merk dagang bernama garam solusi (ramsol). 6. Zat aditif yang digunakan oleh responden dalam penelitian ini merupakan hibah yang berasal dari program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Program ini merupakan inisiasi Kementrian Kelautan dan Perikanan dan diberikan melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 7. Musim garam di lokasi penelitian berlangsung selama lima bulan dan terjadi hanya satu musim dalam setahun. Hal itu disebabkan karena produksi garam
54
di Indonesia bergantung dengan sinar matahari, sehingga hanya bisa berproduksi pada musim kemarau saja. 8. Data yang diperoleh merupakan data usaha garam rakyat di Desa Santing pada satu musim tanam selama bulan Juli hingga November di tahun 2011.
55
BAB V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1.
Keadaan Umum, Geografi dan Sosial Ekonomi
Penelitian dilaksanakan di Desa Santing, terletak di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Desa Santing terletak pada ketinggian 0-7 meter diatas permukaan laut. Secara geografis, Kabupaten Indramayu berada pada posisi 107º 52’ - 108º 36’ BT dan 06º 15’ -06º 40’ LS. Curah hujan rata-rata per bulannya adalah 200,08 mm dan rata-rata hari hujan per bulannya 3,25 hari. Suhu udara harian berkisar antara 27º - 34º Celsius. Kawasan pantai terdapat di sepanjang pantai timur dan utara Indramayu termasuk sebagaian Kecamatan Losarang. Jarak tempuh desa ke ibukota Kecamatan Losarang sejauh 3 km, jarak desa dari ibukota Kabupaten Indramayu dan Provinsi Jawa Barat berturut-turut sejauh 21 km dan 84 km. Desa penelitian ini berbatasan dengan : a.
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cemara
b.
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Muntur
c.
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Anyar
d.
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Muntur Desa Santing memiliki luas wilayah sebesar 1138,2 Ha dengan kemiringan
tanahnya rata-rata 0 % – 2 %. Lahan-lahan tersebut memiliki peruntukkan yang berbeda-beda, diantaranya terdiri dari lahan sawah teknis, lahan sawah tadah hujan, lahan pemukiman. Pada Tabel 5 akan dilihat mengenai luas wilayah Desa Santing menurut penggunaannya. Tabel 5. Luas Wilayah di Desa Santing Menurut Penggunaan, Tahun 2010 No
Penggunaan Wilayah
Luas (Ha)
Persen (%)
1 2
Pemukiman
150
13,18
Sawah irigasi
347
30,49
3
Penggaraman
175
15,38
4
Tambak/kolam
436
38,31
5
Prasarana umum lain
30,2
2,65
Jumlah 1138,2 Sumber: Data Umum Tahun 2011 Kecamatan Losarang, 2011
100
56
Berdasarkan luas pemanfaatan lahannya, terlihat bahwa Desa Santing ini memiliki potensi sumberdaya alam yang besar baik berupa hamparan sawah irigasi, penggaraman maupun tambak/kolam. Sehingga dapat diperkirakan hampir sebagian besar mata pencaharian masyarakat disana sebagai petani dan petambak.
5.2.
Keadaan Umum Usaha Garam Rakyat di Desa Santing
Desa
santing
merupakan
wilayah
yang
cukup
potensial
untuk
mengembangkan produksi garam. Pembuatan garam bahan baku di Desa Santing berasal dari air laut dan air danua asin menggunakan sistem penguapan air laut dengan menggunakan sinar matahari (solar energy) di atas lahan tanah, serta mengandalkan angin untuk dapat memutar kincir agar terus memompa air ke lahan penggaraman. Adapun tahapan proses pembuatan garam di Desa Santing adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Lahan a. Pengeringan Lahan Pengeringan lahan meliputi kegiatan pengeringan lahan peminihan yang dilaksanakan pada awal musim kemarau dan pengeringan lahan kristaslisasi. b. Peminihan Selama tiga hari pertama air laut yang keluar masuk lahan digunakan untuk membersihkan waduk dari air hujan atau air tawar. Mulai hari keempat sesuai dengan perkembangan iklim, air laut mulai ditahan di dalam waduk sampai konsentrasi minimal 2º (Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu, 2011) Kemudian lahan-lahan diisi air yang dialiri menggunakan serokan dengan bantuan kincir dan angin, atau apabila keadaan angin sedang tidak memungkinkan, petambak garam menggunakan pompa diesel untuk dapat mengaliri air ke lahan. Setelah areal peminihan terendam air laut, kemudian pintu air air ditutup, sehingga air di lahan peminihan memiliki ketebalan beragam. Pada saat inilah sebagian besar petambak yang
57
menggunakan zat aditif memasukkan zat aditif (bubuk) yang sudah dicampur air kemudian dimasukkan ke areal lahan peminihan. c. Pembuatan Air Tua Setelah peminihan tertua, yaitu yang letaknya paling rendah terendamair laut maka pengisian meja-meja kristalisasi harus melalui saluran air tua dan sekali-kali tidak boleh mengisinya langsung melalui saluran pembuangan. Pintu-pintu airdari saluran pembuangan segera ditutup. Pengisian meja-meja kristalisasi melalui saluran air tua dapat dilakukan secara kontinyu dan tanpa menggunakan pompa air. Hal tersebut dikarenakan air sudah mengalir secara otomatis melalui lubanglubang di setiap pinggiran meja kristalisasi. 2. Pengolahan Air dan Tanah Proses
ini
diawali
dengan
pemadalatan
lahan
peminihan
(guluk/roll) lalu diakhiri dengan pengeringan. 3. Pengeluaran Air Tua Setelah meja mengalami proses pemadatan, maka air tua dimasukkan lagi kedalam meja kristalisasi. 4. Proses Kristalisasi Air di meja kristalisasi berubah menjadi mengering lalu mengkristal. Proses kristalisasi berlangsung selama kurang lebih 3 – 5 hari. 5. Proses Pemungutan/Pengerikan Proses ini dilakuakan setelah 3 – 5 hari air mengalami kristalisasi pada meja garam/ meja kristalisasi. Pengambilan garam dengan cara dikerik dengan menggunakan alat kerikan/sorkot kayu. Pengerikan dilakukan dengan cara menarik (mengais) dari tengah ke tepi meja, membentuk lenceran sejajar dengan galengan meja yang membujur ke arah penjemuran dalam jarak 1 m dari tepi galengan meja. Garam hasil pungutan di timbun di penjemurang yang terletak sejajar dengan meja terendah. Pungutan darurat dilakukan bila musim produksi tidak mungkin diteruskan, misalnya kondisi cuaca hujan terus menerus.
58
6. Proses Pencucian Proses pencucian bertujuan untuk meningkatkan kandungan NaCl dan mengurangi unsur Mg, Ca, SO 4 dan kotoran lainnya. Semakin bersih air pencucian garam dari kotoran, maka akan menghasilkan garam cucian yang lebih baik. Ai yang digunakan pada saat pencucian harus memenuhi syarat : Air garam dengan kepekatan 20 - 24ºBe dan kandungan Mg ≤ 10gr/liter (Wahyuni, 2007). Apabila sudah melakukan pencucian, garam dijemur untuk beberapa saat hingga mengering (tidak basah). 7. Proses Pengarungan Pengarungan dilakukan apabila garam sudah mengering. Mayoritas petambak garam memperoleh bantuan hibah berupa karung dari pemerintah setempat. Ada juga beberapa petambak yang memperoleh karung dari tengkulak, karena sudah sepaket dengan harga jual garam yang sudah ditentukan oleh tengkulak. 8. Proses Pengangkutan Proses ini merupakan pengangkutan garam dari gubuk petambak/areal penggaraman petambak ke gudang atau ke lokasi tengkulak berada yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya, petambak dikenakan biaya ongkos kirim gratis oleh tengkulak. Hal tersebut yang diduga menyebabkan harga jual garam petambak dibawah standar HPP (Harga Pokok Produksi) yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Penggunaan zat aditif sudah dilakukan sejak tahun 2009 oleh sebagian petambak garam rakyat di Desa Santing, namun pada tahun 2010 tidak dilanjutkan penggunaan zat aditif dikarenakan gagal panen akibat cuaca yang tak menentu. Kemudian pada tahun 2011 penggunaan zat aditif mulai bisa efektif dilakukan secara berkala oleh beberapa petambak di Desa Santing. Pada tahun 2011 usaha tani garam di Desa Santing berlangsung pada bulan Juli sampai November. Usaha tambak merupakan usaha yang sifatnya musiman, dimana hanya bisa berlangsung pada musim kemarau. Apabila kondisi alam mendukung untuk memulai produksi garam, maka para petambak mulai mempersiapkan lahan penggaraman. Persiapan tersebut dengan membersihkan lahan, membuat galengan dan saluran. Lamanya waktu persiapan lahan
59
penggaraman adalah selama kurang lebih dua minggu. Pada umumnya mereka memulai hal tersebut pada Bulan Juli, sehingga Bulan Agustus panen raya garam sudah dimulai. Panen raya merupakan hal yang sangat ditunggu oleh para petambak, dimana mereka bisa mendapakan penghasilan. Namun panen raya hanya akan membuat harga garam mereka menurun. Sebelum masa panen raya, harga garam mencapai Rp400 – Rp700 per kg. Ketika panen raya tiba, maka harga menurun drastis menjadi Rp250 – Rp350. Harga tersebut nantinya bergantung dari kemana petambak akan menjual atau bagaimana kualitas garam yang dihasilkan. Sebagian besar petambak disana menjual ke berbagai macam makelar. Jenis penguasaan lahan di Desa Santing terbagi menjadi empat, yaitu milik lahan sendiri, sewa, bagi hasil, dan lelang. Biaya yang dikeluarkan pemilik lahan sendiri adalah berupa pajak yang dibayarkan sebesar Rp50.000,- per tahunnya. Petambak dengan lahan sewa mengeluarkan biaya untuk lahan sebesar Rp1.500.000,- yang dibayarkan kepada pemilik lahan. Petambak dengan lahan bagi hasil tidak mengeluarkan biaya untuk lahan, namun ia harus membagi 1/3 bagian garam yang dihasilkan untuk pemilik lahan, sedangkan petambak dengan lahan lelang membayar sejumlah Rp350.000,- sampai dengan Rp450.000,- per musim kepada aparat Kuwu (Desa) Santing. Besaran biaya tersebut bergantung dari hasil tawar menawar sebelum musim garam tiba. Tenaga kerja yang digunakan pada musim produksi hampir sebagian besar tenaga kerja dalam keluarga. Tenaga kerja tersebut terdiri dari anak, adik, cucu, sepupu dan istri. Sedangkan pada masa persiapan lahan, petambak banyak menggunakan jasa tenaga luar keluarga untuk mengerjakannya.Berdasarkan hasil wawancara dan olah data mengenai argumentasi dari responden mengenai dampak yang dirasakan setelah menggunakan zat aditif, diantaranya :
5.2.1. Pendapat Petambak Garam Terhadap Produksi Garam Hasil pengolahan data responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64,52 persen) setuju bahwa terjadi peningkatan produksi setelah menggunakan zat aditif pada proses produksi. Sementara 17, 74 persen menyatakan sangat setuju, 12,90 persen menyatakan netral dan 4,84 persen
60
menyatakan tidak setuju bahwa zat aditif mampu meningkatkan hasil produksi mereka.
1 3% 5% 18% 64%
Sangat Setuju Setuju Netral Tidak Setuju
Gambar 3. Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan Produksi Garam
5.2.2. Pendapat Petambak Garam Terhadap Kualitas Garam Pada kondisi nyata di lapangan, pemberian harga berdasarkan kualitas tidak dilihat berdasarkan karakteristik kadar air dan NaCl. Kualitas garam dilihat dari seberapa putih garam yang dihasilkan. Semakin putih garam, dianggap semakin bersih garam tersebut, sehingga dianggap semakin berkualitas. Maka pertanyaan yang diajukan kepada responden mengenai kualitas garam adalah apakah zat aditif mampu memutihkan garam yang dihasilkan. Hasil pengolahan data responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (51,61 persen) setuju bahwa terjadi peningkatan kualitas garam setelah menggunakan zat aditif pada proses produksi. Sementara 9,68 persen menyatakan sangat setuju, 30,65 persen menyatakan netral dan 8,06 persen menyatakan tidak setuju bahwa zat aditif mampu meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan ditinjau dari segi keputihan garam.
8% 10%
Sa nga t Se tuju Se tuju
31%
Netra l 51%
T ida k Se tuju
Gambar 5. Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan Kualitas Garam
61
5.3.
Karakteristik Responden
Petambak garam responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Perlu diketahui bahwa jumlah responden yang menggunakan zat aditif sebanyak 62 orang, sedangkan jumlah responden yang tidak menggunakan zat aditif sebanyak 38 orang. Karakteristik petambak garam responden yang akan dijelaskan diklasifikasikan menurut jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status penguasaan lahan, luas lahan garapan, masa panen dan pengalaman usaha tambak.
5.3.1. Jenis Kelamin Responden Pada penelitian, secara keseluruhan jenis kelamin responden baik pengguna zat aditif maupun bukan pengguna zat aditif adalah berjenis kelamin laki-laki (100% laki-laki). Hal tersebut disebabkan karena usaha garam rakyat merupakan pekerjaan yang berat, dimana posisi perempuan disini hanya sebatas membantu pekerjaan yang lebih mudah seperti halnya mencuci garam dan mengarungi garam.
5.3.2. Usia Responden Berdasarkan hasil wawancara dan data yang telah diolah, usia responden berada pada kisaran umur produktif, yaitu 20 – 50 tahun. Usia dapat mempengaruhi kematangan seseorang dalam melakukan usaha garam rakyat. Karakteristik responden berdasarkan usia untuk petambak garam yang menggunakan zat aditif dapat dilihat pada Tabel 6.
62
Tabel 6. Usia Responden Petambak di Desa Santing, Tahun 2011 Uraian
Pengguna
Bukan Pengguna
Usia (tahun)
Milik Sendiri Persentase
20 - 29
Jumlah (orang) 1
30 - 39
Milik Sewa
Bagi Hasil
Persentase
6,25%
Jumlah (orang) 2
Persentase
11,11%
Jumlah (orang) 2
1
6,25%
4
22,22%
6
21,43%
40 - 49
9
56,25%
6
33,33%
11
39,29%
50 - 59
4
25,00%
5
27,78%
7
25,00%
60 - 69
1
6,25%
1
5,56%
1
3,57%
70 - 79
0
0,00%
0
0,00%
1
3,57%
Total
16
100,00%
18
100,00%
28
100,00%
20 - 29
0
0,00%
1
6,25%
1
8,33%
30 - 39
3
30,00%
6
37,50%
5
41,67%
40 - 49
3
30,00%
5
31,25%
2
16,67%
50 - 59
3
30,00%
4
25,00%
1
8,33%
60 - 69
1
10,00%
0
0,00%
3
25,00%
70 - 79
0
0,00%
0
0,00%
0
0,00%
Total
10
100,00%
16
100,00%
12
100,00%
Total
7,14%
Sumber : Data Primer (diolah), 2012
5.3.3. Tingkat Pendidikan Responden Pendidikan terakhir responden petambak garam yang paling banyak adalah di tingkat sekolah dasar, bahkan ada beberapa petambak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal semasa hidupnya. Tingkat pendidikan responden tersaji dalam Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Santing, Tahun 2011 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Total Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Jumlah (orang)
Persentase
10 81 6 3 100
10,00% 81,00% 6,00% 3,00% 100,00%
5.3.4. Status Penguasaan Lahan Responden Status penguasaan lahan responden terbagi menjadi tiga kelompok, diantaranya milik sendiri, milik sewa, dan bagi hasil. Berdasarkan hasil wawancara dan data yang telah diolah, status penguasaan lahan terbanyak ada
62
38
63
pada status lahan bagi hasil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa responden petambak garam di Desa Santing lemah terhadap kepemilikan lahan serta adanya kemiskinan karena tidak mampu menguasai lahan. Pada Tabel 8 akan dipaparkan mengenai karakteristik responden berdasarkan status lahan. Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Penguasaan Lahan di Desa Santing, Tahun 2011 Status Lahan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Milik Sendiri
26
26,00%
Milik Sewa
34
34,00%
Bagi Hasil
40
40,00%
100
100,00%
Total Sumber : Data Primer (diolah), 2012
5.3.5. Luas Lahan Garapan Responden Berdasarkan hasil wawancara dan data yang telah diolah, maka didapatkan gambaran mengenai luas lahan yang digarap oleh masing-masing petambak. Gambaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar responden pengguna zat aditif menggarap lahan seluas ≥ 1 Ha, yaitu sebanyak 67 orang. Responden dengan luas lahan ≥ 1 Ha berada pada status penguasaan lahan bagi hasil pengguna zat aditif, yaitu sebanyak 22 orang, sedangkan responden dengan luas lahan < 1 Ha berada pada status penguasaan lahan milik sendiri pengguna dan bukan pengguna zat aditif, serta status penguasaan lahan milik sewa pengguna zat aditif. Luasan tersebut diduga akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi garam yang dihasilkan. Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan di Desa Santing, Tahun 2011 Uraian
Luas Lahan < 1 Ha
Pengguna
Bukan Pengguna
Milik Sendiri Jumlah Persentase (orang) 4 15.38%
Milik Sewa Jumlah Persentase (orang) 4 11.76%
Bagi Hasil Jumlah Persentase (orang) 6 15.00%
≥ 1 Ha
12
46.15%
14
41.18%
22
55.00%
Total
16
61.54%
18
52.94%
28
70.00%
< 1 Ha
4
15.38%
8
23.53%
7
17.50%
≥1 Ha
6
23.08%
8
23.53%
5
12.50%
Total
10
38.46%
16
47.06%
12
30.00%
100.00%
34
100.00%
40
100.00%
Total 26 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
64
5.3.6. Pengalaman Usaha Garam Rakyat Responden Berdasarkan hasil wawancara kepada responden yang tidak menggunakan zat aditif (Tabel 12), didapatkan bahwa pengalaman petambak pada jenis petambak ini berada pada kisaran paling rendah 1 – 10 tahun, yaitu sebanyak 26 orang atau 41,94% dari total keseluruhan petambak yang menggunakan zat aditif. Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Garam di Desa Santing, Tahun 2011 Pengalaman (tahun)
Pengguna Jumlah (orang)
Bukan Pengguna Persentase
Jumlah (orang)
Persentase
1 – 10
26
41,94%
24
63,16%
11 – 20
14
22,58%
9
23,68%
21 – 30
15
24,19%
2
5,26%
31 – 40
3
4,84%
3
7,89%
41 – 50
4
6,45%
0
0,00%
Total 62 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
100,00%
38
100,00%
5.3.7. Pengguna Zat Aditif Responden Responden dalam penelitian ini memiliki pengalaman bertani garam cukup bervariasi. Pada Tabel 13 menunjukkan bahwa responden terdiri dari 62 orang menggunakan zat aditif dan 38 orang tidak menggunakan zat aditif. Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengguna Zat Aditif Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011 Zat Aditif
Jumlah (orang)
Persentase
Ya Menggunakan
62
62,00%
Tidak Menggunakan
38
38,00%
100
100%
Total Sumber : Data Primer (diolah), 2012
65
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Analisis Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat di Desa Santing
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS (Ordinary Least Square), dan menggunakan pendekatan fungsi Cobb-Douglas dan analisis regresi berganda. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) Minitab 14.0, Eviews 4.1, SPSS 16.0, dan Microsoft Excell 2007.
6.1.1. Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Data hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing Tahun 2011 Variabel Konstanta LnX 1
Koefisien Regresi 10,9957 0,16897
T-hitung 160,27 2,59*
Peluang 0,000 0,011*
LnX 2
0,40593
9,04*
0,000*
1,9
LnX 3
0,10347
2,52*
0,013*
1,6
LnX 4
0,02798
6,69*
0,000*
1,3
R-Sq
82,0 %
F -hitung
81,2 %
Prob (F-stat)
R-Sq(adj) Sumber : Data Primer, diolah (2013) Keterangan : t-tabel (taraf nyata 0,05) = 1,943 f-tabel (taraf nyata 0,05) = 2,312 * = signifikan pada taraf nyata 95%
VIF 2,4
107,94 0,000
6.1.2. Analisis Uji Ekonometrika 6.1.2.1. Uji Multikolinearitas Pendeteksian ada tidaknya multikolinearitas ada beberapa cara, salah satunya yaitu dapat dilihat melalui nilai VIF. Kriteria yang digunakan untuk penilaian ini yaitu jika nilai VIF > 10, maka faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam tersebut mengandung multikolinearitas, jika nilai VIF < 10, maka tidak terdapat multikolinearitas. Pada lampiran ditunjukkan bahwa semua faktor-
66
faktor yang mempengaruhi produksi garam di Desa Santing tidak mengandung multikolinearitas
6.1.2.2. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan ARCH test pada Eviews 6. Penilaian heteroskedastisitas dilihat dari nilai probabilitasnya, yaitu sebesar 0,259. Hipotesis yang digunakan adalah apabila nilai probability chi-square lebih besar dari taraf nyata (5% atau 0,05) maka model terdistribusi normal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model fungsi produksi garam memenuhi asumsi OLS yaitu tidak mengandung heteroskedastisitas.
6.1.2.3. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan Jarque-Bera test pada Eviews 6. Penilaian normalitas dilihat dari nilai probabilitasnya,yaitu sebesar 0,602. Hipotesis yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata (5% atau 0,05) maka model terdistribusi normal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model fungsi produksi garam memenuhi asumsi OLS yaitu terdistribusi secara normal.
6.1.2.4. Uji Autokolerasi Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dengan software Eviews 6. Kriteria yang digunakan untuk penilaian ini yaitu jika nilai probability chi-square lebih besar dari nilai taraf nyata (0,05), maka model tidak mengandung autokorelasi. Pada lampiran ditunjukkan bahwa nilai probability chi-square dari model fungsi produksi sebesar 0,2019. Artinya model tidak mengandung autokorelasi.
6.1.3. Analisis Uji Statistik 6.1.3.1. Uji Adjusted R2 Berdasarkan hasil estimasi persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas usaha garam rakyat pada Tabel 12 diperoleh nilai adjusted R2 sebesar 0,812. Artinya kemampuan variabel independen seperti jumlah kincir, luas lahan, tenaga
67
kerja dan dummy zat aditif
mampu menjelaskan variabel dependen berupa
produski garam di dalam persamaan sebesar 81,2 persen dan sisanya sebesar 18,8 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.
6.1.3.2. Uji F-hitung Nilai F-hitung pada hasil analisis regresi ini sebesar 107,94 dengan nilai probabilitasnya sebesar 0,0000. Persamaan dalam penelitian ini lulus uji F-hitung, dimana nilai f-tabel pada taraf nyata 5 persen (F-tabel = 2,312) lebih kecil daripada nilai F-hitungnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel dependen dalam persamaan ini yang berpengaruh nyata terhadap faktor produksi pada tingkat kepercayaan 95 persen.
6.1.3.3. Uji t-hitung Masing-masing variabel bebas dalam persamaan fungsi produksi tersebut dapat diuji dengan menggunakan uji t-hitung. Pengujian t-hitung dapat dilakukan dengan melihat nilai t-tabel atau nilai probabilitas (peluang) dari masing-masing variabel bebas. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa faktor produksi jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja, dan dummy zat aditif berpengaruh nyata terhadap produksi garam di Desa Santing karena mempunyai nilai t-hitung yang lebih besar daripada nilai t-tabel pada taraf nyata 5 persen (t-tabel = 1,943)
6.1.4. Analisis Ekonomi 6.1.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam di Desa Santing Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas pada Tabel 14, maka dapat diperoleh persamaan fungsi produksi sebelum dilinearkan sebagai berikut : P = 10,9957X 1 0,16897X 2 0,40593X 3 0,10347D0,078
68
Model fungsi produksi tersebut bila dilinearkan menjadi :
Ln P = 10,9957+ 0,16897 ln X 1 + 0,40593 ln X 2 + 0,10347 ln X 3 + 0,02798 lnD Persamaan diatas menunjukkan bahwa jumlah kincir (X 1 ) mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap produksi garam di Desa Santing sebesar 0,16897. Tanda positif pada koefisien jumlah kincir sebesar 0,16897 mempunyai arti bahwa penambaha\n jumlah kincir sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi garam di Desa Santing sebesar 0,16897 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa penambahan jumlah kincir akan efisien untuk meningkatkan produksi garam di Desa Santing. Luas lahan (X 2 ) dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada nilai produksi garam di Desa Santing, yaitu sebesar 0,40593. Artinya, kenaikan ketersediaan lahan sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi garam sebesar 0,40593 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa penambahan areal lahan akan efisien untuk meningkatkan produksi garam di Desa Santing. Pada umumnya lahan adalah salah satu variabel penting dalam produksi garam, namun keterbatasan petambak dalam penguasaan lahan menjadi kesulitan tersendiri untuk petambak garam dalam meningkatkan produksi garam. Tenaga kerja (X 3 ) merupakan salah satu faktor penting dalam produksi usaha garam rakyat. Pada umumnya penambahan tenaga kerja berhubungan negatif dengan pendapatan, namun sebaliknya penambahan tenaga kerja memiliki ubungan yang positif terhadap produksi. Pada persamaan fungsi produksi dalam penelitian ini, tenaga kerja mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap produksi garam di Desa Santing sebesar 0,10347. Tanda positif pada koefisien tenaga kerja sebesar 0,10347 mempunyai arti bahwa penambahan tenaga kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi garam di Desa Santing sebesar 0,10347 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa penambahan tenaga kerja akan efisien untuk meningkatkan produksi garam di Desa Santing.
69
Dummy zat
aditif memiliki
tanda positif dan
nyata.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa rata-rata produksi yang memasukkan tambahan imput berupa zat aditif dalam proses produksi menjadi lebih banyak hasilnya apabila dibandingkan produksi yang tidak memasukkan tambahan input zat aditif pada proses produksi. Tanda positif dan nyata ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa penggunaan zat aditif dal proses produksi garam akan meningkatkan output produksi garam. Pengaruh variabel yang paling besar terhadap produksi garam yaitu variabel luas lahan sebesar 0,40593. Luas lahan berpengaruh positif dan nyata, karena luas lahan sebagai wadah satu-satunya pembuatan garam di Indonesia, khususnya Desa Santing, sehingga penambahan luas areal lahan akan membantu dalam hal peningkatan produksi garam di Desa Santing.
6.1.4.2. Elastisitas dan Skala Usaha 6.1.4.2.1.
Elastisitas Produksi Garam
Berdasarkan teori pada bab sebelumnya, bahwa nilai koefisien regresi dalam fungsi produksi Cobb-douglas merupakan elastisitas produksi dari masingmasing faktor produksi. Keadaan skala usaha dalam berproduksi dapat diketahui dengan menjumlahkan nilai dari setiap koefisien dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas tersebut. Berdasarkan Tabel 13, dugaan nilai elastisitas produksi dari masingmasing faktor produksi (jumlah kincir, luas lahan, dan tenaga kerja) memiliki nilai yang lebih besar dari 0 (positif). Faktor produksi tersebut berada pada daerah II dimana elastisitas produksi antara nol dan satu memiliki arti bahwa penambahan faktor produksi sebesar antara nol dan satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi jumlah kincir, luas lahan dan tenaga kerja masih rational karena penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal. Artinya, setiap penambahan penggunaan salah satu faktor produski akan meningkatkan jumlah ouput produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang karena faktor produksi lain tetap (ceteris paribus). Daerah ini merupakan daerah dimana keuntungan maksimum dapat dicapai selama pertambahan hasil produksi sama dengan pertambahan biaya produksinya (PM).
70
Tabel 13. Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas Variabel
Elastisitas
Jumlah Kincir (X 1 )
0,16897
Luas Lahan (X 2 )
0,40593
Tenaga Kerja (X 3 )
0,10347
Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Jumlah kincir merupakan faktor produksi yang memiliki dugaan nilai elastisitas sebesar 0,169 yang artinya jika jumlah kincir meningkat sebesar satu persen dengan asumsi faktor produksi lain tetap (ceteris paribus), maka output produksi akan meningkat sebesar 0,169 persen. Pengaruh jumlah kincir yang cukup kecil terhadap output produksi garam diduga karena keterbatasan modal yang membuat petambak tidak meningkatkan jumlah kincir, sehingga kurang pengoptimalan produksi yang dihasilkan. Luas lahan merupakan faktor produksi yang mempunyai dugaan nilai elastisitas terbesar, yaitu 0,406 yang artinya jika areal lahan diperluas sebesar satu persen dengan asumsi faktor produksi lain tetap (ceteris paribus), maka output produksi garam akan meningkat sebesar 0,406 persen. Pengaruh luas lahan cukup besar dibandingkan faktor lain, dikarenakan faktor ini merupakan satu-satunya wadah yang dijadikan tempat peminihan atau tempat terbentuknya garam. Faktor produksi tenaga kerja mempunyai dugaan nilai elastisitas positif dan nyata sebesar 0,104.artinya setiap penambahan tenaga kerja sebanyak satu persen,maka akan meningkatkan ouput produksi garam sebesar 0,104. Penambahan tenaga kerja dapat mengefisienkan waktu dengan cara mempercepat proses mengerik, mencuci, hingga pengangkutan, sehingga akan lebih banyak lagi waktu yang bisa digunakan untuk melakukan proses produksi garam yang lain.
6.1.4.2.2. Skala Usaha Garam Rakyat Skala usaha dapat menjelaskan bagaimana suatu kenaikan proporsional dari semua faktor produksi (input) terhadap output. Penjumlahan dari setiap koefisien bebas dalam fungsi produski Cobb-Douglas dapat digunakan untuk mengetahui besarnya skal usaha dalam kegiatan produksi. Berdasarkan hasil estimasi, fungsi produksi garam diperoleh penjumlahan dari ketiga variabel bebas yaitu sebesar 0,67837 (Tabel 15). Nilai skala usaha dalam usaha garam rakyat
71
berada antara 0 dan 1 (0 < b 1 + b 2 + b 3 < 1) yang menunjukkan bahwa berada dalam kondisi decreasing return to scale. Artinya bahwa peningkatan faktor produksi secara bersama-sama meningkatankan jumlah
produksi yang
diperoleh,namun semakin lama peningkatannya semakin berkurang. Pada suatu tittik tertentu, penggunaan input produksi akan mencapai produksi total yang maksimum, yaitu pada saat PM sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi usaha garam rakyat sudah optimal. 6.2.
Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Desa Santing
Dalam bab ini, jenis petambak dikelompokkan menjadi enam bagian, yaitu terdiri dari petambak dengan status lahan milik sendiri baik yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif, petambak dengan status lahan milik sewa baik yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif,
dan
petambak dengan status lahan bagi hasil, baik yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif. Pengelompokkan juga dilakukan dengan membedakan status lahan dikarenakan memiliki unsur biaya lahan yang berbeda nilainya. Dalam analisis ini, pembahasan dibagi menjadi empat tahap, yaitu analisis penerimaan usaha garam rakyat, analisis biaya usaha garam rakyat, analisis pendapatan usaha garam rakyat, dan analisis profitabilitas dari usaha garam rakyat. Data yang digunakan adalah data yang diberikan petambak pada musim tanam di bulan Juli – November 2011. Dalam hal ini, zat aditif merupakan suatu teknologi yang disebut-sebut mampu memperbaiki kualitas dan meningkatkan kuantitas usaha garam rakyat khususnya di wilayah Kabupaten Indramayu selaku sentra penggaraman di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan untuk dapat membuktikan suatu hipotesis yang menyebutkan bahwa zat aditif mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas garam, sehingga akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petambak garam.
72
6.2.1. Penerimaan Usaha Garam Rakyat 6.2.1.1. Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri Usaha garam rakyat pada status lahan milik sendiri dan menggunakan zat aditif menunjukkan produksi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan produksi garam yang tidak menggunakan zat aditif di Desa Santing. Seperti yang tercantum pada Tabel 16, produksi per hektar usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar 83.750,00 kg per ha, sedangkan bagi usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif jumlah produksi per hektar sebesar 66.166,67 kg per ha. Dengan demikian, dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa produksi garam petambak garam dengan lahan milik sendiri yang menggunakan zat aditif memiliki hasil produksi yang lebih besar dibandingkan dengan hasil produksi petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif. Tabel 14. Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011 Uraian Produksi garam yang dijual (kg) Rata-rata harga garam yang diterima (Rp/kg) Produksi garam (kg/Ha) Penerimaan (Rp/Ha) Sumber : Data primer (diolah), 2013
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 71.250,00 58.500,00 350
324
83.750,00
66.166,67
29.234.375,00
21.340.000,00
Pada umumnya, petambak menjual hasil panen garamnya kepada tengkulak maupun koperasi. Ada beberapa tengkulak dan koperasi yang memiliki hak milik atas lahan yang digarap (sistem bagi hasil), dimana petambak menggarap diatas lahan milik mereka. Sistem tersebut pada akhirnya mengharuskan petambak untuk menjual hasil panennya ke pemilik lahan dengan harga berapapun. Harga dasar yang ditetapkan para tengkulak dan koperasi juga bervariasi. Pada masa panen tiba, harga kualitas 1 pun bervariasi, ada yang terletak di harga Rp 320/kg hingga Rp 400/kg. Namun rata-rata harga yang diterima pada umumnya sebesar Rp 350/kg untuk jenis garam kualitas 1. Garam dengan tingkat kualitas 1 dilihat dari kebersihan dan tampak putih dari garam yang telah dipanen. Sedangkan sisanya yang tidak dianggap sebagai garam kualitas 1 diberi harga Rp250 – Rp300 per kg.
73
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petambak Garam Tahun 2011 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dikatakan garam kualitas 1 adalah jenis garam dengan kadar NaCl minimal 94,7%, warna garam putih bening dan bersih dan ukuran butiran garam minimal 4 mm. Kemudian pada pasal 2 peraturan tersebut disebutkan harga terendah untuk kualitas 1 sebesar Rp750.000,00/ton atau setara dengan Rp750/kg. Sedangkan harga garam terendah untuk kualitas 2 sebesar Rp550.000,00/ton atau setara dengan Rp550/kg. Harga tersebut mulai berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkannya peraturan tersebut di tahun 2011. Namun, harga yang ada di lokasi penelitian tentunya tidak sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah untuk harga jual garam di tingkat petambak. Berdasarkan data yang telah diolah, maka didapatkan rata-rata harga yang diterima oleh petambak pada lahan status milik sendiri yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 350/kg, sedangkan pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 324/kg. Dengan demikian, rata-rata harga garam pada status lahan milik sendiri dan menggunakan zat aditif lebih tinggi daripada harga garam pada lahan milik sendiri dan tidak menggunakan zat aditif. Penerimaan petambak garam merupakan hasil perkalian antara produksi garam yang dihasilkan dan harga garam yang diterima petambak. Berdasarkan olahan data (Tabel 16), rata-rata penerimaan yang diterima petambak yang menggunakan zat aditif pada lahan milik sendiri lebih tinggi dibandingkan petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif. Tingginya baik produksi ataupun produksi per hektar (produksi) serta harga pada petambak yang menggunakan zat aditif, menyebabkan penerimaan atas nilai produksi yang dihasilkannya pun lebih besar dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif.
6.2.1.2. Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa memiliki nilai rata-rata produksi per hektar sebesar 79.814,81 kg per ha, lebih tinggi dari nilai rata-rata produksi per hektar petambak yang tidak menggunakan
74
zat aditif. Artinya zat aditif mampu menghasilkan garam yang lebih banyak pada status penguasaan lahan milik sewa. Berdasarkan data yang telah diolah, maka didapatkan rata-rata harga yang diterima oleh petambak pada lahan status milik sewa yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 341,67/kg, sedangkan pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 313,13/kg. Dengan demikian, rata-rata harga garam pada status lahan milik sewa dan menggunakan zat aditif lebih tinggi daripada harga garam pada lahan milik sewa dan tidak menggunakan zat aditif. Penerimaan yang diperoleh oleh usaha tambak yang menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa terbukti lebih besar daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif (Tabel 15). Besarnya penerimaan yang diperoleh oleh petambak juga didukung oleh produksi per hektar garam yang dihasilkan serta harga garam yang diterima petambak. Tabel 15. Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011 Uraian Produksi garam yang dijual (kg) Rata-rata harga garam yang diterima (Rp/kg) Produktivitas garam (kg/Ha) Penerimaan (Rp/Ha) Sumber : Data primer (diolah), 2013
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 75.000,00 53.062,50 341,67
313,13
79.814,81
68.416,67
27.337.962,96
21.347.916,67
6.2.1.3. Penerimaan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil Pengukuran penerimaan ini didasarkan pada hasil produksi pada tahun 2011 dalam satu kali musim tanam. Sedangkan harga yang ditentukan berdasarkan harga yang ditentukan tengkulak masing-masing oleh petambak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hasil panen petambak garam yang menggunakan zat aditif pada lahan bagi hasil sebesar 89.166,67 kg per hektar, sedangkan produksi per hektar petambak yang tidak menggunakan zat aditif sebesar 81.333,33 kg per ha. Pada status lahan bagi hasil, hampir sebagian besar petambak memiliki ketergantungan kepada pemilik tanah. Dari mulai pembiayaan lahan, dan biaya operational yang ditangguhkan kepada pemilik lahan, hingga pada hal ketetapan
75
harga. Beberapa petambak penggarap hanya boleh menjual garamnya langsung kepada pemilik tanah, ataupun rekanan tengkulak yang dipilih oleh pemilik tanah. Oleh karena itu, petambak penggarap menyerahkan sepenuhnya harga yang akan diterimanya dari hasil produksi. Menurut hasil olah data, rata-rata harga garam yang diterima oleh petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar, yaitu sebesar Rp 344,2/kg. Penerimaan yang diperoleh kedua petambak pada lahan bagi hasil juga memiliki perbedaan. Petambak yang menggunakan zat aditif memperoleh penerimaan dari hasil jual garam sebesar Rp 30.698.809,52 per hektar. Angka tersebut lebih tinggi dari penerimaan yang diperoleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif (Tabel 16). Tabel 16. Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011 Uraian Produksi garam yang dijual (kg) Rata-rata harga garam yang diterima (Rp/kg) Produksi garam (kg/Ha) Penerimaan (Rp/Ha) Sumber : Data primer (diolah), 2013
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 76.250,00 56.083,33 344,29
328,33
89.166,67
81.333,33
30.642.857,14
26.750.000,00
6.2.2. Biaya Usaha Garam Rakyat Biaya usaha tambak merupakan nilai barang atau jasa yang digunakan dalam kegiatan usaha tambak untuk menghasilkan produk usaha tambak. Berdasarkan sifatnya, biaya usaha tambak dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu biaya yang dibayarkan (tunai) dan biaya yang tidak dibayarkan (diperhitungkan). Biaya tunai merupakan kelompok biaya yang petambak melakukan pembayaran terhadapnya baik dengan uang tunai atau barang seperti gabah hasil panen (Basuki, 2008). Biaya diperhitungkan merupakan jenis biaya yang pada kenyataannya petambak tidak mengeluarkan uang atau alat pembayaran lainnya untuk melakukan pembayaran terhadap jenis biaya tersebut. Dalam analisis penelitian ini, biaya terbagi kedalam tiga kelompok berdasarkan status penguasaan lahan, diantaranya status lahan milik sendiri, status lahan milik sewa, dam status lahan bagi hasil.
76
Zat aditif merupakan pemberian/hibah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu melalui program BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Program ini merupakan bagian dari program PUGAR dari Kementrian Kelautan dan Perikanan RI yang diusung sebagai langkah awal melakukan swasembada garam nasional pada tahun 2015. Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) merupakan program pemberdayaan yang difokuskan pada kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan bagi petambak garam. Karena sifatnya hibah, artinya petambak tidak mengeluarkan uang tunai secara langsung, maka biaya zat aditif termasuk kedalam biaya diperhitungkan. Biaya tenaga kerja dalam keluarga adalah upah yang seharusnya dibayarkan petambak kepada petambak itu sendiri dan anggota keluarganya yang telah menyelesaikan suatu pekerjaan dalam usaha tambak. Pada kenyataannya upah TKDK tidak dibayarkan petambak kepada TKDK. Petambak pemilik lahan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa lahan karena tanah tersebut adalah miliknya sendiri. Pada petambak penyewa, biaya sewa yang merupakan biaya atas penggunaan lahan merupakan salah satu komponen biaya yang sangat penting dan mempunyai proporsi yang besar atas biaya total. Oleh karena itu, penggunaan lahan oleh pemilik lahan harus dianggap sebagai biaya dan dikategorikan sebagai biaya diperhitungkan. Biaya penyusutan alat menyatakan pengurangan nilai dari alat yang dimiliki petambak karena peralatan tersebut telah digunakan dalam usaha tambak. Nilai ekonomis alat yang dimiliki petambak, dari waktu ke waktu mengalami kecenderungan untuk turun. Meskipun tidak dikeluarkan secara nyata, biaya penyusutan peralatan perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen dari biaya.
6.2.2.1. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri Biaya dibayarkan (tunai) pada status lahan milik sendiri terdiri dari biaya PBB (pajak lahan), biaya bambu, biaya ember timba, biaya ember cuci, biaya solar, biaya waring, reparasi alat. dan upah TKLK (Tenaga Kerja Luar Keluarga). Biaya diperhitungkan (non-tunai) pada status lahan milik sendiri terdiri dari biaya sewa lahan, biaya pembelian zat aditif, upah TKDK (Tenaga Kerja Dalam Keluarga) dan penyusutan alat. Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 17, biaya
77
tunai dan biaya total dari petambak yang menggunakan zat aditif lebih besardibandingkan dengan biaya tunai dan total dari petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Besarnya biaya tersebut didukung oleh status lahan milik sendiri, sehingga petani mampu membayar upah tenaga kerja karena alokasi biaya lahan rendah. Pada biaya diperhitungkan juga dimasukkan unsur biaya zat aditif, meskipun petambak yang menggunakan zat aditif tidak mengeluarkan uang tunai untuk biaya tersebut, namun harus tetap diperhitungkan ke dalam unsur biaya usaha garam rakyat. Tabel 17. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 Pengeluaran Usahatani
Petani yang Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Petani yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Biaya Tunai 1. Pajak Lahan
50.937,50
0,23%
52.000,00
0,29%
2. Bambu
64.270,83
0,29%
55.214,29
0,31%
3. Ember Timba
92.291,67
0,42%
87.047,62
0,49%
4. Ember Cuci
27.083,33
0,12%
22.523,81
0,13%
121.875,00
0,55%
110.119,05
0,62%
5. Solar 6. Waring 7. TKLK 8. Reparasi Alat Total Biaya Tunai
53.104,17
0,24%
50.947,62
0,29%
8.445.312,50
38,17%
6.787.268,52
38,11%
127.187f,50
0,57%
26.000,00
0,15%
8.982.062,50
40,59%
7.191.120,90
40,38%
1.568.750,00
7,09%
1.580.000,00
8,87%
Biaya Diperhitungkan 1. Sewa Lahan 2. Zat Aditif
719.140,63
3,25%
0
0,00%
8.953.125,00
40,46%
7.135.069,44
40,06%
4. Penyusutan Alat 1.903.212,70 Total Biaya 13.144.228,32 Diperhitungkan TOTAL BIAYA 22.126.290,82 Sumber : data primer(diolah), 2013
8,60%
1.903.212,70
10,69%
59,41%
10.618.282,14
59,62%
100,00%
17.809.403,04
100,00%
3. TKDK
a.)
Petambak yang Menggunakan Zat Aditif Pada Tabel 17 diperlihatkan bahwa biaya tunai terbesar pada usaha garam
rakyat di Desa Santing ada pada upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai prosentase 38.17% dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 40.46% dari total biaya keseluruhan. Zat aditif termasuk kedalam biaya diperhitungkan, dan
78
nilainya tidak besar yaitu 3.25%. Produksi garam di Indonesia masih sangat tradisional, karena hanya mengandalkan proses alam dengan bantuan penuh dari sumber daya manusia, sehingga biaya terbesar yang dikeluarkannya dalam satu masa tanam ada pada upah tenaga kerja. b.)
Petambak yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Biaya tunai yang paling besar pada usaha garam rakyat di Desa Santing
adalah upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai 38.11% dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 40.06% dari total biaya keseluruhan. Sama halnya dengan petambak garam yang menggunakan zat aditif, petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif pun memiliki nilai biaya upah yang cukup tinggi dari total biaya usaha garam rakyat dengan status lahan milik sendiri.
6.2.2.2. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa Biaya dibayarkan (tunai) pada status lahan milik sewa terdiri dari biaya sewa lahan, biaya bambu, biaya ember timba, biaya ember cuci, biaya solar, biaya waring, reparasi alat. dan upah TKLK (Tenaga Kerja Luar Keluarga). Biaya diperhitungkan (non-tunai) pada status lahan milik sendiri terdiri dari PBB (pajak lahan), biaya pembelian zat aditif, upah TKDK (Tenaga Kerja Dalam Keluarga) dan penyusutan alat.
79
Tabel 18. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 Pengeluaran Usahatani
Petani yang Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Petani yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Biaya Tunai 1. Sewa Lahan
1,575,000.00
7.77%
1,706,250.00
8.64%
2. Bambu
55,250.00
0.27%
62,812.50
0.32%
3. Ember Timba
77,916.78
0.38%
87,916.67
0.45%
4. Ember Cuci
25,882.35
0.13%
27,916.67
0.14%
133,823.53
0.66%
142,708.33
0.72%
55,068.63
0.27%
53,437.50
0.27%
7,956,158.09
39.26%
6,977,724.36
35.33%
43,981.48
0.22%
51,250.00
0.26%
9,923,080.86
48.96%
9,110,016.03
46.12%
51,111.11
0.25%
51,562.50
0.26%
661,111.11
3.26%
0
0.00%
7,962,867.78
39.29%
8,910,776.52
45.12%
4. Penyusutan Alat 1,667,777.78 Total Biaya 10,342,867.78 Diperhitungkan TOTAL BIAYA 20,265,948.64 Sumber : data primer(diolah), 2013
8.23%
1,678,611.11
8.50%
51.04%
10,640,950.13
53.88%
100.00%
19,750,966.15
100.00%
5. Solar 6. Waring 7. TKLK 8. Biaya Reparasi Alat Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan 1. Pajak Lahan 2. Zat Aditif 3. TKDK
a.)
Petambak Garam yang Menggunakan Zat Aditif Pada Tabel 18 diperlihatkan bahwa biaya tunai terbesar pada usaha garam
rakyat di Desa Santing ada pada upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai prosentase 39.26% dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 39.29% dari total biaya keseluruhan. Zat aditif pada biaya disini termasuk kedalam biaya diperhitungkan, dan nilainya tidak besar yaitu 3.26%. Komponen biaya tunai terbesar pada petambak yang menggunakan zat aditif adalah upah tenaga kerja luar keluarga dan nilainya lebih besar dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Sebaliknya biaya tunai terbesar pada kedua petambak tersebut adah upah tenaga kerja dalam keluarga, namun petambak yang tidak menggunakan zat aditif lebih besar biaya TKDK dibandingkan dengan petambak yang menggunakan zat aditif. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya
80
produktivitas garam yang dihasilkan, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak, dan alokasi terbanyak yaitu berasal dari keluarga petambak lahan garam tersebut. b.)
Petambak Garam yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Biaya tunai yang paling besar pada usaha garam rakyat di Desa Santing
adalah upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai 35.33% dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 45.12% dari total biaya keseluruhan. Sama halnya dengan petambak garam yang menggunakan zat aditif, petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif pun memiliki nilai biaya upah yang cukup tinggi dari total biaya usaha garam rakyat dengan status lahan milik sendiri. Hal ini disebabkan oleh sistem penggaraman di Indonesia yang sangat minim teknologi dan hanya mengandalkan tenaga kerja manusia.
6.2.2.3. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil Pada status lahan bagi hasil, petambak yang khusus menggarap tidak dibebani biaya lahan, karena biaya tersebut sudah ditanggung oleh pemilik lahan. Adapun penggarap nantinya harus membagi hasil panennya untuk pemilik lahan, skenarionya dua pertiga dari total nilai produksi menjadi hak penggarap, sedangkan pemilik lahan mendapatkan hak satu pertiga dari total nilai produksi. Biaya dibayarkan (tunai) pada status lahan bagi hasil terdiri dari biaya bagi hasil, biaya bambu, biaya ember timba, biaya ember cuci, biaya solar, biaya waring, reparasi alat. dan upah TKLK (Tenaga Kerja Luar Keluarga). Biaya diperhitungkan (non-tunai) pada status lahan milik sendiri terdiri dari biaya pembelian zat aditif, upah TKDK (Tenaga Kerja Dalam Keluarga) dan penyusutan alat. Pada umumnya, petambak garam dengan status lahan bagi hasil mendapatkan modal keseharian berasal dari pemilik lahan atau tengkulak. Ini terjadi karena petambak yang menggarap memilik modal usaha yang sangat minim.
81
Tabel 19. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 Pengeluaran Usahatani
Petani yang Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Petani yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Nilai (Rp)
Persentase
Biaya Tunai 1. Bagi Hasil
10,112,142.86
38.74%
8,827,500.00
31.12%
56,362.24
0.22%
59,333.33
0.21%
102,244.90
0.39%
93,055.56
0.33%
22,091.84
0.08%
26,527.78
0.09%
122,066.33
0.47%
156,250.00
0.55%
48,490.65
0.19%
44,138.89
0.16%
6,886,106.25
26.38%
9,016,666.67
31.78%
36,666.67
0.14%
36,666.67
0.13%
17,386,171.73
66.61%
18,260,138.89
64.37%
620,535.71
2.38%
0
0.00%
2. TKDK
6,791,017.99
26.02%
8,431,818.18
29.72%
3. Penyusutan Alat
1,302,178.57
4.99%
1,676,486.11
5.91%
Total Biaya Diperhitungkan
8,713,732.28
33.39%
10,108,304.29
35.63%
TOTAL BIAYA 26,099,904.01 Sumber : data primer(diolah), 2013
100.00%
28,368,443.18
100.00%
2. Bambu 3. Ember Timba 4. Ember Cuci 5. Solar 6. Waring 7. TKLK 8. Biaya Reparasi Alat Total Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan 1. Zat Aditif
a.)
Petambak Garam yang Menggunakan Zat Aditif Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa biaya bagi hasil dari petambak yang
menggunakan zat aditif lebih besar dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Hal tersebut disebabkan karena hasil produksi yang diterima petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar. Tampak juga pada tabel bahwa TKLK yang digunakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan zat aditif. Alokasi biaya zat aditif pun tidak signifikan pengaruhnya, karena hanya 2.38% dari total biaya keseluruhan. b.)
Petambak Garam yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Berbeda dari sebelumnya, biaya usaha garam rakyat petambak yang tidak
menggunakan zat aditif pada status lahan bagi hasil memiliki biaya tunai dan biaya total yang lebih besar. Meskipun biaya bagi hasilnya lebih rendah, namun alokasi penggunaan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga lebih tinggi. Hal tersebut diperkirakan karena produktivitas yang rendah, membuat
82
petambak mengoptimalkan tenaga kerja agar mampu menghasilkan output yang optimal dan maksimum.
6.2.2.4. Komponen Biaya Usaha Garam Rakyat di Desa Santing a.)
Biaya Lahan Biaya lahan adalah jenis biaya yang dikeluarkan atas penggunaan suatu
lahan. Nilai dari lahan tersebut beragam, tergantung dari status lahan masingmasing petambak garam responden. Biaya lahan disini terdiri dari biaya PBB atas lahan yang dimiliki dan biaya sewa lahan yang harus dibayarkan atas izin pemilik tanah. Petambak yang memiliki biaya lahan PBB paling tinggi adalah petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri, dimana ia harus mengeluarkan 0,29% dari total biaya yang ia keluarkan selama satu tahun (1 tahun = 1 musim garam). Petambak yang memiliki biaya lahan PBB paling rendah adalah petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri, dimana ia hanya mengeluarkan 0,23% dari total biaya yang ia keluarkan selama satu tahun. Petambak yang mengeluarkan biaya tunai untuk sewa lahan terbesar adalah petambak yang tidak menggunakan zat aditif, yaitu sebesar 8,64%. Sedangkan untuk petambak dengan status lahan bagi hasil, biaya lahan sudah dimasukkan pemilik tanah kedalam komponen biaya bagi hasil atas produksi garam yang dihasilkan, sehingga pada komponen biaya petambak dengan status lahan bagi hasil tidak terkandung unsur biaya lahan. Pada kesimpulannnya, dari data yang telah diolah mengartikan bahwa biaya lahan tidak ditentukan oleh apakah petambak menggunakan zat aditif ataupun tidak menggunakan zat aditif, namun lebih kepada status lahan tersebut serta jarak lahan garapan dengan akses jalan raya. b.)
Biaya Bambu Bambu pada umumnya digunakan untuk pembuatan jembatan atau tempat
peristirahatan bagi petambak di lahan penggarapan, selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan geribig tatakan. Bambu biasanya dibeli pada setiap musim tanam, sehingga hanya tergolong kedalam biaya tunai. Nilainya
83
tidak begitu besar dari total pengeluaran. Biaya bambu terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa, yaitu sebesar 0,32% dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,20% dari total biaya yang dikeluaarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan biaya tersebut tidak ditentukan berdasarkan penggunaan zat aditif, namun lebih kepada keinginan petambak dalam membuat fasilitas dengan berbahankan bambu. c.)
Biaya Ember Timba Ember timba digunakan petambak untuk mengangkut garam yang telah
dikerik ke tempat pencucian untuk dibersihkan. Petambak mampu mengangkut dua ember sekaligus dalam satu kali perjalanan menuju tempat pencucian. Pada umumnya, ember timba hanya dipergunakan dalam satu kali musim tanam saja karena telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu, ember timba dimasukkan kedalam komponen biaya tunai. Biaya ember timba terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sendiri, yaitu sebesar 0,49% dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,32% dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan biaya tersebut lebih disebabkan oleh keinginan petambak dalam memiliki banyaknya ember yang akan digunakan, selain itu luasan hektar juga mempengaruhi petambak dalam penggunaan ember timba. Pada petambak dengan pengeluaran biaya ember timba terbesar memiliki rata-rata luas lahan garapan sebesar 0,92 hektar, sedangkan petambak dengan pengeluaran biaya ember timba terkecil memiliki rata-rata luas lahan garapan sebesar 0,71 hektar. d.)
Biaya Ember Cuci Ember cuci digunakan petambak untuk menumpahkan air ke garam yang
baru selesai dikerik untuk dicuci. Pada umumnya petambak hanya menggunakan satu ember dan habis dipakai dalam satu kali musim tanam, sehingga biaya ember cuci termasuk komponen biaya tunai.
84
Biaya ember cuci terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa, yaitu sebesar 0,14% dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,08% dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan tersebut cenderung disebabkan oleh keinginan petambak dalam menggunakan alat, selain itu juga disebabkan oleh kualitas bahan dari ember dan juga penyimpanan ember tersebut. e.)
Biaya Solar Solar digunakan petambak garam untuk bahan bakar diesel. Kondisi
tersebut terjadi ketika air laut pada penampungan kering, sehingga kincir tidak mengaliri air ke meja penggaraman karena tidak tersedianya air atau juga bisa disebabkan oleh angin yang sedikit sehingga kincir tidak berfungsi secara optimal. Pada kondisi tersebut petambak mengambil langkah dengan menggunakan diesel, baik itu milik sendiri, ataupun meminjam. Penggunaan biaya solar terkecil terjadi pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,47% dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali musim tanam. Sedangkan biaya solar terbesar terjadi petambak yang tidak menggunakan zat dengan status lahan milik sewa sebesar 0,72% dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali musim tanam. Pada umumnya pemakaian diesel di tempat penelitian disebabkan karena angin bergerak sangat lambat, sehingga kincir tidak mampu menggerakkan air ke arah meja garam. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan diesel untuk dapat tetap mengaliri meja garam dengan air, sehingga petambak harus mengeluarkan biaya solar sebagai bahan bakar diesel. f.)
Biaya Waring Waring digunakan sebagai penyaring atau alas mencuci garam. Pada
umumnya petambak hanya mengganti minimal satu kali dalam satu musim tanam. Waring yang digunakan umumnya berukuran 1,5 x 1,5 m2 dengan bentuknya yang berjaring sehingga memudahkan pencucian. Waring termasuk kedalam komponen biaya tunai karena selalu dibeli setiap musimnya.
85
Biaya
waring
terbesar
dikeluarkan
oleh
petambak
yang
tidak
menggunakan zat aditif pada lahan milik sendiri, yaitu sebesar 0,29% dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,15% dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan tersebut cenderung disebabkan oleh kualitas bahan waring yang tidak tahan lama, sehingga mudah rapuh ataupun sobek. g.)
Biaya Tenaga Kerja Komponen biaya tunai terbesar yang ada pada biaya tenaga kerja adalah
pada proses pengerikan. Petambak yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sewa merupakan yang terbesar yaitu 19,2% dari total biaya keseluruhan. Hal itu disebabkan karena pada proses tersebut memakan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 5 jam dalam sehari, selain itu ada beberapa petambak yang mempekerjakan orang lain di luar keluarganya ikut mengerik dan jumlahnya ada yang lebih dari satu. Sedangkan proses yang memiliki biaya tunai terkecil adalah penebaran zat aditif, yaitu pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,83% dari total biaya keseluruhan. Hal itu disebabkan karena proses tidak begitu memakan waktu yang lama, yaitu hanya satu kali tebar dalam sehari dan cukup 10 - 30 menit. Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, ternyata Usaha garam rakyat di Desa Santing juga melibatkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga petambak. Jika dibandingkan dengan biaya untuk TKLK, umumnya biaya TKDK lebih besar nilainya. Masih sama seperti TKDK, bahwa proses yang paling besar memakan biaya adalah pada pengerikan dan yang paling kecil nilainya adalah pada penebaran zat aditif. h.)
Biaya Reparasi Alat Biaya reparasi alat adalah biaya yang secara langsung dikeluarkan oleh
petambak untuk memperbaiki alat yang rusak per hektar dalam satu musim. Misalnya kincir yang sering terlepas bautnya atau patah bagian sayapnya akibat angin yang terlalu kencang, biaya perbaikan diesel yang rusak, biaya penggantian tangkai pengerik atau penggiling yang rusak. Nilainya bervariasi untuk masingmasing biaya reparasi alat. Dari data yang telah diolah, rata-rata biaya reparasi
86
alat terbesar ada pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,53% dari biaya keseluruhan dalam satu musimnya. i.)
Biaya Zat Aditif Biaya zat aditif adalah biaya yang dikeluarkan secara tidak langsung oleh
petambak untuk pembelian zat aditif. Pada penelitian ini, zat aditif termasuk kedalam biaya non tunai karena merupakan hibah yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Hibah termasuk kedalam program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk mendukung program PUGAR. j.)
Biaya Penyusutan Penyusutan peralatan petambak terbesar ada pada petambak yang
menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 13,82% dari total biaya keselurahan. Hal ini disebabkan lebih banyaknya alat yang dimiliki petambak tersebut dibandingkan dengan petambak lain. k.)
Biaya Bagi Hasil Sistem pembagian hasil antara petambak penggarap dengan pemilik lahan
memiliki porsi 2/3 : 1/3 dari garam yang dihasilkan petambak dalam satu musim. Pada lokasi penelitian, umumnya karena minim modal maka petambak penggarap dipinjamkan modal terlebih dahulu untuk seluruh biaya produksi, dan diakhirnya akan dikembalikan lagi. Dan bagi hasil terbesar ada pada petambak yang menggunakan zat aditif, yaitu sebesar Rp 10.112.142,86 atau 38,77% dari total biaya keseluruhan. Sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif, yaitu sebesar Rp 8.827.500,00 atau 30,34% dari total biaya keseluruhan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai produksi garam yang dihasilkan oleh petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar dibandingkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif, sehingga dapat dikatakan zat aditif selain dapat menguntungkan petambak penggarap, juga dapat menguntungkan pemilik lahan.
6.2.3. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Pendapatan usaha tambak merupakan selisih antara penerimaan usaha tambak dan biaya usaha tambak. Dengan demikian, petambak akan memperoleh pendapatan usaha tambak jika penerimaan usaha tambak lebih besar daripada biaya usaha tambak. Dalam penelitian ini pendapatan dibagi menjadi dua macam
87
yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total usaha tambak. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan usaha tambak dengan biaya yang dibayarkan usaha tambak. Sementara pendapatan atas biaya total adalah hasil pengurangan biaya total usaha tambak dari penerimaan usaha tambak. Adapun perbedaan pendapatan tunai dan pendapatan total berada pada tujuan dari setiap kebutuhan usahatani/ usaha tambak garam rakyat tersebut. Pendapatan tunai digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan secara langsung yang didapatkan oleh seorang petani/petambak garam rakyat dengan orientasi perhitungan bisnis, sedangkan pendapatan total digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan secara keseluruhan (secara ekonomi) yang didapatkan seseorang apabila melakukan usaha tambak garam dengan orientasi perhitungan agregat.
6.2.3.1. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sendiri lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam pada lahan milik sendiri yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 20.252.312,50 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 14.148.879,10 (Tabel 20). Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 5.852.264,76 per hektar dalam satu musim tanam dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 3.530.596,96 per hektar dalam satu musim tanam. Atau dengan kata lain, jika semua sumberdaya yang digunakan dalam usaha garam rakyat diperhitungkan, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif memperoleh untung sebesar Rp 5.852.264,76 per hektar dalam satu musim tanam dan Rp 3.530.596,96 per hektar dalam satu musim tanam diperoleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif di Tahun 2011. Jadi usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif yang dilaksanakan di Desa Santing, Kabupaten Indramayu lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif.
88
Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan milik sendiri tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 15). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi pendapatan dari petambak garam, karena sifatnya tidak konsisten dan terbukti tidak berbeda nyata secara statistik pada selang kepercayaan 95%. Tabel 20. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011. Uraian Pendapatan Atas Biaya Tunai (Rp/Ha)
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 20.252.312,50 14.148.879,10
Pendapatan Atas Biaya Total (Rp/Ha) Sumber : Data Primer (diolah), 2013
5.852.264,76
3.530.596,96
6.2.3.2. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sewa lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 17.414.882,11 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 12.237.900,64 (Tabel 21). Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 7.072.014,33 per hektar dalam satu musim tanam dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 1.596.950,51 per hektar dalam satu musim tanam. Atau dengan kata lain, jika semua sumberdaya yang digunakan dalam usaha garam rakyat diperhitungkan, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif memperoleh untung sebesar Rp 7.072.014,33 per hektar dalam satu musim tanam dan Rp 1.596.950,51 per hektar dalam satu musim tanam diperoleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif di Tahun 2011. Jadi usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif yang dilaksanakan di Desa Santing, Kabupaten Indramayu lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan milik sewa tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 16). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi
89
pendapatan dari petambak garam, karena sifatnya pengguna zat aditif tidak konsisten memiliki pendapatan lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan zat aditif. Tabel 21. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011. Uraian Pendapatan Atas Biaya Tunai (Rp/Ha) Pendapatan Atas Biaya Total (Rp/Ha) Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 17.414.882,11 12.237.900,64 7.072.014,33
1.596.950,51
6.2.3.3. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan bagi hasil lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 13.256.685,41 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 8.489.861,11 (Tabel 22). Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 4.542.953,13 per hektar dalam satu musim tanam, sedangkan petambak bagi hasil yang tidak menggunakan zat aditif tidak memperoleh keuntungan karena merugi Rp 1.618.443,18 per hektar dalam satu musim tanam. Jadi usaha garam rakyat pada status lahan bagi hasil yang menggunakan zat aditif lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan bagi hasil berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 17). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif mempengaruhi pendapatan dari petambak garam pada status lahan bagi hasil, karena sifatnya pengguna zat aditif konsisten memiliki pendapatan lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan zat aditif.
90
Tabel 22. Pendapatan Usaha Garam Rakyat perhektar dengan Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011. Uraian Pendapatan Atas Biaya Tunai (Rp/Ha)
Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Tidak Menggunakan Zat Aditif Aditif 13.256.685,41 8.489.861,11
Pendapatan Atas Biaya Total (Rp/Ha) Sumber : Data Primer (diolah), 2013
4.542.953,13
-1.618.443,18
6.2.4. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Analisis imbangan (profitabilitas) antara penerimaan dan biaya adalah nama lain dari analisis Return Cost Ratio (R/C). Nilai dari ratio tersebut menunjukkan pendapatan kotor (penerimaan) yang diterima pengelola usaha tambak atas setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha tambak garam.
6.2.4.1. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri Dengan memperhatikan biaya yang dibayarkan, nilai R/C pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif lebih besar daripada R/C pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. R/C atas biaya yang dibayarkan pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 3,25 dan R/C atas biaya dibayarkan pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 2,97. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biayadibayarkan petambak, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif mendapatkan penerimaan sebesar Rp 3.250.000,00 dan petambak yang tidak menggunakan zat aditif akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp 2.970.000,00. Petambak garam yang menggunakan zat aditif mempunyai nilai R/C atas biaya total yang lebih besar daripada R/C atas biaya total pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif. nilai R/C atas biaya total pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 1,32. Sementara R/C atas biaya total pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 1,19. Pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif, nilai R/C tersebut mempunyai makna bahwa setiap rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut memberikan penerimaan sebesar Rp 1,32. Sedangkan pada usaha tambak yang tidak menggunakan zat aditif, nilai R/C sebesar 1,19 mempunyai pengertian bahwa
91
setiap satu rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut akan mendatangkan penerimaan sebesar Rp 1,19. Hasil analisis imbangan penerimaann dan biaya diatas menunjukkan bahwa usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif sama-sama menguntungkan karena keduanya memiliki nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total lebih dari satu. Uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Secara statistik, R/C total dari petambak pada lahan milik sendiri tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 18). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi tingkat keuntungan seorang petambak garam pada lahan milik sendiri, karena sifatnya tidak konsisten dan terbukti tidak berbeda nyata secara statistik pada selang kepercayaan 95%. Tabel 23.Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011. Usaha Garam Rakyat Uraian
Menggunakan Zat Aditif
Tidak Menggunakan Zat Aditif
Penerimaan (Rp/Ha)
29.234.375,00
21.340.000,00
Biaya Tunai (Rp/Ha)
8.982.062,50
7.191.120,90
Biaya Total (Rp/Ha)
22.126.290,82
17.809.403,04
R/C Atas Biaya Tunai (Rp/Ha)
3,25
2,97
R/CAtas Biaya Total (Rp/Ha)
1,32
1,19
Sumber : Data Primer (diolah), 2013
6.2.4.2. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sewa Dengan memperhatikan biaya yang dibayarkan, nilai R/C pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif lebih besar daripada R/C pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. R/C atas biaya yang dibayarkan pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 2,75 dan R/C atas biaya dibayarkan pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 2,34. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biayadibayarkan petambak, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif mendapatkan penerimaan sebesar Rp 2.750.000,00 dan petambak yang tidak menggunakan zat aditif akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp 2.340.000,00.
92
Petambak garam yang menggunakan zat aditif mempunyai nilai R/C atas biaya total yang lebih besar daripada R/C atas biaya total pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif. nilai R/C atas biaya total pada Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 1,34. Sementara R/C atas biaya total pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 1,08. Pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif, nilai R/C tersebut mempunyai makna bahwa setiap rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut memberikan penerimaan sebesar Rp 1,34. Sedangkan pada usaha tambak yang tidak menggunakan zat aditif, nilai R/C sebesar 1,08 mempunyai pengertian bahwa setiap satu rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut akan mendatangkan penerimaan sebesar Rp 1,08. Hasil analisis imbangan penerimaann dan biaya diatas menunjukkan bahwa usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif dan tidak menggunakan zat aditif sama-sama menguntungkan karena keduanya memiliki nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total lebih dari satu. Uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Secara statistik, R/C total dari petambak pada lahan milik sewa tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 19). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi tingkat keuntungan seorang petambak garam pada lahan milik sewa, karena sifatnya tidak konsisten dan terbukti tidak berbeda nyata secara statistik pada selang kepercayaan 95%. Tabel 24. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat perhektar dengan Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011. Usaha Garam Rakyat Uraian
Menggunakan Zat Aditif
Tidak Menggunakan Zat Aditif
Penerimaan (Rp/Ha)
27.337.962,96
21.347.916,67
Biaya Tunai (Rp/Ha)
9.923.080,86
9.110.016,03
Biaya Total (Rp/Ha)
20.265.948,64
19.750.966,15
R/C Atas Biaya Tunai (Rp/Ha)
2,75
2,34
R/CAtas Biaya Total (Rp/Ha)*
1,34
1,08
Sumber : Data Primer (diolah), 2013
93
6.2.4.3. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil Dengan memperhatikanbiaya yang dibayarkan, nilai R/C pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif lebih besar daripada R/C pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. R/C atas biaya yang dibayarkan pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 1,76 dan R/C atas biaya dibayarkan pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 1,47. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biayadibayarkan petambak, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif mendapatkan penerimaan sebesar Rp 1.760.000,00 dan petambak yang tidak menggunakan zat aditif akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp 1.470.000,00. Petambak garam yang menggunakan zat aditif mempunyai nilai R/C atas biaya total yang lebih besar daripada R/C atas biaya total pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif. nilai R/C atas biaya total pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif adalah 1,17. Sementara R/C atas biaya total pada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif adalah 0,94. Pada usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif, nilai R/C tersebut mempunyai makna bahwa setiap rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut memberikan penerimaan sebesar Rp 1,17. Sedangkan pada usaha tambak yang tidak menggunakan zat aditif, mempunyai nilai R/C kurang dari satu yaitu sebesar 0,95 mempunyai pengertian bahwa setiap satu rupiah biaya total pada usaha garam rakyat tersebut akan mendatangkan penerimaan sebesar Rp 0,94. Hasil analisis imbangan penerimaan dan biaya diatas menunjukkan bahwa usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Hal itu disebabkan karena usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif memiliki nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total kurang dari satu. Uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Secara statistik, R/C total dari petambak pada lahan bagi hasil berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 20). Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif
mempengaruhi tingkat keuntungan seorang
petambak garam pada lahan bagi hasil, karena sifatnya konsisten dan terbukti berbeda nyata secara statistik pada selang kepercayaan 95%.
94
Tabel 25. Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011. Usaha Garam Rakyat Uraian
Menggunakan Zat Aditif
Tidak Menggunakan Zat Aditif
Penerimaan (Rp/Ha)
30.642.857,14
26.750.000,00
Biaya Tunai (Rp/Ha)
17.386.171,73
18.260.138,89
Biaya Total (Rp/Ha)
26.099.904,01
28.368.443,18
R/C Atas Biaya Tunai (Rp/Ha)
1,76
1,47
R/CAtas Biaya Total (Rp/Ha)
1,17
0,94
Sumber : Data Primer (diolah), 2013
6.2.5. Analisis Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011 Analisis pendapatan dan profitabilitas pada penelitian ini bertujuan agar dapat mengetahui gambaran suatu usaha garam rakyat di Desa Santing dan sejauh mana tingkat keuntungannya. Selanjutnya analisis ini akan dibagi berdasarkan status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif. Dapat dilihat pada Tabel 26 . 6.2.5.1. Status Penguasaan Lahan Status penguasaan lahan yang ada dalam penelitian ini, terdiri dari : a.)
Lahan Milik Sendiri Pendapatan tunai adalah hasil yang diperoleh petambak secara langsung
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan secara tunai untuk usaha garam rakyat. Pendapatan tunai yang diperoleh rata-rata petambak pada status lahan milik sendiri yang sebesar Rp 17.200.595,80. Pendapatan total adalah hasil yang diperoleh petambak baik langsung dan tidak langsung setelah dikurangi dengan biaya baik langsung maupun tidak langsung atas usaha garam rakyat. Pendapatan yang diperoleh rata-rata petambak garam pada status lahan milik sendiri sebesar Rp 5.319.340,57. Nilai R/C ratio tunai dan nilai R/C ratio total dari petambak pada lahan milik sendiri yaitu sebesar 3,13 dan 1,27. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biaya yang dibayarkan petambak, maka petambak garam pada lahan milik sendiri mendapatkan penerimaan tunai dan penerimaan total sebesar Rp3.130.000,00 dan Rp1.270.000,00. Kesimpulannya usaha garam rakyat
95
pada lahan milik sendiri yang ada di Desa Santing dengan status lahan milik sendiri masih menguntungkan b.)
Lahan Milik Sewa Pendapatan tunai yang diperoleh rata-rata petambak pada status lahan milik
sendiri yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 14.826.391,37. Pendapatan total yang diperoleh rata-rata petambak garam pada status lahan milik sendiri sebesar Rp 4.334.448,42. Nilai R/C ratio tunai dan nilai R/C ratio total dari petambak pada lahan milik sewa yaitu sebesar 2,56 dan 1,22. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biaya yang dibayarkan petambak, maka petambak garam memperoleh penerimaan tunai dan penerimaan total sebesar Rp2.560.000,00 dan Rp1.220.000,00. Kesimpulannya usaha garam rakyat yang ada di Desa Santing dengan status lahan milik sewa masih menguntungkan, namun masih lebih menguntungkan usaha garam rakyat dengan status lahan milik sendiri. c.)
Lahan Bagi Hasil Ada yang membedakan dari status lahan bagi hasil, dimana petambak garam
harus membagi sepertiga dari hasil produksinya untuk pemilik lahan. Hal tersebut berpengaruh terhadap pendapatan yang diterimanya, dimana biaya bagi hasil memiliki persentase paling tinggi dari biaya total. Pendapatan tunai yang diperoleh petambak garam yang berstatuskan lahan bagi hasil sebesar Rp10.873.273,26, sedangkan pendapatan total yang diterimanya sebesar Rp1.462.254,98. Nilai R/C ratio tunai dan nilai R/C ratio total dari petambak pada lahan milik sewa yaitu sebesar 1,61 dan 1,05. Nilai tersebut mempunyai makna bahwa setiap satu juta rupiah biaya yang dibayarkan petambak, maka petambak garam memperoleh penerimaan tunai dan penerimaan total sebesar Rp 1.610.000,00 dan Rp1.050.000,00. Kesimpulannya usaha garam rakyat yang ada di Desa Santing dengan status lahan bagi hasil masih menguntungkan, namun masih lebih menguntungkan usaha garam rakyat dengan status lahan milik sendiri.
96
6.2.5.2. Penggunaan Zat Aditif Penggunaan zat aditif dilakukan tidak menentu, umumnya mereka menggunakan satu bungkus zat aditif (700 gr) untuk satu kali produksi. seperti yang tersaji pada Tabel 26, pendapatan total yang diperoleh semua petambak yang menggunakan zat aditif sebesar Rp6.241.017,21. Nilai tersebut masih lebih besar jika dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif dan hanya memperoleh pendapatan total sebesar Rp1.169.701,43. Nilai R/c ratio total yang diperoleh petambak yang menggunakan zat aditif sebesar 1,27, sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif sebesar 1,05. Artinya setiap satu juta rupiah biaya yang dibayarkan petambak, maka petambak garam mendapatkan penerimaan sebesar Rp1.050.000,00. Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa penggunaan zat aditif dirasakan manfaat lebihnya, khususnya dalam peningkatan produksi dan pendapatan.
97
Tabel 26. Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011. Uraian Petambak Lahan Sendiri
Petambak Lahan Sewa
Petambak Bagi Hasil
Rataan Keseluruhan
Pendapatan Tunai (Rp)
Pendapatan Total (Rp)
R/C Tunai
R/C Total
Menggunakan Zat Aditif
20.252.312,50
7.108.084,18
3,25
1,32
Tidak Menggunakan Zat Aditif
14.148.879,10
3.530.596,96
2,97
1,20
Rata-rata
17.200.595,80
5.319.340,57
3,13
1,27
Menggunakan Zat Aditif
17.414.882,10
7.072.014,32
2,75
1,35
Tidak Menggunakan Zat Aditif
12.237.900,64
1.596.950,52
2,34
1,08
Rata-rata
14.826.391,37
4.334.482,42
2,56
1,22
Menggunakan Zat Aditif
13.256.685,41
4.542.953,13
1,76
1,17
8.489.861,11
(1.618.443,18)
1,46
0,94
Rata-rata
10.873.273,26
1.462.254,98
1,61
1,05
Menggunakan Zat Aditif
16.974.626,67
6.241.017,21
2,40
1,27
Tidak Menggunakan Zat Aditif
11.625.546,95
1.169.701,43
2,01
1,05
14.300.086,81
3.705.359,32
2,21
1,17
Tidak Menggunakan Zat Aditif
Petambak (Responden) Sumber : Data Primer (diolah), 2013
97
99
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1.
Mayoritas petambak garam responden yang menggunakan zat aditif setuju bahwa zat aditif mampu meningkatkan produksi dan kualitas garam yang dihasilkan. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi garam di Desa Santing diantaranya : jumlah kincir (X 1 ), luas lahan (X 2 ), tenaga kerja pada saat produksi (X 3 ), dan zat aditif (D). Berdasarkan olahan data, faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% dan positif terhadap produksi garam di Desa Santing adalah jumlah kincir (X 1 ), luas lahan (X 2 ), tenaga kerja pada saat produksi (X 3 ), dan zat aditif (D).
2.
Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan tunai tertinggi diperoleh petambak lahan milik sendiri serta menggunakan zat aditif sebesar Rp 20.252.312,50, sedangkan pendapatan terendah adalah petambak lahan bagi hasil serta tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 8.489.861,11. Pendapatan total tertinggi diperoleh petambak lahan milik sewa serta menggunakan zat aditif sebesar Rp 7.108.084,18, sedangkan pendapatan total terendah adalah petambak lahan bagi hasil serta tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp (1.618.443,18). Dari hasil tersebut membuktikan bahwa zat aditif mampu meningkatkan pendapatan petambak garam di Desa Santing selama kurang lebih lima bulan (satu musim tanam), baik di lahan milik sendiri dan lahan milik sewa. Akan tetapi hal itu tidak akan terjadi pada petambak lahan bagi hasil, karena pada status tersebut petambak harus membayarkan bagi hasil yang cukup besar dari nilai produksi.
3.
Nilai R/C ratio (profitabilitas) total untuk petambak lahan milik sendiri, petambak lahan milik sewa, petambak lahan bagi hasil yang menggunakan zat aditif sebesar 1,32; 1,35 dan 1,17; sebaliknya petambak yang tidak menggunakan zat aditif sebesar 1,20; 1,08 dan 0,94. Semua pendapatan
100
masih dikatakan menguntungkan karena rata-rata nilai R/C ratio masih di atas 1, kecuali pendapatan dari petambak dengan status lahan bagi hasil dan tidak menggunakan zat aditif yang mengalami kerugian dari segi ekonomi. 4.
Skala usaha tambak garam rakyat di Desa Santing berada pada daerah rasional. Daerah ini merupakan daerah dimana keuntungan maksimum dapat dicapai selama pertambahan hasil produksi sama dengan pertambahan biaya produksinya (PM).
7.2 Saran Adapun beberapa saran yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Faktor produksi garam berupa jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja dan zat aditif mempunyai pengaruh nyata dan positif, sehingga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi garam cukup signifikan. Jika petambak ingin meningkatkan output produksi, maka harus menambahkan sebagian faktor produksi tersebut.
2.
Bagi petambak dengan status lahan bagi hasil disarankan agar lebih efisien lagi terhadap biaya tunai, khususnya penggunaan tenaga kerja, karena berpengaruh terhadap pendapatan tunai yang diterimanya. Hal tersebut terkait dengan nilai bagi hasil yang cukup tinggi dan masuk kedalam biaya tunai atau biaya yang akan dikeluarkan. Biaya yang disarankan untuk diperkecil adalah biaya tenaga kerja luar keluarga yang tergolong kedalam biaya tunai, sehingga penyakap disarankan lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu dari hasil uji beda secara statistik, petambak pada lahan bagi hasil memiliki perbedaan yang signifikan/nyata, dimana petambak garam yang menggunakan zat aditif memiliki pendapatan tunai/pendapatan total lebih tinggi dibandingkan petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif.
3.
Apabila petambak garam ingin mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, maka perlu memerhatikan segi kualitasnya, khususnya kebersihan dari garam tersebut, karena berpengaruh terhadap penentuan harga dasar di tengkulak.
101
4.
Guna peningkatan produksi dan kualitas garam, pemerintah harus lebih mempromosikan lagi kepada petambak garam di Indoensia, khususnya di Desa Santing mengenai manfaat penggunaan zat aditif terhadap produksi dan kualitas yang akan dihasilkan.
5.
Penelitian selanjutnya disarankan dapat meneliti mengenai efisiensi penggunaan input dari fungsi produksi garam rakyat di lokasi yang menjadi areal potensi usaha garam rakyat di Indonesia.
103
DAFTAR PUSTAKA
Aris, Kabul. 2011. Ramsol. Dirjen KP3K, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta Basuki, Thohir. 2008. Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menanam Padi Hibrida. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Beattie R, C Robert Taylor. 1994. Ekonomi Produksi. Soeratno J, penerjemah; Yogyakarta: UGM Press. Terjemahan dari The Economics of Production. Candra, Asep. 2011. 10 Alasan Harus Mengontrol Garam. http://health.kompas.com/read/2011/09/19/12144289/10.Alasan.Harus.Me ngontrol.Garam [diakses Januari 2013] Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara, Dinas Kelautan dan Perikanan. 2011. Proposal Program Swasembada Garam Nasional Kabupaten Indramayu 2012. Indramayu ______________________________. 2011. Laporan Tahunan 2011. Pemerintah Kabupaten Indramayu. Indramayu. _____________________________. 2011. Petunjuk Teknis Usaha Garam Rakyat. Indramayu Doll, John P dan Frank Orazem. 1984. Production Economics Theory With Application 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada Gray et al., 1992. Analisis Kelayakan Suatu Proyek. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gujarati D. 1993. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa S.Zain. Jakarta: Airlangga. ________. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta: Erlangga Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: C.V Andi Offset Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya. Husein Umar. 2007. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Ihsannudin. 2013. Pemberdayaan Petani Penggarap Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Skripsi. Jurusan Agribisnis. Universitas Trunojoyo. Madura Irawan, A. Dan S.P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Andi Offset. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Laporan Tahunan Garam 2011. Jakarta. Kementerian Perdagangan. 2011. Laporan Analisis Kebijakan Harga Dasar Garam Rakyat. Jakarta. Korovessis N.A., Lekkas T.D. 2000. Solar Saltworks Production Process Evolution –Wetland Function. Post Conference Symposium Proceedings in 6th Conference on Environmental Science and Technology. Pythagorion, Samos, 1st September 1999, Global NEST, Athens.pp 11-30 Latifah, Iis. 1989. Pengaruh Penggunaan Pompa Irigasi Terhadap Produksi, Faktor Produksi dan Pengalokasian Tenaga Kerja dalam Usahatani (Studi Kasus: Desa Cihambulu, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang). Skripsi. Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi dan Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
104
Lipsey, R.G., P.O Steiner, D.D Purvis dan P.N Courant. 1995. Pengantar Makroekonomi edisi Sepuluh. Terjemahan Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Jakarta: Binarupa Aksara.. Mahdi A. 2009. Upaya Peningkatan Produksi dan Kualitas Garam Nasional [artikel]. Surabaya: PT. Garam (Persero) Nicholson, Walter. 2002. Intermediate Microeconemic. Jakarta: Erlangga. Prasetyanto. 2011. Teknik Pembuatan Garam. Modul Pelatihan Garam Tingkat Dasar.Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta _________. 2011. Pemilihan Lokasi. Modul Pelatihan Garam Tingkat Dasar.Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta Priyono. 2011. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengolahan Garam Tradisional untuk Peningkatan Produksi dan Kualitas Guna Memenuhi Kebutuhan Garam Nasional. Laporan Akhir Hibah Penelitian Unggulan Tematik FMIPA - UNDIP. Semarang Purba, Hendri Metro. 2005. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rifqie, Ade Suryani. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Kubis (Studi Kasus: Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sarjani. 2011. Cuaca danPenguapan. Jember: Kumba. Satari, G. 1995. Lebih Jauh Tentang Teknologi. GEMA. Edisi 3 (VI) : 32-40. Soeharjo A. dan Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi, A. Soeharjo, J. L. Dillon, dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia-Press. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT.Raja Grafindo _________. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan CobbDouglas. Jakarta: PT. Raja Grafindo _________. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-PRESS. Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Tjasyono B. 2004. Dampak ENSO pada Faktor Hujan di Indonesia. J. Matematika dan Sains 8(1) : 15-22 Tohir, K. A. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Wahyuni, Rheni Tri, 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Produksi Garam Beryodium di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Wikipedia. 2011. Map of West Java with Cities and Regencies Names.png. [internet]. [Dikutip 1 Juli 2013]. Dapat diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Map_of_West_Java_with_cities_and_r egencies_names.png. Winarno, Wing Wahyu. 2011. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan Eviews. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
105
Lampiran 1. Potensi Lahan Garam di Indonesia Tahun 2011 No.
Kabupaten/Kota
LahanProduksi (Ha)
22
Sumbawa
34,86 26,30
1
Cirebon
1.504,00
23
Kota Bima
2
Indramayu
1.995,81
24
Lombok timur
193,17
3
Brebes
352,00
25
Lombok barat
270,00
4
Jepara
636,34
26
Nagekeo
35,00
5
Demak
789,60
27
Ende
18,00
6
Rembang
1.584,42
28
TTU
14,00
7
Pati
2.776,00
29
Kupang
82,78
8
Tuban
224,14
30
Alor
18,00
9
Lamongan
466,00
31
Sumba Timur
22,00
10
Pasuruan
156,21
32
Manggarai
21,18
11
Kota Pasuruan
108,89
33
Kota Palu
18,73
12
Gresik
202,00
34
Jeneponto
810,00
13
Probolinggo
370,00
35
Pangkep
547,00
14
Kota Surabaya
1.490,19
36
Takalar
156,40
15
Pamekasan
891,96
37
Pohuwato
75,00
16
Sampang
4.200,00
38
Lembata
2,00
17
Sumenep
2.088,00
39
Minahasa Tenggara
3,50
18
Bangkalan
19
Karangasem
24,06
20
Buleleng
90,00
21
Bima
115,89
TOTAL Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2012
24.136,43
1.723,00
105
106 106
Lampiran 2. Lokasi Potensi Pengembangan Usaha Tambak Garam di Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 No 1
Kecamatan Krangkeng
Desa
Luas Lokasi Potensi Pengembangan Garam (Ha)
Tanjakan Krangkeng Kalianyar Luwunggesik
2
Losarang
3
Kandanghaur
4
Losarang Krimun Santing Cemara Eretan Kulon Kertawinangun Soge Eretan Wetan Parean Girang Cangkring
Cantigi Jumlah Sumber : Proposal Program Swasembada Garam Nasional Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, 2011
182,50 59,90 58,50 48,00 319,50 80,00 389,10 100,00 5,75 31,95 13,50 44,50 99,70 150,00 1.582,90
107
Lampiran 3. Denah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat
Sumber : www.wikipedia.org (diakses tanggal 1 Juli 2013)
107
108
Lampiran 4. Denah Lokasi Penelitian di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Tahun 2011
Sumber : Kantor Kuwu Santing, 2011
109
Lampiran 5. Karakteristik Responden Petambak Garam di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu,Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011
Milik Sendiri
Luas Lahan (Ha) 0,25
Pengguna
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
20
Tidak Sekolah
Milik Sendiri
1
Pengguna
49
2
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
Losarang
47
12
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
Ranjeng
45
12
Tidak Sekolah
Milik Sendiri
1
Pengguna
Laki-laki
Losarang
52
30
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
Kamsari
Laki-laki
Santing
60
35
SD
Milik Sendiri
2
Pengguna
9
H. Wata
Laki-laki
Muntur
40
10
Tidak Sekolah
Milik Sendiri
0,5
Pengguna
10
Saidi
Laki-laki
Losarang
20
4
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
11
Tariono
Laki-laki
Muntur
40
20
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
12
Wahud
Laki-laki
Santing
40
9
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
No
Nama Responden
Jenis Kelamin
Asal Desa
Umur (Tahun)
Pengalaman (Tahun)
Pendidikan
Status Lahan
1
Dani
Laki-laki
Muntur
50
4
SMA
2
Tarmin
Laki-laki
Santing
50
12
3
Sarin
Laki-laki
Ranjeng
55
4
Saria
Laki-laki
Losarang
5
Arkmidi
Laki-laki
6
Casmanan
Laki-laki
7
Darji
8
Zat Aditif
13
Samin
Laki-laki
Santing
45
5
SD
Milik Sendiri
0,5
Pengguna
14
Warma
Laki-laki
Losarang
40
10
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
15
Daslim
Laki-laki
Cilet
45
22
SD
Milik Sendiri
1
Pengguna
16
Carsudi
Laki-laki
Santing
32
3
SD
Milik Sendiri
0,5
Pengguna
17
Wasmar
Laki-laki
Losarang
50
10
SD
Milik Sendiri
1
Bukan Pengguna
18
Benyamin
Laki-laki
Losarang
60
10
SD
Milik Sendiri
1
Bukan Pengguna
19
Asmadi
Laki-laki
Muntur
40
17
SD
Milik Sendiri
0,75
Bukan Pengguna
20
Tasdam
Laki-laki
Losarang
31
10
Tidak Sekolah
Milik Sendiri
0,75
Bukan Pengguna
109
110
110
No
Milik Sendiri
Luas Lahan (Ha) 1,5
Bukan Pengguna
SD
Milik Sendiri
1
Bukan Pengguna
2
SD
Milik Sendiri
0,5
Bukan Pengguna
32
9
SD
Milik Sendiri
1
Bukan Pengguna
Losarang
50
8
SD
Milik Sendiri
0,75
Bukan Pengguna
Laki-laki
Santing
32
9
SD
Milik Sendiri
1
Bukan Pengguna
Sutisno
Laki-laki
Santing
26
5
SMP
Milik Sewa
1
Pengguna
Nursidi
Laki-laki
Santing
29
6
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
29
Nunu
Laki-laki
Losarang
41
20
SMA
Milik Sewa
1
Pengguna
30
Sarkem
Laki-laki
Losarang
50
24
SD
Milik Sewa
2
Pengguna
31
Wahudi
Laki-laki
Losarang
35
20
SD
Milik Sewa
0,75
Pengguna
32
Sarki
Laki-laki
Santing
46
25
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
33
Darmin
Laki-laki
Santing
50
8
SD
Milik Sewa
0,5
Pengguna
34
Dastam
Laki-laki
Muntur
40
10
SD
Milik Sewa
0,5
Pengguna
35
Dasmin
Laki-laki
Losarang
40
22
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
36
Dulhadi
Laki-laki
Santing
35
5
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
37
Jayadi
Laki-laki
Santing
42
4
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
38
Wardaya
Laki-laki
Santing
60
36
SMP
Milik Sewa
1
Pengguna
39
Warim
Laki-laki
Santing
55
5
SD
Milik Sewa
0,5
Pengguna
40
Dulkarim
Laki-laki
Santing
58
21
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
41
Saptori
Laki-laki
Santing
36
15
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
42
Kardi
Laki-laki
Santing
32
5
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
43
Tarba
Laki-laki
Santing
47
21
SD
Milik Sewa
1
Pengguna
Nama Responden
Jenis Kelamin
Asal Desa
Umur (Tahun)
Pengalaman (Tahun)
Pendidikan
Status Lahan
21
Rasiman
Laki-laki
Losarang
43
8
SD
22
Duryana
Laki-laki
Muntur
55
10
23
Sami'un
Laki-laki
Muntur
46
24
Tarna
Laki-laki
Santing
25
Tarmin
Laki-laki
26
Tarina
27 28
Zat Aditif
111
No
Nama Responden
Jenis Kelamin
Asal Desa
Umur (Tahun)
Pengalaman (Tahun)
Pendidikan
Status Lahan
44
Casmin
Laki-laki
Santing
57
23
SD
Milik Sewa
Luas Lahan (Ha) 1,5
Zat Aditif
45
Tarjuni
Laki-laki
Santing
49
19
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
46
Sumanto
Laki-laki
Manggungan
31
7
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
47
Abdullah
Laki-laki
Losarang
48
25
SD
Milik Sewa
0,75
Bukan Pengguna
48
Hasan
Laki-laki
Muntur
32
5
Tidak Sekolah
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
49
Mudi
Laki-laki
Losarang
33
5
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
50
Warno
Laki-laki
Muntur
40
15
SD
Milik Sewa
1,5
Bukan Pengguna
51
Tarca
Laki-laki
Santing
34
4
SD
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
52
Nursidi
Laki-laki
Santing
50
8
SD
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
53
Darkim
Laki-laki
Ranjeng
54
38
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
54
Dirga
Laki-laki
Santing
29
7
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
55
suryadi
Laki-laki
Santing
40
1
SD
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
56
Raswan
Laki-laki
Muntur
30
6
SD
Milik Sewa
0,75
Bukan Pengguna
57
Rana
Laki-laki
Krimun
50
11
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
Pengguna
58
Tohir
Laki-laki
Santing
45
15
SD
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
59
Wardiyah
Laki-laki
Santing
30
2
SD
Milik Sewa
1
Bukan Pengguna
60
Danu
Laki-laki
Santing
56
15
SD
Milik Sewa
0,5
Bukan Pengguna
61
Wandi
Laki-laki
Santing
35
4
SMP
Bagi Hasil
1
Pengguna
62
Karmin
Laki-laki
Santing
28
3
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
63
Karyadi
Laki-laki
Santing
50
7
SD
Bagi Hasil
0,5
Pengguna
64
Raskim
Laki-laki
Santing
50
14
SD
Bagi Hasil
0,25
Pengguna
65
Sami'un
Laki-laki
Muntur
42
25
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
66
Saprudin
Laki-laki
Santing
45
30
SD
Bagi Hasil
0,5
Pengguna
111
112
112
No
Bagi Hasil
Luas Lahan (Ha) 0,75
Pengguna
SD
Bagi Hasil
0,5
Pengguna
32
SMP
Bagi Hasil
1
Pengguna
40
14
Tidak Sekolah
Bagi Hasil
1
Pengguna
Muntur
42
24
Tidak Sekolah
Bagi Hasil
1
Pengguna
Santing
42
4
SD
Bagi Hasil
0,5
Pengguna
Laki-laki
Muntur
54
15
Tidak Sekolah
Bagi Hasil
1
Pengguna
Laki-laki
Krimun
35
4
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
Janudin
Laki-laki
Losarang
29
8
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
76
Sutaman
Laki-laki
Jangga
30
10
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
77
Darma
Laki-laki
Weringin
51
25
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
78
Tarmani
Laki-laki
Santing
33
12
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
79
Wali
Laki-laki
Krimun
40
15
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
80
Saswan
Laki-laki
Losarang
70
9
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
81
Sardika
Laki-laki
Kertasari
34
18
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
82
Masudi
Laki-laki
Santing
40
21
SMA
Bagi Hasil
1
Pengguna
83
Ipin
Laki-laki
Santing
50
15
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
84
Tirwan
Laki-laki
Santing
43
25
SMP
Bagi Hasil
1
Pengguna
85
Dedi
Laki-laki
Santing
37
7
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
86
Suswendi
Laki-laki
Santing
57
31
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
87
Madi
Laki-laki
Santing
59
25
SD
Bagi Hasil
1
Pengguna
88
Kusen
Laki-laki
Santing
42
22
SD
Bagi Hasil
1,5
Pengguna
89
Syarif
Laki-laki
Santing
38
15
SD
Bagi Hasil
1
Nama Responden
Jenis Kelamin
Asal Desa
Umur (Tahun)
Pengalaman (Tahun)
Pendidikan
Status Lahan
67
Wasto
Laki-laki
Santing
49
10
Tidak Sekolah
68
Rasta
Laki-laki
Losarang
45
15
69
Warto
Laki-laki
Losarang
62
70
Sakam
Laki-laki
Santing
71
Rustami
Laki-laki
72
Tarmani
Laki-laki
73
Wardi
74
Rasida
75
Zat Aditif
Bukan Pengguna
113
Bagi Hasil
Luas Lahan (Ha) 0,75
Zat Aditif
Bukan Pengguna
SD
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
3
SD
Bagi Hasil
1
Bukan Pengguna
32
3
SD
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
Losarang
32
4
SMP
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
Santing
65
35
SD
Bagi Hasil
1
Bukan Pengguna
No
Nama Responden
Jenis Kelamin
Asal Desa
Umur (Tahun)
Pengalaman (Tahun)
Pendidikan
Status Lahan
90
Karsim
Laki-laki
Santing
55
15
SD
91
Carnadi
Laki-laki
Santing
26
10
92
Abdurohim
Laki-laki
Santing
35
93
Saliman
Laki-laki
Santing
94
Hasan
Laki-laki
95
Jupri
Laki-laki
96
Sarda
Laki-laki
Muntur
40
12
SD
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
97
Nasikin
Laki-laki
Santing
65
24
SD
Bagi Hasil
1,5
Bukan Pengguna
98
Kastari
Laki-laki
Losarang
66
35
Tidak Sekolah
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
99
Walan
Laki-laki
Muntur
36
4
SD
Bagi Hasil
1,5
Bukan Pengguna
Losarang
45
6
SD
Bagi Hasil
0,5
Bukan Pengguna
Karita Laki-laki 100 Sumber : Data Primer (diolah), 2013
113
114
Lampiran 6. Input Fungsi Produksi yang Dianalisis pada Penelitian Ini di Desa Santing, Tahun 2011
1
Jumlah Kincir (X1) 1
0.25
Tenaga Kerja (X3) 1
50
Zat Aditif (D) 1
2
3
1
3
50
1
3
2
1
2
55
1
4
2
1
2
49
1
5
3
1
3
47
1
6
2
1
3
45
1
7
2
1
2
52
1
8
4
2
6
60
1
9
2
0.5
2
40
1
10
3
1
3
20
1
11
2
1
3
40
1
12
3
1
3
40
1
13
2
0.5
3
45
1
14
2
1
3
40
1
15
3
1
2
45
1
16
2
0.5
2
32
1
17
2
1
2
50
0,001
18
2
1
2
60
0,001
19
2
0.75
1
40
0,001
20
2
0.75
1
31
0,001
21
3
1.5
4
43
0,001
22
2
1
1
55
0,001
23
2
0.5
2
46
0,001
24
3
1
2
32
0,001
25
2
0.75
2
50
0,001
26
2
1
2
32
0,001
27
3
1
2
26
1
28
2
1
1
29
1
29
3
1
2
41
1
30
4
2
5
50
1
31
3
0.75
1
35
1
32
3
1
3
46
1
33
2
0.5
2
50
1
34
2
0.5
2
40
1
35
3
1
3
40
1
36
3
1
2
35
1 1
37
2
1
1
42
Responden
Luas Lahan (X2)
Umur (X4)
115
38
Jumlah Kincir (X1) 4
1
Tenaga Kerja (X3) 3
60
Zat Aditif (D) 1
39
2
0.5
1
55
1
40
3
1
1
58
1
41
3
1
3
36
1
42
3
1
2
32
1
43
3
1
2
47
1
44
4
1.5
2
57
1
45
2
1
2
49
0,001
46
3
1
3
31
0,001
47
2
0.75
2
48
0,001
48
1
0.5
1
32
0,001
49
2
1
2
33
0,001
50
3
1.5
3
40
0,001
51
2
0.5
1
34
0,001
52
2
0.5
2
50
0,001
53
2
1
2
54
0,001
54
3
1
2
29
0,001
55
1
0.5
1
40
0,001
56
2
0.75
1
30
0,001
57
2
1
2
50
0,001
58
2
0.5
2
45
0,001
59
2
1
2
30
0,001
60
2
0.5
2
56
0,001
61
3
1
3
35
1
62
2
1
2
28
1
63
2
0.5
2
50
1
64
2
0.25
2
50
1
65
4
1
3
42
1
66
2
0.5
3
45
1
67
3
0.75
2
49
1
68
3
0.5
2
45
1
69
3
1
3
62
1
70
3
1
3
40
1
71
3
1
3
42
1
72
2
0.5
2
42
1
73
4
1
3
54
1
74
3
1
3
35
1
75
3
1
3
29
1
76
4
1
2
30
1
77
3
1
2
51
1
78
3
1
2
33
1
Responden
Luas Lahan (X2)
Umur (X4)
116
79
Jumlah Kincir (X1) 2
1
Tenaga Kerja (X3) 3
40
Zat Aditif (D) 1
80
3
1
3
70
1
81
3
1
2
34
1
82
3
1
3
40
1
83
3
1
3
50
1
84
3
1
3
43
1
85
3
1
3
37
1
86
3
1
2
57
1
87
3
1
2
59
1
88
4
1.5
3
42
1
89
3
1
2
38
0,001
90
2
0.75
2
55
0,001
91
2
0.5
2
26
0,001
92
3
1
2
35
0,001
93
2
0.5
2
32
0,001
94
2
0.5
2
32
0,001
95
2
1
2
65
0,001
96
2
0.5
2
40
0,001
97
3
1.5
3
65
0,001
98
2
0.5
1
66
0,001
99
3
1.5
2
36
0,001
0.5
1
45
0,001
Responden
Luas Lahan (X2)
100 1 Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Umur (X4)
117
Lampiran 7. Hasil Pendugaan Uji Regresi Model Fungsi Produksi Regression Analysis: LnP versus LnJK; LnLL; LnTK; LnZA The regression equation is LnP = 11,0 + 0,169 LnJK + 0,406 LnLL + 0,103 LnTK + 0,0280 LnZA
Predictor Constant LnJK LnLL LnTK LnZA
Coef 10,9957 0,16897 0,40593 0,10347 0,027978
S = 0,123422
SE Coef 0,0686 0,06525 0,04489 0,04100 0,004181
R-Sq = 82,0%
PRESS = 1,64599
T 160,27 2,59 9,04 2,52 6,69
P 0,000 0,011 0,000 0,013 0,000
VIF 2,4 1,9 1,6 1,3
R-Sq(adj) = 81,2%
R-Sq(pred) = 79,49%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 4 95 99
SS 6,5772 1,4471 8,0244
MS 1,6443 0,0152
Durbin-Watson statistic = 2,25357
F 107,94
P 0,000
118
Lampiran 8. Hasil Uji Asumsi Klasik Ordinary Least Square (OLS) 1.
Uji Normalitas
12
Series: Residuals Sample 1 100 Observations 100
10
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
7.11e-17 -0.005223 0.281756 -0.435253 0.120903 -0.052544 3.604316
Jarque-Bera Probability
1.567675 0.456650
0 -0.375
2.
-0.250
-0.125
0.000
0.125
0.250
Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: ARCH
F-statistic
1.825675
Prob. F(1,97)
0.1798
Obs*R-squared
1.828896
Prob. Chi-Square(1)
0.1763
3.
Uji Multikolinearitas Predictor Konstanta Ln JK Ln LL Ln TK Ln ZA
VIF 2,4 1,9 1,6 1,3
119
Lampiran 9. Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011
1
Jumlah Produksi (Kg) 30,000.00
Produktivitas (Kg/Ha) 120,000.00
Harga (Rp/Kg) 350
Nilai Produksi (Rp/Ha) 42,000,000.00
2
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
3
60,000.00
60,000.00
400
24,000,000.00
4
65,000.00
65,000.00
350
22,750,000.00
5
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
6
65,000.00
65,000.00
350
22,750,000.00
7
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
8
100,000.00
50,000.00
350
17,500,000.00
9
50,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
10
75,000.00
75,000.00
350
26,250,000.00
11
85,000.00
85,000.00
300
25,500,000.00
12
90,000.00
90,000.00
350
31,500,000.00
13
60,000.00
120,000.00
350
42,000,000.00
14
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
15
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
16
50,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
1,140,000.00
1,340,000.00
Rata-rata
71,250.00
83,750.00
350.00
29,234,375.00
1
60,000.00
60,000.00
300
18,000,000.00
2
55,000.00
55,000.00
350
19,250,000.00
3
50,000.00
66,666.67
300
20,000,000.00
4
45,000.00
60,000.00
350
21,000,000.00
5
70,000.00
46,666.67
320
14,933,333.33
6
65,000.00
65,000.00
350
22,750,000.00
7
50,000.00
100,000.00
300
30,000,000.00
8
65,000.00
65,000.00
320
20,800,000.00
9
55,000.00
73,333.33
350
25,666,666.67
10
70,000.00
70,000.00
300
21,000,000.00
Total
585,000.00
661,666.67
No
Total
Rata-rata 58,500.00 66,166.67 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Zat Aditif
Pengguna
467,750,000.00
213,400,000.00 324
21,340,000.00
Bukan Pengguna
120
Lampiran 10. Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011
1
Jumlah Produksi (Kg) 70,000.00
Produktivitas (Kg/Ha) 70,000.00
Harga (Rp/Kg) 350
Nilai Produksi (Rp/Ha) 24,500,000.00
2
75,000.00
75,000.00
350
26,250,000.00
3
80,000.00
80,000.00
320
25,600,000.00
4
140,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
5
55,000.00
73,333.33
350
25,666,666.67
6
80,000.00
80,000.00
320
25,600,000.00
7
50,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
8
50,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
9
90,000.00
90,000.00
350
31,500,000.00
10
65,000.00
65,000.00
350
22,750,000.00
11
70,000.00
70,000.00
320
22,400,000.00
12
75,000.00
75,000.00
320
24,000,000.00
13
65,000.00
130,000.00
350
45,500,000.00
14
70,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
15
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
16
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
17
75,000.00
75,000.00
350
26,250,000.00
18
80,000.00
53,333.33
320
17,066,666.67
No
1,350,000.00
1,436,666.67
Rata-rata
Total
75,000.00
79,814.81
341.67
27,337,962.96
1
50,000.00
50,000.00
250
12,500,000.00
2
60,000.00
60,000.00
290
17,400,000.00
3
70,000.00
93,333.33
300
28,000,000.00
4
24,000.00
48,000.00
350
16,800,000.00
5
60,000.00
60,000.00
300
18,000,000.00
6
80,000.00
53,333.33
350
18,666,666.67
7
40,000.00
80,000.00
300
24,000,000.00
8
55,000.00
110,000.00
320
35,200,000.00
9
70,000.00
70,000.00
300
21,000,000.00
10
60,000.00
60,000.00
350
21,000,000.00
11
35,000.00
70,000.00
320
22,400,000.00
12
45,000.00
60,000.00
350
21,000,000.00
13
60,000.00
60,000.00
320
19,200,000.00
14
40,000.00
80,000.00
300
24,000,000.00
15
60,000.00
60,000.00
320
19,200,000.00
16
40,000.00
80,000.00
290
23,200,000.00
Total
849,000.00
1,094,666.67
Rata-rata 53,062.50 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
68,416.67
Zat Aditif
Pengguna
492,083,333.33
341,566,666.67 313.13
21,347,916.67
Bukan Pengguna
121
Lampiran 11. Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di DesaSanting Tahun 2011
1
Jumlah Produksi (Kg) 100,000.00
Produktivitas (Kg/Ha) 100,000.00
Harga (Rp/Kg) 300
Nilai Produksi (Rp/Ha) 30,000,000.00
2
75,000.00
150,000.00
320
48,000,000.00
3
70,000.00
140,000.00
350
49,000,000.00
4
40,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
5
85,000.00
85,000.00
300
25,500,000.00
6
70,000.00
140,000.00
350
49,000,000.00
7
75,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
8
65,000.00
86,666.67
300
26,000,000.00
9
70,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
10
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
11
70,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
12
60,000.00
120,000.00
350
42,000,000.00
13
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
14
75,000.00
75,000.00
350
26,250,000.00
15
80,000.00
80,000.00
400
32,000,000.00
16
75,000.00
75,000.00
300
22,500,000.00
17
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
18
75,000.00
75,000.00
350
26,250,000.00
19
70,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
20
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
21
70,000.00
70,000.00
350
24,500,000.00
22
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
23
90,000.00
90,000.00
350
31,500,000.00
24
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
25
75,000.00
75,000.00
320
24,000,000.00
26
85,000.00
85,000.00
400
34,000,000.00
27
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
350
No
28 Total Rata-rata
85,000.00
85,000.00
2,135,000.00
2,496,666.67
76,250.00
89,166.67
Zat Aditif
Pengguna
29,750,000.00 858,000,000.00
344.28
30,642,857.14
No
Jumlah Produksi (Kg)
Produktivitas (Kg/Ha)
Harga (Rp/Kg)
Nilai Produksi (Rp/Ha)
1
60,000.00
60,000.00
300
18,000,000.00
2
50,000.00
100,000.00
350
35,000,000.00
3
40,000.00
80,000.00
320
25,600,000.00
4
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
5
45,000.00
90,000.00
300
27,000,000.00
Zat Aditif Bukan Pengguna
122
6
Jumlah Produksi (Kg) 40,000.00
Produktivitas (Kg/Ha) 80,000.00
Harga (Rp/Kg) 300
Nilai Produksi (Rp/Ha) 24,000,000.00
7
65,000.00
65,000.00
350
22,750,000.00
8
40,000.00
80,000.00
300
24,000,000.00
9
80,000.00
80,000.00
350
28,000,000.00
10
43,000.00
86,000.00
350
30,100,000.00
11
85,000.00
85,000.00
350
29,750,000.00
12
45,000.00
90,000.00
320
28,800,000.00
Total
673,000.00
976,000.00
No
Rata-rata 56,083.33 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
81,333.33
321,000,000.00 328.33
26,750,000.00
Zat Aditif
123
Lampiran 12. Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011
1
42.000.000
6.747.500
Biaya Diperhitungkan 45.930.833
52.678.333
Pendapatan Tunai 35.252.500
2
29.750.000
4.058.750
11.796.458
15.855.208
25.691.250
13.894.792
7,33
1,88
3
24.000.000
1.435.000
8.615.208
10.050.208
22.565.000
13.949.792
16,72
2,39
4 5
22.750.000
1.939.375
11.368.333
13.307.708
20.810.625
9.442.292
11,73
1,71
28.000.000
1.715.000
7.838.264
9.553.264
26.285.000
18.446.736
16,33
2,93
6
22.750.000
4.326.250
11.502.292
15.828.542
18.423.750
6.921.458
5,26
1,44
7
28.000.000
2.694.375
7.715.208
10.409.583
25.305.625
17.590.417
10,39
2,69
8
17.500.000
1.218.000
7.693.646
8.911.646
16.282.000
8.588.354
14,37
1,96
9
35.000.000
5.492.500
20.004.583
25.497.083
29.507.500
9.502.917
6,37
1,37
10
26.250.000
4.704.375
10.336.667
15.041.042
21.545.625
11.208.958
5,58
1,75
11
25.500.000
7.870.000
8.152.708
16.022.708
17.630.000
9.477.292
3,24
1,59
12
31.500.000
2.741.250
11.358.958
14.100.208
28.758.750
17.399.792
11,49
2,23
13
42.000.000
3.500.000
19.292.083
22.792.083
38.500.000
19.207.917
12,00
1,84
14
28.000.000
3.015.000
11.896.042
14.911.042
24.985.000
13.088.958
9,29
1,88
15
29.750.000
7.530.000
9.002.708
16.532.708
22.220.000
13.217.292
3,95
1,80
16
35.000.000
4.028.750
17.173.333
21.202.083
30.971.250
13.797.917
8,69
1,65
17
18.000.000
4.571.250
8.308.500
12.879.750
13.428.750
5.120.250
3,94
1,40
18
19.250.000
1.622.500
8.039.750
9.662.250
17.627.500
9.587.750
11,86
1,99
19
20.000.000
2.557.857
11.462.619
14.020.476
17.442.143
5.979.524
7,82
1,43
20
21.000.000
8.018.333
9.281.778
17.300.111
12.981.667
3.699.889
2,62
1,21
Responden
Penerimaan
Biaya Tunai
Biaya Total
(10.678.333)
R/C Tunai 6,22
R/C Total 0,80
Pendapatan Total
ZatAditif
Pengguna
Bukan Pengguna
123
124
124
21
14.933.333
1.800.000
Biaya Diperhitungkan 8.129.286
9.929.286
Pendapatan Tunai 13.133.333
5.004.048
R/C Tunai 8,30
22
22.750.000
3.796.250
10.223.250
14.019.500
18.953.750
8.730.500
5,99
1,62
23
30.000.000
5.380.000
17.446.500
22.826.500
24.620.000
7.173.500
5,58
1,31
24
20.800.000
2.725.250
7.833.500
10.558.750
18.074.750
10.241.250
7,63
1,97
25
25.666.667
5.553.333
11.223.444
16.776.778
20.113.333
8.889.889
4,62
1,53
5.401.250
8.258.500
13.659.750
15.598.750
7.340.250
3,89
1,54
Responden
Penerimaan
26 21.000.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Biaya Tunai
Biaya Total
Pendapatan Total
R/C Total 1,50
ZatAditif
125
Lampiran 13. Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011
1
24.500.000
10.191.250
Biaya Diperhitungkan 7.263.125
2
26.250.000
3.067.500
8.823.125
11.890.625
23.182.500
14.359.375
8,56
2,21
3
25.600.000
4.066.250
9.963.125
14.029.375
21.533.750
11.570.625
6,30
1,82
4
24.500.000
4.470.625
5.983.438
10.454.063
20.029.375
14.045.938
5,48
2,34
5
25.666.667
6.429.333
10.255.833
16.685.167
19.237.333
8.981.500
3,99
1,54
6
25.600.000
5.255.000
8.188.125
13.443.125
20.345.000
12.156.875
4,87
1,90
7
35.000.000
9.655.000
14.276.250
23.931.250
25.345.000
11.068.750
3,63
1,46
8
35.000.000
10.292.500
14.163.750
24.456.250
24.707.500
10.543.750
3,40
1,43
9
31.500.000
3.753.750
9.310.625
13.064.375
27.746.250
18.435.625
8,39
2,41
10
22.750.000
3.971.750
10.713.125
14.684.875
18.778.250
8.065.125
5,73
1,55
11
22.400.000
4.010.000
10.380.625
14.390.625
18.390.000
8.009.375
5,59
1,56
12
24.000.000
5.272.083
10.679.375
15.951.458
18.727.917
8.048.542
4,55
1,50
13
45.500.000
8.530.000
15.051.250
23.581.250
36.970.000
21.918.750
5,33
1,93
14
24.500.000
2.660.000
8.188.125
10.848.125
21.840.000
13.651.875
9,21
2,26
15
28.000.000
3.803.750
8.248.125
12.051.875
24.196.250
15.948.125
7,36
2,32
16
28.000.000
4.265.750
7.094.375
11.360.125
23.734.250
16.639.875
6,56
2,46
17
26.250.000
7.975.000
9.500.625
17.475.625
18.275.000
8.774.375
3,29
1,50
18
17.066.667
3.870.000
8.434.583
12.304.583
13.196.667
4.762.083
4,41
1,39
19
12.500.000
3.657.500
8.588.750
12.246.250
8.842.500
253.750
3,42
1,02
20
17.400.000
7.138.750
6.410.000
13.548.750
10.261.250
3.851.250
2,44
1,28
21
28.000.000
3.394.667
9.219.444
12.614.111
24.605.333
15.385.889
8,25
2,22
Responden
Penerimaan
Biaya Tunai
17.454.375
Pendapatan Tunai 14.308.750
Pendapatan Total 7.045.625
R/C Tunai 2,40
R/C Total 1,40
Biaya Total
ZatAditif
Pengguna
Bukan Pengguna
125
126
126
Responden 22
16.800.000
5.345.000
Biaya Diperhitungkan 14.484.167
19.829.167
Pendapatan Tunai 11.455.000
23
18.000.000
4.007.500
6.177.083
10.184.583
13.992.500
7.815.417
4,49
1,77
24
18.666.667
2.477.500
4.897.222
7.374.722
16.189.167
11.291.944
7,53
2,53
25
24.000.000
3.710.000
13.904.167
17.614.167
20.290.000
6.385.833
6,47
1,36
26
35.200.000
4.575.000
14.684.167
19.259.167
30.625.000
15.940.833
7,69
1,83
27
21.000.000
3.367.500
7.514.583
10.882.083
17.632.500
10.117.917
6,24
1,93
28
21.000.000
6.353.750
7.120.833
13.474.583
14.646.250
7.525.417
3,31
1,56
29
22.400.000
2.480.000
15.314.167
17.794.167
19.920.000
4.605.833
9,03
1,26
30
21.000.000
3.615.333
9.936.111
13.551.444
17.384.667
7.448.556
5,81
1,55
31
19.200.000
3.928.750
6.470.833
10.399.583
15.271.250
8.800.417
4,89
1,85
32
24.000.000
4.795.000
14.554.167
19.349.167
19.205.000
4.650.833
5,01
1,24
33
19.200.000
4.030.000
7.072.917
11.102.917
15.170.000
8.097.083
4,76
1,73
9.917.500
13.971.667
23.889.167
13.282.500
(689.167)
2,34
0,97
Penerimaan
34 23.200.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Biaya Tunai
Biaya Total
Pendapatan Total (3.029.167)
R/C Tunai 3,14
R/C Total 0,85
ZatAditif
127
Lampiran 14. Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011
1
30.000.000
14.978.750
Biaya Diperhitungkan 10.561.125
2
48.000.000
18.368.000
16.272.250
34.640.250
29.632.000
13.359.750
2,61
1,39
3
49.000.000
19.026.000
14.122.250
33.148.250
29.974.000
15.851.750
2,58
1,48
4
28.000.000
13.992.500
12.534.750
26.527.250
14.007.500
1.472.750
2,00
1,06
5
25.500.000
13.580.000
7.186.125
20.766.125
11.920.000
4.733.875
1,88
1,23
6
49.000.000
24.765.000
13.497.250
38.262.250
24.235.000
10.737.750
1,98
1,28
7
35.000.000
14.541.667
9.306.500
23.848.167
20.458.333
11.151.833
2,41
1,47
8
26.000.000
14.330.000
10.406.500
24.736.500
11.670.000
1.263.500
1,81
1,05
9
24.500.000
12.600.000
7.986.125
20.586.125
11.900.000
3.913.875
1,94
1,19
10
28.000.000
13.167.500
8.186.125
21.353.625
14.832.500
6.646.375
2,13
1,31
11
24.500.000
11.076.250
6.892.375
17.968.625
13.423.750
6.531.375
2,21
1,36
12
42.000.000
15.860.000
15.872.250
31.732.250
26.140.000
10.267.750
2,65
1,32
13
28.000.000
11.354.000
7.648.625
19.002.625
16.646.000
8.997.375
2,47
1,47
14
26.250.000
13.753.750
8.686.125
22.439.875
12.496.250
3.810.125
1,91
1,17
15
32.000.000
12.326.250
7.329.875
19.656.125
19.673.750
12.343.875
2,60
1,63
16
22.500.000
12.283.750
7.598.625
19.882.375
10.216.250
2.617.625
1,83
1,13
17
29.750.000
14.280.000
7.936.125
22.216.125
15.470.000
7.533.875
2,08
1,34
18
26.250.000
9.772.500
7.548.625
17.321.125
16.477.500
8.928.875
2,69
1,52
19
24.500.000
10.651.250
7.329.875
17.981.125
13.848.750
6.518.875
2,30
1,36
20
28.000.000
11.158.000
7.986.125
19.144.125
16.842.000
8.855.875
2,51
1,46
Responden
Penerimaan
Biaya Tunai
25.539.875
Pendapatan Tunai 15.021.250
Pendapatan Total 4.460.125
R/C Tunai 2,00
R/C Total 1,17
Biaya Total
ZatAditif Pengguna
127
128
128
21
24.500.000
9.727.500
Biaya Diperhitungkan 7.648.625
17.376.125
Pendapatan Tunai 14.772.500
22
28.000.000
16.246.250
7.354.875
23.601.125
11.753.750
4.398.875
1,72
1,19
23
31.500.000
11.580.000
7.111.125
18.691.125
19.920.000
12.808.875
2,72
1,69
24
29.750.000
13.630.000
8.786.125
22.416.125
16.120.000
7.333.875
2,18
1,33
25
24.000.000
9.340.000
8.511.125
17.851.125
14.660.000
6.148.875
2,57
1,34
26
34.000.000
12.623.750
7.254.875
19.878.625
21.376.250
14.121.375
2,69
1,71
27
29.750.000
10.927.500
7.548.625
18.476.125
18.822.500
11.273.875
2,72
1,61
28
29.750.000
19.426.667
9.711.125
29.137.792
10.323.333
612.208
1,53
1,02
29
18.000.000
10.301.250
7.277.583
17.578.833
7.698.750
421.167
1,75
1,02
30
35.000.000
14.285.000
18.730.167
33.015.167
20.715.000
1.984.833
2,45
1,06
31
25.600.000
11.666.500
12.267.667
23.934.167
13.933.500
1.665.833
2,19
1,07
32
28.000.000
11.181.250
9.615.083
20.796.333
16.818.750
7.203.667
2,50
1,35
33
27.000.000
17.873.000
14.655.167
32.528.167
9.127.000
(5.528.167)
1,51
0,83
34
24.000.000
13.147.500
12.267.667
25.415.167
10.852.500
(1.415.167)
1,83
0,94
35
22.750.000
8.677.500
6.940.083
15.617.583
14.072.500
7.132.417
2,62
1,46
36
24.000.000
9.880.000
14.555.167
24.435.167
14.120.000
(435.167)
2,43
0,98
37
28.000.000
13.752.667
7.327.583
21.080.250
14.247.333
6.919.750
2,04
1,33
38
30.100.000
13.055.500
12.167.667
25.223.167
17.044.500
4.876.833
2,31
1,19
39
29.750.000
17.581.250
6.165.083
23.746.333
12.168.750
6.003.667
1,69
1,25
40
28.800.000
17.001.500
9.117.667
26.119.167
11.798.500
2.680.833
1,69
1,10
Responden
Penerimaan
Sumber : Data Primer (diolah), 2013
Biaya Tunai
Biaya Total
Pendapatan Total 7.123.875
R/C Tunai 2,52
R/C Total 1,41
ZatAditif
Bukan Pengguna
129
Lampiran 15. Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA milik_sendiri
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
16
1.16E7
7003373.622
1750843.406
tidak menggunakanteknologi
10
7.18E6
2187122.655
691628.911
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F milik_sendiri
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.760
Sig. .110
t
df
Sig. (2-
Std. Error
tailed) Mean Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1.912
24
.068
4389349.369
2296269.887
-349918.747
9128617.485
2.332
19.265
.031
4389349.369
1882499.185
452895.463
8325803.274
129
130 130 Lampiran 16. Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA milik_sewa
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
18
1.19E7
4444747.370
1047637.002
tidak menggunakanteknologi
16
6.78E6
5227914.832
1306978.708
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F milik_sewa
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.136
Sig. .715
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
3.082
32
.004
5112053.820
1658760.481
1733269.287
8490838.352
3.052
29.663
.005
5112053.820
1675033.322
1689548.520
8534559.119
131
Lampiran 17. Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA bagi_hasil
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
28
7.64E6
4105154.951
775801.364
tidak menggunakanteknologi
12
2.63E6
3983642.803
1149978.622
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2-
F bagi_hasil
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.057
Sig. .813
t
df
tailed)
Difference
Std. Error Mean Difference
Difference
Lower
Upper
3.568
38
.001
5010519.345
1404405.365
2167449.322
7853589.369
3.612
21.478
.002
5010519.345
1387198.107
2129591.095
7891447.595
131
132
132
Lampiran 18. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA milik_sendiri
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
16
1.8692
.51415
.12854
tidak menggunakanteknologi
10
1.5508
.25538
.08076
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F milik_sendiri
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.070
Sig. .163
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1.813
24
.082
.31836
.17556
-.04398
.68071
2.097
23.164
.047
.31836
.15180
.00446
.63227
133
Lampiran 19. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA milik_sewa
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
18
1.8335
.39952
.09417
tidak menggunakanteknologi
16
1.5590
.46145
.11536
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F milik_sewa
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.038
Sig. .847
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
1.859
32
.072
.27444
.14763
-.02627
.57515
1.843
29.926
.075
.27444
.14892
-.02972
.57860
133
134 134
Lampiran 20. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 Group Statistics ZA bagi_hasil
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Menggunakan teknologi
28
1.3460
.18735
.03541
tidak menggunakanteknologi
12
1.1325
.18555
.05356
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F bagi_hasil
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.023
Sig. .880
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
3.311
38
.002
.21344
.06446
.08294
.34394
3.324
21.074
.003
.21344
.06421
.07994
.34694
135
Lampiran 21. Dokumentasi
Petambak memegang sebungkus ramsol
Proses pemadatan lahan
contoh garam yang tidak menggunakan ramsol
kincir
karung berisi garam siap diangkut
lahan siap untuk dipanen
peneliti sedang mewawancarai responden
135
136 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 18 September 1989. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Yusman Karsiwan dan Munawaroh. Penulis memulai pendidikan di TK Islam Ar-rahman Bekasi pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Jatiasih 3, Bekasi. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Kota Bekasi. Pendidikan selanjutnya yang ditempuh penulis adalah di Sekolah Menengah Atas Negeri 48 Kota Jakarta pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang selanjutnya diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan yaitu sebagai Ketua Divisi Produksi UKM Kewirausahaan CENTURY IPB, Bendahara Divisi Study Research and Development (SRD) Himpunan Profesi REESA, Bendahara Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FEM IPB, san terakhir sebagai Bendahara Badan Pengawas Himpunan Profesi Resource Environmental Economics Student Assosiation ( BP Himpro REESA). Penulis juga aktif di kegiatan pengabdian masyarakat, salah satunya dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat di Desa Galuga, Bogor.