ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
OLEH ZAENAL FANANI H14050414
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Zaenal Fanani H14050414
RINGKASAN
ZAENAL FANANI. Analisis Integrasi Vertikal Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).
Proses pembangunan ekonomi Indonesia salah satunya ditandai oleh bergesernya sektor pertanian menuju sektor industri pengolahan sebagai kontributor terbesar Produk Domestik Bruto (PDB). Industri pakaian jadi sebagai bagian dari industri pengolahan merupakan salah satu industri strategis yang menjadi unggulan, karena menyumbangkan devisa dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Kinerja dari industri pakaian jadi masih sangat berpeluang untuk dapat terus ditingkatkan mengingat masih adanya beberapa tantangan dan hambatan yang harus dilalui. Tantangan dan hambatan tersebut berasal dari dalam industri itu sendiri (internal) yaitu permesinan, bahan baku impor dan sistem perburuhan. Kemudian yang berasal dari luar industri (eksternal) ialah persaingan ekspor, high cost economy, pembiayaan dan impor ilegal. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terintegrasi dari hulu sampai hilir, dengan keterkaitan pola distribusi yang sangat erat antara subsektornya. Hubungan antar masing-masing subsektor tersebut terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan eratnya keterkaitan antara subsektor tersebut, langkah integrasi vertikal dapat menjadi alternatif bagi industri pakaian jadi dalam mendorong peningkatan dan pengembangan industri, disamping usahausaha lain yang terkait dengan tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana tingkat integrasi vertikal pada industri pakaian jadi di Indonesia. Kemudian dilihat pula faktorfaktor yang mempengaruhi integrasi vertikal tersebut dan seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari tahun 1977 hingga tahun 2006. Data yang diperoleh merupakan data nominal yang kemudian diubah ke dalam bentuk riil dengan menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) tahun dasar 1993. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan model analisis regresi berganda yang diduga dengan metode Ordinary Least Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia selama periode tahun 1977 hingga 2006 memiliki tingkat rata-rata yang cukup rendah yaitu sebesar 0,38 yang menunjukkan lemahnya keterkaitan antara industri pakaian jadi sebagai industri hilir dengan industri tekstil lainnya sebagai industri hulu. Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input,
nilai output dan efisiensi internal yang mampu menjelaskan pengaruhnya sebesar 99,97 persen sementara 0,03 persen dijelaskan oleh faktor yang berada di luar model. Variabel yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal secara positif ialah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dengan nilai koefisien sebesaran 0,000131 dan nilai output dengan nilai koefisien sebesar 5,251113, sementara itu variabel ukuran rata-rata perusahaan dengan nilai koefisien 0,001414, biaya input 5,250054, dan efisiensi internal dengan koefisien sebesar 0,022162 memiliki pengaruh secara negatif terhadap tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi. Implikasi kebijakan yang terkait dengan penelitian ini adalah kiranya pemerintah mampu menerapkan kebijakan yang dapat memfasilitasi perbedaan diantara kedua kepentingan antara industri pakaian jadi dan industri tekstil lainnya yang menyebabkan cukup rendahnya tingkat rata-rata integrasi vertikal pada industri pakaian jadi di Indonesia. Langkah integrasi vertikal yang diterapkan selama ini tidak melanggar UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No.5 Tahun 1999. Hal ini disebabkan karena strategi tersebut tidak mengarahkan perusahaan untuk memperoleh pangsa pasar lebih besar dari 75 persen. Nilai output merupakan variabel yang paling berpengaruh dan berhubungan secara positif. Langkah peningkatan output pada industri pakaian jadi diharapkan mampu untuk meningkatkan integrasi vertikalnya. Output industri pakaian jadi secara umum dipengaruhi oleh energi (listrik), bahan baku industri, modal dan tenaga kerja. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah hendaknya mampu mendukung keempat faktor tersebut. Industri pakaian jadi di Indonesia diharapkan mampu untuk terus berkembang mengingat perannya yang cukup strategis bagi negara yaitu mampu menyerap tenaga kerja dan menjadi penyumbang devisa dalam jumlah yang cukup signifikan. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa potongan atau keringanan pajak kepada perusahaan pakaian jadi yang mendirikan fasilitas produksi terpadu seperti unit pengolahan benang dan kain. Selain itu, juga diharapakan pemerintah mampu membuat kebijakan dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal tersebut seperti dengan terus menggalakkan program restrukturisasi mesin/peralatan industri tekstil dan produk tekstil serta menjamin ketersediaan pasokan listrik.agar pada gilirannya integrasi vertikal dapat bermanfaat luas bagi industri dan pelaku usaha, masyarakat, dan negara.
ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Oleh ZAENAL FANANI H14050414
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Analisis Integrasi Vertikal Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Nama
: Zaenal Fanani
NIM
: H14050414
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Widyastutik, M.Si NIP. 19751105 200501 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala, berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan terbesar dan suri tauladan kita, Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini memiliki judul “Analisis Integrasi Vertikal Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”. Industri pakaian jadi merupakan topik yang sangat menarik untuk dianalisis karena sifat dari industrinya yang padat karya serta merupakan penghasil devisa dari nilai ekspornya yang cukup signifikan. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemn, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Widyastutik, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan penuh pengertian kepada penulis hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah banyak membantu memberikan saran dan perbaikan terhadap skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Pihak-pihak yang telah bersedia menyediakan data-datanya untuk dapat digunakan dalam penelitian, baik dari Badan Pusat Statistik (BPS), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan lembaga atau perseorangan lainnya.
2.
Para Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu dalam hal administrasi penyusunan skripsi ini.
3.
Anindito Ajireswara dan Aditya Widianto sebagai rekan seperjuangan.
4.
Para peserta seminar yang telah berkenan menghadiri seminar skripsi dan memberikan saran serta pertanyaan.
5.
Para penghuni Pondok Al Izzah B atas ukhuwah dan keceriaannya yang telah mengisi hari-hari penulis selama penyusunan skripsi.
6.
Terima kasih juga diucapkan kepada Triyanto, Hendra, Riza, Adrian, Surya, Ica S, Tanjung, Iqbal VZ, Indra, Regy, Nazrul, Ica I, Eci, Mamih, Rian F, Reza L, Thomson, Iqbal AM yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan rekan-rekan IE 42 lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang telah mengisi dan mewarnai perkuliahan IE 42 selama kurang lebih tiga tahun. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
keluarga di Jakarta terutama kedua orang tua dan kakak atas nasehat, bantuan, kesabaran, serta dukungan yang sangat besar artinya dalam proses penyusunan hingga skripsi ini selesai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Zaenal Fanani H14050414
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Zaenal Fanani, lahir pada tanggal 23 Maret 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak terakhir dari dua bersaudara, dari pasangan Parlan dan Isroin. Penulis mengawali jenjang pendidikan dasarnya pada SD Negeri 03 Semper Timur Jakarta Utara, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 244 Jakarta. Setelah lulus dari SLTPN 244, penulis meneruskan pendidikannya di SMA Negeri 52 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dukungan penuh seluruh anggota keluarga pun mengiringi kepergian yang disertai dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mampu menerapkannya untuk dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, agama dan negara. Kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di semester ketiga melalui perjuangan seleksi yang cukup ketat. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada kepengurusan organisasi Sharia Economic and Student Club (SES-C) dan di beberapa kepanitiaan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii I.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..........................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 10 1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 10 1.5. Ruang Lingkup ................................................................................. 10 II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................... 12 2.1. Integrasi Vertikal .............................................................................. 12 2.1.1. Jenis-jenis Integrasi Vertikal .................................................. 13 2.1.2. Motivasi Integrasi Vertikal..................................................... 16 2.1.3. Manfaat Integrasi Vertikal ..................................................... 18 2.2. Metode Pengukuran Integrasi Vertikal ............................................ 21 2.2.1. Rasio Nilai Tambah terhadap Penjualan ................................ 22 2.2.2. Rasio Inventory terhadap Penjualan ....................................... 23 2.2.3. Pengukuran Backward Integration: Pembelian Antar Perusahaan ................................................. 24 2.2.4. Pengukuran Forward Integration: Transfer Output Antar Perusahaan ........................................ 24 2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Integrasi Vertikal ..................... 25 2.3.1. Struktur Pasar ......................................................................... 25 2.3.2. Ukuran Rata-rata Perusahaan ................................................. 27 2.3.3. Biaya Input ............................................................................. 27 2.3.4. Nilai Output ............................................................................ 28 2.3.5. Efisiensi Internal .................................................................... 29 2.4. Konsep Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) .......................... 29
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ......................................................... 31 2.5.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Pakaian Jadi (Garmen) ........................................................... 31 2.5.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Integrasi Vertikal ................ 32 2.6. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu .......................................... 36 2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ...................................................... 37 2.8. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 41 III.
METODE PENELITIAN .......................................................................... 43 3.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 43 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data............................................. 44 3.3. Model Ekonometrika ........................................................................ 45 3.3.1. Analisis Tingkat Integrasi Vertikal ........................................ 45 3.3.2. Analisis Konsentrasi Industri ................................................. 45 3.3.3. Ukuran Rata-rata Perusahaan ................................................. 46 3.3.4. Efisiensi Internal .................................................................... 46 3.3.5. Analisis Pengaruh Faktor-faktor Integrasi Vertikal ............... 46 3.4. Pengujian Hipotesis .......................................................................... 48 3.4.1. Asumsi-asumsi Persamaan Regresi dengan OLS................... 48 3.4.2. Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) ................ 49 a. Uji Autokorelasi .................................................................. 49 b. Uji Multikolinearitas ........................................................... 50 c. Uji Heteroskedastisitas........................................................ 51 d. Uji Normalitas .................................................................... 52 3.4.3. Uji Statistik............................................................................. 52 a. Uji Determinasi (R2) ........................................................... 52 b. Uji F-statistik ...................................................................... 53 c. Uji t-statistik........................................................................ 53 3.5. Definisi Operasional Variabel .......................................................... 54
IV.
GAMBARAN UMUM INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA .................................................. 56 4.1. Sejarah Pertekstilan Indonesia ......................................................... 56 4.2. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen) .................... 58
4.3. Periode Industri Pakaian Jadi ........................................................... 60 4.3.1. Periode Sebelum Krisis .......................................................... 60 4.3.2. Periode Krisis ......................................................................... 62 4.3.3. Periode Pasca Krisis ............................................................... 64 4.4. Produksi Pakaian Jadi....................................................................... 65 4.5. Profil Industri Pakaian Jadi Indonesia .............................................. 68 4.6. Profil Beberapa Perusahaan Pakaian Jadi (Garmen) Besar di Indonesia ............................................................................ 69 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 74 5.1. Tingkat Integrasi Vertikal ................................................................ 74 5.2. Pendugaan Model Integrasi Vertikal ............................................... 76 5.3. Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) ................. 78 5.3.1. Hasil Uji Multikolinearitas ..................................................... 78 5.3.2. Hasil Uji Autokorelasi............................................................ 79 5.3.3. Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................. 80 5.3.4. Hasil Uji Normalitas............................................................... 80 5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal ........ 81 5.4.1. Rasio Konsentasi Empat Perusahaan ..................................... 81 5.4.2. Ukuran Rata-rata Perusahaan ................................................. 82 5.4.3. Biaya Input ............................................................................. 83 5.4.4. Nilai Output ............................................................................ 83 5.4.5. Efisiensi Internal .................................................................... 84 5.5. Implikasi Kebijakan ......................................................................... 85
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 87 6.1. Kesimpulan....................................................................................... 87 6.2. Saran ................................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 90 LAMPIRAN........... ............................................................................................. 92
i
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha .................................................
1
1.2. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas .....................................
2
1.3. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Non-Migas (Orang) ...................................................................................
3
4.1. Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi .................................................... 62 4.2. Profil Industri Pakaian Jadi ........................................................................ 68 5.1. Perkembangan Tingkat Integrasi Vertikal Industri Pakaian Jadi .............. 74 5.2. Penduga Parameter Model Analisis Integrasi Vertikal ............................. 76 5.3. Matriks Korelasi ........................................................................................ 78 5.4. Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................... 79 5.5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 80
ii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1
Halaman
Porsi Konsumsi Garmen Di Pasar Domestik (000 Ton) ............................
6
2.1. Ilustrasi dari Sebuah Integrasi Vertikal ..................................................... 16 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................. 40 4.1
Nilai Ekspor Industri TPT Nasional .......................................................... 65
5.1. Hasil Uji Normalitas .................................................................................. 81
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Nama-nama Perusahaan Pakaian Jadi Indonesia Berskala Besar .............. 92
2.
Data Penelitian ........................................................................................... 93
3.
Hasil Estimasi Regresi ............................................................................... 94
4.
Matriks Korelasi ........................................................................................ 94
5.
Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................... 95
6.
Hasil Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 95
7.
Hasil Uji Normalitas .................................................................................. 95
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang sedang mengalami proses pembangunan ekonomi. Proses tersebut ditandai dengan perubahan yang mendasar dari struktur ekonomi tradisional yang mengacu pada sektor pertanian menuju struktur ekonomi modern yang didominasi oleh sektor industri. Industri pengolahan sebagai penggerak roda perekonomian bangsa memiliki peran yang besar jika dilihat dari kontribusinya pada pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terus mengalami kemajuan. Tabel 1.1. Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Lapangan Usaha
1968
1978
1988
1998
2008
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya* PDB
51,0 4,2 8,5 36,3 100,0
30,0 17,6 10,0 41,9 100,0
24,1 12,1 18,5 45,2 100,0
17,4 8,3 23,9 50,3 100,0
14,4 11,0 27,9 46,7 100,0
Catatan : * Lainnya terdiri atas sektor listrik, gas dan air minum, konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estate dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa lainnya. Sumber : BPS, 20091
Pada tahun 1968, sektor industri pengolahan hanya memberi sumbangan sebesar 8,5 persen terhadap keseluruhan perekonomian (PDB), sedangkan sektor pertanian menjadi sektor dengan peran tertinggi untuk perekonomian, dengan kontribusi sebesar 51 persen (lihat Tabel 1.1). Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya peran industri pertanian terhadap pembentukan PDB semakin 1
www.bps.go.id, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [24 Juni 2009].
2
menurun, berbeda dengan industri pengolahan yang semakin besar kontribusinya terhadap pembentukan PDB seperti yang terlihat di tahun 2008 tercatat sebesar 27,9 persen, lebih besar dari sektor pertanian yang tercatat sebesar 14,4 persen. Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas (US$ Juta) No
2004
2005
2006
2007
2008
4840,3 4581,8
5419,2 5949,7
6407,3 7712,1
10476,8 9606,9
16168,1 11815,0
7626,2 2954,1 7142,5 2165,1 2817,6 4461,6 2640,1 1440,1 1232,7 1553,0
8584,9 3545,8 7853,0 3133,5 3257,5 4476,3 2750,2 1647,9 1456,0 1683,7
99422,8 5465,2 7200,2 4134,0 3983,3 4757,6 3251,4 1866,0 1770,9 1913,2
9790,1 6179,9 6359,7 6156,0 4440,5 4485,1 4492,5 2374,8 2148,9 2006,6
10116,3 7579,7 6806,7 5660,7 5219,6 4206,1 3738,4 3104,8 2390,2 2260,5
43455,2 89,30
49757,7 89,55
58154,4 89,48
68517,9 89,65
79066,1 89,49
5204,9
5809,3
6835,9
7911,7
9285,6
48660,1
55567,0
64990,3
76429,6
88351,7
7297,2
10816,4
14598,8
15582,7
19542,5
Total Industri Non-Migas Total Industri Migas
55939,3 15645,3
66428,4 19231,6
79589,1 21209,5
92012,3 22088,6
107984,2 29126,3
Total Ekspor
71584,6
85660,0
100798,6
114100,9
137020,4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
URAIAN Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif Tekstil Pengolahan Karet Elektronika Pengolahan Tembaga, Timah, dll. Pulp dan Kertas Pengolahan Kayu Kimia Dasar Makanan dan Minuman Alat-alat Listrik Kulit, Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki Total 12 Industri (Peran 12 industri thd total industri %) Industri Lainnya
Total Industri Lainnya (Pertanian, Pertambangan dll)
Sumber: BPS, 2008 (diolah Pusdatin Depperin)
Industri pengolahan terdiri dari beberapa subsektor industri, salah satunya yang memiliki peran cukup penting adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri TPT menjadi salah satu primadona penyumbang devisa bagi Indonesia karena nilai dan volumenya yang relatif terus meningkat. Seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, pada tahun 2004 hingga 2006 industri tekstil menjadi penyumbang terbesar devisa dari sektor industri pengolahan non migas yaitu sebesar US$ 7,6 Juta pada tahun 2004, 8,6 Juta US$ pada tahun 2005 dan 9,4 Juta US$ pada tahun 2006. Dominasi industri tekstil mulai tergeser sejak tahun 2007
3
oleh industri pengolahan kelapa sawit dan industri besi baja, mesin-mesin dan otomotif. Industri TPT juga merupakan industri yang bersifat padat karya karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Industri TPT berdasarkan Tabel 1.3, tergabung dalam kelompok industri tekstil, barang kulit dan alas kaki berkontribusi sebesar 17,7 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja industri pengolahan non migas pun di tahun 2007. Industri tersebut juga menyerap tenaga kerja pada tahun 2007 sebanyak 2.337.045 orang, terjadi peningkatan sebesar 5,6 persen jika dibandingkan tahun 2005 yang sejumlah 2.212.119 orang. Tabel 1.3. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Non Migas (Orang) Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang galian bukan Logam Logam Dasar, Besi dan Baja Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya Barang Lainnya Jumlah Rata-rata Penyerapan Tenaga Kerja Sumber: BPS, 2008 (diolah)2
2005 3.513.958 2.212.119 1.701.000 254.641 603.804 966.480 386.128 510.995 822.505 10.971.630
2006 4.696.783 2.241.723 1.706.074 305.601 750.104 995.671 405.086 517.482 978.640 12.597.214 750.715
2007 4.649.786 2.337.045 1.823.827 324.868 756.908 1.061.571 448.500 625.855 1.195.776 13.223.776
Industri TPT Indonesia terdiri dari beberapa subsektor yang saling terkait, salah satu subsektor yang cukup menjadi pusat perhatian karena sifatnya yang padat karya adalah industri pakaian jadi atau garmen. Industri pakaian jadi tidak bisa terlepas dari industri tekstil karena untuk membuat pakaian jadi pasti memerlukan hasil-hasil dari industri tekstil. Bahan yang diperlukan untuk 2
www.depperin.go.id, Potret Tiga Setengah Tahun Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Industri Manufaktur Tahun 2005-2009 [23 Juni 2009].
4
produksi
pakaian
jadi
bersumber
dari
industri
serat,
pemintalan
dan
perajutan/penenunan. Berdasarkan hasil kajian SENADA tahun 2007 (Program Daya Saing Indonesia) yaitu proyek empat tahun yang didanai oleh the United States Agency for International Development (USAID), industri pakaian jadi memakai nilon, rayon, poliester dan katun sebagai bahan mentah dasar untuk produksi pakaian. Perusahaan pakaian jadi besar membeli kain langsung dari perusahaan lokal atau mengimpor kain jenis khusus dari perusahaan-perusahaan mancanegara. Sementara itu, perusahaan yang lebih kecil biasanya membeli kain langsung dari pedagang grosir lokal seperti grosir di pasar Tanah Abang. Gulungan-gulungan kain selanjutnya dipilah, dipotong dan dijahit sesuai pola tertentu. Pernak-pernik, kancing, resleting dan benang jahit juga umumnya dibeli dari pedagang lokal. Bahan-bahan tidak langsung, seperti surfaktan dan zat-zat penganji dan pewarna, dibeli dari pedagang perantara yang membeli dari pemasok dalam negeri atau mengimpornya. Industri pakaian jadi masih memiliki berbagai tantangan dan hambatan disamping keunggulannya sebagi penyumbang devisa dan penyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Secara umum tantangan dan hambatan tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu tantangan dan hambatan yang berasal dari luar industri (eksternal) dan yang berasal dari dalam industri (internal). Tantangan dan hambatan internal antara lain, permesinan tekstil yang sebagian besar sudah sangat tua dan ketergantungan terhadap bahan baku impor yang terlihat dari permintaan produsen pakaian jadi untuk memberikan bea masuk
5
nol persen. Sistem perburuhan yang kurang mendukung juga turut menambah tantangan dan hambatan tersebut. Hal ini terlihat dari tingginya upah rata-rata buruh yaitu 0,76 US$/jam yang lebih tinggi dari negara pesaing lainnya seperti di India sebesar 0,6 US$/jam, Cina sebesar 0,55 US$/jam serta Vietnam dan Bangladesh sebesar 0,35 US$/jam. Tingginya upah tidak diikuti dengan tingginya peringkat produktivitas tenaga kerjanya. Indonesia hanya menempati posisi ke-59 yang sangat jauh dari Cina di posisi ke-31, Malaysia di posisi ke-28 dan Filipina di posisi ke-493. Kemudian dari sisi eksternalnya, pertama, persaingan dengan negara pesaing ekspor pasca dihapuskannya kuota impor di negara tujuan sejak tahun 2005. Kedua, adanya high cost economy yang muncul dari peningkatan biaya distribusi dan waktu yang terbuang percuma. Hal ini terlihat dari tingginya biaya bongkar muat yang pada bulan September 2008 justru naik untuk kategori kontainer 20 kaki dari 95 US$/boks menjadi 116,3 US$/boks4. Selain itu, akses jalan yang kurang baik juga turut berperan meningkatkan high cost economy. Hal ini terlihat dari kondisi jalan yang baik yang terus mengalami penurunan untuk jalan negara dan jalan provinsi, padahal jalan negara dan jalan provinsi merupakan jalan yang sering dimanfaatkan para produsen pakaian jadi dalam proses distribusi (BPS, 2006). Ketiga, sulitnya pembiayaan dari pihak perbankan. Perbankan masih menganggap industri ini adalah industri yang berisiko tinggi sehingga tingkat suku bunganya pun relatif masih lebih tinggi dibandingkan
3 4
www.indonesiatextile.com, Kinerja Industri TPT 2007 & Proyeksi 2008 [11 Januari 2009]. www.indotextiles.com, Biaya Penanganan Peti Kemas Naik Dari 70 Dollar As Menjadi 85 Dollar As [23 Juni 2009].
6
negara pesaing lainnya seperti Cina, India dan beberapa negara ASEAN. Keempat, yaitu maraknya produk impor ilegal. Produk impor ilegal disinyalir terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya pangsa pasar produk lokal. Konsumsi pakaian jadi lokal pada tahun 2004 sebesar 658 ribu ton, menguasai pangsa pasar lokal sebesar 74 persen. Kemudian, menurun cukup signifikan di tahun 2007 menjadi hanya sekitar 270 ribu ton atau menguasai pangsa pasar domestik sebesar 22 persen. Begitu juga konsumsi pakaian jadi impor legal yang hanya naik dari 30 ribu ton di tahun 2004 menjadi 88 ribu ton atau hanya menguasai pangsa pasar sebesar tujuh persen di tahun 2007, seperti yang terlihat pada Gambar 1.1.
2007
2006 Produk Domestik
2005
Impor Legal Impor Ilegal
2004
2003
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
5
Sumber : BPS, Depperin, BI, API, 2007 (diolah)
Gambar 1.1. Porsi Konsumsi Garmen di Pasar Domestik (000 Ton) Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi produk pakaian jadi impor ilegal. Produk impor ilegal disinyalir mengalami peningkatan
5
www.indonesiatextile.com, Memacu Konsumsi dan Permintaan Produk TPT Indonesia di Pasar Domestik [13 Januari 2009].
7
konsumsi yang cukup signifikan dari yang hanya menguasai pangsa pasar domestik sebesar 22 persen yang sebesar di tahun 2004 menjadi sebesar 71 persen atau 862 ribu ton di tahun 2007. Meningkatnya impor ilegal tersebut selain disebabkan oleh lemahnya faktor pengawasan juga disebabkan oleh perbedaan harga, disain dan kualitas yang sangat bersaing6. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terintegrasi dari hulu sampai hilir, dengan keterkaitan pola distribusi yang sangat erat antara subsektornya. Industri hulu dalam negeri yang menghasilkan produk berupa serat, benang, kain dan lainnya, mensuplai sebagian besar kebutuhan industri hilirnya yaitu pakaian jadi dan produk tekstil lainnya. Hubungan antar masing-masing subsektor tersebut terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain7. Dengan eratnya keterkaitan antara subsektor tersebut, langkah integrasi vertikal dapat menjadi alternatif bagi industri pakaian jadi dalam mendorong peningkatan dan pengembangan industri, disamping usaha-usaha lain seperti peremajaan mesin-mesin, penyempurnaan sistem perburuhan, pembatasan yang ketat terhadap tekstil impor legal dan ilegal serta tindakan lainnya.
1.2. Perumusan Masalah Industri tekstil dan produk tekstil menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusi ekspor industri TPT yang selalu menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan
6
www.indonesiatextile.com, Memacu Konsumsi & Permintaan Produk TPT Indonesia di pasar Domestik [13 Januari 2009]. 7 www.bni.co.id, Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia: Antara Potensi dan Peluang [12 Januari 2009].
8
berada pada posisi tiga besar diantara industri pengolahan non migas. Selain itu, kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok industri tekstil, barang kulit dan alas kaki selalu menduduki posisi kedua dalam lima tahun terakhir. Penyumbang terbesar bagi industri TPT baik dari segi nilai ekspor maupun penyerapan tenaga kerjanya adalah industri pakaian jadi. Kinerja ekspornya terus mengalami pertumbuhan, seperti yang tercatat pada tahun 2003 yang nilainya mencapai sekitar US$ 3,9 milyar yang kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi sekitar US$ 5,97 milyar8. .
Keberhasilan
atas
pencapaian
tersebut
sebenarnya
masih
sangat
berpeluang untuk terus ditingkatkan. Mengingat masih adanya beberapa tantangan dan hambatan yang mendera industri ini. Baik tantangan dan hambatan yang berasal dari dalam industri itu sendiri (internal) maupun yang berasal dari luar industri (eksternal). Masalah permesinan tekstil yang sudah tua, ketergantungan terhadap bahan baku impor dan sistem perburuhan yang kurang mendukung menjadi tantangan dan hambatan internal industri. Sementara itu dari sisi eksternal yaitu, kompetisi dengan negara pesaing pasca penghapusan kuota, high cost economy yang tinggi, sulitnya pembiayaan perbankan serta persaingan antara produk lokal dengan produk impor legal dan ilegal. Semua tantangan dan hambatan tersebut pastinya harus dapat dilalui oleh industri pakaian jadi baik cepat atau lambat, hal ini berguna untuk terus meningkatkan potensi yang ada dan mempertahankan eksistensi industri pakaian
8
www.indonesiatextile.com, TPT Highlight 2007 [16 Mei 2009].
9
jadi baik di pasar lokal maupun internasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan perkembangan industri pakaian jadi adalah dengan mendorong efektivitas dan efisiensi terhadap kinerja dan produktivitasnya, mengingat tingkat konsumsi pakaian jadi masyarakat Indonesia yang cukup besar dan terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar. Konsumsi tersebut pada gilirannya harus diikuti oleh produktivitas yang tinggi pula. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh oleh industri pakaian jadi ialah dengan integrasi vertikal. Langkah tersebut cukup strategis untuk diterapkan, mengingat adanya keterkaitan antara industri pakaian jadi dengan industri TPT lainnya. Bahan yang diperlukan untuk produksi pakaian jadi bersumber dari industri
serat,
industri
pemintalan
dan
industri
perajutan/pertenunan.
Pengembangan integrasi yang baik dari hulu hingga hilir, pada gilirannnya mampu menciptakan efisiensi dan efektivitas produksi yang merupakan syarat tercapainya peningkatan kinerja dan produktivitas. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa perumusan masalah yang akan diteliti, yaitu : 1.
Bagaimana tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal pada industri pakaian jadi?
3.
Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat integrasi vertikal pakaian jadi di Indonesia?
10
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka terdapat tujuan dari penelitian ini, antara lain: 1.
Menganalisis tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia.
2.
Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal pada industri pakaian jadi.
3.
Menganalisis besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat integrasi vertikal pakaian jadi di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaatnya antara lain: 1.
Bagi perusahaan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk mengambil kebijakan agar industri pakaian jadi menjadi efisien.
2.
Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang memberi ilmu dan daya analisis serta pemacu untuk terus berpikir kritis.
3.
Untuk pihak-pihak yang berkepentingan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian lainnya.
1.5. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah: a.
Industri pakaian jadi yang menjadi analisis dari penelitian ini termasuk dalam level/tingkat industri besar dan sedang (tidak termasuk perusahaan kecil-menengah) dengan kategori International Standart Classification of
11
All Economic Avtivities (ISIC) 32210 dan 18101 (industri pakaian jadi dari tekstil). b.
Tingkat integrasi vertikal dalam penelitian ini diestimasi dengan menggunakan variabel rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan nilai efisiensi internal.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Integrasi Vertikal Perilaku integrasi dapat dibagi menjadi dua menurut Hasibuan (1993), yaitu integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal adalah penggabungan dari beberapa perusahaan yang memiliki proses produksi yang sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Sedangkan integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kelanjutan proses produksi. Berbeda dengan integrasi horizontal, perusahaan-perusahaan yang melakukan integrasi vertikal tidak akan menghasilkan produk yang serupa. Beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan proses produksi melakukan pengintegrasian secara vertikal sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Strategi integrasi vertikal banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan persaingan dan juga dapat untuk menghilangkan persaingan. Secara sederhana integrasi vertikal adalah suatu bentuk penyesuaian beberapa tahapan produksi di dalam satu organisasi yang pada dasarnya masingmasing tahapan produksi tersebut dapat dilaksanakan oleh beberapa organisasi terpisah. Perusahaan-perusahaan yang melakukan integrasi vertikal akan semakin memperbesar pangsa pasarnya sehingga efisiensi akan mudah diperoleh. Keadaan inilah yang membuat perusahaan-perusahaan besar semakin menguasai pasar dengan melakukan integrasi vertikal. Terciptanya suatu hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru menyebabkan kondisi pasar semakin mendekati
13
monopoli. Integrasi vertikal di dalam sistem pasar, akan berlangsung dengan baik apabila menyebabkan penghematan teknis (Jaya, 2001). Menurut Rumelt (1986), tingkat integrasi vertikal dianggap sebagai proporsi pendapatan perusahaan yang berasal dari produk sampingan, produk antara dan produk akhir dari urutan proses produksi yang terintegrasi vertikal. Batasan rasio integrasi vertikal adalah sebagai berikut:
Rasio integrasi vertikal = 0 ; maka suatu industri tidak terintegrasi vertikal dengan industri pemasoknya.
Rasio integrasi vertikal < 0,70 ; maka suatu industri termasuk dalam unrelated business sehingga keterkaitan vertikal antara industri hulu dengan industri hilir sangat lemah.
Rasio integrasi vertikal ≥ 0,70 ; maka suatu industri termasuk dalam dominant vertical sehingga keterkaitan vertikal antara industri hulu dengan industri hilir sangat kuat.
Rasio integrasi vertikal = 1 ; maka suatu industri termasuk dalam full integration sehingga seluruh bahan baku yang dibutuhkan perusahaan disediakan oleh perusahaan pemasok terkaitnya.
2.1.1. Jenis-jenis Integrasi Vertikal Integrasi vertikal terbagi menjadi dua jenis, yaitu integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Integrasi ke hulu adalah jenis integrasi vertikal dimana perusahaan yang terintegrasi memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya. Sedangkan integrasi ke hilir adalah perusahaan yang
14
memutuskan untuk menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya (Hasibuan, 1993). Menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), integrasi vertikal memiliki tiga pola yaitu pertama, perusahaan di hilir yang bersifat monopoli melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hulu yang bersifat kompetitif. Pola tersebut akan mendorong perluasan penggunaan input oleh perusahaan monopoli sehingga akan menghasilkan output dalam jumlah yang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah. Kedua, perusahaan di hilir yang bersifat kompetititf melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hulu yang bersifat monopoli. Bentuk integrasi seperti ini juga akan menurunkan harga output akhir karena perusahaan monopoli yang akan menetapkan biaya marginal dan harga produknya sehingga akan menurunkan margin antara harga monopoli dengan biaya marginalnya. Ketiga, bentuk integrasi vertikal yang terakhir adalah perusahaan di hulu yang bersifat monopoli melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hilir yang juga bersifat monopoli yang menjadi pembeli inputnya. Bentuk integrasi vertikal seperti ini akan meningkatkan harga produk akhir. Hal ini disebabkan oleh monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan di hilir karena dapat memperoleh input melalui perusahaan di hulu yang juga bersifat monopoli dan terintegrasi secara vertikal dengannya. Integrasi vertikal juga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Full Integration Perusahaan yang melakukan full integration bila perusahaan tersebut
memproduksi semua bahan baku yang dibutuhkan atau menyalurkan semua
15
output yang dihasilkan melalui anak perusahaan yang terintegrasi dengan perusahaan tersebut. 2. Tapered Integration Tapered Integration merupakan perpaduan antara integrasi vertikal dengan pertukaran pasar (market exchange). Perusahaan induk membeli input yang dibutuhkan dari perusahaan lain selain dari perusahaan yang terintegrasi dengannya atau menyalurkan hasil produksinya sendiri dan melalui perusahaan lain yang tidak terintegrasi. 3. Aliansi Strategis dan Joint Venture Aliansi strategis merupakan penggabungan perusahaan yang bekerja sama untuk berbagi informasi secara horizontal maupun vertikal. Aliansi horizontal meliputi kerja sama perusahaan dalam industri yang sama sedangkan aliansi vertikal meliputi kerja sama perusahaan pemasok input dengan perusahaan pembelinya. Joint Venture adalah bagian dari aliansi strategis dimana dua atau lebih perusahaan bekerja sama dan membuat sebuah perusahaan gabungan baru yang biasanya dioperasikan oleh pekerja dari perusahaan induk. Integrasi vertikal tidak berfungsi memperluas kekuatan monopoli perusahaan dari satu tingkat ke tingkat lain. Berdasarkan Gambar 2.1, integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan A tidak akan mempengaruhi persaingan dengan perusahaan B, C, D dan E. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi tidak mempengaruhi persaingan. (Jaya, 2001).
16
1
Tingkat 1
2
3
4
Perusahaan A 2
Tingkat 2
B
C
D
E
Sumber : Jaya, 2001 Gambar 2.1. Ilustrasi dari Sebuah Integrasi Vertikal 2.1.2. Motivasi Integrasi Vertikal Menurut Hasibuan (1993), terdapat beberapa motivasi yang rasional untuk melakukan integrasi vertikal seperti motivasi untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang tinggi, efisien dan untuk mengurangi ketidakpastian
usaha.
Dengan
berkurangnya
biaya-biaya
seperti
biaya
administrasi, transaksi, iklan dan biaya pemanfaatan informasi bersama, suatu perusahaan akan mampu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhannya sehingga perusahaan mampu menciptakan keuntungan yang lebih tinggi. Secara garis besar, terdapat dua motif utama melakukan integrasi vertikal, yaitu: 1. Motif efisiensi Motif efisiensi menekankan pada insentif perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal yang berasal dari biaya transaksi yang terdapat dalam kontrak negosiasi diantara perusahaan pada tingkat integrasi vertikal yang berbeda. Biaya transaksi tersebut timbul karena alasan sebagai berikut:
17
a) Rasionalitas yang terbatas. Suatu perusahaan yang sangat bergantung pada pasar untuk memenuhi kebutuhan input utamanya akan dihadapkan pada munculnya biaya transaksi ketika terjadi gangguan di dalam pasar sehingga mengakibatkan terganggunya transaksi ekonomi. b) Masalah dalam posisi tawar. Timbulnya biaya transaksi salah satunya disebabkan oleh hanya terdapat sedikit pemasok atau distributor di dalam suatu pasar atau industri sehingga akan lebih efisien bagi suatu perusahaan untuk memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya. c) Distorsi dalam pilihan input. Perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk menghindari konsekuensi dari kekuatan pasar. Jika perusahaan yang memiliki kekuatan pasar melakukan integrasi vertikal ke hilir, dapat dijamin sebuah produk akan digunakan secara efisien sebagai barang input dengan cara membuat pilihan input berdasarkan biaya produksinya. d) Diskriminasi harga. Perusahaan yang memproduksi input dan menjualnya dengan
elastisitas
yang
berbeda-beda
akan
lebih
efektif
jika
mendiskriminasikan harganya apabila mengintegrasikan ke depan dengan segmen elastisitas yang tinggi di pasar akhir dan memasok kepada segmen yang rendah untuk memaksimumkan keuntungan. 2. Motif strategi Salah satu tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal adalah untuk menciptakan hambatan masuk (barrier entry) bagi perusahaan-perusahaan lain dengan meningkatkan biaya modal absolut untuk masuk dan meningkatkan biaya input pesaingnya. Perusahaan yang terintegrasi beroperasi di pasar barang akhir
18
pada biaya input terendah dibandingkan dengan pesaingnya yang tidak terintegrasi. Karena itulah akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang terintegrasi untuk menggunakan barang output antaranya sendiri daripada menjualnya di pasar terbuka. 2.1.3. Manfaat Integrasi Vertikal Manfaat-manfaat yang diperoleh perusahaan seperti yang dikemukakan oleh Porter (1980) adalah: 1. Tercapainya penghematan atas integrasi vertikal (Economics of Integration). Integrasi vertikal akan memberikan manfaat untuk volume hasil tertentu dalam bentuk penghematan atas biaya aktivitas produksi, penjualan, pengendalian atau aspek lainnya secara terpadu. Adapun penghematan tersebut dapat terlihat pada bidang: a) Operasi yang digabungkan. Dengan menggabungkan berbagai operasi yang secara teknologi berbeda, kadang-kadang membuat perusahaan lebih efisien. Misalnya dalam manufaktur, integrasi ini dapat mengurangi jumlah langkah dalam proses produksi, menekan biaya banding, mengurangi biaya transport dan lebih dapat memanfaatkan kapasitas menganggur yang timbul akibat dapat dipecahnya proses pada satu tahapan yang tersendiri. b) Pengendalian dan koordinasi internal. Biaya penjadwalan, koordinasi operasi dan respons terhadap keadaan darurat dapat menjadi lebih kecil dengan adanya integrasi vertikal. Lokasi yang saling berdekatan, komunikasi yang relatif dapat dilakukan dalam
19
satu kesatuan dalam setiap tahap operasi mempermudah koordinasi. Demikian pula dalam pengendalian, berbagai penghematan dapat dilaksanakan termasuk berkurangnya kebutuhan tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas pengendalian. c) Informasi Operasi
yang
terintegrasi
dapat
mengurangi
kebutuhan
dalam
pengumpulan informasi pasar yang relatif sejenis, terlebih lagi penghematan atas informasi yang lebih cepat dan akurat. d) Dapat menghindari masalah pasar Secara potensial, adanya integrasi dapat membuat perusahaan lebih berhemat akan biaya penjualan, tawar-menawar, negosiasi, transaksi pasar dan masalah pasar lainnya. e) Hubungan bisnis yang stabil Berhubung tidak adanya masalah dalam membina hubungan pembelian maupun penjualan, maka perusahaan yang terdiri dari berbagai unit hulu dan hilir dapat menikmati efisiensi yang tidak mungkin diperoleh dari perusahaan yang beroperasi secara independen baik sebagai pemasok maupun konsumen. 2. Pemahaman teknologi yang lebih baik dari aktivitas hulu sampai hilir yang amat penting bagi kesuksesan usaha. 3. Kepastian atas pasokan dan permintaan. Dengan adanya integrasi vertikal dapat dipastikan mengenai jumlah pasokan input maupun jumlah permintaan yang secara relatif tidak dipengaruhi
20
oleh kondisi yang mungkin dihadapi oleh perusahaan yan beroperasi secara independen, termasuk juga terhadap fluktuasi harga. Meski demikian perlu diperhatikan bahwa harga transfer dalam transaksi internal bukan berarti tidak diperkenankan mencerminkan kondisi yang berfluktuasi tersebut. Produk yang mengalir dari hulu ke hilir dalam perusahaan yang terintegrasi vertikal haruslah dengan harga transfer yang menjamin setiap unit yang terlibat untuk mengelola secara tepat. Dengan demikian kepastian pasokan dan permintaan tidak dapat dipandang sebagai proteksi terhadap fluktuasi pasar, melainkan hanyalah sebagai pengurangan ketidakpastian yang dapat mempengaruhi perusahaan. 4. Penghapusan kekuatan tawar menawar dan distorsi harga input. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat menghilangkan posisi tawar menawar tidak hanya dengan harga pasokan yang lebih rendah (dihasilkan oleh integrasi vertikal ke hulu) ataupun nilai realisasi yang lebih tinggi (dihasilkan oleh integrasi vertikal ke hilir), tetapi juga membuat perusahaan dapat beroperasi secara lebih efisien karena tidak diperlukan lagi aktivitas yang tidak bernilai tambah akibat terlalu kuatnya posisi tawar menawar pemasok dan atau pembeli. Demikian juga terhadap distorsi harga input dapat dihilangkan oleh integrasi vertikal karena biaya transaksi internal mencerminkan harga yang sebenarnya dari input tersebut. Kemudian perusahaan mempunyai pilihan untuk menyesuaikan harga produk akhir agar dapat memaksimalkan laba total dari masing-masing unit sebelum integrasi. 5. Peningkatan kemampuan untuk melakukan diferensiasi produk. 6. Peningkatan daya hambat masuk dan mobilitas.
21
Integrasi vertikal juga akan meningkatkan daya hambat masuk bagi perusahaan lain dengan penciptaan skala ekonomi ataupun kebutuhan modal yang tinggi. Kemudian juga dapat meningkatkan mobilitas perusahaan yang terintegrasi dengan bentuk rendahnya biaya dan lebih kecilnya resiko. 7. Posisi bisnis yang berlaba tinggi. 8. Berjaga-jaga terhadap penutupan akses kepada pemasok maupun konsumen.
2.2. Metode Pengukuran Integrasi Vertikal Menurut Porter (1990), setiap tahap dalam jalur produksi menghasilkan nilai tambah. Tahap-tahap produksi vertikal tersebut diawali dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dan diakhiri dengan distribusi dan penjualan barang jadi. Integrasi vertikal dapat diukur dengan rasio nilai tambah terhadap pendapatan akhir penjualan dimana dalam memproduksi sebuah produk terdapat jaring vertikal yang terdiri dari tahap-tahap produksi yang setiap tahapnya menghasilkan nilai. Lebih jauh lagi, ukuran integrasi vertikal dapat dipandang dari dua segi yaitu pertama, menghitung tahapan-tahapan produksi. Semakin banyak jumlah tahapan produksi yang dicakup, semakin besar pula tingkat integrasinya. Namun, dalam satu tahapan produksi dapat mencakup banyak langkah individual sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan tahap-tahap produksi. Kedua, nilai tambah yang dihasilkan terhadap nilai akhir penjualan sebagai derajat dari integrasi vertikal. Segi yang kedua sering digunakan sebagai alternatif karena keterbatasan cara mengukur segi yang pertama. Rasio nilai tambah perusahaan pada pendapatan akhir penjualan dapat diperoleh dari segi nilai tambah sebagai indeks dari derajat
22
integrasi vertikal dengan asumsi bahwa semakin banyak tahapan produksinya, semakin besar pula nilai tambahnya. 2.2.1. Rasio Nilai Tambah terhadap Penjualan Secara sederhana, tingkat integrasi vertikal dapat dihitung dengan menggunakan rasio antara nilai tambah terhadap jumlah output atau penjualan. Nilai tambah didefinisikan sebagai pendapatan penjualan dikurangi pengeluaran untuk bahan bakar, bahan baku dan listrik. Secara rasional, pengukuran tersebut menjelaskan bahwa setiap perusahaan akan berusaha meningkatkan partisipasinya dalam berbagai tingkatan proses produksi, transaksi dalam suatu perusahaan akan berpindah ke perusahaan lain dan nilai tambah dari output atau penjualan akan meningkat. Metode tersebut dapat menunjukkan hasil pengukuran yang bias dalam integrasi vertikal. Jika harga input dan output berubah pada tingkat yang berbeda dalam satu waktu, rasio ini akan berubah meskipun proses fisik yang ditunjukkan oleh perusahaan tidak berubah. Ketika membandingkan derajat integrasi vertikal dari beberapa perusahaan, rasio integrasi dapat berbeda walaupun jumlah integrasi fisik yang dihitung sama. Perbedaan ini disebabkan oleh satu perusahaan yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari perusahaan lainnya, dimana keuntungan merupakan bagian dari nilai tambah. Jika akan membandingkan perusahaan dalam industri yang berbeda, rasio ini akan turun sejalan dengan semakin dekat prosesnya tahap akhir meskipun semua perusahaan diasumsikan sama-sama terintegrasi. Rasio ini menggambarkan tahapan proses produksi dan bukan derajat integrasi vertikal sehingga tidak dapat digunakan kecuali dengan membandingkan perusahaan yang
23
berbeda meskipun di dalam industri yang sama atau jika perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam tahapan proses produksi yang sama. Metode pengukuran tersebut sangat sensitif terhadap berbagai tingkatan operasional suatu perusahaan yang terbentuk dalam vertical chain. Metode lain yang mempertahankan nilai tambah konstan menjadikan industri yang lebih teintegrasi ke hilir akan cenderung menghasilkan tingkat integrasi vertikal yang lebih rendah. Untuk menanggulangi masalah tersebut, diciptakan suatu metode untuk menghilangkan bias yang terjadi. Metode pengukuran tersebut dibuat berdasarkan teori yang beranggapan bahwa pengukuran integrasi vertikal harus memperhitungkan relativitas kepentingan dari pertukaran ke dalam dan ke luar yang terjadi di suatu pasar. Metode tersebut membutuhkan pengukuran besarnya aliran output dari dalam perusahaan terhadap besarnya transaksi pasar yang dikendalikan oleh perusahaan. Besarnya aliran dari dalam perusahaan dihitung dengan menggunakan aliran output dalam suatu perusahaan dengan pabrikpabriknya dalam suatu industri dimana besarnya transaksi pasar dihitung dari penjualan output suatu perusahaan temasuk aliran dalam suatu perusahaan terhadap industri tetapi tidak memperhitungkan aliran di dalam industri. Aliran output dalam perusahaan dapat dihubungkan secara tidak langsung dari tabel input-output dan informasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan yang membentang dalam suatu industri. 2.2.2. Rasio Inventory terhadap Penjualan Semakin besar jumlah tahapan proses produksi yang dilakukan oleh suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula tingkat penyimpanan (inventory).
24
Apabila perusahaan berusaha mendapatkan manfaat dari integrasi vertikal dengan cara berhemat pada tingkat penyimpanannya maka indeks ini tidak dapat digunakan. Bahkan indeks ini dapat menunjukkan bahwa peningkatan integrasi vertikal menyebabkan mengecilnya rasio inventory terhadap penjualan. Indeks ini dapat berubah pada tingkat perubahan yang berbeda dalam harga output akhir dan inventory, tanpa perlu adanya perubahan aktual pada struktur perusahaan. Sehingga pada perbedaan tertentu dalam pola siklusnya, indeks ini akan menghasilkan pola inventory yang berbeda pula. 2.2.3. Pengukuran Backward Integration: Pembelian Antar Perusahaan Untuk mengukur tingkat integrasi vertikal ke hulu (Backward Vertical Integration) dapat digunakan rasio pembelian input antar perusahaan pada tahap ini dengan total nilai input yang digunakan. Indeks ini menunjukkan bahwa perusahaan harus mempercayakan pada pasar untuk memasok inputnya dalam proses produksi. 2.2.4. Pengukuran Forward Integration: Transfer Output Antar Perusahaan Tingkat integrasi vertikal ke hilir (Forward Vertical Integration) dapat dihitung dengan menggunakan rasio antara transfer output antar perusahaan terhadap total output. Rasio ini mengindikasikan perusahaan untuk tergantung pada pasar dalam menjual outputnya pada tahap ini.
25
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Integrasi Vertikal Berdasarkan penelitian Stigler (1951) mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat, tingkat integrasi vertikal dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan dan ukuran rata-rata perusahaan. Sedangkan dalam penelitian Mulyaningsih dan Karseno (2002) mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri kertas di Indonesia, tingkat integrasi vertikal dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan dan biaya input utama. Dalam penelitian ini, peneliti mengkombinasikan penelitian Stigler (1951) dengan penelitian Mulyaningsih dan Karseno (2002) serta menambahkan variabel biaya input, nilai output dan efisiensi internal yang kemudian diaplikasikan terhadap industri pakaian jadi di Indonesia. 2.3.1. Struktur Pasar Struktur pasar menentukan perilaku perusahaan dalam industri yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kinerja industri tersebut. Struktur pasar dapat menentukan sifat kompetisi dan harga pasar. Menurut jumlah dan ukuran distribusi penjual dan pembeli, hambatan masuk serta tingkat diferensiasi produk, struktur pasar dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yaitu struktur pasar monopoli, oligopoli ketat, perusahaan dominan dan persaingan ketat. Struktur pasar memiliki beberapa elemen yang menggambarkan ukuran perusahaanperusahaan yang bersaing di dalam pasar. Salah satu elemen dari struktur pasar adalah konsentrasi (pemusatan). Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis yang terdiri dari dua sampai delapan perusahaan dan saling tergantung satu sama lain (Jaya, 2001). Rasio konsentrasi
26
yang menggambarkan jumlah perusahaan dalam suatu industri merupakan determinan penting dalam menentukan integrasi vertikal. Kemudahan perusahaan menemukan pembeli dan penjual dari barang intermediate menentukan kemampuan dari perusahaan yang mapan untuk mendapatkan manfaat dari posisi tawar menawar mereka. Menurut Stigler (1951), jika hanya terdapat beberapa perusahaan dalam setiap tahapan proses produksi maka integrasi vertikal akan diterapkan. Hal ini disebabkan oleh perusahaan yang mencoba untuk menghindari opportunisme yang muncul dari pihak lain sebagai akibat dari terbatasnya pilihan. Perusahaan membutuhkan investasi tertentu dalam hubungan vertikal yang tidak terintegrasi, sehingga peluang opportunitas akan muncul untuk beberapa perusahaan terhadap beberapa barang yang dihasilkan dari investasi perusahaan lain. Besarnya dampak dari opportunisme didasarkan pada tingkat ketergantungan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan monopoli bilateral yang kemudian tergantung pada spesifikasi dari investasi tertentu. Integrasi vertikal diharapkan berhubungan positif dengan semakin sedikitnya perusahaan dalam suatu industri sehingga tingkat konsentrasi menjadi semakin tinggi. Seiring dengan semakin sedikitnya jumlah perusahaan, pilihan terhadap sumber-sumber alternatif permintaan dan penawaran
dari
produk
intermediate
juga
semakin
menurun
sehingga
mengakibatkan pertukaran melalui pasar terhambat secara signifikan dan perusahaan cenderung berintegrasi vertikal.
27
2.3.2. Ukuran Rata-rata Perusahaan Teori ketidakekonomian manajerial menyatakan bahwa semakin luas fungsi suatu perusahaan, semakin sulit tugas kooordinasi dalam perusahaan tersebut (Stigler, 1951). Ketika terjadi peningkatan skala produksi, perusahaanperusahaan kecil yang cenderung berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas produksi yang berbeda akan dihadapkan pada masalah tingginya biaya untuk mengelola dan mengkoordinasikan perusahaan tersebut. Keadaaan inilah yang mendorong perusahaan-perusahaan dengan ukuran kecil melakukan integrasi vertikal. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan dengan ukuran besar cenderung lebih terkonsentrasi dalam aktivitas-aktivitas produksi yang semakin sempit dan serupa sehingga tidak akan mengalami masalah tingginya biaya pengelolaan seiring dengan meningkatnya skala produksi. Dengan demikian, industri yang dikuasai oleh perusahaan besar akan cenderung kurang terintegrasi secara vertikal. 2.3.3. Biaya Input Biaya input terdiri dari beberapa pos biaya yang harus diakses. Pertama, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan bahan baku dan penolong, kedua, biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar, tenaga listrik dan gas. Ketiga, adalah biaya yang dikeluarkan untuk sewa gedung, mesin dan alat-alat serta pengeluaran lain yang diperlukan dalam proses produksi. Ketika terjadi peningkatan biaya input maka akan meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Strategi integrasi vertikal yang dilakukan oleh oleh perusahaan membuat perusahaan tidak dihadapkan pada masalah tingginya biaya produksi karena bahan baku utama yang digunakan merupakan hasil
28
produksi dari perusahaan di hulu yang terintegrasi dengan perusahaan di hilir dengan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), dalam jangka pendek biaya input utama berhubungan negatif dengan tingkat integrasi vertikal. Hal ini dikarenakan tingginya biaya input utama yang digunakan akan menurunkan nilai tambah yang dihasilkan sehingga rasio integrasi vertikal akan menurun. Tingkat integrasi vertikal diperoleh berdasarkan rasio nilai tambah dengan nilai output. Sedangkan dalam jangka panjang, biaya input utama berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya input utama yang akan mendorong perusahaan melakukan berbagai penyesuaian sehingga dalam jangka panjang perusahaan akan meningkat outputnya dan nilai tambah yang dihasilkan perusahaan juga akan meningkat demikian pula dengan rasio integrasi vertikal. 2.3.4. Nilai Output Nilai output merupakan nilai yang didapatkan dari keseluruhan penjumlahan dari barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain, selisih nilai stok barang setengah jadi dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Menurut Shepherd dalam Supriatna (2005), bahwa ukuran integrasi vertikal dapat dilihat dari dua sisi yaitu: pertama, sisi tahapan yaitu menghitung tahap-tahap produksi. Semakin banyak jumlah tahapan yang dicakup semakin besar integrasinya. Satu tahapan dapat mencakup banyak langkah individual sehinga sangat sulit untuk mendefinisikan tahap-tahap produksi. Kedua, yaitu sisi nilai tambah yang dihasilkan terhadap nilai akhir penjualan atau output. Sisi yang kedua lebih sering digunakan karena keterbatasan
29
pengukuran dari sisi yang pertama. Indeks dari derajat integrasi dapat diukur dari rasio nilai tambah terhadap pendapatan akhir penjualan atau output dengan asumsi bahwa semakin banyak tahapan produksinya semakin besar nilai tambahnya. Nilai tambah suatu produk akan bertambah seiring dengan penambahan output. 2.3.5. Efisiensi Internal Efisiensi internal dapat dicapai dengan meminimumkan biaya produksi, teknologi yang tepat, penggunaan input secara terpadu dan perekrutan tenaga kerja yang kompeten dibelakangnya (Jaya, 2001). Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai efisiensi internal terkait dengan penggunaan input secara terpadu adalah strategi integrasi vertikal. Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan diharapkan mampu menggunakan bahan baku utama secara tepat dan efisien dari perusahaan pemasok bahan baku yang terintegrasi dengannya.
2.4. Konsep Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Tekstil sebagai kata benda diartikan sebagai pakaian, yang dibuat dengan cara ditenun atau dirajut (kain) atau serat (benang) untuk ditenun atau dirajut (kain) atau serat (benang) untuk ditenun atau dirajut menjadi pakaian. Tekstil sebagai kata sifat diartikan sebagai usaha/pekerjaan yang berhubungan dengan kain dan pembuatan kain. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2006), pengertian industri dapat diartikan sebagai suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu serta mempunyai catatan administrasi tersendiri
30
mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut. Tekstil merupakan hasil dari proses pertenunan maupun perajutan benang yang hasilnya akan terbentuk tekstil lembaran, tenunan ataupun rajutan, sedangkan produk tekstil adalah proses lanjutan dari lembaran tekstil yang diproses menjadi pakaian jadi untuk individu. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia secara teknis dan struktur terbagi dalam tiga sektor industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir (Djafri, 2003), yaitu: 1. Sektor Industri Hulu (upstream), adalah industri yang memproduksi serat/fiber (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Industrinya bersifat padat modal, full automatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja relatif kecil dan output pertenagakerjanya besar. 2. Sektor Industri Menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan (finishing) dan pencapan (printing) menjadi kain-jadi. Sifat dari industrinya semi padat modal, teknologi madya dan modern (berkembang terus), dan jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari sektor industri hulu. 3. Sektor Industri Hilir (downstream), adalah industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang
31
menghasilkan ready-made garment. Pada sektor inilah yang paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah padat karya.
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.5.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Pakaian Jadi (Garmen) Penelitian Febriyanti (2006) yang berjudul Analisis Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia (Pendekatan Structure-Conduct-Performance) dengan menyimpulkan bahwa industri pakaian jadi di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar persaingan monopolistik dimana pasar ini bersifat banyak penjual dan pembeli, produk yang heterogen serta hambatan keluar masuk yang rendah. Ratarata CR4 dari industri ini selama tahun 1983-2003 sebesar 16,22 persen. Beberapa perilaku pada industri pakaian jadi di Indonesia dipengaruhi oleh struktur pasar yang dimiliki. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya perilaku dalam menentukan harga yang bervariasi berdasarkan jenis bahan, melakukan inovasi desain dan warna, promosi melalui contact buyer, pola distribusi yang cenderung ekspor, adanya integrasi vertikal serta perilaku sourcing atau suatu tindakan untuk mencari bahan baku. Dari segi kinerja, industri pakaian jadi di Indonesia memiliki tingkat PCM selama tahun 1983-2003 dengan rata-rata 24,93 persen. Tingkat PCM yang rendah tersebut umumnya disebabkan oleh rendahnya rasio konsentrasi pasar. Nilai efisiensi-X sebesar 60,27 persen juga menggambarkan bahwa industri dan perusahaan sudah dikelola dengan baik.
32
Kemudian variabel CR4, pertumbuhan permintaan, efisiensi-X dan produktivitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja (PCM). Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan terhadap ketiga variabel tersebut maka kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan. Penelitian Prahara (2008) yang berjudul Analisis Daya Saing Komparatif dan Kompetitif Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000-2006 dengan menggunakan analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan, Indeks Konsentrasi Pasar, Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Porter’s Diamond menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2000-2006, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki nilai ekspor yang melebihi nilai impornya, dimana ekspor tersebut mulai mempunyai kecenderungan mengarah pada salah satu atau beberapa negara tujuan saja. Hal ini sangat tidak menguntungkan karena ekspor pakaian jadi mulai tergantung pada salah satu atau beberapa pangsa pasar saja. Daya saing komparatifnya masih cukup kuat namun ada kecenderungan penurunan dan daya saing kompetitifnya masih relatif rendah. 2.5.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Integrasi Vertikal Stigler (1951) dalam penelitiannya yang berjudul The Division of Labor is Limited by The Extent of The Market menyimpulkan bahwa tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu tingkat konsentrasi industri, pertumbuhan permintaan dan ukuran rata-rata perusahaan. Tingkat konsentrasi industri berhubungan positif dengan integrasi vertikal. Dengan menurunnya jumlah perusahaan menjadikan pilihan terhadap sumber-sumber alternatif permintaan dan pasokan sehingga
33
perusahaan akan cenderung berintegrasi vertikal. Pertumbuhan permintaan berkorelasi positif terhadap tingkat integrasi vertikal suatu industri. Meningkatnya permintaan terhadap suatu produk membuat perusahaan melakukan strategi integrasi vertikal untuk mengamankan pasokan bakan bakunya. Sedangkan ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif terhadap integrasi vertikal. Semakin luas fungsi yang diemban perusahaan, menyebabkan semakin sulit tugas koordinasi dalam perusahaan tersebut. Levy (1984) dalam penelitiannya yang berjudul Testing Stigler’s Interpretation of The Division of Labor is Limited by The Extent of The Market menyatakan bahwa tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi, pertumbuhan permintaan dan ukuran rata-rata perusahaan. Penelitiannya tersebut menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan disimpulkan bahwa penelitian Levy tidak jauh berbeda dengan penelitian Stigler. Mulyaningsih dan Karseno (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi Vertikal dan Efisiensi Industri: Industri Kertas 1979-1997, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) menyimpulkan bahwa baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, variabel pertumbuhan permintaan berhubungan positif dengan tingkat integrasi vertikal. Sedangkan variabel tingkat konsentrasi industri berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal karena industri kertas bersifat monopolistik sehingga integrasi vertikal akan membuat harga yang terbentuk mengandung margin
yang lebih besar (Double
Marginalization). Variabel ketiga yang berupa biaya input utama, dalam jangka
34
pendek berhubungan negatif dengan tingkat integrasi vertikal. Hal ini disebabkan peningkatan biaya input utama yang digunakan dalam jangka pendek akan menyebabkan penurunan nilai tambah sehingga rasio integrasi vertikal juga akan mengalami penurunan. Sedangkan dalam jangka panjang, biaya input utama berhubungan positif dengan tingkat integrasi vertikal. Tingginya biaya input utama yang digunakan dalam jangka panjang akan diikuti oleh kenaikan output yang dihasilkan sehingga nilai tambah perusahaan akan meningkat dan tingkat integrasi vertikal juga semakin besar. Penelitian Supriatna (2005) yang menggunakan metode Error Correction Model (ECM) dan berjudul Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Air Minum Dalam Kemasan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya menyimpulkan bahwa jumlah output berhubungan positif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang terhadap tingkat integrasi vertikal. Sedangkan variabel rasio konsentrasi hanya berhubungan positif dengan integrasi vertikal dalam jangka panjang saja. Ghani, Ahmad dan Khalil (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Vertical Integration: An Empirical Test Using Malaysian Data, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), disimpulkan bahwa biaya transaksi dapat meningkatkan kecenderungan untuk berintegrasi vertikal. Selain menggunakan variabel rasio konsentrasi, ukuran rata-rata perusahaan dan pertumbuhan permintaan seperti yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya, peneliti juga menambahkan variabel pembagian output dari perusahaan asing dalam industri tersebut. Integrasi vertikal berhubungan positif
35
dengan pertumbuhan permintaan dan rasio konsentrasi industri setelah mengendalikan dampak dari keikutsertaan perusahaan asing di dalam suatu industri. Terdapat
fakta menyebutkan bahwa tingkat integrasi
vertikal
berhubungan dengan ukuran perusahaan. Nugrahandita (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Mie Instan di Indonesia (tahun 1986-2004), dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan data Time Series, ditetapkan bahwa variabel konsentrasi berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal karena jumlah perusahaan di hulu hampir sama dengan jumlah perusahaan mie instan. Ukuran rata-rata perusahaan dan pertumbuhan permintaan tidak berpengaruh terhadap integrasi vertikal karena ukuran perusahaan mie instan relatif sama. Nilai output berpengaruh positif sedangkan nilai input berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal mie instan di Indonesia. Penelitian Atikah (2008) yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) menyimpulkan bahwa variabel ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal, namun variabel konsentrasi industri berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Kemudian variabel pertumbuhan permintaan dan biaya bahan baku utama berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang namun berpengaruh negatif dalam jangka pendek. Variabel yang terakhir yaitu efisiensi internal berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal.
36
Sulistyowati (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) menyimpulkan bahwa variabel ukuran rata-rata perusahaan dan nilai output berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Sedangkan variabel biaya input dan efisiensi internal berpengaruh positif baik dalam jangka panjang dan jangka pendek terhadap tingkat integrasi vertikal. Kemudian variabel konsentrasi industri berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, namun harga komoditi bahan baku utama berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang dan pendek. Selanjutnya, variabel ekspor bahan baku berpengaruh secara negatif dalam jangka panjang terhadap tingkat integrasi vertikal namun berpengaruh secara positif terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka pendek. Variabel yang terakhir yaitu pertumbuhan permintaan berpengaruh secara positif terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang namun berpengaruh secara negatif dalam jangka pendek.
2.6. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian yang berjudul Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya mempunyai beberapa perbedaaan dibandingkan dengan penelitian lainnya yaitu pertama, ruang lingkup penelitian ini adalah sektor industri pakaian jadi (garmen)
37
yang memiliki keterkaitan proses produksi dengan industri tekstil dan produk tekstil lainnya di Indonesia. Kedua, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio konsentrasi pasar, ukuran rata-rata perusahaan, nilai output, efisiensi internal dan biaya input. Dua variabel merujuk pada penelitian Levy (1984) kecuali variabel pertumbuhan permintaan, yaitu rasio konsentrasi pasar dan ukuran rata-rata perusahaan. Tiga variabel lainnya juga merujuk pada penelitianpenelitian sebelumnya yaitu variabel nilai output dan efisiensi internal, serta biaya input sebagai variabel tambahan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Ketiga, penelitian ini menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS) dimana hasil estimasinya melihat hubungan antara suatu variabel yang disebut dengan variabel yang dijelaskan atau terikat (dependent variable) dengan variabel lainnya yang merupakan variabel yang menjelaskan atau bebas (independent variable). Keempat, data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder time series dari tahun 1977-2006.
2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual Industri tekstil dan produk tekstil menjadi salah satu primadona penyumbang devisa bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusi ekspor industri TPT yang selalu menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan selalu berada pada posisi atas diantara industri pengolahan nonmigas. Selain itu, kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja selalu menduduki posisi kedua dalam lima tahun terakhir yang tergabung dalam kelompok industri tekstil, barang kulit dan alas kaki. Industri pakaian jadi
38
merupakan kontributor terbesar bagi industri TPT baik dari segi nilai ekspor maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, industri pakaian jadi dianggap sebagai industri yang strategis dan patut menjadi unggulan. Keberhasilan industri pakaian jadi sebagai penyumbang devisa dan penyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan sebenarnya masih jauh dari kondisi nyata yang sebenarnya terjadi. Masih terdapatnya beberapa tantangan dan hambatan yang mendera industri ini yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu tantangan dan hambatan yang berasal dari luar industri itu sendiri (eksternal) dan yang berasal dari dalam industri (internal). Permesinan tekstil yang sebagian besar sudah sangat tua, ketergantungan terhadap bahan baku impor dan sistem perburuhan yang kurang mendukung merupakan tantangan dan hambatan internal. Tingginya upah rata-rata buruh yaitu 0,76 US$/jam yang lebih tinggi dari negara pesaing lainnya seperti upah rata-rata buruh di Vietnam yang hanya sebesar 0,35 US$/jam tidak diikuti dengan tingginya tingkat produktivitas9. Tantangan dan hambatan eksternalnya terdiri dari, pertama, persaingan dengan negara pesaing ekspor pasca dihapuskannya kuota di negara tujuan. Kedua, adanya high cost economy yang muncul dari tingginya biaya bongkar muat yang pada bulan September 2008 justru naik untuk kategori kontainer 20 kaki dari 95 US$/boks menjadi 116,3 US$/boks10. Akses jalan yang kurang baik juga berperan meningkatkan high cost economy, sehingga kedua hal tersebut menyebabkan peningkatan biaya distribusi dan waktu yang terbuang secara 9
www.indonesiatextile.com, Kinerja Industri TPT 2007 & Proyeksi 2008 [11 Januari 2009]. www.indotextiles.com, Biaya Penanganan Peti Kemas Naik Dari 70 Dollar As Menjadi 85 Dollar As [23 Juni 2009].
10
39
percuma. Ketiga, sulitnya pembiayaan dari pihak perbankan. Perbankan masih menganggap industri ini adalah industri yang berisiko tinggi. Keempat, yaitu maraknya produk impor ilegal yang disinyalir pada tahun 2007 mencapai 862 ribu ton atau sebesar 71 persen dari total keseluruhan konsumsi pakaian jadi domestik. Berbagai hal tersebut menyebabkan industri pakaian jadi berjalan dengan kondisi yang kurang sehat. Produktivitas yang rendah ditambah dengan biaya operasional yang relatif tinggi. Diperlukan peningkatan produktivitas yang disertai inovasi untuk meningkatkan daya saing produk lokal dengan produk impor legal dan ilegal di dalam negeri maupun persaingannya dengan produk dari negara kompetitor lain di pasar internasional. Industri pakaian jadi merupakan satu kesatuan dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terintegrasi dari hulu sampai hilir, memiliki keterkaitan pola distribusi yang sangat erat antara subsektornya. Hubungan antar subsektor tersebut saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, langkah integrasi vertikal dapat menjadi alternatif peningkatan dan pengembangan industri pakaian jadi di Indonesia, disamping usaha-usaha lain seperti peremajaan mesinmesin, penyempurnaan sistem perburuhan, pembatasan yang ketat terhadap tekstil impor legal dan ilegal serta tindakan protektif lainnya. Penelitian ini akan menganalisis perilaku industri yang berupa integrasi vertikal industri pakaian jadi (garmen) nasional selama tahun 1977-2006 dengan menggunakan variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal tersebut antara lain rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, ukuran rata-rata perusahaan (avsize), biaya input (input), nilai output (output) dan efisiensi internal
40
(xeff) untuk lebih memperjelas variabel yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal. Industri Pakaian Jadi sebagai Industri Strategis dan Unggulan Tantangan dan Hambatan
Eksternal : Persaingan Ekspor High Cost Economy Pembiayaan Perbankan Produk Impor Ilegal
Internal : Permesinan Sistem Perburuhan Bahan Baku Impor
Alternatif Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Terhadap Kinerja dan Produktivitas
Industri Pakaian jadi
Industri Tekstil dan Produk Tekstil
Integrasi Vertikal
CR4
AVSIZE
INPUT
OUTPUT
XEFF
Implikasi Kebijakan Pemerintah Keterangan : ---- = ruang lingkup penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Keenam variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk melihat apakah variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri
41
pakaian jadi yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan untuk mendukung peningkatan produktivitas dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia.
2.8. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar diduga berpengaruh positif terhadap kenaikan integrasi vertikal. Semakin tinggi rasionya maka semakin meningkatkan rasio integrasi vertikalnya, ceteris paribus. 2. Ukuran rata-rata perusahaan diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal. Dengan asumsi ceteris paribus, semakin besar ukuran ratarata perusahaan, semakin cenderung berkonsentrasi pada produksi yang semakin sempit dan kurang terintegrasi secara vertikal. 4. Biaya input diduga berpengaruh negatif terhadap integrasi vertikal. Peningkatan biaya input menyebabkan nilai tambah semakin menurun dan mendorong untuk tidak melakukan integrasi vertikal, ceteris paribus. 5. Nilai output diduga berpengaruh positif terhadap integrasi vertikal. Semakin tinggi nilai output yang dihasilkan maka nilai tambah pun meningkat, dimana nilai tambah didapatkan dari hasil pengurangan nilai output dengan biaya input. Jadi, meningkatnya nilai output akan meningkatkan nilai tambah dan kecenderungan berintegrasi vertikal, ceteris paribus. 6. Nilai efisiensi internal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal, ceteris paribus. Efisiensi internal dapat dicapai oleh suatu perusahaan
42
salah satunya dengan menggunakan input secara terpadu. Penggunaan input secara terpadu dapat dilakukan perusahaan melalui strategi integrasi vertikal.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari data-data yang telah diolah oleh instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Bank Indonesia, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) serta literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan industri pakaian jadi yang terkait dengan integrasi vertikal, rasio konsentrasi empat perusahaan, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan efisiensi internal. Penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 1977 sampai tahun 2006 yang kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan E-Views 4.1. Data yang diperoleh merupakan data nominal yang kemudian diubah ke dalam bentuk riil membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) lalu dikalikan 100 (persamaan 3.1). Penggunaan IHPB sebagai deflator dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas dasar harga konstan suatu tahun dasar. Harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap agregat dari tahun ke tahun semata-mata karena perkembangan riil dan bukan fluktuasi kenaikan harga.
Nilai riil =
Nilai nominal IHPB
x 100
(3.1)
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga
perdagangan
besar
atau
grosir
dari
komoditas-komoditas
yang
44
diperdagangkan di suatu daerah atau negara, komoditas tersebut merupakan produksi dalam negeri, diekspor atau diimpor (BPS). IHPB digunakan dalam penelitian ini adalah IHPB dengan tahun dasar 1993 (1993 = 100) yang diperoleh dari BPS.
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan memberikan gambaran dari hasil penelitian dan secara kuantitatif yaitu dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini cukup sering digunakan untuk menganalisis regresi oleh para peneliti di bidang ekonomi. Analisis regresi digunakan untuk membahas hubungan antara suatu variabel yang disebut dengan variabel yang dijelaskan atau terikat (dependent variable) dan variabel lainnya yang merupakan variabel yang menjelaskan atau bebas (independent variable). Model yang digunakan untuk menganalisis tingkat integrasi vertikal mengacu pada beberapa penelitian terdahulu. Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien yang menjelaskan hubungan antar variabel, data yang digunakan harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar asumsi-asumsi dasar yaitu multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas.
45
3.3. Model Ekonometrika 3.3.1. Analisis Tingkat Integrasi Vertikal Ukuran
integrasi
vertikal
yang
dianalisis
menggunakan
metode
pengukuran yang didasarkan atas rasio antara nilai tambah terhadap nilai output. Nilai tambah sebagai indeks dari derajat integrasi vertikal diperoleh dengan asumsi bahwa semakin banyak tahapan produksinya, semakin besar pula nilai tambahnya. (3.2) Dimana:
IV:
tingkat integrasi vertikal (satuan)
NT:
nilai tambah (ribu Rupiah)
NO:
nilai output (ribu Rupiah)
3.3.2. Konsentrasi Industri Salah satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan struktur pasar adalah rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi adalah penghitungan konsentrasi yang menggambarkan jumlah perusahaan dan ketidakseimbangan dalam pangsa pasarnya. Semakin besar angka presentasenya semakin besar konsentrasi industri. Rasio konsentrasi dapat dijelaskan sebagai persamaan 3.2 berikut :
CRn = Dimana:
msi
(3.3)
CRn:
Rasio konsentrasi sebanyak n perusahaan (%)
msi:
Pangsa pasar perusahaan ke-i (%)
46
3.3.3. Ukuran Rata-rata Perusahaan Teori ketidakekonomian manajerial menyatakan bahwa semakin luas fungsi suatu perusahaan, semakin sulit tugas kooordinasi dalam perusahaan tersebut (Stigler, 1951). Variabel ukuran rata-rata perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini diukur dari rasio antara nilai output terhadap jumlah perusahaan. (3.4) Dimana:
AVSIZE = ukuran rata-rata perusahaan (ribu Rupiah) NO
= nilai output (ribu Rupiah)
JP
= jumlah perusahaan (satuan)
3.3.4. Efisiensi Internal Efisiensi
internal
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan output yang diharapkan, dengan menekan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Salah satu indikator pengukuran efisiensi internal yaitu dilihat dari rasio antara nilai tambah terhadap biaya input. 100% Dimana:
(3.5)
XEFF = efisiensi internal (%) NT
= nilai tambah (ribu Rupiah)
BI
= biaya input (ribu Rupiah)
3.3.5. Analisis Pengaruh Faktor-faktor Integrasi Vertikal Penelitian mengenai integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia mengacu pada penelitian Levy (1984) yang bertujuan untuk membuktikan
47
hipotesis Stigler. Variabel bebas yang mempengaruhi integrasi vertikal dalam penelitian ini adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan ukuran rata-rata perusahaan (avsize), serta dalam penelitian ini ditambahkan pula variabel biaya input pakaian jadi (input), nilai output (output) dan efisiensi internal (xeff) sebagai variabel bebasnya. Kemudian sebagai variabel terikatnya adalah tingkat integrasi vertikal. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : VI t =
0+
+
1 CR 4 t
5 XEFF t +
+
2 AVSIZE t +
3 INPUT t +
4
OUTPUTt
Ut
(3.4)
Dimana: VI t
= tingkat integrasi vertikal pada periode t (satuan)
CR 4 t
= rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar pada periode t (persen)
AVSIZE t
= ukuran rata-rata perusahaan pada periode t (ribu Rupiah)
INPUT t
= biaya input pada periode t (ribu Rupiah)
OUTPUT t
= nilai output pada periode t (ribu Rupiah)
XEFF t
= tingkat efisiensi internal periode t (persen) = intercept
0 1,
Ut
2,
3,
4,
5,
= koefisien kemiringan parsial = unsur gangguan (error disturbance) pada periode t
Beberapa variabel yang digunakan dirubah ke dalam bentuk logaritma disebabkan karena adanya perbedaan satuan dari keenam variabel yang digunakan, maka persamaannya menjadi:
48
LVI t =
0+
+
1 CR 4 t
5 XEFF t +
+
2 LAVSIZE t +
3 LINPUT t +
4
LOUTPUTt
Ut
(3.5)
Dimana: LVI t
= tingkat integrasi vertikal pada periode t (persen)
CR 4 t
= rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar pada periode t (persen)
LAVSIZE t
= ukuran rata-rata perusahaan pada periode t (persen)
LINPUT t
= biaya input pada periode t (persen)
LOUTPUT t
= nilai output pada periode t (persen)
XEFF t
= tingkat efisiensi internal periode t (persen) = intercept
0 1,
Ut
2,
3,
4,
5,
= koefisien kemiringan parsial = unsur gangguan (error disturbance) pada periode t
3.4. Pengujian Hipotesis 3.4.1. Asumsi-asumsi Persamaan Regresi dengan OLS: 1. Hubungan variabel terikat dengan variabel bebas adalah hubungan linier. 2. Variabel bebas bukan variabel stokastik, berarti nilai-nilainya telah ditetapkan dan tidak ada hubungan linier yang persis antar variabel bebas. 3. Error memiliki nilai harapan nol, E(U) = 0 4. Error dari observasi-observasi yang berbeda independen secara statistik, E(Ui Uj) = 0, untuk semua i
j
5. Error memiliki varian yang konstan untuk semua observasi, E(U2) =
2
49
Apabila semua asumsi tersebut dipenuhi maka berdasarkan teorema Gauss-Markov dikatakan bahwa estimasi yang didapatkan merupakan penaksir linier tak bias dan terbaik atau dapat disebut pula Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Parameter yang telah diestimasi kemudian akan diuji secara statisik untuk melihat apakah suatu hipotesis dapat diterima atau tidak. Cara pengujian yang dapat dilakukan untuk menentukan baik tidaknya suatu model adalah dengan nilai R2, uji t-statistik dan uji F-statistik. 3.4.2. Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) a. Uji Autokorelasi Yang dimaksud dengan autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu. Terdapatnya masalah autokorelasi akan mempengaruhi efisiensi model dan tidak berdampak pada konsistensi dan ketidakbiasan model. Rumusan dari adanya autokorelasi dalam pemodelan adalah sebagai berikut : E(Ui,Uj) Dimana:
0
i
j
Ui = unsur gangguan pengamatan i Uj = unsur gangguan pengamatan j
Uji yang digunakan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak salah satunya adalah dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan dalam uji autokorelasi adalah sebagai berikut : H0 :
=0
H1 :
0
50
Kriteria uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata ( ) maka tolak H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata ( ) maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Tetapi jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model. b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan linier di antara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Menurut Gujarati (1995), gejala multikolinearitas dalam suatu model menimbulkan: 1. Meskipun penaksir OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan standarnya mungkin akan cenderung membesar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel. 2. Standard error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar. 3. Jika nilai multikolinearitasnya tinggi kemungkinan probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah menjadi besar. 4. Kesalahan standar akan semakin besar dan sensitif bila ada perubahan data. 5. Tidak mungkinnya mengisolasi pengaruh individual dari variabel yang menjelaskan. Dengan adanya multikolinearitas tidak mungkin dipertahankan asumsi bahwa semua variabel lain konstan apabila saah satu variabel bebas berubah. Sehingga koefisien regresi tersebut tidak dapat ditafsirkan. Uji multikolinearitas
51
dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antara variabel eksogen yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi lebih besar dari |0,8| (rule of thumbs), maka terdapat gejala multikolinearitas. Cara lain adalah dengan melakukan uji Klein, selama nilai korelasi-korelasi antar variabel bebas (r2) tersebut
tidak
melebihi
nilai
R-squared
(R2),
maka
dapat
dikatakan
multikolinearitasnya bisa diabaikan. Menurut Klein, terdapat multikolinearitas apabila : r2 xi, xj
R2
(3.6)
y, x1, x2,..., xk
c. Uji Heteroskedastisitas Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) yaitu memiliki ragam error yang sama. Heteroskedastisitas menyebabkan tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri masih konsisten dan tak bias. Hal ini juga akan mengakibatkan uji t-statistik dan uji f-statistik menjadi tidak berarti. Gejala ini dapat
ditunjukkan
oleh
probability
Obs*R-squared
pada
uji
White
Heteroscedasticity. Hipotesis:
H0 :
=0
H1 :
0
Kriteria uji: Probability Obs*R-squared < taraf nyata ( ) maka tolak H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata ( ) maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka terjadi heteroskedastisitas dalam model. Tetapi jika H0 diterima maka tidak terdapat gejala heteroskedastisitas.
52
d. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata ( ) yang digunakan maka model yang digunakan tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal. Uji ini dilakukan dengan menggunakan descriptive statistic test dan disebut Jarque-Bera Test. Hipotesis:
H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal
Kriteria uji: Probability t-statistic < taraf nyata ( ) maka tolak H0 Probability t-statistic > taraf nyata ( ) maka terima H0 3.4.3. Uji Statistik a. Uji Determinasi (R2) Uji ini dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikat, sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Semakin dekat nilai R2 dengan satu, maka semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Uji determinasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini, JKR R2 = _______ JKT
(3.7)
53
Dimana: R2
= Koefisien determinasi
JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKT
= Jumlah Kuadrat Total Nilai R2 akan bertambah besar dengan bertambahnya variabel bebas.
Semakin dekat nilai R2 dengan nilai satu maka model tersebut semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas, demikian pula sebaliknya. b. Uji F-statistik Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis : H0 :
1=
2
=
3=
...=
H1 : minimal ada satu
i
=0 0
i
Kriteria uji : Probability f-statistic > taraf nyata ( ) maka terima H0 Probability f-statistic < taraf nyata ( ) maka tolak H0 Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya, jika H0 diterima, maka tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata. c. Uji t-statistik Uji-t bertujuan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas. Hipotesis : H0 : H1 :
1=
i
0
2
=
3=
...=
i
=0
54
Kriteria uji : Probability t-statistic < taraf nyata ( ) maka tolak H0 Probability t-statistic > taraf nyata ( ) maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata/signifikan terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya pun demikian.
3.5. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tingkat integrasi vertikal merupakan ukuran besarnya integrasi vertikal yang dapat diukur dengan rasio nilai tambah dengan nilai output industri. Nilai integrasi vertikal berkisar antara 0 sampai 1.
2.
Rasio konsentrasi empat perusahaan adalah indikator penguasaan pangsa pasar oleh suatu industri yang dapat diukur dengan jumlah penjualan dari beberapa perusahaan terbesar dibagi dengan jumlah penjualan total industri yang diukur dalam satuan persen.
3.
Ukuran rata-rata perusahaan diukur dengan membagi nilai output dengan jumlah perusahaan yang berproduksi dalam industri tersebut. Variabel ini menggunakan satuan ribuan rupiah yang kemudian dalam proses pengolahan dilogaritmakan sehingga didapat dalam satuan persen.
4.
Biaya input merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh input pakaian jadi. Satuan dari biaya input adalah ribu rupiah sehingga dalam proses pengolahan harus dilogaritmakan.
55
5.
Nilai output diperoleh dalam bentuk data nominal dengan satuan ribu rupiah yang kemudian diriilkan sehingga dapat digunakan dalam persamaan yang kemudian dalam proses pengolahan dilogaritmakan sehingga didapat dalam satuan persen.
6.
Efisiensi internal dapat diukur dari rasio nilai tambah dengan biaya input yang kemudian dikalikan 100 persen.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI TEKSTIL DAN PAKAIAN JADI DI INDONESIA
4.1. Sejarah Pertekstilan Indonesia Sejarah pertekstilan di Indonesia tidak dapat dipastikan sejak kapan dimulai, namun masyarakat Indonesia sudah memiliki kemampuan dalam menenun dan merajut sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di tanah air. Tradisi tenun-menenun dan membatik hanya berkembang di sekitar lingkungan istana dan hanya ditujukan untuk kepentingan seni budaya. Sejarah pertekstilan di Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri rumahan (home industry) pada tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk) dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM. Kemudian pada tahun 1960-an, dimana negara kita menganut sistem ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain seperti OPS Tenun Mesin, OPS Tenun Tangan, OPS Perajutan, OPS Batik dan OPS lainnya yang dikoordinir oleh Gabungan
57
Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan
dan
diangkat
oleh
Menteri
Perindustrian
Rakyat
dengan
perkembangannya sebagai berikut: 1. Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-sektornya, yaitu pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), perajutan (knitting) dan penyempurnaan (finishing). 2. Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi; Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim) dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi). 3. Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang hasilnya menyepakati Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan sekaligus menjadi anggota API. Tujuan didirikannya API adalah sebagai wadah bagi anggotanya untuk menyalurkan aspirasi dan juga memberikan kontribusi terhadap upaya pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT Indonesia yang disusun dan dirancang serta diputuskan setiap tiga tahun sekali dalam Musyawarah Nasional (Munas) API. Aktivitas API yang utama adalah memfokuskan pada pelayanan untuk kepentingan dan kebutuhan anggota yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah, pengusaha TPT, komunitas industri mesin TPT, asosiasi disainer, perguruan tinggi dan akademi, pers, pengamat dan pakar pertekstilan serta stakeholders pertekstilan lainnya
58
dengan tujuan untuk pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT nasional. Aktivitas tersebut antara lain informasi industri TPT Indonesia, data angka aktual kinerja industri TPT Indonesia, penelitian dan pengembangan bagi kepentingan industri TPT nasional, dan informasi lainnya tentang industri dan perdagangan TPT Indonesia.
4.2. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen) Industri pakaian jadi atau garmen merupakan salah satu sub sektor dalam industri TPT Indonesia, selain sub sektor pembuatan serat, sub sektor pemintalan, sub sektor pertenunan dan perajutan, serta sub sektor pencelupan, pencapan dan penyempurnaan kain. Industri pakaian jadi di Indonesia dimulai pada tahun 1969, awal Pelita I, namun pada Pelita II perkembangannya lebih berarti. Pertumbuhan industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT ditandai dengan meningkatnya penanaman modal di bidang ini setelah mulai diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Peningkatan ini juga disertai dengan peningkatan tenaga kerja yang diserap oleh industri tersebut. Pada Pelita I kenaikan rata-rata jumlah tenaga kerja 4,1 persen per tahun kemudian pada Pelita II naik menjadi 19 persen per tahun (Depperind, 1982 dalam Febriyanti, 2006). Meningkatnya perdagangan pakaian jadi dunia pada tahuntahun tersebut mendorong para pelaku industri nasional untuk ikut serta dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1975 nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi
59
hanya sebesar 0,18 persen dari keseluruhan nilai ekspor dan terus mengalami peningkatan selama lima tahun ke depan. Bila dibandingkan dengan keseluruhan nilai ekspor, maka ekspor tekstil dan pakaian jadi baru mencapai sekitar 2 persen dari nilai ekspor non-migas dan hanya 0,99 persen dari nilai seluruh ekspor pada tahun 1979. Ekspor tekstil pada Pelita II meningkat enam kali lipat, sedangkan ekspor pakaian jadi meningkat 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Pelita I. Namun demikian, neraca perdagangan tekstil Indonesia masih tetap minus karena total impor masih lebih besar dari ekspornya. Juga meskipun ekspor tekstil meningkat dengan pesat, ekspor tersebut hanya merupakan sebagian kecil saja dari ekspor industri nasional. Tingginya nilai impor tersebut disebabkan oleh masih tingginya ketergantungan terhadap impor bahan baku, mesin-mesin dan bahan kimia. Meskipun begitu, pengembangan industri-industri yang dapat menunjang pertumbuhan industri tekstil tersebut masih cukup mempunyai prospek yang sangat baik di Indonesia. Sejak tahun 1973, pemasaran tekstil dunia diatur atas dasar Multi Fiber Agreement (MFA) yang merupakan persetujuan multilateral terkait dengan GATT yang ditandatangani oleh negara importir dan eksportir yang bertujuan untuk mengatur laju pertumbuhan impor TPT di suatu negara agar tidak membahayakan industri TPT negara pengimpor. Sejak adanya MFA, negara pengimpor TPT utama (pada saat itu Amerika Serikat, Kanada, Skandinavia dll) mengendalikan pertumbuhan impor dari negara pemasok utama seperti Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Sebagai kompensasinya mereka mencari negara pemasok baru
60
seperti Indonesia dan negara lain yang belum terkena kuota, sehingga dengan adanya MFA, TPT Indonesia termasuk di dalamnya Industri pakaian jadi ikut terbantu dalam menembus pasar ekspor. Setelah Indonesia dianggap menjadi negara eksportir TPT, mulai tahun 1979 negara-negara pengimpor seperti Amerika Serikat, Swedia, MEE, Kanada dan Norwegia mengadakan persetujuan bilateral dengan Indonesia. Isi persetujuan tersebut antara lain berupa pembatasan volume ekspor TPT Indonesia ke negara yang bersangkutan dalam bentuk kuota. Tingkat pertumbuhan ekspor yang diperkenankan dibatasi maksimum hanya tiga hingga 7 persen dari volume ekspor tahun sebelumnya. Hal ini tentu saja berdampak pula bagi industri pakaian jadi yang memang merupakan bagian dari industri TPT Indonesia.
4.3. Periode Industri Pakaian Jadi 4.3.1. Periode Sebelum Krisis Industri pakaian jadi berkembang sangat pesat selama tahun 1985 hingga tahun 1990, terutama akibat berdirinya perusahaan-perusahaan baru dengan kapasitas besar. Sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut didirikan oleh investor asing, seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan Jepang yang merelokasi pabrik pakaian jadinya ke Indonesia, baik secara sendiri ataupun bekerja sama dengan mitra lokal. Banyak investor merelokasikan industrinya karena di negara mereka industri tersebut tidak lagi memiliki keunggulan komparatif yang disebabkan oleh mahalnya biaya tenaga kerja. Berdasarkan data BPS, pada periode tersebut sekitar 70 persen investasi pada industri pakaian jadi
61
di Indonesia adalah PMA sedangkan PMDN hanya 30 persen. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara sasaran relokasi industri pakaian jadi yang menarik. Pada tahun 1989 jumlah industri pakaian jadi di Indonesia adalah 513 perusahaan dengan kapasitas 71,7 juta lusin per tahun. Dari segi lokasi sebagian besar terletak di DKI jakarta dan Jawa Barat. Di kedua daerah tersebut masingmasing terdapat 277 perusahaan dengan kapasitas 33 juta lusin dan 120 perusahaan dengan kapasitas 25,5 juta lusin. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada tahun 1991 jumlah perusahaan pakaian jadi yang tergabung dalam asosiasi adalah 194 perusahaan dengan jumlah mesin 162.600 unit. Dengan asumsi satu unit mesin menghasilkan 2,8 lusin per hari, maka kapasitas seluruhnya adalah 136,6 juta lusin per tahun. Walaupun pertumbuhan industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat namun perkembangan ekspornya terhambat oleh adanya sistem kuota. Sementara ekspor ke negara non kuota menghadapi kendala seperti tidak terjaminnya stabilitas permintaan dan kecilnya margin yang diperoleh dibanding dengan ekspor kuota. Meskipun demikian, ekspor ke negara non kuota tetap perlu dikembangkan. Neraca perdagangan TPT Indonesia sejak tahun 1981 sampai dengan tahun 1985 menunjukkan defisit, namun mulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 menunjukkan surplus. Nilai surplus untuk tahun 1990 adalah US$ 125 juta. Apabila dilihat per sub sektor, sumbangan devisa terbesar adalah dari ekspor tekstil yang meliputi benang dan kain serta pakaian jadi. Rata-rata pertumbuhan
62
volume ekspor pakaian jadi sejak tahun 1983 sampai dengan 1990 adalah sebesar 27,75 persen per tahun. Peningkatan yang pesat terjadi pada tahun 1985 sampai tahun 1986 yaitu mencapai pertumbuhan 59,03 persen sedangkan pada tahun 1986 sampai tahun 1987 mengalami penurunan sebesar -3,87 persen (Bank Bumi Daya, 1992 dalam Febriyanti, 2006). 4.3.2. Periode Krisis Berdasarkan Tabel 4.1, perkembangan industri pakaian jadi mulai dari sebelum krisis di tahun 1995 hingga periode krisis bahkan pasca krisis, terus mengalami peningkatan jika didasarkan pada kapasitas dan produksinya. Pada tahun 1995 kapasitas produksi sebesar 441.168 ton meningkat terus bahkan dimasa krisis sekalipun, menjadi 572.026 ton di tahun 1999. Tabel 4.1. Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Tahun
Kapasitas (Ton)
Produksi (Ton)
Utilisasi (%)
1995 1996
441.168 469.000
402.460 427.740
91 91
1997
486.062
460.365
95
1998
564.900
535.034
95
1999
572.026
543.150
95
2000 573.502 554.436 2001 584.972 565.524 Sumber : Departemen Perindustrian dan API, 2005
97 97
Peningkatan kapasitas terpasang diikuti dengan peningkatan jumlah produksi dari 402.460 ton di tahun 1995 menjadi 543.150 ton di tahun 1999. Peningkatan realisasi produksi tersebut meningkatkan utilisasi pada tahun 1995 hingga tahun 1999 dari 91 persen menjadi 95 persen.
63
Selama periode krisis yang terjadi di Indonesia, untuk daerah Jawa Tengah setidaknya hampir 50 persen tenaga kerja di industri pakaian jadi tidak bisa bekerja penuh, meskipun mereka tidak sampai mengalami PHK. Bahkan tingkat produksi yang diperoleh hanya tinggal 60 persen dari normal. Hal tersebut juga disebabkan oleh produksi yang diperuntukkan pada ekspor sehingga masih bisa mempertahankan sekitar 300 perkerja. Para produsen berupaya dengan mengantisipasi pasar, seperti misalnya mencari pembeli baru dan tidak hanya berharap pada pelanggan tradisional. Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifikasi usaha meskipun masih dalam satu bidang usaha. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh batik tobal, selain berusaha meningkatkan produksi pakaian jadi, sejak awal dilakukan diversifikasi dengan memproduksi sarung palekat. Upaya ini dilakukan sebagai cara untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pada industri pakaian jadi untuk konsumsi domestik yang sangat tergantung pada produksi tekstil dalam negeri, mengalami penurunan sekitar 40 persen dari rata-rata produksi 600 potong seminggu. Penurunan ini bahkan belum pulih benar pasca krisis moneter. Apalagi pengaruh kenaikan nilai rupiah tidak banyak berarti bagi kebutuhan bahan baku tekstil. Industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT, berperan penting dalam menyerap tenaga kerja dan ekspor non migas. Sumbangan industri pakaian jadi beserta tekstil dan sepatu dalam konfigurasi ekspor non migas dari industri padat karya (Unskilled Labour Intensive Industry/ULI) mencapai 86 persen, dengan nilai ekspor hampir US$ 8 miliar. Namun, ekspor
64
komoditas pakaian jadi diikuti tekstil dan sepatu terus-menerus mengalami penurunan sejak tahun 1994. Dilihat dari nilai ekspor memang mengalami kenaikan, tetapi pangsanya terhadap total ekspor ULI cenderung menurun dari tahun ke tahun. Beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab utama menurunnya ekspor non migas yaitu, pertama, menurunnya permintaan di negara-negara tujuan ekspor non migas dari Indonesia, yang bersamaan dengan faktor struktural terutama meningkatnya persaingan dan menurunnya produktivitas. Kedua, menurunnya ekspor ULI disebakan banyaknya perusahaan yang menutup usahanya akibat krisis ekonomi maupun kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk yang sama (Kuncoro, 2007). 4.3.3. Periode Pasca Krisis Pada periode ini industri pakaian jadi memiliki nilai ekspor yang jauh lebih tinggi daripada nilai ekspor industri-industri lain yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia (Gambar 4.1). Nilai ekspor dari industri pakaian jadi tahun 2001 sebesar US$ 4.344 juta meskipun kemudian mengalami sedikit penurunan ditahun-tahun berikutnya, akan tetapi nilai dari industri-industri lainnya yang tergabung dalam industri TPT ini tidak ada yang mendekati raihan industri pakaian jadi. Hal ini mengindikasikan bahwa produk pakaian jadi memiliki kualitas yang cukup tinggi.
65
5000 4500 4000
Juta US$
3500
Serat
3000
Benang
2500
Kain
2000
Pakaian Jadi Tekstil lainnya
1500 1000 500 0 2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : API, 2007
Gambar 4.1. Nilai Ekspor Industri TPT Nasional Namun di sisi lain, terdapat permasalahan yang sedang dihadapi oleh industri pakaian jadi nasional sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia. Masalah penyelundupan saat ini dirasakan sangat merugikan industri pakaian jadi bahkan bagi industri TPT nasional. Akibat penyelundupan tersebut, banyak produk-produk pakaian jadi ilegal khususnya dari Cina, yang merambah pasar domestik, sehingga merugikan para produsen dalam negeri.
4.4. Produksi Pakaian Jadi Industri pakaian jadi tidak bisa terlepas dari industri tekstil karena dapat dikatakan, untuk membuat pakaian jadi pasti memerlukan hasil-hasil dari industri tekstil. Bahan yang diperlukan untuk produksi pakaian jadi bersumber dari industri serat, pemintalan dan pertenunan/perajutan. Berdasarkan hasil kajian SENADA (Indonesia Competitivenesss Program, 2007), dalam memproduksi pakaian, industri pakaian jadi memakai nilon, rayon,
66
poliester dan katun sebagai bahan baku dasar untuk produksi pakaian. Pabrikan pakaian jadi besar membeli kain langsung dari pabrikan lokal atau mengimpor kain jenis khusus dari pabrik-pabrik mancanegara. Pabrikan pakaian jadi yang lebih kecil umumnya membeli kain dari pedagang grosir dalam negeri, seperti grosir di pasar Tanah Abang. Gulungan-gulungan kain selanjutnya dipilah, dipotong dan dijahit. Pernak-pernik, kancing resleting dan benang jahit juga umumnya dibeli dari pedagang lokal. Bahan-bahan tidak langsung, seperti surfaktan dan zat-zat penganji dan pewarna, dibeli dari pedagang perantara yang membeli dari pemasok dalam negeri atau mengimpor. Produksi pakaian jadi dimulai dengan pengembangan rancangan. Ada tiga pendekatan umum perancangan, masing-masing bergantung pada pasar konsumen akhir. Pabrikan yang menjual produknya ke toko pengecer skala kecil di dalam negeri membuat rancangan sendiri berdasarkan pada pengetahuan tentang kecenderungan pasar saat ini, sementara produsen yang menjual ke toko dalam negeri skala besar biasanya mendapatkan rincian rancangan produk dari agen pembelian. Untuk ekspor, pabrikan juga diberikan rancangan oleh toko eceran besar bersangkutan. Setelah suatu rancangan rampung, pabrikan menyiapkan rencana produksi yang menyertakan semua unsur yang diperlukan (misalnya, lengan, kerah, lapisan) untuk membuat sepotong lengkap pakaian. Operasi kegiatan berikutnya kemudian disesuaikan ke arah pengembangan rancangan tersebut. Perakitan dan penjahitan masing-masing unsur didominasi oleh kerja manual dan hanya sedikit berubah seiring berjalannya waktu. Perbedaan di antara produsen pakaian jadi biasanya adalah ukuran tenaga kerja, yang bisa amat
67
mencolok dari usaha mikro dengan kurang dari 50 pekerja ke operasi skala raksasa dengan 8-10 ribu pekerja (SENADA, 2007). Pekerja biasanya dikelompokkan menurut gugus-gugus, dengan tiap gugus berfokus pada penyelesaian satu kegiatan tunggal (misalnya, memotong kain, menjahit kancing, dll). Walaupun sama dengan sepatu dalam hal industri ini juga padat karya, produksi pakaian jadi tidak mengikuti proses ”awal-sampai akhir” sejenis yang berujung di pembuatan satu saja produk jadi. Kendali mutu merupakan unsur terpadu pada pabrikan pakaian jadi yang penting untuk mengurangi biaya melalui meminimalkan cacat maupun untuk memastikan kepuasan pelanggan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perdagangan ekspor menerapkan sistem terketat, sementara yang berfokus pasar dalam negeri biasanya lebih longgar. Fungsi kendali mutu ini biasanya dilakukan dengan meminta manajer mutu menelaah produk pada langkah-langkah kunci dalam daur produksi. Pada saat selesai, pakaian jadi dikemas ke dalam kotak dan digudangkan untuk penyaluran mendatang. Lamanya waktu barang jadi tinggal di gudang bergantung pada banyaknya volume pesanan (pesanan yang lebih besar digudangkan lebih lama karena umumnya tidak dikapalkan hingga seluruh pesanan selesai) dan apakah barang diekspor atau tidak (menunggu volume yang cukup mengisi peti kemas).
68
4.5. Profil Industri Pakaian Jadi Indonesia Industri tekstil dan pakaian jadi adalah industri terbesar Indonesia di luar industri minyak dan gas. Menurut API, pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja yang bekerja langsung pada industri tekstil dan pakaian jadi kira-kira 1,8 juta orang, 63 persen bekerja pada perusahaan golongan menengah-besar dan 37 persen pada perusahaan golongan menengah-kecil. Perkembangan industri pakaian jadi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 yang menggambarkan perkembangan industri pakaian jadi pada tingkat industri besar dan sedang (tidak termasuk perusahaan golongan kecil-menengah), tercatat bahwa perusahaan yang telah berdiri di tahun 2007 meningkat sekitar 5 persen dibandingkan tahun 2003. Sedangkan investasi modalnya meningkat sekitar 2 persen dari tahun 2003 ke tahun 2007. Tabel 4.2. Profil Industri Pakaian Jadi Industri Pakaian Jadi
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Perusahaan (unit)
855
861
856
897
901
2.958
2.991
2.984
3.318
3.740
352.457
353.590
346.294
367.685
371.800
590
666
678
754
779
6.353
6.209
5.546
5.995
6.355
Volume (ribu ton) 461 Nilai (juta US$) 3.926 Ekspor Volume (ribu ton) 332 Nilai (juta US$) 14 Impor Volume (ribu ton) 4 Sumber : BPS, Depperin dan API (2007)11
517 4.289 324 28 3
383 4.899 367 53 11
445 5.534 398 69 11
410 5.631 398 107 23
Penanaman Modal (milyar Rp) Tenaga kerja (orang) Kapasitas Produksi (ribu ton) Produksi
11
Nilai (juta US$)
www.indonesiatextile.com, TPT Highlight 2007 [16 Mei 2009].
69
Perkembangan penyerapan tenaga kerjanya pada tahun 2003-2007 terus menunjukkan peningkatan dan hanya terjadi penurunan di tahun 2005 yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Kenaikan tersebut meningkatkan biaya produksi tekstil dan pakaian jadi. Dengan kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Pada tahun berikutnya, jumlah tenaga kerjanya pun kembali terus meningkat. Berdasarkan hasil kajian SENADA (Program Daya Saing Indonesia) yaitu proyek empat tahun yang didanai oleh The United States Agency for International Development (USAID), tahun 2007 produksi tekstil maupun pakaian jadi terpusat di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Produsen pakaian jadi di Jawa Barat sekitar 57 persen dari total jumlah produsen di Indonesia. Produsen pakaian jadi terbesar kedua dan ketiga setelah provinsi Jawa Barat yaitu provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Tengah dimana masing-masing sebesar 17 persen dan 14 persen dari total jumlah produsen pakaian jadi di seluruh Indonesia.
4.6. Profil Beberapa Perusahaan Pakaian Jadi (Garmen) Besar di Indonesia Perusahaan pakaian jadi di Indonesia hingga tahun 2007 telah mencapai 901 perusahaan. Status kepemilikannya pun berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Berikut ini adalah profil dari beberapa perusahaan pakaian jadi yang memiliki skala usaha yang cukup besar disamping perusahaan garmen besar lainnya yang terdapat pada Lampiran 1.
70
1. PT. Sri Rejeki Isman PT. Sri Rejeki Isman berawal dari sebuah Usaha Dagang pakaian jadi yang berdiri sejak tahun 1966 di pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Kini perusahaan yang lebih dikenal dengan Sritex adalah perusahaan tekstil yang terintegrasi dengan dukungan permesinan yang modern. Kini, Sritex telah memiliki unit pengolahan tekstil terpadu yaitu: Spinning, pada saat ini Sritex mengoperasikan fasilitas paling modern dalam proses spinning di Indonesia. Kapasitas produksinya sebesar 145.000 bal per tahun (1 bale = 181,4 kg) = 26,303 ton/tahun.
Weaving, divisi tekstil weaving memiliki teknologi yang mampu memproduksi berbagai jenis kain dengan struktur konstruksi ringan, medium dan berat. Gaya pemintalan: Plain, Twill, Broken-Twill, Poplin, Rip-Stop, Canvas, Dobby, Jacquard, Herringbone, Sateen. Kapasitas produksi total adalah 120.000.000 meter kain Greige per tahun.
Dyeing-Printing-Finishing, divisi printing, dyeing and finishing tekstil mampu memproduksi beragam cetakan loreng dengan berbagai metode dan finishing. Sritex memproduksi berbagai jenis kain dyed dan printed dengan kapasitas total produksi tahunan mencapai 120.000.000 yard. Garment Division, Sritex mengoperasikan 6 unit garmen dengan 130 lini produksi
garmen
yang
dilengkapi
dengan
mesin
jahit
otomatis
terkomputerisasi, perlengkapan finishing dan pressing garmen, dan juga sistem pattern
and
marker
terkomputerisasi.
Perlengkapan-perlengkapan
ini
71
dioperasikan oleh lebih dari 5.000 operator yang sangat terlatih, sehingga kami mampu memproduksi lebih dari 12 juta pakaian per tahun. 2. PT. Texmaco Jaya Tbk. PT. Texmaco Jaya Tbk adalah salah satu perusahaan kain polyester terkemuka di Indonesia dan merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia berdiri sejak tahun 1970. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan serangkaian produk polyester yang inovatif; kain yang berkarakteristik seperti serat alami dengan kekuatan dan kehandalan polyester. Produk tersebut dipasarkan baik di pasar domestik maupun internasional dengan ekspor ke beberapa negara yang didukung dengan jaringan distribusi dan pemasaran yang luas. Kegiatan operasional Texmaco Jaya meliputi bidang pertenunan, perajutan, pencelupan, pengecapan dan penyempurnaan, pelapisan, bonding dan laminasi dan pembuatan pakaian jadi yang terletak di Karawang dan Pemalang. 3. PT. Eratex Djaya Tbk. PT. Eratex Djaya Tbk didirikan pada tahun 1972 dari suatu joint-venture unit tekstil Indonesia dengan konsorsium tekstil terkemuka asal Hongkong. Divisi pakaian jadi mulai didirikan sekitar tahun 1980 sebagai bagian dari rencana integrasi vertikal. Perusahaan ini mulai go public dan terdaftar pada lantai bursa sejak tahun 1990. Fasilitas produksi utamanya terdiri dari unit pemintalan, pertenunan/perajutan dan garmen di daerah Probolinggo sekitar 100 km dari Surabaya dengan luas areal 17 hektar dan rata-rata penyerapan tenaga kerjanya sebanyak 4800 orang.
72
4. PT. Great River International PT. Great River International didirikan tahun 1976 oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja dengan nama PT Great River Garments Industries, dengan jumlah karyawan sebanyak 150 orang. Pada awal tahun 1990, perusahaan ini menjalin berbagai kerja sama dan mendirikan beberapa kelompok usaha baru dengan beberapa perusahaan tekstil asing dan dalam negeri. Kini PT Great River Internatioanl telah memiliki beberapa unit pemrosesan tekstil yang tersebar di daerah Cibinong, Cikarang dan Purwakarta dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 11.500 orang. 5. PT. Adetex PT. Adetex didirikan pada tahun 1973 sebagai perusahaan yang memiliki beberapa kelompok usaha produk tekstil yang berlokasi di Bandung dan Solo. PT. Adetex merupakan pionir dalam produksi polyester georgette di Indonesia. Perusahaan hingga kini telah memiliki berbagai unit yang terintegrasi mulai dari unit pengolahan benang, pemintalan, pencelupan, pencapan, hingga produksi garmen dan sepatu. 6. PT. Apac Inti Corpora (APACINTI) APACINTI telah memiliki pengalaman di dunia pertekstilan selama kurang lebih 20 tahun dan telah bertransformasi menjadi sebuah perusahaan tekstil dan produk tekstil yang besar. Berlokasi di daerah Bawen, Kota Semarang, Jawa Tengah, perusahaan ini mampu menyerap tenaga kerja lokal sekitar 11.000 orang. Didukung oleh sistem yang terkomputerisasi dan permesinan yang modern, APACINTI memfokuskan produksinya pada 3 unit produk yaitu yarn (benang),
73
greige fabric dan denim. APACINTI memasok 90 persen produknya ke lebih dari 70 negara di 5 benua dengan rata-rata total penjualan per tahunnya sebesar US$ 215.000.000.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Integrasi Vertikal Variabel tingkat integrasi vertikal (IV) diperoleh dari rasio antara nilai tambah terhadap nilai output. Semakin besar tingkat integrasi vertikal berarti semakin besar kemungkinan terjadi integrasi vertikal pada industri tersebut. Perkembangan tingkat integrasi vertikal dalam industri pakaian jadi di Indonesia selama tahun 1977-2006 dapat dilihat dalam Tabel 5.1. Tabel. 5.1. Perkembangan Tingkat Integrasi Vertikal Industri Pakaian Jadi Tahun 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
IV 0,38 0,39 0,47 0,31 0,31 0,41 0,39 0,42
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992
IV 0,35 0,39 0,31 0,32 0,35 0,36 0,34 0,32
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
IV 0,51 0,41 0,40 0,39 0,37 0,33 0,37 0,37
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006
IV 0,35 0,45 0,40 0,41 0,32 0,45
Rata-rata
0,38
Sumber : BPS, 1977-2006 (diolah)
Berdasarkan Tabel 5.1, tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi memiliki perkembangan yang cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun dalam rentang 0,31 sampai 0,51. Tingkat yang tertinggi terjadi pada tahun 1993, hal tersebut terjadi karena di tahun 1993 industri pakaian jadi menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditunjukkan dengan tingginya nilai output dan nilai tambah yang dihasilkan. Peningkatan output tersebut disebabkan oleh pembangunan dan restrukturisasi ketenagalistrikan (Sari, 2002) serta ditetapkannya UU. No 3/1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja yang turut mendorong produktivitas tenaga kerja dan output.
75
Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh nilai rata-rata tingkat integrasi vertikal sebesar 0,38. Menurut Rumelt (1986), jika rasio integrasi vertikal lebih kecil dari 0,70 maka tingkat integrasi vertikal industri tersebut dapat dikatakan cukup rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hubungan antara industri pakaian jadi sebagai industri hilir dengan industri tekstil lainnya seperti industri pembuatan serat, industri pemintalan dan industri pertenunan/perajutan memiliki hubungan yang cukup lemah. Hubungan yang cukup lemah tersebut akibat industri di sektor hulu yang kurang dapat memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Kedua sektor tersebut ialah industri pemintalan dan industri pertenunan, perajutan, pencelupan dan finishing. Industri pemintalan memiliki mesin tekstil yang berumur di atas 20 tahun sebanyak 64 persen. Kondisi yang relatif sama juga terlihat pada industri pertenunan, perajutan, pencelupan dan finishing. Industri ini merupakan industri yang paling memprihatinkan karena sekitar 66 persen mesin tenunnya telah berusia di atas 20 tahun. Jumlah mesin rajut yang berusia di atas 20 tahun ada sekitar 84 persen dan jumlah mesin finishing yang berusia 20 tahun jumlahnya mencapai 93 persen13. Kondisi yang terjadi pada kedua industri di sektor hulu tersebut menyebabkan relatif rendahnya produktivitas. Industri pakaian jadi pun berusaha memenuhi permintaan inputnya dengan melakukan impor bahan baku.
13
www.bni.co.id, Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia: Antara Potensi dan Peluang [12 Januari 2009].
76
5.2. Pendugaan Model Integrasi Vertikal Tabel 5.2. Penduga Parameter Model Analisis Integrasi Vertikal Variable C CR4 LAVSIZE LINPUT LOUTPUT XEFF R-squared Adjusted R-squared Durbin-Watson stat Keterangan Sumber
Coefficient -2.124408 0.000131 -0.001414 -5.250054 5.251113 -0.022162 0.999719 0.999660 1.507317
t-Statistic -169.7440 2.064369 -2.214314 -52.77303 52.76853 -36.95113 F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0000 0.0500 0.0366 0.0000 0.0000 0.0000 17075.00 0.000000
: Menggunakan taraf nyata 5 persen : lampiran 3
Berdasarkan Tabel 5.2, hasil estimasi persamaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi dapat disusun sebagai berikut: LIV = -2,1244078 + 0,000131 CR4 - 0,001414 LAVSIZE – 5,25005 LINPUT + 5,251113 LOUTPUT - 0,022162 XEFF
(5.1)
Model tersebut memberikan gambaran bahwa tingkat integrasi vertikal dipengaruhi secara signifikan oleh rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4), ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan efisiensi internal. Nilai determinasi (R-Squared) yang didapatkan yaitu sebesar 99,97 persen, artinya bahwa model regresi yang menggunakan variabel terikat tingkat integrasi vertikal mampu dijelaskan secara linier oleh variabel bebasnya dalam persamaan, yaitu rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan efisiensi internal sebesar 99,97 persen, sedangkan sisanya sebesar 0,03 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.
77
Dari uji-F ditemukan
bahwa
variabel-variabel
bebasnya
mampu
menerangkan variabel terikat yang ditunjukkan oleh nilai P-value = 0,000000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam regresi ini yaitu sebesar 5 persen. Nilai tersebut menandakan bahwa persamaan di atas telah mendukung keabsahan model atau dengan kata lain bahwa variabel bebas secara bersamasama mampu menjelaskan variabel terikat pada tingkat signifikansi sebesar 5 persen. Uji-t menunjukkan bahwa variabel rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan efisiensi internal yang digunakan dalam model berpengaruh secara signifikan pada tingkat nyata 5 persen. Atau dengan cara lain yaitu dengan melihat nilai t-statistik yang telah didapatkan. Suatu variabel bebas dinyatakan berpengaruh secara signifikan jika nilai t-statistiknya (dalam tanda mutlak) lebih besar dari nilai kritis taraf nyata yang digunakan dalam persamaan itu. |t-statistik| Keterangan :
>
t
/2 (n-p-1)
(5.2)
= taraf nyata yang digunakan (5 %) n = banyaknya sampel p = banyaknya variabel bebas
Berdasarkan Tabel 5.5 didapatkan bahwa nilai t-statistik semua variabel bebas lebih besar (dalam tanda mutlak) dari nilai kritis yang berlaku pada taraf nyata 5 persen yaitu 1,96 dan dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel bebas yang digunakan dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya.
78
5.3. Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) Jika metode Ordinary Least Square yang digunakan bebas dari masalahmasalah multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas dan normalitas, maka metode OLS yang digunakan dapat diterima keabsahannya. 5.3.1. Hasil Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui bahwa diantara variabel-variabel bebas tidak terdapat hubungan yang erat. Berdasarkan Tabel 5.2 yang menunjukkan hasil pengujian correlation matrics, ditemukan nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi dari |0,8| yang berasal dari beberapa hubungan antara variabel bebas. Tabel 5.3. Matriks Korelasi
CR4
CR4 1.000000
LAVSIZE -0.027787
LINPUT -0.225761
LOUTPUT -0.208717
XEFF 0.441346
LAVSIZE
-0.027787
1.000000
0.845619
0.846897
0.068336
LINPUT
-0.225761
0.845619
1.000000
0.999236
0.019316
LOUTPUT
-0.208717
0.846897
0.999236
1.000000
0.058321
XEFF
0.441346
0.068336
0.019316
0.058321
1.000000
Sumber : Lampiran 4
Namun berdasarkan uji Klein yang menyebutkan bahwa selama nilai koefisien korelasi antar variabel bebas (r2) tidak melebihi atau sama dengan nilai R-squared (R2), dapat dikatakan bahwa multikolinearitasnya dapat diabaikan. Menurut Klein, terdapat multikolinearitas apabila : r2 xi,xj
R2
y, x1, x2,…, xk
(5.2)
Berdasarkan hasil regresi awal dari variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat, didapatkan hasil R-squared sebesar 0,999719 yang masih lebih
79
besar dari nilai terbesar koefisien korelasi antar variabel bebasnya yaitu sebesar 0,999236. Berarti dapat disimpulkan bahwa multikolinearitasnya dapat diabaikan karena estimasinya masih bersifat BLUE. 5.3.2. Hasil Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat korelasi serial antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series) atau ruang (data cross section). Masalah ini diuji dengan menggunakan BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test (Tabel 5.4). Adanya korelasi dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai probabilitas Obs*R-Squared pada BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test dengan taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen. Tabel 5.4. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.350457 Obs*R-squared 0.926282
Probability Probability
0.708227 0.629304
Sumber : Lampiran 5
Tabel 5.4 menyajikan hasil uji autokorelasi yang dilakukan pada model regresi
linier
berganda
yang
digunakan
dalam
penelitian.
Hasil
uji
memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Obs*R-Squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,629304. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen, sehingga model terbebas dari masalah autokorelasi.
80
5.3.3. Hasil Uji Heteroskedastisitas Untuk menguji keberadaan heteroskedastisitas pada persamaan ini, digunakan White Heteroskedasticity Test. Hasil Ujinya dapat dilihat pada Tabel 5.5. Nilai probabilitas Obs*R-Squared dari White Heteroskedasticity Test yaitu sebesar 0,148888 menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak memiliki masalah heteroskedastisitas karena nilai probabilitas Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata 5 persen. Tabel 5.5. Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.792053 14.56144
Probability Probability
0.131453 0.148888
Sumber : Lampiran 6
5.3.4. Hasil Uji Normalitas Uji ini dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Uji ini dilakukan dengan bantuan HistogramNormality Test Jarque-Bera, seperti yang terlihat pada Gambar 5.1. Hasil uji normalitas memperlihatkan nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0,634238 yang mengindikasikan bahwa model yang digunakan memiliki error term yang terdistribusi normal.
81
10 Series: RESID Sample 1977 2006 Observations 30
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
2.45E-14 -0.000275 0.004027 -0.004177 0.002191 -0.079975 2.161581
2 Jarque-Bera Probability
0 -0.004
-0.002
0.000
0.002
0.910663 0.634238
0.004
Sumber : Lampiran 7
Gambar 5.1. Hasil Uji Normalitas
5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal 5.4.1. Rasio Konsentrasi Empat Perusahaan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia, memberikan gambaran bahwa variabel rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat integrasi vertikal yang terlihat pada nilai |t-statistik| yang lebih dari nilai kritis taraf nyata yang digunakan (5%) yaitu 1,96. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan rasio konsentrasi empat perusahaan sebesar 1 persen, maka akan menyebabkan peningkatan tingkat integrasi vertikal sebesar 0,000131 persen. Begitu pula sebaliknya setiap penurunan rasio konsentrasi empat perusahaan sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan tingkat integrasi vertikal sebesaar 0,000131 persen.
82
Rasio
konsentrasi
empat
perusahaan
terbesar
dalam
industri
mempengaruhi tingkat integrasi vertikal secara positif. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa kenaikan pangsa pasar (CR4) akan meningkatkan integrasi vertikal. Karena semakin tinggi rasio konsentrasi suatu jenis industri maka semakin besar pula kemampuannya dalam menghasilkan nilai tambah per unit output yang dihasilkan. Dengan asumsi perusahaan dapat memanfaatkan economies of scale, sehingga perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan nilai tambah akan menjadi besar pula. Seperti yang terjadi pada perusahaan pakaian jadi, semakin tinggi pangsa pasar yang telah diraih maka semakin tinggi pula tingkat integrasi vertikalnya karena perusahaan pakaian jadi akan berusaha untuk mempertahankan pangsa pasarnya. 5.4.2. Ukuran Rata-rata Perusahaan Variabel ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini terlihat dari nilai probabilitasnya yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 0,0366. Dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kenaikan sebesar 1 persen pada ukuran rata-rata perusahaan maka tingkat integrasi vertikal akan menurun sebesar 0,001414 persen, begitu pula sebaliknya. Hubungan yang negatif antara ukuran rata-rata perusahaan dengan tingkat integrasi vertikal sesuai dengan hipotesis awal yaitu semakin besar ukuran ratarata perusahaan akan semakin cenderung untuk berkonsentrasi pada produksi yang semakin sempit. Ketika perusahaan pakaian jadi atau garmen menjadi semakin
83
besar, aktivitas produksi perusahaan akan semakin terspesialisasi untuk mendorong peningkatan produksinya dan kurang terintegrasi secara vertikal. 5.4.3. Biaya Input Biaya input berpengaruh secara negatif dan signifikan yang ditunjukkan dengan nilai negatif pada koefisiennya dan nilai probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen yakni sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan biaya input sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan pada tingkat integrasi vertikal sebesar 5,250054 persen. Hubungan tersebut sesuai dengan hipotesis awal penelitian bahwa biaya input berpengaruh negatif terhadap integrasi vertikal. Tinggi rendahnya biaya input merupakan salah satu tolok ukur bagi perusahaan dalam mendapatkan nilai tambah. Seperti halnya pada perusahaan pakaian jadi ketika biaya input meningkat maka nilai tambah pun akan berkurang dan akan menyebabkan perusahaan mengurungkan niatnya untuk menerapkan strategi integrasi vertikal. 5.4.4. Nilai Output Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hubungan yang positif dan signifikan antara nilai output dengan tingkat integrasi vertikal. Hal ini terlihat dari koefisien variabel nilai output yang positif dan nilai probabilitasnya sebesar 0,0000. Berarti untuk setiap kenaikan sebesar 1 persen pada nilai output maka akan terjadi peningkatan terhadap tingkat integrasi vertikal sebesar 5,251113 persen dan begitu pula sebaliknya. Hubungan tersebut sesuai dengan
84
hipotesis awal penelitian yaitu nilai output berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Sesuai dengan teori Sheperd dalam Supriatna (2005), semakin tinggi nilai output maka akan semakin meningkatkan nilai tambah sehingga pada gilirannya akan meningkatkan tingkat integrasi vertikal. Dengan asumsi ceteris paribus, dimana perusahaan dapat menggunakan input dalam jumlah yang sama dan mengendalikan pasar yaitu mengendalikan output yang disalurkan agar harga stabil. 5.4.5. Efisiensi Internal Efisiensi Internal berpengaruh negatif dan signifikan, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien yang negatif dan nilai probabilitasnya yang dibawah taraf nyata 5 persen. Dapat dikatakan bahwa apabila terjadi kenaikan sebesar 1 persen terhadap efisiensi internal maka tingkat integrasi vertikal akan menurun sebesar 0,022162 persen dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis awal yang menyimpulkan bahwa efisiensi internal berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Efisiensi internal menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output yang diharapkan, dengan menekan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Salah satu indikator pengukuran efisiensi internal yaitu dilihat dari rasio antara nilai tambah terhadap biaya input. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin sulit untuk perusahaan tersebut melakukan koordinasi dan pengawasan, lemahnya identifikasi tenaga kerja dan kendali terhadap biaya-biaya. Hal tersebut pada akhirnya menurunkan
85
efisiensi internal. Peningkatan yang terjadi pada biaya-biaya tersebut akan diikuti oleh peningkatan yang terjadi pada nilai output dalam jangka panjang, sehingga nilai tambah perusahaan pakaian jadi pun akan meningkat. Peningkatan pada nilai tambah juga akan mendorong kecenderungan perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal.
5.5. Implikasi Kebijakan Tingkat rata-rata integrasi vertikal pada industri pakaian jadi di Indonesia selama tahun 1977-2006 yaitu sebesar 0,38. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat integrasi antara industri pakaian jadi dengan industri tekstil lainnya sebagai pemasok bahan baku memiliki hubungan yang cukup lemah. Hal itu terjadi karena banyak dari perusahaan pakaian jadi mengimpor bahan bakunya dari negara lain karena ketersediaan bahan baku yang relatif terbatas di pasar dalam negeri. Selain itu, banyak dari industri tekstil lainnya juga lebih memilih untuk mengekspor produknya ke luar negeri daripada menjualnya di dalam negeri. Kedua permasalahan inilah yang menyebabkan hubungan integrasi vertikal diantara industri tersebut cukup lemah. Oleh karena itulah, kiranya pemerintah mampu menerapkan kebijakan yang dapat memfasilitasi perbedaan pada kedua kepentingan industri tersebut. Integrasi vertikal yang diterapkan pada industri pakaian jadi di Indonesia selama ini tidak melanggar UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No.5 Tahun 1999. Hal ini disebabkan karena strategi tersebut tidak mengarahkan perusahaan untuk memperoleh pangsa pasar lebih besar dari 75 persen. Selama
86
tahun 1977-2006, rata-rata konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar industri pakaian jadi yaitu sebesar 15,5 persen (Lampiran 2), yang mengindikasikan bahwa struktur pasarnya adalah persaingan monopolistik dimana banyak ditemukan penjual dan pembeli, produk yang heterogen, hambatan masuk dan keluar dari pasar yang cukup rendah serta tingkat keuntungan yang normal. Berdasarkan hasil pendugaan dari persamaan tingkat integrasi vertikal, nilai output merupakan variabel yang paling berpengaruh dan berhubungan secara positif, hal ini terlihat dari nilai koefisiennya yang paling besar diantara faktorfaktor yang mempengaruhi tersebut. Langkah peningkatan output pada industri pakaian jadi diharapkan mampu untuk meningkatkan integrasi vertikalnya. Output industri pakaian jadi secara umum dipengaruhi oleh energi (listrik), bahan baku industri, modal dan tenaga kerja. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah hendaknya mampu mendukung keempat faktor tersebut. Seperti kepastian akan tersedianya pasokan listrik yang sangat diperlukan oleh industri pakaian jadi, begitu pula ketersediaan akan bahan baku industri. Investasi di bidang permodalan khususnya mesin juga turut berperan pada peningkatan output industri pakaian jadi yang juga disertai peningkatan produktivitas tenaga kerjanya. Industri pakaian jadi di Indonesia diharapkan mampu untuk terus berkembang mengingat perannya yang cukup strategis bagi negara yaitu mampu menyerap tenaga kerja dan menjadi penyumbang devisa dalam jumlah yang cukup signifikan. Oleh karena itu pemerintah dan seluruh pihak yang terkait bisa terus bekerja sama guna mendukung aktivitas industri tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri pakaian jadi di Indonesia selama periode 1977-2006, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Tingkat rata-rata integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia selama tahun 1977 sampai dengan tahun 2006 yaitu sebesar 0,38. Hal tersebut mengindikaskan bahwa secara umum, industri pakaian jadi di Indonesia memiliki tingkat integrasi vertikal yang cukup rendah.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi di Indonesia adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output dan efisiensi internal.
3.
Besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat integrasi vertikal adalah sebagai berikut : a) Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Pengaruh tersebut ditunjukkan oleh koefisiennya sebesar 0,000131 yang berarti bahwa setiap kenaikan satu persen pada konsentrasi industri akan menyebabkan kenaikan terhadap tingkat integrasi vertikal sebesar 0,000131 persen. b) Ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisiennya sebesar -0,001414 yang berarti bahwa setiap peningkatan sebesar satu
88
persen pada ukuran rata-rata perusahaan maka akan terjadi penurunan sebesar 0,001414 persen pada tingkat integrasi vertikal. c) Biaya input memiliki korelasi yang negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan nilai koefisiennya sebesar -5,250054. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan sebesar satu persen pada biaya input maka akan terjadi penurunan sebesar 5,250054 persen pada tingkat integrasi vertikal. d) Nilai output mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisiennya sebesar 5,251113. Setiap peningkatan sebesar satu persen pada nilai output akan menyebabkan peningkatan sebesar 5,251113 persen pada tingkat integrasi vertikal. e) Efisiensi internal memiliki hubungan yang negatif dan signifikan yang terlihat dari koefisiennya sebesar -0,022162. Dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi peningkatan sebesar satu persen pada efisiensi internal maka tingkat integrasi vertikal akan menurun sebesar 0,022162 persen.
6.2. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
Pemerintah diharapkan mampu membuat kebijakan yang dapat meningkatkan tingkat integrasi vertikal industri pakaian jadi dengan memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhinya, khususnya nilai output sebagai faktor yang
89
paling
berpengaruh.
Seperti
dengan
terus
menggalakkan
program
restrukturisasi mesin/peralatan industri tekstil dan produk tekstil serta menjamin ketersediaan pasokan listrik. 2.
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa potongan atau keringanan pajak kepada perusahaan pakaian jadi yang mendirikan fasilitas produksi terpadu seperti unit pengolahan benang dan kain.
DAFTAR PUSTAKA
Atikah, F. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Industri Besar dan Sedang Tahun 19772006. Djafri, C. 2003. Gagasan Seputar Pengembangan Industri dan Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, Jakarta. Febriyanti, R. 2006. Analisis Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia (Pendekatan Structure-Conduct-Performance) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ghani, N, Z. A. Ahmad, dan N. Khalil. 2006. ”Vertical Integration, Foreign Multinationals and Stigler’s Hypotheses: An Empirical Test Using Malaysian Data”, Asian Economic Journal, 20:257-274. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics Second Edition. Harper & Row Publisher, INC. USA. Kuncoro, M. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara Industri Baru 2030?. C.V. ANDI Offset, Jogjakarta. Levy, D. 1984. ”Testing Stigler’s Interpretation of The Division of Labor is Limited By The Extent of The Market”. The Journal of Industrial Economics, 32:377-388. Mulyaningsih, T dan A. R. Karseno. 2002. “Integrasi Vertikal dan Efisiensi Industri: Industri Kertas 1979-1997 dengan Pendekatan Error Correction Model”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17:136-149.
91
Nugrahandita, C. E. 2007. Analisis Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Mie Instan di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Porter, M. E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. The Free Press, New York. Prahara, G. 2008. Analisis Daya Saing Komparatif dan Kompetitif Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000-2006 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rumelt, R. P. 1986. Strategy, Structure, and Economic Performance, (Rev. ed.). Harvard Business School Press, Boston. Sari, A. 2002. Listrik Indonesia: Restrukturisasi di Tengah Reformasi. Pelangi, Jakarta. SENADA. 2007. Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Pakaian Jadi. Mekanisme Operasi dan Antarhubungan Perusahaan Antar RNI Pakaian Jadi. Jakarta. Stigler, G. J. 1951. ”The Division of Labor is Limited By The Extent of The Market”. The Journal of Political Economy, 59:185-193. Sulistyowati, H. 2008. Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supriatna, B. 2005. Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Air Minum Dalam Kemasan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. YKPN, Jogjakarta. Yulaekha, S. 2005. Analisis Produktivitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia (Periode 1983-2002) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
92
Lampiran 1. Nama-nama Perusahaan Pakaian Jadi Indonesia Berskala Besar No Perusahaan Status Jumlah Tahun Kapasitas Pekerja Berdiri Produksi (Lusin) 1. APAC CITRA CENTERTEX PMDN 3.000 1996 --TBK., PT. 2. APAC INTI CORPORA, PT. PMDN 11.000 ----3. Batara Wahanamas, PT. PMDN 706 1984 240.000 4. Batik Keris, PT. PMDN 2.000 ----5. Delami Garment Industries, PT. PMDN 2.500 1979 --6. Dease Garmin, PT. PMDN 1.700 1989 1.155.000 7. Eratex Djaya LTD. TBK., PT. PMA 4.800 1972 --8. Evershine Textile, PT. PMDN 2.200 1975 --9. Fit-U Garment, PT. PMDN 1.354 1980 --10. Great Golden Star, PT. PMDN 3.500 1977 250.000 11. Great River International, PT. PMDN 11.500 1976 --12. Karwel International, PT. PMDN 15.000 --300.000 13. Muara Krakatau, PT. PMDN 2.000 2000 100.000 14. Mulia Knitting Factory, PT. PMDN 1.670 1991 700.000 15. Mulia Lestari, PT. PMDN 437 1967 --16. Sakhuntala Knitting Industry, PT. PMDN 250 --100.000 17. JACOLINTEX, PT. PMDN 703 2000 120.345
93
Lampiran 2. Data Penelitian Tahun
INPUT
OUTPUT
AVSIZE
XEFF
IV
CR4
1977
13313843,75
21488262,5
246991,52
61,4
0,38
12,56
1978
19454060,91
32020928,93
359785,72
64,6
0,39
13,37
1979
21779201,65
40857304,53
459070,84
87,6
0,47
20,17
1980
62892760,59
91625207,9
810842,55
45,68
0,31
18,23
1981
87559297,01
126301822,4
928689,87
44,25
0,31
14,21
1982
112926342,7
192562716,7
1292367,23
70,52
0,41
17,38
1983
149788574,7
244333513,7
1454366,15
63,12
0,39
26,5
1984
192237635,9
330363504,1
1776147,87
71,85
0,42
33,14
1985
394649566,1
6098606446
1060627,21
54,53
0,35
17,02
1986
436356662,9
715130554,4
1265717,8
63,89
0,39
38,78
1987
596331442,7
858316078,6
1449858,24
43,93
0,31
14,37
1988
814809120,2
1192097031
1587346,247
46,3
0,32
15,09
1989
1047870408
1611510801
2039887,09
53,79
0,35
13,38
1990
1851254712
2884730720
1681078,51
55,83
0,36
11,52
1991
2061313902
3102111137
1889227,25
50,49
0,34
7,51
1992
3187079919
4706302552
2646964,31
47,67
0,32
8,29
1993
3190478406
6492884754
3794789,45
103,51
0,51
41,59
1994
2771916101
4683461868
2640057,42
68,96
0,41
9,73
1995
3006159920
4992788698
2500144,57
66,09
0,40
15,2
1996
3799649136
6199234713
2891434,10
63,15
0,39
20,7
1997
4235981,97
6687215,49
3391,08
57,87
0,37
11,35
1998
4624300269
6903517426
4317396,764
49,29
0,33
10,32
1999
5083238264
8102292261
3874840,871
59,39
0,37
10,75
2000
5011624546
7965963175
3715467,899
58,95
0,37
7,56
2001
5127940692
7865744636
3990738,019
53,39
0,35
10,46
2002
4163208481
7586558316
3978268,650
82,23
0,45
7,24
2003
5012957017
8341663682
4723478,869
66,4
0,40
10,03
2004
4591751698
7753477402
4346119,620
68,86
0,41
10,5
2005
5774923592
8458812743
4696731,118
46,47
0,32
8,26
2006
3525706971
6396007808
2094991,093
81,41
0,45
9,71
Rata-rata
2224590284
3616956916
2283893,931
61,71
0,38
15,5
Sumber : BPS, 1977-2006 diolah
Keterangan: Input : Biaya Input (ribu Rp) Output : Nilai Output (ribu Rp) Avsize : Ukuran Rata-rata Perusahaan (ribu Rp)
94
Xeff IV CR4
: Tingkat Efisiensi Internal (persen) : Tingkat Integrasi Vertikal (persen) : Konsentrasi Empat Perusahaan Terbesar (persen)
Lampiran 3. Hasil Estimasi Regresi Variable Coefficient C -2.124408 CR4 0.000131 LAVSIZE -0.001414 LINPUT -5.250054 LOUTPUT 5.251113 XEFF -0.022162 R-squared 0.999719 Adjusted R-squared 0.999660 S.E. of regression 0.002409 Sum squared resid 0.000139 Log likelihood 141.6382 Durbin-Watson stat 1.507317
Std. Error t-Statistic Prob. 0.012515 -169.7440 0.0000 6.35E-05 2.064369 0.0500 0.000638 -2.214314 0.0366 0.099484 -52.77303 0.0000 0.099512 52.76853 0.0000 0.000600 -36.95113 0.0000 Mean dependent var -0.982655 S.D. dependent var 0.130714 Akaike info criterion -9.042547 Schwarz criterion -8.762308 F-statistic 17075.00 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 4. Matriks Korelasi CR4 LAVSIZE CR4 1.000000 -0.027787 LAVSIZE -0.027787 1.000000 LINPUT -0.225761 0.845619 LOUTPUT -0.208717 0.846897 XEFF 0.441346 0.068336
LINPUT -0.225761 0.845619 1.000000 0.999236 0.019316
LOUTPUT -0.208717 0.846897 0.999236 1.000000 0.058321
XEFF 0.441346 0.068336 0.019316 0.058321 1.000000
95
Lampiran 5. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.350457 Obs*R-squared 0.926282
Probability Probability
0.708227 0.629304
Probability Probability
0.131453 0.148888
Lampiran 6. Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.792053 14.56144
Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas 10 Series: RESID Sample 1977 2006 Observations 30
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
2.45E-14 -0.000275 0.004027 -0.004177 0.002191 -0.079975 2.161581
2 Jarque-Bera Probability
0 -0.004
-0.002
0.000
0.002
0.004
0.910663 0.634238