i
Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya:
Analisis Panel Data 2000-2007 Laporan Akhir November 2010
Tim Penyusun: Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian PPN/Bappenas Tahun Anggaran 2010
ii
Kata Pengantar
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boedino dalam kebijakan pembangunan nasionalnya yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode tahun 2010-2014 (RPJMN 2010-2014) ditikberatkan
menekankan pada
kebijakan
revitalisasi
pembangunan
industri.
Dalam
manufaktur
RPJPN
yang
2005—2025
menyebutkan bahwa struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan, yaitu sebagai berikut: (1) dalam hal penguasaan usaha, struktur industri disehatkan dengan meniadakan praktek-praktek monopoli dan berbagai distorsi pasar; (2) dalam hal skala usaha, struktur industri akan dikuatkan dengan menjadikan IKM sebagai basis industri nasional, yaitu terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar; dan (3) dalam hal huluhilir, struktur industri akan diperdalam dengan mendorong diversifikasi ke hulu dan ke hilir membentuk rumpun industri yang sehat dan kuat. Tahun 2010 adalah tahun pertama implementasi kebijakan revitalisasi industri sebagaimana digariskan dalam RPJMN 2010-2014. Sebagai tahun
iii
awal pelaksanaan kebijakan, maka Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral perlu menelaah perkiraan kinerja kebijakannya ditinjau dari pencapaian makronya. Berdasarkan hal inilah maka kajian bertajuk “Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Analisis Panel Data 2004-2009” perlu dilakukan. Kajian menunjukkan, bahwa berdasarkan hasil estimasi tingkat pertumbuhan tingkat produktifitas ditunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan produktifitas yang positif sebesar rata 0.22% per tahun selama tahun 2000 sampai dengan 2007 pada Sektor Manufaktur di Indonesia. Peningkatan Tingkat Efisiensi (TE) merupakan kontributor utama dari pertumbuhan tingkat produktifitas di Indonesia, sementara pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala Ekonomi (SE) memberikan kontribusi negatif, sebesar masing-masing -0.17% dan 0.45% per tahun selama 2000-2007. Estimasi terhadap persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas, yang terkuat terdapat pada Industri Makanan dan Minuman, diikuti oleh Industri Kertas. Sementara hubungan positif terlemah terdapat pada Manufaktur Lain dan Industri Tekstil. Sebaliknya, penelitian ini menemukan adanya hubungan yang negatif antara usia perusahaan dengan tingkat produktifitas pada industri Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain adalah lebih memiliki produktifitas yang lebih rendah. Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena tergantung pada jenis industri.
iv
Dalam pada itu, dari hasil estimasi yang didapatkan juga dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif ketimbang perusahaan yang tidak. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa partisipasi pada aktifitas ekspor akan meningkatkan produktifitas dari perusahaan. Penyebab dari hubungan yang positif ini adalah partisipasi ekspor
merupakan
indikator
dari
kemampuan
perusahaan
untuk
mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan ekspor memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak melakukannya. Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik dalam hal teknologi produksi dan proses produksi. Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal, serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%. Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien ini pun adalah signifikan pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas. Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain. Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada
v
Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia. Tim Penyusun Laporan ini terdiri dari Mohamad Ikhsan Modjo dan Randy R. Wrihatnolo, yang didukung oleh Anna dan Chaerul Rijal. Untuk informasi dan pertanyaan lebih lanjut, silahkan menghubungi
[email protected].
Hormat kami, Jakarta, 15 November 2010 Tim Kajian Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral
vi
Daftar Isi
Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1
Sektor Manufaktur Indonesia
1
1.1. Ekonomi Indonesia Pasca Krisis 1998 dan Sektor Manufaktur
1
1.2. Kinerja Industri Manufaktur Pasca Krisis: Deindustrialisasi?
Bab 2.
4
1.3. Transformasi Struktural Sektor Manufaktur
8
1.4. Ekspor Sektor Manufaktur
15
1.5. Beberapa Fitur Industri Manufaktur Indonesia
21
1.5.1. Tingkat Kompetisi diukur dari Konsentrasi
21
1.5.2. Isu Kepemilikkan
22
1.5.3. Distribusi Output Berdasarkan Ukuran
25
1.6. Penutup
27
Data, Metodologi dan Hipotesis
28
2.1. Desain Penelitian
28
2.2. Pendekatan dan Metode
28
2.2.1. Model Perubahan Produktivitas
28
2.2.2. Model Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Produktivitas
30
2.3. Data
31
2.4. Pengukuran Penelitian
33
2.4.1. Output
33
2.4.2. Modal
34
2.4.3. Tenaga Kerja
35
2.4.4. Bahan Baku
35
2.4.5. Skala Perusahaan
36
vii
Bab 3.
Bab 4.
2.4.6. Usia Perusahaan
38
2.4.7. Orientasi Penjualan - Ekspor Output
39
2.4.8. Kepemilikan Perusahaan
39
2.4.9. Penelitian dan Pengembangan (R&D)
41
2.5. Hipotesis
43
Temuan dan Pembahasan
44
3.1. Pengantar
44
3.2. Parameter Fungsi Produksi dan Elastisitas
44
3.3. Pertumbuhan Tingkat Produktifitas
51
3.4. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas
56
Kesimpulan
62
4.1. Temuan Penelitian
62
4.1.1. Pertumbuhan Tingkat produktifitas
62
4.2. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas
65
Referensi
68
viii
Daftar Tabel
Tabel 1.1
Struktur dan Pertumbuhan PDB 1975-2009 (%)
Tabel 1.2
Perubahan Struktur Industri Manufaktur Besar & Sedang (%, Harga
5
Pasar)
10
Tabel 1.3
Perubahan Struktur Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC)
12
Tabel 1.4
Pertumbuhan Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC)
13
Tabel 1.5
Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%)
16
Tabel 1.6
Pertumbuhan Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%)
17
Tabel 1.7
Komoditi Penyumbang Ekspor Manufaktur Terbesar (%)
18
Tabel 1.8
Ekspor Manufaktur ke Tiga Negara (%)
19
Tabel 1.9
Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia 1985-2007 (CR4, Nominal)
21
Tabel 1.10
Ekspor Berdasarkan Kepemilikkan (%)
24
Tabel 3.1
Uji Hipotesis Persamaan Fungsi Produksi
47
Tabel 3.2
Estimasi Persamaan Fungsi Produksi
48
Tabel 3.2
Estimasi Persamaan Fungsi Produksi (Lanjutan)
49
Tabel 3.3
Elastisitas dan RTS
50
Tabel 3.4
Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP)
53
Tabel 3.4
Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) (Lanjutan)
53
Tabel 3.5
Perbandingan Tingkat Pertumbuhan (TFP)
55
Tabel 3.6
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Produktifitas
57
ix
Daftar Gambar Gambar 1.1
Pertumbuhan Nilai Tambah Manufaktur 1962-2009
1
Gambar 1.2
Komposisi Ekspor, 1975-2009 (%Total Ekspor)
15
Gambar 1.3
Ekspor, Impor dan NetEkspor Manufaktur 1985-2009 (Juta US$ , Nominal)
20
Gambar 1.4
Status Kepemilikkan Manufaktur 1985-2007
23
Gambar 1.5
Distribusi Ukuran Perusahaan 1985-2007
26
x
Bab 1
Sektor Manufaktur Indonesia
1.1. Ekonomi Indonesia Pasca Krisis 1998 dan Sektor Manufaktur Kinerja sektor Industri Manufaktur (Sektor Manufaktur) secara umum tidak terlepas dari kinerja perekonomian secara keseluruhan. Membaiknya situasi ekonomi akan diikuti perbaikkan sektor Manufaktur, serta sebaliknya. Manufaktur juga merupakan sektor yang sangat rentan terhadap fluktuasi dan gejolak perekonomian global. Satu hal yang disebabkan proporsi produk manufaktur yang dominan dalam pembentukkan nilai total perdagangan antar bangsa. Keterkaitan antara fluktuasi perekenomian secara keseluruhan dan kinerja Sektor Manufaktur jelas terlihat di Indonesia. Akselerasi pertumbuhan di masa Pemerintahan Orde Baru pada periode dekade 1970an hingga pertengahan 1980an, yang mencapai rata-rata lebih dari 7% per tahun, diikuti oleh percepatan pertumbuhan di Sektor Manufaktur. Saat itu, Sektor Manufaktur tumbuh hingga mencapai lebih dari 14% per tahun secara ratarata. Sebaliknya, perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional yang terjadi pada pertengahan 1980an, akibat kejatuhan harga minyak internasional, membuat perlambatan juga terjadi di Sektor manufaktur. Beruntung, perlambatan ini tidak berlangsung lama. Berbagai kebijakan reformasi dan liberalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh Pemerintah saat itu mampu menggenjot Sektor Manufaktur untuk tetap tumbuh dengan perkasa sampai 1
pertengahan 1990an, dengan mengandalkan ekspor dan investasi asing (Gambar 1.1). Pertumbuhan tersebut berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi pada Juli 1997. Krisis ini menandai dimulainya suatu periode yang menyakitkan bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tercatat ambruk hingga lebih dari 14% selama 1997-1998. Instabilitas makro pun terjadi seiring naiknya suku bunga dan tingkat inflasi hingga hampir 80% rata-rata selama satu tahun. Kehidupan sosial dan politik pun memburuk, dengan bergantinya Pemerintahan serta merebaknya tingkat kriminalitas, pengangguran serta kemiskinan. Kondisi ini berdampak pada kinerja Sektor Manufaktur, yang mengalami kejatuhan hingga lebih dari 11,4%. Satu hal yang disebabkan oleh melemahnya permintaan domestik dan global, akibat menurunnya tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini juga ditambah oleh terganggunya situasi sosial politik serta lumpuhnya infrastruktur fisik dan perbankan yang membuat semakin tidak kondusifnya dunia usaha 1. Gambar 1.1: Pertumbuhan Nilai Tambah Manufaktur 1962-2009 30
25
20
Pertumbuhan (%)
15
10
5
Ta hu n 19 62 19 64 19 66 19 68 19 70 19 72 19 74 19 76 19 78 19 80 19 82 19 84 19 86 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08
0
-5
-10
-15
Sumber: kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010.
1
Diskusi mengenai pertumbuhan Sektor Manufaktur pada Era Orde baru dan dampak dari krisis ekonomi Asia lebih mendalam bisa disimak, misalnya, pada (Ikhsan Modjo, 2008).
2
Demikian pula, krisis membuat pergeseran sektoral, di mana berbagai sumber daya yang ada bergeser dari sektor-sektor yang bersifat moderen, nontraded, dan import-dependent ke arah sektor-sektor yang bersifat tradisional, traded, dan berorientasi ekspor. Dalam hal ini, Sektor Manufaktur walau merupakan sektor yang berorientasi ekspor turut terpengaruh oleh pergeseran ini, karena ketergantungannya yang tinggi pada impor. Hal ini diperburuk oleh munculnya negara-negara berkembang lain seperti Vietnam, Kamboja dan India, sebagai kompetitor produk-produk Industri Manufaktur Indonesia pada kancah global. Semua ini hal menyebabkan berlarut-larutnya pemulihan Sektor Manufaktur. Selain faktor krisis, lambatnya pemulihan Sektor Manufaktur juga disebabkan beberapa hal lain yang tidak secara langsung terkait dengan perekonomian. Hal ini, misalnya, konsolidasi sosial politik di dalam negeri serta peralihan ke sistem pemerintahan yang demokratis. Pada awal dekade 2000, Indonesia juga menerapkan sistem otonomi daerah yang memiliki dampak pada perencanaan
dan
koordinasi
kebijakan
di
hampir
semua
sektor
perekonomian, termasuk Industri Manufaktur. Berbagai peraturan dan perundang-undangan baru yang dilegislasikan pasca Krisis, yang memerlukan waktu untuk sosialisasi dan adaptasi, juga menyebabkan penurunan daya saing perekonomian nasional, yang turut berdampak pada kinerja Sektor Manufaktur. Tren penurunan daya saing Industri Manufaktur nasional terekam dalam banyak laporan dan kajian perbandingan daya kompetitif internasional. International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Report 2004, misalnya, menempatkan Indonesia pada posisi ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Peringkat ini turun dari posisi ke-43 pada 2000, serta posisi ke-46 pada 2001. Penurunan dan rendahnya daya saing perekonomian nasional serta Sektor Manufaktur menurut catatan IMD disebabkan setidaknya oleh 5 faktor: Pertama, kinerja perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan dan stabilitas harga yang buruk. Kedua, inefisiensi kelembagaan pemerintahan dan pengelolaan keuangan 3
negara/ fiskal. Ketiga, banyaknya peraturan dan perundang-undangan yang kurang kondusif bagi dunia usaha. Keempat, rendahnya produktivitas dunia usaha akibat pasar tenaga kerja yang tidak optimal, akses ke sumber keuangan, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif masih kurang menunjang. Kelima, masih terbatasnya infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi maupun infrastruktur dasar lain yang terkait dengan kebutuhan masyarakat dan industri. 1.2. Kinerja Industri Manufaktur Pasca Krisis: Deindustrialisasi? Pertumbuhan sektor manufaktur yang melemah pasca krisis 1997/1998 membuat
banyak
kalangan
mengindikasikan
terjadinya
gejala
“deindustrialisasi” di Indonesia. Pengindikasian ini biasanya ditopang oleh data pertumbuhan dan proporsi Sektor Manufaktur pada pembentukkan PDB Nasional
yang
terus
mengalami
penurunan
semenjak
tahun
2000.
Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1, pertumbuhan Sektor Manufaktur sepanjang 1995 hingga 2009 hanya berkisar antara 4,1% sampai dengan 5,1%. Angka ini menurun drastis dibandingkan tingkat pertumbuhannya yang berkisar 10,9% sampai dengan 15,3% pada periode 1970-1995.
4
Tabel 1.1: Struktur dan Pertumbuhan PDB 1975-2009 (%) 1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
200 9
Pertanian
30.2
24
23.2
19.4
17.1
15.6
13.1
14.1
Manufaktur
9.8
13
16
20.7
24.1
27.7
27.4
27.2
33.5
41.7
35.8
39.1
41.8
45.9
46.5
47.0
36.3
34.3
40.9
41.5
41.1
38.5
40.3
39.2
100
100
100
100
100
100
100
100
1970-75
197580
198085
198590
199095
19952000
2000 2005
2005 2009
Pertanian
4.3
4.1
3.9
4.1
2.7
1.9
3
3.5
Manufaktur+
11.9
15.3
14.9
11.5
10.9
4.4
5.1
4.1
12.1
8.3
6.5
8.1
9.7
3.4
4.2
4.1
8.2
10.2
7.6
6.5
9.4
1.3
6.1
7.9
7.9
7.6
6.2
6.5
8.1
2.2
4.8
5.6
Perubahan Struktur Sektor
Industri Manufaktur Jasa-Jasa
termasuk
PDB
Pertumbuhan Sektor
Industri Manufaktur Jasa-Jasa PDB
termasuk
Sumber: kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010. Catatan: Pertumbuhan dihitung dengan metoda pertumbuhan rata-rata per tahun.
Akibat dari melemahnya tingkat pertumbuhan, kontribusi Sektor Manufaktur pada PDB pun cenderung untuk menurun. Seperti dapat disimak pada Tabel 1.1, kontribusi Manufaktur yang meningkat dari hanya 9,8% pada 1975 menjadi 27,7% pada 2000, mengalami penurunan menjadi 27,4% pada 2005 dan 27,2% pada 2009. Akan tetapi pengamatan akan adanya gejala deindustrialisasi ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab pada saat yang sama, antara 2000 sampai dengan 2009, juga terjadi penurunan kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDB dari 15,6% menjadi 14,1%. Penurunan ini terjadi meski pada saat yang sama terdapat sedikit akselerasi pertumbuhan Sektor Pertanian dari 1,9% pada 1995-2000 menjadi 3,0% pada 2000-2005 dan 3,5% pada 2005-2009. Sementara, Sektor Jasa mengalami peningkatan kontribusi pada PDB yang moderat dari 38,5% ke 39,2% selama 2000-2009. Namun, bila dibandingkan dengan kontribusinya pada 1995 sebesar 41,1%, Sektor ini 5
pun bisa dikatakan mengalami penurunan. Pertumbuhan sektor ini sendiri tergolong relatif stabil di kisaran 6%-8% sepanjang 2000-2009, setelah sempat tertekan di angka 1,3% pada 1995-2000. Di sisi lain, Sektor Industri secara umum yang termasuk Sektor Manufaktur di dalamnya cenderung mengalami peningkatan sepanjang 2000-2009. Dari Tabel 1.1 terlihat Sektor ini meningkat kontribusinya dari 45,9% pada 2000 menjadi 47,0% pada 2009. Hal ini terlepas dari tingkat pertumbuhannya yang secara keseluruhan mengalami sedikit penuruan ke kisaran 3%-5% sepanjang 1995-2009, dari sebelumnya yang tumbuh secara rata-rata sebesar 6,5%-12,1% pada 1970-1995. Peningkatan proporsi ini agaknya banyak ditopang oleh peningkatan kontribusi subsektor Minyak dan Gas serta Subsektor industri yang tergolong sebagai industri berbasiskan perkebunan. Peningkatan kontribusi dari kedua subsektor ini sendiri dipicu oleh peningkatan yang terjadi pada harga internasional minyak dan gas serta komoditi-komoditi perkebunan. Dalam konteks wacana deindustrilisasi, satu negara dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi bila sektor manufaktur mengalami penurunan sedemikian rupa dalam jangka waktu panjang, sehingga tidak lagi menjadi penyumbang utama pada pembentukkan pendapatan nasional (PDB). Deindustrialisasi sendiri adalah suatu konsep yang sebenarnya netral. Ia bisa baik atau buruk tergantung pada sejarah transformasi struktural dan dampak yang diakibatkan pada perekonomian (Rowthorn and Well, 1987). Deindustrialisasi bisa merupakan hal yang baik bila ia terjadi secara alamiah. Dalam arti, pembesaran sektor lain di luar manufaktur terjadi semata akibat peningkatan permintaan domestik, seiring adanya pertumbuhan yang meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan kata lain, deindustrialisasi adalah proses transformasi struktural natural antar sektor yang terjadi di suatu perekonomian. Proses ini, pergeseran dari manufaktur ke jasa, merupakan kelanjutan dari proses transformasi sebelumnya dari Sektor Pertanian
ke
Sektor
Manufaktur.
dikhawatirkan dengan gejala ini. 6
Sehingga
tidak
ada
yang
perlu
Akan tetapi, fakta bahwa deindustrialisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dari proses transformasi struktural jangka panjang, tidak kemudian berarti suatu perekonomian bisa bergantung semata pada Sektor Jasa. Manufaktur yang kuat tetap dibutuhkan bila tingkat pendapatan ingin dipertahankan oleh suatu negara, tanpa mengalami defisit neraca pembayaran. Sebab, mayoritas Sektor Jasa bersifat tidak diperdagangkan (nontradeable) dan berorientasi ke dalam. Sehingga keberadaan Sektor Manufaktur yang kuat tetap dibutuhkan untuk perolehan devisa. Di samping itu, deindustrialisasi juga dapat disebut netral bila terjadi sebagai akibat perubahan tingkat produktifitas relatif antar sektor di dalam negeri secara berkelanjutan. Satu hal yang biasanya diakibatkan oleh perbedaan tingkat biaya atau laju inflasi antar sektor di dalam negeri. Dalam proses deindustrialisasi model ini, daya saing produk-produk manufaktur negara yang mengalaminya, baik yang diorientasikan untuk kebutuhan domestik atau ekspor, tidak mesti mengalami penurunan terhadap produk impor. Jepang, Jerman Barat dan Amerika Serikat pada dekade 1980-1990 adalah contoh kasus di mana satu perekonomian mengalami deindustrialisasi, tanpa diiringi berkurangnya daya saing. Dalam hal ini, hal yang patut lebih dikhawatirkan pada perekonomian bukanlah deindustrialisasi, akan tetapi degradasi industri (industrial decline). Degradasi industri adalah proses penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB dan lapangan kerja yang disebabkan oleh penurunan daya saing. Perbedaan mendasar keduanya adalah penurunan daya saing. Satu hal yang intrisik ada pada degradasi industri, namun belum tentu terjadi pada deindustrialisasi. Sebaliknya, deindustrialisasi menisbahkan penurunan posisi Sektor Manufaktur sebagai kontributor utama pembentukkan PDB, satu hal yang tidak mesti terjadi pada proses degradasi industri. Dari uraian ini jelas bahwa deindustrialisasi dan degradasi sektor industri adalah dua hal yang tidak sama. Meski, degradasi industri bisa mempengaruhi skala dan timing terjadinya industrialisasi di suatu negara.
7
Lebih jauh, kedua pembedaan itu penting mengingat terdapat perbedaan implikasi dalam terapi kebijakan. Lain halnya dengan deindustrialisasi yang bersifat alamiah, sehingga tidak memerlukan intervensi khusus, degradasi industri menisbahkan adanya satu strategi kebijakan industri (industrial policy). Strategi kebijakan ini diterapkan pada industri tertentu, yang dianggap efisien bagi perekonomian secara keseluruhan berdasarkan kemufakatan pengelola negara 2. Dari uraian ini, apa yang tengah terjadi dan dikhawatirkan di Indonesia bukanlah deindustrialisasi, akan tetapi degradasi industri. Sektor Manufaktur tidak pernah menjadi penyumbang terbesar pembentukkan PDB di tanah air. Angka tertinggi kontribusi yang pernah diberikan pada pembentukkan PDB Nasional tidak lebih dari 30%, begitu juga pada lapangan kerja angka tertinggi adalah sekitar 20%. Apa yang dikatakan sebagai industrialisasi pada dekade 1980an dan 1990an sesungguhnya tidak lebih dari pengalihan industri – footloose industries – dari negara-negara lain karena adanya ongkos produksi relatif yang lebih murah. Industrialiasi saat itu bukanlah proses yang direncanakan. Ia lebih merupakan implikasi dari dibukanya pasar serta mobilisasi dana domestik dan asing. Keunggulan daya saing yang tercipta dari proses ini bersifat temporer dan cepat tergerus seiring meningkatnya biaya produksi, terutama tenaga kerja. Terbukti, proses industrialisasi yang terjadi kemudian mati suri, seriring dengan munculnya negara lain dengan ongkos produksi yang lebih murah, seperti China, India dan Vietnam, serta hilangnya fasilitas ekspor yang diberikan oleh beberapa negara importir utama. 1.3. Transformasi Struktural Sektor Manufaktur Pada Sektor Manufaktur sendiri terdapat beberapa hal menarik terkait dengan perubahan komposisi subsektoral yang ada. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2, peranan Industri Minyak dan Gas (Migas) pada Sektor
2
Diskusi mengenai deindustrialisasi dan kebijakan industri yang cukup komprehensif bisa disimaknya, misalnya, dalam (Chang, 2009).
8
Manufaktur semakin terlihat mengecil dari tahun ke tahun, sementara porsi Industri Selain Migas terus mengalami peningkatan. Pada 2007, Industri Migas hanya berkontribusi sebesar 9% dari total nilai tambah sektor Industri Manufaktur nasional, sementara Selain Migas memberi 91%. Akan tetapi, kontribusi Industri Migas sempat sedikit melonjak antara 1997-2000 dan relatif konstan sepanjang 2000-2004, di angka 11%. Hal ini agaknya menandakan sedikit tersendatnya transformasi industri manufaktur nasional dari yang berbasiskan sumber daya alam ke industri yang berbasiskan modal ketrampilan atau padat karya. Bila dicermati lebih jauh pada Tabel 2.1, pelonjakan kontribusi Industri Migas pada 1997-2004 disebabkan oleh melmbatnya pertumbuhan Industri Selain Migas sepanjang 1997-2004. Angka pertumbuhan Industri Selain Migas yang tercatat rata-rata 11,3% pada 1991-1994 dan 9,8% pada 19941997, tercatat turun menjadi negatif 1,2% pada 1997-2000 dan 3,7% pada 2000-2004. Sepanjang 2004-2007, Industri Selain Migas mengalami sedikit akselerasi pertumbuhan menjadi 4,1%, yang masih jauh di bawah dari angka pertumbuhan pada masa sebelum krisis 1997/98. Pada saat yang sama, sepanjang 1997-2007, pertumbuhan Industri Migas relatif stabil di kisaran 3%-4%.
9
ISIC
Tabel 1.2: Perubahan Struktur Industri Manufaktur Besar & Sedang (%, Harga Pasar) 1985
1994
1997
2000
2004
2007
Industri Minyak Gas (Migas) Industri Selain Migas*
27.4 72.6
12.4 87.6
9.9 90.1
11 89
11 89
9 91
Industri Selain Migas 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas dan Percetakan 35 Kimia, Plastik dan Karet 36 Mineral Bukan Metal 37 Besi dan Baja 38 Produk Besi dan Baja 39 Manufaktur Lain Total
28.6 11.1 7.5 3 20.9 5.8 8.3 13.2 1.6 100
20.1 23.9 8.1 4.4 12.5 3.9 5.6 20.4 1.1 100
20.9 23.1 8.3 6.2 13.2 3.7 2.1 21.2 1.2 100
18.9 19.7 5.9 5.5 14.7 3.2 2.4 28.1 1.7 100
24.8 12.7 5.9 8.1 15.8 4.6 2.7 24.3 1.0 100.0
25.7 12.0 4.3 6.7 19.4 4.0 3.6 23.3 1.0 100.0
1991-94
1994-97
3.7 11.3
1.2 9.8
19972000
20002004
20042007
Pertumbuhan Industri Migas Industri Selain Migas*
2.8 -1.2
3.1 3.7
4.1 4.1
Non-Oil/Gas Manufacturing 31 Makanan & Minuman 11.2 -0.1 10 7.6 7.2 32 Tekstil 30.2 3.3 2.3 2.5 7.2 33 Kayu -2.6 6.4 -4.6 3.9 -12.7 34 Kertas dan Percetakan 6.1 17.9 1.5 12.4 0.2 35 Kimia, Plastik dan Karet 7 10.9 6.4 7.6 11.9 36 Mineral Bukan Metal 15.7 9.6 -4.8 14.8 1.1 37 Besi dan Baja 20.3 -17.3 0.3 -5.9 21.8 38 Produk Besi dan Baja 30.8 7.7 15 1.6 5.7 39 Manufaktur Lain 27.7 3.1 24.7 8.8 4.3 Total 16.7 5.1 6.9 4.7 5.9 Sumber: Kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010, serta Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008). Pertumbuhan dihitung sebagai rata-rata pertumbuhan tahunan menggunakan angka riil. * Penghitungan Persentase dan pertumbuhan Industri Total termasuk data untuk Industri Kecil dan Rumah Tangga.
Beberapa perubahan juga terjadi pada Industri Besar dan Menengah Selain Migas bila diklasifikasi berdasar dua digit standar klasifikasi industri (ISIC). Beberapa Sektor Manufaktur tradisional seperti Industri Tekstil (ISIC 32) dan Industri Kayu (ISIC 33) cenderung mengalami penurunan kontribusi sepanjang 2000-2007. Kontribusi Industri Tekstil yang pernah mencapai hinga hampir 34% dari total nilai tambah pada 1994 berangsur menurun hanya menjadi 12% pada 2007. Sama halnya dengan Industri Kayu yang menyusut menjadi 8,1% pada 1994 menjadi 4,3% pada 2007.
10
Sebaliknya, beberapa sektor industri mengalami peningkatan selama 20002007. Sektor-sektor industri ini adalah Industri Makanan dan Minuman (ISIC 31), Industri Kertas dan Percetakan (ISIC 34) serta Industri Kimia, Plastik dan Karet (ISIC 35). Peran Industri Makanan dan Minuman, misalnya, meningkat dari 18,9% pada 2000 menjadi 25,7% pada 2007. Begitu juga Industri Kertas dan Percetakkan naik dari rata-rata 5,5% menjadi rata-rata 6,7% per tahun pada saat yang sama. Sementara, Industri Kimia, Plastik dan Karet tercatat meningkat dari rata-rata 14,7% di tahun 2000 menjadi rata-rata 19,4% pada 2007. Industri lain di luar yang telah disebutkan di atas relatif tidak mengalami perubahan tingkat kontribusi terhadap nilai tambha Sektor Manufaktur domestik. Dalam hal ini, penurunan kontribusi oleh Sektor Tekstil sudah diprediksi sejak lama oleh beberapa pengamat dan akademisi. Bird (1999) dan Ikhsan Modjo (2008), umpamanya, menuliskan bahwa penurunan pertumbuhan dan kontribusi Tekstil akan semakin menurun seiring dihapuskannya fasilitas ekspor MFN (Most Favoured Nation) pada 2002 dan meningkatnya kompetisi dari negara-negara pesaing baru yang memiliki tenaga kerja lebih murah. Gejala ini sesungguhnya sudah nyata terlihat bahkan pada periode sebelum krisis selama 1994-1997. Industri Tekstil yang bisa tumbuh sebesar rata-rata lebih dari 30% pada 1991-1994, kemudian hanya bisa tumbuh ratarata di bawah 4% sepanjang 1994-2004. Pertumbuhan Industri Tekstil sedikit meningkat di atas rata-rata 7% sepanjang 2004-2007. Akan tetapi peningkatan ini tidak mampu secara signifikan meningkatkan kontibusinya terhadap pembentukkan nilai tambah industri nasional. Sebaliknya, sektor-sektor industri yang mengalami peningkatan kontribusi selama 2000-2007 terlihat memiliki pertumbuhan yang stabil atau mengalami percepatan tingkat pertumbuhan. Industri Makanan dan Minuman, misalnya, naik di atas 7% per tahun sepanjang 2000-2007, sementara Kertas sempat melonjak sebesar rata-rata 12,4% per tahun pada 2000-2004, meski kemudian mengalami penurunan menjadi hanya ratarata 0,2% per tahun. Keenam sub sektor in isecara bersama berkontribusi
11
secara rata-rata lebih dari 50% dari total nilai tambah Industri Manufaktur dalam negeri. Tabel 1.3: Perubahan Struktur Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC) ISIC 3 Digit
1985
1991 1997 2000 2004 2007 % Proporsi dari Nilai Tambah 311 Makanan Dasar 10.52 9.51 9.35 6.26 11.00 11.78 312 Makanan Lainnya 3.26 3.07 4.45 3.83 2.49 3.13 313 Minuman 1.56 1.13 1.04 0.74 0.60 0.93 314 Tembakau Rokok 13.24 9.96 2.46 8.12 10.69 9.85 321 Tekstil 8.88 10.29 14.17 12.05 7.38 6.85 322 Garmen 1.73 3.35 4.66 4.81 3.39 3.54 323 Kulit 0.22 0.51 0.59 0.49 0.33 0.15 324 Alas Kaki 0.23 1.84 3.41 2.46 1.62 1.42 331 Kayu 6.96 13.24 7.13 4.72 4.85 3.01 332 Furnitur 0.53 1.2 1.32 1.25 1.05 1.25 341 Kertas 1.47 4.06 3.18 2.59 6.69 5.44 342 Percetakan 1.58 1.98 3.32 2.92 1.42 1.26 351 Kimia Industri 5.78 4.89 4.65 3.24 5.51 6.63 352 Kimia Lainnya 6.55 5.56 4.18 2.97 4.14 7.03 355 Karet 7.52 4.13 2.95 2.52 2.84 3.13 356 Plastik 1.07 2.02 2.48 5.54 3.36 2.63 361 Porselen 0.55 0.69 0.71 0.55 0.36 0.31 362 Gelas 1.35 0.63 0.48 0.47 0.78 0.33 363 Semen 2.46 1.69 2.09 1.18 3.15 2.85 364 Tanah Liat 0.69 0.45 0.72 0.54 0.11 0.25 369 Bukan Mineral Lain 0.77 0.61 0.55 0.45 0.24 0.28 371 Besi dan Baja 8.33 5.07 2.9 2.37 2.74 3.64 381 Produk Besi dan Baja 3.49 3 4.38 5.41 3.41 3.18 382 Mesin 0.96 1.55 2.83 1.02 0.88 1.02 383 Alat Listrik 3.47 3.09 9.36 9.17 7.93 5.63 384 Kendaraan 5.21 5.63 5.1 11.83 11.95 13.16 385 Alat Ukur 0.05 0.08 0.51 0.79 0.15 0.31 390 Manufaktur Lain 1.58 0.77 1.02 1.73 0.95 1.01 Total Manufaktur 100 100 100 100 100.00 100.00 Sumber: Kalkulasi Penulis dari data Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008).
Pada tingkat disagregasi yang lebih dalam, pada level tiga digit ISIC, Industri Manufaktur nasional didominasi oleh enam Sektor Utama: Makanan Dasar (ISIC 311), Tembakau Rokok (ISIC 314), Tekstil (ISIC 321), Kertas (ISIC 341) , Alat Listrik (ISIC 383) serta Kendaraan (ISIC 384), lihat Tabel 1.3. Dari keenam sektor ini, Sektor Kendaraan merupakan sektor yang mengalami peningkatan signifikan dalam tingkat kontribusi, dari sekitar rata-rata 5% pada tahun 1990an menjadi 13,1^% pada 2007. Sektor Makanan Dasar juga terlihat meningkat 6,26% pada 2000 menjadi 11,78% pada 2007. 12
Tabel 1.4: Pertumbuhan Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC) ISIC 3 Digit 1991-94 1994-97 1997-00 2000-04 2004-07 311 Makanan Dasar 1.3 19.7 -6.4 14.6 7.9 312 Makanan Lainnya 21.5 12.5 2 5.7 10.1 313 Minuman 15.6 3.2 -4.2 1.6 24.7 314 Tembakau Rokok 15 -40 46.8 3.2 4.5 321 Tekstil 29.7 2.5 1.6 3.9 6.8 322 Garmen 25.7 6.8 8.1 4.1 11.9 323 Kulit 6.6 20.2 0.5 31.8 -15.2 324 Alas Kaki 42.3 -0.1 -3.9 -3.1 5.1 331 Kayu -4.3 5.3 -6.8 3.3 -17.7 332 Furnitur 12.1 12.5 5.2 12.8 10.1 341 Kertas 4.5 9 0.2 24.9 -0.3 324 Percetakan 9.4 29.5 2.7 35.7 2.6 351 Kimia Industri 6.1 13.8 -5 3.5 12.3 352 Kimia Lainnya 6.1 6 -4.4 12.1 24.4 355 Karet 4.3 6.1 1.8 13.1 7.2 356 Plastik 15.1 13.2 33.9 19.6 -3.6 361 Porselen 23.5 -0.8 -1.2 -18.2 1.8 362 Gelas 4.9 7.6 6.6 11.3 -13.2 363 Semen 13.9 14.9 -12.1 61.0 5.1 364 Tanah Liat 29.8 7.2 -2.7 -1.4 41.7 369 Bukan Mineral Lain 6.4 11.7 0.1 12.2 12.5 371 Besi dan Baja 20.3 -17.3 0.3 -14.2 24.8 381 Produk Besi dan Baja 31.8 2.5 14 -2.0 1.8 382 Mesin 21.9 19.8 -26.9 49.8 19.4 383 Alat Listrik 24.3 34.1 6.3 -4.7 -8.3 384 Kendaraan 35 -16.7 35 8.7 12.6 385 Alat Ukur 48.5 33.2 21.4 81.0 51.6 390 Manufaktur Lain 27.7 3.1 24.7 8.8 4.3 Total Manufaktur 16.7 5.1 6.9 4.7 5.9 Sumber: kalkulasi Penulis dari data Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Kalkulasi untuk data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008). Pertumbuhan dihitung sebagai rata-rata pertumbuhan tahunan menggunakan angka riil.
Dilihat dari tiga digit ISIC, sektor yang kontribusinya menurun adalah Tekstil dan Alat Listrik. Sebagaimana bisa disimak pada Tabel 1.3, kontribusi Tekstil menurun dari rata-rata 12,05% pada 2000 menjadi hanya rata-rata 6,85% pada 2007. Begitu juga, Alat Listrik menciut dari rata-rata 9,17% menjadi rata-rata 5,63% pada waktu yang sama. Dua sektor lain, Tembakau dan Kertas, adalah dapat dikatakan relatif stabil dalam tingkat kontribusinya pada pembentukkan nilai tambah. Peningkatan kontribusi yang signifikan dari Sektor Kendaraan pada gilirannya disebabkan oleh tingkat pertumbuhannya yang tinggi, sebesar rata-rata 8,7% pada 2000-2004 dan rata-rata 12,6% pada 2004-2007. Begitu 13
juga Sektor Makanan Dasar tercatat meningkat masing-masing sebesar ratarata 14,6% dan 7,9% per tahun pada 2000-2004 dan 2004-2007. Sebaliknya Industri Listrik terlihat mengalami pertumbuhan negatif, sebesar rata-rata 4,7% dan -8,3% selama periode yang sama. Industri Kertas meski sempat meningkat rata-rata sebesar 24,9% pada 2000-2004, namun kemudian menurun rata-rata -0,3% pada 2004-2007. Industri Tekstil juga tercatat masih mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 3,9% dan 6,8% pada 20002004
dan
2004-2007.
Namun
bila
dibandingkan
dengan
tingkat
pertumbuhan rata-rata pada 1991-1994, sebesar 29,7%, angka pertumbuhan ini adalah jauh menurun. 1.4. Ekspor Sektor Manufaktur Transformasi sektoral yang terjadi pada Sektor Manufaktur di atas diikuti pula oleh transformasi pada komposisi ekspor Indonesia secara keseluruhan. Sebelum dekade 1980an, ekspor Indonesia didominasi oleh komoditi Migas dan Pertanian, yang masing-masing berkontribusi sebesar 70% dan 20% dari total ekspor. Pada saat yang sama, ekspor Manufaktur hanya tercatat sebesar 5% dari total ekspor. Akan tetapi, pada awal 1990an sebagai konsekuensi dari liberalisasi perdagangan dan investasi yang dilakukan, ekspor Manufaktur menyalip Migas sebagai kontributor terbesar pada ekspor Indonesia, dengan tingkat kontribusinya yang mencapai 42% dari total ekspor (Gambar 1.2).
14
Gambar 1.2: Komposisi Ekspor, 1975-2009 (%Total Ekspor) 90% 80% 70% 60%
Manufaktur
Minyak/ Gas 50% 40% 30%
Pertanian 20%
Lainnya
10%
20 09
20 07
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
0%
Year
Source: kalkulasi penulis dari data United Nations, Commodity Trade Statistics Database Online. Akses terakhir 26/10/2010. Catatan: definisi berikut dari Standard Industrial Classifications (SITC) digunakan: Pertanian: SITC items 0, 1, 2 (kecuali 27 dan 28), dan 4. Minyak/ Gas: SITC item 3. Manufaktur: SITC item 5, 6, 7, and 8. Lainnya: SITC 9, 27 dan 28. Catatan lain, persentase ini dihitung dari nilai ekspor kotor (gross export figures). Jumlah devisa yang didapatkan dari ekspor manufaktur mungkin lebih sedikit dari nilai kotor ekspor komoditi pertanian, begitu juga bahan intermediate ekspor mungkin saja digunakan dalam proses produksi.
Akan tetapi, kontribusi Manufaktur pada ekspor Indonesia menurun semenjak tahun 2000. Sumbangan Manufaktur yang tercatat sebesar 59% dari total ekspor pada tahun 2000 terlihat terus menurun hingga hanya sebesar 31% pada 34% pada 2007. Sementara kontribusi ekspor Migas justru meningkat tipi dari dari 25% pada 2000 menjadi 27% pada 2007. Demikian pula ekspor Pertanian naik tipis dari 10% menjadi 12% pada periode yang sama. Yang tercatat meningkat tajam adalah ekspor di luar dari ketiga pengelompokkan
komiditi
tersebut,
Eskpor
Lainnya,
yang
tercatat
meningkat dari di bawah 10% sebelum krisis 1997/98 menjadi hampir 30% pada tahun 2007. Di samping perubahan secara umum ini, transformasi juga terjadi pada ekspor Manufaktur pada 2000-2007 meski tidak sedramastis perubahan 15
yang terjadi pada dekade 1970an hingga 1990an. Sebagaimana terlihat ada Tabel 1.5 di bawah, beberapa komoditi seperti Kimia Organis (SITC 51), Kertas (64), Perabotan (82) terlihat mengalami peningkatan kontribusi pada ekspor Manufaktur selama 2000-2007. Sementara, sektor yang tercatat menurun signifikan adalah Barang-Barang Kayu (63), dari 9% ke 5,1%, Mesin Pembangkit Tenaga (71),dari 10,6% ke 2,1%, Mesin Industri Khusus (72) dari 13,8% ke 2,1%. Tabel 1.5: Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%) SITC
Komoditi
51 52 53 54 55 56 57 58 59 61 62 63 64
Kimia Organis Kimia Inorganis Bahan Celup dan Pewarna Lainnya Bahan Obat-Obatan dan Hasil-Hasilnya Minyak dan Bahan Wangi-Wangian Pupuk Kimia Buatan Pabrik Bahan Plastik Olahan Bahan Plastik Bahan Kimia Lainnya Kulit Disamak dan Barang Kulit Barang-Barang Karet Barang-Barang Kayu dan Gabus Kertas, Kertas Karton, dan Olahannya Benang Tenun, Kain Tekstil, dan HasilHasilnya Barang-Barang dari Mineral Bukan Logam Besi dan Baja Logam Tidak Mengandung Besi Barang-Barang Logam Lainnya Mesin Pembangkit Tenaga Mesin Industri Tertentu/Khusus Mesin untuk Mengerjakan Logam Barang-Barang Saniter, Pemanas, dll Perabotan Peralatan Bepergian, Tas Tangan, dll Pakaian Sepatu dan Peralatan Kaki Lainnya Hasil Industri Lainnya Total
65 66 67 68 69 71 72 73 81 82 83 84 85 89
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2009
1.2 0.0 0.1 .7.7 5.9 0.1 na 0.0 0.0 0.4 0.1 0.7 0.2
1.3 0.2 0.2 1.3 2.3 3.8 na 0.0 0.0 0.7 0.0 8.0 0.5
1.9 13.1 0.2 0.5 1.7 2.8 na 0.0 0.1 0.3 0.3 32.8 0.7
1.2 na 0.4 0.2 1.6 2.0 0.0 0.7 0.4 0.8 0.8 32.5 1.7
2.4 0.0 0.2 0.2 0.8 1.2 0.0 1.3 0.4 0.4 1.0 19.9 4.0
3.7 0.1 0.3 0.2 0.9 0.6 0.0 2.5 0.6 0.5 1.0 9.0 6.4
5.4 1.4 0.6 0.4 1.8 0.5 2.5 1.4 1.0 0.4 2.7 9.0 7.6
5.1 1.1 0.6 0.7 2.4 0.6 2.3 1.4 2.1 0.3 4.0 5.1 9.4
1.2 0.2 0.2 51.9 2.0 9.1 8.0 2.7 0.1 0.1 0.0 1.5 0.1 6.4 100
5.0 3.5 2.0 46.2 0.6 0.4 10.5 0.8 0.0 0.3 0.1 10.6 0.2 1.4 100
8.2 1.2 1.2 17.4 0.0 0.5 2.6 0.1 0.0 0.2 0.0 11.7 0.3 2.1 100
13.3 2.6 2.5 4.8 1.2 0.6 2.1 1.2 0.1 3.0 0.2 17.7 5.9 2.5 100
11.5 1.5 1.6 3.0 1.8 3.6 7.5 2.0 0.1 3.7 0.4 14.8 8.5 8.1 100
9.7 2.2 1.4 2.7 1.6 10.6 13.8 1.6 0.2 4.3 0.5 13.5 4.5 7.9 100
11.5 2.9 3.1 8.6 2.1 2.2 1.5 0.1 0.3 6.2 0.2 17.0 4.7 4.9 100
9.0 2.5 3.7 11.1 2.7 2.1 1.8 0.1 0.2 4.6 0.3 16.6 4.9 5.4 100
Sumber: seperti Gambar 3.2. Catatan: SITC yang digunakan adalah the Standard International Trade Classification, Revisi 3.
Dari pengamatan ini, ekspor Manufaktur Indonesia agaknya masih didominasi oleh barang-barang yang bersifat padat karya seperti Benang Tenun dan Kain Tekstil (SITC 65), Perabotan (82), Pakaian (84), dan Sepatu (85). 16
Tabel 1.6: Pertumbuhan Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%) SITC
Komoditi
1975-80
1980-85
1985-90
1990-95
1995-00
2000-05
2005-09
51
Kimia Organis
18.8
29.4
15.5
31.8
16.9
4.2
2.3
52
Kimia Inorganis
60.3
108.4
na
na
99.0
60.9
-1.7
53
Bahan Celup dan Pewarna
24.4
26.3
36.7
4.2
17.0
9.9
4.9
54
Bahan Obatan dan Hasil-Hasilnya
-0.6
5.6
3.6
16.1
12.7
7.3
14.9
55
Minyak dan Bahan Wangian
8.1
17.1
21.7
4.5
10.5
10.5
9.8
56
Pupuk Kimia Buatan Pabrik
52.8
16.6
17.6
7.2
-5.5
-4.8
5.7
57
Bahan Plastik
na
na
na
57.0
21.4
117.8
1.7
58
Olahan Bahan Plastik
17.2
69.4
85.6
30.9
20.8
-14.3
2.9
59
Bahan Kimia Lainnya
9.3
70.6
47.6
15.7
17.4
7.2
18.7
61
Kulit Disamak dan Barang Kulit
24.7
2.7
44.2
7.0
9.4
-7.7
2.3
62
Barang-Barang Karet
8.4
57.1
45.3
23.6
9.2
15.7
11.3
63
Barang-Barang Kayu dan Gabus
42.2
51.2
23.4
8.4
-7.4
-3.5
-7.9
64
Kertas, dan Olahannya
26.3
30.0
40.4
35.2
18.0
-0.2
7.7
65
Hasil Benang Tenun, Kain Tekstil,
31.5
33.1
33.1
15.4
5.0
-0.2
-1.4
66
Barang dari Mineral Bukan Logam
45.4
2.1
38.6
6.8
16.5
2.2
0.3
67
Besi dan Baja
39.5
11.7
38.6
9.1
5.6
13.2
6.7
68
Logam Tidak Mengandung Besi
16.3
3.4
-2.1
9.0
6.4
19.5
8.6
69
Barang-Barang Logam Lainnya
5.4
-38.1
98.5
26.4
6.3
1.8
8.2
71
Mesin Pembangkit Tenaga
-12.8
24.6
26.9
54.9
30.1
-34.7
2.7
72
Mesin Industri Tertentu/Khusus
20.2
-4.9
19.6
43.3
20.7
-47.7
6.5
73
Mesin untuk Mengerjakan Logam
5.7
-18.8
72.0
29.4
3.6
-58.2
4.4
81
Barang-Barang Saniter, Pemanas,
6.2
18.9
60.7
17.1
20.7
-0.6
-3.2
82
Perabotan
26.6
16.6
73.9
22.1
11.4
3.9
-2.3
83
Peralatan Bepergian, Tas Tangan,
51.4
-3.6
76.0
29.8
11.7
-15.8
6.0
84
Pakaian
37.0
24.8
31.9
14.6
6.6
1.1
2.9
85
Sepatu dan Peralatan Kaki Lainnya
18.9
34.0
85.2
25.4
-4.4
-2.3
3.9
89
hasil Industri Lainnya
2.1
30.7
27.9
41.3
8.2
-13.0
5.1
17.4
11.4
11.8
9.1
8.5
-3.5
3.4
Total
Sumber: Seperti Gambar 1.2.
Dalam hal ini, Peningkatan dari produk-produk yang padat karya sebelum tahun 2000 terjadi karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi pada periode liberalisasi ekonomi di 1980an dan 1990an. Dari Tabel 1.6 bisa disimak, Pakaian (SITC 84) dan Sepatu (SITC 85) meningkat dengan cepat dari 1985 ke 1995. Pada paruh pertama liberaliasi (1985-90), ekspor Pakaian tumbuh sebesar 31.9% per tahun, sementara pada saaat yang sama ekspor Sepatu naik fantastis 85.2% per tahun. Dari 1990 ke 1995, pertumbuhan ekspor Pakaian dan Sepatu melambat, ke masing 14.6% dan 25.4% respectively. Mereka kemudian mengalami kemerosotan secara tajam masing-masing 21.8% (Pakaian) dan -36.8% (Sepatu) pada tahun krisis 1997 to 1998. Akan tetapi, tren pada 2000-2007 sedikit mengindikasikan adanya semacam pembalikkan dengan meningkatnya ekspor komoditi Manufaktur yang 17
berbasiskan sumber daya alam, seperti yang terjadi pada peningkatan Kertas (64) dan Barang Karet (62). Pembalikkan ini bisa saja merupakan indikasi awal adanya penurunan daya saing sektor Manufaktur di Indonesia, pada sebaghai akibat dari krisis yang banyak mematikan infrastruktur keuangan yang ada di Indonesia, maupun adanya ekonomi biaya tinggi yang marak terjadi semenjak 2000 ke atas seiring dengan adanya berbagai perubahan sosial, politik dan tata pemerintahan yang terjadi di dalam negeri. Tabel 1.7: Komoditi Penyumbang Ekspor Manufaktur Terbesar (%) Tahun 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009
Barang Listrik 15.2 19.7 3.7 2.2 7.6 14.0 1,5 1,8
Alas Kaki 0.3 0.3 0.4 6.2 8.7 4.5 4,7 4.9
Kertas 0.4 1.0 1.0 1.8 4.0 6.5 7.6 9.4
Tekstil dan Garmen 5.1 29.3 28.0 32.5 26.8 23.5 28.4 25.5
Kayu 1.3 14.9 46.1 34.2 20.2 9.1 9.0 5.1
Total 5 Komoditi 22.2 65.2 79.3 76.9 67.4 57.7 51.3 46.7
Lain 77.8 34.8 20.7 23.1 32.6 42.3 48.7 53.5
Sumber: seperti Gambar 3.2. Catatan: SITC berikut digunakan: Barang Listrik (SITC 72), Alas Kaki (SITC 85), Kertas (SITC 64), Tekstill dan Garmen (SITC 65 dan 84), Kayu (SITC 63).
Lebih jauh, terdapat kekhawatiran adanya tingkat konsentrasi yang tinggi baik terhadap daerah tujuan ataupun konssentrasi produt dari ekspor manufaktur Indonesia. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.7, ekspor Manufaktur Indonesia sangat didominasi oleh lima komoditi berupa: Listrik (SITC 72), Sepatu (SITC 85), Kertas (SITC 64), Tekstil dan Pakaian Jadi (SITC 65 and 84) dan Kayu (SITC 63). Kelima sektor ini berkontribusi lebih dari 50% ekspor manufaktur Indonesia selama 1980 and 2000. Kontribusi mereka bahka mencapai hampir 80% dari total ekspor manufaktur pada 1985 ke 1990. Akan tetapi selama 2000-2007, yang terjadi adalah penurunan tingkat konsentrasi komoditi ekspor manufaktur Indonesia seiring dengan menurunnya kontribusi kelima sektor tersebut dari 57% ke 46,7%. Sebaliknya komoditi-komoditi manufaktur lain mengalami peningkatan kontribusi ke lebih 50%.
18
Tabel 1.8: Ekspor Manufaktur ke Tiga Negara (%) Tahun
Jepang
Singapura
Amerika
1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009
20.4 13.3 14.1 18.5 15.7 13.6 12.5 11.1
14.0 33.0 19.2 10.7 10.3 13.6 14.3 12.5
16.2 3.5 21.0 16.8 17.7 18.7 17.3 15.7
Total 3 Negara 50.6 49.9 54.2 46.1 43.7 45.9 44.1 39.2
Negara Lain 49.4 50.1 45.8 53.9 56.3 54.1 55.9 60.8
Sumber: seperti Gambar 3.2.
Kekhawatiran lain akan adanya konsentrasi berlebihan pada negara tujuan ekspor juga pernah terjadi akibat fokus yang berlebihan pada tiga negara: Jepang, Singapura dan Amerika. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.8, ekspor ketiga negara ini pernah mencapai 54% dati total ekspor Manufaktur pada 1985. Dengan konsentrasi yang berlebihan pada negara tertentu, Indonesia menjadi rentan terhadap guncangan eksternal yang terjadi pada negaranegara tersebut. Namun, kekhawatiran ini juga agaknya tidak terlalu mendasar karena konsentrasi yang ada terus menurun pada 1985 ke 1995, dan terus berlanjut pada 2000-2007. Pada 2007, tercatat ekspor ketiga negara ini sudah jauh berkurang hanya berkisar 39,2% dari total ekspor manufaktur Indonesia.
19
Gambar 1.3: Ekspor, Impor dan NetEkspor Manufaktur 1985-2009 (Juta US$ , Nominal)
Sumber: Kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010
Kekhawatiran
lain
terhadap
ekspor
manufaktur
Indonesia
adalah
ketergantungannya yang tinggi terhadap impor produk-produk antara (intermediate inputs). Sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3, Indonesia mengalami defisit yang akut dari perdagangan manufaktur hingga mencapai US$3 milyar hingga US$10 milyar selama 1975 dan 1996. Defisit ini diakibatkan oleh importasi dari barang kapital dari produk manufaktur yang berteknologi tinggi seperti Kimia, Komponen Mesin, dan Kendaraan yang dibiayai dari hutang atau investasi asing yang masuk. Akan tetapi, perlambatan yang terjadi pada importasi kapital dan mesin-mesin setelah 2000, mengakibatkan hal sebaliknya terjadi: surplus pada perdagangan manufaktur Indonesia, antara US$1 milayr sampai di 2000 hingga US$8 milyar di 2006. Seiring dengan perluasan kapasitas produksi yang terjadi mulai 2006, defisit perdagangan manufaktur kembali terjadi.
20
1.5. Beberapa Fitur Industri Manufaktur Indonesia 1.5.1. Tingkat Kompetisi diukur dari Konsentrasi Tingkat kompetisi di satu sektor kerap diukur dengan menggunakan tingkat konsentrasi pasar yang ada. Dalam penelitian ini konsentrasi pasar diukur menggunakan ukuran standar CR4: proporsi output yang dikuasai oleh 4 produser terbesar pada 4 digit ISIC (%) 3. Sebagaimana tertera pada Tabel 1.9. Secara umum, Sektor Manufaktur Indonesia masih sangat terkonsentrasi, atau kurang terdapat persaingan, walau konsentrasi ini mengalami penurunan selama kurun waktu 1985-1997. Tabel 1.9: Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia 1985-2007 (CR4, Nominal) 1985
1990
1995
2000
2004
2007
Total Sektor Manufaktur CR4 Rata-Rata Rata-Rata Tertimbang
58.2 54.9
57.2 48.7
55.3 49.2
56.0 48.7
57.6 49.3
56.2 48.13
CR4 by Sub-Sector 31 Makanan & Minuman 63 70.1 68.0 63.5 69.1 65.2 32 Tekstil 34.6 31.9 30.0 29.2 29.6 29.3 33 Kayu 30.9 17.6 24.4 33.8 35.6 34.2 34 Kertas dan Percetakan 48.7 60 63.7 75.9 77.5 74.2 35Kimia, Plastik dan Karet 59.4 43 44.2 33.5 32.3 32.3 36 Mineral Bukan Metal 64.5 58.3 46.9 55.5 60.1 50.4 37 Besi dan Baja 93.4 82.6 82.9 55.3 57.5 56.1 38 Produk Besi dan Baja 55.1 59 63.5 59.3 60.1 58.2 39 Manufaktur Lain 72.1 66.1 59.9 62.4 63.4 61.2 Sumber: seperti Gambar 3.2, data untuk sebelum tahun 2004 disadur dari Ikhsan Modjo (2008).
Sepanjang waktu itu, Industri yang paling terkonsentrasi adalah Besi dan Baja (ISIC 37). Tingginya tingkat konsentrasi ini disebabkan adalah akibat tingginya kepemilikkan pemerintah dan skala ekonomi yang dibutuhkan untuk beroperasi di sektor ini. Sementara, Tekstil (ISIC 32) dan Kayu (ISIC 33) merupakan sektor yang paling tinggi tingkat kompetisinya selama 19853
Angka-angka ini tidak disesuaikan dengan ekspor dan impor pada tiap industri, yang akan mempengaruhi tingkat konsentrasi. Bird (1999) menggangap dengan memasukkan angka expor dan impor akan mengurangi tingkat konsentrasi di Sektor Manufaktur Indonesia. Dus, tingkat kompetisi di pasar domestik Indonesia mungkin lebih tinggi dari yang tampak pada Table 3.10.
21
1997. Rendahnya tingkat kompetisi pada Industri Tekstil disebabkan oleh sifatnya yang padat karya dan hanya membutuhkan sedikit modal. Dus, Industri Tekstil memiliki skala ekonomi yang rendah dan konsentrasi yang juga rendah. Peningkatan konsentrasi terjadi mulai 1995 ke 2004. Angka CR4 rata-rata yang sempat turun dari 58,2 pada 1985 ke angka 55,3 pada 1995, kembali meningkat menjadi 57,6 pada 2004. Hal ini agaknya disebabkan banyak pembelian oleh Pemerintah setelah terjadinya krisis yang mengakibatkan banyaknya perusahaan swasta bertumbangan. Akan tetapi seiring dengan dilakukannya konsolidasi dan privatisasi atas kepemilikkan ini, angka CR4 mulai berangsur turun dari 57,6 pada 2004 menjadi 56,2 pada 2007. Selama 2004-2007, beberapa perubahan juga terjadi pada skala 2 digit ISIC. Satu yang terlihat cukup signifikan adalah di Industri Besi dan Baja (ISIC 37), yang konsentrasinya
berangsur.
Sementara
sektor
lain
secara
relatif
berkarakteristik sama meski terdapat beberapa perubahan umum berupa penurunan. 1.5.2. Isu Kepemilikkan Sepanjang 1985-2007, terjadi beberapa pola perpindahan status kepemilikkan yang menarik disimak pada Sektor Manufaktur Indonesia. Gambar 1.4 menunjukkan pola perubahan status kepemilikkan ini sepanjang 1985-2007 dengan menggunakan metode kalkulasi yang digunakan Aswicahyono dan Hill (1995). Dalam klasifikasi ini, perusahaan joint-venture dengan kepemilikkan lebih dari nol oleh asing akan diklasifikasi sebagai perusahaan asing, mesiki terdapat sahama pemerintah atau swasta di dalamnya. Klasifikasi ini berdasar pada studi-studi sebelumnya yang menunjukkan dominasi partner asing terutama dalam aspek keuangan dan teknologi, meski mereka meruapaka pemilik minoritas (lihat, misalnya, , Aswicahyono and Hill 1995; Ramstetter 1999; Narjoko and Hill 2006). Dengan mengikuti argumen yang sama, satu perusahaan dikatakan sebagai miliki pemerintah bila saham pemerintah lebih dari nol, meski di saat yang sama swasta juga memiliki kepemilikkan di perusahaan tersebut. 22
Gambar 1.4: Status Kepemilikkan Manufaktur 1985-2007
Sumber: seperti Tabel 1.4.
Dengan
klasifikasi
ini,
Gambar
1.4
menunjukkan
adanya
kenaikan
kepemilikkan asing pada sektor manufaktur Indonesia. Sepanjang 1985-2007, kepemilikkan asing meningkat hampir dua kali lipat dari 20,2% pada 1985 menjadi 36,7% pada 2007. Sementara, kepemilikkan swasta domestik relatif stabil di kisaran 55%, dan kepemilikkan Pemerintah jauh berkurang dari 22,3% menjadi hanya 8,5% selama 1985-2007. Tren ini sempat sedikit terganggu sepanjang 2000 hingga 2004, di mana terjadi peningkatan kepemilikkan Pemerintah dari hanya 5,5% pada 1999 menjadi 11,8% pada 2003, sementara kepemilikkan swasta domestik justru menurun ke angka 24,3% pada 2000. Perubahan mendadak ini agaknya disebabkan oleh restrukturisasi hutang oleh sektor swasta setelah terjadinya krisis pada 1997/1998.
Krisis menyebabkan banyak
pemiliki perusahaan swasta
menyerahkan kepemilikkannya pada pemerintah karena tidak mampu membayar berbagai hutang yang dimiliki kepada badan pemerintah yang bertanggung jawab mengelola berbagai hutang ini, yang pada gilirannya mengakibatkan peningkatan kepemilikkan Pemerintah. Namun seiring dengan pembayaran kembali hutang oleh pihak swasta domestik dan kebijakan privatisasi pemerintah, kepemilikkan pemerintah berangsur turun 23
sepanjang 2000-2007, hingga mencapai angka yang kurang lebih sama dengan angka kepemilikkan sebelum krisis, 8,5%. Kepemilikkan asing juga meningkat terus secara stabil pada 1985-2007, tidak terganggu oleh krisis yang ada pada 1997/98. Bahkan setelah krisis, kepemilikkan asing meningkat dari 35.1% di 1999 menjadi 38.6% di 2000, meski kemudian sedikit menurun ke angka 36,7% pada 2007. Dari pola kepemilikkan yang terjadi ini, penurunan Pemerintah, stabilnya kepemilikkan swasta nasional, agaknya dapat dikatakan bahwa penyerahan kepemilikkan oleh pemerintah lebih banyak kemudian diserap oleh pihak asing. Tabel 1.10: Ekspor Berdasarkan Kepemilikkan (%) Tahun
Asing
Pemerintah
Swasta
% dari Total Ekspor 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber: seperti Tabel 1.4.
22.8 33.7 37.5 38.7 40.4 41.5 44.4 33.2 9 30.7 36.7 27.2 35.3 34.2 33.1 35.1 35.3 38.3
10.1 13.3 11.7 14.1 16.8 14.6 18.2 15.4 4.7 18.3 12.2 11.1 8.2 8.5 6.5 9.4 10.8 12.2
7 9.4 10.9 11 10.9 9.8 10.9 8.3 1.9 8.6 4.9 5.1 7.6 9.5 6.6 8.5 7.7 9.6
Demikian pula, Tabel 1.10 menunjukkan bahwa perusahaan asing secara ratarata lebih bersifat ekspor intensif ketimbang perusahaan lokal. Perusahaan asing secara umum mengeskpor 30%-40% produknya ke pasar internasional, rasio ini juga terlihat mengalami meningkat selama 200-2007, kecuali pada 2001 seiring terjadinya perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama seperti Amerika dan Jepang. Bertolakbelakang dengan kondisi ini, perusahaan milik pemerintah atau swasta domestik hanya mengekspor 24
kurang lebih 8% sampai 15% dari total produksi. Beberapa faktor penyebab tingginya konten ekspor dari perusahaan asing adalah jejaring internasional yang mereka miliki serta insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk perusahaan yang berorientasi ekspor (Ramstetter 1999). 1.5.3. Distribusi Output Berdasarkan Ukuran Fitur lain yang menarik dari Sektor Manufaktur Indonesia adalah distribusi ukuran yang ada. Dalam penelitian ini, definisi ukuran yang digunakan adalah sebagai berikut: perusahaan dengan 20 sampai 99 pekerja dikalsifikasikan sebagai perusahaan Kecil, perusahaan dengan 100 sampai 499 pekerja diklasifikasikan sebagai Sedang, sementara perusahaan dengan 500 atau lebih pekerja dianggap sebagai perusahaan Besar. Perusahaan juga diklasifikasikan berdasarkan pada tahun dasar di mana ia mulai beroperasi, dus perusahaan akan tetap diklasifikasikan dalam satu ukuran (Kecil, Sedang atau Menengah) meski dalam tahun-tahun berikut terjadi perubahan ukuran. Dengan menggunakan definisi ini, dinamika distribusi output berdasarkan ukuran akan menjadi lebih jelas. Hasil kalkulasi dari definisi di atas ditunjukkan pada Gambar 1.5. Sebagaimana terlihat pada gambar tersebut, beberapa dinamika menarik terlihat pada distribusi produksi output berdasarkan skala perusahaan. Sebelum krisis, penguasaan dari perusahaan kecil meningkat dari 21,6% di 1986 ke 25,5% di 1997. Pada saat yang sama, penguasaan perusahaan Sedang juga meningkat 28,0% ke 35,3%, sementara penguasaan perusahaan Besar menurun dari 50,4% menjadi 35,3%. Dengan demikian data ini menunjukkan adanya kenaikkan penguasaaan output perusahaan Kecil. Dua alasan yang umumnya diungkapkan diliteratur adalah liberalisasi keuangan pada 19801990an berhasil memudahkan akses kredit perusahaan Kecil begitu juga banyak fasilitasi dan kemudahan ekspor yang diberikan pada mereka (Goeltom 1995; Hill 1997).
25
Gambar 1.5: Distribusi Ukuran Perusahaan 1985-2007
Sumber: Seperti Tabel 1.4.
Akan tetapi, setelah krisis tahun 1997 pola ini mengalami perubahan. Krisis dan setalahnya berpengaruh secara negatif terhadap utamanya perusahaan Sedang. Proporsi dari output yang dimiliki perusahaan Sedang terlihat menurun dari 36,2% pada 1997 menjadi 31,2% pada 2001. Penurunan ini terus berlanjut dengan sedikit fluktuasi ke angka 28,3% pada 2007. Sebaliknya, penguasaan dari perusahaan berskala Besar terlihat meningkat dari 39,7% pada 1997 menjadi 43,5% pada 2005, meski kemudian menurun sedikit menjadi 41,3% pada 2007. Demikian pula, penguasaan perusahaan Kecil terlihat naik dari 25,0% pada 1997 menjadi 27,3% pada 2003 dan 30,4% pada 2007. Dengan kata lain, Industri Manufaktur Indonesia semakin mengalami apa yang dinamakan sebagai missing middle phenomenon yang biasanya jamak terjadi pada awal industrialisasi. Sebuah fenomena yang kerap ditandai dengan informalisasi skala perusahaan, di mana perusahaan kecil mengalami penciutan skala. Akan tetapi, pada saat yang sama, perusahaan Besar cenderung semakin menguasai pangsa ouput. Beberapa alasan yerjadinya fenomena ini antara lain iklim usaha yang semakin tidak kondusif bagi perusahaan skala Sedang, serta sulitnya akses kredit dan pasar ekspor karena konsolidasi yang terjadi di lembaga keuangan dan perbankan domestik, serta tingkat kompetisi yang meningkat di pasar ekspor seiring munculnya banyak pemain baru.
26
1.6. Penutup Bagian ini menguaraikan kinerja dari Sektor Manufaktur Indonesia terutama setelah terjadi Krisis di 1997, yakni antara tahun 2000-2007. Data yang ada menunjukkan adanya sedikit penurunan tingkat pertumbuhan, yang selama periode 1997-2007 hanya tercata rata-rata di bawah 6 persen per tahun. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang angka rata-rata pertumbuhan sebelum tahun 1997, yang berkisar rata-rata antara 10% sampai 15%. Kinerja. Bagian awal ini juga menunjukkan adanya penuruna daya kompetitif ekspor Sektor Manufaktur, yang terlihat dari tingkat pertumbuhan ekspor manufaktur serta proporsinya secara umum dibandingkan sektor-sektor lain yang menurun pada total ekspor Indonesia. Di samping itu, beberapa hal lain yang tercatat pada bagian ini adalah penurunan tingkat kompetisi pada Sektor Manufaktur setelah tahun 2000, yang ditandai dengan semakin tingginya penguasaan Perusahaan Besar pada distribusi output yang ada. Berkurangnya tingkat kompetisi juga terlihat dari kecenderungan angka konsentrasi yang semakin meningkat. Akhirnya, data juga mengindikasikan adanya beberapa dinamika menarik dalam hal skala perusahaan, di mana terjadi informalisasi skala perusahaan di sektor Manufaktur
dengan
meningkatnya
penguasaan
jumlah
perusahaan-
perusahaan kecil yang beroperasi dan berkurangnya porsi perusahaan menengah. Bagian ini akan menjadi landasan untuk pembahasan pada dua bab selanjutnya. Bab Dua akan membahas masalah metodologi dalam kalkulasi tingkat produktifitas. Sementara Bab Tiga merupakan pembahasan hasil temuan dari pengolahan data mentah yang ada. ---oooOOOooo---
27
Bab 2
Data, Metodologi dan Hipotesis
2.1. Desain Penelitian Dalam rangka mencapai tujuan penelitian. model Stochastic Frontier yang berubah terhadap waktu untuk data panel yang diusulkan oleh Battese dan Coeli (1995) akan dijadikan kerangka analisis empiris pertumbuhan produktivitas (TFP) 2000-2007. Model ini menggunakan pola fleksibel parameterisation temporal waktu, yang memungkinkan studi ini untuk menangkap perubahan tiba-tiba atau peningkatan kemajuan teknologi dan efisiensi teknis selama periode observasi. Estimasi untuk kemajuan teknologi dan efisiensi teknis dilakukan pad level 2 digit kelompok industri (ISIC). Estimasi kemajuan teknologi dan perubahan TE kemudian digunakan untuk membangun pertumbuhan TFP menggunakan metode dekomposisi yang diusulkan oleh Kumbhakar dan Lovell (2000). 2.2. Pendekatan dan Metode 2.2.1. Model Perubahan Produktivitas Penelitian ini menggunakan model Stochastic Frontier untuk panel data yang dikembangkan Battese dan Coeli (1995). Fungsi produksi dalam model ini diasumsikan transendental logaritmik untuk setiap ISIC dua digit di 28
manufaktur Indonesia (Christensen, Jorgenson dan Lau 1973). Tingkat agregasi ini dipilih untuk mengurangi jumlah estimasi meskipun dengan konsekuensi
bahwa
mungkin
kurang
tepat
menghasilkan
estimasi
produktivitas dan inefisiensi. Namun demikian, analisis di tingkat subsektor dan provinsi mungkin untuk dilakukan bila diputuskan nantinya untuk dilakukan.
Fungsi produksi ini dapat ditulis sebagai:
ln y it = β 0 + ∑ β n ln x nit + β t t + n
1 ∑∑ β nk ln xnit ln xkit 2 n k
1 + β tt t 2 + ∑ β nt ln x nit t + vit − u it 2 n
(1)
Dimana: y it merupakan output bruto; x nit = (K it , Lit , M it , Eit ) merupakan modal, tenaga kerja, dan bahan baku; '
i = 1,.., i mewakili perusahaan; t = 2000,...,2007 mewakili tahun;
vit adalah random statistical noises yang memiliki dua sisi; dan u it adalah error komponen satu sisi yang mewakili efisiensi teknis. Perubahan dalam tingkat efisiensi teknis dapat ditemukan dengan mengambil log dan mendifferensiasi persamaan (1) terhadap tahun: ∧
∂ u it ∧ ∧ TE∆ = − = u i. exp − u it ∂t ^
(2)
29
Begitu juga dari persamaan (1) bisa diestimasi perubahan tingkat teknologi, elastisitas input dan koefisien return to scale sebagai:
^
T∆= ^
εn =
^ ^ ∂ ln( y it ) ^ = β t + β tt t + ∑ β nt ln x nit , ∂t n
^ ^ ∂ ln( y it ) ^ = β n + ∑ β nk ln x kit + β nt t , ∂ ln x n k
^
ε =∑ n
^ ^ ∂ ln( yit ) ^ =∑ β n + ∑ β nk ln xkit + β nt t . ∂ ln xn k n
(3)
(4)
(5)
Selanjutnya, dari berbagai persamaan ini akan dikalkukasi pertumbuhan TFP sesuai dengan metode Kumbhakar dan Lovell (2000), • ε TFP = T∆ + (ε − 1)∑ n n ε
• x n + TE∆ ,
(6)
Dimana,
(ε − 1)∑ ε n x n •
n
ε
adalah skala ekonomi.
2.2.2. Model Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Produktivitas Ada pun model yang digunakan untuk meneliti dampak faktor-faktor tertentu terhadap produktivitas adalah model Kim and Lee (2002) model. TFP yang didapatkan dari hasil estimasi pada model pertama akan menjadi input dalam model kedua. Dsalam estimasi kedua, hubungan antara tingkat produktivitas dan karakteristik dari perusahaan akan diuji dengan persamaan tambahan berikut: u i t = λ0 + λ Size Sizeit + λ Age Ageit + λ Export Export it + λ Foreign Foreignit
λGov Govit + λ R & D R & Dit + eit
. (7)
Dimana:
λ ' s adalah parameter persamaan. Size adalah logaritma dari skala perusahaan, 30
Age adalah logaritma dari usia perusahaan, Export adalah logaritma dari dummy variabel untuk orientasi ekspor, Foreign adalah dummy variabel untuk kepemilikkan asing, Gov adalah dummy variabel untuk kepemilikkan pemerintah,. irm; R&D adalah dummy variable untuk aktifitas R&N; eit adalah the random statistical noises.
31
2.3. Data Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Statistik Industri Besar dan Sedang (atau SI Statistik Industri selanjutnya) 2000-2007, disediakan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (Badan Pusat Statistik atau BPS selanjutnya) dalam format elektronik. Survei menangkap seluruh perusahaan manufaktur di Indonesia dengan 20 dan lebih banyak karyawan dengan berbagai informasi untuk membangun variabel yang relevan untuk model kita. Ini termasuk beberapa informasi dasar (ISIC Klasifikasi, tahun mulai produksi, lokasi), kepemilikan (saham pemerintah, dalam dan luar negeri), produksi (output kotor, saham, saham output diekspor), biaya bahan baku, berbagai biaya, nilai penggantian modal tetap dan investasi. Sebuah panel yang seimbang dibangun 2000-2007 dalam rangka untuk menangkap perubahan tingkat produktivitas yang terjadi. Panel dibentuk oleh yang cocok dengan perusahaan sesuai dengan variabel pembentukan identitas kode (KIPN). Walaupun survei-mulai menyediakan data cakupan luas, pasti itu memang memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya, tidak termasuk beberapa variabel penting untuk produktivitas dan analisis efisiensi seperti jumlah jam kerja serta harga rinci dan informasi keuangan. Selain itu, SI tidak menyediakan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi apakah pendirian adalah suatu bentuk usaha yang berdiri sendiri atau bagian dari perusahaan multitanaman di setiap tahun survei. Oleh karena itu jumlah perusahaan mungkin akan berakhir karena beberapa dihitung sebagai perusahaan, meski mereka sebenarnya tidak. Hal ini bisa menyebabkan bias estimasi produktivitas dan efisiensi perusahaan. Penelitian ini juga memakai sumber data lain berkenaan dengan ekonomi Indonesia. Publikasi ini meliputi Pendapatan Nasional Indonesia tahunan (Pendapatan Nasional Indonesia), Statistik Indonesia tahunan (Statistik Indonesia), dan / bulanan triwulan Statistik Indonesia Buletin (Buletin Ringkas) yang diterbitkan oleh BPS. Sumber data lainnya termasuk Key Indicator diterbitkan oleh Asian Development Bank, ADB, Statistik Ekonomi 32
Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, (Bank Sentral Indonesia, BI), PBB Komoditi Statistik Perdagangan dan berbagai terbitan dan online data dari World Bank. Dalam hal ini, sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya, penelitian ini akan menggunakan dua persamaan empiris. Persamaan empiris untuk fungsi produksi dan persamaan empiris untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tingkat produktivitas atau TFP. Variabel untuk variabel-variabel fungsi produksi dalam penelitian ini adalah output bruto, modal, tenaga kerja, bahan dan energi. Definisi dari variabel ini dibahas di bawah. 2.4. Pengukuran Penelitian 2.4.1. Output Dua ukuran dasar bagi output dalam fungsi produksi alah output bruto dan nilai tambah. Ukuran nilai tambah biasanya tidak mengikutkan input antara (bahan, energi dan jasa yang digunakan dalam produksi), sedangkan ukuran output termasuk berbagai input ini. Kedua ukuran dasar ini dapat digunakan untuk mengestimasi produktivitas dan efisiensi teknis. Nilai tambah terkait dengan modal dan tenaga kerja sebagai masukan untuk pengukuran produktivitas, sedangkan output adalah terkait dengan modal, tenaga kerja, dan input antara. Dalam literatur mutakhir, para sarjana telah menggunakan kedua
ukuran
tersebut
untuk
memperkirakan
efisiensi
teknis
dan
pertumbuhan faktor produktivitas total. Untuk contoh, Dilling-Hansen, Madsen dan Smith (2003), Kim (2003), Kneller dan Stevens (2006) menggunakan nilai tambah, sedangkan Lundvall dan Battese (2000), Aswicahyono dan Hill (2002), Battese, Rao dan O'Donnell (2004), Bottasso dan Sembenelli (2004) menggunakan output bruto untuk mengukur output. Pilihan untuk menggunakan salah satu dari ukuran tersebut masih diperdebatkan. Di satu sisi, nilai tambah pendekatan telah menganjurkan 33
karena memiliki keuntungan dari kesederhanaan. Nilai tambah mengukur mengabaikan kesulitan berurusan dengan industri antar dan intra industri arus barang dan jasa sebagai input antara hanya dikecualikan dalam pendekatan. Selain itu, nilai tambah pendekatan dikatakan lebih tepat daripada konsep output dalam kondisi maksimisasi keuntungan oleh perusahaan (van der Wiel 1999). Di sisi lain, nilai tambah pendekatan telah dikritik sebagai konseptual cacat karena tak ada di perusahaan riil nilai tambah nyata ditambahkan sebagai perusahaan tidak memproduksi komoditi dalam satuan nilai tambah (Oulton dan O'Mahony 1994; Hulten 2000). Nilai tambah juga memerlukan pendekatan jenis indeks harga yang untuk melakukan penyesuaian ke nilai konstan. Di sisi lain, harga output dan input antara kerap bergerak dalam proporsi yang tidak tetap (Aswicahyono 1998). Karena pertimbangan di atas, penelitian ini mengadopsi output kotor (gross output) ketimbang nilai tambah sebagai ukuran output. Untuk menurunkan harga ke nilai konstan tahun konstan 2000, digunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IPHB) yang diterbitkan oleh BPS pada empat digit kode industri. 2.4.2. Modal Pengukuran modal dari suatu perusahaan memerlukan banyak informasi termasuk angka penyusutan yang berbeda-bea antara banyak perusahaan. Hal ini pada akhirnya tergantung pada struktur pembiayaan dan biaya kesempatan serta laba ditahan. Data-data ini tidak tersedia dalam survei. Oleh karena itu, untuk memudahkan estimasi modal, modal perusahaan dalam penelitian didekati dengan proksi berupa biaya aktiva tetap dari perusahaan. Biaya aktiva ini disesuaikan dengan nilai 2000 dengan memanfaatkan deflator PDB implisit dan IHPB dari mesin (tidak termasuk produk listrik), konstruksi peralatan transportasi, bangunan tempat tinggal dan nonperumahan. Informasi dari SI digunakan untuk menghitung saham masingmasing jenis aktiva tetap (tanah, bangunan, mesin, kendaraan dan aktiva tetap lainnya) pada empat digit ISIC. Nilai tersebut kemudian digunakan 34
untuk bobot masing-masing individu agregat deflator untuk mendapatkan modal pada tingkat sektor empat digit. 2.4.3. Tenaga Kerja Dalam situasi yang ideal pengukuran input tenaga kerja mencakup baik kuantitas maupun kualitas tenaga kerja. Untuk itu diperlukan data jumlah input tenaga kerja baik seperti hubungan kerja dan jam kerja serta kualitas faktor seperti usia, pendidikan, jenis kelamin dan keterampilan. Sayang, survei BPS tidak mengikutkan jam kerja dan rincian lain mengenai kualitas tenaga kerja. Mengingat keterbatasan ini, input tenaga kerja didekati dengan prokso berupa total jumlah tenaga kerja pada setiap perusahaan. Angka ini diperoleh dari rata-rata jumlah pekerja per hari kerja pada tahun survei, yang mencakup produksi dan pekerja non-produksi. 2.4.4. Bahan Baku Nilai riil bahan baku dalam negeri dan impor digunakan sebagai ukuran dari variabel bahan baku. Nilai nominal dikonversikan ke angka 2000 dengan menggunakan deflator spesifik industri. Deflator ini diturunkan dengan pembobotan harga grosir akhir yang baik pada industri kode tiga digit. Biaya ini didasarkan pada kontirbusi masing-masing komoditas di barang final, sebagaimana dilaporkan dalam Tabel Input-Output (IO) Indonesia 2005 pada 4 digit. Misalnya, berdasarkan Tabel IO, Indonesia 2005 harga grosir akhir yang baik untuk Media Cetak dan Penerbitan (ISIC 3420) terdiri dari biaya kertas (62%), kimia dasar (8%), minyak dan gas bumi (7%), dan produk lainnya (23%). Oleh karena itu deflator untuk Media Cetak dan Penerbitan dihitung sebagai (0,62 x IHPB untuk kertas + 0,08 x IHPB Dasar Kimia + 0,07 x IHPB Alam Minyak dan Gas Bumi + 0,23 x IHPB produk lainnya). Beberapa indeks IHPB digunakan untuk beberapa komoditas Tabel IO sebagai indeks hanya tersedia di tiga-digit ISIC, sedangkan komoditas diklasifikasikan pada empat digit ISIC dalam Tabel IO. Untuk bahan baku impor, deflator yang digunakan adalah indeks bahan baku impor yang diterbitkan oleh BPS.
35
Selain dari variable tersebut, model produktivitas yang dikembangkan dalam penelitian ini juga memerlukan beberapa variabel lain untuk mengeksplorasi lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas pada sektor manufaktur di Indonesia. Variabel-variable ini adalah: skala perusahaan,
orientasi
ekspor,
kepemilikkan
perusahaan
dan
adanya
penelitian dan pengembangan (R&D) kegiatan. Pembangunan dari variabelvariabel ini, signifikansi mereka dan hubungan diharapkan dengan efisiensi teknis dibahas di bawah ini. 2.4.5. Skala Perusahaan Jumlah
pekerja
dapat
digunakan
sebagai
proksi
skala
perusahaan.
Penggunaan ini umum digunakan dalam literatur. Sebagai contoh, studi oleh Pitt dan Lee (1981), Page (1984), Chirwa (2000) dan Chapelle dan Plane (2005) menggunakan jumlah pekerja sebagai proxy ukuran. Atau, ukuran juga dapat diproksi oleh output atau input antara. Studi oleh Lundvall dan Battese (2000) , misalnya, menggunakan nilai input antara untuk ukuran perusahaan. Sementara Sun, Hone dan Doucouliagos (1999) menggunakan rata-rata nilai output untuk ukuran. Dalam studi ini, jumlah pekerja dipilih sebagai proksi untuk ukuran bukan input antara atau output karena tiga pertimbangan. Pertama, output atau nilai tambah sensitif terhadap fluktuasi harga terutama selama krisis di mana tiba-tiba drop harga dan nilai tukar diamati. Hal ini dapat mengakibatkan bias ke bawah untuk perkiraan ukuran perusahaan. Kedua, output kotor tidak mengendalikan untuk kemungkinan outsourcing, sehingga bias ke atas untuk ukuran estimasi. Ketiga, penggunaan tenaga kerja tidak memerlukan indeks untuk disesuaikan ke angka konstan. Dengan demikian, pendekatan ini menghindari masalahmasalah yang terkait dengan penyesuaian output. Hubungan antara ukuran dan efisiensi sendiri masih ambigu, terdapat beragam teori yang mendiskusikan hubungan ini. Teori-teori ini dapat 36
dikategorikan menjadi tiga cabang berbeda tetapi saling berkaitan. Pertama adalah teknologi produksi teori mana ukuran perusahaan ditentukan oleh pertimbangan teknologi produksi. Pada garis ini teori, ukuran maksimal adalah ukuran yang paling efisien bagi perusahaan untuk beroperasi, yang akan bervariasi menurut industri (Anda 1995). Kedua adalah teori biaya transaksi yang memprediksi bahwa ukuran perusahaan bergantung pada perbandingan antara biaya transaksi dalam intra-perusahaan dan mekanisme pasar (Coase 1937; Williamson 1967). Apabila terdapat biaya yang tinggi dalam menggunakan mekanisme pasar, perusahaan akan memilih ukuran yang lebih besar. Sementara , biaya transaksi yang rendah di pasar membuat ukuran
perusahaan
kecil.
Ketiga
adalah
teori
kelembagaan
yang
mengasumsikan bahwa ukuran perusahaan merupakan akibat langsung dari pengaruh lingkungan (Untuk contoh Yang dan Ng 1995; Liu dan Yang 2000; Rajan dan Zingales 2000; Almeida dan Wolfenzon 2004). Menurut teori ini, lingkungan bisnis seperti rezim peraturan dan lembaga-lembaga hukum, efektivitas birokrasi pemerintah dan pengembangan pasar keuangan merupakan faktor yang paling penting yang mempengaruhi ukuran perusahaan. Pada aspek yang lebih sempit hubungan antara ukuran perusahaan dan efisiensi, terdapat sebuah hipotesis yang memprediksi adanya hubungan positif yang kuat antara ukuran perusahaan dan efisiensi (Jovanovic 1982; Hopenhayn 1992). Hipotesis ini didasarkan adanya evolusi dan seleksi pada industri, yang menghasilkan perusahaan-perusahaan efisien bertambah besar. Sementara, perusahaan yang tidak efisien stagnan atau keluar pasar. Ini berarti bahwa bahwa perusahaan terbesar adalah perusahaan yang paling efisien dalam suatu industri sedangkan terkecil adalah perusahaan paling efisien. Beberapa temuan empiris umumnya mengkonfirmasi hubungan positif antara ukuran perusahaan dan efisiensi. Namun, terdapat beberapa kualifikasi dan gradasi pada hubungan ini. Penelitian empiris umumnya menunjukkan pola hubungan beragam, baik itu positif atau negatif. Selain itu, banyak studi juga menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi di 37
samping ukuran perusahaan. Ini berarti, sebuah penelitian empiris di negara tertentu dan industri adalah penting, baik untuk menentukan hubungan antara ukuran perusahaan dan efisiensi serta untuk mengungkap faktorfaktor yang mempengaruhi hubungan ini. 2.4.6. Usia Perusahaan Usia merupakan faktor penentu produktivitas dan efisiens perusahaan. Jumlah tahun beroperasi digunakan sebagai proksi usia perusahaan dalam penelitian ini. Informasi ini tersedia di survei dan umum digunakan dalam literatur (misalnya, Lundvall dan Battese 2000; Phan 2004). Dalam literatur, usia diprediksi memiliki efek positif pada efisiensi (Jovanovic 1982; Hopenhayn 1992). Perusahaan yang relatif tua cenderung memiliki pengalaman lebih dari yang lebih muda. Dengan ini hipotesis ini, mereka telah mengumpulkan lebih banyak pengalaman dengan lingkungan bisnis dan karenanya beroperasi dengan efisiensi yang lebih besar. Namun, di sisi lain argumen itu, perusahaan muda cenderung memiliki mesin yang lebih modern, peralatan dan bangunan. Selain itu, di negara berkembang seperti Indonesia, tidak mungkin ada pengalaman sebelumnya untuk perusahaan tentang bagaimana menghadapi gangguan ekonomi besar seperti krisis 1997-1998. Oleh karena itu, pengaruh usia pada efisiensi mungkin lebih lemah dari yang diperkirakan. Mengingat hal tersebut di atas, maka tidak mengherankan jika studi empiris menunjukkan bukti beragam. Di satu sisi, Chen dan Tang (1987) dan Haddad (1993) menemukan umur untuk secara positif terkait dengan efisiensi. Di sisi lain, Pitt dan Lee (1981) dan Hill dan Kalirajan (1993) mengamati hubungan negatif antara usia dan efisiensi, sementara Lundvall dan Battese (2000) dan Phan (2004) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara usia dan efisiensi. Mengingat ini, arah dan gradasi hubungan tetap menjadi pertanyaan empiris untuk analisis. 2.4.7. Orientasi Penjualan - Ekspor Output 38
Orientasi penjualan dalam penelitian ini diukur dengan rasio output diekspor terhadap total output. Pendekatan ini umum dalam literatur (misalnya, Kim 2003; Hossain dan Karunaratne 2004; Phan 2004). Perusahaan dengan proporsi ekspor yang besar umumnya memiliki tingkat efisiensi yang lebih besar pula. Hal ini disebabkan perusahaan yang berorientasi ekspor harus menghadapi kompetisi internasional dan menjaga produk mereka, layanan dan proses sampai dengan standar tertentu. Selain itu, perusahaan berorientasi ekspor juga berkesempatan belajar dari mitra asing mereka tentang teknologi dan proses produksi baru. Banyak studi telah menegaskan adanya efek positif dari ekspor terhadap efisiensi. Beberapa contoh, misalnya. studi di empat negara Afrika, Bigsten, Collier, et al Dercon. (2000) mengungkapkan bahwa eksportir lebih efisien daripada non-eksportir. Selain itu, mereka menemukan bahwa eksportir meningkatkan efisiensi mereka lebih cepat daripada non-eksportir dari waktu ke waktu. Demikian pula, Mini dan Rodriguez (2000) menunjukkan bahwa ekspor positif terkait dengan efisiensi di Filipina, sementara Kim (2003) menemukan efisiensi yang positif terkait dengan ekspor di Korea Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini menghipotesiskan proporsi output ekspor akan memiliki hubungan yang positif dengan efisiensi. 2.4.8. Kepemilikan Perusahaan Dummy variabel diciptakan untuk mencerminkan kepemilikkan dalam perusahaan. Variabel dummy akan dijelaskan sebagai berikut. DPRI i
=
Dummy variabel untuk kepemilikan negeri-swasta;
=
1 jika kepemilikan saham dalam negeri-swasta adalah 100 sama dengan persen;
DFOR
=
0 Jika tidak.
=
Dummy variabel untuk kepemilikan asing;
=
1 jika pemilik saham asing lebih besar dari 0 persen;
=
0 Jika tidak. 39
Dari di atas, suatu bentuk usaha patungan akan diklasifikasikan sebagai dimiliki asing bahkan ketika pemerintah atau mitra swasta-domestik memiliki saham lebih besar. Klasifikasi ini didasarkan pada studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa mitra asing dominan, terutama pada hal yang berkaitan dengan keuangan dan teknologi, bahkan ketika mereka minoritas pemegang saham di perusahaan-perusahaan Indonesia (Lihat misalnya Aswicahyono dan Hill 1995; Ramstetter 1999; Narjoko dan Hill 2006 ). Dengan
menggunakan
argumen
yang
sama,
sebuah
perusahaan
diklasifikasikan sebagai milik pemerintah jika bagian dari pemerintah lebih besar dari nol, bahkan ketika dimiliki bersama pemerintah dan dalam swasta dalam negeri. Dengan demikian, DFOR
=
Dummy variabel untuk kepemilikan pemerintah;
=
1 jika bagian dari pemerintah lebih besar dari 0 persen;
=
0 Jika tidak.
Dalam studi ini, kepemilikan asing dihipotesiskan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat efisiensi. Penegasan ini telah ditunjukkan dalam sejumlah studi, mengingat biasanya perusahaan asing kurang dibatasi secara finansial karena mereka memiliki kemampuan untuk mencari dukungan keuangan dari perusahaan induk mereka. Mereka juga memiliki hubungan yang lebih besar dengan pasar internasional yang memungkinkan mereka untuk mengalihkan penjualan dari pasar domestik untuk ekspor jika diperlukan. Selain itu, mereka umumnya lebih unggul dalam hal teknologi produksi. Berbeda dengan perusahaan asing, pengaruh kepemilikan pemerintah terhadap efisiensi tidak begitu terang. Di satu sisi, menurut teori mikroekonomi, perusahaan publik pada prinsipnya dapat mencapai tingkat efisiensi yang sama sebagai perusahaan swasta jika mereka beroperasi di bawah maksimisasi laba dan kondisi persaingan sempurna. Jadi, a-priori tidak ada alasan untuk berharap bahwa perusahaan-perusahaan swasta lebih 40
efisien daripada perusahaan publik. Di sisi lain, literatur menyebut beberapa masalah
yang
mempengaruhi
perusahaan
publik,
sehingga
dapat
menghambat pencapaian tujuan efisiensi. Ini termasuk persoalaan kurangnya kontrol pemerintah, kurangnya kontrol melalui pasar modal, kendala anggaran lunak, kurangnya insentif manajemen berdasarkan produktivitas, kurangnya fleksibilitas manajerial karena harus mengikuti peraturan umum yang ketat , dan risiko investasi pengambilalihan oleh pemerintah (GonzalezParamo dan Hernandez De Cos 2005). Beberapa studi empiris memang menunjukkan bahwa kepemilikkan pemerintah menyebabkan berkurangnya tingkat efisiensi (Bitros dan Tsionas 2004; Bottasso dan Sembenelli 2004; Gonzalez-Paramo dan Hernandez De Cos 2005). Dengan semua argumen ini, hubungan antara kepemilikan pemerintah dan efisiensi teknis yang dieksplorasi dalam penelitian ini. 2.4.9. Penelitian dan Pengembangan (R&D) Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan perusahaan akan diproksi dengan pengeluaran perusahaan pada bidang di R&D, yang tersedia dari survei SI. Pendekatan ini juga biasa dan telah digunakan sebelumnya dalam konteks manufaktur Indonesia. Sebuah variabel dummy dibuat untuk mencerminkan apakah perusahaan melakukan pengeluaran R&D. Secara khusus, DR&D
=
Dummy variabel untuk R&D pengeluaran;
=
1 jika perusahaan mengeluarkan R&D pengeluaran pada tahun pengamatan;
=
0 Jika tidak.
Dalam literatur, R&D pengeluaran berpendapat memiliki dampak positif pada efisiensi. Investasi di R&D diharapkan untuk memberikan modal aset material dan meningkatkan kegiatan inovatif, yang pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi perusahaan. Dalam sebuah penelitian untuk Jepang, Torii (1992) menemukan bahwa R&D meningkatkan efisiensi perusahaan. Demikian pula, studi yang lebih baru oleh Dilling-Hansen, Madsen dan Smith 41
(2003) menunjukkan bahwa R&D perusahaan secara signifikan membuat perusahaan lebih efisien di Denmark. Namun, terdapat jeda antara pengeluaran R&D dan potensi dampak pada efisiensi. Dengan demikian, efek jangka pendek efek yang berlaku di R&D seringkali sulit untuk dibuktikan (Dilling-Hansen, Madsen dan Smith 2003). Jeda waktu ini terutama berlaku untuk R&D perusahaan yang baru mulai (Badunenko, Fritsch dan Stephan 2005). Selain itu, peningkatan aktivitas inovatif dari suatu perusahaan juga dapat mengubah interaksi strategis antara perusahaan dalam suatu industri. Dengan demikian, hubungan negatif antara R&D kegiatan dan efisiensi teknis perusahaan dapat dilihat. Misalnya, Gua dan Barton (1990) menemukan dampak negatif dari R&D intensitas pada efisiensi teknis. Mereka berpendapat bahwa kegiatan R&D di industri tertentu adalah prediktor buruk dari inovasi industri bahwa karena sebagian besar dari hasil inovasi yang diterapkan dalam industri lain. Demikian pula, Badunenko, Fritsch dan Stephan (2005) menunjukkan bahwa perusahaan dengan R&D intensitas tinggi kurang teknis efisien dalam manufaktur Jerman. Mengingat bukti-bukti yang bertentangan, sulit untuk memprediksi hubungan antara R&D pengeluaran dan efisiensi teknis perusahaan', demikian arah hubungan itu tetap menjadi pertanyaan empiris.
42
2.5. Hipotesis Sebagai rangkuman dari pembahasan, berikut adalah hipotesis yang diajukan pada penelitian ini:
Hipotesis Null Hubungan antara Produktivitas dan Variabel Independence Variabel Independen Produktivitas Skala Perusahaan ? Usia Perusahaan ? Orientasi Ekspor + Kepemilikan Asing + Kepemilikkan Pemerintah ? R&D ? Catatan: + hubungan positif, - hubungan negatif, ? tidak terdapat hubungan yang jelas.
---oooOOOooo---
43
Bab 3
Temuan dan Pembahasan
3.1. Pengantar Bagian ini akan memaparkan dan membahas hasil estimasi dari tingkat produktifitas (Total Factor Productivity, TFP) dan efisiensi teknis dari Industri Manufaktur Indonesia secara agregat. Model empiris yang digunakan untuk melakukan estimasi telah dibahas sebelumnya pada Bab 2. Estimasi untuk setiap Sub Sektor dilakukan secara terpisah berdasarkan 2 digit ISIC. Klasifikasi ini adalah Makanan dan Minuman (ISIC 31), Tekstil (ISIC 32), Kayu (ISIC 33), Kertas dan Percetakan (ISIC 34), Kimia, Plastik dan Karet (ISIC 35), Mineral Bukan Metal (ISIC 36), Besi dan Baja serta Produk Besi dan Baja (ISIC 37 & 38), dan Manufaktur Lain (ISIC 39). Bagian ini dibagi ke dalam 4 sub-bab. Sub-bab 3.1 mendiskusikan hasil estimasi dari parameter persamaan. Sub-bab 3.2 memaparkan hasil estimasi dari pertumbuhan tingkat produktifitas (TFP) dan efisiensi teknis. Akhirnya, sub-bab 3.3 memberikan ringkasan temuan. 3.2. Parameter Fungsi Produksi dan Elastisitas Hasil estimasi berupa parameter persamaan the stochastic production function akan dibahas pada bagian ini, dimulai dengan melakukan test pada spesifikasi pada fungsi produksi yang digunakan. Dari model umum yang 44
disampaikan pada Bab 2 (Persamaan 1), beberapa uji hipotesis tentang spesifikasi persamaan ini akan dilakukan. Hasil uji hipotesis ini disampaikan pada Tabel 3.1. Hipotesis null pertama yang akan diuji adalah apakah spesifikasi Cobb-Douglas adalah cukup untuk merepresentasikan data set yang ada. Dari Tabel 3.1, hipotesis ini tolak pada level signifikansi 1%.Dus bisa disimpulkan bahwa spesifikasi translog yang digunakan dalam penelitian adalah tepat ketimbang spesifikasi Cobb-Douglas. Hipotesis null kedua adalah bahwa tidak terdapat kemajuan teknikal pada Sektor Manufaktur Indonesia. Hipotesis ini juga ditolak secara signifikan pada level 1% dan 5%. Hipotesis null ketiga yang diuji adalah apakah kemajuan teknikal yang ada bersifat netral atau tidak. Hipotesis ini juga ditolak pada level signifikansi 1%, kecuali untuk Sektor Manufaktur Lain yang menolak hipotesisi ini pada level 10%. Uji hopotesis terakhir adalah tingkat produktifitas tidak berubah selama periode pengamatan, atau dengan kata lain apakah tidak terdapat perubahan tingkat TFP selama periode pengamatan. Uji hipotesis terakhir ini juga ditolak pada level signifikansi 1%, kecuali pada Industri Kayu yang ditolak pada level signifikansi 10%. Dari hasil ini, spesifikasi yang dilakukan berupa spesifikasi persamaan translog dengan perubahan waktu, seperti yang dispesifikasikan pada Persamaan (1), adalah tepat merepresentasikan teknologi produksi yang digunakan pada 8 aggregat sektor industri manufaktur Indonesia. Tabel 3.2 memberikan hasil estimasi parameter dari stochastic production frontier dari 8 aggregat Sub Sektor Industri yang ada. Parameter dari fungsi produksi ini tidak memiliki implikasi ekonomis langsung. Untuk itu, elastisitas dari output terhadap modal, tenaga kerja, bahan baku dan energy, dengan koefisien return to scale (RTS) akan dilakukan. Hasil dari kalkulasi disampaikan pada Tabel 6.3. Selama periode 2000-2004, RTS adalah sebesar 1.01, yang mengindikasikan perusahaan lebih besar memiliki keuntungan relatif ketimbang perusahaan yang lebih kecil. RTS kemudian menjadi lebih rendah pada periode 2004-2007, sebesar 0.99 untuk total sampel. Hal ini mengindikasikan keuntungan dari beroperasi pada skala besar menjadi berkurang seiring berjalannya waktu. 45
Tabel 3.1: Uji Hipotesis Persamaan Fungsi Produksi Hipotesis Null
31 Makanan & Minuman
32 Tekstil
Cobb-Douglas βjl =0
1039.85***
611.26***
No TP βt =βtt= βjt= 0
159.76***
Neutral TP βjt =0 Time Invariant TE
33 Kayu
34 Kertas dan Percetakan
35 Kimia, Plastik dan Karet
36 Mineral Bukan Metal
37 & 38 Besi dan Baja
39 Manufaktur Lain
113.63***
141.54***
252.22***
137.23***
174.94***
54.43***
69.45***
18.11***
41.25***
13.54***
10.85**
9.96**
247.37***
78.57***
22.09***
114.00***
14.81*
30.19***
390.01***
231.95***
19.87*
170.59***
142.48***
42.66***
Critical Values (α=0.10)
Critical Values (α=0.05)
Critical Values (α =0.01)
22.31
25
30.58
9.86**
7.78
9.49
13.28
34.03***
11.97*
10.64
12.59
16.81
70.50***
56.27***
18.55
21.03
26.22
θ2000=…=θ2007=1
Catatan: Kalkulasi penulis. Catatan: the likelihood ratio statistics dihitung sebagai (Sum Squares of Error of the restricted model - Sum Squares of Error of the unrestricted model/σ2 restricted model) (Lee and Schmidt, 1993, p.245). *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%. Critical values didasarkan are chi-square distribution. Subscripts i and j merepresentasikan factor inputs (modal, tenaga kerja, bahan antra dan energi).
46
Tabel 3.2: Estimasi Persamaan Fungsi Produksi Variable
Constant Capital Labour Material
Parameter
β0 βK βL βM
Energy
βE
Time
βt
(Capital)2
βKK
(Labour)2
βLL
(Material)2 (Energy)2 Capital*Labour Capital*Material
βMM βEE βKL βKM
31 Makanan & Minuman
32 Tekstil
33 Kayu
34 Kertas
35 Kimia
36 Mineral Nonmetal
37 & 38 Besi
39 Lainnya
6.562**
4.600***
4.036***
2.382***
5.101***
3.633***
0.584
1.807***
-10.32
-3.08
-3.42
-7.29
-2.94
-0.91
-2.79
-2.28
-0.003
0.180***
0.121
-0.032
0.265***
0.216***
0.166**
0.216
(-0.10)
-4.49
-1.72
(-0.43)
-4.71
-2.61
-2.4
-1.45
0.909***
0.738***
0.564***
1.003***
1.022***
0.161
0.732***
1.031***
-14.69
-8.63
-3.65
-5.9
-9.83
-1.01
-4.92
-2.79
0.108**
0.175***
0.427***
-0.089
0.463***
0.539***
0.515***
-0.203 (-0.85)
-2.45
-3.17
-4.32
(-0.89)
-6.68
-6.02
-5.9
0.202***
0.196***
0.079
0.229*
-0.178***
0.335***
-0.105
-0.023
-5.06
-4.4
-0.88
-2.5
(-2.78)
-3.84
(-1.20)
(-0.10)
0.111***
0.225
0.018
-0.013
0.053
-0.009
0.022
0.209
-6.67
-1.8
-0.77
(-0.57)
-1.66
(-0.40)
-0.88
-0.7
0.004*
-0.001
0.008***
0
-0.005**
0.014***
0.001
-0.009
-2.31
(-0.43)
-3.18
(-0.00)
(-2.46)
-2.81
-0.45
(-0.80)
0.009
0.052***
0.018
0.022
0.002
0.070***
-0.009
0.052
-1.65
-7.61
-1.21
-1.2
-0.25
-4.48
(-0.73)
-1.36
0.074***
0.066***
0.052***
0.049***
0.042***
0.056***
0.048***
0.055***
-28.18
-21.2
-8.47
-8.49
-10.06
-9.45
-9.77
-4.41
0.038***
0.018***
0.021***
0.024***
0.034***
0.024***
0.032***
-0.001
-15.97
-7
-3.7
-3.92
-7.31
-5.01
-5.73
(-0.11)
-0.007
0.022***
0.013
-0.021
0.015**
0.044***
0.003
0.016
(-1.61)
-3.27
-1.07
(-1.33)
-2.32
-3.23
-0.25
-0.49
-0.013***
-0.023***
-0.033***
0.012
-0.024***
-0.038***
-0.030***
-0.009
(-3.81)
(-5.17)
(-3.95)
-1.3
(-4.50)
(-4.61)
(-3.82)
(-0.42)
47
Tabel 3.2: Estimasi Persamaan Fungsi Produksi (Lanjutan) Variable
Parameter
Capital*Energy
βKE
Labour*Material Labour*Energy Material*Energy Capital*Time
βLM βLE βME βKt
Labour*Time
βLt
Material*Time
βMt
Energy*Time R bar square
βEt
31 Makanan & Minuman
32 Tekstil
0.014***
0.006
33 Kayu
0.004
34 Kertas
-0.001
35 Kimia
0.015***
36 Mineral Nonmetal -0.025***
37 & 38 Besi
39 Lainnya
0.021***
0.008
-3.77
-1.41
-0.54
(-0.07)
-2.82
(-2.80)
-2.6
-0.34
-0.069***
-0.102***
-0.062***
-0.060***
-0.057***
-0.110***
-0.036***
-0.106***
(-13.07)
(-14.25)
(-4.62)
(-3.76)
(-6.68)
(-7.55)
(-2.85)
(-4.10)
0.010*
0.002
0.011
-0.009
-0.029***
0.012
-0.01
-0.024
-2.03
-0.41
-0.83
(-0.56)
(-3.33)
-0.97
(-0.83)
(-0.74)
-0.081***
-0.042***
-0.036***
-0.042***
-0.033***
-0.031***
-0.049***
0.013
(-19.98)
(-9.61)
(-3.99)
(-4.46)
(-5.02)
(-3.86)
(-6.27)
-0.69
-0.002**
0.001
0.002
-0.001
-0.002
-0.001
-0.004**
0
(-2.38)
-0.73
-1.02
(-0.48)
(-1.23)
(-0.42)
(-2.23)
(-0.09)
-0.002
-0.002
-0.001
0.014***
-0.001
0.008***
0.004
0.017***
(-1.82)
(-1.39)
(-0.54)
-4.2
(-0.69)
-3.63
-1.83
-2.94 -0.005
0
-0.003***
0.001
0.005***
0.002
0
-0.002
-0.42
(-3.18)
-0.81
-3.04
-1.89
(-0.13)
(-1.14)
(-1.51)
-0.005***
0
-0.005***
-0.004**
-0.002**
-0.004***
0
-0.005
(-6.69)
0
(-2.83)
(-2.29)
(-2.21)
(-3.21)
(-0.26)
(-1.46)
0.9839
0.9882
0.9813
0.9834
0.9778
0.9848
0.9805
0.9825
Catatan: Kalkulasi penulis.. *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%. Critical values didasarkan are chi-square distribution. Subscripts i and j merepresentasikan factor inputs (modal, tenaga kerja, bahan antra dan energi).
48
Tabel 3.3: Elastisitas dan RTS Kapital
Tenaga Kerja
2000-2004 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas dan Percetakan 35 Kimia, Plastik dan Karet 36 Mineral Bukan Metal 37 Besi dan Baja 38 Produk Besi dan Baja 39 Manufaktur Lain
0.02 0.02 0.03 0.02 0.04 0.06 0.04 0.02 0.03
0.16 0.22 0.20 0.15 0.24 0.16 0.17 0.25 0.19
0.69 0.69 0.67 0.63 0.62 0.63 0.67 0.65 0.67
0.13 0.08 0.12 0.11 0.14 0.15 0.13 0.09 0.12
1.00 1.01 1.02 0.91 1.04 1.00 1.01 1.01 1.01
2004-2007 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas dan Percetakan 35 Kimia, Plastik dan Karet 36 Mineral Bukan Metal 37 Besi dan Baja 38 Produk Besi dan Baja 39 Manufaktur Lain
0.02 0.03 0.03 0.01 0.04 0.06 0.01 0.01 0.03
0.15 0.21 0.20 0.20 0.22 0.19 0.17 0.30 0.19
0.69 0.67 0.67 0.66 0.63 0.62 0.68 0.66 0.67
0.11 0.09 0.11 0.09 0.13 0.13 0.12 0.07 0.11
0.96 1.00 1.01 0.97 1.01 1.00 0.98 1.04 0.99
Waktu
Bahan Antra
Energi
RTS
Sumber: Kalkulasi Penulis.
Rata-rata elastisitas output untuk seluruh Sektor Manufaktur pada seluruh periode pengamatan terhadap modal adalah 0.03. Sementara, untuk individual industri estimasi bervariasi antara 0.01 ke 0.06. Estimasi ini dapat dikatakan relatif rendah, yang mengindikasikan produktivitas yang rendah dari modal di Indonesia. Akan tetapi, figur ini tentu saja harus diinteprestasikan secara berhati-hati, mengingat modal adalah faktor yang penting dalam mendorong tingkat pertumbuhan. Terutama dalam kasus Indonesia, dimana terdapat tenaga kerja yang berlimpah, menambah kapasitas pabrik akan menyebabkan bertambahnya tingkat output dalam proporsi yang seimbang, karena perusahaan akan dengan mudah menyerap tenaga kerja yang ada. Begitu juga, estimasi ini adalah konsisten dengan hasil estimasi lain dari telaah empiris Sektor Manufaktur di Indonesia (Lihat, misalnya, Amiti and Konings 2005). Temuan ini juga tidak terlalu mengherankan mengingat produktivitas modal biasanya memang rendah pada iklim perekonomian yang 49
memiliki tenaga kerja berlimpah. Misalnya, Wacker, Yang and Sheu (2006) berargumen bahwa tingginya elastisitas modal biasanya hanya diobservasi pada negara-negara yang dimana sektor manufakturnya sudah maju dan fokus pada produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Pada negaranegara ini, ada kebutuhan terhadap modal untuk berproduksi pada sektor manufaktur dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya, Sektor Manufaktur Indonesia mayoritas adalah produk yang berbasiskan sumber daya alam atau produk sederhana. (Aswicahyono 1998a). Dus, kebutuhan modal pada Sektor Manufaktur Indonesia tidaklah sebesar pada kebutuhan modal pada negaranegara yang sektor manufaktur telah cukup maju. Demikan pula, investasi modal biasanya memiliki jeda yang cukup panjang sebelum berdampak pada tingkat produksi dan produktivias dari perusahaan. Semua ini menyebabkan rendahnya elastisitas modal, meski modal sendiri memiliki signifikansi yang tinggi. Dari Tabel 3.3, rata-rata elastisitas tenaga kerja adalah 0.19. Temuan ini juga konsisten dengan studi lain menggunakan data statistik industri.(Misal: Aswicahyono 1998a; Timmer 1999; Vial 2006). Namun, estimasi ini mungkin hanya memberikan batas bawah dari elastisitas yang sesungguhnya karena jumlah tenaga kerja umumnya dilaporkan lebih kecil. (Aswicahyono 1998a; Timmer 1999). Elastisitas tenaga kerja juga konstan sepanjang masa pengamatan. Sementara, elastisitas bahan baku adalah elastisitas yang paling tinggi sebesar 0.61 sampai 0.69. Angka ini tidak terlalu mengherankan mengingat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku sifat industri manufaktur Indonesia yang memiliki nilai tambah kecil. 3.3. Pertumbuhan Tingkat Produktifitas Dalam studi ini, pertumbuhan tingkat produktifitas (TFP) dikalkulasi sebagai perambahan dari Pertumbuhan Teknologi (TP), perubahan Tingkat Efisiensi (TE) dan Skala Ekonomi (SE). Hasil dari kalkulasi direportasekan pada Tabel 3.4. Dari total sampel yang ada, TFP tumbuh secara rat-rata sebesar 0.22% per tahun. Peningkatan Tingkat Efisiensi (TE) merupakan kontributor utama dari
pertumbuhan
tingkat
produktifitas 50
di
Indonesia,
sementara
pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala Ekonomi (SE) memberikan kontribusi negatif. TP yang tumbuh secara negatif sebesar 0.17% per tahun berdampak pada hilangnya separuh potensi pertumbuhan tingkat produktifitas pada Sektor Manufaktur selama 2000-2007. Sementara, dampak dari pertumbuhan negatif SE, sebesar -0.45%, mengurangi potensi pertumbuhan produktifitas sebesar 10%. Pada level disagregasi 2 digit ISIC, TFP tumbuh tercepat pada Sektor Kimia, dengan pertumbuhan tingkat produktifitas rata-rata sebesar 0.21% per tahun, diikuti oleh Mineral Nonmetal, dengan tingkat pertumbuhan produktifitas sebesar 0.14%, dan Sektor Makanan dan Minuman dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0.09%. Sementara pertumbuhan produktifitas terendah terjadi pada Industri Kayu, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 1.18%, diikuti oleh Sektor Manufaktur Lain dengan pertumbuhan sebesar 0.31 per tahun, terakhir adalah Sektor Tekstil yang mengalami pertumbuhan sebesar -0.08%. Seperti halnya dengan keseluruhan sampling, pertumbuhan tingkat produktifitas pada hampir seluruh Sub-Sektor Industri lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan Tingkat Efisiensi, kecuali Sektor Manufaktur Lain dan Mineral Nonmetal yang digerakkan oleh Pertumbuhan Teknologi. Aspek lain yang menarik dari pergerakkan produktifitas industri manufaktur Indonesia adalah polanya yang ada antar waktu. Sebagaimana terlihat pada Tabel 3.4, TFP terlihat mengalami penurunan bahkan pertumbuhan negatif selama kurun waktu 2000-2004. TFP untuk Industri Manufaktur secara keseluruhan, misalnya, mencatat pertumbuhan negatif sebesar -3,41% pada 2001, -1,50% pada 2002, -1,04% pada 2003 dan -0,06% pada 2004. Akan tetapi, TFP tercatat kembali meningkat dan mengalami pertumbuhan positif semenjak 2004 hingga 2007, dengan tingkat pertumbuhannya yang terus naik.
51
Tabel 3.4: Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) Makanan dan Minuman
Tahun
Tekstil
Kayu
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
2000-01 2001-02 2002-03 2003-04 2004-05 2005-06 2006-07
3.2 1.2 0.5 3.4 4.4 4.8 4.7
-3.19 -2.91 -2.9 -1.13 -3.09 -3.33 -3.26
-0.05 -0.29 -0.3 -0.32 -0.4 -0.2 -0.21
-0.04 -2 -2.7 1.95 0.91 1.27 1.23
5.55 3.21 1.22 2.55 3.54 3.78 4.25
-5.29 -4.74 -3.67 -2.9 -2.78 -1.96 -1.56
-0.27 -0.26 -0.3 -0.17 -0.27 -0.23 -0.23
-0.01 -1.79 -2.75 -0.52 0.49 1.59 2.46
0.58 0.48 0.38 0.3 0.21 0.12 1.11
-4 -9.87 -0.81 4.55 -1.9 0.49 1.22
-0.17 -0.12 -0.17 -0.16 -0.07 -0.27 -0.14
-3.59 -9.51 -0.6 4.69 -1.76 0.34 2.19
2000-07
3.17
-2.83
-0.25
0.09
3.44
-3.27
-0.25
-0.08
0.45
-1.47
-0.16
-1.18
Kertas Tahun
Kimia
Mineral Nonmetal
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
2000-01 2001-02 2002-03 2003-04 2004-05 2005-06 2006-07
-1.11 -0.53 0.1 0.69 2.3 2.9 2.98
-3.21 -1.94 0.9 -1.78 2.11 -1.11 -1.16
-0.59 -0.36 -0.25 -0.45 -0.34 -0.37 -0.29
-3.33 -2.83 0.75 -1.54 4.07 1.42 1.53
-1.15 -1.19 0.75 -2.99 3.06 -2 -2.72
-0.97 0.33 -0.19 -1.11 2.32 3.65 3.54
0.97 0.33 0.69 0.87 -0.42 -0.45 -1.83
-1.15 -0.53 1.25 -3.23 4.96 1.2 -1.01
0.58 0.48 0.38 0.3 0.21 0.12 1.11
-4 -5.46 -0.81 4.55 2.9 0.49 1.22
-0.17 -0.12 -0.17 -0.16 -0.07 -0.27 -0.14
-3.59 -5.1 -0.6 4.69 3.04 0.34 2.19
2000-07
1.05
-0.88
-0.38
0.01
-0.89
1.08
0.02
0.21
0.45
-0.16
-0.16
0.14
Tabel 3.4: Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) (Lanjutan) Besi dan Baja Tahun
Manufaktur Lain
Total
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
TP
TE
SE
TFP
2000-01 2001-02 2002-03 2003-04 2004-05 2005-06 2006-07
-2.22 -4.04 -3.74 -2.33 1.09 0.78 1.17
-1.15 3.31 2.67 4.65 1.12 0.09 1.67
-0.42 -2.2 -0.48 -0.49 -0.08 1.09 -0.35
-3.79 -2.93 -1.55 1.83 2.13 1.96 2.49
1.14 0.77 0.4 0.03 -0.33 -0.73 -1.08
0.7 0.21 -0.54 -0.9 3.14 -4.73 2.25
-0.25 0.02 -0.15 -0.48 -0.4 -0.33 -0.9
1.59 1 -0.29 -1.35 2.41 -5.79 0.27
-2.87 -0.98 -1.01 -1.11 0.07 1.98 2.76
0.01 0.05 0.08 1.27 2.09 1.19 1.16
-0.55 -0.57 -0.11 -0.22 -0.69 -0.38 -0.6
-3.41 -1.5 -1.04 -0.06 1.47 2.79 3.32
2000-07
-1.33
1.77 -0.42 0.02 0.03 0.02 Sumber: Kalkulasi Penulis.
-0.36
-0.31
-0.17
0.84
-0.45
0.22
52
Pertumbuhan tingkat TFP yang positif semenjak 2004 terlihat baik pada Industri Manufaktur secara keseluruhan maupun pada masing-masing industri pada disagregasi 2 digit ISIC. Pada Subsektor Mineral Nonmetal misalnya pertumbuhan tingkat TFP naik dari -0,6% pada 2002-2003 menjadi 4,69% pada 2003-2004., meski kemudian kenaikkan ini termoderasi hingga 0,34% pada 2006. Akan tetapi, pada 2007, Subsektor ini kembali mengalami kenaikkan tingkat TFP yang signifikan sebesar 2,19%. Demikian juga, pada Industri Tekstil terdapat tren kenaikkan tingkat produktifitas yang stabil mulai dari 0,49% pada 2004-2005 menjadi 2,46% pada 2006-2007, meski secara
rata-rata
keseluruhan
industri
ini
mengalami
pertumbuhan
produktifitas yang negatif selama 2000-2007. Pola yang sama, penurunan selama kurun waktu 2000-2004, dan kemudian naik selama 2004-2007 pula terlihat pada Subsektor lain pada 2 digit ISIC. Penurunan tingkat produktifitas Sektor Manufaktur selama kurun waktu 2000-2004 agaknya disebabkan oleh masih dilakukannya konsolidasi kebijakan perekonomian serta munculnya beragam landasan dan pengaturan baru yang perlu dilakukan penyesuaian oleh pelaku usaha industri saat itu. Dengan dimulainya era reformasi, lanskap perekonomian berubah total dengan kehidupan politik serta sosial yang lebih terbuka. Begitu juga diterapkannya otonomi daerah, di mana terdapat peningkatan dan peran daerah dalam perekonomian. Pada tahun 2000 ke atas, juga terdapat banyak peraturan dan perundang-undangan baru yang ditetapkan, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memerlukan waktu bagi bisnis terutama di Sektor Manufaktur untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, pasca krisis 1997/1998, Sektor Manufaktur nasional masih dihadapkan pada kelebihan kapasitas akibat ekspansi yang banyak dilakukan sebelum krisis. Pada saat yang sama, permintaan dalam negeri masih belum cukup kuat akibat jatuhnya pendapatan di saat krisis. Akibatnya, bisnis tidak melakukan banyak ekspansi berupa penambahan kapital dan aset lainnya yang menyebabkan minimnya daya dorong bagi peningkatan produktifitas. Dari dua alasan ini agaknya dapat dipahami bila tingkat TFP terpantau menurun, bahkan tercatat negatif selama kurun waktu 2000-2004.
53
Namun, seiring dengan konsolidasi dan berbagai penyesuaian dalam perilaku dan cara berbisnis oleh pelaku Sektor Manufaktur, peningkatan tingkat produktifitas berlahan mengalami kenaikan. Kenaikan ini juga agaknya dipicu oleh penambahan kapasitas terpasang berupa perluasan tingkat produksi baik melalui penambahan pabrik baru atau renovasi dan adapatasi mesin atau teknologi baru. Tabel 3.5: Perbandingan Tingkat Pertumbuhan (TFP) Penulis
Aswicahyono, Bird and Hill Aswicahyono, Bird and Hill Aswicahyono, Bird and Hill Aswicahyono Aswicahyono Aswicahyono Aswicahyono Aswicahyono Timmer Timmer Timmer Timmer Timmer Osada Vial Vial Vial Vial Vial Ikhsan Modjo Ikhsan Modjo Ikhsan Modjo Ikhsan Modjo Ikhsan Modjo Ikhsan Modjo
Periode
Pertumbuhan Nilai Tambah
Modal
Tenaga Kerja
TFP
%
%
%
%
1976-81
na
na
na
0.7
1982-85
na
na
na
1.1
1986-91
na
na
na
2.1
1976-80 13 7.8 1981-83 4 13.4 1984-88 13 8.7 1989-93 19 14.7 1976-93 13 10.9 1975-81 8.9 na 1982-85 8.5 na 1986-90 15.2 na 1991-95 13.2 na 1975-95 11.5 na 1985-90 na na 1976-80 na na 1981-83 na na 1984-88 na na 1989-95 na na 1976-95 na na 1988-92 na na 1993-96 na na 1997-00 na na 2000-04 na na 2004-07 na na 2000-07 na na Sumber: Aswicahyono, Bird and Hill (1996), Aswicahyono (1998b), (2006), Osada (1994) is from Aswicahyono (1998b).
8.9 7.7 6 8.3 7.7 na na na na na na na na na na na na na na na na na Timmer
1.1 -4.9 5.5 6 2.7 1 0.1 7.9 2.1 2.8 3.6 1.4 -0.1 5.1 5.6 3.5 2.59 3.12 2.9 -1.50 1.88 0.22 (1999) and Vial
Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pertumbuhan tingkat produktifitas sebelum terjadinya krisis, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.5, pertumbuhan produktifitas yang terjadi selama kurun waktu 2000-2007 adalah lebih rendah ketimbang pertumbuhan yang terjadi sebelum krisis ekonomi di tahun 54
1997. Bahkan, bila dilakukan pentahapan selama dua periode berbeda 20002004 dan 2004-2007, terlihat pada tabel yang sama bahwa sesungguhnya terjadi pertumbuhan negatif dari tingakt produktivitas Sektor Manufaktur Indonesia
sebesar
-1,50%
selama
2000-2004.
Pertumbuhan
tingkat
produktifitas baru kembali mencatat tingkat positif di angka rata-rata 1,88% selama 2004-2007. 3.4. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas Dalam penelitian ini, selain fluktuasi dari tingkat produktifitas juga ditelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produktifitas. Untuk itu, sebagaimana telah ditetapkan pada Bab 2, beberapa variabel yang diharapkan mampu
menjelaskan
perubahan
tingkat
produktifitas
pada
industri
manufaktur Indonesia akan ditelaah dan dieksplorasi lebih jauh hubungannya dengan tingak produktifitas sektor manufaktur Indonesia. Variabel-variabel ini adalah variabel Skala Perusahaan, Usia Perusahaan, Orientasi Penjualan, Kepemilikkan Perusahaan dan Keberadaan Penelitian dan Pengembangan pada perusahaan tersebut. Untuk menelaah hubungan ini, persamaan empiris sebagaimana yang dideskripsikan pada Bab 2, Persamaan 7, akan diestimasi dan dilaporkan hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 3.6. Hasil dari estimasi tersebut akan digunakan untuk menguji hipotesis sebagaimana yang tercantum pada Bab 2, Bagian 2.5.
55
Tabel 3.6: Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Produktifitas 31 Makanan & Minuman
34 Kertas dan Percetakan
35 Kimia, Plastik dan Karet
36 Mineral Bukan Metal
37 & 38 Besi dan Baja
39 Manufaktur Lain
Total Sampling
-0.0510***
-0.1285***
-0.0603***
-0.0859***
-0.0679***
-0.0132
-0.0634***
(-13.40)
(-16.26)
(-17.81)
(-15.64)
(-16.22)
(-1.24)
0
0.0762***
0.0370***
-0.0685***
-0.0383***
-0.0046
0.0634***
0.0947***
0.0232***
0
0
-7.34
(-8.63)
(-9.46)
(-0.75)
-12.6
-6.74
0
-0.0673***
-0.0883***
-0.0035
0.0217
-0.0723***
0.0721***
0.0087
-0.0560**
-0.0172***
-0.01
-0.01
(-0.37)
-0.65
(-6.17)
-3.31
-0.6
(-2.04)
0
-0.0876***
-0.1350***
-0.1071***
-0.2104***
-0.2779***
-0.2696***
-0.1620***
-0.0989
-0.2001***
-0.02
-0.02
(-3.71)
(-3.79)
(-13.87)
(-8.50)
(-8.44)
(-1.61)
0
Pemerintah
0.2140***
0.0522***
-0.0706***
-0.4253***
-0.1273***
-0.2050***
-0.1130***
0.1403***
0.0168***
-0.01
-0.01
(-0.09)
(-3.64)
(-10.40)
(-9.54)
(-7.06)
-0.29
0
Penelitian
-0.0274**
-0.0467***
-0.0014
-0.1018***
-0.1134***
-0.1813***
-0.0928***
0.0139
-0.0610***
-0.01
-0.01
-56.07
-35.59
-97.49
-43.65
-41.92
-4.47
0
Skala
32 Tekstil
33 Kayu
-0.1453***
-0.0275***
0
0
0.0576***
Usia
Ekspor Asing
Sigma
0.2492
0.1947
0.2153
0.2982
0.2316
0.2186
0.2341
0.198
Catatan: Kalkulasi penulis.. *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%. Critical values didasarkan are chi-square distribution.
56
0.2941
Sebelum melangkah lebih jauh dengan menjelaskan hasil pada Tabel 3.6, pembaca perlu diinformasikan bahwa komputasi dari hubungan ini dilakukan dalam konteks inefisiensi teknis. Hal ini berarti tanda negatif pada koefisien menujukkan hubungan yang positif antara produktifitas dan variabel tersebut. Sementara, koefisien yang positif menandakan sebaliknya: terdapat hubungan negatif antara variabel dimaksud dengan tingkat produktifitas pada perusahaan. Dari tabel 3.6, semua koefisien Skala Perusahaan menunjukkan tanda negatif pada semua industri, yang mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas. Semua koefisien ini juga signifikan pada level 1%, kecuali untuk Sub-Sektor Manufaktur Lain. Dus, hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas tidak sekuat pada Sub-Sektor lain. Hubunga antara ukuran perusahaan dan produktifitas terkuat ada pada industri Makanan dan Minuman, diikuti oleh Industri Kertas. Sementara hubungan positif terlemah terdapat pada Manufaktur Lain dan Industri Tekstil. Hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan lain dari berbagai negara (Caves and Barton 1990; Caves 1992; Lundvall and Battese 2000). Demikian pula, pada Sektor Manufaktur Indonesia, perusahaan berskala besar umumnya adalah perusahaan multinasional dan berorientasi ekspor, yang memiliki kekuatan pasar dan akses pada tenaga kerja trampil. Sehingga tidak mengherankan bila dideteksi adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dan tingkat produktifitas. Dari Tabel 3.6, hasil estimasi menunjukkan adanya hubungan negatif antara usia perusahaan dengan tingkat produktifitas pada mayoritas industri. Koefisien dari variabel usia adalah positif pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja dan Manufaktur Lain. Sementara koefisien usia bertanda negatif pada industri selain itu. Koefisien negatif ini juga signifikan pada level 1% kecuali pada Mineral Nonmetal. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan dengan usia lebih tua pada industri 57
Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain adalah lebih memiliki produktifitas yang lebih rendah. Temuan ini juga konsisten dengan penelitian sejenis sebelumnya, yang mendapatkan hubungan yang positif antara tingkat produktifitas dan usia perusahaan pada industri manufaktur Indonesia (Hill and Kalirajan 1993; Viverita 2005). Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena tergantung pada jenis industri. Ada pun estimasi dari koefisien variabel dummy untuk ekspor menunjukkan hasil negatif pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Kimia, dan Manufaktur Lain. Koefisien ini juga signifikan pada level 1% untuk seluruh industri kecuali pada Industri Kayu dan Manufaktur Lain. Pada Industri Kayu, koefisien yang ada signifikan pada level 5%, sementara pada Industri Manufaktur Lain, koefisien ini tidak signifikan sama sekali. Sebaliknya, koefisien ekspor dummy didapati positif untuk industri Kertas, Mineral Nonmetal serta Besi dan Baja. Akan tetapi, koefisien ini hanya signifikan pada level 1% di Industri Mineral Nonmetal, sementara untuk kedua industri lain didapati tidak signifikan sama sekali. Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahawa perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif ketimbang perusahaan yang tidak. Dus, dapat dikatakan bahwa partisipasi pada aktifitas ekspor akan meningkatkan produktifitas dari perusahaan. Hasil ini juga paralel dengan hasil yang didapatkan pada studi-studi sebelumnya tentang hubungan antara orientasi ekspor dan tingkat efisiensi (Hill and Kalirajan 1993; Sjoholm 1999; Aswicahyono and Hill 2002). Penyebab dari hubungan yang positif ini adalah 58
partisipasi ekspor merupakan indikator dari kemampuan perusahaan untuk mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Dus dapat diaharapkan bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan ekspor memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak melakukannya. Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik dalam hal teknologi produksi dan proses produksi. Mereka juga lebih mampu untuk memperkerjakan tenaga ahli, baik lokal maupun dari luar negeri. Hasil ini juga konsisten dengan temuan-temuan lain pada industri manufaktur di Indonesia (Batra and Tan 2003; Viverita 2005; Margono and Sharma 2006; van Dijk and Szirmai 2006). Dus, dapat disimpulakn terdapat hubungan positif antara kepemilikkan asing dan produktifitas pada Sektor Manufaktur di Indonesia. Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal, serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%. Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien in ipun adalah signifikan pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas. Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain. Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang 59
positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia. Temuan ini adalah konsisten dengan temuan lai sebagaimana didiskusikan pada Bab 2. Salah satu alasan dari adanya hubungan yang positif antara tingkat produktifitas dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan adalah, dengan riset, perusahaan bisa menemukan dan beradaptasi dengan cara dan produksi baru yang memungkinkan mereka mendapat tambahan produktifitas.
---oooOOOooo---
60
Bab 4
Kesimpulan
Bab ini akan memberikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi dari hasilhasil yang didapatkan pada penelitian ini. Terdapat beberapa hasil menarik yang didapatkan dari penelitian ini. Beberapa hasil ditemukan konsisten dengan yang didiktumkan dalam teori-teori ekonomi maupun hasil temuan yang didapatkan penelitian-penelitian sejenis. Sementara, beberapa hasil lain adalah baru dalam arti bertolak belakang dengan teori atau tidak didapati pada penelitian sebelumnya. Ringkasan dari temuan ini adalah sebagai berikut. 4.1. Temuan Penelitian 4.1.1. Pertumbuhan Tingkat produktifitas Dari hasil estimasi tingkat pertumbuhan tingkat produktifitas ditunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan produktifitas yang positif sebesar rata 0.22% per tahun selama tahun 2000 sampai dengan 2007 pada Sektor Manufaktur di Indonesia. Peningkatan Tingkat Efisiensi (TE) merupakan kontributor utama dari pertumbuhan tingkat produktifitas di Indonesia, sementara pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala Ekonomi (SE) memberikan kontribusi negatif, sebesar masing-masing -0.17% dan 0.45% per tahun selama 2000-2007. Dari hasil estimasi juga didapatkan bahwa pada 2 digit ISIC level, TFP tumbuh
tercepat
pada
Sektor
Kimia, 61
dengan
pertumbuhan
tingkat
produktifitas rata-rata sebesar 0.21% per tahun, diikuti oleh Mineral Nonmetal, dengan tingkat pertumbuhan produktifitas sebesar 0.14%, dan Sektor Makanan dan Minuman dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0.09%. Sementara pertumbuhan produktifitas terendah terjadi pada Industri Kayu, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar -1.18%, diikuti oleh Sektor Manufaktur Lain dengan pertumbuhan sebesar -0.31 per tahun, terakhir adalah Sektor Tekstil yang mengalami pertumbuhan sebesar -0.08%. Dalam hal ini, seperti halnya dengan keseluruhan sampling, pertumbuhan tingkat produktifitas pada hampir seluruh Sub-Sektor Industri lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan Tingkat Efisiensi, kecuali Sektor Manufaktur Lain dan Mineral Nonmetal yang digerakkan oleh Pertumbuhan Teknologi. Ada pun dari pengamatan hasil yang ada selama periodik didapatkan bahwa produktifitas mengalami pertumbuhan negatif selama kurun waktu 20002004. TFP untuk Industri Manufaktur secara keseluruhan, misalnya, mencatat pertumbuhan negatif sebesar -3,41% pada 2001, -1,50% pada 2002, -1,04% pada 2003 dan -0,06% pada 2004. Akan tetapi, TFP tercatat kembali meningkat dan mengalami pertumbuhan positif semenjak 2004 hingga 2007, dengan tingkat pertumbuhannya yang terus naik. Namun, pertumbuhan tingkat TFP yang positif semenjak 2004 terlihat baik pada Industri Manufaktur secara keseluruhan maupun pada masing-masing industri pada disagregasi 2 digit ISIC. Pada Subsektor Mineral Nonmetal misalnya pertumbuhan tingkat TFP naik dari -0,6% pada 2002-2003 menjadi 4,69% pada 2003-2004., meski kemudian kenaikkan ini termoderasi hingga 0,34% pada 2006. Akan tetapi, pada 2007, Subsektor ini kembali mengalami kenaikkan tingkat TFP yang signifikan sebesar 2,19%. Demikian juga, pada Industri Tekstil terdapat tren kenaikkan tingkat produktifitas yang stabil mulai dari 0,49% pada 2004-2005 menjadi 2,46% pada 2006-2007, meski secara
rata-rata
keseluruhan
industri
ini
mengalami
pertumbuhan
produktifitas yang negatif selama 2000-2007. Pola yang sama, penurunan selama kurun waktu 2000-2004, dan kemudian naik selama 2004-2007 pula terlihat pada Subsektor lain pada 2 digit ISIC.
62
Penurunan tingkat produktifitas Sektor Manufaktur selama kurun waktu 2000-2004 agaknya disebabkan oleh masih dilakukannya konsolidasi kebijakan perekonomian serta munculnya beragam landasan dan pengaturan baru yang perlu dilakukan penyesuaian oleh pelaku usaha industri saat itu. Dengan dimulainya era reformasi, lanskap perekonomian berubah total dengan kehidupan politik serta sosial yang lebih terbuka. Begitu juga diterapkannya otonomi daerah, di mana terdapat peningkatan dan peran daerah dalam perekonomian. Pada tahun 2000 ke atas, juga terdapat banyak peraturan dan perundang-undangan baru yang ditetapkan, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memerlukan waktu bagi bisnis terutama di Sektor Manufaktur untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, pasca krisis 1997/1998, Sektor Manufaktur nasional masih dihadapkan pada kelebihan kapasitas akibat ekspansi yang banyak dilakukan sebelum krisis. Pada saat yang sama, permintaan dalam negeri masih belum cukup kuat akibat jatuhnya pendapatan di saat krisis. Akibatnya, bisnis tidak melakukan banyak ekspansi berupa penambahan kapital dan aset lainnya yang menyebabkan minimnya daya dorong bagi peningkatan produktifitas. Dari dua alasan ini agaknya dapat dipahami bila tingkat TFP terpantau menurun, bahkan tercatat negatif selama kurun waktu 2000-2004. Namun, seiring dengan konsolidasi dan berbagai penyesuaian dalam perilaku dan cara berbisnis oleh pelaku Sektor Manufaktur, peningkatan tingkat produktifitas berlahan mengalami kenaikan. Kenaikan ini juga agaknya dipicu oleh penambahan kapasitas terpasang berupa perluasan tingkat produksi baik melalui penambahan pabrik baru atau renovasi dan adapatasi mesin atau teknologi baru. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pertumbuhan tingkat produktifitas sebelum terjadinya krisis, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.5, pertumbuhan produktifitas yang terjadi selama kurun waktu 2000-2007 adalah lebih rendah ketimbang pertumbuhan yang terjadi sebelum krisis ekonomi di tahun 1997. Bahkan, bila dilakukan pentahapan selama dua periode berbeda 20002004 dan 2004-2007, terlihat pada tabel yang sama bahwa sesungguhnya terjadi pertumbuhan negatif dari tingakt produktivitas Sektor Manufaktur 63
Indonesia
sebesar
-1,50%
selama
2000-2004.
Pertumbuhan
tingkat
produktifitas baru kembali mencatat tingkat positif di angka rata-rata 1,88% selama 2004-2007. 4.2. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas Estimasi terhadap persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas, yang terkuat terdapat pada Industri Makanan dan Minuman, diikuti oleh Industri Kertas. Sementara hubungan positif terlemah terdapat pada Manufaktur Lain dan Industri Tekstil. Hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan lain dari berbagai negara (Caves and Barton 1990; Caves 1992; Lundvall and Battese 2000). Pada Sektor Manufaktur Indonesia, perusahaan berskala besar umumnya adalah perusahaan multinasional dan berorientasi ekspor, yang memiliki kekuatan pasar dan akses pada tenaga kerja trampil. Sehingga tidak mengherankan bila dideteksi adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dan tingkat produktifitas. Sebaliknya, penelitian ini menemukan adanya hubungan yang negatif antara usia perusahaan dengan tingkat produktifitas pada industri Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain adalah lebih memiliki produktifitas yang lebih rendah. Temuan ini juga konsisten dengan penelitian sejenis sebelumnya, yang mendapatkan hubungan yang positif antara tingkat produktifitas dan usia perusahaan pada industri manufaktur Indonesia (Hill and Kalirajan 1993; Viverita 2005). Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat 64
produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena tergantung pada jenis industri. Dalam pada itu, dari hasil estimasi yang didapatkan juga dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif ketimbang perusahaan yang tidak. Dus, dapat dikatakan bahwa partisipasi pada aktifitas ekspor akan meningkatkan produktifitas dari perusahaan. Hasil ini juga paralel dengan hasil yang didapatkan pada studi-studi sebelumnya tentang hubungan antara orientasi ekspor dan tingkat efisiensi (Hill and Kalirajan 1993; Sjoholm 1999; Aswicahyono and Hill 2002). Penyebab dari hubungan yang positif ini adalah partisipasi ekspor merupakan indikator dari kemampuan perusahaan untuk mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Dus dapat diaharapkan bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan ekspor memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak melakukannya. Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik dalam hal teknologi produksi dan proses produksi. Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal, serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%. Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien ini pun adalah signifikan pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan
65
asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas. Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain. Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia.
---oooOOOooo---
66
Referensi
Abramovitz, M., 1956. Resource and Output Trends in the United States since 1870. American Economic Review, 46, 5-23. Aigner, D., Lovell, C. A. K. & Schmidt, P., 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6, 21-37. Amiti, M. & Konings, J., 2005. Trade Liberalization, Intermediate Inputs, and Productivity: Evidence from Indonesia. IMF Working Papers, 05/146, 34 pages. Ananta, A., (ed.) 2003. The Indonesia Crisis: A Human Development Perspective, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Arndt, H. W. & Hill, H., (eds.) 1999. Southeast Asia's Economic Crisis: Origins, Lessons, and The Way Forward, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Aswicahyono,
H.,
1998a.
Total
Factor
Productivity
in
Indonesian
Manufacturing, 1975-1993. Unpublished PhD Thesis. Australian National University. Aswicahyono, H. & Hill, H., 2002. 'Perspiration' versus 'Inspiration' in Asian Industrialisation: Indonesia Before the Crisis. Journal of Development Studies, 38, 138. Aswicahyono, H. & Hill, H., 2004. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40, 277-305.
67
Aswicahyono, H. & Maidir, I., 2003. Indonesia's Textile and Apparels Industry: Taking a Stand in the New International Competition. CSIS Economics Working Paper Series, 1-84. Aswicahyono, H. & Pangestu, M., 2000. Indonesia's Recovery: Exports and regaining Competitiveness. Developing Economies, 38, 454-89. Aswicahyono, H. H., 1998b. Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1993. Australian National University. Aswicahyono, H. H., Bird, K. & Hill, H., 1996. What Happens to Industrial Structure When Countries Liberalise? Indonesia since the Mid-1980s. Journal of Development Studies, 32, 340-63. Aswicahyono, H. H. & Hill, H., 1995. Determinants of Foreign Ownership in LDC Manufacturing: An Indonesian Case Study. Journal of International Business Studies, 26, 139-158. Athukorala, P.-C., 2002. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38, 141-162. Badunenko, O., Fritsch, M. & Stephan, A., 2005. What Determines Technical Efficiency of Firms? Evidence from a Representative Panel of German Manufacturing Firms. European University Viadrina. Baltagi, B. H., 2005. Econometric Analysis of Panel Data West Sussex: John Wiley and Sons. Barro, R. J., 1999. Notes on Growth Accounting. Journal of Economic Growth, 4, 119-137. Basri, M. C., 2001. The Political Economy of Manufacturing Protection in Indonesia
1975-1995
Unpublished
University. 68
PhD
Thesis.
Australian
National
Batra, G. & Tan, H., 2003. SME Technical Efficiency and Its Correlates: Cross National Evidence and Policy Implications. World Bank Institute Working Paper, 1-27. Battese, G. E. & Coelli, T., 1988. Prediction of Firm-Level Technical Efficiencies with a Generalized Frontier Production Function and Panel Data. Journal of Econometrics, 38, 387-99. Battese, G. E. & Coelli, T., 1992. Frontier Production Functions, Technical Efficiency and Panel Data: With Application to Paddy Farmers in India. Journal of Productivity Analysis, 3, 153-69. Battese, G. E. & Coelli, T., 1995. A Model for Technical Inefficiency Effects in a Stochastic Frontier Production Function for Panel Data. Empirical Economics, 20, 325-32. Battese, G. E. & Rao, D. S. P., 2002. Technology Gap, Efficiency, and a Stochastic Metafrontier Function. International Journal of Business and Economics, 1, 87-93. Battese, G. E., Rao, D. S. P. & O'donnell, C. J., 2004. A Metafrontier Production Function for Estimation of Technical Efficiencies and Technology Gaps for Firms Operating Under Different Technologies. Journal of Productivity Analysis, 21, 91-103. Bauer, P. W., 1990. Recent Developments in the Econometric Estimation of Frontiers. Journal of Econometrics, 46, 39-56. Bigsten, A., Collier, P., Dercon, S., Fafchamps, M., Gauthier, B., Gunning, J. W., Habarurema, J., Oduro, A., Oostendorp, R., Pattilo, C., Soderbom, M., Teal, F. & Zeufack, A., 2000. Exports and Firm Level Efficiency in the African Manufacturing Sector. World Bank Working Paper.
69
Bird, K., 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Unpublished PhD Thesis. Australian National University. Bird, K., 2004. Recent Trends in Foreign Direct Investment. In M. C. Basri & P. Van Der Eng (eds.) Business in Indonesia New Challenges, Old Problems. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 93-107. Bitros, G. C. & Tsionas, E. G., 2004. A Consistent Approach to Cost Efficiency Measurement. Oxford Bulletin of Economics & Statistics, 66, 49-69. Blalock, G. & Gertler, P. J., 2006. Welfare Gains from Foreign Direct Investment through Technology Transfer to Local Suppliers. Journal of International Economics, Forthcoming. Blalock, G. & Roy, S., 2007. A Firm-level Examination of the Export Puzzle: Why East Asian Exports Didn't Increase After the 1997-1998 Financial Crisis. The World Economy, 30, 39-59. Booth, A., 1999. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 3-38. Bottasso, A. & Sembenelli, A., 2004. Does Ownership Affect Firms' Efficiency? Panel Data Evidence on Italy. Empirical Economics, 29, 769-86. Cameron, L. A., 2001. The Impact of the Indonesian Financial Crisis on Children: An Analysis Using the 100 Villages Data. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37, 43-64. Cameron, L. A. & Alatas, V., 2003. The Impact of Minimum Wages on Employment in a Low Income Country: An Evaluation Using the Differencein-Differences Approach. Caudill, S. B. & Ford, J. M., 1993. Biases in Frontier Estimation Due to Heteroscedasticity. Economics Letters, 41, 17-20.
70
Caudill, S. B., Ford, J. M. & Gropper, D. M., 1995. Frontier Estimation and Firm-Specific Inefficiency Measures in the Presence of Heteroscedasticity. Journal of Business and Economic Statistics, 13, 105-11. Caves, R., Ward, I., Williams, P. & Wright, C., 1987. Australian Industry : Structure, Conduct, Performance, 2 ed. New York, Sydney: Prentice-Hall of Australia. Caves, R. E., 1992. Industrial Efficiency in Six Nations Cambridge and London: MIT Press. Caves, R. E. & Barton, D. R., 1990. Efficiency in U.S. Manufacturing Industries Cambridge, Massachusetts: MIT Press. Chapelle, K. & Plane, P., 2005. Technical Efficiency Measurement within the Manufacturing Sector in Coˆte d’Ivoire: A Stochastic Frontier Approach. Journal of Development Studies, 41, 1303-1324. Chen, E. K. Y., 1997. The Total Factor Productivity Debate: Determinants of Economic Growth in East Asia. Asian-Pacific Economic Literature, 11, 18-38. Chen, T.-J. & Tang, D.-P., 1987. Comparing Technical Efficiency between Import-Substitution-Oriented and Export-Oriented Foreign Firms in a Developing Economy. Journal of Development Economics, 26, 277-89. Chirwa, E. W., 2000. Structural Adjustment Programmes and Technical Efficiency in the Malawian Manufacturing Sector. African Development Review, 12, 89-113. Christensen, L. R., Jorgenson, D. W. & Lau, L. J., 1973. Transcendental Logarithmic Production Frontiers. Review of Economics and Statistics, 55, 2845. Coase, R. H., 1937. The Nature of the Firm. In O. E. Williamson & S. G. Winter (eds.) The Nature of the Firm: Origins, Evolution, and Development. New York: Oxford University Press, 18-33. 71
Coelli, T., 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. CEPA University of New England. Coelli, T., Rao, D. S. P. & Battese, G. E., 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis Boston: Kluwer Academic Publishers. Cole, D. C. & Slade, B. F., 1998. Why Has Indonesia's Financial Crisis Been So Bad. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 34, 61-66. Corden, M., 1999. The Asian Crisis: Is there a way out? Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Cornwell, C., Schmidt, P. & Sickles, R. C., 1990. Production Frontiers with Cross-Sectional and Time-Series Variation in Efficiency Levels. Journal of Econometrics, 46, 185-200. Cuesta, R. A., 2000. A Production Model with Firm-Specific Temporal Variation in Technical Inefficiency: With Application to Spanish Dairy Farms. Journal of Productivity Analysis, 13, 139-58. Desai, M. A., Foley, C. F. & Forbes, K. J., 2004. Financial Constraints and Growth: Multinational and Local Firm Responses to Currency Crises. Dhanani, S., 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. UNIDO. Dhanani, S. & Hasnain, S. A., 2002. The Impact of Foreign Direct Investment on Indonesia's Manufacturing Sector. Journal of the Asia Pacific Economy, 7, 61-94. Diewert, E., Rao, S. & Sharpe, A., 2002. Productivity Trends and Determinants in Canada. Productivity issues in Canada. Industry Canada Research Series, vol. 10. Calgary, Alberta, 31-57.
72
Dilling-Hansen, M., Madsen, E. S. & Smith, V., 2003. Efficiency, R&D and Ownership--Some Empirical Evidence. International Journal of Production Economics, 83, 85-94. Driffield, N. & Munday, M., 2001. Foreign Manufacturing, Regional Agglomeration and Technical Efficiency in UK Industries: A Stochastic Production Frontier Approach. Regional Studies, 35, 391-99. Fane, G., 2000. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36, 13-45. Fane, G. & Condon, T., 1996. Trade Reform in Indonesia, 1987-1995. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 32, 33-54. Fare, R., Grosskopf, S. & Lovell, C. A. K., 1994. Production frontiers Cambridge; New York and Melbourne: Cambridge University Press. Farrell, M. J., 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of Royal Statistical Society, 120, 253-290. Felipe, J., 1999. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical Survey. Journal of Development Studies, 35, 1-41. Felipe, J. & Mccombie, J. S. L., 2003. Some Methodological Problems with the Neoclassical Analysis of the East Asian Miracle. Cambridge Journal of Economics, 27, 695-721. Firdausy, C. M., 2005. Productivity Performance in Developing Countries: Indonesia. Forsund, F. R., Lovell, C. A. K. & Schmidt, P., 1980. A Survey of Frontier Production Functions and of Their Relationship to Efficiency Measurement. Journal of Econometrics, 13, 5-25.
73
Goeltom, M. S., 1995. Indonesia’s Financial Liberalization : an Empirical Analysis of 1981-88 Panel Data Singapore: ASEAN Economic Research Unit, Institute of Southeast Asian Studies. Gonzalez-Paramo, J. M. & Hernandez De Cos, P., 2005. The Impact of Public Ownership and Competition on Productivity. Kyklos, 58 4, 495-517. Haddad, M., 1993. How Trade Liberalization Affected Productivity in Morocco. World Bank Policy Research Working Paper Series, 1096. Hadri, K., 1999. Estimation of a Doubly Heteroscedastic Stochastic Frontier Cost Function. Journal of Business and Economic Statistics, 17, 359-63. Hadri, K., Guermat, C. & Whittaker, J., 2003. Estimating Farm Efficiency in the Presence of Double Heteroscedasticity using Panel Data. Journal of Applied Economics, VI, 255-68. Hall, B. H. & Mairesse, J., 2006. Empirical Studies of Innovation in the Knowledge-Driven Economy. Economics of Innovation and New Technology, 15, 289-99. Heshmati, A. & Kumbhakar, S. C., 1994. Farm Heterogeneity and Technical Efficiency: Some Results from Swedish Dairy Farms. Journal of Productivity Analysis, 5 1, 45-61. Hill, H., 1990. Indonesia's Industrial Transformation Part II. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 26, 75-109. Hill, H., 1991. The Emperor's Clothes Can Now be Made in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 27, 89-127. Hill, H., 1992. Manufacturing Industry. In A. Booth (ed.) The Oil Boom and After : Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto Era. Singapore: Oxford University Press, 448.
74
Hill, H., 1997. Indonesia’s Industrial Transformation Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,. Hill, H., 1999. The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hill, H., 2000. The Indonesian Economy since 1966, 2 ed. Cambridge: Cambridge University Press. Hill, H. & Kalirajan, K. P., 1993. Small Enterprise and Firm-Level Technical Efficiency in the Indonesian Garment Industry. Applied Economics, 25, 113744. Hopenhayn, H. A., 1992. Entry, Exit, and Firm Dynamics in Long Run Equilibrium. Econometrica, 60, 1127-1150. Huang, C. J. & Liu, J.-T., 1994. Estimation of a Non-neutral Stochastic Frontier Production Function. Journal of Productivity Analysis, 5, 171-80. Hulten, C. R., 2000. Total Factor Productivity: A Short Biography. Jacob, J. & Szirmai, A., 2007. International Knowledge Spillovers to Developing Countries: The Case of Indonesia. Revie of Development Economics, 11, 550-565. Jorgenson, D. W., Gollop, F. M. & Fraumeni, B. M., 1987. Productivity and U.S. economic growth Cambridge, Mass.: Harvard Economic Studies, vol. 159 Harvard University Press. Jorgenson, D. W. & Griliches, Z., 1967. The Explanation of Productivity Change. Review of Economic Studies, 34, 249-83. Jorgenson, D. W. & Nishimizu, M., 1978. U.S. and Japanese Economic Growth, 1952-1974: An International Comparison. Economic Journal, 88, 707-26.
75
Jovanovic, B., 1982. Selection and the Evolution of Industry. Econometrica, 50, 649-670. Kalirajan, K., 1981. An Econometric Analysis of Yield Variability in Paddy Production. Canadian Journal of Agricultural Economics, 29, 283-94. Kalirajan, K. P. & Shand, R. T., 1999. Frontier Production Functions and Technical Efficiency Measures. Journal of Economic Surveys, 13, 149-72. Kim, S., 2003. Identifying and Estimating Sources of Technical Inefficiency in Korean Manufacturing Industries. Contemporary Economic Policy, 21, 13244. Kim, S. & Lee, Y. H., 2002. Public Sector Capital and the Production Efficiency of U.S. Regional Manufacturing Industries. Japanese Economic Review, 53, 466-77. Kim, S. & Lee, Y. H., 2006. The Productivity Debate of East Asia Revisited: A Stochastic Frontier Approach. Applied Economics, 38, 1697-1706. Kim, Y. & Schmidt, P., 2000. A Review and Empirical Comparison of Bayesian and Classical Approaches to Inference on Efficiency Levels in Stochastic Frontier Models with Panel Data. Journal of Productivity Analysis, 14, 91-118. Kneller, R. & Stevens, P. A., 2006. Frontier Technology and Absorptive Capacity: Evidence from OECD Manufacturing Industries. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 68, 1-21. Koh, S.-W., Rahman, S. & Tan, G. K. R., 2004. Stochastic Frontier Analysis of Singapore Manufacturing Industries. Singapore Economic Review, 49, 85103. Krugman, P., 1998. What happened to Asia? mimeo.
76
Kumar, V., Kumar, U. & Persaud, A., 1999. Building Technological Capability through Importing Technology: the Case of Indonesian Manufacturing Industry. Journal of Technology Transfer, 24, 81-96. Kumbhakar, S. C., 1987. The Specification of Technical and Allocative Inefficiency in Stochastic Production and Profit Frontiers. Journal of Econometrics, 34 3, 335-48. Kumbhakar, S. C., 1990. Production Frontiers, Panel Data, and Time-Varying Technical Inefficiency. Journal of Econometrics, 46, 201-11. Kumbhakar, S. C., 2000. Estimation and Decomposition of Productivity Change When Production Is Not Efficient: A Panel Data Approach. Econometric Reviews, 19 4, 425-60. Kumbhakar, S. C., Ghosh, S. & Mcguckin, J. T., 1991. A Generalized Production Frontier Approach for Estimating Determinants of Inefficiency in U.S. Dairy Farms. Journal of Business and Economic Statistics, 9, 279-86. Kumbhakar, S. C. & Lovell, C. A. K., 2000. Stochastic Frontier Analysis Cambridge: Cambridge University Press. Kumbhakar, S. C. & Wang, H.-J., forthcoming. A Guide to Stochastic Frontier Models: Specification and Estimation: Stata Press. Lall, S., 1998. Technology Policies in Indonesia. In K. W. Thee & H. Hill (eds.) Indonesia's Technological Challenge. Canberra: Institute of Southeast Asian Studies, 136-168. Lee, Y. H., 2006. A Stochastic Production Frontier Model with Group-specific Temporal Variation in Technical Efficiency. European Journal of Operational Research, 174, 1616-1630. Lee, Y. H. & Schmidt, P., 1993. A Production Frontier Model with Flexible Temporal Variation in Technical Efficiency. In H. O. Fried, C. A. K. Lovell & S. 77
S. Schmidt (eds.) The measurement of productive efficiency: Techniques and applications. New York; Oxford; Toronto and Melbourne: Oxford University Press, 237-55. Lewis, B. D., 2003. Tax and Charge Creation by Regional Governments under Fiscal Decentralisations: Estimates and Explanations. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39, 177-92. Little, I. M. D., Mazumdar, D. & Page, J. M., Jr., 1987. Small manufacturing enterprises: A comparative study of India and other economies New York; Oxford; Toronto and Melbourne: Oxford University Press for the World Bank. Liu, P.-W. & Yang, X., 2000. The Theory of Irrelevance of the Size of the Firm. Journal of Economic Behavior and Organization, 42, 145-65. Lundvall, K. & Battese, G. E., 2000. Firm Size, Age and Efficiency: Evidence from Kenyan Manufacturing Firms. Journal of Development Studies, 36, 146163. Magiera, S. L., 1999. Indonesia's Trade Performance During the Economic Crisis. Report PEG 04, 1-73. Mahadevan,
R.,
2000.
How
Technically
Efficient
Are
Singapore's
Manufacturing Industries? Applied Economics, 32, 2007-14. Mahadevan, R., 2001. Assessing the Output and Productivity Growth of Malaysia's Manufacturing Sector. Journal of Asian Economics, 12, 587-97. Mahadevan, R., 2003. To Measure or Not to Measure Total Factor Productivity Growth? Oxford Development Studies, 31, 365-78. Mahadevan, R., 2007. Perspiration versus Inspiration: Lessons from a Rapidly Developing Economy. Journal of Asian Economics, 18, 331-47.
78
Mahadevan, R. & Kalirajan, K., 2000. Singapore's Manufacturing Sector's TFP Growth: A Decomposition Analysis. Journal of Comparative Economics, 28, 828-39. Manning, C., 2000. Labour Market Adjustment to Indonesia's Economic Crisis: Context, Trends and Implications. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36, 105-136. Margono, H. & Sharma, S. C., 2006. Efficiency and Productivity Analyses of Indonesian Manufacturing Industries. Journal of Asian Economics, 17, 97995. Mcleod, R. H., 1997. Postscript to the Survey of Recent Development: On Causes and Cures for the Rupiah Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 33, 35-52. Mcleod, R. H., 2004. Dealing with Bank System Failure: Indonesia, 19972003. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40, 95-116. Meeusen, W. & Van Den Broeck, J., 1977. Efficiency Estimation from CobbDouglas Production Functions with Composed Error. International Economic Review, 18, 435-444. Mini, F. & Rodriguez, E., 2000. Technical Efficiency Indicators in a Philippine Manufacturing Sector. International Review of Applied Economics, 14, 461-73. Narjoko, D. & Hill, H., 2006. Winners and Losers during a Deep Economic Crisis:
Firm-level
Evidence
from
Indonesian
Manufacturing.
RSPAS
Economics Working Papers, 39 pages. Nishimizu, M. & Page, J. M., Jr., 1982. Total Factor Productivity Growth, Technological Progress and Technical Efficiency Change: Dimensions of Productivity Change in Yugoslavia, 1965-78. Economic Journal, 92, 920-36.
79
Okamoto, Y. & Sjoholm, F., 2000. Productivity in the Indonesian Automotive Industry. ASEAN Economic Bulletin, 17, 60-73. Page, J. M., 1984. Firm Size and Technical Efficiency: Applications of Production Frontiers to Indian Survey Data. Journal of Development Economics, 16, 129-152. Pangestu, M. & Boediono, 1986. Indonesia: The structure and Causes of Manufacturing Sector Protection. In C. Findlay & R. Garnaut (eds.) The Political Economy of Manufacturing Protection: Experiences of ASEAN and Australia. Sydney: Allen and Unwin. Pitt, M. M. & Lee, L.-F., 1981. The Measurement and Sources of Technical Inefficiency in the Indonesian Weaving Industry. Journal of Development Economics, 9, 43-64. Radelet, S. & Sachs, J. D., 1998. The East Asia Financial Crisis: Diagnostic, Remedies, Prospect. Brookings Papers on Economic Activity, 1-90. Rajan, R. G. & Zingales, L., 2000. The Firm as a Dedicated Hierarchy: A Theory of the Origins and Growth of Firms. NBER Working Paper, 1-63. Ramstetter, E. D., 1999. Trade Propensities and Foreign Ownership Shares in Indonesian Manufacturing. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 4366. Ramstetter, E. D. & Takii, S., 2005. Exporting and Foreign Ownership in Indonesian Manufacturing, 1990-2000. ICSEAD Working Paper. Reifschneider, D. & Stevenson, R., 1991. Systematic Departures from the Frontier: A Framework for the Analysis of Firm Inefficiency. International Economic Review, 32, 715-23.
80
Rice, R. C., Herustiati & Junaidi, A., 2002. Factors Affecting the Competitiveness of, and Impact of the 1997-99 Monetary Crisis on, Selected Small and Medium Manufacturing Industries in Central and West Java. Report PEG 72, 1-73. Ritter, C. & Simar, L., 1997. Pitfalls of Normal-Gamma Stochastic Frontier Models. Journal of Productivity Analysis, 8, 167-82. Roberts, M. J. & Tybout, J. R., 1997. Producer Turnover and Productivity Growth in Developing Countries. World Bank Research Observer, 12, 1-18. Rosko, M. D. & Chilingerian, J. A., 1999. Estimating Hospital Inefficiency: Does Case Mix Matter? Journal of Medical Systems, 23, 57-71. Rosner, L. P., 2000. Indonesia's Non-Oil Export Performance During The Economic Crisis: Distinguishing Price Trends From Quantity Trends. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36, 61-95. Sadli, M., 1999. The Indonesian Crisis. In H. W. Arndt & H. Hill (eds.) Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 16-27. Sato, Y., 2001. How Did The Crisis Affect Small and Medium-Sized Enterprises? From a Field Study of the Metal Working Industry in Java. Developing Economies, 38, 572-595. Schmidt, P., 1985. Frontier Production Functions. Econometric Reviews, 4 289-328. Schmidt, P. & Sickles, R. C., 1984. Production Frontiers and Panel Data. Journal of Business and Economic Statistics, 2, 367-74. Sjoholm, F., 1999a. Exports, Imports and Productivity: Results from Indonesian Establishment Data. World Development, 27, 705-15.
81
Sjoholm, F., 1999b. Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional Characteristics and Direct Foreign Investment. Economic Development and Cultural Change, 47, 559-84. Skoufias, E., Suryahadi, A. & Sumarto, S., 2000. Changes in Household Welfare, Poverty and Inequality During the Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36, 97-114. Söderbom, M. & Teal, F., 2004. Size and efficiency in African manufacturing firms: evidence from firm-level panel data. Journal of Development Economics, 73, 369. Soesastro, H. & Basri, M. C., 1998. Survey of Recent Development. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 34, 3-54. Solow, R. M., 1957. Technical Change and the Aggregate Production Function. Review of Economics and Statistics, 39, 312-20. Stevenson, R. E., 1980. Likelihood Functions for Generalized Stochastic Frontier Estimation. Journal of Econometrics, 13, 57-66. Suh, D., 1992. Trade Liberalization and Productive Efficiency in Korean Manufacturing: Evidence from Firm-Level Panel Data. Unpublished PhD Thesis. Georgetown University. Sun, C.-H., 2004. The Growth Process in East Asian Manufacturing Industries Cheltenham: Edward Elgar. Sun, H., Hone, P. & Doucouliagos, H., 1999. Economic Openness and Technical Efficiency: A Case Study of Chinese Manufacturing Industries. Economics of Transition, 7 3, 615-36. Sundrum, R. M., 1988. Indonesia's Slow Economic Growth: 1981-86. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 24, 37-72. 82
Swan, T. W., 1956. Economic Growth and Capital Accumulation. Economic Record, 32, 334-61. Thee, K. W., 1990. Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry. In H. Soesastro & M. Pangestu (eds.) Technological Challenge in the Pacific. Sydney: Allen and Unwin, 200-232. Thee, K. W., 1991. The Surge of Asian NIC Investment into Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 27, 55-88. Thee, K. W., 2000. The Impact of the Economic Crisis on Indonesia's Manufacturing Sector. Developing Economies, 38, 420-53. Thee, K. W. & Pangestu, M., 1994. Technological Capabilities and Indonesia's Manufactured Exports. Final draft report to UNCTAD's Technology Program. Timmer, M. P., 1999. Indonesia's Ascent on the Technology Ladder: Capital Stock and Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1995. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 75-97. Todo, Y. & Miyamoto, K., 2006. Knowledge Spillovers from Foreign Direct Investment and the Role of Local R&D Activities: Evidence from Indonesia. Economic Development and Cultural Change, 55, 173-200. Torii, A., 1992. Technical Efficiency in Japanese Industries. In R. E. Caves (ed.) Industrial Efficiency in Six Nations. Cambridge and London: MIT Press, 31-119. United Nations Industrial Development Organisation, 1993. Indonesia: Industrial Growth and Diversification. London. Van Der Eng, P., 2004. Business in Indonesia New Challenges, Old Problems. In M. C. Basri & P. Van Der Eng (eds.) Business in Indonesia New Challenges, Old Problems. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1-20.
83
Vial,
V.,
2004.
Total
Factor
Productivity
Growth
In
Indonesian
Manufacturing, 1975-1995: Issues in Measurement. The London School of Economics and Political Science. Vial, V., 2006. New Estimates of Total Factor Productivity Growth In Indonesian Manufacturing. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 42, 35769. Viverita, R., 2005. Corporate Performance of Indonesia’s Public and Private Sector Firms: Financial and Production efficiency. Monash University. Wacker, J. G., Yang, C.-L. & Sheu, C., 2006. Productivity of Production Labor, Non-production Labor, and Capital: An International Study. International Journal of Production Economics, 103, 863-72. Wetterberg, A., Sumarto, S. & Pritchett, L., 1999. Insolvency Reform and the Indonesian Financial Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 145152. Williamson, O. E., 1967. Hierarchical Control and Optimum Firm Size. Journal of Political Economy, 75, 123-138.
---oooOOOooo---
84