ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK Rafita, Ani Hermilestari dan Mohammad Nasip Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional dengan jumlah sampel 48 orang pekerja. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan responden, pengukuran kadar debu terhirup dan pemeriksaan kapasitas vital paru. Hasil penelitian diperoleh variabel yang berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah kadar debu terhirup (p=0,041), dan penggunaan APD masker (p=0,046). Sedangakan variabel yang tidak berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah usia (p=0,068), masa kerja (p=0,076), kebiasaan merokok (p=1,000) dan riwayat penyakit paru (p=0,368). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dan penggunaan APD dengan kapasitas vital paru dan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia, masa kerja, kebiasaan merokok dan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak. Kata Kunci: Kadar Debu Terhirup, Kapasitas Vital Paru Abstract: Analysis of Risk Factors Associated with Lung Vital Capacity of Workers Loading And Unloading (TKBM) Non Containers at IPC TPK Pontianak City. This type of research is observational with cross sectional study with a sample of 48 workers. Data were collected by interviews with respondents, respirable dust concentration measurement and inspection of vital lung capacity. The results were obtained variables associated with lung vital capacity is the concentration of respirable dust (p = 0.041), and use of personal protective equipment masks (p = 0.046). While the variables that are not associated with lung vital capacity age (p = 0.068), years of service (p = 0.076) was smoking (p = 1.000) and a history of pulmonary disease (p = 0.368). The conclusion from this study that there is a significant relationship between the level of respirable dust and the use of personal protective equipment with a vital capacity of the lungs and there is no significant relationship between age, years of smoking and a history of pulmonary disease with a vital capacity of the lungs on the workers of loading and unloading non containers at IPC TPK Pontianak. Keywords: Respirable Dust Levels, Lung Vital Capacity
Tenaga kerja merupakan sumber daya manusia yang memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya tenaga manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan maupun kesehatan kerjanya. Di banyak kota terutama yang urbanisasinya tumbuh pesat di
negara-negara yang sedang berkembang, pencemaran merupakan faktor yang dapat menurunkan produktifitas para pekerja. Salah satunya yaitu pencemaran udara. Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan 259
260 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang (Wardhana, 2001). Salah satu aktivitas yang dapat menyebabkan pencemaran udara oleh debu yaitu kegiatan bongkar muat barang yang terjadi di pelabuhan IPC TPK (Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas) Kota Pontianak. Debu banyak berasal dari proses pembongkaran barang dari palka (ruang-ruang dalam kapal), penyusunan barang ke jala-jala barang dan pengangkutan barang-barang dari kapal ke gudang penyimpanan maupun ke truk yang siap untuk di distribusikan. Barang-barang yang berpotensi menghasilkan debu penyebab pencemaran udara yaitu barang non kontainer seperti semen, beras, tepung, pakan ternak dan lain sebagainya. Debu yang berukuran antara 5–10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3–5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan di tempatkan langsung di permukaan alveoli paru (Suma’mur, 2014). Paparan debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang sangat beresiko terhadap terjadinya gangguan kapasitas paru. Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam tubuh atau paruparu seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru ditentukan oleh kemampuan kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh semakin banyak (Mangkidi, 2006). Gangguan kapasitas vital paru tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit. Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, sesak napas, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh magrofag. Otot polos disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila
konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas (Hasty, 2011). Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007 diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumokoniosis. Selain itu juga, ILO (International Labour Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumoconiosis (penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan kasus pneumoconiosis menempati urutan pertama Occupational Diseases (OD) di Negara Jepang dan Cina (Hasty, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasty (2011) menunjukkan bahwa paparan debu yang ada di lingkungan kerja yang memapar pekerja dengan konsentrasi yang tinggi dan jumlah jam kerja yang semakin panjang akan berdampak pada nilai Kapasitas Vital Paru (KVP) yang berada di bawah normal. Selain itu ada hubungan yang signifikan antara karakteristik pekerja yaitu variabel usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja dan penggunaan masker dengan variabel Kapasitas Vital Paru. Dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan IPC TPK Kota Pontianak hanya 37,5% pekerja yang menggunakan masker sewaktu melakukan bongkar muat dari palka kapal ke dermaga pelabuhan dengan alasan tidak nyaman bekerja jika menggunakan APD (masker), dan bagi yang menggunakan masker pada saat melakukan komunikasi di area kerja, masker yang digunakan ditarik kearah bawah sehingga tidak menutup hidung. Pada saat pekerja menarik napas maka debu yang terdapat di udara akan ikut masuk ke dalam paru-paru. Debu yang masuk secara terus-menerus dalam jumlah yang banyak dan mengendap ke dalam paru-paru maka akan menyebabkan melemahnya kapasitas paru pekerja. Selain itu, sebagian besar pekerja mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 87,5 %. Dan dari 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) sebanyak 50% pekerja mengalami gejala batuk pada saat bekerja, dan 62,5% mengalami sesak napas. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 261
sectional study. Dalam penelitian ini mengambil data dari responden dengan metode survei menggunakan kuesioner, melakukan pengukuran kadar debu terhirup menggunakan alat personal dust sampler (PDS) dan melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru dengan menggunakan alat spirometer pada tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Populasi yang digunakan oleh peneliti adalah tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak. Besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 responden yang ditentukan dengan cara random sampling (metode sampel acak sederhana). Bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 2005). Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut: n=
Masa kerja Hasil penelitian distribusi frekuensi masa kerja, menunjukkan proporsi terbanyak (67%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak telah bekerja selama ≥ 5 tahun. Kebiasaan merokok Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (83%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok. Riwayat Penyakit Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (73%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak ada memiliki riwayat penyakit paru. Penggunaan APD (Masker)
Keterangan
: n =jumlah sampel N=jumlah populasi d= derajat kemaknaan
Pengolahan data dilakukan secara program statistik uji Chi Square, yaitu asymtop signifikansi kurang atau sama dengan 5% atau 0,05 (p ≤ 0,05) maka H0 ditolak) Ha diterima artimya ada hubungan. Apabila asymtop signifikasi lebih dari 0,05 (p > 0,05) maka (Ho diterima) Ha ditolak artinya tidak ada hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Kadar debu terhirup Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (58%) tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak, bekerja di lokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat atau berada di atas NAB. Usia Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak berumur ≥ 40 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (63%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak menggunakan APD (masker). Kapasitas Vital Paru Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kapasitas vital paru normal. Hubungan Kadar Debu Terhirup dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Hasil analisis statistik mengenai hubungan antara kadar debu terhirup responden dengan gangguan kapasiats vital paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
262 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
Tabel 1. Hubungan Kadar Debu Terhirup Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No
1 2
Kapasitas Vital Paru Kadar Debu Terhirup Tidak Normal Normal n % n % Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Jumlah
Jumlah N
%
15
53,6
13
46,4 28 100
4
20,0
16
80,0 20 100
19
39,6
29
60,4 48 100
p value = 0,041
Hubungan masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru
Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisis hubungan kadar debu terhirup dengan kapasitas vital paru pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat cenderung memiliki kapasitas vital paru tidak normal dari pada pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang memenuhi syarat yaitu sebesar 53,6%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,041 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (diatas NAB) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Usia dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tabel 2. Hubungan Usia Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Kapasitas Vital Paru No
Usia
≥ 40 tahun < 40 2 tahun Jumlah 1
Tidak Normal n %
n
%
15
57,1
14
4
21,1
19
39,6
Normal
Jumlah N
%
48,3
29
100
15
78,9
19
100
29
60,4
48
100
p value = 0,068 Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisa hubungan usia dengan kapasitas vital paru pekerja yang berusia < 40 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 78,9% dari pada pekerja yang berusia ≥ 40 tahun. Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,068 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016
Tabel 3. Hubungan Masa Kerja Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Kapasitas Vital Paru No
Masa
Tidak
Kerja
Normal
Normal
n
%
n
%
Jumlah
N
%
1
≥ 5 Tahun
16
50,0
16
50,0
32
100
2
< 5 Tahun
3
18,8
13
81,3
16
100
19
39,6
29
60,4
48
100
Jumlah
p value = 0,076 Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisa hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru pekerja yang masa kerja < 5 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 81,3% dari pada pekerja yang masa kerjanya ≥ 5 Tahun. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,076 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Kebiasaan Merokok Gangguan Kapasitas Vital Paru
dengan
Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 263
Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Kapasitas Vital Paru
Jumlah
Tidak Normal n %
N
%
n
%
16
40,0
24
60,0
40
100
Tidak Merokok
3
37,5
5
62,5
8
100
Jumlah
19
39,6
29
60,4
48
100
Kebiasaan No Merokok
1 2
Merokok
Normal
p value = 1,000 Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisa hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru pekerja yang memiliki kebiasaan merokok cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 60,0% dari pada yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 1,000 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan riwayat penyakit gangguan kapasitas vital paru
dengan
Kapasitas Vital Paru Tidak Normal n %
n
%
Normal
Jumlah N
%
1
Pernah Sakit
7
53,8
6
46,2
13
100
2
Tidak Pernah Sakit
12
34,3
23
65,7
35
100
39,6
29
60,4
48
100
Jumlah
19
p value = 0, 368 Sumber: Data Primer, 2016
Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tabel 6. Hubungan Penggunaan APD Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Kapasitas Vital Paru N o
1 2
Penggun aan APD Tidak Pakai Pakai Jumlah
Tidak Normal n %
n
%
16
51,6
15
3
17,6
19
39,6
Normal
Jumlah N
%
48,4
31
100
14
82,4
17
100
29
60,4
48
100
p value = 0,046 Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 5. Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Riwayat No Penyakit Paru
Hasil analisa hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru pekerja yang tidak pernah sakit cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebasar 65,7% dari pada yang memiliki riwayat penyakit paru (pernah sakit). Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,368 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016.
Hasil analisa hubungan penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru pekerja yang menggunakan APD (masker) cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 82,4% dari pada yang tidak menggunakan APD (masker). Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,046 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat
264 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
Untuk melihat kecenderungan hubungan dan perbedaan masing-masing variabel pada penelitian ini dapat dilihat pada ringkasan hasil bivariat pada tabel dan hasil uji Chi Square sebagai berikut. Tabel 7. Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Menggunakan Uji Chi Square No. Variabel p-value 0,041 1. Kadar Debu Terhirup 0,068 2. Usia 0,076 3. Masa Kerja 1,000 4. Kebiasaan Merokok 0,368 5. Riwayat Penyakit 0,046 6. Penggunaan APD Berdasarkan hasil tabel 14 diatas, diketahui variabel bebas yang memiliki hubungan dengan variabel terikat (gangguan kapasitas vital paru) adalah kadar debu terhirup, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) berupa masker. PEMBAHASAN Hubungan Antara Kadar Debu Terhirup Dengan Kapasitas Vital Paru Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,041 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang bekerja di tempat kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat atau di atas NAB memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,6%) dibandingkan dengan kadar debu terhirup memenuhi syarat atau di bawah NAB (20%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) tentang hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan diperolehnya hasil uji chi square (p=0,008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paparan partikel debu dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Amaliyah (2013) bahwa
ada hubungan yang signifikan antara kadar debu dengan kapasitas paru yaitu dengan (p=0,003). Mekanisme penimbunan debu dalam paru terjadi ketika seseorang menarik nafas udara yang mengandung debu masuk dalam paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernapasan atas, sedangkan yang berukuran 3 - 5 mikron akan ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 - 3 mikron akan langsung menuju ke permukaan alveoli paru, dan partikel yang berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli karena partikel ini akan bergerak keluar masuk alveoli sesuai dengan gerakan brown (Suma’mur, 2014). Gangguan kapasitas vital paru sering terjadi pada tenaga kerja yang bekerja dilingkungan yang berdebu. Misalnya pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Gangguan kapasitas vital paru dapat dicegah dengan hidup bersih dan sehat misalnya dengan cara selalu menggunakan alat pelindung diri berupa masker pada saat melakukan kegiatan bongkar muat khususnya di lingkungan kerja yang berdebu. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, jenis barang yang dilakukan bongkar muat yaitu semen. Semen merupakan suatu bahan bangunan yang banyak menghasilkan debu saat dilakukan pembongkaran. Debu semen merupakan debu yang dapat mengganggu sistem pernapasan salah satunya yaitu dapat menurunkan nilai kapasitas vital paru seseorang. Sedangkan lokasi tempat berlangsungnya aktivitas bongkar muat yaitu di dalam palka kapal banyak terdapat debu yang beterbangan akibat akivitas bongkar muat. Hasil pengukuran kadar debu terhirup terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil tertinggi yaitu 3,35 mg/m3 dan hasil terendah yaitu 1,36 mg/m3. Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan ini dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang secara terus menerus dapat menurunkan faal paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan paru (Mukono, 2008 dalam Tambunan 2013).
Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 265
Normal atau tidaknya kapasitas paru seseorang dapat diketahui melalui pemeriksaan dengan menggunakan alat spirometer. Seseorang mengalami gangguan kapasitas paru apabila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 di bawah nilai 80% dan bila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 diatas 80% maka paru-paru tersebut masih normal atau tidak ada gangguan (Hasty, 2011). Hasil pengukuran kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) tertinggi yaitu 145% dan hasil terendah yaitu 45%. Hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar pekerja bekerja dilokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat (diatas NAB) sehingga sangat berpotensi terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Kadar debu terhirup merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat diubah. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan terjadinya gangguan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada pekerja secara berkala serta dianjurkan kepada pekerja agar selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa masker. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja sehingga penggunaannya harus benar dan teratur. APD masker berfungsi untuk melindungi debu atau partikel-partikel yang masuk ke dalam pernapasan, masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu sesuai dengan ukuran debu dimasingmasing lokasi kerja. Untuk ukuran partikel debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang non kontainer (semen) didalam palka kapal yaitu berukuran >1 mikron. Adapun jenis masker yang dapat digunakan tenaga kerja saat melakukan aktifitas bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota pontianak yaitu masker yang memiliki pori-pori <1 mikron. Sehingga debu terhirup yang dihasilkan pada saat melakukan kegiatan bongkar muat akan tertahan dan tidak ikut masuk kedalam paruparu. Debu yang dihirup pekerja sebanyak 3,35 mg/m3 perhari akan sangat berdampak terhadap paru-paru pekerja. Jika pekerja tersebut aktif bekerja selama satu bulan penuh tanpa istirahat, maka jumlah paparan debu yang masuk ke dalam paru-paru juga semakin banyak. Oleh
karena itu perlu dilakukan memberikan istirahat kerja untuk beberapa hari kepada tenaga kerja secara bergantian untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja. Hubungan Antara Usia Dengan Kapasitas Vital Paru Hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,068 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006) dengan diperolehnya hasil uji chi square p value 0,015 OR=1,721 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia pekerja dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara Usia dengan kapasitas paru yaitu dengan p value 0,037 . Penelitian ini menjelaskan bahwa usia seseorang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Usia seseorang dapat mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal paru pada usia anak-anak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut, nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007 dalam Hasty, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki usia lebih dari sama dengan 40 tahun. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara usia dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan sebagian besar pekerja menjaga pola makan sehingga asupan gizi terpenuhi dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
266 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
Salah satu dari akibat kekurangan asupan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibody sehingga pekerja mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, bersin dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan proses pengeluaran terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, dengan berolahraga secara teratur dapat meningkatkan kondisi tubuh dan mampu mambantu sistem paru-paru bekerja secara maksimal serta dapat menampung oksigen lebih banyak untuk meningkatkan nilai kapasitas paru seseorang. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Kapasitas Vital Paru Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,076 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan p=0,007. Semakin lama masa kerja, semakin sering seseorang mengalami pemaparan debu sehingga jumlah debu yang dihirup semakin besar Masa kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpapar oleh partikel debu. Semakin lama terpapar partikel debu maka semakin besar resiko terjadinya gangguan kapasitas fungsi paru. Pekerja di lingkungan kerja dengan kadar partikel debu yang tinggi dan waktu yang lama memiliki resiko tinggi terkena penyakit paru masa kerja mempunyai kecendrungan sebagai faktor resiko terjadinya penyakit paru obstruktif pada perja dilingkungan berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009 dalam Tambunan, 2013). Masa kerja merupakan suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja disuatu tempat. Masa kerja yang dimaksud dalam penellitian ini adalah jangka waktu pekerja mulai menjadi tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak hingga pada waktu penelitian berlangsung. Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang terpajan dengan berbagai sumber
penyakit (debu terhirup) yang dapat mengakibatkan gangguan kapasitas vital paru. Tenaga kerja yang memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal dapat dipengaruhi oleh kadar debu terhirup di lokasi kerja berada diatas Nilai Ambang Batas (NAB), kebiasaan merokok, serta memiliki riwayat penyakit paru sehingga dapat mempengaruhi nilai kapasitas vital paru seseorang. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru dapat terjadi karena tenaga kerja menerapkan pola hidup sehat misalnya selalu mengkonsumsi makanan yang bergizi setiap harinya, rutin berolahraga serta sebagian besar mereka masih memiliki umur yang produktif untuk bekerja sehingga masa kerja tidak terlalu mempengaruhi nilai kapasitas paru pekerja. Dalam penelitian ini, peneliti belum bisa membahas lebih dalam lagi mengenai hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru karena dalam kuesioner masa kerja (riwayat pekerjaan) tidak terdapat pertanyaan untuk menginformasikan kapan pekerja mulai bekerja di IPC TPK Kota Pontianak yaitu mulai dari tanggal, bulan maupun tahun. Oleh karena itu, diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar dalam kuesioner penelitian disertakan waktu mulainya pekerja bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat di IPC TPK Kota Pontianak agar didapatkan informasi yang selengkaplengkapnya mengenai masa kerja tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Vital Paru Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value= 1,000 lebih besar dari p value 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari (2013) mengenai hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas paru dapat dilihat dari hasil analisis uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0,827 dimana p > 0,05. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok. Namun hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), yang menyatakan ada hubungan yang
Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 267
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru dengan p value 0,036. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas serta jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan menimbulkan penurunan pada fungsi paru-paru. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada sistem respirasi dimulai dari saluran udara utama (bronkus), ke saluran udara perifer (bronkiolus) sampai ke alveoli (Milner, 2004 dalam Putri, 2015). Dari hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan, pekerja yang mulai merokok lebih dari sama dengan 5 tahun sebagian besar memiliki kapasitas paru tidak normal yaitu 16 orang (51,6%). Pekerja yang merokok kurang 5 tahun keseluruhannya rmemiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebanyak 9 orang (100%) Sedangkan pekerja yang tidak merokok memiliki kapasitas tidak normal yaitu sebanyak 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja. Pekerja yang masih merokok kecenderungan memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 24 orang (60%). Tenaga kerja bongkar muat yang memiliki kebiasaan merokok dapat meghabiskan rokok sebanyak 2 hingga 32 batang perhari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pekerja yang merokok lebih dari sama dengan 15 batang perhari (perokok berat) sebagian besar memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal yaitu sebanyak 14 orang (66.7%) dari 21 orang pekerja. Untuk pekerja yang merokok kurang dari 15 batang perhari (perokok ringan) memiliki kapasitas paru normal yairu sebanyak 17 orang (89,5%). Sedangkan untuk pekerja yang tidak merokok memilik kapasitas paru normal yaitu 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja telah lama memiliki kebiasaan merokok yaitu lebih dari 5 tahun. Sedangkan untuk jumlah rokok yang dikonsumsi perhari berbeda-beda namun banyak diantara tenaga kerja digolongkan sebagai perokok berat yaitu mengkonsumsi rokok >15 batang perhari. Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok kurang dari 15 batang perhari dan memiliki kapasitas paru tidak normal dapat diakibatkan karena dipengaruhi oleh usia pekerja yang memiliki kebiasaan merokok
berusia lebih dari 40 tahun sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai kapasitas vital paru pekerja dibawah normal. Oleh karena itu, tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya mengurangi atau berhenti merokok agar tidak mempengaruhi nilai kapasitas paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi, misalnya kadar debu terhirup di lokasi kerja yang tidak memenuhi syarat, memiliki masa kerja lama dan riwayat penyakit paru serta kurangnya kesadaran pekerja untuk selalu menggunakan alat pelindung diri pernapasan berupa masker. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Dengan Kapasitas Vital Paru Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,368 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang memiliki riwayat penyakit paru cenderung terjadi gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,8%) dibandingkan dengan tenaga yang tidak memiliki riwayat penyakit paru (34,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2013), mengenai hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru dengan didapatnya hasil p value = 0,812 atau > 0,05 maka ha ditolak, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit merupakan keadaan dimana seseorang pernah atau tidak pernah mengalami penyakit saluran pernapasan terhitung pada saat tenaga kerja mulai bekerja di tempat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja yang tidak pernah sakit penyakit paru memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 23 orang (65,7%).
268 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
Dari beberapa pekerja bongkar muat yang diwawancari, penyakit yang berkaitan dengan paru yang pernah diderita selama bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota pontianak diantanya yaitu asma, pneumonia serta batuk pada saat bekerja. Hal ini disebabkan karena banyaknya debu yang beterbangan disekitar area kerja yang dihasilkan dari proses bongkar muat barang. Menurut Nugroho (2011), mengatakan bahwa faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru adalah adanya riwayat penyakit paru. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Beberapa penyakit infeksi paru akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang. Hal ini berbeda dengan pernyataan Budiono (2007) mengatakan bahwa seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa penyakit pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan mempercepat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar debu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru. Tidak ada hubungan antara kedua variabel hal ini dapat disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhinya yaitu kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (berada diatas NAB) dilokasi kerja akibat aktivitas bongkar muat barang, pekerja yang memiliki masa kerja lama, serta pekerja memiliki kebiasaan merokok sehingga dapat memperburuk kondisi paru yang dapat menurunkan nilai kapasitas paru pekerja. Pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit paru namun pada saat dilakukan pemeriksaan didapat hasil bahwa pekerja tersebut positif memiliki kapasitas paru tidak normal, hal ini dapat terjadi karena pekerja sudah lama tidak memeriksakan diri di unit pelayanan kesehatan dan hasil ini diketahui
setelah dilakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada saat dilakukan penelitian sehingga hasil pemeriksaan yang di dapat berbeda dengan hasil wawancara. Hubungan Antara Penggunaan APD Dengan Kapasitas Vital Paru Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,046 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD masker memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru tidak normal (33,3%) dibandingkan dengan yang menggunakan APD masker (6,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilkaukan oleh Mengkidi (2006), Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa penggunaan APD (p value = 0,046; OR= 2,764; secara bersamasama berpengaruh terhadap kejadian gangguan fungsi paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan masker dengan kejadian kapasitas vital paru dimana hasil p value yang didapat yaitu 0,023. Gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, salah satu faktor penyebabnya adalah lingkungan kerja yang berdebu serta kurangnya kesadaran pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri berupa masker yang dapat mempengaruhi nilai kapasitas paru pakerja. Alat pelindung diri merupakan alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari potensi bahaya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Alat pelindung diri (masker) berfungsi sebagai alat bantu pekerja agar dapat meminimalisir masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan agar terhindar dari gangguan kapasitas paru. Dari hasil observasi peneliti, sebanyak 65% pekerja tidak menggunakan APD masker saat bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya penggunaan APD masker. Berdasarkan hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan terhadap tenga kerja bongkar muat yang
Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 269
menggunakan masker, pekerja yang baru (kurang dari 5 tahun) menggunakan masker yaitu sebanyak 8 orang dan 5 orang (62,5%) diantaranya memiliki kapasitas vital paru normal. sedangkan pekerja yang menggunakan masker dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun) yaitu sebanyak 9 orang dan seluruhnya memiliki nilai kapasitas vital paru normal. Untuk jenis masker yang digunakan oleh pekerja berdasarkan observasi yang dilakukan, seluruh pekerja menggunakan masker yang terbahan kaos, yaitu masingmasing baju pekerja digunakan sebagai masker pada saat melakukan aktivitas bongkar muat barang didalam palka kapal. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan sebagian besar tenaga kerja jarang mengganti atau mencuci masker setelah digunakan. Dimana masker tersebut akan digunakan kembali saat bekerja. Secara tidak langsung, perilaku tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Selain itu, pekerja juga mengaku bahwa dirinya tidak mendapatkan pembagian masker dari perusahaan. Oleh karena itu pekerja hanya menggunakan masker yang berbahan kaos atau sering juga menggunakan baju kaos yang dibalut ke wajah untuk menutupi mulut dan hidung pekerja saat melakukan aktivitas bongkar muat barang non kontainer di dalam palka kapal IPC TPK Kota Pontianak. Dan dari 48 orang tenaga kerja bongkar muat non kontainer, 33 orang pekerja mengaku bahwa penggunaan APD masker sangat mengganggu kenyamanan saat melakukan aktivitas bongkar muat, sehingga sebagian besar pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri berupa masker saat bekerja. Mengingat ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, maka diharapkan kepada pekerja agar selalu menggunakan APD masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang tepat setiap melakukan pekerjaan. Selain itu, penyuluhan dan monitoring terhadap pekerja oleh penanggung jawab tenaga kerja bongkar muat mengenai pentingnya alat pelindung diri (masker) juga sangat diperlukan untuk menurunkan angka kejadian gangguan kapasitas vital paru pekerja. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada hubungan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,041. Tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,068. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,076. Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 1,000. Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,368. Ada hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,046. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan saran antara lain: Bagi perusahaan IPC TPK Kota Pontianak perlu dilaksanakan upaya pencegahan dengan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) terutama masker serta penyediaan fasilitas APD masker yang standar (memenuhi syarat kesehatan). Memberikan istirahat kerja beberapa hari secara bergantian setiap bulannya bagi tenaga kerja bongkar muat untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja. Bagi Pekerja sebaiknya pekerja selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) khususnya masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang baik dan benar ketika bekerja, agar mengurangi resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru.
270 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270
DAFTAR PUSTAKA
Amaliyah, 2013. Hubungan Antara Kadar Debu Dan Kapasitas Paru Pada Karyawan PT Eastern Pearl Flour Mills. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Hasty, Karbella Kuantanades, 2011. Hubungan Lingkungan Tempat Kerja Dan Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals, Jakarta: Universtas Islam Negeri Hidayatullah Mukono, J. 2008. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan, Surabaya: Airlangga University. Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Pada Karyawan PT.
Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan [Tesis]. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Putri, Maulida Wijaya. 2015. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Vital Paru. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Suma’mur, 2014. Hiegiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Sagung Seto: Jakarta. Tambunan, Juni Bonardo Hamonangan, 2013. Hubungan Paparan Partikel debu dan Karakteristik Individu Dengan Kapasitas Paru Pada Pekerja Di Gudang Pelabuhan Belawan (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
KUALITAS FISIK DAN BAKTERIOLOGI AIR BERSIH DI PERMUKIMAN SIANTAN HILIR PONTIANAK UTARA Rina Maulina, Susilawati dan Khayan Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Kualitas Fisik dan Bakteriologi Air Bersih di Permukiman Siantan Hilir Pontianak Utara. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain deskriptif yaitu untuk menggambarkan kualitas fisik dan bakteriologi air bersih di permukiman siantan hilir pontianak utara. Hasil penelitian yang didapat yaitu pada pemeriksaan warna terdapat 15 rumah yang tidak memenuhi syarat, pada pemeriksaan bau terdapat 1 rumah yang tidak memenuhi syarat, pada pemeriksaan rasa terdapat 6 rumah yang tidak memenuhi syarat, dan pada pemeriksaan MPN Coliform terdapat 8 rumah yang tidak memenuhi syarat (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990). Kesimpulan dari penelitian ini adalah dari 30 rumah yang diperiksa 15 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal warna, 1 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal bau, 6 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal rasa dan 8 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam pemeriksaan MPN Coliform. Kata Kunci: Air Bersih, Diare Abstract: The Quality of Physical and Bacteriological Clean Water in Settlements Siantan Hilir Pontianak North. This research is an observational with descriptive design to describe the quality of physical and bacteriological clean water in settlements siantan hilir pontianak north. The results of the Research obtained are in color inspection there were 15 homes that do not meet the eligible, the inspection of the smell there is 1 house that is not eligible, in inspection sense there are 6 homes that are not eligible, and in inspection MPN Coliform are 8 homes that is not eligible (Based on the Ministry of Health of the Republic of Indonesia Number: 416/Menkes/Per/IX/1990). The conclusion of this research is of 30 houses inspected 15 homes that do not meet the eligible in terms of color, 1 house that does not eligible in terms of smell, 6 houses that do not meet the eligible in terms of taste and 8 homes that do not eligible in the examination MPN Coliform. Keywords: Clean Water, Diarrhea
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara. (UU kes. No 36, tahun 2009).
Air merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Tanpa air, tidak satupun manusia dapat bertahan hidup, hal ini dikarenakan hampir 70% dari tubuhnya terdiri dari cairan. Selain itu air juga berpengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup manusia. Suatu lingkungan tidak akan tercipta kebersihan dan kesehatan tanpa tersedianya air. Penduduk yang tinggal di daerah dataran rendah dan berawa seperti di Sumatera dan Kalimantan menghadapi kesulitan memperoleh air bersih untuk keperluan rumah tangga, terutama air minum. Hal ini karena sumber air di daerah tersebut adalah air gambut yang berdasarkan 271
272 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.271 - 274
parameter baku mutu air tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Dengan kata lain makin banyak air yang tersedia dengan kualitas yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya (Sutrisno, 2004). Pemenuhan kebutuhan air bersih dapat diperoleh dari sumber-sumber seperti perlindungan mata air, perpipaan, penampungan air hujan, terminal air, sumur pompa tangan dalam, sumur pompa tangan dangkal, sumur gali dan sebagainya dan ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, penyediaan air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat diharapkan agar senantiasa memperhatikan kondisi air yang akan dikonsumsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat tentang penyediaan air bersih di Indonesia saat ini secara kuantitas yaitu air bersih sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan secara terus menerus dan secara tidak langsung akan menyebabkan timbulnya penyakit akibat air bersih salah satunya adalah penyakit diare. Data yang di dapat dari Dinas Kota Pontianak tentang kasus penyakit diare di Pontianak Utara adalah sebagai berikut, pada puskesmas telaga biru di tahun 2012 terdapat 156 jiwa, tahun 2013 201 jiwa dan tahun 2014 10 jiwa, pada puskesmas siantan hulu di tahun 2012 terdapat 390 jiwa, tahun 2013 1.256 jiwa dan tahun 2014 670 jiwa, pada puskesmas siantan tengah pada tahun 2012 terdapat 252 jiwa, tahun 2013 627 jiwa dan tahun 2014 230 jiwa, pada puskesmas siantan hilir di tahun 2012 terdapat 1.472 jiwa, tahun 2013 4.007 dan tahun 2014 2.947 jiwa, dan pada puskesmas khatulistiwa di tahun 2012 terdapat 280 jiwa, tahun 2013 298 jiwa dan tahun 2014 222 jiwa. Jadi dari 3 tahun terakhir angka penyakit diare tertinggi di Pontianak Utara yaitu pada Puskesmas Siantan Hilir pada tahun 2013. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah metode penelitian bersifat observasional dengan desain deskriptif yaitu untuk menggambarkan kualitas fisik dan bakteriologi air bersih berhubungan dengan kejadian diare di permukiman siantan hilir pontianak utara. HASIL
Tabel 1. Rekapitulasi Pemeriksaan Warna (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No 1. 2.
Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Jumlah
Frekuensi /Jumlah Rumah
%
15
50%
15
50%
30
100%
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 30 rumah yang diperiksa ada 15 rumah yang tidak memenuhi syarat. Dari hasil pemeriksaan laboratorium air yang tidak memenuhi syarat yaitu mendapatkan hasil yang bebeda-beda sedangkan air yang didapat dari sumber yang sama yaitu air PDAM. Hal yang membuat hasil air tersebut berbeda-beda karena disetiap rumah ada saluran perpipaannya tidak dibersihkan dan menjadi kotor, jug disebabkan oleh sebelum penyaringan permintaan distribusi air sudah dialirkan, kebocoran pipa diperjalanan PDAM sehingga kotorannya masuk kedalam saluran air PDAM dan disebabkankan oleh kadar besi yang tinggi dan tidak larut di air sehingga air yang diambil menjadi berwarna kuning. Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawasenyawa organik serta tumbuh-tumbuhan. Warna pada air disebabkan oleh adanya bahan kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut di dalam air. Warna yang disebabkan bahan-bahan kimia disebut apparent color yang berbahaya bagi tubuh manusia. Warna yang disebabkan oleh mikroorganisme disebut true color yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Air yang layak digunakan harus jernih dan tidak berwarna. PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 menyatakan bahwa batas maksimal warna air yang layak digunakan adalah 50 skala TCU. Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan organik dan anorganik, kekeruhan juga dapat mewakili warna. Sedang dari segi estetika kekeruhan air dihubungkan dengan kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan sedang warna air tergantung pada warna buangan yang memasuki badan air.
Rina, dkk, Kualitas Fisik dan Bakteriologi... 273
Tabel 2. Rekapitulasi Pemeriksaan Bau (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No
Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat
Frekuensi/ Jumlah Rumah
%
1.
Memenuhi syarat
29
97%
2.
Tidak memenuhi syarat
1
3%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 2 di atas didapat satu rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu bau pada air kolam. Hal ini ditandai dengan bau seperti bau tanah pada air tersebut. Letak kolam tersebut tidak jauh dari tempat pencucian pakaian dan pencucian piring. Hal ini yang mengakibatkan air kolam tersebut menjadi bau karena aliran bekas air cucian pakaian dan cucian piring dapat merembes masuk kedalam air kolam dan disebabkan karena kolam tidak dapat berhubungan langsung dengan udara bebas, dan terkadang sumber air tanah mengalir dari tempat-tempat pembuangan sampah dari lokasi lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 yang diperbolehkan dalam hal bau yang memenuhi syarat adalah tidak berbau. Tabel 3. Rekapitulasi Pemeriksaan Rasa Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No 1. 2.
Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Jumlah
Frekuensi/ Jumlah Rumah
%
24
80%
6
20%
30
100%
Berdasarkan tabel 3 diatas didapatkan hasil ada beberapa rasa yang tidak memenuhi syarat air bersih yaitu 5 rumah yang menggunakan air PDAM berasa payau sedikit keasinan dan 1 rumah yang menggunakan air kolam berasa kelat atau pekat. Penyebab rasa payau keasinan pada air PDAM disebabkan oleh karena PDAM menggunakan air sungai sebagai air bakunya yang terkadang berasa payau dan asin karena sedikit terampur air laut dan rasa kelat atau pekat pada air kolam disebabkan oleh
masuknya air limbah rumah tangga kedalam air kolam dinetralisirkan dengan kombinasi saringan pasir dan karbon. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 yang diperbolehkan dalam hal rasa yang memenuhi syarat adalah tidak berasa. Ada berbagai macam cara sederhana yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan air bersih, dan cara yang paling umum digunakan adalah dengan membuat saringan air, dan bagi kita mungkin yng paling tepat adalah membuat penjernih air atau saringan air sederhana. Perlu diperhatikan, bahwa penyaringan air secara sederhana tidak dapat menghilangkan sepenuhnya garam yang terlarut di dalam air. Tabel 4. Rekapitulasi Pemeriksaan MPN Coliform (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No 1. 2.
Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Jumlah
Frekuensi/ Jumlah Rumah 22
73%
8
27%
30
100%
%
Berdasarkan tabel 4 diatas mengenai kualitas air besih dalam pemeriksaan MPN Coliform didapatkan hasil dari 30 rumah yang diperiksa terdapat 8 rumah yang tidak memenuhi syarat, yaitu 5 rumah yang menggunakan air hujan dan 3 rumah yang menggunakan air PDAM (MPN Coliform 50 mPN/100ml). Hasil yang terdapat di air hujan tersebut sangat tinggi dan melebihi batas kadar maksimum yang telah ditentukan hal ini disebabkan karena warga yang menggunakan air hujan tersebut menampung air hujan melalui atap rumah yang berupa seng dan tempat penampung air hujan tersebut berupa tempayan yang tidak tertutup. Kontaminasi bakteri Coliform dapat terjadi dari kotoran binatang (kotoran burung dan atau kucing yang berada di atap) dan debu jalan yang berada di atas atap, dapat dipastikan bakteri yang dari kotoran tersebut masuk ke air hujan, maka air hujan tersebut akan terkontaminasi bakteri Coliform. Oleh sebab itu, air hujan yang bersentuhan dengan atap memiliki tingkat kontaminasi yang lebih tinggi. Saat menghadapi kondisi hujan, sangat besar kemungkinan tubuh, tangan,
274 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.271 - 274
ataupun kaki bersentuhan dengan air hujan yang telah mengalir dari atap maupun permukaan kotor lainnya. Terkait dengan kandungan air hujan tersebut, risiko kesehatan juga membayangi penduduk yang masih bertumpu pada tampungan air hujan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (khususnya yang dialirkan lewat pinggiran atap), dan pada air PDAM terdapat hasil kurang lebih seperti air hujan disebabkan oleh saluran perpipaan yang tidak dibersihkan dan menjadi kotor dan dapat disebabkan oleh kebocoran pipa. SIMPULAN Hasil survei dan penelitian yang dilakukan di Permukiman Siantan Hilir, dapat disimpulkan sebagai berikut: Dari 30 rumah yang diperiksa ada 15 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal warna. 15 rumah yang tidak memenuhi syarat tersebut yaitu 14 rumah warga yang
menggunakan air PDAM dan 1 rumah warga yang menggunakan air kolam. Dari 30 rumah yang diperiksa terdapat satu rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu bau pada air kolam. Dari 30 rumah yang di periksa terdapat 6 rumah menggunakan air yang berasa payau sedikit asin dan berasa kelat atau pekat (5 rumah menggunakan air PDAM dan 1 rumah yang menggunakan air kolam) Dari 30 rumah yang diperiksa yang tidak memenuhi syarat MPN Coliform ada 8 rumah yang tidak memenuhi syarat (5 rumah yang menggunakan air hujan dan 3 rumah yang menggunakan air PDAM). Instansi terkait disarankan untuk menyusun rancangan kerja tentang pembinaan peran serta masyarakat dalam hal penyediaan air bersih oleh Dinas Kesehatan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya memiliki penyediaan air bersih.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.416/MENKES/ PER/IX/1990, tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
Sutrisno, 2004. Pengertian air bersih. di unduh dari https://www.scribd.com/doc/804435 11/ Definisi-Air-Dan-Pengertian-AirBersih Undang-undang Kesehatan No. 36, 2009. Tentang Kesehatan.
GAMBARAN PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MEDIS DI RUMAH SAKIT TK.II KARTIKA HUSADA KABUPATEN KUBU RAYA Desi Juliannur, Sunarsieh dan Aryanto Purnomo Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya. Jenis Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan observasi. Analisis data dengan cara membandingkan hasil yang diamati dengan persyaratan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/2004. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya dari tahap minimisasi belum memenuhi syarat kesehatan, tahap penimbulan limbah medis yang menghasilkan ± 18,5 kg/hari, tahap pemilahan dan pewadahan belum memenuhi syarat kesehatan, tahap pengumpulan dan pengangkutan belum memenuhi syarat kesehatan, dan tahap pemusnahan dan pembuangan akhir sudah memenuhi syarat kesehatan. Kata Kunci: Kartika Husada, Limbah Padat Medis Abstract: The Describe of Medical Solid Waste Management at The Hospital Tk.II Kartika Husada Kubu Raya. The type of the research is descriptive observation. Analysis of the data by comparing the results observed with the requirements Kepmenkes 1204/Menkes/SK/2004. The results of this research concluded that medical solid waste management at the Hospital Tk.II Kartika Husada Kubu Raya district of minimization stage do not meet the health requirements onset phase of medical waste that produces ± 18.5 kg / day, the stage of sorting and lug yet qualified health, the stage of collection and transport do not meet the health requirements, and decommissioning and disposal have been complied with health standards. Keywords: Kartika Husada, Medical Solid Waste
Rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Rumah sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan menghasilkan timbulan limbah padat. Limbah padat yang dihasilkan berupa limbah padat medis dan non medis. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas (Depkes RI, 2004). Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat (2014) diungkapkan seluruh rumah sakit di Kubu Raya berjumlah 3 buah rumah sakit, yaitu Rumah sakit Tk.II
Kartika Husada, Rumkit Lanud Supadio, dan RSIA Anugrah. Rumah sakit TK. II Kartika Husada merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 135 buah dan jumlah kunjungan pasien 24.436 orang pertahun, sedangkan rumah sakit Lanud Supadio merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 27 buah dan jumlah pasien 230 orang pertahun, sementara itu RSIA Anugrah merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 35 buah dan jumlah pasien 600 orang pertahun. rumah sakit yang menghasilkn limbah padat medis terbanyak dapat dilihat dari jumlah tempat tidur dan kunjungan pasien, semakin banyak tempat tidur dan kunjungan pasien maka semakin besar pula limbah padat medis yang dihasilkan. 275
276 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.275 - 279
Pada proses pengelolaan limbah padat medis dijumpai ketidaksesuaian pada tahap minimisasi tidak dilakukan daur ulang, pada tahap penimbulan tidak dilakukan penimbangan limbah padat medis setiap hari, pada tahap pengangkutan yang terlihat tidak memiliki troli khusus yang tertutup dan tempat penampungan sementara tidak memiliki pintu, dan pada tahap pewadahan tidak dilakukan desinfektan apabila dipergunakan kembali. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pada tahap minimisasi belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 71% (< 80%) yaitu belum melakukan pengurangan limbah dan daur ulang limbah dan tidak ada penimbangan dan pencatatan jumlah limbah yang dihasilkan dari setiap ruangan.
METODE PENELITIAN
Pada tahap pemilahan dan pewadahan belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan mencapai 75% (< 80%) yaitu tidak melakukan disinfektan pada pewadahan apabila dipergunakan kembali.
Penelitian ini adalah penelitan Deskriptif dengan pendekatan observasi yaitu menggambarkan suatu keadaan dalam waktu yang bersamaan dan tanpa mengadakan pengaturan atau manipulasi terhadap variabel yang di teliti, variabel dilihat sebagai mana adanya. Alat ukur menggunakan kuesioner dan checklist yang digunakan untuk mewawancarai responden dan pengamatan langsung terhadap pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya. HASIL Tabel 1. Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Tahap Penimbulan No.
Ruangan Sumber Limbah Padat Medis
Hasil Penimbangan (kg/hari) 4 kg/hari 6,1 kg/hari
1 2
Instalasi Rawat Jalan Instalasi Rawat Inap
3
UGD
5
Kamar Operasi/bedah
2,2 kg/hari
6
Ruang Laboraturium
1 kg/hari
7
Instalasi Kebidanan
1,2 kg/hari
8
Instalasi Farmasi
1 kg/hari
Total Hasil Penimbangan
± 18,5 kg/hari
3 kg/hari
Berdasarkan tabel 1 Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya menghasilkan limbah padat / hari ± 18,5 kg/hari dari 27 ruangan, hasil yang didapatkan dengan menimbang dan mengambil data wawancara kepada penanggung jawab pengelola limbah rumah sakit. Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Minimisasi
Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pemilahan Dan Pewadahan
Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pengumpulan dan Pengangkutan Pada tahap pengumpulan dan pengangkutan sementara belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 50% (< 80%) yaitu tidak menggunakan troli khusus pengangkutan tetapi menggunakan gerobak angkut pasir yang terbuka, pada saat pengangkutan limbah padat medis dan non medis di angkut secara bersamaan, dan tempat pengumpulan sementara tidak memiliki pintu sehingga mudah di jangkau manusia dan mudah dimasuki oleh vektor penganggu. Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Pada tahap pemusnahan atau pembuangan akhir sudah memenuhi persyaratan karena pesentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 100% (< 80%)
Desi, dkk, Gambaran Pengelolaan Limbah Padat... 277
Tabel 2. Rekapitulasi Data No
Variabel
1
Minimisasi
2
Pemilahan dan pewadahan Pengumpul an dan Pengangkut an Pemusnaha n dan Pembuanga n Akhir Pengelolaan Limbah Padat Medis
3
4
Memenuhi Syarat Ya 5
% 71
Tidak 2
% 28
∑ % 7 100
3
75
1
25
4 100
3
50
3
50
6 100
4
100
15
0
0
4 100
6
21 400 %
%
Sumber:kepmenkes/1204/menkes/SK/X/2004
Data diatas dapat diketahui bahwa empat tahap pengelolaan limbah padat medis padat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya yaitu belum memenuhi syarat karena pengelolaan limbah yang dilaksanakan baru mencapai 74 %, sedangkan 25 % nya lagi tidak dilaksanakan. Menurut Kepmenkes 1204 tahun 2004 persentase pengelolaan limbah padat medis yang memenuhi syarat adalah ≥ 80% item pengelolaan harus dilaksanakan. Hasil penelitian di dapatkan dari observasi langsung dilakukan di lapangan untuk mengetahui pengelolaan limbah padat medis secara keseluruhan. Pengumpulan data dilakukan dengan membuat kuesioner dan lembar checklis sesuai dengan teori dan peraturan pemerintah yang ada. Pengisian kuesioner dilakukan dengan mewawancarai ketua sanitasi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan limbah limbah padat medis, serta lembar observasi dengan cara memberi skor pada item yang tersedia, Keseluruhan pengelolaan merupakan tanggung jawab kepala Instalasi Sanitasi. dapat diketahui bahwa empat tahap pengelolaan limbah padat medis padat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya yaitu belum memenuhi syarat karena pengelolaan limbah yang dilaksanakan baru mencapai 74 %, sedangkan 25 % nya lagi tidak dilaksanakan. Menurut Kepmenkes 1204 tahun 2004 persentase
pengelolaan limbah padat medis memenuhi syarat adalah ≥ 80% pengelolaan harus dilaksanakan.
yang item
PEMBAHASAN Timbulan Limbah Padat Medis Pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya Pada penimbulan limbah diketahui bahwa volume limbah medis di setiap harinya di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada yaitu ± 18,5 kg, dimana berat limbah medis yang terbesar adalah berasal dari instalasi rawat inap ± 8,2 kg sedangkan untuk limbah terkecil adalah dari ruang laboraturium dan instalasi farmasi ± 1 kg. Tahap Minimisasi Limbah Padat Medis Pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Tahap minimisasi limbah padat medis Rumah Sakit TK.II Kartika Husada sudah melakukan upaya menyeleksi bahan yang akan dibeli dengan barang yang dibutuhkan saja, tetapi belum melakukan pengurangan limbah dan daur ulang untuk digunakan kembali serta tidak ada pencatatan jumlah limbah yang dihasilkan di setiap ruangan. Hal ini dapat meningkatkan timbunan limbah dari aktivitas rumah sakit, solusi yang dapat di lakukan sebaiknya petugas melakukan pencatatan dan pemantauan volume limbah setiap harinya sehingga rumah sakit dapat mengontrol limbah serta melakukan daur ulang limbah yang masih bisa digunakan. Tahap Pemilahan dan Pewadahan Limbah Padat Medis pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Tahap pemilahan dan pewadahan di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya, telah dilakukan pemisahan limbah mulai dari sumber limbah yang dihasilkan oleh pelayanan rumah sakit. Limbah padat medis dipisahkan dengan limbah non medis, tetapi tidak ada disinfektan pada pewadahan yang dipergunakan kembali. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, pewadahan yang tidak dibersihkan dengan
278 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.275 - 279
desinfektan dapat menjadi tempat besarangnya vektor penyakit dan binatang pengganggu, menimbulkan bau, mengganggu proses pelayanan rumah sakit. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi pewadahan ini, petugas harus membersihkan pewadahan dengan desinfektan pada saat proses pengangkutan agar terhindar hal yang tidak diinginkan. Tahap Pengumpulan dan Pengangkutan Limbah Padat Medis Pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Tahap pengumpulan dan pengangkutan limbah padat medis di Rumah TK.II Kartika Husada menggunakan alat pengumpulan limbah dari setiap ruangan dan pengumpulan limbah sementara dilakukan dengan menggunakan alat angkut khusus yang belum memenuhi syarat, hal ini dikarenakan alat angkut menggunakan gerobak angkut tidak tertutup sehingga dengan volume yang di diangkut lebih besar dari pada kapasitas alat angkut dapat membuat limbah sering kali tumpah saat dilakukan pengangkutan dari sumber menuju tempat pembuangan/ penyimpanan sementara, proses pengangkutan sampah medis dan non medis secara bersamaan menggunakan 1 alat angkut, seharusnya pengangkutan dibedakan alat angkutnya dan tidak bersamaan. Tempat penyimpanan sementara kurang memadai karena tidak memiliki pintu sehingga ruangannya terbuka serta limbah ditumpukan di lantai tanpa ada pewadahan yang memadai seperti di kumpulkan dalam kontainer, hal ini memungkinkan vektor dan binatang pengganggu menjadi sumber penyakit bagi lingkungan rumah sakit, yang perlu dilakukan yaitu dengan menyiapakan kontainer untuk wadah penyimpanan sementara sebelum diangkut ke insenerator dan ruangan tersebut di beri pintu agar tidak terjadinya keluar masuk vektor dan binatang pengganggu serta jauh dari jangkauan manusia. Alat yang digunakan untuk mengangkut limbah padat medis dan non medis tidak dilakukan pemisahan, hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam pembuangannya, yang perlu dilakukan yaitu dengan menambah petugas untuk mengangkut limbah medis dan non medis dengan alat angkut khusus secara terpisah. Selain itu penggunaan jalur khusus untuk petugas pengangkut limbah tidak ada, petugas mengangkut limbah menuju tempat penyimpanan sementara menggunakan jalur
umum yang dipakai oleh semua masyarakat di lingkungan rumah sakit, hal ini dapat menyebabkan pencemaran dan penularan penyakit nosokomial di lingkungan rumah sakit, yang perlu dilakukan adalah dengan menyediakan jalur khusus untuk mengangkut limbah infeksius menuju tempat penyimpanan sementara sebelum dilakukan pembakaran. Petugas rumah sakit ini mengerti tentang pengelolaan limbah tetapi petugas tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pegeolaan limbah karena keterbatasan biaya dari rumah sakit. Pengangkutan limbah padat ini dilakukan untuk dibakar ke insenerator, Petugas pengangkut limbah menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan lengkap. Tahap Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Limbah Padat Medis Pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya Tahap pemusnahan limbah padat medis pada Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya memenuhi syarat kesehatan, dimana rumah sakit memiliki 1 insenerator yang dapat difungsikan petugas pengelolaan limbah padat medis. Pembakaran dilakukan 1 hari sekali atau 1 × 24 jam dengan suhu 1.000 oC. Rumah skait ini pernah melakukan penelitian tentang pengelolaan yang dilakukan dinas kesehatan. SIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya, peneliti dapat disimpulkan bahwa proses pengelolaan limbah padat medis yang ada dirumah sakit ini, sebagai berikut: Tahap penimbulan limbah padat medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya yang menghasilkan ±18,5 kg/hari dari seluruh ruangan penghasil limbah padat medis Tahap minimisasi limbah padat medis belum memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit = 71% (≤80%) Tahap pemilahan dan pewadahan limbah padat medis belum memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit = 75% (≤80%) Tahap pengumpulan dan pengangkutan limbah padat medis belum memenuhi
Desi, dkk, Gambaran Pengelolaan Limbah Padat... 279
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit =50% (≤80%) Tahap pemusnahan dan pembuangan akhir limbah padat medis memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit = 100% (≥80%) Berdasarkan point 1 s/d 5 tahap pengelolaan limbah padat medis dikatakan, bahwa yang memenuhi syarat kesehatan lingkungan rumah sakit hanya 1 tahap, yaitu pemusnahan dan pembuangan akhir yang memenuhi syarat kesehatan. Tahap penimbulan limbah padat infeksius sebaiknya rumah sakit ini melakukan pencatatan dan pengukuran volume limbah padat medis yang dihasilkan perhari. Tahap minimisasi dalam pengelolaan limbah padat medis sebaiknya dilakukan daur
ulang limbah dan memanfaatkan limbah yang dapat dimanfaatkan kembali. Tahap pemilahan dan pewadahan limbah padat medis sebaiknya petugas membersihkan pewadahan limbah padat medis menggunakan larutan desinfektan apabila dipergunakan kembali. Tahap pengumpulan dan pengangkutan limbah padat medis sebaiknya pihak rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana seperti troli pengangkut khusus yang tertutup dan tempat penampungan sementara sebaiknya pihak rumah sakit menyelenggarakan biaya untuk membuat pintu penampungan limbah sementara sehingga tidak dapat dijangkau oleh vektor yang dapat menjadi agen penyebar penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, 2007. Sistem Manajamen Lingkungan Rumah Sakit. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Depkes RI, 2007. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen Kesehatan R.I: Jakarta. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes: Jakarta Depkes RI, 2006. Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah Cair di Rumah Sakit. Dirjen P2M Dan PLP dan Dirjen Pelayanan Medik: Jakarta. Depkes RI, 2004. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Direktorat Penyehatan Lingkungan: Jakarta.
ILO dan WHO, 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS. Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI: Jakarta. Profil Rumah Sakit TK.II Kartika Husada, 2014. Pruss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P., 2005. Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (penerjeman : manuya Fauziah, Mulia sugiarti, & Ela Laelasari). EGC: Jakarta.
PENGARUH EKSTRAK DAUN SALAM (Syzygium polyanthum) SEBAGAI REPELLENT TERHADAP NYAMUK Aedes aegypti Ayu Selvi Lestari, Hajimi dan Susilawati Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Pengaruh Ekstrak Daun Salam (Syzygium Polyanthum) sebagai Repellent terhadap Nyamuk Aedes Aegypti. Jenis penelitian ini bersifat eksperimen semu. Sampel penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang diambil dari tempat penampungan air bersih dan dikembangbiakkan di laboratorium. Metode peneiitian dimuai dari pembuatan ekstrak Daun Salam, pembuatan berbagai variasi konsentrasi dosis, persiapan sampei uji dan perlakuan peneilitian. Analisis data secara univariat dan bivariat diiakukan dengan uji statistic Anova dan diianjutkan dengan uji LSD (Least Significance Different). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai p=0,000 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh ekstrak Daun Salam sebagai repellent terhadap jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap antara variasi konsentrasi 35%, 40%, 45%, 50% dan 55%. Uji post-hoc dengan LSD diketahui pada konsentrasi 35% dengan 40% tidak berbeda secara signifikan p= 0.283 > 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan pengaruh jumlah nyamuk yang hinggap setelah diberi perlakuan ekstrak Daun Salam dengan berbagai variasi konsentrasi dosis. Efektivitas tertinggi konsentrasi ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum) sebagai repellent nyamuk Aedes aegypti terdapat pada konsentrasi dosis 55% dengan rata-rata efektivitas 89,91%. Kata Kunci: Ekstrak Daun Salam, Repellent Abstract: The Effect of Salam Leaf Extract (Syzygium Polyanthum) as a Repellent Against The Number of Aedes Aegypti Mosquitoes. This research is quasiexperimental. Sample is Aedes aegypti taken from clean water reservoir and bred in the Iaboratorium. The research methods started from making Salam Leaf extract, manufacture of various concentrarions of the dose, the preparation of test samples and the study treatment. Data analysis was performed using univariat and bivariate statistical test Anovafollowes by LSD (Least Significance Different). Based on research results, obtained by value p= 0,000 which shows that there influence Salam Leaf extract (Syzygium polyanthum) as a repellent against the number of Aedes aegypti mosquitoes that landed between variations in the concentration of 35%, 40%, 45%, 50% and 55%. Test post-hoc LSD known at concentrations of 35% to 40% did not differ significantly p= 0,283 > 0,5. Conclusion from this study is that there are differences the number of mosquitoes that land after Salam Leaf extract treated with various concentrations of the dose. The highest effectiveness Leaf extract concentration Salam (Syzygium polyanthum) as the Aedes aegypti mosquito repellent contained in a dose concentration of 55% with an average of 89.91% effectiveness. Keywords: Salam Leaf Extract, Repellent
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di dunia, karena prevalensinya yang cenderung meningkat serta penyebarannya yang semakin luas. Diperkirakan
2,5 milyar penduduk atau sekitar 2/5 populasi penduduk dunia di negara tropis dan subtropis sangat beresiko terinfeksi DBD (WHO, 2012). Dimusim hujan, penyakit demam berdarah
280
Ayu, dkk, Pengaruh Ekstrak Daun Salam... 281
dengue kerap meningkat kejadiannya dan tidak jarang menelan korban jiwa (Satari, 2004). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue penyebab DBD memerlukan bantuan nyamuk untuk berpindah ke tubuh manusia. Nyamuknya sendiri mempunyai ciri belang-belang hitam putih Aedes dan bukan oleh jenis nyamuk lainnya (Nadesul, 2004). Penyakit dari nyamuk ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anakanak, serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah (Rezeki, 2005). Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD di Asean dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang pada tahun 2010. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL Kemkes RI), melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia menurun dengan jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403 orang (Kemkes RI, 2011). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, diketahui pada tahun 2014 menyatakan bahwa dari 14 Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, sebanyak 5 Kabupaten diantaranya berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu, Kabupaten Ketapang, Kubu Raya, Mempawah, Sintang dan Kabupaten Sekadau. Pada rentang Januari hingga Desember, dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Barat tercatat 68 orang meninggal akibat kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) (Dinkes Prov.KalBar, 2014). Mengingat besarnya angka kasus penyakit akibat vektor nyamuk (vector born disease) tersebut, maka harus diperlukan suatu upaya pengendalian yang tepat sasaran. Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : modifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, perubahan habitat atau perilaku manusia, pengendalian biologis dan pengendalian dengan bahan kimia (WHO, 2002). Salah satu cara untuk mengatasi penyakit demam berdarah yang sering digunakan masyarakat adalah dengan cara kimia seperti menggunakan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun waktu 40 tahun terakhir semakin meningkat baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini
disebabkan insektisida sintetis tersebut mudah digunakan, lebih efektif dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida dalam Nursal, 2005). Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan bahan insektisida untuk pengendalian vektor penyakit (Amalia, 2015). Dewasa ini, penelitian tentang tumbuhan berpotensi sebagai insektisida nabati telah banyak dilaporkan. Manaf (2014), meneliti tentang uji efektivitas dari daun kacapiring yang mengandung minyak atsiri, linallol dan styrolyl dapat menjadi bahan aktif sebagai repellent elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegypti. Tanaman Salam merupakan jenis bumbu yang banyak digunakan dalam berbagai jenis masakan tradisional Indonesia, baik dalam bentuk segar maupun kering (Arintawati, 2000). Untuk mendapatkan daun Salam sangatlah mudah dan terjangkau dari segi ekonomis. Anggota family Myrtaceae ini memiliki sifat rasa kelat, wangi, astrigen dan memperbaiki sirkulasi (Hariana, 2006). Daun Salam (Syzygium polyanthum) mengandung beberapa komponen seperti minyak atsiri (sitral, eugenol), tannin dan flavonoid (Dalimartha, 2000). Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan bahwa dari ekstrak daun Salam dengan variasi konsentrasi dosis 10% dapat menolak 4 ekor nyamuk dari 20 ekor nyamuk dengan persentase 20%, konsentrasi dosis 30% mendapatkan hasil dapat menolak 11 ekor nyamuk dengan persentase 55% dan konsentrasi dosis 50% dapat menolak 19 ekor nyamuk dari 20 ekor nyamuk yang di uji dengan persentase 95%. Dari variasi dosis tersebut dosis yang memiliki daya tolak tertinggi yaitu pada konsentrasi dosis 50% yang mampu menolak daya hinggap nyamuk sebanyak 19 ekor nyamuk dalam kandang uji. METODE PENELITIAN Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak daun Salam dengan berbagai variasi konsentrasi yaitu 35%, 40%, 45%, 50%, 55%. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah nyamuk yang hinggap di tangan. Penelitian ini bersifat eksperimen semu (quasi experimen) yaitu penelitian yang mendekati percobaan sungguhan, tetapi tidak mungkin mengadakan control (memanipulasikan) semua variabel yang relevan (Notoatmodjo, 2005).
282 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.280 - 286
HASIL Ekstrak Daun Salam 35%
I
11
57,89
2
II
18
9
9
50
3
III
19
7
12
63,15
4
IV
17
9
8
47,05
5
V
15
8
7
46,66
17,6
8,2
9,4
52,95
Rata-rata
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas, persentase perbedaan efektivitas repellent ekstrak Daun Salam tertinggi terjadi pada pengulangan ketiga, yaitu 63,15% dan terendah terjadi pada pengulangan kelima, yaitu 46,66%. Ekstrak Daun Salam 40%
No
1
I
II 2 III 3 IV 4 V 5 Rata-rata
Jumlah Nyamuk yang Hinggap Ekstrak Daun Kontrol Salam 40% 17 7 19 18 19 17 18
8 6 8 9 7,6
Efektivitas (%)
Tabel 2. Distribusi Jumlah dan Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada ekstrak daun salam 40% Selama 5 menit
Sumber : Data Primer 2016
V1 x N2 = V2 x N2
Efektivitas (%)
1
Jumlah Nyamuk yang Hinggap Ekstrak Daun Kontrol Salam 35 % 19 8
Perbedaan
No
Pengulangan
Tabel 1. Distribusi Jumlah dan Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada ekstrak daun salam 35% Selama 5 menit
Perbedaan
5 x 5 x 20 ekor = 500 nyamuk Teknik dan instrumen pengumpulan data antara lain : Prosedur Penelitian : (a) Pembiakan nyamuk. (b) Pembuatan ekstrak Daun Salam (c) Pembuatan Ekstrak Daun Salam adalah dengan cara pengeringan, penghalusan, perendaman dan menggunakan alat vacuum rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak pekat. Ekstrak Daun Salam yang sudah jadi tersebut diencerkan menggunakan aquadest untuk mendapatkan konsentrasi 35%, 40%, 45%, 50% dan 55%, dengan menggunakan rumus (Laboratorium MIPA Universitas Tanjung Pura, 2015):
Ket : V1 = Volume dari awal yang dibutuhkan N2 = Konsentrasi awal V2 = Volume yang diinginkan N1 = Konsentrasi yang diinginkan
Pengulangan
Populasi dalam penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang sengaja dibiakkan. Satu kandang berisi 20 ekor nyamuk. Dan penelitian ini dilakukan pada siang hari yaitu pada jam 08.30 – 10.30 WIB. Penentuan banyaknya nyamuk adalah 20 ekor setiap kandangnya, nyamuk yang digunakan adalah nyamuk Aedes aegypti betina berdasarkan Modul Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang dikembangbiakkan dari jentik Aedes aegypti yang diambil dari tempat penampungan air bersih atau air hujan dan diberi berbagai perlakuan. Adapun besarnya sampel dapat dihitung dengan rumus di bawah ini (Supranto J, 2005 dalam Rasid, 2014) : (t-1)(r-1) ≥ 15 Dimana: r = Jumlah pengulangan t = Jumlah perlakuan (t-1)(r-1) ≥ 15 (5-1)(r-1) ≥ 15 4(r-1) ≥ 15 4r-4 ≥ 15 4r = 15+4 = 19 r = 19/4 = 4,75 = 5 Dalam perhitungan rumus di atas yaitu dengan menggunakan 5 perlakuan, maka hasil r = 4,75 dibulatkan menjadi 5. Sampel nyamuk yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 20 ekor untuk setiap kandang. Pengujian ini dilakukan 5 kali pengulangan untuk mengetahui perilaku menghindar nyamuk dengan 5 variasi konsentrasi ekstrak Daun Salam. Jadi, jumlah total keseluruhan nyamuk yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
10
58,82
11 12 11 8 10,4
57,89 66,66 57,89 47,05 57,66
Ayu, dkk, Pengaruh Ekstrak Daun Salam... 283
I
Efektivitas (%)
19 18
3
15
83,33
4
IV
18
2
16
88,88
5
V
16
1
15
93,75
17,8
1,8
16
89,91
18
5
13
72,22
17
4
13
76,47
4
IV
19
6
13
68,42
5
V
19
5
14
73,68
18,2
5
13,2
72,60
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas, persentase perbedaan efektivitas repellent ekstrak Daun Salam tertinggi terjadi pada pengulangan ketiga, yaitu 76,47% dan terendah terjadi pada pengulangan keempat, yaitu 68,42%. Ekstrak Daun Salam 50% Tabel 4. Distribusi Jumlah dan Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada ekstrak daun salam 50% Selama 5 menit
Rata-rata
Efektivitas (%)
15 15 17 13 12 14,4
78,94 83,33 89,47 81,25 80 82,60
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas, persentase perbedaan efektivitas repellent ekstrak Daun
16
88,88
1
18
94,73
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas, persentase perbedaan efektivitas repellent ekstrak Daun Salam tertinggi terjadi pada pengulangan kedua, yaitu 94,73% dan terendah terjadi pada pengulangan ketiga, yaitu 83,33%. Hasil Uji Perbedaan Jumlah Nyamuk yang Hinggap Di Tangan dengan Menggunakan Berbagai Variasi Konsentrasi Dosis Repellent Ekstrak Daun Salam Tabel 7. Hasil Uji Anova Jumlah nyamuk hinggap Sum of
Perbedaan
Pengulangan
II III
II
I 1 II 2 III 3 IV 4 V 5 Rata-rata
2 3
III
No
I
72,22
3
Jumlah Nyamuk yang Hinggap Ekstrak Daun Kontrol Salam 50% 19 4 18 3 19 2 16 3 15 3 17,4 3
1
13
2
Rata-rata
No
Efektivitas (%)
1
Jumlah Nyamuk yang Hinggap Ekstrak Daun Kontrol Salam 45% 18 5
Jumlah Nyamuk yang Hinggap Kontrol Ekstrak Daun Salam 55% 18 2
Perbedaan
No
Pengulangan
Tabel 3. Distribusi Jumlah dan Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada ekstrak daun salam 45% Selama 5 menit
Tabel 5. Distribusi Jumlah dan Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada ekstrak daun salam 55% Selama 5 menit Perbedaan
Ekstrak Daun Salam 45%
Salam tertinggi terjadi pada pengulangan ketiga, yaitu 83,33% dan terendah terjadi pada pengulangan pertama, yaitu 78,94%. Ekstrak Daun Salam 55%
Pengulangan
Berdasarkan tabel di atas, persentase perbedaan efektivitas repellent ekstrak Daun Salam tertinggi terjadi pada pengulangan ketiga, yaitu 66,66% dan terendah terjadi pada pengulangan kelima, yaitu 47,05%.
Squares Between
Mean
Df
155.840
Square 4
Sig.
38.960 52.6
Groups Within
F
.000
49 14.800
20
170.640
24
.740
Groups Total
Sumber : SPSS Uji Anova, 2016
Diperoleh nilai p=0,000 sehingga ada perbedaan antara konsentrasi dosis ekstrak Daun Salam sebagai repellent terhadap jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap.
284 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.280 - 286
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa konsentrasi repellent ekstrak Daun Salam yang tidak berbeda secara signifikan dengan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap yaitu terdapat pada konsentrasi 35% dengan 40%, sedangkan pada konsentrasi lainnya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. PEMBAHASAN Perbedaan jumlah nyamuk yang hinggap dengan variasi konsentrasi pengaruh ekstrak Daun Salam Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p=0,000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nyamuk yang hinggap di tangan dengan variasi konsentrasi ekstrak Daun Salam sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pada Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.5, menunjukan bahwa nyamuk yang hinggap di tangan pada kondisi kontrol berbeda dengan semua variasi konsentrasi ekstrak Daun Salam yang diujikan. Hal ini menunjukan bahwa terdapat kecendrungan nyamuk untuk menghindar dan tidak hinggap pada tangan yang telah diberi ekstrak Daun Salam.Variasi konsentrasi dosis yang digunakan pada penelitian adalah sebesar 35%, 40%, 45%, 50% dan 55%. Tabel 4.9 hasil uji post-hoc LSD (Least Significance Different) menunjukan terdapat perbedaan masing-masing konsentrasi ekstrak Daun Salam 35%, 40%, 45%, 50% dan 55%. Terlihat bahwa konsentrasi repellent ekstrak Daun Salam yang tidak berbeda secara signifikan dengan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap yaitu terdapat pada konsentrasi 35% dengan 40%, sedangkan pada konsentrasi lainnya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Berdasarkan hasil uji efektivitas didapati hasil konsentrasi ekstrak Daun Salam yang lebih efektif yaitu pada konsentrasi 55% dengan ratarata sebesar 16 nyamuk atau 89,91%. Tabel hasil pengamatan dari jumlah nyamuk yang hinggap, menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak Daun Salam yang diujikan, maka semakin sedikit jumlah nyamuk yang hinggap di tangan. Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat peningkatan efektivitas daya tolak pada ekstrak Daun Salam terhadap nyamuk Aedes aegypti. Adanya perbedaan efektivitas konsentrasi dosis dapat diihat pada rata-rata jumlah nyamuk yang hinggap.
Diketahui, ekstrak daun Salam memiliki daya tolak terhadap nyamuk Aedes aegypti, namun terdapat perbedaan efektivitas yang nyata antara konsentrasi dosis yang ada. Ini membuktikan ekstrak daun Salam memiliki efektivitassebagai repellent nyamuk Aedes aegypti yang digunakan peneliti sebagai sampel. Konsentrasi perlakuan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang menolak. Pada penelitian ini, semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun Salam yang digunakan, maka semakin tinggi jumlah nyamuk Aedes aegypti yang menolak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2013), menyatakan bahwa semakin rendah konsentrasi air perasan serai wangi (Cymbopogon nardus) yang digunakan masih ada nyamuk Aedes aegypti yang menusuk, sebaliknya semakin tinggi konsentrasi air perasan serai wangi (Cymbopogon nardus) yang digunakan maka semakin tidak ada nyamuk Aedes aegypti yang menusuk. Proses penolakan terhadap nyamuk karena penggunaan repellent dapat diterangkan sebagai berikut : minyak atsiri yang disemprotkan merata di tangan pengguna akan meresap ke pori-pori kulit, lalu karena panas tubuh, minyak atsiri akan menguap ke udara. Bau ini akan terdeteksi oleh reseptor kimia (chemoreceptor) yang terdapat pada antena nyamuk dan diteruskan ke impuls saraf. Bau dari minyak atsiri ini tidak disukai nyamuk. Hal itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam otak nyamuk sehingga nyamuk akan mengekspresikan untuk menghindar dari sumber bau. Nyamuk memilih menghindar dan membatalkan arah dari lengan/bagian tubuh pengguna repellent, mencari sumber makanan di tempat lain. Oleh sebab itu pengguna repellent akan terhindar dari gigitan nyamuk. Semakin banyak kandungan bahan aktif minyak atsiri yang terdapat dalam suatu tanaman, maka semakin besar kemampuan minyak atsiri tersebut menolak nyamuk (Shinta, 2010). Senyawa yang mudah menguap adalah senyawa golongan terpenoid. Terpenoid merupakan senyawa yang diduga bersifat sebagai penolak nyamuk. Menurut Djatmiko (2011), bahwa terpenoid merupakan komponen tumbuhan yang mempunyai bau karena mudah menguap. Zat yang terkandung dalam golongan terpenoid, yaitu seperti minyak atsiri, tannin, flavonoid, eugenol, sitral, polifenol dan lain-lain.
Ayu, dkk, Pengaruh Ekstrak Daun Salam... 285
Terpenoid dapat mempertahankan kestabilannya hingga temperature 100°C. Proses ekstraksi Daun Salam pada penelitian ini menggunakan suhu ± 40°C. Jadi, senyawa terpenoid pada ekstrak daun Salam diperkirakan tidak rusak dalam proses ekstraksi sehingga dapat berperan sebagai penolak nyamuk Aedes aegypti. Daun Salam mengandung minyak atsiri, tanin dan flavonoid (Dalimartha, 2000). Minyak atsiri yang terdapat pada Daun Salam menjadi petunjuk kuat, bahwa Daun Salam dapat berperan sebagai Repellent nyamuk. Semua zat yang terkandung di dalam minyak atsiri merupakan zat-zat yang berfungsi sebagai repellent (Maia et.al., 2001 dalam Rilianti, 2015). Selain itu, zat lain yang medukukung Daun Salam dapat berperan sebagai repellent nyamuk adalah tanin dan flavonoid. Senyawa tanin dapat menurunkan kemampuan serangga mencerna makananan dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan sedangkan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik (Dinata, 2008 dalam Haditomo, 2010). Efektivitas tertinggi Daun Salam
konsentrasi
ekstrak
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak Daun Salam, maka semakin meningkat efektivitas daya tolak terhadap nyamuk Aedes. Pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak Daun Salam yang paling efektif digunakan sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti adalah konsentrasi 55% dimana dengan rata-rata persentase efektivitas sebesar 89,91%. Merujuk pada Tabel 4.9 yaitu mengenai konsentrasi dosis yang signifikan, terlihat bahwa terdapat hasil yang tidak signifikan antara
variasi konsentrasi dosis 35% dengan konsentrasi dosis 40%. Adanya hasil yang tidak signifikan tersebut dapat terjadi karena rentang dosis yang terlalu dekat sehingga perbedaan daya tolak tidak berbeda secara signifikan. Penggunan repellent secara semprot merupakan salah satu upaya untuk mencegah gigitan nyamuk yang dapat menimbulkan penyakit akibat nyamuk. Repellent lebih efektif digunakan dikarenakan dengan cara perlindungan secara individu, sehingga hasilnya akan lebih maksimal. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu, pada konsentrasi 55% belum bisa menolak nyamuk sebanyak 100% dan pada penelitian ini tidak melakukan perbandingan dengan jenis ekstrak daun lainnya yang terbukti efektif menurunkan gigitan nyamuk seperti daun serai dan kulit buah jeruk. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum) sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap antara variasi konsentrasi pengaruh ekstrak Daun Salam 35%, 40%, 45%, 50% dan 55% dimana diperoleh nilai signifikan sebesar p=0,000≤ 0,05. Efektivitas tertinggi konsentrasi pengaruh ekstrak daun Salam (Syzygium polyanthum) sebagai repellent nyamuk Aedes aegypti terdapat pada konsentrasi dosis 55% dengan rata-rata efektivitas 89,91%. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan konsentrasi dosis di atas 55% agar didapat penolakan nyamuk sebesar 100%, serta membandingkan ekstrak Daun Salam dengan daun yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Amalia, Rizqi, 2015. Daya Bunuh Air Perasan Daun Mengkudu (Morinda Citrifolia) Terhadap Kematian Larva Aedes Aegypti. Proposal Program Kreativitas Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Semarang. Arintawati, Muti, 2000. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Aroma Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight)
Walp. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas IPB. Bogor. Dalimartha, Setiawan, 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jiid 2. Trubus Agriwidya. Jakarta. Dinkes Provinsi KalBar, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak. Kementrian, Kesehatan, 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue. Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB dan
286 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.280 - 286
Diten PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Nadesul, H, 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Kompas. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta: Jakarta Rasid, Al Ghazaly, 2014. Perbedaan Efektivitas Daya Tolak Repellent Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C) dengan Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) terhadap Daya Hinggap Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Pontianak. Skripsi. Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak.
Rejeki, S, 2011, Bunga Kamboja Pengusir Nyamuk. John Wiley and Sons, inc. Journal. New York Satari, Hindra, 2004. Demam Berdarah. PuspaSwara. Jakarta. Supartha, I Wayan, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae) dalam Makalah Pertemuan Ilmiah Dies Natalis 2008. Fakultas Udayana Fakultas Pertanian: Bali. WHO, 2012. Dengue and Severe Dengue. Fact sheet N117. WHO, 2002. Paduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
GAMBARAN PENGOLAHAN AIR BERSIH DI PDAM KOTA SINGKAWANG Laksmi Handayani, Taufik Anwar dan Bambang Prayitno Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Pengolahan Air Bersih di PDAM Kota Singkawang. Jenis penelitian ini deskriptif yaitu pemantauan langsung yang di lakukan untuk memperoleh data tentang gambaran pengolahan air bersih di PDAM Kota Singkawang 2016. Hasil penelitian yang didapat sebelum diolah maupun setelah diolah menunjukkan adanya kelemahan dalam pengolahan misalnya adanya kandungan Fe 0,4 mg/l, sedangkan persyaratan kadar Fe 0,3 mg/l, selanjutnya kekeruhan 22,6 mg/l sedangkan persyaratan 5 mg/l, sedangkan untuk pH 7 dan kesadahan 34 mg/l. Pada hasil uji laboratorium ini belum sepenuhnya memenuhi persyaratan kualitas air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. Kata Kunci: Air Bersih, Tingkat Kekeruhan Abstract: The Describe of Clean Water Treatment in PDAM Singkawang City. This study is descriptive, namely direct monitoring undertaken to obtain data about the describe of clean water treatment in PDAM Singkawang city 2016. The results of the research were obtained before processing and after processing indicate a weakness in the processing, for example the Fe content of 0.4 mg/l, while the requirement of Fe content of 0.3 mg/l, then the turbidity of 22.6 m/l, while the requirement 5 mg/l , while for pH 7 and a hardness of 34 mg/l. The laboratory test results have not yet fully meet the requirements of water quality according to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 416/Menkes/PER/IX/1990. Keywords: Clean water, the levels of Turbidity
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan secara berkelanjutan. Penggunaan air bersih sangat penting untuk konsumsi rumah tangga, kebutuhan industri, dan tempat umum. Kebutuhan air bersih di kota dan di desa berbeda, kebutuhan air bersih di desa antara 6080 liter/orang/hari, sedangkan di kota kebutuhan akan air antara 60-120 liter/orang/hari. Menurut PBB, lebih dari satu miliar orang tidak memiliki akses terhadap air bersih, tiga miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang memadai, dan angka kematian akibat penyakit menular melalui air yang kurang bersih mencapai tiga juta kematian per tahun. Dikarenakan pentingnya kebutuhan akan air bersih, maka adalah hal yang wajar jika sektor air bersih mendapatkan prioritas penanganan utama karena menyangkut
kehidupan orang banyak. Penanganan akan pemenuhan kebutuhan air bersih dapat dilakukan dengan berbagai cara, disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada. Di daerah perkotaan, system penyediaan air bersih dilakukan dengan system perpipaan dan non perpipaan. Sistem perpipaaan dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan system non perpipaan dikelola oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok (Sugiharto, 1985). METODE PENELITIAN Penelitian gambaran pengelolaan air bersih di PDAM kota singkawang 2016, termasuk penelitian deskriptif yaitu pemantauan langsung yang di lakukan untuk memperoleh data tentang Gambaran 287
288 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.287 - 291
Pengolahan Air Bersih Singkawang 2016.
di
PDAM
Kota
Sumber air baku berasal dari sumber air permukaan dan mata air gunung yang terbesar di Kota Singkawang, yaitu: Eria, Hangmoi.
HASIL Proses Pengolahan Air Dari hasil penelitian yang di dapatkan dari observasi langsung dilapangan dengan tujuan agar dapat mengetahui bagaimana pengolahan air bersih di PDAM Kota Singkawang secara keseluruhan. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan cara membuat kuesioner dan lembar observasi dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pendirian PDAM Gunung Poteng Kota Singkawang. Kadar Kekeruhan, Kesadahan, Fe, pH pada PDAM Kota Singkawang. Kekeruhan Dari hasil penelitian yang di dapatkan pada tingkat kadar kekeruhan yang sebelum diolah 22,6 NTU, untuk itu perlu dilakukan penyaringan atau sedimentasi. Kesadahan Dari hasil penelitian yang di dapatkan pada tingkat kesadahan yang sebelum diolah 34 mg/liter, dari hasil pengamatan peneliti tidak perlu dilakukan penambahan koagulan. Fe Dari hasil penelitian yang di dapatkan pada tingkat Fe yang sebelum diolah 0,4 mg/liter, untuk itu tidak perlu dilakukan pengolahan karena sudah mendapatkan angka standar mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. pH Dari hasil penelitian yang di dapatkan pada derajat keasaman pada air baku yang sebelum diolah 7, untuk itu tidak perlu dilakukan penambahan koagulan karena telah memenuhi persyaratan untuk kualitas air bersih antara 6,5-8,5. Proses Pengolahan Air Baku PDAM Kota Singkawang Sumber Air Baku
Screening Air baku disedot dengan mesin pompa, selanjutnya di saring menggunakan jaring- jaring untuk menghilangkan kotorankotoran sampah atau ranting-ranting batang pohon, dengan 85 liter per detik. Koagulasi Kemudian proses koagulan air masuk ke dalam bak dengan luas 20x20 m, dan ada 3 unit bak, dengan kedalaman air 1,5 m. Proses pembentukkan atau pengumpulan partikelpartikel kecil. Flokulasi Pada proses flokulasi mempunyai 3 unit bak penampung. Kemudian larutan tawas tersebut di campurkan dengan air baku yang akan masuk menuju bak flokulasi. Sedimentasi Setelah mengalami proses koagulasi dan flokulas, air masuk ke dalam bak sedimentasi. Kemudian untuk mengendapkan flok-flok yang terbentuk pada proses flokulasi. Sand filter Kemudian air dialirkan ke dalam bak sand filter dengan penyaring pada media pasir kuarsa dan batu kerikil yang berukuran 23, dan ada 6 unit bak untuk proses penyaringan pada air. Desinfeksi Setelah melalui proses koagulasi, flokulasi, sedimentasi, sand filter, air ditampung di dalam penampungan sementara dimana di dalam bak tersebut air ditambahkan bahan kaporit. Reservoir Pada bak reservoir terdapat ukuran bak 22x24 m, dengan kedalaman air 1,5 m. Setelah
Laksmi, dkk, Gambaran Pengolahan Air Bersih... 289
itu air masuk ke bak reservoir sebagai tempat penampungan sementara air bersih
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990.
Distribusi
PEMBAHASAN
Setelah dari reservoir, air bersih siap untuk di distribusikan melalui meter induknya dengan berbagai ukuran ke tiap daerah distribusi dan langsung ke masyarakat
Kadar Kekeruhan, Kesadahan, Fe, pH pada PDAM Kota Singkawang
Kualitas air Singkawang
Pada hasil pemeriksaan kekeruhan uji laboratorium PDAM Roban, Singkawang dilakukan pengujian sampel untuk kadar kekeruhan di dapatkan hasil 22,6 NTU air baku sebelum diolah, untuk itu dilakukan dengan pengolahan penyaringan pasir kuarsa dan batu kerikil, disertai dengan pengolahan sedimentasi untuk mengendapkan partikelpartikel koloid dan zat tersuspensi yang mengendap dengan waktu tertentu untuk mendapatkan hasil maksimal yang ditentukan oleh baku mutu air bersih untuk tingkat kadar kekeruhan 5 NTU.
bersih
di PDAM Kota
Pengolahan fisik, kimia dan biologi agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan tepat yang dilihat dari hasil pengujian yaitu Kekeruhan, Kesadahan, Fe dan pH yang sesuai dengan persyaratan kualitas air minum Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Yang didapatkan hasil pemeriksaan pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kesadahan, Fe, Ph
Kekeruhan,
Sampel I Sampel II Jenis Dipersya- Air Air Air Air Parameter ratkan baku Distribusi baku Distribusi 500 34 34 mg/liter 17 17 mg/liter 1. Kesadahan mg/liter mg/liter mg/lite r 22,6 3,8 NTU 2,7 0,77 NTU 2. Kekeruhan 5 NTU NTU NTU pH 6,5-8,5 7 7 6,5 6,5 3.
No.
0,3 0,4 0,05 0,2 0,05 mg/liter mg/liter mg/liter mg/lite mg/liter r Sumber: Data Primer, 2016 4.
Fe
Dari tabel 1 didapatkan hasil pemeriksaan kekeruhan pengolahan air bersih sebelum dan sesudah di olah belum memenuhi persyaratan kualitas air bersih, disebabkan adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air, dan perlu dilakukan sedimentasi atau penyaringan cepat. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan kesadahan didapatkan pengolahan air bersih yang sebelum dan sesudah di olah sudah memenuhi persyaratan untuk kualitas air bersih. Sedangkan hasil pemeriksaan Fe pengolahan air bersih yang sebelum dan sesudah di olah sudah memenuhi persyaratan kualitas air bersih, karena keberadaan besi dalam air bersifat terlarut. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan pH pengolahan air bersih yang sebelum dan sesudah di olah sudah memenuhi persyaratan untuk kualitas air bersih menurut Peraturan
Kekeruhan
Kesadahan Pada hasil pemeriksaan kesadahan uji laboratorium PDAM Roban, Singkawang dilakukan pengujian sampel untuk kesadahan yang di dapatkan hasil 34 mg/liter air baku sebelum diolah, untuk itu dilakukan dengan pengolahan penambahan koagulan seperti tawas, setelah diberikan bahan kimia berupa tawas terjadi penurunan pada hasil air yang sesudah diolah 34 mg/liter. Fe Pada hasil pemeriksaan Fe uji laboratorium PDAM Roban, Singkawang dilakukan pengujian sampel untuk zat besi pada air, didapatkan hasil yang sebelum diolah 0,4 mg/liter, dan sudah memenuhi persyaratan baku mutu air bersih. Karena itu tidak perlu dilakukan penambahan kapur agar untuk meningkatkan pH dan untuk menurunkan kandungan Fe. pH Pada hasil pemeriksaan pH uji laboratorium PDAM Roban, Singkawang dilakukan pengujian sampel untuk derajat keasaman pada air, didapatkan hasil yang sebelum diolah 7, karena sebelum diolah air
290 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.287 - 291
tersebut telah memenuhi persyaratan baku mutu air bersih yang berkisar 6,5 sampai 8,5 menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. Proses Pengolahan Air Baku PDAM Kota Singkawang Sumber Air Baku Sumber air baku berasal dari sumber air permukaan dan mata air gunung yang terbesar di Kota Singkawang, yaitu: Eria, Hangmoi. Sistem pelayanan PDAM Kota Singkawang terdiri dari 5 unit pelayanan, yaitu IPA Tirtasari, Hangmoi, Gunung Poteng, Intake Sejangkung, Intake Sedau. Pengolahan Sistem pengolahan air bersih di PDAM Kota Singkawang dilakukan dengan proses pengolahan fisik untuk mengetahui suatu tingkat pengolahan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kotorankotoran yang kasar, penyisihan lumpur dan pasir, serta mengurangi kadar zat-zat organik yang ada dalam air yang akan diubah. Proses pengolahan kimia untuk mengetahui tingkat pengolahan dengan menggunakan zat-zat kimia untuk membantu proses pengolahan selanjutnya. Proses pengolahan bakteriologis untuk mengetahui suatu tingkat pengolahan untuk membunuh atau memusnahkan bakteribakteri yang terkandung di dalam air. Kualitas Air Bersih Pada PDAM Kota Singkawang Dari hasil pemeriksaan laboratorium PDAM Kota Singkawang ini untuk parameter kualitas air berupa kadar Kekeruhan, Kesadahan, Fe dan pH air. Seharusnya air tersebut setelah masuk ke bak reservoir di biarkan selama 5-10 menit tujuannya untuk kotoran yang masuk ke bak reservoir akan mengendap. Sedangkan untuk parameter yang lain seperti Kesadahan dengan pemberian bahan kimia berupa tawas, kaporit, dan soda ash dapat
memberikan perubahan pada air yang tidak mengandung Kesadahan dan di dapatkan hasil 34 mg/liter telah memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Sedangkan Fe setelah melalui proses pemberian koagulan penurunannya begitu besar yang awal 0,4 mg/liter menjadi 0,05 mg/liter. Sedangkan pH dengan memberikan koagulan menjadi meningkat sebesar 7, pada pH < 6,5 dan > 8,5 akan mempercepat terjadinya korosi pada perpipaan distribusi air bersih atau minum. Untuk air bersih sudah memenuhi persyaratan kualitas air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. SIMPULAN Dari hasil survei dan penelitian yang dilakukan di PDAM Kota Singkawang, dapat disimpulkan sebagai berikut: Dari hasil laboratorium PDAM Roban Singkawang didapatkan Kekeruhan 34 mg/liter yang tidak memenuhi persyaratan, sedangkan Kesadahan 34 mg/liter sudah memenuhi persyaratan, sedangkan Fe 0,4 mg/liter sudah memenuhi persyaratan, dan pH 7 yang sudah memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Proses pengolahan air bersih PDAM Roban Singkawang sudah memenuhi baku mutu menurut Permenkes No. 416 Tahun 1990 Tentang Peraturan Persyaratan Kualitas Air Bersih, tapi untuk beberapa parameter seperti kekeruhan belum memenuhi persyaratan. Sedangkan untuk kualitas air bersih pengolahan PDAM Roban Singkawang belum semuanya terpenuhi menurut Permenkes No. 416 Tahun 1990 Tentang Peraturan Persyaratan Kualitas Air Bersih. Bagi PDAM sebaiknya untuk kadar Kekeruhan perlu perbaikan pengolahan dengan air yang sudah diolah masuk ke reservoir dibiarkan selama 5-10 menit agar kotoran dalam air tersebut dapat mengendap. PDAM Kota Singkawang agar memperhatikan kebutuhan air bersih sesuai dengan kebutuhan perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 1990. Peraturan Menteri
Kesehatan RI 416/Menkes/Per/IX/1990
Nomor: Tentang
Laksmi, dkk, Gambaran Pengolahan Air Bersih... 291
Syarat-syarat Pengawasan Kualitas Air Bersih. Jakarta Depkes RI, 2001. Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta Depkes RI, 2002. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 907/Menkes RI/2002 tentang Syaratsyarat Kualitas Air Minum. Jakarta. Dwijosaputro, 1981. Syarat Utama Bagi Terjaminnya Kesehatan. Jakarta Effendi, Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air.
Yogyakarta. Kanisius Ikas, 2013. Studi Jaringan Air Bersih PDAM Di Kecamatan Pontianak Tenggara. Univerrsitas Tanjungpura. Pontianak Sugiharto, 1985. Penyediaan Air Bersih Bagi Masyarakat. Universitas Indonesia. Jakarta Suyono, 1993. Pengelolaan Sumber Daya Air. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wardhana, Wisnu Wrya, 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI. Yogyakarta.
HUBUNGAN PARTIKEL DEBU KAPUR TULIS TERHIRUP DENGAN KELUHAN GANGGUAN PERNAFASAN PADA GURU SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH DI DESA SUNGAI KABUPATEN KUBU RAYA Cici Nurhana Septiyaningsih, Aryanto Purnomo dan Bambang Supraptono Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Partikel Debu Kapur Tulis Terhirup dengan Terjadinya Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan Cross Sectional untuk melihat hubungan partikel debu kapur tulis terhirup dengan terjadinya gangguan pernafasan. Frekuensi sampel 42 responden guru di Desa Sungai Raya. Masing-masing variabel yang diteliti diuji dengan menggunakan uji Chi Square dengan α= 0,05. Variabel bebas berupa kadar debu terhirup, masa kerja, lama kerja, cara menghapus dan Frekuensi kapur yang dipakai. Variabel terikat berupa keluhan gangguan pernafasan. Hasil analisis statistik menunjukkan masa kerja p=0,022, Frekuensi kapur p=0,024 dan cara menghapus p=0,003 memiliki hubungan dengan keluhan gangguan pernafasan, untuk kadar debu terhirup p=0,320 dan lama kerja p=0,676, tidak memiliki hubungan dengan keluhan gangguan pernafasan. Kesimpulan ada hubungan antara masa kerja, Frekuensi kapur dan cara menghapus dengan keluhan gangguan pernafasan. Kata Kunci: Debu Kapur, Keluhan Gangguan Pernafasan Abstract: The Related of Chalk Dust Particles Inhaled with The Occurrence of Respiratory Problems in Elementary School Teacher/MI in Sungai Raya Sungai Raya Kubu Raya. This research is an observational study with cross sectional approach to look at the relationship of chalk dust particles inhaled by the respiratory disorders. Total sample of 42 respondents teachers in Sungai Raya. Each of these variables studied were tested using Chi Square test with α = 0.05. The independent variable in the form of respirable dust levels, length of employment, length of employment, how to remove limestone and the amount used. The dependent variable in the form of complaints of respiratory disorders. The result of statictic analysis show that there was significant correlation between level of tenure p = 0.022, the amount of lime p = 0.024, and how to remove p = 0.003 has a relationship with complaints of respiratory disorders, for the concentration of respirable dust p = 0.320 and length of employment p = 0.676, had no connection with complaints of respiratory disorders. Conclusion there is a relationship between length of service, the amount of lime and how to clear the respiratory disturbance complaint. Keywords: Chalk Dust, Respiratory Disorders Complaints
Pencemaran udara merupakan adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Kumar, 1995). Pencemaran udara bersumber dari berbagi macam
pencemaran, pencemaran kimia, pencemaran biologi dan pencemaran fisik. Pencemaran fisik terdiri dari asap rokok, aerosol, suhu, kebisingan dan debu. Debu adalah partikel benda padat yang terjadi karena proses mekanis. Debu ini merupakan hasil sampingan dari proses industri yang 292
Cici, dkk, Hubungan Partikel Debu Kapur... 293
menggunakan bahan baku batuan seperti halnya pengolahan batu kapur. Keberadaan debu dalam lingkungan akan mengurangi nilai estetika dan dapat mengganggu kesehatan manusia. Salah satu bahan yang menghasilkan debu adalah kapur tulis. Kapur tulis yang digunakan akan menghasilkan debu karena terjadinya gesekan antara kapur dan papan tulis. Debu dari kegiatan tersebut yang terdapat diudara apabila terhirup oleh manusia dapat mengakibatkan penyakit pneumoconiosis, yaitu suatu penyakit pada paru-paru yang berupa penimbunan partikel debu. Debu kapur tulis yang masuk ke paruparu sangat tergantung pada berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut, sifat kimiawi dan lama pemaparannya. Penggunaan kapur tulis tidak asing lagi dikalangan Sekolah Dasar, yang menggunakan kapur tersebut adalah tenaga kerja yang disebut dengan guru. Guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Resiko bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja,akibat kombinasi dari berbagai faktor yaitu tenaga kerja dan lingkungan kerja (Suma’mur, 2009). Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas dan lainnya yang disatu pihak mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan dipihak lain. Hal ini sering menyebabkan gangguan pernafasan ataupun dapat mengganggu fungsi paru (Suma’mur, 2009). Dampak yang dapat terjadi pada tenaga pengajar adalah gangguan fungsi paru yang sebabkan penggunaan kapur tulis. Berdasarakan Ukuran individual partikel debu kapur tulis adalah1×10−6m-2×10−6m (deWitte dalam Sulistri dan Masturi, 2013 ). Sistem pendidikan di Kabupaten Kubu Raya ada menggunakan kapur tulis sebagai media pembelajaran di Sekolah Dasar. Penggunaan kapur tulis banyak dijumpai di daerah Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di salah satu Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya yaitu terhadap 5 guru yang termasuk karakteristik responden yang sudah mengajar selama lebih dari 5 tahun dengan menggunakan kapur tulis dengan lama
kerja 4-6 jam setiap hari selama 6 hari kerja, didapatkan hasil sebanyak 60% dari responden mengalami gejala batuk dan 20% diantaranya mengalami sesak napas. Berdasarkan riwayat penyakit, 20% responden memiliki penyakit asma. Sementara hasil pengukuran kadar debu terhirup terhadap responden dengan menggunakan alat Personal Dust Sampler (PDS) didapatkan hasil kadar debu terhirup semua responden tidak melebihi NAB (Nilai Ambang Batas). NAB debu kapur (kalsium karbonat) sebesar 10 mg/m3 (SNI19-02322005). Berdasarkan observasi tersebut peneliti tertarik untuk mengukur kadar debu kapur tulis dan dampaknya terhadap terjadinya keluhan gangguan pernafasan pada tenaga pengajar di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study. Dalam penelitian ini mengambil data dari responden dengan metode survei menggunakan kuesioner, melakukan pengukuran kadar debu terhirup menggunakan alat personal dust sampler (PDS). pada tenaga pengajar SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Populasi yang digunakan oleh peneliti adalah seluruh tenaga pengajar SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Frekuensi sampel dalam penelitian ini adalah Total Populasi Pengolahan data dilakukan secara program statistik uji Chi Square, yaitu asymtop signifikansi kurang atau sama dengan 5% atau 0,05 (p ≤ 0,05) maka H0 ditolak) Ha diterima artimya ada hubungan. Apabila asymtop signifikasi lebih dari 0,05 (p > 0,05) maka (Ho diterima) Ha ditolak artinya tidak ada hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Kadar Debu Terhirup Distribusi frekuensi kadar debu menunjukkan bahwa, kadar debu terhirup sebagaian besar responden Guru SD/MI di Desa
294 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.292 - 299
Sungai Raya memenuhi syarat yaitu sebesar 61,9% dari 42 responden. Masa Kerja Distribusi frekuensi masa kerja menunjukkan bahwa, sebagaian besar guru SD/MI Di Desa Sungai Raya telah mengajar selama >5 tahun, yaitu sebesar 71,4% dari 42 responden.
Tabel 1. Hubungan Kadar Debu Terhirup dengan Keluhan Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Tahun 2016
n 1 ≥ 0,3 mg/m3 15 2 < 0,3 mg/m3 20 Frekuensi 35
Lama Kerja Distribusi frekuensi lama kerja menunjukkan bahwa, sebagian guru SD/MI Di Desa Sungai Raya mengajar dengan lama kerja yang memenuhi syarat yaitu ≤5 jam sebesar 57,1% dari 42 responden. Jumlah Kapur Ddistribusi frekuensi Jumlah kapur menunjukkan bahwa, sebagaian besar guru SD/MI Di Desa Sungai Raya menggunakan kapur di atas rata-rata yaitu sebesar 59,5% dari 42 responden. Cara Menghapus Distribusi frekuensi cara menghapus menunjukkan bahwa, sebagaian besar guru SD/MI Di Desa Sungai Raya cara menghapus lebih dari satu arah, yaitu sebesar 85,7% dari 42 responden. Keluhan Gangguan Pernafasan Distribusi frekuensi Keluhan Gangguan Pernafasan menunjukkan bahwa, sebagaian menunjukkan bahwa sebagaian besar guru SD/MI Di Desa Sungai Raya mengalami keluhan gangguan pernafasan Keluhan sebesar 83,3% dari 42 responden Hubungan antara Kadar Debu Terhirup dengan Keluhan Gangguan Pernafasan
Keluhan Gangguan Pernafasan
Kadar Debu No Terhirup
Ya % 93,8 76,9 83,3
Tidak n % 1 6,3 6 23,1 7 16,7
Frekuensi N
%
16 26 42
100 100 100
OR=4,500 (95% CI=0,489-41,447)
p = 0,222 Sumber: Data Primer, 2016
Pada tabel 1 diatas proporsi kadar debu diatas rata-rata lebih sedikit menimbulkan keluhan gangguan pernafasan yaitu 15 responden atau 93,8% dibandingkan dengan kadar debu terhirup dibawah rata-rata sebanyak 20 responden atau 76,9%. Berdasarkan analisis menggunakan uji chi square maka didapatkan nilai p=0,222 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Hubungan antara Masa Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Tabel 2. Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Tahun 2016 Keluhan Gangguan Pernafasan Ya Tidak n % n %
No Masa Kerja
Frekuensi N
%
1
≥ 5 tahun
28
93,3
2
6,7
30
100
2
< 5 tahun
7
58,3
5
41,7
12
100
35
83,3
7
Frekuensi
p = 0,014
16,7 42 100 OR=10,000 (95% CI=1,593-62,784)
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa responden dengan masa kerja >5 Tahun lebih banyak mengalami keluhan gangguan pernafasan sebanyak 28 responden atau 93,3% dibandingkan dengan masa kerja ≤5 Tahun sebesar 7 responden atau 58,3%. Hasil analisis menggunakan uji chi square didapatkan nilai p=0,014 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan
Cici, dkk, Hubungan Partikel Debu Kapur... 295
bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=10,000 (95% CI: 1,593-62,784). Artinya guru yang masa kerjanya >5 tahun berisiko 10,000 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya ≤5 tahun.
Tabel 4. Hubungan Jumlah Kapur dengan Keluhan Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Tahun 2016 No
Jumlah kapur
keluhan gangguan pernafasan Ya Tidak n % n %
Frekuensi N
%
1
> 3 kapur
24
96,0
1
4,0
25
100
2
≤ 3 kapur
11
64,7
6
35,3
17
100
35
83,3
Frekuensi
Hubungan antara Lama Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan
p = 0,012
7 16,7 42 100 OR=13,091 (95% CI=1,402-112,238)
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 3. Hubungan Lama Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Tahun 2016 No
1 2
Keluhan Gangguan Pernafasan Ya Tidak n % n %
Lama kerja >5 jam/hari ≤5 jam/hari
Frekuensi
Frekuensi N
%
16
88,9
2
11,1
18
100
19
79,2
5
20,8
24
100
35
83,3
7
16,7
42
100
p = 0,679
OR=2,105 (95% CI=0,359-12,354)
Sumber: Data Primer, 2016
Pada tabel 3 menunjukan bahwa lama kerja pada kategori diatas rata-rata sebanyak 16 responden atau 88,9% lebih sedikit menimbulkan keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan lama kerja dibawah ratarata yaitu sebanyak 19 responden atau 79,2%. Berdasarkan analisis menggunakan uji chi square maka didapatkan nilai p=0,679 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Hubungan antara Jumlah Kapur yang Dipakai dengan Keluhan Gangguan Pernafasan
Berdasarkan tabel 4, terlihat bahwa responden dengan Jumlah kapur di atas ratarata lebih banyak mengalami keluhan gangguan pernafasan sebanyak 24 responden atau 96,0% dibandingkan dengan Jumlah kapur dibawah rata-rata sebesar 11 responden atau 64,7%. Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,012 (< α) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Jumlah kapur dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=13,091 (95% CI: 1,402-112,238). Artinya guru yang Jumlah kapur diatas rata-rata berisiko 13,091 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang Jumlah kapur dibawah rata-rata. Hubungan antara Cara Menghapus dengan Keluhan Gangguan Tabel 5. Hubungan Cara Menghapus dengan Keluhan Gangguan Pernafasan pada Guru SD/MI di Desa Sungai Raya Tahun 2016 Cara No Menghapus
Keluhan Gangguan Pernafasan Ya Tidak n % n %
Frekuensi N
%
1
Lebih Dari Satu Arah
33
91,7
3
8,3
36
100
2
Satu Arah
2
33,3
4
66,7
6
100
35
83,3
7
16,7
42
100
Frekuensi p = 0,004
Sumber: Data Primer, 2016
OR=22,000 (95% CI=2,781-174,055)
296 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.292 - 299
Berdasarkan tabel 5, terlihat bahwa responden dengan cara menghapus lebih dari satu arah lebih banyak mengalami keluhan gangguan pernafasan sebanyak 33 responden atau 91,7% dibandingkan dengan cara menghapus satu arah sebesar 2 responden atau 33,3%. Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,004 (< α) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara cara menghapus dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=22,000 (95% CI: 2,781-174,055). Artinya guru yang cara menghapus lebih dari satu arah berisiko 22,000 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang cara menghapus dengan satu arah. PEMBAHASAN Hubungan antara Kadar Debu Terhirup dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Hasil statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,222 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari 42 responden menunjukkan bahwa kadar debu terhirup sebagian besar guru SD/MI Di Desa Sungai Raya di bawah rata-rata sebanyak 20 responden atau 76,9% yang mengalami keluhan gangguan pernafasan. Keterbatasan penelitian yaitu waktu dalam pengukuran kadar debu terhirup yang singkat selama 30 menit sehingga hasil debu yang terhirup oleh alat personal dust sampler sangat sedikit selain itu responden yang diperiksa sebagian besar aktivitas guru kurang efektif dalam penggunaan kapur dikelas seperti mengajar mata pelajaran berbeda setiap harinya. Hal ini bertentangan dengan teori debu kapur yang terhirup kedalam pernafasan akan mempengaruhi saluran nafas menjadi tidak efektif karena CaCO dan MgCO3 yang terkandung di dalam kapur akan menurunkan daya recoil dari paru pada saat ekspirasi. Dalam kondisi normal ekspirasi merupakan proses pasif yang terjadi akibat kemampuan kembalinya paru (recoil) yang elastis ke
keadaan semula (Yulianti, 2015 dalam Utomo, 2005). Meskipun secara statistik kadar debu terhirup tidak berhubungan dangan keluhan gangguan pernafasan, secara teori mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru dapat terjadi sebagai berikut, dengan menarik nafas maka udara yang mengandung debu akan masuk kedalam tubuh manusia melalui hidung, debu berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, ukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan dan debu yang berukuran 1-3 mikron langsung ke permukaan alveoli paru-paru. Sedangkan debu yang berukuran 0,1-1 mikron bergerak keluar masuk alveoli sesuai dengan gerakan brown (Suma’mur PK, 2009). Sedangkan penelitian ini bertentangan dengan penelitian Yulaekah (2007) hasil Chi Square hubungan paparan debu terhirup dengan terjadinya gangguan fungsi paru menunjukkan p value (0,02) yaitu ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan gangguan pernafasan yaitu Saat guru mengajar menggunakan kapur diharapkan tidak sambil berbicara, sehingga debu tidak terhirup. Hubungan antara Masa Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan nilai p=0,014 (< α) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=10,000 (95% CI: 1,593-62,784). Artinya guru yang masa kerjanya >5 tahun berisiko 10,000 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya ≤5 tahun. Keluhan gangguan pernafasan yang terjadi pada guru dalam jangka waktu relatif lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 guru dengan masa kerja >5 tahun terdapat 28 responden ada gangguan (93,3,%) dan 2 (6,7%) normal. Sementara pada 12 guru dengan masa kerja ≤5 tahun terdapat 7 responden (58,3%) mengalami ada keluhan gangguan pernafasan dan 5 responden (41,7%) normal. Hal ini terjadi dikarenakan semakin lama responden
Cici, dkk, Hubungan Partikel Debu Kapur... 297
menggunakan kapur untuk mengajar maka semakin besar tingkat paparan kalsium karbonat yang dialami oleh responden. Menurut Mukono (2008), periode paparan yang lama dapat menyebabkan timbulnya keluhan pernapasan. Efek paparan polutan udara terhadap kesehatan manusia sangat beragam tergantung pada Frekuensi dan lama pemaparan, juga pada status kesehatan orang yang terpapar (Widyastuti, 2005). Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khumaidah (2009) dengan nilai p=0,002 menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (>5 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit gangguan paru menahun. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan gangguan pernafasan yaitu dengan meroling atau merotasi guru dengan masa kerja lama dengan guru yang masa kerja nya baru sebentar. Hubungan antara Lama Kerja dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Hasil statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,679 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua guru SD/MI bekerja dalam batas waktu yang memenuhi persyaratan, yaitu berkisar 4-7 jam sehari menunjukkan bahwa sebagian guru SD/MI Di Desa Sungai Raya mengajar dengan lama kerja dibawah rata-rata. Hal ini semakin memperkuat bahwa kejadian keluhan ganguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya tidak dipengaruhi lamanya jam kerja. Budiono (2003) menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time exposure). Penelitian ini sejalan dengan penelitian solech (2001) menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pemaparan debu kapur tulis dan penurunan kapasitas fungsi paru dengan nilai p FVC = 0,633 dan nilai p FEVi = 0,618. Meskipun tidak berhubungan secara statistik,
namun secara teori lama kerja tetap merupakan salah satu penyebab keluhan gangguan pernafasan. Lamanya tenaga kerja terpajan oleh cemaran debu merupakan faktor penting timbulnya penimbunan debu di dalam paruparu. Semakin lama bekerja di tempat ruangan yang berdebu maka kemungkinan besar banyak pula debu yang tertimbun dalam paru -paru sebagai hasil penghirupan debu sehari-hari dalam bekerja. (Prasetyo,2010). Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu (UU Nomor 13, 2003). Hubungan antara Jumlah Kapur yang Dipakai dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan nilai p=0,012 (< α) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Jumlah kapur dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=13,091 (95% CI: 1,402-112,238). Artinya guru yang Jumlah kapur diatas rata-rata berisiko 13,091 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang Jumlah kapur dibawah rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 guru dengan Jumlah kapur diatas rata-rata terdapat 24 responden ada gangguan (96,0,%) dan 1 (4,0%) normal. Sementara pada 17 guru dengan Jumlah kapur dibawah rata-rata terdapat 11 responden (64,7%) mengalami ada keluhan gangguan pernafasan dan 6 responden (35,3%) normal. Semakin banyak responden menggunakan kapur maka semakin tinggi pula resiko keluhan gangguan pernafasan. Penggunaan kapur akan menghasilkan debu yang dapat membuat kotor barang- barang didekatnya dan juga membuat alergi serta memicu penyakit seperti asma pada beberapa orang dan menggunakan kapur untuk menulis di blackboard dapat menghasilkan bunyi yang bagi sebagian orang akan terasa sakit. Menurut Yulaekah (2007), menyatakan bahwa 60 pekerja di industri batu kapur di Desa
298 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.292 - 299
Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan diperoleh hasil lebih dari 50% pekerja mengalami gangguan fungsi paru dengan kategori obstruksi ringan. Aditya (2007) menyatakan bahwa pekerja mengalami keluhan subyektif pada saluran pernafasannya akibat paparan debu di tempat kerjanya. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan gangguan pernafasan terhadap guru yaitu dengan mengganti kapur tulis dengan media yang lebih canggih dan aman bagi kesehatan. Hubungan antara Cara Menghapus dengan Keluhan Gangguan Pernafasan Hasil analisis menggunakan uji Chi Square di dapatkan nilai p=0,004 (< α) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara cara menghapus dengan keluhan gangguan pernafasan pada guru SD/MI di Desa Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=22,000 (95% CI: 2,781-174,055). Artinya guru yang cara menghapus lebih dari satu arah berisiko 22,000 kali lebih besar sebagai penyebab keluhan gangguan pernafasan dibandingkan dengan guru yang cara menghapus dengan satu arah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 guru dengan cara menghapus lebih dari satu arah terdapat 33 responden ada keluhan (91,7,%) dan 3 (8,3%) normal. Sementara pada 6 guru dengan cara menghapus satu arah terdapat 2 responden (33,3%) mengalami ada keluhan gangguan pernafasan dan 4 responden (66,7%) normal. Hal ini menunjukan bahwa cara menghapus dengan banyak arah di papan tulis maka semakin banyak pula debu kapur tulis yang dihasilkan. Lingkungan kerja dengan kadar debu yang tinggi memiliki kecenderungan terjadinya kapasitas vital paru restriksi sedang dan berat, sedangkan pada lingkungan kerja dengan kadar debu yang rendah memiliki kecenderungan pada kapasital vital paru restriksi ringan bahkan sebagian besar termasuk dalam kategori normal (Pudjiastuti, 2003). Kontak yang lama dengan lingkungan yang mengandung gas akan mengakibatkan stres yang berat pada organ saluran pernapasan sehingga menimbulkan berbagai penyakit saluran pernapasan (Harrianto, 2009). Hasil menunjukkan bahwa paparan debu kapur berpengaruh pada peningkatan gejala gangguan pernafasan. Hal
ini memberikan gambaran bahwa penurunan kapasitas vital paru disebabkan oleh adanya faktor banyaknya debu yang ada dalam lingkungan kerja seseorang. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bwalya D et al., (2011) pada sebuah pabrik batu kapur di Zambia menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pekerja batu kapur dengan kesehatan pernafasannya. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan gangguan pernafasan terhadap guru yaitu dengan mengganti penghapus papan tulis dengan penghapus yang lebih lembab atau penghapus yang dapat menyerap debu kapur dari papan tulis. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Tidak ada hubungan antara kadar debu terhirup dengan keluhan gangguan pernafasan dengan p value sebesar 0,222 dan hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 4,500 dengan Confidence interval (CI) (95% CI: 0,489-41,447). Ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan gangguan pernafasan dengan p value sebesar 0,014 dan hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 10,000 dengan Confidence interval (CI) (95% CI: 1,59362,784). Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan gangguan pernafasan dengan p value sebesar 0,679 dan hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,105 dengan Confidence interval (CI) (95% CI: 0,35912,354). Ada hubungan antara Jumlah kapur yang dipakai dengan keluhan gangguan pernafasan dengan p value sebesar 0,012 dan hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 13,091 dengan Confidence interval (CI) (95% CI: 1,402-112,238 Ada hubungan antara cara menghapus dengan keluhan gangguan pernafasan dengan p value sebesar 0,004 dan hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 22,000 dengan Confidence interval (CI) (95% CI: 2,781-174,055). Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor lingkungan sekolah dengan kejadian keluhan gangguan pernafasan paru pada guru.
Cici, dkk, Hubungan Partikel Debu Kapur... 299
DAFTAR PUSTAKA Aditya S.A., dan Denny A. 2007.Identifikasi Kadar Debu Di Lingkungan Kerja Dan Keluhan Subyektif Pernafasan Tenaga Kerja Bagian Finish Mill. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 162L.3, NO.2,161 – 172. Bwalya D, Bråtveit M, Moen BE. 2011. Chronic Respiratory Symptoms Among Workers At A Limestone Factory In Zambia. Department for Public Health and Primary Health Care, University of Bergen, Bergen, Norway. Archives of Environmental & Occupational Health. Vol. 66, No. 1, 47-50. Budiono, 2003 dalam Yulianti, Diana. 2015. Hubungan Paparan Debu Kapur Tulis dengan Kapasitas Vital Paru Pada Guru Sekolah Dasar/Madrasah Iftidaiah Di Desa Rasau Jaya. Pontianak: Universitas Muhammadiyah Pontianak de Witte, A. J. 1967 dalam sulistri, emi ; Masturi. Analisis Interferensi Cahaya Laser Terhambur Menggunakan Cermin Datar “Berdebu” Untuk Menentukan Indeks Bias Kaca. Semarang: Universitas Negeri Semarang Harrianto, R. 2009. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC, Jakarta Kumar, 1995 dalam Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan
Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Semarang: Universitas Diponegoro Mukono. H.J, 1997 dalam Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Semarang: Universitas Diponegoro SNI 19-0232-2005 Nilai Ambang Bata (NAB) Zat Kimia Di Udara Tempat Kerja – Bagian 4 No. Nilai Ambang Batas Batu Kapur Utomo, 2005 dalam Yulianti, Diana. 2015. Hubungan Paparan Debu Kapur Tulis dengan Kapasitas Vital Paru Pada Guru Sekolah Dasar/Madrasah IftidaiahDi DesaRasau Jaya. Pontianak: Universitas Muhammadiyah Pontianak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Prasetyo, 2010 dalam Yulianti, Diana. 2015. Hubungan Paparan Debu Kapur Tulis dengan Kapasitas Vital Paru Pada Guru Sekolah Dasar/Madrasah Iftidaiah Di Desa Rasau Jaya. Pontianak: Universitas Muhammadiyah Pontianak Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Semarang: Universitas Diponegoro
GAMBARAN PENGELOLAAN MAKANAN DAN MINUMAN DI INSTALASI GIZI RSUD Dr. SOEDARSO PONTIANAK Eka Septiarini, Nurul Amaliyah dan Yulia Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Pengelolaan Makanan dan Mnuman di RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Jenis penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian yang bersifat observasional dengan pendekatan deskriptif. Analisis data yang dilakukan adalah analisis data secara deskriptif yaitu data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Kemudian membandingkan hasil yang diamati dengan persyaratan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. Hasil penelitian menunjukan bahwa keadaan pengelolaan makanan dan minuman di RSUD Dr. Soedarso Pontianak 2016 yaitu memenuhi syarat dengan persentase 90%. Menurut Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 persentase pengelolaan makanan dan minuman di rumah sakit yang memenuhi syarat adalah 90-100%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pengelolaan makanan dan minuman di RSUD Dr. Soedarso Pontianak memenuhi syarat. Kata Kunci: Pengelolaan, Makanan dan Minuman, Rumah Sakit Abstract: The Discribe Management of Food and Drink at RSUD Dr .Soedarso Pontianak. The kind of research conducted is research is observational by approach descriptive. Analysis of data executed is in descriptive data analysis the data presented in the table and narrative. Then compares the results observed with the requirements Kepmenkes 1204/MENKES/SK/X/2004. The results showed that the state of the management of food and drink at RSUD Dr Soedarso pontianak 2016 that is qualified with the 90%. According to Kepmenkes Number 1204/MENKES/SK/X/2004 the percentage of the management of food and drink at hospitals qualified is 90-100%. The conclusion of research is that the management of food and drink at RSUD Dr .Soedarso Pontianak qualified. Keywords : The Management, Food and Drink, Hospital
Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, yang dimakan oleh makhluk hidup mendapatkan tenaga dan nutrisi. Cairan yang dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata ‘makanan’ juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang dipakai dengan kiasan seperti “makanan untuk pemikiran”. Kecukupan makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri (Nurul Amaliyah, 2015). Makanan yang terkontaminasi dapat disebabkan oleh hygiene sanitasi makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Untuk mendapatkan makanan dan minuman yang memenuhi syarat kesehatan maka perlu diadakan pengawasan terhadap hygiene sanitasi makanan dan minuman yang
diutamakan pada usaha yang bersifat umum seperti restoran, rumah makan ataupun pedagang kaki lima mengingat bahwa makanan dan minuman merupakan media yang potensial dalam penyebaran penyakit (Depkes RI, 2004). Berdasarkan dari Bidang Pengendalian RSUD Dr. Soedarso pada tahun 2014 jumlah pasien rawat inap selama setahun tercatat 2.0367 orang, sedangkan pasien Infeksi Nosokomial 74 orang (0,36%). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial adalah higiene sanitasi makanan di rumah sakit. Berdasarkan hasil observasi pada proses pengolahan makanan yang dilakukan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso, masih dijumpai proses pengolahan makanan 300
Eka, dkk, Gambaran Pengelolaan Makanan dan Mnuman... 301
yang belum memenuhi syarat prinsip higiene sanitasi makanan, dari 8 orang juru masak pada pagi hari sebanyak 62,5% tidak menggunkan sarung tangan dan masker. Pada tempat pengolahan makanan tidak tersedia cerobong asap, posisi pintu tidak terbuka kearah luar, serta keberadaan kucing yang berkeliaran didapur pada saat proses pengolahan, maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang higiene sanitasi pengelolaan makanan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
Penelitian ini adalah penelitian deskriftif dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan checklist yang digunakan untuk wawancara responden dan pengamatan langsung terhadap pengelolaan makanan dan minuman di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
HASIL Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Pengelolaan Makanan dan Minuman di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak 2016
1 2 3 4 5 6 7
8
9
Komponen Penilaian Lantai Dinding Langit-langit Pintu dan Jendela Pencahayaan Ventilasi Ruang Pengolahan Makanan Fasilitas Pencucian Peralatan dan Bahan Makanan Tempat Cuci Tangan TOTAL
Total 20 24 28 20
PEMBAHASAN Kondisi Fisik Bahan Makanan Dan Makanan Jadi Yang Digunakan Di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak
METODE PENELITIAN
No
dari enam variabel yang dilakukan penilaian terdapat satu variabel yang tidak memenuhi syarat, yaitu penjamah makanan dengan persentase 69%. Dari keseluruhan variabel yang dilakukan penilaian, total penilaian pengelolaan makanan dan minuman di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2016 memenuhi syarat dengan persentase sebesar 90%.
Skor Persen Kategori Hasil (%) Lapangan 20 100% MS 24 100% MS 24 86% TMS 16 80% TMS
12 8 24
8 8 24
67% 100% 100%
TMS MS MS
12
12
100%
MS
12
8
67%
TMS
160
144
90%
MS
Sumber: Data Primer, 2016
Keterangan : MS : Memenuhi Syarat TMS : Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diketahui bahwa kondisi fisik bahan makanan di RSUD Dr. Soedarso Pontianak dikategorikan memenuhi syarat (96%). Penilaian makanan hewani berupa telur belum sesuai ketentuan bahwa kondisi kulit telur harus bersih atau tidak terdapat noda, kondisi yang dijumpai pada saat penelitian diketahui bahwa kulit telur kotor, terdapat noda berupa kotoran ayam. Kondisi telur yang kotor dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada telur akibat bakteri Salmonella yang terdapat pada kulit telur. Telur yangkotor apabila melalui perlakuan permbersihan akan mempercepat pembusukan. Sebaiknya penjamah makanan memilih telur yang bersih. Berdasarkan observasi yang dilakukan, peneliti memiliki kelemahan yaitu dalam penilaian bahan makanan hewani, makanan nabati dan makanan terolah dilakukan secara keseluruhan, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan belum diketahui kepastian jumlah populasi bahan makanan yang berada di lapangan. Higiene sanitasi tempat penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa tempat penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi di RSUD Dr. Soedarso Pontianak memenuhi syarat (90%). Suhu gudang bahan makanan kering harus dijaga kurang dari 22oC agar kondisi makanan kering terjaga kualitasnya sehingga makanan kering tidak mudah ditumbuhi jamur atau bakteri.
302 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.300 - 304
Bakteri patogen dapat dengan mudah tumbuh dan berkembangbiak pada suhu >22oC seperti pada suhu 37oC (suhu lingkungan), hal ini dapat dikendalikan dengan cara pemasangan AC (Air Conditioner) untuk mengatur suhu ruangan. Higiene sanitasi tempat penyimpanan makanan jadi memiliki kelembaban ruangan yang tidak sesuai ketentuan antara 80-90% RH (Relative Humidity atau kelembaban relatif), pada hasil pengukuran yang dilakukan kelembaban ruangan hanya mencapai 70,36% RH (Relative Humidity atau kelembaban relatif), pada gudang bahan makanan dan 72,6% RH (Relative Humidity atau kelembaban relatif) pada tempat ruang pengolahan makanan. Gudang penyimpanan bahan makanan pada saat pengamatan sedang dilakukan proses pemasangan AC (Air Conditioner). Sebaiknya kelembaban gudang tempat penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi dijaga untuk menghindari terjadinya penambahan jumlah kandungan uap air yang dapat mengakibatkan perubahan pada bahan makanan yang disimpan dalam gudang. Higiene Sanitasi Penyajian Makanan Di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa peyajian makanan di RSUD Dr. Soedarso Pontianak dikategorikan memenuhi syarat (90%). Pada komponen higiene sanitasi penyajian makanan terdapat item yang belum dilaksanakan oleh pihak rumah sakit yaitu penyajian makanan jadi dengan fasilitas penghangat untuk makanan yang disajikan hangat, dan penyajian makanan jadi dengan fasilitas pendingin untuk makanan yang disajikan dingin. Sebaiknya fasilitas penghangat atau pendingin makanan jadi dilengkapi agar selama proses penyajian makanan tidak menyebabkan terjadinya perkembangbiakan bakteri terhadap makanan. Higiene Sanitasi Tempat Pengolahan Makanan dan Makanan Jadi di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa tempat pengolahan makanan dikategorikan memenuhi syarat (90%). Langit-langit dapur RSUD Dr. Soedarso menutup bangunan dapur, terbuat dari bahan
yang permukaannya rata, mudah dibersihkan, berwarna terang, dan tinggi langit-langit hampir mencapai 3 meter, namun tidak dilengkapi dengan cerobong asap, akan tetapi dapur RSUD Dr. Soedarso Pontianak memiliki ventilasi, dan house fan yang digunakan untuk mengeluarkan asap dari proses pengolahan makanan. Sebaiknya dapur rumah sakit dilengkapi dengan cerobong asap, adanya cerobong asap bertujuan agar asap keluar dengan sempurna sehingga tidak mengganggu penjamah saat mengolah makanan, asap dari proses pengolahan makanan tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan. Kondisi pintu dan jendela dapur RSUD Dr. Sodarso (80%) dilengkapi dengan kassa, pintu terbuat dari kayu yang kuat, namun pintu tersebut tidak membuka kearah luar dan tidak dapat membuka dengan sendirinya. Hal ini bertujuan untuk mencegah masuknya binatang atau serangga ke dalam ruangan dengan cara tertahannya binatang oleh pintu yang membuka ke arah luar. Pencahayaan (67%) dapur rumah sakit atau ruang pengolahan makanan dilakukan pengukuran dengan hasil sebesar 117 lux, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang diteteapkan, yaitu pencahayaan pada ruang pengolahan tidak boleh kurang dari 200lux. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja pada tempat pengolahan makanan. Namun dengan demikian karyawan dapur tetap dapat beraktifitas dengan baik tanpa adanya gangguan akibat penerangan yang tidak sesuai ketentuan tersebut, akan lebih baik lagi apabila penerangan pada ruang pengolahan makanan ditingkatkan hingga memenuhi standar yaitu ≥200lux dengan cara penambahan sumber pencahayaan seperti lampu. Tempat cuci tangan di dapur RSUD Dr. Soedarso Pontianak (67%) hanya tersedia satu buah tempat cuci tangan. Karyawan dapur rumah sakit biasanya melakukan pencucian tangan bercampur dengan tempat pencucian peralatan dan bahan makanan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang antara penjamah makanan dan bahan makanan yang akan diolah. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang menyatakan bahwa jumlah tempat cuci tangan disesuaikan dengan banyaknya karyawan, sebagai berikut: 1-10 orang = 1 buah tempat cuci tangan.
Eka, dkk, Gambaran Pengelolaan Makanan dan Mnuman... 303
Sebaiknya tempat cuci tangan di tempat pengolahan makanan disesuaikan dengan jumlah karyawan yang bertugas, seperti jumlah karyawan yang bertugas pada satu hari kurang lebih 40 orang, sehingga penambahan tempat cuci tangan berjumlah 3 buah tempat cuci tangan. Higiene Sanitasi Penjamah Makanan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontianak Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa untuk penilaian terhadap penjamah makanan dikategrikan tidak memenuhi syarat (69%), dari 25 responden dijumpai satu responden yang tidak menggunakan penutup kepala saat bekerja, dua responden yang menggunakan perhiasaan saat bekerja, 18 responden yang tidak menggunakan masker, 25 responden tidak menggunakan sarung tangan, dan 25 responden yang tidak menggunakan sepatu dapur. Berdasarkan wawancara kepada penjamah makanan, diketahui bahwa sebagian besar penjamah makanan tidak menggunakan masker karena merasa panas atau pengap, tidak menggunakan sarung tangan karena penjamah makanan merasa terganggu dan mengurangi efektivitas dalam bekerja, penjamah makanan juga tidak menggunakan sepatu dapur karena dari pihak instalasi gizi tidak menyediakan sepatu dapur sehingga mereka menggunakan sendal pribadi. Untuk mengurangi pencemaran terhadap makanan yang diolah, sebaiknya penjamah makanan menggunakan APD lengkap seperti sarung tangan, masker, penutup kepala dan sapatu dapur yang disediakan langsung oleh pihak rumah sakit. Pemeriksaan kesehatan penjamah makanan hanya dilakukan pada saat hari jadi RSUD Dr. Soedarso yang diperingati setiap tahunnya, sifat pemeriksaan kesehatan tersebut tidak wajib, hanya diperuntukan kepada karyawan yang ingin melakukan pemeriksaan gratis saja. Sebaiknya penjamah makanan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala minimal 6 bulan sekali, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit melalui makanan. Kondisi Fisik Peralatan Masak/Makan di Instalasi Gizi RSUD DR. Soedarso Pontianak Berdasarkan
hasil observasi, diketahui
bahwa kondisi fisik peralatan masak dikategorikan memenuhi syarat (94%). Pencucian peralatan dapur RSUD Dr. Soedarso tidak dilakukan pembilasan dengan air kaporit/PK selama 2 menit dan tidak menggunakan air panas pada suhu 80oC, hal ini dapat menyebabkan tidak terdesinfeksinya bakteri yang berada pada peralatan tersebut, sehingga bakteri dapat berkembangbiak terhadap makanan yang akan diolah. Sebaiknya peralatan dibilas dengan air kaporit/PK slema 2 menit atau menggunakan air panas pada suhu 80 oC untuk mendesinfektan peralatan yang akan digunakan. SIMPULAN Kondisi fisik bahan makanan dan makanan jadi di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori memenuhi syarat dengan persentase 96%. Higiene sanitasi tempat penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori memenuhi syarat dengan persentase 90%. Higiene sanitasi penyajian makanan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori memenuhi syarat dengan persentase 90%. Higiene sanitasi tempat pengolahan makanan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori memenuhi syarat dengan persentase 90%. Higiene sanitasi penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori tidak memenuhi syarat dengan persentase 69%. Kondisi fisik peralatan di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soedarso Pontinak termasuk kategori memenuhi syarat dengan persentase 94%. Kepada RSUD Dr. Soedarso Pontinak disarankan sebaiknya pemilihan bahan makanan hewani seperti telur harus dalam keadaan bersih. Kondisi telur yang kotor dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada telur akibat bakteri Salmonella yang terdapat pada kulit telur. Suhu gudang bahan makanan kering harus dijaga kurang dari 22oC agar kondisi makanan kering tidak mudah ditumbuhi jamur atau bakteri, sebaiknya pengendalian suhu gudang bahan
304 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.300 - 304
makanan dilakukan dengan cara pemasangan AC (Air Conditioner) untuk mempermudah pengaturan suhu ruangan. Hasil pengukuran kelembaban ruangan hanya mencapai 70,36%RH (Relative Humidity atau kelembaban relatif) pada gudang bahan makanan dan 72,6%RH (Relative Humidity atau kelembaban relatif) pada tempat ruang pengolahan makanan. Kandungan uap air yang dapat mengakibatkan perubahan pada bahan makanan yang disimpan dalam gudang. Sebaiknya kelembaban pada ruang pengolahan makanan dan gudang dijaga agar berada diantara 80-90%, dengan cara penambahan ventilasi sebesar ±20% dari luas lantai. Fasilitas penghangat atau pendingin makanan jadi sebaiknya dilengkapi, agar selama proses penyajian makanan tidak menyebabkan terjadinya perkembangbiakan bakteri terhadap makanan. Dapur rumah sakit sebaiknya dilengkapi dengan cerobong asap, agar asap keluar dengan sempurna sehingga tidak menyebabkan infeksi saluran pernafasan. Pintu pada bangunan tempat pengolahan makanan dibuat membuka kearah
luar dan dapat menutup sendiri yang bertujuan untuk mencegah masuknya binatang atau serangga ke dalam ruangan. Penerangan pada ruang pengolahan makanan sebaiknya ditingkatkan hingga memenuhi standar yaitu ≥200lux dengan cara penambahan sumber pencahayaan seperti lampu. Tempat cuci tangan di tempat pengolahan makanan disesuaikan dengan jumlah karyawan yang bertugas, seperti jumlah karyawan yang bertugas pada satu hari kurang lebih 40 orang, sehingga penambahan tempat cuci tangan berjumlah 3 buah tempat cuci tangan. Peralatan dibilas dengan air kaporit/PK slema 2 menit atau menggunakan air panas pada suhu 80 oC untuk mendesinfektan peralatan yang akan digunakan. Penjamah makanan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala minimal 6 bulan sekali, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit melalui makanan.
DAFTAR PUSTAKA Amaliyah, Nurul, 2015. Penyehatan Makanan dan Minuman-A. Deepublish: Yogyakarta Depkes RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
:1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta RSUD Dr. Soedarso Pontianak, 2015. Profil RSUD Dr. Soedarso 2015. Kabupaten Pontianak.
PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. AGOESDJAM KETAPANG Darmawati, Zainal Akhmadi dan Moh. Adib Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Agoesdjam Ketapang. Penelitian ini bersifat observasional dengan pendekatan deskriptif. Pengamatan di lakukan dengan menggunakan kuesioner dan form ceklis. Analisa data dengan membandingkan hasil pengamatan dengan peraturan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. Hasil penelitian selama 2 minggu, total volume dari 7 ruangan yang menghasilkan limbah padat medis ±0,18 m³/hari dengan jumlah pasien 95 org/hari. item keseluruhan pengelolaan limbah padat medis yang di nilai dari keseluruhan pengelolaan limbah padat medis, yang memiliki persentase yang bervariasi, yaitu minimisasi 71,43%, pemilahan 14,28%, pewadahan 73,39%, Pengumpulan 100%, penampungan sementara 0%, pengangkutan 100% pemusnahan dan pembuangan akhir 85,71%. Rata-rata persentase keseluruhaan 68,5% diartikan bahwa pengelolaan limbah medis padat Rumah sakit sudah memenuhi syarat Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 pada persyaratan rumah sakit tipe C. Kesimpulan dari observasi dan penelitian pengelolaan secara keseluruhan sudah memenuhi persyaratan. Namun perlu diperbaiki pada proses pemilahan, pewadahan yaitu safety box untuk penampungan jarum suntik dan tempat penampungan sementara. Kata Kunci: Limbah Padat Medis, Pengelolaan, Rumah Sakit Abstract: The Describe The Solid Waste at Home Regional General Hospital Dr. Agoesdjam Ketapang. This research is observational with descriptive approach. Observation is done by using a questionnaire and checklist form.The Analysis of the data by comparing the results of observations with the rules Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. The results of the study for 2 weeks, total volume of 7 rooms which produces medical solid waste ± 0.18 m³/day by the number of patients 95 person/day.The whole item of medical solid waste management in the value of the overall management of medical solid waste, which has a varying percentage, is 71.43% minimization, segregation 14.28%, 73.39% lug, 100% collection, temporary shelters, 0%, 100% destruction of the transport and disposal end 85.71%. The average percentage of 68.5% of the total sum means that the management of solid medical waste Hospitals already qualified Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 on the requirements of hospitals type C. Conclusion of observation and research management as a whole meets the requirements. However, it should be fixed in the sorting process, lug safety box for holding a syringe and temporary shelter. Keywords: Medical Solid Waste, Management, Hospital
Limbah medis padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan non-medis. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah
sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi. Sedangkan limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia 305
306 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.305 - 309
beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2004). Berbagai jenis limbah yang di hasilkan rumah sakit dan unit-unit pelayanankesehatan dapat membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung, masyarakat, dan petugas yang menanganinya (Depkes RI, 2004). Timbulan limbah padat yang berbahaya disebut limbah padat klinis atau medis. Limbah medis tersebut berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, farmasi atau yang sejenisnya. Berdasarkan potensi bahaya yang di timbulkan limbah padat medis, limbah medis tersebut dapat di golongkan sebagai berikut: limbah benda tajam, limbah infeksius, limbah patologis,limbah sitotoksik,limbah kimia, limbah radioaktif. Berdasarkan undang-undang RI No. 18 tahun 2008 pengelolaan limbah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan limbah. Menurut kepmenkes 1204. METODE PENELITIAN Penelitian gambaran pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit Agoesdjam ketapang, termasuk penelitian Deskriptif yaitu pematauan langsung yang di lakukan untuk memperoleh data tentang gambaran pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit Agoesjam Ketapang dengan menggunkan kuesioner dan ceklis yang di dasari pada keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1204/Menkes/SK/X/2004.
Dari hasil observasi jenis limbah padat medis yang dihasilkan pada pelayanan kesehatan di rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang berbagai jenis Limbah Medis yaitu jarum suntik, botol obat, kaca opceat, kapas, perban, masker, gelang pasien, kateter, sarung tangan, botol infus, selang oksigen, peralatan bedah, botol sampel, strip reagen, kaca tutup, jarum nidel, botol pencuci darah. Volume Limbah Padat Medis Pengukuran volume limbah bertujuan untuk mengetahui timbulan limbah yang di hasilkan dari rumah sakit. Selain itu pengukuran volume juga dapat mengetahui kapsitas bak sampah, kapasitas troly dan kapasitas insinerator. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengunakan box dengan ukuran 30x50x50 cm³. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasien rata rata selama 2 minggu adalah 95 orang/hari dan timbulan limbah yang dihasilkan adalah ± 0,18 m³/ hari. Pengelolaan padat medis harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengurangi risiko bagi pengunjung dan petugas rumah sakit. PEMBAHASAN Tahap-Tahap Pengelolaan Limbah Padat Medis Minimimasi
Rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang selama kegiatan pelayanan kesehatan menghasilkan limbah medis, yaitu limbah medis infeksius, kimia, radioaktif, farmasi dan genotosik. Dari hasil observasi yang dilakukan sumber limbah yang di hasilkan rumah sakit ini berasal dari ruang poli rawat jalan, ruang inap, kamar operasi, ruang laboratorium, ruang kebidanan, ruang HD, dan ruang IGD dengan jenis limbah padat medis.
Minimisasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi timbulan limbah medis, ini adalah langkah awal dalam melakukan pengelolaan limbah. Pada hasil penelitian bahwa rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang sudah melakukan minimisasi di katagorikan sudah memenuhi syarat, yaitu memiliki nilai 71,43%. Kegiatan minimisasi yang dilakukan rumah sakit ini antara lain rumah sakit sudah mengelola dan mengawasi pengunaan bahan kimia, selain itu rumah sakit juga telah menyeleksi bahan yang menimbulkan limbah sebelum membelinya, rumah sakit juga sudah mengecek tanggal kadarluasa seperti obat-obatan dan memesan bahan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit.
Jenis Limbah Padat Medis
Pemilahan
HASIL Sumber Limbah Padat Medis
Darmawati, dkk, Pengelolaan Limbah Padat Medis... 307
Pemilahan di lakukan berdasarkan jenis limbah padat medis mulai dari sumber yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah farmasi dan limbah radioaktif. Setelah di lihat dari hasil penelitian kegiatan pemilahan yang yang di lakukan rumah sakit Agoesdjam Ketapang di kategorikan belum memenuhi syarat karena persentase penilaian hanya 14,28% ini di sebabkan karena rumah sakit tidak melakukan pemilahan. Pada hasil penelitian ruanganruangan tersebut tidak melakukan pemilahan dari awal karena rumah sakit ini belum membuat kebijakan tentang bagaimana cara pemilahan yang di tentukan oleh pemerintah. Ini sangat membahayakan bagi pengelola limbah karena pengelola atau petugas kontak langsung dengan limbah tersebut. Bahaya yang ditimbulkan akibat dari tidak dilakukan pemilahan adalah pengelola atau petugas pengangkut bisa tertular penyakit. Selain itu pemilahan limbah yang dimanfaatkan kembali tidak dillakukan, apabila dilaksanakan ini juga mengurangi volume limbah yang di hasilkan oleh rumah sakit. Rumah sakit ini tidak melakukan pemilahan limbah yang bermanfaat karena fasilitas yang di sediakan rumah sakit tidak ada. Limbah limbah tersebut hanya di ambil oleh pemulung. Pewadahan Pewadahan adalah tempat penampungan limbah yang berasal dari sumber limbah medis, ketentuan pewadahan harus sesuai dengan jenis limbah yang dihasilkan. Jenis jenis pewadahan menurut Kepmenkes 1204 adalah sesuai dengan katagorinya antara lain limbah radioaktif bewarna merah, sangat infeksius dan patologi bewarna kuning, genotoksik bewarna ungu serta limbah kimia dan farmasi bewarna coklat. Dari hasil penelitian pewadahan hanya memiliki 3 jenis pewadahan yaitu pewadahan limbah infeksius, limbah non infeksius dan daur ulang, Dengan hasil 73,38%, Seharusnya rumah sakit harus menyediakan 4 jenis pewadahan yaitu untuk limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah infeksius dan radioaktif, ini bertujuan agar memudahkan saat melakukan pengelolaan limbah tersebut. rumah sakit ini hanya menyediakan safety box di ruangan rawat inap, kamar operasi, ruang laboratorium, dan ruang hemodelisa. wadah yang di sediakan pada limbah benda tajam hanya berupa kardus yang
diberi lubang diatasnya itupun tidak semua ruang menyediakan kardus. ini sangat berbahaya bagi petugas pengangkut limbah padat tersebut karena kardus tersebut mudah tertembus oleh jarum suntik atau limbah benda tajam lainya. Pemberian kantong pada pewadahan tidak sesuai dengan katagorinya, rumah sakit ini hanya menyediakan kantong plastik bewarna hitam pada pewadahan tersebut. Seharusnya pengelola limbah rumah sakit harus mengajukan wadah limbah yang sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan oleh pemerintah agar mengurangi risiko kecelakaan pagi pengelola limbah medis tersebut. Pengumpulan Pengumpulan adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas pengelola limbah untuk mengumpulkan limbah-limbah yang berasal dari sumber limbah. Dari hasil penelitian hasil penilaian pada pengumpulan adalah 100% ini sudah memenuhi syarat yang telah di tentukan oleh permenkes 1204. Pengumpulan liimbah medis dilakukan sebanyak 2 kali dan jadwal pengumpulan limbah dilakukan pada pagi dan sore oleh cleaning service rumah sakit tersebut. jumlah tenaga pengangkut limbah medis dari setiap ruangan berjumlah 2 orang. Petugas pengangkut limbah sudah mengunakan APD yang lengkap, pengunaan APD yang lengkap merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Kepmenkes 1204, dengan tujuan mengurangi risiko kecelakaan bagi petugas. pengumpulan limbah padat medis di rumah sakit ini sudah mengunkan troly yang tertutup kedap air dan troly tidak memiliki sudut yang tajam. Tempat Penampungan Sementara Tempat penempungan sementara adalah wadah atau penampungan limbah yang berasal dari setiap ruangan dan tempat penampungan sementara harus jauh dari aktifitas kegiatan rumah sakit. Pengumpulan dan pengangkutan semua limbah padat medis menggunakan kendaraan khusus dan menggunakan wadah yang aman ke tempat penampungan sementara yang tertutup dan terhindar dari ganguan vektor. Dari hasil penelitian penilaian tempat penampungan sementara 0% di artikan bahwa rumah sakit tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. rumah sakit Dr.
308 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.305 - 309
Agoesdjam tidak memiliki kebijakan untuk membuat tempat penampungan sementara (TPS), limbah diletakan di samping IPAL, sehingga petugas pengelolaan limbah padat medis sulit untuk mengumpulkan limbah medis yang berasal di setiap ruangan karena ketiadaan tempat penampungan sementara tersebut dan limbah yang sudah dilakukan pengangkutan hanya di letakan lebih dari 24 jam . tempat penampungan sementara sangatlah perlu, karena jika rumah sakit tidak memiliki TPS ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan sumber penyakit dan berkembangnya vector. Pengangkutan Pengangkutan adalah kegiatan mengangkut limbah medis dari ruangan ke TPS, TPS ke TPA. Jadwal pengangkutan limbah medis harus tepat agar pengunjung rumah sakit menjadi tidak terganggu. Dari hasil penilaian pada pengangkutan persentase penilainya adalah 100% diartikan dalam proses pengangkutan sudah memenuhi syarat. Rumah sakit Dr. agoesdjam melakukan pengangkutan limbah padat medis sebanyak 2 kali yaitu pagi dan sore pada pukul 06.00 wib dan sore 15.00 wib dan pengangkutan limbah medis dari ruangan ke TPS sudah mengunakan troly yang tertutup dan kedap air sehingga mudah di bersihkan , namun dari TPS ke TPA tidak mengunakan troly karena limbah medis tersebut di letakan berdekatan dengan pengelolaan akhir. Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Pemusnahan dan pembuangan akhir adalah penanganan yang di lakukan pada limbah padat medis yaitu dengan menggunakan incenerator. Limbah padat medis tidak diperbolehkan dibuang langsung ke tempat pembuangan akhir limbah domestik sebelum aman bagi kesehatan. Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah padat medis disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit, rumah sakit Dr. Agoesdjam sudah memiliki 1 alat incenerator dan kapasitasnya 0,5 m³ .dari hasil penelitian penilaian pada pemusnahan dan pembuangan akhir memiliki nilai 75% di kategorikan sudah memenuhi syarat. Timbulan limbah yang di hasilkan oleh kegiatan pelayanan kesehatan perhari sebanyak 0,18 m³/hari. Jadi kegiatan pemusnahan mengunakan incinerator cukup satu kali dalam
sehari namun realita di lapangan limbah medis padat terjadi penumpungan karena petugas pengelola akhir tidak melakukan pemusnahan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa seharusnya pemusnahan paling lambat selama 24 jam di suhu ruang. Penumpunakan ini akan berdampak negatif karena bisa menjadi sumber penyakit dan berkembangnya vektor. Rumah sakit seharusnya harus memiliki kebijakan dan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan limbah medis, bahwa tingkat risiko yang ditimbulkan oleh limbah ini sangat berbahaya. Oleh karena itu sebaiknya kepala penggelola limbah harus memantau kinerja bawahanya dan harus bekerja sama untuk melakukan pemusnahan limbah padat medis sehingga mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah tentang pemusnahan paling lama 24 jam. Pada proses pemusnahan suhu yang digunakan untuk memusnahkan limbah medis di rumah sakit ini adalah 1000°C, dan abu sisa pembakaran di hanya masukan ke dalam tong besar karena tempat TPA limbah ini baru selesai dibangun dan belum pernah digunakan. Petugas pengelola limbah saat melakukan proses pembakaran sudah melengkapi APD seperti sarung tangan, masker dan sepatu boot. Tabel 1. Hasil Penilaian No
1. 2.
3. 4. 5.
6 7
Pengelolaan Hasil 65% Hasil Limbah Padat Penilaian ketentuan Medis Permenkes 1204 Minimasi 71,43% 65% Memenuhi Syarat Pemilahan 14,28% 65% Belum Memenuhi Syarat Pewadahan 73,38% 65% Memenuhi Syarat Pengumpulan 100% 65% Memenuhi Syarat Penampungan 0% 65% Belum Sementara Memenuhi Syarat Pengangkutan 100% 65% Memenuhi Syarat Pemusnahan 75 % 65% Memenuhi dan TPA Syarat
Sumber: Data Primer, 2016.
SIMPULAN Dari hasil observasi dan penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Agoesdjam
Darmawati, dkk, Pengelolaan Limbah Padat Medis... 309
Ketapang yang di mulai pada tanggal 30 juni sampai 13 juli 2016, penelitian dapat disimpulkan bahwa proses pengelolaan limbah padat medis yang ada di rumah sakit ini, sebagai berikut: Sumber-sumber limbah padat medis yang dihasilkan rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang berasal dari ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang kebidanan, ruang HD, ruang laboratorium, IGD dan ruang kamar operasi. Jenis limbah padat medis Rumah sakit Dr. Agoesdjam ketapang menghasilkan limbah padat medis yang meliputi, jarum suntik, sarung tangan, perban, dan kapas terkontaminasi, botol dan selang infus yang terkontaminasi, masker, botol obat, kaca opcet, strip reagen, botol
sampel, jarum nidel,kaca tutup,botol pencuci darah. Hasil pelayanan rumah sakit tentunya akan menghasilkan limbah padat medis. volume limbah medis padat yang dihasilkan dari rumah sakit selama pelayanan medis, rata-rata volume yang dihasilkan adalah ± 0,18 m³ dengan jumlah pasien rata-rata perhari adalah 95 orang/hari. Tahap pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang dapat di simpulkan sebagai berikut : minimisasi 71,43%, pemilahan 14,28%, pewadahan 73,38%, pengumpulan 100%, TPS 0%, pengangkutan 100%, pemusnahan dan pembuangan akhir 75%
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, Wiku, 2009, Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Bastari, Alamsyah, 2007. Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit Pupuk Kaltim Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas diponegoro. Depkes RI, 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit Di Indonesia. Dir. Jen PPM&PL dan Dir. Jen Yan. Med. Jakarta. Depkes RI, 2004a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204 Tahun 2004 Persyaratan Kesehatan Rumah Sakit. Dirjen.Yan.Med. Jakarta. Depkes RI, 2004b. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Depkes RI, 2011c. Klasifikasi Rumah Sakit, Jakarta DPR RI, Undang-Undang RI No 44, Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit. Jakarta
Juli
Soemirat Slamet. 2002, Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: GAJAH MADA UNIVERSITY PRESS. Munif, Arifin, 2008. Berbagai Jenis Sampah Medis Yang Perlu Diketahui. Diunduh dari: http://publichealt-jurnal.helpingpeo pleideas.com/sampah-medis.html/ Munif, Arifin, 2008. Pengaruh Limbah Medis Rumah Sakit. Yogyakarta. Munif, Arifin, 2010. Pengangkutan Sampah Medis, diunduh dari: http://publichealth journal.helpingpeopleideas.com/pengang kutan-sampah-medis. Munif, Arifin, 2013. Berbagai Upaya Minimisasi Limbah. Diunduh dari: http://helping peopleideas.com/publichealt/minimisasiLimbah.html Pruss, A.,dkk.,2005, Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. WHO, 2002. Medical Record Manual A Guide for Devolping Countries. Geneva Word Healt Organization.
GAMBARAN PENGELOLAAN LINEN DI RUMAH SAKIT UMUM YARSI PONTIANAK Zulkifli, Sunarsieh dan Susilawati Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Pengelolaan Linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan observasi yaitu menggambarkan suatu keadaan dalam waktu yang bersamaan dan tanpa mengadakan pengaturan atau manipulasi terhadap variabel yang di teliti, variabel dilihat sebagai mana adanya. Analisis data dengan cara membandingkan hasil yang diamati dengan persyaratan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dapat diketahui bahwa keadaan pengelolaan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak pada tahun 2016 yaitu memenuhi syarat 63%. Sedangkan menurut KepMenKes 1204 tahun 2004 presentasi pengelolaan linen yang memenuhi syarat adalah ≥ 55%. Disarankan kepada pihak rumah sakit untuk meningkatkan kualitas dalam pengelolaan linen agar seluruh proses pengelolaan linen sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. Kata Kunci: Pengelolaan Linen, Rumah Sakit Abstract: The Describe Management of Linen in General Hospital Yarsi Pontianak. Type this research is descriptive observation that describes a state at the same time and without convening a setting or manipulation of variables in meticulous , variable seen as they are. Analysis of the data by comparing the results observed with the requirements Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 . The results showed that it can be seen that the state management of linen at the General Hospital Yarsi Pontianak in 2016 which qualified 63 % . Meanwhile, according to the 2004 presentation Kepmenkes 1204 eligible linen management is ≥ 55 % . It suggested for hospitals to improve quality in linen management so that the whole process of linen management in accordance with the criteria established Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 . Keywords: Management of Linen, Hospital
Rumah sakit merupakan satu institusi kesehatan dimana sekelompok orang dengan berbagai disiplin ilmu dan keahlian melakukan aktivitas secara bersama dengan kegiatan utamanya berupa pelayanan kesehatan yang bersifat preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif, sehingga rumah sakit merupakan salah satu penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik (UU RI, 2009B). Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu kondisi lingkungan yang perlu
diperhatikan adalah rumah sakit (UU RI, 2009C). Pelayanan medik tidak dapat berhasil, jika tidak didukung oleh pelayanan penunjang medik dan pelayanan penunjang non medik. Unit laundry merupakan unit penunjang non medik yang memberikan pelayanan linen terutama kepada pasien inap. Unit laundry merupakan unit yang melakukan pengelolaan linen rumah sakit, khususnya linen yang merupakan kelengkapan tempat tidur pasien rawat inap (Nugraheni, 2013). Linen di rumah sakit di butuhkan disetiap ruangan. Kebutuhan akan linen di setiap ruangan ini sangat bervariasi, baik jenis, 310
Zulkifli, dkk, Gambaran Pengelolaan Linen di... 311
jumlah dan kondisinya. Alur pengelolaan linen cukup panjang, membutuhkan pengelolaan khusus dan banyak melibatkan tenaga kesehatan dengan bermacam-macam klasifikasi. Klasifikasi tersebut terdiri dari ahli manajemen, teknisi, perawat, tukang cuci, penjahit, tukang setrika, ahli sanitasi, serta ahli kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk mendapatkan kualitas linen yang baik, nyaman dan siap pakai, diperlukan perhatian khusus, seperti kemungkinan terjadinya pencemaran infeksi dan efek penggunaan bahan-bahan (Depkes RI, 2004). Sering dijumpai kendala-kendala dalam pengelolaan linen di rumah sakit seperti, kualitas linen yang tidak baik, dalam arti linen sudah kadaluarsa dan kerapatan benang sudah tidak memenuhi persyaratan, kualitas hasil pencucian sulit menghilangkan noda berat seperti darah, bahan kimia dan lain-lain, unitunit pengguna linen tidak melakukan pembasahan terhadap noda sehingga noda yang kering akan sulit dibersihkan saat pencucian, ruangan tidak memisahkan linen kotor terinfeksi dan kotor tidak terinfeksi, kurang optimalnya pengelolaan untuk jenis linen tertentu seperti kasur, bantal, linen berenda dan lain-lain, kurangnya koordinasi yang dengan bagian lain khususnya dalam perbaikan sarana dan peralatan, aspek hukum apabila pengelola linen dilakukan oleh pihak ketiga, kurangnya pemahaman tentang kewaspadaan universal, kurangnya pemahaman dalam pemilihan, penggunaan dan efek samping bahan kimia berbahaya, kurangnya kemampuan dalam pemilihan jenis linen (Depkes RI, 2004). Berdasarkan hasil riset fasilitas kesehatan, terdapat 594 RSU pemerintah yang memiliki binatu sendiri (86,7%). Sebanyak 93,8% RSU Pemerintah kelas A, 93,1% RSU Pemerintah kelas B, 90,7% RSU Pemerintah kelas C, dan 75,1% RSU Pemerintah kelas D memiliki binatu sendiri. Selebihnya menggunakan jasa outsourcing atau tidak memiliki pelayanan binatu sama sekali.Sekitar 56,8% Pelayanan binatu RSU pemerintah memiliki ruang linen kotor, 62,6% memiliki ruang linen bersih, 45,4% memiliki ruang kereta linen 53,3% memiliki ruang kelengkapan cuci, dan 64,9% memiliki ruang setrika (Rifakes, 2011). Berdasarkan standar minimal untuk penilaian linen di rumah sakit untuk semua tipe kelas A, B, C dan D adalah 55% sesuai KepMenKes RI No. 1204/MenKes/SK/X/2004
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Setelah melakukan penilaian terhadap enam rumah sakit yang ada di Pontianak didapatkan hasil penilaian linen rumah sakit antara lain: RS Universitas Tanjungpura 100%, RS Soedarso 100%, RS Mitra Medika 80%, RS Bhayangkara 65%, RS Sultan Syarif Abdurrahman 55%, RS Islam Yarsi 45%. Jadi dari penilaian yang kami lakukan untuk nilai yang terendah yaitu adalah rumah sakit Islam Yarsi. Komponen yang tidak memenuhi syarat dalam pengelolaan linen di Rumah Sakit Islam Yarsi yaitu Pada pencucian linen, tidak terdapat kran air bersih dengan kapasitas, kualitas dan kuantitas baik serta tidak disediakan air panas untuk desinfeksi awal sehingga mendapatkan nilai yang kurang baik, tidak dilakukan pemilahan antara linen infeksius dan non infeksius juga mendapatkan nilai yang buruk karena memakai 1 mesin cuci untuk semua jenis linen. Pada pencucian linen infeksius tidak di lakukan dengan baik karna masih menggunakan manual. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Islam Yarsi Pontianak. Rumah Sakit Umum YARSI merupakan salah satu rumah sakit yang dimiliki pihak swasta yang berlokasi di Pontianak Timur Jalan Tanjung raya II. Sebagai salah satu Rumah sakit, YARSI juga berpotensi untuk menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Linen-linen kotor baik yang infeksius maupun yang non infeksius bekas pemakain pasien maupun bekas kegiatan pelayanan kesehatan senantiasa dihasilkan setiap hari. Hasil survei awal yang saya lakukan saat kegiatan observasi di Rumah Sakit Islam Yarsi Pontianak. Pada pencucian linen, tidak terdapat kran air bersih dengan kapasitas, kualitas dan kuantitas baik serta tidak disediakan air panas untuk desinfeksi awal sehingga mendapatkan nilai yang kurang baik, tidak dilakukan pemilahan antara linen infeksius dan non infeksius juga mendapatkan nilai yang buruk karena memakai 1 mesin cuci untuk semua jenis linen. Pada pencucian linen infeksius tidak di lakukan dengan baik karna masih menggunakan manual. Disamping itu pemerintah juga telah mengeluarkan KepMenKes RI No. 1204/MenKes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Gambaran Pengelolaan Linen Ditinjau dari
312 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.310 - 319
Pengumpulan, penerimaan, pencucian, pengeringan, penyetrikaan, penyimpanan, pendistribusian, pengangkutan Linen di Rumah Sakit Islam YARSI Pontianak”.
Tabel 1. Pengelolaan Linen Laundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Pengumpulan. No
METODE PENELITIAN 1
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan observasi yaitu menggambarkan suatu keadaan dalam waktu yang bersamaan dan tanpa mengadakan pengaturan atau manipulasi terhadap variabel yang di teliti. Data yang telah terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan dijabarkan dalam narasi. Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan adalah analisis data secara deskriptif yaitu data disajikan dalam bentuk tabel dan persentase dan penjabaran dalam narasi. Kemudian menggolongkan setiap kategori beberapa responden mempunyai kategori memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, dengan berpedoman pada KepMenKes 1204 tahun 2004, tersebut adalah: (a) Memenuhi syarat: ≥55%, (b) Tidak memenuhi syarat: <55% HASIL Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak telah memiliki instalasi laundri sendiri dengan menggunakan 1 buah mesin cuci, 1 mesin pengering, 1 buah mesin pemeras, 2 alat menyetrika dan 2 buah troli dengan jumlah petugas sebanyak 4 orang yang di bawahi oleh penanggung jawab rumah sakit untuk mengawasi. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Pengumpulan
2
3 4
5 6
Tahap Pengumpulan Pemilihan antara linen infeksius dan linen non infeksius Linen infeksius dan non infeksius dipisahkan dimasukkan ke kantong sesuai dengan jenisnya dan diberi label Linen kotor tidak diletakkan dilantai Linen kotor yang dikumpulkan, dicatat petugas ruangan Linen infeksius diperlakukan khusus dan dimasukan terlebih dahulu Pengambilan linen tidak dikibas- Kibas Jumlah Presentase (%)
Hasil Data Ya Tidak √
√ √ √
√ √ 5
1
83% 17%
Berdasarkan tabel 1 pada tahap pengumpulan sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap pengumpulan 83%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Penerimaan Tabel 2. Pengelolaan Linen Laundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Penerimaan Hasil Data No Tahap Penerimaan Ya diproleh Tidak yang Mencatat linen yang √ 1 diterima Linen yang diterima telah 2 dipisahkan antara √ infeksius dan non infeksius Line dipisahkan √ 3 berdasarkan dan warna tingkat kekotorannya Jumlah 2 1 Presentase (%) 66% 34% Berdasarkan tabel 2 pada tahap penerimaan sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap penerimaan 66%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Pencucian
Zulkifli, dkk, Gambaran Pengelolaan Linen di... 313
Tabel 3. Pengelolaan Linen Loundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Pencucian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 No 12 13 14 15
Hasil Data Ya Tidak Menimbang berat linen terlebih √ dahulu Pada saat penerimaan linen tidak √ diletakkan dilantai Linen infeksius langsung √ didesinfeksi Linen yang bernoda darah √ dibersihkan terlebih dahulu Pencucian linen infeksius dan √ non infeksius dipisahkan Suhu air panas yang digunakan √ 65°C - 77°C selama 30 menit Tahap Pencucian
Proses pencucian menggunakan √ deterjen Proses pencucian menggunakan √ desinfektan Proses pencucian menggunakan √ pemutih Proses pencucian menggunakan √ pelembut Proses pencucian menggunakan √ mesin cuci Tahap Pencucian Ya Tidak Proses desinfeksi menggunakan √ suhu air panas 70 0C selama 25 atau 950C selam 10 menit Petugas linen kotor kontak √ dengan linen bersih Semua linen yang dicuci √ langsung dikeringkan Linen kotor yang ada di √ cuci habis dalam waktu satu hari Jumlah 10 5 Presentase (%) 65% 35%
Berdasarkan tabel 3 pada tahap pencucian sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap pencucian 65%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Pengeringan
Tabel 4. Pengelolaan Linen Loundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Pengeringan Hasil Data No
1
2 3
Tahap Pengeringan
Ya Tidak
Setelah linen melalui proses √ pencucian, linen langsung dikeringkan Seluruh linen dikeringkan dengan mesin pengering (maks. √ 700C) Tidak kontak dengan linen √ kotor
4
Linen tidak kontak langsung dengan petugas
5
Linen dikeringkan habis dalam waktu 1 x 24 jam
6
Linen yang telah dikeringkan itempatkan pada trolly yang telah dibersihkan terlebih dahulu menuju ruang setrika Jumlah Presentase (%)
√ √
√
2
4
66% 34%
Berdasarkan tabel 4 pada tahap pengeringan sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap pengeringan 66%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Penyetrikaan Tabel 5. Pengelolaan Linen Loundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Penyetrikaan No 1 2 3
4
5
Tahap Penyetrikaan
Hasil Data Ya Tidak
Linen yang sudah kering √ langsung disetrika Linen di setrika satu per satu √ Linen langsung dipisahkan sesuai √ dengan jenisnya Menggunakan mesin plat press maupun roll pess untuk menyetrika dengan suhu min 120°C Linen tidak ada yang berjatuhan dan menyentuh lantai Jumlah Presentase (%)
√
√
3 2 60% 40%
314 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.310 - 319
Berdasarkan tabel 5 pada tahap penyetrikaan sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap penyetrikaan 60%.
Tabel 7. Pengelolaan Linen Loundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Pendistribusian No
Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Penyimpanan Tabel 6. Pengelolaan Linen Loundri di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Penyimpanan. No
Tahap Penyimpanan
1
Linen disimpan ditempat yang tertutup (lemari)
2
Linen dipisahkan sesuai jenisnya
3 No
Linen dibungkus dengan plastik
4
Tahap Penyetrikaan Lipatan linen harus menghadap keluar agar memudahkan penghitungan maupun pengambilan
Penyerahan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai kartu tanda terima
2
Pendistribusian linen terbungkus rapi dengan menggunakan plastik transparan di buat paket
3
√ 4 √ √ Ya Tidak
5 6
√
5
Ruang penyimpanan bersih, √ bebas debu dan tidak lembab
6
Pintu lemari penyimpanan selalu tertutup Jumlah Presentase (%)
1
Hasil Data Ya Tidak
√ 3 3 50% 50%
Berdasarkan tabel 6 pada tahap penyimpanan tidak memenuhi syarat karena persentase <55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap penyimpanan 50%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Pendistribusian
Tahap Pendistribusian
√
√
Pendistribusian dilakukan oleh petugas laundry
√
Tahap Pendistribusian
7
Pendistribusian linen berdasarkan blanko pengiriman
9
√
Petugas pendistribusian berbeda dengan petugas pengumpul linen kotor Menggunakan trolley yang berbeda dengan trolley linen kotor Trolley untuk pengambilan linen bersih tertutup
No
8
Hasil Data Ya Tidak
√
√
Ya Tidak √
Petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan √ sesuai dengan linen yang diterima Pengambilan linen harus dengan sistem FIFO (first in first √ out) Jumlah 6 Presentase (%)
3
67% 33%
Berdasarkan tabel 7 pada tahap pendistribusian sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap pendistribusian 67%. Proses Pengelolaan Linen Pada Tahap Pengangkutan
Zulkifli, dkk, Gambaran Pengelolaan Linen di... 315
Tabel 8. Pengelolaan Linen Loundri Di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahap Pengangkutan No
Tahap Pengangkutan
Hasil Data Ya Tidak
PEMBAHASAN Pengelolaan Linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak
1
Menggunakan trolley yang berbeda dan tertutup antara linen bersih dan kotor
√
2
Trolley dalam keadaan bersih (secara fisik)
√
Hasil yang diproleh saat melakukan penelitian dilapangan maka penulis mencoba membahas hasil-hasil yang didapat yaitu pada tahap-tahap pengelolaan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak, adalah sebagai berikut:
3
Trolley tidak dibawa keruangan/kamar
√
Pengumpulan
4
Bagian dalam trolley dengan plastik
5
Waktu pengangkutan linen kotor √ berbeda dengan linen bersih
6
Trolley langsung di bersihkan/ dicuci setelah digunakan
masuk
Jumlah Presentase (%)
dilapisi
√
√ 4 2 67% 33%
Berdasarkan tabel 8 pada tahap pengangkutan sudah memenuhi syarat karena persentase ≥55%. Dan nilai hasil persentase pada tahap pengangkutan 67%. Rekapitulasi Hasil Tabel 9. Rekapitulasi Data No
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengumpulan Penerimaan Pencucian Pengeringan Penyetrikaan Penyimpanan Pendistribusian pengangkutan Pengelolaan Linen
Memenuhi Syarat Ya 5 2 10 4 3 3 6 4
% Tidak % 83 1 17 66 1 34 65 5 35 66 2 34 60 2 40 50 3 50 67 3 33 67 2 33 𝟓𝟐𝟒 𝟐𝟕𝟔 𝟖𝟎𝟎 𝟖𝟎𝟎 × 𝟏𝟎𝟎 36 × 𝟏𝟎𝟎 20 = = 𝟑𝟒, 𝟓% 𝟔𝟓, 𝟓%
∑ 6 3 15 6 5 6 9 6
% 100 100 100 100 100 100 100 100
56 800
Data diatas dapat diketahui bahwa keadaan pengelolaan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak pada tahun 2016 yaitu memenuhi syarat 65%. Sedangkan menurut KepMenKes 1204 tahun 2004 presentasi pengelolaan linen yang memenuhi syarat adalah ≥55%
Tahap pengumpulan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 83%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 17%, yang mana linen infeksius dan non infeksius tidak dipisahkan dan tidak di masukkan ke kantong sesuai dengan jenisnya dan tidak diberi label. Hal ini di karenakan pihak managemen rumah sakit belum menyediakan sarana dan prasarana seperti kantong dan lebel untuk memisahkan yang mana linen infeksius dan yang mana linen non infeksius Keadaan seperti ini besar kemungkinan akan terjadi penularan penyakit karena menurut kepmenkes 1204 tahun 2004 linen infeksius dan non infeksius harus di pisahkan dan dimasukkan sesuai kantong dan jenis dan diberi label. Oleh sebab itu pihak managemen rumah sakit harus menyediakan sarana dan prasaran seperti kantong pemisah dan label agar tidak terjadi penularan penyakit. Proses pengumpulan linen kotor di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak ini ternyata tidak sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan. Perawat yang melakukan pengumpulan pertama seharusnya sudah memisahkan linen kotor infeksius dengan non infeksius sebelum dimasukan ke dalam kantong plastik linen kotor. Hal ini mungkin terjadi karena perawat tidak peduli atau paham akan bahaya yang akan terjadi, mungkin juga karena perawat merasa bahwa itu bukanlah tugas pokok yang mereka lakukan. Dalam hal ini petugas memang tidak sarankan melakukan pensortiran di ruang perawatan karena dapat menyebabkan tersebarnya mikroorganisme. Penerimaan
316 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.310 - 319
Tahap penerimaan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 66%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 34%, yang mana linen yang diterima tidak dipisahkan antara infeksius dan non infeksius, Dan tidak dilakukan penimbangan saat penerimaan linen, dan yang seharusnya ditahap penerimaan dilakukan penimbangan dan dilakukan pemisahan antara linen infeksius dan linen non infeksius sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Hal ini di karenakan pihak mangemen rumah sakit belum menyediakan sarana dan prasarana seperti timbangan untuk menimbang linen, akan tetapi langsung di masukkan ke dalam trolli tanpa ada pemisahan antara linen infeksius dan linen non infeksius. Tahap penerimaan linen kotor di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak ini ternyata tidak sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan oleh sebab itu pihak managemen rumah sakit harus menyediakan sarana dan prasarana seperti timbangan agar dalam tahap penerimaan di pengelolaan linen di rumah sakit umum yarsi pontianak menjadi lebih baik dan sesuai standar Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan. Pencucian Tahap pencucian linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 65%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 35%, untuk tahap pencucian linen masih menggunakan tenaga manual saat pencucian linen infeksius. Oleh sebab itu pencucian menggunakan tenaga manual sangat berbahaya karna dapat menularkan penyakit kepada petugas loundri, adapun petugas loundri jarang menggunakan APD yang lengkap seharusnya petugas loundri menggunakan APD yang lengkap seperti masker, sarung tangan, celemek, dan sepatu booth untuk menghindari penularan penyakit. Tahap pencucian linen tidak menggunakan desinfektan khusus dan tidak tersedianya air panas, hal ini di karenakan pihak managemen rumah sakit belum menyediakan sarana dan prasarana seperti air panas dan mesin cuci khusus untuk pencucian linen infeksius dan desinfektan khusus, oleh sebab itu besar kemungkinan penularan penyakit
terhadap petugas loundri sangat beresiko karena kontak langsung dengan linen infeksius. Proses pencucian linen di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak tidak sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan dimana petugas masih ada yang menggabung proses pencucian linen yang terkontaminasi dan tidak melakukan penanganan khusus. Hal ini terjadi bisa saja dikarenakan kurangnya fasilitas rumah sakit, seharusnya pihak rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana di bagian linen tidak tersedianya air panas atau desinfektan untuk proses awal pencucian dan mungkin saja dikarenakan membutuhkan waktu yang lama dalam penanganan linen infeksius sedangkan petugas memiliki batas waktu dalam menyelesaikan proses pencucian, yang juga berarti linen yang ada di rumah sakit kurang mencukupi. Seharusnya ada pengawasan terhadap petugas. Pengeringan Tahap pengeringan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 66%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 34%, yang mana linen yang telah dikeringkan ditempatkan pada trolly yang tidak dibersihkan terlebih dahulu menuju ruangan setrika dan linen kontak langsung dengan petugas. Proses pengeringan linen yang dilakukan di Unit laundry Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak sudah sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit dikarenakan petugas sudah sesuai dalam pemasangan suhu pengeringan mesin yaitu 70oC. Jika proses pengeringan tidak dilakukan dengan baik atau tidak sesuai dengan suhu yang ditentukan maka linen akan menjadi lembab dan mikroorganisme yang masih ada tidak mati dan memungkinkan akan terjadi kontaminasi. Serta dapat menyebabkan tumbuhnya jamur yang dapat membuat linen cepat rusak. Penyetrikaan Tahap penyetrikaan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 60%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 40%, yang mana setelah pengeringan linen tidak
Zulkifli, dkk, Gambaran Pengelolaan Linen di... 317
disimpan ditempat yang khusus akan tetapi diletakkan di lantai. Hal ini di karenakan pihak managemen rumah sakit belum menyediakan tempat khusus untuk tempat penyetrikaan agar linen tidak di letakkan di lantai supaya tidak terkontaminasi oleh udara patogen yang berbahaya. Tahap penyetrikaan tidak semua linen disetrika akan tetapi hanya untuk bagian ruangan anak saja yang disetrika karena petugas tidak pernah sebagaian hanya pada linen diruangan anak saja yang disetrika dan yang lain dilipat manual. Seharusnya terdapat tempat khusus untuk penyimpanan linen yang telah kering sebelum dilakukan penyetrikaan agar tidak terkontaminasi. Penyetrikaan dapat dilakukan dengan mesin setrika besar dapat di setel sampai dengan suhu sampai dengan o 120 C, namun harus diingat bahwa linen mempunyai keterbatasan terhadap suhu sehingga suhu disetel antara 70-80 oC. Penyetrikaan di Unit laundry RSU Yarsi Pontianak sudah baik petugas menyesuaikan panas mesin setrika sesuai dengan ketentuan Kepmenkes 1204 yaitu 70oC, hanya saja seharusnya dalam proses penyetrikaan linen dilipat setelah proses penyetrikaan selesai sehingga seluruh bagian pada linen dapat tersetrika. Hal ini terjadi mungkin saja karena petugas menyesuaikan waktu kerja dengan beban kerja yang ada. Penyimpanan Tahap penyimpanan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 50%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 50%, yang mana linen disimpan ditempat yang tidak tertutup (lemari terbuka), dan linen tidak dibungkus menggunakan plastik, dan pintu lemari selalu terbuka karena pintu lemari penyimpanan linen tidak mempunyai pintu (lemari terbuka) sehingga linen tersebut bisa terkontaminasi dengan linen kotor yang belum diproses yang ada diruangan tersebut. Penyimpanan mempunyai tujuan selain melindungi linen dari kontaminasi ulang baik bahaya seperti mikroorganisme dan pest juga untuk mengontrol posisi linen tetap stabil. Sebaiknya posisi linen yang terdapat diruangan penyimpanan. Ada baiknya lemari penyimpanan dipisahkan menurut masingmasing ruangan dan diberi obat anti ngengat
yaitu kapur barus. Sebelum disimpan sebaiknya linen dibungkus dengan plastik transparan, sebelum di distribusi-kan. Hal ini sejalan dengan Depkes (2004) yang menyatakan bahwa penyimpanan linen harus dipisah sesuai jenisnya, linen baru yang diterima ditempatkan dilemari bagian bawah, pintu lemari selalu di tutup. Dengan demikian perlu perhatian khusus untuk mengubah penyimpanan linen bersih kedalam lemari khusus untuk menghindari kontaminasi dari udara luar yang dapat menurunkan kualitas linen tersebut. Penyimpanan di Rumah Sakit Umum Yarsi ini ternyata tidak sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit dikarenakan petugas kurang memahami tentang tata cara penyimpanan linen yang benar, petugas juga ternyata tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan linen. Padahal jika penyimpanan linen tidak dilakukan secara baik maka akan meningkatkan terjadinya infeksi nosokomial pada pasien di rumah sakit. Pendistribusian Tahap pendistribusian linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 67%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 33%, yang mana pendistribusian linen tidak terbungkus rapi dan tidak menggunakan plastik transparant, dan petugas pendistribusian sama dengan petugas pengumpul linen kotor, dan trolly untuk pengambilan linen tidak tertutup hal ini di karenakan pihak managemen rumah sakit belum melengkapi sarana dan prasarana seperti pembungkus linen plastik transparan agar linen terbungkus rapi dengan plastik tansparan, dan petugas pengumpul linen kotor berbeda dengan petugas pengantar linen bersih, dan troli seharusnya keadaan tertutup agar tidak tercemar mikroorganisme. Dengan demikian perlu perhatian khusus untuk menghindari kontaminasi dari udara luar yang dapat menurunkan kualitas linen tersebut. Pengangkutan Tahap pengangkutan linen di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak yang memenuhi syarat kesehatan adalah 67%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 33%, yang mana bagian dalam trolly tidak dilapisi
318 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.310 - 319
dengan plastik, dan trolly tidak langsung dibersihkan/dicuci setelah digunakan, dan trolly saat pengangkutan keruangan terbuka tidak tertutup oleh sebab itu apabila terbuka akan terjadi pencemaran udara di sekitar. Selain itu troli yang digunakan oleh petugas untuk mengangkut linen bersih dan kotor menggunakan troli yang sama dan tanpa membersihkannya terlebih dahulu dengan desinfektan para petugas sebetulnya mengetahui akan bahaya ketika troli bekas linen kotor tidak dibersihkan dan langsung mengangkut linen bersih hanya saja pihak rumah sakit belum menyediakan desinfektan untuk membersihkan troli bekas pengangkutan dan pada saat penyimpanan linen ke tempat penyimpanan petugas laundry tidak menggunakan sarung tangan pelindung memungkinkan mikro-organisme juga menempel. Saat pengangkutan linen bersih dan kotor harus dibawa terpisah, kontainer atau kereta yang dipakai membawa linen kotor harus dibersihkan dengan seksama sebelum digunakan untuk membawa linen bersih. Kalau kontainer dan kereta yang berbeda digunakan untuk mengantar linen bersih dan juga linen kotor harus dipasang label. Linen bersih harus dibungkus atau ditutupi selama dibawa untuk mencegah kontaminasi. Akibat dari penggunaan troli yang sama bisa memungkinkan adanya infeksi karena salah satu factor yang menimbulkan terjadinya infeksi menurut Depkes RI (2004) adalah penggunaan alat yang terkontaminasi. Seharusnya pada tahap pengangkutan dalam bagian trolly harus dilapisi dengan plastik, dan setelah menggunakan trolly harus di bersihkan atau dicuci terlebih dahulu, dan trolly harus tertutup. Proses pengangkutan linen bersih di Rumah Sakit Umum Yarsi pontianak tidak sesuai dengan Kepmenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit dikarenakan linen bersih yang diangkut tidak dibungkus dengan plastik troli pun tidak menggunakan tutup. Hal ini terjadi dikarenakan tidak tersedia desinfektan di unit laundry, dan troli yang dimiliki unit laundry tidak sesuai dengan syarat troli yang dibutuhkan oleh laundry. SIMPULAN
Tahap pengumpulan linen memenuhi syarat kesehatan (83%). Tahap penerimaan linen memenuhi syarat kesehatan (66%). Tahap pencucian linen memenuhi syarat kesehatan (65%). Tahap pengeringan linen memenuhi syarat kesehatan (66%). Tahap penyetrikaan linen memenuhi syarat kesehatan (60%). Tahap penyimpanan linen tidak memenuhi syarat kesehatan (50%). Tahap pendistribusian memenuhi syarat kesehatan (67%). Tahap pengangkutan linen memenuhi syarat kesehatan (67%). Pengelolaan linen loundri di instalasi Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak yaitu memenuhi syarat kesehatan lingkungan rumah sakit dengan ketentuan Kepmenkes RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004. Dari penelitian yang dilakukan ada beberapa hal yang dapat disarankan : Tahap penyimpanan seharusnya pihak managemen rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana seperti lemari yang mempunyai pintu untuk menghindari kontaminasi dari udara luar yang dapat menurunkan kualitas linen tersebut. Tahap pengangkutan Seharusnya pihak managemen rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana seperti troli yang tertutup, dan bagian trolly harus dilapisi dengan plastik, dan setelah menggunakan trolly harus di bersihkan atau dicuci. Tahap penyetrikaan Seharusnya Seharusnya pihak managemen rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana seperti tempat khusus untuk penyimpanan linen yang telah kering sebelum dilakukan penyetrikaan agar tidak terkontaminasi. Tahap pencucian seharusnya pihak rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana di bagian linen tidak tersedianya air panas atau desinfektan untuk proses awal pencucian dan mungkin saja dikarenakan membutuhkan waktu yang lama dalam penanganan linen infeksius sedangkan petugas memiliki batas waktu dalam menyelesaikan proses pencucian, yang juga berarti linen yang ada di rumah sakit kurang mencukupi. Tahap pengeringan seharusnya linen tidak kontak langsung dengan petugas dan trolly seharusnya dibersihkan terlebih dahulu.
Zulkifli, dkk, Gambaran Pengelolaan Linen di... 319
Tahap penerimaan seharusnya pihak managemen rumah sakit harus melengkapi sarana dan prasarana seperti di lakukan penimbangan dan dilakukan pemisahan antara linen infeksius dan linen non infeksius Tahap pendistribusian sebaiknya linen terbungkus rapi dengan plastik tansparan, dan petugas pengumpul linen kotor berbeda dengan petugas pengantar linen bersih, dan troli seharusnya keadaan tertutup agar tidak tercemar mikroorganisme. Dengan demikian perlu perhatian khusus khusus untuk menghindari kontaminasi dari udara luar yang dapat menurunkan kualitas linen tersebut. Tahap pengumpulan seharusnya pihak mangemen rumah sakit harus menyediakan sarana dan prasarana seperti kantong dan lebel untuk memisahkan yang mana linen infeksius dan yang mana linen non infeksius linen infeksius dan non infeksius harus di pisahkan dan dimasukkan sesuai kantong dan jenis dan diberi label.
Pihak rumah sakit khususnya unit instalasi laundry harus menyesuaikan SOP dengan Kepmenkes RI Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan Kesehatan Lingkungan. Unit laundry harus memiliki sarana air panas dan desinfektan untuk penunjang proses pencucian, dan juga menyesuaikan jumlah dan fungsi sarana prasarana yang dimilki unit laundry Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak. Perlu dilakukan pemeriksaan angka kuman pada linen bersih guna menghindari penyebaran mikroorganisme pathogen dan mikroorganisme non pathogen. Untuk petugas pada unit laundry perlu dilakukan pelatihan dan pengawasan agar kinerja petugas sesuai dengan prosedur dan untuk menghindari terjadi infeksi dikarenakan penanganan linen yang tidak baik atau sesuai.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, Wiku, 2007. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Alamsyah, Dedi, 2013. Managemen Pelayanan Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta Depkes RI, 2004. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004. tentang pedoman manajemen linen di rumah sakit. direktorat jendral pelayanan medik: Jakarta Eskariani, N., dkk, 2013. Analisis Tingkat Kepatuhan Petugas Linen Loundry Terhadap SOP Pencucian Linen Loundry di Rumah Sakit x Yogyakarta Tahun 2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan: Yogyakarta Kemenkes RI, 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2012. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan 2011. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta Nauli, Mutiara, 2015. Analisis Pengelolaan Linen Loundry di Rumah Sakit Umum X Kota Medan 2015. Program Studi Kesehatan Masyarakat. USU: Medan.
Nugraha, N., 2012. Penanganan Bahaya Infeksius di Instalasi Loundry RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta. Nugraheni, E., 2013. Laundri Terhadap SOP Pencucian Linen Laundry di Rumah Sakit X di Yogyakarta. Program Studi Kesehatan Masyarakat. FKMUAD: Yogyakarta. Depkes RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Ditjen PPM dan PLP: Jakarta Profil Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak 2015 Rifakes, 2011. Hasil Riset Fasilitas Kesehatan. Tentang binatu rumah sakit: Jakarta UU RI, 2009A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik: Jakarta UU RI, 2009B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit: Jakarta UU RI, 2009C. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang tesehatan:Jakarta
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH (LOW BACK PAIN) PADA PEKERJA BURUH DI INDONESIA PORT CORPORATION TERMINAL PETI KEMAS (IPC TPK) KOTA PONTIANAK Ira Purnasari, Paulina dan Salbiah Kastari Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) Pada Pekerja Buruh di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas Kota Pontianak. Penelitian bersifat observasional dengan tipe penelitian cross sectional dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (masa kerja, kebiasaan merokok, kebugaran jasmani dan status gizi) dan variabel terikat (keluhan nyeri punggung bawah (LBP)). Jumlah sampel yang digunakan adalah 55 sampel. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) (p value = 0,000, OR = 36,000), ada hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) (p value = 0,002, OR = 8,700), tidak ada hubungan kebugaran jasmani dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) (p value = 0,884, OR = 1,569) dan tidak ada hubungan status gizi dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) (p value = 0,884, OR = 0,637). KataKunci: gizi kerja, keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) Abstract: The Factors Related with Low Back Pain on The Labor Workers in Indonesia Port Corporation Container Terminal Pontianak City. The study was observational type cross-sectional study with a test of hypothesis to determine the relationship between the two variables are independent variables (length of employment, smoking habits, physical fitness and nutritional status) and the dependent variable (low back pain (LBP)). The samples used were 55 samples. The results of this study concluded that there is a relationship between tenure with low back pain (LBP) (p value = 0.000, OR = 36,000), there is a relationship smoking and low back pain (LBP) (p value = 0.002, OR = 8.700 ), there is no relationship of physical fitness with low back pain (LBP) (p value = 0.884, OR = 1.569) and there was no relationship of nutritional status with low back pain (LBP) (p value = 0.884, OR = 0.637). Keywords: smoking habits, nutritional statuslow back pain (LBP)
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (UU No. 36/2009). Produktivitas kerja yang optimal serta perlindungan tenaga kerja akan terwujud bila mana perhatian tentang upaya perlindungan
tenaga kerja oleh berbagai aspek dapat mendukung tercapainya derajat kesehatan yang maksimal. Upaya perlindungan tenaga kerja perlu terus ditingkatkan melalui perbaikan syarat kerja termasuk upah/gaji dan jaminan sosial, kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja serta hubungan kerja dalam rangka peningkatan kesejahteraan para pekerja secara menyeluruh (Suma’mur, 2014).
320
Ira, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 321
Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya, beban dimaksud mungkin fisik, mental dan sosial. Seorang tenaga kerja yang secara fisik bekerja berat seperti halnya buruh bongkar-muat barang di pelabuhan, memikul lebih banyak beban fisik dari pada beban mental atau pun sosial, cara kerja yang dilakukan seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, membawa, memegang merupakan hal yang bisa menyebabkan terjadinya peyakit akibat kerja ataupun kecelakaan kerja (Suma’mur, 2014 ) Melakukan pekerjaan mengangkat, menurunkan, dan membawa barang dilakukan secara langsung tanpa bantuan alat apapun dapat menjadi risiko terjadinya kecelakaan pada pekerja seperti terjatuh, tertimpa muatan, kelelahan dan cidera pada punggung yaitu Low Back Pain (LBP).LBP atau nyeri punggung merupakan rasa nyeri yang terjadi di daerah punggung bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian belakang dan samping luar. Keluhan utama nyeri pinggang akibat teknik atau sikap kerja yang salah dapat berupa pegal di pinggang yang sudah bertahun-tahun, pinggang terasa kaku, sulit digerakkan, dan terus-menerus lelah. LBP merupakan nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah, nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Hal ini biasanya merupakan nyeri yang terjadi akibat gerakan mengangkat, membungkuk, atau mengejan, hilang timbul paling sering terjadi pada punggung bagian bawah dan biasanya tidak menandakan kerusakan permanen apapun. Nyeri merupakan perasaan yang sangat subjektif dan tingkat keparahannya sangat dipengaruhi oeh pendapat pribadi dan keadaan saatnyeri tersebut terjadi, kebanyakan orang yang mengalami nyeri punggung bawah memiliki episode berulang, kekambuhan pada 1 tahun berkisar antara 24 sampai 80 persen (Nur, 2015). Gejala-gejala nyeri punggung dapat sangat bervariasi dari satu orang ke orang yang lain. Gejala tersebut meliputi sakit, kekakuan, rasa baal (mati rasa), kelemahan dan rasa kesemutan (seperti ditusuk peniti dan jarum). Batuk atau bersin seringkali dapat memperberat nyeri punggung dengan menybabkan spasme (kontraksi) otot punggung yang terasa sangat nyeri. Nyeri tersebut dapat berawal pada punggung namun nyeri dapat menjalar ke punggung, namun juga dapat menjalar turun ke tungkai bahkan ke kaki (Bull, 2007).
LBP merupakan keluhan muskuluskeletal yang sering dikeluhkan oleh pasien. Bahkan seringkali menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari, disabilitas dan produktifitas penderitanya. LBP dapat dialami siapa saja, pada umur berapa saja. Namun demikian keluhan LBP jarang dijumpai pada kelompok umur 0-10 tahun, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa faktor etiologi tertentu yang sering dijumpai pada usia yang lebih tua. Hampir 70-80% penduduk di Negara maju pernah mengalami LBP Setiap tahun 14-45% orang dewasa menderita LBP dan satu di antara 20 penderita harus di rawat dirumah sakit karena serangan akut. LBP sangat umum pada umur 35-55 tahun (Khosama, dkk. 2013). Setiap perusahaan pelayanan jasa seperti pelayanan jasa bongkar bongkar-muat berpotensi besar bagi pekerjanya menderita keluhan LBP, Salah satunya Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak yang merupakan anak perusahaan dari IPC Holding yaitu produk (brand) baru dari PT Pelindo II yang berpusat di Jakarta.Badan Usaha Milik Negara dalam sektor perhubungan yang menjalankan bisnis sebagai penyedia fasilitas jasa kepelabuhan seperti pengelolaan terminal peti kemas dan jasa pelayanan. Ruang lingkup jenis-jenis pekerjaan di IPC antara lain operator empty, operator Full, proman, operator mobil, operatoe stacker, operator porklif, operator louder, dan pekerja bongkar-muat. Pekerja bongkar-muat di IPC TPK Pontianak berpotensi besar mengalami LBP di sebabkan oleh waktu aktivitas fisiknya dilakukan dalam waktu yang paling lama dibanding dengan jenis pekerjaan lain. Jumlah pekerja tetap bongkar muat di IPC TPK Kota Pontianak berjumlah 55 orang, enis barang yang dimuat seperti semen, besi, pupuk dengan berat barang minimal 50 kg, mereka sebagian besar telah bekerja di atas 5 tahun, umur pekerjanya di atas 20 tahun dan Pekerjaan bongkar-muat dilakukan juga dalam waktu yang panjang yaitu dimulai dari pukul 07.0016.00 dengan waktu istirahat yang minim yaitu 1 jam. Sementara menurut (Budiono, 2003), batasan beban angkat angkut yang di perbolehkan ialah 40 kg untuk angkat angkut sekali-kali pada pria dan untuk angkat angkut terus menerus pada pria sebesar 15-18 kg. Dari survey awal yang dilakukan di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak ditemukan
322 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.320 - 327
adanya keluhan nyeri punggung tetapi pada umumnya keluhan itu diabaikan dan hanya diobati dengan minum jamu atau mengurut daerah yang terasa sakit. Keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) yang dirasakan oleh pekerja bongkar-muat di IPC TPK Kota Pontianak antara lain pekerja mengalami gejala panas pada daerah punggung bawah, mengalami kaku dipunggung bagian bawah, mengalami nyeri sebelum melakukan aktivitas, mengalami nyeri sesudah melakukan aktivitas, kesulitan membungkuk, sulit berjalan karena nyeri, merasa kesemutan di daerah punggung dan pekerja yang mengalami mati rasa dari daerah punggung sampai tungkai kaki. Selain itu dari wawancara yang dilakukan Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pihak IPC belum pernah melakukan observasi keluhan Low Back Pain (LBP) terhadap pekerja bongkar-muat.Maka dari itu dilakukan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui keluhan Low Back Pain yang dialami pekerja bongkar-muat di IPC TPK Pontianak. Dari hasil observasi yang dilakukan terhadap 6 orang pekerja bongkar muat di IPC TPK Pontianak, didapatkan hasil bahwa sebanyak 33% pekerja mengalami gejala panas pada daerah punggung bawah, 66% mengalami kaku dipunggung bagian bawah, 66% mengalami nyeri sebelum melakukan aktivitas, 50% mengalami nyeri sesudah melakukan aktivitas, 50% kesulitan membungkuk, 33% sulit berjalan karena nyeri, 83% merasa kesemutan di daerah punggung dan 33% pekerja yang mengalami mati rasa dari daerah punggung sampai tungkai kaki. Sehingga peneliti tertarik untuk menganalisis lebih mendalam mengenai hubungan beban angkat angkut dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja buruh di IPC TPK Kota Pontianak. METODE PENELITIAN Variabel bebas dalam penelitian ini adalah masa kerja, kebiasaan merokok, kebugaran jasmani dan gizi kerja. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keluhan Nyeri Punggung Bawah pada pekerja buruh di Indonesia Port Corporation (IPC) TPK Kota Pontianak. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dimana variabel bebas dan variabel terikat yang terjadi pada obyek penelitian
diukur dan dikumpulkan pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Azwar, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pekerja di IPC TPK Kota Pontianak berjumlah 55 pekerja. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total populasi. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti yaitu data primer dengan cara observasi menggunakan lembar observasi (checklist) dan wawancara menggunakan kuisioner kemudian status gizi, beban angkat angkut dan data sekunder yang diperoleh dari PT. Tenaga Kerja Bongkar Muat Pontianak. Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui kecendrungan atau hubungan antara variabel yang diteliti dengan cara analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL Masa Kerja Tabel 2. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak Tahun 2016 No 1. 2.
Masa Kerja ≥ 10 Tahun < 10 Tahun Jumlah
Frekuensi 37 18 55
(%) 67,3 32,7 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 1 diperoleh hasil bahwa responden pada kelompok masa kerja ≥10 Tahun di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak mempunyai proporsi terbanyak yaitu sebesar 67,3%. Kebiasaan Merokok Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok Responden di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak Tahun 2016 No 1. 2.
Kebiasaan Merokok Merokok Berat Merokok Ringan Jumlah
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Frekuensi
(%)
33 22 55
60,0 40,0 100
Ira, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 323
Berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil bahwa responden pada kelompok merokok berat di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak mempunyai proporsi terbanyak yaitu sebesar 60,0%. Kebugaran Jasmani Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kebugaran Jasmani Responden di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak Tahun 2016 No Kebugaran Frekuensi (%) Jasmani 47 85,5 1. Tidak 8 14,5 2. Ya Jumlah 55 100
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Nyeri Punggung Bawah (LBP) Responden di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak Tahun 2016 Nyeri No. Punggung Frekuensi (%) Bawah (LBP) 39 70,9 1. Nyeri 16 29,1 2. Tidak Nyeri Jumlah 55 100 Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil bahwa responden pada kelompok kebugaran jasmani yang tidak di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak mempunyai proporsi terbanyak yaitu sebesar 85,5%.
Berdasarkan tabel 5 diperoleh hasil bahwa responden pada kelompok yang mengalami nyeri punggung bawah (LBP) di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak mempunyai proporsi terbanyak yaitu sebesar 70,9%. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan p value yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah (Low Back Pain) pada pekerja buruh di Indonesia Port Corparation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak adalah masa kerja (p value= 0,039) dan kebiasaan merokok (p value= 0,002).
Status Gizi
PEMBAHASAN
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak Tahun 2016 No Status Gizi Frekuensi (%) 8 14,5 1. Tidak Normal 47 85,5 2. Normal Jumlah 55 100
Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (LBP)
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 4 diperoleh hasil bahwa responden pada kelompok status gizi normal di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak mempunyai proporsi terbanyak yaitu sebesar 85,5%. Nyeri Punggung Bawah (LBP)
Menurut Dermawan (2015) masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya kerja tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Massa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang kerja tersebut. Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara masa kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) menunjukkan signifikansi p value = 0,039 yang berarti lebih kecil dari α (0,05), sehingga secara statistik ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak. Responden yang memiliki masa kerja ≥10 tahun mempunyai resiko mengalami keluhan nyeri punggung bawah (LBP) 4.286 kali lebih besar dibandingkan masa kerja ≥10 tahun.
324 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.320 - 327
Dari hasil uji korelasi didapatkan p value = 0,018 karena p <0,05 sehingga dalam penelitian ini faktor masa kerja responden memiliki hubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan masa kerja ≥10 tahun memiliki kecenderungan menderita nyeri punggung bawah (LBP) lebih tinggi (67,3%) dibandingkan dengan responden yang lama kerjanya <10 Tahun (32,7%). Sebuah studi yang dilakukan Suharto (2005), seseorang yang bekerja lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko terjadinya LBP dibandingkan kurang dari 10 tahun, dimana paparan mengakibatkan rongga diskus menyempit secara permanen dan juga mengakibatkan degenerasi tulang belakang yang akan menyebabkan nyeri punggung bawah kronis. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Umami (2013) yang menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki keluhan LBP paling banyak dirasakan oleh pekerja yang memiliki masa kerja >10 tahun dibandingkan dengan mereka dengan masa kerja <10 tahun ataupun 5-10) tahun. LBP sebagai penyakit kronis yang membutuhkan waktu lama untuk menimbulkan gejala. Jadi semakin lama waktu bekerja atau semakin lama pekerja terkena faktor risiko maka semakin besar timbulnya risiko untuk mengalami LBP. Bagi pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas Kota Pontianak diharapkan memperbanyak waktu istirahat dan melakukan peregangan otot untuk memenimalisir kejadian nyeri punggung bagian bawah (LBP). Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (LBP) Menurut Siswanto dalam Prasetya (2012), kebiasaan merokok merupakan faktor penting, karena asap rokok dapat mempengaruhi koordinasi gerakan silia, bahkan mungkin gerak silia menjadi lumpuh sehingga dapat menimbulkan obstruksi serta dapat menyebabkan bronchitis dan dalam pemeriksaan akan mempengaruhi pernafasan seseorang. Kebiasaan ini mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang yang juga akan mempengaruhi terhadap kesehatan paru-paru. Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP)
menunjukkan signifikansi p value = 0,002 yang berarti lebih kecil dari α (0,05), sehingga secara statistik ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak. Responden yang memiliki kebiasaan merokok berat mempunyai resiko mengalami keluhan nyeri punggung bawah (LBP) 8,700 kali lebih besar dibandingkan kebiasaan merokok ringan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) yang menemukan ada hubungan yang signifikan antar kebiasaan merokok dengan keluhan otot punggung, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Hal ini kemungkinan disebabkan sebaran data kebiasaan merokok dengan keluhan low back pain yang tidak merata. Selain itu, faktor kebiasaan olahraga juga berpengaruh, pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok sebagian besar juga memiliki kebiasaan olahraga, sehingga kemungkinan terserang keluhan low back pain dapat diminimalisir. Hasil penelitian terhadap 55 responden menunjukkan bahwa responden yang kebiasaan merokoknya berat memiliki kecenderungan menderita nyeri punggung bawah (LBP) lebih tinggi (87,9%) dibandingkan dengan responden yang kebiasaan merokoknya ringan (45,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tana L (2011) yang menyebutkan dalam penelitiannya bahwa responden yang memiliki riwayat merokok lebih banyak menderita LBP dibandingkan dengan yang tidak merokok sama sekali. Merokok dikatakan memiliki hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot punggung, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, Hal ini disebabkan karena nikotin yang terdapat pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang. Menurut Tveito (2004), merokok dapat menyebabkan penurunan perfusi dan kekurangan gizi otot dan tulang akibat kurangannya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok juga dapat menyebabkan jaringan tidak efisien untuk merespon stress mekanik
Ira, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 325
yang dapat menyebabkan keluhan nyeri punggung. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki risiko LBP sama dengan mereka yang tidak merokok. Sebaiknya pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas Kota Pontianak mulai membiasakan untuk tidak merokok saat bekerja karena selain dapat meyebabkan terjadinya keluhan nyeri punggung bawah (low back pain), merokok juga dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Memperbanyak kegiatan olahraga untuk pencegahan terhadap keluhan nyeri punggung bawah (LBP). Hubungan Kebugaran Jasmani dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (LBP) Menurut Nita (2012), kurangnya kebugaran jasmani merupakan faktor resiko nyeri punggung bawah. Karyawan yang tidak memiliki kebiasaan olah raga beresiko sebesar 2,94 kali lebih besar dari karyawan yang sering berolah raga secara teratur. Namun kebiasaan merokok dan keadaan gizi yang tidak normal juga dapat faktor pemicu untuk terjadinya keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja, karena asap rokok dapat mempengaruhi koordinasi gerakan silia, bahkan mungkin gerak silia menjadi lumpuh sehingga dapat menimbulkan obstruksi serta dapat menyebabkan bronchitis dan dalam pemeriksaan akan mempengaruhi pernafasan seseorang ditambah kurangnya berolahraga dan status gizi yang tidak normal. Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara kebugaran jasmani dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) menunjukkan signifikansi p value = 0,678 yang berarti lebih besar dari α (0,05), sehingga secara statistik tidak ada hubungan antara kebugaran jasmani dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak. Responden yang tidak memiiliki kebugaran jasmani mempunyai resiko mengalami keluhan nyeri punggung bawah (LBP) 1,569 kali lebih besar dibandingkan responden yang memiliki kebugaran jasmani. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmat (2007) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian low back pain dengan kebiasaan olahraga dengan P value 0,029. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebaran data yang tidak merata antara kebiasan olahraga dengan keluhan low back pain. Pekerja yang memiliki kebiasaan olahraga lebih banyak yang mengalami keluhan low back pain, hal ini dimungkinkan karena posisi mengangkat barang yang kurang baik, sehingga lebih besar peluang untuk mengalami keluhan. Demikian juga dari kebiasaan merokok, pekerja yang sering berolahraga juga lebih banyak yang mempunyai kebiasaan merokok. Tingkat keluhan otot juga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran jasmani. Berdasarkan laporan dari NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady et al (1979) menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka risiko terjadinya keluhan adalah 7,1 % tingkat kesegaran jasmani yang sedang risiko terjadinya gangguan otot rangka adalah 3,2 % dan tingkat kesegaran jasmani yang tinggi maka risiko untuk terjadinya keluhan otot rangka 0,8%. Menurut Munir (2012), dengan meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot punggung, beban akan terdistribusi secara merata dan mengurangi beban hanya pada tulang belakang. Selain sebagai upaya preventif misalnya dengan peregangan, olahraga ternyata dapat juga mengurangi gejala nyeri bila sudah terjadi gangguan nyeri punggung bawah. Hubungan Status Gizi dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (LBP) Menurut Permenkes, no.41 (2014), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status kesehatan dan nutrisi atau keadaan gizi berhubungan erat satu sama lainnya dan berpengaruh pada produktivitas dan efisiensi kerja. Dalam melakukan pekerjaan tubuh memerlukan energi. Apabila kekurangan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif kapasitas kerja akan terganggu. Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indikator status gizi untuk memantau berat badan normal orang dewasa bukan untuk menentukan overweight dan obesitas pada anak-anak dan remaja. Namun bukan berarti hanya pekerja yang memiliki status gizi yang tidak normal yang dapat menderita keluhan nyeri punggung bawah. Pekerja yang memiliki status gizi
326 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.320 - 327
normal, tetapi mempunyai kebiasaan merokok yang berat dan jarang melakukan olahraga juga menjadi faktor pendukung terjadinya keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja. Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara status gizi dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) menunjukkan signifikansi p value = 0,884 yang berarti lebih besar dari α (0,05), sehingga secara statistik tidak ada hubungan antara status gizi dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada pekerja angkat angkut di Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak. Responden yang status gizinya tidak normal mempunyai resiko mengalami keluhan nyeri punggung bawah (LBP) 0,637 kali lebih besar dibandingkan responden dengan status gizi normal. Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurzannah (2015) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kejadian low back pain pada pekerja bongkar muat di Pelabuhan Belawan Medan (p value = 0,05). Tidak adanya hubungan antara obesitas dengan keluhan low back pain kemungkinan disebabkan karena sebaran data yang tidak merata antara keluhan low back pain dengan status gizi. Menurut Purnamasari (2010), ketika seseorang kelebihan berat biasanya kelebihan berat badan akan disalurkan pada daerah perut yang berarti menambah kerja tulang lumbal. Ketika berat badan bertambah, tulang belakang akan tertekan untuk menerima beban tersebut sehingga mengakibatkan kerusakan dan bahaya pada stuktur tulang belakang. Salah satu daerah pada tulang belakang yang paling berisiko akibat efek dari overweight adalah vertebra lumbal. Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari et al (2001) bahwa seseorang yang overweight lebih berisiko 5 kali menderita LBP
dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan ideal. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Deyo dan Weinstein (2001) yakni faktor risiko LBP meningkat pada seseorang yang over weight. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat menyimpulkan sebagai berikut: Ada hubungan antaramasa kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada Pekerja Buruh di Indonesia Port Corparation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak(p value = 0,039). Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada Pekerja Buruh di Indonesia Port Corparation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak (p value = 0,002). Tidak ada hubungan antara kebugaran jasmani dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada Pekerja Buruh di Indonesia Port Corparation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak (p value = 0,678). Tidak ada hubungan antara status gizi dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada Pekerja Buruh di Indonesia Port Corparation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak (p value = 0,678). Pengelola Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas (IPC TPK) Kota Pontianak diharapkan mengadakan kegiatan olahraga secara rutin kepada seluruh pekerja buruh bongkar muat dalam meningkatkan kebugaran jasmani. Mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga untuk memberikan pendidikan dan pelatihan tentang tata cara teknik angkat angkut barang yang baik dan benar. Mengadakan kerja sama dengan instansi kesehatan untuk melakukan pengecekan kesehatan pekerja secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Azrul. 2014. Metodelogi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Bina pura Aksara Publisher. Tangerang Selatan. Budiono, Sugeng. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang: Universitas Diponegoro. Bull, E, Archard, G. 2007. Nyeri Punggung. Erlangga. Jakarta.
Dermawan, M, I,Arif. 2015. faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja meubel di Kota Pontianak 2015. Fakultas Kesehatan Lingkungan Politeknik kesehatan. Pontianak Nur, Fina H. 2015. Hubungan Lama Duduk Saat Jam Kerja Dan Aktivitas Fisik Dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah
Ira, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 327
(Low Back Pain) Pada Karyawan Kantor Terpadu Pontianak Tahun 2014. Universitas Kedokteran Tanjung Pura. Pontianak
Suma’mur P.K. 2014. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV. Haji Masagung. Jakarta
PEMANFAATAN KULIT BUAH PISANG KEPOK (PARADISEACE L) DENGAN PENAMBAHAN BIOAKTIVATOR EM-4 SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR Gito, Asmadi dan Suharno Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Pemanfaatan Kulit Buah Pisang Kepok (Paradiseace L) dengan Penambahan Bioaktivator Em-4 Sebagai Pupuk Organik Cair. Jenis penelitian ini bersifat eksperimen semu (quasi experimen) yaitu ingin mengetahui kadar nitrogen (N), fospor (P), dan Kalium (K) pada pupuk cair yang di buat menggunakan limbah kulit buah pisang kepok (Musa paradisiacaL) dengan penambahan aktivator EM-4 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %, dengan menggunakan rancang bangun Statistic Group Comparison Desaint.Hasil penelitian pada pupuk cair dari kulit pisang didapati yang paling efektif yaitu pada penambahan bioaktivator EM-4 konsentrasi dosis 5%, Nitrogen (N), sebesar 873,53 ppm, Fosfor (P), sebesar 187,45 ppm, dan Kalium (K), sebesar 2744,21 ppm. Berat penyusutan kulit pisang 0,5 kg (16,67%). Hasil tersebut sesuai dengan Peraturan Meteri Pertanian No.28/Permentan/OT.140/2/2009 yaitu sebesar < 2% atau < 20000 ppm. Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kulit buah pisang kepok dengan penamabahan bioaktivator EM-4 dapat dijadikan bahan dalam pembuatan pupuk cair organik cair. Kata Kunci: Pupuk Cair, Kulit Pisang, EM-4 Abstract: Utilization of Banana Skin Kepok (Paradisiaca L) with The Addition of Bio-Activator Em-4 As Organic Liquid Fertilizer. This research is quasi-experimental which is to determine levels contained in the liquid fertilizer that is made using leather waste bananas kapok (Musa paradisiaca L) with additions activators EM-4 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, using design Statistics Group Comparison Desaint. The results of the research content of nitrogen (N), phosphorus (P), and potassium (K) in the liquid fertilizer from banana peel was found most effective bio-activator that is the addition of EM-4 dose concentrations of 5%, Nitrogen (N), amounting to 873.53 ppm , Phosphorus (P), amounting to 187.45 ppm, and potassium (K), amounting to 2744.21 ppm. volume shrinkage banana skin (16.67%). These results are in accordance with Rule 28 meteri Agriculture / Permentan / OT.140 / 2/2009 in the amount of <2% or <20 000 ppm. Keywords: Fertilizer, Banana Skin, EM4
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat (Menteri Hukum dan HAM, 2008). Bertambahnya sampah erat kaitannya dengan peningkatan aktivitas manusia dan pertambahan penduduk serta keanekaragaman kehidupan manusia. Hal ini berakibat pada menumpuknya sampah yang secara otomatis tidak dapat diuraikan oleh alam, hingga timbul berbagai pencemaran. Dengan demikian, sudah semestinya pada suatu daerah diperlukan sistem pengelolaan sampah tersebut.
Sampah yang dibuang secara sembarangan akan membawa dampak yang tidak baik bagi manusia. Tumpukan sampah tersebut jika dibiarkan dapat menimbulkan pencemaran, penyakit serta polusi, baik polusi air maupun polusi tanah. Salah satu limbah yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu kulit pisang. Permasalahan sampah bisa dikurangi jika penanganannya dimulai dari rumah ke rumah dengan cara mengolahnya menjadi pupuk. Selama ini pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik padat memang 328
Gito, dkk, Pemanfaatan Kulit Buah Pisang... 329
banyak. Namun jarang yang berbentuk cair, padahal pupuk cair ini lebih praktis digunakan, proses pembuatannya relatif mudah, dan biaya pembuatan yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar (Hadisuwito, 2007). Pupuk terdiri dari beberapa macam antara lain pupuk organik dan pupuk anorganik yang berupa pupuk padat ataupun pupuk cair. Pupuk merupakan bahan yang diberikan pada tanah untuk memberikan unsur hara pada tanah yang diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan. Pupuk terdapat dua macam yaitu pupuk organik dan pupuk non-organik. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan dan manusia, seperti pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk cair dan sebagainnya. Pupuk alam terutama digunakan untuk maksud memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, yaitu memperbaiki struktur tanah, daya meresapkan air hujan, daya mengikat air, udara tanah, ketahanan terhadap erosi dan lain-lain. Tetapi dengan terbentuknya humus, pupuk alam juga memperbaiki kehidupan biologi tanah dan menambah mineral (unsur hara) dari proses mineralisasi humus (Sutanto, 2002). Bahan baku pupuk cair yang sangat bagus dari sampah organik yaitu bahan organik basah atau bahan organik yang mempunyai kandungan air tinggi seperti sisa buah-buahan atau sayur-sayuran. Bahan ini kaya akan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Nutrisi yang biasanya dibutuhkan oleh tumbuhan tidak terlepas dari tiga unsur hara, yaitu Nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Peranan ketiga unsur hara (N, P, dan K) sangat penting dan mempunyai fungsi yang saling mendukung satu sama lain dalam proses pertumbuhan dan produksi tanaman. Unsur Nitrogen(N) merupakan komponen utama dari protein yang cepat kelihatan pengaruhnya pada tanaman dan bermanfaat memacu pertumbuhan secara umum, terutama pada fase vegetatif. Unsur Fosfor (P) bertugas untuk mengedarkan energi keseluruh bagian tanaman, merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar serta mempercepat pembuahan tanaman, sedangkan unsur Kalium (K) berperan sebagai aktivator berbagai enzim dan membantu membentuk protein, karbohidrat dan gula serta memperkuat jaringan tanaman dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Semakin besar kandungan selulosa dari bahan organik maka proses penguraian bakteri akan semakin lama (Purwendro, 2006). Pisang merupakan buah yang disukai oleh masyarakat
karena memiliki rasa manis dan dapat membantu pencernaan, tetapi kebanyakan orang hanya menggunakan buahnya saja dan membuang kulit pisang. Kandungan pada kulit pisang sangat bermanfaat bagi manusia, salah satunya sebagai pupuk. Adapun kandungan yang terdapat di kulit pisang yakni protein, kalsium, fosfor, magnesium, sodium dan sulfur, sehingga kulit pisang memiliki potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Susetya, 2012). Kulit Pisang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berdampak pada jumlah produksi yang maksimal (Soeryoko hery, 2011). Kulit pisang yang saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat, Kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk mengurangi permasalahan sampah yang menumpuk yang dapat menyebabkan pencemaran. Limbah kulit pisang yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengolahan selanjutnya nantinya akan membusuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga akan mengganggu aktivitas dari warga setempat. Sejauh ini pemanfaatan limbah kulit pisang masih kurang, hanya sebagian orang yang memanfaatkannya sebagai pakan ternak. padahal pupuk cair lebih praktis digunakan, proses pembuatanya relatif mudah, dan biaya pembuatan yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar. Pisang kepok merupakan bahan pembuatan pisang goreng di Kota Pontianak, pada dasarnya semangkin banyak masyarakat yang memanfaatkan pisang kapok sebagai pembuatan pisang goreng maka akan berdampak pada limbah kulit buah pisang kepok yang dihasilkan sehingga limbah tersebut dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan karena limbah kulit pisang kapok akan langsung di buang atau tidak dimanfaatkan. Hal ini mendasari peneliti ingin melakukan pemanfaatan pada kulit pisang kapok. Berdasarkan hasil analisis pada pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang kepok yang telah dilakukan oleh Nasution di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa kandungan unsur hara yang terdapat pada pupuk organik padat kulit pisang kepok yaitu, C-organik 6,19%; N-total 1,34%; P2O5 0,05%; K2O 1,478%; C/N 4,62% dan pH 4,8 sedangkan pupuk organik cair kulit pisang kepok yaitu, C-organik 0,55%, N-total 0,18%;
330 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.328 - 336
P2O5 0,043%; K2O 1,137%; C/N 3,06% dan pH 4,5. Pembuatan pupuk organik membutuhkan waktu yang lama, karena bahan organik tersebut harus mengalami pelapukkan terlebih dahulu secara alamiah. Namun dengan menggunakan dekomposer, bahan-bahan organik lebih cepat mengalami pelapukan dan hanya beberapa hari saja pupuk organik tersebut sudah dapat digunakan untuk memupuk tanaman. Dekomposer atau organisme pengurai di alam seperti aspergillus cukup tersedia. Kapang jenis ini memiliki kemampuan yang handal untuk menguraikan bahan-bahan organik seperti limbah pertanian. Bahan pembuatan bioaktivator yaitu Effective Microorganisme-4. EM-4 merupakan bioaktivator yang dapat membantu proses fermentasi dalam pembuatan pupuk. EM-4 mengandung mikroorganisme (Lactobacilus, Sacharomyces, Acetobacter, Bacilus) yang berperan dalam proses fermentasi. Menurut hasil penelitian Hetty Manurung (2011), Aplikasi bioaktivator Orgadec dan EM-4 dapat mempercepat proses pembentukan kompos kulit pisang (Musa paradisiaca L). Proses pengomposan kulit pisang paling cepat pada perlakuan EM-4 100 ml. Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas dimana masih banyaknya sampah kulit pisang yang tidak dimanfaatkan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pemanfaatan Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca L) Dengan Penambahan Bioaktivator EM-4 Menjadi Pupuk Cair. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experimen) yaitu ingin mengetahui kadar nitrogen (N), fospor (P), dan Kalium (K) yang terdapat pada pupuk cair yang di buat menggunakan limbah kulit buah pisang kapok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan aktivator EM-4 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %, sehingga kita dapat mengetahui dosis mana yang efektif dalam pematangan fermentasi dengan menggunakan rancang bangun Statistic Group Comparison Desaint. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Mei – 8 Juni 2016, tempat penelitian di Jalan 28 Oktober, Komplek Golf Permai, Kelurahan Siantan Hulu Kecamatan Pontianak Utara.
Populasi penelitian adalah sampah kulit buah pisang kapok yang berada di wilayah Kota Pontianak. Sampel berdasarkan perhitungan, yaitu dengan menggunakan 5 perlakuan maka didapati hasil r = 4 kali pengulangan. Jadi, jumlah sampel sebanyak 4 Pengulangan X (5 Perlakuan +1 Control) = 24 Sampel HASIL Kandungan Nitrogen (N) pada Pupuk Cair dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa Paradisiaca L) dengan Penambahan Bioaktivator EM-4 Dosis (Kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, Dan 5 %) Selama 10 Hari. Tabel 1. Distribusi Kandungan Nitrogen (N)pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%). Perlakuan Kontrol EM-4 1% EM-4 2% EM-4 3% EM-4 4% EM-4 5%
Kandungan Nitrogen pada Pupuk Rata-rata Cair (ppm) (ppm) 1 2 3 4 289,59 230,96 279,18 298,96 274,67 279,18 402,54 543,79 489,25 872,33
301,22 387,69 517,55 430,75 868,77
277,85 424,35 413,53 579,18 856,59
298,88 479,69 568,77 568,65 896,44
289,28 423,56 510,91 516,95 873,53
Sumber : Data Primer 2016.
Berdasarkan hasil tabel 1 diatas, rata-rata kandungan Nitrogen (N), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan Bioaktivator EM-4 5% sebesar 873,53 ppm atau 0,08%. hasil tersebut sesuai dengan Peraturan Meteri Pertanian No.28/Permentan/OT.140/2/ 2009 yaitu sebesar < 2% atau < 20000 ppm. Kandungan Fosfor (P) Pada Pupuk Cair Dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa Paradisiaca L) Dengan Penambahan Bioaktivator EM-4 Dosis (Kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, Dan 5%) Selama 10 Hari
Gito, dkk, Pemanfaatan Kulit Buah Pisang... 331
Tabel 2. Distribusi KandunganFosfor (P) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%). Perlakuan Kontrol
Kandungan Fosfor pada Pupuk Rata-rata Cair (ppm) (ppm) 1 2 3 4 149,22 135,34 151,80 148,25 146,15
EM-4 1% 140,82 149,22 140,82 146,31
144,29
EM-4 2% 157,28 148,80 154,31 157,28
154,41
EM-4 3% 180,80 179,22 164,31 182,31
176,66
EM-4 4% 179.22 177,28 186,65 177,28
180,10
EM-4 5% 184.71 179,22 179,22 206,65
187,45
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan hasil tabel 2 diatas, rata-rata kandungan Fosfor (P), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan Bioaktivator EM-4 5% sebesar 187,45 ppm atau 0,01%. hasil tersebut sesuai dengan Peraturan Meteri Pertanian No.28/Permentan/OT.140/2/ 2009 yaitu sebesar < 2% atau < 20000 ppm. Kandungan Kalium (K) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, dan 5 %) selama 10 hari Tabel 3. Distribusi KandunganKalium (K) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%) Kandungan Kalium pada Pupuk Rata-rata Cair (ppm) (ppm) 1 2 3 4 Kontrol 2471,75 2422,32 2323,45 2421,19 2409,67
Perlakuan
EM-4 1% 2405,23 2558,64 2525,43 2569,56 2514,71 EM-4 2% 2622,32 2595,34 2616,53 2537,19 2592,84 EM-4 3% 2589,64 2570,62 2671,75 2718,93 2637,73 EM-4 4% 2644,77 2795,34 2670,62 2622,32 2683,26 EM-4 5% 2795,34 2718,93 2743,64 2718,93 2744,21 Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan hasil tabel 3 diatas, rata-rata kandungan Kalium (K), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan
Bioaktivator EM-4 5% sebesar 2744,21 ppm atau 0,27%. hasil tersebut sesuai dengan Peraturan Meteri Pertanian No.28/Permentan/ OT.140/2/2009 yaitu sebesar < 2% atau < 20000 ppm. Rekap Rata-rata Kandungan Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (N) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4. Tabel 4. Kandungan Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (N) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 Perlakuan
Kontrol EM-4 1% EM-4 2% EM-4 3% EM-4 4% EM-4 5%
Rata-rata Kandungan Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (N) pada Pupuk Cair (ppm) Nitrogen Fospor Kalium (N) (P) (N) 274,67 146,15 2409,67 289,28 144,29 2514,71 423,56 154,41 2592,84 510,91 176,66 2637,73 516,95 180,10 2683,26 873,53 187,45 2744,21
Sumber : Data Primer 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa ratarata Kandungan Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (N) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 berbanding lurus dengan konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi penambahan Bioaktivator EM-4 maka semakin tinggi juga kandungan Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (N) yang terdapat pada Pupuk Cair. hasil tersebut sesuai dengan Peraturan Meteri Pertanian No.28/Permentan /OT.140/2/2009 yaitu sebesar < 2% atau < 20000 ppm. Analisis efektifitas kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L). Hasil uji perbedaan Nitrogen (N) pada pupuk cair organik kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan menggunakan berbagai variasi konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 1%, 2%, 3%, 4%, 5%.
332 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.328 - 336
Tabel 5. Hasil Uji Anova Nitrogen (N) Sum of Squares Kandun Between 955572. 076 gan Groups Nitrogen Within 37625.5 41 Groups Total 993197. 617
Kandungan
df 5
F
Sig.
91.42 .000 9
18 23
Sumber : SPSS Uji Anova, 2016
Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui hasil uji Anova di dapati nilai F sebesar 91,429 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Nitrogen (N) pada pupuk cair. Hasil uji perbedaan Fospor (P) pada pupuk cair organik kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan menggunakan berbagai variasi konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 1%, 2%, 3%, 4%, 5%. Tabel 6. Hasil Uji Anova Kandungan Fosfor (P) Sum of Squares Kandung Betwee 7056.287 an Fosfor n Groups Within 1042.369 Groups Total 8098.656
df 5
F
Sig.
24.37 .000 0
18 23
Sumber : SPSS Uji Anova, 2016
Berdasarkan tabel 6 di atas diketahui hasil uji Anova di dapati nilai F sebesar 24,370 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Fospor (P) pada pupuk cair. Berdasarkan Hasil uji post-hoc diatas, terlihat bahwa konsentrasi pada kandungan Fospor (P) pada pembuatan pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) yang tidak berbeda secara signifikan yaitu terdapat pada kontrol dengan konsentrasi dosis EM-4 1%, kontrol dengan konsentrasi dosis EM-4 2%, konsentrasi dosis EM-4 1% dengan konsentrasi dosis EM-4 2%, konsentrasi dosis EM-4 3% dengan konsentrasi dosis EM-4 4%, konsentrasi dosis EM-4 3% dengan konsentrasi
dosis EM-4 5%, dan konsentrasi dosis EM-4 5% dengan konsentrasi dosis EM-4 4% sedangkan pada konsentrasi lainya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Hasil uji perbedaan Kalium (K) pada pupuk cair organik kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan menggunakan berbagai variasi konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 1%, 2%, 3%, 4%, 5%. Tabel 7. Hasil Uji Kalium (K)
Anova
Kandungan
Sum of df F Sig. Squares Kandunga Between 290596.4 5 15.04 .000 58 6 n Kalium Groups Within 69529.98 18 1 Groups Total 360126.4 23 39 Sumber : SPSS Uji Anova, 2016
Berdasarkan tabel 9 di atas diketahui hasil uji Anova kandungan Kalium (K) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis 1%, 2%, 3%, 4%, 5% didapati nilai F sebesar 15,046 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Kalium (K) pada pupuk cair. Berdasarkan Hasil uji post-hoc diatas, terlihat bahwa konsentrasi yang tidak berbeda secara signifikan yaitu terdapat pada kontrol dengan EM-4 1%, EM-4 1% dengan EM-4 2%, EM-4 2% dengan EM-4 3%, EM-4 2% dengan EM-4 4%, EM-4 3% dengan EM-4 4%, EM-4 3% dengan EM-4 5%,dan EM-4 4% dengan EM-4 5% sedangkan pada konsentrasi lainya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Hasil Perhitungan Berat Kulit Buah Pisang Sebelum dan Sesudah Pembuatan Pupuk Cair
Gito, dkk, Pemanfaatan Kulit Buah Pisang... 333
Tabel 8. Rata-rata BeratKulit Buah Pisang Sebelum dan Sesudah Pembuatan Pupuk Cair Perlakuan Sebelum Rata-rata Penurunan Efektifitas Sesudah 3 Kg 2,7 kg 0,3 kg 10 % Kontrol EM-4 1%
3 Kg
2,7 kg
0,3 kg
10 %
EM-4 2%
3 Kg
2,7 kg
0,3 kg
10 %
EM-4 3%
3 Kg
2,68 kg
0,32 kg
10,67 %
EM-4 4%
3 Kg
2,6 kg
0,4 kg
13,33 %
EM-4 5%
3 kg
2,5 kg
0,5 kg
16,67 %
Sumber : Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 8 di atas diketahui ratarata berat kulit buah pisang sebelum dan sesudah dilakukan pembuatan pupuk cair yang memiliki tingkat penurunan yang paling efektif adalah dengan penambahan bioaktivator EM-4 dosis 5% sebesar 0,5 kg (16,67%). PEMBAHASAN Kandungan Nitrogen (N) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, dan 5 %) selama 10 hari Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui rata-rata kandungan Nitrogen (N), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan Bioaktivator EM-4 5% sebesar 873,53 ppm. Sedangkan hasil uji statistik menggunakan uji Anova di dapati nilai F sebesar 91,429 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Nitrogen (N) pada pupuk cair. hasil uji post-hoc LSD (Least Significance Different) menunjukan masing-masing konsentrasi yang tidak berbeda secara signifikan yaitu terdapat pada kontrol dengan EM-4 1%, dan EM-4 3% dengan EM-4 4% sedangkan pada konsentrasi lainya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Kandungan Nitrogen pada pupuk cair kulit pisang paling banyak dengan perlakuan bioaktivator EM-4 5% dengan kandungan Nitrogen sebanyak 873,53 ppm. Dari hasil penelitian yang diperoleh banyaknya jumlah bioaktivator yang diberikan mempengaruhi banyaknya kandungan Nitrogen yang dihasilkan
oleh pupuk. Semakin banyak bioaktivator yang diberikan maka semakin banyak pula mikroorganisme yang berfungsi sebagai bahan pendekomposisi bahan organik, sehingga nilai total Nitrogen hasil dari pendekomposisian bahan organik Kandungan unsur hara makro Perlakuan Nitrogen semakin meningkat. Penggunaan bioaktivator EM-4 dengan konsentrasi yaitu 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pemberian bioaktivator kandungan N pun meningkat. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Yuniwati (2012), bahwa semakin besar konsentrasi EM4, jumlah bakteri yang mengurai bahan semakin banyak, sehingga bahan lebih cepat terurai oleh bakteri-bakteri tersebut. Kandungan Fosfor (P) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, dan 5 %) selama 10 hari Berdasarkan hasil tabel 4.2 diketahui rata-rata kandungan Fosfor (P), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan Bioaktivator EM-4 5% sebesar 187,45 ppm. Sedangkan hasil uji statistik menggunakan uji Anova di dapati nilai F sebesar 24,370 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Fospor (P) pada pupuk cair. hasil uji post-hoc LSD (Least Significance Different) menunjukan bahwa konsentrasi pada kandungan Fospor (P) pembuatan pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) yang tidak berbeda secara signifikan yaitu terdapat pada kontrol dengan konsentrasi dosis EM-4 1%, kontrol dengan konsentrasi dosis EM-4 2%, konsentrasi dosis EM-4 1% dengan konsentrasi dosis EM-4 2%, konsentrasi dosis EM-4 3% dengan konsentrasi dosis EM-4 4%, konsentrasi dosis EM-4 3% dengan konsentrasi dosis EM-4 5%, dan konsentrasi dosis EM-4 5% dengan konsentrasi dosis EM-4 4% sedangkan pada konsentrasi lainya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Kandungan P terbanyak terdapat pada pupuk dengan penggunaan bioaktivator EM-4 5% yaitu 187,45 ppm. Kandungan unsur hara P merupakan hasil dekomposisi dan mineralisasi
334 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.328 - 336
bahan organik. Mineralisasi fosfor merupakan proses enzimatik, enzim yang terlibat disebut fosfatase yang mengkatalisis berbagai reaksi yang melepaskan fosfat dari senyawa fosfor organik sehingga dapat tersedia untuk tanaman. Hasil pada perlakuan menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan N yang dikandung mempengaruhi besarnya kandungan P, hal ini disebabkan didalam N terdapat mikroorganisme yang dapat merombak fosfor, apabila kandungan nitrogennya banyak maka aktivitas mikroorganisme yang merombak fosfor pun meningkat, sehingga fosfor yang dihasilkan semakin tinggi. Penelitian Hidayati (2008), bahwa semakin besar nitrogen yang dikandung maka mikroorganisme yang merombak fosfor akan meningkat, sehingga kandungan fosfor dalam substrat juga meningkat. Ini berarti tidak hanya kandungan N saja yang mempengaruhi besarnya kandungan P, mikroba yang terdapat pada bioaktivator yang digunakan juga dapat berpotensi melarutkan P, bioaktivator yang digunakan yaitu EM-4, dimana EM-4 mengandung mikroba Lactobacillus sp., Streptomyces sp, jamur pengurai sellulosa dan ragi yang dapat merombak fosfor. Penelitian Hidayati (2011), bahwa pertumbuhan mikroorganisme tidak hanya dipengaruhi oleh adanya sumber nitrogen tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Kandungan Kalium (K) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis (kontrol, 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, dan 5 %) selama 10 hari Berdasarkan hasil tabel diatas diketahui rata-rata kandungan Kalium (K), yang tertinggi pada pupuk cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) adalah dengan penambahan Bioaktivator EM-4 5% sebesar 2744,21 ppm. Sedangkan hasil uji statistik menggunakan uji Anova kandungan Kalium (K) pada Pupuk Cair dari kulit buah pisang kepok (Musa paradisiaca L) dengan penambahan Bioaktivator EM-4 dosis 1%, 2%, 3%, 4%, 5% didapati nilai F sebesar 15,046 dengan nilai signifikan p=0,000 ≤ 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara konsentrasi dosis Bioaktivator EM-4 terhadap kandungan Kalium (K) pada pupuk cair. hasil uji post-hoc LSD (Least Significance Different) menunjukan bahwa konsentrasi yang tidak berbeda secara signifikan yaitu terdapat pada
kontrol dengan EM-4 1%, EM-4 1% dengan EM-4 2%, EM-4 2% dengan EM-4 3%, EM-4 2% dengan EM-4 4%, EM-4 3% dengan EM-4 4%, EM-4 3% dengan EM-4 5%,dan EM-4 4% dengan EM-4 5% sedangkan pada konsentrasi lainya berbeda secara signifikan p ≤ 0,05. Kandungan kalium terbanyak pada penggunaan bioaktivator EM-4 5% sebanyak 2744,21 ppm. Hasil kandungan kalium tertinggi diperoleh dengan penggunaan bioaktivator EM4 dengan konsentrasi paling tinggi, sehingga banyak mikroorganisme yang terkandung dan mineralisasi kalium semakin banyak. Penelitian Kurniawan (2012), bahwa semakin banyaknya volume penambahan EM-4 maka semakin banyak pula mikroorganisme dalam proses pendegregasi yang menyebabkan rantai karbon terputus menjadi rantai karbon yang lebih sederhana, terputusnya rantai karbon tersebut menyebabkan unsur fosfor dan kalium meningkat. Menurut Soegiarto dkk., (1978) Pupuk organik cair berbahan baku kulit pisang memiliki kandungan unsur hara N, P dan K dengan kriteria sangat tinggi yaitu N sebesar 0,89% (>0,75%); P sebesar 0,04% (>0,035%); K sebesar 1,82% (>0,06%) dan rasio C/N sebesar 25 yang termasuk kriteria tinggi. Nisbah atau rasio C/N merupakan indikator yang menunjukkan proses mineralisasi immobilisasi N oleh mikrobia dekomposer bahan organik. Nilai C/N termasuk kriteria tinggi yaitu 25 yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi masih terjadi. Tingginya nilai C/N menunjukkan kompos yang belum matang dan bahan organik yang terdapat pada pupuk organik berbahan baku kulit pisang, masih mengalami proses dekomposisi. Hanafiah (2007) menyatakan nilai rasio C/N yang berada pada 20- 30 menunjukkan proses mineralisasi yang seimbang dengan proses immbobilisasi. Meskipun nilai rasio C/N pada pupuk organik cair berbahan baku kulit pisang, kulit telur dan G. gigas ini masih tinggi, pupuk organik cair ini dapat digunakan karena tingginya unsur hara N, P dan K yang terkandung didalamnya (Rosmarkan dan Yuwono, 2001). Tingginya unsur hara N, P dan K pada pupuk organik cair dikarenakan bahan yang digunakan mengandung unsur hara makro maupun mikro yang dibutuhkan tanaman. Kulit pisang berpotensi sebagai bahan pupuk organik karena mengandung protein, kalium, fosfor, magnesium, sodium dan sulfur (Susetya, 2012). Menurut Aditya (2014) setiap 5,5 gram berat
Gito, dkk, Pemanfaatan Kulit Buah Pisang... 335
kering kulit telur mengandung 95% kalsium karbonat. Kandungan unsur hara lain yang terkandung dalam kulit telur yaitu kalium, kalsium, fosfor dan magnesium sebesar 0,12%; 8,977%; 0,394% dan 10,541%. Tumbuhan memerlukan unsur N, P dan K untuk merangsang sintesis serta pembelahan dinding sel secara antiklinal sehingga dapat mempercepat pertambahan jumlah daun. Unsur kalium yang tinggi pada pupuk organik cair berperan penting dalam transport fotosintat ke bagian sink yaitu daun muda atau tunas yang sedang tumbuh (Duaja dkk., 2012). Tanaman membutuhkan unsur N, P dan K untuk merangsang pembesaran diameter batang, pembentukan akar sebagai penunjang berdirinya tanaman serta pembentukan tinggi tanaman pada masa penuaian atau masa panen tanaman (Nurdin dkk., 2009). Berat Kulit Buah Pisang Sebelum dan Sesudah Pembuatan Pupuk Cair Berdasarkan tabel di atas diketahui ratarata berat kulit buah pisang sebelum dan sesudah dilakukan pembuatan pupuk cair yang memiliki tingkat penurunan yang paling efektif adalah dengan penambahan bioaktivator EM-4 dosis 5% sebesar 0,5 kg (16,67%). Hasil diatas menunjukan bahwa semangkin banyak bioaktivator EM-4 yang ditambahkan padapupuk cair maka semangkin banyak kandungan unsur hara Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K) pada pupuk cair hal ini disebabkan bakteri penguraian untuk proses pembuatan pupuk cair semangkin baik. Proses pembuatan pupuk organik cair ini berlangsung selama seminggu sampai sepuluh hari, sesekali dalam sehari buka tong untuk mengeluarkan gas yang terbentuk dari campuran bahan-bahan tersebut dilakukan dengan diaduk setelah itu tutup kembali tong dengan rapat. Langkah pembuatan pupuk cair organik yaitu dengan cara mencincang atau memotong kulit pisang menjadi kecil, campurkan gula sebanyak 200 gr dengan air 3 liter ke dalam ember aduk hingga larut selanjutnya masukan potongan tersebut kedalam ember sebanyak 1 kg, setelah bahan tersebut tercampur rata tutup ember dengan rapat jangan sampai terkena sinar matahari langsung. Biasaanya dalam waktu 7 sampai 10 hari pupuk organik cair buatan ini akan mengeluarkan tanda, apabila tercium bau tape berarti pembuatan pupuk berhasil. Untuk
menyingkat waktu dalam pembuatan pupuk organik cair gunakan gula sebanyak 1 kg kemudian bahan lain dikalikan lima. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian bioaktivator EM-4 5% memberikan hasil yang paling baik. Banyaknya unsur hara yang ada tidak hanya meningkatkan pertumbuhan tanaman pada periode vegetatif tetapi dapat meningkatkan pertumbuhan periode generatif yaitu kualitas hasil. Pemberian unsur hara N setelah fase pembungaan pada tanaman biji-bijian mempunyai fungsi meningkatkan hasil produksi dan kualitas hasil yaitu meningkatkan kadar protein. Pemberian unsur hara K selain meningkatkan biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat juga meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar dan warnanya yang lebih baik dan penambahan. Adapun pemberian unsur hara P meningkatkan pembentukan bunga, buah dan biji sehingga dapat meningkatkan hasil produksi (Rosmarkam dan Yuwono, 2001). Waktu dalam proses pembuatan pupuk cair dalam penelitian ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh yaitu Proses pembuatan pupuk organik cair ini berlangsung selama seminggu sampai sepuluh hari, apabila tercium bau tape berarti pembuatan pupuk berhasil. Untuk menyingkat waktu dalam pembuatan pupuk organik cair gunakan gula sebanyak 1 kg kemudian bahan lain dikalikan lima. Dari hasil diatas diharapkan masyarakat dapat menggunakan pupuk organik cair ini dengan dosis tersebut untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal. Penggunaan pupuk organik cair ini selain memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pupuk organik padat juga sebagai salah satu cara meminimalisir limbah khususnya limbah kulit pisang sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 81 Tahun 2012. Hasil ini juga memiliki kelemahan yaitu untuk waktu sampai dengan 10 hari dan suhu tidak dikondisikan karena tidak diukur di dalam ember, untuk pH pengendalian tidak menggunakan kapur sebagai penetralan dikarnakan pH tidak lebih dari 9 dan kurang dari 4. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Kandungan N,P,K Pupuk Organik Cair Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiacaL) dengan penambahan
336 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.328 - 336
Bioaktivator EM-4, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kandungan nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) pada pupuk cair dari kulit pisang rata-rata sebesar: Nitrogen untuk kontrol (274,67 ppm, EM-4 1% (289,28 ppm), EM-4 2% (423,56 ppm), EM-4 3% (510,91 ppm), EM-4 4% (516,95 ppm), EM-4 5% (873,53 ppm). Fosfor untuk kontrol (146,15 ppm), EM4 1% (144,29 ppm), EM-4 2% (154,41 ppm), EM-4 3% (176,66 ppm), EM-4 4% (180,10 ppm), EM-4 5% (187,45 ppm). Kalium untuk kontrol (2409,67 ppm), Em-4 1% (2514,71 ppm), EM-4 2% (2592,84 ppm), EM-4 3% (2637,73 ppm), EM-4 4% (2683,26 ppm), EM-4 5% (2744,21 ppm). Efektifitas pupuk cair dari kulit pisang diperoleh hasil yang paling efektif yaitu pada penambahan bioaktivator EM-4 konsentrasi
dosis 5%, Nitrogen (N), sebesar 873,53 ppm, Fosfor (P), sebesar 187,45 ppm dan Kalium (K), sebesar 2744,21 ppm. Berat kulit buah pisang setelah menjadi pupuk cair tingkat penurunan sebesar kontrol sebesar 0,3 kg (10%), Em-4 dosis 1% sebesar 0,3 kg (10,%), EM-4 dosis 2% sebesar 0,3 kg (10%), EM-4 dosis 3% sebesar 0,32 kg (10,67%), EM-4 dosis 4% sebesar 0,4 kg (13,33%) EM-4 dosis 5% sebesar 0,5 kg (16,67%). Peneliti lain sebaiknya melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai pupuk cair limbah kulit pisang, dengan menggunakan bioaktivator EM-4 dengan dosis yang berbeda lebih dari 5%, serta melakukan penelitian dengan bahan limbah yang lebih bervariasi misalnya dengan campuran buahbuahan yang sudah membusuk atau limbah organik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Hadisuwito, S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Hanafiah, K.A, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Profil Perusahaan PT. Petrokimia Gresik, http://www.petrokimia-gersik.com/home /profil-perusahaan. Sitasi 15 mei 2012. Purwendro, S. Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk Pestisida
Organik.Jakarta: Penebar Swadaya. Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Soeryoko, Hery. 2011. Kiat Pintar Memproduksi Kompos. ANDI. Yogyakarta. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
GAMBARAN PENGOLAHAN AIR BAKU DI PDAM NANGA PINOH KABUPATEN MELAWI Indri Sukma Dewi, Khayan dan Hajimi Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Pontianak
E-mail:
[email protected] Abstrak: Gambaran Pengolahan Air Baku di PDAM Nanga Pinoh Kabupaten Melawi. Penelitian ini bersifat deskriptif untuk memperoleh gambaran tentang sistem pengolahan air mulai dari sumber air, hingga pada proses akhir air yang siap didistribusikan pada masyarakat. Obyek penelitian ini berkisar pada instalasi penjernihan air di PDAM Melawi. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dari segi kuantitas sumber air baku telah memenuhi kebutuhan pihak PDAM Melawi kecuali pada saat musim kemarau dan dari segi kualitas tidak sesuai dengan standar kualitas air bersih. Dalam proses pengolahan air baku menjadi air yang siap digunakan belum dilaksanakan secara optimal, sehingga air hasil olahan tidak memenuhi standar yang ditetapkan yaitu Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990 dan Permenkes, No. 492/Menkes/Per/IV/2010, khususnya untuk parameter kekeruhan, warna dan pH. Dalam pendistribusian air bersih kepada masyarakat masih kurang baik dan perlu diperhatikan faktor-faktor penghambat dalam proses pendistribusian dan pengolahan air baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Kata Kunci: Pengolahan, Air Baku, PDAM Abstract: The Describe The Raw Water Treatment in PDAM Nanga Pinoh Kabupaten Melawi. This is a descriptive research to gain an overview of water treatment systems ranging from water sources, until the end of the process water is ready to be distributed to the public. The object of this research ranged from water treatment installation in the PDAM Melawi. From these results it can be concluded that in terms of quantity of raw water source has been meeting the needs of the PDAM Melawi except during the dry season and in terms of quality does not comply with clean water quality standards. The processing of raw water into water that is ready to be used has not been implemented optimally, so that the processed water does not meet the standards set are Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990 and Permenkes, No. 492/Menkes/Per/IV/2010, particularly for turbidity, color and pH. In the distribution of clean water to the community is not good enough and need to be considered limiting factors in the process of distribution and water treatment both in the rainy season and the dry season. Keywords: Raw water treatment, PDAM
Air Minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Permenkes RI, 2010). Standar mutu air minum atau air untuk kebutuhan rumah tangga ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/Menkes/Per/IV/ 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Standardisasi kualitas air tersebut bertujuan untuk memelihara, melindungi, dan
mempertinggi derajat kesehatan masyarakat, terutama dalam pengelolaan air atau kegiatan usaha mengolah dan mendistribusikan air minum untuk masyarakat umum. Dengan adanya standardisasi tersebut, dapat dinilai kelayakan pendistribusian sumber air untuk keperluan rumah tangga (Kusnaedi, 2010). PDAM Melawi selama tiga tahun terakhir belum sepenuhnya dapat memenuhi kepastian mengenai kualitas air, karena air yang dihasilkan perusahaan berdasarkan hasil uji 337
338 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.337 - 341
kualitas air yang dilakukan terhadap air baku, reservoir, dan air perpipaan telah memenuhi standar air bersih namun belum memenuhi standar air minum. Penyediaan air bersih di Kabupaten Melawi dilakukan oleh PDAM Melawi paling besar adalah jenis rumah tangga, yaitu 3.053 pelanggan. Pada pemeriksaan yang dilakukan, peneliti mendapatkan hasil yaitu pada air baku tidak memiliki rasa, tingkat kekeruhan pada air adalah 45,5 NTU, pH air 6,91, besi (Fe) 3,00 mg/L, E.coli 0 koloni/100 mL, dan total coliform 30 koloni/100mL. Hasil dari pemeriksaan pada air yang sudah siap untuk digunakkan masyarakat peneliti mendapatkan hasil pengukuran yaitu pada rasa air tidak memiliki rasa, kekeruhan 6,04 NTU, pH air 6,46, besi (Fe) 0,450 mg/L, E.coli 0 koloni/100mL, dan total coliform 440 koloni/100mL. Kadar maksimum kekeruhan air yang diperbolehkan untuk air bersih dan untuk air minum adalah 5 NTU (Permenkes, No. 492/Menkes/Per/ IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan Permenkes, No.416/ MENKES/PER/IX/1990 tentang Standar Kualitas Air Bersih dan Air Minum).
Tabel 1. Cakupan Pelayanan Pertumbuhan Pelanggan Wilayah PDAM Melawi 2016
Metode Penelitian
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan sambungan langganan selama tiga tahun sebesar 13,10%. Namun dari hasil penjaringan yang dilakukan oleh PDAM Melawi dengan metodologi survei, masih terdapat masyarakat yang tidak menggunaan air PDAM sebagai sumber air bersih. Sumber air utama untuk masyarakat non-pelanggan PDAM adalah berasal dari danau/sungai (47,83%), sumur (45,65%), dan air hujan (30,43%). Penggunaan air terbesar digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, yaitu masak, mandi, mencuci, dan minum, selengkapnya digambarkan pada tabel berikut:
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan pengolahan air baku di Perusahaan Daerah Air Minum Nanga Pinoh Kabupaten melawi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu membandingkan kenyataan dilapangan atau hasil pemeriksaan dengan teori serta standar yang ada. HASIL Cakupan Pelayanan Pelanggan
dan
Pertumbuhan
dan di
SL SL SL SL SL
Tahun 2012 2013 2014 2015 59 65 87 94 46 52 70 80 7 7 11 14 6 6 6 2,914 3,243 3,828 3,958
Rumah Tangga SL Instansi Pemerintah SL SL C Kelompok III
2,884 3,209 3,786 3,915 30 34 42 43 530 565 725 933
No
Uraian
A
Kelompok I Sosial Umum Sosial Khusus Sosial Tarif Lama B Kelompok II
Satuan
Niaga Kecil Niaga Menengah Niaga Besar D Kelompok IV
SL SL SL SL
29 438 63 -
30 473 62 -
76 583 66 -
Industri Kecil Industri Besar Industri Khusus Jumlah Sambungan Langganan Pertumbuhan Pelanggan Tingkat Pertumbuhan Pelanggan
SL SL SL
-
-
-
90 763 80 -
SL
3,503 3,873 4,640 4,985
%
14.59 10.56 19.80
%
7.44
13,10%
Sumber: PDAM Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi 2016
Tabel 2. Sumber Air Masyarakat NonPelanggan di Wilayah PDAM Melawi 2016 Jenis Sumber Air % 17,39 Kran atau Hidran Umum 45,65 Sumur 19,57 Membeli Air 47,83 Danau, Sungai, dan Sumber lain 30,43 Air Hujan Sumber; PDAM Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi
Indri, dkk, Gambaran Pengolahan Air Baku... 339
Tabel 3. Penggunaan Air Masyarakat NonPelanggan di Wilayah PDAM Melawi tahun 2016 Pemakaian Air % 50,00 Minum 60,87 Masak 60,87 Mandi 60,87 Mencuci 8,70 Lainnya
Tabel 5. Hasil pemeriksaan Laboraturium Air Hasil Olahan di PDAM Melawi 2016 No
Parameter Uji
Satuan
1
Rasa
-
2
Bau
-
3
Kekeruhan
NTU
6,04 NTU
4
pH
-
6,46
5
Arsen (As)
mg/L
6
Besi (Fe)
mg/L
7
E. coli
Koloni/100mL
9
Total coliform
Koloni/100mL
Hasil Uji Tidak berasa Tidak berbau
Sumber; PDAM Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi
Sumber Air Baku Dari hasil pemeriksaan laboraturium yang telah dilakukan terhadap air baku yang berasal dari Sungai Pinoh untuk parameter fisik, kimia dan biologi air didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboraturium Air Baku di Wilayah PDAM Melawi 2016 No
Parameter Uji
Satuan
1
Rasa
-
2
Bau
-
3
Kekeruhan
NTU
4
pH
-
6,91
Hasil Uji Tidak berasa Tidak berbau 45,5 NTU
5
Arsen (As)
mg/L
<0,0005 mg/L
6
Besi (Fe)
mg/L
3,00 mg/L
7
E. coli
Koloni/100mL
9
Total coliform
Koloni/100mL
0 koloni/100 mL 30 koloni/100 mL
Sumber : Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak
Kualitas Air Sebelum air didistribusikan, pihak PDAM Melawi melakukan pemeriksaan kualitas air terlebih dahulu. Untuk lebih lengkap dan jelas telah dilakukan pemeriksaan laboraturium terhadap air hasil olahan PDAM melawi dan hasilnya didapatkan sebagai berikut:
<0,0005 mg/L 0,450 mg/L 0 koloni/100 mL 440 koloni/100 mL
Sumber : Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak
PEMBAHASAN Sumber Air Baku Dari hasil pemeriksaan laboraturium yang telah dilakukan terdapat kualitas air baku yang kemudian hasilnya di bandingkan dengan standar kualitas air bersih dan air minum yang telah ditentukan, yaitu Permenkes No.416/Menkes/ Per/IX/1990 dan Permenkes No. 492/Menkes/Per/ IV/2010 dapat diketahui bahwa secara parameter fisik air baku tersebut tidak sesuai dengan standar kualitas air bersih khususnya untuk kekeruhan dan warna. Sedangkan untuk pH, rasa, dan bau telah memenuhi standar kualitas air bersih. Hal ini dapat dimaklumi karena air baku tersebut merupakan air permukaan yang di dalam perjalanannya dari anak sungai telah mengalami proses pencemaran sebelum akhirnya sampai ke muara Sungai Pinoh dan sebagian dari sampah atau limbah yang di buang langsung ke sungai oleh warga yang tinggal di dekat-dekat sungai tersebut. Kualitas air yang dihasilkan perusahaan berdasarkan hasil uji kualitas air yang dilakukan terdapat air baku, air resevoir, dan air perpipaan telah memenuhi standar air bersih, namun belum memenuhi standar air minum. Kontinuitas air yang didistribusikan selama tiga tahun terrakhir rata-rata masih dibawah 18 jam. Kondisi tersebut masih belum dapat memenuhi
340 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.337 - 341
standar yang ditetapkan PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum pasal 10 ayat 3 sebesar 24 jam.
tersebut dapat berupa mengendap di dasar bak.
flok
kasar
yang
Sedimentasi Pengolahan Pada proses penambahan bahan koagulan, tidak ditentukan dosisi optimum. Hal ini disebabkan tidak adanya tenaga khusus yang menangani laboraturium, sehingga untuk menentukan dosisi optimal tawas yang harus dilakukan dengan uji jar test tidak dapat dilaksanakan oleh petugas bagian pengolahan air dan penambahan bahan koagulan adalah 25 kg/hari. Untuk proses desinfeksi seharusnya dilakukan pengontrolan di lapangan oleh petugas setiap 4 jam sekali, hal ini untuk memastikan apakah larutan kaporit masih ada di dalam bak pengenceran kaporit. Dari hasil pemeriksaan terhadap air olahan di Laboraturium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (Balai Riset dan Standardisasi Industri) Pontianak ternyata hasil olahan PDAm Melawi masih tidak memenuhi syarat sebagai air bersih. Ini dapat dilihat dari tabel 4.3 dimana kekeruhan yang masih melampaui batas standar air bersih, yaitu 5 NTU. Screening Pada proses Screening (penyaringan) ini bertujuan untuk menyaring atau mencegah masuknya sampah-sampah yang terdapat pada sumber air baku yang dipompa masuk ke dalam bak penampungan, seperti ranting, dedaunan, sampah plastik hingga pasir yang dapat menyumbat saluran perpipaan. Koagulasi dan Flokulasi Pada proses bak koagulasi penambahan bahan kimia berupa tawas bertujuan untuk menghilangkan kekeruhan pada air baku, sehingga memberikan bahan koagulasi air akan menjadi jernih sesuai dengn yang diinginkan. Air yang disedot dialirkan ke bagian atas (bak penampungan) dengan kapasitas pengolahan 30 liter/detik. Setelah melalui proses koagulasi kemudian air diproses masuk ke dalam bak flokulasi, yaitu menggabungkan flok-flok kecil yang telah terbentuk sehingga menjadi besar dan mudah untuk diendapkan, dimana flok-flok
Proses sedimentasi atau pengendapan merupakan bak untuk memisahkan antara flokflok yang terbentuk pada proses flokulsi, yaitu proses untuk menghilangkan sebagian besar pdatan yang dapat mengendap dengan pengendapan secara gravitasi. Hasil yang tersisa adalah berupa air jernih dan suspensi yang lebih pekat. Sand Filter Pada proses Sand Filter proses pengolahan air dengan cara mengalirkan air bersih melewati suatu media filter yang disusun dari bahan-bahan dengan diameter dan tebal tertentu untuk dilakukan penyaringan dengan menyisihkan sebanyak mungkin materi tersuspensi. Proses ini ditujukan untuk menyaring air yang telah dikoagulasi dan pengendap untuk menghasilkan air minum dengan kualitas yang baik. Proses Sand Filter ini menggunakkan saringan lambat, yaitu dengan komponen batu kasar dengan diameter 5cm-7cm dan lapisan batu kerikil dengan diameter 1cm-2cm kemudian lapisan pasir silika. Desinfeksi Proses desinfeksi untuk memaksimalkan proses destruksi mikroorganisme patogen dalam air dengan menggunakan desinfektan, yaitu bahan kimia berupa kaporit. Densifeksi ini menggunakan 1/2 kg dilarutkan ke dalam 200 liter air yang kemudian diaduk di dalam tempayan dan diaduk secara manual. Setelah itu, kaporit yang sudah dilarutkan dialirkan ke dalam resefoir melalui keran yang ada di tempayan tersebut secara lambat. Kualitas Air Dari hasil pemerisaan laboraturium terhadap air hasil olahan maka dapat diketahui bahwa proses pengolahan air yang dilakukan oleh pihak PDAM Melawi masih tidak optimal melihat air yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas air bersih dan masih memiliki nilai kekeruhan, yaitu 6,04 NTU meskipun sudah cukup jauh perubahan hasil nilai
Indri, dkk, Gambaran Pengolahan Air Baku... 341
kekeruhan dari air baku yang diolah menjadi air bersih tersebut. Untuk pH air hasil olahan sudah memenuhi standar pH untuk air bersih, yaitu 6,46 meskipun tidak terlalu jauh perbedaan antara pH air hasil olahan dan pH air baku. Pada musim kemarau dimana sebagian masyarakat yang menggunakan air PDAM tersebut sangat membutuhkan air bersih, justru dalam pendistribusian air olah pihak PDAM Melawi kurang lancar. Hal ini disebabkan sumber air yang berasal dari Sungai Pinoh volumenye berkurang dan permukaan air surut sehingga tidak dapat mencukupi untuk melakukan proses pengolahan dan produksi sesuai kapasitas terpasang. Pada musim kemarau intake (intake terapung) juga sering begeser ke tengah sungai saat air surut sehingga menyulitkan operasional dan pemeliharaan. Sedangkan pada musim hujan air olahan akan terlihat coklat, hal ini disebabkan air baku banyak mengandung bahan-bahan hasil pembusukan daun-daun yang gugur pada musim kemarau dan sampah-sampah yang dibuang langsung ke sungai oleh warga yang tigal di sekitar Sungai Melawi tersebut. SIMPULAN Berdasarkan seluruh kegiatan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan dibahas pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu: Air baku yang digunakan pihak PDAM Melawi berasal dari Sungai Pinoh, dan dapat
diketahui bahwa air baku tersebut tidak sesuai dengan standar kualitas air bersih yang telah ditetapkan khususnya pada parameter tingkat kekeruhan, warna dan pH. Dalam proses pengolahan dari air baku sampai menjadi air yang siap dikonsumsi oleh masyarakat, pihak PDAM Melawi telah melakukan proses screening, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, sand filter, dan desinfeksi, namun belum dilakukan secara optimal karena air yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar kualitas, yaitu pada tingkat kekeruhan, warna, dan pH. Air olahan yang dihasilkan oleh pihak PDAM Melawi tidak memenuhi standar kualitas air bersih dan air minum yang ada, yaitu Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990 dan Permenkes, No. 492/Menkes/ Per/IV/2010, hal ini disebabkan oleh tahapan-tahapan dalam pengolahan yang dilakukan oleh pihak PDAM tidak dilaksanakan secara optimal. Hendaknya dilakukan proses pengolahan air sesuai dengan batas ketentuan dari sistem pengolahan yang ada agar air yang dihasilkan memiliki kualitas air bersih. Pihak PDAM lebih optimal dalam melakukan tahapan-tahapan pengolahan air bersih agak mendapatkan kualitas air yang memenuhi standar kualitas air yang telah ditentukan. Hendaknya dilakukan pengukuran kualitas air bersih hasil olahan ataupun air baku. Hal ini bermaksud agar didapat perbandingan kualitas air dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 1990. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Ditjen P2MPLP: Jakarta. Depkes RI, 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Ditjen P2MPLP: Jakarta.
Kusnaedi. 2010. Standard Kualitas Air. Diunduh dari: http://books.google.co.id/Standarisasi+ku alitas+air. Republik Indonesia, 2005. Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
HUBUNGAN PENGGUNAAN APD TELINGA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA PABRIK DI PT. SINTANG RAYA KABUPATEN KUBU RAYA Urai Yuniarsih, Sunarsieh dan Salbiah Jurusan Kesehatan lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Penggunaan APD Telinga dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Pabrik di PT. Sintang Raya Kabupaten Kubu Raya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah APD dengan variabel terikat gangguan pendengaran dimana umur, masa kerja dan jam kerja berperan sebagai variabel pengganggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan gangguan pendengaran adalah umur (p=0,000), lama kerja (p=0,000) dan penggunaan APD (p=0,02). Sementara variabel yang tidak berhubungan adalah masa kerja (p=0,629). Peneliti menyarankan agar pekerja pada saat melakukan pekerjaan menggunakan APD dengan baik khususnya alat pelindung telinga agar pada waktu melakukan pekerjaan tidak terkena paparan intensitas kebisingan sehingga tidak mengalami gangguan pendengaran. Kata kunci: APD, Pendengaran, Kebisingan Abstract: The Relations The Use of PPE Ear with Hearing Disorders in Factory Worker at PT. Sintang Raya Kabupaten Kubu Raya. This study was an observational study with cross-sectional approach. The independent variables in this study is the dependent variable APD with hearing loss where age, length of service and hours of work serves as a confounding variable. The results showed that the variables associated with hearing loss is age (p = 0.000), duration of action (p = 0.000) and use of PPE (p = 0.02). While unrelated variables are working period (p = 0.629). Researchers suggested that workers using PPE when working properly, especially ear protection tool that does the job at the time of exposure to noise intensity that does not have a hearing loss. Keywords: PPE, Hearing, Noise
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sumber daya dibidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan /atau masyarakat (UU Kesehatan No.36 tahun 2009). Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari risiko kecelakaan dan kerusakan dari pekerjaan yang berkaitan dengan kondisi bangunan, mesin, peralatan,
dan pekerja. Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja ini bertujuan untuk memberikan rasa aman, tentram, nyaman, dan sehat bagi tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya (Sapberiady, 2010). Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu persyaratan untuk meningkatkan efisiensi kerja karyawan, disamping itu K3 adalah hak asasi setiap tenaga kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi industri di Indonesia yang merupakan pendekatan berupaya menserasikan alat dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan keterbatasan tenaga kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat, 342
Urai, dkk, Hubungan Penggunaan APD Telinga... 343
selamat, aman, nyaman dan efisiensi (Ramli, 2009). Umumnya ada lima kategori hierarki pengendalian kecelakaan kerja atau gangguan akibat kerja yaitu eliminasi, substitusi, pengendalian teknis (engineering), pengendalian administratif dan penggunaan alat pelindung diri (APD). Semua metode pengendalian tersebut dapat dilakukan secara bersamaan, karena tidak ada metode yang dapat menurunkan bahaya dan risiko secara keseluruhan, dengan demikian pekerja masih besar kemungkinannya terpajan terhadap bahaya di tempat kerja. Pertahanan dan perlindungan terakhir bagi pekerja adalah dengan menggunakan APD (Ramli, 2009). Alat Pelindung Diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja (Depnaker, 2010). Jenis-jenis APD yang dipakai tenaga kerja tergantung potensi bahaya lingkungan kerja yang dihadapi. Salah satu potensi bahaya lingkungan kerja yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja adalah kebisingan. Kebisingan yang diperkenankan untuk lingkungan kerja adalah 85 dB waktu kerja 8 jam sehari (Tarwaka dkk, 2004). Hasil pengukuran kebisingan pada bagian fiber cyclon yaitu sebesar 94 dB, bagian boiler sebesar 95 dB, bagian turbin sebesar 98 dB, bagian perebusan sebesar 98 dB, serta bagian genset sebesar 100 dB (Desember, 2014). Berdasarkan hasil sumber kebisingan proses produksi pengolahan kelapa sawit memiliki potensi risiko yang cukup tinggi terkait dengan gangguan pendengaran apabila saat bekerja tidak menggunakan APD. Hasil observasi dilingkungan (Desember, 2014) ada tenaga kerja yang menggunakan APD dan ada yang tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat (Suma’mur, 2009) bahwa kebisingan yang >NAB dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan penggunaan APD telinga dengan gangguan pendengaran pada pekerja di PT Sintang Raya. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan pendekatan penelitian diskriptif analitik dengan desain
penelitian cross sectional karena variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan dalam waktu yang Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja yang bekerja di bagian Pabrik kelapa sawit yaitu sebanyak 70 orang. Sampel adalah total populasi, yaitu sebanyak 70 orang. Data hasil penelitian yang telah diolah akan dilakukan analisis univariat dan bivariat. HASIL Jenis Kelamin Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin PT Sintang Raya Tahun 2015diketahui bahwa sebagaian besar responden pekerja PT Sintang Raya berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 88,7 % dari 71 responden. Umur Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Umur Responden PT Sintang Raya Tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah terbanyak responden pekerja PT Sintang Raya berumur ≤ 30 tahun, yaitu sebesar 59,2 % dari 71 responden. Lama Kerja Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Kerja PT Sintang Raya Tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pekerja di PT Sintang Raya bekerja selama ≤ 8 jam sehari, yaitu sebesar 66,2 % dari 71 responden. Masa Kerja Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja PT Sintang Raya Tahun 2015 distribusi frekuensi masa kerja di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar responden pekerja di PT Sintang Raya telah bekerja selama <5 tahun, yaitu sebesar 93 % dari 71 responden.
344 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.342 - 348
Penggunaan APD Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penggunaan APD Telinga Responden PT Sintang Raya Tahun 2015 sebagian besar responden pekerja di PT Sintang Raya masih masuk dalam kategori tidak baik dalam menggunakan APD telinga (ear muff atau ear plug). Gangguan Pendengaran Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Pendengaran Responden PT Sintang Raya Tahun 2015 sebagian besar responden di PT Sintang Raya tidak mengalami gangguan pendengaran, yaitu sebesar 70,4 %. Hubungan Umur dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tabel 1. Hubungan Umur dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015 Gangguan Jumlah Pendengaran Kelompok No Ada Umur Normal Gangguan N % N % n % 1
> 30 tahun 10
34,5
19
65,5 29 100
2
≤ 30 tahun 40
95,2
2
4,7
70,4
21
29,6 71 100
Jumlah
50
42 100
p = 0,000
Tabel 2. Hubungan Lama Kerja Kerja dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015
1
> 8 jam
Gangguan Pendengaran Ada Normal gangguan N % N % 7 29,2 17 70,8
2
≤ 8 jam
43
91,5
4
50
70,4
21
Lama No Kerja
Jumlah
p = 0,000
Hubungan Lama Kerja Kerja dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya
N
%
24
100
47
100
29,6 71 100 OR = 29,107 (95% CI=6,763-100,779)
Sumber: Data Primer, 2015
Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lama kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015. Nilai OR=29,107 atau dapat dinyatakan bahwa kelompok pekerja dengan lama kerja>8 jam beresiko 29,107 kali menderita gangguan pendengaran di PT Sintang Raya (CI=6,763-100,779) dibandingkan pekerja dengan lama kerja ≤ 8 jam. Hubungan Masa Kerja Kerja dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tabel 3. Hubungan Masa Kerja Kerja dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015
Sumber: Data Primer, 2015
Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara umur pekerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015.
8,5
Jumlah
No
Masa Kerja
1 > 36 bulan
Gangguan Pendengaran Ada Normal Gangguan N % N % 3
2 ≤ 36 bulan 47 Jumlah
50
p = 0,629
Jumlah N
%
60
2
40
5
100
71,2
19
28,8
66
100
70,4
21
29,6
71
100
OR = 0,606 (95% CI=0,204-7,175)
Sumber: Data Primer, 2015
Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,629 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja
Urai, dkk, Hubungan Penggunaan APD Telinga... 345
dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015. Nilai OR=1,211 atau dapat dinyatakan bahwa kelompok pekerja dengan masa kerja <5 tahun beresiko lebih besar (0,606 kali) menderita gangguan pendengaran di PT Sintang Raya (CI=0,204-7,175) dibandingkan dengan pekerja dnegan masa kerja ≥5 tahun. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tabel 4. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015 Gangguan Jumlah Pendengaran Penggunaan No Ada APD Normal Gangguan N % N % N % 1
Tidak baik
12 47,8
11
52,2 23 100
2
Baik
38 79,2
10
20,8 48 100
Jumlah
50 70,4
21
29,6 71 100
p = 0,02
OR = 3,483 (95% CI=0,157-1,267)
Sumber: Data Primer, 2015
Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,02 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT Sintang Raya Tahun 2015.Nilai OR=3,483 atau dapat dinyatakan bahwa kelompok pekerja yang menggunakan APD kurang baik beresiko 0,446 kali lebih besar menderita gangguan pendengaran di PT Sintang Raya (CI=0,204-7,175) dibandingkan pekerja dengan APD baik. PEMBAHASAN Hubungan Umur Pendengaran
dengan
Gangguan
Menurut Notoadmodjo (2007), umur dalam pekerjaan sangat menunjang suatu hasil kerja dan umur juga merupakan suatu karakteristik yang dimiliki oleh setiap orang. Umur 18-50 tahun merupakan umur yang produktif untuk bekerja, sedangkan umur 50
tahun keatas merupakan usia yang kurang produktif lagi untuk bekerja. Berdasarkan hasil analisa tabel silang diketahui bahwa responden yang berada pada kelompok umur > 30 memiliki kecenderungan menderita gangguan pendengaran lebih tinggi(65,5%)dibandingkan dengan responden yang berada pada kelompok umur ≤ 30 tahun(4,7%). Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara umur dengan gangguan pendengaranmenunjukkan signifikansi p value= 0,000 yang berarti lebih kecil dari α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umurdengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. Sintang Raya.Responden yang berada pada kelompok umur > 30 tahunmempunyai resiko 38,00 kali lebih besar mengalamigangguan pendengaran dibandingkan responden yangberada pada kelompok umur ≤ 30 tahun. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Sintang Raya, dari 29 responden yang berumur > 30 tahun terdapat 19 responden (65,5%) orang yang mengalami gangguan pendengaran, sementara pada 42 responden yang berumur ≤ 30 tahun terdapat 2 responden (4,7%) orang yang mengalami gangguan pendengaran. Menurut Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, semakin lanjut usia pekerja maka semakin tinggi resiko terpapar kebisingan karena pada usia yang sudah lanjut proses pemulihan dari terpapar kebisingan sangat lama sehingga akan mudah sekali mengalami ketulian. Selain itu, pekerja yang sudah lama bekerja akan terpapar kebisingan lebih banyak akan mengalami gangguan pendengaran. Perbedaan tersebut terjadi karena masa kerja dari pekerja yang berumur produktif lebih sebentar dibandingkan pekerja yang berumur tidak produktif. Untuk menurunkan resiko pemaparan kebisingan sebaiknya pekerja di PT. Sintang Raya lama kerjanya dikurangi sehingga risiko penurunan pendengaran bisa dihindari. Selain itu, modifikasi mesin juga dapat dilakukan agar suara mesin di PT. Sintang Raya tidak menimbulkan kebisingan diatas NAB (nilai ambang batas) yang ditetapkan. Hubungan Lama Kerja dengan Gangguan Pendengaran Lama kerja atau jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat
346 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.342 - 348
dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85. Pasal 77 ayat 1, Undang-Undang No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. (Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Pada sistem jam kerja tersebut diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbul kelelahan, penyakit dan kecelakaan. Berdasarkan hasil analisa tabel silang diketahui bahwa responden yang lama kerjanya > 8 jam memiliki kecenderungan menderita gangguan pendengaran lebih tinggi(70,8%)dibandingkan dengan responden yang lama kerjanya ≤ 8 jam(8,5%). Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antaralama kerja dengan gangguan pendengaran menunjukkan signifikansi p value= 0,000 yang berarti lebih kecil dari α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama kerjadengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. Sintang Raya.Responden yang lama kerjanya > 8 jam mempunyai resiko 29,107 kali lebih besar mengalamigangguan pendengaran dibandingkan responden yanglama kerjanya ≤ 8 jam. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Sintang Raya, terdapat 24 responden (33,8%) dengan jam kerja > 8 jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, responden dengan jam kerja > 8 jam memiliki risiko mengalami gangguan pendengaran lebih besar. Menurut Dian (2011), semakin lama seseorang terpajan bising setiap tahunnya, maka semakin besar kerusakan yang terjadi pada fungsi pendengarannya. Pernyataan tersebut juga didukung oleh penelitian Andriana (2008) yang menjelaskan bahwa semakin lama paparan dan tingginya tingkat kebisingan maka akan semakin berisiko terjadinya gangguan pendengaran. Menurut Widodo (2008), jam kerja > 8 jam/hari dapat mempengaruhi gangguan pendengaran. Rentang waktu bekerja di tempat kerja adalah bila pekerja pada intensitas kebisingan 85 dB maka jam kerjanya adalah 40
jam/minggu. Penentuan jam kerja menurut Simanjuntak (2010), yaitu : (1) Shift pagi adalah jam 06.00 – 14.00 Wib dengan istirahat 30 menit. (2) Shift siang adalah 14.00 – 22.00 Wib dengan istirahat 30 menit, (3) Shift malam adalah jam kerja 22.00 – 08.00 Wib dengan istirahat 30 menit. Penentuan jam kerja tersebut dimaksudkan agar perusahaan melakukan pengendalian administratif guna mengurangi intensitas kebisingan pada pekerja sehingga tidak menimbulkan gangguan pendengaran. Untuk mengurangi gangguan pendengaran pada pekerja, sebaiknya PT. Sintang Raya melakukan pembagian shift pada pekerja dalam upaya pengendalian kebisingan di tempat kerja. Pengendalian administratif tersebut dilakukan agar perusahaan mengutamakan jam kerja yang telah ditetapkan yaitu tidak lebih dari 8 jam. Selain itu, disarankan kepada perusahaan untuk mengurangi intensitas kebisingan yang dihasilkan sehingga dengan lama kerja kurang/lebih dari 8 jam kecenderungan pekerja mengalami gangguan pendengaran dapat menurun. Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Pengaruh positif pada kinerja apabila semakin lama masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja (Suma’mur, 2009). Berdasarkan hasil analisa tabel silang diketahui bahwa responden yang masa kerjanya <5 tahunmemiliki kecenderungan menderita gangguan pendengaran lebih tinggi(19 orang)dibandingkan dengan responden yang lama kerjanya >5 tahun(2 orang). Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran menunjukkan signifikansi p value= 0,629 yang berarti lebih besar dari α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerjadengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. Sintang Raya.
Urai, dkk, Hubungan Penggunaan APD Telinga... 347
Hasil tersebut berbeda dengan teori yang dikemukan oleh Haryuti (2010) yang menyebutkan bahwa gangguan pendengaran akibat kebisingan akan mudah dialami oleh pekerja yang bekerja dengan masa kerja lebih lama, karena semakin lama tenaga kerja bekerja pada lingkungan kerja dengan kebisingan tinggi maka resiko terpapar oleh kebisingan juga tinggi. Perbedaan ini kemungkinan terjadi karena tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh mesin-mesin produksi PT. Sintang Raya melebihi NAB (Nilai Ambang Batas) yang telah ditetapkan, sehingga pekerja baik yang masa kerjanya lama atau baru sama-sama mengalami pemaparan kebisingan yang tinggi dan menyebabkan penurunan atau gangguan pendengaran pada pekerja.Disarankan kepada pemilik/pengelola PT. Sintang Raya untuk memberikan waktu istirahat yang cukup dan rotasi (shift kerja) kepada pekerja yang terpapar kebisingan tinggi agar risiko mengalami gangguan pendengaran berkurang. Hubungan Penggunaan Gangguan Pendengaran
APD
dengan
Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008). Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja. Berdasarkan fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh tenaga kerja, khusus untuk melindungi pekerja dari gangguan pendengaran adalah ear flug dan ear muff. Berdasarkan hasil analisa tabel silang diketahui bahwa responden yang penggunaan APDnya kurang baik memiliki kecenderungan menderita gangguan pendengaran lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang penggunaan APDnya baik. Hasil analisa uji statistik Chi Square pada hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan pendengaran menunjukkan signifikansi p value= 0,02 yang berarti kurang dari α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
penggunaan APD dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. Sintang Raya.Responden yang menggunaan APD dengan tidak baikmempunyai resiko 3,483 kali lebih besar mengalamigangguan pendengaran dibandingkan responden yang menggunakan APD baik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Sintang Raya, dari 23 responden yang menggunakan APD dengan tidak baik terdapat 11 responden mengalami gangguan pendengaran, sementara pada 48 responden yang menggunakan APD dengan baik terdapat 10 respondenyang mengalami gangguan pendengaran. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2005) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan alat pelindung telinga dengan gangguan pendengaran pada pekerja unit produksi PT Kurnia Jati Semarang yang bekerja lebih dari 8 jam sehari dengan tingkat intensitas kebisingan yang diterima lebih dari 85 dB. Penelitian ini cenderung menyatakan ada hubungan karena jam kerja dalam sehari pekerja unit produksi PT Kurnia Jati Semarang melebihi batas jam kerja yang telah ditetapkan yaitu lebih dari 8 jam dan pekerja unit produksi PT Kurnia Jati Semarang cenderung tidak menggunakan APD. UU No.1 tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (penanggung jawab industri) diwajibkan untuk menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada pekerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang yang memasuki disertai petunjukpetunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja. Dalam banyak industri, terdapat mesinmesin yang bersuara keras sehingga mengganggu pendengaran, oleh karena itu telinga harus dilindungi. Ada dua jenis pelindung telinga yaitu sumbat telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff). Dalam melakukan kegiatan industrinya, PT. Sintang Raya menggunakan mesin-mesin produksi yang akan menghasilkan tingkat kebisingan. Untuk mengantisipasi gangguaan pendengaran pada pekerja akibat kebisingan tersebut, diharapkan kepada pengelola/pemilik PT. Sintang Raya mewajibkan pekerjanya memakai APD telinga dan memberikan pengawasan yang baik serta memberikan
348 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.342 - 348
sanksi kepada pekerja yang tidak memakai APD. Bagi pekerja sendiri, sebaiknya pada saat melakukan pekerjaan menggunakan APD telinga dengan baik khususnya alat pelindung telinga agar pada waktu melakukan pekerjaan tidak terkena paparan intensitas kebisingan sehingga tidak mengalami gangguan pendengaran serta kecelakaan kerja lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan yang menyebabkan produktifitas kerja menurun. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, maka penulis mengambil kesimpulam sebagai berikut :Ada hubungan yang signifikan antara umur dengan gangguan pendengaran pada pekerja pabrik PT. Sintang Raya Kabupaten Kubu Raya (P = 0.000< α = 0.05). Ada hubungan antara umur dengan gangguan pendengaran pada pekerja di PT Sintang Raya dimana nilai p=0,000. Ada hubungan antara lama kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja pabrik PT. Sintang Raya Kabupaten Kubu Rayadimana nilai p=0,000. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja
pabrik PT. Sintang Raya dimana nilai p= 0,629. Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD telinga dengan gangguan pendengaran pada pekerja pabrik PT. Sintang Raya dimana nilai p = 0,02. Kepada pekerja sebaiknya pada saat melakukan pekerjaan menggunakan APD dengan baik khususnya alat pelindung telinga agar pada waktu melakukan pekerjaan tidak terkena paparan intensitas kebisingan sehingga tidak mengalami gangguan pendengaran. Kepada pemilik atau pengelola seharusnya mewajibkan pekerjanya memakai APD dan memberikan pengawasan yang baik serta memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak memakai APD. Melakukan pengendalian intensitas kebisingan dengan cara modifikasi mesin juga dapat dilakukan agar suara mesin di PT. Sintang Raya tidak menimbulkan kebisingan diatas NAB (nilai ambang batas) yang ditetapkan.dan mengadakan rotasi bagi pekerja yang sudah lama bekerja. Melakukan pembagian shift pada pekerja dalam upaya pengendalian kebisingan di tempat kerja. Pengendalian administratif tersebut dilakukan agar perusahaan mengutamakan jam kerja yang telah ditetapkan yaitu tidak lebih dari 8 jam.
DAFTAR PUSTAKA Depnaker, 2010. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Permenaker No. 13 tahun 2011. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja: Jakarta. Ramli, S., 2009. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sapberiady, 2010. Hubungan Antara Pendidikan Pengetahuan Lama Kerja dan Masa Kerja Dengan Penggunaan APD dan Gangguan Kesehatan Pada Pekerja PT. Shinam Jaya Abadi Desa Wajok Hulu Kabupaten
Pontianak. Jurusan Kesehatan Lingkungan, Pontianak: Poltekkes Pontianak. Sugiyono, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif: Bandung. Suma’mur P.K., 2009. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Sagung Seto: Jakarta. Tarwaka., Solikhul., Bakri., Sudiajeng, 2004. Ergonomi K3 dan Produktivitas. Uniba Press: Surakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketentuan Jam Kerja. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PEMANTAUN JENTIK BERKALA DI PUSKESMAS SIANTAN TENGAH Wenny Febriany, Hajimi dan Iswono Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Evaluasi Pelaksanaan Program Pemantauan Jentik Berkala di Puskesmas Siantan Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif untuk menggambarkan pelaksanaan kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2014 di Puskesmas Siantan Tengah. Hasil penelitian antara lain, yaitu telah terlaksana dan tersedianya tenaga, dana, sarana, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, capaian program serta rencana tindak lanjut (RTL). Saran agar program PJB terlaksana secara optimal, lebih memfokuskan penambahan tenaga pelaksana, sarana dan prasarana, proses penyerapan dana serta pengawasan terhadap kader rutin dilaksanakan dan setiap kader serta petugas diberikan buku panduan pelaksanaan PJB dan mensosialisasikan kembali alur pelaporan tahunan ke Dinas Kesehatan Kota. Kata Kunci: Evaluasi, Pelaksanaan Kegiatan, Pemantauan Jentik Berkala. Abstract: Evaluation the Implementation of Monitoring Program at the Puskesmas Siantan Tengah. This research was conducted by descriptive method to describe implementation monitoring of larvae periodically (PJB) conducted in January through August 2014 in Puskesmas Siantan Tengah. The results of the research, among others, that has been accomplished and the availability of personnel, funds, facilities, planning, implementation, assessment, program achievements and the follow-up plan (RTL). Suggestions for program PJB implemented optimally, focus more additional executive personnel, facilities and infrastructure, the process of absorption of funds and supervision of cadres routinely held and each cadre and officers are given guidebooks the implementation of PJB and socialize back groove annual reporting to the City Health Office. Keywords: Evaluation, Implementation of Activities, Monitoring Periodic larva.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Pada sistem Kesehatan Nasional (SKN) disebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2009). Salah satu tolak ukur keberhasilan Pembangunan Kesehatan adalah turunnya angka kesakitan dan angka kematian. Faktor penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan antara lain disebabkan karena masih tingginya insiden dan prevalance penyakit menular. Penyakit menular hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan terbesar
masyarakat Indonesia, termasuk di Kota Pontianak. Hal ini tercermin dari tingginya angka kejadian beberapa penyakit ke sarana pelayanan kesehatan seperti infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), TB Paru, Penyakit Diare, Thypoid dan Demam Berdarah Dengue. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (WHO, 2004). Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut dan menular disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. 349
350 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.349 - 356
Timbulnya mendadak dan banyak mengakibatkan kematian bagi penderitanya, sehingga tidak mengherankan bila adanya penyakit ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Penyakit DBD ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara negara tropic dan subtropik, baik sebagai penyakit endemic maupun epidemic (Fathi, 2005). Menurut data WHO tahun 2004, antara tahun 1975 sampai tahun 1995, penyakit demam berdarah dengue terdeteksi keberadaanya di 102 negara dari 5 wilayah WHO, yaitu 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur, dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis DBD dengan keempat serotipe virus secara bersama-sama di wilayah Amerika, Asia Pasifik, Afrika, Myanmar, Thailand dan Indonesia masuk kategori A, yaitu termasuk Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah siklis terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Data sampai bulan Mei tahun 2005 di seluruh wilayah Indonesia tercatat 28.224 kasus dengan jumlah kematian 348 orang, hingga awal oktober tahun 2005, kasus DBD di 33 propinsi mencapai 50.196 kasus dengan 701 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1,4 persen. Dari 33 propinsi di Indonesia, 12 diantaranya ditetapkan sebagai daerah KLB DBD, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kota Pontianak adalah ibu kota provinsi Kalimantan Barat. Pesatnya pertambahan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali serta tidak adanya kontrol nyamuk yang efektif di Kota Pontianak secara tidak langsung mengakibatkan juga pesatnya angka peningkatan dan penyebaran kasus DBD. Kota Pontianak yang merupakan salah satu daerah dengan angka kasus demam berdarah cukup tinggi di Kalimantan Barat. Hingga saat ini jumlah kasus demam berdarah dengue sebesar 428 orang dengan jumlah meninggal 2 orang. Kecamatan Pontianak Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Pontianak dengan kasus penyakit demam berdarah dengue yang meningkat setiap tahunnya dan keseluruhan kelurahanya merupakan daerah endemis
penyakit demam berdarah dengue. Kecamatan Pontianak Utara merupakan salah satu kecamatan yang menduduki peringkat kelima untuk jumlah penderita penyakit demam berdarah dengue (Dinkes Kota Pontianak, 2013). Berbagai upaya yang dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian serendah mungkin, perlu dilakukan berbagai upaya pemberantasan penyakit menular dan upaya penyehatan Lingkungan (Blum, 1974). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya penyakit DBD salah satunya dengan program pemantauan jentik berkala sesuai Peraturan Kemenkes No.581/Menkes/SK/VII/1992 tentang pemberantasan penyakit DBD. Selama ini upaya yang sudah dilakukan antara lain dengan pemutusan rantai nyamuk penularan denga cara fogging focus, penaburan larvasida, dan pemantauan jentik berkala. Sampai saat ini obat membasmi virus dan vaksin untuk mencegah penyakit DBD belum tersedia, oleh karena itu upaya paling tepat untuk menanggulangi adalah pemeriksaan jentik nyamuk Ae. aegypti yang dilakukan setiap bulan dengan pemeriksaan jentik nyamuk Ae. Aegypti di tempat penampungan air bersih pada bangunan rumah atau tempat-tempat umum dilakukan oleh kader dan petugas sehingga dapat diketahui keadaan populasi jentik nyamuk Ae. aegypti. Keberadaan jentik di suatu wilayah dapat diketahui dengan indicator Angka Bebas Jentik (ABJ). Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan prosentase rumah/tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik (Depkes RI, 1992). Target yang ditetapkan secara nasional, yaitu ABJ > 95%. Kegiatan ini termasuk memotivasi masyarakat dengan kunjungan yang berulangulang disertai penyuluhan diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PJB secara teratur dan terus menerus. Adapun berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pontianak tahun 2012, program pemantauan jentik berkala yang telah dilaksanakan di Puskesmas Siantan Ttengah didapatkan cakupan target dari program PJB ini masih kurang dari 95% dengan perhitungan, dari 6.974 jumlah bangunan yang terdata di kelurahan Siantan Tengah, 517 (7,41%) bangunan yang diperiksa jentik, dan hanya 260 bangunan/rumah (50,29%) bebas jentik.
Wenny, dkk, Evaluasi Pelaksanaan Program Pemantauan... 351
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan observasi dan kuisoner. Pendekatan observasi dan kuisioner, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan pengamatan langsung sebagai penelitian terhadap pelaksanaan Program PJB di Puskesmas Siantan Tengah tahun 2013. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu dengan mengevaluasi pelaksanaan program PJB. Data-data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi berdasarkan hasil pelaksanaan program PJB di Puskesmas Siantan Tengah. HASIL Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelaksanaan Program PJB tahun 2012 adalah 50,29% dan tahun 2013 adalah 64,2%. ABJ di Puskesmas Siantan Tengah ini belum mencapai target nasional yang ditetapkan yaitu lebih besar atau sama dengan 95. Berdasarkan input program PJB siantan Tengah dukungan sumber daya manusia (tenaga) dalam pelaksanaan kegiatan PJB di Puskesmas Siantan Tengah dilaksanakan oleh 1 orang petugas lulusan Diploma 3 (D3) Kesehatan Lingkungan yang bertanggung jawab atas kegiatan PJB dibantu oleh petugas puskesmas yang dijadwalkan setiap pelaksanaan kegiatan berjumlah 1-2 orang petugas dan juga dibantu oleh 10 orang kader. Anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan PJB tahun 2013 didapatkan dari APBD. Jumlah dana yang terealisasi tahun 2013 adalah Rp 21.600.000 dimana kegiatan yang terlaksana untuk kader selama 9 kali dari bulan febuari hingga oktober 2013, sedangkan pada petugas dilaksanakan setiap bulan selama 1 tahun. Honor yang diterima oleh kader setiap pelaksanaan yaitu Rp.75.000 dan petugas setiap pelaksanaan mendapatkan honor Rp.80.000. Sarana yang ada untuk program PJB, yaitu terdiri dari senter 8 buah, baterai 20 buah, blangko dan alat tulis serta larvasida atau abate. Hasil pelaksanaan berdasarkan Proses kegiatan PJB diketahui bahwa perencanaan kegiatan sesuai juklak/juknis yaitu setiap 1 bulan. Pelaksanaan kegiatan PJB berdasarkan waktu/jadwal yang ditentukan terlaksana sesuai juklak/jukni, akan tetapi pelakasanaan yang terjadwalkan tidak sesuai hari yang
terjadwalkan dikarenakan keterbatasan waktu kader. Penilaian kegiatan laporan sesuai juklak/juknis dimana laporan diisi sesuai format pelaporan yang ada, akan tetapi penilaian yang seharusnya dibuat secara bulanan, triwulan, semester dan tahunan hanya ada laporan triwulan saja. Pengamatan tentang output kegiatan PJB yang telah dilakukan tahun 2013 sesuai prosedur juklak/juknis. Dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan program PJB ini dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan terlaksana sesuai prosedur juklak/juknis. Perencanaan terjadwalkan setiap 1 (satu) bulan sekali. Pelaksanaan kegiatan juga berdasarkan prosedur juklak/juknis. Kader dan Petugas diberikan pelatihan dan keterampilan secara lisan sebelum melaksanakan tugas. Akan tetapi kader dan petugas tidak dibekali buku panduan (tata cara juklak/juknis) dalam melaksanakan tugas. Pada penilaian kegiatan sesuai prosedur juklak/juknis. Penilaian dalam bentuk laporan tertulis secara periodik (bulanan, triwulan, semester, tahunan). Hasil penelitian pada komponen outome, yaitu dilihat dari kelengkapan laporan kegiatan proses pelaksanaan PJB yang telah dilakukan di Puskesmas Siantan Tengah tahun2013. PEMBAHASAN Input Dukungan tenaga sumber daya manusia (tenaga) pelaksanaan kegiatan pemantauan jentik berkala di Puskesmas Siantan Tengah seperti penjelasan di atas dilaksanakan oleh petugas dan kader. Wilayah Puskesmas Siantan terdiri dari Kelurahan Siantan Tengah yang memiliki luaswilayah 1.370 Ha terdiri dari 26 RW dan 107 RT. Di Puskesmas Siantan tengah terdapat 1 orang penanggung jawab dengan dibantu 2 petugas puskesmas tiap pelaksanaan kegiatan yang merangkap program lain dan dibantu oleh 10 orang kader. Dukungan sumber daya manusia di atas tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Kepmenkes RI nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan DBD dan Keputusan dirjen PPM dan PLP Depkes RI nomor 914-1/1992 tentang Petunjuk Teknis Pemberantasan DBD adalahtenaga pelaksana minimal berjumlah 3 petugas puskesmas dan dibantu kader/RW kelurahan yang telah mengikuti pelatihan jumantik (juru pemantau jentik). Dinas
352 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.349 - 356
Kesehatan Kota Pontianak telah menunjuk sumber daya manusia di puskesmas adalah petugas sanitarian dengan syarat telah mengikuti pelatihan pemantauan jentik berkala yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Pontianak, sedangkan kader aktif yang melaksanakan kegiatan juga mengikuti pelatihan yang diberikan oleh penanggung jawab kegiatan. Menurut Depkes RI tahun 2004 kader aktif adalah orang yang direkrut dari masyarakat untuk melakukan pemeriksaan jentik secara berkala dan terus-menerus serta menggerakan masyarakat dalam melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk DBD. Rendahnya ABJ di Kelurahan Siantan Tengah dibawah target nasional, yaitu > 95% mengindikasikan bahwa kinerja kader dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk masih belum maksimal, salah satu faktor rendahnya ABJ adalah pergantian kader dengan masa kerja yang tidak bisa ditentukan dan tingkat pendidikan kader sebagian besar tingkat pendidikan menengah. Menurut Purwanto (2005) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih rasional dan kreatif serta terbuka dalam menerima adanya bermacam usaha pembaharuan dan dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai pembaharuan.Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar dan menurut Sastrohadiwiryo (2002) yang mengatakan semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh sebaliknya semakin singkat orang bekerja, maka semakin sedikit pengalaman yang diperolehnya Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja.Terbatasnya jumlah petugas dan kader dalam pelaksanaan kegiatan dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya program PJB. Agar program PJB dapat berfungsi dan berjalan secara optimal maka dibutuhkan tenaga kerja minimal 3 orang petugas pelaksana yang tidak merangkup dan kader/perkelurahan disesuaikan dengan jumlah RW yang ada dan kader dengan masa kerja lebih lama lagi. Pelaksanaan PJB ini memang terpenuhi secara kuantitas, namun adanya tenaga kerja yang merangkap programlainnya menjadikan pelaksanaan program PJB belum dapat terlaksana secara meyeluruh dan optimal. Kegiatan pemantauan jentik berkala tahun 2013 yang bersumber dari dana APBD
Dinas Kesehatan Kota Pontianak, yaitu jumlah dana keseluruhan adalah Rp 21.600.000. Meskipun tersedia dana yang cukup, tetapi birokrasinya sulit sehingga proses pencairan dana telat dan akhirnya proses kegiatan menjadi terlambat. Untuk dana APBD Kota Pontianak, pada penyerapan dana penanggulangan DBD pengelola program harus mengusulkan penarikan dana kepada pembantu pemegang kas (PPK), selanjutnya PPK ke pemegang kas (PK) dan PK ke Pemda berdasarkan perkiraan jumlah kasus dan penanggung jawab program yang ada di puskesmas harus mengusulkan laporan pertanggung jawaban kegiatan yang telah dilaksanakan barulah penyerapan dana cair. Padahal untuk melaksanakan pemantauan jentik berkala harus rutin dilaksanakan untuk memutus mata rantai perkembangbiakan vektor DBD. Sebagai solusi menurut penelitian sebelumnya untuk proyeksi anggaran tahun mendatang. Untuk Dinas Kesehatan Kota Pontianak apabila diprediksi akan terjadi lonjakan kasus DBD perlu dipertimbangkan menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah Kota pendanaan untuk keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Daerah. Di dalam peraturan tersebut pada halaman 58 bagian ke lima ayat 2 menyatakan bahwa keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya di usulkan dalam rancangan pembahasan APBD. Kemudian pada ayat 3 menyebutkan bahwa pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat menggunakan belanja tidak terduga dan penyerapan dana untuk puskemas lebih dipermudah. Tersedianya sarana untuk pelaksanaan program PJB berupa alat dan bahan yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatanyang terdiri senter berjumlah 8 buah, baterai 20 buah, blangko (form), alat tulis, dan larvasida (abate). Berdasarkan jumlah tenaga yang melaksanakan tugas lebih banyak daripada sarana yang dibutuhkan, seharusnya sarana seperti senter harus berjumlah lebih dari 8 buah dengan penambahan baterai lebih banyak lagi, misalnya tenaga yang ada dengan 2 orang petugas puskesmas dan 10 orang kader jadi senter yang dibutuhkan sebanyak 12 buah atau lebih. Sarana pelaksanaan masih tidak memadai jumlahnya dikarenakan jumlahnya sangat terbatas. Untuk lebih mempermudahkan berjalannya proses
Wenny, dkk, Evaluasi Pelaksanaan Program Pemantauan... 353
pelaksanaan pemantauan jentik berkala maka pihak terkait lebih meningkatkan lagi kualitas (jumlah) alat dan bahan yang akan digunakan. PROSES Ada perencanaan kegiatan pemantauan jentik berkala tahun 2013, yaitu penanggung jawab telah menjadwalkan pelaksanaan sesuai prosedur juklak/juknis. Pelaksanaan program kegiatan PJB yang terjadwalkan sesuai juklak juknis, yaitu setiap 1 (satu) bulan seperti disyaratkan dalam Kemenkes RI nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 bahwa pemeriksaan jentik berkala setiap satu (1) bulan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD dan penyuluhan langsung ke masyarakat.Menurut Depkes RI tahun 2007 dengan adanya kegiatan pemantauan jentik berkala dan upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk menurunkan populasi nyamuk penular demam berdarah dengue (Ae. Aegypti) serta jentiknya. Peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah yang dilakukan secara berkala dan terusmenerus merupakan indikator keberhasilan PSN DBD. Kegiatan ini memotivasi masyarakat dalam memperhatikan tempattempat yang potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD sehingga mencegah terjadinya KLB penyakit DBD. Pelaksanaan kegiatan dilakukan berdasarkan waktu/jadwal yang ditentukan, yaitu setiap 1 (satu) bulan sekali. Pada tahun 2013 pelaksanaan kegiatan PJB terlaksana setiap 1 (satu) bulan sekali, ini dapat terlihat dari hasil kegiatan yang dapat dilihat di lampiran 4, akan tetapi tidak sesuai hari yang terjadwalkan dikarenakan keterbatasan waktu kader. Kader dan petugas membantu menggerakan masyarakat melakukan PJB setiap pelaksanaan saja. Kegiatan PJB yang telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur (juklak/juknis). Kader dan petugas diberikan pelatihan dan keterampilan sebelum melaksanakan tugas secara lisan. Akan tetapi kader dan petugas tidak dibekali buku panduan (tata cara juklak/juknis) dalam melaksanakan kegiatan PJB. Pelaksanaan yang tidak sesuai waktu mengakibatkan belum optimalnya kegiatan pemeriksaan jentik berkala disebutkan pada keputusan Menkes RI nomor 1091/MENKES/SK/X/2004 tentang petunjuk teknis standar pelayanan minimal (SPM) bahwa
salah satu langkah pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD adalah PJB dilakukan secara rutin, yaitu 1 (satu) bulan sekali tiap desa/kelurahan endemis dan pelaksanaan kegiatan dilakukan berdasarkan prosedur juklak/juknis. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan kader dan petugas juga sering menghadapi situasi yang tidak nyaman dan tidak kondusif. Sering ditemukan terutama adanya penolakan dari pihak pemilik rumah yang akan dilakukan pemeriksaan dikarenakan kurangnya kesadaran mereka akan bahaya penyakit demam berdarah jadi mereka menganggap kader dan petugas hanya sebagai mengganggu dirumah mereka. Untuk itu perlunya pengetahuan dengan penyuluhan terus-menerus kepada masyarakat sehingga masyarakat termotivasi dan lebih aktif lagi dalam kegiatan pemantauan jentik berkala. Laporan kegiatan PJB yang telah dilaksanakan dibuat tertulis secara periodik, yaitu laporan triwulan, namun tidak dibuat laporan bulanan,semester dan tahunan. Laporan triwulan di susun oleh penanggung jawab kegiatan pemantauan jentik berkala. Secara teoritis penilaian kegiatan dalam bentuk laporan tertulis secara periodik (bulanan, triwulan, semester, tahunan), pengisian laporan tertulis yang lengkap, dan penyimpanan laporan tertulis dengan baik dan benar. Pencatatan dan pelaporan terhadap program yang sedang berjalan juga dirasa kurang optimal. Pencatatan dilakukan secara periodik hanya setiap triwulan. Dengan adanya pencatatan dan pelaporan pada tiap-tiap periode diharapkan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang muncul saat berjalannya program agar dapat segera ditindaklanjuti. OUTPUT Berdasarkan lampiran menunjukan bahwa penyebab masalah pelaksanaan kegiatan pemantauan jentik berkala di Puskesmas Siantan Tengah ABJ hanya 50,29%. Keberadaan jentik di suatu wilayah dapat diketahui dengan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ). Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan prosentase rumah/tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik. Target yang ditetapkan secara nasional, yaitu ABJ > 95%. Puskesmas Siantan Tengah target capaian PJB tahun 2012 hanya 50,29 % bebas jentik dimana jumlah rumah/bangunan yang ada tahun 2012 ada 6.974 dan jumlah rumah/bangunan yang
354 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.349 - 356
diperiksahanya 2.639 dan rumah/bangunan yang bebas jentik 1.890 atau 50,29 persen, sedangkan PJB tahun 2013, Kelurahan Siantan Tengah jumlah rumah/bangunan yang ada sama seperti tahun sebelumnya, yaitu berjumlah 6.974 dan jumlah rumah/bangunan yang diperiksa 3665 (52,6%) dan 2.354 (64,2%) rumah yang bebas jentik. Depkes RI (2007) menyatakan bahwa berbagai upaya pemberantasan demam berdarah telah dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan meliputi promosi kesehatan tentang seleksi pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan dan penanggulangan faktor resiko demam berdarahserta kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor terkait. Upaya-upaya terusmenerus dan berkesinambungan untuk melaksanakan promosi kesehatan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat operasional di puskesmas kota maupun desa. Upaya ini dilakukan dengan mengoptimalkan kinerja dari berbagai pihak yang berkepentingan (stake holder) sebagai penggerak PSN dan fasilitasi sumber daya tenaga. Ukuran keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Diharapkan nantinya masyarakat mampu mandiri dengan melaksanakan PSN, pemeriksaan dan pemusnahan jentik ditempattempat perkembangbiakan nyamuk Ae. Aegypti lingkungan rumah, lingkungan sekitar.
merangkap berbagai program. Kader yang tidak dapat diketahui masa kerjanya. Untuk itu perlunya menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain (kader/petugas kesehatan) serta penanggung jawab lebih rutin melakukan pemantauan berkala denganpengawasan yang dilakukan dapat berupa aturan-aturan yang sifatnya mengikat karena pada kenyataannya di Puskesmas Siantan Tengah tiap petugas kesehatan memegang lebih dari 1 (satu) program puskesmas dan 10 kader dengan masa kerja lebih singkat > 1 bulan. Hal tersebut harus segera diintervensi lebih lanjut supaya tiap program-program yang ada di Puskesmas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga program PJB yang akan datang terlaksana lebih efisien sehingga pelaksanaan program PJB dapat terlaksana secara meyeluruh dan optimal. Dana Tersedianya dana anggaran kegiatan pemantauan jentik berkala yang cukup berasal dari APBD Dinas Kesehatan Kota Pontianak akan tetapi, penyerapan dana dan birokrasinya sulit sehingga proses pencairan dana telat dan akhirnya proses kegiatan menjadi terlambat. Untuk itu Pemerintah Kota Pontianak perlu meninjau kembali proses penyerapan dana sehingga pelaksanaan PJB berjalan dan menurunkan angka kesakitan akibat DBD. Sarana
Rencana Tindak Lanjut (RTL) Berhasil tidaknya pelaksanaan program pemantauan jentik berkala adalah sebagai penentuan prioritas pencegahan dan pemberantasan sarang nyamuk DBD. Adapun rencana tindak lanjut (RTL) berdasarkan faktor input, process, ouput, dan outcome adalah sebagai berikut: Input
Tenaga Berdasarkan sumber daya manusia (tenaga) yang ada di Puskesmas Siantan Tengah jumlah pelaksana program PJB yang tidak cukup. Puskesmas Siantan Tengah hanya memiliki dua (2) orang petugas sanitarian. Untuk program PJB yang bertanggung jawab atas kegiatan dan pelaksana kegiatanjuga
Tersedianya sarana yang digunakan pada program PJB di Puskesmas secara kuantitas mencukupi. Akan tetapi secara kualitas sarana yang dibutuhkan program PJB tidak mencukupi. Puskesmas hanya memiliki jumlah alat seadanya, yaitu senter hanya 8 buah dengan jumlah tenaga pelaksana lebih dari 13 orang. Secara visual setiap pelaksanaan kegiatan PJB membutuhkan senter untuk mengetahui jentik terutama pada tempat (wadah) yang gelap. Untuk itu perlunya penyediaan sarana yang cukup demi terlaksananya program sehingga angka bebas jentik di wilayah Puskesmas Siantan Tengah mencapai target secara nasional, yaitu ABJ > 95%. Proses Perencanaan
Wenny, dkk, Evaluasi Pelaksanaan Program Pemantauan... 355
Adanya penjadwalan kegiatan PJB tahun 2013 menunjukan bahwa pelaksanaan pemantauan jentik berkala terlaksana sesuai juklak/juknis. Akan tetapi kenyataannya kader tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh penanggung jawab kegiatan sehingga pelaksanaan kegiatan tidak sesuai waktu pelaksanaan yang terjadwalkan. Banyak kader tidak aktif melaksanakan kegiatan PJB dengan alasan sibuk, sakit, tidak sempat PJB. Untuk itu kader, petugas lebih aktif lagi dalam pelaksanaan kegiaitan PJB dan penanggung jawab melakukan evaluasi program PJB secara berkala. Dengan evaluasi, semua kendalakendala yang ada dapat diperbaiki sehingga pelaksanaan PJB periode selanjutnya akan lebih baik sehingga angka kesakitan DBD pun dapat berkurang di masyarakat. Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan PJB di Puskesmas Siantan Tengah berdasarkan juklak/juknis, yaitu setiap 1 (satu) bulan sekali. Kader dan petugas diberikan pelatihan dan keterampilan sebelum melaksanakan tugas secara lisan. Akan tetapi kader dan petugas tidak dibekali buku panduan (tata cara juklak/juknis) dalam melaksanakan kegiatan PJB. Untuk itu agar program PJB terlaksana dengan baik maka setiap pelaksanaan kegiatan PJB kader dan petugas diberikan buku panduan pelaksanaan kegiatan. Penilaian Penilaian kegiatan dalam bentuk laporan tertulis secara hanya triwulan tidak dalam pencatatan dan pelaporan yang lengkap. Untuk itu perlunya pencatatan dan pelaporan pada tiap-tiap periode diharapkan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang muncul saat berjalannya program agar dapat segera ditindaklanjuti sehingga proses pemantauan jentik berkala dapat di evaluasi untuk perbaikan program PJB selanjutnya. Output Kegiatan pelaksanaan program pemantauan jentik berkala berdasarkan prosedur juklak/juknis secara kuantitas memenuhi. Akan tetapi secara kualitas dan keadaan yang real di lapangan proses kegiatan PJB masih mengalami hambatan baik dari pelaksana hingga sarana dan prasarana. Target
capaian PJB tahun 2012 ABJ hanya 50,29% dimana jumlah rumah yang ada tahun 2012 berjumlah 6.974 dan jumlah rumah/bangunan yang diperiksa hanya 2.639 dan rumah/bangunan yang bebas jentik 1.890 (50,29%), sedangkan PJB tahun 2013 Kelurahan Siantan Tengah jumlah bangunan yang ada sama seperti tahun sebelumnya, yaitu berjumlah 6.974 dan jumlah rumah/bangunan yang diperiksa 3665 (52,6%) dan 2.354 (64,2%) rumah yang bebas jentik. Untuk itu target program PJB yang dicapai belum memenuhi ABJ secara nasional, yaitu ABJ > 95%. SIMPULAN Masukan (input) kegiatan PJB Pelaksanaan kegiatan PJB sesuai juklak/juknis, sumber daya manusia (tenaga) tidak mencukupi yaitu hanya ada 1 orang penanggung jawab kegiatan dengan dibantu 10 kader, dana kegiatan mencukupi, akan tetapi penyerapan dana sulit, sarana yang ada tidak mencukupi karena jumlah petugas pelaksana lebih banyak daripada sarana yang ada. Proses (process) kegiatan PJB Perencanaan kegiatan terlaksana sesuai juklak/juknis,pelaksanaan terjadwalkan. (a) Pelaksanaan kegiatan terlaksana sesuai juklak/juknis, tata laksana program PJB dilaksanakan setiap 1 (satu) bulan, akan tetapi pelaksanaan tidak dilaksanakan sesuai waktu penjadwalan kegiatan. (b) Penilaian kegiatan pemantauan jentik berkala sesuai juklak/juknis. Laporan kegiatan pemantauan jentik berkala dilaksanakan dibuat tertulis secara periodik hanya laporan triwulan. Keluaran (Output) kegiatan PJB Hasil kegiatan program pemantauan jentik berkala terlaksana sesuai prosedur juklak/juknis. Hanya saja masih terdapat kendala dan hambatan seperti tenaga pelaksana yang belum mencukupi serta keterbatasan waktu kader, penyerapan dana yang sulit, sarana yang juga tidak mencukupi, padatnya bangunan sekitar serta kurangnya kerjasama masyarakat terhadap program PJB menyebabkan pelaksanaan kegiatan PJB belum mencapai target yang ditentukan secara nasional.
356 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.349 - 356
Rencana Tindak Lanjut (a) Tenaga Tenaga yang ada di Puskesmas Siantan Tengah belum mencukupi sehingga perlunya penambahan tenaga pelaksanaan kegiatan PJB serta adanya koordinasi penanggungjawab dengan petugas lainnya. (b) Dana yang tersedia mencukupi, akan tetapi penyerapan dana sulit, untuk itu perlunya penyerapan dana yang lebih mudah sehingga program PJB menjadi lebih efektif. (c) Kelengkapan laporan bulanan, triwulan, semester, dan tahunan belum memenuhi standar yang di isyaratkan. Puskesmas Siantan Tengah hanya mempunyai laporan triwulan. Perlunya pencatatan tiap-tiap periodik ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang muncul untuk perbaikan program PJB selanjutnya. Saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut: (a) Masukan (input) kegiatan PJB. Penambahan jumlah tenaga dalam program PJB
secara khusus yang tidak merangkap program lain, yaitu jumlah petugas lebih dari 3 orang serta kader yang mencukupi sesuai jumlah RW yang ada. (b) Proses (Process) kegiatan PJB. (1) Perencanaan. Penanggung jawab lebih meningkatkan tindak evaluasi program PJB secara berkala setiap 1 tahun sekali. (2) Pelaksanaan. Mengusulkan ke Dinas Kesehatan Kota Pontianak untuk pengadan buku panduan (modul) kegiatan PJB. (3) Seharusnya laporan porgam PJB pencatatan dan pelaporan kegiatan tidak hanya dibuatlaporan triwulansaja akan tetapi laporan bulanan, semester, dan tahunan. (c) Output kegiatan PJB. Belum tercapainya target yang sesuai standar nasional disebabkan oleh beberapa kendala serta hambatan yang ada di lapangan, sarana dan prasarana. Untuk itu, diharapkan pihak puskesmas, dinas kesehatan lebih meningkatkan mutu manajemen kesehatan khususnya untuk kegiatan PJB.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 1992. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dirjen PPM dan PLP: Jakarta. Depkes RI, 2007. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 581/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional dan Pelayanan Kesehatan: Jakarta. Fathi, et al. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan
Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan: Jakarta. Ngalim, Purwanto, 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Remaja Rosda Karya: Bandung. Siswanto, Sastrohadiwiryo, 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administrasi dan Operasional. Bumi Aksara: Jakarta. WHO, 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. EGC: Jakarta.
GAMBARAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI PONDOK PESANTREN DARUL KHAIRAT KOTA PONTIANAK Shella Anggraeni dan Taufik Anwar Jurusan Kesehatan lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Sistem Pengelolaan Sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif observasional yaitu menggambarkan sistem pengelolaan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak. Hasil penelitian didapatkan volume sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat sebanyak 70,1 kg per hari dengan jumlah santri dan santriwati sebanyak 801 orang. Sumber timbulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat berasal dari asrama (83,7%), kelas (4,5%), aula (3,84%), halaman (3,2%), masjid (2%), kantor (1,5%), tempat mandi (1,16%) dan kantin (dibakar). Tempat penampungan sementara sebanyak 30 buah. Wadah yang dipakai tong sampah berbahan plastik dan rotan. Proses pengumpulan sampah dilakukan oleh santri, tidak melakukan pengolahan kembali sampah yang dihasilkan, proses pembuangan akhir ke TPS Sungai Jawi yang dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) dengan gerobak. Kata Kunci: Pengelolaan Sampah, Pesantren Darul Khairat Abstract: The Describe of Waste Management in Pondok Pesantren Darul Khairat in Pontianak City. This type of research used is descriptive observational which describes the system of waste management in Pondok Pesantren Darul Khairat Pontianak. The result showed the volume of waste in Pondok Pesantren Darul Khairat as much as 70.1 kg per day by the number of male and female students as many as 801 people. Sources of waste generation in Pondok Pesantren Darul Khairat derived from the hostel (83.7%), class (4.5%), hall (3.84%), page (3.2%), mosques (2%), office ( 1.5%), showers (1.16%) and cafeteria (burned). The temporary shelter as many as 30 pieces. Containers used plastic dustbin and rattan. Garbage collection process performed by the students, do not do the reprocessing of waste generated, the process of final disposal Sungai Jawi to the polls conducted by the janitor (students) with a cart. Keywords: Waste Management, Pesantren Darul Khairat
Manusia dalam kehidupan sehari-hari umumnya selalu menghasilkan sampah yang berasal dari aktifitas yang dilakukan di berbagai tempat baik di instansi pemerintah, swasta, maupun rumah tangga. Sampah telah lama menjadi masalah lingkungan yang sampai saat ini belum bisa teratasi secara menyeluruh, untuk itu sampah harus diatasi yaitu dengan melakukan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah merupakan suatu metode untuk mengurangi volume sampah yang meliputi proses pengumpulan, pengangkutan, pemprosesan, pembuangan atau penimbunan. Akan tetapi
setiap masing-masing jenis sampah pengelolaannya dilakukan secara berbeda sesuai dengan kriteria sampah itu sendiri (Pusdiknakes, 2010). Di Indonesia volume sampah mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 mencatat rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sampah sekitar 2 kg per orang per hari. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diperkirakan berapa banyak volume sampah yang dihasilkan oleh suatu kota setiap hari dengan mengalikan jumlah 357
358 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.357 - 363
penduduknya dengan 2 kg per orang per hari. Dari jumlah sampah yang dihasilkan yang tertampung di tempat pembuangan akhir (TPA) hanya 50 - 60 persennya, dan sisanya berakhir di lahan-lahan kosong atau dibakar. manusia, selanjutnya mengurangi sampah, membatasi dan mendaur ulang sampah dengan program bank sampah yang sekarang ini sedang dikembangkan, karena selain bisa dijadikan potensi pendapatan juga bisa mengurangi timbunan sampah. (Viva News, 2012). Sampah mempunyai peranan yang sangat besar dalam terjadinya proses penularan penyakit apabila tidak dikelola dengan baik. Untuk itu perlu pengelolaan yang baik dan ramah lingkungan untuk menghindari dampak negatif dari sampah tersebut dan untuk menjadikan suatu keadaan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan aman untuk menunjang segala kegiatan dan aktivitas masyarakat di lingkungan tersebut. Sumber sampah dapat berasal dari manapun baik dari pemukiman warga, tempat-tempat umum, instansi pemerintah, sekolah, maupun pesantren. Kota Pontianak saat ini memiliki 26 pondok pesantren yang telah terdaftar di Kementrian Agama Kota Pontianak, dari pesantren-pesantren tersebut jumlah santri dan santriwati yang paling banyak yaitu dari pondok pesantren Darul Khairat. Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak dihuni santri dan santriwati sebanyak 801 orang dengan jumlah santri 425 dan santriwati 376 orang. Sumber penghasil sampah terbanyak di pondok pesantren Darul Khairat berasal dari kantin, asrama, kelas dan kantor, cara pengelolaan sampah tersebut dengan membuangnya di tempat sampah sementara, sampah yang telah dibuang ke tempat sampah sementara dikumpulkan terlebih dahulu sebelum diangkut dan dibuang oleh santrii menggunakan gerobak ke TPS Sungai Jawi. Sedangkan sampah organik berasal dari aktifitas sarapan pagi di kantin yang pengelolaannya dilakukan dengan cara dibakar. Santri dan santriwati berperan besar dalam faktor penyebab timbulan sampah oleh sebab itu pesantren semestinya selalu melakukan pengolahan sampah setiap harinya untuk menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman (Profil Pesantren Darul Khairat). Pesantren yang setiap harinya selalu melakukan aktifitas dari pagi hingga malam dengan jumlah santri dan santriwati yaitu 801
orang akan menghasilkan sampah perorang per harinya sebanyak 2 kg dengan keseluruhan pesantren akan menghasilkan sampah sebanyak 1.458 kg dengan presentase sampah anorganik 75 % sebanyak 1.020 kg dan sampah organik 25 % sebanyak 438 kg, oleh karena itu pengelolaan sampah yang baik dan benar harus diterapkan dengan baik. Sampah memiliki beberapa jenis, yaitu sampah kering (anorganik) dan sampah basah (organik). Sampah kering (anorganik) adalah sampah yang pada umumnya bersifat sulit mengurai/membusuk contohnya seperti plastik, kaca, dan bahan sterofom. Sebaliknya dengan sampah basah (organik) merupakan sampah yang mudah mengurai membusuk yang terdegradasi oleh bakteri pengurai, contohnya seperti daun-daun, sisa sayuran dan makanan. Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan di Pondok Pesantren Darul Khairat Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Kelurahan Sui Jawi Kecamatan Pontianak Kota tidak ada tempat sampah untuk pemilahan sampah organik dan anorganik di setiap sisi pesantren, tempat sampah yang berada di asrama, kelas dan kantor berbahan platik, sedangkan tempat sampah yang berada di kantin berbahan dasar anyaman rotan akan tetapi di asrama juga ada terdapat tempat sampah yang berbahan anyaman rotan. Tempat sampah tersebut tidak kedap air, sampah tidak dilakukan pengolahan kembali, sampah juga masih terlihat berserakan di lingkungan pesantren dan sebagian sampah yang dihasilkan juga dibakar di lapangan terbuka. Selain itu, tidak ada petugas khusus untuk pengangkutan sampah dan sampah yang diangkut kemudian dibuang menggunakan alat angkut berupa gerobak yang masih kurang maksimal karena sampah masih bisa berceceran. Berdasarkan uraian diatas, semakin banyak jumlah santri dan santriwati maka timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin banyak pula, selain itu sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi tempat berkembangbiaknya vektor seperti nyamuk, lalat, tikus dan kecoa yang dapat menimbulkan penyakit seperti DBD, malaria, diare, dan penyakit kulit. Sampah yang masih berserakan juga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan dapat menggangu kenyamanan dan keindahan pesantren, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimanakah gambaran pengelolaan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak.
Shella, dkk, Gambaran Sistem Pengelolaan Sampah... 359
METODE PENELITIAN
Pengumpulan sampah
Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain deskriptif, yaitu untuk menggambarkan sistem pengelolaan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak.
Pengumpulan sampah di Pondok Pesantren yaitu dengan menyediakan sarana gerobak sampah dan dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) dengan mendatangi tiap tiap tempat penampungan sampah/sumber sampah yang terbagi pada 2 lokasi, yaitu asrama santri dan asrama santriwati. Petugas kebersihan (santri) mengumpulkan sampah yang berserakan dengan menggunakan. Pengumpulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat dilakukan pada kurun waktu 2 x 24 jam, yaitu pada pagi dan siang hari.
HASIL Sumber Timbulan Sampah Sumber sampah di Pondok Pesantren berasal dari kantor, asrama, kelas dan kantin. Sampah juga bersumber dari aula, tempat mandi, halaman dan masjid. Sumber penghasil sampah terbanyak yaitu dari asrama dan kantin. Tabel 1. Distribusi Sumber Timbulan Sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat 2016 No
1 2 3 4 5 6 7 8
Sumber Timbulan Sampah Asrama Santri Asrama Santriwati Kelas Aula Halaman Masjid Kantor Tempat Mandi Jumlah
Jumlah Tempat Sampah 13
Total Berat Sampah (kg)
10
23.2
2 1 1 1 1 1
3,2 2,9 2,1 1,4 1 0,8
30
70,1
35,5
Tempat penyimpanan sampah sementara Tempat penyimpanan sampah sementara di Pondok Pesantren sebanyak 30 buah adapun jenis tempat penyimpanan sampah sementara yaitu Keranjang Plastik, Keranjang Rotan, Drum plastik, Bak Plastik pada waktu penyimpanan sampah, yaitu 1 x 24 jam sebelum diangkut ke Tempat pembuangan akhir. Tabel 2. Distribusi Tempat Penyimpanan Sampah Sementara di Pondok Pesantren Darul Khairat 2016 No 1 2 3 4
Tempat Penyimpanan Sampah Sementara Keranjang Plastik Keranjang Rotan Drum plastik Bak Plastik Jumlah
Pengangkutan sampah Pondok Pesantren Darul Khairat pengangkutan dilakukan oleh petugas kebersihan sebanyak 5 orang dengan menggunakan gerobak sampah sebanyak 2 buah dengan kapasitas dan muatan sebanyak 2 kubik per gerobak. Sampah yang dihasilkan diangkut segera untuk mendukung sistem pengelolaan sampah yang baik pada pesantren, pengangkutan sampah dilakukan sehari sekali Pengolahan dan pemanfaatan kembali Pengolahan kembali di Pondok Pesantren sampah yang dihasilkan baik itu sampah organik dan anorganik langsung dikumpulkan kemudian dibuang ke tempat penampungan sementara (TPS). Hal tersebut dikarenakan pihak pesantren belum memiliki kesadaran dan pengetahuan terhadap bagaimana cara mengolah sampah baik itu sampah organik dan organik. Pembuangan akhir Pembuangan akhir di Pondok Pesantren yaitu sampah yang telah dikumpulkan kemudian diangkut dan di buang oleh petugas kebersihan (santri) sebanyak 5 orang dengan cara mendorong gerobak ke TPS Sungai Jawi yang berjarak ± 500 meter dari Pondok Pesantren.
Jumlah
PEMBAHASAN 20 5 3 2 30
Hasil yang diproleh saat melakukan penelitian dilapangan maka penulis mencoba membahas hasil-hasil yang didapat yaitu pada
360 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.357 - 363
tahap-tahap pengelolaan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak, adalah sebagai berikut: Sumber Timbulan Sampah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai sumber timbulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat didapati hasil bahwa sumber sampah tidak hanya berasal dari kantor, asrama, kelas dan kantin. Sampah juga bersumber dari aula, tempat mandi, halaman dan masjid. Sumber penghasil sampah terbanyak yaitu dari asrama dan kantin sedangkan kantor, kelas, aula, tempat mandi, dan halaman volume sampahnya lebih sedikit. Pondok Pesantren Darul Khairat kebanyakan sampah yang dihasilkan yaitu sampah anorganik. Hasil wawancara dengan petugas kebersihan (santri) di Pondok Pesantren Darul Khairat sumber timbulan sampah berasal dari kelas, kantor, dan asrama saja, tetapi timbulan sampah juga berasal dari masjid, aula, halaman depan pesantren, dan tempat mandi. Timbulan sampah yang ada di kantin masih belum dikelola dengan baik karena masih ada sampah yang dibakar dan berserakan di selokan dekat kantin. Sampah yang dibakar merupakan cara yang kurang efektif, oleh karena itu sebaiknya pihak pesantren memberikan tempat penampungan sampah yang lebih besar untuk menampung sampah sehingga tidak ada lagi sampah yang berserakan dan dibakar. Total volume sampah perhari di Pondok Pesantren Darul Khairat didapatkan sebesar 70,1 kg dengan persentase sampah anorganik sebanyak 52,6 kg (75%) dan sampah organik 17,5 kg (25%). Sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah anorganik seperti plastik, kaca dan kertas. Hasil perhitungan perkiraan volume sampah tersebut didapatkan dari hasil dengan menimbang setiap tempat sampah yang ada dan mengukur volume tempat sampah yang ada di Pesantren Darul Khairat. Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup (2012). Tempat Penyimpanan Sampah Sementara Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai penyimpanan sementara sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat didapatkan hasil bahwa di Pondok Pesantren Darul Khairat secara keseluruhan memiliki
tempat penampungan sampah sementara sebanyak 30 buah. Tempat penyimpanan sampah sementara yang ada di pesantren ternyata masih kurang memadai karena kapasitas sampah yang dihasilkan perhari sebanyak 70,1 kg sehingga masih ada sampah yang tidak tertampung dan berserakan di sekitar pesantren. Tempat penyimpanan sampah sementara di Pondok Pesantren Darul Khairat terdapat 4 jenis yaitu drum, rotan, keranjang dan plastik. tempat penyimpanan sampah yang terdapat di Pondok Pesantren Darul Khairat masih belum memenuhi syarat, tempat penyimpanan sampah berbentuk drum tidak tertutup dan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya vektor, tempat penyimpanan sampah berbahan rotan tidak tertutup, tidak kedap air, tidak tahan terhadap benda tajam serta dapat menjadi tempat berkembangbiaknya vektor, tempat penampungan sampah yang berbentuk keranjang tidak tertutup, tidak kedap air, tidak tahan terhadap benda tajam serta dapat menjadi tempat berkembangbiaknya vektor, sedangkan tempat penyimpanan sampah yang berbentuk kubus tidak tertutup dan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya vektor, serta seluruh tempat penyimpanan sampah yang ada di pesantren tidak dibersihkan. Seharusnya pondok pesantren menyediakan tempat penyimpanan sampah sebanyak 60 buah dan tempat penyimpanan sampah tersebut harus memenuhi persyaratan seperti: tertutup, kedap air, mudah diangkut, tahan terhadap benda tajam, bahan tidak mudah berkarat, mudah dibersihkan, tidak menjadi tempat berkembangbiaknya vektor dan tidak menimbulkan kebisingan. Proses awal dalam penanganan sampah terkait langsung dengan sumber sampah adalah penampungan (penyimpanan sementara). Penampungan sampah adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuang ke TPA. Tujuannya adalah menghindari agar sampah tidak berserakan sehingga tidak menggangu lingkungan. Faktor yang paling mempengaruhi efektifitas tingkat pelayanan adalah kapasitas peralatan, pola penampungan, jenis dan sifat bahan dan lokasi penempatan (SNI 19-24542002). Pengumpulan Sampah
Shella, dkk, Gambaran Sistem Pengelolaan Sampah... 361
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pondok Pesantren Darul Khairat mengenai pengumpulan sampah didapatkan hasil, ada dilakukan pengumpulan sampah dengan menyediakan sarana gerobak sampah. Pengumpulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) dengan mendatangi tiap tiap tempat penampungan sampah/sumber sampah yang terbagi pada 2 lokasi yaitu asrama santri dan asrama santriwati. Petugas kebersihan (santri) mengumpulkan sampah yang berserakan dengan menggunakan sekop namun petugas kebersihan (santri) dalam proses pengumpulan sampah tidak menggunakan alat pelindung diri (APD). Pengumpulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat dilakukan pada kurun waktu 2 x 24 jam, yaitu pada pagi dan siang hari. Petugas kebersihan (santri) berkontak langsung dengan sampah sebaiknya menggunakan APD seperti sarung tangan dan sepatu boot untuk mencegah kontak langsung dengan sampah, sampah yang terkena kontak dengan kulit lama kelamaan dapat menimbulkan penyakit kulit. Untuk itu pesantren sebaiknya memperkerjakan petugas kebersihan khusus yang lebih kompeten dibidang tersebut, apabila pesantren masih menggunakan santri sebagai petugas kebersihan sebaiknya pesantren menyediakan APD dan memberikan sosialisasi tentang pengelolaan sampah yang baik. Pengumpulan sampah yang dimaksudkan disini tidak hanya menyangkut pengumpulan sampah saja, tetapi termasuk pengangkutannya setelah sampah dikumpulkan, selanjutnya menuju lokasi dimana sampah yang ada pada kendaraan pengumpul dikosongkan baik ke transfer station, station processing atau ke lokasi pembuangan akhir. Dalam teknik operasionalnya, perlu mendapatkan perhatian mengenai waktu dan frekuensi pengumpulan dan tata pengaturan sistem pengumpulan (Susan, 2013).
untuk mendukung sistem pengelolaan sampah yang baik pada pesantren. Pengangkutan sampah dilakukan sehari sekali hasilnya sampah tidak akan menumpuk dan tidak membuat lingkungan pesantren menjadi kotor, berbau dan tidak mengganggu kesehatan. Petugas kebersihan (santri) pengangkutan sampah dilakukan dengan menggunakan gerobak sebagai alat pengangkut sampah dengan cara didorong, gerobak tersebut berbahan dari kayu yang tidak tertutup rapat karena masih terlihat celah yang dapat membuat sampah berserakan pada saat proses pengangkutan sampah ke Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS). Untuk itu sebaiknya pesantren memperbaiki gerobak tersebut agar sampah tidak ada lagi yang berserakan di sekitar pesantren dan seharusnya pihak pesantren menyediakan fasilitas alat pengangkutan sampah yang memenuhi syarat seperti: (1) Alat pengangkut harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring. (2) Tinggi bak maksimum 1,6 m. (3) Ada alat ungkit. (4) Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui. (5) Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengamanan air sampah/lindi. Pengangkutan sampah merupakan kegiatan pengumpulan sampah dari tempat penampungan sementara atau dari tempat sumber sampah ke tempat pembuangan akhir. Berhasil tidaknya penanganan sampah juga tergantung pada sistem pengangkutan yang diterapkan. Pengangkutan sampah yang ideal adalah dengan truck container tertentu yang dilengkapi alat pengepres, sehingga sampah dapat dipadatkan 2-4 kali lipat. Tujuan pengangkutan sampah agar menjauhkan sampah dari perkotaan ke tempat pembuangan akhir yang biasanya jauh dari kawasan perkotaan dan permukiman (Widyatmoko dan Moerdjoko, 2002).
Pengangkutan Sampah
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengolahan kembali sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat didapati hasil, tidak ada dilakukan pengolahan kembali terhadap sampah yang dihasilkan baik itu sampah organik dan anorganik langsung dikumpulkan kemudian dibuang ke tempat penampungan sementara (TPS). Hal tersebut dikarenakan pihak pesantren belum memiliki kesadaran dan pengetahuan terhadap bagaimana
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengangkutan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat didapatkan hasil, ada dilakukan proses pengangkutan sampah. Pengangkutan dilakukan oleh petugas kebersihan sebanyak 5 orang dengan menggunakan gerobak sampah sebanyak 2 buah. Sampah yang dihasilkan diangkut segera
Pengolahan dan Pemanfaatan Kembali
362 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.357 - 363
cara mengolah sampah baik itu sampah organik dan organik. Oleh karena itu pesantren sebagai institusi yang berporos pada ilmu pendidikan sebaiknya bisa memberikan wawasan dan pembelajaran tentang pengolahan sampah dan menerapkanya di pesantren sehingga santri dan santriwati mendapatkan ilmu tambahan yang berguna dan bermanfaat. Untuk sampah organik sebaiknya pihak pesantren melakukan swadaya untuk melakukan pengomposan yang dapat berguna untuk mengurangi kuantitas sampah serta juga dapat memanfaatkan kompos tersebut sebagai pupuk alami bahkan dapat dijadikan sumber pendapatan. Sedangkan sampah anorganik dapat dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan yang dapat digunakan sehingga bermanfaat dan bernilai ekonomis. Pengolahan sampah merupakan suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau merubah bentuk manjadi bermanfaat antara lain pembakaran, daur ulang, penghancuran, dan pengeringan. Pengolahan sampah dan pemanfaatan kembali dapat dimaksudkan penangganan terhadap sampah dengan mengunakan semua teknik, perlengkapan dan prasarana, untuk meningkatkan secara efisien dari semua unsur yang lain untuk memanfaatkan kembali semua benda yang masih bermanfaat maupun mengubah produk yang berasal dari sampah. Salah satu caranya dengan mengubah sampah menjadi kompos. Sampah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih bermanfaat dan tidak mencemari lingkungan. Tidak salah memang karena kompos dapat dimanfaatkan untuk pupuk (Azalludin, 2009). Pembuangan Akhir Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pembuangan akhir sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat didapatkan hasil, ada dilakukan proses pembuangan akhir. Sampah yang telah dikumpulkan kemudian diangkut dan dibuang ke TPS Sungai Jawi yang berjarak ± 500 meter dari Pondok Pesantren Darul Khairat. Pembuangan akhir dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) sebanyak 5 orang menggunakan gerobak. Pembuangan akhir merupakan tempat yang disediakan untuk membuang sampah dari semua hasil pengangkutan sampah untuk diolah lebih lanjut. Prinsip pembuang akhir sampah adalah memusnahkan sampah domestik di suatu lokasi pembuangan akhir. sPembuangan akhir
sebagai elemen terakhir yang merupakan tumpahan dari semua sampah, baik sampah yang berasal dari tempat pemukiman, tempattempat umum dan komersial, institusi dan lainlain yang dikumpulkan dan diangkut secara langsung ke tempat pembuangan akhir.Jadi tempat pembuangan akhir merupakan tempat pengolahan sampah (Susan, 2013). Menurut (Soemirat, 2000) ada beberapa metode pengangkutan sampah yaitu, dalam skala kecil diangkut secara manual dengan tenaga manusia, sedangkan untuk jarak pendek tetapi bervolume besar, pengangkutan dilakukan dengan mesin - mesin mekanis. Untuk wilayah yang mempunyai saluran air khusus sampah maka untuk sampah yang mengapung diangkut menggunakan tenaga aliran air, untuk sampah ringan dan kecil diangkut menggunakan tenaga aliran udara (pneumatic), untuk sampah dengan volume lebih besar, diangkut dengan otomotif/ kendaraan bermotor/ truk, sedangkan pengangkutan menggunakan kereta api digunakan untuk jarak yang jauh, dan pengangkutan dengan kapal laut, untuk negara negara lain yang membutuhkan sampah. SIMPULAN Dari hasil survei dan penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Darul Khairat Kota Pontianak 2016, dapat disimpulkan sebagai berikut: Sumber timbulan sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat berasal dari asrama (83,7%), kelas (4,5%), aula (3,84%), halaman (3,2%), masjid (2%), kantor (1,5%), tempat mandi (1,16%) dan kantin (dibakar). Tempat Penyimpanan Sampah Sementara di Pondok Pesantren Darul Khairat hanya ada 30 tempat sampah yang seharusnya pesantren tersebut harus menyediakan tempat penyimpanan sampah sementara sebanyak 60, pada saat ini pondok pesantren hanya memiliki tempat penyimpanan sampah dengan presentase 50% dari seharusnya. Tempat penyimpanan sampah yang di pakai antara lain antara lain: keranjang plastik, keranjang rotan, drum plastik dan bak plastik yang belum memenuhi syarat. Pengumpulan Sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) yang mendatangi tiap-tiap tempat penyimpanan sampah sementara/sumber sampah. Sampah di kumpulkan selama 1 x 24
Shella, dkk, Gambaran Sistem Pengelolaan Sampah... 363
jam pada pagi dan siang hari dan di buang/diangkut ke TPS pada malam hari. Pengangkutan Sampah di Pondok Pesantren Darul Khairat dilakukan oleh petugas kebersihan (santri) sebanyak 5 orang menggunakan gerobak sebagai alat angkut sampah dengan cara didorong. Pondok Pesantren Darul Khairat tidak melakukan pengolahan kembali sampah yang dihasilkan baik sampah organik dan anorganik. Proses Pembuangan Akhir di Pondok Pesantren Darul Khairat dibuang ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) Sungai Jawi yang berjarak ± 500 Meter dari Pondok Pesantren Darul Khairat.
Pesantren harus memiliki tempat penampungan sampah sementara yang memenuhi syarat seperti memiliki penutup, dan kedap air, sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiaknya vektor dan tidak banyak sampah yang berserakan. Pesantren harus selalu menghimbau kepada santri dan santriwati untuk selalu membersihkan tempat sampah dan pesantren dapat menyediakan lebih banyak tempat sampah untuk proses pemilahan antara sampah organik dan anorganik.Kepada petugas kebersihan (santri) untuk menggunakan APD pada saat proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir sampah.
DAFTAR PUSTAKA Azalludin, 2009.Pengelolaan sampah diakses pada: http://azaluddinepid.bl ogspot.com/ 2009/12/pengelolaan-sampah.html, Pontianak 28 juni 2016 Pondok Pesantren Darul Khairat. 2016. Profil Pondok Pesantren. Pontianak. SNI, 2002. SNI 19-2454- tentang Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum.
Susan, 2013. Sistem Pengolahan Sampah diakses pada : http://susanaasgun. blogspot.com/2013/11/sistempengelolaan-sampah.html , Pontianak 28 juni 2016 Viva News, 2012. Ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup tentang produksi sampah penduduk Indonesia perorang perhari. Jakarta. Widyatmoko, 2002. Menghindari, Mengolah Dan Menyingkirkan Sampah, Abadi Tandur. Jakarta.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PRODUSEN DENGAN PENGGUNAAN FORMALIN PADA BAKSO SAPI KILOAN YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DAN MODERN KOTA PONTIANAK Rama Aristiyo,, Nurul Amaliyah dan Salbiah Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen dengan Penggunaan Formalin pada Bakso Sapi Kiloan yang Dijual di Pasar Tradisional dan Modern Kota Pontianak. Jumlah populasi 28, sehingga peneliti menggunakan teknik total sampling. Peneliti juga memeriksa kandungan formalin pada bakso menggunakan test kit formalin yang dilakukan di laboratorium. Peneliti mengukur tingkat pengetahuan produsen melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan 11 item pertanyaan seputar bahan tambahan makanan, khususnya formalin. Pengujian hubungan tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso dilakukan menggunakan uji Chi Square (α=0,05). Hasil pemeriksaan 28 sampel bakso menyatakan 11 sampel (39,3%) positif mengandung formalin. Hasil pengujian statistik menunjukkan P value 0,576 (<0,05) maka Ho diterima atau dinyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen dengan kandungan formalin pada bakso. Namun produsen dengan tingkat pengetahuan rendah beresiko 1,556 kali lebih besar untuk menggunakan formalin. Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan, Formalin, Bakso Sapi Abstract: The Correlation Between Knowledge Producers with Use of Formaldehyde in The Meatballs in The Traditional Markets and Modern Pontianak City. Number of population is 28, so the researchers used a total sampling technique. Researchers also examined the formaldehyde content in meatballs using formalin test kit performed in the laboratory. Researchers measured the level of knowledge producers through interviews using a questionnaire with 11 items about the question of food additives, especially formaldehyde. Testing the correlation between knowledge producers with use of formaldehyde in meatballs made using Chi Square test (α 0.05). The results of examination of 28 samples of meatballs claim 11 samples (39.3%) tested positive for formaldehyde. Statistical tests showed P value of 0.576 (<0.05) then Ho is accepted or otherwise there is no relationship between the level of knowledge on the formaldehyde content producers with meatballs. However, producers with low knowledge levels 1,556 times greater risk for using formalin. Keywords: Level of Knowledge, Formaldehyde, Meatballs
Penambahan zat pengawet dalam proses pengolahan pangan di Indonesia sering kali tidak sesuai dengan peraturan yang ada, baik dari segi dosis penggunaan zat pengawet hingga bahan yang digunakan untuk pengawetan makanan tersebut. Kasus penyalahgunaan bahan pengawet yang paling sering terjadi adalah penggunaan formalin yang banyak digunakan sebagai bahan pengawet mayat ini
juga banyak digunakan sebagai bahan pengawet pangan, seperti bakso, mie basah, tahu, dan olahan pangan lainnya. Formalin sebagai pengawet dalam makanan dilarang penggunaannya, hal ini sesuai dengan Permenkes nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Penggunaan formalin dalam waktu yang lama dan jumlah yang banyak dapat menyebabkan kanker. Namun 364
Rama, dkk, Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen... 365
pelanggaran peraturan tersebut masih sering dilakukan oleh produsen makanan. Hal ini terjadi selain karena kurangnya pengetahuan para produsen juga karena harga pengawet yang digunakan untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pengawet yang khusus digunakan untuk makanan maupun minuman (Medikasari, 2002). Menurut Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Pontianak, tercatat 58 Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) di Pontianak yang positif mengandung formalin pada tahun 2011. Kemudian pada tahun 2012 tercatat 38 PIRT yang positif mengandung formalin. Serta 11 PIRT yang positif mengandung formalin pada tahun 2013. Permanasari menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab ditambahkannya formalin dalam proses pengolahan pangan adalah faktor pengetahuan tentang formalin. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin dalam produk pangan yang ditelitinya pada tahun 2010 (Permanasari, 2010). Berdasarkan fakta-fakta tersebut peneliti tertarik untuk memeriksa kualitas dari pangan olahan khususnya bakso sapi kiloan yang dijual pada pasar-pasar tradisional dan modern di Kota Pontianak. Hal ini bertujuan untuk menganalisa bakso sapi kiloan yang diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional dan modern di Kota Pontianak masih menggunakan formalin sebagai bahan pengawet atau telah bebas dari penambahan formalin. Sebagai uji pendahuluan, pada bulan Desember 2013 dilakukan pemeriksaan awal terhadap 7 sampel bakso sapi kiloan yang jual pada pasar tradisional dan modern yang diambil secara acak. Selanjutnya dilakukan uji kualitas pada 7 sampel bakso sapi kiloan dan didapat hasil 1 sampel positif mengandung formalin. Alasan inilah yang menjadi latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat survei analitik yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor
resiko dan faktor efek. Dalam penelitian (survey) analitik, dari analisa korelasi dapat diketahui seberapa jauh kontribusi faktor resiko tertentu terhadap adanya suatu kejadian tertentu (efek). Desain penelitian yang digunakan adalah survey cross sectional (survei potong silang) yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek. Dalam desain penelitian ini variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan). Artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010). Pemeriksaan kandungan formalin secara kualitatif di laboratorium: Alat-alat: (a) Tabung reaksi, (b) Rak tabung reaksi, (c) Beaker glass 50 ml, (d) Pipet ukur 25 ml, (e) Kompor listrik, (f) Timbangan analitik (g) Lumpang dan alu (i) Ball filler. Bahan: (a) Sampel bakso daging sapi kiloan, (b) Aquades, (c) Reagen formalin (reagen A dan reagen B) Cara kerja (sesuai dengan brosur yang disertakan dalam tes kit formalin): (a) Timbang 10 gr sampel bakso daging dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian lumatkan sampel menggunakan lumpang dan alu. (b) Panaskan aquades di dalam beaker glass dengan menggunakan kompor listrik. Tambahkan 20 ml aquades tersebut ke dalam sampel yang telah dilumatkan tadi, kemudian dibiarkan hingga dingin. (c) Setelah dingin, pindahkan 5 ml cairan sampel ke dalam tabung reaksi. (d) Kemudian tambahkan reagen formalin, 4 tetes reagen A dan 4 tetes reagen B. Kocok tabung reaksi, kemudian tunggu selama 5-10 menit. (e) Perhatikan cairan sampel tersebut, jika warna cairan berubah menjadi lembayu (keungu-unguan) maka sampel yang diperiksa positif mengandung formalin. Adapun pengukuran variabel tingkat pengetahuan produsen bakso sapi kiloan terhadap bahan tambahan pangan, khususnya formalin diukur melalui pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh pedagang bakso tentang bahan tambahan pangan, khususnya formalin yang diukur melalui 11 pertanyaan yang diajukan kepada responden. Skor tertinggi tiap pertanyaan
366 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.364 - 368
adalah 2 dan skor terendah adalah 0, maka didapat total skor tertinggi adalah 22 dan terendah adalah 0. Jawaban mendapatkan skor 2 jika jawaban yang diberikan tepat, jika jawaban yang diberikan tidak tepat maka mendapatkan skor 1, dan bila jawaban yang diberikan adalah tidak tahu atau tidak pernah maka skor yang diperoleh adalah 0. Penilaian atas jawaban yang diberikan responden adalah sebagai berikut: (1) Nilai baik apabila responden mendapat persentase ≥ 𝑥 persentase total. (2) Nilai kurang apabila responden mendapat persentase < 𝑥 persentase total. HASIL Jenis Kelamin Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa responden paling banyak berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 22 orang (78,6%). Tingkat Pendidikan Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa responden paling banyak memiliki pendidikan tingkat dasar, yaitu sebanyak 13 responden (46,4%). Kandungan Formalin Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan kandungan formalin pada sampel bakso yang diambil paling banyak menunjukkan hasil negatif mengandung formalin, yaitu sebanyak 17 sampel (60,7%). Tingkat Pengetahuan Produsen Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa seluruh produsen mengetahui tentang BTP, macam-macam BTP, macam-macam BTP yang aman, macam-macam BTP yang tidak aman, fungsi formalin, ciri-ciri bakso yang mengandung formalin, pengawet yang seharusnya digunakan pada bakso, efek formalin bagi manusia dan dampak formalin bagi kesehatan bila dikonsumsi secara terus menerus dalam waktu yang lama. Setelah melakukan penilaian terhadap masing-masing item pertanyaan selanjutnya adalah melakukan perhitungan nilai total skor masing-masing responden dan mencari persentase dari total skor yang diperoleh.
Setelah persentase masing-masing responden diketahui kemudian dicari 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. Setelah dilakukan perhitungan diketahui 𝑥 persentase tingkat pengetahuan sebesar 95,94%. Kemudian dilakukan pengkategorian tingkat pengetahuan dengan ketentuan jika hasil persentase responden ≥ 𝑥 maka responden termasuk berpengetahuan baik, namun jika persentase responden < 𝑥 maka responden termasuk berpengetahuan kurang. Tingkat Pengetahuan Produsen Distribusi Frekusnsi menunjukan Responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebanyak 12 produsen (42,9%) dan responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak 16 responden (57,1%). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kandungan Formalin pada Bakso Berdasarkan tabel silang hasil uji Chi Square diketahui bahwa dari produsen yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, 7 produsen baksonya positif mengandung formalin dan 9 produsen baksonya negatif mengandung formalin dengan total 16 produsen. Hasil pengujian statistik menyatakan nilai Chi Square sebesar 0,312 dengan P value sebesar 0,576 (> 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin pada bakso (Ho diterima). Walaupun tidak memiliki hubungan, nilai Odds Ratio yang besarnya 1,556 (> 1), merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko, ini berarti produsen dengan tingkat pengetahuan yang rendah memiliki resiko 1,556 lebih tinggi untuk menggunakan formalin. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara kuesioner diketahui bahwa jenis kelamin responden paling banyak adalah perempuan, yaitu sebanyak 22 orang responden dengan persentase 78,6%. Sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 6 orang responden dengan persentase 21,4% dengan jumlah total responden sebanyak 28 orang responden. Berdasarkan hasil wawancara kuesioner diketahui bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki 28 orang responden sangat beragam. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
Rama, dkk, Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen... 367
responden paling banyak adalah pendidikan dasar, yaitu 13 orang responden dengan persentase 46,4%. Responden yang memiliki tingkat pendidikan menengah lanjutan sebanyak 11 orang responden dengan persentase 39,3%%. Responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi sebanyak 2 orang responden dengan persentase 7,15%. Sedangkan responden yang tidak sekolah sebanyak 2 orang responden dengan persentase 7,15%. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan yang cukup baik, yaitu pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan menengah lanjutan (SMA). Bahkan ada beberapa responden yang memiliki pendidikan dengan tingkat Perguruan Tinggi. Namun ada juga responden yang memiliki pendidikan yang bisa dibilang belum cukup yaitu tidak sekolah. Namun untuk melakukan komunikasi dapat dilakukan dengan baik oleh seluruh responden, hal ini terlihat saat dilakukan wawancara berupa tanya jawab dalam pengisian kuesioner. Proses tanya jawab dilakukan mengingat kondisi responden yang merupakan penjual bakso harus melayani konsumen yang membeli bakso yang mereka jual. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilaksanakan di laboratorium tentang kandungan formalin pada sampel bakso yang diteliti diketahui bahwa hasil pemeriksaan yang paling banyak adalah sampel bakso negatif mengandung formalin, yaitu sebanyak 17 sampel dengan persentase 60,7%. Sedangkan sampel bakso yang positif mengandung formalin sebanyak 11 sampel dengan persentase 39,3%. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya reaksi yang timbul yaitu berupa perubahan warna menjadi lembayu pada sampel yang positif setelah diteteskan reagen formalin (reagen A dan reagen B). Sedangkan 17 sampel lainnya tidak mengalami reaksi berupa perubahan warna setelah diteteskan reagen formalin, hal itu menunjukkan bahwa 17 sampel tersebut negatif mengandung formalin. Hasil wawancara kuesioner tentang tingkat pengetahuan produsen tentang bahan tambahan pangan khususnya formalin menunjukkan persentase tingkat pengetahuan responden yang beragam. Hasil persentase tiap responden kemudian dijumlahkan dan dicari rata-rata persentase tingkat pengetahuan responden (𝑥). Setelah 𝑥 diketahui, selanjutnya dilakukan pengelompokkan kategori tingkat pengetahuan responden dengan ketentuan
kategori tingkat pengetahuan baik jika persentase tingkat pengetahuan responden ≥ 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. Kategori tingkat pengetahuan kurang jika persentase tingkat pengetahuan responden < 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. 12 responden (42,9%) memiliki tingkat pengetahuan baik, dan 16 responden (57,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang. Berdasarkan hasil pengujian statistik, diketahui nilai Chi Square sebesar 0,312 dan P value 0,576 (> 0,05) serta nilai OR 1,556. Melihat besar P value, Ho dinyatakan diterima maka tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. Meskipun tidak memiliki hubungan, produsen dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki resiko 1,714 kali lebih tinggi menggunakan formalin daripada produsen yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Faktor tingkat pengetahuan produsen tidak memiliki hubungan dengan penggunaan formalin pada bakso. Hal ini karena walaupun memiliki tingkat pengetahuan yang baik, namun beberapa produsen tersebut masih menggunakan formalin pada bakso yang diproduksinya. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang dimiliki oleh produsen hanya sebatas teori dan belum diterapkan secara maksimal oleh produsen. Penyuluhan yang kurang merata serta tidak adanya pembinaan dan sanksi kepada produsen yang melanggar diduga menjadi penyebab masih dipergunakannya formalin sebagai bahan pengawet bakso tersebut. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penggunaan formalin pada bakso adalah faktor ekonomi serta kandungan formalin pada daging yang digunakan sebagai bahan utama untuk membuat bakso. Peneliti beranggapan bahwa faktor ekonomi memiliki hubungan dengan penggunaan formalin pada bakso karena pekerjaan utama produsen adalah sebagai penjual bakso sapi kiloan. Jadi untuk meminimalisasi jumlah bakso yang rusak atau busuk karena terlalu lama disimpan akibat tidak laku, maka produsen dengan sengaja menambahkan formalin pada saat proses pengolahan bakso tersebut. Hal ini bertujuan agar bakso yang telah dibuat dapat disimpan lebih lama, dengan demikian jumlah bakso yang rusak atau busuk tidak sebanyak jika produsen tidak menggunakan formalin sebagai
368 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.364 - 368
bahan pengawet bakso. Sedangkan faktor lainnya yang mungkin saja memiliki pengaruh pada kandungan formalin pada bakso adalah kandungan formalin yang terdapat pada daging yang digunakan sebagai bahan utama membuat bakso. Bisa saja produsen secara tidak sengaja menggunakan daging yang telah diawetkan menggunakan formalin oleh penjual daging. Faktor lain yang juga dianggap sebagai pendukung penggunaannya formalin pada bakso adalah belum diterapkannya kebijakan yang mengatur tentang penjualan dan pembelian formalin sehingga para produsen dapat memperoleh formalin untuk mengawetkan bakso. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin pada bakso yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. Masyarakat sebaiknya berhati-hati dalam memilih bakso yang akan mereka beli untuk dikonsumsi, jika bakso yang dijual memiliki aroma menyengat yang berbeda dari biasanya sebaiknya konsumen membeli bakso di penjual lain atau membuat sendiri bakso yang akan mereka konsumsi. Para produsen juga harus meningkatkan pengetahuan tentang formalin serta menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam pengolahan baksonya agar tidak menimbulkan masalah kesehatan bagi para konsumen dan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet dapat diganti menggunakan bahan yang aman seperti kitosan. Peran serta dinas terkait juga dibutuhkan dalam meningkatkan pengetahuan produsen serta pengawasan dalam peredaran dan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan. SIMPULAN
Sampel bakso yang positif mengandung formalin sebanyak 11 sampel (39,3%) dan sampel bakso yang negatif mengandung formalin sebanyak 17 sampel (60,7%). Produsen yang memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 16 produsen (42,9%) dan produsen yang memiliki tingkat baik sebanyak 12 responden (57,1%). Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak (Ho diterima) dengan hasil P value 0,576 dan nilai OR 1,556 yang berarti produsen dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki resiko 1,556 lebih tinggi untuk menggunakan formalin. Adapun saran yang dapat diberikan adalah bagi peneliti lain agar dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh pada penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak, misalnya faktor ekonomi, faktor kandungan formalin pada daging yang digunakan sebagai bahan pembuatan bakso, serta faktor kebijakan yang mengatur tentang penjualan dan pembelian formalin Bagi produsen agar lebih meningkatkan pengetahuan serta menerapkan pengetahuan yang dimiliki tentang formalin dalam pengolahan baksonya dan tidak menggunakan formalin sebagai pengawet bakso, sebaiknya produsen menggunakan pengawet yang aman untuk pengawetan bakso seperti kitosan. Bagi masyarakat khususnya konsumen, supaya lebih berhati-hati dalam memilih bakso yang akan dibeli, jika pada bakso tercium bau yang tidak wajar sebaiknya cari penjual bakso lain yang memiliki bau alami bakso.
DAFTAR PUSTAKA Medikasari, 2002. Makalah Falsafah Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Permanasari, M., 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pedagang dengan Praktik Penggunaan Formalin Pada Produk Ikan Basah di Beberapa Pasar Tradisional di Yogyakarta, Thesis Universitas Diponegoro.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT LAIK SEHAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURNAMA KECAMATAN PONTIANAK SELATAN Wahyuni, Nurul Amaliyah dan Yulia Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepemilikan Sertifikat Laik Sehat pada Rumah Makan di Wilayah Kerjapuskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan. Penelitian bersifat observasional dengan tipe penelitian cross sectional dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas (pendidikan, pengetahuan, sikap, dan peran petugas kesehatan) dan variabel terikat (kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah kerja Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan 2016). Jumlah sampel yang digunakan adalah 52 sampel. Hasil penelitian diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah kerja Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan 2016 pedidikan, pengetahuan, sikap. Adapun nilai p value yang berhubungan dengan kepemilikan laik sehat adalah pendidikan (p value = 0,022),pengetahuan (p value = 0,009), sikap (p value = 0,042), dan peran petugas (p value = 0,086). Kata Kunci: Rumah makan, Sertifikat Laik sehat Abstract.:The Factors Associated with Acceptance Certificate of Ownership Healthy Eating Houses in The Area Kerjapuskesmas Purnama Southern District of Pontianak. The study was observational type cross-sectional study with a test of hypothesis to determine the relationship between two variables, namely the independent variable (education, knowledge, attitudes, and the role of health workers) and the dependent variable (ownership certificate of acceptance healthy in Puskesmas Purnama District of Pontianak South 2016). The samples used were 52 samples. The survey results revealed that the factors associated with the ownership of a healthy acceptance certificate in Puskesmas Purnama District of South Pontianak 2016 pedidikan, knowledge, attitude. The p value associated with the ownership of a healthy acceptance is education (p value = 0.022), knowledge (p value = 0.009), attitude (p value = 0.042), and the role of the officer (p value = 0.086). Keywords: House Meal, Healthy Eligible Certificate
Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar pada manusia, sehingga makanan memerlukan syarat bergizi, terbuat dari bahan yang bermutu juga aman untuk dikonsumsi. Persyaratan keamanan makanan menjadi salah satu kriteria yang harus dipenuhi karena akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat(Dinkes, 2013). Menurut Perda Pontianak No.4 tahun 2008 tentang sertifikasi laik sehat Dalam upaya
pembinaan dan pengawasan higiene sanitasi tempat pengelolaan makanan dan minuman, diperlukan penyelenggaraan sertifikasi laik sehat guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebagai bagian pelayanan Pemerintah Daerah. Tempat-tempat pengelolaan makanan dan minuman berhak untuk menyelenggarakan usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
369
370 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.369 - 374
undangan serta mendapatkan pembinaan dari pemerintah daerah. Situasi seperti itu kemungkinan terjadi akibat kurangnya pengawasan dari pihak pihak terkait seperti Instansi Kesehatan setempat dan masyarakat terhadap persyaratan kesehatan pada tempat pengolahan makanan (TPM). Pengawasan yang teliti secara periodik dengan sangsi-sangsi hukum adalah cara yang baik agar para pengelola tempat pengolahan makanan dapat mematuhi peraturan-peraturan kesehatan (Depkes, 1993). Salah satu upaya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas kesehatan Kota Pontianak berkaitan dengan upaya pengamanan makanan khusunya yang dikelola di TPM adalah dengan mengeluarkan sertifikat laik sehat untuk tempat pengolahan makanan. Berdasarkan data yang diperoleh Dinas Kesehatan kota Pontianak pada Tahun 2013 Pengelolaan Makanan (TUPM) yang diperiksa sebesar 1.606 (TUPM) dari 1.606 TUPM yang diperiksa sebanyak 1.317 memenuhi syarat kesehatan (82,00%)sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan 289 (18%). Pada tahun 2014 Pengelolaan Makanan terdapat 1.802 (TUPM) yang diperiksa sebanyak 882 (48,9%) TUPM yang memenuhi syarat kesehatan dan 1.802 TUPM yang diperiksa sebanyak 920 tidak memenuhi syarat kesehatan (51,05%)(Dinkes Kota Pontianak, 2014). Kota Ponianak tahun 2014 proporsi cakupan yang tidak memilikikriteria laik sehat pada rumah makan tiap kecamatan di Kota Pontianak adalah Kecamatan Pontianak Kota sebesar 16,61%, Kecamatan Pontianak Barat rumah makan yang tidak memiliki laik sehat dengan kriteria sebesar 35,17%, Kecamatan Pontianak Selatan rumah makan yang tidak memiliki laik sehat dengan kriteria sebesar 52,95%, Kecamatan Pontianak Tenggara rumah makan yang tidak memiliki laik sehat dengan kriteria sebesar 14,62%, Kecamatan Pontianak Timurrumah makan yang tidak memiliki laik sehat dengan kriteria sebesar 18.053, dan Kecamatan Pontianak Utara rumah makan yang tidak memiliki laik sehat dengan kriteria sebesar 25,61% (Dinkes Kota Pontianak, 2014). Kecamatan Pontianak Selatan terdiri dari 2 wilayah kerja puskesmas yaitu Puskesmas Gang Sehat dan Puskesmas Purnama.Berdasarkan cakupan data yang tidak memliki laik sehat pada rumah makan tiap puskesmas yaitu Puskesmas Purnama dengan jumlah 115 TPM yang tidak memiliki laik sehat 95 (82,6%) sedangkan Puskesmas Gang Sehat
dengan jumlah 45 TPM yang tidak memiliki laik sehat 24 (53,3%)(Dinkes Kota Pontianak, 2014). Berdasarkan data dari Puskesmas Purnama persentase pengetahuan rumah makan yang laik sehat terhadap pentingnya memliki sertifikat laik sehat yang dimiliki sebesar 43%, sikap dimiliki 47%, tingkat pendidikan 52% sedangkan peran petugas 65%. Hal ini masih terlihat rendah disebabkan oleh beberapa faktor baik dari individu tersebut maupun dari lingkungannya (Profil Puskesmas Purnama, 2015). Survei awal yang dilakukan pada 5 rumah makan di kelurahan Parit Tokaya semuanya masih belum ada yang memiliki sertifikat laik sehat, hal ini disebabkan karena faktor rendahnya sikap serta pengetahuan persyaratan laik hygiene sanitasi rumah makan tersebut akan pentingnya memiliki sertifikat laik sehat. Responden lebih mengutamakan usaha rumah makannya dibandingkan dengan memiliki sertifikat laik sehat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi maka, orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal (Notoatmodjo, 1997). Berdasarkan keadaan tersebut untuk makanan menjadi sehat dan aman serta memenuhi persyaratan kepemilikan laik sehat pada rumah makan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan kepemilikan sertifikat laik sehat pada rumah makan di Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak 2016”. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari adanya hubungan antara variabel bebas (pendidikan, pengetahuan, sikap dan petugas kesehatan) dengan variabel terikat (kepemilikan sertifikat laik sehat)di Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak (Budiman, 2011).
Wahyuni, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 371
Jumlah sampel yang digunakan adalah 52 sampel. Cara pengambilan sampel di Kecamatan Pontianak Selatan sebanyak 52 Rumah Makan dengan menerapkan sistem proportional random sampling dimana Rumah makan dibagi dalam tiap-tiap Kelurahan dengan proporsi yang sebanding dan mempunyai kesempatan dan kebebasan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Pengambilan Sampel dalam tiap-tiap Kelurahan dilakukan dengan menerapkan sampel acak sederhana (simple random sampling) dimana masing-masing Rumah makan dalam tiap-tiap kelurahan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. HASIL Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pendidikan formal yang pernah ditamatkan responden adalah pendidikan tinggi 48 (92,30%) dan pendidikan dasar 4 (7,70%). Frekuensi pengetahuan responden tentang sertifikat laik sehat 27 (51,9%) kategori kurang dan 24 (48,1%) kategori baik. Frekuensi sikap responden terhadap kepemilikan sertifikat laik sehat terbesar pada kategori baik dengan persentase 25 (48,1%). Frekuensi peran petugas kesehatan dalam memberikan dorongan dan penyuluhan responden mengenai sertifikat laik sehat pada kategori kurang 31 (59,6%) dan kategori baik 21 (40,4%). Frekuensi kepemilikkan sertifikat laik sehat sebagian besar responden memiliki sertifikat laik sehat 31 (59,61%) dan tidak memiliki sertifikat laik sehat 21 (40,39%). Berdasarkan hasil analisis bivariat di dapatkan p value yang berhubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat adalah pendidikan (p value = 0,022), pengetahuan (p value = 0,009), sikap (p value = 0,042), peran petugas ( p value = 0,086). Nilai OR yang paling tinggi adalah variabel pengetahuan. Hal ini berarti responden yang memiliki pengetahuan kurang cendrung 5,818 kali untuk memiliki kriteria laik sehat tidak memenuhi standar kesehatan. PEMBAHASAN Kepemilikkan Laik Sehat Hasil penelitian mengenai kepemilikan laik sehat menunjukkan bahwa responden di wilayah binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan dengan persentase sebesar 31
(59,61%) rumah makan memiliki sertifikat laik, lebih besar dibandingkan dengan rumah makan yang tidak memiliki sertifikat laik sehat dengan persentase sebesar 21 (40,39%). Hal ini disebabkan karena faktor rendahnya sikap serta pengetahuan persyaratan laik hygiene sanitasi rumah makan dan restoran tersebut akan pentingnya memiliki sertifikat laik sehat. Responden lebih mengutamakan usaha rumah makannya dibandingkan dengan memiliki sertifikat laik sehat. Laik Sehat Menurut Perda Pontianak No.4 Tahun 2008 adalah suatu keadaan yang menandakan kondisi sesuai standar kesehatan. Laik sehat higiene dan sanitasi makanan dan minuman merupakan upaya pengaturan dan pengawasan makanan dan minuman mulai dari pemilihan bahan makanan dan/atau minuman, pengolahan, penyajian sampai dengan penyimpanan harus sesuai dengan standar kesehatan. Sertifikasi Laik Sehat adalah upaya Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan tempat pengolahan makanan minuman dan tempat-tempat umum guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat menurut (Kepmenkes RI No. 1098/Menkes/SK/VII/2003). Hubungan antara Pendidikan Kepemilikan Laik Sehat
dengan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat sehat di wilayah binaan puskesmas purnama kecamatan pontianak selatan kota pontianak. Analisis pada tabel 4.6 menunjukkan persentase pendidikan dasar cendrung tidak memiliki sertifikat laik sehat sebesar 17 (81,0%) dengan nilai pvalue = 0,022 (dimana α = 0,05) sehingga (p<0,05) maka (Ha diterima) Ho ditolak artinya ada hubungan. Hal ini menunjukkan pemilik rumah makan yang memiliki pendidikan tinggi akan berpartisipasi lebih besar dalam memiliki sertifikat laik sehat. Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol sehingga dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Munib, 2004). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam merubah perilaku
372 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.369 - 374
seseorang, karena dengan pendidikan yang baik orang dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran khususnya dalam kepemilikan laik sehat sehingga seseorang itu sendiri tau, bagaimana menjaga kesehatan. Mengingat bahwa semakin rendahnya pendidikan masyarakat maka berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk tidak memiliki laik sehat berdampak meningkatnya jumlah (TUPM) Tempat Umum Pengelolaan Makanan pada Rumah Makan dan Restoran di wilayah binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak 2016. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendidikan masyarakat dengan memberikan penyuluhan untuk menambah wawasan kepada masyarakat akan pentingnya memiliki laik sehat. Pendidikan kesehatan dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain dengan media massa maupun elektronik, pendidikan non formal maupun formal. Hubungan antara Pengetahuan Kepemilikan Laik Sehat
dengan
Hasil uji statistikterlihat faktor pengetahuan memiliki hubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah Binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Analisis pada tabel 4.7 menunjukkan persentase pengetahuan kurang cendrung tidak memiliki sertifikat laik sehat sebesar 11 (35,5%) dengan nilai pvalue = 0,009 (dimana α = 0,05) sehingga (p<0,05) maka (Ha diterima) Ho ditolak artinya ada hubungan. Hal ini menunjukkan masyarakat yang memiliki pengetahuan baik akan berpartisipasi lebih besar dalam memiliki sertifikat laik sehat. Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Berdasarkan hasil rekapan lima item pertanyaan yang menggunakan kuisioner, wilayah kerja binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak tahu tentang syaratsyarat rumah makan laik sehat dan memenuhi syarat kesehatan sebesar 37 (71,15%).
Pertanyaan cara memperoleh sertifikat laik sehat sebesar 34 (65,39%), berapa bulan sertifikat laik sehat rumah makan berlaku 25 (48,07%), responden pernah mengikuti kursus hygiene sanitasi makanan 17 (32,69%), mengetahui syarat-syarat rumah makan yang laik sehat 37 (71,15%). Hal ini rekapan lima pertanyaan dapat disimpulkan sebagian besar responden tidak mengetahui syarat rumah makan laik sehat serta memenuhi syarat kesehatan, hal ini terlihat dari masih banyaknya pemilik rumah makan lebih mementingkan usaha rumahnya dibandingkan mengetahui syarat rumah makan laik sehat. Pengetahuan akan berpengaruh pada sikap seseorang, sehingga sikap akan membentuk perilaku seseorang memiliki sertifikat laik sehat. Pengetahuan baik tidak akan membentuk perilaku seseorang memiliki sertifikat laik sehat jika tidak dibarengi unsur-unsur lain seperti pendidikan dan peran petugas kesehatan. Melihat kurangnya pengetahuan masyarakat dan syarat rumah makan laik sehat di wilayah kerja binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak, oleh sebab itu perlu dilakukan penyuluhan tentang Hygiene Sanitasi Rumah Makan Dan Restoran. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saja tetapi juga dibantu instansi terkait seperti developer ruko, pemerintah dan petugas kesehatan setempat. Hubungan antara Kepemilikan Laik Sehat
Sikap
dengan
Hasil uji statistikmenunjukkan faktor sikap memiliki hubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama kecamatan pontianak selatan kota pontianak. Analisis pada tabel 4.8 menunjukkan persentase sikap kurang cendrung tidak memiliki sertifikat laik sehat sebesar 16 (28,6%) dengan nilai pvalue = 0,042 (dimana α = 0,05) sehingga (p>0,05) maka (Ha diterima) Ho ditolak artinyaada hubungan. Hal ini menunjukkan pemilik rumah makan yang memiliki sikap baik akan berpartisipasi lebih besar dalam memiliki sertifikat laik sehat. Menurut Berkowitz dalam Azwar (2007), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak. Allport dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
Wahyuni, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 373
komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional atau evaluasi dan kecendrungan untuk bertindak. Seseorang yang memiliki sikap positif cendrung mempunyai kepercayaan dan bertindak mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap negatif cendrung tidak memiliki kepercayaan dan bertindak menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Sikap merupakan salah satu unsur penentu dalam mengetahui perilaku seseorang dalam hal memiliki laik sehat. Berdasarkan pada sikap seseorang, orang akan menduga bagaimana respon atau tindakan yang akan diambil oleh orang tersebut terhadap suatu masalah atau keadaan yang dihadapinya, dalam hal ini adalah kepemilikan laik sehat. Sikap masyarakat akan menentukan kepemilikan laik sehat di wilayah binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Berdasarkan hasil rekapan penelitian dengan lima item pertanyaan menggunakan kuesioner tentang sikap diketahui responden di wilayah binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak bersikap baik tentang pengertian laik sehat dengan persentase sebesar 52 (100%), setiap rumah makan harus memiliki laik sehat dengan pesentase 29 (55,77%), setiap rumah makan tempat pengolahan makanan dan minuman harus bersih dan sehat dengan persentase 47 (90,34%), setiap pemilik rumah makan atau penjamah makanan pernah mengikuti kursus/pelatihan dengan persentase 25 (48,07%), setiap pemilik rumah maka tidak harus memiliki sertifikat laik sehat 31 (59,61%). Sikap masyarakat yang baik dapat mengubah perilaku masyarakat dalam hal memiliki laik sehat, akan tetapi harus dibarengi unsur-unsur lain seperti pengetahuan, pendidikan, dan peran petugas kesehatan. Masyarakat di wilayah binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak sebagian besar telah memiliki laik sehat tetapi tidak semua sertifikat laik sehat termasuk dalam kategori laik sehat karna masih ada responden tidak diperpanjang sertifikat laik sehatnya. Hubungan antara Peran Petugas dengan Kepemilikan Laik Sehat Hasil uji statistik menunjukkan bahwa peran petugas kesehatan tidak memiliki
hubungan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah Binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Analisis pada tabel 4.9 menunjukkan persentase peran petugas kesehatan kurang cendrung tidak memiliki sertifikat laik yaitu 5 (23,8%) dengan nilai pvalue = 0,086 (dimana α = 0,05) sehingga (p>0,05) maka (Ha ditolak) Ho diterima artinya tidak ada hubungan. Hal ini menunjukkan peran petugas kesehatan yang kurang tidak menjadi hambatan pemilik rumah makan untuk memiliki sertifikat laik sehat. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. (UU RI No : 36 tahun 2009 tentang kesehatan bab 1, pasal l ayat 6). Tenaga kesehatan masyarakat merupakan bagian dari sumber daya manusia yang sangat penting perannya guna meningkatkan kesadaran yang lebih tinggi pada pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Penerapan tenaga terlatih di bidang promosi kesehatan termasuk pakar yang memahami sosiologi, antropologi, perilaku, ilmu penyuluhan dan lain-lain. Di samping itu, tenaga kesehatan masyarakat juga dapat berperan di bidang kuratif dan rehabilitatif. Petugas kesehatan harus memiliki sikap yang baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukan perhatian pada kegiatan masyarakat, maupun mendekati para tokoh masyarakat yang ikut berperan serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Karena petugas kesehatan merupakan salah satu penggerak dari suatu kegiatan kesehatan. Sebagian besar masyarakat di wilayah kerja binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak tidak pernah mendapatkan penyuluhan oleh petugas kesehatan, hal ini terlihat dari data lima rekapan pertanyaan menggunakan kuisioner tentang peran peran petugas kesehatan terhadap kepemilikan laik sehat di wilayah kerja binaan Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak, sebanyak 35 (67,30%) petugas kesehatan pernah melakukan penyuluhan tentang laik sehat, dan yang mengikuti penyuluhan tersebut hanya 29 (55,76%), materi apa yang biasa diberikan oleh petugas kesehatan sebesar 23 (44,23%), peran petugas kesehatan dalam melakukan pembinaan/penyuluhan sebesar 23 (44,23%),
374 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.369 - 374
dan manfaat yang diperoleh dari penyuluhan sebesar 23 (44,23%). Persentase masyarakat yang mendapat penyuluhan tentang pentingnya kepemilikan sertifikat laik sehat terlihat masih kurang. Dalam hal ini masyarakat perlu meningkatkan partisipasinya, sehingga keterbatasan kemampuan Pemerintah (Dinas Kesehatan dan Puskesmas) dapat ditanggulangi. Selain itu hubungan peran petugas kesehatan terhadap kepemilikan sertifikat laik sehat perlu diteliti lebih lanjut, karena diperkirakan ada perbedaan pada pengkategorian dalam hal kepemilikan sertifikat laik sehat. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak selatan Kota Pontianak dapat disimpulkan sebagai berikut: Ada hubungan faktor pendidikan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama Kecamatan
Pontianak selatan Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,022. Ada hubungan faktor pengetahuan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama Kecamatan Pontianak selatan Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,009. Ada hubungan faktor sikap dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama Kecamatan Pontianak selatan Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,042. Tidak ada hubungan faktor peran petugas kesehatan dengan kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama Kecamatan Pontianak selatan Kota Pontianak Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,086. Peneliti lain diharapkan untuk lebih mendalami faktor faktor tekait kepemilikan sertifikat laik sehat di wilayah binaan puskesmas purnama Kecamatan Pontianak selatan Kota Pontianak.
DAFTAR PUSTAKA Dinkes Kota Pontianak, 2012. Profil Kesehatan Dinkes Kota Pontianak. PLPK: Pontianak. Dinkes Kota Pontianak, 2013. Profil Kesehatan Dinkes Kota Pontianak. PLPK: Pontianak. Dinkes Kota Pontianak, 2014. Profil Kesehatan Dinkes Kota Pontianak. PLPK: Pontianak. Depkes RI, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan Dan Restoran.DitJenP2MPLP: Jakarta.
Munib, Achmad, 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES. Notoatmodjo, S., 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat. Rineke Cipta: Yogyakarta. Notoatmojo, S., 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Rineka Cipta: Jakarta. Perda, 2013.Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Sertifikasi Laik Sehat.Depkes: Pontianak. Republik Indonesia, 2009 Undang-undang tentang Kesehatan, Presiden Republik Indonesia: Jakarta.
HUBUNGAN KADAR ALBUMIN PADA PENDERITA PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU SELAMA MASA PENGOBATAN DI UNIT PENGOBATAN PENYAKIT PARUPARU (UP4) PONTIANAK SLAMET Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Pontianak
Abstrak: Hubungan Kadar Albumin pada Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru Selama Masa Pengobatan Di UP4. Penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional dengan teknik Purposive sampling yang dilakukan di Unit Pengobatan Penyakit Paru-Paru (UP4) Pontianak mulai April-Juni 2013 pada 32 pasien TB paru dalam masa pengobatan. Pemeriksaan kadar albumin serum dilakukan di Instalasi Laboratorium RSUD dr. Soedarso Pontianak dengan menggunakan reagen komersial produksi Elitech dan dibaca pada alat Vitalab Selectra E. Hasil penelitian menunjukkan penderita TB paru memiliki kadar albumin yang normal. Dapat disimpulkan penderita TB paru memiliki status nutrisi yang baik. Dari hasil pengolahan data dengan analisa uji korelasi pearson pada derajat signifikan dengan nilai P = 0,000 lebih kecil dari 0,05 sehingga secara statistik disimpulkan ada hubungan kadar albumin pada penderita tuberkulosis paru selama masa pengobatan di UP4 Pontianak dengan nilai R = 0,583 yang artinya memiliki tingkat hubungan yang kuat. Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Kadar Albumin, Masa Pengobatan Abstract: The Relations of Levels Albumin in Patients with Pulmonary Tuberculosis During The Treatment Period in UP4. This study used cross sectional design with a purposive sampling techniques performed in Unit of treatment for phthisis (UP4) Pontianak since April-June 2013 on 32 Patients with pulmonary TB during treatment. The test of level serum albumin is done in Laboratory Installation dr.Soedarso Pontianak using a commercial reagent, production Elitech and be read on the tool Vitalab Selectra E. The results showed pulmonary tuberculosis patients have normal levels of albumin. It can be concluded pulmonary tuberculosis patients had good nutritional status. From the results of data processing by Pearson correlation test analysis on the degree of significant with P = 0.000 more less than 0.05, so that statistically concluded there is a relationship of albumin levels in patients with pulmonary tuberculosis during the treatment period in UP4 Pontianak with a value of R = 0.583 which means to have levels a strong relationship. Keywords: Tuberculosis, Albumin Levels, Treatment Period
Tuberculosis (TBC) paru merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Pentingnya penanganan masalah penderita TB paru berkaitan dengan gizi penderita. Sebagian besar penderita TB paru diketahui mengalami kekurangan gizi sehingga ini dapat berakibat buruk tidak hanya risiko terhadap penyakitnya, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya. Penderita TBC yang kurang gizi akan
mengakibatkan produksi antibodi dan limfosit terhambat sehingga proses penyembuhan akan terhambat pula. Sebaliknya sebagai penyakit infeksi, TBC bisa mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya yang mempengaruhi daya tahan tubuh.(1) Berdasarkan Global Report World Health Organization (WHO) pada Tahun 2010 jumlah penderita tuberkulosis paru di dunia sebanyak 14,4 juta kasus. Penderita tuberkulosis paru 375
376 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.375 - 379
terbanyak terdapat pada lima negara yaitu : India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Pada negara-negara miskin, tingkat kematian akibat penyakit tuberkulosis atau case fatality rate (CFR) sebesar 25% dari seluruh kematian.(2) Prevalensi penderita tuberkulosis paru di Indonesia sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus tuberkulosis paru dengan BTA positif, dari jumlah tersebut terdapat 169.213 merupakan kasus tuberkulosis paru baru ( insidensi ). Secara keseluruhan prevalensi semua tipe tuberkulosis sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe tuberkulosis. Jumlah kematian akibat penyakit tuberkulosis sebanyak 91.339 kasus (CFR sebesar 39 per 100.000 penduduk).(2) Berdasarkan hasil rekapitulasi laporan TBC Paru Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2010 tercatat TBC Paru dengan BTA Positif (+) sebanyak 4.634 kasus dengan angka kesakitan 105 per 100.000 penduduk. Sedang untuk persentase kesembuhan penderita TBC Paru dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) positif di Kalimantan Barat merujuk pada kasus yang diobati tahun 2009 adalah sebesar 92,90, dengan rincian dari 4.156 penderita yang diobati, sebanyak 3.733 penderita dinyatakan sembuh.(3) Status nutrisi pasien dapat diukur dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dan memeriksa kadar albumin. IMT adalah perbandingan antara berat badan (kilogram) dan tinggi badan kuadrat (meter). IMT dibawah 18,5 kg/m2 menunjukan keadaan malnutrisi. Pengukuran menggunakan IMT memiliki kekurangan karena pada lansia yang mengalami pengurangan tinggi badan dapat memberikan hasil pengukuran yang tidak tepat. Albumin dapat digunakan sebagai indikator klasik keadaan malnutrisi. Kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dl menunjukkan prognosis yang lebih buruk adanya keadaan malnutrisi. Albumin adalah protein utama yang dihasilkan oleh hati. Pada dasarnya protein ini turut membantu dalam proses penyembuhan dan melawan infeksi.(4) Tuberkulosis paru dan malnutrisi sering ditemukan secara bersamaan. Infeksi tuberkulosis menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh, hal ini disebabkan karena menurun atau hilangnya nafsu makan. Dalam kapasitas sebagai simpanan asam amino,
albumin merupakan indikator status gizi. Dengan demikian, penurunan protein makanan akan tercermin dalam kadar albumin serum, dan kadar albumin yang rendah dijumpai pada malnutrisi akibat malabsorpsi yaitu penyerapan makanan yang tidak sempurna dari saluran pencernaan (usus halus) ke dalam aliran darah yang menyebabkan kekurangan gizi, seperti halnya pada penyakit tuberkulosis paru.(5,6) Menyadari hubungan antara perjalanan penyakit tuberkulosis paru dengan daya tahan tubuh dan bagaimana pengaruh gizi pada daya tahan tubuh, sudah saatnya kita untuk tidak melihat seorang penderita hanya dengan pengobatan atau vaksinasi semata-mata. Masalah gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus penularan dan pemberantasan TB paru.(1) METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Cross-Sectional, yaitu penelitian yang dilakukan sesaat atau satu kali saja dalam satu kali waktu ( dalam waktu yang bersamaan). Penelitian ini dilakukan pada di Instalasi Laboratorium RSUD Dr. Soedarso Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien TB paru dalam masa pengobatan. Sampel penderita TB paru di UP4 dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (+). Dengan kriteria sampel sebagai berikut: (1) Bersedia menjadi responden. (2) Responden berusia 14-75 tahun. (3) Responden tidak mengkonsumsi obat seperti Penicilin, Sulfonamid, Aspirin, dan Vitamin C. (4) Responden tidak memiliki riwayat penyakit seperti sirosis hepar, kegagalan hepar akut, luka bakar, preeklampsia, gangguan ginjal, malignansi, kolitis ulserasi, muntah, dan diare. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling, dengan jumlah sampel 32 orang pasien TB paru dalam masa pengobatan selama penelitian di UP4 Pontianak. HASIL Data Hasil Pemeriksaan Kadar Albumin Dari hasil pemeriksaan kadar albumin yang dilakukan pada tanggal 19 april sampai 13 Juni 2013 pada pasien TB paru dalam masa
Slamet, dkk, Hubungan Kadar Albumin pada... 377
pengobatan di UP4, diperoleh data sebagai berikut. Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kadar Albumin Pada Sampel No Kode Umur sampel
Jenis Masa Kontrol Kadar kelamin Pengobatan serum Albumin P/L ( Hari ) Mg/dl
1
SY
58
P
120
4,7
4,3
2
YA
40
P
83
3
HS
33
L
112
4
RP
20
L
169
5
DA
15
P
136
6
SL
60
L
93
7
HD
24
L
82
5,0
8
BR
31
L
163
5,0
9
SN
17
P
169
5,2
10
AT
25
L
168
5,2
11
SM
32
P
142
4,9
12
CH
59
P
123
4,6
13
SK
67
L
153
4,5
14
HW
40
L
56
15
MR
17
L
25
16
BD
58
L
33
3,9
17
SS
43
L
59
4,6
18
TS
57
P
34
3,9
19
MM
51
L
38
4,1
20
HL
70
P
64
4,6
21
DW
53
L
72
4,5
22
DR
27
P
74
4,7
23
MN
49
P
50
4,3
24
SB
53
L
39
4,3
25
SZ
61
P
49
4,1
26
IW
30
L
46
4,6
27
ZK
25
L
154
4,6
28
HW
33
P
153
4,5
29
RJ
48
L
156
4,4
30
HJ
52
P
64
4,5
31
SJ
46
L
56
4,3
32
LF
38
L
64
4,5
4,4 4,8 4,8
4,8 5,2
5,1
4,7 4,6
4,8
Pemeriksaan Albumin Tabel 2. Hasil Analisa Deskriptif Umur masa_pengob atan hasil_albumin Valid N (listwise)
32
Minimu Maximu Std. Mean m m Deviation 15 70 41.63 15.843
32
25
169
93.72
48.947
32
3.9
5.2
4.584
.3446
32
Jenis Kelamin
4,9
Keterangan : Nilai normal = 3,5-5,2 mg/dl
N
Berdasarkan hasil pemeriksaan albumin pada kelompok sampel pasien TB paru dalam masa pengobatan diperoleh data sebagai berikut. Diketahui rata – rata umur pasien dari 32 sampel yaitu 41 tahun dengan umur termuda 15 tahun dan tertua 70 tahun. Rata – rata pasien berada dalam masa pengobatan 93 hari dengan masa pengobatan terendah 25 hari dan tertinggi 169 hari. Dan hasil rata – rata kadar albumin 4,5 mg/dl dengan nilai terendah 3,9 mg/dl dan nilai tertinggi 5,2 mg/dl.
Tabel 3. Hasil Analisa Kelamin
Deskriptif
Jenis
Freque Valid Cumulative Percent ncy Percent Percent 19 59.4 59.4 59.4 laki – laki Valid Perempuan 13 40.6 40.6 100.0 32 100.0 100.0 Total
Dari data di atas dapat diketahui dari 32 sampel responden yang berjenis kelamin laki – laki berjumlah 19 orang dan jenis kelamin perempuan berjumlah 13 orang. Kadar Albumin Tabel 4. Hasil Analisa Deskriptif Kadar Albumin Frequency Percent Valid
normal
32
100.0
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
Berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh data dari 32 sampel memiliki kadar albumin 100% normal. Dengan nilai normal kadar albumin yaitu 3,5 – 5,2 mg/dl. Selanjutnya untuk mengetahui apakah ada hubungan masa pengobatan TB paru dengan kadar albumin maka dilakukan uji Korelasi Pearson. Setelah dilakukan uji Korelasi Pearson secara SPSS, didapatkan hasil sebagai berikut.
378 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.375 - 379
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov Test
N Mean Std. Deviation Absolute Most Extreme Positive Differences Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Normal Parametersa,b
Data
Masa Hasil Pengobatan Kadar Responden Albumin 32 32 93.72 4.58 48.947
.345
.166 .166 -.137 .937 .344
.107 .107 -.091 .605 .858
Dilihat dari hasil uji normalitas data Kolmogorov – Smirnov Test dapat diketahui pada Asymp.Sig.(2-tailed) variabel masa pengobatan memiliki nilai 0,344 ( p > 0,05 ) dan variabel kadar albumin memiliki nilai 0,858 ( p > 0,05 ) artinya data berdistribusi normal. Tabel 6. Hasil Uji Korelasi Pearson masa_pen hasil_albu gobatan min Pearson masa_pengo Correlation batan Sig. (1-tailed) N Pearson hasil_albumi Correlation n Sig. (1-tailed) N
1
.583
32
.000 32
.583
1
.000 32
32
Jika dilihat pada hasil uji korelasi Pearson, nilai sig ( P ) adalah 0,000 (< 0,05), menunjukkan bahwa adanya hubungan masa pengobatan dengan kadar albumin dengan nilai ( R ) = 0,583 yang artinya memiliki tingkat hubungan yang kuat. Pembahasan Populasi dalam penelitian ini adalah penderita penyakit TB paru dalam masa pengobatan di Unit Pengobatan Penyakit Paru – Paru ( UP4 ) Pontianak. Jumlah sampel yaitu 32 responden. Pada penderita TB paru memiliki kadar albumin yang rendah, hal ini disebabkan karena Mycobacterium tuberculosis penyebab TB paru ini memberikan gejala penyakit seperti batuk – batuk, badan lemah, tidak nafsu makan, menurunnya berat badan sehingga mengalami malnutrisi. Kadar albumin yang rendah akan terlihat pada keadaan penyakit yang kronis, pada penyakit yang akut belum terlihat jelas penurunannya. Penyakit kronis yang dimaksud yaitu pasien TB paru yang telah lama memiliki penyakit TB paru, seperti pasien yang gagal
pengobatan sehingga mereka harus mengulang pengobatan dan bakteri dalam tubuh mereka berangsur-angsur merusak immunitas tubuh sehingga menyebabkan hipoalbumin atau kadar albumin yang rendah didalam darah.(5,6) Pada penelitian ini kadar albumin terlihat normal, tidak mengalami penurunan atau hipoalbumin. Kadar albumin yang normal dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, konsumsi OAT yang teratur, pola makan yang baik dan konsumsi makanan bergizi yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.(26) Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan dikaitkan dengan usia ( <45 tahun ). Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS, ditemukan perubahan berat badan pada pasien TB secara signifikan berhubungan dengan kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat sakit dan porsi makan dalam keluarga. Pada pasien TB paru laki-laki didapati peningkatan IMT sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai (Dodor, 2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat badan rendah pada saat diagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang terjadi setelah pengobatan dua bulan (fase intensif) berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.(40) Pasien TB paru yang diperiksa sebagai sampel rata-rata berumur 41 tahun berada dalam usia produktif dan usia muda, sehingga daya tahan tubuh dan metabolisme tubuhnya masih baik, mereka dapat memperbaiki dan menjaga kondisi kesehatan mereka agar status nutrisinya tetap baik sehingga kadar albumin mengalami peningkatan. Berbeda dengan lansia, daya tahan tubuh mereka lebih rendah dibandingkan usia muda, oleh karena itu jelas status nutrisi mereka memburuk dengan penurunan berat badan dan ditambah penyakit TB paru tersebut yang menyebabkan kadar albumin dalam tubuh menurun.(9) Konsumsi OAT secara teratur dan sesuai dosis yang sudah ditentukan, membantu dalam proses penyembuhan penyakit TB paru karena dengan mengkonsumsi obat yang teratur, akan dapat membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis sehingga tidak dapat merusak daya tahan tubuh kembali.(28) Saat ini telah banyak diadakan penyuluhan-penyuluhan dan seminar tentang penyakit TB paru khususnya di UP4, yang diikuti oleh warga sekitar, pelajar, maupun
Slamet, dkk, Hubungan Kadar Albumin pada... 379
penderita TB paru tersebut. Penyuluhan dan seminar ini di adakan sebanyak dua kali dalam sebulan. Pasien diinformasikan bagaimana cara untuk dapat terhindar dari penyakit tersebut dan bagaimana cara agar dapat mempercepat proses penyembuhan. Salah satunya yaitu memperbaiki pola makan dan mengkonsusmsi makanan-makanan bergizi yang banyak mengandung protein, karena protein sebagai pembentuk antibodi tubuh dan albumin merupakan sarana transportasi yang membawa unsur-unsur obat untuk penyembuhan TB paru. Salah satu penyembuhan penyakit TB paru yaitu memperbaiki status nutrisi agar daya tahan tubuh menjadi lebih baik dan bisa melawan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis tersebut. Menurut Chan (1996) dan Usman (2008), peranan protein pada pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan yang rusak juga membunuh kuman TB dalam tubuh.(40) Dalam penelitian Murtaningsih 2010 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh dengan kesembuhan penderita Tuberkulosis paru adalah status gizi, pendapatan, dan keteraturan berobat. Penelitian Syamsul Muarif menjelaskan mengenai pengetahuan pasien, persepsi pasien terhadap sikap petugas, kepatuhan minum obat, riwayat penyakit yang menyertai dan informasi yang didapat adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kesembuhan pengobatan TB Paru.(40) Status nutrisi yang baik merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat proses penyembuhan selain pengkonsumsian obat
yang teratur, sebaiknya dalam keadaan penyakit infeksi seperti TB paru ini pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan-makanan bergizi khususnya protein, karena protein merupakan sumber energi dan pembentukan antibodi dalam tubuh untuk melawan penyakit infeksi tersebut. Status nutrisi yang baik dapat terlihat dari kadar albumin dalam darah. Dilihat dari fungsi albumin yaitu menyediakan protein untuk jaringan dalam membantu pembentukan jaringan tubuh yang baru. Maka albumin cukup diperlukan oleh tubuh dalam proses penyembuhan TB paru ini, karena albumin merupakan protein dalam darah yang penting. Albumin sepenuhnya diproduksi di hati, sisanya diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. Albumin merupakan suatu zat yang sangat berguna dalam sistem kekebalan tubuh.(34) SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan penderita TB paru selama masa pengobatan di UP4 memiliki kadar albumin yang normal. Dari hasil pengolahan data dengan analisa Uji Korelasi Pearson menggunakan komputerisasi SPSS diperoleh data nilai sig.hitung = 0,000 dan sig.tabel = 0,05 (sig.hitung < sig.tabel) menunjukan bahwa ada hubungan antara lamanya masa pengobatan terhadap kadar albumin, dengan nilai (R) = 0,583 yang artinya memiliki tingkat hubungan yang kuat. Peneliti selanjutnya disarankan dengan melakukan pemeriksaan parameter status nutrisi yang lain untuk mengetahui perbaikan status nutrisi penderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA Assagaf A. 2005. Tuberkulosis Tinjauan Multidisiplin. Banjarmasin : Pusat Studi Tuberkulosis FK Universitas Lambung Mangkurat. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis Di Indonesia. 2011. Indonesia Report 2011. Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Kalbar. 2010. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. David C, Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC Ronald A, Sacher. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC.
Wheeler Paul R, Colin Ratledge. 1994. Metabolism of tuberkulosis. Washington DC: Bloom R Barry (Eds) http://eprints.undip.ac.id/14285/1/1999F K365.pdf diakses pada 27 Januari 2013. Suryo, Joko. 2010. Herbal, Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka. Keliat N, Sugito. 2007. Pengaruh Pemberian Asam Amino Secara Parenteral Terhadap Konversi Sputum Penderita Tuberkulosis Paru. Jakarta : Maj Ken Indon. Jahari, Abas B. 2009. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi. Jakarta : Salemvba Medika.
EFEKTIFITAS LARUTAN FERMENTASI AIR KELAPA SEBAGAI ATRAKTAN NYAMUK Aedes aegypti DI KOTA PONTIANAK HAJIMI Jursan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemnkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Efektifitas Larutan Fermentasi Air Kelapa sebagai Atraktan Nyamuk Aedes Aegypti Di Kota Pontianak. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni (true experiment) dengan rancangan penelitian Postest dengan kelompok kontrol (Postest Only With Kontrol Group Design). Dimana Banyaknya perlakuan dalam penelitian ini adalah 4 macam perlakuan yaitu 3 variasi larutan fermentasi air kelapa , dan 1 perlakuan berupa air hujan sebagai kontrol. Tempat penelitian adalah pada salah satu RT yang ABJ nya paling rendah tahun 2015 di wilayah kerja Puskesmas Perumnas I Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Kota Pontianak. Objek penelitian adalah larvitrap dengan beberapa variasi larutan sebagai atraktan dengan jumlah sampel sebanyak 80 sampel. Hasil analisis bivariat dijelaskan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara variasi larutan fermentasi air kelapa dengan air hujan terhadap jumlah jentik yang terdapat di dalam lavitrap dimana nilai p = 0,000 < 0,05 (α). Tetapi tidak dapat ditentukan variasi yang mana yang paling efektif. Kesimpulannya adalah larutan fermentasi air kelapa punya potensi untuk dijadikan sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti. Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meminimalisir semua faktor yang bisa dikontrol. Kata Kunci: Fermentasi, Ragi, Air Kelapa, Aedes aegypti, Ovitrap, Lavitrap Abstract: The Effectiveness of a Solution of Fermented Coconut Water as Aedes Aegypti Mosquito Attractant in Pontianak. This study is an experimental study of pure (true experiment) with the study design Posttest control group. Where the amount of treatment in this study are four kinds of treatment are 3 variations of coconut milk fermented solution, and 1 treatment in the form of rain water as a control. The study was on one of his ABJ RT the lowest in 2015 in Puskesmas I Sungai Jawi Housing Affairs District of West Pontianak Pontianak. The object of research is larvitrap with some variation of the solution as an attractant with a sample size of 80 samples. The results of the bivariate analysis explained that there is a significant difference between the variation fermentation solution coconut water with rainwater on the number of larvae present in the lavitrap where the value of p = 0.000 <0.05 (α). But it can not be determined variations are most effective. The conclusion is a solution of fermented coconut water has the potential to serve as the Aedes aegypti mosquito attractant. It is advisable to do further research by minimizing all the factors that can be controlled. Keywords : Fermentation, Yeast, Coconut Water, Aedes aegypti, ovitrap, Lavitrap
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit tular vektor (nyamuk Aedes aegypti) yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang belum bisa diselesaikan oleh Kementerian Kesehatan. Penyakit DBD ini menyerang manusia dari segala usia, jenis kelamin dan tempat tinggal.
Bahkan, angka kematian akibat kejadian penyakit DBD di seluruh wilayah Indonesia selalu ditemukan setiap tahunnya dan angkanya sangat fluktuatif. Sejak pertama kali dilaporkan dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 penyakit DBD ini terus mengalami peningkatan dan 380
Hajimi, Efektifitas Larutan Fermentasi Air... 381
menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Hampir sepanjang tahun penyakit DBD ini selalu ditemukan di seluruh Indonesia terutama pada awal musim penghujan. Angka kesakitan DBD di Indonesia tahun 2013 tercatat 45,85 per 100.000 penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian). Sedangkan pada tahun 2014 sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan DBD sebesar 5,17 per 100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,84% (110 kematian) (Ditjen PP & PL, 2014). Penyakit DBD dalam kurun lima tahun terakhir di Propinsi Kalimantan Barat cukup fluktuatif, bertuturut-turut mulai tahun 2010 terjadi 677 kasus (CFR = 1,9%), tahun 2011 ada 784 kasus (CFR = 1,3%), tahun 2012 ada 1.614 kasus (CFR = 1,4%), tahun 2013 terjadi 838 kasus (CFR = 1,7%) dan tahun 2014 ada 5.049 kasus (CFR = 1,3%) (Profil Dinkes Propinsi Kalimantan Barat, 2014). Kota Pontianak merupakan salah satu kota dari 13 kota/kabupaten di propinsi Kalimantan Barat yang termasuk endemis DBD. Hampir setiap tahun penyakit DBD secara fluktuatif selalu terjadi di Kota Pontianak. Kasus DBD di Kota Pontianak tahun 2011 ditemukan 160 orang (proporsi 20%) dan yang meninggal 2 orang (CFR = 1,2%), tahun 2012 ditemukn kasus sebanyak 134 orang (proporsi 8%) dan yang meninggal 3 orang (CFR = 2,2%), tahun 2013 ditemukan kasus sebanyak 100 orang (proporsi 11%) dan yang meninggal 4 orang (CFR = 4,0%), tahun 2014 ditemukan kasus sebanyak 345 orang (proporsi 7%) dan yang meninggal 7 orang (CFR = 2,4%), dan tahun 2015 ditemukan kasus sebanyak 49 dan tidak ada yang meninggal dunia. Tingginya kasus DBD di suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingginya populasi nyamuk penular (Aedes) di wilayah tersebut. Semakin padat populasi nyamuk, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD. Upaya pengendalian penyakit DBD sampai saat ini lebih ditekankan kepada bagaiman mengendalikan vektor penularnya yaitu nyamuk Aedes aegypti. Hal ini karenakan sampai saat ini belum ditemukan adanya obat atau vaksin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit DBD. Upaya pengendalian
penyakit DBD di Indonesia menitikberatkan kepada program surveilans, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pemantauan jentik berkala (PJB) (Depkes. RI, 2010). Salah satu faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kasus DBD di suatu wilayah adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ merupakan salah satu indeks yang dijadikan sebagai ukuran tentang keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di suatu wilayah. Keberadaan jentik berhubungan langsung dengan keberadaan breeding places (tempat berkembang biak) nyamuk Aedes aegypti. Breeding places yang disenangi oleh nyamuk Aedes aegypti adalah air bersih yang ditampung atau tertampung dalam suatu wadah (kontainer) yang airnya dikonsumsi maupun tidak seperti tempayan, drum, bak mandi, barang-barang bekas, dan sebagainya. Menurut Profil Dinkes Kota Pontianak tahun 2015, ABJ di Kota Pontianak tahun 2015 hanya sebesar 65,41%, angka ini masih jauh dari standar ABJ nasional yang dipersyaratkan yaitu ≥ 95%. ABJ tahun 2015 ini juga lebih rendah dari ABJ tahun 2014 yaitu 66,95%. Hal ini berarti terjadi penurunan ABJ di kota Pontianak. Rendahnya ABJ di Kota Pontianak menunjukkan bahwa banyak breeding places yang tersedia di lingkungan dan dapat dijadikan sebagai tempat berkembang biak oleh nyamuk Aedes aegypti. ABJ yang rendah di Kota Pontianak karena semua wilayah kerja Puskesmas di Kota Pontianak ABJnya juga rendah. Pada tahun 2014 semua Puskesmas ABJ nya masih tidak memenuhi syarat ABJ nasional yaitu > 95%. Tetapi terdapat beberapa Puskesmas dari 23 Puskesmas yang memiliki ABJ > 70% diantaranya adalah Puskesmas Parit Mayor (76,98%), Puskesmas Saigon (74,80%), Puskesmas Pal 5 (74,06%), Puskesmas Kampung Bangka (72,49%), Puskesmas Kampung Bali (71,61%), dan Puskesmas Puskesmas Perumnas II (71,45%). Sedangkan Puskesmas yang memiliki ABJ paling rendah adalah Puskesmas Perumnas I (59,08%) dan Puskesmas Pal 3 (52,79%). Pada tahun 2015 ABJ pada semua Puskesmas di Kota Pontianak juga tidk ada yang memenuhi syarat nasioal (>95%). Adapun Puskesmas yang memiliki ABJ > 70% adalah Puskesmas Tanjung Hulu (79,53%), Puskesmas Kampung Bangka (75,25%), Puskesmas Tambela Sampit (73,38%), dan Puskesmas Komtos Soedarso (70,34%). Sedangkan Puskesmas yang memiliki ABJ terendah adalah Puskesmas
382 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.380 - 389
Perumnas I (56,49%) (Dinkes Kota Potianak, 2015). Faktor lain yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap peningkatan kasus DBD di Kota Pontianak adalah perilaku (kebiasaan) masyarakat menampung air hujan sebagai bahan baku air minum. Air hujan yang ditampung tersebut adalah sebagai cadangan (persediaan) bahan baku air minum apabila terjadi musim kemarau. Tempat penampungan air hujan yang digunakan oleh masyarakat sebagian besar berupa tempayan dan sebagai kecil adalah drum plastik (fiber glass). Dapat dipastikan setiap rumah masyarakat di Kota Pontianak memiliki tempayan atau drum dengan jumlah minimal 3–5 buah per rumah. Tempat penampungan air hujan tersebut merupakan salah satu breeding places potensial bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak untuk mencegah dan mengendalikan penyakit DBD ini, baik melalui program-program pencegahan seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), abatesasi, swamangisasi (ikanisasi) dan memasyarakatkan gerakan 3 M (Menguras, Menutup dan Mengubur), dan program pengendalian lainnya yang langsung ditujukan kepada vektor DBD (nyamuk Aedes aegypti) yaitu melakukan fogging (pengasapan) dengan menggunakan insektisida tertentu seperti malathion dan cynoff. Tetapi tampaknya upayaupaya tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan, karena kasus DBD sepanjang tahun masih terus terjadi. Oleh karena itu perlu suatu alternatif lain yang dapat meminimalisir perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memasang perangkap jentik atau lavitrap yang dilengkapi dengan larutan sebagai penarik kehadiran nyamuk (attraktan) untuk berkembang biak. Lavitrap adalah salah satu modifikasi dari perangkap telur (ovitrap) yang sudah banyak digunakan untuk mengendalikan vektor DBD. Untuk memaksimalkan ovitrap dalam pengendalian vektor Aedes, maka dilakukan beberapa modifikasi terhadap ovitrap, yaitu : lethal ovitrap. Zeichner dan Perich (1999), telah memodifikasi ovitrap menjadi perangkap nyamuk yang mematikan (lethal atau autocidal ovitrap) dengan menambahkan beberapa jenis insektisida pada media bertelur (ovistrip) dengan efektifitas 45 – 100%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sithiprasasna dkk (2003)
memodifikasi ovitrap menjadi perangkap jentik-auto dengan memasang kassa nylon tepat pada permukaan air. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental semu (quasi experiment) dengan rancangan penelitian Postest dengan kelompok kontrol (Postest Only With Kontrol Group Design). Banyaknya perlakuan dalam penelitian ini adalah 4 macam perlakuan yaitu 3 perlakuan untuk 3 variasi konsentrasi larutan fermentasi air kelapa dan 1 perlakuan untuk air hujan yang digunakan sebagai atraktan dalam lavitrap. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Perumnas I yaitu di Gg. Kayumanis. 1 RW.XVIII / RT.05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah lavitrap yang digunakan sebagai perangkap jentik nyamuk Aedes aegypti. Sampel penelitian ini adalah lavitrap yang digunakan sebagai perangkap jentik nyamuk Aedes aegypti. Besarnya sampel yang akan digunakan adalah ditentukan berdasarkan teori besar sampel untuk penelitian eksperimental. “Menurut Frankel dan Wallen (1993:92) menyarankan besar sampel minimum untuk penelitian eksperimental adalah sebanyak 30 atau 15 per group.” Sedangkan menurut Gay dan Diehl (1992) berpendapat bahwa “apabila penelitian eksperimental, sampel minimumnya adalah 15 subyek per group.” Menurut Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006) memberikan acuan umum untuk menentukan ukuran sampel untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen yang ketat, penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil antara 10 sampai dengan 20 (https://teorionline.wordpress.com/ tag/sampel-populasi-penelitian-teknik sampling). Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka banyaknya sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 20 sampel per kelompok perlakuan, sehingga total sampel yang akan digunakan adalah 20 X 4 kelompok perlakuan yaitu 80 sampel (lavitrap). Seluruh lavitrap dipasang di 20 titik pengamatan yaitu rumah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas I yaitu di Gg. Kayumanis. 1 RW.XVIII / RT.05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat
Hajimi, Efektifitas Larutan Fermentasi Air... 383
karena wilayah tersebut angka bebas jentiknya (ABJ) paling rendah dengan waktu pengamatan selama 3 minggu. Setiap titik lokasi pengamatan dipasang masing-masing 4 buah lavitrap yang diisi larutan attraktan yaitu 3 lavitrap yang berisi variasi konsentrasi larutan fermentasi air kelapa (variasi.1, variasi.2 dan variasi.3), dan 1 lavitrap yang berisi air hujan. Adapun prosedur penelitian adalah sebagai berikut: Pembuatan Lavitrap Alat : (a) Bor Listrik dan mata bor paralon, (b) Silikon gun, (c) Cutter, (d) Gunting, (e) Gergaji, (f) Palu, (g) Meteran, (h) Spidol permanen warna hitam Bahan: (a) Toples Plastik ukuran 1800 ml, (b) Lem silicon, (c) Plastik kresek hitam, (d) Selotape (double tape), (e) Isolasi (Lakban transparan), (f) Kassa nyamuk, (g) Kabel pengikat, (h) Botol air mineral ukuran 600 ml, (i) Kayu ring lap, (j) Paku Cara membuat : (a) Siapkan seluruh peralatan dan bahan yang akan digunakan, (b) Lubangi tutup toples dengan menggunakan bor listrik, (c) Masukkan botol air mineral ke dalam lobang pada tutup toples dengan posisi terbalik (mulut botol ke arah bawah/ke dalam toples), (d) Lem tutup toples dan botol air mineral menggunakan lem silikon, (e) Potong bagian bawah botol air mineral sesuai dengan ukuran yang ditentukan, (f) Pasang kassa nyamuk ke mulut botol air mineral dan ikat dengan kabel pengikat, (g) Beri tanda pada bagian sisi luar toples plastik menggunakan spidol permanen warna hitam sebagai tanda batas larutan yang akan dimasukkan ke dalam toples, (h) Lapisi bagian luar toples dan botol mineral dengan plastik kresesk hitam agar kondisi di dalam toples terlihat gelap, (i) Lavitrap selesai dibuat, (j) Potong kayu ring lap sesuai ukuran dan dirangkai sampai menjadi kerangka kayu untuk menempatkan 4 buat toples (lavitrap), (k) Masukkan 4 buah lavitrap ke dalam kerangka kayu dan lavitrap siap untuk dipasang di lapangan. Persiapan Air Kelapa Alat: (a) Jerigen plastik, (b) Ember / baskom, (c) Gelas ukur, (d) Saringan the, (e) Bahan: Air Kelapa sebanyak 48 liter ….. {(2 : 1) X 1.600 ml X 20 bh = 21,33 liter}; + {(1 : 1) X 1.600 ml X 20 bh = 16 liter}; + {(1 ; 2) X 1.600 ml X 20 bh = 10,66};
Cara kerja: (a) Siapkan air kelapa yang dibeli dari penjual di pasar dan dimasukkan ke dalam jerigen, (b) Lakukan penyaringan air kelapa dengan menggunakan saringan teh saat memindahkan air kelapa dari jerigen ke dalam baskom tujuannya agar tidak ada sampah yang terikut ke dalam air kelapa yang akan digunakan, (c) Ukur atau takar total kebutuhan air kelapa dengan menggunakan gelas ukur dan masukkan kembali air kelapa yang sudah disaring ke dalam jerigen, (d) Air kelapa siap dibawa ke lapangan untuk proses penelitian Persiapan Ragi Alat: (a) Timbangan analitik, (b) Sendok, (c) Alat penumbuk untuk menghaluskan ragi Bahan: (a) Ragi, (b) Kantong plastik transparan, (c) Kertas label Cara kerja: (a) Haluskan ragi menggunakan alat penumbuk sehingga berubah menjadi butiran halus seperti tepung, (b) Timbang tepung ragi sesuai dengan ukuran yaitu 8 gr dengan menggunakan sendok dan masukkan ke dalam kantong plastik transparan (c) Lakukan proses penimbangan sampai seluruh kebutuhan ragi terpenuhi yaitu 8 gr X 60 kantong (d) Berikan label pada kantong plastik sesuai dengan variasi perlakuan yang dibuat, (e) Ragi siap digunakan untuk proses penelitian. Persiapan Air Hujan Alat: Centong/gayung dan Ember Bahan: Air Hujan Cara Kerja: (a) Ambil air hujan dari tempat penampungan air hujan masyarakat (tempayan/drum plastik/fiber) menggunakan centong/gayung, (b) Masukkan air hujan ke dalam ember, (c) Air hujan siap digunakan untuk penelitian Prosedur Pelaksanaan Penelitian Persiapan: (a) Perijinan Puskesmas Perumnas I Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Kota Pontianak. Berdasarkan komunikasi dengan Kepala Puskesmas dan Petugas Sanitarian dipilihlah wilayah RT 05 RW 18, gang Kayumanis I Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Kota Pontianak. (b) Perizinan dengan ketua RT. 05 RW. 18 dan pertemuan dengan warga yang rumahnya dijadikan sebagai lokasi penempatan lavitrap. (c) Melakukan observasi lokasi dan penyebaran rumah masyarakat sebanyak 20 rumah yang akan
384 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.380 - 389
dijadikan sebagai tempat peletakan 4 buah lavitrap dengan berbagai jenis atraktan pada setiap rumah. Pelaksanaan : (a) Menyiapkan seluruh alat dan bahan yang akan digunakan (b) Masukkan air kelapa ke dalam lavitrap dengan berbagai variasi perbandingan antara air kelapa dengan air hujan (2 : 1; 1 : 1; dan 1:2). (c) Bawa lavitrap ke rumah masyarakat yang sudah ditentukan. (d) Masukkan air hujan ke dalam lavitrap sampai batas 1.600 ml. (e) Masukkan ragi ke dalam lavitrap yang berisi air kelapa (keterangan : lavitrap yang hanya berisi air hujan tidak diberikan ragi). (d) Letakkan lavitrap di lokasi yang teduh dan upayakan dekat dengan tempat penampungan air hujan yang dimiliki masyarakat. (e) Amati lavitrap setiap seminggu sekali selama 3 minggu Pengamatan Jentik: (a) Lakukan pengamatan keberadaan jentik di dalam lavitrap setiap seminggu sekali. (b) Pengamatan dilakukan selama 3 minggu HASIL Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapat data banyaknya nyamuk yang tertangkap di dalam lavitrap. Banyaknya nyamuk yang tertangkap dihitung berdasarkan adanya jentik yang ada di dalam lavitrap setelah dibiarkan selama 3 minggu di lokasi penelitian. Pengamatan keberadaan jentik dilakukan setiap seminggu sekali selama 3 minggu dan setiap kali pengamatan dilihat ada tidaknya jentik di dalam lavitrap. Hasil pengamatan keberadaan jentik lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pemantauan Keberadan Jentik Dalam Lavitrap Minggu Pertama Di RW. XVIII/RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2016 Nomor Jumlah Jentik / Lavitrap / Perlakuan Urut Rumah Air Hujan Variasi.1 Variasi.2 Variasi.3 Warga a b c d e Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 1 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 2 3
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
4
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
5
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
6
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
7
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
8
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
9
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
10
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
11
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
12
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
13
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
14
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
15
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
16
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
17
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
18
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
19
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
20
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
Total
0/20 (0%) 0/20 (0%) 0/20 (0%) 0/20 (0%)
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 1. di atas dapat dijelaskan bahwa pada minggu pertama belum ditemukan keberadaan jentik di dalam semua lavitrap perlakuan baik lavitrap yang berisi air hujan maupun lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa (variasi.1, variasi.2 dan variasi.3).
Hajimi, Efektifitas Larutan Fermentasi Air... 385
Tabel 2. Hasil Pemantauan Keberadan Jentik Dalam Lavitrap Minggu Kedua Di RW. XVIII/RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2016
Tabel 3. Hasil Pemantauan Keberadan Jentik Dalam Lavitrap Minggu KetigaDi RW. XVIII/RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2016
Nomor Jumlah Jentik / Lavitrap / Perlakuan Urut Rumah Air Hujan Variasi.1 Variasi.2 Variasi.3 Warga a b c d e Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 1 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 2 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 3 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 4 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 5 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 6 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 7 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 8 Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada 9 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 10 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 11 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 12 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 13 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 14 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 15 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 16 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 17 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 18 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 19 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 20 Total 4/20 (20%) 0/20 (0%) 1/20 (5%) 1/20 (5%)
Nomor Jumlah Jentik / Lavitrap / Perlakuan Urut Rumah Air Variasi.1 Variasi.2 Variasi.3 Warga Hujan a b c d e Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 1 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 2 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 3 Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada 4 Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada 5 Ada Tidak Ada Ada Ada 6 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 7 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 8 Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada 9 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 10 Ada Tidak Ada Ada Ada 11 Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada 12 13 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 14 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 15 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 16 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 17 Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada 18 Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 19 Ada Tidak Ada 20 Tidak Ada Tidak Ada 16/20 Total 0/20 (0%) 5/20 (25%) 6/20 (30%) (80%)
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dijelaskan bahwa pada minggu kedua sudah ditemukan keberadaan jentik di dalam beberapa lavitrap paling banyak adalah dalam lavitrap yang berisi air hujan (4 / 20%). Sedangkan pada lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1 tidak ditemukan keberadaan jentik (0%).
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa pada minggu ketiga ditemukan keberadaan jentik di dalam hampir semua lavitrap yang berisi air hujan (80%). Sedangkan pada lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1 tetap tidak ditemukan keberadaan jentik (0%).
386 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.380 - 389
Tabel 4. Rekapitulasi Jumlah Jentik Dalam Lavitrap Di RW. XVIII / RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2016
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Jentik Dalam Lavitrap Di RW. XVIII / RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak
Nomor Jumlah Jentik / Lavitrap / Perlakuan Urut Jumlah Rumah Air Variasi. Variasi. Variasi. Warga Hujan 1 2 3 a b c d e f 4 0 0 0 1 4 2 0 0 0 2 2 2 0 0 0 3 2 0 0 1 0 4 1 14 0 0 1 5 15 17 0 1 1 6 19 2 0 0 0 7 2 1 0 0 0 8 1 0 0 453 3 9 456 3 0 0 0 10 3 23 0 9 1 11 33 6 0 0 1 12 7 0 0 0 0 13 0 6 0 0 0 14 6 4 0 0 0 15 4 2 0 0 0 16 2 5 0 0 0 17 5 57 0 0 2 18 59 7 0 0 0 19 7 0 0 1 0 20 1 155 465 629 Total 0 (0%) 9 (1,43%) (24,64%) (73,93%) (100%)
No Jenis Larutan N Mean Kolmogorov Asymp. Smirnov-Z Sig (2Tailed)
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah jentik yang ditemukan paling banyak pada lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa variasi.2 (456 ekor / 72,2%).
Analisis Bivariat Berdasarkan hasil uji normalitas data menggunakan uji kolmogorov Smirnov didapatkan bahwa data hasil penelitian tidak berdistribusi normal, dimana baik lavitrap yang berisi air hujan maupun lavitrap yang bersisi larutan fermentasi air kelapa semuanya nilai-p < α (0,05). Untuk lebih jelasnya, hasil uji normalitas data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Barat Tahun 2016
20 1. Air Hujan 20 2. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi1
7.75 0.00
1.444 -
0.031 -
20 23.25 3. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi2
2.263
1.821
20 4. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi3
0.000
0.003
0.45
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil uji normalitas data seperti pada tabel 5 di atas diketahui semua data tidak berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan untuk melihat perbedaan efektivitas larutan fermentasi air kelapa sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti aegypti adalah uji Kruskal Wallis. Tabel 6. Hasil Uji Kruskal Wallis Tentang Efektifitas Larutan Fermentasi Air Kelapa Sebagai Atraktan Nyamuk Aedes aegypti aegypti Di RW. XVIII / RT. 05 Kelurahan Sungai Jawi Luar Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2016 No
Jenis Larutan
N
1. Air Hujan 2. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi1 3. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi2 4. Larutan Fermentasi Air Kelapa Variasi3
20 20
Mean ChiAsymp. Rank Square Sig 61.40 27.00 33.819 0.000
20
36.62
20
36.98
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis seperti pada tabel 6 di atas diketahui nilai p (Asymp. Sig) adalah 0,000 < α (0,05), artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang signifikan antara
Hajimi, Efektifitas Larutan Fermentasi Air... 387
variasi larutan atraktan terhadap jumlah jentik yang ditemukan di dalam lavitrap. PEMBAHASAN Hasil uji Kruskal Wallis diketahui nilai p (Asymp. Sig) adalah 0,000 < α (0,05), artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang signifikan antara variasi larutan atraktan terhadap jumlah jentik yang ditemukan di dalam lavitrap. Adanya perbedaan tersebut dapat dijelaskan karena hampir semua lavitrap yang berisi air hujan ditemukan jentik (16 lavitrap), sedangkan semua lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1 tidak ditemukan jentik (0%), lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 2 (5 lavitrap) dan variasi 3 (6 lavitrap) ditemukan keberadaan jentik pada beberapa lavitrap. Keberadaan Jentik dalam Lavitrap berisi Air Hujan Berdasarkan hasil penelitian, dari 20 buah lavitrap yang berisi air hujan yang diletakkan di 20 rumah masyarakat terdapat 16 buah lavitrap yang ditemukan jentik nyamuk dengan jumlah jentik sebanyak 167 ekor. Hal ini membuktikan bahwa air hujan merupakan air yang cocok untuk media berkembang biaknya (Breeding Places) nyamuk dan memang selama ini sudah terbukti bahwa air hujan merupakan tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti aegypti. Mengapa air hujan disenangi oleh nyamuk Aedes aegypti karena pada dasarnya air hujan hanya mengandung bahan-bahan yang berasal dari reaksi zat-zat yang ada di atmosfer dengan butiran air yang melewatinya. Umumnya terdiri dari 99,99 % massa H2O dan sisanya adalah zat-zat yang ikut tercampur dengan air hujan, dapat berupa zat padat yang mudah larut dalam air dan dapat juga berupa gas. Kandungan air hujan juga sangat tergantung pada kondisi geologi, jumlah penduduk dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Sehingga kandungan air hujan tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai contoh di daerah yang banyak terdapat pabrik industri dan aktifitas kendaraan bermotor sangat tinggi, maka kandungan air hujan akan banyak mengandung unsur logam dan unsur kimia lainnya, sedangkan di daerah laut terbuka sampai daerah yang dekat dengan pantai, air
hujan akan banyak mengandunggaram, CO2, dan bersifat asam. Selain itu tempat penampungan air hujan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas air hujan. Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang potensial biasanya berupa genangan air yang tertampung di dalam suatu wadah (kontainer) yang tidak berhubungan langsung dengan tanah, dan airnya digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari seperti tempayan, drum, bak mandi dan bak WC dan kontainer lainnya yang sejenis. Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam atau sekitar rumah atau di tempat-tempat umum yang biasanya tidak melebihi jarak 500 m dari rumah. Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau wadah, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Tempat perindukan nyamuk ini biasanya terlindung dari pancaran langsung sinar matahari dan mengandung air bersih dengan pengertian clear water bukan clean water (Depkes RI dalam Yulistyawati 2011). Keberadaan Jentik dalam Lavitrap berisi larutan Fermentasi Air Kelapa Berdasarkan hasil penelitian, dari 20 buah lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1 = 2 : 1(air kelapa : air hujan / 1.066,66 ml : 533,33 ml) yang diletakkan di 20 rumah masyarakat ternyata seluruh lavitrap tidak ditemukan jentik nyamuk (0%). Sedangkan dari 20 buah lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 2 = 1 : 1(air kelapa : air hujan / 800 ml : 800 ml) dan 20 buah lavitrap yang berisi larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 3 = 1 : 2 (air kelapa : air hujan / 533,33 ml : 1.066,66 ml) yang diletakkan di 20 rumah masyarakat ternyata ditemukan jentik nyamuk pada beberapa lavitrap yaitu masing-masing (5 lavitrap) dan (6 lavitrap). Hal ini membuktikan bahwa larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1 ini tidak cocok atau tidak disenangi oleh nyamuk Aedes aegypti. Sementara larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 2 dan variasi 3 mempunyai potensi untuk dijadikan breeding places nyamuk Aedes aegypti. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 1
388 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.380 - 389
ini larutannya berwarna putih keruh, terdapat lapisan lemak di atas permukaan larutan sehingga menutupi permukaan larutan. Selain itu hasil dari proses fermentasi menimbulkan bau busuk yang cukup menyengat. Sementara pada larutan fermentasi air kelapa dengan variasi 2 dan variasi 3 warnnya tidak sekeruh larutan pada variasi.1, lapisan lemak yang menutupi permukaan larutan tidak sebanyak variasi 1 dan bau busuk yang ditimbulkan juga tidak sekuat bau pada variasi 1. Hal ini terjadi karena di dalam air kelapa terdapat kandungan bahan kimia berupa protein, karbohidrat dan lemak jika terjadi proses dekomposisi akan menimbulkan lapisan lemak dan bau menyengat. Menurut Anonim, 2005 dalam Kusumawardhani, 2011, dijelaskan bahwa air kelapa merupakan bagian dari buah kelapa yang mempunyai kandungan nutrisi/zat gizi yang cukup lengkap bagi kesehatan manusia. Kandungan gizi air kelapa tidak hanya unsur makro tetapi juga mengandung unsure mikro. Unsur makro yang terkandung dalam air kelapa adalah karbon dan nitrogen. Unsur karbon dalam air kelapa berupa karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, sorbitol, inositol, dan lain-lain. Unsur nitrogen berupa protein, tersusun dari asam amino seperti, alin, arginin, alanin, sistin dan serin. Sebagai gambaran, kadar asam amino air kelapa lebih tinggi dari kadar asam amino dalam susu sapi. Selain karbohidrat dan protein, air kelapa juga mengandung unsur mikro berupa mineral yang dibutuhkan tubuh. Mineral tersebut diantaranya Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Ferum (Fe), Cuprum (Cu), Posfor (P) dan Sulfur (S). Menurut Cahyadi, 2007 dalam Kusumawardhani, 2011 dijelaskan juga bahwa kandungan protein, karbohidrat dan lemak dalam air kelapa tua per 100 gram adalah masing-masing 0,20 gram, 3,80 gram dan 1,00 gram. Hasil dekomposisi bahan kimia tersebut mungkin yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan nyamuk tidak senang dan tidak mau mendekat untuk bertelur. Berdasarkan hasil pengamatan, ada satu hal yang menarik perhatian peneliti yaitu jentik yang ada di dalam lavitrap berisi air hujan semuanya masih dalam kondisi hidup. Sebaliknya jentik yang ada di dalam lavitrap berisi larutan fermentasi air kelapa, baik variasi 1 maupun variasi 2 semuanya dalam kondisi mati. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan meminimalisasi berbagai faktor yang tidak bisa dikontrol seperti lokasi peletakan lavitrap, variasi perbandingan air kelapa dengan air hujan dan dosis atau volume ragi yang digunakan. Hal ini karena selain fermentasi air kelapa mempunyai potensi untuk menjadi atraktan nyamuk Aedes aegypti tetapi juga dapat membunuh jentik sehingga akan dapat menekan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu wilayah. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian seperti tersebut di atas mungkin disebabkan oleh beberapa keterbatasan penelitian yang tidak bisa dikontrol dan tidak dilakukan oleh peneliti. Keterbatasan penelitian itu adalah Peneliti tidak melakukan uji pendahuluan sehingga tidak ditemukan perbandingan yang tepat antara air kelapa dengan air hujan, dosis (volume) ragi yang ditambahkan serta air kelapanya harus didiamkan terlebih dahulu atau langsung digunakan, sehingga kualitas kekeruhan air menjadi tinggi. Lokasi peletakan lavitrav di lapangan (di rumah masyarakat) tidak dapat dikontrol oleh peneliti karena tidak dapat meletakkan di tempat yang sesuai karena harus seizin dari masyarakat yang rumahnya dijadikan lokasi, sehingga posisi peletakan lavitrap tidak sama antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang efektifitas larutan fermentasi air kelapa sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Ada perbedaan yang signifikan jumlah jentik nyamuk Aedes aegypti yang terdapat di dalam lavitrap antara semua variasi larutan fermentas air kelapa maupun dengan air hujan dengan nilai p=0,00 (p<0,05). Berdasarkan hasil uji kruskal wallis, tidak diketahui mana yang lebih efektif sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti antara variasi larutan fermentasi air kelapa (variasi 1 dengan variasi 2 maupun dengan variasi 3) karena data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji kruskal wallis, tidak diketahui mana yang lebih efektif sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti antara variasi larutan fermentasi air kelapa (variasi 1 dengan
Hajimi, Efektifitas Larutan Fermentasi Air... 389
variasi 2 maupun dengan variasi 3) dengan air hujan karena data tidak berdistribusi normal. Peneliti lain disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai efektivitas larutan fermentasi air kelapa sebagai atraktan nyamuk Aedes aegypti dengan meminimalisir faktor yang masih bisa dikontrol. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan desain ekperimen murni yaitu dilakukan penelitian skala laboratorium dengan mengontrol semua faktor luar yang dapat mempengaruhi efektifitas atraktan.
Kepada masyarakat dapat mengaplikasikan sendiri perangkap nyamuk (lavitrap) dengan jenis atraktan yang sudah terbukti disenangi oleh nyamk Aedes aegypti, karena terbuat dari bahan alami yang aman bagi manusia dan lingkungan. Pemasangan perangkap nyamuk (lavitrap) harus memperhatikan tempat pemasangan (di dalam atau luar rumah), suhu dan kelembaban, populasi nyamuk dan curah hujan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Nyamuk Menyukai Karbondioksia. Diunduh dari: https://cyberwordinfo. wordpress.com/tag/nyamuk-menyukaikarbon-dioksida/. Departemen Kesehatan, R.I, 2005, Jakarta. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ditjen PP & PL, 2014. Diunduh dari: http://pppl.depkes.go.id/focus?id=1374 2014. https://teorionline.wordpress.com/tag/sampelpopulasi-penelitian-teknik-sampling. Kemenkes. R.I Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014, Petunjuk Teknis Jumantik – PSN Anak Sekolah. .
Kusumawardhani, Wahyu, 2011, Pemanfaatan Air Kelapa Sebagai Produk Olahan Kecap Dengan Penambahan Bubuk Kedelai dan Bubuk Tempe, Skripsi, https://core.ac.uk/download/pdf/1650864 5.pdf Yulistyawati, Ayu, 2011. Penentuan Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion Pada Daerah Endemis Dan Non Endemis Di Kota Semarang. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang. Diunduh dari: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/119 /jtptunimus-gdl-ayuyulisty-5930-3babii.pdf.