ANALISIS DAN PROBLEMA HUKUM SIDANG SATU ATAP PADA PENGADILAN AGAMA OLEH : LA SURIADI PTA. AMBON PENDAHULUAN Upaya yang sedang dilakukan oleh MA dalam hal ini Badilaq terhadap pelaksanaan sidang satu atap pada Pengadilan Agama terus dilakukan dalam rangka membantu masyarakat miskin terkait perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama. Ide serta gagasan yang diprogramkan Badilaq ini , sebagai program prioritas yang telah dirintis oleh para pemikir, cendikiawan dan perancang yang ada di MA baik yang sudah memasuki purnabakti maupun yang masih aktif sebagai pejabat. Kerja sama yang telah dibangun bersama AIPJ sebagai penyandang dana program ini, tentu direspon jajaran peradilan. Namun oleh karena program ini baru dalam dunia peradilan, sehingga perlu persiapan matang oprasionalnya serta teknis pelaksanaannya baik sebelum dan sesudah proses persidangan. Muncul wacana in kracht yang juga menjadi bahan diuskusi. Terkait dengan itu masalah penetapan isbat nikah yang menjadi salah satu kewenangan Pengadilan Agama, selama ini masih menjadi kajian dan analisa hukum terutama pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, d dan e KHI yang belum sejalan dengan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU nomor 32 tahun 1954 tentang pencatan nikah dan PP nomor 9 tahun 1975. Hal yang sama juga diharapkan dengan tulisan yang singkat ini kiranya tidak dijadikan perdebatan menarik tetapi lebih kepada penjernihan pemaknaan hukum sehingga tidak berimplikasi buruk terhadap masyarakat. Dalam membela kepentingannya masyarakat selalu didepan apapun bentuk kepentingan itu. Mereka lebih berpikir rasionalitas, cepat ketimbang proses yang berbelit-belit. Apapun mereka korbankan yang terpenting adalah maksud tujuan mereka tercapai itu slogan masyarakat kita dewasa ini yang sangat kritis dengan perkembangan hukum saat ini.
Oreientasi pemikiran dan langkah kepentingan hukum kedepan tentunya menjadi prioritas yang dikedepankan untuk kepentingan masyarakat miskin, akan tetapi venomena kesengajaan ataupun tidak dengan sengaja mencederai hukum bukan saja masyarakat miskin tetapi lebih banyak masyarakat yang tahu hukum alias orang kaya, pejabat dan lain sebagainya. Oleh sebab itu celah hukum yang positip sesungguhnya menjadi harapan dan taruhan untuk tetap dipertahankan jangan kemudian ada segelintir kepentingan hukum akan mencederai hukum itu sendiri. PROBLEMA HUKUM Konsekwensi hukum terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman merupakan mata rantai yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan proses persidangan. Apapun bentuk keputusan yang dapat diambil secara otomatis berimplikasi pula terhadap pertanggung jawaban baik secara fertikal maupun horizontal. Dalam implementasi pelaksanaan proses peradilan masih dijumpai penyelundupan hukum baik langsung ataupun berencana demi untuk tercapainya kepentingan hukum. Hal ini tentu menjadi catatan kritis dalam membangun kesadaran hukum dandinamika hukum yang berdampak positip bagi masyarakat, terutama masyarakat yang tidak memahami hukum secara paripurna. Konteks pemahaman hukum oleh kalangan masyarakat dewasa ini lebih tertuju kepada fakta objektif di lapangan, ketimbang rekayasa hukum yang mempolitisir kepentingan hukum. Contoh misalnya seseorang yang telah terikat dengan suatu perkawinan yang sah, yang dijalani sesuai dengan tuntunan amanat UU. Dikemudian hari masing-masing ingin menikah lagi tanpaharus memandang resiko hukum yang akan timbul kemudian. Keinginan untuk menikah lagi sudah banyak terjadi dikalangan masyarakat kita yang kita kenal dengan nikah siri atau nikah dibawah tangan. Misalnya contoh kasusu pernikahan antara Hj. Aisyah Mochtar binti H. Mochtar Ibrahim dengan Drs. Moerdiono mantan Sekneg. Pernikahan telah dilangsung dengan Wali, saksi serta mahar berupa seperangkat alat sholat, uang 2.000 Riyal, satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nikah yang dilangsungkan itu sudah tercatat di KUA atau petugas PPN ? Apakakah sudah
sesuai dengan amanat UU nomor 32 tahun 1954, UU nomor 1 tahun 1974 serta PP nomor 9 tahun 1975.Kalaupun perkawinan tersebut dilangsungkan siapa yang menikahkan padahal Moerdiono statusnya adalah sudah berkeluarga tentunya dia terhalang untuk menikah lagi karena masih beristeri. Contoh kasusu yang lain adalah pernikahan Aceng Fikry ( matan Bupati Garut ) dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi kunsumsi public. Kedua contoh kecil tersebut menjadi pembicaraan public sejauh mana kepastian hukum perkawinan mereka.Mereka ingin kepastian hukum terhadap perkawinan yang mereka lakukan.Kalau menginginkan kepastian hukum terhadap suatu perkawinan maka seyogyanya hukum itu ditaati dan jangan dilanggar.Rukun dan syarat suatu perkawinan tidak menjamin perkawinan itu sah kalau tidak dicatat di KUA atau PPN. Slogan “ secara agama sah “ terhadap perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat hanyalah fatamurgana yang dapat merugikan masyarakat sepanjang hidupnya apabila perkawinan tersebut tidak dicatat. Apapun alasan hukumnya suatu perkawinan yang sah tetapi tidak dicatat maka perkawinan tersebut tetap dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum apalagi kekuatan pembuktian. Maka dari itulah celah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap perkawinan tersebut, dapat dilalui dengan isbat nikah melalui lembaga Peradilan Agama yang berwenang untuk memproses permohonan isbat nikah yang diajukan oleh pihak-pihak yang beragama Islam. Tentu tidak semudah itu harapan masyarakat untuk sebuah perkawinan yang sah yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam proses penegakkan hukum. Pengadilan dalam hal ini tidak akan ceroboh dan lepas control dalam menangani masalah isbat nikah yang diajukan kepadanya. Prinsipnya UU membolehkan seseorang yang sudah menikah/ berkeluarga boleh menikah lagi dengan perempuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 3 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 misalnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kenapa hal itu tidak dilakukan oleh mereka dengan mengajukan permohonanpoligami ke Pengadilan Agama untuk memperoleh izin menikah lagi. Akan tetapi jalan yang ditempuh malah menikah tanpa izin Pengadilan, padahal pasal 9 UU nomor 1 tahun 1974
tidak membolehkan seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, sehingga yang terjadi adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi konsumsi public dengan diajukannya permohonan kepada Mahkamah Konstitusi RI untuk memutuskan tentang kedudukan anak yang dilahirkan itu.Maka dengan demikian lahirlah putusan MK Nomor 46/PUUVIII/2010, yang menganulir pasal 43 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan “ anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ sehingga ayat tersebut harus dibaca “ anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya “ Pertanyaan kemudian berkembang lagi tentang keabsahan dari pada pernikahan tersebut. Siapa atau lembaga mana yang akan mengesahkan pernikahan tersebut ?sebab dengan keabsahan pernikahan tersebut, kedudukan isteri dan anak sebagai ahli waris yang berhak mendapatkan hak waris dari pewaris dalam hal ini suami. Maka oleh karena itu ujung-ujungnya adalah mengajukan penetapan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Disinilah kemudian timbul pertanyaan lagi. Apakah seorang Hj. Aisyah Mochtar dalam kedudukan sebagai isteri dan Muhammad Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono sebagai anak tetap dengan keadaan yang ada ? Apakah mereka tergolong orang tidak mampu atau miskin ? tidak memiliki finansial yang cukup ? Kemudian apakah boleh permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama padahal perkawinannya dilangsung setelah berlakunya UU nomor 1 tahun 1974 ? Dan apa kemudian konsekwensinya terhadap pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, d, dan e KHIapakah dapat dipertahankan dan dipertanggung jawabkankalau kemudian permohonan penetapan isbat nikah tersebut dikabulkan ? Apakah dengan peluang yang ada tidak memberi contoh serta ruang kepada yang lain untuk nikah siri atau nikah dibawah tangan ? Karena dalam praktek di Pengadilan begitu banyak isbat nikah yang diajukan oleh pihak-pihak yang
menikah setelah UU nomor 1 tahun 1974. Dalam perjalanan UU nomor 1 tahun 1974 hingga sekarang kurang lebih 39 tahun silam apakah masyarakat atau pihak-pihak yang menikah dikala itu tidak mencatat pernikahannya di KUA atau PPN yang ditunjuk untuk itu padahal kita ketahui UU nomor 32 tahun 1954 sudah menjadi pedoman dan petunjuk pelaksanaannya ? Dari gambaran singkat di atas terdapat permasalahan hukum yang kita jumpai salah satu contoh kecil adalah perkawinan antara Hj. Aisyah Mochtar dengan Drs. Moerdiono yang berlangsung pada tanggal 22 Desember 1993, dan perkawinan Aceng Fikry beberapa waktu yang lalu setidak tidaknya dalam tahun 2013. Ilustrasi di atas adalah contoh kecil dan masih banyak deretan panjang perkawinan yang sama dilakukan oleh masyarakat yang belum terekam/terpublikasi oleh media. PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM ( in kracht ) Lagi-lagi wacana hukum terus berkembang tentang in racht terhadap perkara isbat nikah. Lompatan in kracht dibawah 14 hari kerja menjadi perbincangan menarik untuk didiskusikan. Belum lagi upaya kerja sama dengan Kementrian Agama yang sementara ini dibangun apakah berhasil ataukah tidak, semua terpulang kepada 3K ( kemauan, keseriusan dan sungguhan ) dari MA dalam hal ini Badilaq. Problematika hukum yang terjadi dikalangan masyarakat dewasa ini terus mendapat sorotan tajam apalagi belum ada kepastian hukum dari pada suatu proses hukum . Anggapan sebagian masyarakat saat ini bahwa proses hukum dalam suatu perkara baik itu kontensius maupun voluntair mendapat respon berbeda. Misalkan saja permohnan cerai thalak yang diajukan oleh suami terhadap isteri. Permohonan tersebut dikabulkan Pengadilan dengan memutuskan ikatan perkawinan antara suami (pemohon) dengan isteri (Termohon). Pandangan sebagian masyarakat bahwa dengan putusnya perkawinan oleh Pengadilan tersebut, bisa dijadikan dasar untuk melangsungkan pernikahan lagi dengan perempuan/laki-laki lain tanpa harus in kracht.
Kita boleh berbeda pandang tentang hal ini, akan tetapi dalam praktek masyarakat jauah sebelum itu sudah dilaksanakan/kerjakan. Kita baru membicarakan in kracht untuk di mundurkan dari ketentuan 14 hari . Kalau terobosan hukum terhadap ketentuan in kracht bisa dumundurkan dari 14 hari maka konsekwensinya adalah in kracht tersebut tidak berkekuatan hukum secara formal tetapi mempunyai kepentingan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan hukum ketika itu untuk maksud meminimalisir mudhorat yang terjadi di masyarakat. Kalaupun ini yang menjadi wacana untuk segera mendapatkan identitas hukum terutama bagi masyarakat miskin yang mengajukan isbat nikah maka seyogianya hal itu bisa dipandang sebagai manifestasi dari penyelundupan hukum. Karena itu barangkali perlu pemikiran yang clier, cerdas untuk menyuling wacana in kracht yang lebih tepat dan bernuansa netral ketimbang memaksa dengan kepentingan yang lain walaupun hal itu untuk kepentingan masyarakat miskin. Asumsi saya bahwa kalaupun masa in kracht itu tetap sesuai ketentuan namun dalam implementasinya di sesuaikan dengan tenggang waktu 14 hari yang dilalui dengan teknis oprasional pengambilan yang kemudian diatur tersendiri sehingga tidak menimbulkan implikasi hukum. Contoh misalnya setelah sidang buku nikah sudah disiapkan oleh KUA saat itupun bisa diambil setelah putusan, akan tetapi dalam pelaksanannya hal itu baru in kcraht setelah 14 hari jadi yang dihitung bukan pada saat ambilnya tetapi yang dihitung pada saat in kracht yaitu 14 hari. Hemat saya adalah optimalisasi legal identity yang menjadi pemikiran kedepan sehingga harapan dari masyarakat miskin terkait dengan isbat nikah yang diajukan secepatnya diperoleh.Yang menjadi kekhawatiran adalah implementasinya terhadap percepatan pengambilan buku nikah setelah putusan. Apakah bisa dijamin setelah putusan tersebut buku nikah sudah bisa diambil ataukah menunggu in kracht ?inilah kemudian menjadi catatan kritis perlu pemikiran yang cerdas untuk menjawabnya.