ANALISIS ALASAN PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA OLEH AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN 2002-2010
SKRIPSI
M. ANGGA SAPUTRA F24070076
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANALISYS OF REASON OF INDONESIAN FOOD PRODUCT EXPORT REFUSAL BY THE UNITED STATES AND EUROPE DURING THE YEARS 2002-2010
M. Angga Saputra and Purwiyatno Hariyadi Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone : +62 85695531418, E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Many detention and refusal case of food-product in foreign countries was occurring on each year. Indonesia as one of the country which exporting food-product to the overseas, often having detention and refusal case of food-product in United States and Europe. During the years of 20022010, Indonesia had experienced a case of rejection of food products in United States about 2608 cases and in Europe about 35 cases. Fishery products are a product with the highest number of rejection; it is about 1300 cases in United States and about 12 cases in Europe. The development in the case of rejection for food products that occurs every year during the years 2002-2010 showed a fluctuating growth. Based on the pareto chart, it is determined that the main problem of food products rejection cases that occurred in the US and Europe on fishery products is filthy and mercury. There are 2 factors that caused these problems based on the Ishikawa diagram. Those factors are the environments and humans. Keywords : food-product, refusal case
M. ANGGA SAPUTRA. F24070076. Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010. Di bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi. 2011.
RINGKASAN Perubahan global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan perdagangan internasional. Perubahan ini menuntut semua negara untuk berupaya optimal dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing. Salah satu syarat dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing adalah terjaminnya mutu dan keamanan produk khususnya produk pangan. Kasus penahanan dan penolakan produk pangan di luar negeri telah banyak terjadi setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri sering mengalami berbagai kasus penolakan dan penahanan ekspor pangan yang sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan internasional. Semua hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melakukan analisis terhadap kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002 sampai 2010. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi lengkap mengenai kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama 2002-2010. Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap yaitu (1) pengumpulan data, (2) pengelompokan data, dan (3) analisis data. Pada penelitian tahap 1, data diperoleh dengan cara mengakses data ke website (www.fda.gov) melalui internet yang dipublikasikan oleh US-FDA (United State-Food and Drug Administration) dan ke website (www.ec.europa.eu) melalui internet yang di publikasikan oleh Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed). Data yang diambil adalah data kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia dari tahun 2002 sampai 2010. Hasil pengumpulan data menunjukan bahwa selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami 2608 kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat dan sebanyak 327 kasus produk pangan bermasalah di Eropa dengan 35 kasus produk pangan mengalami penolakan. Hasil pengelompokan data menunjukan bahwa produk pangan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat terdiri dari 20 jenis produk pangan yaitu produk ikan dengan 1300 kasus, produk udang dengan 571 kasus, crabs produk kepiting sebanyak 217 kasus, produk minuman sebanyak 85 kasus, produk bumbu-bumbuan sebanyak 77 kasus, rempah-rempah sebanyak 43 kasus, cumi-cumi sebanyak 39 kasus, produk permen dan produk kue masing-masing sebanyak 29 kasus, produk saus dan kecap sebanyak 27 kasus, produk kerupuk sebanyak 22 kasus, gula sebanyak 18 kasus, produk kari sebanyak 13 kasus, salad dressing sebanyak 12 kasus, agar-agar dan jeli, produk mie serta semur masing-masing 11 kasus, produk biskuit sebanyak 10 kasus dan produk lainnya sebanyak 83 kasus. Produk pangan yang mengalami penolakn di Eropa terdiri dari produk ikan sebanyak 12 kasus, rempah-rempah sebanyak 7 kasus, produk kacang sebanyak 4 kasus, produk daging, produk cumi-cumi dan kepiting masing-masing sebanyak 3 kasus, dan buah dan sayuran, permen dan produk campuran lainnya masing-masing sebanyak 1 kasus. Hasil analisis data penolakan produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010 menunjukan bahwa produk ikan merupakan produk pangan dengan jumlah kasus penolakan terbanyak. Produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebanyak 1300 kasus dan di Eropa sebanyak 12 kasus. Penolakan produk ikan ini didasarkan atas alasan yang terjadi pada produk ikan tersebut sehingga mengalami penolakan. Alasan terjadinya kasus penolakan pada produk ikan di Amerika
Serikat adalah filthy, sedangkan pada kasus penolakan di Eropa adalah karena tercemar atau mengandung mercury. Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 yang dialami oleh Indonesia menunjukan perkembangan yang fluktuatif. Selama tahun 2002-2010 indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203 kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus, sedangkan kasus penolakan yang terjadi di Eropa selama tahun 20022010 hanya terjadi pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Perkembangan kasus yang terjadi bersifat fluktuatif atau naik turun sehingga sulit untuk mencari tahu penyebab kasus yang terjadi sepanjang tahunnya selama tahun 2002-2010. Berdasarkan diagram pareto untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, ditentukan masalah utama terjadinya kasus penolakanj produk pangan yaitu produk ikan asal Indonesia adalah filthy dan mercury. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut berdasarkan diagram ishikawa adalah faktor manusia dan lingkungan. Lingkungan tempat pengolahan produk pangan harus jauh dari sumber pencemaran, sarang hama, dan memiliki bangunan yang dirancang dengan baik agar alasan filthy dan tercemar merkuri dapat dihindari. Faktor manusia, dalam hal ini adalah nelayan dan karyawan, harus memiliki keahlian dalam penanganan dan pengolahan pangan yang baik serta memiliki tingkah laku yang baik pula agar kontaminasi terhadap produk akibat keahlian serta tingkah laku yang kurang baik dapat dihindari.
ANALISIS ALASAN PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA OLEH AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN 2002-2010
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh M. ANGGA SAPUTRA F24070076
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010 : M. Angga Saputra : F24070076
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc NIP 19620309 198703 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc NIP 19680526 199303 1 004
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010 adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 2011 Yang membuat pernyataan
M. Angga Saputra F24070076
© Hak cipta milik M. Angga Saputra, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS M. Angga Saputra dilahirkan di Banjarnegara tanggal 23 Januari 1989, dari pasangan Bapak Antosin dan Ibu Eti. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Cokroaminoto kemudian melanjutkan ke SD Swasta Kartika X-2 hingga tahun 2001. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 235 Jakarta pada tahun 2001-2004, kemudian pendidikan ke SMA Negeri 90 Jakarta pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis terlibat dalam satu organisasi kemahasiswaan, yaitu Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB. Penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan yaitu Ekspedisi Global UKF IPB Taman Nasional Ujung Kulon 2008, UKF EXPO 2009, Metamorfosa UKF IPB 2010. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010” dibawah bimbimngan Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc.
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT karena dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juni sampai Agustus 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan memperoleh data dan informasi lengkap mengenai kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia oleh US-FDA dan Europa-RASFF selama tahun 2002-2010. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada: 1. Keluarga tercinta : Mama, Papa, Mbak Febri, Mbak tri dan loreng atas doa, perhatian, dan dukungan yang diberikan selama penulisan skripsi. 2. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembimbing atas waktu, masukan, dan arahan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Eko Hari Purnomo, Stp, M.Sc dan Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc atas kesediaan waktunya untuk menjadi penguji dan masukan yang telah diberikan. 4. Sahabat-sahabat UKF angkatan 5, Aidell, Angga, Izzu, Akrom, Luci, Yudia, Dini, Rizki, Asih, Mia, Nurol, Soni, Dendi, Juli, Ika, Mastika, Maul, Reza, Putu, Atik, “Mpok”, Adam, Indi, Agung, Aziz, Gilang, Nisa, Yeni, Risma, Uphyl, Hermin, Bagus S, Reni, Ulil, Bagus C semoga kita tetap kompak dan berteman selamanya. 5. Sahabat dan teman seperjuangan di UKF Breth, Ichi, Bibah, yeni, Rimbut, Jasmine, Innes, Heri, Echa, dan lainnya atas keceriaan, kekeluargaan dan kenangan yang telah diberikan. Semangat untuk melestarikan alam, Selamatkan Fauna Indonesia! 6. Sahabat ITP 44 Desir, Marvin, Hanna, Chandra, Ashari dan teman-teman ITP lainnya yang sudah memberikan dukungan dan kenangan semasa perkuliahan. 7. Penghuni “Wisma My House” Imam dan Agus atas keceriaannya selama di kosan. 8. Para staff SEAFAST dan Dept ITP Bu Novi, Mba Anie, Pak Nana, Pak dan lainnya yang telah banyak membantu penulis. 9. Pihak-pihak lain yang terkait yang juga telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi dalam teknologi pangan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………………………… I. PENDAHULUAN ................................................................................................................. A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................... B. TUJUAN ........................................................................................................................... C. MANFAAT ...................................................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ A. KEAMANAN PANGAN ................................................................................................ B. US-FDA (UNITED STATES-FOOD AND DRUG ADMINISTRATION ..................... C. UNI EROPA-RASFF (RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED.................. III. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... A. PENGUMPULAN DATA................................................................................................. B. PENGELOMPOKAN DATA............................................................................................ C. ANALISA DATA ............................................................................................................. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................... A. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT OLEH US-FDA............................................................................................... B. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI EROPA OLEH EUROPA-RASFF................................................................................................... C. ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN DI AMERIKA SERIKAT DAN EROPA....................................................... V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. DAFTAR PUSATAKA ................................................................................................................. LAMPIRAN……………………………………………………………………………………...
iii iv v vii x 1 1 1 2 3 3 4 5 8 8 8 8 10 10 20 29 46 48 52
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22
Gambar 23 Gambar 24
Perkembangan jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010.............................................................................. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami kasus penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………………………………………... Jumlah kasus dan jenis produk pangan untuk produk lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010………………………. Perkembangan persentase kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan seafood (ikan, udang, kepiting) oleh US-FDA selama tahun 20022010………………..………...................................................................................... Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh USFDA selama tahun 2002-2010……………………………………...……………... Jumlah kasus dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010………………….………………………... Jumlah kasus dan jenis produk ikan tuna yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………………………………………… Jenis alasan dan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan yang ditolak oleh US-FDA selama 2002-2010................................................................................... Jenis alasan dan jumlah kasus penolakan yang terjadi untuk alasan lainnya pada produk pangan yang ditolak oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan filthy, salmonella, dan no process and needs fce oleh US-FDA selama tahun 2002-2010………….…….. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………………………. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………………… Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan needs fce dan no process di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……….. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………………..…... Perkembangan kasus yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………………………………………. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010………….…………………. Jumlah persentase notification yang terjadi setiap tahunnya pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………….…. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010………………………………….… Jumlah kasus dan jenis produk pangan lainnya yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……….………………….… Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……………………………………….… Jumlah kasus dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……..……………….......... Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi berdasarkan notification yang diterima produk pangan ekspor Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………..……………………………………………………………... Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………………………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010………..……………………
10 11 11
12 13 14 15 15 16 17 18 19 19 20 21 21 22 23 23 24 25
26 27 28
v
Gambar 25 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28 Gambar 29
Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASF selama tahun 2002-2010…………………...……………………… Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010………………...…………... Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan tuna di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………………………………….…... Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………………...……... Diagram sebab akibat untuk kasus penolakan produk pangan asal Indonesia oleh US-FDA dan Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……………………….…..
29 29 38 39 42
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 25 Lampiran 26
Daftar anggota jaringan RASFF............................................................................. Perkembangan kasus penolakan pada produk minuman, bumbu-bumbuan,dan rempah-rempah oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………….…….….. Perkembangan kasus penolakan pada produk cumi-cumi, kue, dan permen oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………….………………………………. Perkembangan kasus penolakan pada produk saos sambal dan kecap, campuran, dan gula oleh USFDA selama tahun 2002-2010………………….………...……. Perkembangan kasus penolakan pada produk instant, agar- agar dan jelli, dan kerupuk oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………..………………………. Perkembangan kasus penolakan pada produk kari, mie, dan bumbu pecel oleh US-FDA selama tahun 2002-2010………….……………………………………. Perkembangan kasus penolakan pada produk bumbu semur, biskuit dan sup oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……….…………………………………. Perkembangan kasus penolakan pada produk sarang burung, kacang, dan coklat oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………………………………………... Perkembangan kasus penolakan pada produk dessert, asinan buah, dan selai oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…….……………………………………. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan vetdrugres, histamine, unsafe col oleh US-FDA selama tahun 2002-2010...……………………..………... Lampiran 10 Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan nutrit lbl, chloramp, poisonous oleh US-FDA selama tahun 2002-2010..……………..... Lampiran 11 Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan list ingre, lacks n/c, Labeling oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……..………... Lampiran 12 Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan labeling, no English, lacks firm oleh US-FDA selama tahun 2002-2010….…….. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan transfat, mfr insan, nitrofuran oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ……..…………………………. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan usual name, false, color lblg oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ……………..………..…..……. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan unapproved, juice%, listeria, insanitary oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ……...………………. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan off odor, aflatoxin, not listed, yellow oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ……………………….. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan mfrhaccp, cyclamate, diseased, health C oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……..……………….. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan saccharlbl,std ident Unsafe, leak/well, imptrhaccp oleh US-FDA selama tahun 2002-201.…………… Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan inconspicu, falsecat, nonrsp-prc, unsafe sub, under prc oleh US-FDA selama tahun 2002-2010….… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk udang yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…..……………………. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kepiting yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…..……… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk minuman yangmengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010..…… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk bumbu-bumbuan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010.…………. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk rempah-rempah yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk cumi-cumi yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………..
52 53
53 53 54 54 54 55 55 55 56 56 56 57 57 57 58 58 58 59 59 59 60 60 60 61
vii
53
Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34 Lampiran 35
Lampiran 36 Lampiran 37 Lampiran 38 Lampiran 39 Lampiran 40 Lampiran 41 Lampiran 42 Lampiran 43 Lampiran 44 Lampiran 45 Lampiran 46 Lampiran 47 Lampiran 48
Lampiran 49
Lampiran 50
Lampiran 51
Lampiran 52
Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk permen yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…..……… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kue yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……..………………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk saso sambal, kecap yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010.……........ Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kerupuk yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk gula yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010...……………………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk agar-agar dan jelli yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…..……… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk instant yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ..……………………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kari yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ...……………………... Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk bumbu pecel atau gadogado yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 20022010……………………………………………………………………………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk mie yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 ..…………………….... Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk semur yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010...……………………… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk biskuit yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………………... Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk sarang burung yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…..……… Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk sup yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010…………..…………. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kacang yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 …...………………….. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk coklat yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010……………………….. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk campuran yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 …..…….. Perkembangan kasus produk ikan dan udang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………………………………………… Perkembangan kasus produk rempah-rempah, daging, yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…..…………………… Perkembangan kasus produk cumi-cumi, buah dan sayuran, kacang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………. Perkembangan kasus produk coklat kopi dan teh, produk campuran, permen yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010..…… Perkembangan kasus produk bahan tambahan pangan dan perasa, produk roti, kerang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 20022010……………………………………………………………………………… Perkembangan kasus untuk alasan mercury, histamine, carbon monoxide treatment pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………………………………………………………. Perkembangan kasus untuk alasan aflatoxin, cadmium, prohibited substance nitrofuran pada produk pangan yang menerima notification oleh EuropaRASFF selama tahun 2002-2010 ...…………………………………………………… Perkembangan kasus untuk alasan prohibited substance chloramphenicol, unauthorised subtances malachite green, vibrio spp. pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………... Perkembangan kasus untuk alasan too high count of aerobic mesophiles., parasitic infestation, salmonella spp. pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010………………………
61 61 62 62 62 63 63 63
64
61
64 64
6
65 65 65 66 66 66 67 67 67 68
68
68
69
69
69
viii
6
Lampiran 53
Lampiran 54
Lampiran 55 Lampiran 56 Lampiran 57 Lampiran 58 Lampiran 59 Lampiran 60 Lampiran 61 Lampiran 62 Lampiran 63
Perkembangan kasus untuk alasan organoleptic characteristic, unauthorised irradiation, unauthorised use of color pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……………………… Perkembangan kasus untuk alasan bad hygienic state, lead, other pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 20022010………………………………………………………………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 ……………….…………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk udang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……………………..……………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk rempah-rempah yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 …………….…………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk daging yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010……………..………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk kacang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 ………….………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk buah dan sayuran yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010…………….………….. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk permen yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 ……..………………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk coklat yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 ……….……………………………. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk lainnya yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010.…..……………………………....
70
70 70 71 71 71 72 72 72 73 73
ix
DAFTAR ISTILAH
1.
aflatoxin
:
2.
Chloramp
:
3.
Color lblg
:
4.
Cyclamate
:
5.
Diseased
:
6. 7.
False Falsecat
: :
8.
Filthy
:
9.
Health C
:
10.
Histamine
:
11.
Imptrhaccp
:
12.
Inconspicu
:
13.
Insanitary
:
14.
Juice%
:
15.
Labeling
:
16.
Lacks firm
:
17.
Lacks n/c
:
18.
Leak/well
:
19.
List ingre
:
20.
Listeria
:
21.
Mfr insan
:
22.
Mfrhaccp
:
Produk mengandung mikotoksin, zat beracun dan merusak yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Produk mengandung bahan tambahan pangan yaitu chloramphenicol yang tidak aman sesuai dengan 21 USC 348. Pewarna tambahan yang digunakan tidak dilampirkan dalam kemasan dan label sesuai dengan persyaratan pada bagian 721. Produk mengandung siklamat, bahan tambahan pangan yang tidak aman yang disebutkan pada bagian 409. Produk pangan, secara keseluruhan atau sebagian, merupakan produk dari hewan yang sakit atau hewan yang telah mati selain dengan pemotongan. Label pada produk tampaknya palsu atau keliru. Kesalahan pada produk yang menampilkan sebagai ikan patin tetapi bukan termasuk dalam family lctaluridae. Seluruh atau sebagian produk kotor, berbau atau terurai atau tidak sesuai untuk makanan. Produk memiliki kesalahan pada label atau label menyajikan kandungan nutrisi/klaim kesehatan yang tidak sah. Produk pangan mengandung histamin, zat beracun dan merusak dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan. Produk pangan tampaknya dipersiapkan, dikemas, atau dilakukan dalam kondisi yang tidak bersih, atau mungkin dapat membahayakan kesehatan, yang disebabkan oleh kegagalan importir dalam memberikan verifikasi yang sesuai berdasarkan 21 CFR 123.12 (d). Informasi yang diperlukan oleh undang-undang pada label atau pelabelan tidak cukup jelas untuk dibaca atau dipahami oleh individu biasa (konsumen) dibawah kondisi saat pembelian atau penggunaan. Produk tampaknya telah dipersiapkan, dikemas atau dilakukan dibawah kondisi tidak bersih yang mungkin telah terkontaminasi oleh kotoran, yang mana dapat membahayakan kesehatan. Produk minuman yang persentase kandungan jus buah atau sayuran dalam produk minuman tersebut tidak sesuai dengan yang tertera pada label kemasan. Label pada produk tidak sesuai dengan FPLA dalam hal penempatan, bentuk dan/atau keternagan isi. Produk pangan dalam kemasan dimana pada label tidak menampilkan nama dan tempat usaha dari produsen, pengepak, atau distributor. Produk pangan dalam kemasan dan terlihat tidak ada label yang menyatakan keakuratan dalam hal kuantitas, seperti berat, ukuran dalam hal lain, dan tidak ada variasi atau pengecualian yang diberlakukan oleh peraturan. Produk pangan yang berada dalam wadah yang bengkak atau mengandung kebocoran kecil. Produk pangan terbuat dari dua atau lebih bahan pangan dan pada label tidak dicantumkan nama umum masing-masing bahan. Produk pangan mengandung listeria, zat beracun dan merusak yang dapat membahayakan kesehatan. Produk pangan tampaknya telah diproduksi, di proses atau dikemas dalam kondisi tidak bersih. Produk pangan tampaknya telah dipersiapkan, dikemas, atau dilakukan dalam kondisi kurang bersih, atau mungkin berbahaya bagi kesehatan, karena kegagalan pengolah di luar negeri untuk patuh pada 21 CFR 123.
x
23.
Nitrofuran
:
24. 25.
No english Nonrsp-prc
: :
26.
No process
:
27.
Needs fce
:
28.
Not listed
:
29.
Nutrit lbl
:
30.
Off odor
:
31.
Pois chlor
:
32.
Poisonous
:
33.
Saccharlbl
:
34.
Salmonella
:
35.
Std ident
:
36.
Transfat
:
37. 38.
Unapproved Under prc
: :
39.
Unsafe add
:
40.
Unsafe col
:
41.
Unsafe sub
:
42.
Usual name
:
43.
Vetdrugres
:
44.
Yellow
:
Produk pangan tampaknya mengandung bahan tambahan pangan yaitu nitrofurans yang tidak aman. Label atau pelabelan tidak ditampilkan dalan bahasa Inggris. Produk telah diolah atau dikemas dalam kondisi kurang sehat yang dapat berbahaya bagi kesehatan karena pengolahan dalam scheduled process yang diajukan oleh produsen berdasarkan 21 CFR 108.35(c)(2) tidak cukup melindungi kesehatan masyarakat. Produsen tidak mengajukan informasi tentang scheduled process sesuai dengan 21 CFR 108.25(c)(2) atau 108.35(c)(2). Produsen tidak terdaftar sebagai produsen makanan kaleng rendah asam atau diasamkan sesuai dengan 21 CFR 108.25(c)(1) atau 108.35(c)(1). Obat atau perangkat tidak termasuk dalam daftar yang diperlukan oleh pasal 510(j), atau pemberitahuan atau informasi lain yang mendukung tidak tersedia yang diperlukan oleh pasal 510(j) atau 510(k). Kesalahan dalam label atau pelabelan salah dalam menyajikan informasi nutrisi yang diperlukan. Seluruh atau sebagian pangan kotor, berbau atau terurai, atau tidak pas untuk pangan. Mengandung bau. Produk pangan mengandung zat beracun atau merusak yaitu Chloramphenicol yang berbahaya bagi kesehatan. Produk pangan mengandung zat beracun atau merusak yang dapat membahayakan kesehatan. Produk pangan mengandung sakarin, pemanis non-nutritif, dan label atau pelabelan salah dalam menyajikan sebagai bahan tambahan. Produk pangan mengandung salmonella, zat beracun dan merusak yang berbahaya bagi kesehatan. Produk pangan diwakili sebagai pangan yang definisi dan standar identitas telah ditentukan oleh peraturan seperti pada bagian 401 dan pangan tampaknya tidak sesuai dengan definisi dan standar tersebut. Produk memiliki kesalahan pada bagian 403(q) karena label nutrisi tidakmemberikan semua informasi yang diperlukan oleh 21 CFR 101.9(c), khususnya label tidak menyebutkan jumlah lemak trans [21 CFR 101.9(c)(2)(ii)]. Produk pangan menjadi obat baru tanpa aplikasi obat baru yang disetujui. Produk pangan memiliki proses yang tidak memadai dalam melalukanpenyiapan, pengemasan atau dilakukan dalam kondisi tidak sehat yang mungkin berbahaya bagi kesehatan. Produk pangan mengandung bahan tambahan pangan yang tidak aman seperti yang dimaksud pada bagian 409. Produk pangan mengandung pewarna tambahan yang tidak aman seperti yang dimaksud pada bagian 721(a). Produk pangan mengandung komponen yang tidak aman seperti yang dimaksud pada bagian 406. Label pada produk pangan tidak menampilakan nama yang umum untuk pangan tersebut. Produk pangan mengandung obat untuk hewan (konversi dari produk sejenisnya) yang tidak aman seperti dalam pasal 512 tentang kandungan pangan. Produk pangan mengandung pewarna tambahan FD&C Yellow no.5 yang tidak disajikan pada label sesuai dengan 21 CFR 74.705 pada bagian 721.
xi
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perubahan global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan perdagangan internasional. Perubahan ini menuntut semua negara untuk berupaya optimal dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing. Salah satu syarat dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing adalah terjaminnya mutu dan keamanan produk khususnya produk pangan. Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya jaminan mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan persyaratan produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan keamanan pangan dalam ISO 22000 : 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor. Kasus penahanan dan penolakan produk pangan di luar negeri telah banyak terjadi setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri sering mengalami berbagai kasus penolakan dan penahanan ekspor pangan yang sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan internasional. Menurut data dari FDA (Food and Drug Administration), mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke Amerika Serikat. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Masalah label juga menjadi alasan penolakan makanan kaleng asal Indonesia sepanjang 2000 sampai 2002. Pangan itu ditolak dengan alasan kotor (filthy) sebanyak 48,2 %, alasan tidak melampirkan informasi scheduled process (no process) 36,5 %, karena belum terdaftar sebagai produsen makanan kaleng (needs fce) 14,1 %, belum diberi label nutrisi 4,7 %, karena tulisan label berbahasa Indonesia dan sisanya tidak diketahui (Suryana 2006). Berdasarkan data dari FDA, pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk pangan ekspor Indonesia, sedangkan data dari Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed) menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan produk ikan Indonesia pada tahun 2010. Alasan penolakan tersebut bermacam-macam mulai dari filthy (kotor), mengandung bahan kimia berbahaya serta mengandung nikroorganisme seperti Salmonella sp yang banyak mencemari produk ikan. Semua hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melakukan analisa terhadap kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002 sampai 2010.
B. TUJUAN PENELITIAN 1. 2. 3.
Mengetahui data jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002-2010. Mengetahui jenis produk pangan dan alasan penolakannya di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002-2010. Mengetahui perkembangan kasus penolakan yang terjadi setiap tahunnya selama tahun 20022010.
4. 5. 6.
Membandingkan kasus penolakan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun2002-2010. Menganalisis penyebab terjadinya kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia selama tahun 2002-2010. Memberikan saran agar kasus penolakan produk pangan dapat berkurang atau tidak terjadi kembali.
C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bermanfaat dalam mendorong pengembangan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di Indonesia agar kasus penolakan produk pangan di Amerika Serikat dan Eropa dapat berkurang atau tidak ada sama sekali serta masukan bagi pemerintah untuk dapat memberikan penyuluhan yang baik tentang keamanan pangan kepada industriawan pangan serta mempermudah dalam pemantauan kegiatan ekspor produk pangan Indonesia. Selain itu bagi industriawan pangan agar mampu menghasilkan produk pangan yang berdaya saing diluar negeri dengan jaminan mutu dan keamanan pangan dengan menerapkan sistem yang diakui oleh dunia internasional.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedang Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP No. 28 Tahun 2004). Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (PP No. 28 Tahun 2004). Keamanan pangan sudah menjadi masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam perdagangan internasional. Memasuki era perdagangan bebas, masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat strategis. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya jaminan mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan persyaratan produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan keamanan pangan dalam ISO 22000: 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor. Banyak produk pangan ekspor yang ditolak oleh negara-negara pengimpor karena tidak terjamin keamanannya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri telah banyak mendapat kasus penolakan oleh FDA dan RASFF. Menurut data dari FDA, mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk pangan ekspor Indonesia. Jadi, kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33-80 % (rata-rata 62 %), ditolak karena alasan “filthy”. Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung “sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut”. Penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan, dan diawasi untuk menerapkan good practices (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Selain itu jenis produk pangan yang ditolak oleh pasar AS sebagian besar berupa produk segar seafood dan sejenisnya. Hal ini dikarenakan praktek GHP, GMP, dan GT/DP belum sempurna dilakukan di industri pangan di Indonesia (Hariyadi 2007).
Tidak hanya di AS saja terjadi kasus penolakan produk pangan Indonesia. Di Eropa oleh RASFF, produk pangan Indonesia juga banyak ditolak masuk karena alasan yang sama yaitu keamanan pangan. Berdasarkan data dari RASFF menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan produk perikanan Indonesia pada tahun 2010. Produk perikanan ini mengandung Salmonella sp. yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia jika mengkonsumsinya.
B. US-FDA (UNITED STATES - FOOD AND DRUG ADMINISTRATION) FDA adalah lembaga di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat yang terdiri atas kantor dan pusat layanan. FDA bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin keamanan, khasiat dan keamanan obat-obatan manusia dan hewan, produk biologi, peralatan medis, suplai makanan untuk negara, kosmetik dan produk radiasi, dan mengatur pembuatan, pemasaran dan distribusi produk tembakau. FDA juga bertanggung jawab untuk memajukan kesehatan masyarakat dengan membantu mempercepat inovasi untuk membuat obat-obatan dan makanan lebih efektif, aman dan terjangkau, dan membantu masyarakat mendapatkan informasi yang akurat berbasis ilmiah untuk obat-obatan dan makanan, dan untuk mengurangi penggunaan tembakau untuk meningkatkan kesehatan. Dalam menjamin kesehatan masyarakat, FDA memiliki undang-undang yang disahkan oleh Presiden George W. Bush yang disebut “Public Health Security and Terorism Prepardnes and Response Act of 2002” (Undang-Undang Mengenai Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan Penangkalan Terorisme). Undang-undang ini selanjutnya disebut “Bioterorism Act” (UndangUndang Bio-terorisme). Undang-undang Bio-terorisme terdiri atas judul lima judul: 1. National Preparedness for Bioterrorism and Other Public Health Emergencies 2. Enhancing Controls on Dangerous Biological Agents and Toxins 3. Protecting Safety and Security of Food and Drug Supply 4. Drinking Water Security and Safety 5. Additional Provisions Pada undang-undang tersebut yang erat kaitannya dengan aktivitas ekspor dari negara luar AS adalah ketentuan yang tertuang pada judul III (Protecting Safety and Security of Food and Drug Supply). Peraturan ini berlaku untuk pengusaha atau importir bahan makanan di AS. Sebagian besar pasokan bahan pangan berasal dari luar AS sehingga importir AS akan meminta eksportir terkait mengirim data atau informasi untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh Pemerintah AS. Judul III memuat empat pasal yang menjelaskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Keharusan mendaftar fasilitas yang digunakan (Pasal 305). Ketentuan ini mengharuskan pemilik atau pengelola atau agen yang mengelola suatu fasilitas pangan baik di dalam negeri (AS) maupun diluar negeri untuk mendaftar (alamat, pemilik, dan lain-lain) kepada US-FDA. Pengertian fasilitas adalah pabrik, gudang, pabrik pengemas yang membuat, memproses, mengemas, dan menyimpan bahan pangan. Pendaftaran ini dapat dilakukan oleh importir yang berasal di AS dengan meminta eksportir Indonesia mengisi formulir yang telah disediakan. 2. Penyusunan dan pemeliharaan catatan atau data (Pasal 306). Ketentuan ini memberi wewenang kepada Menteri Pertanian untuk menentukan sumber terdekat dari asal dan penerimaan bahan pangan yang dikirim atau diterima. Ketentuan ini ditujukan untuk memudahkan US-FDA menilai atau melacak bila ditemui ancaman yang serius membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Mereka yang terkena ketentuan ini
4
3.
adalah yang membuat, memproses, mengemas, membawa, mendistribusikan, menerima, menyimpan, dan mengimpor bahan pangan. Pemberitahuan awal bagi bahan pangan impor yang dikapalkan (Pasal 307). Ketentuan ini mengatur importir agar menyampaikan pemberitahuan awal kepada USFDA mengenai bahan pangan yang akan dikapalkan. Pemberitahuan ini harus mencakup deskripsi lengkap produk, nama pembuat (pabrik), nama kapal, nama petani bila diketahui, negara asal, negara di mana produk dikapalkan, dan pelabuhan tujuan.
4. Penahanan administratif (Pasal 303). Ketentuan ini memberi wewenang kepada Menteri Pertanian AS melalui US-FDA untuk memerintahkan penahanan bahan pangan bila seorang pejabat atau petugas yang berwenang menemukan bukti yang meyakinkan atau informasi yang menunjukan bahan yang dapat memberikan dampak negartif atau buruk atau kematian bagi manusia atau hewan. Selain UU Bio-terorisme, FDA juga memiliki peraturan dalam hal impor produk pangan yaitu Food, Drug, and Cosmetic Act. (UU FD&C). Dalam peraturan tersebut FDA dapat melakukan penahanan terhadap produk pangan yang masuk tanpa ada pemerikasaan fisik terlebih dahulu jika produk pangan tersebut berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Penahanan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga negara atau lokal yang telah melakukan analisis terhadap produk pangan yang masuk dan FDA telah menetapkan bahwa pengambilan sampel dan pengujian yang dilakukan adalah akurat, diterima dan mewakili dari produk tersebut. Pada Pasal 801 (a) UU FD&C menyatakan, “jika dalam pemeriksaan sampel tersebut atau dinyatakan pada Pasal (1) produk tersebut telah diproduksi, diproses, atau dikemas dalam kondisi tidak bersih atau fasilitas atau pengendalian dalam pembuatan, pengepakan, penyimpanan, atau instalasi tidak memenuhi pesyaratan Pasal 520 (f), atau Pasal (2) produk tersebut dilarang atau dibatasi dalam penjualan di negara dimana produk diproduksi atau dari mana produk diekspor, atau Pasal (3) produk tersebut tercemar, misbranded, atau melanggar Pasal 505, maka produk tersebut akan ditolak masuk.” FDA akan melakukan penahanan terhadap beberapa produk seperti berikut: 1. Produk tersebut dapat menyebabkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. 2. Produk (segar, beku, atau olahan) yang memiliki tingkat residu pestisida, alfatoksin, dan kontaminan kimia diatas batas. 3. Produk makanan kaleng asam rendah atau makanan yang diasamkan (kegagalan dalam proses pada suatu produk atau tidak terregristrasi). 4. Produk dengan informasi tentang bahan produk atau formulasi yang tidak jelas. 5. Produk yang tidak memberitahukan perubahan perangkat dan tidak sesuai dengan Pasal 510 (k) atau tentang permohonan persetujuan untuk pemasaran. 6. Produk yang memiliki pelanggaran pada pelabelan atau tidak sesuai dengan NLEA (Nutritional Labeling and Education Act).
C. UNI EROPA-RASFF (RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED) Diluncurkan pada tahun 1979, RASFF pada dasarnya merupakan alat untuk pertukaran informasi antara badan yang berwenang pada pengiriman pangan dan pakan dalam kasus di mana resiko terhadap kesehatan manusia telah diidentifikasi dan langkah-langkah telah diambil, seperti penanganan, penarikan, penyitaan atau penolakan terhadap produk tersebut. Pertukaran cepat informasi ini memungkinkan semua negara anggota untuk memverifikasi segera apakah mereka
5
juga dipengaruhi oleh masalah. Setiap kali produk sudah ada di pasar dan tidak boleh dikonsumsi, pemerintah negara-negara anggota akan dalam posisi untuk mengambil langkah-langkah mendesak, termasuk memberikan informasi langsung kepada masyarakat. Jaringan RASFF melibatkan negara anggota Uni Eropa, negara-negara European Economic Area (EEA) seperti Norwegia, Liechtenstein dan Islandia, Sekretariat Economic Free Trade Association (EFTA) mengkoordinasikan masukan dari negara-negara EEA, European Food Safety Authority (EFSA) dan Komisi sebagai pengelola sistem. Sistem pertukaran cepat merupakan hasil konkret dan nyata tentang integrasi Eropa. Petukaran cepat informasi tentang resiko pangan dan pakan terkait, memastikan tindakan yang koheren dan simultan oleh semua negara anggota. Negara-negara anggota menggunakan template (lembaran) untuk menyediakan semua informasi yang relevan dan berguna seperti identifikasi produk, bahaya yang ditemukan, kebijakan yang diambil dan informasi penelusuran produk. Jika produk berbahaya terdapat di pasar, maka negara-negara anggota akan melapor kepada Komisi Eropa melalui RASFF tentang apa yang telah ditemukan dan langkah-langkah yang telah dilakukan. Anggota RASFF masing-masing memiliki penghubung yang ditunjuk untuk bertanggung jawab mengirimkan pemberitahuan RASFF kepada Komisi dimana sebelumnya telah dilakukan suatu tindakan yaitu inspektur pangan atau pakan telah memerikasa produk di pasar atau di perbatasan. Mereka mungkin telah mengambil sampel dan telah menerima hasil dari laboratorium. Jika ditemukan bahwa tidak ada keluhan pada produk maka perlu dilaporkan di dalam sistem nasional. Kewenangan memutuskan masalah berada di bawah lingkup RASFF dan melaporkan ke penghubung nasional RASFF. Penghubung nasional memverifikasi dan melengkapi pemberitahuan RASFF yang diperlukan dan meneruskannya kepada Komisi Eropa dengan menggunakan template. Template merupakan formulir pemberitahuan RASFF untuk memberikan rincian dari temuan dan tindakan yang diambil serta menambahkan dokumen yang relevan seperti tagihan, daftar perusahaan, laporan analitis, dll. Beberapa tipe pemberitahuan yang diinformasikan melalui RASFF adalah sebagai berikut: 1. Alert notifications Sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟ akan dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan. Peringatan yang dilakukan oleh anggota jaringan yang mendeteksi masalah dan telah melakukan tindakan yang relevan seperti penarikan. Pemberitahuan ini bertujuan untuk memberikan informasi ke semua anggota jaringan untuk memverifikasi apakah produk yang bersangkutan telah beredar di pasar, sehingga anggota jaringan dapat mengambil tindakan yang diperlukan. Produk yang bersangkutan telah ditarik atau sedang dalam proses penarikan dari pasar. Negaranegara anggota memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan tindakan, seperti menyediakan informasi secara detail melalui media jika perlu. 2. Information notifications Sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai pasar atau tidak ada di pasar (pada negara-negara anggota selain negara yang memberitahukan). 3. Border rejection notifications
6
Suatu „pemberitahuan batas penolakan‟ menyangkut suatu pangan dan pakan yang ditolak masuk masyarakat karena alasan resiko terhadap kesehatan manusia dan hewan. 4. News notifications Suatu „pemberitahuan berita‟ menyangkut setiap jenis informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan atau pakan yang belum disampaikan sebagai peringatan, informasi atau batas penolakan, oleh pihak yang berwenang dalam hal pangan dan pakan di negara-negara anggota. Pemberitahuan berita seringkali dibuat berdasarkan informasi yang diambil di media atau yang disampaikan oleh bagian yang berwenang dalam pangan dan pakan di negara-negara ketiga, perwakilan EC atau organisasi internasional, setelah diverifikasi oleh negara-negara anggota yang bersangkutan. Ketika suatu produk teridentifikasi, RASFF memberitahu negara ketiga yang bersangkutan, untuk mencegah terulangnya masalah, dalam banyak kasus melalui platform jendela online RASFF. Ketika masalah serius terdeteksi, Komisi mengirim surat kepada otoritas nasional dari negara ketiga yang bersangkutan, meminta mereka untuk menerapkan langkahlangkah korektif seperti perusahaan delisting, memblokir ekspor atau mengintensifkan kontrol. Semua laporan hasil investigasi terhadap makan dan pakan yang berbahaya dipublikasikan dalam Database RASFF Portal. Database RASFF Portal membuat konsumen dapat melihat informasi yang berkaitan dengan pemberitahuan RASFF tentang pangan dan pakan secara online.
7
III. METODE PENELITIAN A. PENGUMPULAN DATA Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder mengenai jenis produk pangan dan penyebab penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa. Data penolakan produk pangan Indonesia oleh Amerika Serikat diperoleh dengan cara mengakses data ke website (www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals) melalui internet yang dipublikasikan oleh US-FDA (United State-Food and Drug Administration), sedangkan data penolakan produk pangan indonesia oleh Eropa diperoleh dengan cara mengakses ke website (www.webgate.ec.europa.eu/rasff-window/portal) melalui internet yang di publikasikan oleh Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed). Data yang diambil adalah data dari tahun 2002 sampai 2010. Untuk data yang diperoleh melalui website FDA hanya berupa data produk pangan yang mengalami penolakan selain produk pangan, produk obat-obatan dan produk jamu herbal yang juga mengalami penolakan tidak diambil datanya. Selain itu dengan melihat RASFF Annual Report 2002-2009 untuk membandingkan dengan negara lain.
B. PENGELOMPOKAN DATA Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan berdasarkan jenis produk pangan, tahun ekspor, dan alasan penolakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan terbagi menjadi beberapa kelompok lagi yaitu kelompok produk hasil perikanan, kelompok produk hasil pertanian dan perkebunan, dan kelompok produk hasil peternakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan dibuat untuk mengetahui jenis produk pangan yang terbanyak mengalami penolakan. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan sesuai dengan tahun ekspor produk tersebut yaitu pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2010. Kelompok berdasarkan tahun dibuat untuk mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan informasi yang ada pada data di website FDA dan RASFF.
C. ANALISIS DATA Data yang telah dikelompokan berdasarkan jenis produk pangan, tahun ekspor, dan alasan penolakan kemudian dibuat dalam bentuk grafik atau diagram. Data yang telah dibuat dalam bentuk grafik atau diagram selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi jumlah kasus penolakan produk pangan, jenis produk pangan apa yang mengalami penolakan terbanyak, dan alasan produk pangan tersebut ditolak serta perkembangan yang terjadi pada jumlah kasus setiap tahunnya (mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif) sehingga diketahui penyebab produk pangan tersebut mengalami penolakan selama tahun 2002 sampai 2010 serta memberikan saran yang baik agar penolakan produk pangan dapat berkurang atau tidak terjadi lagi. Analisis penyebab masalah penolakan produk pangan menggunakan Diagram Pareto dan Diagram sebab akibat atau diagram Ishikawa. Diagram pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan. Dengan memakai Diagram Pareto, dapat terlihat masalah mana yang sedikit tapi dominan (vital view) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan (trivial many). Diagram
sebab-akibat sering juga disebut sebagai Diagram Tulang Ikan (Fish Bone Diagram). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin (memiliki peluang) menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Secara umum terdapat lima faktor yang berpengaruh yaitu : 1. Lingkungan 2. Manusia 3. Metode 4. Bahan 5. Mesin peralatan Diagram sebab akibat hanya merupakan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan mangidentifikasi masalah (Muhandri dan Kadarisman 2008).
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT OLEH US-FDA Selama tahun 2002-2010, Indonesia mengalami kasus penolakan di Amerika Serikat sebanyak 2608 kasus penolakan produk pangan selain produk obat-obatan dan jamu herbal. Setiap tahunnya terjadi lebih dari 200 kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat oleh US-FDA dengan rata-rata tiap tahun terjadi 289 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan produk pangan tiap tahunnya selama tahun 2002-2010 tersaji pada Gambar 1.
400
Jumlah Kasus
350 300 250 200 150
100 50 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Gambar 1. Perkembangan jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukan perkembangan yang fluktuatif atau naik-turun. Berdasarkan Gambar 1. menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2007 dengan 367 kasus dan terkecil pada tahun 2002 dengan jumlah 204 kasus. Pada tahun 2006-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2002-2005 meskipun pada tahun 2004 jumlah kasus penolakan yang terjadi cukup tinggi. Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat melibatkan banyak jenis produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Jumlah penolakan yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :
cumi-cumi 1%
rempah-rempah 2%
produk lainnya 11%
bumbu-bumbuan 3% produk minuman 3% kepiting 8%
ikan 50% udang 22%
n = 2608 kasus Gambar 2. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami kasus penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Berdasarkan Gambar 2 tersebut, jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakanan adalah jenis produk seafood seperti ikan, udang dan kepiting. Jumlah kasus penolakan dari ketiga jenis produk pangan ini mencapai 80% dari total kasus yang terjadi atau sebanyak 2088 kasus selama tahun 2002-2010. Ikan merupakan jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan yaitu sebesar 1300 kasus atau hampir 50% dari total kasus yang terjadi. Selain produk seafood juga terdapat produk minuman, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, cumi-cumi dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan kumpulan jenis produk yang mengalami penolakan dibawah 50 kasus. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk pangan untuk produk lainnya tersaji pada Gambar 3.
20
produk campuran
produk snack
tepung gelatin
produk selai
buah dan sayuran
asinan buah
produk coklat
produk dessert
kacang
produk sup
sarang burung
bumbu semur
produk biskuit
mie
bumbu pecel atau gado-gado
kari (gulai)
produk instant
agar-agar dan jelli
gula
kerupuk
produk kue
saos sambal dan kecap
0
produk tamarind (paste…
10
produk permen
Jumlah Kasus
30
Jenis Produk Pangan Gambar 3. Jumlah kasus dan jenis produk pangan untuk produk lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
11
Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan lainnya tidak menunjukan perbedaan jumlah kasus yang terlalu besar atau signifikan antara satu produk dengan produk lainnya hanya produk permen dan kue yang menunjukan jumlah kasus sedikit lebih tinggi. Selain itu terdapat produk campuran yang merupakan gabungan beberapa produk dengan jumlah kasus satu kasus saja. Produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 tidak setiap tahunnya mengalami penolakan. Produk pangan dengan jumlah kasus penolakan tertinggi seperti produk seafood mengalami penolakan setiap tahunnya, sedangkan produk pangan lainnya tidak setiap tahunnya mengalami penolakan bahkan ada beberapa produk yang hanya mengalami penolakan pada tahun-tahun tertentu saja. Produk seafood yang mengalami penolakan setiap tahunnya menunjukan kasus penolakan yang fluktuatif. Produk ikan pada tahun 2002-2004 mengalami penurunan persentase jumlah kasus dan meningkat pada tahun 2005-2010. Produk udang menunjukan penurunan persentase jumlah kasus pada tahun 2005-2010 meskipun masih mengalami perkembangan yang fluktuatif. Produk kepiting pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun lainnya. Perkembangan kasus penolakan untuk produk seafood selama tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.
100.00 90.00
Persentase (%)
80.00 70.00 60.00 ikan
50.00 40.00
udang
30.00
kepiting
20.00 10.00
0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Gambar 4. Perkembangan persentase kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan seafood (ikan, udang, kepiting) di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Selain produk seafood, produk pangan lainnya juga mengalami perkembangan kasus penolakan yang cukup beragam. Produk minuman pada tahun 2002-2008 secara umum menunjukan perkembangan persentase jumlah kasus penolakan yang meningkat. Produk bumbu mengalami penolakan pada tahun 2004-2007 serta tahun 2009 dan pada tahun 2006 dan 2007 menunjukan persentase jumlah kasus penolakan yang sangat signifikan. Produk cumi-cumi mengalami peningkatan persentase jumlah kasus sejak tahun 2002 dan tertinggi pada tahun 2009 tetapi pada tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Produk saos, sambal, dan kecap pada tahun 2007 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi dengan perkembangan yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Produk mie hanya mengalami penolakan pada tahun 2004-2006 dan pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi. Produk coklat hanya terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2009-2010 dimana tahun 2010 menunjukan persentase jumlah
12
kasus penolakan yang tertinggi. Gambar yang menunjukan perkembangan kasus penolakan produk lainnya yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran. Berdasarkan data kasus penolakan produk pangan Indonesia, terlihat jelas bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010. Indonesia merupakan negara kepulauan yang menghasilkan produk ikan atau olahannya yang sangat besar. Jenis ikan yang diekspor ke Amerika Serikat bermacammacam seperti tuna, snapper, grouper, mahi-mahi, swordfish, kingfish, opakapaka, tilapia, dan produk ikan lainnya. Setiap tahunnya terjadi kasus penolakan produk ikan mencapai lebih dari 50 kasus bahkan lima tahun terakhir mencapai lebih dari 100 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk ikan yang diekspor dan mengalami penolakan Amerika Serikatdapat dilihat pada Gambar 5.
ikan todak 3% mahi-mahi 4%
kerapu 3%
tenggiri 2%
kakap putih 2%
produk ikan lainnya 7% ikan kakap 17%
ikan tuna 62%
n = 1300 kasus Gambar 5. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh USFDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Jumlah kasus terbanyak terjadi pada produk ikan tuna yaitu dengan 811 kasus atau mencapai 62% dan ikan kakap dengan 17% dari jumlah produk ikan yang mengalami penolakan. Produk ikan seperti ikan mahi-mahi, todak, kerapu, tenggiri, dan kakap putih hanya mengalami penolakan dengan jumlah kasus dibawah 5%. Produk ikan lainnya merupakan produk ikan yang terdiri dari beberapa jenis ikan dan produk olahannya dengan jumlah kasus yang sedikit. Jumlah dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan tersaji pada Gambar 6.
13
16
Jumlah Kasus
14 12 10 8 6 4 2
0
Jenis Ikan Gambar 6. Jumlah kasus dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk ikan tersebut kurang dari 20 kasus atau dibawah 1% dari total kasus penolakan produk ikan yang terjadi selama tahun 2002-2010. Ikan olahan merupakan produk ikan yang telah mengalami pengolahan dan tidak diketahui jenis ikannya. Ikan lainnya merupakan produk ikan dengan jumlah kasus penolakan sebanyak 1 kasus. Produk ikan tuna yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebagian besar dapat digolongkan menjadi beberapa jenis produk yaitu produk tuna beku, produk tuna segar, produk tuna kalengan, produk tuna mentah, dan produk tuna lainnya. Produk tuna beku merupakan produk ikan tuna dengan kasus penolakan terbesar yaitu sebesar 88% atau 713 kasus. Produk ikan tuna lainnya yang mengalami penolakan yaitu produk tuna mentah, produk tuna segar, produk tuna kalengan dan produk ikan tuna lainnya. Jumlah persentase produk ikan tuna yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 7.
14
tuna segar 2% tuna mentah 8%
tuna kalengan 1%
produk tuna lainnya 1%
produk tuna beku 88%
n = 811 kasus Gambar 7. Jumlah kasus dan jenis produk ikan tuna yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Penolakan yang terjadi pada produk pangan asal Indonesia tidak terlepas dari alasan penolakan atas produk tersebut. Alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut beragam macamnya dan sesuai dengan sistem yang ada pada masing-masing negara. Jenis alasan dan jumlah penolakannya pada produk pangan ekspor asal Indonesia di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini:
chloramp 2%
poisonous list lacks n/c 2% ingre 1% nutrit lbl 2% unsafe col 2% 3% other 10% histamine 3% vetdrugres 3% needs fce 4% no process 6%
filhty 39%
salmonella 23%
n = 3382 kasus
Gambar 8. Jenis alasan dan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan yang ditolak oleh USFDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan penolakan yang terjadi pada produk pangan ekspor asal Indonesia terbanyak adalah karena alasan filthy, Salmonella, no process, needs fce, vetdrugres, dan histamine. Keenam alasan ini mencapai lebih dari 70% dari total jumlah kasus yang terjadi atau sebanyak 2673 kasus dari 3382 kasus. Jumlah kasus ini melebihi dari jumlah produk yang mengalami penolakan yaitu 2608 kasus. Hal ini karena pada beberapa produk mengalami penolakan dengan alasan yang dapat
15
mencapai lebih dari dua alasan. Alasan filthy merupakan alasan yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 1326 kasus. Alasan ini terjadi jika dalam produk pangan tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Alasan Salmonella terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung Salmonella, zat beracun dan merusak yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Salmonella merupakan salah satu bakteri patogen yang berperan penting sebagai indikator keamanan dan berpengaruh sangat besar pada kesehatan manusia. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan pangan di negara sedang berkembang dan negara berkembang (Del-Portillo 2000 dalam Fredy 2010). Salmonella di dalam pangan perlu mendapat perhatian karena umumnya terdapat dalam jumlah kecil tetapi jumlah tersebut cukup untuk menimbulkan gejala penyakit (Jenie dan Fardiaz 1989). Kasus dengan alasan Salmonella terjadi sebanyak 788 kasus. No process merupakan alasan penolakan jika produsen dari produk pangan tersebut tidak mengajukan informasi tentang proses yang dijadwalkan (scheduled process) seperti yang dipersyaratkan oleh 21 CFR 108,25 (c) (2) atau 108,35 (c) (2) (FDA 2011). Kasus penolakan dengan alasan no process terjadi sebanyak 210 kasus. Needs fce terjadi jika produsen produk pangan tersebut tidak terdaftar sebagai produsen makanan kaleng berasam rendah atau makanan kaleng yang diasamkan sesuai dengan 21 CFR 108,25 (c) (1) atau 108,35 (c) (1) (FDA 2011). Kasus dengan alasan needs fce terjadi sebanyak 144 kasus. Vetdrugres merupakan alasan yang terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung obat untuk hewan (konversi dari produk sejenisnya) yang tidak aman seperti dalam pasal 512 tentang kandungan pangan (FDA 2011). Vetdrugres terjadi sebanyak 105 kasus. Alasan histamine terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung histamine, zat beracun dan merusak dengan jumlah yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Keberadaan histamine dalam jumlah yang besar pada ikan yang mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan – ikan golongan Scombroidae (Taylor 1983 dalam Naibaho 2010). Histamine terjadi sebanyak 100 kasus. Selain keenam alasan tersebut terdapat juga alasan lain yang jumlah kasusnya dibawah 100 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan untuk alasan lainnya yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 9.
30
Jumlah Kasus
25 20 15 10 5 pois chlor labeling no english lacks firm transfat mfr insan nitrofuran usual name false. color lblg unsafe add juice % listeria insanitary unapproved aflatoxin not listed yellow off odor cyclamate diseased health C mfrhaccp saccharlbl other
0
Jenis Alasan Gambar 9.
Jenis alasan dan jumlah kasus penolakan yang terjadi untuk alasan lainnya pada produk pangan yang ditolak di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
16
Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan berdasarkan Gambar 9 menunjukan bahwa alasan yang terjadi memiliki kasus dibawah 30 kasus dan antara alasan satu dengan yang lain memiliki jumlah kasus penolakan yang tidak berbeda jauh atau tidak terlalu signifikan dengan alasan lainnya yang juga mengalami penolakan. Alasan lainnya (other) merupakan gabungan dari beberapa alasan yang mengalami penolakan dengan jumlah kasus penolakan yang terjadi sebanyak satu kasus. Alasan penolakan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif dan cukup berbeda satu dengan yang lainnya. Alasan filthy dan salmonella menunjukan perkembangan yang fluktuatif dengan persentase jumlah kasus penolakan yang tinggi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. No process dan needs fce merupakan alasan pada produk yang mengalami proses sterillisasi menunjukan perkembangan kasus yang juga fluktuatif dan persentase jumlah penolakan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. No process dan needs fce dikelompokan menjadi satu yaitu process thermal. Perkembangan kasus untuk alasan filthy, salmonella dan process thermal dapat dilihat pada Gambar 10. 100.00
filhty
90.00
salmonella
Persentase (%)
80.00
process thermal
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Gambar 10. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan filthy, salmonella, process thermal di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan lain yang juga menunjukan perkembangan kasus yang berbeda adalah vetdrugres yang menunjukan persentase kasus penolakan tertinggi pada tahun 2004 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. Alasan chloramp menunjukan peningkatan persentase jumlah kasus mulai dari tahun 2008-2010. Poischlor hanya terjadi pada tahun 2004-2006 dengan persentase jumlah kasus yang cukup tinggi. Alasan transfat terjadi pada tahun 2007-2009 dengan tahun 2008 menunjukan kasus yang tertinggi. Alasan lain yang cukup berbeda adalah juice% dan listeria yang hanya terjadi pada satu tahun yaitu tahun 2008 untuk juice% dan tahun 2010 untuk listeria. Perkembangan kasus penolakan untuk alasan yang terjadi terlampir pada lampiran. Alasan yang terjadi pada produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010, menunjukan bahwa terdapat 4 alasan dengan jumlah kasus yang cukup besar atau berbeda signifikan dengan alasan lainnya yaitu alasan filthy, salmonella, no process dan needs fce. Alasan filthy terjadi hampir disemua produk pangan yang mengalami penolakan sedangkan untuk alasan salmonella, needs fce dan no process hanya terjadi pada
17
beberapa produk tertentu saja. Jenis produk yang memiliki alasan penolakan karena filthy tersaji pada Gambar 11. kerupuk produk lainnya 1% cumi-cumi 4% gula 2% 1% kepiting 4%
udang 25%
ikan 63%
n = 1326 kasus Gambar 11.
Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
Alasan filthy terjadi sebanyak 1326 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy terbanyak terjadi pada produk ikan dengan 63% dari 1326 kasus yang terjadi atau sebanyak 838 kasus. Selain produk ikan produk pangan lain yang juga mengalami penolakan karena alasan filthy adalah udang, kepiting, cumi-cumi, gula, produk kerupuk dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan produk pangan yang ditolak dengan alasan filthy kurang dari 10 kasus. Berdasarkan Gambar 11 alasan filthy lebih banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang, kepiting, dan cumi-cumi. Seperti halnya alasan filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk pangan seafood seperti produk ikan dan udang. Alasan salmonella pada produk pangan terjadi sebanyak 788 kasus selama tahun 2002-2010. Produk udang dan ikan merupakan produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella terbanyak yaitu sebesar 46% dari 788 kasus yang terjadi. Selain produk udang dan ikan produk pangan lain yang menerima alasan salmonella adalah rempah-rempah, cumi-cumi, dan produk lainnya, yang merupakan produk yang memiliki alasan salmonella kurang dari 10 kasus. Seperti halnya filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Jenis produk yang ditolak karena lasan salmonella tersaji pada Gambar 12.
18
rempah-rempah 4%
cumi-cumi 1%
produk lainnya 3%
ikan 46%
udang 46%
n = 788 kasus Gambar 12. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Needs fce dan no process merupakan alasan yang terjadi pada produk yang mengalami proses tertentu seperti proses sterillisasi. Berbeda dengan alasan filthy dan salmonella, alasan needs fce dan no process hanya terjadi pada beberapa produk saja. Alasan needs fce dan no process terjadi sebanyak 354 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang menerima penolakan dengan alasan needs fce dan no process terbanyak adalah bumbu-bumbuan sebesar 31% atau sebanyak 111 kasus. Produk lainnya yang memiliki alasan needs fce dan no process adalah produk minuman, saus, sambal dan kecap, produk makanan instant, kari (gulai), bumbu semur, produk sup dan produk lainnya, yang merupakan produk pangan dengan alasan needs fce dan no process dibawah 10 kasus. Jenis produk pangan yang memiliki alasan needs fce dan no process tersaji pada Gambar 13. produk lainnya 14% produk sup 4% bumbu semur 5%
bumbu-bumbuan 31%
kari (gulai) 6% minuman 24% produk instant 6% saus sambal dan kecap 10%
n = 354 kasus
Gambar 13. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan needs fce dan no process di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
19
Produk ikan yang merupakan produk pangan terbanyak mengalami penolakan oleh USFDA selama tahun 2002-2010 memiliki alasan penolakan yang yang cukup banyak antara lain filthy, Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan alasan lain atau other. Alasan penolakan karena filthy merupakan kasus yang banyak terjadi yaitu sebesar 57% total produk ikan yang mengalami penolakan yaitu 1300 kasus. Beberapa produk ikan ada yang memiliki alasan penolakan lebih dari satu alasan. Selain alasan filthy, produk ikan tuna juga mengalami penolakan karena alasan mengandung Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan karena alasan lain atau other yaitu alasan dengan jumlah kasus dibawah 20 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 14. dibawah ini: lacks n/c list ingre 1% 1% poisonous 2% histamine 6%
salmonella 25%
other 8% filthy 57%
n = 1300 kasus Gambar 14. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
B. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI EROPA OLEH EUROPA-RASFF Berbeda dengan kasus yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa terdapat sistem tersendiri untuk mengatasi produk pangan yang beresiko membahayakan kesehatan masyarakat di Eropa oleh Europa-RASFF. Europa-RASFF memiliki notification atau pemberitahuan bagi produk pangan yang diidentifikasi dapat membahayakan kesehatan. Notification ini terdiri dari 4 jenis yaitu alert, information, border rejection, dan news notification. Kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah di Eropa atau yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 sebanyak 327 kasus. Kasus produk pangan bermasalah ini setiap tahunnya terjadi dengan jumlah yang berbeda-beda dengan rata-rata setiap tahun terjadi 36 kasus. Selama tahun 2002-2010 perkembangan kasus yang terjadi tidak stabil atau fluktuatif. Pada tahun 2004 terjadi kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi tetapi jumlah kasus menurun sampai dengan tahun 2008 dan kembali naik sampai tahun 2010. Tahun 2004 merupakan tahun dengan jumlah kasus tertinggi yaitu dengan 70 kasus dan tahun 2008 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah yaitu dengan 15 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi untuk produk pangan bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 15.
20
80 70
Jumlah Kasus
60 50 40 30 20 10 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Gambar 15. Perkembangan kasus yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa oleh Europa-RASFF menerima 3 notification yaitu alert, information dan border rejection notification. Alertnotification merupakan sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟ akan dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16.
alert notification 25%
information notification 64%
border rejection 11%
n = 327 kasus Gambar 16. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
21
Sebanyak 326 kasus yang terjadi 64% merupakan information notification, 25% alert notification, dan 11% border rejection notification. Hal ini berarti sebanyak 89% produk pangan diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Eropa dan 11% produk pangan telah ditolak masuk ke pasar karena teridentifikasi membahayakan kesehatan. Jumlah notification yang diterima oleh produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010 setiap tahunnya berbeda. Jumlah notification yang diterima produk pangan Indonesia setiap tahunnya tersaji pada Gambar 17. alert 100.00
border rejection
90.00
information
Persentase (%)
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00
20.00 10.00 0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Gambar 17. Jumlah persentase notification yang terjadi setiap tahunnya pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Berdasarkan Gambar 17 alert dan information notification terjadi setiap tahunnya dengan persentase jumlah kasus tiap tahunnya tidak sama. Information notification merupakan notification yang banyak terjadi selama tahun 2002-2010 pada produk pangan Indonesia. Sama halnya dengan information notification, alert notification juga terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 meskipun dengan jumlah kasus yang terjadi lebih sedikit. Kedua notification ini menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya dengan kenaikan dan penurunan kasus yang tidak sama. Berbeda dengan alert dan information notification, border rejection notification hanya terjadi pada tahun 2008-2010 dengan persentase jumlah kasu yang terjadi cukup tinggi. Hal ini berarti kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 hanya terjadi pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada tahun 2008 border rejection notification terjadi sebanyak 11 kasus, tahun 2009 terjadi sebanyak 8 kasus dan tahun 2010 terjadi sebanyak 16 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi juga menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya. Kasus penolakan produk pangan terbanyak terjadi pada tahun 2010 dengan 16 kasus penolakan. Jenis produk pangan bermasalah atau menerima notification di Eropa ini terbagi dalam beberapa jenis produk pangan dengan jumlah kasus tertinggi. Jumlah kasus yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan oleh Europa-RASFF dapat dilihat pada Gambar 18. dibawah ini:
22
produk lainnya 9% daging rempah-rempah 3% 8%
ikan 56%
udang 24%
n = 327 kasus Gambar 18. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk yang mengalami kasus terbanyak adalah ikan yaitu sebanyak 184 kasus, diikuti udang sebanyak 77 kasus, rempah-rempah sebanyak 27 kasus, produk daging sebanyak 10 kasus dan produk lainnya sebanyak 29 kasus. Produk lainnya merupakan produk pangan yang memiliki kasus atau menerima notification dibawah 10 kasus. Berdasarkan Gambar 18, terlihat produk ikan memiliki jumlah kasus yang sangat signifikan perbedaannya dengan produk lainnya. produk ikan yang bermasalah atau menerima notification mencapai lebih dari dua kali lipat produk lainnya. Jumlah dan jenis produk lainnya yang teridentifikasi berbahaya tersaji pada Gambar 19.
Jumlah Kasus
6 4 2 0
Jenis Produk Gambar 19.
Jumlah kasus dan jenis produk pangan lainnya yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
Gambar 19 menunjukan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan lainnya yang bermasalah atau menerima notification selama tahun 2002-2010. Jumlah kasus pada produk
23
pangan tersebut kurang dari 10 kasus dan setiap produk pangan memiliki jumlah kasus yang tidak terlalu berbeda jauh. Produk ikan dan udang merupakan produk dengan jumlah kasus tertinggi atau mencapai 80% dari total jumlah kasus yang terjadi dengan ikan sebanyak 56% dan 24% untuk udang. Produk ikan terbagi menjadi 5 produk yaitu ikan beku, ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya. Jumlah kasus dan jenis produk ikan dapat dilihat pada Gambar 20.
produk ikan lainnya 11%
chilled fish 7%
ikan beku 43%
ikan segar 17% ikan utuh 22%
n = 184 kasus Gambar 20. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk ikan beku merupakan produk dengan jumlah kasus yang terbanyak yaitu 43% dari 184 kasus atau dua kali lipat dari jumlah kasus yang terjadi pada produk ikan yang lain seperti produk ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya dengan jumlah kasus di bawah 40 kasus. Produk pangan Indonesia menerima notification yang berbeda jenis notification dan jumlahnya untuk setiap jenis produk pangan. Jumlah kasus pada tiap jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 21.
24
Jumlah Kasus
120
alert border rejection information
100 80 60 40 20 0 produk udang
produk ikan
rempah-rempah
produk lainnya
Jenis Produk Gambar 21. Jumlah kasus dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Information notification terlihat mendominasi pada setiap jenis produk pangan. Pengecualian terjadi pada produk pangan herb and spices dimana alert notification lebih banyak terjadi. Banyaknya information notification yang terjadi pada produk pangan mengindikasikan bahwa produk pangan asal Indonesia yang telah beredar dipasar telah teridentifikasi masalahnya. Border rejection notification juga terjadi hampir disemua jenis produk pangan tetapi dengan jumlah kasus yang lebih sedikit. Perkembangan kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah atau menerima notification di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang fluktuatif selama tahun 2002-2010. Beberapa produk menerima notification atau menunjukan jumlah kasus yang tinggi hanya pada tahun-tahun tertentu dan tahun berikutnya atau sebelumnya tidak menunjukan jumlah kasus yang tinggi atau tidak menerima notification sama sekali. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus produk bermasalah atau menerima notification yang naik-turun selama tahun 2002-2010. Produk ikan menerima notification setiap tahunnya dengan angka jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan produk pangan lainnya. Pada tahun 2004-2006 jumlah kasus pada produk ikan menunjukan angka yang tetinggi dan tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup signifikan. Selain produk ikan, produk udang juga menerima notification yang cukup tinggi setiap tahunnya meskipun menunjukan penurunan jumlah kasus setiap tahunnya seperti pada tahun 2009 dimana tidak menerima notification sama sekali. Produk rempah-rempah menunjukan kasus yang secara umum meningkat setiap tahunnya dan tahun 2010 menunjukan jumlah kasus yang tertinggi. Produk daging menunjukan perkembangan kasus yang relaitf sama setiap tahunnya kecuali pada tahun 2009 dimana jumlah angka kasus tertinggi untuk produk daging. Berbeda dengan produk ikan, udang, rempah-rempah, dan daging, produk kacang hanya menerima notification pada tiga tahun yang berbeda yaitu tahun 2005,2008, dan 2010 dengan jumlah kasus yang hanya berbeda satu kasus. Produk lainnya menunjukan kasus yang juga berbeda setiap tahunnya dan hanya terjadi pada tahun-tahun tertentu saja. Hal ini karena jumlah produk pangan lainnya menunjukan angka kasus yang rendah dibandingkan produk ikan, udang, rempah-rempah, daging dan kacang. Perkembangan kasus untuk produk lainnya yang bermasalah atau menerima notification terlampir pada lampiran.
25
Produk pangan yang teridentifikasi berbahaya dan menerima notification oleh EuropaRASFF disebabkan oleh alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut. Alasan terjadinya notification pada produk pangan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 22.
Jumlah
80
60 40 20 0
Jenis Alasan Gambar 22.
Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi berdasarkan notification yang diterima produk pangan ekspor Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 20022010 (Europa 2011).
Alasan terjadinya notification pada produk pangan tersebut yang terbesar adalah karena produk pangan tersebut mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium; mengandung mikroorganisme seperti aflatoxin, Salmonella spp., vibrio spp.; mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh serta perlakuan pada proses produksi yang tidak sesuai. Perkembangan kasus produk pangan bermasalah yang terjadi karena alasan yang diterima menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya selama 2002-2010. Alasan mercury terjadi setiap tahunnya dengan jumlah kasus yang cukup tinggi, hal ini karena alasan mercury banyak terjadi pada produk seafood yang juga memiliki kasus dengan jumlah yang tinggi setiap tahunnya. Histamine menunjukan jumlah kasus yang tinggi pada tahun 2004 dam menurun pada tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 2010 tidak terjadi kasus produk pangan bermasalah yang mengandung histamine. Sama halnya dengan histamine, carbon monoxide treatment juga menunjukan penurunan jumlah kasus pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun 2005 menunjukan kasus yang tertinggi. Aflatoxin menunjukan perkembangan yang menaik pada tahuntahun berikutnya setelah pada tahun 2003-2004 tidak terjadi kasus produk bermasalah karena alasan ini. Cadmium menunjukan perkembangan yang menurun jumlah kasus yang terjadi setelah pada tahun 2004 menunjukan jumlah kasus tertinggi. Prohibited substance chloramphenicol dan nitrofuran (metabolite) furazolidone, nitrofurazone secara umum menunjukan perkembangan kasus yang menurun pada tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun 2002 menunjukan kasus yang tertinggi. Perkembangan alasan yang terjadi pada produk pangan yang bermasalah di Eropa selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran. Alasan yang terjadi pada tiga jenis produk pangan dengan jumlah terbanyak yaitu produk produk ikan, udang, dan rempah-rempah memiliki alasan yang cukup berbeda. Produk ikan meiliki alasan mengandung mercury sebanyak 34%, mengandung histamine sebanyak 19%, mengandung cadmium sebanyak 10%, alasan proses yaitu carbon monoxide treatment sebanyak 20%, dan alasan lain atau other sebanyak 17% dari jumlah kasus yaitu 184 kasus. Terlihat pada
26
produk ikan alasan yang terjadi lebih banyak dikarenakan pada produk tersebut mengandung logam berat dan zat berbahaya. Produk udang dengan jumlah 77 kasus memiliki alasan yaitu prohibited substance chloramphenicol sebanyak 29%, prohibited substance nitrofuran (metabolite) furazolidone sebanyak 26%, mengandung Vibrio spp. sebanyak 18% dan alasan lain atau other sebanyak 27%. Berbeda dengan produk ikan, produk udang ini lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung Vibrio spp.. Produk rempahrempah memiliki alasan yaitu mengandung aflatoxin sebanyak 78%, mengandung Salmonella spp. sebanyak 8%, organoleptic characteristic sebanyak 7% dan alasan lain atau other sebanyak 7% dari 27 kasus yang terjadi. Produk rempah-rempah ini lebih banyak didominasi oleh alasan mengandung aflatoxin. Aflatoxin merupakan jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus paraciticus. Bagi manusia, konsumsi terus menerus meskipun dalam dosis kecil dapat menyebabkan kanker hati (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006). Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa merupakan kasus produk pangan yang menerima border rejection notification oleh Europa-RASFF. Jumlah produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF atau produk pangan yang mengalami border rejection selama tahun 2002-2010 terjadi sebanyak 35 kasus. Sebanyak 9 jenis produk pangan tercatat mengalami border rejection yaitu produk ikan, produk udang, rempah-rempah, buahbuahan dan sayuran, produk daging, produk permen, produk kacang-kacangan, produk cumi-cumi dan produk campuran lainnya. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 23.
cumi-cumi 9%
produk campuran buah-buahan dan lainnya sayuran 3% produk permen 3% 3%
daging 9%
udang 8%
produk ikan 34%
kacang-kacangan 11%
rempah-rempah 20%
n = 35 kasus Gambar 23.
Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh EuropaRASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang terbanyak mengalami kasus penolakan dengan 34% atau sebanyak 12 kasus kemudian diikuti rempah-rempah sebesar 20%, produk kacang-kacangan, produk daging, cumi-cumi, udang, dan buah-buahan dan sayuran, produk permen, serta produk campuran lainnya dengan jumlah kasus dibawah 10%. Produk pangan yang mengalami penolakan memiliki alasan yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis alasan yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 24.
27
Jumlah Kasus
15 10 5 0
Jenis Alasan Gambar 24. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Gambar 24 menunjukan bahwa alasan yang banyak terjadi pada produk pangan yang ditolak di Eropa adalah karena produk pangan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan seperti mengandung aflatoxin dan mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium. Aflatoxin lebih banyak terjadi pada produk rempah-rempah sedangkan alasan mercury dan cadmium terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Berdasarkan kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF, produk ikan merupakan produk dengan jumlah kasus penolakan yang terbesar yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Jenis produk ikan yang mengalami penolakan hanya terdiri dari 6 jenis ikan yaitu tuna, snapper, bichique, marlin, oilfish, dan barramundi. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 23. dibawah ini:
oilfish fish marlin fish 8% 8% snapper fish 8% baramundi fish 8%
tuna fish 59%
bichique fish 9%
n = 12 kasus
Gambar 25. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
28
Berdasarkan Gambar 25 produk ikan tuna merupakan produk ikan yang mengalami kasus penolakan terbanyak yaitu sebesar 59% dari 12 kasus yang terjadi. Produk ikan lain seperti bichique, snapper, barramundi, oilfish, dan marlin hanya mengalami satu kasus saja. Penolakan produk ikan tersebut tidak terlepas dari alasan penolakan yang diterima oleh produk-produk tersebut. Alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 26.
bad hygienic state 25% mercury 50%
cadmium 8% histamine 17%
n = 12 kasus
Gambar 26. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Secara umum produk ikan mengalami penolakan dikarenakan mengandung sesuatu yang berbahaya sperti logam berat dan histamine. Produk ikan yang mengalami penolakan memiliki 4 alasan penolakan yang terjadi yaitu bad hygienic state, cadmium, histamine, dan mercury. Alasan yang paling banyak terjadi adalah alasan karena mengandung mercury yaitu sebesar 50% dari jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Bad hygienic state terjadi sebanyak 3 kasus atau sebesar 25%, mengandung histamine sebesar 17% dan tercenar cadmium sebesar 8%.
C. ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN DI AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN 20022010 Sepanjang tahun 2002-2010 kasus penolakan produk pangan ekspor asal Indonesia cukup tinggi. Penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh US-FDA sebanyak 2608 kasus dan di Eropa oleh Europa-RASFF sebanyak 35 kasus. Setiap tahunnya selama 2002-2010 jumlah kasus yang terjadi berbeda dengan rata-rata kasus per tahun di Amerika Serikat sebanyak 289 kasus dan di Eropa terjadi 4 kasus per tahunnya. Perbedaan jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi disebabkan oleh sistem yang diberlakukan di negara tujuan yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika Serikat pengawasan produk pangan dilakukan oleh FDA yang berada di bawah naungan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh FDA seperti yang tercantum dalam Federal Food, Drugs, and Cosmetic Act yang didalamnya berisi peraturan berikut yang penting dalam ekspor produk pangan mengenani bahan
29
yang rusak, label yang tidak sesuai dengan bahan yang terkandung, batas bahan makanan tambahan, batas maksimal residu kimia, sistem ekspor-ekspor, dan cara pendaftaran unit pengolahan. Selain itu adanya penahanan otomatis, yitu penahanan tanpa pengujian sampel secara fisik (detention without physical examination) membuat banyak produk pangan langsung menerima penolakan tanpa ada pengujian terhadap produk pangan tersebut terlebih dahulu. Peraturan lain yaitu The Bioterorism ACT (TBA) juga berpengaruh terhadap perdagangan produk pangan karena Amerika Serikat menentapkan peraturan baru tentang registrasi pengolahan pangan, pemberitahuan sebelum ekspor, dan pembuatan rekaman proses pengolahan (Cahya 2010). Ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh FDA membuat banyaknya produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang hanya satu negara, Uni Eropa merupakan gabungan dari beberapa negara di Eropa dan setiap negara memiliki lembaga tersendiri yang mengawasi produk pangan. Setiap negara juga memiliki standar mutu masing-masing untuk produk pangan sehingga kasus penolakan yang terjadi di Eropa lebih sedikit dibandingkan di Amerika Serikat. Produk pangan yang akan masuk ke salah satu negara di Eropa mungkin akan ditolak masuk tetapi belum tentu akan ditolak juga dinegara yang lain di Eropa. Hal ini yang membuat lebih banyak kasus produk pangan Indonesia bermasalah setelah masuk ke pasar di Eropa dibandingkan dengan yang mengalami penolakan langsung diperbatasan. Selain itu di Eropa, produk pangan yang bermasalah atau mengalami penolakan melalui RASFF akan diberitahukan kepada negara asal produk pangan tersebut sehingga negara asal dapat segera menangani masalah tersebut. Perbedaan sistem inilah yang membuat kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa lebih sedikit terjadi. Setiap tahun terjadi kenaikan atau penurunan jumlah kasus atau terjadi fluktuatif setiap tahunnya. Untuk kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat, menunjukan bahwa pada tahun 2002-2004 mengalami kenaikan jumlah kasus tetapi menurun pada tahun 2005. Tahun 2005-2007 jumlah kasus meningkat kembali dan menurun jumlahnya pada tahun 20082009, lalu kembali naik pada tahun 2010. Jumlah kenaikan atau penurunan jumlah kasus setiap tahunnya cukup berbeda. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan jumlah kasus dan pada tahun 2005 mengalami penurunan jumlah kasus yang hampir sama. Setelah tahun 2005 terjadi kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2008 tetapi jumlah kasus yang terjadi masih di atas jumlah kasus pada tahun 2005 hingga naik kembali pada tahun 2010. Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa juga mengalami perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya. Penolakan produk pangan Indonesia atau produk pangan yang mengalami border rejection di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang berbeda. Penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 tidak terjadi setiap tahunnya tetapi hanya terjadi pada tahun 2008-2010. Kasus penolakan baru terjadi pada tahun 2008 dengan 11 kasus yang menurun pada tahun 2009 menjadi 8 kasus. Pada tahun 2010 mengalami kenaikan jumlah kasus yang cukup besar yaitu sebesar 100% dari tahun 2009 menjadi 16 kasus. Jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat dan di Eropa sangat berbeda jauh. Selama tahun 2002-2010, di Amerika Serikat terjadi 2608 kasus penolakan produk pangan, sedangkan di Eropa terjadi sebanyak 35 kasus penolakan produk pangan. Perkembangan kasus yang terjadi setiap tahunnya oleh di Amerika Serikat maupun Eropa menunjukan bahwa kasus yang terjadi sulit untuk diketahui alasan penaikan atau penurunan kasus sehingga menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif. Penaikan atau penurunan yang terjadi setiap tahunnya terlihat tidak sama bahkan ada beberapa yang menunjukan penaikan atau penurunan yang sangat besar. Pengecualian terjadi pada kasus di Eropa oleh Europa-RASFF yaitu
30
tidak terjadi kasus penolakan selama tahun 2002-2007 dan baru terjadi pada tahun 2008. Hal ini mungkin dikarenakan produk pangan Indonesia baru teridentifikasi berbahaya setelah masuk ke pasar di Eropa atau setelah beredar di pasar Eropa produk pangan tersebut teridentifikasi berbahaya oleh salah satu negara anggota Europa-RASFF dan melaporkan melalui RASFF sehingga menerima notification oleh Europa-RASFF. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama 2002-2010 menunjukan perkembangan yang berbeda antar produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan ini digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Secara umum kasus penolakan terhadap produk ikan ini meningkat selama tahun 2002-2010 meskipun masih terjadi penurunan pada tahun-tahun tertentu. Alasan penolakan terhadap produk ikan setiap tahunnya selama 20022010 hampir 50% adalah karena alasan filthy. Ini berarti penanganan dan pengolahan terhadap produk ikan masih kurang baik. Produk udang menunjukan perkembangan yang kecenderungan menurun setiap tahunnya meskipun pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah kasus penolakan. Udang merupakan salah satu komoditas ekspor yang yang menjanjikan setelah ikan. Penolakan terhadap produk ikan banyak terjadi karena alasan filthy dan salmonella. Kedua alasan ini mendominasi setiap tahunnya dengan persentase yang cukup tinggi meskipun kasus penolakan menurun jumlahnya dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Penolakan yang terjadi pada produk udang ini lebih banyak dikarenakan mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan seperti Salmonella. Produk kepiting juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun dan kecenderungan meningkat meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Penolakan pada produk kepiting lebih banyak dikarenakan produk kepiting tersebut mengandung zat yang berbahaya seperti chloramp dan vetdrugres. Produk seafood lain yang juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun adalah produk cumi-cumi. Secara umum selama tahun 2002-2010 produk cumi mengalami kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2009 dan tidak terjadi penolakan pada tahun 2010. Alasan pada produk cumi sama seperti pada produk ikan yaitu karena alasan filthy sehingga megalami penolakan. Terlihat bahwa penolakan terhadap produk seafood (ikan, udang, kepiting dan cumi-cumi) lebih banyak disebabkan oleh alasan filthy dan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan. Alasan filthy yang terjadi menunjukan bahwa penanganan dan pengolahan terhadap produk seafood masih kurang dan perlu diperbaiki serta diawasi dengan baik. Alasan mengandung sesuatu yang berbahaya secara umum menurun selama tahun 2002-2010. Menurut KKP (2008) Departemen Kelautan dan Perikanan telah dan terus melakukan beberapa upaya untuk penanganan Food Safety produk perikanan, antara lain: pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system) di 5 lokasi sentra pengolahan, 6 lokasi sentra produksi dan 3 lokasi Pasar Ikan Higienis; sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia berbahaya, penambahan dan penyempurnaan jabatan fungsional pengawas mutu hasil perikanan, sosialisasi ketentuan internasional standar produk dan sistem jaminan mutu serta keamanan hasil perikanan, penguatan kompentensi laboratorium penguji, dan pelatihan program manajemen mutu terpadu/HACCP. Hal ini berarti pengawasan terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya serta pengujian terhadap produk seafood telah diberlakukan. Produk lain yang juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang hampir sama adalah produk minuman, produk saos sambal dan kecap, produk bumbu-bumbuan, produk instant, produk sup, kari, dan semur. Ketiga produk ini memiliki alasan penolakan yang sebagian besar sama yaitu no process dan needs fce. No process dan needs fce adalah alasan yang banyak terjadi pada produk pangan berasam rendah dan mengalami proses sterillisasi. Produk minuman selama tahun 2002-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus penolakan sampai dengan tahun 2008
31
dan menurun secara drastis pada tahun 2009 dan tahun 2010 tidak terjadi kasus penolakan terhadap produk ini. Alasan yang banyak terjadi pada produk minuman adalah juice%, yaitu persentase kandungan jus buah atau sayuran dalam produk minuman tidak sesuai dengan yang tertera pada label kemasan, dan needs process and no process. Produk saos sambal dan kecap menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan alasan terbanyak yang diterima adalah no process dan need fce. Produk bumbu-bumbuan menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Alasan pada produk bumbu-bumbuan ini juga didominasi oleh no process dan needs fce. Produk instant, sup, semur dan kari juga menunjukan perkembangan kasus tertinggi pada tahun 2007 dengan alasan yang sama yaitu no process dan needs fce, sedangkan pada tahun berikutnya tidak terjadi kasus penolakan kembali pada produk tersebut. Penurunan jumlah kasus penolakan pada produk-produk ini menunjukan bahwa produsen penghasil produk tersebut telah melakukan perbaikan terhadap produk yang diproduksinya seperti memberikan jumlah persentase kandungan jus seperti yang tertera pada label untuk produk minuman serta telah mengirimkan scheduled process dan terdaftar sebagai produsen penghasil makanan kaleng berasam rendah seperti yang diminta dan ditentukan oleh FDA. Hal ini dibuktikan dengan tahun 2008-2010 yang tidak terjadi lagi penolakan pada produk-produk tersebut dengan alasan no process dan needs fce. Produk rempah-rempah menunjukan perkembangan yang cenderung sama setiap tahunnya meskipun terjadi kenaikan jumlah kasus tetapi tidak terlalu signifikan selama tahun 2002-2010. Alasan yang banyak terjadi pada produk rempah-rempah ini adalah karena mengandung salmonella. Menurut Lukiawan dan Kristiningrum (2011), Di United State, produk rempahrempah Indonesia pernah mengalami penolakan. karena tidak memenuhi "Food and Drug Administration" (FDA) Amerika Serikat. Dapat disimpulkan bahwa komoditi ekspor yang terdiri dari biji pala, hida, fuli, kayu manis, cabe kering dan bebijian seringkali tiba di Amerika dalam keadaan tidak memenuhi persyaratan mutu. Persyaratan mutu yang tidak dipenuhi terutama mengenai cemaran kapang, serangga dan benda asing misalnya debu, potongan kayu dan bagian tumbuhan lain. Hal ini terjadi karena standar mutu untuk kandungan salmonella pada rempahrempah di Indonesia berbeda dengan di Amerika sehingga terjadi penolakan. Sampai saat ini, SNI (Standar Nasional Indonesia) yang tersedia untuk produk rempah-rempah ini berjumlah 9 standar, namun sangat disayangkan, hampir semua standar tersebut telah berusia lebih dari 5 tahun dan sudah waktunya untuk dilakukan evaluasi. Mengingat standar nantinya menjadi salah satu barrier dalam perdagangan, maka dengan harapan untuk memperlancar kegiatan ekspor, standar nasional harus diharmonisasikan dengan standar internasional atau dengan peraturan teknis negara tujuan ekspor agar tidak terjadi penolakan (Lukiawan dan Kristiningrum 2011). Produk permen dan biskuit menunjukan perkembangan yang fluktuatif tetapi tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Produk permen hampir mengalami penolakan setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 kecuali pada tahun 2009. Produk biskuit selama tahun 20022010 tidak mengalami penolakan hanya pada tahun 2002 dan 2008. Alasan penolakan terbanyak pada kedua produk ini adalah karena nutrit lbl dan unsafe col. Nutrit lbl adalah alasan karena terjadi kesalahan pada label nutrisi atau tidak menyampaikan tentang informasi nutrisi yang diperlukan sedangkan alasan unsafe col adalah karena mengandung pewarna tambahan yang tidak aman. Hal ini berarti belum dilakukannya perbaikan dalam masalah label nutrisi dan penggunaan pewarna tambahan yang tidak sesuai atau dianggap tidak aman untuk dikonsumsi di Amerika oleh FDA. Produk lain yang juga banyak mengalami penolakan karena alasan unsafe col adalah produk kue. Produk kue mengalami kasus tertinggi pada tahun 2009 dan menurun pada tahun 2010. Ini berarti penggunaan pewarna tambahan pada tahun 2009 sudah dikurangi atau tidak
32
digunakan kembali sehingga pada tahun 2010 penolakan terhadap produk kue dengan alasan unsafe col menurun jumlahnya. Produk mie menunjukan jumlah kasus penolakan tertinggi pada tahun 2004 dan menurun pada tahun 2005-2006 dan tahun 2007-2010 tidak terjadi penolakan terhadap produk mie. Alasan produk mie mengalami penolakan adalah karena color lblg dan no english. Color lblg merupakan alasan jika pewarna tambahan yang digunakan tidak tercantum dalam label kemasan, sedangkan no english merupakan alasan jika label yang tercantum tidak dalam bahasa inggris. Penurunan jumlah penolakan terhadap produk mie menunjukan bahwa label yang tercantum sudah menggunakan bahasa ingris dan penggunaan pewarna tambahan telah dicantumkan pada label pada kemasan. Produk coklat dan gula memiliki kasus penolakan sebagian besar karena alasan yang sama yaitu karena filthy. Kasus penolakan pada produk coklat meningkat pada tahun 2010 dengan alasan filthy. Produk gula mengalami penolakan dengan alasan filthy pada tahun 2006-2009 dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukan bahwa produk gula dan coklat yang diekspor tidak memenuhi syarat mutu di Amerika sehingga mengalami penolakan. Produk lainnya yang mengalami penolakan di Amerika oleh US-FDA menunjukan perkembangan yang tidak terlalu berbeda karena jumlah kasus penolakan pada produk pangan lainnya tersebut sedikit. Penyebab terjadinya penolakan atau alasan terjadinya penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 menunjukan bahwa terdapat 3 alasan yang cukup mempengaruhi terjadinya penolakan produk pangan tersebut dengan perkembangan kasus yang cukup fluktuatif setiap tahunnya. Alasan tersebut adalah filthy, salmonella dan needs fce and no process. Alasan filthy terjadi hampir pada semua produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat dan terjadi cukup banyak setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. Alasan filthy terbanyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan kepiting. Penyebab terjadinya alasan filthy ini dikarenakan handling atau penanganan pada saat penangkapan, pengolahan, dan pendistribusian produk seafood ini yang kurang baik sehingga produk pangan tersebut mengandung sesuatu yang tidak layak ada pada produk pangan tersebut. Menurut Hariyadi dan Andarwulan (2007), penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia dan hewan lainnya jika mengkonsumsi makanan atau pakan yang terkontaminasi salmonella. Salmonella banyak tersebar di alam terutama pada udara yang tercemar. Salmonella pada makanan ditemukan pada kacang-kacangan, salad dressing, mayonnaise, susu, dan makanan lainnya (Jay et al., 2005). Selain itu, Supardi dan Sukamto (1999) menyebutkan bahwa makanan yang sering dikontaminasi salmonella yaitu telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan keju. Pada kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat, alasan mengandung salmonella merupakan alasan kedua terbanyak setelah alasan filthy yang terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang ditolak dengan alasan mengandung salmonella di Amerika Serikat adalah produk seafood seperti ikan dan udang serta produk rempah-rempah. Ketahanan salmonella dalam air sangat tinggi. Bahkan bakteri ini dapat bertahan saat terjadi peningkatan salinitas yang terjadi secara cepat dan stress tekanan osmotic yang berkepanjangan dengan cara bergabung dengan cairan limbah dalam air payau (Shabarinath et al. 2007 dalam Aziz 2009). Penyebab terjadinya alasan salmonella pada produk pangan adalah adanya sumber-sumber kontaminasi yang menyebabkan produk pangan terkontaminasi bakteri salmonella. Sumber-sumber kontaminasi meliputi faktor lingkungan seperti tempat penangkapan, pengolahan, dan pendistribusian yang
33
kurang bersih sehingga pangan mudah terkontaminasi oleh mikroba dari udara dan sekitarnya. Selain itu terdapat faktor lain termasuk kurangnya suplai air bersih, ketidakcukupan proes sanitasi, buruknya higienitas, dan masalah keamanan pangan yang menyebabkan tingginya kasus bakteri salmonella pada produk ikan (seafood) (Aziz 2009). Habitat utama salmonella adalah saluran usus hewan (burung, reptile, hama tanaman) dan manusia. Salmonella juga terdapat di bagian tubuh yang lain serta di udara terutama udara yang tercemar (Jay et al., 2005). Wadah penyimpanan yang tidak tertutup dan lamanya waktu pendistribusian ke luar negeri dapat meningkatkan kontaminasi salmonella pada produk pangan. Selain itu, proses pemasakan atau pemanasan terhadap produk pangan yang kurang dapat membuat salmonella masih mengontaminasi produk pangan tersebut. Aplikasi suhu tinggi pada pemasakan ataupun proses pasteurisasi pangan adalah cara terbaik untuk membunuh salmonella (Bell 2002 dalam Fredy 2010). Alasan lain yang cukup banyak terjadi pada produk pangan yang ditolak di Amerika Serikat adalah needs fce and no process. Alasan ini hanya terjadi pada beberapa produk tertentu seperti produk makanan berasam rendah atau diasamkan dan juga pada produk yang melalui proses sterilisasi. Kedua alasan ini menunjukan jumlah kasus yang tertinggi pada tahun 2007 dengan jumlah yang sangat signifikan perbedaannya dengan tahun-tahun lainnya selama tahun 2002-2010. Pengertian no process adalah perusahaan makanan kaleng berasam rendah atau makanan yang diasamkan tidak mencantumkan atau melampirkan informasi scheduled process. Sedangkan needs fce adalah perusahaan tidak terdaftar sebagai perusahaan yang menghasilkan makanan kaleng berasam rendah atau makanan yang diasamkan. Dalam kasus needs fce ini, pabrik pengolahan belum mendapatkan nomor dari Food Canning Establishment (Buzby et al. 2008). Pemasakan dan proses pengolahan lainnya untuk makanan kaleng berasam rendah sangat penting untuk meminimalkan resiko dari Botulisme. Kedua alasan ini cukup serius karena berpotensi menimbulkan resiko terhadap kesehatan manusia. Produk pangan Indonesia yang ditolak karena alasan needs fce and no process terbanyak adalah produk bumbu-bumbuan, minuman, dan produk saus sambal dan kecap. Produk pangan tersebut merupakan produk pangan berasam rendah dan atau produk pangan yang melalui proses pemasakan atau proses sterillisasi. Penolakan terhadap produk pangan ini karena perusahaan produk pangan tersebut belum memberikan scheduled proses kepada FDA sehingga mengalami penolakan karena dianggap berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Scheduled process adalah suatu proses yang telah dipilih oleh perusahaan sebagai proses yang dianggap terbaik pada kondisi di pabrik untuk suatu produk tertentu agar mendapatkan tingkat sterilitas komersial yang dikehendaki. Proses itu sendiri kemungkinan besar sudah lebih dari yang diperlukan untuk menghancurkan mikroba yang membahayakan kesehatan masyarakat (Winarno 1995). Alasan lainnya yang juga menunjukan perkembangan yang cukup signifikan adalah Listeria. Listeria hanya terjadi pada produk udang yang mengalami penolakan pada tahun 2010 dengan jumlah yang cukup tinggi yaitu 13 kasus penolakan dari total kasus yang terjadi selama tahun 2010 yaitu 33 kasus penolakan produk udang. Listeria sp. merupakan bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri ini. salah satu spesies dari Listeria sp. adalah Listeria monocytogenes. Listeria monocytogenes diisolasi dari banyak sampel lingkungan, seperti tanah, limbah, air, dan tumbuh-tumbuhan mati. bagian besar dari daging mentah, susu, telur, makanan laut, dan ikan, seperti halnya daun dari tumbuhtumbuhan dan umbi-umbian (khususnya pada kentang dan lobak) mengandung Listeria monocytogenes (Ray 2000). Masih menurut Ray (2000), Listeria monocytogenes dikenal sebagai penyebab terjadinya listeriosis, jarang terjadi, tetapi merupakan infeksi penyakit asal pangan yang
34
mempunyai tingkat mematikan 25% (Salmonella, sebagai perbandingan, mempunyai tingkat mematikan kurang dari 1%) (Anonim 2007 dalam Fauzan 2008). Menurut Hariyadi (2008) beberapa patogen diketahui hanya pada waktu-waktu terakhir saja menjadi penyebab utama penyakit yang ditularkan melalui pangan, seperti Listeria monocytogenes dan Campylobacter jejuni. Secara tradisional, pangan yang berkaitan dengan penyebab kajadian penyakit karena pangan adalah daging, unggas dan pangan laut yang dimasak kurang matang, atau susu tanpa pasteurisasi. Masalah kebersihan dalam penanganan dan pengolahan yang kurang diperhatikan juga penyebab bakteri ini mencemari produk udang tersebut. Selain listeria, alasan lain yang juga menunjukan perkembangan yang cukup signifikan adalah vetdrugres. Vetdrugres merupakan alasan yang terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung obat untuk hewan yang tidak aman bagi manusia. Alasan vetdrugres menunjukan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2004 dan secara umum menurun pada tahun berikutnya meskipun terjadi kenaikan dan penurunan jumlah kasus tetapi masih dibawah jumlah kasus pada tahun 2004. Alasan lain yang diterima produk pangan Indonesia adalah mengandung sesuatu yang tidak aman dalam produk seperti chloramp, histamine, poisonous yaitu alasan jika produk pangan mengandung zat yang berbahaya, dan unsafe col jika mengandung pewarna tambahan yang berbahaya. Perkembangan kasus penolakan karena keempat alasan ini sangat signifikan dimana setiap tahunnya terjadi dengan jumlah yang berbeda selama tahun 2002-2010, pengecualian pada chloramp dimana secara umum terlihat perkembangan kasus penolakan yang naik dimana tahun 2010 merupakan tahun dengan jumlah kasus penolakan karena chloramp tertinggi. Alasan karena histamine banyak terjadi pada produk ikan. Pembentukan histamine sering disebabkan oleh suhu ikan yang tinggi setelah penangkapan (Guizani et al. 2004). Kontrol temperatur yang memadai merupakan kunci untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin (McLauchlin et al. 2005). Sedangkan menurut Marriot dan Gravani (2006), peningkatan kadar histamin pada ikan juga berhubungan dengan sanitasi dan higiene dalam proses penanganan ataupun pengolahan. Alasan karena masalah pada label yang tertera pada produk makanan juga cukup banyak terjadi seperti nutrit lbl, list ingre, lacks n/c dan lacks firm, labeling, dan no English. Nutrit lbl merupakan alasan jika pada label nutrisi tidak memuat informasi nutrisi yang dibutuhkan. List ingre merupakan alasan jika produk pangan terbuat dari dua atau lebih bahan pangan (ingredients) dan pada label tidak mencantumkan nama umum dari masing-masing bahan pangan tersebut. Lacks n/c adalah alasan pada makanan di dalam kemasan dan terlihat tidak ada label yang menyatakan keakuratan dalam hal kuantitas, seperti berat, ukuran dalam hal lain, dan tidak ada variasi atau pengecualian yang diberlakukan oleh peraturan. Lacks firm merupakan makanan dalam bentuk paket dan tampaknya tidak mencantumkan label yang berisi nama dan alamat produsen, pengepak atau distributor. Labeling terjadi jika terjadi pelanggaran dalam FPLA yaitu bentuk, posisi dan atau pernyataan isi label. No english merupakan alasan jika label atau pelabelan tidak dalam bahasa Inggris. Penolakan karena alasan pada label atau pelabelan yang terjadi hampir setiap tahunnya selama 2002-2010 dengan perkembangan yang fluktuatif dan jumlah kasus yang cukup tinggi. Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan menunjukan perkembangan yang fluktuatif tetapi dengan jumlah kasus yang sedikit dan tidak terjadi setiap tahunnya selama 2002-2010. Kasus produk pangan yang bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF di Eropa juga menunjukan perkembangan yang fluktuatif pada setiap produk pangan yang bermasalah selama 2002-2010. Sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat, produk pangan
35
yang paling banyak menerima notification adalah produk seafood seperti ikan dan udang. Produk ikan dan udang menunjukan jumlah kasus tertinggi setiap tahunnya selama 2002-2010. Secara umum jumlah kasus yang terjadi pada produk ikan dan udang mengalami penurunan meskipun jumlah kasus yang terjadi masih tinggi dibandingkan produk pangan lainnya. Alasan yang diterima oleh produk ikan terbanyak adalah karena mengandung sesuatu yang berbahaya seperti mercury, cadmium dan histamine. Alasan yang banyak terjadi pada produk udang adalah penggunaan antibiotic yang berbahaya seperti chloramphenicol dan nitrofuran. Antibiotic ini diberikan untuk membunuh mikroorganisme pada produk udang melalui pemberian pakan. Produk rempah-rempah secara umum selama tahun 2002-2010 menunjukan kasus produk pangan bermasalah yang meningkat. Produk rempah-rempah menerima notification tertinggi jumlahnya pada tahun 2010. Alasan yang banyak diterima oleh produk rempah-rempah adalah karena mengandung aflatoxin. Produk lain yang juga banyak mengandung aflatoxin adalah produk kacang. Produk kacang hanya terjadi pada tahun 2005, 2008, dan 2010 dengan perkembangan yang naik-turun. Iklim Indonesia yang termasuk dalam iklim tropik, dimana suhu tinggi dan RH tinggi terjadi sepanjang tahun menyebabkan komoditas kacang tanah sangat mudah terkontaminasi aflatoksin. Untuk meminimalkan kontaminasi aflatoksin, perlu dilakukan proses pascapanen yang memungkinkan kadar air kacang tanah diturunkan hingga aw aman dalam waktu yang relatif singkat (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006). Produk daging menunjukan perkembangan yang naik turun tetapi dengan perbedaan jumlah kasus bermasalah tidak terlalu tinggi hanya pada tahun 2009 menunjukan kasus bermasalah yang tertinggi. Alasan pada produk daging ini adalah parasitic infestation. Produk lainnya mengalami kasus produk bermasalah dengan jumlah kasus yang sedikit dan tidak terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. Perkembangan alasan yang terjadi pada produk pangan yang bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 juga menunjukan perkembangan yang naik turun. Sebagian besar alasan yang terjadi hanya terjadi pada produk tertentu saja seperti mengandung logam berat dan antibiotic untuk hewan pada produk seafood dan aflatoxin yang banyak terjadi pada produk rempah-rempah. Alasan yang paling banyak terjadi adalah mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium. Mercury dan cadmium banyak terjadi pada produk ikan. Secara umum selama tahun 2002-2010 alasan mengandung mercury dan cadmium ini menunjukan perkembangan yang menurun. Kasus tertinggi untuk alasan ini terjadi pada tahun 2004 dimana kasus produk ikan yang menerima notification atau bermasalah juga dengan jumlah kasus tertinggi. Penurunan yang terjadi untuk alasan ini sejak tahun 2004 sangat signifikan meskipun masih terjadi setiap tahunnya. Alasan mengandung histamine pada produk pangan bermasalah di Eropa menunjukan kasus yang menurun sejak tahun 2004 dimana alasan ini menunjukan jumlah kasus yang tertinggi. Histamine banyak terjadi pada produk ikan sama halnya dengan mercury dan cadmium. Alasan lain yang secara umum menunjukan grafik meningkat meskipun tidak terjadi setiap tahunnya adalah aflatoxin. Alasan aflatoxin menunjukan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2010. Aflatoxin banyak mengontaminasi produk rempah-rempah. Aflatoxin merupakan jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus paraciticus (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006). Menurut Utami (2008), Aspergillus flavus sering menyerang berbagai hasil pertanian yang dikeringkan, terutama bila pengeringan bahan berlangsung lambat, sedangkan makanan segar seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak menunjukan kandungan aflatoxin yang positif. Produk rempah-rempah yang mengalami penolakan di Eropa karena alasan mengandung aflatoxin ini disebabkan karena cara penanganan, pengelolaan, dan penyimpanan
36
pasca panen produk rempah-rempah ini kurang higienis. Selain itu kelembaban yang tinggi pada daerah tropis merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan kapang seperti Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoxin (Utami 2008). Alasan lain yang menunjukan grafik menurun adalah alasan mengandung antibiotic untuk hewan seperti chloramphenicol dan nitrofuran. Alasan ini terjadi hampir setiap tahunnya selama 2002-2010 dimana kasus tertinggi terjadi pada tahun 2002. Alasan ini banyak terjadi pada produk udang yang juga menunjukan kasus tertinggi ada tahun 2002. Pada tahun 2010, tidak terjadi produk pangan bermasalah karena alasan ini yang berarti penggunaan antibiotic sudah mulai berkurang. Alasan mengandung mikroorganisme yang berbahaya seperti vibrio spp. dan salmonella sp. juga menunjukan kasus yang menurun bahkan pada tiga tahun terakhir tidak terjadi alasan ini pada produk pangan Indonesia di Eropa. Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa menunjukan perkembangan yang berbeda dan fluktuatif dengan jumlah kasus yang sedikit dibandingkan alasan lain seperti mercury dan aflatoxin. Produk pangan asal Indonesia yang mengalami penolakan selama tahun 2002-2010 di Amerika Serikat dan Eropa lebih banyak dialami oleh produk seafood seperti produk ikan, udang, dan jenis kepiting. Di Amerika Serikat oleh US-FDA, Indonesia mengalami penolakan produk ikan sebanyak 1300 kasus selama tahun 2002-2010. Sedangkan di Eropa Indonesia mengalami kasus penolakan untuk produk ikan oleh Europa-RASFF sebanyak 12 kasus. Indonesia merupakan negara dengan hasil laut yang sangat tinggi. Hasil laut Indonesia banyak diekspor ke luar negeri seperti ke negara-negara di Asia, dan terutama ke negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011), Indonesia menguasai 65% pasar ekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Selama ini Indonesia mengekspor produk ikan berbagai jenis ke kedua benua tersebut, mulai dari tuna, udang, dan kepiting, sedangkan sesuai data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Indonesia termasuk eksportir terbesar kedua setelah China. Produk perikanan merupakan salah satu andalan Indonesia dalam perolehan devisa negara. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor utama Indonesia adalah Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2003 – 2007) menunjukkan tren naik, yaitu mencapai rata-rata sebesar 8,28%. Sebagai contoh, nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2006 sebesar USD 2,1 Miliar atau meningkat 9% dibandingkan nilai ekspor tahun 2005 sebesar USD 1,9 Miliar. Tahun 2007 nilai ekspor produk perikanan Indonesia sebesar USD 2,3 Miliar atau meningkat sebesar 9,5% dibandingkan tahun 2006. Tingginya nilai ekspor ini membuat semakin meningkatnyanya jumlah produk ikan yang diekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat (KKP 2008). Berdasarkan data dari US-FDA dan Europa-RASFF, produk ikan yang paling banyak mengalami penolakan adalah produk ikan tuna yaitu sebanyak 808 kasus terjadi di Amerika Serikat dan sebanyak 7 kasus terjadi di Eropa. Ikan tuna merupakan ikan laut yang paling banyak diekspor keluar negeri. Menurut data DKP Sumbar, ekspor tuna ke luar negeri tiap tahun terus meningkat. Pada tahun 2008 ekspor tuna Sumbar 300 ton dan 2009 naik menjadi 723 ton. Lebih dari 60% hasil tangkapan tuna Indonesia diekspor sebagai produk tuna segar dan beku, terutama ke Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat (Putro 2008). Terjadinya kasus penolakan pada produk ikan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa disebabkan oleh masalah kualitas dan keamanan pangan yang tidak terjamin. Menurut KKP (2008), permasalahan tersebut karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud meliputi: jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan masih lemah; susut hasil produk perikanan masih tinggi (27,8%); utilitas industri masih rendah (<50%); maraknya penggunaan bahan ilegal;
37
pola dan jenis produksi hasil perikanan serta; pola konsumsi ikan tidak berubah; dan beberapa lokasi potensial kurang berkembang. Sedangkan faktor eksternal lebih disebabkan karena meningkatnya persyaratan dan standar international; persaingan ketat (ancaman negara pesaing seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia); pasar yang cenderung tetap (UE, Jepang dan Amerika Serikat) karena pasar baru kurang dijajaki; dan adanya hambatan tarif. Analisis penyebab masalah penolakan produk pangan menggunakan Diagram Pareto dan Diagram sebab akibat atau diagram ishikawa. Diagram Pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan. Dengan memakai Diagram Pareto, dapat terlihat masalah mana yang sedikit tapi dominan (vital view) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan (trivial many) (Muhandri dan Kadarisman 2008). Kasus yang terjadi di Amerika Serikat yaitu penolakan produk pangan oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 menunjukan bahwa produk ikan merupakan produk dengan jumlah kasus yang terbanyak yaitu sebanyak 1300. Produk ikan tuna merupakan produk ikan dengan jumlah kasus yang tertinggi yaitu sebanyak 811 kasus dengan produk frozen tuna yang mengalami kasus penolakan terbanyak sebesar 713 kasus. Untuk menyebab masalah terjadinya kasus penolakan pada fish and fish product ini dengan menggunakan diagram Pareto. Gambar 27 menunjukan diagram Pareto untuk masalah utama pada kasus yang terjadi di Amerika Serikat.
94.99% 86.68%
Jumlah Kasus
800
98.59% 100% 100 90 80
77.07%
700 600
70 60
58.05%
500
50
400
40
300
30
200
20
100
10
0
Persentase (%)
900
96.79%
0 filthy
salmonella
other
histamine lacks n/c list ingre
nutrit lbl
Jenis Alasan Gambar 27. Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan tuna di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Dalam diagram pareto diatas dapat dilihat bahwa filthy merupakan merupakan vital view (masalah utama) terjadinya kasus penolakan produk ikan tuna di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010. Filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung “sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut”. Penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan, dan diawasi untuk menerapkan good practices (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Penanganan yang baik harus dilakukan dengan benar agar mutu ikan tetap terjaga. Penanganan yang baik dan benar harus dilakukan saat di kapal dan saat ikan telah sampai di darat.
38
12 91.66%
100%
Jumlah Kasus
10
75% 8 6
50%
4 2 0
mercury
bad hygienic state
histamine
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Persentase (%)
Penanganan yang tidak higienis akan menyebabkan terjadinya alasan filthy semakin meningkat. Menurut Riyadi 2007, penanganan ikan segar oleh para nelayan biasanya dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah dan kadang-kadang kurang memperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan. Salah satu cara mempertahankan kesegaran ikan dapat dilakukan dengan memelihara ikan tetap hidup atau dengan menurunkan suhu ikan mati (Suwedo 1993). Menurunkan suhu ikan tetap rendah dapat dilakukan dengan pemberian es. Es yang diberikan harus bersih atau harus dicuci terlebih dahulu agar tidak ada kotoran atau benda apapun juga yang dapat menempel atau mengotori produk ikan tersebut. Nelayan terkadang tidak memperhatikan faktor ini. Es yang dibawa atau digunakan tidak bersih sehingga ada kotoran atau sesuatu yang mengotori ikan tersebut. Selain saat penanganan di kapal, penanganan saat ikan sampai di dermaga juga harus diperhatikan. Ikan yang telah sampai didarat harus segera dibongkar dengan cepat untuk menghindari produk ikan tersebut kotor karena terlalu lama dan seringnya pembongkaran. Biasanya, pembongkaran ikan saat sampai didarat tidak terlalu memperhatikan faktor kebersihan. Ikan setelah dibongkar diangkut atau dibawa dengan peti-peti yang tidak terjamin kebersihannya. Sistem logistik serta angkutan yang buruk dan terlalu panjang membuat kualitas mutu ikan yang akan diekspor menurun. Bongkar muat ikan yang terlalu sering akan menimbulkan kontaminasi (KKP 2008). Alasan filthy yang terjadi mencapai lebih dari 60% dari jumlah total alasan penolakan yang terjadi. Alasan filthy ini juga merupakan alasan yang banyak terjadi pada kasus penolakan produk pangan asal Indonesia oleh US-FDA Dalam kasus yang terjadi oleh RASFF, alasan penolakan cukup berbeda dengan alasan yang terjadi oleh US-FDA. Gambar 28 menunjukan diagram pareto untuk masalah utama pada kasus yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF.
cadmium
Jenis Alasan Gambar 28. Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Dalam diagram terlihat bahwa alasan tercemar logam berat seperti mercury merupakan vital view (masalah utama) pada kasus penolakan produk ikan yang terjadi di Eropa oleh EuropaRASFF selama tahun 2002-2010. Merkuri merupakan suatu toksin yang bersifat kuat dapat merusak bayi dalam kandungan, sistem saraf pAmerika Serikatt manusia, organ-organ reproduksi, dan sistem kekebalan tubuh (Yuniar 2009). Alasan tercemar merkuri banyak ditemukan pada produk ikan, hal ini dikarenakan air yang digunakan atau tempat hidup ikan tersebut telah
39
tercemar oleh merkuri sehingga mencemari makanan yang dimakan oleh ikan tersebut. Terdapatnya merkuri di perairan dapat disebabkan oleh limbah hasil kegiatan perindustrian seperti pabrik cat, kertas, dan peralatan listrik. Limbah merkuri yang dihasilkan dari suatu proses produksi akan mengendap pada dasar perairan dan bersama lumpur terbawa ke muara terus ke laut (Kamaludin 2006). Merkuri masuk ke dalam tubuh ikan terutama melalui makanan yang dimakannya, karena hampir 90% logam berat (merkuri) masuk kedalam tubuh melalui jalur makanan. Logam merkuri masuk pada jalur tersebut melalui dua cara, yaitu lewat air (minuman) dan tanaman (bahan makanan). Sisanya akan masuk secara difusi atau perembesan lewat jaringan dan melalui pernapasan (insang) (Palar 1994). Berdasarkan diagram pareto untuk kasus penolakan produk ikan di Amerika Serikat dan di Eropa menunjukan alasan penolakan yang berbeda. Penolakan produk ikan di Amerika Serikat lebih disebabkan oleh kondisi pengolahan produk yang terkontaminasi secara fisik (filthy), sedangkan di Eropa penolakan produk ikan lebih disebabkan oleh kondisi bahan baku yaitu tercemar logam berat (merkuri). Alasan penolakan di Eropa karena kondisi bahan baku membuktikan bahwa Eropa sangat ketat dalam pengawasan produk ikan yang akan masuk ke pasar Eropa. Menurut Rastikarany (2008), Uni Eropa terkenal sebagai pasar yang sangat dominan baik dalam hal standar mutu dan harga. Sebagai kawasan ekonomi negara-negara maju, Uni Eropa telah memiliki ketentuan khusus apabila ada negara atau perusahaan eksportir yang ingin memasuki pasar Uni Eropa. Bagi negara atau perusahaan perikanan yang ingin mengekspor produk harus telah memiliki approval number yang diperoleh dari hasil penelitian atau survey langsung Komisi Eropa ke perusahaan perikanan tersebut. Uni Eropa menerbitkan Council Decision (CD) 2006/236 yang isinya mewajibkan semua produk perikanan Indonesia yang masuk Uni Eropa diuji kandungan logam berat dan histamin (untuk spesies tertentu) (Poernomo 2008). Masih menurut Poernomo (2008), Serangkaian inspeksi lanjutan yang dilakukan telah memuaskan pihak Uni Eropa dan pada bulan Juli 2008, CD2006/236 diamandemen menjadi CD 2008/660, yang hanya mewajibkan uji logam berat bagi produk ikan tangkap dari laut. Hal inilah yang membuat alasan merkuri banyak terjadi pada produk ikan Indonesia yang mengalami penolakan di Eropa. Berbeda dengan di Eropa, di Amerika Serikat penolakan produk ikan Indonesia banyak disebakan karena alasan kondisi fisik yaitu filthy. Penolakan karena alasan filthy ini lebih banyak terjadi karena Amerika Serikat melalui FDA menerapkan automatic detention seperti yang tercantum dalam UU FD&C. Dalam peraturan tersebut FDA dapat melakukan penahanan terhadap produk pangan yang masuk tanpa ada pemerikasaan fisik terlebih dahulu jika produk pangan tersebut berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Penahanan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga negara atau lokal yang telah melakukan analisis terhadap produk pangan yang masuk dan FDA telah menetapkan bahwa pengambilan sampel dan pengujian yang dilakukan adalah akurat, diterima dan mewakili dari produk tersebut (FDA 2011). Ini berarti produk akan langsung mengalami penolakan jika memang sudah dianggap tidak sesuai dengan syarat FDA atau dianggap dapat membahayakan kesehatan. Selain UU FD&C, regulasi lain yang terkait adalah Code of Federal Regulation (CFR) 123 tentang ikan dan produk berbahan dasar ikan. Regulasi ini menjelaskan lebih rinci tentang produk perikanan, penerapan analisis bahaya di dalam proses pengolahan, dan penerapan HACCP yang harus dilakukan oleh pengolah (Cahya 2010). Alasan filthy merupakan alasan yang disebakan oleh sesuatu yang seharusnya tidak ada pada produk pangan tersebut. Adanya sesuatu (kotoran) yang terdapat pada produk ikan membuktikan bahwa proses penanganan atau pengolahan ikan tersebut tidak benar yang berarti
40
perusahaan asal prdouk ikan tersebut belum menerapkan HACCP seperti yang diminta oleh FDA sesuai dengan CFR 123. Penolakan produk ikan asal Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa lebih dikarenakan alasan sanitasi atau kebersihan dan terkontaminasi atau tercemar dengan sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Terkontaminasi atau tercemarnya produk ikan tidak terlepas dari cara penanganan atau handling yang tidak memerhatikan kebersihan terhadap produk ikan tersebut. Penanganan yang tidak memerhatikan kebersihan akan mempengaruhi mutu dari ikan tersebut. Menurut Nasran (2002), penanganan di perahu yang kurang memperhatikan faktor sanitasi dan higiens dan penyimpanan kurang sempurna tanpa mempergunakan peti-peti ataupun sekat-sekat akan menyebabkan mutu ikan yang didaratkan menjadi kurang baik. Pada produk perikanan, penanganan yang baik harus dimulai dari awal yaitu saat penangkapan ikan oleh para nelayan sampai akhir yaitu saat tiba di dermaga. Selain dalam hal penanganan, kondisi lingkugan tempat penangkapan dan pengolahan ikan juga harus jauh dari sumber pencemaran atau tidak tercemar oleh logam berat seperti merkuri. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab produk makanan ditolak terutama produk perikanan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari sumber lingkungan maupun dari manusia. Untuk mengetahui faktor-faktor tersebut digunakan diagram sebab akibat atau diagram ishikawa. Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin (memiliki peluang) menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Secara umum terdapat enam faktor yang berpengaruh yaitu : a. Lingkungan b. Manusia c. Metode d. Bahan e. Mesin peralatan f. Manajemen Diagram sebab akibat hanya merupakan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan mengidentifikasi masalah (Muhandri dan Kadarisman 2008). Untuk melihat faktor yang menyebabakan terjadinya kasus penolakan oleh Amerika Serikat dan Eropa dapat dilihat pada diagram sebab akibat berikut:
41
Lingkungan
Manusia
Bahan
Bangunan atau pabrik
Kebersihan
Keahlian Kemasan Sarang hama Tingkah laku Lokasi pencemaran Penolakan produk
SOP
Pengolahan
Kebersihan Dokumentasi
Penyortiran
Penyimpanan
Pemeliharaan Standar mutu
Peralatan
Manajemen
Distribusi Metode
Gambar 29. Diagram sebab akibat untuk kasus penolakan produk pangan asal Indonesia oleh US-FDA dan Europa-RASFF selama tahun 2002-2010.
42
Berdasarkan diagram ishikawa diatas terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penolakan produk ikan yaitu manusia dan lingkungan : 1) Lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap hasil produk pangan jika tidak diperhatikan secara serius. Lingkungan disini meliputi tempat penanganan ikan (di kapal dan di darat) dan keadaan lingkungan sekitar pabrik. Lingkungan harus dalam kondisi yang baik seperti berada pada daerah yang bebas pencemaran atau jauh dari lokasi yang tercemar. Alasan penolakan produk ikan karena mengandung merkuri menunjukan bahwa laut telah tercemar. Laut yang tercemar akan berpengaruh pada ikan yang hidup didalamnya. Laut yang tercemar, dalam hal ini oleh merkuri, akan berpengaruh pada tumbuhan atau hewan-hewan kecil lain, seperti plankton, yang merupakan makanan dari ikan-ikan yang ada di laut. Ikan yang memakan tumbuhan atau plankton yang tercemar merkuri maka akan ikut tercemar merkuri juga. Penangkapan ikan di laut harus memperhatikan kondisi laut tempat penangkapan. Jika laut sudah tercemar maka lebih baik untuk tidak menangkap ikan di laut tersebut. Limbah hasil produksi juga sebaiknya tidak langsung dibuang ke laut karena akan mengakibatkan pencemaran di laut. Lingkungan sekitar pabrik harus jauh dari sarang hama atau hewan pengerat lainnya. Tempat-tempat yang dapat menjadi sarang hewan pengerat atau serangga seperti tempat pembuangan sampah harus jauh dari lokasi pabrik. Hewan pengerat dan serangga seperti tikus, semut, rayap, lebah, dan hama lainnya merupakan carrier kuman penyakit dan kotoran yang dapat mengkontaminasi produk atau secara langsung sebagai sumber kontaminan fisik dari bagian tubuhnya seperti rambut, sayap, kaki, dan bagian tubuh lainnya (Rahman 2004). Adanya hewan seperti tikus dan serangga selain dapat mengkontaminasi kuman penyakit juga dapat merusak fisik produk dengan mengotori produk sehingga produk dapat ditolak karena alasan filthy. Bangunan atau pabrik juga harus dirancang dengan baik agar dapat menjamin dan menjaga produk ikan tidak tercemar. Denah lokasi dan tata letak pabrik harus diatur sesuai dengan arus proses produksi agar produk tidak tercemar akibat adanya kontaminasi silang. Gudang tempat menyimpan makanan sebaiknya mengikuti sistem FIFO (First In First Out), yaitu bahan yang pertama kali masuk ke dalan gudang hendaknya juga yang keluar pertama kali dari gudang (Dirjen POM 1999). Fasilitas penyediaan air, pembuangan air dan limbah juga harus tersedia dan terjaga kebersihannya. Fasilitas penyediaan air digunakan untuk mencuci produk ikan agar kotoran yang terdapat pada produk ikan dapat dihilangkan atau dibersihkan. Air yang digunakan harus bersumber pada air tanah yang disalurkan melalui pipa ke tempat pengolahan air (Rahman 2004). Sumber air juga harus jauh dari lokasi pencemaran agar air yang diambil tidak ikut tercemar. Sarana pembuangan air dan limbah hasil pengolahan produk ikan dibuat berupa saluran pembuangan yang dihubungkan ke tempat penampungan atau pembuangan utama. Saluran pembuangan limbah juga harus ditutup agar tidak dilewati hewan pengerat yang dapat merusak dan mengotori produk ikan dan tidak menimbulkan bau yang tak sedap. Limbah yang akan dibuang ke laut harus dinetralkan terlebih dahulu dengan sistem aerasi dan pengenceran agar aman dan tidak mencemari laut. Limbah padat seperti isi perut ikan harus dimasukan kedalam kantong plastik sebelum dibuang ke tempat sampah yang tempatnya harus jauh dari lokasi pabrik.
43
2) Manusia Manusia dalam hal ini yaitu nelayan dan karyawan yang bekerja pada industri pengolahan ikan. Faktor manusia sangat mempengaruhi mutu akhir produk yang dihasilkan. Alasan penolakan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa lebih banyak dikarenakan produk kotor (filthy) dan mengandung merkuri. Penolakan dengan alasan filthy sangat berpengaruh dengan faktor manusia. Alasan filthy terjadi karena penanganan dan pengolahan yang tidak baik, sehingga manusia, dalam hal ini nelayan dan karyawan, yang tidak tahu cara penanganan dan pengolahan yang baik maka akan mempengaruhi mutu produk. Keahlian dalam hal penanganan dan pengolahan produk harus dimiliki oleh setiap karyawan atau nelayan sehingga tahu apa saja yang harus dan tidak dilakukan agar mutu produk tetap baik. Bila nelayan atau karyawan tidak memiliki keahlian dalam penanganan dan pengolahan dengan baik maka produk yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Beberapa cara untuk menjaga mutu ikan adalah dengan menurunkan suhu penanganan dan penyimpanan, pencucian yang efektif untuk mengurangi kemungkinan terkontaminasi, mencegah penyinaran langsung dari sinar matahari, dan mencegah kontak langsung dengan udara bebas (Astawan 2001). Menurut Yusra dan Effendi (2010), Tahapan penanganan ikan yang baik meliputi : mengangkat ikan dari air; melepas ikan dari alat tangkap; mendinginkan ikan; menyiangi ikan apabila diperlukan; mencuci ikan dengan air dingin; menempatkan ikan dalam wadah portable sesuai dengan jenis, ukuran, dan mutu ikan; (sortasi/seleksi) serta memberinya es dengan jumlah yang cukup; menyimpan di dalam palka berinsulasi dengan es; dan merawat ikan selama penyimpanan sampai dengan saat pembongkarannya di pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan. Selain nelayan, karyawan yang terlibat dalam pengolahan ikan juga harus menjaga mutu produk ikan. Dengan memiliki keahlian dalam pengolahan produk ikan maka mutu produk akan terjaga. Faktor tingkah laku karyawan yang tidak baik juga dapat menyebabkan terjadinya alasan filthy pada produk pangan. Tingkah laku karyawan seperti dalam hal kebersihan juga harus diperhatikan seperti mencuci tangan setelah sebelum dan sesudah bekerja, keluar dari toilet, dan setelah menangani bahan mentah atau bahan kotor yang dapat mencemarkan produk pangan. Karyawan juga dilarang menggunakan aksesoris apapun yang dapat jatuh ke dalam produk pangan yang dapat membuat alasan filthy terjadi pada produk pangan tersebut. Untuk menghidari produk tercemar sesuatu atau kotor, karyawan harus dilengkapi perlengkapan seperti baju kerja, penutup kepala, sarung tangan, masker, sepatu yang tidak boleh digunakan diluar pabrik sehingga terjaga kebersihannya. Perlengkapan ini untuk menghindarkan sesuatu yang tidak diinginkan mencemari produk saat dilakukan penanganan terhadap produk tersebut sehingga alasan filthy tidak terjadi. Berdasarkan dua faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penolakan produk ikan oleh Amerika Serikat dan Eropa, yaitu manusia dan lingkungan, maka perlu diterapkannya suatu sistem yang dapat menjamin mutu dalam hal keamanan produk pangan tersebut. Setiap perusahaan pangan perlu menerapkan sistem yang dapat menjamin bahwa produk pangan yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi yaitu sistem HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point). Sistem HACCP merupakan sistem yang diakui oleh dunia internaisonal sebagai salah satu
44
tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan secara global (Winarno dan Surono 2002). Produk pangan asal Indonesia akan dapat bersaing di pasar internasional dan tidak akan mengalami penolakan terhadap produk pangan tersebut jika telah menerapkan sistem HACCP dengan baik. Industri pangan yang telah bersetrifikasi HACCP akan menghasilkan produk pangan yang aman dari bahaya fisik, kimia maupun mikrobiologi sehingga dapat bersaing di pasar internasional. Sistem HACCP harus dibangun di atas landasan yang kokoh yaitu pelaksanaan dan tertibnya GMP (Good Manufacturing Practices) serta penerapan SSOP (Standar Sanitation Operating Procedures). GMP merupakan pedoman yang memberikan penjelasan mengenai persyaratanpersyaratan yang seharusnya dipenuhi pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, serta penekanan yang diarahkan pada kondisi hygiene yang penting dalam memproduksi makanan yang aman dan layak untuk dikonsumsi (Depkes RI 1996). Sedangkan SSOP merupakan prosedur atau tatacara yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau keseluruhan yang diharapkan dalam GMP untuk memproduksi makanan yang bermutu tinggi, aman, dan tertib (Winarno dan Surono 2002). Indutri makanan yang ada di Indonesia perlu mengaplikasikan sistem HACCP untuk dapat bersaing di pasar internasional sehingga jumlah penolakan produk pangan diluar negeri dapat berkurang. Industri pangan juga perlu untuk membenahi semua aspek produksinya terlebih dahulu dengan menerapkan GHP (Good Handling Practices), GMP dan SSOP secara konsisten. Selain itu, industri pangan perlu menyediakan karyawan atau tenaga pengolah pangan yang terlatih. Pemerintah dalam hal ini harus memberikan penyuluhan kepada industri pangan yang bergerak dalam ekspor produk pangan agar menerapkan sistem HACCP. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan industri rumah tangga atau industri kecil lainnya untuk segera menerapkan cara-cara yang baik dalam pengolahan, penyimpanan, dan pendistribusian produk pangan. Penyuluhan lain yang cukup penting adalah sosialisasi ketentuan internasional standar produk dan sistem jaminan mutu serta keamanan produk pangan khususnya produk perikanan. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan kepada setiap perusahaan makanan untuk menguji produk pangan yang akan dipasarkan atau diekspor ke luar negeri dengan menyiapkan fasilitas seperti laboratorium yang terakreditasi. Laboratorium yang baik akan meningkatkan mutu pengawasan terhadap produk pangan.
45
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Selama tahun 2002-2010 indonesia mengalami kasus penolakan produk pangan oleh USFDA sebanyak 2608 kasus dan oleh Europa-RASFF sebanyak 35 kasus. Berbagai jenis produk makanan teridentifikasi mengalami penolakan dan produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan adalah produk perikanan. Produk perikanan yang mengalami penolakan oleh US-FDA sebanyak 1300 kasus dan oleh Europa-RASFF sebanyak 12 kasus. Penolakan produk perikanan ini didasarkan atas alasan yang terjadi pada produk perikanan tersebut sehingga mengalami penolakan. Alasan terjadinya kasus penolakan pada produk perikanan oleh US-FDA adalah filthy, sedangkan pada kasus penolakan oleh Europa-RASFF adalah karena tercemar atau mengandung mercury. Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 yang dialami oleh Indonesia menunjukan perkembangan yang fluktuatif. Selama tahun 2002-2010 indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak oleh US-FDA yaitu pada tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203 kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus. Sedangkan kasus penolakan yang terjadi oleh EuropaRASFF selama tahun 2002-2010, terbanyak terjadi pada tahun 2010 dengan 16 kasus dan terendah pada tahun 2002-2007 yaitu tidak terjadi kasus penolakan produk pangan Indonesia. Perkembangan kasus yang terjadi bersifat fluktuatif atau naik turun sehingga sulit untuk mencari tahu penyebab kasus yang terjadi sepanjang tahunnya selama tahun 2002-2010. Berdasarkan diagram pareto untuk kasus yang terjadi di USA dan Eropa, ditentukan masalah utama terjadinya kasus penolakan produk pangan yaitu produk ikan asal Indonesia adalah filthy dan mercury. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut berdasarkan diagram ishikawa terdapat dua faktor yang berpengaruh yaitu lingkungan dan manusia. Lingkungan tempat pengolahan produk pangan harus jauh dari sumber pencemaran, sarang hama, dan memiliki bangunan yang dirancang dengan baik agar alasan filthy dan tercemar merkuri dapat dihindari. Faktor manusia, dalam hal ini adalah nelayan dan karyawan, harus memiliki keahlian dalam penanganan dan pengolahan pangan yang baik serta memiliki tingkah laku yang baik pula agar kontaminasi terhadap produk akibat keahlian serta tingkah laku yang kurang baik dapat dihindari.
B. SARAN Kasus penolakan produk pangan Indonesia yang dilakukan oleh US-FDA dan EuropaRASFF disebabkan oleh kurang terjaminnya keamanan pangan pada produk pangan tersebut. Setiap perusahaan pangan atau industriawan yang bergerak dibidang pangan wajib memiliki karyawan yang terlatih dan standar mutu produk pangan yang dihasilkan serta mengetahui standar mutu negara-negara tujuan ekspor produk mereka. Perusahaan dan industriawan pangan juga wajib menerapkan GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices) serta penerapan SSOP (Standar Sanitation Operating Procedures). Selain itu perusahaan dan industriawan pangan harus memiliki sertifikat HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) jika mau memasuki pasar internasional.
Pemerintah harus mulai melakukan penyuluhan tentang keamanan pangan kepada perusahaan atau industriawan yang bergerak dibidang pangan. Penyuluhan tentang standar mutu negara-negara tujuan ekspor juga harus diberikan dan selalu memantau perkembangan pasar internasional. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan mewajibkan setiap perusahaan pangan untuk menerapkan GHP, GMP dan SSOP serta menerapkan sistem HACCP. Kebijakan lain yang harus dilakukan pemerintah adalah mewajibkan setiap perusahaan atau industriawan pangan untuk menguji produk pangan yang akan dipasarkan. Selain itu pemerintah juga harus menyiapkan fasilitas seperti laboratorium yang terakreditasi untuk mendukung kebijakan tersebut.
47
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. S. Nasran. 1990. Perbaikan Handling Ikan di Kapal (Improvement of Fresh Fish Handling on Board). Laporan Penenelitian Teknologi Perikanan Nomor 2. Balai Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Anonim. 1992. Safer Cooked Meat Production Guidelines. London : A 10 Point Plan, Departement of Health. Astawan M. 2001. Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas Terbuka. Aziz I. 2009. Isolasi Salmonella Pada Tiga Jenis Ikan Di Wilayah Bogor Serta Uji Ketahanannya Terhadap Pengaruh Proses Pengukusan [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bell C. 2002. Salmonella. Di dalam : Fredy T. 2010. Kajian cemaran salmonella spp. pada dua pangan olahan serta upaya pengendaliannya [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 1978. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MENKES/SK/1978: Tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan. Jakarta : BPOM. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996: Tentang Pangan. Jakarta: BPOM [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah RI No. 28: Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarat: BPOM Buzby JC, Unnevehr LJ, Roberts D. 2008. Food Safety and Imports: An Analysis of Food-Related FDA Import Refusal Reports. Economic Information Bulletin (39) : 1-47. Cahya IN. 2010. Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia Di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Del-portillo FG. 2000. Moleculer and Celluler Biology of Salmonella Pathogenesis. Di dalam : Fredy T. 2010. Kajian cemaran salmonella spp. pada dua pangan olahan serta upaya pengendaliannya [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1999. Cara Produksi Makanan yang Baik: Bahan Pelatihan Industri Pangan Skala Kecil/Rumah Tangga. Jakarta: Dirjen POM. Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM, Depkes RI. 1996. Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik. Jakarta. Europa. FAQ: Rapid Alert System for Food and Feed: Role and Achievements. Website. http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction/default.html. [2 Mei 2011] Europa. RASFF Portal. Website. https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window/portal. [2 Mei 2011] Europa. Annual Report 2009. http://ec.europa.eu/food/food/rapidalert/docs/report2009en.pdf. [23 Mei 2011]
Website.
Fauzan M. 2008. Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan Terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Central Pertiwi Bahari, Lampung [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
48
[FDA] Food and Drug Administration. http://www.fda.gov/oc/bioterrorism/bioact.html. [2 Mei 2011] [FDA] Food and Drug Administration. http://www.fda.gov/AboutFDA/CentersOffices. [2 Mei2011]
Bioterrorism Centers
[FDA] Food and Drug Administration. http://www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals. [2 Mei 2011]
and Import
Act. Offices. Refusal.
[FDA] Food and Drug Administration. Regulatory Procedures Manual. http://www.fda.gov/downloads/ICECI/ComplianceManuals/RegulatoryProceduresManual. [23 Mei 2011] Guizani N, Al-Busaidy MA, Al-Belushi IM, Mothersaw A, Rahman MS. 2004. The effect of storage temperature on histamine production and the freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacores). Food Research International (38) : 215-222. Hariyadi P. 2007. Pangan dan daya saing bangsa. Di dalam: Hariyadi P (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: Southeast Asian Food Science & Technology (SEAFAST) Center IPB. Hariyadi P. 2008. Double Burden : isu terkini terkait dengan keamanan pangan. Makalah pada PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX, 2008, Pokja Mutu dan Keamanan Pangan, 9 Juni 2008, Jakarta. Hariyadi P, Andarwulan N. 2007. Menghentikan Peredaran Pangan Bermasalah di Pasar: Konsolidasi Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Depok: Piramedia. Jenie BSL, Fardiaz S. 1989. Uji Sanitasi dalam Industry Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Jay JM, Loessner MJ, dan Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology 7 th Edition. USA : Springer Science and Bussiness Media Inc. Kamaludin. 2006. Analisi Residu Merkuri (Hg) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Berdasarkan Jarak Pusat Pencemaran Di Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. DKP Dorong Penerapan Food Safety Produk Perikanan. website. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/208/DKP-DORONGPENERAPAN-FOOD-SAFETY-PRODUK-PERIKANAN. [28 September 2011] [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Ekspor Produk Ikan Ke Amerika Serikat Aman. website. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/5919/Ekspor-Produk-Ikan-ke-Amerika-SerikatAman. [28 September 2001] [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Ekspor Tuna Ke Amerika Terancam. website. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/5963/Ekspor-Tuna-ke-Amerika-Terancam. [28 September 2011] [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Sumbar Targetkan Ekspor Tuna 1500 Ton. website. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/2050/Sumbar-Targetkan-Ekspor-Tuna-1.500Ton. [28 September 2011]. Lukiawan R, Kristiningrum E. 2011. Kajian standar sektor rempah-rempah terkait dengan penolakan produk dalam mendukung peningkatan ekspor Indonesia. Jurnal Standardisasi (13) 1 : 26-35. Marriott NG, Gravani RB. 2006. Principles of Food Sanitation. Ed ke-5. USA : Springer Science and Business Media Inc.
49
McLauchlin J, Little CL, Grant KA, Mithani V. 2005. Scombrotoxic fish poisoning. Journal of Public Health (28) 1 : 61-62. Muhandri T, Kadarisman D. 2008. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Edisi 2. Bogor : IPB Press. Naibaho R. 2010. Karakterisasi Histamine-Producing Bacteria Dengan Metode Pcr-Sequencing Pada Ikan Salem dan Kembung [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka Cipta. Paramawati R, Arief RW, Triwahyudi S. 2006. Upaya menurunkan kontaminasi aflatoxin B1 pada kacang tanah dengan teknologi pasca panen (studi kasus di Lampung). Jurnal enjiniring pertanian 6(1):1-4 Poernomo A. 2008. Jaminan keamanan hasil perikanan : sebagai pintu masuk pasar internasional. http://www.foodreview.biz. [30 November 2011] Putro S. 2008. Budidaya Tuna : Antara Ancaman dan Peluang. http://www.trobos.com. [21 November 2011] Rahman H. 2004. Mempelajari Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitasi Pada Divisi Produksi Nata De Coco PT Niramas Utama Bekasi – Indonesia [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rastikarany H. 2008. Analisi Pengaruh Kebijakan Tarif Dan Non Tarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ray B. 2000. Fundamental Food Microbiology Third Edition. Boca Ranton Florida USA : CRC Press. Riyadi PH, Azis NB, Tri WA. 2007. Analisis kebijakan keamanan pangan produk hasil perikanan di Pantura Jawa Tengah dan DIY. Jurnal Pasir Laut (2) 2: 30-39. Shabarinath S, Kumar HS, Khushiramani R, dan Karunasagar I. 2007. Detection and characterization of Salmonella associated with tropical seafood. International Journal of Food Microbiology. 114, 227-233. Supardi I dan Sukamto M. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung : Penerbit Alumni. Suryana A. 2006. Peran teknologi pasca panen dan sistem keamanan pangan dalam meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Di dalam: Prabawati S (ed). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Pertanian Melalui Penerapan Teknologi Pascapanen dan Sistem Keamanan Pangan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Suwedo H. 1993. Tehnologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty. Taylor SL. 1983. Monograph On Histamine Poisoning Codex Alimentarius Commission. Roma : FAO Utami AS. 2008. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Surono. 2002. GMP, Cara Pengolahan Pangan yang Baik. Bogor : M-Brio Press.
50
Yuniar V. 2009. Toksisitas Merkuri (Hg) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, Gambaran Darah Dan Kerusakan Organ Pada Ikan Nila Oreochromis niloticus [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Yusra dan Efendi Y. 2010. Dasar-dasar Teknologi Hasil Perikanan. Padang : Bung Hatta University Press.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar anggota jaringan RASFF No 1.
Negara Eropa Union
2. 3.
ESA (EFTA Surveillance Authority) Austria
4.
Belgium
5. 6. 7. 8.
Bulgaria Cyprus Czech Republic Denmark
9. 10. 11.
Estonia Finland France
12.
Germany
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Greece Hungary Iceland Ireland Italy Latvia Liechtenstein Lithuania Luxembourg
22. 23. 24. 25. 26.
Malta Netherlands Norway Poland Portugal
27. 28.
romania Slovakia
29. 30.
Slovenia Spain
31. 32. 33.
Sweden Switzerland United Kingdom
Nama Lembaga European Commission - Health and Consumer Protection Directorate-General dan EFSA (European Food Safety Authority)
Österreichische Agentur für Gesundheit und Ernährungssicherheit GmbH und Bundesamt für Ernährungssicherheit AFSCA (Agence Fédérale pour la Sécurité de la Chaine Alimentaire) FAVV (Federaal Agentschap voor de Veiligheid van de Voedselketen) Ministry of Agriculture and Food Ministry of Health - Medical and Public Health Services Czech Agricultureand Food InspectionAuthority The The Danish Veterinary and Food Administration Ministry of Food, Agriculture and Fisherie Veterinary and Food Board Finnish Food Safety Authority Evira Direction générale de la concurrence, de la consommation et de la répression des fraudes - Ministère de l'Economie, de l'Industrie et de l'Emploi Ministère de l'Agriculture, de l'Alimentation, de la Pêche, de la Ruralité et de l'Aménagement du Territoire Bundesamt für Verbraucherschutz und Lebensmittelsicherheit (BVL) Hellenic Food Authority (EFET) Hungarian Food Safety Office The Icelandic Food and Veterinary Authority - MAST Food Safety Authority of Ireland Ministry of Health Food and Veterinary Service Office for Food Inspection and Veterinary Affairs State Food and Veterinary Service of the Republic of Lithuania OSQCA: Organisme pour la sécurité et la qualité de la chaîne alimentaire Food Safety Commission Food and Consumer Product Safety Authority Norwegian Food Safety Authority Chief Sanitary Inspectorate Ministério da Agricultura, Desenvolvimento Rural e Pescas (MADRP) National Sanitary Veterinary and Food Safety Authority The State Veterinary and Food Administration or the Slovak Republic Inspectorate for Agriculture, Forestry and Food Spanish Agency for Food Safety and Nutrition dan Ministry of Environment, Rural an Marine Affairs National Food Administration Bundesamt für Gesundheit (BAG) Food Standards Agency
51
Lampiran 2. Perkembangan kasus penolakan pada produk minuman, bumbu-bumbuan,dan rempahrempah oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
produk minuman bumbu-bumbuan rempah-rempah
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 3. Perkembangan kasus penolakan pada produk cumi-cumi, kue, dan permen oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
cumi-cumi produk kue produk permen
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 4. Perkembangan kasus penolakan pada produk saos sambal dan kecap, campuran, dan gula oleh USFDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
saos sambal dan kecap produk campuran gula
52
Lampiran 5. Perkembangan kasus penolakan pada produk instant, agar- agar dan jelli, dan kerupuk oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
3.00 2.50
2.00
produk instant
1.50
agar-agar dan jelli
1.00
kerupuk
0.50 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 6. Perkembangan kasus penolakan pada produk kari, mie, dan bumbu pecel oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
kari (gulai) mie bumbu pecel atau gadogado
Lampiran 7. Perkembangan kasus penolakan pada produk bumbu semur, biskuit dan sup oleh USFDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
2.00 1.50
bumbu semur
1.00
produk biskuit
0.50
produk sup
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
53
Lampiran 8. Perkembangan kasus penolakan pada produk sarang burung, kacang, dan coklat oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
2.00 1.50 sarang burung 1.00
kacang
0.50
produk coklat
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 9. Perkembangan kasus penolakan pada produk dessert, asinan buah, dan selai oleh USFDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
produk dessert asinan buah produk selai
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 10. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan vetdrugres, histamine, unsafe col oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
20.00 15.00 histamine 10.00
vetdrugres
5.00
unsafe col
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
54
Lampiran 11. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan nutrit lbl, chloramp, poisonous oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
8.00 6.00 nutrit lbl 4.00
chloramp
2.00
poisonous
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 12. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan list ingre, lacks n/c, labeling oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
4.00 3.00 list ingre 2.00
lacks n/c
1.00
labeling
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 13. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan pois chlor, no English, lacks firm oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
6.00 5.00
4.00
no english
3.00
pois chlor
2.00
lacks firm
1.00 0.00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
55
Lampiran 14. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan transfat, mfr insan, nitrofuran oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
5.00 4.00 3.00
transfat
2.00
mfr insan
1.00
nitrofuran
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 15. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan usual name, false, color lblg, unsafe add oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
2.00 1.50
usual name false.
1.00
color lblg
0.50
unsafe add 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 16. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan unapproved, juice%, listeria, insanitary oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
4.00 3.00
insanitary listeria
2.00
juice %
1.00
unapproved 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
56
Lampiran 17. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan off odor, aflatoxin, not listed, yellow oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 1.20 1.00 0.80
aflatoxin
0.60
not listed
0.40
yellow
0.20
off odor
0.00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 18. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan mfrhaccp, cyclamate, diseased, health C oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
0.60 0.50 0.40
mfrhaccp
0.30
health C
0.20
diseased
0.10
cyclamate
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 19. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan saccharlbl, imptrhaccp, std ident, unsafe, leak/well oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
0.50
0.40
saccharlbl
0.30
imptrhaccp
0.20
std ident
0.10
unsafe
0.00
leak/well 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
57
Lampiran 20. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan unsafe sub, falsecat, inconspicu, nonrsp-prc, under prc olah US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
0.30 0.25
unsafe sub
0.20
falsecat
0.15
inconspicu
0.10
under prc
0.05
nonrsp-prc
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 21. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk udang yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 2% 1% 3%
2%
salmonella
48%
44%
filhty nitrofuran listeria vetdrugres other
n = 571 kasus
Lampiran 22. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kepiting yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
5%
3% 3% 2%
vetdrugres
34%
11%
chloramp filthy pois chlor
19%
unsafe add
23%
poisonous salmonella
other
n = 217 kasus
58
Lampiran 23. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk minuman yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). no process
2% 2% 10% 4%
needs fce unsafe col
26%
7%
nutrit lbl transfat
8% 9%
20% 12%
juice%
filthy list ingre lacks n/c
n = 85 kasus
other
Lampiran 24. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk bumbu-bumbuan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
6%
2% 3% 2% 1%
no process needs fce filthy
51%
transfat
35%
nutrit lbl labeling unsafe col
n = 77 kasus
Lampiran 25. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk rempah-rempah yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
6%
4%
salmonella
2% 2% 2% 2%
unapproved not listed
6%
poisonous 6%
61%
9%
filthy labeling unsafe col nutrit lbl lacks n/c
n = 43 kasus
false.
59
Lampiran 26. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk cumi-cumi yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
26%
74%
filthy salmonella
n = 39 kasus Lampiran 27. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk permen yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 5% 5% 5%
9%
20%
4%
18%
4%
7%
16%
7%
n = 29 kasus
nutrit lbl unsafe col filthy list ingre no process color lblg no english labeling lacks n/c needs fce other
Lampiran 28. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kue yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 4%
unsafe col
10%
list ingre
4% 4%
47%
4% 4%
lacks n/c color lblg false.
17%
6%
nutrit lbl yellow salmonella
n = 29 kasus
other
60
Lampiran 29. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk saso sambal, kecap yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 2%
2%
2% 2% 2%
no process
2%
needs fce
4% 4% 4%
nutrit lbl
46%
unsafe col list ingre juice%
30%
transfat unapproved not listed lacks n/c
n = 27 kasus
no english
Lampiran 30. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kerupuk yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 4% 4% 4% 4% 4% 3%
41%
3%
7%
11%
15%
n = 22 kasus
filthy salmonella nutrit lbl histamine color lblg insanitary mfr insan fasle. unsafe col no process needs fce
Lampiran 31. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk gula yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 3% 3% 3% 3% 4%
filthy list ingre usual name
7% 10%
57%
10%
nutrit lbl no english transfat mfr insan insanitary
n = 18 kasus
salmonella
61
Lampiran 32. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk agar-agar dan jelli yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). nutrit lbl
5% 4%
5%
5% 5%
no process
filthy
24%
unsafe col
5%
std ident
9%
24% 14%
unsafe lacks n/c not listed unapproved
yellow
n = 16 kasus
Lampiran 33. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk instant yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 4% 4%
7% 41%
needs fce no process nutrit lbl
44%
salmonella filhty
n = 17 kasus Lampiran 34. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kari yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
43% 57%
no process needs fce
n = 13 kasus
62
Lampiran 35. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk bumbu pecel atau gado-gado yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). mfr insan
5%
11%
aflatoxin
16% 10%
16%
10%
lacks n/c filthy
16%
16%
no english no process needs fce
n = 12 kasus
unsafe col
Lampiran 36. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk mie yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 4%
9%
no english color lblg
26%
13%
false.
13% 13%
22%
lacks n/c list ingre filthy unsafe col
n = 11 kasus
Lampiran 37. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk semur yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
39% 61%
no process needs fce
n = 11 kasus
63
Lampiran 38. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk biskuit yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 5%
5% nutrit lbl
38%
14%
lacks n/c unsafe col
19%
list ingre
19%
aflatoxin filthy
n = 10 kasus Lampiran 39. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk sarang burung yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 10%
lacks firm
5%
nutrit lbl
20%
list ingre
10% 10%
15%
15%
15%
filthy no english lacks n/c usual name labeling
n = 8 kasus
Lampiran 40. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk sup yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
46% 54%
no process needs fce
n = 8 kasus
64
Lampiran 41. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk kacang yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
13% 12%
13%
aflatoxin
37%
unsafe col nutrit lbl
25%
lacks firm salmonella
n = 7 kasus Lampiran 42. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk coklat yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
filhty 11% 11%
11%
11%
45%
unsafe col yellow nutrit lbl
11%
needs fce no process
n = 6 kasus
Lampiran 43. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk campuran yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).
20% 4%
20% 13%
4% 4%
11%
13%
4%
4% 3%
n = 32 kasus
no process filthy unsafe col needs fce transfat yellow labeling salmonella cyclamate saccharlbl other
65
Lampiran 44. Perkembangan kasus produk ikan dan udang yang menerima notification oleh EuropaRASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
100.00 80.00 60.00
ikan
40.00
udang
20.00 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 45. Perkembangan kasus produk rempah-rempah, daging yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
40.00 30.00 rempah-rempah
20.00
daging
10.00 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lampiran 46. Perkembangan kasus produk cumi-cumi, buah dan sayuran, kacang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
20.00 15.00 10.00 5.00
kacang-kacangan cumi-cumi buah-buahan dan sayuran
0.00
66
Lampiran 47. Perkembangan kasus produk coklat kopi dan teh, produk campuran, permen yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
produk permen produk coklat, kopi, dan the produk campuran lainnya
Lampiran 48. Perkembangan kasus produk kerang, bahan tambahan pangan dan perasa, produk roti yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
kerang bahan tambahan pangan dan perasa produk roti
Lampiran 49. Perkembangan kasus untuk alasan mercury, histamine, carbon monoxide treatment pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 20022010 (Europa 2011).
50.00 40.00
mercury
30.00 histamine
20.00 10.00
carbon monoxide treatment
0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
67
Lampiran 50. Perkembangan kasus untuk alasan aflatoxin, cadmium dan prohibited substance nitrofuran pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
50.00 aflatoxin
40.00 30.00
cadmium
20.00 10.00
prohibited subtance nitrofuran (metabolite), furazolidone and nitrofurazone
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 51. Perkembangan kasus untuk alasan prohibited substance chloramphenicol, unauthorized substances malachite green, vibrio spp. pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
50.00 prohibited subtance chloramphenicol
40.00 30.00 20.00
unauthorised substances malachite green,crystal violet and leucomalachite green
10.00
vibrio spp.
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 52. Perkembangan kasus untuk alasan too high count of aerobic mesophiles, parasitic infestation, salmonella spp. pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
20.00 15.00
parasitic infestation
10.00
salmonella spp.
5.00
too high count of aerobic mesophiles
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
68
Lampiran 53. Perkembangan kasus untuk alasan organoleptic characteristic, unauthorised irradiation, unauthorised use of color pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
organoleptic characteristics unauthorised irradiation unauthorised use of colours
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 54. Perkembangan kasus untuk alasan bad hygienic state, lead, other pada produk pangan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
25.00 20.00 15.00
bad hygienic state
10.00
lead other
5.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 55. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). mercury
7%
3%
10% 19%
7% carbon monoxide treatment
34%
histamine cadmium
20%
unauthorised substances malachite green,crystal violet and leucomalachite green parasitic infestation
n = 184 kasus
other
69
Lampiran 56. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk udang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
4%
14%
5%
31%
18%
prohibited subtance nitrofuran (metabolite) furazolidone prohibited subtance chloramphenicol vibrio spp. too high count of aerobic mesophiles cadmium
28%
other
n = 77 kasus
Lampiran 57. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk rempah-rempah yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
8%
7%
7% aflatoxin salmonella spp.
78%
organoleptic characteristics other
n = 27 kasus Lampiran 58. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk daging yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). 10%
parasitic infestation
10% 40%
unauthorised irradiation prohibited subtance nitrofuran (metabolite) nitrofurazone
40%
prohibited subtance chloramphenicol
n = 10 kasus
70
Lampiran 59. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk kacang yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
100%
n = 6 kasus
Lampiran 60. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk buah dan sayuran yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
20% salmonella spp. 20%
60%
glass fragments deterioration
n = 5 kasus Lampiran 61. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk permen yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
50%
50%
unauthorised use of color E127-erythrosine suffocation risk as a result of the consumption
n = 4 kasus
71
Lampiran 62. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk coklat yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).
33%
34%
methyl bromide moulds unauthorised irradiation
33%
n = 3 kasus
Lampiran 63. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk lainnya yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). unsuitable organoleptic characteristics
20%
20%
20%
undeclared milk ingredient
20%
20%
n = 5 kasus
unauthorised use of colour of E102-tartrazine too high count of enterobacteriaceae prohibited subtance nitrofuran (metabolite) nitrofurazone
72