BAB 4 ALASAN PENOLAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENCABUTAN EMBARGO EKONOMI DI KUBA
Pada bulan Desember 2014 telah disebutkan bahwa Amerika Serikat dan Kuba melakukan normalisasi hubungan. Hubungan diplomatik kembali dibuka sebagai simbol bahwa telah terjalin kembali kerukunan antara kedua negara tersebut. Keputusan presiden Obama untuk mengakhiri permusuhan tersebut disambut sangat antusias oleh masyarakat Kuba dan presiden Castro. Setelah normalisasi terjadi ada sebuah permintaan yang diutarakan presiden Castro terhadap Amerika Serikat, yaitu Presiden Kuba Raul Castro mendesak Amerika Serikat untuk mengakhiri Embargo Ekonomi. Tidak hanya itu saja Wakil Menteri Luar Negeri Kuba, Abelardo Moreno kembali mendesak Amerika Serikat untuk mengangkat sanksi-sanksi terhadap negara itu. Namun, hingga saat ini pemerintah Amerika Serikat belum juga menyatakan ketersediaannya untuk mencabut embargo Ekonomi di Kuba, padahal Survei yang dilakukan Pew Research Centre pada Juli lalu juga menunjukkan bahwa 72 persen orang Amerika mendukung penghapusan sanksi. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Universitas Florida mencatat bahwa 63 persen dari warga Kuba-Amerika yang tinggal di Miami menentang embargo. Kelompok ini secara tradisional menentang hubungan dekat dengan Kuba, tapi sekarang mereka mendukung penghapusan sanksi. Sikap melakukan pendesakan agar dicabut embargo ekonomi tidak hanya dilakukan oleh pihak Pemerintah Kuba dan masyarakat,
Majelis
Umum
PBB
juga
71
menyatakan
keseriusan
untuk
menyelesaikan permasalahan embargo ekonomi di Kuba. Hal tersebut ditunjukkan dengan melakukan pemungutan suara, sekitar 191 negara anggota PBB menyetujui dihentikannya embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba dan hanya dua negara yang tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu terbukti bahwa Amerika Serikat dan Israel lebih memilih untuk abstain dalam pemungutan suara tersebut (BBC, 2016). Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang alasan Amerika Serikat yang belum bersedia mencabut embargo ekonomi di Kuba sesuai dengan Konsep Politik Luar Negeri. Didalam Konsep Politik Luar Negeri dijelaskan bahwa politik luar negeri adalah sebuah strategi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan untuk menentukan bagaimana sebuah negara harus bersikap terhadap negara lain dan bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Khususnya sikap Amerika Serikat terhadap Kuba pun berdasarkan atas prinsip Politik Luar Negeri Amerika yang mengaitkan kebijakan luar negeri nya dengan isu-isu politik domestik di negara Kuba yaitu pelanggaran HAM.
4.1 Pelanggaran HAM di Kuba Permasalahan
politik domestik Kuba tersebut menjadi alasan yang
dikaitkan dengan pembentukan Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Disini penulis akan menjelaskan permasalahan apa saja yang terjadi di negara Kuba dan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Konsep HAM memiliki dua kategori yang saling berkaitan, yaitu: hak sipil dan politik (Sipol) dan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Hak Sipol terdiri dari hak untuk hidup; kebebasan berekspresi, kebebasan menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, dan berkeyakinan;
72
hak bebas dari penyiksaan dan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; hak diperlakukan sama di depan hukum; hak memilih dan dipilih dalam pemilu; dan lain-lain. Sedangkan hak Ekosob meliputi hak atas pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, pekerjaan, perumahan, pangan, upah layak, dan lain-lain. Juga hak untuk berserikat dan berkumpul dan melakukan pemogokan. Kedua kategori ini sudah dua perjanjian internasional, yaitu kovenan hak sipil dan politik atau The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan kovenan hak ekosob atau the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR (Merdekawati, 2016)). Konsep-konsep HAM yang sudah tertulis di atas ternyata tidak berlaku sepenuhnya di negara Kuba, justru banyak sikap-sikap dan kondisi yang bertentangan dengan konsep HAM tersebut. Pertama adalah di dalam sistem pemerintahan, Kuba adalah sebuah negara yang dipimpin oleh pemimpin yang otoriter. Hal ini terjadi saat tampuk kepemimpinan dibawah Fidel Castro, pada masa itu Fidel Castro sama sekali tidak mentolerir siapapun yang tidak sependapat dengannya. Barang siapa yang mengkritik nya, maka ia anggap sebagai pembangkang yang siap bermusuhan dengannya. Pada masa itu sesaat setelah Fidel Castro berkuasa, ia mengeksekusi 550 orang pengikut Fulgencio Batista. Ia menahan lebih dari empat puluh menteri Kabinet Batista dengan tuduhan menjadi agen CIA(Central Intellegence Agency) milik Amerika Serikat. Dalam pengadilan perang yang dibentuknya, pejabatpejabat bawahan Batista dan pilot-pilotnya diadili dengan tuduhan berbuat kriminal terhadap rakyat Kuba. Lebih dari lima ribu orang dikirim ke pengadilan
73
revolusi, dan disana dikutuk sebelum menghadapi regu tembak. Salah seorang pembela dari seorang yang tertuduh, membela tertuduh dengan menyatakan bahwa tuduhan yang dilancarkan kekuarangan bukti, namun demikian ia harus tetap ditembak (Pambudi, 2007). Begitulah gambaran kekejaman yang dilakukan oleh Fidel Castro. Kemudian ketika di negara lain masyarakat dapat memilih dengan bebas pemimpin yang ia inginkan, dapat menyuarakan aspirasi nya melalui partai politik, tidak sama dengan negara Kuba. Di Kuba hanya satu partai yang legal dan diakui oleh presiden dan dewan menteri, yaitu Partai Komunis yang memang sama dengan ideologi Raul Castro (Presiden Kuba), partai lain yang ada di Kuba tidak diizinkan untuk berdiri. Presiden merangkap ketua partai komunis Kuba, Raúl Castro, dengan tegas menolak sistem multi partai di negaranya. Castro mengatakan dalam penutupan konferensi partai komunis Kuba di Havanna, ia tidak akan mengganti konsep partai komunis sebagai pimpinan tertinggi negara. “Sebuah sistem multi partai hanya melegalisir kekuatan imperialisme yang disetir dari AS“, katanya (Setiawan, 2012). Raul Castro mendapatkan kepemimpinan juga bukan dengan jalan demokrasi, ia mendapatkan kepemimpinan dari saudaranya yaitu Fidel Castro, pada saat itu ia menyatakan bahwa akan memberantas korupsi yang terjadi. Hal tersebut memupus harapan sebagian warga, yang menjelang kongres partai komunis, mengharapkan perubahan besar ke arah demokrasi. Pengikut partai Komunis sangatlah diberi apresiasi dan dianggap sebagai warga teladan dapat dikatakan mereka adalah pendukung kuat revolusi. Sedangkan orang-orang yang mengkritik partai tersebut dianggap kontra
74
revolusioner dan dianggap menjadi pembangkang negara. Pemimpin tidak segansegan untuk melakukan ancaman baik secara fisik maupun non-fisik berbentuk intimidasi, mereka banyak melakukan penahanan kepada orang-orang yang kontra dengan pemimpin. Pemerintah mencampuri urusan pribadi rakyat, bahkan mereka selalu memonitor komunikasi yang bersifat pribadi seperti dalam hal keagamaan pemerintah melarang kelompok keagamaan untuk berkumpul untuk beribadah. Pemerintah juga tidak memberikan kebebasan berbicara dan berekspresi kepada masyarakat, memonopoli media, membatasi kebebasan akademi, seperti contohnya perpustakaan yang legal adalah perpustakaan yang didirikan oleh pemerintah, itupun buku-buku yang dapat diakses dibatasi melalui proses sensor, perpustakaan yang bukan milik pemerintah menjadi perpustakaan ilegal (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Di Kuba terdapat pula larangan untuk mengakses internet, pembatasan penggunaan email, ruang percakapan melalui internet diawasi oleh pemerintah, pemerintah Kuba mempunyai hak mutlak untuk memonitori setiap aktivitas online melalui IP Blocking (pemblokiran), keyword filters (penyaringan kata kunci) dan mengumpulkan semua browsing history (sejarah navigasi) setiap pengguna internet di negaranya. Hanya blogger pro-pemerintah dan pegawai pemerintah yang diizinkan untuk upload konten ke Internet.semua akses internet dibatasi selain untuk keperluan diplomatik. kemudian jika di negara lain kita dapat bebas mengakses internet melalui hot spots dan wi-fi tidak dengan Kuba karena hot spot dan wi-fi dibawah kontrol menteri komunikasi dan informasi. Ada dua jenis koneksi di sana, yaitu koneksi nasional yang sangat dibatasi hanya bisa mengakses email dan website pemerintah serta koneksi internasional.
75
Namun biayanya sangatlah
mahal. Dan jika orang ingin memakai internet,
mereka harus memberikan identitas dan alamat lengkapnya. Sejak tahun 2009 Pemerintah Kuba mulai membuka akses untuk internet bagi masyarakat namun keberadaan kafe internet hanya terdapat di tempat tertentu seperti hotel. Warga Kuba biasanya berupaya mencari sambungan internet lewat cara tidak resmi dan pasar sambungan internet gelap, dan hal ini dilaporkan cukup marak di negara ini. Pada akhir 2009, The National Statistics mengeluarkan laporan yang menyatakan Kuba sebagai negara dengan akses internet paling rendah dibandingkan negara di belahan bumi manapun. Untuk urusan akses internet, The National Statistics menyatakan hanya 13 persen penduduk Kuba yang dapat mengakses internet. Itupun hanya diperuntukkan bagi kalangan pemerintah (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Pengguna sosial media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainnya jumlahnya sangat sedikit di Kuba, karena tidak ada kebebasan untuk menggunakannya, tetap ada pengawasan dari pemerintah terlebih jika konten berisi kritik kepada pemerintah akan langsung di-blok. Warga asing yang datang ke Kuba harus membeli kartu kepada pemerintah jika ingin mengakses internet. Kuba dinilai hanya memiliki 1,4 juta sambungan telepon baik fixed maupun mobile. Padahal di negara tersebut terdapat sekira 11,2 juta penduduk, atau jika di rata-rata, dari 100 orang hanya 12 orang yang memiliki telepon. Tak hanya telepon, Kuba juga hanya memiliki 630 ribu telepon dan itu pun hanya diperuntukkan bagi fasilitas umum seperti sekolah dan fasilitas kesehatan. (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015).
76
Kelompok-kelompok seperti Amnesti Internasional dan Human Rights Watch juga mengkritik apa yang dituduh sebagai sensor, tidak adanya kebebasan pers di Kuba, kurangnya hak-hak sipil, pelarangan terhadap kelompok-kelompok oposisi politik dan serikat buruh, dan tidak adanya apa yang mereka sebut sebagai pemilu yang bebas dan demokratis. Pemerintah hanya mengakui satu serikat buruh, Sentral Buruh Kuba (Central de Trabajadores de Cuba, CTC). Serikatserikat buruh independen tidak diberikan status resmi dan anggota-anggotanya dilecehkan. Keamanan negara yang sangat efektif dengan jaringan informan dan mata-matanya terus memegang kendali yang efektif. Tak satupun kelompok hak asasi manusia yang memiliki status legal. Kuba merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia, dan satu-satunya di belahan bumi barat, yang tidak memberikan akses kepada Komisi Palang Merah Internasional ke penjara-penjaranya. Banyak terjadi kasus hilangnya seseorang selama beberapa tahun dan hal tersebut tidak ada laporannya. Penghilangan tersebut bermotif politik, selain itu banyak terjadi kekerasan terhadap aktivis-aktivis Kuba yang ingin menyuarakan Hak Asasi Manusia di negara tersebut. Seperti contohnya: pada bulan April 2015 seorang anggota organisasi yang menjunjung HAM yaitu UNPACU (Patriotic Union of Cuba) bernama Mario Alberto Leiva dikabarkan mendapatkan perlakuan buruk seperti penangkapan, pemukulan, dan pengancaman yang dilakukan oleh agen pemerintah. Akibat dari perlakuan tersebut Mario Alberto menderita cedera, memar, dan luka di tubuhnya. Ia pun diancam akan dibunuh jika tidak mengentikan aktivitasnya sebagai pembela HAM di Kuba. Dalam kasus yang sama namun berbeda korban, aktivis kemanusiaan yang bernama Antonio Rodiles juga dikabarkan menderita patah tulang hidung setelah dipukul oleh agen
77
keamanan negara ketika ia ditangkap pada bulan Juli (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Contoh kasus laporan HRW mengangkat kasus pembangkang Ramon Velazquez Torazo, yang pada Desember 2006 bersama anak dan istrinya menyerukan dihentikannya penahanan politik. Bulan Januari 2007 ketiganya ditangkap di Camaguey, Ramon kemudian dijebloskan ke penjara dengan tudingan membahayakan negara, selagi menganggur. Dalam persidangan yang hanya berlangsung kurang dari satu jam, ia divonis tiga tahun penjara. Istrinya hidup dalam tekanan dan anaknya melarikan diri ke AS. Kasus terbaru menimpa pemenang lomba blog, blogger Yoani Sanchez, yang blognya menceritakan kehidupan keseharian yang kelam di Kuba, bersama dua kawannya ditangkap dan dipukuli awal bulan september 2009 (DW.com, 2009). Pada tahun 2012 Pemerintah Kuba juga tidak memberikan respon atas panggilan investigasi internasional mengenai meninggalnya dua orang aktivis oposisi Kuba, yaitu Oswaldo Paya dan Harold Cepero. Pemerintah hanya memberikan keterangan dengan mengklaim bahwa kedua nya meninggal disebabkan kecelakaan tidak ada keterangan yang lain (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Paya selama ini dikenal sebagai penggagas terbentuknya Varela Project- sebuah kampanya mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung dilakukannya referendum dalam pembuatan undang-undang yang menjamin hak warga sipil. Oswaldo Paya tidak hanya dikenal sebagai aktivis pembangkang di negara asalnya, kiprahnya juga diakui oleh dunia internasional. Dia pernah mendapat penghargaan The Sakharov yang diberikan oleh Uni Eropa pada tahun 2002 lalu atas usahanya dalam mengusung proyek Varela yang
78
berjalan sejak tahun 1998. Paya tidak lelah menyerukan penghapusan aturan satu partai yang telah berlangsung dalam empat dekade dengan mengumpulkan 10.000 tanda tangan. Pada tahun 2007 dia juga mendesak pengampunan terhadap tahanan politik kepada pemerintah Kuba. Pemerintah Kuba sendiri menilai Oswaldo Paya tidak lebih dari seorang agen bayaran AS dan rentetan aksinya merupakan bagian dari upaya untuk merusak revolusi negara itu (BBC I. , 2012). Sebenarnya hukum telah melarang untuk memberikan perlakuan kasar terhadap tahanan dan narapidana. Namun masih saja ada berita yang menyatakan bahwa anggota keamanan melakukan intimidasi dan terkadang melakukan penyerangan secara fisik kepada tahanan pembela Hak Asasi Manusia dan prodemokrasi, serta tahanan lain yang ada di dalam penjara. Kondisi para tahanan pun sangat mengenaskan, didalam penjara mestinya disediakan fasilitas yang memadai namun pada kenyataannya terdapat banyak sekali kekurang dari segi fasilitas seperti kesehatan, sanitasi, dll. Didalam sel penjara juga sangat minim disediakan air minum, ventilasi, dan lubang cahaya, sehingga udara yang ada di dalamnya tidak terkontrol. Banyak tahanan yang pada akhirnya mengandalkan makanan sehari-harinya dari kiriman keluarga mereka sendiri karena terbatasnya ketersediaan makanan. Gerak para tahanan juga dibatasi setiap harinya kunjungan keluarga juga sangat terbatas, untuk tidur mereka tidak disediakan kasur para tahanan tidur diatas beton, bahkan para tahanan saling berbagi tempat untuk tidur yang sangat sempit (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Tahanan perempuan juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan tahanan laki-laki, padahal wanita memiliki kebutuhan yang lebih dalam kesehatan, dan di dalam penjara kebersihan untuk kebutuhan perempuan
79
sangatlah lemah. Tempat tidur mereka penuh dengan kutu-kutu dan kumankuman, akibat ketidak-higienisan tempat maka tersebarlah virus dan wabah yang menyebabkan para tahanan banyak yang terserang penyakit seperti TBC, hepatitis, kolera, asma, serangan jantung, HIV/AIDS, dan banyak lagi penyakitpenyakit kronis lainnya. Mereka banyak yang meninggal akibat penyakit-penyakit tersebut (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Hak untuk beragama juga dibatasi, para tahanan tidak diberikan bantuan ketika ia membutuhkan kebutuhan rohani. Kunjungan kelompok keagamaan terhadap
para
tahanan
sangat
dibatasi
maksimal
hanya
diperbolehkan
mengunjungi 2-3 kali kunjungan dalam setiap tahun. Pemerintah sama sekali tidak pernah melaporkan kondisi penjara, tidak pula disediakan informasi mengenai tahanan. Pemerintah tidak pernah mengizinkan kepada kepada kelompok-kelompok seperti organisasi kemanusiaan internasional dan organisasi pembela HAM dalam negeri untuk melakukan pemantauan kondisi di dalam penjara. Dahulu pemerintah pernah menjanjikan kepada PBB untuk memperbolehkan berkunjung, namun hal tersebut tidak pernah terlaksana. Pada tahun 2013 pemerintah melarang jurnalis dari luar negeri untuk meliput kondisi para tahanan (Cuba 2015 Human Rights Report, 2015). Kondisi yang sangat memilukan di penjara tersebut memicu protes dari seorang narapidana yang bernama Orlando Zapata, sebagai bentuk protesnya Zapata melakukan aksi mogok makan selam 85 hari dan akhirnya meninggal dunia, Zapata, yang sebelumnya dijathui hukuman hukuman tiga tahun penjara kemudian menjadi 36 tahun karena dikenakan tuduhan-tuduhan tambahan seperti tidak patuh dan kacau dalam menjalankan hukuman. Hal ini tentu saja mendapat
80
kecaman keras dari dunia internasional, Reina Luisa Tamayo (ibunda Zapata) dalam rekaman video yang disiarkan di blog Generation Y menyatakan bahwa anaknya mendapatkan perlakuan buruk di penjara seperti penyiksaan selama berada di dalam penjara. Ketika pemerintah mengetahui bahwa dunia internasional memberikan reaksi yang keras dalam kasus Zapata, polisi menahan 30 orang pembangkang karena khawatir menuai protes kembali. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan Washington sangat sedih atas kematian Zapata. Kematian itu menyoroti ketidak adilan terhadap lebih dari 200 tahanan politik Kuba yang sekarang harus segera dibebaskan tanpa ditunda. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva yang sedang mengunjungi Kuba dan kenal dengan Castro bersaudara sejak tahun 1970-an, mengatakan ia "sangat menyesalkan" kematian Zapata. Sekitar 50 pembangkang politik mendesak Lula dalam sepucuk surat terbuka untuk meminta Raul Castro membebaskan para aktivis yang dipenjarakan. Di Brussels, juru bicara komisi Uni Eropa John Clancy mengemukakan kepada AFP bahwa Kuba harus memperbaiki Hak Asasi Manusianya dengan membebaskan tanpa syarat semua tahanan politik (Sidik, 2010). Menurut CIA's World Factbook, 51% penduduk Kuba adalah mulatto (campuran kulit putih dan hitam), 37% kulit putih, 11% kulit hitam, dan 1% Tionghoa. Penduduk Tionghoa di Kuba terutama berasal dari orang-orang China yang dibawa ke Kuba pada abad ke-19 untuk membangun jalan-jalan kereta api dan bekerja di tambang-tambang, seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat pada saat yang bersamaan. Namun begitu pekerjaan itu selesai, kebanyakan dari mereka tidak mampu membayar biaya pulang kembali ke Tiongkok dan akhirnya
81
menetap di pulau itu. Dokumen-dokumen historis menunjukkan bahwa, meskipun dianggap lebih rendah daripada orang-orang Kuba keturunan Eropa, mereka dianggap lebih tinggi daripada orang-orang kulit hitam, karena kulit mereka lebih terang warnanya (Zavier, 2007). Perbedaan warna kulit tersebut yang membuat di Kuba masih terdapat sedikit ketegangan rasial dalam sikap rakyatnya terhadap sesamanya. Di Santiago de Cuba ada sejumlah penduduk Jamaika yang cukup besar jumlahnya yang menderita karena diberi citra sebagai orang yang malas. Orang-orang yang kulitnya lebih terang seringkali mempunyai pekerjaan yang lebih tinggi (meskipun di Kuba yang sosialis ini tidak berarti perbedaan penghasilan yang besar). Hal ini tidak hanya terjadi pada permasalahan rasial, tetapi juga dalam agama. Ada imigrasi internal yang ilegal ke Havana dari orang-orang yang berusaha mencari kesempatan yang lebih besar. Para imigran ilegal ini disebut "palestinos." Kuba juga menampung sejumlah orang-orang non-Kuba yang tidak diketahui jumlahnya. Penduduk ini termasuk para pembelot dari Amerika Serikat yaitu para aktivis asing dengan berbagai alasan yang radikal. Beralihnya kepemimpinan Kuba dari Fidel Castro ke saudara laki-lakinya Raul, dinilai gagal untuk mengakhiri pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk dalam hal melakukan kekerasan terhadap para pembangkang. Laporan terkini organisasi pemantau hak asasi manusia Human Rights Watch menyimpulkan pelanggaran hak asasi manusia di Kuba masih terus berlangsung, meski kepemimpinan sudah bergeser dari Fidel Castro ke saudara laki-lainya, Raul. Kekerasan masih terus dilakukan terhadap pembangkang, semenjak embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba terbukti tidak efektif, Amerika
82
Serikat bersekutu dengan Uni Eropa, Kanada dan Amerika Latin menerapkan sanksi bersama dan memberikan pemerintah di Havana waktu enam bulan untuk membebaskan semua tahanan politiknya. Daniel Wilkinson salah satu penulis laporan HRW mengatakan bahwa kini tekanan internasional terhadap kondisi HAM di Kuba tak efektif lagi (Saloh, 2010). Pemerintah di Havana membebaskan 52 tahanan politik dari penjara Kuba, tapi sekaligus mendepaknya ke Spanyol. Demikian cara rezim mengatasi pihak oposisi. Namun Havanna tidak kelihatan bersedia mereformasi politik hak asasi manusia atau menjamin keamanan atau kebebasan para pembangkang. Begitu pula perkiraan kelompok tahanan pertama yang dibebaskan, setelah tiba di Madrid. Itu adalah aksi kebingungan pemerintah yang terdesak untuk mendapat kredit dengan segala cara, demikian pesan tertulis para tahanan yang dibebaskan kepada menteri luar negeri Uni Eropa. Dengan demikian mereka mengaitkan pesan itu dengan permintaan agar tidak mengubah sikap keras Uni Eropa terhadap Kuba (Handoko, 2010). Günther Maihold, wakil pimpinan Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik juga merasa skeptis (Handoko, 2010): “Selama ini tidak ada petunjuk adanya penataan baru politik Kuba, baik dalam hal hak asasi manusia maupun kebebasan berpolitik atau pembaharuan ekonomi. Bagi saya tampaknya kepentingan Kuba pertama-tama adalah mengurangi nama cemarnya dalam politik internasional dan memperbaiki citra buruknya dalam hal hak asasi manusia. Dimana sampai terjadi kasus kematian dalam aksi mogok makan."
83
Sedikitnya 167 tahanan politik saat ini meringkuk di penjara-penjara Kuba. Demikian menurut keterangan Komisi Kuba untuk Hak Asasi Manusia. Meski demikian Organisasi HAM internasional memperkirakan jumlahnya jauh di atas itu, karena Kuba tidak mengijinkan adanya inspeksi PBB dan pengamat khusus PBB untuk pelanggaran hak asasi manusia. Penulis Amir Valle mengharap agar Uni Eropa tetap mengingatkan Kuba akan kewajibannya, yakni memperhatikan hak-hak dasar warganya. Misalnya agar warga Kuba memiliki hak untuk mendirikan perusahaan ekonomi swasta pribadi dan bebas keluar masuk Kuba, tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu. Selain itu undang-undang nomor 88 yang ketat harus dihapus. Menurut undang-undang yang juga disebut undangundang mutlak itu, warga dapat dijatuhi hukuman penjara 30 tahun jika ia mengkritik rezim. Peraturan-peraturan lainnya dalam kitab undang-undang hukum Kuba juga mengijinkan pemerintah menangkap setiap orang, yang memang tidak melakukan kejahatan tapi diduga akan melakukannya di masa depan (Handoko, 2010). Banyak pengamat politik yang menaruh harap atas Raul. Mantan pimpinan militer berusia 77 tahun itu melakukan keterbukaan politik dan ekonomi bagi negara berpenduduk 11 juta jiwa tersebut. Namun untuk mempertahankan kekuasaan, Raul masih menjalankan mesin represifnya, dengan menerapkan hukum yang tidak adil bagi orang-orang yang memperjuangkan hak mendasar. Di tengah terpaan kesulitan ekonomi, awal tahun ini, rezim Raul meluncurkan kampanye Operasi Kemenangan, yang menahan ratusan pemuda hanya dengan alasan misalnya karena mereka pengangguran (Saloh, 2010).
84
Politisi Republik dan aktivis HAM juga mengkritik Obama yang membuat kesepakatan dengan Castro di saat Kuba masih membatasi kebebasan mulai dari media, politik hingga perekonomian. Peringatan jangan melupakan pelanggaran HAM di Kuba juga disampaikan oleh senator Robert Menendez, ia menyayangkan sikap koleganyadi Senat saat berkunjung ke Kuba. Saat itu mereka tidak mengunjungi para aktivis HAM, jurnalis independen, dan politisi pembangkang yang ditahan di Kuba (Republika, 2017). Para pelarian Kuba meminta Obama mendesak sebuah perubahan radikal, terutama untuk menghentikan represi dan penggunaan kekerasan terhadap para aktivis HAM dan rival politik. Namun, pemerintahan Raul Castro telah memperingatkan Obama bahwa negerinya tidak menerima "kuliah" soal demokrasi dalam kunjungan bersejarah itu. Meski demikian, wakil penasihat keamanan nasional Ben Rhodes mendesak agar masalah ini tetap menjadi agenda pembicaraan. Selain itu, Obama juga akan menggelar pertemuan dengan anggota kelompok oposisi Kuba (Saloh, 2010). Dalam mewujudkan Politik Luar Negeri-nya Amerika Serikat mengaitkan kebijakan yang dibuat dengan isu-isu domestik negara lain. Pencairan hubungan kedua negara ini merupakan pencapaian politik luar negeri Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Obama yang dinilai sangat baik, namun kondisi HAM yang masih memprihatinkan tidak bisa dilupakan begitu saja, hal tersebutlah menjadi alasan bagi Amerika Serikat belum bersedia mencabut embargo ekonomi terhadap Kuba, apalagi sikap Raul Castro yang bersikeras untuk tetap bertahan dengan kondisi HAM yang seperti itu. Bagi Amerika Serikat mencabut embargo bukanlah solusi perbaikan Hak Asasi Manusia di Kuba dan jelas tidak sesuai
85
dengan cita-citanya, padahal Amerika Serikat memiliki cita-cita untuk menegakkan HAM diberbagai belahan dunia, sehingga kongres pun memutuskan untuk tetap menerapkan embargo ekonomi di negara tersebut sebagai hukuman bagi Kuba. Embargo ekonomi akan tetap berjalan jika kondisi HAM belum dipebaiki juga. Laporan terkini organisasi pemantau hak asasi manusia Human Rights Watch menyimpulkan pelanggaran hak asasi manusia di Kuba masih terus berlangsung, meski kepemimpinan sudah bergeser dari Fidel Castro ke saudara laki-lainya, Raul. Kekerasan masih terus dilakukan terhadap pembangkang, seperti misanya terhadap 40 orang yang ditahan atas tuduhan membahayakan negara. Kondisi penjara di Kuba pun mencemaskan. Semenjak embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba terbukti tidak efektif, Amerika Serikat bersekutu dengan Uni Eropa, Kanada dan Amerika Latin menerapkan sanksi bersama dan memberikan pemerintah di Havana waktu enam bulan untuk membebaskan semua tahanan politiknya. Daniel Wilkinson salah satu penulis laporan HRW mengatakan: kini tekanan internasional terhadap kondisi HAM di Kuba tidak efektif lagi (Agestu, 2015). Pemerintah Kuba belum dapat menjamin dengan baik hak asasi manusia tiap-tiap individu di negaranya. Terbukti dengan banyaknya yang melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengadilan yang tidak adil dan hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses peradilan. Tak satu pun kelompok hak asasi manusia yang memiliki status legal. Kuba merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia dan satu-
86
satunya dibelahan bumi barat yang tidak memberikan akses kepada Komisi Palang Merah Internasional ke penjara-penjaraanya (Zaviera, 2007). 4.2 Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Permasalahan Embargo Kuba Sikap mencabut embargo ekonomi di Kuba sama halnya tidak sesuai (baca: tidak sejalan) dengan teori kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Seperti yang kita ketahui dalam Teri kebijakan luar negeri terdapat tiga konsep dasar yang saling terintegrasi satu sama lain sehingga dapat menjadi sebuah landasan bagi terciptanya suatu kebijakan: 1.
Pengambilan kebijakan luar negeri harus mengacu pada sikap, persepsi, dan nilai-nilai yang dianut oleh sebuah negara, dimana semua hal ini berasal dari pengalaman sejarah negara dan posisi strategis negara tersebut dalam percaturan politik internasional. Pengalaman sejarah menjadi penting dalam proses pengambilan kebijakan, karena hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi negara ketika mereka dihadapkan dengan kondisi eksternal yang mengharuskan mereka untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan (Rosenau, 1998). Seperti yang kita ketahui bahwa Amerika Serikat memiliki nilai-nilai Demokrasi Liberal yang terkandung di dalamnya. Asas demokrasi Liberal tersebut diterapkan dalam berbagai aspek, yaitu dalam aspek ekonomi, politik, dan individualisme yang terkait dengan hak asasi manusia, kemudian dalam hal globalisasi, globalisasi berkembang pesat di Amerika Serikat. Berdasarkan sejarah Fidel Castro sosok tokoh legendaris Kuba telah menanamkan bahwa ia adalah seorang tokoh anti-globalisasi dan sikap-
87
sikapnya bertolak belakang dengan asas Demokrasi Liberal yang sudah tentu hal tersebut diterpkan di dalam pemerintahannya. Sedangkan Nilai demokrasi tersebut selain tertanam di dalam sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat juga akan disebarkan keberbagai penjuru dunia, Amerika Serikat meyakini perdamaian akan tercapai jika demokrasi ditegakkan, hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry yang menyatakan: "Kami tetap yakin bahwa rakyat Kuba akan lebih baik jika menggunakan sistem demokrasi, di mana rakyatnya bebas memilih pemimpin mereka," (Sari, 2015) Tentu saja pengalaman sejarah ini menjadi pertimbangan yang sangat mendalam bagi Kongres Amerika Serikat untuk belum bersedia mencabut embargo ekonomi di Kuba. Meskipun sejarah tersebut terjadi beberapa puluh tahun silam namun tetap menjadi acuan bagaimana kongres harus bersikap dan membuat kebijakan. 2.
Konsep yang kedua adalah Kebijakan luar negeri merupakan suatu komitmen dan rencana yang melandasi sebuah tindakan, dimana di dalam komitmen dan rencana tersebut harus mengandung tujuan-tujuan spesifik yang ingin dicapai oleh negara (Rosenau, 1998). Amerika Serikat didalam pemerintahan Obama memiliki tujuan dan cita-cita yaitu memelihara perdamaian dunia dengan mengedepankan soft-power yaitu memperluas jalinan hubungan kerjasama dengan negara lain serta mengembalikan citra buruk soal Hak Asasi Manusia di mata dunia pada pemerintahan sebelumnya. Cita-cita untuk memelihara perdamaian sudah
88
terlaksanakan, terbukti Amerika Serikat pada masa Obama sudah memperbaiki hubungannya dengan berbagai negara yang dianggap musuh, termasuk negara Kuba yang menjadi musuh bebuyutan lebih dari 50 tahun lamanya. Namun disisi lain meskipun perbaikan hubungan tersebut sudah terjadi tetap tidak dapat mencabut embargo yang ada di Kuba. Menteri Luar Negri Amerika Serikat John Kerry menyatakan bahwa "Kongres tidak akan mencabut embargo jika mereka tidak bergerak sehubungan dengan masalah hati nurani, kami akan terus mendesak pemerintah Kuba untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian PBB dan hak asasi manusia Inter-Amerika” (Sari, 2015) Hal ini jelas menunjukkan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia di Kuba dan pelanggaran HAM yang terjadi sudah tentu bertolak belakang dengan visi Amerika Serikat dalam masa masa pemerintahan Obama untuk memperbaiki citra Amerika Serikat dalam hal Hak Asasi Manusia. Dengan Amerika Serikat membiarkan pelanggaran HAM ini terjadi hal tersebut berarti menunjukkan bahwa Amerika Serikat setuju-setuju saja dengan sikap yang diambil pemerintah Kuba. Kemudian dengan Amerika Serikat mengambil sikap untuk tidak mencabut embargo sampai permasalahan HAM di Kuba diselesaikan, hal tersebut menunjukkan konsistensi dan ketegasan Amerika Serikat dalam menegakkan dan membela HAM. 3.
Konsep yang ketiga adalah Proses pembuatan kebijakan luar negeri harus mengacu pada fase empiris yang melibatkan langkah-langkah kongkret agar kebijakan yang dihasilkan pun tidak salah sasaran. Fase empiris merupakan
89
fase penting dalam proses pembuatan kebijakan, karena pada fase ini, para decision makers akan melakukan observasi terlebih dahulu terhadap objekobjek yang menjadi pembahasan dalam kebijakan tersebut. Pemerintahan Amerika Serikat menyatakan bahwa di negara Kuba banyak terjadi pelanggaran HAM bukan tanpa bukti, bukti-bukti tersebut sudah ada dan dituliskan di dalam Cuba 2015 Human Right Report.
Hanya saja yang menarik disisi lain bahwa kondisi Kuba tidak seburam yang dibayangkan sebelah pihak (Amerika Serikat). Negara Kuba baru saja kehilangan mantan pemimpinnya yaitu Fidel Castro yang wafat pada jumat 25 November 2016 lalu. Hal yang selalu diingat oleh banyak orang selama masa hidupnya adalah keberaniannya dalam menentang dominasi negara kapitalis Amerika Serikat. Suatu hal yang diyakini banyak orang akan menghancurkan Kuba sendiri, terutama perekonomiannya. Sosoknya juga penuh kontroversi karena
kerap
mengeluarkan
statement-statement
yang
membuat
berang
pemerintah Amerika Serikat. Tetapi pada kenyataannya, Negara Kuba selama dibawah kekuasaannya malah meraih banyak prestasi selama beberapa dekade. Berikut prestasi-prestasi dari Fidel Castro selama masa pemimpinannya (Sulaeman, 2016): 1. Kesetaraan Gender Sebelum revolusi, kondisi perempuan Kuba sangat suram yakni banyak masyarakatnya yang buta-huruf, sebagian besar menganggur, menjadi objek kekerasan,
dan
menderita
diskriminasi
dimana-mana.Dalam
perjuangan
memenangkan revolusi, Fidel Castro mengajak kaum perempuan untuk ambil
90
bagian. Bukan di garis belakang, tetapi di garis depan. Tahun 1961, ketika Fidel Castro mengomandokan gerakan pemberantasan buta-huruf, perempuan juga berperan besar. Hampir 52 persen relawan pemberantasan buta-huruf, yang disebut Brigadistas, adalah perempuan. Mereka rela dikirim hingga ke pelosok paling terpencil guna mengajar masyarakatnya untuk mengenal aksara. Lalu mereka menghimpun diri dalam Federasi Perempuan Kuba (FMC). Organisasi ini memobilisasi perempuan dalam membangun sekolah dan klinik kesehatan. Sekarang FMC mempunyai anggota 4 juta orang perempuan atau menghimpun hampir 86 persen perempuan Kuba. Dan setelah 57 tahun revolusi, capaian revolusi Kuba di lapangan kesetaraan gender sungguh luar biasa. keterwakilan perempuan Kuba di parlemen (Majelis Nasional) terbilang tertinggi di dunia, yakni 48,86 persen. Kuba menempati urutan ketiga di dunia. Dibanding dengan Amerika Serikat, yang hanya punya 19,4 persen legislator perempuan.
2. Inovasi Kesehatan Sejak dibawah pemerintahan Fidel Castro, Kuba sampai saat ini sangat mengedepankan kesehatan untuk masyarakatnya. Dan menurut data WHO, Kuba adalah negara dengan penerapan sistem jaminan kesehatan terbaik di dunia. Sistem kesehatan di Kuba dikenal memberikan layanan terbaik dan efisien, rakyatnya dipermudahkan dalam mengakses klinik pengobatan atau rumah sakit yang ada di negara tersebut. Selain itu juga mengirimkan dokter-dokter dalam jumlah besar ke seluruh pelosok negeri untuk pelayanan yang merata. Kuba juga berhasil menciptakan vaksin Meningitis B, Hepatitis B dan demam berdarah. Dan
91
mereka menjadi negara pertama di dunia yang berhasil menghapus transmisi HIV dan Sifilis dari Ibu ke anak.
3. Standar Hidup Rata-rata angka harapan hidup rakyat di Kuba mencapai 79 tahun dan angka kematian anak di bawa usia 5 tahun di Kuba juga tergolong rendah dibanding bayi yang baru lahir di Amerika Serikat. Pengangguran di negara ini juga tergolong kecil, hanya berada pada angka 2,7% dari total penduduk yang tinggal di negara tersebut.
4. Pendidikan Perjuangan Fidel Castro dalam memberantas buta huruf juga sangat berdampak baik bagi kemajuan pendidikan di negara Kuba. Hasilnya kemajuan pendidikan di Kuba telah mendapat pengakuan dari internasional, termasuk dari UNESCO. Sistem pendidikan di Kuba sendiri didukung oleh tenaga guru yang banyak, terlatih, dan siap ditempatkan di manapun. Untuk SD di Kuba, satu ruang kelas hanya diisi maksimal 20 siswa. Kelas yang melebih 20 orang akan diajar oleh dua orang guru. Untuk sekolah menengah, satu kelas maksimal 15 orang. Dan setiap guru didorong untuk menguasai semua mata pelajaran kecuali pelajaran khusus, seperti seni, bahasa asing, dan lain-lain. Guru-guru juga akan di kirim ke rumah siswa yang tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah karena sakit keras atau menderita cacat. Pada tahun 2000 lalu, Kuba mencanangkan “Universitas Untuk Semua Orang”, yang menargetkan pembukaan ruang kelas universitas di setiap provinsi
92
dan kotamadya. Program ini dilakukan melalui kerjasama Universitas dengan dua stasiun TV Kuba, yakni Cubavision and Tele Rebelde untuk menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Dengan demikian, jutaan rakyat Kuba bisa belajar sejarah, ekonomi, geografi, ilmu, sastra, seni visual, musik, dan bahasa asing setiap harinya.
5. Program Kemanusiaan Global Sejak tahun 1969, Kuba telah mengirimkan 325.710 petugas kesehatan untuk berpartisipasi dalam misi kemanusiaan dan disebarkan di 158 negara. Mereka turut ikut andil dalam hal misi kemanusiaan dan pada tahun 2010, Kuba telah menunjukkan kemampuan mereka dengan menjadi yang terdepan dalam hal penyedia bantuan kesehatan baik untuk kondisi darurat maupun dalam jangka waktu yang lama terhadap Haiti setelah bencana gempa bumi melanda negara tersebut. Mereka telah menunjukkan kekuatan solidaritas sosial dan kepedulian kemanusiaan bagi sesama, nilai yang sungguh bertolak belakang dengan konsep materialistik, egoistik dan sikap agresif yang dimiliki oleh negara-negara kapitalis. Itulah wajah Kuba, baik dari sisi gelap maupun dari sisi terang dalam perspektif HAM yang disebut “diktator” oleh pihak Amerika,
93