eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (4) 1117-1128 ISSN 2477-2623 (online), ISSN 2477-2615 (print), ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
ALASAN LARANGAN IMPOR PRODUK CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT TAHUN 2012 Maulida Wahdini1 Nim. 0902045005 Abstract In 2012, there's a prohibition of import of Indonesian CPO products in United States that the CPO do not meet environmental standards in the United States. This is in fact contrary to other research conducted Indonesia. The research showed that the reason of prohibition of import of Indonesian CPO products is the United Stated strategy for achieving its national interests by political and economic elements. In the political element is the attempt to drop the image of Indonesian palm oil in the global market, while in the economic element is an effort to protect the United States soybean industry and the farmers in worldwide vegetable oil and energy competitions. Keywords : Prohibition of Import, CPO, Indonesia - United States
Pendahuluan Minyak nabati merupakan produk utama yang dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit, minyak yang dihasilkan dari pengolahannya berupa minyak sawit mentah (CPO atau crude palm oil)yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO atau palm kernel oil) yang tidak berwarna (jernih).CPO atau PKO sendiri merupakan produk hasil sumber daya alam yang lazim diolah menjadi berbagai produk turunan, baik berupa barang konsumsi (minyak goreng dan margarin) maupun bahan baku industri seperti industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, serta sebagai bahan bakar alternatif (minyak disel). (Selardi Sastrosayono 2003:3) Dalam perekonomian nasional, industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang sangat besar untuk penerimaan negara dan telah menjadi komoditi utama Indonesia dalam sektor ekspor nonmigas. Ini dibuktikan dengan kesuksesan Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006. Di pasar global, minyak sawit Indonesia bersaing dengan produk minyak nabati dunia lainnya seperti minyak kedelai (soybean oil), minyak bunga matahari (sunflower oil), rapeseed, serta minyak jagung (corn oil) yang merupakan produk nabati sejenis yang banyak dihasilkan di negara-negara kawasan Eropa dan Amerika. Secara komparatif, minyak sawit memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan minyak nabati lainnya.
1
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Soasial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Diantaranya adalah produktivitas yang lebih tinggi, kandungan dalam minyak yang rendah kolesterol, harga yang lebih murah, serta sampah dari sisa-sisa pengolahan buah sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran makanan ternak serta difermentasikan menjadi kompos.Nilai tambah lainnya adalah tanaman sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel. Dengan kata lain, tanaman kelapa sawit adalah tanaman yang serba guna. Keunggulan minyak sawit terbukti dengan terjadinya pergeseran angka konsumsi minyak nabati terbesar dunia dari minyak kedelai ke minyak sawit.Sejak tahun 1980, minyak kedelai produksi Amerika Serikat (AS) menguasai pangsa pasar minyak nabati global dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2000.Namun di tahun 2009 terjadi pergantian kedudukan, dimana minyak sawit menjadi komoditi dengan angka konsumsi terbesar disusul minyak kedelai dan minyak kanola.Negara pengimpor utama minyak sawit dunia pada 2011 adalah India, China, Uni Eropa dan Pakistan, sementara AS berada diperingkat ke enam. Tingginya volume impor di negara-negara tersebut karena minyak sawit dibutuhkan sebagai kebutuhan domestik dalam negeri terkait kebutuhan pangan (oleofood), farmasi dan industri produksi otomotif, teknologi elektronik dan pengembangan biodiesel. CPO digunakan sebagai bahan bakar nabati atau biofuel karena CPO dianggap sebagai barang substitusi dari minyak mentah dunia. Semakin meningkatnya permintaan akan minyak sawit di pasar global kemudian menjadikan komoditi ini sebagai ancaman bagi negara-negara penghasil produk sejenis. Berbagai tindakan telah dilakukan untuk menjatuhkan citra minyak sawit, antara lain kampanye hitam oleh Greenpeace, pemboikotan yang diberlakukan oleh Uni Eropa tahun 2010, serta penolakan impor CPO yang dilakukan AS pada tahun 2012.Pada tanggal 28 Januari 2012, AS secara resmi menolak produk CPO dan turunannya dari Indonesia karena dinilai tidak ramah lingkungan. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil Notice of Data Availability (NODA)melalui lembaga perlindungan lingkungan AS yaitu U.S. Environmental Protection Agency(USEPA atau EPA) yang menyatakan bahwaproduksi kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi ketentuan minimum 20% ambang batas pengurangan emisi gas rumah kaca bahan baku untuk produk biodiesel dan renewable diesel berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diterapkan di AS. (www.kontan.co.id) Melalui analisisnya, EPA menyatakan bahwa CPO Indonesia hanya berada pada level 11-17%, sehingga tidak memenuhi ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan yang efisien. (www.kontan.co.id) Amerika Serikat menyatakan bahwa CPO tidak termasuk sebagai sustainable product, sehingga CPO dari Indonesia tertutup untuk dijadikan bahan bakubiofuelmaupun produk-produk turunan CPO lainnya di Amerika Serikatpada tahun 2012. Namun dari penelitian Indonesia yang disampaikan oleh utusan pemerintah dan stakeholder terkait kepada EPA menyatakan bahwa kadar emisi CPO Indonesia sebesar 28%, lebih tinggi dari angka ambang batas yang ditetapkan Amerika Serikat yaitu 20%. Amerika Serikat dinilai memproteksi perdagangan dengan cara membuat kebijakan technical barriers (hambatan teknis), karena seluruh biodisel yang bersumber dari minyak nabati termasuk CPOtidak mengandung emisi
1118
Alasan Larangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat (Maulida Wahdini)
karbon.Alasantersebut diduga bertujuan untuk melindungi industri minyak nabati Amerika Serikat, terutama yang berbahan baku kedelai. Tindakan Amerika Serikat tersebuttelah berdampak denganterdorongnya negara lain untuk ikut menolak CPO. Ini tentusangat merugikan bagi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.Masalah inilah yang menjadi alasan pemilihan judul penelitian. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Kepentingan Nasional (National Interest) Ekonomi Politik Internasional (EPI) adalah cara mendapatkan kekayaan melalui kekuasaan dan adanya interelasi antara pasar dan politik. Dalam memahami interkoneksi antara ekonomi dan politik, hal utama yang ditekankan adalah “kepentingan nasional” atau national interest karena perhatian terbesar adalah mengenai isu-isu tentang kekayaan dan kemiskinan, tentang siapa mendapat apa dalam sistem internasional. Teori merkantilisme yang muncul pada abad ke-16 secara esensial merupakan filosofi ekonomi yang percaya bahwa manajemen ekonomi seharusnya menjadi bagian dari tujuan negara dalam memenuhi kepentingan nasionalnya dalam kaitan dengan kekayaan, kekuatan, dan gengsi.Merkantilisme memiliki tujuan utama yaitu harus memaksimalkan kekayaan dan melihat ekonomi sebagai faktor utama untuk mencapai tujuannya tersebut.Aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama yaitu membangun negara yang kuat. Dengan kata lain, ekonomi adalah alat politik dan aktor utama adalah negara. Merkantilisme tidak mengenal istilah interdependensi atau ketergantungan sebagaimana kaum liberalisme, tetapi mengenal self-determination atau menentukan nasib sendiri.Sehingga apabila terjadi persaingan ekonomi, maka persaingan tersebut melibatkan negara dengan sifat zero-sum dimana keuntungan suatu negara merupakan kerugian bagi negara lain. Merkantilisme didukung oleh beberapa politisi dan ekonom terkemuka.Alexander Hamilton, salah seorang bapak pendiri Amerika Serikat adalah pendukung kuat merkantilisme dalam bentuk kebijakan-kebijakan proteksionis yang dimaksudkan untuk memajukan industri domestik di Amerika Serikat. (Martin Griffiths 2005:188) Kepentingan nasional itu sendiri memiliki pengertian yaitu citra mengenai keadaan negara pada masa yang akan datang serta masa depan kondisi dengan memperluas pengaruh keluar batas negaranya serta dengan mengubah atau mempertahankan perilaku-perilaku negara lain, melalui individu pembuat kebijaksanaan yang berkehendak membuat kondisi tertentu. Kepentingan nasional dibagi berdasarkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut, yaitu: 1. Primary interest (kepentingan primer/utama) 2. Secondary interest (kepentingan sekunder) 3. Permanent interest 4. Variable interest (kepentingan tidak tetap) 5. General Interest (kepentingan-kepentingan umum) 6. Specific interest (kepentingan–kepentingan khusus)
1119
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Menurut Robert Gilpin, “International Political Ekonomi assumes that the interest and policies of states are determined by the governing political elite, the pressures of powerful groups within a national society, and the nature of the “national system of political economy”. Dari pengertian tersebut, Gilpin menekankan bahwa kebijakan ekonomi luar negeri suatu negara mencerminkan kepentingan nasional dari negara yang bersangkutan yang ditentukan oleh para elit negara dan kelompok-kelompok yang berkepentingan. Menurut Thomas Oatley, setiap pemerintah harus membuat pilihan-pilihan mengenai bagaimana ekonomi dalam negeri saling berhubungan dengan ekonomi global. Setiap negara tentunya menginginkan keuntungan yang besar bagi negaranya.Untuk itu, keputusan dan tindakan-tindakan politik dibutuhkan untuk mencapai kepentingan tersebut. Oatley juga menambahkan hal-hal yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan-keputusan tersebut adalah kepentingan nasional dan institusi politik negara yang bersangkutan. Kepentingan nasional merupakan suatu yang menjadi prioritas dalam menjalankan pemerintahan dan kelangsungan kesejahteraan negara di masa yang akan datang, pertimbangan kepentingan-kepentingan nasional suatu negara akan tercermin dari kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh negara, sedangkan institusi politik membuat aturan-aturan mengenai kebijakan mana yang akan dibuat dan bagaimana kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dalam merumuskan sebuah kebijakan, faktor utama yang terlibat dan dapat mempengaruhi hasil akhir diputuskannya sebuah kebijakan adalah kepentingan (interest) dan institusi (institution). Kepentingan negara (national interest) dalam hal ini dapat berupa ide atau pandangan, keinginan para elit politik atau kelompokkelompok kepentingan yang kemudian akan mentransformasikan kepentingankepentingan tersebut dalam proses-proses politik melalui institusi politik yang adan dalam negara yang dapat berupa partai politik atau institusi negara sehingga akan menghasilkan sebuah kebijakan. Proteksionisme Dalam perdagangan internasional, setiap negara memiliki kebijakan masing-masing untuk melindungi perekonomian dalam negeri oleh pesaingan dengan barang-barang impor. Kebijakan perdagangan menurut M.L. Jhingan, dalam bukunya The Economy of Development and Planing mengatakan, sebagai suatu kebijakan yang dapat menopang percepatan laju pembangunan ekonomi adalah dengan cara: a. Memungkinkan negara terbelakang memperoleh bagian lebih besar dari menfaat perdagangan. b. Meningkatkan laju pembentukan modal. c. Meningkatkan industrialisasi. d. Menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
1120
Alasan Larangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat (Maulida Wahdini)
Untuk mendukung suatu kebijakan perdagangan yang dapat membantu para pelakupelaku di lapangan, pada dasarnya pemerintah berupaya memberikan insentif dan perlindungan berupa suatu bentuk proteksi.Proteksi adalah perlindungan yang diberikan kepada suatu sektor ekonomi atau industri di dalam negeri terhadap persaingan dari luar negeri. Proteksi diberikan karena tanpa itu sektor ekonomi tersebut tidak bisa bersaing dengan barang-barang buatan luar negeri, karena barangbarang impor harganya lebih murah, kualitasnya lebih baik, penampilannya lebih menarik dan banyak sebab lain. (Boediono 1981: 157) Kebijakan proteksi dapat diterapkan dengan berbagai instrumen, baik yang berbentuk tarif maupun non-tarif. a. Hambatan Tarif (Tariff Barrier) Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan proteksionisme terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang diimpor dari luar negeri, dengan cara menarik atau mengenakan pungutan bea masuk kepada setiap barang impor yang masuk untuk dikonsumsi didalam negeri. Pengenaan tarif terhadap barang-barang impor akan meningkatkan harga barang yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri. Dampak ini merupakan tujuan utama dari pemberlakuan tarif, yakni untuk melindungi produsen dalam negeri terhadap persaingan impor yang harganya lebih murah. (Paul R. Krugman 2004: 238) b. Hambatan Non Tarif (Non-Tariff Barrier) Hambatan non-tarif (non-tariff barrier) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. A.M. Rugman dan R.M Hodgetts mengelompokkan hambatan non-tarif sebagai berikut: 1. Instrumen Kebijakan Non-tariff a. Pembatasan spesifik (specific limitation), yaitu: larangan impor secara mutlak, pembatasan impor (quota system), peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu, peraturan kesehatan/karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara, peraturan kebudayaan, perizinan impor. b. Peraturan bea cukai (customs administration rules) c. Government participation d. Import charges 2. Sistem Kuota Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota ekspor) dari atau ke suatu negara untuk melindungi kepentingan industri dan konsumen. 3. Subsidi Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk menitikberatkan perlindungan atau bantuan kepada industri dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dan lain-lain.
1121
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Hambatan tarif dan bukan tarif yang ada saat ini (diantaranya: pajak penjualan, kuota, peraturan kebersihan/lingkungan), yang dikenakan negara-negara maju terhadap negara-negara sedang berkembang, merupakan kendala utama untuk pengembangan ekspor negara-negara di Dunia Ketiga. Efek yang dikenakan oleh negara-negara maju secara komprehensif adalah menurunkan penerimaan negara-negara sedang berkembang dari ekspor mereka, mengurangi kuantitas produksi yang di ekspor, dan memperkecil penerimaan devisa. (Yanuar Ikbar 2007 :121) Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksplanatif.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet Teknik analisis data menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil Penelitian Amerika Serikat melalui lembaga perlindungan lingkungannya yaitu Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan bahwaproduksi kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi ketentuan minimum 20% ambang batas pengurangan emisi gas rumah kaca bahan baku untuk produk biodiesel dan renewable diesel berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diterapkan di Amerika Serikat. Melalui analisisnya, EPA menyatakan bahwa CPO Indonesia hanya berada pada level 1117%, sehingga tidak memenuhi ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan yang efisien.Namun berdasarkan hasil perhitungan emisi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap emisi gas rumah kaca minyak sawit sebesar 50 ton CO2/Ha/Tahun setara dengan reduksi 28% emisi.Angka ini lebih tinggi dari yang di persyaratkan EPA sebesar 20% emisi.Dengan demikian tanaman kelapa sawit menjadi bahan yang aman untuk digunakan sebagai bahan biodiesel dibandingkan dengan bahan penghasil minyak nabati lainnya dan telah memenuhi ketentuan RFS. AlasanLarangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat Tahun 2012 Dengan tidak terbuktinya tudingan Amerika Serikat yang menyatakan produk CPO Indonesia tidak ramah lingkungan, maka dapat dilihat bahwa alasan larangan impor produk CPOIndonesia di Amerika Serikat tahun 2012 merupakan strategi Amerika Serikat untuk mencapai kepentingan nasionalnya berdasarkan alasan politis dan ekonomis, yaitu: 1. Alasan Politis Dalam pasar minyak nabati dunia, terdapat berbagai jenis produk minyak nabati yang dihasilkan oleh berbagai negara berdasarkan produksi pertaniannya.Perbedaan jenis produksi tersebut menyebabkan persaingan yang tinggi diantara negara-negara pengasil, terutama untuk produk CPO (Indonesia) dan minyak kedelai (Amerika Serikat) sebagai komoditi minyak nabati utama dunia yang paling banyak dikonsumsi.
1122
Alasan Larangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat (Maulida Wahdini)
Sejak tahun 2006 Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar di dunia yang sulit ditandingi negara lain sehingga muncul intrik-intrik persaingan ekonomi melalui saluran politik yang berupaya merusak citra Indonesia. Tujuannya agar pertumbuhan dan perkembangan bisnis kelapa sawit di Indonesia tidak lagi berkembang.Potensi Indonesia yang mampu mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar.Ini menyebabkan kekhawatiran bagi pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia memegang peranan ini. Ketakutan terhadap Indonesia sebagai negara berkembang yang memegang peran besar terhadap dunia lewat sektor penghasil CPO terbesar sangat mengkhawatirkan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, yang kepentingannya akan terganggu. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan beberapa batasan dalam perdagangan.Peraturan-peraturan tersebut berpotensi menghambat perdagangan internasional, terutama yang mengarah ke Amerika Serikat. Dokumen trade barriers yang disusun oleh European Commission menunjukkan bahwa untuk beberapa produk, Pemerintah Amerika Serikat menetapkan standar kesehatan, keselamatan, dan lingkungan sendiri.Beberapa prosedur impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat juga seringkali dianggap sebagai hambatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Amerika Serikat memiliki Trade ExpansionAct 1962 yang di salah satu klausulnya menyebutkan bahwa industri di Amerika Serikat dapat menyampaikan petisi untuk menolak impor dari negara lain dengan alasan keamanan nasional. Namun, dalam undangundang ini tidak diatur mengenai apakah petisi harus dilengkapi dengan bukti yang sah atau tidak, sehingga dikhawatirkan bahwa peraturan ini dijadikan landasan oleh perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat untuk menghambat kompetisi dari perusahaan luar negeri.(www.kemenkeu.go.id) Menurut hasil kajian International Chemical Biology Society (ICBS) pada tahun 2000, bahwa American Soybean Association (ASA) melakukan kebijakan unfair trade (tidak adil) dengan mengkampanyekan bahwa CPO dan CCO mengandung lemak jenuh (saturated fatty acid) dan kolesterol tinggi yang kurang baik bagi kesehatan. Hal ini tentunya akan membangun brand image negatif terhadap produk CPO khususnya dari Indonesia. Hal ini, sesungguhnya disebabkan karena minyak kedelai yang diproduksi negara-negara Amerika lebih mahal dari CPO sehingga tidak mampu bersaing dengan CPO, bahkan pangsa ekspor minyak kedelai sudah mulai diambil alih oleh CPO. Melihat kondisi ini, ASA yang dimotori oleh Amerika Serikat mengkampanyekan isu negatif terhadap CPO dengan harapan konsumen akan kembali mengkonsumsi minyak kedelai. Disisi lain, kebijakan restriksi ini memang dapat dilegalkan karena WTO mempunyai SPS (Sanitary, Phyto Sanitary) Agreement, untuk melindungi masyarakatnya, namun tetap harus berdasarkan bukti ilmiah yang kuat.
1123
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Perusakan citra terhadap kelapa sawit yang terus berkembang lebih disebabkan faktor kecemburuan pihak lain terhadap eksistensi Indonesia memandu bisnis CPO terbesar di dunia. Isu yang diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat bahwa tanaman kelapa sawit telah merusak lingkungan hanyalah strategi politik yang ingin meruntuhkan dominasi Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia.Agenda konspirasi global dalam perusakan citra terhadap kelapa sawit juga terlihat dalam KTT APEC pada tanggal 8 hingga 9 September 2012 lalu di Vladiostok, Rusia.(www.tekno.compas.com) Pada tahun 1980-an minyak kedelai merupakan produk minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia terutama Amerika dan Eropa, bahkan menguasai sepertiga (33%) dari total konsumsi minyak nabati dunia. Sementara pada saat itu produk minyak sawit masih kurang dikenal oleh masyarakat.Grafik ini terus berlanjut hingga periode tahun 2000, dimana produk minyak kedelai menjadi mayoritas dalam konsumsi minyak nabati, mengungguli minyak kelapa sawit dan minyak bunga matahari. Namun pada tahun 2009 angka konsumsi minyak kedelai mulai tertinggal oleh CPO, dimana tabel konsumsi dunia menunjukkan CPO digunakan sebanyak 45 juta ton (34%) dan minyak kedelai sebesar 35 juta ton (27%) dari total konsumsi dunia. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan Amerika Serikat yang merupakan produsen dan eksportir utama kedelai, karena pasarnya mulai terkalahkan oleh minyak sawit.Disamping itu, penggunaan biodiesel dari minyak sawit pun mampu mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 62% dibandingkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti pada kendaraan, pabrik, peralatan rumah tangga mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) 4.228 ton, sedangkan biodiesel sawit hanya memproduksi 2.627 ton. Jumlah karbon yang diikat dari udara oleh perkebunan sawit per hektare pertahunnya, ternyata tak jauh berbeda dengan jumlah hutan hujan tropis, yaitu 161 ton, sedangkan hutan tropis 163,5 ton per hektare pertahun. Meskipun dari total biomassa, hutan tropis lebih besar empat kali lipat dari sawit, yaitu 431 ton, sedangkan sawit (100 ton). Amerika Serikat tidak menginginkan pada akhirnya kelapa sawit mampu menggantikan kedelai sebagai bahan baku minyak nabati, karena secara umum kelapa sawit lebih baik daripada kedelai yang dikuasai oleh negara-negara maju. Dengan minimnya karbon, biodesel sawit terbukti terlihat lebih unggul dalam perdagangan internasional.Ditambah lagi selama ini Amerika Serikat gencar memberdayakan kedelai untuk menggantian energi fosil, salah satunya dengan biofuel yang mencapai momentum politiknya karena adanya pasar baru yang menguntungkan bagi produk pertanian.Didorong langkah-langkah legislatif, terutama Keamanan Energi 2007 dan Undang-Undang Kemerdekaan, mengamanatkan peningkatan industri biofuel. Melalui Menteri Pertaniannya, mendesak perusahaan-perusahaan minyak di Amerika Serikat untuk meningkatkan campuran etanol dengan banein untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak asing.
1124
Alasan Larangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat (Maulida Wahdini)
2.
Alasan Ekonomis Persaingan antara Indonesia sebagai penghasil CPO dan Amerika Serikat sebagai penghasil minyak kedelai membuat beberapa sengketa perdagangan.Munculnya hambatan non tarif yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk menekan arus peredaran minyak kelapa sawit didunia mengakibatkan ekspor kelapa sawit menjadi tidak stabil.Hambatan non tarif yang diberlakukan adalah dengan munculnya notifikasi Badan Lingkungan Amerika Serikat yaitu EPA yang menyatakan bahwa minyak sawit Indonesia belum memenuhi persyaratan seperti yang ada didalam Clean Air Act (CAA). Amerika Serikat selalu menganggap produk CPO Indonesia buruk, karena fakta yang ada dibalik itu adalah semakin terdesaknya luas area tanaman minyak kedelai dan minyak bunga matahari yang banyak ditanam oleh para petani dan pemilik perkebunan di Amerika Serikat. Produktivitas minyak sawit Indonesia juga tak bisa dikalahkan produk minyak nabati Amerika Serikat, dengan perbanding 3,5 ton CPO per hektar berbanding 0,36 ton minyak kedelai per hektar lahan, ini tentu mengancam produk minyak nabati di luar kelapa sawit.Apabila membandingkan minyak sawit dan minyak kedelai, secara komparatif minyak sawit terbukti memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan minyak kedelai, terutama dalam efisiensi produksi. Lahan yang diperlukan untuk memproduksi minyak sawit jauh lebih sedikit dibandingkan minyak kedelai, yaitu 0,26 berbanding 2,22 hektare per ton. Begitu pula untuk biaya produksi, minyak sawit diproduksi dengan biaya yang lebih murah dibandingkan minyak kedelai sebesar US$ 180 berbanding US$ 315 per ton. Selain itu, minyak sawit memiliki nilai keunggulan lain dalam kandungannya yang rendah kolesterol, harga jual yang lebih murah, serta sampah dari sisa-sisa pengolahan buah sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran makanan ternak serta difermentasikan menjadi kompos. Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan CPO Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dikesampingkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektar pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, produksinya mampu melebihi minyak nabati negara-negara Uni Eropa dan Amerika dengan berbagai macam jenis minyak nabatinya.Minyak kelapa sawit telah menjadi komoditi yang lebih banyak dikonsumsi mengalahkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menguasai produksi minyak nabati dunia sebanyak 30 %, minyak kedelai (29%), minyak biji rape (24%), bunga matahari (8%) dan minyak lainnya (19%). (www.theglobalreview.com) Bahkan untuk tahun-tahun mendatang industri kelapa sawit akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan penduduk dunia dimana konsumsi minyak nabati perkapita perorang di dunia di perkirakan rata-rata 25 kg/thn.
1125
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Jika pengusaha minyak nabati Indonesia berjaya di dunia, maka minyak kedelai dan bunga matahari di Amerika Serikat bisa tertekan.Kondisi ini membuat negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, mengambil keputusan sepihak yang merugikan hubungan dagang dengan Indonesia.Amerika Serikat sebagai negara penghasil kedelai utama yang memasok 35 % produksi di dunia, mempunyai kepentingan untuk melindungi petaninya. Jika industri pertanian di Amerika Serikat tidak diproteksi, maka akan mematikan industri minyak nabatinya. Ditambah pula menurunnya daya beli masyarakat Amerika dan Eropa akibat krisis ekonomi yang tidak bisa mengembangkan kelapa sawit menjadi faktor utama dikeluarkannya isu-isu negatif terkait kelapa sawit yang merusak lingkungan hidup.Jadi larangan impor dimaksudkan untuk memberikan proteksi atau perlindungan kepada petani mereka. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Alasan pemberlakuan kebijakan larangan impor produkCPO Indonesia di Amerika Serikat tahun 2012 adalah strategi Amerika Serikat untuk mencapai kepentingan nasionalnya berdasarkan unsur politik dan ekonomi, yaitu: Pertama, dalam unsur politik adalah upaya untuk menjatuhkan citra minyak sawit Indonesia. Tujuannya agar pertumbuhan dan perkembangan bisnis kelapa sawit di Indonesia tidak lagi berkembang.Potensi Indonesia yang mampu mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penghasil CPO. Ini menyebabkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat yang kepentingannya akan terganggu, terutama menyangkut kedelai yang merupakan produk utama dalam industri pertaniannya.Secara komparatif, CPO memiliki keunggulan terutama dalam segi efisiensi produksi dibanding minyak kedelai, sehingga digulirkannya isu bahwa produk CPO tidak ramah lingkungan adalah taktik dalam persaingan minyak nabati global. Sejak tahun 2009 angka konsumsi minyak kedelai mulai tertinggal oleh CPO, kondisi ini tentu mengkhawatirkan Amerika Serikat yang merupakan produsen dan eksportir utama minyak kedelai, karena pasarnya mulai terkalahkan oleh minyak sawit.Kedua, yaitu unsur ekonomis adalah upaya proteksi Amerika Serikat dalam persaingan minyak nabati dan energi. Tanaman kelapa sawit unggul dalam setiap perbandingan dengan tanaman kedelai, termasuk untuk produksi biodiesel.Ini membuat Amerika Serikat sebagai negara penghasil kedelai utama khawatir sehingga harus melindungi industri pertaniannya. Amerika Serikat tidak menginginkan pada akhirnya kelapa sawit mampu menggantikan kedelai sebagai bahan baku minyak nabati. Dengan minimnya karbon, biodesel sawit terbukti terlihat lebih unggul dalam perdagangan internasional.Ditambah lagi selama ini Amerika Serikat tengah gencar memberdayakan kedelai untuk menggantian energi fosil dan mengurangi ketergantungan mereka pada minyak asing.Jika industri pertanian di Amerika Serikat tidak diproteksi, maka akan mematikan industri minyak nabatinya.
1126
Alasan Larangan Impor Produk CPO Indonesia di Amerika Serikat (Maulida Wahdini)
Daftar Pustaka Buku Boediono. 1981. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Griffiths, Martin, Terry O’Callaghan. 2005. International Relation : The Key Concepts. London: Routledge. Ikbar, Yanuar. 2007. Ekonomi Politik Internasional 2 – Implementasi dan Teori. Bandung: PT Refika Aditama.
Konsep
Krugman, Paul R., Maurice Obstfeld. 2004. Ekonomi Internasional Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Indeks. Rudy, T. May. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer MasalahGlobal. Bandung : PT Refika Aditama.
dan Masalah-
Sastrosayono, Selardi. 2003. Budi Daya Kelapa Sawit. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Internet Djibril Muhammad dan Sefti Oktarianisa.“CPO Indonesia Paling Tinggi Turunkan Emisi.” http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/23/m1bijpcpo-indonesia-paling-tinggi-turunkan-emisi. (diakses tanggal 23 Maret 2015) Ella Syafputri. AntaraNews.com: ”Penolakan ekspor CPO diperkirakan hanya strategi AS” http://www.antaranews.com/berita/375063/penolakan-ekspor-cpodiperkirakan-hanya-strategi-as. (diakses tanggal 10 Desember 2015) Ferdiansyah Ali. The Global Review: ”Skema Trans Pacific Partnership (TPP) Amerika Serikat hancurkan Produk Industri Kelapa Sawit Indonesia” http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=9555&type =101#.V5Yx6_krLIV. (diakses tanggal 15 Juli 2015) Handoyo.Kontan co.id.”Indonesia Ingin CPO Masuk Produk Ramah Lingkungan.” http://industri.kontan.co.id/news/pemerintah-ingin-cpo-masuk-produk-ramahlingkungan.(diakses tanggal 04 Juni 2015) InfoSawit.“Kontribusi Sawit di Indonesia Sangat Tinggi”.http://www.infosawit.com/index.php/berita-utama/1416-kontribusisawit-di-indonesia-sangat-tinggi. (diakses tanggal 30 November 2015). TL/FEB, Portal Publik PTPN V. “Devisa Ekspor CPO Capai Rp 200 Triliun.” http://www.bumn.go.id/ptpn5/publikasi/berita/devisa-ekspor-cpo-capai-rp200-triliun/. (diakses tanggal 04 November 2015)
1127
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1117-1128
Jurnal / PDF Kementerian Perindustrian, 2012, Laporan Kinerja Sektor Industri dan Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2012, [pdf], (https://www.scribd.com/doc/303196682/Laporan-Kinerja-KementerianPerindustrian-Tahun-2012, diakses tanggal 13 Juni 2015) Laporan World Growth, 2011, Manfaat Minyak Sawit Bagi Perekonomian Indonesia, [pdf],(http://psflibrary.org/catalog/repository/Buku%20Panduan%20Energi %20yang%20Terbarukan_guidebook%20renewable%20energy%20small.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2015) Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI dan Program Studi Kajian Wilayah Amerika UI, 2012, Kajian Kerjasama Bilateral Indonesia – Amerika Serikat Di Bidang Ekonomi dan Keuangan, [pdf], (http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Kajian_Kerja_Sama_Bilateral_ RI-AS.pdf, diakses tanggal 02 Februari 2015)
1128