ALTERNATIF DAN STRATEGI PEMBUATAN KEPUTUSAN
MODUL
4
A. Kualitas Pembuatan Keputusan Kita sudah membicarakan bagaimana Penting pembuatan suatu keputusan yang bermutu. Meningkatnya kemampuan pembuatan keputusan akan meningkatkan mutu keputusan yang dibuatnya. Janis dan Mann (1987) mengatakan bahwa pembuatan keputusan yang mempunyai satu tujuan seperti memaksimisasikan keuntungan jauh lebih mudah dibandingkan pembuatan keputusan yang dimaksudkan untuk mencapai banyak sasaran sekaligus. Tujuan yang banyak tersebut tingkat pencapaiannya adalah tidak sama. Apa yang diharapkan tidak selalu terlaksana, sebaliknya apa yang tidak diinginkan kadang-kadang menjadi kenyataan. Jadi, untuk mengevaluasi keberhasilan suatu keputusan kita harus mampu memperhitungkan efek negatif (dari konsekuensi yang buruk) dan efek positif (dari konsekuensi yang baik) dari keputusan tersebut. Bagaimana cara mengukur efek dari suatu keputusan? Tidak ada cara yang kuantitatif untuk pengukuran efek tersebut. Bila kita tanyakan pembuat keputusan yang bersangkutan tentang penilaian subjektifnya terhadap tingkat kepuasan atau penyesalan sebagai akibat keputusan itu maka besar kemungkinan hasilnya akan "bias" karena ada kecenderungan individu untuk menjawab pertanyaan
50
tersebut berdasarkan alasan untuk menyelamatkan mukanya dan berusaha membuat pembenaran keputusan tersebut. Sebagai alternatif, telah dikembangkan cara lain untuk mengevaluasikan keberhasilan suatu keputusan, yaitu melalui pengujian kualitas dan prosedur yang digunakan oleh pembuat keputusan menentukan pilihan di antara berbagai alternatif keputusan yang ada. Banyak para ahli (pakar) yang telah membahas efektivitas pembuat keputusan, misainya Etzioni, 1968; Hoffman, 1965; Janis, 1972; Katz and Kahn, 1966; Maier, 1967; Miller and Starr, 1967; Simon, 1976; Taylor, 1962; Vroom and Yetton, 1973; Wilensky, 1976; Young, 1966. Selanjutnya Janis and Mann, 1977 telah menginventarisasi kriteria (tolok ukur) utama untuk menentukan apakah prosedur pembuatan keputusan berkualitas tinggi atau tidak, berdasarkan penelitian terhadap literatur-literatur tentang pembuatan keputusan yang efektif mereka mengatakan bahwa meskipun data tidak cukup tersedia, tetapi adalah masuk akal untuk mengasumsikan bahwa keputusan yang dibuat sesuai dengan tujuh prosedur pembuatan keputusan yang ideal adalah mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mencapai tujuan si pembuat keputusan. Keputusan seperti itu akan berlaku lebih langgeng (Janis & Mann, 1927). Berikut ini adalah tujuh kriteria mengenai pengevaluasian suatu keputusan berdasarkan asumsi bahwa pembuat keputusan atas kemampuannya yang terbaik
dan
dalam
batas-batas
kemampuannya
memproses
informasi,
melakukan langkah-langkah yang berikut. 1) Menelusuri sebagian besar alternatif keputusan. 2) Memperhitungkan tujuan-tujuan apa saja yang akan dicapai dan nilainilai apa yang melekat dengannya. 3) Dengan teliti menimbang biaya dan manfaat (pengaruh negatif dan positif) dari tiap alternatif keputusan. 4) Secara
intensif
mencari
informasi
baru
yang
relevan
untuk
pengevaluasian alternatif keputusan lebih lanjut.
51
5) Memakai informasi baru tersebut (termasuk pertimbangan dari pakar) meskipun hal ini tidak mendukung alternatif yang semula diinginkan pembuat keputusan 6) Sebelum membuat keputusan terakhir, sekali lagi diperhitungkan pengaruh positif dan negatif dari semua alternatif keputusan. 7) Membuat persiapan terperinci untuk pelaksanaan atau implementasi dari alternatif
yang
dipilih,
dengan
perhatian khusus kepada
contingency plans (rencana untuk menghadapi keadaan yang tidak diduga) apabila ada halangan dalam tahap implementasi. Janis dan Mann (1977) mengasumsikan bahwa kegagalan memenuhi kriteria tersebut di atas dalam membuat keputusan penting, berarti kurangnya mutu proses pembuatan keputusan yang bersangkutan. Berkurang mutu proses
pembuat
keputusan,
bertambahnya
kemungkinan
si
pembuat
keputusan akan mengalami masalah tidak efektifnya keputusan tersebut. Sebaliknya apabila pembuat keputusan memenuhi tujuh kriteria proses pembuatan keputusan tersebut bercirikan vigilant information processing (kewaspadaan dalam pencarian, pengolahan dan pemanfaatan informasi). Hal ini terutama sangat berpengaruh dalam pembuatan keputusan yang bercirikan adanya tujuan ganda. Paling sedikit tingkat kewaspadaan,dalam pencarian pengolahan dan pemanfaatan informasi ini cukup diperhatikan sebagai prasyarat bagi suatu keputusan yang akan memuaskan pembuat keputusan dalam jangka panjang. Tingkat kewaspadaan tersebut tergantung kepada kondisi tertentu. Hilton (1962) dalam studinya tentang 30 orang mahasiswa tahun terakhir (senior) di Carnegie Institute of Technology menemukan bahwa pada awal tahun yang terakhir tersebut para mahasiswa mempunyai tingkat kewaspadaan yang rendah, tetapi akhir tahun yang terakhir itu mereka ternyata lebih waspada dalam pencarian
pengelolaan
dan
pemanfaatan
informasi
dalam
pembuatan
keputusan. Dalam menilai tingkat kewaspadaan seorang pembuat keputusan, kita dapat mengukurnya dalam, suatu skala dari ketujuh kriteria. Penilaian
52
kualitas proses pembuatan keputusan misalnya kita memakai skala 1 sampai dengan 100. Apabila pembuat keputusan hanya memusatkan perhatiannya pada satu alternatif keputusan yang direkomendasikan oleh seseorang, dan ia tidak mau memikirkan tentang kemungkinan adanya alternatif yang lain, serta ia tidak mau menanyakan hal tersebut kepada orang lain maka skornya dalam kriteria yang pertama sangat rendah sekali yaitu 0 (nol). Apabila ia mengorbankan cukup waktu dan usaha memikirkan dan mencari nasihat sehubungan dengan berbagai alternatif keputusan, proses yang dilakukannya pantas memperoleh skor yang tinggi sekali yaitu 100. Pada umumnya, tingkat kewaspadaan ini hanya sedang saja, tidak mempunyai skor 0 atau 100. Berkisar dari tingkat kewaspadaan yang agak tinggi misalnya seorang yang ingin mengembangkan kariernya sering membatasi usahanya dalam mencari informasi tambahan apabila ia sudah tertarik akan suatu tawaran pekerjaan yang menarik. Jadi skor untuk kriteria nomor 4 adalah sangat rendah, walaupun skor untuk kriteria yang lain agak atau sangat tinggi. Sebaliknya seorang pimpinan yang sangat mengandalkan konsensus di antara kelompok penasihatnya, cenderung mempunyai skor yang tinggi untuk kriteria nomor 5, tetapi sangat rendah dalam 6 kriteria yang lain. Secara teoritis, makin tinggi skor, dari tiap kriteria, makin rendah kemungkinan pembuat keputusan membuat kesalahan perhitungan yang bisa berakibat buruk terhadap usaha pencapaian tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Dari contoh tentang seorang pimpinan yang sangat mengandalkan proses konsensus di atas, dapat kita ramalkan bahwa belakangan hari ia akan mempunyai banyak masalah sebab cara konsep ini cenderung dipilih. Kalau keputusan yang berdasarkan konsensus ini berhasil, dukungan dari mereka yang semula menentang keputusan tersebut bisa diperhitungkan akan tetap mendukung. Tetapi apabila keputusan tersebut mengalami kegagalan, ia akan kaget karena orang yang semula menentang keputusan tersebut akan kembali menentangnya atau menyabotnya. Dalam kehidupan nyata, pembuatan keputusan jauh lebih kompleks karena kita harus juga memperhitungkan situasi masa depan yang tidak pasti
53
dan kadang-kadang terpengaruh oleh keinginan memilih alternatif yang ideal. Karena itu seorang pembuat keputusan harus memperhitungkan, apakah keputusan yang akan dibuat memerlukan proses pembuatan keputusan yang cermat atau tidak. Karena keputusan tersebut menyangkut masalah kecil dan tidak penting, proses pembuatan keputusan tidak perlu sampai sangat cermat karena akan memakan biaya yang lebih mahal dari manfaatnya. Sebaliknya apabila keputusan yang akan dibuat tersebut sangat penting maka proses pembuatan yang cermat yang meliputi ketujuh kriteria yang disebut terdahulu mungkin akan bermanfaat. Jadi dalam pembuatan keputusan kita harus bertindak selektif untuk mencegah penghamburan sumber daya yang terbatas, dan di lain pihak untuk mencegah penghamburan risiko keputusan yang bermutu rendah. Karena itu seorang pimpinan (eksekutif) harus mempertanyakan hal-hal sebagai berikut (Vroom dan Yetton, 1973). 1) Apakah keputusan yang akan dibuat memerlukan penyelesaian yang berkualitas tinggi? 2) Apa informasi tambahan yang diperlukan, siapa yang memilikinya bagaimana cara mengumpulkannya? 3) Apakah saya sanggup memecahkannya sendiri, apakah saya perlu bantuan bawahan atau konsultan? 4) Apakah persetujuan bawahan sangat penting bagi pelaksanaan dan rencana kontingensi? 5) Apakah bawahan juga berkepentingan dalam tujuan yang ingin dicapai dalam pemecahan masalah?
B. Sebab-Sebab Kurangnya Perhatian Terhadap Pembuatan Keputusan Yang Lebih Cermat Kenapa pembuat keputusan tidak membuat keputusan melalui proses yang lebih teliti padahal masalah yang dibahas sangat vital? Dalam literatur ilmu perilaku sering disebut sebab-sebab tidak berfungsinya dengan baik suatu organisasi adalah karena adanya tradisi organisasi, prosedur-prosedur birokratis,
54
dan campur tangan pimpinan tertinggi. Kendala-kendala ini mencegah pembuat keputusan memakai sumber daya yang ada bagi usaha pencarian informasi yang lebih intensif. Di samping itu, ada beberapa alasan yaitu: (1) karena keterbatasan kemampuan mental manusia dalam memersepsi dan memproses informasi yang diperlukan dalam pembuatan keputusan, (2) karena pengaruh dan campur tangan birokrasi (pemerintah atau perusahaan yang besar) sehingga pembuat keputusan berusaha menjaga agar para pejabat atau orang-orang yang berkuasa puas dengan keputusan yang akan dibuat, dan (3) karena keterbatasan waktu dan dana yang bisa dipakai untuk usaha membuat keputusan yang lebih teliti. C. Strategi Generik Dalam Pembuatan Keputusan Strategi dalam pembuatan keputusan meliputi usaha dan cara pemilihan alternatif keputusan termasuk prosedur dan jenis informasi yang dicari. Secara umum ada tiga kelompok strategi pembuatan keputusan. 1.
Strategi Optimisasi Menurut strategi ini tujuan pembuatan keputusan adalah pemilihan alternatif keputusan yang mempunyai manfaat atau payoff tertinggi. Strategi optimisasi memerlukan pembuatan perkiraan perbandingan nilai dari tiap alternatif keputusan yang mungkin. Perkiraan perbandingan nilai ini diperbandingkan dalam perkiraan biaya dan manfaatnya. Tujuh kriteria pembuatan keputusan yang disebut terdahulu mencerminkan proses pembuatan keputusan menurut strategi optimisasi. Strategi optimisasi mempunyai beberapa kelemahan. Herbert Simon (1976), mengatakan bahwa manusia jarang memakai pendekatan yang disarankan oleh strategi optimisasi tersebut. Manusia tidak mempunyai kemampuan mental untuk menghitung semua pengaruh positif dan negative dari tiap alternatif. Pembuat keputusan akan kewalahan oleh banyaknya informasi yang diperlukan untuk bisa memperbandingkan semua alternatif tersebut. Jumlah alternatif keputusan yang mungkin dipilih sangat banyak sekali, melebihi kemampuan pembuat keputusan untuk memperbandingkan mereka pada
55
saat yang bersamaan (Miller dan Starr, 1967; Miller, 1966). Semua usaha pengoptimisasian keputusan ini akan lebih mahal bila dibandingkan dengan manfaat yang mungkin diperoleh. Keterbatasan seperti yang dijelaskan di atas memaksa pembuat keputusan mendapatkan penyelesaian yang kurang memuaskan dalam arti kata di bawah tingkat optimisasi atau suboptimisasi. Misalnya dengan mengoptimisasi satu atau beberapa tujuan dengan mengorbankan tujuan yang lain. Filler dan Starr (1967) menyebut suatu contoh keputusan sub-optimisasi yaitu tentang pimpinan yang telah berhasil mengoptimisasikan satu tujuan tertentu tetapi gagal dalam hal pengoptimisasian tujuan-tujuan yang lain. Contoh yang lebih konkret adalah keputusan,seorang karyawan yang ternyata berhasil dalam arti kemajuan profesionalnya, tetapi harus dibayar dengan mahal
karena
ia
harus
melakukan sangat banyak lembur dan perjalanan keluar kota sehingga ia mempunyai lebih sedikit waktu untuk keluarganya. Hal ini malahan mengakibatkan hasil yang sebaliknya, karena karyawan yang bersangkutan mengalami bahwa optimisasi satu tujuan telah mengakibatkan hasil yang lebih rendah kalau diukur dengan semua tujuan-tujuan pribadinya. Janis dan Mann (1977) dan Johnson (1974) mengatakan bahwa keputusankeputusan yang dibuat oleh perusahaan di mana nilai yang paling penting adalah membuat keuntungan yang setinggi-tingginya, dalam kenyataannya sering para pembuat keputusan tidak berorientasi ke arah pemilihan alternatif (the course of action) yang memaksimisasikan keuntungan dan tujuan nyata lainnya. Tanpa usaha mencari dan menilai secara hati-hati, para pimpinan perusahaan sering membuat keputusan yang menyangkut tujuan-tujuan yang saling bertentangan seperti hubungan baik (good wiil), potensi pertumbuhan (growth potential), persetujuan (acceptability) dalam organisasi dan manfaat-manfaat lain yang tidak bisa dilihat dengan nyata (intangible). Hal yang sama juga terjadi pada individu bila membuat keputusan penting (vital) yang menyangkut karier, perkawinan dan sebagainya, ia tidak hanya mempertimbangkannya tujuan utama yang ingin dicapai. Tetapi, ia harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti efek dari keputusan yang 56
dipilih terhadap sanak keluarga dan teman-temannya. Ia juga harus memperhatikan
apakah keputusan
tersebut
akan menambah atau
mengurangi rasa harga diri dan sebagainya. Miller dan Starr (1967) mengatakan bahwa tidak ada satu cara pun untuk mengombinasikan semua pertimbangan yang ada dalam pembuatan keputusan menjadi satu ukuran yang obyektif, meskipun pembuat keputusan mungkin bisa memberi penilaian subyektif secara jujur bagi tiap pertimbangan tersebut. 2.
Strategi "Kepuasan” Strategi ini berasal dari konsep yang dikembangkan oleh Herbert Simon (1976) yang mengatakan bahwa pembuat keputusan dalam kenyataannya, lebih
menekankan
kepada
"kepuasan"
daripada
berusaha
untuk
memaksimisasikan pencapaian tujuan. Dengan perkataan lain pembuat keputusan berusaha mencari alternatif yang cukup baik dalam arti kata memenuhi persyaratan-persyaratan minimum. Seorang pengusaha sering memutuskan
untuk
menginvestasikan
dalam
usaha
baru,
bila
ia
berpendapat hasilnya (keuntungannya) cukup memuaskan, tanpa berusaha membandingkannya dengan semua alternatif yang ada. Kadang-kadang lebih dari satu kriteria yang digunakan, tetapi itu selalu merupakan pertanyaan apakah alternatif, yang dipilih akan memberi hasil yang cukup memuaskan atau tidak. Sama seperti seorang yang mencari pekerjaan ia cenderung akan mengambil pekerjaan yang pertama yang memenuhi persyaratan-persyaratan minimal yang diinginkannya seperti gaji yang memuaskan, ada kesempatan untuk maju (naik pangkat), kondisi kerja yang pantas, jarak/transportasi ke tempat kerja (Janis dan Mann, 1977). Pendekatan "kepuasan" ini menurut Simon sesuai dengan keterbatasan kemampuan manusia untuk memproses informasi yang diperlukan dalam pembuatan keputusan. Keterbatasan ini disebutnya sebagai bounded or limited rationality. Simon mengatakan bahwa manusia senantiasa mencoba membuat penyelidikan bila menghadapi masalah keputusan yang kompleks. Keterbatasan manusia dalam meramalkan atau memperkirakan akibat suatu
57
keputusan di masa depan serta dalam mendapatkan informasi tentang alternatif yang lain telah mendorong manusia untuk puas dengan alternatif yang memenuhi syarat minimal karena lebih baik daripada cara atau keadaan yang sekarang. Simon percaya bahwa manusia tidak cenderung untuk mengumpulkan
informasi
tentang
semua
faktor-faktor
yang
complicated yang mungkin bisa mempengaruhi hasil dari keputusan yang dipilih untuk memperkirakan probabilitas, atau untuk mempertimbangkan, membandingkan berbagai alternatif yang berbeda. Johnson (1974) mengatakan bahwa para eksekutif sering merasa tidak pasti tentang hasil dari keputusan yang kelihatannya merupakan pilihan yang terbaik, dan mereka menghindari keputusan semacam ini untuk menghindari risiko. Mereka cenderung bersikap konvensional, mereka cenderung memilih alternatif
yang
nomor
dua
terbaik
yang
tidak
banyak
menimbulkan guncangan atau penolakan dari bawahan yang akan melaksanakannya. Cyert and March (1963) menegaskan bahwa makin banyak ketidak-pastian suatu hasil jangka panjang ada kecenderungan untuk membuat keputusan kebijakan atas pendek
mengenai
penerimaan
dasar
pertimbangan jangka
keputusan tersebut oleh anggota
organisasi. Banyak ahli organisasi beranggapan, baik bagi keputusan pribadi maupun keputusan organisasi, orang menggunakan strategi kepuasan (Etzioni, 1968; Miller and Starr, 1976; Young, 1976; Jannis and Mann, 1977). Etzioni membedakan antara strategi optimisasi dan strategi kepuasan, terutama dalam pertimbangan-pertimbangan sosial dan politik. Strategi optimisasi sama sekali bebas dari pengaruh sosial dan politik. Janis dan Mann memberi contoh keputusan yang membuat berdasarkan strategi "kepuasan" yaitu yang dilakukan oleh seorang pembeli di pasar swalayan. Seorang pembeli dalam melakukan pembelian di suatu pasar swalayan memilih barang yang mau dibeli dengan membandingkan dua alternatif (merek A dan merek B) kemudian memilih salah satu di antaranya apabila alternatif yang bersangkutan bisa memberi lebih banyak kepuasan
58
dibandingkan keadaannya yang sekarang. Dengan perkataan lain pembeli tersebut membandingkan alternatif baru dengan alternatif lama yang sudah diketahuinya. Bila yang baru tersebut lebih baik maka ia akan memilihnya. Kecuali apabila keduanya tidak memenuhi persyaratan yang diinginkannya maka ia akan berusaha mencari alternatif lain sampai ia menemukannya alternatif yang memuaskannya. Jadi pemakaian strategi keputusan tidak menutup kemungkinan menyurvei, menganalisis dan mengevaluasi banyak alternatif, tetapi alternatif-alternatif tersebut dianalisis secara berurutan, tidak ada usaha untuk membuat perbandingan "pros" dan "cons" di atas suatu lembaran neraca. 3.
Strategi Quasi-satisficing (Quasi-kepuasan) Bentuk lain dari strategi "kepuasan" ini adalah strategi pengambilan keputusan yang mengandalkan kepada penggunaan satu kriteria (decision rule). Sering yang menggunakan strategi seperti ini adalah orang-orang yang sedang
menghadapi
keputusan
pribadi
yang
penting,
yang
akan
mempengaruhi kesejahteraannya di kemudian hari. Orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan serius cenderung untuk berkonsultasi dengan orang kepercayaannya, walaupun apa saja rekomendasi yang diberikan oleh para ahli (dokter atau pengacara). Ia akan menerima usul orang kepercayaannya tersebut tanpa usaha mencari alternatif lain. Dengan perkataan lain, strategi yang memakai satu kriteria (decision rule) sering merupakan proses meminta pendapat ahli tentang masalah yang ingin dipecahkan dan menuruti apa yang direkomendasikan bila hal itu dianggap cukup baik. Contoh lain dari strategi pembuatan keputusan yang memakai satu kriteria (decision rule) adalah apa yang disebut "pembuatan keputusan moral". Misalnya, kita mengetahui seseorang memerlukan bantuan dan kita menyadari
bahwa
ada
beberapa
cara
menolongnya,
kita
segera
membantunya tanpa memikirkan alternatif yang ada secara cermat. Kita percaya cara yang kita lakukan adalah yang terbaik. Strategi pembuatan keputusan moral ini sama seperti strategi kepuasan, kecuali satu hal, yaitu
59
orang yang menolong tidak mengetahui apakah pilihan yang dibuatnya memuaskan orang yang ditolongnya. Strategi ini disebut juga strategi quasi kepuasan, (quasi- satisficing). Apabila seseorang menggunakan persepsi normatif yang sederhana seperti penggunaan kriteria tunggal dalam pembuatan keputusan, ia biasanya merasa immoral untuk melakukan pertimbangan terhadap alternatif atau option lain yang ada, yang bisa diperbandingkan dengan alternatif yang pertama. Ini merupakan kewajiban moral (moral inperative quality) yang melekat pada norma yang membuat ia menolak melanggarnya. Hal seperti ini sering kita amati dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, di mana terdapat norma yang. menganggap tidak pantas bila kita melakukan analisis dan evaluasi yang teliti terhadap alternatif lain yang tersedia, bila kita mau membantu orang yang sedang memerlukannya. 4.
Perbedaan antara Strategi Optimisasi dengan Strategi Kepuasan dan Strategi Quasi-kepuasan Janis
dan
Mann
(1977)
mengklasifikasikan
variabel-variabel
yang
membedakan strategi kepuasan dan Quasi-kepuasan dengan strategi “optimisasi”: George (1974) mengingatkan bahwa strategi yang menggunakan satu kriteria sederhana sebenarnya menanggung risiko yang besar, sebab hal itu menjurus kepada pembuatan pilihan yang prematur, dalam arti kata tidak tercakupnya konsekuensi negatif yang kalau diteliti sepintas lalu tidak mudah diketahui. Sebagian dari konsekuensi negatif ini bisa dihindarkan bila keputusan ditunda sampai dilakukan evaluasi yang lebih menyeluruh setelah diperoleh informasi dan sumber-sumber yang dapat dipercaya. a. Jumlah persyaratan yang harus dipenuhi Seperti telah dibicarakan di atas, dalam strategi kepuasan dan “quasikepuasan", kriteria untuk menentukan apakah suatu tindakan bisa disetujui atau ditolak hanya menyangkut sejumlah kecil atribut atau persyaratan yang harus dipenuhi. Sering kali atribut atau persyaratan tersebut hanya satu butir. Misalnya, seorang yang mengambil keputusan 60
hanya berdasarkan apakah istri atau suaminya menyetujui, atau dalam suatu kantor, pilihan kebijakan hanya berdasarkan persetujuan mayoritas saja, atau hanya berdasarkan persetujuan atasan saja. Di sini pembuat keputusan mengabaikan banyak nilai-nilai, kepentingan yang disadarinya akan terpengaruh oleh keputusan. Sebaiknya, bila pembuat keputusan menggunakan strategi optimisasi, ia akan memperhitungkan sejumlah besar persyaratan yang harus dipenuhi dengan maksud memilih tindakan (course of action) yang memberi kemungkinan kepuasan yang tertinggi dalam semua persyaratan. Variabel ini mungkin merupakan ciri yang paling nyata dalam membedakan strategi kepuasan dan strategi optimisasi. b. Jumlah alternatif yang dibahas atau diperhitungkan Pembuat keputusan yang memakai strategi kepuasan akan mengetes tiap alternatif yang menarik perhatiannya secara berurutan. Ia akan menghentikan usahanya apabila ia menemui ada alternatif yang sedikit memuaskan. Karena itu pembuat keputusan semacam ini cenderung akan meneliti sedikit alternatif. Sebaliknya apabila memakai strategi optimisasi maka ia tentu akan berusaha untuk mencari dan mengevaluasi sebanyak mungkin alternatif. c. Mengetes kembali alternatif-alternatif Bila yang digunakan adalah strategi kepuasan maka pembuat keputusan hanya mengetes alternatif-alternatif sekali saja yaitu menurut urutan yang sesuai dengan yang terlintas dalam pikirannya sampai ia menemukan yang memenuhi
persyaratan
minimum.
Sebaliknya
bila
pembuat
keputusan tersebut memakai strategi optimisasi, ia akan memilih alternatif yang terbaik dan mengetes kembali alternatif-alternatif tersebut berulang kali
dengan
memperbandingkan
mereka
satu
persatu
secara
berpasangan (in pairs) sehingga memungkinkan membuat keputusan perbandingan. d. Tipe dari testing yang digunakan
61
Dalam mengetes apakah suatu alternatif memenuhi persyaratan tertentu, pembuat keputusan yang menganut strategi kepuasan akan mencoba melihatnya dari segi titik minimal yang bisa diterima. Apabila ada lebih dari satu persyaratan, ia akan menilainya dengan cara yang sama dan memberi bobot yang sama. Sebaliknya, kalau pembuat keputusan memakai strategi optimisasi, ia akan memberi bobot yang mungkin tidak sama di antara berbagai persyaratan yang di minta. Ini memberikan kesempatan kepadanya untuk memperhitungkan kemungkinan trade-off dari nilai yang tinggi bagi beberapa persyaratan yang utama sebagai imbalan untuk nilai yang rendah bagi persyaratan yang kurang penting. D. Strategi-strategi yang Lain dalam Pembuatan Keputusan 1. Strategi Penyortiran Strategi lain, yang merupakan kebalikan dari strategi kepuasan atau quasi-kepuasan adalah strategi yang memakai satu set kriteria (decision rule) dan menggunakannya satu per satu untuk menyortir alternatif yang dievaluasi. Strategi ini disebut the elimination by aspects approach. Menurut
strategi
ini
pembuatan
keputusan
merupakan
proses
penyempitan (towing down process) daripada pilihan. Dinilai dari kriteria yang paling tinggi bobotnya, semua alternatif yang tidak memenuhi kriteria di
sini
dihilangkan
dari
daftar
dan
proses
dilanjutkan
dengan
menggunakan kriteria yang kedua pentingnya, untuk menyortir alternatif yang masih ada dan seterusnya dilanjutkan dengan memakai kriteria yang lain satu persatu sampai diperoleh satu alternatif yang memenuhi persyaratan paling lengkap. Contoh, dalam mempelajari pembelian seluruh mobil baru, aspek pertama yang dipilih mungkin batas harga tertinggi, misalnya Rp35 juta; jadi semua mobil sedan baru harganya di atas Rp35 juta dikeluarkan dari pertimbangan selanjutnya. Aspek kedua mungkin jumlah kilometer yang bisa dicapai untuk tiap liter bensin yang dikonsumsikan, pada tahap ini semua mobil yang tidak memenuhi syarat harus dikeluarkan dari daftar pertimbangan. Aspek ketiga misalnya tentang perlengkapan air conditioner, bagi mobil yang tidak memenuhi persyaratan ini dikeluarkan dari daftar tersebut. Proses ini berlangsung 62
terus sampai tinggal hanya satu mobil yang memenuhi semua persyaratan tadi. Strategi penyortiran alternatif ini mempunyai beberapa kelemahan. Misalnya seorang pembuat keputusan bisa saja kehabisan aspek yang akan dipakai menyortir alternatif-alternatif sebelum bisa dipilih satu alternatif yang terakhir
yang
memenuhi
semua
persyaratan. Atau
sebaliknya bila semua alternatif yang ada sudah dicoret dari daftar, sebelum aspek-aspek lain sempat diteliti. Kelemahan yang paling besar adalah karena strategi ini tidak bisa menjamin bahwa alternatif yang terpilih adalah yang terbaik, misalnya alternatif yang terpilih adalah yang memenuhi persyaratan harga, pemakaian bensin dan perlengkapan AC. Tetapi tidak ada jaminan bahwa alternatif yang terpilih tersebut juga, mempunyai kualitas mesin yang baik. Dengan perkataan lain mobil yang dikeluarkan dari daftar pertimbangan adalah lebih baik kualitas mesinnya daripada mobil yang terpilih atau direkomendasikan. 2. Strategi Quasi-Optimisasi Kelemahan-kelemahan strategi penyortiran alternatif dengan satu set kriteria satu persatu ini bisa dihindari dengan mengubah strategi ini menjadi strategi quasi optimisasi dengan memakai prosedur yang memungkinkan pembuat keputusan memberi bobot yang berbeda untuk masing-masing aspek. Perlu dicatat bahwa strategi penyelesaian alternatif keputusan dengan menyortirnya berdasarkan satu set kriteria yang digunakan satu persatu sampai diperoleh satu alternatif yang terbaik, merupakan strategi quasi kepuasan yang paling baik karena bisa mengurangi kesalahan perhitungan pada strategi yang hanya memakai satu kriteria saja. 3. Strategi Inkremental Pendekatan yang dipakai oleh strategi kepuasan ini disebut juga incrementalism dan muddling through karena strategi ini dapat menghasilkan kemajuan perlahan-lahan ke arah tujuan optimisasi dalam jangka panjang. Miller dan Starr (1967) mengatakan bahwa kebijakan 63
yang berdasarkan strategi kepuasan berarti bahwa strategi tersebut berdasarkan perkiraan akan mampu menggerakkan ke arah cukup perubahan
dibandingkan
kondisi
sebelumnya
sehingga
hasilnya
merupakan kemajuan sedikit demi sedikit (incremental improvement). Menurut mereka dalam jangka panjang pendekatan inkremental akan lebih bermanfaat daripada pendekatan optimisasi yang mengakibatkan perubahan drastis dalam jangka pendek. Charles Lindblom (1965) menyebut pendekatan "incrementalist" ini sebagai pendekatan yang memerlukan "the art of muddling through". Bilamana masalah yang timbul merupakan tuntutan terhadap perubahan kebijakan, para pembuat keputusan dalam pemerintah atau dalam perusahaan yang besar umumnya mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif
yang berbeda sedikit sekali dari kebijakan yang sekarang.
Pembuatan keputusan yang
"incremental" ditujukan hanya
perbaikan daripada alternatif yang sekarang tidak mencari
alternatif
yang
ditujukan
kepada untuk
terbaik (Linblom, 1965) dan Slovic (19T1)
mengatakan bahwa pendekatan "incremental" sangat menarik karena memungkinkan pembuat keputusan untuk menghindari tugas-tugas kognitif yang sulit. Ia mengatakan bahwa dalam pembuatan keputusan di pemerintahan atau di swasta ada kecenderungan untuk menghindari ketidakpastian,
keharusan
pemberian bobot yang berbeda kepada
kriteria serta keharusan mengombinasikan informasi atau membuat trade off dari nilai dan tujuan yang berbeda-beda. Proses pembuatan keputusan yang "incremental" dengan pendekatan yang tidak secara sadar di organisasi (muddling through) merupakan pembuatan keputusan yang khas dalam masyarakat yang pluralisme. Bila pimpinan politik dalam pemerintah atau dalam dewan perwakilan rakyat terpecah dalam kelompok yang berbeda maka pusat kekuasaan sulit untuk memaksa
kehendaknya
maka
kebijaksanaan
yang
diambil
terpaksa merupakan kompromi sehingga hasilnya akan merupakan perubahan yang "incremental". Jadi pendekatan "incremental" ini sangat menekankan pada kriteria konsensus dan menghindarkan cara-cara 64
paksaan dari keputusan yang desentralisasi (Braybrooke dan Linblom, 1963; Janis dan Mann, 1977). 4. Strategi Mixed Scanning Strategi ini disarankan oleh Etzioni (1967) yaitu sebagai sintesis dari strategi optimisasi yang kaku dan strategi kepuasan yang "incremental" dan tidak akurat seperti biasa dilakukan oleh para birokrat dengan menggunakan konsensus sebagai satu-satunya kriteria keputusan. Strategi mixed scanning ini mempunyai 2
komponen utama: (1) ciri
strategi optimisasi dengan kombinasi pendekatan the elimination by aspects dalam pengambilan keputusan kebijakan, (2) mempunyai ciri "incremental" seperti strategi kepuasan yaitu suatu proses pembuatan keputusan yang hanya beruang lingkup kecil dan merupakan revisi yang perlahan-lahan atau persiapan bagi keputusan fundamental yang baru. Menurut Etzioni strategi mixed scanning ini sesuai dengan sistem organisasi dari pemerintahan yang demokratis karena dalam keadaan stabil
(non-kritis)
akan
lebih
mudah
membuat
keputusan
yang
menyangkut perubahan yang "increment" daripada membuat keputusan tentang kebijaksanaan yang baru sama sekali. Sebaliknya dalam keadaan kesulitan yang serius (krisis) keputusan yang menyangkut perubahan besar atau kebijakan baru akan lebih mudah dicapai karena situasi krisis ini merupakan dorongan kuat bagi konsensus untuk perubahan yang besar, melakukan scanning atau pencarian, pengumpulan, pemrosesan, analisis dan pemberian bobot dari informasi bagi pembuatan keputusan yang optimal. Etzioni memperinci langkah-langkah pembuatan keputusan menurut strategi mixed scanning sebagai berikut. a. Pemilihan Alternatif 1) Catat semua kemungkinan alternatif yang terlintas dalam pikiran, yang disarankan oleh staf atau oleh penasihat termasuk yang kelihatannya tidak layak (not feasible).
65
2) Teliti alternatif-alternatif tersebut secara singkat, tolak alternatif yang jelas tidak bisa dilaksanakan. (tidak bisa memenuhi persyaratan tertentu yang mutlak diperlukan).U 3) langi langkah nomor 2 tersebut di atas dengan lebih teliti untuk alternatif yang lolos dalam langkah ke-2. 4) Ulangi langkah nomor 2 tersebut di atas dengan teliti sekali sampai hanya satu alternatif yang tersisa. b. Sebelum Implementasi 1) Kalau mungkin pecah tahap implementasi menjadi beberapa langkah. 2) Kalau mungkin bagi komitmen untuk implementasi dalam beberapa urutan langkah-langkah. 3) Kalau mungkin, bagi komitmen sumber daya lainnya dalam beberapa urutan langkah-langkah dan pelihara cadangan strategis. 4) Atur
implementasi sedemikian rupa
sehingga, kalau bisa,
keputusan-keputusan yang mahal serta tidak gampang diubah ditaruh pada akhir daripada keseluruhan proses. 5) Beri jadwal waktu pengumpulan dan pengolahan tambahan informasi. c. Review Sambil Implementasi 1) "Scan" secara terbatas setelah satu sub-set dari kemajuan "increment" yang dicapai. Kalau ternyata "sub-set" tersebut berhasil lanjutkan ke "sub-set" yang selanjutnya. 2) Lanjutkan ke set "increment" yang lain meskipun kelihatannya tidak ada masalah. 3) Jangan lupa untuk me-review secara keseluruhan meskipun kelihatannya berhasil baik. d. Rumuskan Peraturan tentang Alokasi Waktu dan Sumber Daya di antara Berbagai Tingkat "scanning" Satu-satunya ketentuan untuk keputusan
dasar
adalah
menolak
tiap alternatif yang gagal
memenuhi
syarat
utama.
Pendekatan
quasi-optimisasi
dapat
digunakan bagi pemilihan alternatif-alternatif yang lolos dari tes
66
saringan permulaan. Pada tiap tes saringan yang berikutnya akan bertambah tinggi standar yang dipakai. Pendekatan quasi-optimisasi seperti langkah-langkah mixed scanning tersebut di atas sebenarnya sudah mencakup 4 dari 7 kriteria untuk mencapai vigilant information-processing orientation, yaitu: a. Kriteria nomor 1 menelusuri sebagian besar alternatif keputusan. b. Kriteria nomor 2 memperhitungkan tujuan-tujuan yang mau dicapai dan nilai-nilai yang melekat dengannya. c. Kriteria nomor 4 secara intensif mencari informasi yang lengkap untuk mengevaluasi alternatif keputusan. d. Kriteria nomor membuat persiapan yang terperinci untuk pelaksanaan atau implementasi dari alternatif yang dipilih. Agar semua langkah-langkah quasi-optimisasi dilaksanakan dengan sadar maka pembuat keputusan diminta untuk memenuhi tiga kriteria yang lain: a. Kriteria nomor 3 dengan teliti menimbang biaya dan manfaat dari tiap alternatif. b. Kriteria nomor 5 memanfaatkan informasi baru meskipun informasi tersebut tidak mendukung alternatif yang semula diinginkan. c. Kriteria nomor 6 menguji kembali konsekuensi dari tiap alternative keputusan sebelum membuat keputusan terakhir. Teknik pembuatan keputusan ini meskipun dimaksudkan bagi pembuat kebijakan, tetapi teknik ini bisa dipakai untuk keperluan pembuatan keputusan pribadi dengan sedikit penyesuaian. Misalnya, teknik ini bisa dipakai dalam pembuatan keputusan tentang karier, perkawinan, kesehatan dan keuangan pribadi.
67