Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
REKONSTRUKSI HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAM BAGI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP RISIKO TERTULAR HIV/AIDS DARI SUAMINYA1 Nanik Trihastuti dan Pujiyono Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl Prof Soedarto, SH Tembalang, Semarang email:
[email protected]
Abstract The number of HIV cases in Indonesia shows that there is an increase in incidents that happen among women, particularly housewives. It, then, is followed by an increase in the percentage of HIV cases on children because they are contracted from their biological mothers. The implication of this will cause a lot of suffers for mothers and children who live with HIV/AIDS, and their families due to the emergence of stigma and discrimination. The reconstruction of concept of legal protection towards this risk is urgently needed because the positive law tends to protect the individual rights of husbands as sufferers without taking into account the rights of wives and children. Keywords : Reconstruction of Law, Housewives‟s Human Right, HIV/AIDS Abstrak Kasus HIV di Indonesia menunjukkan peningkatan insiden terhadap ibu rumah tangga yang diikuti dengan meningkatnya persentase kasus HIV pada anak karena tertular dari ibu kandungnya. Hal ini terjadi pada mereka yang memiliki suami yang memiliki kebiasaan berisiko seperti penggunaan narkoba suntik terkontaminasi dan hubungan seks ekstra marital. Kondisi seperti ini mengakibatkan berbagai penderitaan bagi ibu dan anak yang hidup dengan HIV/AIDS , maupun keluarganya karena munculnya stigma dan diskriminasi. Rekonstruksi konsep perlindungan hukum terhadap adanya risiko ini bersifat mendesak karena hukum positif cenderung melindungi hak individu suami sebagai penderita tanpa mengindahkan hak asasi isteri maupun anak. Kata Kunci : Rekonstruksi Hukum, HAM Ibu Rumah Tangga, HIV/AIDS A. Pendahuluan 1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dilaporkan pertamakali pada tahun 1981 di Amerika Serikat, dan hingga saat ini telah menyebar di seluruh dunia termasuk Indonesia, dan telah membunuh sekitar 25 juta orang serta menginfeksi lebih dari 40 juta orang lainnya. Setiap hari sekitar 2000 anak-anak usia 15 tahunn ke bawah terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya, sekitar 1400 anak-anak usia dibawah 15 tahun meninggal akibat AIDS, sementara sekitar 6000 orang dalam usia 1
2
produktif antara 15-24 tahun terinfeksi HIV. Di Asia Tenggara, terdapat 5 negara terbesar penyumbang 99% kasus infeksi HIV, yaitu India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand. Dari kelima negara ini, Indonesia adalah satu-satunya Negara yang masih mengalami peningkatan kasus baru.2 HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4, sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun, sedangkan
Laporan Hasil Penelitian Fundamental Dibiayai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)UniversitasDiponegoroTahunAnggaran 2014, melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Diponegoro Nomor DIPA – 023.04.02.189185/2014 tanggal 05 Desember 2013 Progress Report WHO SEARO, 2011, sebagaimana dikutip dari Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 20142019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, hlm. 3
514
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Virus HIV memang tidak langsung menyebabkan AIDS., sebab untuk menjadi AIDS yang mematikan,.dibutuhkan waktu beberapa tahun. Dengan tidak adanya obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS, menjadikan penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang menakutkan bagi masyarakat, meskipun demikian fakta di lapangan menunjukkan angka penderita penyakit ini tidak menurun/berkurang, akan tetapi justru semakin meningkat. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya peningkatan insiden yang terjadi pada perempuan. Meskipun secara kumulatif persentase kasus AIDS pada perempuan hanya sebesar 28%, akan tetapi dalam 5 tahun terakhir dilaporkan terjadi peningkatan kasus pada perempuan dari 34,4% di tahun 2008 menjadi 42% di tahun 2012, bahkan pada bulan Januari hingga Juni 2013, hampir 32,7% dari 780 kasus AIDS atau sebanyak 255 kasus terjadi pada perempuan. Dari jumlah tersebut, 43% atau 108 kasus diantaranya ditemukan pada ibu rumah tangga, yang diikuti dengan meningkatnya persentase kasus HIV pada anak dari 1,8% pada tahun 2010 menjadi 2,6% di akhir tahun 2012.3 Implikasi dari tertularnya istri ini akan mengakibatkan berbagai penderitaan yang tidak hanya diderita oleh isteri/ibu rumah tangga tersebut, akan tetapi juga karena terdapat fakta bahwa ibu-ibu yang terjangkit virus HIV ini melahirkaan anak-anak yang ternyata juga menderita HIV/AIDS karena tertular dari ibu kandungnya. Di samping itu, keluarga dan anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS rentan terhadap stigma dan diskriminasi, yang dapat dilihat 3
Ibid.,hlm. 9
515
dari berkurangnya akses ke layanan, kehilangan martabat dan meningkatnya kemiskinan. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka muncul permasalahan apakah ibu rumah tangga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap risiko tertular virus HIV dari suami pengidap HIV/AIDS, mengingat ibu rumah tangga sebagaimana manusia pada umumnya juga memiliki hak untuk hidup, dan hidup sehat sebagai wujud Hak Asasi Manusia yang melekat padanya. Berbagai ketentuan Perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya penegakan HAM perempuan seperti , jaminan atas HAM yang secara umum diatur dalam Pasal 28 A-J Undang-Undang Dasar NRI 1945 amandemen kedua, dan UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, maupun yang secara khusus diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1970, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, serta UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dalam kenyataannya belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut karena berbagai hukum positif tersebut cenderung melindungi hak individu suami sebagai penderita HIV/AIDS tanpa mengindahkan hak asasi isteri maupun anak. Konstruksi hukum yang baru sebagai “ius constituendum” yang diharapkan mampu mengatasi persoalan kekosongan hukum tersebut merupakan hal mendesak yang harus segera dibangun, baik dengan cara menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian nondoktrinal, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai perilaku dan aksi, sehingga tergolong penelitian empirik yang bersifat nomologik dengan silogisme induktif. Ranah dari kajian ini adalah untuk menemukan hukum dalam perilaku masyarakat hukum sebagai fenomena simbolik dalam aksi dan interaksi masyarakat.
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
Studi “socio-legal”, yang mengacu kepada pemikiran realisme dalam ilmu hukum, yang meyakini bahwa meskipun hukum adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan secara logika imperatif, namun “ the life of law has not been logic, it is ( sociopsychological) experience”4 ini, juga menggunakan Analisa Gender yang dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidak adanya dan sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender , termasuk pemecahan permasalahannya. Validasi data dilakukan dengan teknik triangulasi baik terhadap metode dilakukan untuk mengecek validitas data yang diperoleh melalui “Confidential indepth interview”, maupun terhadap sumber dengan cara mencari dan membandingkan perbedaan dan persamaan pada saat sumber menyampaikan data dan kesesuaiannya dengan dokumen yang menjadi data penelitian 3. Kerangka Teori Dalam Mukadimah dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, terdapat pengakuan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja oleh individu dari suatu Negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM itu sendiri, akan tetapi harus pula dijamin oleh Negara tanpa ada perkecualiannya. Oleh karena keberlakuan hak-hak asasi adalah universal dan absolut, maka setiap penyangkalan terhadap mereka dalam kerangka struktur-struktur sosial modern itu dianggap dengan sendirinya merupakan penghinaan dan penindasan terhadap manusia. 4
5 6
Melalui berbagai ketentuan hukum positif yang btelah diterbitkan, Negara berusaha melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi warganegaranya termasuk terhadap perempuan , baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik. Sesuai dengan tuntutan Hukum Kodrat bahwa agar hukum positif sesuai dengan standarstandar moral prapositif , maka upaya tersebut dipenuhi dengan cara merumuskan standar-standar itu dalam bentuk hak konkret yang dapat dimasukkan ke dalam hukum positif sendiri sebagai jaminan bahwa hukum itu tidak melanggar norma praposistif tersebut.5 Jadi hak-hak asasi manusia merupakan usaha untuk menterjemahkan keyakinan-keyakinan tentang martabat manusia ke dalam bahasa hukum yang konkret dengan tujuan agar hak-hak itu seperlunya dapat dipaksakan pelaksanaannya di depan pengadilan. Semua upaya yang dilakukan oleh Pemerintah harus dilandasi dengan semangat bahwa keberadaan Negara hukum harus mampu membahagiakan rakyatnya sesuai dengan tujuan Negara dengan dilandaskan pada semangat empati, dedikasi, determinasi dan komitmen yang tinggi.6 B. Hasil dan Pembahasan 1. Urgensi Dilakukannya Rekonstruksi Konsep Perlindungan dan Penegakan HAM untuk Mencegah Risiko Tertular HIV/AIDS dari Suami kepada Istrinya Penularan HIV/AIDS di Indonesia akhir-akhir ini mulai bergeser dari kelompok rentan ke kelompok risiko rendah, seperti ibu rumah tangga dan bayi. Terdapat kecenderungan jumlah ODHA pada anak akan meningkat, demikian juga dengan proyeksi ODHA pada anak yang tertular HIV melalui ibu akan mengalami peningkatan. Kondisi ini sangat mengkawatirkan mengingat rentetan dampak sebagai akibat tertularnya ibu rumah tangga oleh HIV yang ditularkan oleh suaminya. Selama tidak ada obat untuk menyembuhkannya , serta tidak ada vaksin
Soetandyo Wignjosoebroto, sebagaimana dikutip dari Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.), 2011, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Jakarta,Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm.176 Franz -Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 134 Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta Press
516
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
untuk mengebalkan tubuh terhadap penyakit tersebut, maka hanya ada satu jalan yang dapat diperbuat yaitu melakukan tindakan-tindakan preventif. Pemberian jenis obat anti – retroviral pada penderita HIV/AIDS hanya bertujuan untuk menekan perkembangan dari virus HIV yang ada di dalam tubuh, sehingga orang yang mengalami infeksi HIV/ AIDS akan dapat terbebas dari gejala AIDSnya. Hal ini tidak berarti akan menjadikan penderita menjadi sembuh, melainkan hanya mengurangi gejalanya saja, sedangkan penderita HIV/AIDS ini masih dapat menularkan penyakit HIV/AIDS kepada orang lain. Pada banyak kasus, ditemukan isteri yang hanya diam di rumah dan pada saat gadis tidak melakukan perilaku berisiko, ternyata terkena HIV. Mereka ternyata tertular dari suaminya yang melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan. Transmisi /penularan virus HIV dari suami kepada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seks. Kaum perempuan lebih rentan tertular HIV dibandingkan laki-laki, baik ditinjau dari aspek biologis maupun sosial. Dari aspek biologis, bentuk organ reproduksi perempuan memungkinkan lebih banyak menanggung cairan sperma yang kemungkinan mengandung virus HIV, sedangkan dari aspek sosial, perempuan harus menjalankan tugas rangkap, tidak hanya di ranah domestik dengan berbagai kegiatannya mengurus rumah tangga, dan tidak sedikit yang harus bekerja di sektor publik. Di sisi yang lain, dengan posisinya laki-laki jauh lebih dapat menentukan nasib dirinya untuk tertular atau tidak, serta mencari cara supaya tidak menularkan dibandingkan kaum perempuan. Virus HIV dapat menyebar dari laki-laki ke wanita atau dari wanita ke laki-laki. Seseorang dapat mendapatkan HIV dari partner seksnya yang tampak sehat, akan tetapi sebenarnya mengidap HIV. Sebuah upaya yang pasti untuk menghindarkan diri dari HIV adalah tidak melakukan hubungan seks, akan tetapi bagi sementara orang hal ini dianggap sesuatu yang tidak mungkin dilakukan karena pada dasarnya manusia dewasa membutuhkn seks.
517
Untuk mengurangi risiko, seseorang memilih untuk berhubungan seks dengan satu orang pasangan tetap, sementara orang lain yang memiliki kebiasaan memiliki pasangan seks lebih dari seorang mengurangi risiko tertular dengan cara menggunakan alat pelindung berupa kondom. Bagi sementara orang, penggunaan kondom dapat mengurangi kenyamanan dan mengurangi kenikmatan selama berhubungan. Rantai penularan HIV juga dapat terjadi selama proses kehamilan, proses persalinan atau proses menyusui. Ini dikenal dengan “transmisi vertikal” , sebab selain ditularkan dari satu orang dewasa ke yang lain, ini juga dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke bayi. Sekitar 30% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan tertular. Dalam kaitannya dengan status infeksi HIV terdapat beberapa hal yang perlu diwaspadai: a. Seseorang tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi HIV b. Seseorang tahu bahwa dirinya terinfeksi namun tidak memahami cara penularannya c. Seseorang tahu bahwa dirinya terinfeksi HIV dan dia tahu cara penularan akan tetapi tidak peduli, sehingga dia tidak melakukan upaya pencegahan agar penyakitnya tidak menular kepada orang lain. HIV dalam kenyataannya bukan hanya merupakan masalah kesehatan , akan tetapi juga menjadi masalah masyarakat, mengingat efeknya yang luar biasa dari HIV ini dalam masyarakat. Secara sosial, ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) seringkali mendapatkan stigma sehingga diperlakukan secara diskriminatif. Stigma dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja, baik di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, maupun tempat layanan hukum dan kesehatan. Stigma juga dapat dilakukan oleh seseorang dalam kapasitas pribadi maupun professional, maupun oleh lembaga melalui berbagai kebijakannya. Stigma ini muncul oleh karena berbagai sebab. Bagi kalangan terdidik, mereka tahu bahwa AIDS disebabkan karena virus , akan tetapi bagi sebagian masyarakat, HIV.AIDS adalah penyakit yang menyerang kelompok sosial tertentu dengan perilaku seksual berisiko tinggi. Berdasarkan pemahaman ini,
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
maka isu HIV/AIDS adalah isu yang kurang pantas untuk dibicarakan dalam masyarakat yang beragama dan bermoral, karena transmisinya biasanya dikaitkan dengan hal-hal yang melanggar norma agama maupun moral. Dalam konteks ini HIV/AIDS dipahami sebagai “kutukan Tuhan” sebagai akibat dosa seksual maupun perbuatan lainnya. Adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita maupun keluarganya justru menyebabkan penderita menutup diri dan tidak ingin status penyakitnya diketahui orang lain termasuk oleh keluarganya, bahkan oleh pasangannya sendiri. Sebagai pasangan seks, seorang isteri perlu mengetahui mengenai kondisi kesehatan pasangan untuk menjamin kondisi kesehatannya sendiri. Dalam konteks infeksi HIV, sebenarnya seseorang perlu memastikan bahwa dia tidak akan tertular HIV dari pasangan seksnya. Dalam struktur kehidupan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan agama maupun budaya khususnya patriarkhi, sangat sulit bagi seorang isteri untuk menanyakan secara langsung kepada suaminya mengenai status kesehatannya khususnya apakah dia terinfeksi HIV atau tidak, atau menanyakan kebiasaan suaminya yang berisiko tertular HIV. Dalam konteks suami tahu bahwa dirinya terinfeksi HIV dan dia tahu cara penularan akan tetapi tidak peduli, sehingga dia tidak melakukan upaya pencegahan agar penyakitnya tidak menular kepada istrinya , dan istripun tahu bahwa suaminya mengidap HIV/AIDS, isteri seharusnya memiliki hak untuk menolak berhubungan seks tanpa menggunakan proteksi demi kesehatan dirinya dan keturunannya. Dalam hal-hal seperti inilah terjadi gender inequalities (ketidakadilan gender) sebagai akibat dari adanya “gender differences” yang berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Kondisi “gender differences” inilah yang 8 7
harus segera diselesaikan melalui berbagai aturan hukum positif alam rangka mencegah terus terjadinya “gender inequalities”. 2. Konsep Hukum Ideal (Ius Constituendum) untuk Memberikan Akses Keadilan dan Perlindungan hukum bagi Ibu Rumah Tngga terhadap risiko tertular HIV/AIDS dari suaminya a. Penegakan Hak Konstitusional Perempuan Hak konstitusional warga Negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga Negara dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Hak konstitusional ini dimiliki oleh setiap individu warga Negara tanpa pembedaan , baik dari suku, agama, keyakinan politik, maupun jenis kelamin. Hal ini ditegaskan dalam UUD NRI 1945 bahwa “ Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terhadap setiap tindakan atau ketentuan yang mendiskriminasikan warga tertentu , hal tersebut adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga Negara, sehingga dengan sendirinya bertentangan dngan UUD NRI 1945. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga Negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga Negara yang beragam, sesuai dengan kenyataan bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat perbedaan kemampuan ( yang disebabkan karena struktur sosial yang berkembang cenderung memarginalisasikannya) untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh Negara.7
Loc.Cit. Jimly Asshiddiqie, Makalah, Lokakarya Nasional Komnas Perempuan “Merawat dan Memenuhi Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara”, 19 Mei 2010, Jakarta, Komnas Perempuan
518
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
Salah satu kelompok warga Negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan yang khusus adalah perempuan yang karena “perbedaan dan pembedaan” yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis tidak dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya. Hal ini mutlak dilakukan mengingat tanpa adanya perlakuan khusus , justru akan mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan.8 Berdasarkan teori sistem Hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, upaya penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin oleh UUDNRI 1945 harus dilakukan secara komprehensif, baik melalui aspek aturan, struktur maupun dari sisi budaya. Hal ini disebabkan meskipun terdapat peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan, namun tidaklah cukup karena peraturan perundang-undangan ini harus diikuti dengan penegakan hukum yang sensitif gender dan perubahan budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Dalam perspektif penganut teori hukum feminis, hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh positivisme hukum dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan, karena positivisme yang dilakukan dengan kecenderungan legisme telah melegalisir peraturan perundang-undangan yang bias gender kedalam penerapannya yang kemudian merugikan perempuan. 9 Hal ini disebabkan oleh ideologi maskulin yang mendasari positivisme hukum yang berakibat hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin, sehingga ia tidak berbicara atas nama perempuan atau kelompok terpinggirkan lainnya. Secara tradisional, teori
hukum adalah patriarkhi karena ia seringkali berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum. 10 Sebagai akibatnya hukum yang dihasilkan bias gender. tidak hanya terjadi pada teori hukum, akan tetapi juga pada peraturan perundangundangan. Dengan menggunakan positivisme hukum sebagai landasan pengundangan dan pelaksanaan suatu peraturan, maka Negara akan “terpaksa” menafikan adanya kebutuhan keadilan secara khusus yang dibutuhkan oleh kelompok tertentu, berdasarkan pemahaman bahwa dalam hukum kumpulan masyarakat merupakan kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama, sehingga hukum harus dapat berlaku obyektif dan netral kepada setiap individu dalam masyarakat.11 Aspek budaya (patriarkhi) juga memberikan pengaruh yang besar pada peraturan dan penegakannya. Dengan bertemunya ideologi patriarki yang ada dalam masyarakat dengan positivisme hukum dalam perumusan peran serta tanggung jawab suami dan isteri dalam suatu peraturan sebagaimana tergambar dalam Pasal 31 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan dengan menyatakan bahwa “suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga”, telah mengakibatkan kerugian bagi perempuan. b. Kriminalisasi Sebagai Upaya Perlindungan Dan Penegakan Ham Ibu Rumah Tangga Terhadap Risiko Tertular HIV/AIDS oleh Suaminya Untuk mendapatkan sebuah konsep hukum ideal dalam rangka memberikan perlindungan dan penegakan HAM sesuai kajian ini, maka peneliti menggunakan model penafsiran Progresif, yang digagas oleh Satjipto Rahardjo yang tidak berhenti hanya pada pembacaan teks harafiah saja. Penafsiaran ini tidak selalu bertumpu pada
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Bandung, Refika Aditama, hlm. 85 Ibid., hlm 81-82 11 Ibid., hlm. 6 12 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Penerbit UKI Press, hlm. 171 9
10
519
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
logika , melainkan juga meninggalkan rutinitas logika , karena penafsiran dilakukan dengan melompat tidak ada hubungan logis antara konsep yang lama dengan yang baru.12 Dengan mengacu pada teori dari William J. Chambliss dan Robert B. Seidman , maka bekerjanya dan prospek hukum ditentukan oleh lembaga pembuat hukum (Rule sanctioning Institutions), pemegang peran hukum ( Rule Occupant) yang dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat dan individu atau kekuatan-kekuatan lingkungan, dan pemegang peran hukum melakukan umpan balik (feedback) pada lembaga pembuat hukum yang menghasilkan norma dan lembaga penerap sanksi hukum dalam pelaksanaan sanksi atau hukuman.13 Sesuai dengan tujuan hukum sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, hukum harus senantiasa dapat dipergunakan untuk tujuan umum, yaitu adanya keadilan bagi semua pihak, bukan hanya untuk melindungi tersangka dari adanya ketidakadilan karena penafsiran analogi, namun juga melindungi adanya ketidakadilan bagi korban yang terlanggar haknya oleh suatu perbuatan yang pada waktu dirumuskan belum terpikirkan pemaknaannya oleh si pembuat undang-undang. Penafsiran yang dilakukan demi keadilan kaum minoritas, termasuk kaum perempuan harus merupakan penafsiran yang “tidak biasa” dalam arti lepas dari konsep atau pengertian yang lama , serta memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang konvensional, yang tidak dapat lagi digunakan untuk melayani kehidupan masa kini. Model penalaran progresif ini tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan keadilan belaka dan mengabaikan aspek kepastian, akan tetapi keadilan harus dicapai dengan tetap mempertimbangkan dibutuhkannya kepastian dalam penerapan suatu peraturan 13 14
atau hukum. Dalam konsep penafsiran progresif, hukum untuk manusia harus seimbang dengan paradigma manusia untuk hukum, dalam arti diperlukan adanya keseimbangan antara “statika” dengan “dinamika” , antara “peraturan” dan jalan yang terbuka”.14 Dalam kajian ini, penerapan konsep penafsiran progresif, didasarkan pada suatu pemikiran bahwa Suami yang telah menularkan HIV/AIDS baik secara sengaja maupun tidak sengaja pada hakikatnya didasari oleh argumentasi bahwa telah terjadi “ gender related violence” , yang dimaknai sebagai kekerasan gender yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat , yaitu bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk perkosaan dalam perkawinan. Dalam hal ini perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Oleh karena „gender related violence “ ini terjadi dalam rumah tangga, yaitu dalam konteks hubungan antara suami dan isteri, maka digunakan konstruksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. “Gender related violence” dalam kasus penularan HIV/AIDS oleh suami kepada istrinya ini menunjuk pada ketentuan Pasal 5 huruf a,b dan c, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
William J. Chambliss dan Seidman, Robert B. Law, 1971, Order and Power, Addison-Wesley Publishing Company, p. 12 Loc.Cit.
520
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
tangganya, dengan cara kekerasan fisik kekerasan psikis dan kekerasan seksual sekaligus. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Kekerasan fisik se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Untuk kekerasan psikis sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 huruf b, diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseoran, sedangkan yang dimaksud dengan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 huruf c , diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 , meliputi a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; dan b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa hubungan seks yang tidak diasarkan pada adanya kesukarelaan khususnya pada diri seorang perempuan, akan menimbulkan risiko untuk terjadinya perlukaan permukaan liang sanggama, daripada hubungan seks yang didasari kesukarelaan. Sebagaimana diketahui, hubungan seks (sexual-intercourse) terdiri dari tahapantahapan proses yang melibatkan fungsi mental dan psikologis yang memungkinkan aktivitas seksual tersebut berjalan sesuai tahapan fisiologis. Secara fisiologis, tahap awal untuk proses terjadinya “sexual-intercourse” pada umumnya dimulai dengan adanya “desire” (hasrat) yang dapat dimulai dari pikiran atau mental. Proses tersebut apabila berlanjut akan menyebabkan terangsangnya organ-organ
521
seks yang menuntut adanya pemuasan (sexual grativication). Pada diri seorang perempuan, peristiwa terangsangnya organ seks akan disertai dengan respon berupa produksi kelenjar-kelenjar aksesoris (accessoris gland) yang terdapat dalam liang sanggama. Produksi kelenjar ini berupa cairan pelicin (lubricant) yang akan berfungsi untuk melindungi permukaan liang sanggama dari gesekan penis pada waktu hubungan seks berlangsung. Dalam peristiwa pemaksaan, alur fisiologis ini kemungkinan gagal terjadi, sehingga kelenjar-kelenjar aksesoris tidak mensekresi cairan pelicin yang mengakibatkan “vaginal intercourse” berisiko untuk menyebabkan iritasi dan memungkinkan penetrasi virus apabila partner adalah OTDHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Berdasarkan Pasal 5 huruf a,b dan c, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut, maka pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 a,b dan c Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 48 Undang-Undang ini. Dalam konteks perbuatan pemaksaan atau kekerasan yang dilakukan oleh seseorang yang terikat dalam perkawinan yang sah sebagaimana yang dilakukan oleh suami pengidap HIV/AIDS (OTDHA) terhadap istrinya seharusnya juga dapat dilakukan kriminalisasi. Keputusan untuk melakukan kriminalisasi terhadap suami pengidap HIV/ AIDS yang menularkannya kepada isterinya ini diperoleh melalui proses analisis gender sebagai upaya untuk mengatasi ketidakadilan gender yang berkaitan dengan upaya perlindungan istri atau ibu rumah tangga dari risiko penularan HIV/AIDS oleh suaminya, khususnya dalam rangka memberikan makna, konsepsi, asumsi , ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum perempuan dan
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
laki-laki , serta implikasinya terhadap aspekaspek kehidupan lainnya yang lebih luas. Analisis gender dilakukan melalui transformasi sosial yang merupakan proses dekonstruksi peran gender dalam seluruh aspek kehidupan yang merefleksiksikan perbedaan-perbedaan gender yang telah melahirkan ketidakadilan gender. Dalam perspektif Islam, Al- Qur‟an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafas (living entity). Konsep korelasi terpenting tentang hubungan lelaki-perempuan dan pernikahan itu adalah usaha membangun budi pekerti yang luhur (al-akhlaq al-karimah). Oleh karena itu, asas pergaulan lelaki-perempuan itu sendiri haruslah suci, jujur dan terbuka (berdimensi sosial) dan tidak boleh sematamata sebagai alat dan wahana pemuasan nafsu rendah, sehingga harus tertutup, gelap dan dirahasiakan.15 Sesuai dengan konsep ini, suami dan isteri memerlukan sikap saling membantu , saling mendukung, saling melindungi dan saling mencocoki sebagaimana pakaian mencocoki tubuh, dan tujuan kita berpakaian adalah sekaligus untuk perhiasan dan perlindungan badan.16 Hubungan yang serba “saling” tersebut hanya dapat diwujudkan dalam wujud relasi yang setara dan seimbang bukan dalam relasi yang timpang dimana satu pihak mendominasi yang lainnya. Oleh sebab itu, harus ada upaya untuk menghilangkan dominasi, baik dominasi suami maupun dominasi isteri dalam kehidupan perkawinan, karena setiap bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan pengingkaran hak asasi manusia.17 Dalam pembahasan mengenai relasi seksual, berdasarkan pandangan fiqh Mazhab 15 16 17 18 19
Hanafiyah maupun Malikiyah, relasi seksual hendaknya lebih transparan, dimana hubungan seksual harus dilakukan secara sehat dan harus ada kesediaan kedua pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara tulus, bukan paksaan. Realitas yang dijumpai di dalam masyarakat sangatlah berbeda dan jauh dari pandangan dan pemahaman ulama tersebut. Pandangan keagamaan yang mayoritas dianut, sangat bias nilai-nilai patriarkhi, yaitu bahwa kenikmatan seksual hanya menjadi milik laki-laki, dalam arti hanya para suami saya yang memiliki hak monopoli sekksual atas istrinya, sedangkan para isteri harus menuruti keinginan suami. Isteri berkewajiban memenuhi permintaan seksual suami, tetapi tidak sebaliknya . Pandangan tersebut ironisnya dinisbahkan pada bunyi hadits Nabi Muhammad, SAW :” Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolak ( abat) dan (karena itu) suami menjadi marah, maka malaikat akan melaknat isteri tersebut sampai pagi‟. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). 18 Apabila Hadits tersebut dipahami secara tesktual, maka akan menimbulkan kesan kuat adanya superioritass laki-laki atas perempuan. Lebih fatal lagi, bahwa pemahaman yang sangat tekstualis itu dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kaum laki-laki untuk memaksa perempuan dalam hal hubungan seksual. Berdasarkan penafsiran progresif, maka kata “abat” (isteri menolak) dalam konteks tersebut harus diketahui alasannya, misalkan atas dasar apa, si isteri melakukan penolakan.Apabila penolakan isteri terhadap ajakan suaminya untuk berhubungan intim tanpa didasari oleh alasan-alasan yang logis, atau tidak beralasan, maka tentu pantas memperoleh hukuman berupa kutukan
Siti Musdah Mulia, 2007, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta, Kibar Press, hlm 67 Ibid., hlm. 79 Ibid., hlm. 75 Ibid., hlm. 94 Lihat Q.S. an-Nisa‟ 4 : 128 sebagaimana dikutip dari Loc.Cit.
522
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
malaikat. Dalam keadaan demikian, ia dipandang sebagai nusyus. Di sisi yang lain, apabila penolakan isteri sungguh-sungguh di dasarkan pada alasan-alasan kemanusiaan, atau karena kondisi suami yang akan akan menyebabkan kesengsaraan isteri , maka dalam hal ini kesalahan ada pada pihak lakilaki (suami) dan iapun harus dipandang “nusyuz‟ dan juga mendapat kutukan para malaikat.19 Mengacu pada pendapat ini, maka dalam hal terjadi pemaksaan untuk berhubungan intim oleh suami kepada isterinya, padahal si suami tahu bahwa ia mengidap HIV/AIDS, maka disimpulkan bahwa kesalahan ada pada suami. Semua bentuk kekerasan dan pemaksaan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perkawinan yang diajarkan Islam, seperti “ mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) , dan wa‟asyruhunna bil ma‟ruf (pergaulan yang santun). Hal ini bahkan tidak sejalan dengan penegasan Al-Qur ‟an tentang tujuan perkawinan, yaitu mewujudkan keluarga sakinah ( damai dan bahagia).20 Dalam perspektif agama Kristen, dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus Pasal 5 ayat 22 sampai dengan 33, dijelaskan bahwa isteri berada di dalam kekuasaan suaminya dalam konteks perlindungan dan pemeliharaan. Perlindungan ini harus dimaknai perlindungan menyangkut kebutuhan mental, psikologis dan fisik. Berdasarkan pengajaran ini, istri harus tunduk kepada suami “seperti kepada Tuhan.” Sikap tunduk ini bukan lagi seperti yang terdapat dalam norma-norma budaya dan dipaksakan pada perempuan yang dianggap lebih rendah. daripada laki-Iaki dalam budaya Yahudi maupun kafir; Sikap tunduk ini dapat dipilihnya dengan bebas, siap untuk pasangannya “seperti untuk Tuhan,” yaitu, sebagai murid Tuhan, seseorang yang mengikuti jejak-Nya sebagai hamba, yang didorong oleh kasih 20 21
yang menyerahkan diri sendiri. Sikap tunduk semacam ini bukan merupakan penegasan dari norma-norma yang tradisional, sebaliknya ini merupakan tantangan yang mendasar untuk norma-norma tersebut. Demikian pula halnya alam agama Hindu, melalui konsep “ Arda Nareswari”, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki adalah satu adanya, maka kedudukan laki-laki dan perempuan sama di dalam hal apapun, baik di ranah domestik maupun publik. 21 Melayani suami dalam agama Hindu adalah Darma perempuan, sehingga ia harus melayani suaminya dalam kondisi apapun. Penolakan hanya dibenarkan sepanjang untuk menghormati hari-hari suci atau perempuan sedang menstruasi. Meskipun demikian, hukum adat (pararem) yang merupakan pelaksanaan awig-awig atau putusan kepala adat, mengijinkan seorang perempuan untuk menolak suaminya dalam hal si suami mengidap penyakit yang berpotensi menulari istrinya. Ini semua didasarkan pada alasan kemanusiaan. Dengan mendasarkan pada ajaranajaran tersebut di atas, ketidakadilan gender dalam kajian ini seharusnya dapat diatasi melalui penafsiran baru sebagai suatu proses pembebasan dari konsep tradisional yang tidak lagi sesuai dengan kondisi dan perkambangan jaman. Dengan kriminalisasi, maka terhadap peristiwa “gender related violence”tersebut di atas akan diatasi dengan menggunakan hukum pidana. Hukum pidana dikenal sebagai pedang bermata dua, di satu pihak ia bertujuan melindungi setiap individu dari segala jenis kejahatan yang melukai kepentingan hukumnya, baik yang berkaitan dengan tubuh, nyawa maupun harta benda. Di sisi yang lain, hukum pidana dalam melakukan perlindungan atas individu tersebut , ternyata juga harus memberikan individu (dalam hal ini individu yang disangka atau diduga dan diputuskan
QS.ar-Ruum, 21 Loc.Cit. Wawancara dengan Dr. Anak Agung Sudiyana, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia ( PHDI) Denpasar
523
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
bersalah melakukan pelanggaran atau kejahatan) perlukaan baik atas tubuh (dalam hal ini kemerdekaan), atas nyawa ( berupa pemberian sanksi hukuman mati), dan harta benda ( berupa pemberian hukuman denda). Hal ini membuat hukum pidana sebagai hukum yang memiliki kaitan erat dengan hak asasi manusia , karena hukum pidana dalam penegakannya akan mengambil hak-hak paling mendasar dari individu yang diputuskan bersalah melakukan pelanggaran atas aturanaturannya. Penegakan hukum pidana diharapkan dapat menjaga seseorang dengan melindungi kebebasannya , integritas tubuhnya , nyawa dan harta bendanya dari pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Di sisi yang lain, tanpa dapat dihindari , pada waktu melakukan perlindungan atas HAM tersebut, hukum pidana juga melanggar HAM orang lain dengan cara yang sama dengan menerapkan sanksi yang mengambil atau merampas hak-hak dasar tersebut. Oleh sebab itu, penegakan dan perumusan hukum pidana harus dilakukan melalui pertimbangan dan dasar yang kuat. Dalam hal ini, asas legalitas menjadi dasar bagi pengenaan sanksi hukuman yang melanggar HAM tersebut. Hukum pidana dengan sanksinya yang keras berkaitan erat dengan pengenaan penderitaaan, perampasan hak asasi manusia, sehingga menimbulkan dampak negatif yang luar biasa berkaitan dengan masalah stigma sosial (cap jahat), degradasi moral, prisonisasi dan lain-lain. Oleh karena itu penentuan tindak pidana dan penerapan sanksi pidana harus ada jaminan (garansi) bahwa pidana memang diperlukan. Hukum pidana hadir sebagai sarana atau obat terakhir (ultimum remedium) dan diberlakukan dengan memperhatikan asas subsidiaritas. Sebagai salah satu sarana pengatur tertib hidup masyarakat, hukum
524
pidana bukan sarana utama (premum remidium) “ia” hadir digunakan ketika sarana hukum lain tidak memadai. Praktik perundangundangan menunjukkan hal yang sebaliknya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras digunakan hampir di semua produk legislasi, baik undang-undang murni hukum pidana maupun hukum administrasi. Penjelasan di atas memberikan peringatan kepada kita semua, apabila akan melakukan kriminalisasi dalam arti menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana harus dikaji secara mendalam, terlebih terhadap perbuatan yang ada hubungan khusus antara pelaku tindak pidana dengan korbannya seperti adanya hubungan suami istri. Dalam kriminalisasi seperti ini banyak pertimbangan harus dilakukan, tidak hanya semata-mata melihat bahwa telah ada/ terjadi perbuatan yang merugikan pihak lain, akan tetapi persoalan hubungan sosial anakistri dengan suami harus juga mendapat porsi yang utama dalam menentukan kebijakan kriminalisasi, penentuan sanksi pidana maupun pemidanaannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa dalam konteks sosial, suami adalah kepala rumah tangga, penanggungjawab nafkah dan pelindung keluarga, terlebih apabila terjadi ketergantungan ekonomi bagi keluarga (anak dan istri) kepada suami. Sistem nilai sosial dan agamapun harus menjadi perhatian dalam pelibatan hukum pidana dalam penentuan kriminalisasi, jenis sanksi dan persoalan pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu harus ada ruang kebijakan yang bersifat selektif dan limitatif. Keterlibatan Hukum pidana dalam upaya melakukan kriminalisasi terhadap kasus suami yang mengidap penyakit HIV/ AIDS dan dengan sengaja tidak memberitahukan kalau dia mengidap HIV saat bersetubuh, hendaknya tidak hanya ditujukan
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak perempuan (istri) untuk menolak persetubuhan karena suami menderita penyakit (HIV/AIDS), akan tetapi juga harus memberikan perlindungan hak lain terhadap wanita tersebut, bahwa sebagai istri wanita berhak atas nafkah, perlindungan dan kasih sayang. Hal ini dilakukan agar jangan sampai terjadi bahwa upaya untuk memberikan perlindungan hak yang satu akan menutup atau mengabaikan hak lain sehingga justru merugikan perempuan tersebut (isteri). Oleh sebab itu harus ada keseimbangan dan dipertimbangkan secara komprehensif. Suami pengidap HIV/AIDSpun harus diperhatikan, apakah akibat perilaku seksual menyimpang (berzina/”suka jajan”) atau tertular biasa. Hal ini sangat penting berkaitan dengan unsur sikap batin (mens rea/ sikap batin yang jahat) dari pelaku tindak pidana. Kebijakan pelibatan hukum pidana harus dilakukan secara selektif dan limitatif, baik dalam kriminalisasi, penetapan sanksi, maupun dalam penjatuhan sanksi pidana. Apabila merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, maka upaya kriminalisasi dalam kajian ini juga didasarkan pada tujuan tersebut. Dalam kriminalisasi, harus dilakukan terhadap sebab suami yang benar-benar tahu bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS dan penyakit tersebut akibat perilaku seksual menyimpang /salah (zinah/”suka jajan”) dan dengan sengaja tidak memberitahukan kepada istrinya bahwa dia mengidap penyakit tersebut pada saat melakukan hubungan suami istri. Jadi bukan karena ketidak
525
tahuannya bahwa suami mengidap penyakit HIV. Untuk suami yang tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi dan berpotensi menulari istrinya, tidak dikriminalisasi dengan pertimbangan bahwa sosialisasi mengenai infeksi HIV baik dalam aspek cara penularan dan perilaku berisiko belum merata. Hal ini akan mengakibatkan pemahaman masyarakat secara umum belum cukup untuk membuat masyarakat ber-perilaku protektif. Dari segi formulasi delik (tindak pidana), dapat dirumuskan beberapa alternatif perumusan delik, yaitu sebagai delik materiil, delik formil dan delik aduan. Formulasi dalam delik materiil terjadi jika Suami pada saat melakukan hubungan kelamin dengan istrinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS dan akibat tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut terjadi penularan penyakit, sehingga si Istri mengidap penyakit HIV/AIDS. Sesuai dengan sifat dari delik materiil, untuk dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana apabila telah timbul akibat, dalam hal ini perbuatan Suami yang dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap penyakit HIV/AIDS mengakibatkan si Istri terjangkit penyakit tersebut. Sebagai suatu kebijakan perumusan tindak pidana, bisa juga dirumuskan sebagai delik formil tergantung titik berat perumusan perbuatan yang bagaimana yang dirumuskan sebagai tindak pidana. Formulasi dalam delik formil terjadi jika Suami pada saat melakukan hubungan kelamin dengan istrinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS . Sesuai dengan sifat delik formil, Suami yang dengan sengaja tidak memberitahukan kalau dia mengidap HIV/ AIDS kepada istrinya pada saat bersetubuh, sudah dapat dikatakan melakukan tindak pidana meskipun belum/tidak timbul akibat penularan penyakit HIV kepada istrinya. Dalam delik formil yang dipentingkan adalah telah dilakukan perbuatan yang dilarang dalam
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
rumusan delik, dalam hal ini adalah “Suami yang mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS, pada saat bersetubuh dengan istrinya dengan sengaja telah tidak memberitahukan kepada Istri bahwa dirinya mengindap HIV/AIDS” , jadi tidak perlu harus timbul akibat dan seandainya timbul akibat sifatnya hanya kebetulan. Kriminalisasi lain dalam delik formil juga dapat dirumuskan sebagai berikut, yaitu Suami yang pada saat bersetubuh dengan istrinya mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS dan memberitahukan bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut akan tetapi melakukan pemaksaan terhadap istrinya untuk bersetubuh. Dalam hal ini rumusan deliknya juga merupakan delik formil, yang berbeda dalam rumusan ini adalah bahwa suami mengetahui bahwa dia mengidap penyakit HIV dan juga telah memberitahukan kepada istrinya, akan tetapi melakukan pemaksaan kepada istrinya untuk melakukan persetubuhan. Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah melakukan pemaksaan persetubuhan, meskipun sudah memberitahukan kepada Istrinya bahwa dirinya mengidap penyakit HIV. Mengingat adanya hubungan khusus antara pelaku tindak pidana dan korban sebagai suami istri, demi keutuhan keluarga, perlindungan terhadap Istri anggota keluarga sangat bijak apabila dari segi penuntutan delik, tindak pidana ini dirumuskan sebagai delik formil, sehingga ada ruang bagi Istri untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi kepentingan dirinya dan anggota keluarganya untuk menentukan berlangsungnya proses pidana, karena sewaktu-waktu laporannya dapat dicabut (sebelum proses pemeriksaan pengadilan dimulai). Dengan dicabutnya laporan tersebut otomatis proses hukum berhenti. Peluangseperti ini perlu diberikan mengingat adanya hubungan khusus (suami istri), keputusan proses ditentukan oleh si Istri sendiri . Berkaitan dengan hal ini, beberapa alternatif formulasi tindak pidananya adalah: 526
Formulasi Delik Delik Materii l
Delik Formil
Delik Aduan
Penjabaran Suami yang pada saat bersetubuh dengan istrinya mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit HIV, dengan sengaja tidak mem berit ahukan kepada istrinya dan mengakibatkan istrinya terjangkit penyakit HIV Suami yang pada saat bersetubuh dengan istrinya mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit HIV, dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa dirinya mengidap penyakit HIV Suami yang pada saat bersetubuh dengan istrinya mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit HIV dan memberitahukan bahwa dirinya mengidap penyakit HIV mem aksa istrinya untuk bersetubuh Penuntutan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari si istri
Alternatif formulasi tindak pidana sebagaimana diuraikan tersebut di atas menunjukkan bahwa sikap mempidana tidak harus mengorbankan kompleksitas hubungan keluarga antara suami (pelaku tindak pidana) dan istri (anak) selaku korban, dengan dikenakannya pidana terhadap suami jangan membuat istri (anak) menjadi korban yang kedua kalinya. Oleh karena itu sikap atau kebijakan mempidana (punitive attitute) harus dibarengi dengan kebijakan untuk mengobati (therapeutic attitude), sehingga perlu ada kebijakan negara yang diintegrasikan dalam kebijakan hukum pidana berupa adanya perintah pengadilan (Hakim) agar terpidana/ terdakwa serta korban diobati dengan biaya Negara. Dalam hukum positif, seperti halnya yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP apabila pelaku tindak pidana terbukti mengidap penyakit jiwa (gila), Hakim berdasarkan kekuasaan yang dimiliki dapat memerintahkan agar terdakwa diberikan perawatan di Rumah Sakit Jiwa sebagai masa percobaan dengan biaya Negara. Kebijakan ini perlu dilakukan untuk kriminalisasi tindak pidana di atas, mengingat HIV/AIDS adalah penyakit yang sulit pengobatannya, memerlukan biaya mahal dan bersifat endemic. (therapeutic attitude ), sebagaimana disebutkan Karl Menninger dalam bukunya “The Crime of Punishment”
Nanik Trihastuti dan Pujiyono, Rekonstruksi Hukum Perlindungan dan Penegakan HAM
C. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Rekonstruksi terhadap Konsep Perlindungan dan Penegakan HAM untuk Mencegah Risiko Tertular HIV/AIDS dari Suami kepada Istrinya mendesak untuk dilakukan mengingat telah terjadi gender inequalities (ketidakadilan gender) sebagi akibat dari adanya “gender differences” yang berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Gender inequalities ini disebabkan karena adanya potensi tidak didapatkannya informasi mengenai status suaminya sebagai pengidap HIV/AIDS, meskipun sebenarnya hal tersebut merupakan hak isteri untuk memastikan bahwa dirinya tidak akan tertular . Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran munculnya stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat, sehingga suami menutup diri untuk memberikan informasi, serta adanya potensi pemaksaan untuk melakukan hubungan seks tanpa pelindung yang akan mengakibatkan penularan HIV/ AIDS kepada isteri. Gender inequalities berkaitan dengan potensi risiko penularan dan potensi terhadap pemaksaan untuk melakukan hubungan seks ini belum mendapatkan pengaturan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. 2. Konsep hukum ideal yang didapatkan sebagai hasil rekonstruksi terhadap konsep perlindungan dan penegakan HAM ibu rumah tangga terhadap risiko tertular HIV/AIDS dari suami kepada isterinya, adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap suami yang benar-benar tahu bahwa dirinya mengidap HIV/ AIDS dan penyakit tersebut akibat perilaku seksual menyimpang /salah (zinah/”suka jajan”) dan dengan sengaja tidak memberitahukan kepada istrinya bahwa dia mengidap penyakit tersebut pada saat melakukan hubungan suami istri. Jadi bukan
527
karena ketidaktahuannya bahwa suami mengidap HIV/AIDS. Peristiwa ini menunjukkan terjadinya gender related violence yang dimaknai sebagai kekerasan gender yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat , yaitu bentuk pemerkosaan terhadap perempuan dalam perkawinan yang terjadi karena suami melakukan paksaan terhadap istrinya untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan dari yang bersangkutan. Oleh karena „gender related violence “ ini terjadi dalam rumah tangga, yaitu dalam konteks hubungan antara suami dan isteri, maka digunakan konstruksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,, dengan menggunakan beberapa alternatif formulasi delik (tindak pidana), yaitu sebagai delik materiil, delik formil dan delik aduan. Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disampaikan saran sebagai berikut : 1. Oleh karena proses kriminalisasi terjadi dalam konteks hubungan suami isteri dan berkaitan dengan persoalan penularan HIV/AIDS yang sangat peka di dalam masyarakat, maka penggunaan sanksi pidana ini perlu dilakukan dengan hati-hati 2. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dan cara penularan serta pencegahannya harus terus dilakukan agar masyarakat mampu mengambil tindakan protektif untuk mencegah penularan HIV dan mengurangi stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap OTDHA. DAFTAR PUSTAKA Buku Asshiddiqie, Jimly , Makalah, Lokakarya Nasional Komnas Perempuan “Merawat dan Memenuhi Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara”, 19 Mei 2010, Jakarta, Komnas Perempuan
Y.A. Triana Ohoiwutun, Sel Berfasilitas Istimewa
Chambliss, William J. dan Seidman, Robert B. Law, 1971, Order and Power, Addison-Wesley Publishing Company Irianto, Sulistyowati , Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.) , 2011, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Musdah Mulia, Siti, 2007, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Kibar Press Progress Report WHO SEARO, 2011, sebagaimana dikutip dari Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013 Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: Penerbit UKI Press Rahardjo, Satjipto, 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Press Savitri, Niken, 2008, HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Bandung: Refika Aditama Suseno, Franz -Magnis , Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang PokokPokok Perkawinan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor . 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
528
529