BAB III KENDALA-KENDALA DALAM PROSES PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDA YANG TERJANGKIT HIV/AIDS.
A. Penyimpangan Tak ada satu pun masyarakat yang terhindar dari perilaku penyimpangan. Demikian pula di dalam masyarakat Lapas/rutan. Terlebih akses untuk mendapatkan kebutuhan bagi narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sangat terbatas. Oleh karena itu mereka (warga binaan) akan melakukan berbagai upaya agar kebutuhannya dapat dipenuhi termasuk dengan menggunakan cara-cara yang melanggar aturan normatif yang berlaku. Bukan saja kebutuhan fisik yang mereka perjuangkan pemenuhannya, akan tetapi secara psikologis pun narapidana membutuhkan hal-hal yang dapat meringankan penderitaan mereka. Suatu barang tentu keadaan demikian itu akan berdampak kepada kondisi sosiologis masyarakat Lapas/rutan. Dengan demikian maka adanya penyimpangan perilaku itu tidak dilakukan oleh perseorangan secara individual akan tetapi lebih melekat pada struktur yang ada. Hal itu berarti pula bahwa penyimpangan yang demikian akan terdapat di setiap struktur yang dominan dengan pendekatan pengamanan yang represif. Seperti dikemukan pula, bahwa potensi penyimpangan pun banyak dipengaruh oleh tingkat “over capacity” dari Lapas/rutan yang bersangkutan. Di lain sisi juga dipengaruhi pendekatan keamanan yang digunakan. Makin “over load” sebuah Lapas/rutan maka makin cenderung pula untuk diketemukan penyimpangan di dalamnya. Demikian pula ketika makin ketat dan represif sebuah pendekatan keamanan maka diperkirakan akan semakin tinggi pula, tingkat kebutuhan untuk melakukan proses “akomodasi” diantara petugas dengan para narapidana. Hal itu berarti pula memperluas adanya potensi penyimpangan perilaku. Teori sistem melihat bahwa perilaku menyimpang akan muncul apabila secara fungsional dibutuhkan oleh kelangsungan sistem itu sendiri. Teori anomi melihat bahwa kebutuhan individu akan muncul walaupun sarana yang legal untuk memperoleh kebutuhan tersebut tidak mendukungnya. Oleh karena itu situasi anomi, muncul ketika tidak ada kesesuaian antara budaya dengan sarana pendukungnya. Sedangkan teori tukar menukar kepentingannya, bertumpu pada asumsi bahwa perilaku tersebut muncul atau terjadi apabila masing-masing pihak saling membutuhkan. Dimana peran petugas yang tadinya harusnya “mengawasi” agar tetap ada jaminan bahwa setiap aturan itu harus ditegakkan, dapat dikalahkan karena ada kebutuhan yang lain yang ada dianggap lebih mendesak. Kebutuhan itu antara lain dalam rangka menciptakan “keamanan”. Walaupun perbuatan itu menyebabkan terjadinya perilaku yang menyimpang (tidak tertib). 52 Uraian selanjutnya maka akan dijelaskan berbagai penyimpangan perilaku yang terjadi di dalam Lapas/rutan baik yang dilakukan oleh penghuni, petugas maupun yang dilakukan oleh penghuni dan petugas secara bersama-sama. Yang perlu dipahami adalah penyimpangan perilaku ini bersifat selektif
52
Adi Sujanto dan Didin Sudirman, Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Vetlas production), 2008, hal. 160.
dalam arti hanya sebahagian kecil saja orang-orang melakukannya. Sedangkan sebagian besar masih banyak orang yang taat terhadap aturan yang berlaku. Artinya secara kolektif warga binaan merupakan warga binaan yang taat pada peraturan dan ketentuan yang ada. Namun pun demikian dalam realitanya, potensi penyimpangan perilaku akan menjadi aktual atau benar-benar manakala kondisikondisi yang diperlukan untuk itu (necessary factor), telah terpenuhi.
1. Penyimpangan seksual Setiap manusia yang sudah mencapai usia akil baligh, sudah pasti mempunyai dorongan untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Berbagai mekanisme penyaluran hasrat seksual telah dikenal dalam masyarakat. Bagi mereka yang telah menikah, penyaluran seksual dapat dilakukan dengan cara-cara yang normal dan legal menurut aturan yang ada. Namun bagi mereka yang belum menikah maka penyaluran hasrat seksual dapat disublimasikan dengan berbagai cara. Dengan demikian mereka tetap dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang “normal” secara seksual. Dan penyimpangan ini membuat narapidana rentan terhadap penyakit menular seksual termasuk bisa tertular HIV/AIDS. Bagaimana penyimpangan hal ini bisa muncul. Selain karena dorongan seksual bersifat alamiah. Namun lain halnya karena narapidana, dimana secara fisik sangat dibatasi kebebasan bergeraknya maka penyaluran seksual adalah merupakan suatu masalah yang muncul akibat dari pemidanaan. Lagi pula tidak ada mekanisme penyaluran yang legal bagi narapidana yang telah menikah. 2. Perilaku “kapal selam” 53 Yakni fenomena dimana oknum petugas menjamin segala kebutuhan penghuni dengan alasan telah menerima sejumlah uang dari keluarga penghuni yang bersangkutan. Penghuni yang telah membayar ini dilindungi. Dengan kata lain di sini petugas menjadi “body guard” bagi si penghuni. Di satu sisi tindakan semacam ini bisa menjadi pemerasan. Tindak pemerasan yang dilakukan oleh petugas kepada narapidana atau keluarganya. Sebab bila tidak membayar sejumlah uang, maka keamanan dan keselamatan narapidana tersebut tidak dijamin oleh petugas.
3. Perilaku simpan vonis Yakni adanya kerja sama antara petugas dengan penghuni yang telah membayar sejumlah uang agar statusnya diganti. Misalnya seorang narapidana yang telah membayar kepada petugas agar statusnya dalam registrasi dicatat sebagai tahanan. Hal ini agar ia tidak dipindah ke lain Lapas. Sebab karena beberapa hal seorang narapidana bisa saja dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan lain. Hal semacam ini dilakukan agar narapidana tersebut tidak perlu menghadapi kondisi atau keadaan yang tidak bisa ia kendalikan. Artinya narapidana tersebut sudah merasa mapan di Lapas/ rutan tersebut.
53
“IMS”,
, 12 November 2010
4. Penyelundupan barang terlarang. Pada dasarnya barang-barang dapat membahayakan penghuni dilarang untuk masuk ke dalam Lapas/rutan. Namun kenyataannya, barang-barang yang dilarang bisa masuk dan beredar di Lapas/ rutan. Bahkan dalam banyak kasus, ketika dilakukan razia, di dalam Lapas pun bisa pula diketemukan Narkoba. Penyelundupan barang –barang yang dilarang lainnya yang biasa terjadi adalah penyelundupan uang, narkoba, senjata tajam, handphone, dan sebagainya. Gejala penyelundupan barang-barang terlarang tersebut dapat diamati sebagai upaya dan usaha narapidana dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Dengan terpenuhinya kebutuhannya itu maka narapidana tersebut dapat mengurangi penderitaannya selama ada di Lapas/ rutan.
5. Pelarian dan pemberontakan Gejala perilaku melarikan diri yang dilakukan oleh penghuni Lapas sebagaimana sering diberitakan oleh media. Merupakan gambaran dari penyimpangan yang bisa terjadi di Lapas/rutan. Perkelahian di dalam Lapas/rutan juga sangat mungkin terjadi.
Bila dianalisa lebih jauh, terjadinya tindak pelarian dan perkelahian antar warga binaan disebabkan karena lemahnya pengawasan yang dilakukan petugas. Sebab pelarian hanya mungkin terjadi karena adanya kesempatan untuk melarikan diri. Berbeda dengan pelarian yang bersifat individual, maka pelarian massal dan atau pemberontakan adalah satu sisi yang harus di waspadai dan harus mendapat perhatian serius. Sebab kejadian tersebut berakar kepada kondisi yang bersifat kultural. Dan oleh sebab itu maka analisanya pun harus di dekati dengan pendekatan sosiologis.
B. Kendala dalam pencegahan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Dalam melaksanakan proses pencengahan HIV/AIDS terhadap narapidana di Lapas/rutan banyak hambatan dan kendala yang muncul. Kendala dan hambatan yang ada dapat muncul dari mana saja yang terkait dengan proses pencenghan yang ada. Dengan paradigma bahwa yang dihadapi ialah orang yang memiliki masalah. Maka perlu suatu kesiapan dalam menghadapi kendala yang muncul dalam pelaksanaan proses pencengahan terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS di Rutan/lapas. Secara sederhana bila harus dikelompokkan maka kendala-kendala yang menghambat segala proses pencegahan HIV/AIDS di Lapas/rutan, maka bisa dipisahkan menjadi kendala yang berasal dari dalam Lapas/rutan, dan hal-hal lain yang merupakan penghambat yang berasal dari luar Lapas/rutan. Pembedaaan ini tidak menyatakan bahwa kendala-kendala yang berasal dari dalam Lapas/rutan lebih berat. Karena pada dasarnya setiap kendala memiliki porsinya masing-masing sebagai penghalang proses pencegahan dan penanggulangan yang harus segera dibenahi. Sebab urusan penularan HIV/AIDS merupakan masalah penting yang mendesak. Artinya bila penularan HIV/AIDS yang mungkin saja terjadi di Lapas/Rutan tidak segera ditanggani, maka mungkin akan memperberat urusan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di masyarakat umum. Hal ini sebab, para narapidana dan tahanan yang menghuni Lapas/rutan tidak selamanya di sana, dan karena mereka juga akan kembali ke masyarakat dan keluarganya.
1. Kendala dari dalam Lapas/ rutan. Kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan merupakan kendala yang utama yang harus diselesaikan dan ditanggapi dengan baik dan bijaksana, karena proses pembinaan dilaksanakan sebagian besar di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melibatkan semua unsur atau pihak yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan bahkan melibatkan masyarakat yang mau dan mampu membantu pelaksanaan proses pembinaan yang ada. Kendala atau hal-hal yang mengganggu dan menghambat dalam pelaksanaan proses pembinaan narapidana sangat banyak dan majemuk bentuknya. Hal-hal yang menjadi kendala tersebut bahkan banyak menguras pikiran dan tenaga semua pihak yang terlibat. Untuk dapat menyelesaikan hambatan ini, dengan demikian peran, fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak sangat penting dan mempengaruhi terlaksananya proses pembinaan terhadap narapidana, disanalah diketahui kendala yang muncul dalam pelaksanaan proses pembinaan terhadap narapidana tersebut. Di bawah ini merupakan kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan. a. Petugas pelaksana Dalam mengelola dan menjalankan sebuah Lapas/Rutan harus ada petugas yang menjalankan fungsinya masing-masing. Pemposisian petugas Lapas/rutan kebanyakan adalah untuk pengamanan. Sebab memang yang paling krusial ialah mengawasi dan menjaga narapidana atau tahanan agar tidak melarikan diri atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Kendala utama pada petugas pelaksana proses pembinaan narapidana, yakni sangat kurang baiknya secara kualitas dan kuantitas. Pelaksanaan proses pembinaan membutuhkan petugas yang siap untuk beradaptasi dalam membina narapidana. Untuk menjalankan fungsi dan pelayanan kesehatan maka diperlukan sejumlah petugas yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang kesehatan.Seperti yang diketahui, bahwa narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya bakal makin parah. Pada umumnya narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi semacam itu, narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit. Kondisi itu diperburuk dengan ketersediaan tenaga medis yang relatif minim. Tidak semua Lapas memiliki dokter, perawat, atau poliklinik tersendiri. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan pada Februari 2007, jumlah dokter di Lapas sebanyak 277 orang (58,1 persen adalah dokter paruh waktu) dan perawat 438 orang (60,9 persen adalah perawat paruh waktu). Sementara jumlah poliklinik sebanyak 163 buah. 54
54
“Selama
2006,
813
Napi
Meninggal
di
Penjara:
Kelebihan
Penghuni
Dituding
Jadi
Salah
Penyebab”,
anisme_legislasi&id=576> 1 Mei 2009.
Satu
Kondisi di atas merupakan permasalahan kuantitas atau minimnya jumlah dari petugas kesehatan. Permasalahan jumlah tersebut belum apa-apa. Sebab masih ada permasalahan dalam hal kualitas petugas. Kualitas petugas diharapkan selain dapat dan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan uraian tugasnya masing-masing juga diharapkan mampu menjawab tantangan atau masalah yang selalu ada di lingkungan Lapas. Dari pendidikan umum petugas dapat dikatakan telah memadai namun dalam hal melaksanakan tugas penanggulangan HIV/AIDS tidak banyak petugas yang dikatakan cakap. Sebab dalam perekrutan petugas sebagai pegawai pemasyarakatan tentu harus dengan prasyaratan tertentu. Serta sebelumnya para calon pegawai tersebut telah mendapatkan semacam pendidikan atau pelatihan. Dalam hal pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS kualitas dari petugas dapat dikatakan masih kurang. Minimnya sumber daya petugas yang mengetahui tentang HIV/ AIDS makanya secara bertahap perlu dilakukan sosialisasi dengan tujuan para petugas secara garis besar mengetahui bagaimana penularannya dan bagaimana jangan sampai tertular. Sebab tidak mustahil bahwa petugas pun dapat tertular. 55 Dan untuk lebih lanjut para petugas juga harus segera diberikan pelatihan atau informasi bagaimana menangani penularan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Agar persoalan penyebaran HIV/AIDS di Lapas/ rutan dapat segera dikendalikan. Kurangnya pengetahuan dan keahlian petugas Lapas/rutan menyebabkan kemampuan bertindak mereka menjadi tidak optimal. Dalam hal ada narapidana yang meninggal dunia petugas pun tidak bisa berbuat banyak. Sebab selain karena jumlah anggaran yang terbatas petugas juga hanya bisa mengembalikan narapidana tersebut kepada keluarganya. Dengan kurangnya memadainya petugas (sumberdaya manusia) dalam melakukan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan maka akan berdampak pada kelancaran program penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan menjadi kurang optimal. Jadi petugas kesehatan Lapas/ rutan yang handal perlu juga didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Begitu pula sebaliknya, apa artinya memiliki sumber daya petugas yang handal, tapi tidak memiliki sarana dan fasilitas yang memadai. Mengingat over kapasitas tengah menjadi fenomena yang biasa di Lapas/Rutan. Hampir semua Lapas/rutan mengalami kekurangan daya tampung karena jumlah narapidana atau tahanan yang banyak jumlahnya. Hal seperti memerlukan petugas keamanan yang lebih banyak. Semestinya jumlah petugas keamanan dan jumlah narapidana atau tahanan jumlahnya sebanding atau proporsional. Banyaknya jumlah penghuni dalam Lapas/rutan mengakibatkan penjagaan menjadi sulit dilakukan. Karena jumlah petugas keamanan yang terbatas harus mengawasi dan menjaga agar warga binaan tersebut tidak melakukan hal-hal yang melanggar tata tertib dan tentunya tidak mencoba melarikan diri. Banyaknya warga binaan tersebut tentunya juga mengakibatkan dibutuhkannya sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola dan menjalankan
55
Sri Yuwono, op.cit., hal. 99.
Lapas/Rutan. Namun pada kenyataannya jumlah petugas Lapas/Rutan adalah terbatas. Minimnya jumlahnya petugas kesehatan pada Lapas/Rutan mengakibatkan lambatnya proses pelayanan kesehatan. Dan Kurangnya petugas pengamanan membuat narapidana dan tahanan menjadi sulit untuk ditangani. Hal menyebabkan barang-barang yang dilarang masuk ke dalam Lapas/rutan. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara kualitas maupun kuantitas maka sumber daya manusia pelaksana dan pengelola Lapas/Rutan masih terbatas dan kurang memadai. Kurangnya sumber daya manusia ini, akan mengakibatkan terhambatnya proses penanggulangan HIV/AIDS. Karena proses penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan menjadi kurang efisien.
b.
Narapidana penderita HIV/AIDS. Narapidana yang terkena kasus narkotika dan psikotropika mempunyai kewajiban seperti
narapidana pada umumnya untuk mengikuti proses pembinaan dan kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Walaupun begitu harus dengan kesadaran dan kesedian dari narapidana yang bersangkutan. Kemauan dan kesadaran narapidana kasus narkotika dan psikotropika untuk ikut proses pembinaan sangat minim. Hal ini menyulitkan pelaksanaan proses pembinaan. Kendala yang utama dari narapidana yakni adalah kurangnya kemauan dan kesungguhan dari narapidana peserta proses pembinaan yang dilaksanakan oleh petugas seksi bimbingan kemasyarakatan. 56 Salah satu kendala proses pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan dikarenakan Narapidana sulit diajak bekerja sama untuk menjalankan program dan kegiatan. Data yang ada diketahui bahwa mayoritas dari narapidana yang menderita HIV/AIDS merupakan Narapidana yang pernah memakai Narkoba Suntik (penasun). Jumlah estimasi Penasun 191.000-48.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS. Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV. 57 Kebanyakan dari pederita HIV/AIDS itu adalah pengguna narkoba suntik yang sering menggunakan jarum suntik secara
56 57
Hadi Gunawan, op. cit., hal. 69. Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI No.02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang
Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik, loc. cit.
bersama dan bergantian. Bila penjagaan kurang dan barang-barang terlarang bisa masuk ke dalam Lapas/rutan maka tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas. Bila hal itu masih terus berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan bila terjadi penggunaan jarum suntik tersebut secara bergantian akan mengakibatkan terjangkitnya HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan. Menghentikan kebiasaan menyuntikkan obat terlarang atau narkoba menggunakan jarum suntik memang sulit dihentikan. Pasalnya pemakai telah sampai pada tahap ketergantungan. Oleh karena itu, dipilih program subsitusi oral berupa pemberian metadon. Terapi tersebut dapat menurunkan risiko overdosis dan menurunkan penggunaan heroin suntik. Serta juga akan meningkatkan status kesehatan secara umum, dan memperbaiki kualitas hidup yang berpengaruh pada hubungan sosial. Namun demikian ternyata tidak semua narapidana bersedia menjalankan program tersebut. Permasalahannya memang kembali kepada kesadaran dan kemauan dari para narapidana untuk berturut serta dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan. 58 Kendala lain yang juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIV/AIDS yakni berasal dari sisi narapidana. Pada umumnya narapidana malas untuk mengikuti program atau kegiatan yang telah diatur oleh petugas. Narapidana malas untuk berobat atau melakukan terapi secara rutin. 59 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keinginan dari setiap narapidana atau tahanan sendiri untuk mengikuti setiap program dan kegiatan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
c. Sarana dan prasaran penunjang. Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam hal jumlah maupun kualitas, telah menjadi hal yang menghambat bahkan juga menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan/ketertiban dalam Lapas/rutan. Begitu juga dalam hal pelayanan kesehatan narapidana dan tahanan khususnya dalam usaha penanggulangan dan pembinaan narapidana atau tahanan penderita HIV/AIDS. Padahal seharusnya untuk usaha penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan mesti tersedia sarana-sarana dan prasarana medis yang memadai, serta peralatan-peralatan yang ada hubungannya dengan penanggulangan HIV/AIDS, bahkan seyogyanya di dalam Lapas/rutan mesti tersedia laboratorium untuk melakukan tes darah. Kekurangan fasilitas yang paling utama selain sarana pelayanan kesehatan di Lapas/Rutan yakni adanya kekurangan atau keterbatasan ruangan. Khususnya ruang sel yang digunakan untuk tidur para narapidana dan tahanan. Kondisi sel yang sempit masih harus dihuni oleh narapidana yang jumlahnya banyak. Tentunya kondisi yang seperti jauh dari layak. Apalagi dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS kondisi ruangan sel
58
“30
Penghuni
LAPAS
Banceuy
com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37530>, 1 Mei 2009. 59
Sri Yuwono, op. cit., hal. 106
Positif
HIV-AIDS”
akan malah memudahkan penularan dan penyebaran HIV. Masalah over kapasitas mengakibatkan napi yang menderita hiv harus bercampur dengan narapidana yang sehat. Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia overload. Penghuninya, tahanan dan narapidana harus berbagi tempat yang sempit untuk melanjutkan hidup. Gerak langkah yang sangat terbatas makin sempit karena harus berdesak-desakkan di satu sel berteralis. Inilah tantangan yang berat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas. Tak hanya berat bagi Odha yang tengah berjuang melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas, tapi juga berat bagi petugas kesehatannya. Dokter dan relawan penanggulangan HIV di Lapas terpaksa harus bekerja keras mencegah penularan HIV dalam Lapas yang makin sesak. Karena merupakan bahwa sangat sulit melaksanakan terapi pengobatan melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas dengan kondisi yang tidak mendukung. Narapidana yang terhukum akibat penyalahgunaan narkoba menjadi sulit tidur nyenyak karena selnya sesak dan gejala penyakit juga cepat menginfeksinya. Kondisi yang demikian tidak mendukung untuk bisa hidup sehat, apalagi dengan HIV di tubuh. Tentu hal ini akan memperparah keadaan dan akan menjadi bentuk penghukuman baru bagi narapidana tersebut. Narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya akan semakin parah. Pada umumnya, narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, kata dia, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi lingkungan dan saranan yang kurang memadai narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit baru. Sedangkan kekurangan dalam hal pelayanan kesehatan khususnya dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan yakni meliputi kekurangan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga untuk melakukan VCT, dan belum adanya laboratorium untuk pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah merupakan hal yang amat penting untuk mengetahui apakah narapidana atau tahanan yang baru masuk terjangkit HIV/AIDS atau tidak. Selain hal di atas ketersediaan obat-obatan juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Pasalnya obat untuk menekan kerja virus HIV, yakni ARV adalah obat yang mahal. Meski demikian obat yang mahal ini tidak akan menyembuhkan penderrita HIV/ AIDS, hanya untuk meredakan penderitaan korban saja. Dan untuk menghentikan penyebaran virus saja. Dengan kondisi yang seperti itu ARV harus dikonsumsi secara rutin. Kelangkaan obat-obatan ini akan menjadi penghalang besar dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS. Di sisi lain walau bagaimana pun keadaan Lapas/rutan, hak-hak kesehatan warga binaan harus tetap dipenuhi. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 2) Pada setiap Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang
lapas disediakan poliklinik beserta
fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. 3) Dalam hal Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat. 60
Menurut National Program Officer UNODC HIV-AIDS Unit, Samuel Nugraha, tidak semua Lapas/rutan memiliki klinik dengan standar pelayanan kesehatan yang memadai. Secara nasional, program penanganan HIV-AIDS di lingkungan Lapas/rutan sudah ada, tetapi implementasinya belum semua karena dana kesehatan di penjara masih rendah. 61 Beban lainnya yaitu, Lapas menampung tak hanya narapidana tapi juga tahanan, yang jumlahnya makin banyak. Selain itu warga binaan Lapas terdiri dari berbagai latar belakang, seperti kejahatan pembunuhan, narkotika, dan warga binaan wanita. Karena itulah tantangan penanggulangan HIV di Lapas sangat memeras otak. Pertama soal risiko penularan HIV, kedua soal pelaksanaan terapi pengobatan dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas. Di antaranya adalah sulitnya mengawasi perilakuperilaku beresiko dalam penularan HIV. Misalnya pembuatan tato atau tindik tubuh dengan jarum yang tidak steril. Darah adalah media penularan HIV yang cepat. Apalagi menggunakan jarum atau benda tajam yang telah terinfeksi HIV kemudian masuk ke jaringan darah. Warga binaan juga banyak yang keluar masuk. Setelah bebas, lalu masuk lagi. Ini membutuhkan penyuluhan yang kontinyu serta petugas yang cukup. Karena itu Pokja Lapas atau tim AIDS Lapas harus membuat berbagai program penanggulangan HIV, berlomba dengan kemungkinan resiko penularan HIV yang cepat di Lapas. Kondisi sanitasi dan over kapasitas tentu makin mempercepat Odha mendapatkan gejala penyakit. Selain itu, risiko penularan juga makin tinggi jika pemerintah dan pejabat lembaga pemasyarakatan tidak bergerak cepat. Risiko tidak hanya bagi warga binaan tapi juga pasangan dan anak-anak mereka di luar Lapas yang tidak mengetahui suami atau istrinya telah terinfeksi HIV. Keterbatasan sarana dan hal-hal di atas akan menjadi panghambat dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Karena mau tidak mau pencegahan dan penanggulan HIV/AIDS harus didukung dengan fasilitas dan sarana yang memadai. Juga perlu diingatkan kembali bahwa pecegahan dan penanggulangan HIV/AIDS memerlukan tes HIV, perawatan kesehatan dasar dan program terapi serta pengalihan dari ketergantungan dari Narkoba.
d. Masalah psikologis Masalah-masalah psikologis dan kultural seperti rasa malu untuk berbicara terbuka, kebiasaan yang melarang berbicara soal seks, dan hukuman sosial yang dijatuhkan kepada penderita AIDS masih menjadi kendala pendidikan pencegahan HIV/AIDS di Indonesia. 62 Hal di atas juga menjadi masalah dalam
60
Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata-cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas,
dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ps. 21 ayat 1-3. 61
“30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS,” loc. cit., 1 mei 2009.
62
“Masalah Psikologis masih menjadi penghambat”,
jadi kendalapencegahan- hivaids.html>, 1 Mei 2009.
proses pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Yakni bahwa adanya stigma dari masyarakat pada umumnya dalam menilai penderita HIV/AIDS. Hal ini termasuk ketakutan menghadapi stigma, yang menghambat para warga binaan untuk mengambil obat di lingkungan yang ramai, staf yang tidak dapat dipercaya, pindah ke Lapas lain, dukungan sosial yang buruk setelah bebas. Di sisi lain kondisi Lapas/rutan yang sangat ramai dan over kapasitas membuat adanya rasa takut dari narapidana yang masih sehat, bila sewaktu-waktu dapat ketularan HIV. Ketakutan yang secara psikologis ini makin kuat manakala melihat kondisi Lapas yang amat rentan untuk terjadinya penularan HIV. Keadaan usai menjalani hukuman juga menjadi kendala. Karena bila tidak didukung oleh masyarakat maka mantan narapidana tersebut menjadi takut untuk kembali ke masyarakat. Sebab muncul perasaan tidak diterima lagi oleh keluarga dan masyarakatnya. Untuk membantu proses perawatannya seharusnya keluarga tetap berpikir postif bahwa HIV/AIDS hanya mungkin menular dengan cara-cara tertentu.
e.
Kendala dari luar Lembaga Pemasyarakatan (1)
Pendanaan. Salah satu faktor penting yang menjadi kendala adalah pendanaan. Kendala ini dapat diatasi
dengan menjalin koordinasi diantara instansi yang terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan adanya kewenangan otonomi daerah sehingga dapat menyediakan dana yang cukup. Pada umumnya anggaran Lapas/ rutan jumlahnya sangat minim sekali sehingga dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan, pengamanan dan perawatan kesehatan. Dengan anggaran yang ada diusahakan semaksimal mungkin dapat memenuhi kebutuhan kantor maupun penghuni dan khususnya dalam penanggulanga HIV/AIDS. Untuk melaksanakan program penanggulangan HIV/AIDS dibutuhkan dana yang besar. Dana penanggulangan HIV/AIDS berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat/pihak swasta dan bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri hendaknya dalam bentuk hibah, atau bentuk pinjaman lunak. Bantuan luar negeri yang tidak mengikat baik bersifat bantuan bilateral maupun multilateral tetap diharapkan dan digunakan secara proporsional sesuai kebutuhan baik untuk pemerintah maupun LSM, dengan berpegang pada prinsip efektif dan efisien. Diperlukan pelibatan masyarakat termasuk swasta/dunia usaha dalam penggalangan dana nasional dan daerah. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi dan Kabupaten/Kota dapat mengambil prakarsa untuk menggerakkan masyarakat dan sektor swasta/ dunia usaha dalam pengumpulan dana. Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan, anggaran juga merupakan faktor yang berguna menjamin kelancaran program kegiatan. Kendala yang pertama adalah Lapas/rutan tidak bisa memeriksa orang masuk ke dalam Lapas/rutan untuk diperiksa apakah orang tersebut telah terjangkit HIV/ AIDS atau tidak. Jadi narapidana atau tahanan hanya diperiksa secara fisik saja dan tidak diambil darahnya. Hal itu disebabkan mahalnya biaya untuk pemeriksaan darah guna mengetahui terjangkit HIV atau tidak. Sebab proses pemeriksaan darah tersebut harus melalui proses pemeriksaan di laboratorium. Karena kecilnya dana, maka untuk mengatasi
persoalan HIV maka pihak Lapas harus bekerja sama dengan RS dan LSM. 63 Berkenaan dengan hal itu sebelumnya menjelaskan bahwa layanan kesehatan yang akan disediakan bagi penghuni Lapas yang menderita AIDS antara lain berupa pengobatan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), tes dan konseling sukarela (VCT), pengobatan dengan Antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, pengurangan resiko atau "Harm Reduction" dengan terapi Metadon dan promosi penggunaan kondom. Sebagai gambaran, pada bulan Mei 2005, dana kesehatan di wilayah Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta, bila dihitung, maka hanya sebesar Rp. 80 pertahun. 64 Dengan minimnya anggaran kesehatan dan tidak adanya anggaran khusus untuk penanggulangan HIV/AIDS, sehingga mengakibatkan tidak dapat mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Karena seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di
Lapas/rutan diperlukan
sarana, fasilitas dan
programprogram yang kesemuannya memerlukan dana.
(2)
Kesulitan dengan akses kesehatan. Kecilnya dana pelayanan kesehatan di Lapas/rutan bertambah buruk manakala akses
kesehatan narapidana mendapat hambatan. Tidak mudah bagi narapidana untuk mendapat akses kesehatan seperti rawat inap di rumah sakit di luar Lapas. Hal ini terjadi karena biasanya narapidana tak mempunyai alamat yang jelas sehingga kebanyakan dari mereka tidak punya kartu identitas. Tak pelak, mereka sulit memperoleh surat miskin yang untuk saat ini hanya dapat diterbitkan oleh pamong warga, seperti lurah, karena ada persyaratan fotokopi KTP, atau surat-surat lain yang anggap perlu. Hal di atas disebabkan pula karena masih adanya pandangan bahwa karena narapidana adalah sampah masyarakat. Maka tidak perlu untuk diberi bantuan atau akses kesehatan.
(3)
Keluarga narapidana penderita HIV/AIDS. Bila ada narapidana yang terkena HIV/AIDS keluarganya menjadi seakan tidak peduli.
Bahkan kebanyakan dari keluarga menyerahkan kepada Lapas. Demikian halnya bila narapidana tersebut sakit dan harus dirawat dirumah sakit. Belum tentu keluarga mau mengurusnya dan menanggung biaya rumah sakit. Dengan demikian biaya perawatan dirumah sakit harus ditanggung pihak Lapas. Dengan demikian hal ini akan semakin memberatkan anggaran dan pendanaan dari layanan kesehatan Lapas. Lalu juga misalnya, narapidana yang menderita HIV/AIDS tersebut meninggal karena penyakitnya belum tentu keluarga mau menerimannya. Hal ini di karena terkena atau mengidap HIV/AIDS adalh aib yang amat besar bagi keluarga. Hal ini akan menjadi kendala-kendala dalam
63
“30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS”, loc. cit., 1 Mei 2009.
64
Sri Yuwono, op. cit., hal. 105.
penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan karena budaya dan partisipasi keluarga narapidana yang kurang. Karena dianggap sebagai aib dan membuat narapidana tidak berani secara langsung bicara secara terbuka. Seharusnya apapun yang terjadi jangan dikatakan suatu aib, karena akan menyusahkan dalam penanganannya.
(4)
Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan narapidana Seperti yang telah dijelaskan pada di bagian sebelumnya bahwa penderita HIV/AIDS di
Lapas/rutan merupakan pengguna narkoba suntik (penasun). Namun demikian tidak semua narapidana atau tahanan yang merupakan pengguna narkoba suntik tidak pasti merupakan HIV/AIDS. Untuk itu, sebagai usaha preventif, maka narapidana atau tahanan yang baru masuk seharusnya diperiksa. Namun untuk memeriksa atau untuk melakukan tes darah, bukan hal yang mudah. Karena untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS untuk memastikan positif terjangkit HIV/AIDS, tidak boleh dengan cara paksaan. Untuk melakukan pemeriksaan darah tersebut harus berdasarkan dan dengan persetujuan dari narapidana atau tahanan yang bersangkutan. Selain itu juga harus disosialisasikan terlebih dahulu agar napi dengan penuh kesadaran untuk di tes darahnya. Di sinilah pentingnya VCT. Narapidana diajak dengan kesadaran dan kemauannya sendiri untuk melakukan. Tes. Tentunya terlebih dahulu diberi tahu apa manfaatnya bagi narapidana atau tahanan itu sendiri. Mengapa banyak narapidana dan tahanan yang tidak bersegera untuk diperiksa darahnya. Hal berkaitan dengan psikologisnya. Narapidana atau tahanan tersebut merasa belum siap dan takut manakala benar, ia telah mengidap HIV/AIDS. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belum ada peraturan yang dapat memaksa narapidana untuk di ambil darahnya guna keperluan tes HIV/AIDS. Namun demikian saat ini dalam pedoman penanggulangan HIV/AIDS di Lapas telah disebutkan langkah atau prosedur yang harus dijalankan manakala menerima tahanan dan narapidana baru. Tapi kesadaran dan kemauan dari tahanan atau narapidana adalah yang utama. Selain itu juga berdasarkan penelitian yang ada, menunjukkan bahwa adanya kemungkinan besar terjadi penularan, karena selain pemakaian pisau cukur bersama, pembuatan tato dan tindik serta narapidana berkelahi yang mengakibatkan pendarahan, dan itu semua menjadi sangat rentan terjadinya penularan HIV/ AIDS di dalam Lapas/ rutan.
C.
Kebijakan hukum pidana dalam proses penanggulangan terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS di Lapas/rutan. Proses pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS saat ini dapat dikatakan belum
maksimal. Masih banyak permasalahan dan kendala yang harus segera ditangani. Misalnya saja pelayanan kesehatan narapidana dan tahanan yang masih belum memadai. Di satu sisi keadaan sel di Lapas/rutan yang juga mengalami over kapasitas membuat Narapidana/tahanan yang menderita HIV menjadi semakin parah penyakitnya. Sering juga didapati Narapidana yang meninggal dunia karena telah menderita HIV/AIDS. Kondisi Lapas/ Rutan yang buruk tersebut dapat dikatakan membuat narapidana atau tahanan yang menderita HIV/AIDS menderita secara fisik maupun secara psikologis. Perlakuan Petugas juga tak jarang menjadi bentuk penghukuman tersendiri untuk narapidana penderita HIV. Misalnya ketika penyakitnya telah memasuki fase yang parah, namun petugas tidak segera merujuk ke Rumah sakit dengan peralatan dan fasilitas yang lebih memadai. Alasannya yang klasik menjadi argumen dari pihak Lapas/rutan, yakni bahwa tidak ada biaya atau anggaran untuk melakukan rawat inap di rumah sakit. Apakah perlakuan dan keadaan lingkungan Lapas/rutan yang demikian itu dapat dikatakan sebagai bentuk pemidanaan baru. Sudarto mengatakan, “Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”. 65 Walau mengadung penderitaan tentunya keadaan yang dialami oleh narapidana/tahanan yang menderita HIV/AIDS tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penghukuman. Sebab sebagaimana diketahui bahwa bentuk-bentuk hukuman berdasarkan pasal 10 KUHP dirumuskan tentang pidana sebgai berikut: a. Pidana terdiri atas: 66 1) Pidana Pokok 2) Pidana mati, 3) Pidana penjara, 4) Kurungan, 5) Denda. 6) Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan 1) Pencabutan hak-hak tertentu, 2) Perampasan barang-barang tertentu, 3) Pengumuman putusan hakim.
Dari bentuk-bentuk hukuman yang ada saat ini, hukuman penjara adalah bentuk hukuman yang paling sering diberikan kepada terdakwa. Hukuman pencabutan kemerdekaan tersebut dirasa cukup
65
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1975), hal.7.
66
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 10.
membuat narapidana menjadi jera dan tidak akan menanggulangi perbuatannnya lagi. Termasuk dijatuhkannya hukuman penjara pada pengguna narkoba dan psikotropika yang tengah mengidap HIV/AIDS. Namun pada kenyataannya kerena seringnya menjatuhkannya hukuman penjara maka akan hanya membuat kondisi Lapas/ rutan semakin ramai. Akibatnya Lapas mengalami over load karena jumlah narapidana yang lebih banyak dari jumlah hunian yang tersedia. Bila lembaga pemasyarakatan bertujuan atau berfungsi untuk melakukan proses resosialisasi dan pembinaan maka pembinaan mestinya tidak hanya dapat dilakukan di Lapas saja dan dengan menjatuhkan hukuman penjara. Serta bila lembaga pemasyarakatan berfungsi agar narapidana yang telah dibina tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Maka perlu dilihat kembali teori ulitarian dalam konteks pencegahan. Berikut ini beberapa karakteristik dari teori utilitarian sebagai berikut: (1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi); (2) Pencegahan bukanlah pidana akhir, tetapi merupakan saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; (3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena kesengajaan atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; (4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; (5) Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 67
Artinya bahwa bila memang untuk melakukan pencegahan tidak harus selalu melakukan pemberian hukuman pidana penjara. Lagi pula dengan majunya berkembangan masyarakat dan bentuk-bentuk kejahatan yang ada maka, pemidanaan narapidana tidak bisa lagi hanya dengan untuk melakukan pembalasan atas perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan terhukum. Serta tidak harus selalu memberikan hukuman penjara. Misalnya dewasa ini ada tindak pidana yang memerlukan perlakukan khusus kepada para pelaku. Hal ini perlu dilakukan agar pelaku tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. Pengguna narkoba salah satunya yang harusnya diperlakukan dengan khusus. Dalam hal ini walaupun telah menjalani hukuman penjara namun tidak menjalankan perawatan dan pembinaan khusus maka ada kemungkinan terpidana akan kembali masuk ke dalam Lapas. Sebab kondisi dirinya yang mendorong untuk terus menggunakan narkotika dan psikotripika yang oleh undang-undang dan masyarakat dinyatakan sebagai tindak pidana. Sebagai solusi alternatif tidak salahnya untuk kembali mengkaji sanksi tindakan. Sanksi yang berupa tindakan bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan bagi yang bersangkutan, manakala tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, bagaimana pun itu bukanlah yang menjadi tujuan. Penderitaan dalam konteks yang demikian itu merupakan efek samping dari usaha membina narapidana. Dalam konteks
67
Muladi dan Arif, op. cit., hal. 17.
pelaku pidana menderita HIV/ AIDS akan lebih baik bila menerapkan sanksi tindakan kepada para narapidana yang menderita HIV/AIDS itu. Sebab seperti diketahui HIV/AIDS tergolong penyakit yang belum bisa disembuhkan. Ditambah gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit ini menyiksa bagi pengidapnya. Jenis sanksi berupa tindakan dan sanksi yang berupaya merehabilitasi narapidana menjadi semakin penting karena dianggap lebih manusiawi. Bahkan terdapat pembaharuan yang bersifat radikal yang ingin mengadakan perombakan hukum pidana secara total, yakni dengan menggantikannnya dengan sistem tindakan. 68 Menurut Packer tujuan utama dari “treatment” adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “treatment” ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. 69 Melihat kondisi saat ini dimana banyak sekali terpidana yang lebih butuh rehabilitasi dan perlakuan khusus dibandingkan penghukuman. Misalnya saja terpidana kasus narotika dimana terpidana hanya merupakan pengguna dari Narkotika dan menderita HIV/AIDS. Akan lebih baik dan manusiawi untuk merehabilitasi terpidana seperti ini bila dibandingkan hanya menempatkannya di dalam sel dengan tujuan pembalasan. Namun demikian memang seharusnya penjatuhan sanksi tindakan yang semacam itu harus bersikap selektif. Sebab tidak semua pengidap HIV bisa mendapatkan keringanan dengan mendapatkan sanksi tindakan. Secara bijaksana bila sanksi tindakan harus diberikan, yakni memberikan perlakuan dan perawatan khusus hanya untuk narapidana yang menderita HIV/AIDS pada stadium yang berat. Hal ini tentunya harus melipatkan pihak-pihak terkait, seperti dokter ahli. Penjatuhan sanksi tindakan semacam mungkin saja bisa dilakukan sebab saat ini tak adanya pedoman yang jelas dalam menerapkan dan menjatuhkan hukuman menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan. Apa yang dimaksud dengan disparitas pemidanaan yakni penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindakan pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan. Tak hanya di Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara di dunia, mengalami apa yang disebut “the disturbing disparity of sentencing”. Namun demikian perlakuan yang mengakibatkan disparitas pemidanaan mungkin akan mengganggu rasa keadilan masyarakat. Misalnya karena menderita HIV/AIDS tidak menjalankan hukuman sebagai mana orang pada umumnya. Walau pemberian sanksi tindakan kepada penderita HIV/AIDS bisa diterapkan namun akan terganjal dengan berbagai peraturan yang ada. Bahwa sejauh ini dalam penghapusan dan peringanan pidana tidak pernah berdasarkan karena seseorang mengidap penyakit fisik mematikan tetapi karena unsur-unsur yang telah disebutkan dalam KUHP. Kemudian juga disebutkan dalam KUHP bentuk-
68
Muladi, op. cit., hal. 24.
69
Muladi dan Arief, op.cit., Hal. 5-6.
bentuk sanksi tindakan. Sejauh ini belum bisa dikatakan perawatan khusus dan rehabilitasi disebut sebagai sanksi tindakan. Dalam KUHP yang berlaku sekarang terdapat jenis tindakan berupa: a. Pemasukan ke dalam rumah sakit jiwa (Pasal 44) 70 (5)
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(6)
jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai percobaan.
b. Penyerahan kepada pemerintah (pasal 45 jo. 46) 71 Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di alas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Uraian di atas menunjukan, bahwa betapa pun pidana (penjara khususnya) dipandang sebagai sesuatu hal yang negatif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu masih tetap diperlukan. Bahkan bisa jadi penghapusan sanksi hukum berupa pidana akan menghilangkan hakekat dari hukum pidana itu sendiri. Dalam suatu sanksi pidana, penderitaan atau nestapa merupakan unsur yang penting, sama pentingnya dengan unsur-unsur pidana lainnya. 72 Walau demikian hal tersebut yakni pelaksanaan saknsi pidana tidak boleh digunakan sebagai sarana pembalasan atau untuk menyiksa narapidana, tapi tidak lebih hanya sebagai shock therapy bagi narapidana agar ia sadar. Dalam hukum pidana, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pada akhirnya, sebagaimana telah disebutkan bahwa kebijakan sosial mengintegrasi kebijakan kriminal didalamnya. Atau
70
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 44.
71
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 45 Jo. ps. 46.
72
Suwanto. op. cit., hal. 44.
dengan kata lain kebijakan kriminal adalah bagaian dari kebijakan sosial secara keseluruhan. Oleh sebab itu pula karena kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan dari kebijakankebijakan lain maka, setiap usaha untuk melindungi masyarakat harus dipandang secara utuh. Utuh agar antar kebijakan tidak saling bertabrakan dan bertentangan. Agar tujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan itu tercapai. Tak lepasnya kebijakan hukum pidana dari kebijakan lain, termasuk didalamnya kebijakan sosial bertujuan untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat. Bisa dikatakan bahwa menurut Marc Ancel kebijakan pidana haruslah melibatkan pihak-pihak terkait seperti sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum, sehingga bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang komprehesif. Melihat kondisi sosial dan mempertimbangan kebijakan sosial, bahwa masalah penularan HIV/AIDS adalah masalah yang serius. Maka seharusnya pihak-pihak yang merumuskan kebijakan hukum pidana bisa melakukant terobosan-terobosan dalam bidang hukum pidana untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Lapas/rutan khususnya yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS agar lebih menjadi solusi yang berkeadilan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Penyebaran HIV/AIDS saat ini masih dalam taraf yang belum bisa dikendalikan. Penyebaran virus HIV dapat terjadi melalui penularan akibat jarum suntik yang digunakan secara bersama-sama dan berulang-ulang. Penyebaran HIV/AIDS juga pesat pada komunikasi pelaku seks bebas. Misalnya pada tempattempat hiburan malam dan prostitusi. Penyebaran HIV/AIDS tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun juga dapat terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Dari hasil penelitian yang ada, kebanyakan penyebaran HIV/AIDS yang terjadi dalam Lapas/ rutan merupakan kasus dimana narapidana atau tahanan telah terlebih dahulu pernah mengidap HIV/AIDS sejak diluar Lapas/ rutan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan, bahwa dengan kondisi Lapas/ rutan yang buruk dapat menjadi tempat yang kondusif sebagai penyebaran virus HIV. Melihat realitas yang ada dan besarnya potensi penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/ rutan. Pemerintah telah membuat kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Kebijakan yang dibuat dengan melibatkan pihak-pihak terkait tersebut. Telah diterapkan untuk beberapa Lapas/ rutan. Tidak semudah membuat kebijakan di atas kertas, pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan mendapatkan tantangan dan hambtan. Tantangan dan hambatan tersebut bila tidak segera ditangani akan mengganggu usaha pencegahan HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana narkoba pengidap HIV/AIDS di Lapas/ rutan dilakukan sama dengan pembinaan narapidana lain pada umumnya. Hanya saja, bagi narapidana narkoba pengidap HIV/AIDS diberikan perhatian dan perawatan yang lebih khusus dan intensif. Pembinaan terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS tidak dibedabedakan sebab pihak Lapas/rutan menerapkan kebijakan tersebut dengan alasan menjaga kerahasiaan bahwa narapidana yang bersangkutan adalah seorang pengidap HIV/AIDS. Selain itu, ditujukan untuk melindungi kepentingan narapidana itu sendiri, dalam artian bahwa mereka tidak dipisahkan dalam ruangan sel tersendiri agar mereka tidak dikucilkan dari pergaulan atau dijauhi oleh sesama penghuni dan membuat mereka merasa sama dengan narapidana lain dan menjadi bagian dari kehidupan di Lapas/ rutan. Memang ada baiknya mencampur narapidana yang mengidap HIV/AID dengan mereka yang bukan pengidap. Alasan untuk tidak melakukan diskriminasi merupakan alasan yang masuk akal. Namun penggabungan narapidana tersebut sebaiknya juga memperhatikan beberapa hal lainnya. Misalnya dengan memperhatikan keadaan dan daya tampung dari sel yang akan dihuni. Serta juga perlu memperhatikan kebersihan dan sanitasi dari sel tersebut. Serta juga harus memperhatikan apakah sel tersebut aman atau justru membahayakan narapidana lain yang bukan pengidap HIV/AIDS. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan. Dari beberapa faktor tersebut ada baiknya memfokuskan pada segala usaha untuk membenahi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam usaha penanggulangan HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan. Demikian pula dengan pengawasan dan pengamanan narapidana di dalam Lapas. Narapidana penderita HIV/ AIDS sama
saja diperlakukan dalam hal pengawasan dan pengamanan. Aturan maximum security, medium security dan minimum security juga berlaku pada mereka. Sebagaimana narapidana pada umumnya narapidana penderita HIV/ AIDS juga berhak mendapatkan berbagai macam remisi. Kemudian juga mereka bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan juga berhak untuk mendapatak pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan asimilasi. Namun karena diperlakukan sama seperti warga binaan lainnya, maka narapidana penderita HIV/ AIDS juga tunduk pada aturan pelarangan pemberian Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. 2.
Kendala dalam pelaksanaan pembinaan narapidana narkoba pengidap HIV/AIDS di Lapas Khusus Narkotika Jakarta adalah seputar masalah kurangnya sumber daya manusia seperti tenaga medis dalam menangani narapidana narkoba yang mengidap HIV/AIDS, keterbatasan sarana dan prasarana perawatan seperti obat-obatan dan laboratorium dan sarana pencegahan penularan seperti kondom dan alat suntik, kurangnya fasilitas gedung yang terisi melebihi kapasitas wajarnya, kurangnya faktor dana untuk pelayanan kesehatan, dan faktor internal dari narapidana yang bersangkutan seperti kelainan seks dan pembuatan tindik/tato. Solusi atas kendala-kendala tersebut dilakukan Lapas Khusus Narkotika dengan meningkatkan pengawasan semaksimal mungkin dan mengadakan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang AIDS baik dalam pengadaan obat-obatan, pengadaan tenaga medis dan konselor maupun pengadaan penyuluhan berkala tentang bahaya AIDS. Layanan kesehatan yang akan disediakan bagi penghuni lembaga pemasyarakatan yang menderita HIV/ AIDS antara lain berupa pengobatan penyakit infeksi menular seksual (IMS), tes dan konseling sukarela (VCT), pengobatan dengan antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, pengurangan resiko (harm reduction) masih kurang memadai dan kurang dimanfaatkan. Dalam hal terapi metadhon misalnya, masih banyak narapidana yang tidak ikut serta mengikuti program ini. Banyak hal yang menghambat usaha pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan. Bila diringkas hal-hal yang menghambat pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/ AIDS yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yakni: a. Faktor kuantitas sumberdaya manusia di bidang kesehatan. Dimana ketersediaan tenaga medis dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan masih kurang memadai. b. Faktor kualitas tenaga medis yang belum memenuhi standardisasi. Tenaga medis sebagai pendukung utama dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan masih belum dapat mensukseskan kebijakan yang ada. c. Faktor tenaga kesehatan yang belum berbekal pengetahuan kesehatan khususnya dalam menangani pengidap HIV/AIDS di Lapas/rutan. d. Faktor sumber dana untuk lembaga pemasyarakatan dirasakan masih kurang untuk bisa mencukupi semua pengeluaran kesehatan yang ada. Hal ini tentu akan menggangu jalannya kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalm hal penanggulangan HIV/ AIDS di Lapas/rutan.
e. Faktor alat-alat kesehatan dan fasilitas kesehatan masih juga belum memadai. Keterbatasan fasilitas kesehatan tersebut menyebabkan Lapas/ rutan harus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat.
Dari beberapa hal di atas, faktor keterbatasan sumber daya, baik dalam hal sumber daya manusia, dan sarana prasarana kesehatan merupakan factor-faktor yang secara dominan mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Bila faktor-faktor yang menghambat tersebut tidak segera ditangani maka kebijakan penanggulangan HIV/ AIDS hanya akan bagus dalam teorinya saja. Keadaan yang demikian itu bila dibiarkan terus meneruskan akan membahayakan bagi kehidupan warga binaan di dalam Lapas/rutan. Terlebih lagi keseriusan dalam menjalankan usaha-usaha atau kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan merupakan refleksi dari kesungguhan pemerintah dalam menjalankan dan memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Hak atas kesehatan juga merupakan salah satu yang asasi. Sebagai narapidana/tahanan hak-hak kesehatan harus selalu dipenuhi.
B. Saran Masih ada celah atau kelemahan-kelemahan dalam usaha-usaha dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan. Kelemahan-kelemahan itu disebutkan oleh berbagai faktor penghambat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan di bawah ini akan disampaikan beberapa saran, yakni: Masih ada celah atau kelemahan-kelemahan dalam usaha-usaha dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan. Kelemahan-kelemahan itu disebutkan oleh berbagai faktor penghambat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan di bawah ini akan disampaikan beberapa saran, yakni: 1.
Perlunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan penerimaan lebih banyak pegawai pemasyarakatan yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai tenaga kesehatan. Kemudian setelah direkrut maka para pegawai tersebut harus ditempatkan pada Lapas/rutan yang tengah mengalami kekurangan tenaga kesehatan.
2.
Perlu adanya partisipasi aktif dari pihak lembaga pemasyarakatan untuk mengikutsertakan pegawainya pada pendidikan atau pelatihan tentang kesehatan, khusus mengenai penanggulangan HIV/AIDS.
3.
Untuk mengatasi over capacity yang yang dihadapi lembaga pemasyarakatan maka perlu dilakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menguranginya. Salah satu langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan jalan mempermudah pemberian pembebasan bersyarat (PB), dan cuti menjelang bebas (CMB). Dengan lancarnya pemberian PB dan CMB maka akan mempermudah asimilasi.
4.
Pengawasan terhadap narapidana harus diperketat guna menghindari penyimpanganpenyimpangan yang dapat terjadi di dalam Lapas.
5.
Perlunya penambahan sarana dan prasarana kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan minimal fasilitas kesehatan tingkat pertama (setingkat Puskesmas). Serta perlu selalu untuk memastikan ketersediaan obatobatan untuk warga binaan yang mengidap HIV/AIDS.
6.
Perlunya peningkatan anggaran atau pendanaan pelayanan kesehatan yang mengacu pada standar WHO dalam rangka pelayanan kesehatan narapidana pada umumnya dan khususnya narapidana yang mengidap HIV/AIDS. Anggaran harus dinaikkan sebab penanggulangan dan penanganan pasien pengidap HIV/AIDS memerlukan perawatan khusus dengan biaya yang tidak sedikit.
7.
Bila mana sarana dan prasarana di dalam lembaga pemasyarakatan belum memadai maka perlu dilakukan penggolongan narapidana berdasarkan keadaan kesehahatanya. Jadi tidak hanya penggolongan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan saja.
8.
Perlunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, instansi pemerintah terkait dalam hal pelayanan kesehatan warga binaan pada umumnya dan khususnya warga binaan pengidap HIV/AIDS. Dalam kenyataannya pihak Lapas/rutan telah berinisiatif untuk melakukan kerja sama kesehatan dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian hubungan yang telah terjalin tersebut dijaga dan dilanjutkan dengan kerja sama yang lebih baik lagi.
9.
Perlunya usaha-usaha untuk mempermudah akses kesehatan untuk narapidana. Selama ini narapidana khususnya yang berasal dari keluarga kelas bawah mengalami kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan lanjutan. Narapidana tersebut sulit mendapatkan Kartu Kesehatan Miskin. Hal ini menyebabkan mereka harus membayar biaya perawatan lebih besar dari kemampuan mereka. Anggapan bahwa narapidana adalah sampah masyarakat, membuat mereka sulit mendapatkan akses pada fasilitas kesehatan yang lebih baik.
10.
Perlu adanya kebijakan hukum pidana yang berkeadilan dan lebih fleksibel. Selama ini kecenderungan menjatuhkan hukuman penjara sangat besar. Hal ini menyebabkan Lapas/rutan menjadi penuh. Diperlukan kebijakan baru dalam menjatuhkan hukuman. Misalnya untuk terdakwa pengidap HIV/AIDS tidak serta merta dijatuhi hukuman penjara. Namun perlu dilihat bagaimana keadaan terdakwa. Bila memang keadaannya telah masuk pada stadium yang parah maka bisa diberikan hukuman lain. Tentunya penilaian mengenai keadaan terdakwa harus melalui pemeriksaan dokter ahli. Kemudian dalam hal narapidana penderita HIV/AIDS sudah masuk pada stadium yang tidak dapat ditolong, maka perlu ada kebijakan hukum dimana narapidana tersebut diberikan keringanan.
11.
Perlu dilakukan peningkatan kesejahteraan petugas pemasyarakatan guna meningkatkan semangat kerja dari para petugas. Demikian beberapa saran yang dapat disampaikan. Semoga para pihak yang berkepentingan dengan usaha dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan dapat mengambil manfaatnya. Oleh karena itu di masa mendatang implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan diharapkan dapat berjalan dengan lebih baik. Serta pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
tersebut dapat lebih memperhatikan hak-hak dari warga binaan. Diharapkan juga berkembangnya pemahaman yang lebih komprehensif mengenai usaha dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan.