BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS.
A. Keadaan Lapas/rutan pada umumnya. Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini telah berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang tentang definisi dari Lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 19 Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas. Kenyataan Lapas tidak hanya dihuni oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan saja. Tetapi juga dihuni oleh tahanan. Seharusnya secara ideal para tahanan itu ditempatkan khusus di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Rutan adalah unit pelaksana teknis dibidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 20 Klasifikasi Lapas didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja. Pelaksanaan pembinaan narapidana harus sesuai dan berdasarkan asas pancasila, yang mana harkat dan martabat manusia harus dihargai. 21 Tidak dapat lagi sewenang-sewenang. Pengklasifikasian Lembaga Pemasyarakatan dalam struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PR.07.03 tahun 1985 dalam pasal 4 ayat 1 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu: a) Lapas Klas I b) Lapas Klas IIA c) Lapas Klas IIB Sedangkan rumah tahanan negara/cabang Rutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.OPR.07.03 tahun 1985 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu: a) Rumah Tahanan Negara Klas I b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA c) Rumah Tahanan Negra Klas IIB d) Cabang Rutan
19
Indonesia, Undang-undang nomor: 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat 3.
20
Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI, No.M.04.PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, ps. 1. 21
Hadi Gunawan, “Pelaksanaan pembinaan Narapidana Kasus Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Cipinang,” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hal. 99.
Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi. Indonesia mempunyai banyak Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang difungsikan untuk bermacam macam kebutuhan. Sejauh ini di Indonesia terdapat 525 Unit Pelayanan Teknis yang terdiri dari:
22
a) Lembaga Pemasyarakatan : 207 UPT b) Rumah Tahanan Negara : 132 UPT c) Cabang Rutan : 58 UPT d) BAPAS : 67 UPT e) Rupbasan : 61 UPT
Melihat realitas yang ada maka over kapasitas telah menjadi persoalan bagi hampir semua lembaga pemasyarakatan. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan. Jumlah kapasitas yang seharusnya dari Lapas/Rutan Seluruh Indonesia 73.000 orang. Sedangkan pada kenyataannya disi penghuni 111.357 orang (Nopember 2006). 23Ditambah lagi dengan meningkatnya Napi/Tahanan narkotika Diperkirakan 28.26 % serta masih adanya napi/tahanan narkotika yang berada di Lapas Non-Narkotika. Kondisi melebihi kapasitas ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam standard minimum rules of treatment of prisoners. Standard minimal yang harus dipatuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahanan adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian hanyalah bagi ruangan besar untuk ditempati beberapa orang. Dan ada ruang-ruang khusus terhadap Narapidana yang terjangkit HIV/AIDS, dan mereka juga mendapat penangganan khusus dibandingkan narapidana-narapidana yang lainnya. Dari bentuk pencegahan agar tidak menularkan kepada penghuni lapas yang lain, mereka (narapidana pengidap HIV/AIDS) juga dikasi paparan atau ajaran bagaimana untuk hidup sehat. Selain itu masi banyak juga penangganan khusus lain yang diberikan kepada mereka dan hak-hak mereka sebagai narapidana.
D. Situasi HIV/AIDS di Lapas/rutan. 1.
Jumlah estimasi penderita HIV/ AIDS di Lapas/ rutan.
Berdasarkan data dan informasi dari Departemen Kesehatan, estimasi nasional 2006 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sebanyak 171.000-219.000 orang, Jumlah estimasi Penasun 191.00048.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi
22
“Data UPT PAS”,
, 12 November 2010. 23
Ibid.
kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS. Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV. 24 Mengenai jumlah total kematian akibat akibat HIV melalui jarum suntik di Lapas/ rutan belum tersedia data tapi cukup memadai namun diperkirakan sekitar 1 orang per hari. Data dari Lapas dan Rutan menunjukkan meningkatnya jumlah tahanan dengan pelanggaran yang berkaitan dengan napza terjangkit HIV. Pelanggar kasus napza meningkat dari 7211 di tahun 2002 menjadi 11.973 tahun 2003 dan sampai dengan Agustus 2006 menjadi 25.096. Di samping itu ada tahanan yang bukan karena kasus napza tapi juga pengguna jarum suntik (penasun) tapi tidak ada informasi mengenainya. Adapun data mengenai surveilans HIV, yang dilaksanakan oleh Depkes RI, tahun 2004 melaporkan prevalensi HIV sebesar 24,5% di kalangan narapidana dan tahanan di Lapas/Rutan di Provinsi Angka kematian napi/tahanan dengan latar belakang HIV/AIDS relatif tinggi, di LP Cipinang angka kematian meningkat dari 76 di tahun 2004 menjadi 159 di tahun 2005, dan di Rutan Salemba dari 58 menjadi 179. Faktor penyakit yang utama menjadi penyebab kematian di Lapas/Rutan adalah TBC. Pada sisi lain kondisi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di UPT di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan belum sepenuhnya optimal. 25 Belum ada data surveilans HIV dari Lapas/Rutan di Provinsi lain. Namun, telah ada laporan rutin kepada Direktorat Jenderal Pemasyarkatan yang menunjukan adanya kasus HIV, angka kesakitan dan angka kematian akibat HIV/AIDS di Lapas/rutan. Di samping itu, melihat tren peningkatan prevalensi HIV di kelompok populasi berperilaku risiko tinggi, dapat diperkirakan HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang serius di Lapas/rutan. Penggunaan alat dan jarum suntik “yang tidak disterilisasi” secara bergantian diakui oleh 80% pengguna narkoba suntik (penasun) di masyarakat dan kegiatan menyuntik dan berbagi juga dilaporkan terjadi juga di dalam Lapas dan Rutan. Walaupun data tersebut sulit dibuktikan, namun menunjukkan insiden Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Penjelasan. yang tinggi dari perilaku risiko tinggi di beberapa Lapas dan Rutan termasuk seks tidak aman antar narapidana dan tahanan. 26 Beberapa penelitian yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan angka HIV dan AIDS di kalangan narapidana lebih besar apabila dibandingkan dengan angka HIV dan AIDS dalam komunitas luar di masyarakat. Terutama disebabkan karena banyak narapidana menyuntik narkoba dan melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi (misalnya menggunakan jarum suntik secara
24
Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI no. 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang
Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 25
“Penanggulangan HIV/ AIDS di Lapas/ Rutan”, , 12 November 2010.
26
Ibid.
bergantian) mereka berada di Lapas/ rutan. Penyebab lain adalah tingginya angka infeksi HIV pada pengguna narkoba suntikan (Injecting Drug User/IDU) antar sesama narapidana/tahanan. 27 Tingginya sirkulasi pergantian warga narapidana/tahanan di Lapas, juga ikut mempengaruhi penyebaran HIV di masyarakat luas jika mantan narapidana tertular selama berada di Lapas/ rutan. Angka HIV dan AIDS di penjara di Eropa menunjukkan perbedaan beragam. Di Spanyol dan Italia, angka infeksi HIV tercatat masing-masing 26% dan 17%. Di AS, angka berkisar antara 1%-20%. Di Kanada angka berkisar 1%-12%. Di Afrika Selatan angka mencapai 41% sedangkan di Brazil angka berkisar dari 11%21%. Penelitian-penelitian untuk mengukur angka infeksi HIV di kalangan Buku Saku Staff Lapas/Rutan 3 IDU di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan angka yang berkisar dari 20% sampai lebih dari 50%. Estimasi infeksi HIV pada orang dewasa Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI menghasilkan angka rata-rata infeksi HIV di kalangan narapidana sebesar 11,99%. 28 Penelitian yang menunjukkan tingginya angka infeksi HIV di kalangan IDU ini tidak bisa dipungkiri, dan dengan banyaknya IDU yang dipenjarakan, maka para staf dan manajemen Lapas/rutan perlu mengetahui realita ini. Sejalan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dalam masyarakat, terjadi pula peningkatan dalam Lapas/rutan. Seperti terdapat dalam tabel di bawah ini: 29
Tabel Prevalensi HIV Pada Narapidana di Indonesia Prevalensi HIV Pada Narapidana NO
Prevalensi
1999
2000
2001
2002
2003
1
DKI
1.69
17.53
22
7.55
17.65
2
JaBar
0.9
7
20.6
5
21.1
3
JaTim
-
-
0.68
-
4.23
4
Bali
18.7
-
9.6
10.2
10.7
5
Lampung
-
-
2.5
2.3
2.8
6
BaBel
1
-
-
-
-
7
DIY
-
2.8
-
-
-
8
Banten
-
-
-
10.8
21.3
9
KalTim
-
-
-
-
0.36
Tabel di atas memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV di lapas/rutan. Contohnya di Lapas/Rutan DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 7,55% meningkat pada 2003 menjadi 17,65%, Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 5 % menjadi 21,1% pada tahun 2003, dan Banten pada tahun 2002 sebesar 10,8 % menjadi 21,3% pada tahun 2003. Angka HIV akan kelihatan lebih kecil apabila populasi Lapas/Rutan dilihat secara keseluruhan, namun masalah ini tetap perlu untuk diperhatikan. 27
Buku saku staff Lapas/Rutan (Program Aksi Stop AIDS(ASA), ( jakarta: Family Health International (FHI), 2007), hal. 2.
28
Ibid., hal. 3.
29
Data Departemen Kesehatan tahun 2004.
Perkiraan yang dibuat pada tahun 2002 menyatakan bahwa sekitar 8-12% narapidana/tahanan adalah HIV positif. Kesehatan narapidana/tahanan berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik. 30 Sejalan dengan tujuan strategi kesehatan masyarakat, maka Lapas/rutan pun mempunyai tujuan untuk mempromosikan, melindungi kesehatan, mengurangi tingkat penyakit dan kematian di antara narapidana/tahanan. Dengan adanya epidemi (penyebaran) ganda HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini, memunculkan tantangan baru dan penting bagi isu kesehatan masyarakat di Lapas/Rutan. Bukti-bukti yang ada dari negara-negara lain mengindikasikan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana/tahanan secara signifikan lebih tinggi dari pada yang ada dalam masyarakat. 31 Beberapa narapidana/tahanan memang telah terinfeksi sebelum masuk Lapas/rutan, tetapi sebagian terinfeksi pada waktu mereka berada dalam Lapas/rutan. Perilaku yang membuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman, penggunaan bersama peralatan suntik, tato, kekerasan lain termasuk perkosaan dan kekerasan berdarah umum. Meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/rutan lebih kecil dari penyalahgunaan di masyarakat, tetap sangat berbahaya. 32 Hal ini disebabkan karena adanya kelangkaan peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus HIV baru di dalam Lapas/rutan. Hubungan seksual tidak aman di antara narapidana/tahanan adalah faktor penting lainnya dalam penularan HIV di antara narapidana/tahanan. Angka hubungan seksual sesama jenis di Lapas/Rutan berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seksual ini bisa dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pemaksaan, yang di dalamnya terdapat unsur perkosaan. Risiko tertular HIV pun menjadi tinggi, mengingat tidak adanya penggunaan kondom dan terjadinya luka pada waktu terjadi pemaksaan. Tato dan bentuk penusukan lain pada kulit, umum terjadi dalam Lapas/Rutan dan juga menyebabkan adanya risiko penularan HIV karena langkanya peralatan steril. Terdapat pula risiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke anak, apabila narapidana/tahanan hamil dan menyusui tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Lapas/Rutan di Indonesia telah memainkan peranan yang cukup aktif dalam menghadapi HIV dan penyalahgunaan narkoba. Walaupun
30
Departemen Kesehatan, ”Estimasi Nasional Infeksi HIV Pada Orang Dewasa Indonesia, Tahun 2003". Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2003 31
UNAIDS, “UNAIDS Best Practice Collection: UNAIDS point of view on Prisons and AIDS”,(New York: United Nations),
32
The Centre for Harm Reduction and Asian Harm Reduction, ”Mengurangi Dampak Buruk narkoba di Asia, Edisi Indonesia”,
1997.
(Jakarta: The Centre for Harm Reduction), 2001.
beberapa narapidana/tahanan telah berstatus HIV positif pada waktu mereka masuk ke dalam Lapas/ Rutan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di antara narapidana/tahanan. Di Indonesia, seperti halnya juga di negara lain, penelitian yang ada menunjukkan bahwa umumnya penularan HIV di Lapas/Rutan terjadi karena adanya penggunaan bersama peralatan suntik dan melalui hubungan seksual tidak aman. 33
2.
Proses penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan. Dengan tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan tentunya karena Lapas/ rutan
terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan penularan HIV/AIDS. Lapas/rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit karena: 34 a) Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk. b) Kontrol infeksi yang buruk: fasilitas kesehatan & pengawasan infeksi sangat terbatas. c) Penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersama.
Bila ada pengguna jarum suntik di masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan. Pada keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain: 1) Karena beberapa narapidana/tahanan yang mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam Lapas/rutan; 2) Adanya indikasi keterlibatan petugas pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/rutan; 3) Diketemukannya peralatan suntik, sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/rutan; 4) Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan yang hasilnya positif menggunakan narkoba; 5) Narapidana lebih cerdik walau secanggih alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba. 35 6) Penyuntikan yang tidak aman: peralatan menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik (atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa membersihkannya terlebih dahulu. 7) Perilaku seksual yang tidak aman dan pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak tersedia kondom.
33
Strategi Penanggulangan HIV/ AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara di Indonesia 2005-2009, (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemasyarakatan), 2005, hal. 11-12. 34
Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal. 3-4.
35
Sri Yuwono, Manajemen Penanggulangan HIV/ AIDS Narapidana di Lembaga
Hubungan seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/rutan, karena kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui hubungan seks di dalam Lapas/rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/rutan bisa terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan perlindungan dan pemerkosaan. Penelitian di seluruh dunia menunjukkan hubungan seks antara pria dengan pria di dalam Lapas/rutan adalah hal yang biasa. Dan karena kondom jarang tersedia, maka risiko tertular/menularkan IMS dan HIV/AIDS merupakan suatu realitas bagi para narapidana. 36 Infeksi Menular Seksual terutama sifilis, meningkatkan risiko penularan HIV 1-9 kali lipat. Di samping itu, IMS juga merupakan beban penyakit tersendiri yang dapat menimbulkan komplikasi dan efek jangka panjang seperti kemandulan, penyempitan saluran kencing pada laki-laki, serta kehamilan di luar kandungan pada wanita. Sebagian besar IMS dapat disembuhkan. Dengan menyembuhkan IMS, risiko penularan HIV diturunkan 1-9 kali lipat. Infeksi ganda HIV dan IMS meningkatkan potensi masalah HIV maupun IMS. 37 Layanan kesehatan di Lapas/Rutan akan secara aktif mengidentifikasi IMS pada narapidana/tahanan pria maupun wanita, baik yang HIV positif maupun negatif Narapidana/tahanan dengan IMS akan diobati sesuai standard pengobatan. Narapidana/tahanan dengan IMS tidak akan diperlakukan secara diskriminatif. Lapas/Rutan juga akan menyediakan obat-obat esensial untuk pengobatan berbagai IMS, sesuai standard terapi, secara berkesinambungan atau bila perlu kerja sama dengan Dinkes dan RS setempat. 8) Perilaku berisiko lain seperti tatto, tindik telinga/ kulit,pemasangan pelor ke dalam penis, dll dan biasanya alat yang dipakai tidak steril dan digunakan bergantian. 9) Akibat perkelahian antar narapidana/ tahanan. 10) Penggunaan alat cukur bergantian tanpa proses sterilisasi, karena fasilitas terbatas.
E.
Pembinaan dan perawatan khusus bagi narapidana pengidap penyakit HIV/AIDS di Lapas/rutan. Pembinaan merupakan suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan
mempelajari hal-hal yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup serta kerja yang sedang dialami secara lebih efektif. 38 Mangunhardja secara lebih tegas mencoba membedakan antara pembinaan dan pendidikan, yaitu: Pembinaan menekankan pada pengembangan manusia dari segi praktis yaitu pengembangan sikap dan
36
Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal. 18.
37
“IMS”, , 12 November 2010.
38
Kemal Darmawan, Teori Kriminologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), hal.8.4.
kecakapan. Sedangkan pendidikan menekankan pada pengembangan pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu, pembinaan memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan manusia yang seutuhnya. Selain dipenuhi hak-haknya, para narapidana juga harus menjalani proses pembinaan. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. 39 Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, maka ruang lingkup pembinaan dapat dibagi dalam 2 bidang: 40 a.
Pembinaan kepribadiaan yang meliputi:
b.
(1)
Pembinaan kesadaran beragama,
(2)
Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara,
(3)
Pembinaan kemampuan intelektual,
(4)
Pembinaan kesadaran hukum,
(5)
Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat,
Pembinaan kemandirian Pembinaan kemandirian yang diberikan melalui program-program sebagai berikut: (1) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga, refarasi mesin dan alat elektronik. (2) Ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari hasil pertaniaan dan bahan alam menjadi barang setengah jadi. (3) Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. (4) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atas kegiatan pertanian.
Wujud pembinaan tersebut dilaksanakan di setiap lembaga pemasyarakatan dimana pengawasan dan penilaian terhadap narapidana yang menjalani pembinaan dilakukan oleh tim pengawas pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.02.PR.08.03 tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP), tugas pokok TPP diatur dalam pasal 13, yaitu: 41 1. Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan. 2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan . 3. Menerima keluhan dan pengaduan warga binaan pemasyarakatan.
39
Loc. cit., Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ps. 15 ayat 1.
40
Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemasyarakatan, hal. 69-70.
41
Ibid., hal 206.
Pelaksanaannya pembinaan narapidana di dalam lapas, dijalankan dalam tahapan-tahapan. Sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, disebutkan bahwa: 1) Setiap narapidana harus memulai tahap-tahap pembinaan yang telah ditentukan. 2) Tahap-tahap
pembinaan
bagi
narapidana
ditentukan
berdasarkan
lamanya
pidana/masa pembinaan yang bersangkutan.
Bagi narapidana yang sisa pidananya lebih dari 1 (satu) tahun, menjalani pidana dengan empat tahap : 42 1) Tahap pertama : pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurangkurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua: pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang-kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya. 3) Tahap ketiga: pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 4) Tahap keempat: Pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya. Sedangkan bagi narapidana yang sisa pidananya sampai dengan 1 satu tahun, ada tiga tahap : 43 1) Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua sejak 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana yang ebenarnya. 3) Tahap ketiga, sejak 2/3 sampai selesai masa pidananya.
Sedangkan proses pembinaan bagi narapidana yang dipidana mati atau seumur hidup tidak dilakukan pentahapan, kecuali setelah dirubah pidananya menjadi pidana sementara. Ketentuan di atas tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni: 44 Pasal 9
42
Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/ tahanan.
43
Ibid.
44
Indonesia, Peraturan Presiden nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, ps. 9,
10, 12.
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi : a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) dari masa pidana; dan b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
Pasal 10 (1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi: a. masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan. b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi : a. perencanaan program pembinaan lanjutan; b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) meliputi: a. perencanaan program integrasi; b. pelaksanaan program integrasi; dan c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. (4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat
Pasal 12 Dalam hal terdapat Narapidana yang tidak dimungkinkan memperoleh kesempatan kesempatan asimilasi dan atau integrasi, maka Narapidana yang bersangkutan diberikan pembinaan khusus (maximum security). Sedangkan menurut Sunaryo tahap-tahap pembinaan yang harus diberikan oleh setiap narapidana dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 45
45
Sunaryo Thomas, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, (Depok: FISIP UI, 2001), hal. 62.
1. .Tahap pertama (maximum security) Pada tahap ini ditinjau dari segi pengamanan masih sangat ketat atau disebut maximum security. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak narapidana masuk lembaga pemasyarakatan sampai sepertiga masa pidana sebenarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masa pidana sebenarnya adalah masa pidana seluruhnya, dikurangi dengan masa penahanan dan jumlah remisi yang pernah diterimanya. Selama dalam tahap ini ada tenggang waktu yang disebut dengan masa admisi dan orientasi, yaitu terhitung sejak narapidana masuk paling lama empat belas hari. Maksud dari masa admisi dan orientasi ini adalah untuk penyelesaian administrasi, orientasi, baik orientasi bagi narapidana dengan lingkungannya di dalam lembaga pemasyarakatan, maupun orientasi bagi petugas pemasyarakatan terhadap narapidana yang bersangkutan. Pada tahap ini, sejauh mungkin dapat diketahui apa kelebihan dan kekurangan narapidana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dirinya. Data yang diperoleh selama masa admisi dan orientasi ini diperlukan untuk menyusun pembinaan yang paling tepat bagi dirinya. Pada tahap ini, sedikit demi sedikit narapidana diberikan tugas dan tanggung jawab, dimulai dari tugas dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri serta lingkungan disekitarnya. Pemantauan tahapan perkembangan narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang ditunjuk sebagai wali. Selain memantau perkembangan narapidana selama masa pembinaan, wali juga bertugas memberikan bimbingan secara perorangan. Hal ini bertujuan agar setiap permasalahan yang timbul dapat secara dini termonitor dan dapat diupayakan penyelesaiannya. Narapidana yang sudah menjelang berakhirnya masa sepertiga masa pidananya, melalui sidang Tim
Pengamat
Pemasyarakatan
(TPP),
dibahas
kemungkinan-kemungkinan
peningkatan
pembinaannya, dengan mempertimbangkan masukan dari wali yang bersangkutan.
2. Tahap kedua (medium security) Ditinjau dari segi pengamanan, pada tahap ini bersifat medium security, atau dengan kata lain lebih longgar dibandingkan dengan pengamanan pada tahap pertama. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak sepertiga masa pidana sebenarnya sampai dengan setengah masa pidana sebenarnya. Hasil evaluasi pembinaan pada tahap pertama dijadikan dasar dalam meningkatkan program pembinaan dan pemberian tanggung jawab juga lebih besar dibandingkan dengan tahap pertama. Hasil pembinaan pada tahap ini kemudian dievaluasi bersama antara wali narapidana dengan TPP. Apabila hasil evaluasi pada tahap ini baik, maka program pembinaan bagi narapidana yang bersangkutan dapat ditingkatkan pada tahap ketiga. Apabila pembinaan pada tahap ini gagal, perlu dikaji kembali sebab-sebab kegagalan bersumber dari narapidana yang bersangkutan, maka program pembinaan tidak dapat dilanjutkan pada tahap ketiga.
3. Tahap ketiga (minimum security) Tenggang waktu pada tahap ini adalah antara setengah masa pidana yang sebenarnya hingga dua pertiga masa pidana sebenarnya. Pada tahap ini disebut pula tahap asimilasi karena pada tahap ini narapidana mulai dilibatkan dalam kehidupan masyarakat dengan pengawasan ringan atau minimum security. Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat, setelah menjalani setengah dari masa pidanannya. Bentuk pembinaan pada tahap asimilasi ini antara lain adalah berupa beribadah bersama masyarakat, kerja bakti bersama masyarakat, melanjutkan sekolah/ kuliah, bekerja pada unit-unit keterampilan mandiri di luar lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Perkembangan pada tahap pembinaan ini secara terus menerus dimonitor oleh wali yang bersangkutan dan TPP. Apabila hasil evaluasi selama tahap pembinaan ini baik, maka program pembinaan ditingkatkan pada tahap keempat.
4. Tahap keempat (integrasi) Tahap ini disebut tahap integrasi yaitu pemilihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dan masyarakat, karena narapidana diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakatan tanpa pengawalan. Untuk dapat memasuki tahap ini narapidana telah menjalani dua pertiga masa pidana sebenarnya, atau sekurang-kurangnya telah menjalani masa pidana selama sembilan bulan. Bimbingan pada narapidana pada tahap ini dilakukan oleh Balai pemasyarakatan, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dimana narapidana berdomisili. Integrasi ini diberikan dalam bentuk: 1. Pembebasan bersyarat 2. Cuti menjelang bebas
Mendukung berjalannya proses pembinaan dengan baik maka juga dilakukan usaha pengamanan dan pengawasan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Adapun tugas pokok keamanan dan ketertiban. Sebagaimana di sebut dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/ tahanan, antara lain: 1) Kegiatan keamanan dan ketertiban berfungsi memantau dan menangkal/ mencegah sedini mungkin gangguan keamanan dan ketertiban yang timbul dari luar maupun dari dalam Lapas dan Rutan/Cabang rutan, 2) Kegiatan keamanan dan tata tertib tidak selalu berupa kegiatan fisik dengan senjata api atau senjata lainnya melainkan sikap dan perilaku petugas yang baik terhadap penghuni memberikan dampak keamanan dan ketertiban yang harmonis. 3) Kegiatan keamanan dan ketertiban mencegah agar situasi kehidupan penghuni tidak mencekam yaitu agar tidak terjadi penindasan, pemerasan dan lain-lain perbuatan yang menimbulkan situasi
kehidupan menjadi resah dan ketakutan. Menjaga agar tidak terjadi pelarian dari dalam maupun dari luar Lapas dan Rutan/Cabang rutan. 4) Memelihara, mengawasi dan menjaga agar suasana kehidupan narapidana/tahanan (suasana bekerja, belajar, berlatih, makan, rekreasi, beribadah, tidur dan menerima kunjungan dan lain-lain) selalu tertib dan harmonis. 5) Memelihara, mengawasi dan menjaga keutuhan barang inventaris Lapas dan Rutan/Cabrutan. 6) Melakukan pengamanan terhadap gangguan kesusilaan. 7) Melaksanakan administrasi (tata usaha) keamanan dan ketertiban.
F. Hak-hak narapidana. Tiap narapidana yang menjalani hukumannya harus diperlakukan layaknya manusia. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu dibuat merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. 46 Selayaknya manusia maka narapidana pun harus diperhatikan dan penuhi hak-haknya. Yang pertama-tama harus dipenuhi tentunya Hak Asasi Manusia sebagaimana dijabarkan dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian juga harus dipenuhi hak-haknya selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Secara keseluruhan berikut ini ialah hakhak narapidana. Adapun narapidana berhak : 47 1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; 2) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5) menyampaikan keluhan; 6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; 7) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; 8) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; 9) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); 10) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 11) mendapatkan pembebasan bersyarat; 12) mendapatkan cuti menjelang bebas; dan 13) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana disebut di atas bahwa remisi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan hak narapidana yang harus dipenuhi. Remisi terdiri dari remisi umum, remisi khusus dan remisi tambahan. Sebagaimana di atur dalam Keputusan Presiden no. 174 tahun 1999 tentang remisi, yakni: 48 Pasal 2 47
Indonesia, Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ps. 14 ayat 1.
48
Indonesia, Keputusan Presiden no. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ps. 2 dan 3.
(1) Remisi Umum, yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus; dan (2) Remisi Khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Pasal 3 (1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambah dengan remisi tambahan apabila Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana : a. berbuat jasa kepada Negara; b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas.
Selain itu ada juga remisi tertunda dan remisi khusus bersyarat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor : M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda Serta Remisi Tambahan, yakni: 49 Pasal 1 (1) Remisi khusus yang tertunda adalah remisi khusus yang diberikan kepada Narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi Narapidana dan besarnya maksimal 1 (satu) bulan. (2) Syarat-syarat memperoleh remisi khusus tertunda tersebut, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 (1) Remisi khusus bersyarat adalah remisi khusus yang diberikan secara bersyarat kepada narapidana dan anak pidana, yang pada saat hari raya agama yang bersangkutan, masa menjalani pidananya belum cukup 6 (enam) bulan). (2) Syarat-syarat memperoleh dan besarnya remisi khusus bersyarat tersebut, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Selain remisi Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan hak-hak wargabinaan yang harus diberikan. Namun demikian hak-hak tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu antara lain: 50
49
Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor: M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi khusus
yang tertunda serta remisi tambahan, ps. 1 dan 2. 50
Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan
Cuti Menjelang Bebas. Ps. 7, 8 dan 10.
Pasal 7 (1) Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi asimilasi, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, apabila memenuhi persyaratan substantif dan administratif. (2) Persyaratan substantif yang harus dipenuhi Narapidana dan Anak Pidana adalah : a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana; b. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; c.
berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d.
masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan;
e.
selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir;
f.
masa pidana yang telah dijalani : 1) untuk asimilasi, narapidana telah menjalani 1/2 (setengah) dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 3)
untuk cuti menjelang bebas, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 8. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan adalah : a. salinan putusan pengadilan (ekstrak vonis); b. surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya; c. laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana; d. salinan (daftar huruf f) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala Lapas); e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala Lapas;
f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa; g. surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum. h. bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan : 1) surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/ Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan; 2) surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.
Adapun hal-hal yang mencegah warga binaan mendapatkan hak-hak adalah dengan kondisi-kondisi tertentu, yakni:
Pasal 10 (1) Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas tidak diberikan kepada : a. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang kemungkinan akan terancam jiwanya; b. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang diduga akan melakukan lagi tindak pidana; atau c. Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup. Selain hak-hak di atas yang penting juga ialah hak-hak narapidana/ tahanan atas pelayanan kesehatan dan perawatan. Narapidana/tahanan harus mendapatkan pelayanan kesehatan dan perawatan yang memadai. Dengan demikian seharusnya sebuah lembaga pemasyarakatan atau Rutan dilengkapi dengan sarana dan prasarana kesehatan yang baik. Serta harus disediakan tenaga dokter dan kesehatan yang memadai sebanding dengan jumlah warga binaan. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 2) Pada setiap Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. 3) Dalam hal Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat. 51 Untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan itu bila dianggap perlu maka Lapas/ rutan dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) huruf d Peraturan
51
Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata-cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas,
dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ps. 21 ayat 1-3.
Pemerintah nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, kerja sama di bidang kesehatan dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya setelah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.