Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
PENCEGAHAN HIV/AIDS DARI IBU KE BAYI: Pelayanan Berkesinambungan yang Terpecah
Johanna Debora Imelda, et al1
Pendahuluan Artikel ini adalah ringkasan dari kajian cepat (rapid assessment) mengenai program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission) atau pencegahan HIV/AIDS dari Ibu ke Bayi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP-UI dengan Yayasan Pelita Ilmu (YPI) dengan dana dari Pemerintah Belanda melalui Medical Committee Nederlands-Vietnam (MCNV) melalui Amsterdam School for Social science Research of the University of Amsterdam (ASSR/UvA). Menanggapi United Nations General Assembly Special Session (UNGGAS) untuk mengurangi resiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi sebesar 20 % pada tahun 2010, World Health Organization (WHO) mempromosikan suatu pendekatan 4 prong untuk pencegahan penularan HIV /AIDS dari ibu ke bayi, yaitu (1) pencegahan primer untuk melindungi semua perempuan usia reproduktif agar tidak tertular HIV, (2) mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; (3) mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS pada saat proses melahirkan dan menyusui pada ibu hamil HIV positif, dan (4) memberikan dukungan psikologi, sosial dan perawatan kepada ibu hamil HIV positf beserta bayi dan keluarganya. Sejak ketersediaan ARV dan perawatan medis lainnya semakin mudah untuk diakses, program pelayanan PMTCT mutlak dilaksanakan secara berkesinambungan (continuum of care) yang mencakup keempat prong tersebut di atas. Rapid assesssment ini dilakukan pada konteks perkotaan dan pedesaan untuk melihat seberapa jauh pelayanan PMTCT yang berkesinambungan diterapkan di Indonesia dan untuk memotret intervensi PMTCT yang ada dalam rangka mengembangkan model yang komprehensif yang berorientasi pada kesehatan ibu dan anak. Kerangka analisa untuk rapid assessment ini dikembangkan berdasarkan pada ke empat prong WHO. Untuk mendapatkan gambaran awal tentang Program PMTCT di Indonesia, kajian dimulai dengan mengadakan Stakeholder Workshop dan FGD dengan ODHA. Setelah itu, untuk mendapatkan data yang lebih mendalam, diadakan kajian dokumen dan melakukan pengumpulan data lapangan dengan pendekatan kualitatif dengan FGD, buddy method, dan wawancara mendalam, obeservasi dan exit interview. Informan yang terlibat dalam pengumpulan data adalah para ahli dari Departemen Kesehatan, Menetri Negara Pemberdayaan Perempuan, Perhimpunan Dokter Anak Indonesia, BKKBN, PB ASI, PKBI, YKAI, dan POKDISUS HIV/AIDS Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) FKUI, Yayasan Mitra Indonesia, Yayasan Kusuma Buana, YPI, Perawat RSCM, Manajer Program PMTCT, Fasilitator PMTCT, Kader Masyarakat, Pemimpin Informal Masyarakat, Kaum Muda, Konselor VCT/PMTCT, termasuk ibu HIV positif dari Karawang, dan Jakarta.
1
Saya adalah koordinator tim peneliti yang anggotanya adalah Irwan Hidayana (Antropologi FISIP UI) Toha Muhaimin (YPI), Husein Habsyi (YPI), Triyanti Anugrahini (Kessos FISIP UI), Nana Suharna (Kessos FISIP UI) dan Tedi Setiady (Kessos FISIP UI)
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Dari data yang ada diketahui bahwa pelayanan PMTCT di Indonesia belum merupakan program yang utuh dan berkesinambungan, namun masih berjalan dengan terpecah. Kegiatan pencegahan primer untuk kaum muda dan kesadaran akan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sangat terbatas. Begitu pula dengan akses terhadap VCT. Pada kebanyakan kasus, tindakan pencegahan menjadi sangat terlambat untuk dilakukan karena VCT dilakukan ketika kehamilan sudah lebih dari 7 bulan. Ditambah lagi, aborsi adalah tindakan illegal yang melawan hukum dan secara medis tidak diperkenankan walaupun untuk tujuan pencegahan. Pemerintah Indonesia belum menyediakan pelayanan PMTCT secara sistematis dan belum menjadi program wajib bagi ibu hamil di pelayanan KIA. Walaupun beberapa LSM menyediakan ARV dan pelayanan Caesar dengan gratis, namun pelayanan lanjut untuk ibu HIV positif dan bayinya masih amat sangat terbatas.
Situasi Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai Desember 2005, di seluruh Indonesia tercatat ada 4.244 kasus HIV dan 5.321 kasus AIDS. Namun Departemen Kesehatan RI memperkirakan kasus HIV/AIDS lebih besar dari yang tercatat, kira-kira 90.000-130.000 kasus. Sejak tahun 2000 fase epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah berubah dari “rendah” menjadi “terkonsentrasi” karena terdapat prevalensi di atas 5% di beberapa wilayah dan kelompok masyarakat. Misalnya, prevalensi di antara pekerja seks wanita di Riau, Jawa Barat, dan Papua masing-masing adalah 6,4%, 5,5%, dan 24,5%; sedangkan di antara pekerja seks waria di Jakarta, prevalensi HIV mencapai 21,7%; tingkat prosentase kasus HIV/AIDS di antara pencandu narkoba suntik atau intravenous drug users (IDU) adalah 48% di DKI Jakarta dan 53% di Bali. Jumlah kasus HIV/AIDS di kalangan IDU meningkat sangat pesat di Indonesia pada enam tahun terakhir. Sejak kasus HIV ditemukan pertama kali tahun 1987 hingga bulan Juni 1999 ditemukan 6 kasus HIV di kalangan IDU. Namun, secara mengejutkan, enam bulan terakhir sampai Desember 1999 terjadi peningkatan tajam sekali menjadi 25 kasus dan terus bertambah pesat menjadi 780 kasus pada akhir tahun 2002 dan meningkat tajam menjadi 3.719 kasus HIV/AIDS pada Desember 2005 (Riono dan Jazant 2004:79). Sebaliknya berdasarkan data laporan kasus HIV/AIDS di Departemen Kesehatan RI, terjadi penurunan prosentase cara penularan HIV melalui jalur hubungan seksual, yaitu dari semula 80% menjadi 50% pada tahun 1999 dan dan turun lagi menjadi 48% pada tahun 2002. Ada perubahan rute penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dari jalur hubungan seks kini melalui jalur penularan narkoba suntikan. HIV and AIDS Cumulative Cases in Indonesia (1987 - 2005) 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
HIV
AIDS
Sumber : Sub-Direktorat STD & AIDS, CDC, MoH. S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors author
Tingginya kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki laki laki muda IDU, lebih dari 91% dengan usia 16-25 16 tahun, dikhawatirkan akan terjadi pula peningkatan angka penularan HIV kepada pasangan perempuannya yang pada gilirannya bisa berakibat terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi. Sebuah survei di Jakarta menunjukkan bahwa 53% IDU laki-laki laki laki pernah melakukan seks dengan lebih dari satu partner, dan 20% pernah melakukan seks dengan PSK dan mayoritas tidak menggunakan kondom. (HIV and Drugs, Fact Sheet, FHI, 2004). Menurut prediksi Depkes RI, setiap tahunnya terdapat 9.000 Odha perempuan yang hamil. Sementara itu, tahun 2003 – 2005, YPI telah membantu dan memberikan dukungan kepada 45 ibu hamil HIV positif di Jakarta rta melalui program PMTCT. Data ini menunjukkan bahwa HIV telah terdapat di kalangan ibu rumah tangga yang seyogyanya tidak tergolongkan dalam kelompok risiko tinggi. Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang dilayani di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta jumlahnya mlahnya juga semakin meningkat. Jika pada tahun 1996 dan 2002 terdapat masingmasing masing satu kasus bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif, maka pada tahun 2003 terdapat 17 kasus baru. Pada tahun 2004, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 44 4 kasus. Sedangkan selama tahun 2005, terdapat 74 kasus baru bayi yang dilahirkan ibu HIV positif. Menurut catatan seorang paediatric yang menangani kasus HIV pada anak, sampai Desember 2005, ada 88 bayi yang dipastikan tertular HIV. Kasus Baru Anak yang lahir l dari Ibu HIV Positif Rumah Sakit Rujukan Cipto Mangunkusumo (1996 – 2005) 74
80 70 60 44
50 40 30 17
20 10
1
0
0
0
0
0
1
0 1996
1998
2000
2002
2004
Sumber: Pedoman Nasional PMTCT
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Human Immunodeficiency Virus (HIV) bisa ditularkan melalui berbagai cara, antara lain lai melalui ibu HIV positif kepada bayi yang dikandungnya, atau yang dikenal dalam istilah bahasa Inggris “Mother to Child HIV Transmission”, disingkat menjadi MTCT. Menurut perkiraan UNAIDS, pada akhir tahun 2005 secara kumulatif di seluruh dunia terdapat 40,3 40,3 juta orang dengan HIV/AIDS di mana 17,5 juta (43%) diantaranya adalah perempuan dan 2,3 juta anak-anak anak berusia kurang dari 15 tahun. Selama tahun 2005, diperkirakan sebanyak 700.000 anak-anak anak hidup dengan HIV/AIDS (sekitar 1.918 kasus per hari) yang mana mana diperkirakan 90% diantara mereka terinfeksi HIV melalui jalur penularan dari ibu ke bayi. Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar 2%. Tetapi di negara berkembang tanpa adanya akses intervensi, risiko penularannya bisa sampai 25% - 45%. Dewasa ini semakin maju upaya intervensi untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dari ibu HIV positif. Kemajuan ini membawa harapan.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Banyak kalangan, termasuk juga tenaga kesehatan, berasumsi bahwa semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pastilah akan juga terinfeksi HIV karena darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan. Padahal, sirkulasi darah janin dan ibu dipisahkan oleh beberapa lapisan sel di plasenta. Beberapa zat dapat menembus lapisan sel tersebut, seperti oksigen, zat makanan, antibodi dan obat-obatan tertentu. Pada plasenta yang sehat HIV tidak dapat menembusnya, sehingga janin terlindung dari infeksi HIV. Namun, jika plasenta meradang atau rusak, maka virus akan menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV ke bayi. Pada masa persalinan, penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi apabila pada bayi terjadi perlukaan dan terkontaminasi oleh darah dan lendir jalan lahir ibu. Pada masa menyusui, penularan HIV dari ibu ke bayi dapat melalui cairan air susu ibu ataupun cairan/darah dari puting susu ibu yang lecet. Perkiraan Resiko dan Waktu Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Waktu
Resiko
Selama Kehamilan
5 – 10%
Ketika Persalinan
10 – 20%
Melalui Air Susu Ibu
10 – 15%
Keseluruhan Resiko Penularan
25 – 45%
Sumber: Pedoman Nasional PMTCT
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi menjelang ataupun saat persalinan. Kadar Virus (Viral Load) HIV pada ODHA berkisar antara 10.000 – 100.000 copy/ml. Pada kadar HIV ibu kurang dari 1000 kopi/mL menjelang atau saat persalinan, meski tanpa pemakaian obat ARV, kemungkinan penularan sangat kecil atau tidak terjadi. Apabila jumlahnya lebih dari 100.000 copies/ml, tingkat resikonya bisa jauh lebih besar. Seorang ibu dengan jumlah virus HIV lebih dari 100.000 copy/ml memiliki resiko terjadinya penularan penyakit ke bayi 23 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki jumlah virus HIV kurang dari 1000 copy/ml. Status kesehatan dan gizi dari ibu juga mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 200. Semakin rendah jumlah sel CD4, umumnya semakin tinggi kadar HIV di tubuh Odha. Selain itu, semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam sebelum persalinan. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan episiotomi. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian air susu ibu (ASI). Ibu yang menyusui bayinya risiko penularan HIV lebih besar 10-15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya.
Gambaran PMTCT di Indonesia: Program Berkesinambungan yang Terpecah Pencegahan Primer Pada Perempuan Usia Reproduktif Usaha yang dilakukan untuk pencegahan HIV/AIDS pada perempuan usia reproduktif dan generasi muda terbatas hanya pada pekerja seks dan pengguna narkoba. Kegiatan Program S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
PMTCT hanya ditujukan untuk ibu-ibu hamil melalui VCT keliling yang sekarang ini sedang digalakkan oleh YPI. Selain itu, kebanyakan program pencegahan HIV/AIDS yang diperuntukkan untuk generasi muda tidak melihat mereka sebagai kelompok seksual aktif. Terkait dengan kegiatan pencegahan HIV/AIDS, masalah seks dan kesehatan reproduksi bagi generasi muda seringkali masih tabu untuk dibicarakan, sehingga sukar bagi mereka untuk mendapatkan akses informasi yang dibutuhkan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan memberikan beberapa contoh kegiatan dalam pencegahan HIV/AIDS kepada remaja yang terbatas pada kegiatan kampanye HIV/AIDS, seminar, pelatihan, KIE media, konseling dan perlombaan seni (Warta Propas, Edisi 29, 2005). Beberapa LSM mulai mengembangkan kegiatan yang mendukung pencegahan penularan HIV/AIDS kepada generasi muda, Sebagai contoh, YPI banyak memiliki fasilitas dan kegiatan dengan jangkauan untuk anak-anak muda, misalnya ”Drop In Center Cijantung” (yang biasa disebut Die-J YPI) dan Sanggar Kesehatan Sahabat Remaja. Ada dua strategi Die-J YPI dalam melakukan kegiatannya yaitu di tempat kerjanya sendiri dan jangkauan keluar (outreach). Di tempat kerja memberikan layanan berupa kunjungan keluar, pemeriksaan kesehatan, pertemuan anak muda, KIE media dan kegiatan seni. Sedangkan layanan outreach meliputi penjangkauan anak-anak muda di mal-mal, adanya konseling di Klinik YPI, Layanan Informasi AIDS, mengunjungi anak-anak muda di rumahnya, dan ada penyuluhan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Walaupun, Departemen Kesehatan menempatkan kondom (”C”) sebagai strategi yang ketiga, setelah A (abstinensi atau Hindari Seks) dan B (be faithful atau Setia dengan pasangan), untuk mencegah penularan HIV dan PMS melalui hubungan seksual, namun penolakan masyarakat terhadap promosi penggunaan kondom cukup tinggi karena kuatir promosi penggunaan kondom akan memicu pergaulan seks bebas di kalangan remaja. Meskipun demikian, penyediaan kondom relatif masih dapat diterima karena terkait dengan program KB. Pada tahun 2005, BKKBN mempromosikan condom vending machine2 untuk memudahkan akses masyarakat terhadap kondom. VCT juga merupakan salah satu usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS pada perempuan usia reproduktif. Layanan VCT sudah tersedia di beberapa kota besar di Indonesia. Seseorang bisa mengakses layanan VCT di klinik, rumah sakit rujukan atau beberapa puskesmas yang disediakan oleh pemerintah atau LSM. Layanan VCT dibuka untuk umum. Biasanya konseling tidak dipungut bayaran, tetapi seorang klien harus membayar sebesar Rp.80.000 – Rp.100.000 untuk test darah tergantung jenis testnya. Biasanya test ELISA sangat dianjurkan karena tingkat sensitivitas dan kespesifikan yang tinggi dengan tiga reagen yang berbeda. Biayanya bisa mencapai Rp.85.000. Seseorang yang tidak mampu membayar test darah bisa mendapatkan bantuan dari program jaring pengaman sosial. Menurut Strategi nasional VCT harus memenuhi sejumlah syarat yaitu konseling pre-test dan post-test, secara sukarela, terjaga kerahasiaan, dan adanya persetujuan (informed consent). Pada kenyataannya banyak test yang dilakukan tanpa adanya konseling dan tidak memperhatikan kerahasiaan. Dalam wawancara dengan seorang aktivis HIV/AIDS masalah kerahasiaan dalam VCT memang masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Menurutnya, sekalipun dokter atau psikolog belum tentu dapat memegang kerahasiaan karena konteks masyarakatnya yang berbeda dengan di negara barat yang konteks sosial budayanya memang mempunyai tradisi memegang privacy atau kerahasiaan. Beberapa LSM yang melakukan kegiatan layanan VCT dengan pendekatan berbasis masyarakat dan kelompok sebaya. Biasanya kegiatan ini tidak dipungut biaya. Sayangnya, layanan 2
Mesin otomatis penjual kondom hanya dengan memasukan 3 uang logam Rp. 500 untuk 1 kondom.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
ini hanya diberikan kepada kelompok masyarakat beresiko tinggi seperti pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. Satu-satunya VCT untuk ibu hamil diadakan oleh YPI melalui VCT keliling3 karena layanan VCT untuk ibu hamil belum menjadi program rutin dari pemerintah. Namun, stigma terhadap HIV/AIDS terkadang membuat para ibu hamil enggan untuk datang mengikuti layanan VCT. Badan PBB, melalui UNGASS 2001 telah memutuskan agar negara-negara di dunia mulai melaksanakan program Harm Reduction sebagai pilihan terbaik untuk mengurangi penularan HIV/AIDS di antara penasun. Sayangnya di Indonesia program ini bersifat ambigu. Seperti kondom, masyarakat tidak setuju dengan pembagian jarum suntik steril pada penasun. Selain karena pertimbangan aspek legal, intervesi ini dipandang akan memacu peningkatan penggunaan narkoba di kalangan generasi muda. Jarum suntik steril dan methadone sebgai metode substitusi hanya dapat digunakan sebagai pengobatan di beberapa RS pemerintah dan LSM.
Mencegah Kehamilan Yang Tidak Direncanakan Pada Perempuan HIV Positif Program KB bukanlah semata-mata bertujuan membatasi angka kelahiran, namun juga menanamkan pandangan bahwa kehamilan haruslah direncanakan secara baik – kapan, berapa kali, bagaimana kondisinya, untuk mencegah terjadinya kehamilan tidak diinginkan (KTD). Dari berbagai metode kontrasepsi yang tersedia di Indonesia hanya kondomlah yang bersifat dual protection yaitu mencegah kehamilan dan melindungi diri dari penularan penyakit seksual, termasuk HIV. Penggunaan kondom secara konsisten akan lebih efektif untuk mencegah penularan HIV dari kelompok resiko tinggi kepada pasangannya dan anak-anak (Riono and Jazant 2004:88). Hampir semua perempuan HIV positif yang diwawancarai dalam penelitian ini terinfeksi dari pasangan seksualnya atau suaminya yang penasun. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara efektif tanpa mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan. Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi adalah dengan mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV-positif usia reproduktif dengan layanan VCT dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif. Dalam Pedoman Nasional PMTCT dinyatakan bahwa pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling yang berkualitas akan membantu ibu HIV positif dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak-anak yang terinfeksi HIV. Ibu HIV-positif mungkin cukup yakin untuk tidak ingin menambah jumlah anaknya karena khawatir bayinya tertular HIV dan menjadi yatim piatu di usia muda. Namun dengan adanya kemajuan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, keputusan ibu HIV positif tersebut bisa terpengaruh. Sebagian dari mereka yakin untuk bisa punya anak yang tidak terinfeksi HIV. Konselor hanya bisa memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan, baik tentang kemungkinan terjadinya penularan, maupun peluang bayi untuk tidak terinfeksi HIV. Ibu HIV positif berhak menentukan keputusannya sendiri. Mereka sebaiknya tidak dipaksa ataupun dinasehati untuk tidak menjadi hamil ataupun menghentikan kehamilannya (aborsi). Mereka harus mendapatkan informasi yang akurat tentang risiko penularan HIV ke bayi, sehingga mereka dapat membuat pemikiran sendiri setelah berkonsultasi dengan suami dan keluarganya. Di sini terlihat bahwa pada tataran kebijakan, hakhak reproduksi dari perempuan HIV positif diakui oleh negara. Di Indonesia umumnya keinginan perempuan untuk memiliki anak amat kuat, dan perempuan akan kehilangan status sosialnya jika 3
VCT Keliling adalah pelayanan VCT yang dijalankan secara berpindah-pindah dari satu ke lokasi lainnya -biasanya di komunitas tertentu di masyarakat- untuk mendekatkan atau mempermudah akses layanan VCT ke masyarakat yang membutuhkannya.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
tidak mampu menjadi seorang ibu yang melahirkan anak. Dalam sebuah FGD dengan ODHA perempuan di Karawang terlihat bahwa keinginan memiliki anak cukup menonjol, seperti kebayanyakan perempuan Indonesia lainnya apalagi bila masih relatif muda usia. Kalo saya sih pengen punya anak...karena anak itu pemberian yah. Pemberian dari atas, sebuah anugerah gitu kan?.. saya tuh dengan status sebagai janda, pengennya jodoh nikah lagi kenapa nggak...juga punya anak, walaupun status kita HIV positif, pokoknya kita jangan pantang mundur (Vivi, 25 tahun) …. Kata temen-temen saya kalo ada jodoh, kawin aja, nanti punya anak gampang...kita dampingin. Jadi cara pencegahannya, mungkin kalo lahir ya...enggak boleh menyusui. Ya...mungkin juga dikasih apa yah..., ya itu operasi cesar aja. Saya mau nanya nih, kalo misalnya ibu hamil kita udah minum obat, terus misalkan sebulan sekali ada gak aturannya, cara penularan ke bayinya, buat minum obat apa nggak? (Ami, 26 tahun).
Layanan VCT biasanya akan merujuk perempuan HIV positif ke rumah sakit tertentu yang mempunyai pengalaman menangani ODHA seperti RS Cipto Mangunkusumo dan RS Dharmais di Jakarta. Mereka akan mendapatkan konseling yang berisi informasi tentang masalah reproduksi termasuk promosi penggunaan kondom sebagai pelindung ganda bukan di layanan KIA dan KB tetapi di bagian HIV/AIDS dan, sayangnya, konseling KB dilakukan oleh konselor HIV/AIDS yang mempunyai pengetahuan terbatas tentang KB. Persoalan pencegahan kehamilan yang tidak dikehendaki bukan semata akibat hubungan seks yang tidak aman tetapi bisa juga ketika seorang perempuan yang sedang hamil kemudian mengetahui bahwa dirinya HIV-positif. Sebagaimana terungkap dalam rapid assessment ini bahwa seringkali seorang perempuan menemukan dirinya terinfeksi HIV setelah anaknya atau suaminya sakit terus menerus dan kemudian diketahui HIV positif. Idealnya pencegahan kehamilan yang tidak dikehendaki pada ibu HIV-positif dilakukan sebelum kehamilan terjadi. Konseling mengenai tes HIV sukarela dan hubungan seks yang aman dengan menggunakan kondom sesungguhnya perlu dilakukan terhadap pasangan yang beresiko tinggi. Sayangnya jarang sekali program preventif HIV menjangkau pasangan tetap dari individuindividu yang termasuk kelompok beresiko. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa status HIV seorang ibu hamil baru diketahui ketika ia sudah berada dalam tahap lanjut kehamilan, misalnya trimester kedua atau ketiga. Terlambat VCT pada ibu hamil dapat mengakibatkan timbulnya tekanan-tekanan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan kehamilan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang ibu hamil HIV positif berkeinginan untuk menghentikan kehamilannya karena kekawatiran bayinya akan tertular HIV. Oleh karena itu upaya yang perlu terus ditingkatkan adalah care and support bagi ibu hamil HIV positif agar tidak menjadi stress atau depresi yang mungkin dapat menyebabkan ia tidak menghendaki lagi kehamilannya dilanjutkan. Karena kebijakan nasional PMTCT menjamin hak-hak reproduksi perempuan, apabila seorang perempuan HIV-positif menginginkan kehamilannya dihentikan atau aborsi maka diperlukan pelayanan kesehatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Persoalan aborsi merupakan persoalan dilematis dan ambigu dalam konteks masyarakat Indonesia karena sering dibungkus dengan isu moral, agama dan etis. Secara sistem medis tradisional tindakan pengguguran kandungan sudah lama dilakukan dengan beragam cara. Hanya saja cara-cara aborsi tradisional sering dikategorikan tidak aman (unsafe) dari perspektif sistem medis moderen. Sementara menyediakan layanan aborsi yang aman belum dapat dilakukan secara resmi, karena UU Kesehatan yang berlaku melarang praktik aborsi kecuali dengan indikasi tertentu yang bisa ditafsirkan secara longgar. Namun apabila program PMTCT merupakan salah satu prioritas dalam S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
penanggulangan epidemi HIV/AIDS maka penyediaan layanan aborsi yang aman berbasis konseling perlu dilakukan. Tentu saja ada yang pro dan yang kontra terhadap aborsi di dalam masyarakat. Pada FGD di kalangan tokoh masyarakat di Rawabunga, Jakarta terungkap bahwa praktik aborsi harus dilihat dari penyebab dan alasannya. Apabila aborsi dilakukan demi kesehatan si ibu dan/atau masih dalam batas usia kehamilan tertentu maka masih dapat diterima. Namun apabila kehamilan terjadi karena seks bebas, maka praktik aborsi dianggap melanggar hukum dan agama. Sementara FGD di kalangan ibu rumah tangga di Rawabunga juga memperlihatkan pandangan yang mirip walau pun tetap ada pendapat yang pro dan kontra terhadap aborsi. Peserta dalam kedua FGD di atas juga sependapat bahwa apabila aborsi harus dilakukan maka sebaiknya mencari pelayanan ke dokter yang kompeten, bukan ke dukun atau bidan karena dianggap berbahaya. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif jelas perlu melibatkan laki-laki. Masalah keterlibatan laki-laki dalam kesehatan reproduksi dan seksual sudah lama dibicarakan dalam pencegahan HIV/AIDS. Beragam kampanye dan promosi HIV/AIDS kepada laki-laki dan perempuan telah dilakukan melalui KIE. Tetapi, Survei Surveilan Perilaku (SSP) selama 5 tahun mengungkapkan hampir tidak ada perubahan perilaku dalam penggunaan kondom— tetap di bawah 10 persen—untuk pencegahan IMS dan HIV/AIDS dan kehamilan yang tidak direncanakan (Kaldor et.al,. 2000). Kelihatannya laki-laki kurang memperhatikan kesehatan dirinya dan tidak sadar perilaku seksual mereka yang beresiko merupakan jembatan dalam penyebaran IMS dan HIV/AIDS kepada pasangan seksualnya, anak-anak mereka dan masyarakat umum. Dalam sebuah FGD dengan tokoh masyarakat laki-laki dan ibu-ibu kader masyarakat, mereka merasa bahwa banyak orang masih kurang pengetahuannya tentang HIV/AIDS—cara penularannya, bagaimana mencegahnya, dan apa yang harus dilakukan—apalagi tentang PMTCT. Mempromosikan program PMTCT kepada masyarakat, terutama kepada laki-laki sangatlah strategis. Beberapa kader masyarakat berpendapat bahwa VCT keliling untuk PMTCT dapat diarahkan kepada para suami. Jika kegiatan VCT menjangkau para suami maka pencegahan penularan HIV ke ibu bisa lebih efektif sehingga bisa menurunkan resiko penularan ke anak.
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Bayi pada saat kehamilan dan persalinan. VCT merupakan salah satu komponen penting dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dengan memberikan pemahaman kepada ibu hamil apa yang seharusnya mereka lakukan selama masa kehamilan dan pada saat persalinan. Berdasarkan Pedoman nasional PMTCT, VCT untuk ibu hamil seharusnya diintegrasikan sebagai test rutin dalam layanan ANC namun program ini belum dilaksanakan. Berdasarkan penelitian di 7 puskesmas, 1 rumah sakit, dan 1 klinik layanan KB yang ada di Jawa Tengah, tidak ada petugas kesehatan yang memberikan informasi HIV/AIDS kepada kliennya (Muhaimin, 2003:40). Apalagi memberikan pelayanan VCT. Pencegahan HIV untuk ibu hamil seharusnya dilakukan pada trimester pertama atau trimester kedua sehingga bisa meningkatkan kesehatan ibu HIV positif. Pada kenyataannya, yang sering terjadi adalah ibu hamil terdeteksi HIV positif pada usia kehamilan lanjut (trimester ketiga). Kebanyakan kasus yang ditermukan dalam rapid assessment ini dapat dikatakan bahwa seorang ibu mau melakukan tes HIV karena atas anjuran dari dokter-dokter yang merawat anggota keluarga mereka (suami atau anak) yang diduga terkena HIV positif, bukan karena layanan VCT. Obat antiretroviral (ARV) juga dapat diberikan kepada semua perempuan yang sedang hamil (tanpa di tes CD4), disesuaikan dengan kondisi klinis yang sedang dialami ibu. Pemberian ARV pada masa kehamilan bertujuan untuk mengoptimalkan kesehatan ibu dan mengurangi resiko penularan HIV ke bayi yang sedang dikandungnya. Pada umumnya, ARV profilaksis akan S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
diberikan pada saat kehamilan ibu mencapai usia 36 minggu. Di Indonesia, dosis tunggal Nevirapine dengan kombinasi merupakan obat ARV yang paling cocok diberikan kepada ibu dan bayi. Selain harganya murah, ini bisa dilakukan karena perempuan hamil seringkali datang ke layanan kesehatan pada saat akan melahirkan (Yunihastuti, et al, 2003). Sejak tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah memberikan subsidi terhadap harga ARV, sehingga ARV (termasuk ARV prophylaxis) dapat diperoleh secara gratis di 25 rumah sakit rujukan, namun belum tentu mudah mendapatkannya. Dari beberapa kasus yang ditemui di lapangan, bagi ibu yang telah terdeteksi HIV positif sebelum hamil atau pada saat kehamilannya belum mencapai usia 36 minggu, mereka memperoleh ARV profilaksis secara gratis, sejak usia kandungan 36 minggu hingga saat melahirkan. Di samping itu, anak yang baru dilahirkan dari ibu dengan HIV positif, setelah 6 jam kelahirannya akan diberikan obat sampai usia 6 minggu untuk pencegahan. Ibu hamil HIV positif yang menerima ARV profilaksis mulai dari usia kehamilan 36 minggu hingga saat melahirkan, berhasil mengurangi resiko penularan virus tersebut kepada bayi yang dilahirkannya. Bila ibu hamil HIV positif telah terdeteksi sebelum usia kehamilan 36 minggu, maka dokter atau konselor akan memantau kehamilan mereka hingga saat melahirkan tiba. Setelah mendekati waktu persalinan, dokter/konselor akan memberikan pilihan proses persalinan (normal atau seksio sesaria), sekaligus menjelaskan resiko yang harus ditanggung oleh ibu hamil tersebut. Meskipun, pada kenyataannya mereka (konselor maupun dokter) lebih merekomendasikan persalinan secara seksio sesaria. Namun, kembali lagi kepada pedoman nasional PMTCT, pelaksanaan proses persalinan secara normal atau seksio sesaria harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif. Untuk mendukung strategi persalinan yang aman, YPI memberikan bantuan biaya persalinan ibu hamil HIV positif. Bagi mereka yang kondisi ekonomi keluarganya rendah, bantuam tersebut sangat berarti, karena biaya yang dibutuhkan untuk operasi caesar cukup besar (minimal 5 juta rupiah). Selain itu, YPI juga memberikan dukungan bagi ibu hamil HIV positif yang akan menghadapi proses persalinan maupun pasca persalinan melalui para konselor atau buddy. Dukungan psikologis bagi ibu hamil HIV positif menjadi sangat berarti pada saat-saat menghadapi proses persalinan. Di rumah-rumah sakit tertentu, bukan tidak mungkin seorang ibu hamil HIV positif akan menerima perlakuan yang berbeda dari tenaga medis di rumah sakit. Untuk menghindari resiko penularan pada para perawat dan tenaga medis perlu diterapkan universal precaution (UP), seperti mempergunakan sarung tangan, masker, dan barakshot. Namun seringkali persediaan peralatan dalam merawat Odha. Di suatu rumah sakit, pasien Odha akan diberikan kode tertentu di dalam statusnya. Adanya pemberian kode khusus dalam catatan status klien tersebut pada dasarnya untuk menjaga kerahasiaan status klien. Namun, pada kenyataannya kode tersebut menjadi salah satu ‘petunjuk’ yang memungkinkan tenaga medis untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pasien dengan HIV positif.
Perawatan dan Dukungan untuk Ibu HIV Positif, Anak dan Keluarganya Perhatian program PMTCT seyogyanya tidak hanya terfokus pada pencegahan penularan HIV ke bayi, tetapi seorang ibu HIV positif juga perlu diberikan perawatan, perhatian dan dukungan psikososial ekonomi. Perawatan terhadap ibu HIV positif merupakan suatu kesinambungan bahkan sampai ketika ia menghadapi stadium AIDS yang memerlukan perawatan palliative. Seorang dokter anak di RSCM menjelaskan bahwa seorang Odha membutuhkan perawatan palliative untuk mengurangi rasa sakit dan membuat mereka lebih nyaman menjalani sisa hidupnya. Perawatan palliative sederhana kepada ibu HIV positif dapat meringankan gejala S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
AIDS misalnya rasa sakit, diare, mual-mual, muntah, anorexia (tidak nafsu makan) dan berat badan turun, batuk dan sesak nafas, tidak enak badan, lemah, kelelahan, demam dan masalah kulit (UNAIDS, 2000b). Perawatan palliative dapat mengurangi depresi, kecenderungan untuk bunuh diri, dan masalah psikologi lain. Di samping ARV profilaksis, seorang ibu HIV positif juga membutuhkan pengobatan ARV jangka panjang untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Penggunaan obat ARV kombinasi tiga (triple) yang tepat secara signifikan dapat mengurangi jumlah virus HIV dalam tubuh bahkan hingga tidak terdeteksi. Untuk mendapatkan pengobatan ARV, seorang ODHA sebelumnya harus dites CD4nya untuk mengetahui kondisi antibodinya. Seorang ODHA disarankan untuk mendapatkan pengobatan ARV ketika jumlah CD4nya kurang dari 200 copy/ml. Sayangnya tidak ada subsidi untuk pemeriksaan CD4 yang relatif mahal. Ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan jumlah ODHA yang mengikuti pengobatan ARV pada tahun 2005 tidak mencapai target ’3 by 5’ yaitu 10.000 ODHA di Indonesia. Seorang ibu HIV positif di Jakarta terpaksa harus mengeluarkan uang sebesar Rp.925.000/bulan karena mengkonsumsi kombinasi obat ARV yang terdiri dari Stavir (Rp75.000,00), Hiviral (gratis), dan Stocrin (Rp.850.000). Dia beruntung karena mendapatkan dukungan keuangan dari keluarganya per bulan. Banyak ODHA tidak mampu untuk membelinya. Seorang perempuan positif berusaha untuk mendapatkan Kartu Keluarga Miskin (Kartu Gakin) agar untuk memperoleh obat Stavir secara gratis di RSCM. Tetapi ia mengalami kesulitan dalam mengurus persyaratan administrasinya. Beberapa ODHA tidak mampu di Jakarta mendapatkan dukungan khusus dari Pokdisus AIDS di RSCM dan RS Kanker Dharmais yaitu berupa obat paten ARV gratis untuk mempertahankan kepatuhan ARV bagi mereka yang telah resisten terhadap obat generik. Beberapa persyaratan administrasi diperlukan untuk mendapatkan dukungan tersebut seperti surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan, surat rujukan dari dokter dan LSM. Namun, karena keterbatasan dana, pemberian obat tersebut lebih diprioritaskan kepada ODHA yang aktif dalam kegiatan program HIV/AIDS. Ibu HIV positif juga membutuhkan obat untuk pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik (OI) yang sering muncul. Pada umumnya seorang Odha meninggal akibat OI. Kebanyakan OI bisa disembuhkan, tetapi apabila sistem kekebalan tubuh tetap rendah OI bisa muncul kembali dan juga jenis OI lainnya (Yunihastuti, dkk. 2005). Selain itu, Ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling untuk membantu mereka membuat keputusan apakah ingin memberikan susu formula atau ASI eksklusif kepada bayinya. Sesuai panduan WHO, bayi dari ibu dengan HIV positif direkomendasikan untuk tidak diberikan ASI, jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable dan Safe). Jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif selama maksimal 3 bulan dan kemudian harus dihentikan jika susu formula telah memenuhi persayaratan AFASS (Pedoman Nasional PMTCT, 2005:28). Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan setelah masa kelahiran adalah memberikan konseling kepada ibu HIV positif tentang pemberian makanan bayi. Untuk mendukung hal tersebut, YPI menyediakan susu formula bagi anak yang dilahirkan dari ibu dengan HIV positif selama 1 tahun, khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Dari kasus-kasus yang ditemui di Jakarta, para ibu HIV positif cukup mengetahui dengan jelas bahwa ASI tidak boleh diberikan kepada bayi karena akan memperbesar resiko penularan HIV. Meskipun, di antara mereka harus menanggung resiko badannya panas dingin karena air susu banyak, tetapi tidak diberikan ke bayi.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Infeksi Oportunistik dari HIV/AIDS Infeksi Oportunistik
Frekuensi
Jenis Obat
Candidiasis Esofagus
80.8%
Flukonazol
Tuberculosis
40.1%
Rifampisin, INH, Etambutol, Pirazinamid, Streptomisin
Sitomegalovirus
28.8%
Gansiklovir, Foscarnet
Toxoplasmosis
17.3%
Pirimetamin, Sulfadiazin, Klindamisin
Pneumonia P. Carinii (PCP)
13.4%
Cotrimoxazol
Herpes Simplex
9.6%
Asiclovir
Mycobacterium Complex (MAP)
Avium 4.0%
Kriptosporodiosis
2.0%
Claritomisin, Etambutol, Rifabutin, Siprofloksasin Amphoterisin B, Fluconasol, Itraconasol
Sumber: Djoerban dan Djauzi, 2005
Para ibu HIV positif yang mempunyai bayi belum sepenuhnya menyadari bahwa bila pemberian ASI akan diberikan, mereka harus melakukannya secara eksklusif selama 3 bulan, tanpa diselingi oleh makanan padat lainnya. Bila hal tersebut dilanggar, akan memungkinkan terjadinya luka pada usus bayi, sehingga semakin memperbesar tertularnya HIV kepada bayi. Penanganan terhadap anak-anak yang dilahirkan oleh ibu HIV positif juga merupakan perhatian khusus. Bayi HIV positif akan mengalami gangguan tumbuh kembang, lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri ataupun virus, dan secara signifikan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Biaya yang dibutuhkan cukup besar untuk proses tes HIV bagi bayi, baik tes antibodi (ELISA) yang hanya bisa dilakukan setelah umur bayi 18 bulan, ataupun tes antigen (PCR) yang bisa dijalankan sebelum umur bayi 18 bulan. Tes PCR hingga saat ini hanya bisa diakses secara terbatas di Indonesia, tepatnya hanya ada di RS Dharmais Jakarta, dengan biaya sekitar satu juta rupiah per satu tes. Padahal untuk konfirmasi hasil, tes PCR harus dilakukan sebanyak dua kali. Menurut seorang dokter spesialis anak di RSCM, setelah mengetahui hasil tes HIV, dilakukan lagi 2-3 macam pemeriksaan untuk menentukan bayi tersebut perlu obat ARV atau tidak. Biaya-biaya pemeriksaan itu biasanya cukup memberatkan pihak keluarga, sehingga ada yang akhirnya menolak karena tak mampu. Ketika mulai dengan pengobatan, masalah lebih banyak lagi, karena pemerintah hanya menanggung biaya ARV, tetapi segala biaya pemeriksaan termasuk perawatan rumah sakit harus ditanggung sendiri oleh orang tua. Selain itu, pemerintah belum menyediakan secara khusus ARV untuk anak-anak sehingga obat-obat tersebut harus dibuat puyer padahal tidak semua daerah bisa melakukannya, dan jika pun bisa harus ada biaya yang dikeluarkan. Masalah sosial akan semakin berat jika orang tua meninggal dunia. Dari 135 anak dengan HIV/AIDS di RSCM (Januari 2003 – Desember 2005), sebanyak 37 orang diantaranya menjadi yatim-piatu. Upaya perawatan dan dukungan untuk anak yatim/piatu dari orang tua HIV positif menjadi kebutuhan di waktu mendatang, terlebih lagi jika anak tersebut juga terinfeksi HIV.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Tidak hanya di layanan kesehatan, ODHA juga mengalami diskriminasi di pelayanan publik lainnya. Masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap Odha menyebabkan beberapa perempuan HIV positif amat menjaga kerahasiaan status HIVnya. Status sebagai perempuan HIV positif juga bisa berpengaruh terhadap ketidaknyamanan hubungan dengan suami.
Tantangan bagi Pelaksanaan Program PMTCT Tantangan Sosial Budaya Untuk memahami program PMTCT, kita sebelumnya perlu memahami konteks sosial budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia. Secara sosial budaya, posisi perempuan di Indonesia lebih rendah daripada laki-laki. Masyarakat pada umumnya menempatkan perempuan tetap di tingkat domestik. Stigma untuk perempuan, apalagi janda, sangat memberatkan kehidupan sosial mereka. Belum lagi bila mereka terinfeksi HIV/AIDS dan hidup sebagai ODHA. Perempuan ODHA mendapat perlakuan tidak adil secara ganda, baik di masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam kesehatan keluarga, perempuan dinomorduakan, setelah anak dan suami. Namun dibalik semua itu, di era modernisasi, tidak bisa dipungkiri bahwa ranah public bagi perempuan Indonesia lebih terbuka. Hal serupa juga terjadi pada anak-anak. Di satu sisi, anak-anak di Indonesia dianggap sebagai generasi penerus bangsa yang perlu dilindungi dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan. Namun secara implicit, anak-anak juga dianggap sebagai investasi di masa mendatang. Di sisi lain, anak-anak di Indonesia selalu dianggap tidak mampu dan tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sehingga segala program, termasuk program pencegahan HIV/AIDS, selalu menganggap anak-anak sebagai mahluk yang pasif dan tidak memperhitungkan pendapat dan kepentingan anak itu sendiri.
Tantangan dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Di sisi lain sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, setelah adanya kebijakan otonomi daerah, menempatkan peran pemerintah pusat sebagai regulator, pemberi dana, dan pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan. Sayangnya, pada kenyataannya, sistem belum berjalan efektif dan masih terjadi overlapping, karena, pertama, struktur organisasi pusat dalam sistem kesehatan tidak mendukung kebijakan otonomi daerah, dan kedua, komitment pusat untuk otonomi masih rendah. Contohnya, 70 % pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan berasal subsidi swasta dan kantong perorangan. Selain itu, program-program kesehatan lebih banyak pada pendekatan kuratif daripada preventive dan promosi. Padahal untuk masalah semacam HIV/AIDS di Indonesia yang prevalensinya masih bisa dikatakan rendah, program-program prevensi dan promosi merupakan tonggak utama.
Tantangan Institutional Selain itu PMTCT di Indonesia belum menjadi program pemerintah. Kegiatan PMTCT yang ada di Indonesia diprakarsai oleh LSM, walaupun sejalan dengan waktu pemerintah memberikan respon positif terhadap kegiatan ini dengan melakukan penelitian untuk menjajagi kemungkin pengintegrasian PMTCT ke dalam pelayanan KIA dan KB sesuai dengan yang tercantum dalam pedoman Nasional PMTCT. Kelebihan dari PMTCT yang dilaksanakan oleh LSM adalah bahwa LSM mempunyai tenaga penjangkauan yang memadai, namun dana yang tersedia sangat terbatas dan tergantung pada dana yang disediakan oleh donor. Secara tidak langsung
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
kepentingan donor ikut diperhitungkan dalam pelaksanaan program. Bila PMTCT telah menjadi program pemerintah, maka pemerintah dapat menganggarkan program tersebut sehingga program dapat berjalan secara berkesinambungan.
Kapasitas untuk Merespon Respon terhadap epidemi HIV/AIDS Respons nasional terhadap HIV/AIDS diwujudkan melalui Keppres No. 36 tahun 1994 tentang pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang diketuai oleh Menko Kesra RI dan dibantu oleh menteri kesehatan, menteri sosial, menteri agama dan menteri pendidikan nasional. KPA meluncurkan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS (Stranas) 1994 yang kemudian dikembangkan dengan Stranas 2003 – 2007. Setelah itu pemerintah membentuk komite HIV/AIDS di 12 institusi setingkat departemen, yaitu: Kantor Menko Kesra, Kantor Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Perhubungan, Departemen Pendidikan Nasional, Depertemen Kesehatan, Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Narkotika Nasional, yang telah menghasilkan sejumlah kebijakan, panduan, rencana kerja dan proyek. Layanan VCT di Indonesia
Sumber: Majalah Support , September 2005
Untuk meningkatkan efektivitas dan cakupan respons di enam provinsi prioritas, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Papua, ditandatangani Komitmen Sentani pada tahun 2004 oleh Menko Kesra dan lima menteri lain, kesehatan, sosial, agama, pendidikan nasional, dan dalam negeri, ketua komisi VII DPR-RI, Kepala BKKBN, dan enam gubernur dari provinsi prioritas. Komitmen tersebut mencakup program aksi yang mendorong sebuah penanggulangan komprehensif dan terintegrasi terhadap epidemi HIV/AIDS. Pada evaluasi satu tahun Komitmen Sentani, Februari 2005, enam provinsi prioritas di atas diperluas menjadi 14 provinsi, dengan tambahan Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau dan Irian Jaya Barat. Dengan semangat Komitmen Sentani, pada bulan Desember 2005 KPA menerbitkan kebijakan baru yaitu Program Akselerasi Penanggulangan S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
HIV/AIDS di 100 kabupaten/kota prioritas di 21 propinsi, termasuk 14 provinsi prioritas sebelumnya. Pemerintah juga memperluas layanan VCT di rumah-rumah sakit rujukan. Beberapa ruamh sakit menyediakan layanan VCY gratis bila klien mendapat rujukan dari LSM. Sejalan dengan kebijakan ”the 3 by 5” WHO, pada tahun 2004 terjadi kemajuan besar dalam hal akses terapi AIDS di Indonesia, antara lain: •
Indonesia telah mampu memproduksi ARV generik melakui PT Kimia Farma
•
Pemerintah Indonesia memberikan subsidi penuh terhadap obat ARV (10 milyar rupiah per tahun)
•
Ditetapkan 25 rumah sakit rujukan Odha di 13 propinsi di Indonesia
Anggaran pemerintah pusat untuk menanggulangi HIV/AIDS meningkat dari US$ 6,3 juta pada tahun 2003 menjadi US$ 10,6 juta tahun 2004 dan US$ 13 juta dolar tahun 2005. Dana bantuan donor asing adalah US$ 19,5 juta tahun 2003 dan US$ 22,8 juta pada tahun 2004. Pemerintah daerah (propinsi/kabupaten/kota) juga mengalokasikan dana sebesar US$ 0,7 juta tahun 2004 dan US$ 1,6 juta tahun 2005. Beberapa sumber dana yang berasal dari bilateral donation adalah IHPCP (Australia), FHI (USA), DFID (Inggris), GFATM, DKT/KFW (Jerman). Sumber dana UN Core Funds adalah UNICEF, UNFPA, UNDP, WHO, ILO, UNESCO, UNV, World Bank, UNHCR, UNAIDS, sementara sumber dana dari International NGO adalah Save the Children, Cordaid, MSF Belgium, dan Church World Service. (Country Report on Follow-up UNGASS, NAC, 2006.)
Respon terhadap PMTCT PMTCT adalah salah satu program prioritas pencegahan HIV/AIDS dalam Strategi Nasional 2003-2007. Beberapa upaya untuk mengembangkan program nasional PMTCT telah mulai dilakukan, antara lain: •
Terbentuk dan berfungsinya Task Force PMTCT dengan anggota sektor pemerintahan terkait, rumah sakit, LSM, lembaga PBB dan lembaga donor.
•
Pihak UNICEF turut meningkatkan kapasitas tenaga pemerintah dan staf LSM Indonesia terhadap issue PMTCT dengan mengikutsertakannya ke training dan workshop PMTCT international di Thailand dan India.
•
Informasi tentang PMTCT dibahas secara khusus di Buku Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Odha terbitan Depkes 2004.
•
Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penunjukkan 25 Rumah Sakit Rujukan Odha turut mempersiapkan kebutuhan layanan PMTCT di rumah sakit tersebut.
Di akhir tahun 2005, Depkes mengadakan pelatihan nasional bagi 100 orang tenaga kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan) dari 5 propinsi untuk mempersiapkan rencana pengintegrasian PMTCT di beberapa rumah sakit dan puskesmas pada propinsi tersebut. Sehubungan dengan rencana itu, Depkes juga telah mengadakan kajian cepat (rapid assessment) untuk mengetahui kesiapan fasilitas pendukung program PMTCT di 6 propinsi. Sejalan dengan kebijakan baru KPA tentang Akselerasi Penanggulangan HIV/AIDS di 100 kabupaten-kota, maka pada bulan Desember 2005 telah dilaksanakan Semiloka Kebijakan Nasional PMTCT. Sementara itu, para Odha kini juga banyak yang berperan aktif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan semangat GIPA (Greater Involvement of People Living with HIV/AIDS). Beberapa Odha terlibat dalam forum diskusi dan penyusunan kebijakan nasional HIV/AIDS. Support Group Odha telah berdiri hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian dari S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
perempuan HIV positif di Jakarta bahkan membentuk sendiri support group di antara mereka yang dinamakan TOP (Tim ODHA Perempuan) pada bulan agustus 2005. Saat ini, empat orang pengurus TOP Support adalah ibu-ibu muda HIV positif. Banyak kesamaan di antara mereka, antara lain telah memiliki anak dengan dan suami yang telah meninggal dunia. Keempatnya mengaku bahwa mereka tertular HIV dari suaminya. Dua orang di antara mereka memiliki anak yang terinfeksi HIV. Mereka memiliki jadwal pertemuan rutin setiap minggu di Sanggar Kerja YPI. Mereka sangat aktif menjadi nara sumber / pembicara pada acara seminar/penyuluhan/pelatihan HIV/AIDS. Bahkan tak jarang mereka tampil di mass media cetak dan elektronik. Selain untuk mengisi kesibukan, mereka berharap penampilan mereka di muka umum akan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS sehingga bisa mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap HIV/AIDS. Implementasi program PMTCT yang cukup kmprehensif telah dijalankan Yayasan Pelita Ilmu sejak tahun 1999. Program tersebut menjangkau perempuan hamil di daerah kumuh di Jakarta dan sekitarnya untuk memberikan layanan konseling dan testing HIV secara sukarela (VCT), bantuan ARV bagi perempuan hamil HIV positif, dan pemberian susu formula untuk bayi yang dilahirkan. Strategi yang dijalankan oleh YPI ini adalah dengan melibatkan kader kesehatan di masyarakat untuk memotivasi perempuan hamil mengikuti layanan VCT gratis, serta memberikan informasi safe motherhood dalam layanan perawatan ibu masa hamil (antenatal care). Langkah pertama memotivasi para ibu hamil untuk datang ke penyuluhan tentang kesehatan kehamilan, HIV/AIDS dan PMTCT. Ibu-ibu ini dimotivasi oleh kader masyarakat. Langkah berikutnya adalah konseling tatap muka yang dinamakan pre-test counseling untuk menggali faktor risiko ibu hamil serta menjelaskan tentang manfaat dan arti test darah. Langkah ketiga adalah pengambilan darah bagi ibu hamil yang bersedia mengikuti test HIV secara sukarela. Test darah dilakukan dengan metode Elisa. Langkah keempat adalah konseling post-test untuk ibu hamil yang telah melakukan test HIV. Langkah kelima, apabila ada ibu hamil yang HIV positif maka diberikan ARV profilaksis selama masa kehamilan dan bantuan caesar ketika melahirkan. Setelah bayi dilahirkan, ibu mendapatkan bantuan susu formula selama tahun pertama. Meskipun demikian, layanan VCT gratis ini hanya diberikan satu kali kepada seorang ibu hamil. Jika ia ingin melakukan test ulang, maka ia bisa pergi ke klinik atau rumah sakit rujukan dan membayar layanan VCT. Berdasarkan pengalaman tersebut, direkomendasikan agar program ini bisa diperluas ke area lain, terutama karena semakin tingginya prevalensinya HIV di kalangan pengguna narkoba suntik agar dapat mencegah penularan HIV dari pasangan pengguna narkoba ke bayi mereka. Untuk mengurangi permasalahan psikososial yang dialami ibu HIV positif seusai melahirkan, proyek PMTCT YPI (didanai Global Fund 2003 – 2007) memberikan beberapa layanan antara lain home-visit, pemberian nutrisi, bantuan susu formula, penyuluhan kepada keluarga, dan bantuan pemeriksaan kesehatan (tes CD4). Sedangkan untuk membantu Odha perempuan terutama mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah YPI memberikan usaha kerja mandiri, misalnya dengan pelatihan dan modal usaha kerajinan tangan, serta kursus menjahit pakaian.
Rekomendasi Rekomendasi Umum Seiring kian bertambahnya kasus HIV/AIDS pada perempuan, maka program PMTCT perlu segera diimplementasikan secara meluas di Indonesia, salah satunya melalui integrasi dengan kebijakan KPA “akselerasi respons nasional HIV/AIDS komprehensif” di 100 kabupaten/kota yang
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
akan dimulai April 2006. Untuk itu perlu diperkuat komitmen dan respons pemerintah tentang arti penting implementasi program PMTCT sebagai salah satu upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Berbagai pengalaman lapangan dari proyek percontohan program PMTCT yang telah dijalankan YPI dan beberapa LSM lainnya sebaiknya dijadikan rujukan pemerintah untuk memperluas program PMTCT di Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut pedoman nasional tentang PMTCT harus segera disebarluaskan. Kebijakan nasional untuk mendekatkan layanan PMTCT melalui program KIA di puskesmas hingga ke tingkat kabupaten/kota tersebut tentunya merupakan kebijakan yang sangat bijaksana dan perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah daerah tingkat II. Karena itu, pemerintah pusat hendaknya dapat lebih memfasilitasi pemerintah daerah untuk segera menindaklanjuti kebijakan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pedoman nasional PMTCT yang telah dilaunching tahun lalu hendaknya juga dapat lebih di operasionalisasikan dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing karena implementasinya di suatu wilayah tertentu kemungkinan akan berbeda dengan wilayah lain Sosialisasi tentang layanan PMTCT perlu disampaikan ke berbagai stakeholders untuk memberikan pemahaman bahwa PMTCT bukanlah semata upaya untuk mencegah bayi agar tak tertular HIV, melainkan upaya continuum of care sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup ibu HIV positif dengan memberikan dukungan medis dan psikososial.
Rekomendasi Khusus Pencegahan Primer Pada Perempuan Usia Reproduktif •
Pendekatan kelompok untuk menjangkau kelompok sasaran. Dari assessment yang dilakukan, ditemukan bahwa program pencegahan primer HIV/AIDS hanya diterapkan pada tingkat individu. Namun, hasil assessment juga menunjukkan bahwa pendekatan kelompok dan penjangkauan pada masyarakat merupakan cara yang efektif untuk menjangkau kelompok sasaran. Sebagai contoh, Die-J YPI mampu menjangkau kelompok remaja dengan didukung oleh kelompok sebaya. Mobile VCT yang dilakukan oleh YPI menggunakan kader dalam masyarakat untuk mengundang perempuan hamil di kelurahan untuk berperan serta dalam program PMTCT. Program mobile VCT ini lebih efektif dalam menjangkau perempuan hamil dibandingkan dengan pelayanan VCT di rumah sakit. Berdasarkan pendekatan ekologi yang dikemukakan oleh Brofenbrenner dan dikutip oleh Sarwono (1999:75) mengatakan bahwa perilaku setiap individu itu dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor yang paling berpengaruh adalah faktor yang paling dekat dengan individu, seperti keluarga, sekolah, guru, kelompok sebaya, tetangga dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi perilaku seorang individu, penggunaan kelompok yang dekat dengan individu akan lebih bermanfaat. Pertanyaannya sekarang adalah, kelompok seperti apa yang efektif untuk program pencegahan terhadap infeksi yang baru. Mengingat faktor sosial budaya di Indonesia, keluarga mungkin lebih efektif digunakan sebagai media untuk mempengaruhi perilaku seseorang. Dengan kata lain, program pencegahan PMTCT harus melibatkan keluarga dan saudara dari perempuan hamil termasuk suami atau pasangan. Walau bagaimanapun, jika keluarga tidak dapat berfungsi secara efektif seperti pada komunitas homo seksual yang sebagian besar tidak tinggal dengan keluarga atau saudara, teman sebaya bisa menjadi suatu alternatif.
•
Kemampuan melakukan konseling S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Perubahan perilaku dalam suatu kelompok akan optimum ketika didukung oleh kemampuan untuk melakukan konseling. Sangat baik sekali jika melibatkan PKK sebagai penjangkau dalam mobile VCT karena PKK telah terstruktur secara institusional dalam masyarakat. Sayangnya, perempuan yang ada di dalam PKK yang terlibat dalam mobile VCT, kurang memiliki kemampuan konseling. Oleh karena itu, program tidak dapat berjalan tanpa konselor dari YPI dan juga tidak dapat bertahan tanpa dukungan dari YPI. Mengingat program PMTCT di Indonesia masih dalam proses untuk menjadi tes rutin bagi perempuan hamil di KIA dan Posyandu di tingkat kelurahan, sangatlah penting untuk melibatkan ibu-ibu PKK sebagai pendidik masyarakat untuk mempromosikan program kepada ibu hamil. Konseling dalam pencegahan primer harus dilakukan untuk semua orang, bukan hanya pada kelompok target saja. Remaja harus dilibatkan dalam konseling mengenai kesehatan reproduksi yang terintegrasi dalam kurikulum. Konseling PMTCT dan HIV/AIDS harus diterapkan pada setiap individu begitu juga pada tingkat masyarakat dengan menggunakan pendekatan konseling perorangan dan pendekatan konseling masyarakat/kelompok. Pendekatan ini juga harus dipromosikan pada kegiatan konseling pra-nikah, klinik KIA atau posyandu dan panti rehabilitasi narkoba. •
Pendekatan sosial marketing untuk mempromosikan pencegahan primer PMTCT Hasil assessment menunjukkan bahwa sebagian besar program pencegahan hanya sebatas mengedepankan ide sosial dari sebuah program tapi tidak pada aspek praktis dan objek yang nyata. Berdasarkan pendekatan sosial marketing, ide sosial, aspek praktis dan objek nyata harus dilakukan secara bersamaan. Tujuan dari mengedepankan ide sosial adalah untuk merubah keyakinan, sikap dan nilai seseorang, dimana aspek praktis adalah untuk mengubah penampilan dan perilaku (kotler and Roberto : 1989 : 25). Barang yang nyata dibutuhkan sebagai fasilitas penunjang. Dalam program pencegahan PMTCT. Sebagai contoh, ide sosial dari pencegahan perempuan usia reproduktif terhadap HIV/AIDS untuk mencegah terjadinya penularan terhadap janin, mungkin dapat ditingkatkan. Tapi sebuah ide harus didukung oleh promosi yang baik dan pelayanan VCT yang berkualitas sebagai sebuah aspek praktis. Lebih lanjut lagi, sebagai objek nyatanya, pemerintah harus menyediakan layanan konseling, laboratorium untuk periksa darah dan juga klinik.
Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan dengan HIV positif Idealnya, pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan dengan HIV positif dapat dilakukan dengan penyediaan KIE tentang HIV dan seks aman, melakukan VCT pada pasangan dan anjuran penggunaan kondom sebagai pengaman. Lebih penting lagi, informasi mengenai risiko dari MTCT - termasuk tindakan pencegahan terakhir –harus benar-benar dipahami oleh perempuan dengan HIV positif. Untuk itu, diperlukan adanya hubungan antara layanan VCT dan layanan KB agar bisa menjamin perempuan dengan HIV positif mendapatkan informasi yang lengkap yang dapat membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat menyangkut persoalan reproduksi. Lebih baik lagi bila para bidan dapat memberikan konseling mengenai HIV dan MTCT pada pasien mereka. Selain ituu, keterlibatan laki-laki harus ditekankan yang berarti mereka juga sebagai target dari promosi PMTCT. Penilaian cepat ini juga mengungkapkan bahwa sebagain besar perempuan hamil mengetahui status HIV mereka pada trisemester ke dua atau ke tiga usia kehamilan. Mengapa perempuan hamil sangat terlambat mengetahui bahwa mereka memiliki status HIV? Pertama, kurangnya pengetahuan para perempuan mengenai risiko dari penularan HIV/AIDS seperti halhal yang berhubungan dengan pencegahan utama infeksi baru terutama dikalangan pada remaja.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Kedua, meningkatnya jumlah perempuan dengan HIV positif menggambarkan bahwa adanya ketidakadilan gender dalam hal pekerjaan di keluarga dan masyarakat dan feminisasi atas terjadinya epidemik HIV/AIDS. Banyak suami yang melakukan hubungan seks diluar nikah dan atau memakai narkoba suntik tanpa diketahui oleh istri mereka. Kurangnya komunikasi diantara suami – istri merupakan hal yang biasa di Indonesia terutama pada keluarga modern yang keduanya, suami dan istri bekerja. Masalah komunikasi juga terjadi antara orang tua dan anak yang mana mereka merasa sangat sulit untuk saling berbagi masalah. Suami selalu segan untuk mendiskusikan masalahnya dengan istri karena mereka adalah kepala kelurga yang mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan yang benar. Ketika suami mengetahui bahwa ia menderita HIV positif ia akan segan untuk membicarakannya pada istri mereka karena ini akan berpengaruh terhadap hubungan seksual mereka yang menurut kebudayaan yang ada seorang istri harus tunduk dan patuh terhadap suami. Hal tersebut akan menjadi sangat sulit dengan adanya persepsi bahwa seks bukan sesuatu yang harus di bicarakan secara terbuka. Dari konteks ini diketahui dengan jelas bahwa perempuan tidak terpenuhi hak reproduksi sejak mereka sendiri tidak melindungi dirinya dari infeksi HIV. Sebagai tambahan, banyak juga suami yang kurang memiliki pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS karena hanya sedikit meluangkan waktu mereka untuk memperhatikan kesehatan mereka. Akibatnya, suami dengan HIV positif akan lebih cepat meninggal, lalu istrinya akan menjadi janda yang secara sosial akan lebih sulit dibandingkan dengan perempuan yang menikah.karena adanya label dan stigma dari masyarakat. Janda atau duda dengan HIV positif yang akan mengalami tekanan yang berat adalah perempuan daripada pria. Ketiga, pelayanan KIA dan KB jarang ada, bukan berarti tidak ada sama sekali, termasuk proses konseling HIV/AIDS dan MTCT. Meskipun program pencegahanHIV/AIDS telah berlangsung lebih dari 10 tahun tetapi persoalan MTCT kurang penyampaiannya. Sampai sekarang ini, perempuan khususnya ibu rumah tangga dianggap sebagai kelompok beresiko rendah yang tidak menjadi sasaran program pencegahan HIV/AIDS. Selanjutnya, layanan KB lebih di utamakan pada perempuan - mengesampingkan laki-laki sebagai pasangan – sehingga mengakibatkan sedikitnya promosi kondom untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, apalagi untuk mencegah STIs dan HIV. Karena itu pada pedoman nasional PMTCT tahun 2005 dengan jelas menyatakan bahwa pemberian informasi mengenai HIV merupakan salah satu standar dari pada pelayanan KIA dan KB, dan juga melakukan test HIV yang rutin bagi ibu hamil yang seluruhnya diserahkan pada rumah sakit rujukan HIV/AIDS. Karena faktor-faktor tersebut, pendekatan ABC hanya memberikan sedikit perlindungan bagi perempuan dengan HIV positif dari kehamilan ayang tak diinginkan, terutama sekali disebabkan oleh promosi penggunaan kondom yang kurang berhasil. Karena itu diperlukan adanya perubahan paradigma untuk menyampaikan HIV/AIDS lebih dekat dengan realita perempuan. Mungkin pendekatan ”ABC PLUS” dapat dikembangkan dengan dengan lebih fokus pada pemberdayaan perempuan dan menjaga hak-hak kesehatan reproduktif mereka. Ketika mengetahui status HIV positifnya, perempuan hamil lebih memilih untuk tidak melanjutkan kehamilannya karena khawatir bayinya akan terinfeksi. Dalam hal ini kehamilan menjadi hal yang tidak diinginkan. Persoalan kehamilan yang tidak diinginkan harus dapat diarahkan dengan pemberian konseling kehamilan yang sehat dan aborsi yang aman. Di Indonesia aborsi merupakan tindakan yang illegal walaupun bisa menjadi formal atau dengan mudah dapat di akses. Juga, dengan memberikan pelayanan aborsi saat ini akan menimbulkan perdebatan dalam masyarakat dalam kaitannya dengan moral dan norma agama. Aborsi
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
dirasakan sebagai sesuatu yang negatif – jika dihubungkan dengan hubungan seks sebelum dan diluar pernikahan – mengingat permintaan akan tindakan ini sangat tinggi. Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan bagi perempuan dengan HIV positif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu : 1.
Pencegahan primer dalam perilaku seks yang aman, harm reduction dan resiko penularan dari ibu ke bayi harus dapat menjangkau remaja lebih luas lagi.
2.
Mempromosikan PMTCT pada laki-laki dan menganjurkan mereka untuk ikut berpartisipasi pada pelayanan VCT.
3.
adanya sistem rujukan antara VCT dan KB untuk mempromosikan penggunaan kondom guna pencegahan dan persoalan kontrasepsi lainnya.
4.
Pelayanan aborsi yang aman bagi perempuan dengan HIV positif yang tidak ingin melanjutkan kehamilannya dapat dilakukan di rumah sakit-rumah sakit rujukan dengan pelayanan konseling yang memadai
Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi dalam masa kehamilan dan persalinan •
Integrasi PMTCT ke dalam pelayanan KIA Pelayanan KIA sangat mungkin untuk menjangkau wanita hamil dengan HIV positif, khususnya pada wilayah dengan tingkat kejadian/prevalensi HIV/AIDS yang tinggi. Dalam rangka pengintegrasian PMTCT ini, kualitas dari pelayanan KIA beserta tenaga pendukungnya (dokter/bidan/perawat) perlu ditingkatkan dengan sosilalisasi PMTCT dan pelatihan HIV/PMTCT bagi tenaga medis/paramedic secara regular. Bagi pemerintah, pengintegrasian ini akan berdampak pada efisiensi biaya yang dikeluarkan, karena layanan KIA telah mendukung PMTCT dengan fasilitas seperti laboratorium, ruang konseling, tenaga kesehatan dan lain-lain. Training mengenai PMTCT dapat juga melibatkan para kader masyarakat untuk membawa layanan KIA lebih dekat dan meningkatkan partisipasi dari masyarakat yang selama ini telah menjadi ujung tombak dalam memperluas layanan kesehatan ibu dan anak melalui kegiatan posyandu.
•
Social marketing tentang PMTCT bagi para ibu hamil menjadi suatu hal penting dalam upaya merubah belief (persepsi), sikap dan value mereka selama ini dalam menanggapi pencegahan dan penularan HIV. Bagi banyak pihak, PMTCT merupakan suatu gagasan sosial yang belum diketahui secara luas. Melalui pemasaran social diharapkan akan merubah belief (perception), attitude dan value dari kelompok target. (Kotler and Roberto: 1989: 25). Meningkatkan layanan VCT untuk ibu hamil
•
Upaya pemerintah untuk mengintegrasikan PMTCT ke layanan KIA merupakan langkah yang bijaksana untuk menghindari stigma pada ibu hamil. Sebagai tambahan, pendeteksian HIV secara dini pada kehamilan – pada semester ketiga – akan sangat membantu wanita dengan HIV positif tersebut dalam menyiapkan proses persalinan yang aman dan pemberian prophylaxis. Layanan persalinan yang aman Ibu hamil dengan HIV positif sering terjebak dalam keadaan dimana rumah sakit rujukan tersebut tidak siap untuk melakukan proses persalinan yang aman karena terbatasnya tenaga kesehatan/paramedic. Untuk itu pemerintah harus memberikan training mengenai HIV/AIDS dan PMTCT.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Upaya menghadapi persoalan stigma dan diskriminasi dari tenaga kesehatan adalah dengan melakukan advokasi kepada tenaga medis/para medik melalui training mengenai kepribadian dan profesionalisme. Hal ini juga dapat dilakukan dengan mengikutkan mereka untuk magang di institusi yang sudah berpengalaman untuk dapat memiliki komitmen yang kuat dalam menyedikan layanan bagi ibu hamil dengan HIV positif.
Pemberian perawatan dan support bagi ibu HIV positif, anak serta keluarganya •
Memperkuat kualitas kelompok dukungan/support group antara ibu dengan HIV positif Sampai saat ini, hanya sedikit ibu dengan HIV positif yang terlibat dalam support group karena kegiatannya seringkalo monoton dan kurang ekspresif karena kurangnya kapasitas organisasi dari anggotanya untuk menjangkau lebih luas dan kurangnya kreatifitas dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang dapat menarik ibu-ibu dengan HIV positif lainnya. Untuk itu, support group membutuhkan pelatihan-pelatihan atau seminar untuk memperkaya anggotanya tentang peran dan fungsi dari kelompok support, manajemen orgnisasi, merancang kegiatan yang menarik, dan kemampuan berkomunikasi untuk berkolaborasi dengan kelompok lainnya dan sebagainya.
•
Meningkatkan kapasitas tentang pengetahuan HIV/AIDS dan kemampuan untuk mengatasi diskriminasi diantara ibu dengan HIV positif Informasi HIV/AIDS untuk ibu dengan HIV positif masih terbatas dari yang dibutuhkannya. Belum lagi, Ibu dengan HIV positif sering mendapatkan undangan di seminar-seminar AIDS sebagi narasumber, untuk itu mereka sangat membutuhkan pengetahuan yang lebih dalam lagi agar mampu menyampaikan informasi tersebut ke masyarakat. Sebagai seorang narasumber, Ibu dengan HIV positif tentu saja tidak hanya membicarakan tentang pengalaman pribadinya saja tetapi juga harus membicarakan mengenai persoalan terbaru dan fakta-fakta yang terjadi mengenai HIV/AIDS. Kenyataannya, hanya sedikit dari ibu dengan HIV positif yang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di dalam acara-acara AIDS (seminar, pelatihan, konfrensi, dan lain-lain). Keterlibatan di beberapa acara ini sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kepercayaan diri mereka untuk dapat mengatasi masalah mereka sendiri. Kurangnya partisipasi dalam acara-acara tersebut bisa disebabkan oleh faktor didalam rumah tangganya, seperti ibu yang sibuk untuk merawat anak atau suami yang tidak diberikan izin untuk mengikuti acara tersebut. Oleh karena itu, dalam merancang acara tersebut ibu dengan HIV positif juga dapat dilibatkan sebagai partisipan. Informasi pada konferensi AIDS dapat diteruskan kepada para ibu dengan HIV positif, termasuk membantu untuk menulis sebuah abstrak. Seiring dengan semangat GIPA, ibu dengan HIV positif seharusnya memiliki kemampuan untuk mengatasi diskriminasi berdasarkan pengalaman mereka. Mereka perlu tahu hak-hak dari ODHA, strategi advocacy, peranan dan tujuan dari GIPA, prinsip-prinsip gender, kemampuan berkomunikasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dan sebagainya.
•
Ketersediaan dana dan akses untuk tes HIV untuk bayi
•
Bagaimanapun juga kebutuhan akan tes bagi bayi makin meningkat dan kebanyakan orang tua tidak dapat mengatasinya. Mengetahui status HIV bayi dengan cepat akan lebih efektif bagi pengobatan bayi pada jangka panjang. Pemerintah harus dapat memperluas bantuan dana untuk tes HIV pada bayi ke berbagai daerah di Indonesia. Obat ARV untuk anak
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
•
Saat ini obat ARV untuk anak-anak sangat sulit untuk didapatkan, khususnya yang berbentuk syrup. Hal ini terjadi karena pengobatan ARV sebagian besar hanya ditujukan pada ODHA dewasa saja, dan ini terjadi karena mereka menganggap bahwa kebutuhan ARV bagi anak masih sangat sedikit. Ditambah lagi, dengan meningkatnya kasus anak dengan HIV positif maka akan meningkatkan permintaan ARV untuk anak, sehingga sangat penting bagi kita untuk dapat memproduksi sendiri. Ketidaksesuaian jenis dalam pemberian ARV untuk anak dikhawatirkan dapat menggagalkan pengobatannya. Bantuan sosial untuk anak dari ibu dengan HIV positif Dari pengalaman beberapa negara terlihat bahwa anak dari ibu dengan HIV positif selalu mengalami diskriminasi di masyarakat maupun di sekolah. Menjadi yatim/piatu karena orang tua meninggal akibat AIDS juga merupakan masalah sosial lainnya terutama dalam membesarkan dan merawatnya. Pemerintah/NGO harus segera membuat strategi untuk mengantisipasi kondisi kepanikan dimasa yang akan datang. Permasalahan-permasalahan medis dan psikologis pada ibu dengan HIV positif dan keluarganya membutuhkan perhatian yang serius sebagai upaya untuk merealisasikan tetap perawatan yang berkelanjutan pada program PMTCT. Di Thailand, usaha ini disebut ’PMTCT Plus’. Jika pemerintah mempunyai untuk memperluas pelaksanaan program PMTCT, mereka juga harus siap untuk mempertimbangkan pelaksanaan “PMTCT Plus”.
Daftar Pustaka: Buku: Adrina dkk. 1998. Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung (Placing Reproductive health of Women in Stocks). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. International Labour Organization. 1998. Child Prostitution in Indonesia: Case Study in Jakarta, West Java and East Java. Jakarta: ILO-IPEC. Kaldor, J. et.al. 2000. Penilaian Eksternal tentang HIV/AIDS (External Assessment on HIV/AIDS). Jakarta : Direktorat Jenderal P2MPLP Departemen Kesehatan RI. Kotler, P. and E. Roberto. 1989. Social Marketing: Strategies for Changing Public Behaviour. New York: The Free Press. Niehof, Anke. 1994. Family Planning and Status of Women in Indonesia: Demographic Reports, Faculty of Spatial Sciences, University of Groningen, The Netherlands. Niehof, A. and F. Lubis (eds). 2003. Two is Enough. Family Planning in Indonesia under the New Order 1968-1998. Leiden: KITLV Press. Prasadja, Heru and Murniati Agustian. 2000. Anak jalanan dan Kekerasan (Street Children and Violation). Jakarta: PKPM Unika Atmajaya. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial (Social Psychology: Individu and Psychosocial Theories). Jakarta: Balai Pustaka. Artikel: Connor EM, Sperling RS, Gelber R. 1994. Reduction of Maternal-Infant Transmission of HIV Type 1 with Zidovudine Treatment. Pediatric AIDS Clinical Trials Group Protocol 076 Study Group. N Engl J Med; 331:1173-80.
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Guay LA, Musoke P, Fleming T. 1999. Intrapartum and Neonatal Single-Dose Nevirapine Compared with Zidovudine for PMTCT in Kampala, Uganda: HIVNET 012 Randomised Trial. Lancet; 354:759-802. Hartini, T.N.S. et.al. 2005. “The importance of eating rice:changing food habits among pregnant Indonesian women during the economic crisis, Social Science and Medicine (61): 199-210. Kristanto, Sinung D. 2000. Konvensi Hak-hak Anak: Isi dan Kendala Pelaksanaannya di Indonesia (Children Rights Convention: Substance and Implementation Problem in Indonesia. In Suyanto, Bagong and Sri Sanituti Hariadi (eds.) Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya (Child Labour” Problem, Policy, and Sevices). Pp 105-111.Surabaya: Lutfansah Mediatama. Putranto, Panji. 2000. Konvensi-konvensi yang Berkaitan dengan Permasalahan Pekerja Anak (Conventions that Related to Child Labour Problems). In Suyanto, Bagong and Sri Sanituti Hariadi (eds.) Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya (Child Labour” Problem, Policy, and Sevices). Pp 87-104. Surabaya: Lutfansah Mediatama. Riono, P. and S. Jazant. 2004. ‘The current situation of the HIV/AIDS epidemic in Indonesia’, in R.Detel (ed.) HIV surveillance, prevention, intervention and treatment in Asia. Special supplement AIDS Education and Prevention vol. 16, pp. 78-90. Samosir, Omas Bulan. 1993. ‘Contraceptive Use in Indonesia: a History of the Programmes and the Characteristic of Users’, Majalah Demografi Indonesia, Tahun XIX, No 38, Desember 1992 Series 12, Jakarta, Demographic Institute. Shalfer N, Chuanchoowong R, Mock PA. ‘Short Course Zidovudine for Perinatal HIV-1 Transmission in Bangkok, Thailand: a Randomised Controlled Trial’. Lancet, 1999;353:773-80. Suyanto, Bagong. 2000. Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar (Child Labour and the Problems of Basic Education. In Suyanto, Bagong and Sri Sanituti Hariadi (eds.) Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya (Child Labour” Problem, Policy, and Sevices). Pp 3-20.Surabaya: Lutfansah Mediatama. Wiktor S, Leroy V, Ekpini ER. 24-Month Efficacy of Short Course Maternal Zidovudine for the PMTCT in a Breastfeeding Population: a Pooled Analysis of Two Randomised Clinical Trials in West Africa. Abstract AIDS Conference Durban, 2000 Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. 2003. HIV Infection on Pregnancy, Dokumen and Newsletter: Biro Pusat Statistik. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004. Jakarta: Biro Pusat Statistik BPS dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. Calverton, Maryland, USA:ORC Macro. Family Health International, Harm Reduction, Fact Sheet, 2005 Family Health International, HIV dan Penggunaan Napza: Situasi Negara Indonesia 2004, Fact Sheet, 2005 Ministry of Health Republic of Indonesia Decree, No. 781/Menkes/SK/VII/2004 Ministry of Health, National Guideline on PMTCT, Jakarta, 2005
S.341, November 30, 2006
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
National AIDS Commission, Country Report on Follow-up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS (UNGASS), Jakarta, 2006. Pedoman National Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005 Support no. 69, Desember 2005 Support no.68, Mei 2005 Survei Demography dan Kesehatan Indonesia (IDHS) 2003-2004. UNAIDS, AIDS Epidemic Update, Geneve, 2005 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Revisi) (Republic of Indonesian Basic Laws 1945 – Final Revision). Undang-undang Perlindungan Anak Tahun 2002 (Child Protection Laws 2002) Warta Propas no.29, Juni 2005 WHO, Recommendations on ARVs and MTCT Prevention 2004, July 2004. Websites: bkkbn.go.id (1999) The State Ministry http://www.bkkbn.go.id/english.htm
of
Population
and
Development,
Dokumen dan Artikel yang belum dipublikasikan: Kurniati, Nia. Paper Presentation on Indonesian Physician Association Conference, Jakarta, 2005 Muhaimin, Toha, 2003. Penilaian Cepat Kualitas Pelayanan Kleuarga Berencana di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, FKM-UI, Starh, and BKKBN. Pramono, Heru, et all. 2001. Baseline Survey untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan-Jakarta (Baseline Survey for Street Children Support and Empowerment Program). Jakarta: Save the Children USAID in collaboration with PKPM Unika Atmajaya Pisani, E. 2005.Shooting Up: HIV and Drug Injection in Asia. Paper presented in the National Conference on HIV Prevention among Drug Injectors at Jakarta, 15 February. Poster-Coster, Els and Brigitte Holzner. 1991. Report on the Mission on Netherlands Family Planning Programmes in Indonesia, Women and Autonomy Centre, Leiden University. Ramadhan, I. 2005. Kehidupan Tiga Odha Perempuan. Unpublished thesis. Depok: Department of Anthropology, University of Indonesia.
S.341, November 30, 2006