[72] Ketika Cinta Tidak Dibimbing Agama Wednesday, 07 March 2012 16:53
Gara-gara seks bebas, ia pun tertular HIV/AIDS dari laki-laki yang dicintainya.
“Saya tahu usia saya tidak berapa lama lagi, makanya saya berbagi cerita tentang kisah saya ini, agar yang lain tidak mengikuti jejak saya,” ujar Nia (bukan nama sebenarnya) warga Jakarta Selatan yang diketahui menjadi ODHA (orang hidup dengan HIV/AIDS) sejak 2004 lalu.
Pada 27 Februari 2004, wanita yang kini berusia 23 tahun tersebut menikah. Namun selang beberapa bulan, suaminya sakit-sakitan di antaranya sering mual-mual, muntah, mencret dan sariawan. Pada akhirnya sang suami dites dan ternyata positif terkena virus HIV.
Setelah beberapa hari suaminya dirawat, Nia pun diharuskan oleh dokter untuk menjalani tes serupa. Ternyata hasilnya positif. Nia pun galau. “Perasaan saya kacau balau, dan saya takut banget. Hidup saya tidak akan lama lagi. Tapi saya lebih takut lagi dengan keadaan suami saya. Takutnya dia bakal ninggalin saya,” ungkapnya kepada Media Umat, Jumat (9/12).
Akhirnya Nia pun dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di rumah sakit ia didampingi dua konselor AIDS dari Klinik Remaja Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yakni Tika dan Yanti. “Targetnya menguatkan jiwa saya dan juga berusaha untuk mencegah virus itu menular kepada janin yang ada di perut saya,” ungkapnya.
Nia, yang saat itu baru berusia 15 tahun benar-benar bingung. “Saya bingung, mau ngomong apa ke keluarga. Soalnya keluarga saya tidak ada yang punya penyakit aneh macam begini. Mereka tahunya ini adalah penyakit dalam saja,” ujarnya.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Juni 2004, suami Nia pun meninggal. “Jadi saya nikah cuma empat bulan. Suami meninggal saat usia kandungan saya delapan bulan!” ujar wanita yang sudah hamil duluan sebelum menikah itu.
1/5
[72] Ketika Cinta Tidak Dibimbing Agama Wednesday, 07 March 2012 16:53
“Perasaan saya hancur banget, kondisi hamil, rasa takut menghantui. Tapi saya harus tegar, harus sehat. Karena saya akan punya bayi. Dia jangan sampai seperti saya dan ayahnya,” ujarnya. Tiga hari pasca kematian suaminya, orang tua Nia tahu bahwa Nia mengidap HIV/AIDS.
Tentu saja mereka merasa takut tertular dan hampir mengusirnya. Nia pun langsung menghubungi YPI. Tika langsung datang dan menjelaskan segala macam tentang HIV/AIDS terutama dalam proses penularannya.
Tika menjelaskan bahwa media penularan HIV/AIDS itu cairan sperma, cairan vagina, darah, dan air susu ibu. Sedangkan keringat, air mata dan air liur bukan media penularan. Jadi keluarga tidak perlu kuatir untuk makan dan minum bersama.
“Terus Mbak Tika minum satu gelas dengan saya di depan keluarga saya, sehingga keluarga bisa menerima saya lagi. Saya benar-benar berutang budi pada Mbak Tika dan Mbak Yanti” ujarnya.
Untuk menghindari penularan virus HIV ke janin, maka tiga minggu kemudian, kandungan Nia harus segera dibedah cesar dan tidak boleh dibiarkan janin lahir melalui proses yang normal. “Namun saya belum sempat minum obat ART karena saat itu obat tersebut sangat langka. Setelah lahir, dua jam kemudian anak saya pun diberi obat yang buat bayi,” ungkapnya.
Anak Nia pun lahir dengan berat 33 ons. “Saya senang banget. Mudah-mudahan anak saya tidak tertular AIDS. Semoga saya juga tetap sehat agar bisa menjaga anak saya,” ungkapnya. Namun sebulan setelah di rumah. Bayi tersebut sakit-sakitan, gejalanya sama dengan ayahnya.
Nia pun kembali meminta bantuan YPI, untuk memeriksakan anaknya. “Saya berutang budi banget sama YPI. Semua kebutuhan saya dan anak saya ditanggungnya,” paparnya. Tetapi harapan agar anaknya tidak tertular memang sangat-sangat kecil. Karena anak tersebut lahir dari wanita yang mengidap HIV/AIDS. Benar saja, setelah dites anaknya positif terkena HIV.
2/5
[72] Ketika Cinta Tidak Dibimbing Agama Wednesday, 07 March 2012 16:53
Nia benar-benar merasa sedih. Berat badan anaknya menyusut. Dari 33 ons malah jadi 20 ons. “Ya Allah semoga tidak Kau ambil juga anakku,” doanya.
Nia dan anaknya pun jadi bahan gunjingan tetangga, lantaran badannya kecil, kering, matanya celong. “Mereka bilang anak saya kayak tengkorak hidup, mereka belum tahu bahwa ini akibat HIV” bebernya.
Sekarang usia anaknya 7 tahun dan duduk di kelas satu sekolah dasar. Kondisinya sudah jauh lebih baik. Meski pernah diopname lagi sampai dua kali. “Sudah seperti anak-anak yang normal walau namun daya berpikirnya saja agak sedikit lambat, daya tangkapnya agak lemah,” ujarnya.
Awal Masalah
Awalnya Nia tidak menyangka akan berhubungan dengan laki-laki yang menjadi suaminya itu. Pasalnya, keluarga Nia dan laki-laki itu musuh bebuyutan. Kalau kedua keluarga itu sudah bertengkar, hanya polisi yang mampu memisahkan.
Saat kelas 6 SD, Nia sudah berpacaran dengan laki-laki itu. ”Dia macarin saya tujuannya untuk mencoba manas-man asin keluarga saya. Tetapi akhirnya kita berdua saling suka beneran ,” ungkapnya.
Tentu saja hubungan mereka ditentang oleh keduabelah keluarga. Nia bimbang antara putus dan tetap jalan terus. Hingga ketika Nia naik ke kelas 2 SMA, lelaki itu mengajak Nia untuk melakukan hubungan seks.
“Ayo kita gituan aja kata dia, saya jawab enggak ah nanti hamil,” ungkap Nia. Kemudian laki-laki itu beralasan, “Justru dengan kehamilan itu, kita bisa menikah dan menyatukan kedua
3/5
[72] Ketika Cinta Tidak Dibimbing Agama Wednesday, 07 March 2012 16:53
keluarga kita, agar damai.”
Mendengar rayuan menyesatkan itu, Nia pun luluh. “Akhirnya kita ngeseks, sekali, dua kali, terus berkali-kali selama setahun sampai saya hamil,” ujarnya. Mengetahui anaknya hamil, orang tua Nia marah-marah. “Saya terus kabur sampai dua bulan. Orang tua pun jadi sakit. Akhirnya kami dinikahkan. Keluarga pun damai,” ujarnya.
Sedari awal, orang tua Nia tidak setuju bila anaknya pacaran dan menikah dengan laki-laki itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, sejak Nia duduk di bangku SD pun lelaki itu sudah gonta-ganti pasangan dan pemakai narkoba.
“Waktu saya masih SD saja dia sudah pacaran dengan cewek-cewek nakal, cewek-cewek malam. Dia juga suka pakai jarum suntik narkoba bareng sepupunya, bahkan sepupunya itu mati duluan,” ujar Nia.
Meski rekam jejak lelaki itu buruk, namun Nia kepincut. “Saya mau sama suami saya itu karena dia itu ganteng bangeeet,” Nia beralasan. Sedangkan lelaki itu memilih Nia dengan alasan bahwa Nia masih lugu.
”Dia mau karena dia bilang saya masih lugu. Ibaratnya itu bunga yang masih segar. Dia sudah capek kali ya pacaran dengan cewek-cewek yang sudah blong! Akhirnya saya kena virus deh, hadiah terbesar dari dia tuh,” pungkasnya.[] joko prasetyo
Kondom Tak Jamin Aman Kondom menjadi andalan pencegahan HIV/AIDS. Ini bisa jadi karena banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa efektivitas kondom dalam mencegah kehamilan mencapai 90 persen. Kegagalan sebesar 10 persen lebih banyak dinisbahkan pada penggunaan yang tidak tepat seperti ukuran terlalu sempit, terlalu longgar, robek saat disarungkan, robek saat digunakan, atau berlubang karena cacat produksi.
4/5
[72] Ketika Cinta Tidak Dibimbing Agama Wednesday, 07 March 2012 16:53
Kemampuan kondom mencegah lewatnya sperma ini karena ukuran pori-pori kondom terkecil 5 mikron hampir sama dengan diameter terbesar sperma 3,5 mikron. Selain sempit, sperma pun akan kesulitan berenang menembus kondom karena ketebalan kondom paling tipis mencapai 194 kali diameter kepalanya.
Tapi bagaimana dengan efektivitasnya untuk mencegah HIV? Kalau melihat ukuran virus itu yakni sebesar 0,1 mikron, maka pori-pori kondom sangat mudah dilewati. Ini seperti kelereng yang melewati gorong-gorong.
Saat ini, ketebalan kondom yang dijual di pasar berkisar antara 483 – 635 mikron. Sedangkan kisaran pori-pori kondom-kondom tersebut saat tidak direntangkan adalah 5 – 50 mikron. Inilah mengapa kondom tidak menjamin pemakainya tidak menularkan atau tertulari HIV/AIDS dari pasangannya yang ODHA.
Alan Guttmacher Institute pada tahun 1989 menemukan kegagalan kondom mencegah penularan HIV/AIDS mencapai 22.3 persen. British Journal of Medicine pada tahun 1987 mencapai 26 persen, dan New England Journal of Medicine pada tahun 1989 mencapai 33 persen. Artinya, kondom bukanlah penjamin terbebasnya orang dari penyakit ini.
5/5