Ahli Bedah Plastik Ciptakan Krim Atasi Keloid UNAIR NEWS – Latar belakangnya sebagai dokter bedah plastik membuat Prof. Dr. David Sontani Perdanakusumah, dr., Sp.BP-RE (K) banyak bergelut dengan rekonstruksi dan perbaikan cacat tubuh manusia. Dari sederet tindakan operasi yang pernah ia lakukan membuatnya penasaran dengan jenis luka tubuh yang berserat, tebal dan berwarna kontras dengan kulit sekitarnya. Jenis luka ini disebut keloid. Dalam mengatasi keloid, pada umumnya dokter menggunakan berbagai cara, seperti operasi, suntikan kortison, cryotherapy, dan cara-cara lainnya. Namun, metode-metode itu tak dapat menghilangkan keloid. Bahkan, tindakan operasi justru memperbesar keloid. Tak jarang, keloid menjadi mimpi buruk bagi pasien ataupun dokter. Keloid tumbuh akibat aktivitas kolagen yang berlebih. Pertumbuhan kolagen dipengaruhi enzim kolagenase yang kurang terkontrol. Enzim kolagenase adalah enzim yang mengatalisis hidrolisis kolagen. “Versi saya, kolagen itu nggak akan berlebih kalau ada kolagenase. Jadi, saya bilang, kalau kolagenase berfungsi dengan bagus, mungkin tidak akan ada keloid. Karena semua yang berlebih dihancurkan. Jadi, (kolagenase berfungsi) seperti mandor,” imbuhnya. Dokter kelahiran Singkawang itu lantas kembali melanjutkan risetnya yang ia mulai sejak melakukan penelitian disertasi. Melanin, pewarna pada kulit, memiliki sifat kimia asam. Agar kolagenase berfungsi, maka enzim tersebut harus bersifat basa. Pada orang yang tidak berkulit putih, banyaknya melanin membuat suasana kulit bersifat asam. Akhirnya, David merumuskan cara agar melanin itu turun dengan
pemutih yang menggunakan pelarut basa. Agar keadaan asam dan basa tak membuat kulit kian sensitif, ia mengombinasikan pemutih dengan liposom sehingga sifat basa baru keluar ketika sudah memasuki lapisan dermis. Pemutih yang ia gunakan adalah Hydroquinone dengan kadar empat persen. “Jadi, ide saya yang dipatenkan adalah pemutih dalam suasana basa untuk keloid. Karena dengan dikasih pemutih ke keloid, suasananya basa, kolagenasenya aktif, melaninnya turun sehingga suasana di dalam akan basa, kolagenasenya muncul (aktif) dan kolagen semua yang berlebih akan dipapas sehingga turun,” tutur David.
Prof.
Dr.
David
Sontani Perdanakusumah, dr., Sp.BP-RE (K) (Foto: Defrina Sukma S) Pemikirannya itu ia tuangkan dalam paten berjudul “Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid”. Pemutih keloid dalam suasana basa akhirnya berhasil dipatenkan pada tanggal 17 Oktober 2012 dengan nomor paten ID P0031959. Pendaftaran produknya menuju paten sempat melewati jalan berliku. Selain karena rutinitas, ide penggunaan pemutih untuk menyamarkan warna kulit dianggap bukan barang baru. “Saya mengurus paten sekitar tahun 2004, tetapi baru keluar tahun 2012. Delapan tahun. Karena hydroquinone bukan barang
baru. Itu sudah lama dipakai untuk pemutih, tapi hydroquinone untuk keloid tidak pernah ada di dunia. Itu riset saya. Original,” tegas Wakil Dekan I FK UNAIR. Ia praktikkan itu ke pasien-pasiennya yang telah melalui tindakan operasi. Hasilnya, keloid jadi mengecil dan lebih cerah. Untuk keloid yang bentuknya besar, pemberian krim perlu dikombinasikan dengan tindakan bedah. “Krim itu bisa mengecilkan. Sedikit dipangkas. Tapi untuk mendapatkan hasil yang dramatis, perlu dikombinasi dengan tindakan bedah,” imbuh David. Selain pasien dengan keloid, dokter berusia 56 tahun itu pernah memberikan krim pemutihnya pada pasien dengan bekas cacar dan luka bakar. “Bekas luka bakar di tangan, saya kasih terus mulus. Ada luka trauma, bekas operasi, saya kasih kemudian memudar dan halus,” terang peraih penghargaan Science Achievement Award 2015 dari media Republika. Pemutih yang David gunakan saat ini mengandung empat persen hydroquinnon dalam suasana basa dengan derajat keasaman atau pH 7,5. Ia saat ini tengah mengembangkan krim dengan derajat keasaman 7,6 sebab angka ini merupakan angka yang ideal untuk kolagenase. Saat ini, oleh Institute of Tropical Disease UNAIR, krim pemutih milik David tengah dihilirisasi oleh salah satu industri farmasi di Indonesia. Uji produk krim pemutih milik Guru Besar bidang Ilmu Bedah Plastik ini dalam tahap uji stabilitas. Setelah uji stabilitas, tahap berikutnya adalah uji klinik di berbagai pusat kesehatan. Ia berharap, krim pemutihnya bisa memberi harapan baru bagi pasien dan tenaga medis dalam mengatasi keloid pada tubuh. (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor : Faridah hari
Mahasiswa Antropologi UNAIR Teliti Uniknya Tradisi Lamaran di Lamongan UNAIR NEWS – Pada umumnya proses lamaran (meminang) dalam perkawinan dimulai oleh pihak laki-laki, tetapi di Kabupaten Lamongan inisiatif itu dari pihak perempuan yang meminang calon suaminya. “Keunikan” inilah yang menggelitik lima mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR) tertarik melakukan penelitian tentang lamaran wanita terhadap pria. Kelima mahasiswa Antropologi FISIP UNAIR itu adalah Luluk Oktavia, Yusuf Bilal Abdillah, Biandro Wisnuyana, Dyah Bratajaya Wisnu Puteri, dan Selvi Nur An Nisaa Permata. Kemudian mereka menuangkan ide ini dalam proposal Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKMPSH). Proposal berjudul “Menguak Tradisi Lamaran (Calon Mempelai Wanita Terhadap Calon Mempelai Pria) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur” ini berhasil lolos seleksi dan mendapatkan pendanaan pengembangan dari Kementrian, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. ”Ini benar-benar bagai pepatah Lain ladang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya – artinya di setiap daerah memiiki adat istiadat berbeda, satu aturan di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lainnya. Salah satunya di Lamongan Jawa Timur ini,” kata Luluk Oktavia, ketua penelitian. Ternyata terdapat kisah dibalik tradisi lamaran ini, yang tidak lain adalah kisah yang terjadi di zaman kerajaan dahulu.
Dimulai dari sebuah kisah tentang Tumenggung Lamongan. Ia mempunyai dua anak laki-laki yang rupawan, namanya Panji Laras Liris. Ketampanan pemuda ini sangat terkenal, hingga membuat dua putri dari Kerajaan Kediri jatuh cinta kepada Panji Laras Liris. Singkat cerita, kedua puteri dari Kerajaan Kediri itu pergi ke daerah Lamongan untuk meminang Panji Laras Liris. Pada akhirnya saat masih ditengah perjalanan sudah ditolak, karena Panji Laras Liris merasa jijik melihat kaki sang puteri yang banyak bulu seperti kaki kuda.
Salah satu pelaksanaan tradisi lamaran yang hingga saat ini masih dilaksanakan di Kab. Lamongan: pihak perempuan yang melamar lakilaki. (Foto: Istimewa) Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat Lamongan memiliki anggapan keyakinan bila laki-laki Lamongan menikah dengan wanita asal Kediri, mereka akan mendapatkan kesialan dalam hubungan rumah tangganya. Dari cerita inilah melahirkan tradisi di Lamongan bahwa pihak wanita yang harus melamar pria. “Jadi dalam lamaran ini ada beberapa prosesi, seperti njaluk,
ganjur, milih dino, dan pernikahan. Di mana orang tua pihak wanita meminta kepada si pria untuk menjadi menantunya. Setelah meminta (njaluk), mereka melakukan ganjuran (lamaran) ke pihak pria, lalu pihak pria membalas ganjuran itu selang beberapa hari. Kalau semua sudah saling setuju, baru kedua pihak menentukan hari pernikahannya, setelah itu mereka menikah,” tambah Luluk Oktavia. Pada tradisi lamaran ini terdapat nilai-nilai social, yaitu pihak wanita yang mendatangi pria. Disini terkesan bahwa ada penghargaan dari seorang wanita kepada pria. Selain itu terdapat kesan bahwa seorang pria harus menjaga wanita karena ia juga mampu memberikan sesuatu kepada pria yang dipercayainya itu. Jadi bila ada laki-laki yang hanya menggantungkan hidupnya pada seorang wanita dan rumah tangganya berantakan, maka harga diri laki-laki itu akan turun di masyarakat umum. Perspektif lain juga terlihat pada seserahan yang dibawa pihak wanita dalam proses lamaran. Setelah diterima oleh pihak pria, dalam pernikahan nanti si pria akan memberikan mahar yang lebih besar dari nilai seserahan yang telah diterima itu. ”Ini memberikan kesan bahwa terdapat rasa gengsi dari pihak pria jika mahar yang diberikan lebih kecil dari seserahan yang dibawa pihak wanita. Sebagai calon kepala keluarga haruslah mapan dan memiliki derajat lebih tinggi dari isterinya. Oleh karena itu, mereka menunjukkannya dari mahar yang diberikan kepada calon istrinya,” tambah Luluk. (*) Editor: Bambang Bes
Dosen FK Manfaatkan Tempurung Kelapa Untuk Penderita Kanker Usus Besar UNAIR NEWS – Alam telah menyediakan segalanya. Kemanfaatan buah kelapa (Cocos nucifera) ternyata melebihi perkiraan orang. Dokter spesialis divisi bedah digestif, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KBwD, menemukan bukti bahwa tempurung kelapa bagus digunakan sebagai skin barrier (penampung cairan) bagi pasien kanker kolostomi. Bahkan skin barrier dari batok termasuk aman, murah, dan memiliki nilai plus dibandingkan produk pabrikan. Vicky menjelaskan, penanganan kanker kolostomi selalu bermuara pada tindakan operasi pengangkatan benjolan kanker. Mulai dari bagian usus sampai ke jaringan sekitarnya. Setelah operasi pengangkatan kanker, bagian usus yang masih tersisa di dalamnya tidak bisa langsung disambung begitu saja. Solusinya, bagian usus dikeluarkan dari dalam perut sementara waktu selama proses pemulihan. “Nah, selama itu pula proses pengeluaran cairan ekskreta berlangsung di luar perut. Kondisi ini ternyata menyisakan persoalan baru. Pada kasus yang sering ditemui, seringkali pasien mengalami masrasi atau peradangan hebat di permukaan kulit disekitar perutnya,” kata peneliti di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. Hal itu terjadi karena mereka tidak menggunakan penampung cairan ekskreta yang tepat. Akibatnya, setiap kali keluar dari usus, cairan tidak tertampung dengan baik. Sebagaimana diketahui, cairan ekskreta bersifat alkali, sedangkan permukaan kulit sifatnya asam. Kulit yang sering berkontak dengan cairan ekskreta akan mengakibatkan kerusakan pada
pelindung kulit. Akibatnya terjadi peradangan. “Seringkali kita melakukan tindakan operasi dari bagian usus halus karena lebih mudah dilakukan. Selain itu, yang keluar masih berupa cairan ekskreta yang encer dan tidak berbau, tidak seperti hasil buangan dari usus besar. Namun, risikonya bocor dan tumpah mengenai permukaan kulit, jika alat penampungnya kurang bagus,” jelasnya. Persoalan ini yang kemudian menginspirasinya untuk menemukan solusi. Apalagi kebanyakan pasien adalah mereka yang berasal dari desa. “Mayoritas pasien datang dalam kondisi memprihatinkan. Mereka mengeluh kesakitan karena kulitnya lecet dan meradang. Malah saking perihnya, pasien ada yang kemudian meninggal. Bukan karena penyakitnya, tapi karena tidak mampu menahan rasa sakit akibat luka sepsis,” jelasnya. Tentu untuk mencapai kesembuhan, harus diupayakan kondisi kulit tetap kering. Dengan begitu setelah dinyatakan pulih, maka bisa segera dilakukan operasi penyambungan usus. Namun, selama kondisi kulit belum membaik, maka operasi penyambungan usus belum bisa dilakukan.
Skin barrier dari batok kelapa (Foto: UNAIR NEWS) Untuk mendapatkan skin barrier yang sempurna, maka bentuk tempurung kelapa disesuaikan sehingga permukaan cembung tempurung dapat ditempelkan pada kulit peristoma dan ujung (stump) usus menonjol (protrusi) melalui lubang tempurung yang terletak di bagian sentral. Bentuk tempurung kelapa secara alamiah sudah cekung sehingga bentuknya sesuai dengan skin barrier. Selain itu, daya serapnya juga tinggi. “Agar stump usus dapat protrusi, perlu diberi penekanan yaitu dengan sabuk yang melingkar pada pinggang, sehingga ekskreta yang keluar tidak kontak dengan kulit peristoma,” ujarnya. Kekencangan sabuk dapat diatur sendiri sesuai kenyamanan penderita karena lingkaran sabuk dapat diatur seperti halnya orang memakai ikat pinggang. Tempurung kelapa berporus sehingga dapat bersifat sebagai adsorben. Cairan ekskreta dan keringat pada permukaan kulit akan diserap oleh permukaan cembung tempurung kelapa, sehingga kulit bebas dari paparan ekskreta. Penderita bisa memakai kantong stoma
tempurung kelapa untuk mengatasi problema kerusakan kulit. “Secara ekonomis pemakaian kantong stoma dengan skin barrier tempurung kelapa dapat meringankan beban penderita karena tempurung kelapa sangat murah, dapat dibuat sendiri, dan dapat dipakai berulang-ulang,” jelasnya. Ia mengklaim, penggunaan skin barrier dari batok kelapa memiliki daya serap tinggi. Semakin sering digunakan, maka daya serapnya semakin tinggi. Hal ini karena penggunaan yang sering membuat pori-pori tempurung makin lama makin lebar. “Kuman usus memiliki enzim celulase, sedangkan batok adalah selulose. Selulose pada tempurung kelapa akan dimakan oleh enzim celulase sehingga semakin lama pori-pori tempurung semakin melebar. Ini yang membuat tempurung memiliki daya serap makin tinggi. Tapi jangan sampai tertutup kerak. Harus dibersihkan agar tidak sampai ada kerak. Karena kerak akan mengganggu proses penyerapan,” jelasnya. Spesifikasi batok kelapa yang digunakan pun harus batok kelapa tua karena sudah memiliki kemampuan daya serap. Berbeda dengan batok kelapa muda yang masih banyak mengandung air sehingga sulit menyerap air. (*) Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
Obat AHA dan ANA, Terapi Terkini Atasi Virus Flu
Burung UNAIR NEWS – Virus Flu Burung atau Avian Influenza (AI) masih menjadi persoalan bagi para peternak dan manusia di wilayah Indonesia serta belahan Dunia. Oleh sebab itu, diperlukan obat yang bisa menghambat atau bahkan mematikan pertumbuhan virus AI yang sudah menjangkiti hewan ternak. Ahli virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Dr. Suwarno berhasil mengembangkan dua jenis obat terapi yang bisa menghambat pertumbuhan virus AI. Obat tersebut berasal dari ekstrak kuning telur yang kemudian dinamai AntiHemaglutinin Antibody (AHA) dan Anti-Neuraminidase Antibody (ANA). “Ada dua produk. Satunya, saya beri nama AHA, dan satunya lagi bernama ANA. Sejak virus Avian Influenza (AI) ada di Indonesia sejak tahun 2003, kita merasa trenyuh. Itulah yang mendorong kami untuk membuat vaksin dan alat terapi. Obat AHA dan ANA adalah bentuk alat terapi yang kita ekstrak dari kuning telur,” tutur Suwarno. Ekstrak kuning telur itu diambil dari kelompok ayam yang terinfeksi virus Flu Burung yang berada dalam fase menjelang bertelur. Kedua kelompok ayam tersebut diberi vaksinasi AI. Kelompok pertama diimunisasi dengan protein hemaglutinin dari virus AI, sedangkan kelompok kedua diimunisasi dengan protein neuraminidase dari virus yang sama. Setelah kelompok ayam itu bertelur, peneliti mengekstrak telur dan hanya mengambil kuning telur. Setelah diekstrak, peneliti mengambil antibodi dan melakukan pemurnian protein. Pemurnian hemaglutinin dan neuraminidase (anti hemaglutinin dan anti neuraminidase) diformulasi dan ditambah dengan kolostrum (susu dari sapi yang keluar pertama kali), beberapa jenis vitamin, mineral, dan asam amino. Dari situlah, produk bernama AHA dan ANA bermula.
Cara pemberian obat AHA dan ANA pun mudah. Obat terapi tersebut tinggal disemprotkan ke dalam paruh ayam dengan dosis sekitar satu milliliter. Dari hasil penelitiannya, apabila obat tersebut diberikan maksimal dua hari sejak virus Flu Burung menginfeksi tubuh ayam, maka obat AHA dan ANA dapat menghambat 80 hingga 100 persen pertumbuhan virus AI. Akhirnya, ayam tersebut bisa diselamatkan dari kematian. Kedua jenis obat tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Obat AHA digunakan untuk mencegah menempelnya virus AI ke dalam sel. Sedangkan, obat ANA digunakan untuk mencegah keluarnya virus AI dari sel. Obat tersebut akan berfungsi optimal bila diberikan maksimal dua hari sejak virus AI menginfeksi tubuh ayam. Namun, bila lebih dari dua hari, penggunaan dua obat ini perlu dikombinasikan. “Kalau sudah lebih dari dua hari sudah agak sulit. Makanya kita kombinasikan, yang ini (AHA) adalah untuk mencegah menempelnya virus AI ke dalam sel. Yang ANA untuk mencegah keluarnya virus dari sel. Jadi, ketika virus keluar dari sel, kita tangkap dengan ini. Ini supaya virusnya tidak menempel dalam sel. Kalau berkembangbiak, virus keluar dari sel, maka akan ditangkap dengan ini (ANA). Jadi, kita kombinasikan antara AHA dan ANA,” terang pemilik sembilan hak paten itu. Riset mengenai ekstrak kuning telur yang digunakan untuk mengobati ayam yang terinfeksi virus AI sudah dimulai sejak tahun 2009. Meski sudah berjalan tujuh tahun lalu, obat ini sudah diujicobakan pada ayam-ayam yang terinfeksi virus AI di peternakan ayam di Blitar, Malang, dan beberapa wilayah terjangkit lainnya. Dari beberapa kali ujicoba di lapangan, pada kasus-kasus sedang, antibodi tersebut mampu menghambat pertumbuhan virus hingga 60 persen. Keistimewaan lainnya yang dimiliki obat AHA dan ANA adalah kemampuan untuk mengobati virus dengan risiko kematian tinggi atau Highly Pathogenic AI (HPAI) dan risiko rendah atau Low Pathogenic AI (LPAI) Virus. Selain itu, obat AHA dan ANA bisa
mengobati berbagai virus AI subtipe H5N1, H5N9, dan H5N2. “Kalau ayam terinfeksi HPAI pasti mati. HPAI tidak menunjukkan gejala, tapi kalau tubuhnya diisolasi, hasilnya positif. Seringkali, mahasiswa koas (co-assistant) menemukan itu di laboratorium,” imbuh Suwarno yang juga anggota Tim Komisi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI itu. Peneliti kelahiran Tuban itu mengaku, produk buatannya sudah dilirik oleh sejumlah perusahaan. Namun demikian, ia masih perlu menyempurnakan kemasan obat AHA dan ANA. Sebab, bila obat tersebut dimanfaatkan untuk populasi yang besar, ia masih perlu menambah netto setiap kemasan. “Tujuannya
biar
lebih
praktis.
Karena
awalnya
dibuat
individual, kita bikin yang spray (semprot) seperti ini. Kalau mau efektif, ya, tinggal dilarutkan dalam air. Tidak sampai dua jam, pasti akan air tersebut akan dihabiskan sama ayam. Jadi, prinsipnya mirip dengan vaksinasi,” tutur Suwarno. Ia berharap, dengan adanya obat AHA dan ANA ini, kerugian akibat wabah atau bala penyakit virus Flu Burung di Indonesia dapat terus berkurang berkat semakin banyaknya penelitian yang solutif. Penulis: Defrina Sukma S
Peneliti UNAIR Ciptakan Alat Dentolaser untuk Terapi Gigi
dan Mulut UNAIR NEWS – Peneliti Universitas Airlangga mengembangkan alat bernama Dentolaser yang bisa digunakan oleh para dokter gigi sebagai alat terapi gigi dan mulut dengan menggunakan laser. Alat Dentolaser itu dikembangkan oleh peneliti dan dosen Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Dr. Suryani Dyah Astuti. Bersama dengan tim peneliti yakni Dr. Ernie Maduratna dan Deni Arifianto, Dyah mengembangkan dua jenis alat Dentolaser. Perbedaan alat tersebut terletak pada panjang gelombang yang bisa dijangkau oleh alat tersebut. Masing-masing memiliki panjang gelombang 405 nanometer dan 600 nanometer. Kegunaannya pun berbeda. Dentolaser dengan panjang gelombang 405 nm digunakan untuk membunuh bakteri, sedangkan alat yang bisa menghasilkan panjang gelombang 600 nm difungsikan untuk foto biomodulasi sel. “Yang pertama (Dentolaser 405 nm) untuk membunuh bakteri, sedangkan yang kedua (Dentolaser 600 nm) untuk foto biomodulasi sel seperti terapi akupunktur, penyembuhan luka, dan rehabilitasi medik,” tutur Dyah. Penyakit gigi dan mulut yang bisa diatasi dengan Dentolaser antara lain karies pada gigi (gigi berlubang), penyakit periodontitis, orthodontis, luka, berdarah, atau inflamasi. Ia memilih menggunakan laser untuk terapi karena metode terapi dengan fotodinamik memanfaatkan cahaya, fotosensitizer, dan oksigen. Ketiga unsur itu menghasilkan radical oxygen species (ROS) yang akan menyebabkan kematian pada sel yang tidak dikehendaki seperti kanker, mikroba, bakteri, dan virus. “Tipe kematian selnya tidak seperti antibiotik yang menyebabkan perubahan pada DNA. Kalau ROS kematiannya adalah perusakan membran sel. Nah kalau membran sel rusak, air akan
masuk dalam sel dan mengakibatkan lisis atau kematian pada sel. Tidak menyebabkan adanya resistensi pada mikroba tersebut,” tutur Dyah. Dengan adanya keunggulan yang dimiliki oleh terapi fotodinamik, peneliti yang memulai riset terapi fotodinamik sejak tahun 2007 itu akhirnya memilih menggunakan laser di bidang kesehatan. Sinar yang dihasilkan laser bersifat monokromatik, koheren, dan dayanya lebih tinggi sehingga lama paparan akan lebih pendek. Untuk itulah, ia memanfaatkan laser yang bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit gigi dan mulut, serta penyakit-penyakit lainnya. Produk Dentolaser mulai dikembangkan sejak tahun 2015. Saat itu, Dyah dan tim mengikutsertakan produk penelitiannya dalam program Calon Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT). Dari situlah, mereka berhasil membuat dua produk Dentolaser. Sebelum ada produk Dentolaser, biasanya para dokter gigi mengobati penyakit gigi dan mulut dengan menggunakan antibiotik. Karena sifat antibiotik yang bisa mengakibatkan resisten, maka produk Dentolaser ini memiliki keunggulan tersendiri. Yakni, tidak menimbulkan resistensi, dan bisa menjangkau tempat-tempat sulit di rongga mulut. “Misalnya, di bawah akar gigi maka bisa menggunakan alat Dentolaser ini. Bisa ergonomis,” tuturnya. Alat tersebut merupakan perangkat yang mudah digenggam, mudah dibawa ke mana-mana, dan menggunakan baterai. Alat tersebut memiliki serat fiber yang menghantarkan sinar laser yang bisa meminimalisir rugi daya. Deni, salah satu tim Dentolaser, mengatakan bahwa alat tersebut bisa bekerja dengan tiga mode. Yaitu, sinar yang selalu menyala, sinar yang redup lalu menjadi terang, dan sinar yang berkedip (mati lalu nyala dan mati lagi). Laser ini bisa bertahan selama 40 detik untuk satu kali penyinaran. Sedangkan, untuk daya baterai, laser ini bisa bertahan hingga
satu bulan. Pemakaiannya bergantung dokter yang bersangkutan. “Jadi, kalau sinarnya biru, intensitasnya tinggi dan akan terasa lebih panas. Agar tidak terus menerus, pakai mode blinking. Kalau dari rendah ke besar, pemakaian tergantung dokter supaya pasien tidak langsung kaget karena panas,” tutur Dyah menambahkan. “Misalnya, pada penyakit periodontitis atau gusi yang melorot. Gusi yang melorot itu disebabkan di pocket gigi terdapat banyak bakteri. Pada saat praktik, gusi diturunkan dan disinari di bagian pocket tersebut,” imbuh Dyah. Berdasarkan penelitian in vitro yang pernah ia lakukan, metode kombinasi dengan antibiotik Doxycycline dan sinar laser bisa mematikan bakteri hingga 86 persen. Namun, pengajar Departemen Fisika itu menerangkan, Dentolaser tak harus dikombinasikan dengan antibiotik. Hanya saja, memang uji klinik itu diterapkan pada gusi yang melorot. Uji klinik pada gigi dilakukan oleh rekan satu timnya yang juga dokter gigi yaitu Ernie. “Nggak harus pakai antibiotik pun bisa. Kami padu dengan Doxycycline karena kalau gusinya melorot gigi akan cenderung rapuh. Sedangkan, Doxycycline cenderung merekatkan. Akhirnya, diberi sedikit Doxycycline agar dibersihkan dari bakteri baru kemudian disinari. Bakteri yang tidak bisa mati dengan antibiotik baru kita bunuh dengan laser ini,” terangnya. Namun, ia kembali menekankan penggunaan alat yang bisa bertahan hingga satu bulan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk terapi kesehatan gigi, tapi juga dokter kulit untuk mengobati jerawat dan rehabilitasi medik. Industri perguruan tinggi Sejak tahun 2016 sampai sekarang, produk Dentolaser ini sudah dalam proses registrasi hak paten di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Selain itu, pada awal bulan Maret, tim peneliti Dentolaser berhasil mendapatkan hibah sebesar Rp 4 miliar dari Direktur Jenderal Penguatan Inovasi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI melalui judul riset “Inovasi Produksi Dentolaser Antimikroba dan Biomodulasi Sel untuk Akselerator Respon Penyembuhan Penyakit Gigi dan Mulut”. “Hibah itu kami gunakan untuk hilirisasi produk yang nanti dapat bermanfaat bagi masyarakat. Caranya adalah dengan membangun industri perguruan tinggi. Kami diberi hibah berupa alat-alat, pengurusan sertifikasi, dan sebagainya. Dengan adanya industri perguruan tinggi, mahasiswa-mahasiswa kita yang bekerja di bidang itu, bisa belajar di sana,” tutur Dyah. Targetnya, produksi massal Dentolaser akan dilakukan pada tahun 2018. Sedangkan, pada tahun 2017 pihaknya akan membangun industri perguruan tinggi dan improvisasi alat. Biaya produksi alat tersebut saat digunakan untuk penelitian memakan ongkos antara Rp 2,75 sampai 3 juta. Namun, ia berharap, dengan adanya produksi massal, harga tersebut bisa ditekan. “Saat
ini
alatnya
kan
masih
skala
prototipe
dan
kita
membuatnya secara handmade. Kalau ingin masuk ke industri dan diterima pasar, perlu kualitas yang baik. Selebihnya akan kita assembling (rakit), dan melewati quality control (uji kualitas). Kalau sudah sesuai maka akan diproduksi massal. Lalu, kita akan adakan tes pasar. Selain itu, ide dan desain itu semuanya dari kita (tim peneliti),” ujar Deni menambahkan. Penulis: Defrina Sukma S Editor : Binti Q. Masruroh
Tempurung Kelapa Didedikasikan untuk Pasien Kanker Usus Besar yang Kurang Mampu UNAIR NEWS – Dokter penemu skin barrier dari tempurung kelapa, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KBD, termasuk sosok yang peduli dengan pasiennya. Dulu, skin barrier tempurung kepala buatannya diproduksi sendiri lalu diberikan kepada pasien secara cuma-cuma. Pertimbangannya, batok kelapa bisa didapatkan secara gratis dari pasar. “Tapi lama kelamaan ndak bisa begitu. Sekarang mesti beli kelapa utuh. Satu batok bisa dibuat jadi empat sampai lima produk. Pasien cukup mengganti ongkos pembuatan dan bahannya saja, murah tidak lebih dari lima ribu rupiah,” jelasnya. Namun demikian, murah bukan berarti diminati banyak orang. Ia mengakui tidak semua pasiennya mau menggunakan skin barrier batok kelapa. Jika pasien tersebut mampu, maka mereka lebih memilih menggunakan colostomy bag. Produk colostomy bag karayagam buatan pabrik ini diklaim lebih nyaman digunakan. Tinggal ditempel di permukaan kulit, tanpa harus menggunakan sabuk atau tali elastis. Produk ini juga memiliki kemampuan daya serap tinggi tapi hanya bisa digunakan selama beberapa hari. Hanya saja, produk tersebut mesti didapat dengan harga cukup mahal. “Penggunaan batok kelapa memang spesifik untuk pasien kurang mampu dan tinggal di daerah periferi. Bayangkan, kalau mereka harus membeli yang mahal, satu kantong untuk penggunaan 3-4 hari saja dikalikan Rp 80ribu. Sebulan sudah habis berapa biayanya? Apalagi mereka orang desa, mau beli di mana? Karena persediaan colostomy bag hanya ada di perkotaan saja,”
jelasnya. Lain halnya jika batok kelapa. Selain bahannya mudah didapat, batok kelapa ternyata memiliki kemampuan daya serap yang tinggi dan perawatannya mudah. Perawatannya mudah. Jika kantong stoma sudah penuh dengan cairan ekskreta, batok kelapa bisa dilepas dan dicuci. Sisa kerak yang menempel di permukaan batok bisa disikat sampai bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 jam atau dioven 130 derajat selama 20 menit. Setelah itu dapat digunakan berulang kali seumur hidup. Keduanya memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Sebut saja karayagam. Dalam kondisi kulit yang masih lecet dan basah, karayagam tidak bisa digunakan. Alhasil, mau tidak mau pasien harus menggunakan batok kelapa sementara waktu sampai kondisi kulitnya membaik. Sedangkan batok kelapa, hanya penggunaanya saja yang dianggap kurang nyaman, karena dinilai kurang praktis dan musti menggunakan tali elastis. Namun bagi pasien kurang mampu, itu saja sudah sangat membantu. Tanpa mengeluarkan biaya lebih besar, kulit mereka aman dari iritasi, tanpa mengganggu aktivitas mereka. Teknik pemanfaatan batok kelapa menjadi skin barrier tampaknya hanya ada di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan di beberapa wilayah tropis lainnya. Agar bisa diproduksi, tentu dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pengalamannya dalam memperjuangkan hak paten dilaluinya dengan cukup berliku. Jauh sebelum hak paten diperjuangkan, ia melakukan penelitian seputar potensi batok kelapa terlebih dulu, dan kemudian berhasil masuk jurnal internasional. Selanjutnya, tahun 2008 ia mencoba mengurus hak paten. Namun usahanya memperjuangkan hak paten sempat terhalang, karena dalam proses paten pihak tersebut menelusuri, ide hak patennya sama dengan hasil penelitian yang sudah ada di dalam jurnal,
sehingga dianggap tidak orisinal lagi. Setelah melalui usaha yang cukup keras, inovasinya berhasil disetujui pada tahun tahun 2012. Menurutnya, angka prevalensi kanker usus meningkat setiap tahun. Diperkirakan setiap minggu, Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Soetomo menerima puluhan pasien baru kanker usus besar. Banyak dari mereka berasal dari luar kota, tinggal di pedesaan. Bahkan, ia mengajarkan kepada para pasien bagaimana cara membuat skin barrier dari batok kelapa. Tapi ternyata tak semua orang bisa membuat. “Kelihatannya sederhana, ya, tapi ternyata ndak semua orang mampu membuatnya. Karena kebutuhan terus meningkat, akhirnya saya minta bantuan orang lain untuk membuat, dan pasien tinggal ganti ongkos dan bahannya saja, dan ini bukan komersil,”
jelasnya. (*)
Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
RSUA Telemedicine, Inovasi Terbaru dari RS UNAIR UNAIR NEWS – Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga mengembangkan teknologi terbaru untuk memudahkan pelayanan rujukan pasien. Teknologi terbaru itu bernama “RSUA Telemedicine”. Kini, aplikasi tersebut sudah bisa diunduh oleh pengguna sistem operasi Android. Aplikasi
tersebut
diluncurkan
pada
acara
“Symposium
Telemedicine: Inovasi Pelayanan Kesehatan melalui Pengembangan Health Science Institute”, di Aula Dharmawangsa RS UNAIR, Rabu (8/2). Peluncuran aplikasi disaksikan oleh Direktur RS UNAIR Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD., K-PTI, beserta jajaran pimpinan, dan para perwakilan rumah sakit serta puskesmas di Surabaya dan sekitarnya. Dalam aplikasi RSUA Telemedicine, pengguna akun adalah para tenaga medis di bagian Instalasi Gawat Darurat fasilitas kesehatan terkait. Untuk bergabung dengan RSUA Telemedicine, para tenaga medis di IGD harus memiliki akun pengguna. Caranya, adalah perwakilan fasilitas kesehatan melakukan pendaftaran ke pihak RS UNAIR. Setelah itu, pihak RS UNAIR akan melakukan survei ke fasilitas kesehatan yang bersangkutan. Setelah dilakukan survei, maka pihak fasilitas kesehatan tersebut akan menandatangani nota kesepahaman. Nantinya, setiap fasilitas kesehatan akan mendapatkan satu akun pengguna beserta kata sandi. Setelah berhasil mendaftar, maka tim IGD dari fasilitas kesehatan terkait bisa berkomunikasi dengan tim pengembang aplikasi RSUA Telemedicine, Tedy Apriawan, dr., Sp.BS., menuturkan bahwa mereka nantinya akan berkomunikasi dengan tim medis di bagian IGD RS UNAIR. Dalam proses komunikasi itu, tim IGD dari fasilitas kesehatan terkait hendaknya memberikan informasi mengenai kondisi lengkap pasien. “RSUA Telemedicine kita gunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya untuk sistem rujukan utama. Harapannya, kita dalam merujuk harus sudah mulai lengkap baik dari datanya, pemeriksaan fisiknya, diagnosis, dan terapinya. Satu-satunya jalan untuk hanya menggunakan telemedicine. Kita bisa ngasih foto, informasi lengkap baik terapi maupun diagnosa,” tutur Tedy. Usai data pasien diterima, tim IGD RS UNAIR akan berdiskusi, menentukan tindakan perawatan yang tepat untuk pasien, dan mempersiapkan peralatan medis penunjang. Harapannya, pasien
bisa segera diselamatkan. “Dengan adanya rekam medis tersebut atau data yang diberikan kepada kami sudah lengkap, kami pasti akan segera menyiapkan alat-alat apa saja yang kami butuhkan di sini. Misal, penderita tersebut adalah penderita multitrauma, dari kepala sampai kaki kena semua, saat mereka merujuk ke kita, kita sudah siap langsung bergerak sesuai dengan penyakit yang diderita pasien tersebut,” terang dokter bedah RS UNAIR itu. Saat ini, aplikasi tersebut sudah dapat digunakan. Dalam waktu dekat, pihak RS UNAIR akan melakukan sosialisasi terkait aplikasi RSUA Telemedicine. Rencana selanjutnya, tim RS UNAIR akan mengembangkan aplikasi dengan teknologi yang lebih canggih, seperti panggilan video. Pengembangan sistem akan dilakukan pada beberapa bulan ke depan. Untuk
mendukung
kelancaran
penggunaan
aplikasi
RSUA
Telemedicine, pihak RS UNAIR akan menggandeng pihak RS St. Mary, Jepang. Mereka akan mengikuti pelatihan dan mempelajari tentang sistem informasi aplikasi telemedicine. Direktur RS UNAIR ketika diwawancarai mengatakan, inovasi RSUA Telemedicine merupakan langkah untuk mengatasi kesenjangan antara fasilitas kesehatan. Dengan adanya aplikasi tersebut, diharapkan pasien mendapatkan perawatan yang tepat dan berkualitas. Ditambah pula dengan keberadaan tim dokter berkapasitas unggul dan fasilitas yang dimiliki RS UNAIR, diharapkan inovasi tersebut dapat membantu visi sebagai rumah sakit pendidikan terbaik segera tercapai. Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Cegah Bahaya Mahasiswa UNAIR Seperangkat Uji “KUMAK”
Merkuri, Produksi Bernama
UNAIR NEWS – Perkembangan industri saat ini dianggap memiliki dampak negatif yang merugikan masyarakat jika tidak ada tanggung jawab dari perusahaan terkait. Banyak limbah yang dibuang di sungai tanpa melalui proses pengelolaan limbah, sehingga mengakibatkan adanya kandungan merkuri dalam air. Merkuri adalah kandungan zat yang memiliki banyak dampak negatif, beberapa diantaranya adalah mengakibatkan kerusakan pada syaraf, saluran pencernaan, dan gangguan pada ginjal. Selain maraknya kandungan merkuri dalam air beberapa produk kosmetik yang mengandung merkuri juga beredar secara illegal di masyarakat. Fenomena ini yang kemudian mendorong lima mahasiswa Fakultas Farmasi Uiversitas Airlangga,yakni Erwin Chandra Christiawan (2014), Ayu Tarantika Indreswari (2013), Hatif Indra Nur Septiyanti (2014), Rendha Kusumaning Kristiwi (2014) dan Hawi Queen Nisa (2014) untuk membuat seperangkat penguji merkuri yang bertujuan agar masyarakat bisa melakukan uji merkuri pada air dan kosmetik dengan mudah tanpa harus pergi ke laboratorium.
Perlengkapan Produk KUMAK (Foto: Istimewa) Seperangkat uji merkuri ini bernama KUMAK “Kit Uji Merkuri dalam Air dan Kosmetik” yang terdiri dari cawan porselin untuk menguji kosmetik, tabung reaksi untuk menguji air, serta dilengkapi dengan sarung tangan dan pembersih. Larutan yang ada pada KUMAK tersusun dari bahan senyawa KI dan HCl o,5 N untuk menghindari resiko bagi konsumen, karena bahan senyawa tersebut dianggap memiliki reaksi yang kecil dan aman untuk digunakan. Cara menggunakan KUMAK adalah dengan meneteskan larutan pertama terlebih dahulu. Setelah diteteskan, akan tampak perubahan dalam air atau kosmetik. Jika positif, air akan berwarna pink kemerahan dan jika negatif akan berwarna kuning. Pada kosmetik, jika teridentifikasi merkuri akan berwarna pink kemudian akan memunculkan bintik oranye. Larutan kedua berfungsi untuk memvalidasi larutan pertama
sehingga hasilnya lebih akurat. “Awalnya kami hanya membuat satu larutan. Tapi setelah konsultasi ke dosen pembimbing, beliau memberikan saran untuk menggunakan dua larutan untuk uji merkuri dan memberikan jurnal sebagai referensi,” ujar Erwin sebagai Ketua kelompok. Produksi KUMAK sendiri dilakukan di laboratorium Farmasi, untuk selanjutnya dilakukan pengemasan di salah satu rumah anggota kelompok. “Kami berharap, produk kami tetap terus dihasilkan walaupun euphoria PKM telah usai karena kami memang ingin belajar bisnis. Selanjutnya, kami juga berharap bisa mendapatkan hak paten untuk produk kami dari Badan Pengawas Obat dan makanan,”pungkas Erwin. (*) Penulis : Afifah Nurrosyidah Editor : Dilan Salsabila
Pasca Juara di Pimnas, PKM Anti Kantong Panda Semakin Laris UNAIR NEWS – Persoalan lingkaran hitam di sekitar mata seseorang, merupakan masalah yang sering ditemukan di masyarakat seiring dengan bertambah padatnya aktivitas seharihari yang mengurangi waktu untuk istirahat. Selama ini memang dikenal ada beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mulai dari penggunaan bahan alami seperti irisan kentang atau mentimun, hingga perawatan wajah di klinik-klinik kecantikan. Karena itulah, Losepocket Company yang beranggotakan lima
mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga menghadirkan inovasi “Penutup Kompres Mata (PKM) Anti Kantong Panda”. Inovasi itu kemudian dituangkan dalam Program Kreativitas mahasiswa (PKM) dan berhasil menjadi Juara I presentasi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2016 di nomor PKM Kewirausahaan kelas Presentasi-4. Pimnas ke-29 ini berlangsung di IPB, 8-11 Agustus 2016. Kelima mahasiswa Fakultas Farmasi UNAIR tersebut adalah Ulima Hapsari (Ketua kelompok) dengan anggota Dhiah Ayu Febriani, Afifatun Nisa, Husniatul Fitriah, dan Hogi Rutheda Diana. Mereka berinovasi dibawah bimbingan dosen Azza Faturrohmah, S.Si., M.Si., Apt. Menurut Ulima Hapsari, anti kantong panda dengan nama produk Losepocket ini merupakan penutup mata yang dilengkapi dengan ice gel. Alat ini dapat memberikan sensasi dingin pada mata serta terdapat wadah lubang yang dapat diisi dengan bahan alami yang berkhasiat untuk mengurangi lingkaran hitam di sekitar mata. ”Produk ini dibuat dari bahan kain parasut yang lembut, sehingga nyaman untuk dipakai dalam segala posisi, baik pada saat tidur dan sifatnya tahan air, sehingga mudah dibersihkan dari sisa potongan bahan alami,” kata Ulima, usai menerima Medali Emas Pimnas Ke-29 di gedung Graha Widya Wisuda (GWW) IPB. Seperti diketahui, raihan medali emas dari Ulima Dkk ini merupakan satu dari 8 medali emas, 3 perak, dan 2 perunggu yang diraih Tim Pimnas UNAIR, yang sekaligus memastikan tampil sebagai Juara III Pimnas 2016. Ditambahkan oleh Ulima, bahwa Losepocket ini juga tersedia dalam variasi warna yang menarik. Selain itu juga terdapat sensasi aroma terapi dari rempah-rempah pilihan yang berkhasiat sebagai sedative yang dapat memberikan efek relaksasi bagi para pengguna Losepocket.
Anggota Losepocket Company dari Fakultas Farmasi UNAIR. Inovasi mereka meraih medali emas pada Pimnas ke-29/2016, di IPB. Pasca juara ini, Lospocket semakin laris. (foto: Istimewa) Kelebihan lain produk mahasiswa UNAIR ini adalah, pengguna tidak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk mengatasi permasalahan lingkaran hitam di sekitar mata. Untuk ini cukup dengan Rp 25.000,- untuk satu kemasan Losepocket yang terdiri atas satu penutup kompres mata, satu ice gel, satu pack aroma terapi, serta petunjuk cara penggunaan dan penyimpanan Losepocket. Penjualan dan promosi produk ini sudah merambah beberapa wilayah di Indonesia. Antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Banyuwangi, Denpasar, Mataram, dan beberapa kota lain. Penjualan Losepocket ini dilakukan melalui sistem Pre-Order yang sebagian besar dilakukan melalui Official Account Instagram: @losepocket dan LINE: @owm1807o. ”Hingga bulan ke-4 (April 2016) penjualan Losepocket sudah
mencapai 200 produk. Penjualan ini langsung meningkat drastis setelah produk kami mendapat Juara I (satu – red) pada Pimnas 2016 di Institut Pertanian Bogor,” tambah Ulima. Kedepan, Losepocket Company berharap bahwa produk Losepocket ini dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam mengatasi persoalan lingkaran hitam di sekitar mata. (*) Penulis: Bambang Bes
Mahasiswa UNAIR Ciptakan Robot Medis Pensteril Kamar Operasi UNAIR NEWS – Lima mahasiswa Fakultas Vokasi Universitas Airlangga berhasil menciptakan robot medis yang mampu mensterilkan kamar operasi (kamar bedah). Tentu saja, ini suatu hal baru yang akan melengkapi robot-robot yang sudah tersiar melalui kontes-kontes robot sebelumnya, seperti robot penjinak api, robot Doraemon, robot penari Remo, robot pemindah bola, dsb. Lima mahasiswa Vokasi UNAIR itu adalah Akhmad Afrizal R. (Otomasi Sistem Informasi/OSI ’14), Mokhammad Deny B. (OSI ’13), Mokhammad Dedy B. (OSI ’13), Rizky Altryara (OSI ’13), dan Pratama Bagus B. (OSI ’13). Karya mereka itu diangkat dengan judul ”LUVIZER (Line Ultraviolet Sterilizer) Artificial Device Pengoptimalisasi Daya Germisidal Sinar UV (Ultraviolet Germicidal Irradiation) Sebagai Alat Pensteril Kamar Operasi”. Karena kreasi baru sehingga lolos penilaian dan berhasil menerima dana hibah bidang Karsa Cipta dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam ajang tahunan Program Kreativitas
mahasiswa (PKM-KC) 2016.
Lima mahasiswa Fakultas Vokasi UNAIR yang merancang Robot LUVIZER (Foto: Dok Tim). Latar belakang digagasnya robot pensteril kamar operasi ini, menurut Akhmad Afrizal R yang mewakili timnya, karena berkembangnya isu-isu tentang patient safety akhir-akhir ini banyak disorot dalam dunia kesehatan. Sehingga perlu ditanggapi secara tepat demi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mengurangi resiko kecelakaan (malpraktik). Untuk itu, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan strerilisasi ruangan. “Mengapa harus steril, karena alat-alat medis maupun ruangan yang digunakan itu untuk proses perawatan pasien, seperti kamar pasien, dan ruang bedah/operasi. Dengan sterilisasi sekaligus sebagai upaya menghindarkan pasien dari kontaminasi bakteri maupun virus. Jika tidak steril maka dapat mengganggu kelancaran proses bedah yang dilakukan petugas medis serta meningkatkan resiko kegagalan dalam proses pembedahan, seperti terjadinya infeksi akibat bakteri udara,” kata Akhmad Afrizal. Seiring
dengan
perkembangan
teknologi
dibidang
bio
engineering, pilihan dengan robot medis bernama LUVIZER sungguh tepat. Robot sterilisasi ini merupakan gabungan dari robot line follower dengan alat sterilisasi manual yang dapat dikontrol jarak jauh secara digital menggunakan controller arduino, sehingga dapat melakukan desinfeksi ruang operasi. Metode desinfeksi ini dianut menggunakan cahaya ultraviolet (UV) yang memiliki panjang gelombang cukup pendek untuk membunuh mikroorganisme. Selain itu cahaya UV efektif untuk menghancurkan asam nukleat pada organisme ini yang menyebabkan DNA-nya terganggu oleh radiasi UV, sehingga organisme ini tak dapat melakukan fungsi-fungsi sel penting. Menurut Afrizal, robot LUVIZER yang dirancang ini sempat mengalami perubahan konsep berkali-kali, dan akhirnya dapat terwujud menjadi sebuah robot medis pensteril kamar operasi. Robot medis ini juga sangat aman dengan sensor Passive Infrared Receiver (PIR) yang mampu mendeteksi suhu manusia. “Karena lampu ultraviolet yang kami gunakan merupakan jenis UVC dengan panjang gelombang 260 nm yang radiasinya memiliki efek kimia dan efek germicidal yang mampu membunuh bakteri, kami menambah sensor PIR supaya jika terdeteksi ada orang di dalam ruang operasi, robot ini otomatis mati, sehingga petugas medis bebas paparan radiasi tersebut,” tambah Mokhamad Deny B, rekan se-timnya. Mereka mengakui, secara keseluruhan robot ini belum siap untuk diproduksi secara masal, jadi masih harus terus dikembangkan dan diuji lagi. Namun kedepanya LUVIZER diharapkan dapat benar-benar diaplikasikan secara luas, sehingga mampu meningkatkan efektifitas paparan radiasi germicidal pada ruang operasi. (*) Penulis : Bambang ES