Agamaku, Surga-Neraka Puasaku III
dan
UNAIR NEWS – Dua kalimat syahadat saja aku tak benar-benar serius. Aku tak bisa berbahasa Arab, akupun tak mampu membaca samudera luas yang bernama Al-Qur’an itu. Sholatku hanya sebatas ritual, doaku adalah rengekan rapal yang tak jarang hanya sekedar kulafalkan tanpa arti. Dan ketika kuketuk pintu di dalam hatiku, aku jadi sangat ragu. “Bagaimana aku sedang berpuasa, sementara daging dan jiwaku saja tidak serius menghamba kepada-Mu.” Aku tak pandai sebagaimana Engkau hadir kepada hamba-Mu dengan rahman dan rahim-Mu. Engkau Maha Berpuasa, mengesampingkan seluruh kemungkinan-Mu untuk hadir dalam sifat-Mu yang Maha Adil lagi Maha Kuasa di dunia yang kami alami ini. Begitulah, hingga aku tak akan lulus memperoleh pahala dari puasa yang Engkau wajibkan atas kami sebagaimana Engkau wajibkan kepada ummat sebelum kami. Aku sendiri tak sempat memahami puasaku kecuali pikiranku tentang rasa lapar dan haus saja. Aku tak sempat berpuasa kecuali yang kupikirkan hanyalah hadiah-hadiah, seakan-akan aku hanya memposisikan Tuhanku sebagai mandor yang mempekerjakanku sebagai kuli. Sehingga puasa kujadikan sebagai sistem semester pendek untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya, serakus-rakusnya kekayaan pahala. Berhubung Tuhanku sedang mendistribusikan kenaikan jumlah pahala yang tidak main-main berlipatnya. Tanpa kuberfikir bahwa kekayaan pahala itu, amatlah tidak cukup kalau kita gunakan untuk membeli satu kavling surga-Nya Allah. Sebab nikmat yang turun kepada kita, jika dinominalkan dalam kekayaan pahala, jumlahnya masihlah sangat kurang. Hutang kita kepada Allah tak tertebus oleh seluruh amal
rekadaya kita, jika hanya berharap pamrih. Apa yang bisa kita andalkan kecuali Rasulullah. Puasa ini, untukku sulit kupersembahkan kepada-Nya. Walau puasa oleh Allah disebutkan hanya untuk-Nya. Tapi seluruh cela, kekurangan, dan kenaifan pikiran, daging, dan hatiku, teramat berat jika harus dinilai oleh Allah sendiri. Aku tak akan punya wajah, tak akan tega, jika Rasulullah dalam tatapan kasihnya kemudian menemukan orang sepertiku yang mengaku-aku sebagai ummatnya. Tapi entah kenapa, aku begitu menikmati puasa dan bulan Puasa melalui tatapan bahagia, ekspresi-ekspresi syukur, dan kreatifitas tradisi, yang praktis hanya ada di bulan ini. Pemandangan di kota-kota, di desa-desa dan di masjid-masjid terasa hidup. Mereka semua terhanyut dalam suasana untuk kembali meninggikan Tuhan—walau uforia masjid menjadi ramai, biasanya hanya sejenak pada minggu-minggu awal puasa. Tapi itu bukti, bahwa jerat rantai di kaki iblis dan setan, memang sangat terasa. Karena, mereka tetap tak akan menghapuskan naluri dasar manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Try out Iblis sia-sia saja tak akan sempurna untuk menghitam legamkan kertas kosong bernama manusia itu. [ * ] Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)
Berpesta Dengan Duka II UNAIR NEWS – Laki-laki itu membuatku penasaran, untuk apa pesta ini diadakan. Sebelum aku bertanya pada Durja dan Lukas, aku mengingat obrolan kami suatu siang saat jam istirahat kerja. Aku, Durja, dan laki-laki itu menghabiskan sisa jam istirahat di sebuah balkon tempat kami bekerja.
Laki-laki itu mengawali pembicaraan kami di tengah siang yang tak seterik kemarin. “aku ingin berpesta” kalimat itu disambung hisapan batang rokok yang cukup panjang. Saat itu aku baru satu bulan mengenal mereka, maka aku pun bingung menjawabnya. Durja yang melihat kebingunganku, akhirnya angkat bicara menanggapi perkataan laki-laki itu. “bukannya satu bulan yang lalu saat istrimu keguguran kau sudah berpesta?” Keguguran? Pesta? Pesta setelah istrinya keguguran? Apa sudah gila laki-laki ini? Aku pun menyela pembicaraan itu. “maaf bung, maksudnya berpesta saat istri bung keguguran itu bagaimana?” “dia itu kalau berpesta mana pernah melihat-lihat situasi” Durja menjawab sebelum laki-laki memberi penjelasan panjang pada kami. “ya, betul. Memang, seperti itu. Aku merayakan kehamilan istriku yang gugur. Jadi, ya itu caraku menghibur diri. Sebab kesedihan itu harus dirayakan kawan. Kau pernah lihat adat orang Toraja ketika ada yang meninggal? Mereka tak meratapi dengan tangisan dan diam di rumah. Kalau kita meratapi, kesedihan justru tinggal lebih lama, kawan. Kau akan sulit keluar dari kesedihan itu. Kebahagiaanmu bakal semakin jauh.” “ah masak begitu bung Durja?” aku hanya berpura-pura meminta pendapat Durja, karena sungguh ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang berpesta ketika seharusnya ia berkabung. Durja mengangkat bahu, ia menyalakan batang rokok yang kedua. Masih ada sepuluh menit kira-kira jam istirahat yang tersisa. “bung, nanti kalau aku membuat pesta, datanglah. Biar kita bisa merayakan kesedihan bersama-sama.”
Aku mengangguk berkali-kali dengan ragu-ragu. Laki-laki itu ternyata mengerti ketidakterimaanku. “kenapa kau tampak ragu-ragu kawan? Ayolah, kita itu harus berpikir ke depan. Kesedihan itu kan bukan untuk diratapi, ditangisi berhari-hari. Kalau kita sedih terus, ia akan tertawa melihat kita. Semakin betah ia bersama kita. Kebahagiaan perlu dijemput.” Lalu ia melangkah masuk, meninggalkan aku dan Durja. “kau mungkin berpikir bahwa dia gila, tapi dia pernah lebih gila lagi dari pesta sebulan yang lalu” “maksudmu Ja?” “Sebelum aku kenal dia, ada yang bercerita padaku seperti aku bercerita ini padamu. Waktu mertuanya meninggal, ia pun berpesta, tepat satu hari setelah pemakaman.” “istrinya tak tau soal pesta itu?” “entahlah bung, yang jelas menurut cerita itu juga, rumah tangganya masih baik-baik saja. Tapi mereka memang sering bertengkar. Setiap habis bertengkar dengan istrinya, dia pasti mengajak kami minum. Dia yang mentraktir.” Satu minggu setelah pembicaraan kami siang itu, aku diundang berpesta di rumah barunya. Ini baru masuk akal, pikirku. Aku datang pada pukul delapan malam, saat itu kulihat Durja sudah asyik dengan makanan dan minuman di hadapannya. Di sebelah Durja, duduk seseorang perempuan, dialah Maria. Ia menggunakan tanktop yang dibalut jaket kulit hitam, aku tau itu karena ia sempat melepaskan jaketnya. Roknya sepuluh senti di atas lutut, rambutnya terurai dan bergelombang, danjarijari lentiknya yang berkutek merah lincah memainkan batang rokok. Wanita ini misterius. Ia tak banyak bicara, bicaranya sedikit-sedikit atau ia hanya akan bicara bila perlu, bila ditanyai. Itulah yang membuatku semakin ingin mengenalnya. Di
pesta berikutnya, malam ini, aku sudah lebih banyak berbincang dengannya. *** Lukas pergi mengambil minum. Hingga tinggal aku dan Durja, lalu Durja mencondongkan badannya ke arahku, dan berbicara dengan sedikit berbisik, “kau belum tau? Istrinya sudah pergi ke rumah mertuanya. Maksudku dia pulang ke rumahnya. Kemarin mereka bercerai.”
Penulis: Zumrotul Fatma Rahmayanti (Mahasiswi S1 Sastra Indonesia Universitas Airlangga)
Agamaku, Surga-Neraka Puasaku II
dan
UNAIR NEWS – Alasanku masih memegang agama adalah untuk menuju pada ketenangan diri. Aku yakin Islam adalah pintu selamat, pintu ketenangan, keteduhan dan kasih sayang. Di dalam ketenangan itulah aku menemukan surga. Dan di dalam kasih sayanglah, aku menemukan bidadari-bidadari yang sedang merayu, menggoda dan membawaku pada kepuasan rohaniah imajiner yang tiada ukurnya. Aku yakin iman itulah yang akan mempertemukanku setiap waktu memandang wajah Tuhanku. Dan dengan jalan berpasrah kepadaNya, senatiasa syukur serta tawakal. Dari situlah letak aliran sungai di dalam surga dapat kunikmati, kupegang, dan ku kendalikan.
Senatiasa ku sadari, bahwa kelemahan, rasa lupa bahkan dosa dan nista sering kulakoni. Aku juga tak akan lepas dari siksasiksa neraka. Aku bukan orang suci. Sedikit saja aku menggantungkan diri pada orang lain, pada dunia, dan pada rasa cinta yang berlebih-lebihan. Maka dosa kekafiran memanggangku, mengintai pada rasa kecewa di kemudian hari. Perasaan kecewa, susah, sedih inilah yang lekat dalam ingatan, menusukkan siksa tanpa mampu membunuhku sekejap saja—bisa menghantui lama. Hidup tak mati-mati dalam siksaan. Bahkan aku terasa takut dalam era ini. Sangat sedemikian takut. Dosaku, nistaku, dan kesalahanku, janganlah dikekalkan di alam IT. Sehingga anak, cucu, buyut, canggah dan keturunanku sewaktu-waktu tak terjebak dalam aib. Ikut melaknatku, dan yang kutakut ialah mereka menolak mengakui garis darahku. Era informasi ini bagiku jebakan, tapi juga peluang. Era ini lebih kekal dan mengekalkan segala hal di dunia, baik keburukan maupun kebaikan. Bahkan, laknat kepada Fir’aun, Qarun, Abu Lahab dan Abu Jahal bisa saja digantikan oleh namanama baru ke dalam dunia segenggaman tangan itu. Itulah neraka yang harus diwaspadai bersama. Maka berhati-hatilah dengan dunia yang tak kenal tega ini. Untuk menjadi baik, baiklah tanpa takut sendiri. Kalau memilih menjadi buruk, tanggunglah sendiri.
Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)
Agamaku, Surga-Neraka Puasaku I
dan
UNAIR NEWS – Nyaris aku tersinggung karena orang-orang bisa hidup lebih religius. Sangat Islam dan punya Islam sebagai penolong mereka dalam agenda menuju surga. Aku sama sekali merasa lepas dari upaya untuk baik seperti mereka. Diriku tak punya apa-apa. Tak punya ulama untuk ku bela, dan tak punya hafalan Al-Qur’an yang bisa kubanggakan. Hingga aku tak berkesempatan untuk membela ulama’ maupun merasa ternistakan oleh orang yang memelintir kitab suci itu. Aku sendari awal dilahirkan di Indonesia dalam lembaran takdir. Orang tuaku suku Jawa, kakek nenekku lahir dan beragama Islam. Tak pernah ku dengar dari Mbah Modin tentang khilafah. Kami hidup mengagumi Sukarno dan bersholawat kepada Kanjeng Nabi. Menurutku, kekhalifahan sudah tergelar di tanah air kami, baik dari titik start Indonesia dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Maupun kekhilafahan versi Kasultanan Demak era Sultan Patah dan wali songo penasehatnya. Harus diakui, Islam adalah agama yang kuterima dari didikan Ibu Bapak dan dari pengaruh lingkungan yang diturunkan dalam tradisi bergilir turun temurun. Ku terima itu tanpa aku punya kesempatan lain membantahnya. Tapi aku tetap saja tidak punya perangkat kompetensi agama apa-apa, sehingga diriku aman untuk tidak dicap sebagai santri, orang alim, nahdiyin, muhammadiyin, aktivis HTI atau lain sebagainya. Meski begitu, dalam hati kecilku berat bagiku untuk makar keluar dari agama ini. Aku mungkin menjadi orang-orang buta yang sekadar menjalankan syariat sebagai penggugur kewajiban. Katakanlah itu munafik, dan memang aku merasa takut juga jika tidak diakui dalam rumpun keluarga Islam itu sendiri. Entah kenapa nuraniku cukup ciut untuk dituduh neko-neko, semisal
kafir, liberal atau setingkat atheis. Jikapun ada yang terlanjur menuduhku atau menuduh orang lain dengan istilah itu. Kuharap meraka yang menuduh itu adalah yang tidak kafir, yang tidak liberal dan yang tidak punya sesembahan lain kecuali Allah dimanapun juga, baik di daging maupun dihatinya. Karena aku takut otoritas mereka itu menjadi patah gara-gara harus meladeni orang-orang remeh seperti aku. Meski aku yakin mereka tak mungkin kurang bukti, tak mungkin kurang rasa istiqomah. Bahkan kedekatan dan kedalaman meraka dalam menelaah kontekstualisasi Islam pastilah tepat. Mereka amat dekat dengan Allah. Tetapi sebagai pembelaan, aku akan kekehtetap mengklaim bahwa diriku berlindung dalam kuasaan ke-Esaan-Nya, meski rumpunku itu dicela oleh otoritasapapun juga. Tak jua masalah, meski rumpunku dikonotasikan dengan istilah Islam Kejawen, Islam Tradisi, Islam Abangan, Islam Nusantara atau Islam Warisan. Memang harus diakui bahwa the truth of Islam, bukanlah kelas kami-kami ini. bersambung…
Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)
Berpesta Dengan Duka I UNAIR NEWS – Ia mengundangku ke rumahnya. Laki-laki itu memang gemar sekali berpesta, bahkan ia tak pernah melihat situasi saat berpesta. Baru saja seminggu yang lalu ia mengundangku untuk berpesta, atas kenaikan gajinya di sebuah perusahaan, tempat ia bekerja selama tiga tahun belakangan. Pesta itu dilangsungkan di sebuah cafe, yang sepertinya sudah ia
kosongkan khusus untuk tamu-tamu pestanya. Istrinya tak turut hadir di sana, katanya ini khusus. Satu bulan yang lalu kami juga berpesta, saat itu ia baru saja pindah rumah. Ke tempat ia mengundangku sekarang. Masih sama, tak ada yang berubah dari rumah ini. Hanya kuingat saat pertama kali menginjakkan kaki ke rumah barunya, aku melihat sebuah pigora foto. Di dalamnya terbingkai dua orang suami istri berbalut baju pernikahan adat Jawa.Pigora itu tak terpasang lagi ketika tadi aku masuk. Dindingnya lebih lengang dari sebelumnya, tapi masih ada satu lukisan yang di dalamnya ada kuda-kuda yang berlari di pantai, dengan warna cat agak muram, pasir hitam, dan langit mendung. Hari ini pestanya lebih ramai dari dua pesta yang kuhadiri sebelumnya.Mau pesta apa lagi dia, pikirku. Seperti biasa saat aku datang di sana sudah banyak tamu lainnya. Ada yang asyik berbincang dengan lawan jenisnya, ada yang bergerombol membincangkan politik dan tetek bengek, ada yang memilih menyendiri di pojok dan menikmati minumannya di samping jendela, ada juga yang berdiri di sebelah meja makanan, sibuk memperhatikan makanan apa yang akan dicomotnya. Usia mereka rupa-rupa. Jadi pesta ini tak sama sekali identik dengan reuni SMA satu angkatan. Mirip reuni akbar, tempat para orang tua berusaha menjodohkan anak-anak mereka. Tak semua tamu aku kenal. Aku kenal Durja, pria bertubuh besar, tinggi, dan tegap, kulitnya coklat terbakar. Ia memakai kemeja denim dan melambaikan tangannya ke arahku ketika aku datang. Aku kenal Lukas, yang sedang berbincang dengan Durja. Lukas bertubuh lebih pendek dari Durja, tapi perutnya sedikit membumbung ke depan dari pada perut Durja yang rata. Rambutnya botak. Kutahu dari pemilik rumah bahwa ia orang yang tak pernah absen dari pesta. Aku bergabung bersama mereka. Mereka sedang membicarakan pesta ini saat aku tiba. “aku nggak ngerti apa sih maksud dia, masak suasana hati kayak
gimana pun dipestain sama dia?” “Durja..durja..dia memang suka pesta. Mau tidak mau kita juga harus datang sebagai teman. Hitung-hitung makan gratis.” “Soal makanan bukan perkara, tiap hari aku masih bisa beli makanan pakai hasil kerjaku.” “ya mau gimana lagi, dia itu kan nggak suka sepi. Hura-hura terus memang. Apa kau lupa sewaktu kita kuliah, dia yang paling banter ngajak kita ke klub.” “tentu nggak, Kas. Aku bertemu istriku di sana. Meskipun harus mabuk dulu.” Kubiarkan mereka berbicara dulu, sebelum aku masuk dan ikut pembicaraan mereka. Sambil kuperhatikan sekelilingku, barang kali istri pemilik rumah muncul tiba-tiba di tengah pesta. Di pesta ini jumlah perempuan tak sebanyak tamu laki-laki. Beberapa dari mereka merokok. Maria, mengenakan gaun hitam selutut, rambutnya hitam berkilau, kukunya dikutek hitam, jari-jarinya yang lentik menggenggam sebatang rokok yang baru saja dinyalakannya. Aku mengenal Maria di pesta rumah baru satu bulan yang lalu. Baru hari ini aku melihatnya kembali. Badannya semakin berisi, dadanya menyembul keluar seperti ingin tumpah, rambutnya dipotong menyerupai laki-laki, bibirnya bergincu merah, semakin cantik saja ia. “Kalian sudah lama datang?” “Setengah jam yang lalu. Durja lebih dulu, aku menyusul.” Laki-laki pemiliki rumah menghampiri gerombolan kami. Ia menyapa dan basa-basi seperlunya. Setelah berbincang dengan Durja tentang pekerjaan, suasana hening.Aku pun mencoba bertanya. “kemana istrimu?” “tidak ada.”
“apa dia sedang keluar rumah?” “Tidak.” “lantas, kemana? Kok dari tadi aku tak melihatnya.” “Tidak ada.” Kemudian, ia mengirimkan gestur kepada kami dengan menepuk lengan atas kiriku, dengan kalimat “aku tinggal dulu ya, nikmati pestanya kawan-kawan!” yang tak terucap. Ia melangkah pergi meninggalkan gerombolan kami menuju dua orang yang nampaknya baru saja memasuki pesta. Penulis: Zumrotul Fatma Rahmayanti (Mahasiswi S1 Sastra Indonesia Universitas Airlangga)
Jangan Tersandera Part II UNAIR NEWS – Di sebuah mimbar, seorang Kyai ditanya seorang jamaahnya. Jamaah yang bertanya ini adalah seorang warga dari desa Selo. Ia sendari ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Halus bertutur kata, warga itu menyampaikan pertanyaannya dengan tawadu’. “Kyai, apakah akan terjadi sesuatu dengan desa kami setelah petir itu memecah kepercayaan setempat, apa itu pertanda buruk ?” Karena yang bertanya adalah memanggilnya dengan Yu.
perempuan,
maka
Kyai
ini
“Yu, sampeyan kan sudah ngaji lama disini. Semuakan dari Gusti Allah. Pasrahkan saja sama yang mengatur.”
Dengan mengangguk, warga ini masih belum merasa puas dengan jawaban itu. Tapi ia sungkan untuk mengutarakan pertengkaran batin yang tak bisa terobati dengan jawaban itu. *** Berbeda dengan spektrum pendekatan Pak Kyai. Sebuah jurnal ilmiah mencoba menjelaskan fenomena petir. Mas Mus yang sangat anti dengan hal-hal yang berbau mistik mencoba menjelaskan semampunya, atas isi sebuah jurnal yang telah ia baca itu. Nongkrong, di warung kopi, Mas Muspun merangsek pada obrolan. Ia dengan perlente membedah isu petir ngalor ngidul. “Pembusukan dari bahan organik, asap pembakaran pabrik, yang terionisasi dan mengandung metana, kalau naik ke atmosfer. Ketika gas teroinisasi itu mengumpul banyak, maka akan timbul perbedaan potensial yang tinggi. Di sinilah bisa terjadi lompatan-lompatan listrik.” Tutur Mas Mus meyakinkan. “Penjelasanmu itu terlalu, ndakik-ndakik nggak bisa diterima. Ini bukan soal peristiwa petirnya. Tapi soal kog baru sekarang” jawab seorang warga. “Mas, apa ini karena pabrik gula, ya” “Iya. Betul. Ada industri dan polusi.” Desa itu memang dalam tahun-tahun terakhir dipenuhi oleh pabrik gula dengan pengolahannya yang menghasilkan polusi udara. “Iya, industri dan polusi ada, tapi Mbah Mat meninggal mendadak selang beberapa hari saja setelah petir itu merusak sebuah pohon di dekat tempat keramat yang dijaganya. Jangan meremehkan lho.” Mungkin dalam hati, Mas Mus tidak akan berselera untuk menjawab kekolotan jawaban semacam itu.
“Kepercayaan macam apa yang justru menteror diri sendiri” gerutu Mas Mus dalam hati. Bersambung… Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)
Jangan Tersandera Part I UNAIR NEWS – Jejak kaki laki-laki itu makin terdengar cepat lajunya. Beriringan dengan itu, amukan suara menggelar terdengar tanpa diketahui dari mana asalnya. Sebuah petir telah meyambar pohon kelapa yang letaknya tak jauh dari tempat keramat yang masih dipelihara di desa itu. Beberapa batang kelapa beserta buahnya jatuh. Dan di atas puncaknya, sisa-sisa api masih menyala memakan bagian yang masih bisa terbakar. Dari sini dimulailah kesibukan dan kecemasan. Orang tunggang langgang membaca fenomena ini. “Ada keanehan ! Ada petir !” begitu teriak seorang warga. Tak ada yang peduli terikan itu. Begitu suara petir kedua terdengar. Semua orang tak berpikir panjang lagi. Mereka berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Dari anak-anak, kaum muda maupun yang tua, semua bergegas berlindung di dalam rumah. Sawah harus ditinggalkan. Ternak-ternak dikandangkan. Suasana semacam kiamat kecil terjadi beberapa menit sampai petir itu tak terdengar lagi bunyinya. Desa yang memegang teguh tradisi dan adat itu ramai seketika. Omongan-omongan wargapun berkisar pada peristiwa hari itu.
Hujan petir terbukti mematahkan tradisi kepercayaan setempat. Desa Selo dalam sejarah barunya. Bersama deru petir yang terlontar tiada hentinya, sebuah headline koran lokal memajang foto kerusakan yang disebabkan oleh hantaman petir hari itu. *** Di rumahnya, Mbah Mat, juru kunci desa menjadi sasaran pertanyaan dari peristiwa yang terjadi dua hari lalu. Orang tua yang dipercaya karena tak pernah meleset meramalkan kejadian di desa itu, kini tak mau berbicara dengan alasan sedang menjalankan ritual tapa mbisu. Orang mungkin tak sabar menunggu penjelasan Mbah Mat. Tapi dengan amat disayangkan, lelaki tua itu tak akan lagi bisa memberi jawaban apa-apa. Ia akan dikubur, tepat sebelum matahari tergelincir. Kematiannya tak akan mengubur kegelisahan para tetangga yang sudah terlanjur berharap. Orang justru berspekulasi, mengaitkan antara peristiwa hujan petir, dan kematian sang juru kunci tiga hari berikutnya, yang tak disangka juga bertepatan dengan hari Jum’at Legi. Hari yang dipercaya keramat bagi orang. Misteri baru hadir. Orang masih tidak percaya. “Seumur-umur,
ini
yang
pertama
bagiku.
Dimanapun
juga
setahuku, desa yang mengandung “selo” pasti tidak akan dihampiri petir. Jangankan dihampiri, mendengar bunyinya saja tidak.” Penduduk desa yang teguh memegang adat itu, kini sangat paranoid. *** Bersambung
Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)
Sepatu Part II UNAIR NEWS – Baju yang dilipat ibuk tinggal sedikit. Ibuk merasa terbantu karena Dini. Meskipun sedari tadi Dini cuma diam. Ibuk paham, Dini kecewa. Begitulah Dini. Dia tidak pernah melampiaskan rasa kecewa pada ibunya. Padahal biasanya ibuk akan bercerita banyak hal pada Dini ketika mereka bersama. Walaupun seringnya Dini hanya mendengarkan dan sesekali tertawa atas pembicaraan itu. Ibuk selalu berhasil membangun suasana dengan Dini. Baginya, Dini adalah anak yang baik. Dia selalu menerima keadaan orangtuanya, dan benar – benar memahami. Dini tidak pernah minta macam – macam. Besoknya Dini kembali masuk kuliah. Semakin dia sering melihat sepatu teman – temannya. Bahkan ketika ada orang lewat, yang dia lihat pertama kali adalah sepatunya. Entah setan apa yang merasukinya sampai bisa sebegitunya pada sepatu. Selesai kuliah jam kedua, Dini masih duduk di kursinya. Perkuliahan selanjutnya masih satu jam lagi. Lagi – lagi Dini masih terpaku memandangi sepatunya dengan sol yang mulai menipis. Kalau saja ada uang lebih untuk membeli sepatu yang lebih bagus dan tidak mudah rusak. Dini memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Perkuliahan selanjutnya di ruang yang sama. “Din, ayuk
ke kantin”
“Aku di sini aja. Bawa bekal kok” “Ndakpapa. Bawaen bekalmu, kita makan bareng di kantin. Masa enak, makan sendirian. Ayuk lah”
Dini mengangguk. Dia menyambargoodie bag yang isinya kotak bekal dan air mineral. Bersama Hani, dia menuju kantin. Teman – temannya menyambut mereka. Dini pikir, apa yang perlu dirisaukan dari persahabatan ini. Teman – temannya menerima Dini apa adanya. Mereka semua berlima, sudah bersahabat sejak semester pertama. Dini melihat ke bawah meja. Dilihatnya sepatu teman – temannya. Semua dari merek berbeda, yang ia tahu pasti mahal. Sepatu Dini juga bermerek, meski tidak terkenal. Sepatu Dini juga mahal, karena di situ dia bisa melihat hasil jerih payah orangtuanya. Sepatu Dini penuh kasih sayang. Dia bersyukur, memiliki keluarga dan sahabat yang menyayanginya. Penulis: Tsurayya Maknun (Mahasiswa Psikologi UNAIR) selesai
Ranjang Aku memandang langit dari balik jendela kaca berteralis. Jendela yang terbuka itu berengsel pada bagian atas. Malam larut, aku tak takut dengan angin. Beberapa bintang bisa kulihat dengan jelas. Ranjang yang kududuki menjadi bukti bahwa terkadang aku menghayati bintang sebelum beranjak tidur lelap. Pintu kamar dibuka. Istriku masuk lalu dengan mantap memelukku dari belakang. “Yang, aku ngantuk” ucapnya manja sambil menggesek-gesekkan keningnya di pundakku. Semilir bertiup. Tapi aku tetap belum ingin memakai baju. “Kamu tidur saja. Aku masih belum mengantuk,”
Dia lalu menjadikan pahaku bantal. Aku membelai-belai rambutnya. Istriku yang berkulit gelap dan tiga tahun lebih tua itu begitu indah dalam pandanganku. Bahkan aku selalu menganggap dia lebih indah dari pada langit dan bintang. Kami baru mengganti ranjang. Ranjang baru yang kokoh dan berkayu jati telah berdiri sambil berbaring di kamar kami sejak seminggu yang lalu. Ranjang lama telah kuberikan pada salah seorang kerabat. Sebenarnya, ranjang lama memiliki banyak kenangan. Tak hanya kenangan tentang aku dan istriku. Tapi juga kenangan-kenanganku dengan ibu, juga kakakku. Dulu, ranjang lamaku tidak berada di lantai atas seperti halnya ranjang baruku sekarang. Aku memindahkannya ber tahun –tahun yang lalu ketika kamar tempat ranjang lama itu akan dijadikan Ibu sebagai ruang makan. Maka ranjang lama itu pun naik ke lantai atas dan baru seminggu yang lalu kembali turun dan masuk ke rumah salah seorang kerabat. Sedikit cerita tentang perpindahan ranjang lama dari bawah ke atas. Aku membongkar ranjang lama itu dengan bersusah payah. Kasur kupindah. Ternyata rangka ranjang dipaku semua. Palu serta obeng dan kunci L membantuku memerlancar pembongkaran. Setelah berhasil kubongkar, ranjang itu kubawa ke atas sekeping demi sekeping batang rangka-nya. Lalu kupasang dengan bersusah payah juga. Ternyata merangkai lebih sukar daripada membongkar. Saking sukarnya, aku harus memanggil kakakku untuk membantu. Akhirnya, ranjang berhasil kami rangkai. Dan ranjang yang kami rangkai itu sudah tak lagi di kamarku sejak seminggu yang lalu. Ranjang itu sudah bertengger di salah satu ruang di rumah salah seorang kerabat. Ranjang itu telah tergantikan oleh ranjang jati yang berdiri sambil berbaring di kamarku sekarang, sejak seminggu yang lalu. Aku mengecup kening istriku. Nampaknya dia sudah agak pulas. Dia super pencemburu. Apalagi aku lebih muda. Dia takut aku
kepincut perempuan yang lebih muda. Dulu ketika masih berpacaran, hampir setiap hari dia menghujatku sebagai playboy atau tukang jelalatan hanya karena aku sering mengirim puisi untuk teman-teman perempuanku. Kembali pada kisah ranjang lama ku. Ranjang itu adalah peninggalan terakhir ibuku yang meninggalkan rumah. Meja makan, lemari es, lemari pakaian dan segala perabot rumah warisan ibu sudah meninggalkan rumah lebih dulu. Ada yang ke rumah keluarga atau kerabat seperti ranjang itu, ada yang ke rumah teman atau tetangga, ada yang ke panti asuhan, dan ada pula yang masuk tempat sampah karena usia yang tua. Melihat ranjang baru yang nampak kokoh membuatku teringat Ibu. Ibu ku yang kokoh dan kuat. Yang disiplin seperti prajurit militer. Yang suka kerapian dan kebersihan sebagaimana seharusnya umat Muhammad SAW, sosok yang paling dicintainya. Ibu ku adalah seorang yang pemberani. Dia akan berkata tidak, jika itu tidak. Atau ya, jika itu ya. Siapapun yang harus bertentangan dengannya, seberapapun hebat orang itu, jika memang harus berseberangan, dia akan berseberangan dan menentang. Meski cara menentangnya tidak dengan cara yang keras atau kasar. Sebab dia juga cerdas dan cerdik, sehingga kala berbeda pendapat dengan seseorang pun, dia tidak pernah dibenci orang tersebut. Karena kemampuan komunikasinya mumpuni, meski dia tak pernah mengenyam pendidikan jurusan komunikasi maupun bahasa. Kemampuan komunikasi macam ibuku itu, dimiliki istriku juga. Ada beberapa lagi kesamaan mereka. Di antaranya adalah hidung yang tak mancung, dan rasa cinta kasih mereka padaku yang bagai tak bertepi. Kalau tentang perbedaan, tentu sangat banyak. Yang paling mencolok adalah perbedaan warna kulit mereka. Ibuku lebih terang. Tinggi badan mereka juga beda sekitar lima belas sentimeter, ibuku hanya satu koma empat meter tinggi badannya
lebih rendah dari pada istriku. Ada lagi perbedaan mereka yang cukup mencolok sekaligus menarik. Yaitu kebiasaan ketika tidur. Satu kali pun, aku tak pernah mendengar ibuku mengigau, sedangkan istriku, lumayan sering dia berbicara sendiri dengan mata tertutup dan tak dalam keadaan sadar. Pernah dia memanggil-memanggil nama beberapa perempuan. Ketika sudah terbangun, kutanyakan padanya tentang siapa mereka. Dijawabnya bahwa mereka adalah teman-teman kos-nya di masa kuliah dulu. Dia bilang, sedang kangen pada teman-temannya tersebut. Pernah dan beberapa kali pula dia menangis dalam tidurnya. Kalau sudah begini, aku tak menunggu dia terbangun untuk menanyakan apa yang telah terjadi padanya. Aku membangunkannya, menyapu wajahnya dengan handuk kecil basah, meminumkannya segelas air putih, lalu bertanya tentang mimpi yang menghinggapinya. Dia lalu menampar dan mencubit pipiku. Memukuli dadaku dengan kepalnya yang lembut. Lalu memelukku masih dengan air mata yang mengalir. Ternyata dia bermimpi aku meninggalkannya demi perempuan yang dia anggap lebih muda, cantik, dan segar. Aku tersenyum mendengarnya. Ini menggelikan, namun sedikit ironi. Intinya, dia akan mengigau bila teringat dengan sesuatu yang membuatnya terkenang-kenang atau terngiang-ngiang begitu dalam. Entah itu tentang masa lalu, atau masa depan yang dikhawatirkannya, atau tentang apapun yang sempat menyita perhatiannya. Dingin malam menyapa semakin mesra namun terasa benar kandungan penyakitnya. Aku menutup jendela. Mencium dan sedikit menggigit pipi istriku yang agak berisi. Lalu membenarkan posisi tidurnya. Dia sempat membuka mata indahnya sedikit, namun lalu tidur kembali dengan lelap. Aku biasa tak menutup tirai jendela bila malam. Namun lampu kumatikan.
Sehingga orang dari luar tak bisa melihat kami yang sedang pulas. Lagipula, jenis kaca jendela kami memang riben. Tak tembus jika melihat dari luar, tapi terang jika melihat dari dalam. Aku sering terpesona jika memandangi istriku yang sedang tidur. Dia benar-benar anugrah. Aku sangat bahagia bisa memilikinya. Dia sangat kucintai. Dia juga sangat mencintaiku. Sayang, Ibuku tak bisa atau belum sempat melihatku hidup berbahagia dengan istriku itu. Ibuku meninggal di usia yang sudah cukup tua. Enam puluh tahun. Kala itu aku berumur setengahnya. Aku memang termasuk agak terlambat menikah. Dia pun sejatinya berharap aku sudah beristri di usia maksimal dua puluh tujuh tahun. Dulu, ketika aku masih berumur dua puluh tahunan, kami sering berdiskusi perihal perempuan yang diinginkan Ibu untuk menjadi istriku. “Yo, carilah istri yang sholehah, beriman bertakwa pada Alloh. Kalo bisa yang orang tuanya kaya dan berbudi. Sebab bagaimanapun, bibit bebet bobot itu perlu, meski bukan utama. Cari yang cantik yang muda juga. Jadi saat kamu tua dia bisa merawat kamu” dia berpetuah kala itu sambil menonton televisi. Kami memang biasa berbincang di depan TV yang menyala. “Ah, aku tak mau sampai dirawat bu. Aku pengen sehat sampai tua. Sehat sampai mati” “Makanya itu cari istri yang kuat dan beberapa tahun di bawahmu. Supaya selalu bisa giat dan lincah melayani kamu. Satu lagi pesanku; jika istrimu itu suka bekerja, jangan kamu halangi. Jangan kamu suruh dia berhenti bekerja. Kasihan wanita kalau harus dikekang kegemarannya berkegiatan atau bekerja” tambah Ibuku yang memang seorang mantan karyawati di sebuah perusahaan milik negara. Ibuku yang tua memang senang dan giat bekerja. Sampai usia pensiun lima puluh lima tahun, dia masih bersemangat mencari nafkah. Padahal waktu itu, aku sudah bisa mandiri secara finansial bahkan sudah sanggup
memenuhi kebutuhannya. Dia suka beraktifitas, dan aku pun tak ingin menghalang-halanginya. “Yo, sayangi kakakmu. Dia perempuan yang wajib kamu sayangi di dunia ini setelah Ibu. Hormati dia. Jangan kamu menikah sebelum dia menikah. Tak baik membiarkan kakak perempuan masih perawan sementara adiknya sudah berijabkabul”. Tentu, aku akan selalu menyayangi dan menghormati kakakku. Aku pun akan selalu menjaganya. Ketika akan menikah pun aku telah meminta ijin padanya. Mengingat usia istriku yang sudah tiga puluh tiga kala itu, aku harus mengambil keputusan. Aku kasihan pada istriku yang waktu itu masih berstatus pacar. Aku memohon ijin dari kakak untuk menikah lebih dulu. Dia mengijinkan, meski nampak agak berat. Lalu dia memutuskan pisah rumah denganku. Rumah kami dipasrahkannya pada aku dan istri. Sementara dia ke luar kota. Sebuah kota kecil kampung halaman kami. Di sana dia bekerja sebagai pemilik toko kelontong dan kepala Taman kanakkanak. Semua modal usahanya didapat dariku. Sampai sekarang, dia belum jua menikah. Dia berdalih telah mendapat kepuasan batin yang teramat sangat ketika melihat anak-anak polos di sekolah yang dikelolanya dan atau ketika melayani pelanggan dengan ramah di toko nya. Aku memandang telapak kaki istriku yang mengagumkan. Di mataku, tak ada satu mili pun dari bagian badan istriku yang tidak membuatku terpana. Jari-jarinya yang mungil. Rambutnya yang hitam lurus panjang, bibirnya yang tak tipis dan tak tebal, benar-benar ciptaan yang luar biasa. Kadang aku menyesal, mengapa dulu aku tak lekas melamar dan menikahinya. Padahal kami sudah berpacaran sepuluh tahun sebelum akhirnya menikah. Jika dua tahun lebih awal saja aku menikah, ibuku tentu sempat melihat aku berbahagia dengannya. Entah mengapa, waktu itu aku selalu merasa belum siap untuk memerkenalkannya pada Ibu. Bahkan sampai akhir hayat, Ibu tak tahu jika aku sudah memiliki pacar. Aku pun merebahkan badanku di ranjang yang baru seminggu
berada di kamar kami. Ranjang yang lebih kokoh daripada ranjang kami yang lama. Ranjang yang menjadi saksi bisu atas apapun yang kami lakukan di kamar. Ranjang yang menjadi saksi bisu betapa gemar aku melamun di muka jendela sebelum akhirnya tidur dibelai mimpi. “Sayang lagi haus? nih nyusu dulu, jangan nangis lagi ya” istriku kembali mengigau sedang menyusui bayi. Igauannya tentang bayi adalah yang pertama semenjak kami memiliki ranjang baru. Namun bukan berarti ini yang pertama sejak kami menikah. Dia sedang merindukan seorang anak. Sudah tujuh tahun kami menikah, dan belum dikaruniai putra ataupun putri. Tanda-tanda kehamilan pun tak pernah ada. Kami telah memeriksakan diri ke berbagai ahli, mereka menyuruh kami tetap sabar menunggu dan berusaha. Sebab, berdasar pemeriksaan mereka, semua organ reproduksi kami dinyatakan sehat. —
Pelabuhan KAMIS pekan lalu selepas pulang kuliah aku langsung ke pelabuhan masih dengan atribut lengkap anak kampusan. Paman dan istrinya akan tiba dari Kalimantan sekitar jam dua siang. Tujuan mereka ke sebuah kota di Kalimantan itu adalah menikahkan anak perempuannya yang dapat suami orang Dayak. Sebenarnya mereka berencana naik kapal terbang, tapi karena lambat membooking, tiket pun ludes sehingga terpaksa mereka pakai kapal laut. Jadwal pesawat dari sana kesini hanya tiga kali seminggu. Selasa, Rabu, Kamis. Maklumlah kotanya tidak tergolong besar. Jarang penumpang. Hanya satu perusahaan pesawat yang mengudara. Mahal benar pula tiketnya. Padahal tepat hari minggu besoknya, anak mereka yang lain akan
menikah. Tapi akad dan resepsinya tidak diadakan di luar kota meskipun calon istrinya asli Tulung Agung. Calon besannya yang datang ke sini, Surabaya. Tahun ini memang musim nikah bagi keluarga kami. Terhitung lima sepupu dan satu paman yang menikah tahun ini. Di perjalanan menuju dermaga aku sempat diserapahi sopir angkot karena terlalu ceroboh saat memotong jalan untuk putar balik. “Goblok!!!” ujarnya lantang. Beberapa pengendara lain yang kulihat di sekitarku tak peduli dengan kejadian sepele itu namun beberapa yang lain tertawa ringan terkesan mengejek. Aku pun demikian. Menertawakan kesembronoanku dan kenaikpitaman sang sopir. Tiket masuk ke area pelabuhan tiga ribu rupiah bagi satu orang termasuk sepeda motor. Kalau naik kendaraan roda empat hitungannya per-orang tiga ribu lima ratus. Sehabis memarkir kendaraan aku langsung ke gerbang sebelah timur. Setelah turun dari kapal, biasanya para penumpang keluar lewat pintu itu. Aku berniat untuk langsung nyelonong masuk agar bisa menyambut pamanku tepat saat mereka baru turun dari kapal. Jadi aku bisa ikut mengangkatkan barang bawaan mereka. Meski mereka biasa memakai jasa porter, siapa tahu ada beberapa tas ringan yang mereka tenteng yang memungkinkan untuk kuambilalih membawakan. Tapi langkahku tertahan saat seorang anak pamanku memanggilku.. “Roy!!” teriaknya. menghampirinya.
Satu
kata
itu
cukup
membuatku
“Kau bawa mobil?” tanya Bang Toha setelah aku tepat di hadapannya. “Enggak Bang. Aku pulang kuliah langsung ke sini. Mobilnya dipakai kakak. Memangnya Abang nggak bawa?” aku balik tanya. “Mobilnya dipakai Sandi, jemput calon mertuanya. Tapi gampanglah, nanti kalau sepeda motor kita nggak cukup biar
mereka naik taksi aja. Dari awal niatku juga begitu” ucapnya santai seraya menyodorkan harian lokal kepadaku. Namun aku sedang malas membaca sehingga koran itu hanya ku pegang lalu aku pun duduk di samping Bang Toha, tidak di bangku, hanya di logam menjulur yang merupakan pagar rendah yang membatasi antara selokan dan halaman pelabuhan. Pelabuhan begitu ramai. Tak jauh beda dengan terminal, bandara, atau stasiun. Pedagang koran dan asongan yang menjajakan barangnya. Calo-calo tiket yang agresif. Sopirsopir taksi gelap dan terang yang berjaga-jaga di sekitarku menanti penumpang kapal yang baru keluar, lalu menawarkan harga dan tempat tujuan. Sekelompok SPG alias Sales Promotion Girl yang tersebar berkeliaran berpakaian seragam menawarkan produk minuman botol kaca kecil penambah stamina. Ada juga kelompok yang lain menawarkan permen mint. Dua kelompok itu sempat menawarkan barangnya kepadaku. Tapi kutolak. Seorang berwajah sedikit garang disampingku juga mereka tawari. Dia menyempatkan diri menggoda SPG-SPG itu. Sesekali mencari kesempatan mencolek-colek bagian tubuh wanita tersebut. Begitulah memang resiko pekerjaan mereka. Kalau ada pekerjaan lain yang lebih layak, aku yakin mereka tidak akan memilih pekerjaan seperti itu. Ketidakteraturan tata letak dan sarana ketertiban di pelabuhan juga tidak jauh beda dengan terminal. Sampah masih bergelimpangan. Kesadaran hidup bersih masih kurang. Bahkan saat itu aku melihat seorang berseragam yang seharusnya menjadi contoh bagi yang lain membuang puntung rokok dihadapannya seraya menginjak ampasnya yang masih menyala, padahal tak sampai tiga langkah di kanannya keranjang sampah bertengger gagah nampaknya baru diganti. Beberapa meter disampingku seseorang malah membuang bungkus rokok ke selokan pelabuhan. Repot memang. Bila banjir salahkan pemerintah. Badan sendiri sengaja menyumbat saluran air. “Roy, itu Ramon” Bang Toha memecah keterpakuanku.
“Kayaknya dia bawa mobil nih Bang”. “Harusnya sih begitu, dia tak bilang mau ke sini. Kalau tahu begitu kan aku bisa menumpang”. Masih satu meter di hadapan kami, Ramon sudah mulai kecapan “Gila! Diparkiran tadi seru. Dua orang berkelahi seperti di film Jackie Chan. Sampai naik-naik ke mobil segala. Melompatlompat. Kayaknya gara-gara enak dilihat, orang-orang jadi bengong lantas lupa kalo harus melerai”. “Siapa mas?” tanya seseorang di samping Bang Toha yang ternyata turut menikmati sekelumit cerita Ramon. “Nggak tahu. Tapi yang satu sih pake rompi tukang parkir”. “Paling-paling rebutan lahan” orang itu menanggapi. ”Mungkin juga sih. Tapi nggak tahu lah”. “Hei, kamu bawa mobil?” Bang Toha mengalihkan pembicaraan. “Iya Bang, tadi kan kejadiannya saat aku markir mobil”. “Sandi sudah pulang?”. “Belum. Nanti sore katanya Bang” Bang Toha hanya mengangguk. “Sekarang harga-harga naik semua. Kencing aja dua ribu” keluh Ramon yang mengaku baru buang air selepas memarkir mobil dan menyaksikan perkelahian tadi. “Makanya Mon, kalo sedekah jangan dua ribu. Jangan samakan harga ke toilet dengan harga ke surga” sambutku. “Benar juga tuh Roy” Ramon menyetujui pendapatku. “Akhirnya tadi yang bertarung gimana Mon?”. “Yah dipisahin orang-orang juga sih Roy. Kebetulan pas ada polisi. Dibawa deh dua-duanya”.
Bang Toha melepas pandang ke arlojinya. “Sudah jam setengah tiga. Nggak biasanya molor begini” “Abang tadi sudah tanya informasi kepastian kedatangannya?” tanyaku. “Sudah. Katanya ya jam dua” “Kita masuk aja deh. Kita nunggu di sana aja” “Emang boleh Roy?” Ramon heran “Ya Boleh” “Tapi itu ada tulisan bahwa batas penjemput cuma sampai di depan sini kan” “Itu kan cuma tulisan Mon. Formalitas peraturan” “Yang benar Roy?” “Kamu nggak pernah jemput ke sini?” “Nggak tuh” “Pantas nggak tahu” “Ayo” ajak Bang Toha. Kami pun masuk lewat pintu itu untuk mendekatkan diri ke pemarkiran kapal. Seperti biasa, para petugas tidak berusaha menghalangi kami. Tulisan di depan cuma tulisan. Bukan peraturan. Atau mungkin aturan lama yang sudah tidak dipakai tapi sampai sekarang tulisannya belum sempat dienyahkan. Kami mendekati bibir dermaga. Banyak kapal mengambang berhenti atau berjalan di air sekitar kami. Entah kemana tujuannya. “Sepertinya itu kapalnya, Bang” Ramon menunjuk ke sebuah kapal motor besar yang terlihat di kejauhan sekitar seratus meter menghampiri tepi pelabuhan.
“Benar. Itu kapalnya” “Kita nunggu di sana aja Bang” aku mengajak mereka menunggu di tempat teduh. Mereka setuju. Porter-porter dan petugas pelabuhan menyambut kedatangan kapal itu. Mereka mendorong sebuah tangga berundak raksasa guna menghubungkan pintu keluar kapal dengan dasar dermaga. Jarak lima puluh meter ABK melempar seutas tali berpemberat ke dermaga. Tali itu tersambung dengan tali yang lebih besar. Tali berukuran kecil tadi hanya berfungsi untuk memudahkan yang besar mencapai dermaga, maka diikatkanlah tampar itu ke paku bumi yang tertancap di sana. Terparkirlah kapal. Para porter berdesak-rebut ke atas kapal. Menjemput penumpang yang butuh jasa mereka. “Porter-porter dulu berbeda dengan sekarang. Dulu mereka banyak dicari. Sekarang mereka yang mencari. Dulu para penumpang malas mengangkat barang sendiri. Tentu karena uang mereka masih dan banyak ada untuk membayar porter. Tapi sekarang, baik penumpang atau porter sama-sama sukar mengais uang. Jangankan membayar porter, bisa mudik bertemu keluarga saja sudah syukur” Bang Toha berucap. Kami percaya dengan ucapannya. Sejak kecil ia yang paling sering berlayar. Ke rumah kakek yang di Kalimantan atau ke kampung nenek yang di Sumatra. “Itu mereka Bang” “Lambaikan tanganmu Mon” pintaku “Heii!!” Ramon melambai. Paman dan Bibiku tersenyum. Tak ada barang bawaan tertenteng di tangan atau bahu mereka. Mereka menggunakan jasa porter. Kalau mampu membayar memang lebih baik begitu, bagi-bagi rejeki, demikian salah satu filosofi mereka yang pernah kudengar. Kami lalu bergantian bersalaman dengan kedua orang tua kami.
“Ayahmu nggak ikut Roy?” “Nggak Om. Sibuk katanya” “Wah dia itu bagaimana. Janjinya mau jemput” Pamanku sedikit berkeluh. “Tapi ngomongnya kan sambil bercanda Mas” sahut Bibiku. “Iya sih. Eh, kalian bawa mobilkan?” “Iya pa” “Baguslah” “Sampai di sini aja pak porter. Biar mereka yang bawa ke mobil” Bibiku meminta kedua porter yang mengangkut barang bawaan mereka untuk menyerahkan semua bawaannya pada kami. “Nggak jadi sampai mobil bu?” “Sudah di sini aja. Anak segini banyak apa gunanya” “Oh iya Bu. Terima kasih” Kami bertiga mengambil alih pembawaan barang. Berbagi serata mungkin. Tidak ada yang paling berat karena barangnya memang sedikit. Hanya empat tas berukuran sedang. Laluy terlihat porter tadi kembali merangsek naik ke kapal. Mencari pelanggan lain. “Porternya diberi berapa Ma?” tanya Ramon “Standar sih lima puluh ribu berdua. Aku sih mau beri lebih, tapi kata papa mu nggak mendidik” “Tapi benar kan, kalau memberi terlalu banyak nantinya mereka selalu mengharap banyak dari penumpang. Padahal nggak semua penumpang bisa memberi banyak” sambut Paman. “Benar itu Pa. Papa memang pintar. Jenius. Aku senang punya papa kayak gini” “Aslinya niatmu mengejek aku, Mon” Paman melengos
“Nggak Pa, aku serius” ujar Ramon yang sering benar bercanda dengan ayahnya sambil tertawa ringan. “Ah sialan kamu” Tidak terasa kami sudah berada di depan mobil. Aku dan Bang Toha kembali berpamitan dengan para calon pengguna mobil tersebut, kami tak bisa satu kendaraan sebab kami membawa sepeda motor masing-masing. Mereka semua berpesan agar kami berhati-hati di jalan. Sebenarnya tanpa dipesani pun kami tetap akan hati-hati. Tapi tak apalah, itu kan salah satu tanda mereka peduli pada kami.–