ADAPTASI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP INFLASI AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM Dewi Hartika Nasution
Abstract The raise in oil price caused raise in basic need price, and then caused wide life for people, especially to the poor people. They must implemented special strategy to adapt their style life to bad condition. This research studied how the poor people adapted their style life to inflation since and caused by raise oil price. Beside decreased the number of basic needs, they also must decreased the quality of them. If they did not do it, they wiould be worse condition. Keywords: adaptation, poor people
Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya, kemiskinan tersebut dirasakan oleh mereka yang termasuk masyarakat golongan miskin. Golongan miskin tersebut menjalani kehidupan dalam keadaan yang tidak berkecukupan. Secara jujur dapat dikatakan bahwa tak ada seorangpun yang sejak lahir ingin hidup miskin atau menjadi miskin. Kalau kebetulan seseorang itu lahir dari keluarga miskin, apakah selamanya akan menjadi miskin. Tentu tak seorangpun menginginkan hal tersebut terjadi pada dirinya. Kemiskinan itu akan lebih terasa apabila mereka telah membandingkannya dengan kehidupan orang lain yang lebih tingggi tingkat sosial ekonominya. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti, sandang, pangan, dan papan. Indonesia adalah sebuah negara yang subur akan kekayaan alamnya yang melimpah, namun sebagian besar rakyatnya masih tergolong miskin. Disaat krisis ekonomi dan keuangan pada tahun 1998 ternyata merupakan awal dari krisis multidemensi yang gelombangnya sangat panjang dan berdampak luas serta mendalam, sehingga mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat terus Dewi Hartika Nasution adalah Staf di YAKMI Medan
271
melambung. Maka wajarlah jika saat itu terjadi pertambahan jumlah orang miskin yang sangat signifikan di Indonesia. (Sismudjito, 2004: 134135). Menurut pendataan jumlah masyarakat miskin saat ini yang telah dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. Jumlah 62 juta penduduk miskin tersebut didapatkan berdasarkan hasil pendataan sementara BPS yang memperkirakan jumlah rumah tangga miskin di Indonesia mencapai 15,5 juta kepala keluarga. Satu rumah tangga miskin diasumsikan dengan empat anggota keluarga, sehingga diperkirakan kalau dihitung secara total maka penduduk miskin Indonesia sekitar 62 juta jiwa. (http://www.bkkbn.go.id). Sedangkan Menurut data dari (Bapemmas) Sumut Sedikitnya 1.867.089 jiwa (15,49 persen) dari 12.061.632 jiwa warga Sumatera Utara (Sumut), hingga pertengahan tahun 2005, masih hidup dalam kemiskinan. Sebagai ibukota provinsi berada di peringkat 10 dalam daftar daerah berpenduduk miskin di 25 kabupaten/kota Sumut. (http://www.Tempo interaktif.go.id).
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
Adapun indikator ekonomi Agustus 2005 mencatat adanya inflasi sebesar 0, 55 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Agustus 2004 sebesar 0,09 persen. (BPS, 2005: 11). Tahun 2005 yang seharusnya menjadi tahun kebangkitan ekonomi nasional ternyata harus dilewati bangsa Indonesia dengan berbagai cobaan. Seperti kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, akan mengakibatkan kenaikan biaya transportasi dan kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat, serta depresiasi rupiah dan inflasi tinggi telah berdampak buruk pada menurunnya kesejahteraan rakyat dan meningkatnya kemiskinan. Pemerintah rupanya sangat yakin bahwa kebijakan menaikan harga BBM ini sudah benar dan tidak dapat dihindari serta merupakan satu-satunya jalan “menyehatkan” perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Jika ukuran ketepatan kebijakan adalah efisiensi maka keputusan pemerintah menaikan harga BBM memang sudah tepat. Namun, jika dilihat dari sudut pandang keadilan bagi seluruh rakyat dijadikan ukuran, maka dengan penilaian ilmu sosial atau dengan mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM yang akan mendorong naiknya harga-harga kebutuhan pokok sangat tidak adil bagi rakyat. Berdasarkan kajian Institute for Development of Economics and Finance (1NDEF) 2005 tentang dampak kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin dan Indeks Harga Konsumen (IHK) menggunakan metode Vector Auto Regressive (VAR) mernbuktikan kenaikan harga BBM (semua jenis BBM) misalnya sebesar 5 persen, meningkatkan IHK sebesar 3,6 persen dan jumlah masyarakat miskin di desa meningkat 1,30 persen, sedangkan jumlah penduduk miskin kota akan meningkat sebesar 2,76 persen. Semakin tinggi persentase kenaikan harga BBM semakin tinggi pula IHK dan jumlah penduduk miskin. (www.urbanpoor.or.id). Kenaikan harga BBM berdampak luas pada kehidupan masyarakat disemua lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang tergolong tingkat ekonomi lemah. Hal yang paling nyata dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, contohnya dalam sebuah rumah tangga di manaibu-ibu sangat merasakan dampak dari kenaikan harga BBM di manasemua harga kebutuhan pokok menjadi melambung di atas harga yang biasanya ada dipasaran. Hal ini tentu sangat memberatkan
kehidupan perekonomian dalam rumah tangga mereka, selain harga-harga kebutuhan pokok ini menjadi naik, kenaikan harga BBM yang tinggi juga menyebabkan biaya untuk transportasi menjadi meningkat sehingga mempengaruhi mobilitas masyarakat untuk bisa pergi atau sampai kesuatu tempat karena biaya transportasi atau ongkos menjadi lebih tinggi. Efek lain dari naiknya harga BBM adalah tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, ini tentunya semakin memperberat kehidupan masyarakat yang sudah dipersulit oleh masalah pemenuhan kebutuhan pokok. Maka untuk menghadapi keadaan tersebut perlu adaya suatu strategi adaptasi yang dilakukan keluarga khususnya bagi keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Di dalam penelitian ini peneliti mengambil objek penelitian yaitu Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan di manalokasi tersebut peduduknya ratarata berpenghasilan rendah dan tergolong miskin ini bisa dilihat pada saat peneliti melakukan pra penelitian dan penelitian di daerah tersebut di manarata-rata penduduk berpenghasilan di bawah Rp. 500.000,- per bulan. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan meningkatnya harga kenaikan BBM, di manasemua harga kebutuhan pokok meningkat yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Ini tentu saja sangat mempersulit kehidupan warga Tegal Rejo yang pada umumnya berpenghasilan rendah. Banyak kepala keluarga yang hanya bekerja sebagai buruh, pedagang kaki lima (PKL), tukang becak, tukang batu, dan pekerjaan tidak tetap lainnya. Dengan perkerjaan yang seperti itu dapat terlihat dari tempat mereka bermukim rata-rata mereka tinggal dirumah kontrakan yang kondisi fisiknya kurang layak untuk ditempati. Rumah mereka umumnya hanya berukuran 8x5 meter per segi, yang terbuat dari bahan semi permanent di manajarak antara rumah yang satu dengan yang lain berdekatan atau rapat. Di manasatu rumah dihuni oleh lebih dari 5 orang. Pengertian strategi secara harfiah menurut kamus besar bahasa Indonesia (1987: 859) adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Selain itu pengertian dari strategi adalah pola rencana jangka panjang, yang dipersiapkan berdasarkan perhitungan secara matang. (Yusuf, et. al, 1957: 452 ).
272
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
Strategi hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajeman (management) untuk mencapai suatu tujuan. (Effendy, 1993: 309). Selain itu strategi juga dapat diartikan sebagai suatu “cara/siasat perang” (Kamisa, 1997: 500). Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik cara maupun metode dalam melaksanakan sesuatu demi tercapainya suatu tujuan yang telah disusun sebelumnya. Selanjutnya J.Piaget menyebutkan beberapa tipe proses adaptasi: 1. Dalam rangka adaptasi individu mengubah atau menahan implus-implus dalam dirinya. Misalnya dalam keadaan lapar seseorang harus bisa menahan lapar tersebut apabila tidak dapat memenuhinya. 2. Dalam rangka adaptasi individu mengubah tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungan. Misalnya mencari makanan di Tong sampah atau berharap ada penderma yang memberikan makan. Keluarga miskin adalah suatu unit masyarakat yang terkecil yang mempunyai hubungan biologis yang hidup atau tinggal dalam satu rumah seperti suami, istri, anak yang tingkat kehidupan ekonomi keluarganya rendah atau kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok atau standar. (Khairuddin, 1997: 3 – 4) Secara singkat kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan ini langsung tampak penguruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang orang miskin. (Suparlan, 1993: 11). Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan kebutuhan pokok, Sumardi dan Evers mengelompokkan kebutuhan pokok ke dalam 7 jenis meliputi: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebersihan dan transportasi serta
273
partisipasi masyarkat. (Sumardi & Evers, 1982: 6) Selama ini terdapat dua pengertian yang menyangkut kemiskinan, yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. 1. Kemiskinan relatif: dinyatakan dengan beberapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk tertentu. 2. Kemiskinan absolut: menunjukkan sampai berapa jauh terpenuhi tidaknya kebutuhan pokok atau konsumsi nyata yang meliputi pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Konsumsi nyata tersebut dinyatakan secara kuantitatif atau uang berdasarkan pada tahun pangkal tertentu. Selanjutnya Agus Pakpahan membagi kemiskinan dalam tiga kategori yaitu: 1. Kemiskinan struktural adalah merajuk pada situasi di manafenomena kemiskinan oleh struktur yang membelenggu masyarakat untuk maju secara keseluruhan. 2. Kemiskinan natural adalah menggambarkan fenomena kemiskinan sebagai akibat dari miskinnya suatu daerah, maka penduduknya ikut miskin. 3. Kemiskinan relatif adalah merajuk pada situasi komparatif suatu individu, kelompok atau masyarakat. Harga juga merupakan satu-satunya elemen pemasaran yang menghasilkan pendapatan, elemen-elemen lainnya menimbulkan biaya. Harga merupakan salah satu elemen bauran pemasaran yang paling faksibel, harga dapat berubah cepat tidak seperti produk dan perjanjian distribusi karena itu harga menrupakan faktor yang penting untuk ditetapkan karena selain berpengaruh terhadap volume penjualan juga berpengaruh terhadap pendapatan. (Mulyadi, 2002: 346). Samir Radwan dan Torkel Alfthan (1978: 198), menulis bahwa tanpa mengurangi konsep kebutuhan dasar (basic needs), keperluan minimum dari seorang individu atau rumah tangga adalah sebagai berikut: makan, minum, perumahan, kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, transportasi, partisipasi. (Sumardi & Evers, 1985: 2) Dr.Thee Kian Wie mendefinisikan kebutuhan pokok sebagai suatu paket barang dan jasa oleh masyarakat dianggap perlu tersedia bagi setiap orang. Kebutuhan ini
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati seseorang. Hal ini berarti bahwa kebutuhan pokok itu berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain jadi kebutuhan pokok itu adalah spesifik (Sumardi & Evers, 1982: 2-3). Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena Kebutuhan pokok antara satu daerah dengan daerah lain memang berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan daerah geografis yang mempengaruhi jenis kebutuhan ini terjadi karena perbedaan geografi yang mempengaruhi jenis kebutuhan penduduk. Strategi kebutuhan dasar (basic needs) memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan cara tidak langsung seperti melalui efek menetes kebawah (trickle down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi Kesulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standar atau kriteria yang subyektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial. Biro Pusat Statistik melalui Survei sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menyusun komposisi kebutuhan dasar yang terdiri dari pangan dan bukan pangan dan adapun indikator untuk mengukur kebutuhan dasar adalah pengeluaran per kapita di daerah kota maupun pedesaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pangan, meliputi: a. Padi-padian dan hasil hasilnya. b. Ikan dan hasil-hasil ikan lainnya c. Danging. d. Telur, susu dan hasil hasil dari susu. e. Sayur-sayuran. f. Ubi-ubian, kacang-kacangan dan hasilhasilnya. g. Buah-buahan. h. Konsumsi lainnya. 2. Bukan pangan a. Perumahan, sewa rumah, bahan bakar, penerangan (listrik), minyak tanah, kayu bakar arang dan air. b. Sandang yaitu pakaian. c. Pendidikan untuk biaya sekolah seperti uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, buku. d. Kesehatan yaitu penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan kesehatan.
e. Barang-barang keperluan sehari-hari . (Widodo, 1990: 128-132).
Metode Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Metode deskriptif yaitu sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian lembaga seseorang dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya. (Nawawi, 1990: 63) Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan kota Medan Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini berdasarkan survey awal bahwa terdapat banyak keluarga miskin di kelurahan tersebut sehingga memungkinkan tempat tersebut cocok dijadikan sebagai lokasi penelitian yang sesuai dengan judul peneliti mengenai strategi adaptasi keluarga miskin terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Populasi dari penelitian ini adalah penduduk miskin kelurahan Tegal Rejo kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan yang berjumlah 1110 Kepala Keluarga (KK) dari keseluruhan Kepala Keluarga yang berjumlah 4095 dan total penduduknya berjumlah 21.741 jiwa hingga januari 2006, yang terdiri dari XV lingkungan. Namun populasi ini sampel hanya menjadi lingkungan II, IV, X, XIV, XV. Alasannya karena di lingkunganlingkungan tersebut terdapat banyak keluarga miskinnya. Pengclasteran populasi ini adalah menyempitkan populasi, penelitian menjadi unit populasi agar penelitian dapat dilakukan lebih mendalam serta memperoleh data yang lebih valid. Dari observasi pra survei sebelumnya telah diperoleh jumlah populasi keluarga miskin sebanyak 1110 KK sebagai unit sampel, yang ditarik dengan menggunakan metode claster random sampling. Oleh karena itu ditetapkan lima lingkungan sebagai sampel wilayah, yakni: Lingkungan II dengan sampel 9 KK, Lingkungan IV 11 KK, Lingkungan IX 10 KK, Lingkungan XIV 9 KK, dan Lingkungan XV 11 KK. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dan penyebaran angket. Data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu teknik pengumpulan data-data dengan mengacu pada buku-buku, laporan-laporan penelitian jurnal-
274
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
jurnal, majalah, koran, pendapat-pendapat para ahli yang dianggap mempunyai hubungan dengan penelitian ini, yang dapat dijadikan sumber data bagi peneliti sehingga dapat mendukung terlaksananya penelitian dengan baik. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif – kualitatif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari melalui penyebaran kuesioner untuk 50 orang kepala keluarga yang menjadi responden dan melalui wawancara yang peneliti lakukan kepada beberapa kepala keluarga dan juga berdasarkan studi kepustakaan serta observasi. Wawancara tersebut bertujuan untuk memperoleh data pendukung dalam penelitian dan observasi digunakan dalam mengamati kehidupan sehari-hari keluarga miskin di Kelurahan Tegal Rejo. Sedangkan studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data-data yang hubungan dengan penelitian ini, yang dapat dijadikan sumber data bagi peneliti sehingga dapat mendukung terlaksananya penelitian dengan baik. Melalui penyebaran kuesioner responden memberikan jawaban sesuai dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan pola ini diharapkan didapatkan jawaban yang objektif. Adapun kegunaan data dan pengumpulan data melalui kuesioner ini adalah untuk mengetahui strategi adaptasi keluarga miskin terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok di Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Dalam pengumpulan kembali kuesioner yang disebarkan, ternyata 50 kuesioner yang disebarkan terkumpul kembali dan semua pertanyaan dalam kuesioner terjawab dengan baik. Sebelum analisa data dilakukan, terlebih dahulu digambarkan secara umum identitas dari keseluruhan responden yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Sumber: Data Primer
275
F 21 29 50
% 54 46 100
Data pada Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa keseluruhan responden berjumlah 50 orang. Responden yang berjenis kelamin lakilaki berjumlah 21 orang (42%), dan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 29 (58%). Dalam melakukan penyebaran kuesioner yang mengisi data adalah kepala keluarga seperti suami tetapi apabila kepala keluarga tidak ada dapat diwakili dengan anggota keluarga yang lain seperti istrinya. Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan No. 1 2 3 4
Pendidikan SD SLTP / Sederajat SLTA / Sederajat Diploma Jumlah
F
%
12 21 15 2
24 42 30 4
50
100
Sumber: Data Primer
Data di atas menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang mayoritas responden berpendidikan SLTP yaitu berjumlah 21 orang (42%) kemudian SLTA berjumlah 15 orang (30%), SD berjumlah 12 orang (24%), DIPLOMA berjumlah 2 orang (4%). Di sini jelaslah bahwa pendidikan yang dimiliki responden belum memadai karena kebanyakan responden dari suami istri hanya mempunyai pendidikan yang rendah. Untuk mengetahui distribusi responden berdasarkan suku dapat dikita lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku No. 1 2 3 4
Suku Jawa Batak Mandailing Padang Jumlah
F
%
27 11 7 5
54 22 14 10
50
100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan jawaban responden pada Tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak adalah suku Jawa 27 orang (54%), kemudian suku Batak 11 orang (22%), suku Mandailing 7 orang (14%), dan suku Padang 5 orang (10%). Dari Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan suku yang
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
berasal dari Jawa. Di antara responden sudah ada yang menetap di Kelurahan Tegal Rejo berpuluh tahun dan ada juga pendatang yang baru beberapa tahun tinggal di Kelurahan Tegal Rejo, begitu juga dengan responden-responden dari suku lain seperti Batak, Mandailing, dan Padang. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan per Bulan No 1 2 3 4
Penghasilan (Rp) 100.000 - 200.000 210.000 - 300.000 310.000 - 400.000 410.000 - 5.00.000 Jumlah
F
%
5 9 11 18
10 18 22 36
50
100
Sumber: Data Primer No 1 2 3 4
Pekerjaan Buruh Tukang Becak PRT Pedagang Jumlah
F
%
22 10 9 9
44 20 18 18
50
100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan dari jawaban responden pada tabel di atas dapat diketahui bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak berkerja sebagai buruh 22 orang (44%), kemudian tukang becak 10 orang (20%), pedagang kaki lima 9 orang (18%), pembantu rumah tangga 9 orang (18%). Data dari Tabel 11 menunjukkan bahwa kebanyakan responden bekerja sebagai buruh baik itu sebagai buruh pabrik, maupun buruh bangunan. Kemudian responden kedua terbesar adalah yang bekerja sebagai tukang becak, becak yang dimiliki responden merupakan becak dayung yang rata-rata milik mereka sendiri, ada juga yang mempunyai becak mesin ada milik mereka sendiri juga yang mereka sewa dari orang lain atau becak orang lain yang sebagian setoran uangnya harus diberikan kepada pemiliknya. Sedangkan responden yang mempunyai pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga yang lebih mampu dilingkungan sekitar mareka ada yang bekerja mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore kerjaannya mulai dari memasak sampai membereskan atau membersihkan rumah dan ada juga yang hanya bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Dan terakhir yang bekerja sebagai pedagang. Mereka berdagang ada yang dipasarpasar seperti berjualan sayur-sayuran, es campur dan juga berdagang keliling kota seperti berdagang es krim, bakso. Selanjutnya distribusi responden berdasarkan penghasilan dapat dilihat pada tabel berikut:
Data di atas menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak berpenghasilan diantara Rp.410.000,- s.d. Rp.500.000,- berjumlah 18 orang (36%), kemudian Rp.310.000,- s.d. Rp. 400.000,- berjumlah 10 orang (22%), Lebih dari Rp.500.000,- berjumlah 7 orang (14%), Rp.210.000,- s.d. Rp. 300.000,- berjumlah 9 orang (18%), Rp.110.000,- s.d. Rp. 200.000,dan berjumlah 5 orang (10%).untuk menanbah penghasilan keluar agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari ada beberapa keluarga yang melakukan usaha kecil-kecilan seperti menjual makanan(membuat kue-kue kecil), menjadi buruh di toko, jualan di kaki lima dan ada bebrapa dari ibu rumah tangga yang menjadi pembantu rumah tangga. Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anak No 1 2 3 4
Jumlah Anak 1-2 3-4 5-6 7 dan seterusnya Jumlah
F
%
8 18 21 3
16 36 42 6
50
100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan dari jawaban responden pada Tabel 13 di atas dapat diketahui bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang mempunyai anak 5-6 orang berjumlah 21 orang (42%), yang mempunyai anak 3-4 orang berjumlah 18 orang (36%), yang mempunyai 1-2 orang anak berjumlah 8 orang (16%) serta yang mempunyai anak 7 orang dan seterusnya hanya 3 orang saja (6%). Rata- rata setiap keluarga mempunyai anak lebih dari 2 (dua) orang. Mereka percaya dengan banyak anak rejeki akan selalu ada.
276
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
Berikut ini disajikan data dan analisis tentang adaptasi masyarakat miskin terhadap inflasi setelah terjadinya kenaikan harga BBM: 1. Perbandingan banyaknya beras yang dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui sebelum kenaikan BBM mayoritas responden membutuhkan beras 20-30 kg setiap bulan sebanyak 28 orang (56%), kemudian 31-35 kg sebanyak 17 orang (34%) sedangkan yang menghabiskan 36-40 kg hanya sebanyak 5 orang atau 10%. Setelah BBM naik mayoritas responden menghabiskan 20-30 kg/ perbulan sebanyak 32 orang atau 64% kemudian 31- 35 kg sebanyak 15 orang (30%) dan 36-40 kg sebanyak 3 orang atau 6%. Sedangkan 41 – 50 kg sebelum dan sesudah BBM naik tidak dipilih oleh responden. Dari jawaban responden dapat di lihat setelah kenaikan harga BBM terdapat kenaikan kebutuhan bahan makanan pokok hal ini disebabkan banyaknya keluarga yang mengurangi membeli makanan-makanan selain kebutuhan pokok karena harganya semakin mahal. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin dalam hal konsumsi beras perbulannya yaitu menguragi pola konsumsi keluarga dengan mengurangi tingkat konsumsi beras keluarga mereka. 2. Perbandingan harga beras yang dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Data primer menunjukkan bahwa harga per kg beras yang dibeli sebelum BBM naik diketahui bahwa mayoritas responden membeli beras kategori harga Rp. 4.000,s.d. Rp. 4.500,- yang berjumlah 50 orang (100%). Sedangkan setelah harga BBM naik semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) membeli beras kategori Rp. 4.600,s.d. Rp. 5.000,-. Kenaikan harga ini dipicu atau dipengaruhi oleh naiknya harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga sembako termasuk beras sehingga para responden harus membeli beras dengan harga yang lebih tinggi dan mahal dari biasa, yang mereka beli guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga meraka. Oleh sebab itu menurut mereka mereka lebih memilih harga beras yang paling murah yang ada di pasaran sehinnga mereka dapat membeli bahan makanan lain untuk
277
pelengkap konsumsi mereka. Ada beberapa keluarga yang mengganti beras mereka dengan mengkonsumsi beras bulog yang harganya relatif lebih murah dan menfaatkan bantuan pemerintah dimasa krisis yaitu dengan menerima raskin. 3. Perbandingan frekuensi makan perhari sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Data primer yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi yaitu 3 kali sehari dengan jumlah responden yang menjawab sebanyak 39 orang (78%) kemudian 2 kali sehari berjumlah 7 orang (14%) dan yang menjawab dan lain-lain bisa lebih dari 3 kali sebanyak 4 orang (8%). Setelah kenaikan BBM terjadi perubahan tentang berapa kali keluarga makan dalam sehari yaitu yang menjawab 3 kali sebanyak 38 orang (76%) yang menjawab 2 kali 10 orang (20%) dan yang menjawab dan lain-lain sebanyak 2 orang (4%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa responden mengurangi frekuensi makan keluarga dalam sehari disebabkan oleh naiknya harga-harga bahan makanan yang dipicu oleh naiknya harga BBM sehingga mempengaruhi pola makan keluarga.Untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM maka keluarga miskin melakukan Strategi yaitu mengurangi pola makam dengan membiasakan makan yang tidak berlebih-lebihan misalnya yang biasanya makan lebih dari 3 kali menjadi 2 atau 3 kali sehari. 4. Perbandingan frekuensi konsumsi ikan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden pada dapat diketahui bahwa jawaban terbanyak adalah kategori kadang-kadang sebanyak 38 orang (76%) dan kategori sering 12 orang (24%) tidak ada responden yang menjawab sangat sering atau tidak pernah. Setelah kenaikan BBM terdapat perubahan pada jawaban responden yaitu kategori kadang-kadang berjumlah 41 orang (82%) dan yang menjawab sering berjumlah 9 orang (18%) tidak ada yang menjawab sangat sering dan tidak pernah. Maka dari data di atas dapat diketahui bahwa frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi ikan menurun karena mahalnya harga ikan yang dipasar sehingga responden tidak mampu membeli ikan tersebut untuk konsumsi keluarga mereka.
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
Startegi adapatasi yang dilakukan keluarga miskin adalah dengan cara mengurani konsumsi ikan dan menggantinya dengan telur, tempe, tahu atau ikan asin. 5. Perbandingan frekuensi konsumsi daging sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi daging sebelum BBM naik diperoleh jawaban seluruh responden adalah kadangkadang yaitu sebanyak 50 orang (100%). Jadi tidak ada responden yang menjawab sangat sering, sering dan tidak pernah. Setelah harga BBM naik seluruh responden pun menjawab hal yang sama tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi daging yaitu dengan menjawab kadangkadang sebanyak 50 orang (100%). Disini dapat dilihat bahwa kebutuhan responden terhadap konsumsi daging hanya kadangkadang saja. Seperti keterangan dari salah seorang responden yang mengatakan bahwa keluarga mereka hanya dapat memakan atau mengkonsumsi daging pada saat ada famili atau tetangga yang mengadakan pesta seperti pernikahan selain itu keluarga mereka juga dapat memakan daging mana kala disaat Lebaran Haji yaitu mereka mendapatkan daging kurban yang dibagibagikan oleh panitia kurban di yang ada lingkungannya. 6. Perbandingan frekuensi konsumsi telur sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi telur sebelum dan sesudah BBM naik diperoleh jawaban terbanyak adalah kategori sangat sering yaitu 42 orang (84%) kemudian kategori sering sebanyak 8 orang (16%), tidak ada responden yang menjawab kadang-kadang atau tidak pernah. Setelah BBM naik terjadi perubahan tentang frekuensi keluarga mengkonsumsi telur, yang menjawab sangat sering bertambah menjadi 45 orang (90%), yang menjawab sering 5 orang (10%) peningkatan jumlah konsumsi telur setelah kenaikan BBM disebabkan naiknya harga ikan dan daging sehingga untuk mensiasatinya mereka mengganti dengan mengkonsumsi telur yang nilai gizinya (protein) juga baik untuk kesehatan keluarga.
7. Perbandingan frekuensi konsumsi susu sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi susu dalam sebulan. Sebelum BBM naik kebanyakan responden menjawab kadangkadang yaitu sebanyak 38 orang (76%), kemudian yang menjawab sering 10 orang (20%) dan tidak pernah 2 orang (4%), tidak ada responden yang menjawab sangat sering. Sedangkan sesudah BBM naik frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi susu dalam sebulan menjadi menurun. Responden yang menjawab kadang-kadang berjumlah 30 orang (60%), responden yang menjawab tidak pernah berjumlah 15 (30%), responden yang menjawab sering berjumlah 5 orang (10%) dan tidak ada responden yang menjawab sering sekali. Perubahan ini terjadi karena setelah naiknya harga BBM harga susu menjadi semakin mahal, harga susu kaleng untuk bayi dan balita saja dipasaran sudah mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hal tersebut membuat para kepala rumah tangga terutama keluarga miskin menjadi sangat sulit dalam membelinya bahkan tidak terjangkau dengan penghasilan keluarga mereka. Strategi adapatasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga BBM yaitu dengan mengurangi konsumsi susu, memilih susu dengan harga yang murah yang sesuai dengan kemampuan kelurga. Dampak dari penggantian ini terlihat dari gizi yang diperoleh anak menjadi kutang namun hal ini dapat diantisipasi dengan banyak mengkonsunsi telur, tempe dan tahu yang kaya nilai gizinya. 8. Perbandingan frekuensi konsumsi sayuran sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi sayursayuran per hari sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang paling banyak adalah kategori sering yaitu berjumlah 25 orang (50%), kemudian kategori kadangkadang 20 orang (40%) dan kategori sangat sering 5 orang (10%). Tidak ada responden yang menjawab tidak pernah, sedangkan setelah BBM naik jumlah responden yang mengkonsumsi sayur-sayuran per hari
278
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
berubah menjadi kategori terbanyak yaitu yang menjawab kadang-kadang sebanyak 26 orang (52%), kemudian yang menjawab sering 19 orang (38%) dan kategori sangat sering 5 orang (10%), tidak ada responden yang menjawab tidak pernah. Perubahan ini dipengaruhi oleh naiknya ongkos transpor untuk pengangkutan sayur-sayuran tersebut dari tempatnya ditanam ke tempat sayur akan dijual dan dipasarkan, hal ini juga dipengaruhi oleh biaya tanam yang semakin tinggi sehingga harga jual sayur-sayuran tersebut menjadi tinggi yang akhirnya mempengaruhi daya beli konsumen terhadap sayur-sayuran. Adapun dari jawaban responden yang menjawab sangat sering karena mereka mempunyai lahan atau perkarangan untuk menanam sayur-sayuran yang mereka konsumsi itupun hanya terbatas yang bisa mereka tanam yaitu tanaman yang mudah tumbuh seperti daun ubi, gambas, daun papaya, terong dan lainlain. 9. Perbandingan frekuensi konsumsi kacangkacangan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Jawaban respoden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi kacangkacangan seperti kacang hijau dan kacang merah sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang mayoritas yang dipilih para responden adalah adalah kategori kadangkadang berjumlah 50 orang (100%), sedangkan setelah BBM naik responden yang mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang merah jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang merah terkadang saja apabila mereka mempunyai uang belanja di sisihkan sedikit untuk membeli kacang hijau dan kacang merah untuk dikonsumsi keluarga mereka sebagai tambahan protein bagi keluarga terutama manfaatnya sangat bagi bagi pertumbuhan anak tetapi karena keterbatasan biaya mereka tidak bisa sering mengkonsumsi kacang hijau dan kacang merah tersebut.
279
10. Perbandingan frekuensi konsumsi tahu dan tempe sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi tahu dan tempe sebelum dan sesudah BBM naik diperoleh jawaban yang terbanyak memilih kategori sering sebanyak 31 orang (62%), kemudian yang memilih kategori kadang-kadang sebanyak 12 orang (46%) dan sangat sering sebanyak 7 orang (14%) tidak ada responden yang memilih kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jawaban dari responden sedikit menurun yang memilih kategori sering sebanyak 29 orang (58%), kemudian yang memilih kadang-kadang 17 orang (34%) dan yang memilih kategori sangat sering sebanyak 4 orang (8%) tidak ada responden yang memilih kategori tidak pernah. Dari data ini menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga BBM hanya sedikit saja berpengaruh terhadap tingkat konsumsi tahu dan tempe. Tahu dan tempe yang dikonsumsi responden dijadikan sebagai makanan alternatif bagi keluarga apabila tidak ada menu makanan lain yang dapat dibeli karena harganya mahal mereka terkadang cuma dapat mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai lauk makan mereka. 11. Perbandingan frekuensi konsumsi buahbuahan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban respoden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi buah-buahan sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang paling banyak adalah kategori kadangkadang berjumlah 39 orang (78%), kemudian kategori sangat sering berjumlah 6 orang (12%), dan yang menjawab kategori sering hanya 5 orang (10%), tidak ada jawaban dari responsden yang memilih kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jumlah responden yang mengkonsumsi buah-buahan jawaban dari mereka juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan responden dalam mengkonsumsi buahan-buahan terkadang saja apabila mereka mempunyai uang belanja di sisihkan sedikit untuk membeli buah-buahan itupun hanya buah yang harganya terjangkau oleh mereka seperti jeruk, pepaya, pisang dan lain-lain.
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
12. Perbandingan frekuensi konsumsi snack sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi selain makanan pokok seperti roti, mie, kue dan lain-lain sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang terbanyak memilih kategori kadang-kadang sebanyak 31 orang (62%), kemudian yang memilih kategori sering sebanyak 19 orang (38%) dan tidak ada yang memilih kategori sangat sering dan kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jawaban dari responden menurun yang memilih kategori sering sebanyak 14 orang (28%), kemudian yang memilih kadang-kadang 36 orang (72%) dan tidak ada yang memilih kategori sangat sering dan kategori tidak pernah. Perubahan ini terjadi karena kenaikan harga makanan seperti roti, mie, dan kue yang dijual akibatnya responden menguragi konsumsi terhadap makanan-makan tersebut. 13. Perbandingan frekuensi konsumsi pakaian sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden tentang kebutuhan membeli pakaian sebelum BBM naik diperoleh jawaban mayoritas yang dipilih para responden adalah adalah kategori kadang-kadang berjumlah 50 orang (100%), sedangkan frekuensi membeli pakaian setelah BBM naik jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam membeli pakaian hanya terkadang saja mereka membeli pakaian sewaktu hari-hari besar saja seperti Lebaran dan Natal itu pun terkadang hanya dapat membeli baju atau celana saja dan tidak seluruh anggota keluarga yang dapat membeli pakaian seperti adiknya saja yang dapat membeli pakaian tetapi kakaknya atau abangnya tidak. Ketiadaan biaya untuk membelikan seluruh pakaian tersebut terkadang membuat para responden selaku kepala keluarga merasa sedih dan kewalahan apalagi disaat hari raya anak-anak mereka meminta mereka membelikan pakaian baru untuk merayakannya. 14. Perbandingan jenis pakaian yang dibeli sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM:
Berdasarkan jawaban dari responden tentang cara membeli keluarga pakaian sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang kebanyakan membeli pakaian bekas berjumlah 27 orang (54%) dan yang membeli pakaian baru 23 orang (46%) sedangkan cara membeli pakaian setelah BBM naik jumlahnya meningkat yaitu responden yang memilih menjadi 33 orang (66%) dan yang membeli pakaian baru berjumlah 17 orang (34%) Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam cara membeli pakaian lebih memilih membeli pakaian bekas biarpun tidak baru mereka mempunyai alasan lebih terjangkau dari segi harganya dan di samping itu mutunya lebih baik itulah solusi mereka untuk memenuhi kebutuhan sandang bagi keluarganya. 15. Perbandingan tipe rumah yang ditempati sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden tentang keadaan rumah yang ditempati sebelum BBM naik diperoleh jawaban terbanyak yang dipilih para responden adalah kategori setengah beton/ semi permanen 25 orang (50%) kemudian yang memilih kategori papan/ kayu 15 orang (30%) dan yang memilih kategori beton/permanen 10 orang (20%) sedangkan keadaan rumah yang ditempati setelah BBM naik jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perubahan terhadap kondisi rumah yang mereka tempati selama kenaikan harga setelah BBM naik. Dalam melakukan srtategi adaptasi terhadap kenaikan harga BBM mereka lebih memilih memperbaiki rumah mereka sendiri apabila ada kerusakan pada rumah yang mereka tempati. Seperti apabila ada atap rumah yang bocor mereka hanya menempel kebocoran tersebut seadanya bukan dan dampaknya tidak begitu baik sering kebocoran itu terulang lagi. 16. Perbandingan status rumah yang ditempati sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa dalam status kepemilikan rumah sebelum BBM naik responden terbesar adalah dengan cara mengontrak / menyewa rumah yang mereka tempati, responden yang mengontrak / menyewa
280
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
tersebut berjumlah 24 orang (48%), selanjutnya responden yang sudah memiliki rumah tempat tinggal atas nama mereka sendiri berjumlah 15 orang (30%), responden yang rumah tempat tinggalnya dimiliki secara bersama dengan anggota famili atau keluarga dekat yang lain berjumlah 11 orang (22%). Dari Tabel 29 menunjukkan tidak adanya perubahan status kepemilikan rumah baik sebelum dan sesudah BBM naik. Responden yang status rumahnya merupakan rumah kontrak atau menyewa mereka menyewanya dari warga yang merupakan penduduk asli daerah ini. Besar biaya untuk mengontrak atau menyewa rumah, yang dikeluarkan oleh masing-masing pengontrak umumnya sekitar Rp. 1.200.00,- per tahun. Rumah tersebut sudah memiliki dua buah kamar tidur dan ruang tamu juga kamar mandi. Sementara itu responden yang mempunyai rumah atas nama sendiri adalah mereka yang sudah cukup lama tinggal di lingkungan tersebut dan responden yang status kepemilikan rumahnya milik bersama famili adalah suatu keluarga yang saling mempunyai ikatan darah seperti kakak dan adik yang telah menikah dan tinggal bersama dalam satu rumah. 17. Perbandingan jenis sumber air yang dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa cara dalam memperoleh air sebelum dan sesudah BBM naik tetap sama atau tidak berubah. Responden yang memilik kategori air sumur 34 orang (68%) lebih banyak dari pada air leding 16 orang (32%). Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih memilh menggunakan air sumur dibanding dengan air leding karena mereka beralasan dengan memakai air sumur meraka tidak perlu mengeluarkan biaya dan apa bila menggunakan air air leding mereka harus membayarnya tiap bulannya. Sedangkan dampak pada penggunaan air sumur tersebut yaitu air tersebut dari segi kesehatan tidak baik karena lokasi pemukiman mereka sangat rapat dan sedangkan tempat WC ataupun seksiteng mereka sangat berdekatan satu rumah kerumah yang lain otomatis sumur yang mereka pakai untuk kebutuhan konsumsi
281
dan keperluan sehari-hari tercemar atau tidak memenuhi standar kesehatan. 18. Perbandingan jenis penerangan yang digunakan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) sebelum dan sesudah BBM naik menggunakan listrik sebagai alat penerangan di rumah mereka. Alasan mereka dengan menggunakan sumber fasilitas penerangan listrik yang berasal dari jaringan PLN lebih praktis dan mudah selain itu lampu dan juga barangbarang elektronik mereka dapat digunakan seperti radio dan televisi. Jadi kenaikan BBM tidak mempengaruhi cara keluarga memperoleh penerangan dirumah. Tetapi karena biaya tarif listrik naik maka strategi mereka dalam menggunakan fasilitas listrik yaitu dengan menghemat listrik dengan mengurangi penggunaan listrik seperti tidak menonton televisi terlalu lama, mematikan lampu pada malam hari. 19. Perbandingan jenis fasilitas kesehatan yang digunakan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui bahwa sebelum BBM naik tempat yang paling banyak dipilih oleh responden untuk berobat jika ada anggota keluarga yang sakit adalah di puskesmas 29 orang (58%), selisihnya meningkat sebesar 6% sesudah BBM naik menjadi 32 orang (64%) Menurut responden bahwa ditempat tersebut merupakan tempat tersebut merupakan tempat berobat yang murah, selain tempat pengobatan ini mudah dijangkau karena jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. berobat dipuskesmas menurut mereka sudah dapat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh anggota keluarga mereka yang sakit, jenis penyakit yang mereka deritapun biasanya hanya berupa penyakit ringan antara lain batuk, flu, sakit perut atau diare, dan demam. Sementara itu jenis pengobatan alternatif menjadi pilihan responden untuk berobat apabila salah satu dari anggota keluarganya ada yang sakit sebelum BBM naik 10 orang (20%) dan sesudah BBM naik 12 orang
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
(24%) selisihnya juga tidak berapa besar hanya 4%. Pengobatan alternatif disini merupakan orang yang pintar mengobati bukan secara medis. Tetapi berupa pengobatan tradisional disini antara lain tukang urut, tukang rajah, dan lain-lain. Penyakit yang diobatinya seperti patah tulang, mengusuk badan atau urut alasan mereka memilih pengobatan alternatif adalah karena tidak mematok harga atau tarif tertentu. Selain itu responden juga memilih klinik sebagai tempat berobat sebelum BBM naik 9 orang (18%) dan sesudah BBM naik 6 orang (12%) selisihnya 6%. Alasan meraka memilih klinik yaitu saat memeriksakan kesehatan bayi dan istri disaat hamil serta sakit-sakit yang harus segera diobati segera. Dan yang terakhir responden yang menjawab berobat kerumah sakit sebelum BBM naik hanya 2 orang (4%) dan sesudah tidak ada.mereka berobat ke rumah sakit karena penyakitnya sudah berat yang harus dirawat di rumah sakit.dampak dari peralihan tempat perobatan dari rumah sakit kePuskesmas atau ketempat pengobatan alternatif adalah menurunnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan ada juga beberapa pasien yang tidak sesui dengan bebera jenis obat yang diberikan karena rendahnya tingkat diagnosa yanmg diberikan dan ada juga yang salah tidak serasi dengan pengobatan alternatif karean tidak diperiksa secara teliti dan menggunanakan obat yang tidak sesuai dengan sakit yang diderita misalnya tidak ada dosis atau takaran yang pas untuk tiap penyakit yang diderita. 20. Perbandingan perolehan fasilitas berobat gratis dari Pemko Medan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua responden yang berjumlah 50 orang dalam menjawab tentang memperoleh pelayanan kesehatan gratis sebelum BBM naik yaitu yang menjawab kategori ada berjumlah 15 orang (30%) dan tidak 35 orang (70%), jawaban responden sama pada saat BBM naik. Alasan mereka dengan menjawab tidak karena ketidaktahuan dan tidak ada penjelasan yang diberikan pada mereka. responden mendapatkan informasi bawa ada pelayanan gratis yang diberikan oleh
pemerintah berupa kartu sehat. Maka strategi adaptasi yang mereka lakukan yaitu mengurus kartu tersebut sehingga menguragi beban mereka disaat meraka sedang menderita sakit karena biaya perawatannya gratis atau ditanggung oleh pemerintah. 21. Perbandingan penyediaan dana untuk sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat di ketahui sbelum BBM naik mayoritas responden tidak menyediakan biaya perobatan perbulannya sebanyak 46 orang (92%) sedangkan yang menjawab telah menyediakan biaya perobatan hanya sebanyak 4 orang (8%). Setelah BBM naik ternyata jumlah responden yang menjawab tidak mengalami kenaikan yakni sebanyak 47 orang (94%) dan yang menjawab menyediakan biaya perobatan pun semakin sedikit yakni hanya 3 orang (6%). Dari data tersebut responden memberikan alasan biaya hidup semakin tinggi dan biaya berobat pun semakin mahal jelaslah mereka tidak memikirkan biaya untuk perobatan bagi kesehatan keluarga mereka perbulan. Dalam hal ini responden mengaku hanya membeli obat yang tersedia di kedai- kedai sekitar rumah bila sakit. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin dalam penyediaan biaya perobatan per bulannya bagi keluarga mereka untuk menyesuaikan dengan harga kenaikan BBM adalah dengan cara menjaga kesehatan dengan rajin berolah raga, makan yang sehat, istirahat yang cukup dan hanya mengkonsumsi obat jika sakit yang diderita serius dan perlu ditangain secara medis.obat-obatan yang dipilih adalah yang harganya terjangkau namun tetap memperhatikan mutunya seperti obat Generik. 22. Perbandingan jumlah anak yang bersekolah sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa jumlah anak yang bersekolah sebelum BBM naik paling besar ada 3 orang sebanyak 24 orang atau (48%) kemudian 2 orang sebanyak 14 orang (28%) dan selanjutnya 1 orang sebanyak 8 orang (16%) dan terakhir responden yang menjawab lebih dari 3 orang sebanyak 4 orang (8%) sedang setelah kenaikan harga
282
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
BBM jumlah anak yang bersekolah mengalami penurunan yang paling besar tampak apa kategori 3 orang sebanyak 21 orang (42%) kemudian kategori 2 orang sebanyak 17 orang (34%) kategori 1 orang sebanyak 10 orang (20%). Dan terakhir kategori lebih dari 3 orang sebanyak 2 orang (4%) penurunan ini disebabkan tingginya biaya hidup karena naiknya harga BBM sehingga dana yang disediakan untuk biaya sekolah menjadi berkurang dan ditambah lagi naiknya harga transportasi untuk ke sekolah seperti biaya transportasi dan biaya kebutuhan sekolah lainnya dan juga naiknya biaya pendidikan. 23. Perbandingan kebutuhan sekolah sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban resonden tentang besarnya biaya yang dikeluarkan perbulan untuk kebutuhan sekolah sebelum BBM naik diperoleh jawaban terbanyak adalah berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- yaitu sebanyak 36 orang (72%) kemudian biaya berkisar Rp. 300.000,- s.d. Rp. 400.000,- sebanyak 6 orang (12%) lebih dari Rp. 400.000,- sebanyak 6 orang (10%) dan kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 3 orang atau (6%). Setelah BBM naik besar biaya yang dikeluarkan keluarga perbulan untuk kebutuhan sekolah mengalami perubahan paling banyak responden menjawab berkisar antara Rp. 100.000,- s.d. Rp. 200.000,- sebanyak 20 orang (40%), berkisar Rp. 300.000,- s.d. Rp. 400.000 sebanyak 12 orang (24%) kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 10 orang (20%) dan lebih dari Rp. 400.000,- sebanyak 8 orang (16%). perubahan ini terjadi akibat naiknya harga kebutuhan pokok yang harus dipenuhi sehingga biaya yang disediakan untuk pemenuhan harga kebutuhan sebulan semakin menurun. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga BBM dalam kenaikan biaya kebutuhan sekolah per bulan adalah dengan cara memanfaatkan bantuan yang mereka terima dalam bidang pendidikan seperti beasiswabeasiswa yang diberikan oleh pemerintah kepada anak-anak kurang mampu atau miskin selain itu strategi adaptasi lain yang dilakukan keluarga miskin yaitu memasukkan anak-anak mereka kesekolah
283
Inpres yang biaya sekolahnya relatif murah tapi dampaknya mutu pendidikan yang diterima anak menjadi rendah sehingga tidak kompetitif dengan sekolah negeri atau swasta terkenal, untuk menguragi biaya transportasi dipilih sekolah yang dekat dengan lokasi rumah atau mengantar anak kesekolah dengan sepeda atau sepeda motor, untuk mengurani biaya jajan para orang tua membekali anaknya dengan makanan dan minuman yang di bawa dari rumah. 24. Perbandingan mengikuti kursus bagi anak sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban responden tentang kebutuhan dalam mengikuti kursus anak di luar sekolah sebelum BBM naik pada umumnya responden menjawab tidak yaitu sebanyak 44 orang (88%) dan yang menjawab “Ya” sebanyak 6 orang (12%) setelah BBM naik terdapat perubahan jawaban responden terhadap pemenuhan kebutuhan anak dalam mengikuti kursus dan di luar sekolah. Pada umumnya menjawab “Tidak” sebanyak 46 orang (96%) dan yang menjawab “Ya’ sebanyak 2 orang (40%) perubahan itu disebabkan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya kursus di luar sekolah seperti kursus bahasa Inggris, Mandarin, Komputer, dan lain sebagainya. Apalagi setelah kenaikan BBM untuk biaya sekolah dan ongkos saja sudah tinggi apalagi kalau ditambah dengan mengikuti kursus di luar sekolah maka pada umumnya responden menjawab tidak mengikuti kursus di luar sekolah. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan harga kenaikan BBM dalam hal mengikuti kursus diluar sekolah adalah dengan membiasakan anak belajar dirumah baik secara pribadi atau berkelompok dengan teman-temanya namun dampaknya anak-anak menjadi kurang bimbinagn dari pihak-pihak yang berkompeten pada bidangnya. 25. Perbandingan penggunaan alat transportasi keluarga sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui sebelum dan sesudah BBM naik transportasi yang digunakan responden tidak mengalami perubahan. Sebanyak 100% responden menjawab ada. Transportasi
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
yang mereka gunakan antara lain sepeda yang rata-rata dimiliki oleh seluruh responden dan becak selain itu responden juga menggunakan angkot sebagai transportasi mereka untuk berpergian jauh.dampak dari penggunaan jenis transportasi tersebut adalah waktu yang ditempuh untuk sampai ketempat tujuan menjadi relatif lama. Namun keuntungan dari penggunan jenis transportasi sepeda adalah mengurangi jumlah polusi dan kemacetan. 26. Perbandingan biaya transportasi keluarga sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui biaya perbulan yang dikeluarkan oleh setiap responden sebelum BBM naik yang terbanyak adalah kurang dari Rp. 100.000 yakni 43 orang (86%) dan 7 responden menjawab Rp. 100.000,- S.D. 150.000,- atau (14%). Setelah BBM naik jumlah responden yang menghabiskan kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 41 orang (82%) dan yang mneghabiskan biaya Rp. 100.000,- sampai dengan 150.000,sebanyak 9 orang atau 18%. Hal ini dimungkinkan banyaknya responden yang menggunakan sepeda milik mereka sebagai sarana tranportasi. Dan responden yang menghabiskan biaya pada kategori 2 dan 3 pada tabel di atas adalah responden yang menggunakan jasa angkutan umum karena jika menggunakan jenis angkutan umum menambah biaya yang dikeluarkan per harinya. 27 Perbandingan frekuensi menghadiri pesta sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui bahwa sebelum dan sesudah BBM naik semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) menjawab kadang-kadang. Dalam hal menghadiri undangan pesta mereka melakukan strategi adaptasi dengan cara mengurangi frekuensi dalam menghadiri pesta Hal ini dikarenakan untuk menghadiri undangan mereka pasti mengeluarkan dana untuk pemberian cenderamata / kado karena inilah tidak semua undangan pesta dapat mereka hadiri .
28 Perbandingan frekuensi biaya menghadiri pesta sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari data yang diperoleh dapat diketahui sebelum BBM naik bahwa responden mayoritas menjawab mengeluarkan biaya kurang dari Rp. 25.000 sebanyak 50 orang (100%). Sedangkan sesudah BBM naik jumlahnya menurun menjadi 36 orang (72%) responden yang menjawab kurang dari Rp. 25.000,- dan 14 orang atau 28% responden manjawab mengeluarkan biaya untuk menghadiri undangan perbulannya sebesar Rp. 25.000,- s.d. Rp. 30.000,-. Mereka beralasan biaya bahan makanan yang tinggi tentunya mempengaruhi jumlah uang dalam amplop yang diberikan saat menghadiri undangan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan: 1. Strategi Adaptasi yang dilakukan masyarakat miskin yang ada di Kelurahan Tegal Rejo adalah pengontrolan konsumsi dan pengeluaran seperti mengurangi jenis dan pola makan, penggantian makanan yang dikonsumsi dengan makanan yang lebih murah atau terjangkau, memperbaiki rumah sendiri, menanam tanaman yang bisa dikonsumsi diperkarangan rumah mereka, membeli barang-barang yang murah dan tidak membeli barang- barang yang tidak penting, mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, pemanfaatan bantuan pemerintah dimasa krisis seperti raskin dan beasiswa-beasiswa bagi anakanak keluarga kurang mampu atau miskin dan mengurangi berpergian ke pesta. 2. Strategi adaptasi terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok di Kelurahan Tegal Rejo secara umum berjalan baik karena mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut dengan cara menyesuaikan penghasilan yang mereka peroleh dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga mereka.
284
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286
Saran 1. Agar strategi adaptasi di Kelurahan Tegal Rejo bisa berjalan dengan baik, seluruh anggota keluarga turut berperan serta dengan cara lebih giat bekerja, mencari pekerjaan sampingan mengontrol pola konsumsi makanan dan hidup sederhana. 2. Agar keluarga miskin melakukan pengendalian pengeluaran dari segi keuangan. 3. Agar adanya sistem gotong royong diantara anggota keluarga dalam mengelola makanan dan sumber daya alam yang ada di lingkungan. 4. Hendaknya keluarga miskin melakukan peningkatan asset seperti melibatkan lebih banyak anggota keluarga dalam bekerja.
Daftar Pustaka Bappenas, Panduan Program IDT, Bappenas dan Depagri, Jakarta, 1993. Coleman, James, Cressey, Donald, Social Prablem, Third Edition, Harper& Row Publishers, New York, 1987. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Mulyadi, Sistem Akutansi, edisi ke-3 Bagian Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta, 2002. Nawawi, H. Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada Universitiy Press, Yogyakarta, 1991. Nurdin, Fadhil, Drs, Pengantar Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Angkasa, Bandung, 1990. Salvatore, Dominick dan Diulio Eugene A, Pengantar Ilmu Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1987. Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survay, LP3ES, Jakarta, 1989. Sismudjito, Kemiskinan di Sumatera Utara, Jurnal Pemberdayaan, Komunitas.USU Volume 3, Nomor 3, September 2004. Sumardi. M dan Evers Dieters. H, Kemiskinan Dan Kebutuhan Pokok, Rajawali, Jakarta, 1985. Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1993.
Guiltinan dan Paul, Manajemen Pemasaran, Rineka Cipta Cetakan I, Jakarta, 1997.
Suparlan, Y.B, Drs, Widjopianoto Rachmanto, Drs, Pardiman, S, Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pengarang, Yogyakara, 1983. Suyanto, Bagong, Perangkap Kemiskinan: Problem & Strategi Pengentasannya, Airlangga University Press, 1994.
Husken, Frans, dkk, Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Indonesia di bawah Orde Baru, Gramedia, Jakarta 1997.
Swastha DH, Bayu dan Irawan, Manajemen Pemasaran Modern, Penerbit Liberty cetakan Ke IV, Yogyakarta.
Kartasapoetra, G, Sosiologi Aksara, Jakarta, 1987.
Vembriarto, Psikologi Bandung 1993.
Gerungan.W.A, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1986.
Umum,
Bima
Sosial,
PT.Eresco
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1997.
Widodo, Suseno Triyanto, Hg, Drs, Indikator Ekonomi, Kanisius, Yogyakarta, 1990
Khairuddin, H, SS, H, Drs, Sosiologi Keluarga, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1997
Wie, Thee Kian, Dr, Pemerataan Kemiskinan Dan Ketimpangan, Sinar Harapan, Jakarta. 1981.
285
Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...
Yusuf, S dan Suryadi, Syamsuri Effendi, R Sumadjaja, Kamus Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1975.
Web Site:
Sumber-sumber lain:
http://www.Tempointeraktif.go.id
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989
www.urbanpoor.or.id
http://www.bkkbn.go.id
Indikator Ekonomi Buletin Bulanan Statistik BPS, Jakarta, Agustus 2005 BPS Propinsi Sumatera Utara, 2005
286