8 WAJAH
SP PT Pupuk Kaltim: Sepakat, Warna Baru Hubungan Industrial PKT
10 KINERJA
PT INTI: Karyawan Sejahtera INTI Jaya
20 Advokasi
24 figur
Perlukah UU BUMN Diamandemen?
Baik untuk Karyawan Baik Juga untuk Perusahaan
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
1
redaksi
P
Lensa
Workshop Hubungan Industrial, yang digelar FSP BUMN di Bandung, 9-11 Februari 2012.
Peserta Workshop Hubungan Industrial FSP BUMN berfoto di kantor Pusat PT KAI.
Dirut Biofarma (batik) berfoto bersama peserta workshop Hubungan Industrial FSP BUMN.
embaca, Garda Edisi ini, bisa dikatakan sebagai “edisi introskpeksi”. Jika di materi di edisi-edisi sebelumnya, cenderung melihat ke luar, sekarang sedikit lebih memeriksa “ke dalam”. Pada Rubrik Sorot, kami menurunkan materi tentang upaya meningkatkan kapasitas serikat pekerja (SP). Materinya, sebagian besar diambil dari Workshop Hubungan Industrial yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN, pada Februari silam, di Bandung. Mengapa masih perlu upaya peningkatan kapasitas SP? Kendati belum ada penelitian yang mendalam, namun di lapangan banyak fakta yang mudah ditemui, SP yang belum mampu menjalankan perannya secara maksimal. Apa saja penyebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya? Silakan Anda simak Rubrik Sorot, dan juga Rubrik Sikap. Untuk menambah wawasan kita, khususnya pengurus SP BUMN, di Rubrik Sajian Khusus kami tampilkan pembahasan tentang sarana hubungan industrial, yang sebagian besar diambil dari makalah Prof Dr Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan, yang menjadi salah satu narasumber workshop. Di Rubrik Dinamika, kami hadirkan berita menarik, tentang Hubungan Industrial Award pada individu dan organisasi terpilih, karena peran dan kontribusinya yang besar dalam hak ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Pemberian Hubungan Industrial Award ini, akan menjadi kegiatan tahunan FSP BUMN, dengan mengambil momentum Hari Buruh se-Dunia. Untuk Rubrik Kinerja, kami pilihkan PT INTI. BUMN yang begerak di bidang produksi teknologi informasi, sempat keteter didesak persaingan ketat, namun sekarang mulai menggeliat, siap menghadang para pesaingnya, yang sebagian besar merupakan pemain global. Di Rubrik Figur, Anda bisa menyimak sosok Iskandar, Dirut PT Biofarma. Salam Pekerja.
DAFTAR ISI SOROT.......................................3-7 WAJAH......................................8-9 KINERJA.. ............................... 10-11 REGULASI.. ............................. 12-14 ETOS.. ......................................... 15 DINAMIKA.. ............................ 16-19 ADVOKASI.............................. 20-21 SAJIAN KHUSUS...................... 22-23 FIGUR.................................... 24-25 SIKAP......................................... 27 2
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Media KOMUNIKASI, Advokasi, dan Edukasi Pekerja BUMN
Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab: Abdul Latif Algaff Penasehat : Faisal Bahalwan Pemimpin Redaksi : M. Munif Anggota Redaksi : Lakoni Brama Bisman Sinurat, Josem Ginting, Abdul Sadat, Tomy Tampatty Sekretaris Redaksi : Eko Nugriyanto Keuangan : Hidayattullah Putra Sirkulasi : Maliki S, Rudy Firmana Diterbitkan Federasi Serikat Pekerja BUMN Alamat Redaksi : Gedung JAMSOSTEK Lt. 10 Jl. Jend. Gatot Subroto No. 79, Jakarta Selatan 12930 Telp. [021] 520 7797 Ext 4010, Fax. [021] 5202304
[email protected]
s o r o t
Mendongkrak Kapasitas Serikat Pekerja
U
ntuk meningkatkan pemahaman pengurus SP BUMN terhadap masalah hubungan industrial, FSP BUMN menggelar workshop hubungan industrial yang menghadirkan narasumber berkompeten. Sebuah upaya strategis, untuk meningkatkan kapasitas SP BUMN.
Hasil sebuah survey yang dilakukan International Labour Organization (ILO) menyebutkan, banyak pengurus Serikat Pekerja (SP) di Indonesia, yang pemahamannya terhadap masalah hubungan industrial, masih rendah. Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan, mengkonfirmasi temuan ILO tersebut dengan mengatakan, banyak pimpinan SP yang tidak mempunyai latar belakang dan pengalaman SP. Rendahnya pemahaman pengurus SP terhadap masalah hubungan industrial, tentu saja sangat berpengaruh pada kemampuan SP dalam No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
3
s o r o t
PEKERJA BUMN FARMASI MASA LALU: Perkembangan SP pasca reformasi, cenderung mundur sebelum tahun 1973.
menghadapi dan memecahkan persoalan hubungan industrial, yang terus berkembang. Boleh jadi, kenyataan ini juga terjadi pada SP BUMN. Antara lain, atas dasar itulah Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN, menggelar Workshop Hubungan Industrial di Hotel santika Bandung, 9 sampai 11 Februari lalu. “Melalui workshop, kami ingin membantu memberi pamahaman lebih mendalam tentang hubungan industrial, pada teman-teman pengurus SP BUMN,” ujar Hidayatullah Putra, Ketua Panitia Workshop, “Untuk itu, kami hadirkan narasumber yang berpengalaman
Sonny Y. Soeharso Psikolog SJS Consulting
4
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
dan punya kompetensi tinggi dalam masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial.” Workshop yang dibuka oleh Mira Hanartani (saat masih Dirjen PHI) ini diikuti oleh sekitar 80 peserta dari SP BUMN, menghadirkan 10 narasumber, yaitu Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan yang tidak asing lagi, yang memberikan wawasan makro tentang hubungan industrial dan ketenagakerjaan. Kemudian, Basani Sitomorang, praktisi hukum yang membahas tentang Hukum Ketenagakerjaan, H. Iskandar Dwidjoyatono, Direktur Hubungan Industrial pada Lembaga Pengembangan SDM Prima Karya, yang menyampaikan materi tentang teknik advokasi dan penanganan keluh kesah pekerja, dan Sonny Y. Soeharso, psikolog dari SJS Consulting, yang membahas tentang Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan materi yang dilengkapi tahapan pembuatan PKB. Narasumber lain adalah Basani Situmorang, Suharjono (instruktur ILO), dan Abdullatif Algaff. Pada bagian akhir, peserta mendapat wawasan tambahan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang disampaikan Ahmad Ansori. Kemunduran Payaman Simanjuntak mengawali pemaparannya yang menarik, dengan membawa
s o r o t
ANTUSIAS: Peserta workshop mengikuti penjelasan narasumber Basani Situmorang dengan penuh antusias.
peserta pada awal sejarah dan perkembangan SP, di tataran internasional hingga ke dalam negeri. Di Indonesia, perkembangan SP ikut terkena euforia reformasi, yang dimulai pada awal 1998. Dan ratifikasi Konvensi ILO No. 87 mengenai kebebasan berserikat. Euforia tersebut telah memacu tumbuhnya banyak SP baru. Sampai Juni 2002, telah tumbuh dan terdaftar 63 SP berbentuk federasi, 76 SP tingkat nasional berdasarkan sektor usaha yang non- afiliasi di perusahaan swasta, dan 56 SP di BUMN. Di luar itu, ada sekitar 1.200 SP Tingkat Perusahaan (SPTP) yang independen masih tetap terdaftar dan berfungsi. Jumlah organisasi tersebut, terus bertambah (lihat, box). Dalam pandangan Payaman Simanjuntak, perkembangan SP pasca reformasi tersebut, justru merupakan kemunduran. “Keadaannya seperti kembali ke kondisi sebelum Deklarasi Buruh Tahun 1973,” ujar pakar ketenagakerjaan yang bergelar profesor itu, “Sejumlah organisasi lama yang sudah melebur pada 1973, malah muncul kembali.” Dalam skala mikro, di banyak perusahaan pun tumbuh SP baru, sehingga di satu perusahaan bisa ada lebih dari satu SP. “Keadaan ini, justru cenderung membuat SP lemah, dan menjadi kurang menarik bagi pekerja untuk menjadi
anggota,” lanjut Payaman. Banyaknya SP di perusahaan, bahkan di level fererasi dan konfederasi, telah memecah kekuatan pekerja. Padahal, menghadapi era persaingan global, yang diperlukan justru kesatuan. Jumlah SP yang lebih sedikit tapi beranggota banyak, jauh lebih baik dari jumlah SP yang banyak, dengan anggota setiap SP sedikit. Jumlah SP yang banyak, kata Payaman, telah terbukti menimbulkan berbagai masalah. Mulai dari persaingan tidak sehat antar SP, baik dalam perekrutan anggota maupun dalam menentukan wakil pekerja di Tim Perunding Perumusan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), serta dalam mencapai kesepakatan antar SP dalam setiap perundingan. SP-SP juga akan mempunyai kesulitan dalam menentukan wakilnya duduk di Lembaga Bipartit dan Lembaga Tripartit ketenagakerjaan lainnya. Padahal, masih kata Payaman, tujuan pembentukan SP justru untuk menghimpun seluruh pekerja menjadi satu gerakan yang kuat, untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sedangkan jumlah SP yang banyak, malahtidak mencerminkan semangat persatuan. Atas dasar pengamatannya, Payaman Simanjuntak mengusulkan tiga skenario yang menurutnya ideal. Pertama, hanya ada dua sampai maksimum 5 federasi SP. Kedua, SP disusun menurut sektor atau subsektor industri. Dan, ketiga, di setiap perusahaan hanya ada satu SP. Memaksimalkan Peran SP Terlepas dari jumlah SP yang dipersoalkan Payaman Simanjuntak, H. Iskandar Dwidjoyanto melihat pentingnya setiap pengurus SP meningkatkan kompetensi mereka, agar SP mamu pemaksimalkan perannya. Dalam pandangan Iskandar, pengurus SP minimal memiliki kompetensi sebagai berikut: 1. Wawasan tentang hakikat, tujuan dan fungsi SP, untuk kesejahteraan anggota. 2. Keterampilan mengelola organisasi yang bermanfaat bagi pekerja, khususnya anggota SP. 3. Bersikap dan berperilaku dengan mengedepankan komitmen untuk tujuan organisasi dan kesejahteraan pekerja. 4. Memahami dan dapat melaksanakan seluruh ketentuan UU Ketenagakerjaan sebagai eksistensi untuk kesejahteraan pekerja. No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
5
s o r o t 5. Paham bahwa SP adalah independen, dan berusaha menciptakan keharmonisan dengan manajemen untuk pelaksanaan hubungan industrial otonom di perusahaan. 6. Paham dan melaksanakan orientasi SP, sebagai upaya perbaikan ekonomi pekerja dan perusahaan. 7. Pengurus SP harus menjadi pelopor disiplin kerja dan produktivitas, untuk melaksanakan budaya kerja (corporate culture) dan budaya K3 di perusahaan (safety culture). Di luar kompetensi tersebut, tentu saja setiap Pengurus SP harus mempunyai keberanian untuk melakukan advokasi. “Sulit dibayangkan, SP mampu menjalankan advokasi pada manajemen,
kalau pengurusnya tidak punya keberanian,” ujar Iskandar, “Tapi, sekali lagi, keberanian tersebut hanya efektif dilakukan, kita mereka punya kompetensi tinggi, sehingga dapat berargumentasi dengan baik.” Pada sesi lain, Sonny Y. Soeharso mengingatkan, bahwa dalam menghadapi persaingan global, pekerja dan perusahaan justru harus bersatu. “Di sini peran SP sangat penting,” cetus Sonny, “Misalnya, dalam menyusun PKB harus ada spirit ‘kekitaan’, yang mempertemukan kepentingan pekerja dan manajemen, sehingga jadi kesatuan yang kuat.”
Peran Serikat Pekerja 1. Menampung aspirasi dan keluhan pekerja, baik anggota maupun bukan anggota. 2. Menyalurkan aspirasi dan keluhan tersebut pada manajemen atau pengusaha, secara langsung atau melalui Lembaga Bipartit. 3. Mewakili pekerja di Lembaga Bipartit. 4. Mewakili pekerja di Tim Perunding untuk merumuskan PKB. 5. Mewakili pekerja di lembaga-lembaga kerja sama ketenagakerjaan sesuai tingkatannaya, seperti Lembaga Tripartit, Dewan Pengupahan, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Dewan Pelatihan Kerja, dan lain-lain. 6. Memperjuangkan hak dan kepentingan anggota, baik secara langsung kepada pengusaha maupun melalui lembaga-lembaga ketenagakerjaan. 7. Membantu menyelesaikan perselisihan industry. 8. Meningkatkan disiplin dan semangat kerja anggota. 9. Aktif mengupayakan menciptakan atau mewujudkan hubungan industrial yang aman, harmonis, dinamis, dan berkeadilan. 10. Menyampaikan saran kepada manajemen, baik untuk penyelesaian keluh kesah pekerja maupun untuk penyempurnaan system kerja dan peningkatan produktivitas perusahaan.
6
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Sumber: Prof. Dr. Payaman Simanjuntak
s o r o t
Jumlah SP, Unit Kerja atau Basis, dan Anggota (2008) 1. Jumlah yang terdaftar 90 Federasi SP; 35 diantaranya bergabung dalam Konfederasi. 2. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia mencakup 16 Federasi, 6.779 Unit Kerja atau Basis, dengajumlah anggota 1.601.378 orang. 3. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mencakup 7 Federasi, 973 Unit Kerja atau Basis, dengan jumlah anggota 458.345 orang. 4. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera mencakup 12 Federasi, 1.559 Unit Kerja atau Basis, dengan anggota berjumlah 1.559 Unit Kerja atau Basis, dengan anggota berjumlah 337.670 orang. 5. Masih sekitar 35 Federasi SP yang belum melaporkan jumlah Unit Kerja dan jumlah anggotanya. 6. Tercatat 14 SP local dengan 174 Unit Kerja dan anggota berjumlah 26.537 orang. 7. Ada 437 SP tingkat perusahaan dengan jumlah anggota 97.924 orang. 8. Secara keseluruhan sampai akhir 2008 telah terbentuk SP di 10.786 Unit Kerja Perusahaan dengan jumlah anggota 3.405.615. Sumber: Direktorat Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial, Kementerian Tenaka Kerja dan Transmigrasi
Penguatan Organisasi SP Internal 1. Kaderisasi kepengurusan. 2. Pengembangan kompetensi pengurus. 3. Pengenalan dan pelaksanaan budaya organaisasi SP. 4. Forum komunikasi dari lini kepengurusan untuk memperkuat komitmen dan capaian organisasi. 5. Kegiatan antisipasi, penelitian, terkait dinamika sosial ekonomi, untuk anggota dan perusahaan. 6. Distribusi timbal balik antara pengurus dan anggota, terhadap fungsi SP dengan kesejahteraan pekerja anggota. 7. Harmonisasi SP dengan manajemen dan holding perusahaan dalam forum Bipartit di perusahaan. Eksternal 1. Perluasan jaringan kerja untuk kepentingan pekerja anggota. 2. Afiliasi dan forum afiliasi sebagai pemberdayaan organisasi. 3. Forum komunikasi antar SP sektoral nasional dan internasional. 4. Publikasi dan promosi organisasi. 5. Pengakuan dan citra SP.
Sumber: H. Iskandar Dwidjoyatono No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
7
W A J A H SP PT Pupuk Kaltim
Sepakat, Warna Baru Hubungan Industrial PKT
S
ejumlah karyawan PT Pupuk Kaltim (PKT) membentuk Sepakat, karena tidak puas dengan organisasi yang ada. Namun, dengan jumlah anggota yang masih sedikit, Sepakat harus berjuang ekstra agar dilibatkan dalam setiap masalah hubungan industrial.
Serikat Pekerja PT Pupuk Kaltim (Sepakat), baru berdiri pada 9 September 2009. Saat itu, ada sekitar 100 karyawan PKT yang tidak puas dengan kinerja Korps Karyawan Pupuk Kaltim (KKPKT). Mereka menganggap, KKPK belum mengakomodasi tuntutan untuk memperjuangkan kesejahteraan karyawan, baik yang bersifat jangka pendek seperti kenaikan gaji dan leveling jabatan, terlebih yang bersifat jangka panjang seperti tunjangan pensiun. KKPK juga dinilai kurang kritis terhadap kebijakan manajemen, yang cenderung merugikan
Suharyoso Ketua SP PT Pupuk Kaltim
8
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
karyawan. Sebagai organisasi yang lahir belakangan, tidak mudah bagi Sepakat untuk menarik karyawan PKT menjadi anggota, karena mereka sudah bernaung di KKPK. Karena itu, pengurus Sepakat yang dipimpin Suharyoso ini, harus bekerja keras meyakinkan karyawan PKT, antara lain tentang peran konkret Sepakat, untuk memperjuangkan hak karyawan, dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis. Sampai sekarang, anggota Sepakat hanya 300 orang, dari jumlah karyawan PKT yang mencapai 2.700 orang. Namun pengurus Sepakat tidak patah semangat. “Kita terus bertahan, dan berusaha meyakinkan teman-teman. Karena kami yakin dengan apa yang kami perjuangkan,” ujar Suharyoso. Sepakat konsisten dengan garis perjuangannya, yang lugas dan kritis terhadap kebijakan manajemen yang tidak berpihak pada karyawan, bahkan ke pengelola Yayasan Kesejahteraan Hari Tua yang dianggapnya kurang transparan. “Tapi, apa yang kami
perjuangkan, pada akhirnya, bertujuan untuk masa depan PKT juga, agar ke depan kinerjanya menjadi lebih kuat,” cetus Suharyoso, “Sebab, perusahaan akan kuat, jika memperlakukan karyawan sebagai mitra dan asset yang paling berharga.” Di PKT, memang sudah ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun, pelaksanaannya kerap tidak konsisten. “Misalnya, perusahaan berulang kali tidak memenuhi tunjangan turn around (TA), yang sudah jelasjelas diatur dalam PKB,” ungkap Suharyoso. Sayangnya, Sepakat tidak mempunyai suara dalam penyusunan dan monitoring PKB, karena ketika PKB dirumuskan jumlah anggota Sepakat masih di bawah 300 orang. Kendati anggotanya masih sangat sedikit, jauh di bawah anggota KKPKT yang mencapai 2.100 karyawan, Sepakat telah mampu memberi warna tersendiri dalam hubungan industrial di PKT. Dengan konsistensi dan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan hak karyawan, Suharyoso yakin kelak warna yang digoreskan Sepakat bakal makin tegas. Namun Suharyoso menegaskan, bahwa kehadiran Sepakat tidak untuk menafikan keberadaan KKPKT yang sudah mapan. “Kita justru ingin bekerja sama, memperjuangkan hak karyawan, sekaligus memacu kinerja perusahaan,” ujarnya.
D
I PT Semen Baturaja, hubungan industrial bergerak dengan dinamis. Tanpa merusak hubungan dengan manajemen, SP selalu berusaha memperjuangkan hak pekerja. Pada akhir 2011 kemarin, hubungan Serikat Pekerja Semen Baturaja (SPSB) sempat agak memanas. Melalui SP, karyawan PT Semen Baturaja mengajukan usul kenaikan gaji, karena dalam lima tahun terakhir, kinerja perusahaan terus menanjak. Manajemen merasa tidak nyaman dengan tuntutan itu. Gesekan pun tak terelakkan. Namun, dengan dialog intensif, pihak manajemen dan SP akhirnya menemukan kata sepakat. “Sekarang, keadaannya sudah kondusif lagi,” ujar Dedi Marzoni, Ketua SPSB. Menurut pria kelahiran Baturaja, 25 Mei 1977 itu, hubungan industrial di lingkungan PT Semen Baruraja, selalu bergerak dinamis. Dedi mengibaratkan, antara manajemen dengan SP, seperti ayah dan anak. “Biasalah. Sang ayah kadang sedikit marah pada ulah anaknya, tapi di lain waktu ia juga bisa memahami tuntutan anaknya,” ujar Dedi, yang didapuk memimpin SPSB pada September 2011. Menjalankan roda organisasi SPSB sendiri, tidak mudah. Selain dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan karyawan dan manajemen, pengurus SPSB harus cermat dengan godaan pribadi kelompok tertentu, yang berniat
memanfaatkan organisasi untuk kepentingan kelompoknya. “Karena bagaimana pun, SP merupakan organisasi strategis di perusahaan,” cetus Dedi. Dengan adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), peran SP sebetulnya lebih banyak monitoring, untuk memastikan PKB berjalan sesuai dengan seluruh poin kesepakatan di dalamnya. Namun, tetap saja, pada pelaksanaan itulah kadang terjadi beda persepsi antara karyawan dan manajemen. “Kadang-kadang, beda persepsi itu lebih disebabkan oleh miskomunikasi saja,” ucap Dedi, “Karena itu, penting sekali bagi SP untuk melakukan komunikasi secara intens, baik ke manajemen maupun karyawan.” Untuk komunikasi dengan manajemen, SPSB tidak hanya melakukannya lewat jalur formal, tetapi juga informal. Jika yang akan disampaikan pada manajemen adalah sebuah masalah, SPSB
w a j a h selalu melakukan verifikasi terhadap masalah tersebut, dengan mencari dan memperlajari seluruh data dan informasi, dan menghubungkannya dengan berbagai ketentuan yang ada. “Kami tidak mau menyampaikan masalah yang masih mentah,” tegas Dedi, yang sudah 15 tahun berkarir di PT Semen Batu Raja. Untuk masalah yang bersifat personal seperti kenaikan pangkat yang terlambat, tidak semuanya diselesaikan dengan bantuan SPSB. Kadang karyawan menghadap manajemen sendiri. “Tapi kami selalu siap membantu, kalau karyawan bersangkutan meminta secara langsung,” ujar Dedi, “Namun untuk masalah bersifat umum yang terkait dengan kepentingan seluruh atau sebagian besar karyawan, SPSB langsung turun tangan. SPSB berdiri pada 20 Maret 1999. Dengan keanggotaan secara suka rela, saat ini sekitar 87 persen, dari seluruh karyawan tetap PT Semen Batu Raja yang berjumlah 600 orang.
SP Semen Baturaja
Bergerak dengan Penuh Dinamika
Dedi Marzoni Ketua SPSB No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
9
KI N ER J A PT Inti
Karyawan Sejahtera
INTI Jaya
S
empat terseok di tengah-tengah gelombang bisnis teknologi informasi yang bergerak serba cepat, kini PT INTI bangkit untuk menapaki kembali masa kejayaannya. Semangat kerja karyawan dipacu lewat slogan “Karyawan Sejahtera, INTI Jaya”, yang sekaligus menjadi filosofi perusahaan yang mengedepankan kesejahteraan karyawan.
Irfan Setiaputra Direktur Utama PT Inti
Industri teknologi telekomunikasi, bergerak begitu cepat. Berbagai inovasi muncul dalam waktu hampir berdekatan, sehingga memperpendek usia sebuah produk. PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), yang sebetulnya merupakan pemain lama di dalam negeri dalam produksi produk telekomunikasi pun, keteteran. 10
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Namun, penyebab surutnya bisnis BUMN yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat ini, sebetulnya bukan hanya karena tak sanggup meladeni inovasi pesaing. Tapi juga disebabkan oleh organisasi yang tidak sehat. Ibaratnya, di sini terdapat “perusahaan dalam perusahaan”, karena hadirnya tiga unit bisnis strategis (SBU) di bawah payung
PT INTI. Ketiga unit itu adalah produksi telepon tetap, perlengkapan operator seluler, dan jasa solusi teknologi informasi. Dengan sistem itu, jalannya bisnis INTI tidak fokus, tidak efisien dan tanpa kontrol. Akibatnya, bertahuntahun INTI merugi. Puncaknya pada 2008, INTI rugi Rp 49 miliar. Irfan Setiaputra, yang baru didapuk menjadi Direktur Utama pada 2009, pun kaget. “Saya 15 tahun di bisnis teknologi informasi, tidak ada yang rugi seperti ini,” ujarnya. INTI sesungguhnya pernah berkibar, tapi lalu terpuruk. Sejak berstatus BUMN pada 1974, misinya yaitu menjadi tulang punggung
KI N ER J A sistem telekomunikasi nasional dan pemasok utama infrastruktur jaringan Telkom dan Indosat. Masalahnya, perkembangan teknologi yang cepat dan persaingan ketat, membuat langkah INTI terseok. Untuk membenahinya, rapat intensif digelar. Sejumlah persoalan pun ditemukan. Pertama, karyawan lebih berorientasi pada penjualan ketimbang keuntungan. Kedua, banyak proyek dikerjakan tanpa menghitung cosf of money. Misalnya, INTI pernah memenangi proyek Rp 40 miliar. Di atas kertas, untung 2 persen, tetapi begitu digarap, cosf of money-nya 7 persen. Padahal, di bisnis ini, produsen harus membeli barang dulu, lalu dijahit dan dijual. Baru kemudian dibayar. Ketiga, banyak SBU yang menghambat pertumbuhan bisnis. “Banyak bisikkan SBU harus dibubarkan,” kata lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Namun, ide ini jelas bakal ditentang. Karena itu, satu-satunya cara, manajemen baru harus meraih dulu kepercayaan karyawan. Apalagi, hampir 10 tahun, gaji karyawan tidak pernah naik. Irfan lantas membalik slogan
“INTI Jaya, Karyawan Sejahtera”, menjadi “Karyawan Sejahtera, INTI Jaya”. Caranya kontroversial. la dan jajaran manajemen menaikkan gaji karyawan 40 persen. Meski sempat dipertanyakan komisaris, ia menilai, efek psikologisnya besar. Karyawan percaya kepada manajemen baru. Bahkan, mereka punya harapan baru dan termotivasi untuk bekerja lebih baik. Di saat bersamaan, beragam fasilitas direksi justru dipangkas, seperti dihapusnya biaya dinas perjalanan Bandung-Jakarta, jatah kartu kredit dibatasi dan mobil dinas hanya untuk tugas kantor. Belum sampai satu bulan gaji dinaikkan, gebrakan berikutnya kembali dibuat. Kali ini, direksi merombak struktur bisnis. Karyawan ditugaskan sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya. Ada bagian produksi, marketing, keuangan dan fungsional. “Saya tegaskan, yang mengubah, namanya Irfan, Dirut. Jangan lupa, gaji kalian sudah naik 40 persen,” kata mantan Managing Director PT Cisco Systems Indonesia ini di hadapan direksi, kepala divisi dan kepala bagian.
Walhasil, proses reorganisasi berjalan mulus. Kinerja keuangan INTI pun mulai cemerlang. Untung diraih. Dari laba bersih Rp 3 miliar pada 2009, setahun kemudian naik menjadi Rp 5 miliar. Manajemen kemudian mulai menjajaki konsep bisnis baru INTI yang berorientasi konsumen. Salah satunya dengan meluncurkan ponsel murah merek IMO alias INTI Mobile pada pertengahan tahun ini. Ponsel seharga Rp 220-440 ribu ini membidik konsumen ponsel Cina. “Persepsi pasar positif,” kata Irfan. Sebagian besar komponen IMO memang masih dari Cina, meski INTI juga menjajaki komponen lokal. Rencana lainnya, INTI masuk pasar smartphone berbasis android dan tablet dengan harga Rp 1 jutaan. Sasarannya, lagi-lagi pangsa pasar produk murah asal Cina. Selain menjadi batu lompatan, proyek IMO ditujukan untuk membuka lapangan kerja baru di Bandung Selatan. INTI merekrut lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertahap. Saat ini, ada 75 pekerja lulusan SMK merakit 5.000 ponsel IMO per minggu. Hingga akhir 2011, diperkirakan 100 orang masuk management trainee. Untuk mengejar target laba Rp 300 miliar pada 2014, produksi ponsel akan didongkrak. Proyek jangka panjang dengan Telkom juga akan dioptimalkan. Keuntungan yang diraih rencananya dipakai untuk membangun industri bisnis konsumen. Targetnya, lima tahun ke depan, INTI memiliki produk sendiri yang dikenal luas, seperti facebook atau produk apa pun yang mengena di hati banyak orang. “Mimpi saya, untung Rp 10 triliun,” kata Irfan. “Jika sampai ke situ, kehadiran INTI di Republik tak perlu dipertanyakan lagi.” No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
11
regulasi
Tertarik Jadi Direksi Anak Perusahaan BUMN? Ini Ketentuannya
B
erikut adalah ketentuan pengangkatan anggota direksi BUMN, berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-03 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan BUMN, yang dilansir pada 29 Maret 2012.
Persyaratan untuk dapat dicalonkan 1. Syarat Formal, yaitu orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu BUMN, Anak Perusahaan dan/atau Perusahaan dinyatakan pailit; c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, Anak Perusahaan, Perusahaan, dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. 2. Syarat Materiil terhadap Calon Anggota Direksi, yaitu meliputi: a. Pengalaman, dalam arti yang bersangkutan memiliki rekam jejak (track record) yang menunjukan keberhasilan dalam pengurusan BUMN/Anak Perusahaan/ Perusahaan/Lembaga tempat yang bersangkutan bekerja sebelum pencalonan. b. Keahlian, dalam arti yang bersangkutan: 1) memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perusahaan yang bersangkutan; 2) memiliki pemahaman terhadap manajemen dan tata kelola perusahaan; 3) memiliki kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan strategis dalam rangka pengembangan perusahaan. c. Integritas, dalam arti yang bersangkutan tidak pernah terlibat: 1) Perbuatan rekayasa dan praktek-praktek menyimpang pada tempat yang bersangkutan bekerja sebelum pencalonan (berbuat tidak jujur); 2) Perbuatan cidera janji yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati 12
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
pada tempat yang bersangkutan bekerja sebelum pencalonan (berperilaku tidak baik); 3) Perbuatan yang dikategorikan dapat memberikan keuntungan secara melawan hukum kepada yang bersangkutan dan/atau pihak lain sebelum pencalonan (berperilaku tidak baik); 4) Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pengurusan perusahaan yang sehat (berperilaku tidak baik). d. Kepemimpinan, dalam arti yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk: 1) Memformulasikan dan mengartikulasikan visi perusahaan. 2) Mengarahkan pejabat dan karyawan perusahaan agar mampu melakukan sesuatu untuk mewujudkan tujuan perusahaan. 3) Membangkitkan semangat (memberi energi baru) dan memberikan motivasi kepada pejabat dan karyawan perusahaan untuk mampu mewujudkan tujuan perusahaan. e. Memiliki kemauan yang kuat (antusias) dan dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan perusahaan yang bersangkutan. 3. Syarat Lain, yang meliputi: a. bukan pengurus partai politik, dan/atau anggota legislatif, dan/atau tidak sedang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif; b. bukan kepala/wakil kepala daerah dan/atau tidak sedang mencalonkan diri sebagai calon kepala/wakil kepala daerah; c. berusia tidak melebihi 58 tahun ketika akan menjabat Direksi; d. tidak sedang menjabat sebagai pejabat pada Lembaga, Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas pada
regulasi BUMN, Anggota Direksi pada BUMN, Anak Perusahaan dan/atau Perusahaan, kecuali menandatangani surat pemyataan bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut jika terpilih sebagai Anggota Direksi Anak Perusahaan. e. tidak sedang menduduki jabatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Anggota Direksi, kecuali menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut jika terpilih sebagai Anggota Direksi. f. tidak menjabat sebagai Anggota Direksi pada perusahaan yang bersangkutan selama 2 (dua) periode berturut-turut. g. sehat jasmani dan rohani (tidak sedang menderita suatu penyakit yang dapat menghambat pelaksanaan tugas sebagai Anggota Direksi) yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari rumah sakit pemerintah.
Prosedur Pengangkatan 1. Dalam rangka melaksanakan proses pemilihan Calon Direksi dan Calon Komisaris, Direksi BUMN membentuk Tim Evaluasi yang diketuai oleh anggota Direksi BUMN yang membidangi sumber daya manusia. 2. Anggota Tim Evaluasi tidak diperkenankan untuk dicalonkan sebagai Calon Direksi dan Calon Komisaris. Tim Evaluasi bertugas untuk: a. Menunjuk tenaga ahli atau Lembaga Profesional untuk melakukan Penilaian, jika diperlukan; b. Melakukan penjaringan dan penilaian terhadap Calon Direksi dan Calon Komisaris; c. Menetapkan hasil evaluasi akhir penilaian untuk disampaikan kepada Direksi BUMN guna mendapatkan penetapan; d. Menyiapkan hasil evaluasi akhir yang telah ditetapkan oleh Direksi BUMN guna disampaikan oleh Direksi BUMN kepada Komisaris/Dewan Pengawas dan/atau Menteri Negara BUMN, jika diperlukan; e. Melakukan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan butir a, b, c, dan d. Proses Penjaringan Calon Direksi, dapat berasal dari: 1. Anggota Direksi Anak Perusahaan yang sedang menjabat; 2. Pejabat internal Anak Perusahaan setingkat di bawah Direksi; 3. Pejabat internal BUMN yang bersangkutan serendahrendahnya dua tingkat dibawah Direksi, atau jabatan yang lebih rendah sesuai dengan tingkatan Anak Perusahaan yang bersangkutan dalam struktur organisasi BUMN yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh Direksi;
4. Sumber lain yang telah memiliki reputasi yang baik, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tim Evaluasi bertugas untuk: a. Tim Evaluasi menerima usulan dan mencari informasi bakal Calon Direksi dan bakal Calon Komisaris dari berbagai sumber. b. Tim Evaluasi melakukan seleksi berdasarkan kriteria dan persyaratan administrasi yang ditetapkan (CV, dokumen lain, dan informasi yang diterima) untuk menyusun Daftar Bakal Calon (long list) sebanyak minimal 5 (lima) orang calon untuk masing-masing jabatan anggota Direksi, dan untuk jabatan Dewan Komisaris, minimal 3 (tiga) kali lipat jumlah jabatan Dewan Komisaris yang lowong. c. Tim Evaluasi menyerahkan Daftar Bakal Calon (long list) kepada Direksi BUMN untuk memperoleh persetujuan.
Proses Penilaian 1. Tim Evaluasi melakukan Penilaian terhadap bakal calon yang namanya tercantum dalam Daftar Bakal Calon (long list) yang telah disetujui oleh Direksi BUMN untuk memperoleh calon-calon terbaik yang akan diusulkan kepada Direksi BUMN sebagai Calon Direksi. 2. Dalam melakukan Penilaian terhadap bakal Calon Direksi, Tim Evaluasi dapat menggunakan ahli atau Lembaga Profesional. 3. Ahli atau Lembaga Profesional bersifat independen, mempunyai reputasi baik, memiliki fungsi melaksanakan assessment, dan hasil assessment hams memenuhi prinsipprinsip Good Corporate Governance. 4. Bakal Calon Direksi yang dinilai harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Tim Evaluasi dan/atau Lembaga Profesional. 5. Apabila dipandang perlu, Direksi BUMN dapat menggunakan lebih dari 1 (satu) Lembaga Profesional. Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Lembaga Profesional, maka hasil Penilaian disampaikan oleh Lembaga Profesional kepada Tim Evaluasi untuk dievaluasi. Hasil Penilaian ditetapkan dalam Daftar Calon (short list) yang terdiri dari 3 (tiga) orang untuk masing-masing jabatan anggota Direksi dengan ranking nilai terbaik. Tim Evaluasi menyampaikan Daftar Calon (short list) kepada Direksi BUMN untuk penetapan Calon Direksi terpilih. Penyampaian Daftar Calon (short list) kepada Direksi BUMN disertai dengan penjelasan mengenai proses penetapannya dan lampiran hasil penilaian lengkap.
Proses Penetapan Direksi BUMN melakukan evaluasi akhir atas hasil Penilaian untuk menetapkan masing-masing 1 (satu) Calon Direksi No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
13
regulasi terpilih untuk masing-masing jabatan anggota Direksi. Jika dianggap perlu, Direksi BUMN dapat menggunakan langsung hasil Penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Profesional dalam menetapkan Calon Direksi terpilih. Dalam hal tidak diatur lain dalam Anggaran Dasar BUMN, Direksi BUMN mengajukan Calon Direksi atau Calon Komisaris untuk ditetapkan dalam RUPS Anak Perusahaan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan yang bersangkutan. Khusus untuk Calon Direksi, pengajuan untuk ditetapkan dalam RUPS, dilakukan setelah Calon Direksi yang bersangkutan menandatangani kontrak manajemen. Anggaran Dasar BUMN dapat mengatur bahwa Direksi BUMN meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas BUMN atau RUPS/Menteri, sebelum menetapkan seseorang sebagai Direksi atau Dewan Komisaris Anak Perusahaan. Dalam hal Anggaran Dasar BUMN mewajibkan Direksi BUMN untuk meminta persetujuan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN terlebih dahulu, pelaksanaannya dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Direksi BUMN menyampaikan Calon Direksi dan Calon Komisaris terpilih kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN disertai penjelasan mengenai proses penjaringan, proses Penilaian, dan proses penetapan Calon Direksi dan Calon Komisaris terpilih. b. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN melakukan penilaian terhadap proses penjaringan, Penilaian dan penetapan yang dilakukan oleh Direksi BUMN untuk memberikan penetapan tertulis (setuju atau tidak setuju). c. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN sudah hams memberikan penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b, kepada Direksi BUMN dalam waktu selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kalender, terhitung sejak tanggal diterimanya Calon Direksi dan Calon Komisaris dari Direksi BUMN. d. Dalam hal Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN belum atau tidak memberikan penetapan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf c, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dianggap telah menyetujui usulan Direksi BUMN. e. Calon Direksi yang telah disetujui oleh Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas BUMN menandatangani Kontrak Manajemen dengan Direksi BUMN sebelum ditetapkan 14
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
menjadi anggota Direksi dalam RUPS Anak Perusahaan yang bersangkutan. f. Setelah memperoleh persetujuan tertulis Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas BUMN dan kontrak manajemen yang telah ditandatangani (khusus untuk Calon Direksi), Direksi BUMN mengajukan Calon Direksi atau Calon Komisaris untuk ditetapkan dalam RUPS Anak Perusahaan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal Anggaran Dasar BUMN mewajibkan Direksi BUMN untuk meminta persetujuan RUPS/Menteri terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pelaksanaannya dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Sebelum Direksi meminta persetujuan RUPS/Menteri, Direksi BUMN terlebih dahulu meminta pendapat tertulis Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dengan mekanisme sebagaimana diatur pada ayat (1). b. Direksi BUMN menyampaikan Calon Direksi dan Calon Komisaris terpilih kepada Menteri Negara BUMN melalui Sekretaris Kementerian BUMN disertai pendapat tertulis Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN atau keterangan mengenai terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, serta penjelasan mengenai alasan pergantian, proses penjaringan, proses Penilaian, dan proses penetapan Calon Direksi dan Calon Komisaris terpilih untuk mendapatkan penetapan tertulis (setuju atau tidak setuju). c. RUPS/Menteri Negara BUMN memberikan penetapan tertulis kepada Direksi BUMN dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya usulan Direksi sebagaimana dimaksud pada huruf b. d. Calon Direksi yang telah disetujui oleh RUPS/Menteri Negara BUMN, menandatangani Kontrak Manajemen dengan Direksi BUMN sebelum ditetapkan menjadi anggota Direksi dalam RUPS Anak Perusahaan yang bersangkutan. e. Setelah memperoleh persetujuan RUPS/Menteri Negara BUMN dan kontrak manajemen yang telah ditandatangani (khusus untuk Calon Direksi), Direksi BUMN mengajukan Calon Direksi atau Calon Komisaris untuk ditetapkan dalam RUPS Anak Perusahaan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal anggaran dasar BUMN mengatur prosedur yang berbeda dengan ketentuan dalam Pasal ini, maka ketentuan anggaran dasar yang diberlakukan.
E
t
o
s
K
ita mungkin sering menemukan orangorang yang biasa datang terlambat; entah itu dalam sebuah rapat atau dalam sebuah pertemuan penting? Pernahkah Anda menjumpai orang yang biasa mengeluh, biasa gosip, biasa membicarakan keburukan orang lain, biasa manipulasi, biasa bohong, biasa menunda pekerjaan, biasa mengumbar janji, biasa melanggar aturan, biasa lari dari tanggung jawab, biasa mencari kambing hitam, biasa menyalahkan orang lain, biasa menyombongkan diri? Atau mungkin secara tidak sadar kita sendiri juga memiliki kebiasaankebiasaan tersebut dalam keseharian kita?
Serigala dalam Diri Kita
Saya teringat sebuah perumpaan yang menarik. Dalam tubuh kita sebenarnya ada dua “serigala”, yakni serigala yang baik dan serigala yang jahat. Kedua serigala ini selalu berbenturan dan tidak saling mendukung. Serigala baik selalu mengajar kita untuk menjaga perilaku, perkataan, kebiasan yang positif dan bernilai sementara serigala yang jahat selalu menggoda kita untuk menunda-nunda, malas, dan sesekali mengajak kita melanggar aturan. Lantas, serigala mana yang akan lebih banyak kita beri makan? Atau, serigala mana yang mau kita pelihara hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun? Itu bergantung pada kebiasaan kita. Seperti kata sebuah pepatah, “You are what you repeatedly do.” Anda adalah apa yang Anda lakukan berulang-ulang! Bagaimana sampai terbentuknya sebuah kebiasaan? Berawal dari sikap mental seseorang, bagaimana pola pikirnya akan suatu hal akan mempengaruhi tindakan dan perilakunya seharihari. Tindakan dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang, lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan. Contoh yang paling sederhana adalah membuang sampah. Jika seseorang menganggap membuang sampah sembarangan adalah hal yang lumrah, maka tindakan dan perilakunya akan masa
bodoh jika ia membuang sampah sembarangan, sehingga perilaku ini sudah mendarah daging dan terbentuklah sebuah kebiasaan. Terkadang di perjalanan saya mengamati, bagaimana seseorang yang berada dalam mobil mewahnya, dengan santai membuka kaca dan membuang berlembar-lembar kertas tisu ke luar. Contoh yang paling populer adalah kebiasaan terlambat atau ‘jam karet’. Mendapat undangan rapat jam 9, baru tiba jam 10, karena menganggap sudah biasa dan sudah menjadi tradisi di sini kalau undangan rapat pasti ‘ngaret’ jamnya. Jika seseorang memegang teguh nilai-nilai positif dalam hidupnya maka hal tersebut akan tercermin lewat sikap mentalnya sehingga mempengaruhi tindakannya sehari-hari. Akan tetapi jika nilai-nilai yang dipegang dalam hidupnya hanya egoisme, memikirkan perut sendiri, malas, tidak mau berusaha, selalu negatif kepada orang lain, maka saya khawatir tindakannya akan mengikuti nilai dan pola pikir yang dipelihara sehingga membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang positif tentu memiliki nilai manfaat yang positif bagi hidup kita dan orang lain, akan tetapi sebaliknya kebiasaan yang negatif tidak memberi nilai tambah untuk hidup kita dan orang di sekitar kita. Jika kita mau menjadi yang terbaik di bidang kita masing-masing, mulailah periksa selama ini kebiasaan seperti apa yang kita pelihara. No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
15
dinamika
Hubungan
Industrial Award
1
M
2
emperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei, Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) dan Serikat Pekerja Antara Perjuangan (SPAP) menggelar acara Penganugerahan Hubungan Industrial Award. Acara tahunan ini, berlangsung pada 2 Mei, di Wisma Antara, Jakarta. Hubungan Industrial Award, diberikan pada individu, Serikat Pekerja (SP) BUMN, dan manajemen BUMN yang dinilai mempunyai kontribusi besar dalam menciptakan hubungan industrial di BUMN. Penilain dilakukan oleh tim juri independen, yang memahami perkembangan hubungan industrial di setiap BUMN. Hubungan Industrial Award tahun ini, dianugrahkan pada Persatuan Pekerja PT Antam (Perpantam) untuk kategori SP BUMN, Perum LKBN Antara untuk kategori manajemen BUMN, dan Abdul
16
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Latif Algaff (mantan Ketua SP Jamsostek yang sekarang menjadi Ketua Umum FSP BUMN) sebagai aktivis SP BUMN. Kemudian, ada penghargaan khusus dengan kategori Lifetime Achievement, yang kali ini diberikan pada Junino Jahja. Direktur Utama Perum Peruri ini, dikenal sebagai pribadi yang mempunyai perhatian besar pada keberadaan SP di BUMN, dan pernah merintis berdirinya SP saat masih di PT Indosat. Penyerahan award dilakukan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI dan Jamsostek) Ruslan Irianto Simbolon. “Acara yang sangat bagus dalam memperingati hari buruh, untuk memacu semangat hubungan industrial ytang harmonis khususnya di lingkungan BUMN. Saya berharap acara seperti ini terus ada, karena memberikan influence yang baik,” ujar Irianto Simbolon, dalam kata sambutannya.
dinamika
3
5 4 KETERANGAN FOTO 1. Pembukaan oleh Ketua Panitia Adi Lazuardy. 2. Juri HI award. 3. Penerima award HI. 4. Penyerahan buku. 5. Penyerahan Award kepada Junino Jahja oleh Irianto Simbolon. 4,7,8. Penyerahan buku. 6. Penyerahan buku kepada Saiful Hadi, Direktur Pemberitaan Antara. 9. Ketua Perpantam Abdul Sadat menerima Award.
6
7
8
9 No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
17
dinamika
Ruslan Irianto Simbolon Dirjen PHI dan Jamsostek
Langsung
Tancap Gas
T
idak lama setelah dilantik sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI dan Jamsostek) oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (14/3/2012), Ruslan Irianto Simbolon, langsung tancap gas. Menteri Muhamin meminta Irianto untuk segera menuntaskan revisi komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang menjadi acuan survei untuk penyusunan rekomendasi penetapan upah minimum pekerja. “Dirjen harus langsung bekerja menciptakan pelaksanaan pembinaan hubungan industrial yang harmonis,” ujar Muhaimin. Secara khusus, Irianto juga menyoroti keberadaan serikat pekerta (SP), yang selama ini dianggap pembentukannya terlalu mudah. “Dengan syarat jumlah anggota minimum dalam pembentukan SP yang hanya 10 orang menimbulkan banyak masalah,” ujarnya, “Jumlah SP jadi terlalu banyak sehingga harus diperketat.” 18
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Terlalu banyaknya SP di sebuah perusahaan, lanjut Irianto, hanya akan mempersulit proses negosiasi antara perusahaan dan karyawan. Para investor sudah banyak yang mengeluhkan hal tersebut karena sering menghambat proses produksi. Lantas, Irianto menyampaikan rencananya untuk memperketat syarat pembentukan SP, menjadi minilai 30 persen dari total pekerja di perusahaan tersebut. “Nanti akan kita gunakan sistem persentase jumlah karyawan biar lebih ketat,” kata Irianto. Jabatan sebagai Dirjen PHI dan Jamsostek, sekaligus menghantarkan Irianto menjadi Ketua Dewan Pengupahan, forum tripartit beranggotakan perwakilan pemerintah, pengusaha, dan pekerja, yang bertugas menyurvei harga-harga KHL dan menyusun rekomendasi penetapan upah. Irianto sebelumnya menjabat Direktur Persyaratan Kerja, Kesejahteraan, dan Analisis Diskriminasi. Ia dipromosikan menggantikan Myra Maria Hanartani yang pensiun.
dinamika
PKB Perum Jasa Tirta II
S
Penandatanganan PKB Perum Jasa Tirta II, oleh Direksi PJT II Sekar PJT II, disaksikan Ketua Umum FSP BUMN. Acara digelar pada 5 Maret 2012, di Jatiluhur.
erikat Karyawan (Sekar) Perum Jasa Tirta II telah mencapai kesepakatan dalam pelaksanaan hubungan industrial, yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Penandatanganan PKB tersebut, dilakukan dalam sebuah acara khusus, yang dihadiri oleh Direksi Perum Jasa Tirta (PJT) II, Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN, Pengurus Sekar PJT II, Ketua Forum Komunikasi PJT II, dan perwakilan karyawan PJT II. Acara penandatanganan berlangsung pada 5 Maret 2012, di Grha Citarum, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Pada kesempatan itu, Direksi PJT II dan Ketua Sekar menyatakan kelegaannya karena sudah menyepakati sejumlah ketentuan penting dalam PKB. Kedua pihak berjanji untuk melaksanakannya secara konsisten, agar tercipta hubungan industrial yang harmonis.
FORMULIR BERLANGGANAN Media KOMUNIKASI, Advokasi, dan Edukasi Pekerja BUMN
Formulir dikirim ke alamat Redaksi Majalah GARDA BUMN Gedung JAMSOSTEK Lt. 10 Jl. Jend. Gatot Subroto No. 79, Jakarta Selatan 12930 Telp. [021] 520 7797 Ext 4010 Fax. [021] 5202304
[email protected] Harga Belum Termasuk Biaya Pengiriman
Saya ingin dicatat sebagai pelanggan Majalah GARDA BUMN Nama:___________________________________________________________________ Perusahaan:______________________________________________________________ Alamat:__________________________________________________________________ ________________________________________________________________________ Telp./Fax:_________________________________________________________________ Dengan Jumlah Eksemplar pada setiap edisi: (pilih salah satu) 25 eks Rp 250.000,-
50 eks Rp 500.000,-
75 eks Rp 750.000,-
Bank Agro Cabang Gedung Jamsostek, Rek. 01-30-34-0806 a/n Federasi SP BUMN
Contact Person Rudi Firmana 0817 6661 966 No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
19
Advokasi
Perlukah UU BUMN
Diamandemen?
W
acana penggantian UU BUMN mulai bergulir, bahkan di lingkungan Kementerian BUMN sendiri. Di mana letak kelemahan UU tersebut?
Keberadaan BUMN sebagai perwujudan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikuasai negara, merupakan latar belakang lahirnya Undang-Undang BUMN No 19 Tahun 2003. Dengan konstitutional tersebut, negara mengatur seluruh penguasaan ekonomi melalui dua cara, yaitu regulasi sektoral dan kepemilikan negara terhadap BUMN. BUMN memiliki peranan penting dan strategis yakni sebagai pelaksana peran pelopor sektor usaha di mana swasta belum tertarik untuk menggelutinya, pengelola bidang usaha strategis, pelaksana pelayanan publik, sebagai penyeimbang kekuatan swasta besar, dan salah satu sumber penerimaan negara serta turut membimbing ekonomi lemah. Maksud pemerintah untuk 20
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
mengundangkan UU No 19 Tahun 2003 adalah untuk menciptakan sistem, pengelolaan, pengawasan dan pertanggungjawaban BUMN berlandaskan prinsip efisiensi, efektivitas dan kemandirian berdasar system korporasi, sehingga BUMN terhindar dari tindakantindakan eksploitasi di luar asas dan mekanisme korporasi yang sehat. Selain itu juga ditata dan dipertegas lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang saham, dan memperjelas hubungan BUMN dengan lembaga pemerintah lainnya sebagai regulator. Tak kalah pentingnya adalah pengaturan soal privatisasi dan hal-hal lain yang mendukung penyehatan dan
pemberdayaan BUMN. Sejak lahirnya UU BUMN tersebut, kinerja BUMN memang terus meningkat. Begitu pula kontribusi dan peran BUMN dalam perekonomian nasional. Secara umum, kinerja BUMN terus menunjukkan pertumbuhan positif setiap tahunnya. Bila ada penurunan dividen, hal tersebut lebih disebabkan kebijakan penetapan payout ratio yang lebih moderat untuk mendukung investasi BUMN. Walau terjadi perubahan fundamental pada kinerja BUMN setelah adanya UU BUMN No 19 tahun 2003 tersebut, masih terdapat hal-hal yang mengganjal dan jadi permasalahan pelaksanaan UU
advokasi
BUMN. Hal ini diungkapkan oleh Wahyu Hidayat, mantan Staf Ahli Menteri BUMN bidang SDM dan teknologi. Permasalahan itu yakni antara lain soal pengertian kekayaan negara yang dipisahkan, menjadi multitafsir karena tidak ada kesamaan persepsi di kalangan instansi dan lembaga negara. Kemudian, modal Perum tidak terbagi atas saham, sehingga sulit membedakan antara kekayaan Perum dengan kekayaan negara yang dipisahkan. “Pengertian Menteri BUMN sendiri yang menimbulkan kerancuan, karena secara prinsip kedudukan Menteri dapat sebagai pemegang saham atau pemilik modal dan sekaligus juga sebagai pejabat public,” tutur Wahyu Hidayat. Masalah lainnya, rumusan mengenai pengertian Persero, PT yang sahamnya dimiliki oleh Negara sebesar >50%–<51% tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN. Padahal kontrol terhadap PT seperti itu masih berada di tangan negara sebagai pemegang saham mayoritas. Terkait istilah privatisasi, seringkali diartikan sebagai penyerahan kepemilikan saham kepada masyarakat. Hal tersebut kurang sejalan dengan protokol pasar modal yang mengartikan go private sebagai pengembalian saham publik kepada kepemilikan subjek hukum perdata tertentu. Karenanya, istilah “privatisasi” perlu diubah dengan istilah yang sesuai dengan maksud “privatisasi” dalam konteks BUMN. Kemudian, perlu adanya perlakuan khusus terhadap BUMN dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang ikut mengatur BUMN. “Setidaknya, ada
15 UU lain yang ikut mengatur BUMN yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penerapan ketentuan perundang tersebut dalam pembinaan dan pengelolaan BUMN,” jelas Wahyu Hidayat. Sumber Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN juga jadi permasalahan. Dalam UU BUMN, sumber penyertaan modal negara disamakan antara penyertaan dalam rangka pendirian, penambahan penyertaan modal dan penyertaan pada PT yang belum ada saham negara. Ini menimbulkan komplikasi hukum karena ternyata terdapat sumber penyertaan modal yang tidak dapat diterapkan dalam konteks penyertaan pada semua kondisi, seperti penyertaan dari konversi hutang tidak dapat dilakukan dalam rangka “pendirian BUMN.” Perlu penegasan pemberlakukan sistem pengelolaan PT terhadap pengelolaan Persero, karena dalam UU BUMN, terdapat beberapa materi yang diadopsi dari UU PT yang lama, sehingga dengan adanya perubahan UU PT (UU 40/2007) beberapa ketentuan tersebut menjadi tidak relevan. Juga, perlu penegasan Menteri BUMN sebagai wakil negara selaku pemegang saham. Dalam UU BUMN, ditegaskan bahwa Menteri BUMN adalah Menteri yang ditunjuk sebagai pemegang saham, sedang dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditegaskan bahwa Menteri Keuangan diberi kuasa sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Kedua ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga seakan-akan terdapat dualisme wakil pemerintah sebagai
pemegang saham. Persoalan pemeriksaan eksternal pun menjadi agenda dalam perubahan UU BUMN ini. Selama ini tidak tegas peraturan mengenai siapa yang berwenang mengaudit BUMN, sehingga sering timbul dualisme dalam pemeriksaan BUMN, baik yang dilakukan oleh BPK maupun yang dilakukan KAP. UU BUMN juga diharapkan dapat mengatur adanya sinergi BUMN agar tidak lagi muncul keragu-raguan dalam pelaksanaan sinergi antar BUMN, yang dapat menghambat peningkatan kinerja BUMN. Di samping itu, UU BUMN juga akan menegaskan bahwa piutang BUMN bukan piutang negara sehingga itu juga akan berdampak pada upaya peningkatan kinerja BUMN. Selain hal-hal di atas, yang patut jadi perhatian adalah apapun hal yang menjadi alasan urgen perubahan UU BUMN, itu semua harus kembali pada tujuan perubahan UU BUMN itu sendiri yaitu untuk menegakkan, pengelolaan dan pengawasan BUMN berdasarkan sistem korporasi yang sehat dan prinsip-prinsip pengeloaan badan usaha pada umumnya. Kemudian, UU BUMN yang baru nanti diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan dan pengawasan BUMN yang sudah terharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Akhirnya, perubahan UU BUMN akan lebih meningkatkan kualitas kinerja dan integritas, profesionalitas, serta akuntabilitas dalam sistem, pengelolaan dan pengawasan BUMN guna menghasilkan badan usaha yang tangguh dalam iklim persaingan usaha di tingkat lokal maupun global. No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
21
s a j i a n khusus
P
elaksanaan hubungan industrial, sangat berpengaruh pada kinerja sebuah perusahaan.Namun, baiknya pelaksanaan hubungan industrial, ditentukan berbagai faktor yang bisa disebut sebagai sarana hubungan industrial, sebagai berikut. Peraturan Perusahaan Peraturan perusahaan memuat ketentuan mengenai kewajiban dan hak pe kerja serta kewenangan dan kewajiban pengusaha. Karena itu, peraturan pe rusahaan mestinya sudah tersusun dan ditetapkan oleh pengusaha pada saat atau segera sesudah mendirikan perusahaan dan resmi mempekerjakan orang. Pekerja antara lain wajib melakukan pe kerjaan yang ditugaskan kepadanya dan terselesaikan menurut kualitas dan dalam kurun waktu tertentu. Di lain pihak pekerja berhak memperoleh upah dan jaminan sosial sebagai imbalan atas jasa kerjanya serta perlindungan atas keselamatan dan kesehatannya. Pengusaha mempunyai wewenang mengatur sistem kerja, pembagian fungsi, pembagian kerja dan tim kerja, dan berkewajiban memenuhi hakhak pekerja. Peraturan perusahaan pada dasarnya dibuat secara sepihak oleh pengusaha. Namun demikian peraturan perusahaan harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perusahaan harus dapat menjadi pedoman bagi pengusaha dan pekerja dan untuk 22
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Mengenal Sarana
Hubungan Industrial dipatuhi oleh kedua pihak. Peraturan perusahaan memuat ketentuan antara lain mengenai: a. hari kerja, jam kerja dan waktu lembur; b. waktu istirahat kerja dan cuti; c. skala upah, tunjangan dan bonus, d. program keselamatan dan kesehatan kerja; e. ketentuan dan tindakan disiplin, f. perawatan kesehatan dan pengobatan; g. program kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Lembaga Bipartit Lembaga atau forum bipartit adalah forum konsultasi antara wakil pengusaha dan wakil pekerja. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 orang atau lebih, wajib membentuk lembaga bipartit. Wakil pekerja perlu diupayakan mewakili unit-unit kerja dan kelompok golongan jabatan pekerja. Bila di perusahaan telah terbentuk serikat
pekerja (SP), maka beberapa pengurus SP dapat mewakili pekerja di lembaga bipartit dengan atau tanpa tambahan dari unit-unit. Pengusaha dapat diwakili oleh beberapa orang direksi dan pimpinan unit. Jumlah wakil pengusaha tidak perlu sama dengan jumlah wakil pekerja karena forum bipartit tidak mengambil keputusan menurut suara terbanyak atau secara voting. Fungsi utama lembaga bipartit adalah untuk menampung dan menyelesaikan keluhan dan tuntutan pekerja serta masalahmasalah hubungan industrial pada umumnya. Lembaga bipartit perlu menerima dan segera menanggapi keluhan pekerja sebelum terakumulasi menjadi masalah dan potensi perselisihan. Lembaga bipartit dapat digunakan sebagai forum membahas penyempumaan peraturan perusahaan, atau forum dialog mempersiapkan negosiasi atau memperbaharui perjanjian kerja bersama.
sa j i a n k h u sus Serikat Pekerja Partisipasi pekerja dalam hubungan industrial dapat dilakukan secara langsung dan atau melalui sistem perwakilan dalam bentuk SP. Sebab itu, partisipasi pekerja dalam hubungan industrial, juga merupakan perwujudan hak dan kebebasan pekerja berorganisasi dan mengeluarkan pendapat. Pertama, SP mempunyai fungsi kanalisasi, yaitu fungsi menyalurkan aspirasi, saran, pandangan, keluhan bahkan tuntutan masing-masing pekerja kepada pengusaha. Dan sebaliknya, SP berfungsi sebagai saluran informasi yang efektif dari pengusaha kepada para pekerja. Kedua, dengan memanfaatkan jalur dan mekanisme SP, pengusaha dapat menghemat waktu yang cukup besar menangani masalah-masalah ketenagakerjaan, dalam mengakomodasikan saransaran mereka, serta untuk membina para pekerja maupun dalam memberikan pe rintah-perintah, daripada melakukannya secara individu terhadap setiap pekerja. Ketiga, penyampaian saran dari pekerja kepada pimpinan perusahaan dan perintah dari pimpinan kepada para pekerja, akan lebih efektif melalui SP, karena SP sendiri dapat menseleksi jenis tuntutan pekerja yang realistis dan logis, serta menyampaikan tuntutan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti dan diterima oleh pimpinan perusahaan. Keempat, dalam manajemen modern yang menekankan pendekatan hubung an antar manusia (human relation approach), diakui bahwa hubungan non formal dan semi formal lebih efektif daripada atau sangat diperlukan untuk mendukung hubungan formal. Dalam hal ini SP dapat berfungsi sebagai mitra pengusaha dalam mengembangkan hubungan semi formal. Kelima, sebagai mitra pengusaha, SP dapat memobilisasikan seluruh pekerja sebagai anggotanya untuk bekerja secara disiplin, bertanggungjawab, dan penuh semangat. Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama sama halnya
dengan Peraturan Perusahaan memuat ketentuan mengenai kewenangan dan kewajiban pengusaha, serta kewajiban dan hak pekerja. Perbedaannya adalah bahwa Peraturan Perusahaan disusun secara sepihak oleh pengusaha dengan atau tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pekerja, kemudian disahkan oleh Pemerintah. Perjanjian Kerja Bersama atau PKB adalah peraturan perusahaan sebagai hasil perundingan atau kesepakatan pengusaha dengan wakil pekerja. Peraturan Perusahaan atau PKB yang baik dan mencerminkan Hubungan Industrial Pancasila seharusnya terbentuk bukan dari persetujuan yang terpaksa antara pihak-pihak yang ingin mencapai tujuan yang berbeda tetapi merupakan persetujuan yang menyatakan kehendak pengusaha dan pekerja untuk meningkatkan produktivitas dan kondisi kerja dalam perusahaan, supaya dengan demikian meningkatkan kesejahteraan pengusaha dan pekerja. Disamping ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat, pengupahan dan jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, serta ketentuan dan tindakan disiplin sebagaimana dimuat dalam peraturan perusahaan, PKB juga memuat ketentuan mengenai SP, fasilitas yang disediakan pe rusahaan untuk SP, dan pelaksanaan berunding bersama dengan pengusaha. Lembaga Tripartit Lembaga atau forum tripartit adalah forum konsultasi antara wakil-wakil SP, asosiasi pengusaha dan pemerintah. Fungsi utama lembaga tripartit adalah membantu Pemerintah merumuskan kebijakan ketenagakerjaan pada umumnya dan menyelesaikan masalah-masalah hubungan industrial. Lembaga tripartit dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat lokal sampai ke tingkat kabupaten, propinsi hingga ke tingkat pusat/nasional. Disamping itu, terdapat beberapa lembaga yang beranggotakan unsur tripartit seperti Dewan Penelitian Pengupahan, Dewan pelatihan Kerja, Dewan Produktivitas, dan Dewan Keselama-
tan dan Kesehatan Kerja, dan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Setiap keluhan, perbedaan pendapat atau tuntutan pekerja diharapkan dapat diselesaikan di lembaga bipartit. Bila lembaga bipartit tidak mampu menyelesaikannya, maka kasus dinyatakan sebagai perselisih an hubungan industrial. Dengan demikian wakil pengusaha dan atau wakil pekerja dapat meminta jasa perantaraan dari instansi Pemerintah yaitu mediator dari konsiliator. Bila mediator atau konsiliator tidak berhasil menyelesaikan, maka kasus perselisihan industrial dan dimintakan untuk diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial. Peraturan-Perundangan Ketenagakerjaan Peraturan-perundangan ketenagakerjaan pada dasamya mencakup ketentuan sebelum bekerja, selama bekerja dan sesudah bekerja. Peraturan sebelum bekerja menyangkut pendaftaran lowongan dan pencari kerja, pengerahan tenagakerja secara lokal atau antar daerah atau ke luar negeri, dan menyangkut pelatihan. Peraturan selama bekerja mencakup ketentuan jam kerja dan istirahat, pengupahan, perlindungan, penyelesaian perselisihan industrial dan lain-lain. Peraturan sesudah tidak bekerja mencakup jaminan kecelakaan, jaminan hari tua dan lain-lain. Pendidikan Hubungan Industrial Pendidikan hubungan industrial diperlukan terutama bagi para pimpinan SP dan pimpinan perusahaan, supaya mereka memahami prinsip-prinsip hubungan industrial, peraturan-perundangan ketenagakerjaan, peranan dan fungsi lembagalembaga ketenagakerjaan, serta meningkatkan kemampuan mereka berorganisasi, berunding bersama, dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Sumber: Prof. Dr. Payaman Simanjuntak No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
23
f i g u r
>> Iskandar, Dirut PT Biofarma
Baik untuk Karyawan, Baik Juga untuk Perusahaan
P
T Biofarma terus melejit, sebagai industri farmasi yang bermain di pentas pasar global. Di bawah kepemimpinan Iskandar, sebagai Dirut, manajemen PT Biofarma menjalankan kebijakan dengan spirit kebajikan.
24
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
Di seantero muka bumi, hanya ada 23 industri farmasi yang memproduksi vaksin dengan registrasi dari World Health Organization (WHO). Salah satunya, adalah PT Biofarma. Dengan pemasaran yang 60 persen di arahkan ke pasar ekspor di 117 negara, BUMN yang sudah berusia 121 tahun ini, telah menjelma menjadi perusahaan kelas dunia. Di Indonesia, Biofarma merupakan satusatunya perusahaan yang memproduksi vaksin dan serum. Yang paling membanggakan, tentu saja pengembangan vaksin flu burung, yang mendapat dukungan WHO. Di bawah kepemimpinan Iskandar sebagai Direktur Utama (Dirut), kinerja bisnis Biofarma pun kian kinclong. Sebagai gambaran, pada 2011 perusahaan berhasil membukukan pendapatan 80 juta dolar AS. Tahun ini, perusahaan siap melejitkan pendapatan hingga 100 dolar AS, atau 800 miliar. Bagi Iskandar, pencapaian tingga PT Biofarma hingga seperti sekarang ini, merupakan kontribusi setiap karyawan. “SDM Biofarma luar biasa. Kualitasnya termasuk yang terbaik,” ujar Iskandar, bangga. Di Biofarma, kata Iskandar, semua karyawan fokus pada kerja, sehingga tidak pernah ada ribut-ribut. “Bahkan untuk pergantian direksi pun, tidak ada kebisingan,” ungkapnya. Di samping karena karyawan fokus pada kerja, absennya “kebisingan” di Indofarma karena peran optimal serikat pekerja (SP), sehingga mampu menciptakan hubungan industrial yang harmonis. “Keberadaan SP, bisa membuat hubungan karyawan dan manajemen, berlangsung secara efisien,” Bayangkan, kalau karyawan memperjuangkan aspirasinya secara sendiri-sendiri. Repot,” ucap Iskandar.
f i g u r
Iskandar memahami, bahwa peran SP adalah memperjuangkan hak karyawan, seperti kenaikan gaji dan fasilitas lainnya. Di sisi lain, kadang manajemen tidak mampu memenuhi sebagian atau malah semua tuntutan itu, antara lain karena kondisi perusahaan. “Saya melihat, SP di Biofarma, sejauh ini mampu menjembatani komunikasi manajemen dengan karyawan,” ujar Iskandar. Iskandar, yang sudah berkarir di Biofarma hampir 30 tahun, memahami betul soal peran SP Biofarma, karena pernah menjadi pengurusnya. “Sebetulnya, dalam SP itu ada jiwa perusahaan juga,” jelasnya, “SP pasti tahu apa yang terjadi dengan perusahaan, tentang keadaan finansialnya, dan lainnya. Jadi kalau, misalnya, SP menuntut kenaikan gaji, mereka sudah bisa menghitung.” Gesekan terjadi, biasanya, karena dua hal. Pertama, SP hanya fokus pada tuntutannya, tanpa mau memahami keadaan perusahaan. Atau, kedua, pimpinan perusahaannya yang tidak mau memahami kepentingan karyawan. Dia menganggap, menekan hak karyawan itu merupakan bagian dari efisiensi yang harus dilakukan. “Saya melihat, yang kedua ini kemungkinan terjadinya lebih besar. Sebab, bagaimanapun, kebijakan perusahaan sangat ditentukan oleh visi pemimpinnya,” tutur Iskandar. Hubungan industrial di sebuah perusahaan termasuk BUMN, lanjut Iskandar, bisa terwujud apabila pemimpinnya memahami rumusan sederhana ini: “Yang baik untuk karyawan, baik juga untuk perusahaan”. Karyawan, yang menganggap perusahaan sebagai sumber
nafkahnya yang utama, tidak mungkin memaksakan kehendaknya, jika mereka tahu akan berdampak buruk pada perusahaan. Dan sebaliknya. SP yang baik, dalam pandangan Iskandar, adalah yang mampu mengajak karyawan untuk bergerak searah dengan cita-cita
perusahaan. “Nah, soal ke mana masa depan perusahaan akan diarahkan, manajemen dan SP boleh berdebat sengit,” jelasnya, “Jangan menghabiskan energi dengan berdebat soal gaji. Karena masalah ini mudah diselesaikan, dengan mengukur kekuatan perusahaan.” Bukan hanya karyawan. Pimpinan dan jajaran direksi pun, harus bergerak ke arah cita-cita perusahaan. Kalau melenceng, harus minggir. “Bahkan, karyawan berhak untuk meminggirkan direksi BUMN yang tidak berjalan ke arah cita-cita perusahaan, termasuk melaporkannya ke Kementerian BUMN,” tutur Iskandar. No. 013
l
Mei
...hubungan industrial di sebuah perusahaan termasuk BUMN, lanjut Iskandar, bisa terwujud apabila pemimpinnya memahami rumusan sederhana ini: “Yang baik untuk karyawan, baik juga untuk perusahaan”
l
Tahun III 2012
25
26
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
s i k a p
Membangun Kekuatan SP Abdul Latif Algaff Ketua Umum FSP BUMN
K
etika para pekerja di sebuah perusahaan sepakat membentuk Serikat Pekerja (SP), pasti ada harapan kelak SP bisa menjadi semacam wadah yang mampu menghimpun kekuatan mereka, sehingga mempunyai bargaining position yang kuat ketika berhadapan dengan perusahaan, dalam memperjuangkan kepentingannya. Namun, harapan pekerja tersebut, seringkali tidak bisa sepenuhnya dipenuhi, atau malah kandas sama sekali. Ada banyak penyebab yang bisa kita angkat. Tapi di sini, kita hanya menyebut dua saja. Pertama, faktor pengurus pengurus SP yang dipilih. Jika mereka ternyata memiliki kompetensi dan pemahaman yang rendah terhadap masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Dengan pemahaman yang terbatas, mereka tidak bisa diharapkan untuk dapat bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan, baik yang bersifat individual maupun kepentingan seluruh atau sebagian karyawan.
Lemahnya kompetensi pengurus SP juga, bisa menimbulkan masalah ketika menyusun Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mereka bisa saja didikte oleh manajemen, sehingga butir kesepakatan PKB cenderung hanya merugikan pekerja. Kecuali, manajemen mempunyai pandangan yang baik tentang pentingnya peran pekerja. Karena itu, sangat penting bagi setiap pengurus SP, untuk selalu meningkatkan kompetensi dan pemahamannya tentang hubungan industrial. Selain melalui referensi, pengetahuan tentang ini bisa juga diperoleh melalui berbagai jenis pendidikan atau workshop, seperti yang pernah diselenggarakan FSP BUMN. Pengurus SP juga perlu aktif dalam wadah di atasnya, yaitu Federasi SP. Di sini, mereka bisa berinteraksi dengan pengurus SP lain, sehingga dapat memperoleh berbagai pengetahuan dan pengalaman praktis yang berharga. Bergabungnya SP dengan Federasi, secara langsung atau tidak, juga bisa memperkuat posisi tawar SP di
perusahaan. Masalah yang kedua, adalah longgarnya ketentuan, yang mempermudah pembentukan SP di setiap perusahaan. Sebuah SP bisa dibentuk, hanya dengan menghimpun 10 pekerja saja. Kelonggaran ini memang sejalan dengan semangat kebebasan berserikat, yang berlaku sejak Indonesia ikut meratifikasi Konvensi ILO No. 87. Namun, di sisi lain, banyaknya jumlah SP di sebuah perusahaan, justru menafikan tujuan pembentukan SP, untuk menghimpun kekuatan dan meningkatkan posisi tawar. Satu SP yang menghimpun seluruh karyawan perusahaan, tentu jauh lebih kuat dibanding dua atau tiga SP, yang tentu saja masing-masing mempunyai anggota lebih sedikit. Sebab, kalau karyawan sudah masuk dalam satu SP, tidak boleh menjadi anggota SP lainnya di perusahaan yang sama. Karena itu, pada akhirnya, semua kembali pada kesadaran karyawan terhadap tujuan membentuk atau bergabung dalam sebuah SP. Jik amereka benar-benar mengingikan SP yang kuat, sehingga bisa efektif memperjuangkan aspirasi dan menyelesaikan masalah yang muncul dalam kerangka hubungan industrial, tentu mereka akan memilih pengurus yang mempunyai kompetensi memadai dan memiliki komitmen tinggi. Juga, mereka tidak akan mudah tergoda untuk membentuk SP lain, di luar SP yang sudah ada. Jika pengurus SP mereka lemah, tinggal diganti saja melalui mekanisme yang ada, dan sebaiknya tidak perlu membentuk SP baru. No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012
27
28
No. 013
l
Mei
l
Tahun III 2012