BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Selama satu dekade terakhir, pembahasan mengenai pengaturan kerja
fleksibel telah mengalami peningkatan (Kattenbach, 2010; Origo dan Pagani, 2008; Sanchez et.al., 2007), terutama terkait dengan manfaat dan dampak positif yang dapat dirasakan baik oleh perusahaan maupun karyawan (Giannikis dan Mihail, 2011). Berdasarkan beberapa survei, hingga saat ini, banyak perusahaan yang telah menawarkan dan menerapkan pengaturan kerja fleksibel kepada karyawannya (Shockley dan Allen, 2012; Kattenbach, 2010; Casper dan Harris, 2008; Kelliher dan Anderson, 2008; Mann et.al., 2000) dan hal tersebut diprediksi akan terus mengalami peningkatan (Grant et.al, 2013; Mann et.al., 2000). Topik ini berkembang seiring dengan adanya tuntutan peran keluarga yang besar, sebagai dampak dari perubahan komposisi keluarga dan tenaga kerja seperti adanya ibu pekerja dan pasangan dual-karir yang mempunyai tanggung jawab terhadap anak atau orang tua (Fiksenbaum, 2014; Allen, 2001). Tuntutan ini dapat bersinggungan dengan tuntutan peran pekerjaan, misalkan seorang ibu pekerja lebih mementingkan untuk merawat anaknya yang sedang sakit dibandingkan dengan pekerjaannya, atau sebaliknya, karena sibuk dengan pekerjaannya, seorang ibu harus rela kehilangan waktu untuk menemani anaknya di rumah. Ada juga pasangan dual-karir yang sama-sama sibuk bekerja sehingga urusan rumah tangganya terbengkalai. Perubahan komposisi keluarga dan tenaga kerja seperti
1
pada kedua kasus tersebut tidak hanya terjadi di negara maju (e.g. Giannikis dan Mihail, 2011), melainkan terjadi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia (Nastiti, 2006). Bahkan, di Indonesia, seorang anak yang sudah bekerja, mempunyai tanggung jawab yang besar untuk merawat orang tuanya, namun dengan tuntutan pekerjaan yang diterimanya membuat dia kesulitan untuk membagi waktu agar bisa bersama dengan orang tuanya, dan akan lebih sulit lagi bagi dia jika tempat kerjanya jauh dari rumah orang tuanya. Hal ini menandakan bahwa karyawan yang memiliki peran dan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga memiliki kesulitan untuk membagi waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga yang mereka jalankan. Hal ini selaras dengan adanya laporan yang menunjukkan bahwa sejak tahun 1996, banyak karyawan yang memiliki kesulitan untuk mengelola waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga mereka (Fikesenbaum, 2014). Mengatasi hal tersebut, banyak perusahaan yang mengimplementasikan program atau kebijakan yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kebutuhan tenaga kerja yang beragam, seperti jadwal kerja yang fleksibel, dan kebijakan perawatan anak (Batt dan Valcour, 2003; Allen, 2001). Jadwal kerja fleksibel dan kebijakan perawatan anak merupakan sebagian contoh dari penerapan kebijakan pengaturan kerja fleksibel. Pengaturan kerja fleksibel didefinisikan sebagai kebijakan dan praktik apapun, baik formal atau informal, dari suatu organisasi, yang memungkinkan fleksibilitas karyawan untuk bekerja secara bervariasi terkait kapan dan dimana pekerjaan dilakukan (Maxwell et.al., 2007). Pengaturan ini digunakan perusahaan untuk mengurangi tekanan yang dirasakan oleh karyawan
2
atas meningkatnya sejumlah kewajiban pekerjaan dan rumah (de Sivatte dan Guadamillas, 2013). Melalui pengaturan ini, diharapkan karyawan dapat memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga secara terpadu (Batt dan Valcour, 2003). Giannikis dan Mihail (2011) menyebutkan bahwa pengaturan kerja fleksibel penting bagi organisasi. Hal ini disebabkan karena pengaturan kerja fleksibel memungkinkan perusahaan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat, berkualitas, dan berdedikasi (Giannikis dan Mihail, 2011; Lin et.al., 2011; Allen, 2001), mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan (Lin et.al., 2011; Sanchez et.al., 2007; Allen, 2001), dan
dapat
meningkatkan kinerja perusahaan (Sanchez et.al., 2007). Dari sisi karyawan, beberapa peneliti telah menemukan dampak positif dari penerapan pengaturan kerja fleksibel, diantaranya adalah dapat menciptakan keseimbangan kerjakehidupan karyawan (e.g. Grant et.al., 2013; Shockley dan Allen, 2012; Kelliher dan Anderson, 2008; Watson dan Lightfoot, 2003), komitmen karyawan (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013), dan kepuasan kerja (e.g. Wheatley dalam Grant et.al., 2013; Kelliher dan Anderson, 2008). Kajian yang ada masih menghasilkan temuan yang berbeda-beda, khususnya terkait pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar. Beberapa temuan memperlihatkan bahwa ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan konflik kerjake-keluarga (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013; Allen, 2001; Thompson et.al., 1999). Hal ini sesuai dengan Work/Family Border Theory, yaitu sebuah teori yang
3
menjelaskan bahwa seorang individu dapat mengelola dan mengatasi domain pekerjaan dan keluarga serta batasan yang ada diantara keduanya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan yang mengacu pada kepuasan dan rendahnya konflik peran (Clark, 2000). Konflik peran yang disinggung oleh Clark tersebut merupakan konflik antar peran, yaitu konflik antara peran pekerjaan dan keluarga. Konflik antar peran ini terjadi ketika tekanan yang muncul di salah satu peran tidak sesuai dengan tekanan yang muncul dalam peran lain (Greenhaus dan Beutell, 1985). Jika seorang karyawan bekerja secara fleksibel, misalkan bekerja dari rumah, dapat dibayangkan bahwa karyawan tersebut memiliki kontrol dalam mengintegrasikan aktivitas pekerjaan dan keluarga. Batasan yang muncul antara domain pekerjaan dan keluarga menjadi tipis, sehingga tidak akan sulit bagi karyawan untuk berpindah dari satu peran ke peran lainnya. Dengan kata lain, karyawan tersebut dapat menjalankan kehidupan pekerjaan dan keluarga secara terpadu, dan konflik antar peran yang mungkin muncul pun dapat diminimalisir. Meskipun demikian, banyak temuan lain yang menunjukkan bahwa antara ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dengan konflik kerja-ke-keluarga tidak memiliki keterkaitan (e.g. Mennino et.al., 2005; Thompson dan Prottas 2005; Batt dan Vacour, 2003). Pada beberapa literatur, pengaturan kerja fleksibel yang disediakan oleh perusahaan bagi karyawannya terbukti dapat menurunkan tingkat intensi keluar karyawan. Hal ini sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial, yaitu hubungan yang baik dapat tercipta ketika terjadi transaksi yang adil dan saling menguntungkan
4
antara pihak-pihak yang melakukan transaksi (Cropanzano dan Mitchell, 2005). Perusahaan dan karyawan sebagai pihak-pihak yang bertransaksi akan memiliki hubungan yang kuat ketika perusahaan dapat mengelola karyawan dengan baik, yaitu dengan memenuhi berbagai hak dan kebutuhan karyawan. Sebagai imbalannya, karyawan harus selalu ada untuk perusahaan, menjalankan kewajiban kerja, mencurahkan segenap kemampuannya untuk bekerja pada perusahaan. Saat ini, banyak karyawan yang mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga. Pekerjaan dan keluarga merupakan dua domain penting yang ada dalam kehidupan orang dewasa (Cloninger et.al., 2015; Rathi dan Barath, 2013; Zhang et.al., 2012). Oleh karena itu, jika perusahaan tidak mau karyawannya keluar dan mencari pekerjaan yang dapat mambantu karyawan menjalankan kedua domain secara terpadu, maka sudah seharusnya perusahaan membantu karyawan untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Dalam hal ini, perusahaan dapat menawarkan kebijakan yang ramah keluarga seperti pengaturan kerja fleksibel, yang mana pengaturan ini dapat memudahkan karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarganya. Perlakuan baik yang diterima oleh karyawan melalui kebijakan pengaturan kerja fleksibel pada akhirnya akan dibayar dengan keputusan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan. Penjelasan tersebut dibuktikan melalui beberapa temuan yang menunjukkan bahwa ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan intensi keluar karyawan (e.g. Batt dan Valcour 2003; Allen 2001; Thompson et.al., 1999). Akan tetapi, terdapat temuan lain yang tidak memperlihatkan adanya keterkaitan antara pengaturan kerja fleksibel dengan
5
intensi keluar karyawan (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013). Berdasarkan temuan yang berbeda-beda tersebut, pengaruh dari kebijakan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluaga dan intensi keluar penting untuk dipahami lebih lanjut, mengingat kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan muncul ketika konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar terjadi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik kerja-keluarga pada tingkatan yang tinggi memiliki dampak negatif yang dapat merugikan karyawan maupun perusahaan (Rathi dan Barath, 2013). Beberapa peneliti menemukan bahwa konflik kerja-keluarga memiliki hubungan dengan penurunan kepuasan kerja, komitmen organisasional, kepuasan keluarga, kepuasan perkawinan, dan kepuasan hidup, serta mendatangkan ketidakhadiran kerja dan turnover (Fiksenbaum, 2014; Rathi dan Barath, 2013; Zhang et.al., 2012). Lebih spesifik, Zhang et.al. (2012) menemukan hubungan yang positif antara konflik kerja-kekeluarga dan kelelahan emosional. Hubungan tersebut muncul sebagai dampak dari adanya tuntutan pekerjaan yang berlebihan (Zhang et.al., 2012). Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian Montgomery (dalam Fiksenbaum, 2014) menunjukkan bahwa konflik kerja-ke-keluarga berhubungan negatif dengan semangat kerja, dan memediasi pengaruh tuntutan pekerjaan terhadap kelelahan dan sinisme. Terkait dengan intensi keluar, ditakutkan jika intensi keluar sudah muncul pada diri karyawan, maka actual turnover akan terjadi. Temuan yang ada menunjukkan bahwa turnover mengharuskan perusahaan mengeluarkan biaya yang mahal untuk kepegawaian atau pembayaran lembur tambahan untuk
6
mengurangi kekurangan karyawan, dan untuk penggantian karyawan yang berpengalaman dengan karyawan baru yang belum berpengalaman (Slatten et.al., 2011). Temuan lain menyebutkan bahwa intensi keluar dapat mengganggu kerja karyawan (Addae et.al. dalam Rahman dan Nas, 2013) dan dapat memberikan dampak negatif pada kinerja perusahaan (Low et.al. dalam Rahman dan Nas, 2013). Supportive work-family culture dapat menjelaskan mekanisme hubungan sebab akibat yang terjadi antara pengaturan kerja fleksibel dengan konflik kerjake-keluarga dan intensi keluar. Seperti yang disebutkan oleh Allen (2001), pada praktiknya, meskipun implementasi pengaturan kerja fleksibel dapat membantu karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga, namun ketersediaan pengaturan ini sendiri seringkali tidak diikuti dengan perubahan pada nilai-nilai dan norma organisasi yang sesuai, sehingga akan menghalangi kesuksesan karyawan dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga. Hal ini disebabkan karena perusahaan menerapkan pengaturan kerja fleksibel semata-mata untuk memperoleh manfaat dari pengaturan ini. Seharusnya, perusahaan menerapkan pengaturan kerja fleksibel karena perusahaan peduli dan perhatian terhadap kebutuhan karyawan. Adapun nilai-nilai dan norma organisasi yang sesuai dengan pengaturan kerja fleksibel sebagai pengaturan yang ramah keluarga adalah nilai-nilai dan norma yang dapat memberikan dukungan dan kepedulian terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan. Nilai-nilai dan norma organisasi yang dimaksud adalah budaya kerja-keluarga. Budaya kerja-keluarga merupakan
7
asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai bersama tentang sejauh mana organisasi mendukung dan menghargai integrasi dari kehidupan pribadi dan pekerjaan karyawan (Thompson et.al., 1999). Budaya kerja-keluarga yang dalam berbagai aspek dapat
memberikan dukungannya kepada usaha karyawan dalam
mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga akan dirasakan karyawan sebagai supportive work-family culture. Berdasarkan konsep perubahan dari Anderson dan Anderson (2010), diketahui bahwa satu pemicu perubahan dapat mendorong perubahan lainnya. Perubahan pada bagian organizational imperatives (struktur, sistem, proses, teknologi, sumber daya, keterampilan dasar atau bahkan kepegawaian) akan mendorong perubahan pada bagian cultural imperatives (Anderson dan Anderson, 2010). Dalam hal ini, jika perusahaan betul-betul menyediakan pengaturan kerja fleksibel karena peduli terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan maka, sudah seharusnya budaya organisasi yang ada disesuaikan dengan kebijakan atau program yag ada, sehingga karyawan dapat merasakan supportive work-family culture. Dilihat dari hasil statistik, persepsi karyawan atas supportive work-family culture memang dapat menurunkan konflik kerja-ke-keluarga (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013) dan intensi keluar karyawan (e.g. Thompson et.al., 1999). Berdasarkan temuan ini, terlihat adanya kemungkinan bahwa supportive workfamily culture dapat memediasi pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan. Namun, pengujian mediasi supportive work-family culture pada hubungan tersebut masih jarang dilakukan, apalagi pada konteks negara berkembang seperti Indonesia.
8
Dengan melihat penelitian-penelitian terdahulu di atas, maka penelitian ini bermaksud mengangkat isu pengaturan kerja fleksibel dengan cara menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar yang dimediasi oleh supportive work-family culture.
1.2
Rumusan Masalah Topik mengenai pengaturan kerja fleksibel telah menarik perhatian
akademisi maupun praktisi. Banyak perusahaan yang telah menawarkan dan menerapkan kebijakan ini kepada karyawannya (Shockley dan Allen, 2012; Kattenbach, 2010; Kelliher dan Anderson, 2008; Mann et. al., 2000). Banyak juga akademisi yang meneliti kebijakan dan penggunaan dari pengaturan kerja fleksibel hubungannya dengan berbagai macam konsekuensi yang akan diterima baik oleh perusahaan maupun karyawan (e.g. Fiksenbaum, 2014; Grant et.al., 2013; de Sivatte dan Guadamillas, 2013; Shockley dan Allen, 2012; Lin et.al., 2011; Giannikis dan Mihail, 2011; Kattenbach, 2010; Kelliher dan Anderson, 2008; Origo dan Pagani, 2008; Sanchez et.al., 2007; Thompson et.al., 1999). Di antara kajian yang ada, diketahui bahwa pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan masih menghasilkan temuan yang berbeda-beda, yaitu ada yang menemukan pengaruh negatif di antara variabel-variabel tersebut ada pula yang tidak menemukan hubungan sama sekali. Hal tersebut dapat disebabkan karena perusahaan yang menerapkan pengaturan kerja fleksibel lebih tertarik dengan manfaat yang akan diterima perusahaan dari pengaturan ini, dan bukan
9
menerapkan pengaturan kerja fleksibel karena bentuk kepeduliannya
kepada
karyawan dan keluarga karyawan. Bagi perusahaan yang betul-betul peduli dengan karyawan dan keluarga karyawan, maka penerapan pengaturan kerja fleksibel akan mendorong perusahaan untuk merubah budaya yang ada menjadi supportive work-family culture (Allen, 2001). Artinya, jika budaya kerja-keluarga yang dirasakan oleh karyawan dapat mendukung karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga (supportive work-family culture), maka secara tidak langsung ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan konflik kerjake-keluarga dan intensi keluar karyawan. Hal ini selaras dengan konsep perubahan dari Anderson dan Anderson (2010), yaitu perubahan pada bagian organizational imperatives (struktur, sistem, proses, teknologi, sumber daya, keterampilan dasar atau bahkan kepegawaian) akan mendorong perubahan pada bagian cultural imperatives (Anderson dan Anderson, 2010). Akan tetapi, secara empiris, kepastian dari hubungan sebab akibat tersebut masih jarang ditemukan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka menganalisis hubungan tersebut, maka dilakukan kajian empiris melalui penelitian ini.
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan pada bagian latar belakang dan rumusan masalah,
maka dapat disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Apakah pengaturan kerja fleksibel berpengaruh negatif terhadap
10
konflik kerja-ke-keluarga? b. Apakah pengaturan kerja fleksibel berpengaruh negatif terhadap intensi keluar karyawan? c. Apakah
supportive
work-family
culture
memediasi
pengaruh
pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga? d. Apakah
supportive
work-family
culture
memediasi
pengaruh
pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan?
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga; b. Menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan; c. Menganalisis peran mediasi supportive work-family culture pada pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-kekeluarga; d. Menganalisis peran mediasi supportive work-family culture pada pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan;
1.5
Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini terbagi ke dalam
dua aspek, yaitu empiris dan praktis.
11
1.5.1 Kontribusi Empiris Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya kajian di bidang pengaturan kerja fleksibel, khususnya memberikan tambahan bukti empiris terkait pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar, dengan menyertakan supportive work-family culture sebagai variabel pemediasi. Penggunaan sampel dari negara berkembang juga dapat memperkaya bukti empiris, karena selama ini penelitian pada konteks pengaturan kerja fleksibel lebih sering dilakukan di negara maju.
1.5.2 Kontribusi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan pengaturan kerja fleksibel, khususnya dalam meminimalisir konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan, dengan mengikutsertakan penerapan supportive work-family culture.
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari lima bab yang
memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan.
12
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini terdiri dari penjelasan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, pengembangan hipotesis, pernyataan hipotesis dan model penelitian.
BAB III
METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari jenis penelitian, tahapan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data, definisi operasional, pengukuran variabel, uji instrumen serta teknik analisis data.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini terdiri dari hasil penyebaran kuesioner, karakteristik responden, hasil uji validitas dan reliabilitas, statistik deskriptif, hasil uji asumsi klasik, hasil pengujian hipotesis, dan pembahasan.
BAB V
PENUTUP Bab ini terdiri dari kesimpulan hasil penelitian, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian mendatang.
13