6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN (Sharing of Power) ANTAR ETNIS Mengikuti fase transformasi pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, pembahasan pada bab 6 ini sesungguhnya bagian dari pembahasan fase sekularisme. Pemisahan pembahasan dimaksudkan untuk memperjelas bahwa pada bagian ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian tentang bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan. Pembahasan bagian ini terutama akan difokuskan pada bagaimana melihat dinamika dan kemampuan elite etnis Bugis dan Makassar memainkan peranan untuk mengatur, merebut dan mempertahankan kekuasaan pada berbagai aras, mulai dari aras mikro (Desa), mezzo (kabupaten) dan makro (provinsi dan Sulsel). Dalam proses perebutan kekuasaan itu, para elite Bugis dan Makassar juga berhasil mempertahankan identitas politiknya masing-masing, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan, sehingga sampai saat ini, etnis Bugis dan Makassar tetap survive hidup dibawah payung Sulawesi Selatan. Pada chapter ini juga ingin melihat dinamika struktur sosiologi kekuasaan yang bermain pada level mikro, mezzo, dan makro. Bagian ini juga berusaha menjawab pertanyaan; bagaimana pola elite Bugis dan Makassar berbagi kekuasaan dan membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi dan nasional. 6.1 Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar Dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam proses pembentukan elite tingkat makro antar etnis Bugis dan Makassar terjadi pada panggung kekuasaan tingkat provinsi dan nasional, dalam hal ini posisi kekuasaan strategis yang meliputi antara lain pada posisi Gubernur, ketua DPRD provinsi Sulsel, sekwilda atau sekprov, dan kepala-kepala dinas atau badan. Sedangkan pada level mezzo, 167
posisi kekuasaan yang menjadi inti pembentukan elite ada pada posisi Bupati, ketua dan anggota DPRD dan kepala-kepala dinas atau kepala badan. Pada aras mikro (Desa), pembentukan elite Desa melalui panggung kepala desa, kepala dusun dan imam Desa. Proses pembentukan elite pada aras makro Sulawesi Selatan dan mezzo (Bone dan Gowa) pada setiap fase memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Pada fase tradisional elite terbentuk melalui pengetahuan simbolik yang sangat ketat, ruang kekuasaan bersifat tertutup pada kalangan yang memiliki kemampuan menciptakan mitos dan simbol budaya. Kebudayaan politik masyarakat Bugis Bone dan Makassar Gowa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan petunjukpetunjuk alam. Pada fase feudalisme, proses pembentukan elite memasuki tradisi baru dengan menggunakan rasionalitas ekonomi dan kapitalisasi tanah sebagai alat yang ikut memproduksi kekuasaan. Pada masa ini, elite-elite Bugis Bone dan Makassar Gowa melakukan ekspansi wilayah kekuasaan untuk mendapat sumberdaya tanah yang produktif. Meskipun pada fase feudalisme sangat dipengaruhi oleh kesadaran kapitalisme ekonomi yang tinggi, namun budaya politik etnis Bugis dan Makasssar tetap menjadikan pengetahuan simbolik sebagai instrumen penting untuk mereproduksi kekuasaan. Memasuki fase islam moderenisme, elite Bugis dan Makassar tumbuh dengan kesadaran intelektualitas dan moralitas. Pada fase ini terjadi semangat kolaborasi sekaligus perlawanan atau anti kolonialisme dan kapitalisme global. Pada masa islam modern, elite etnis Bugis dan Makassar tumbuh bersamaan dengan hadirnya sejumlah organisasi sosial keagamaan seperti SI, NU dan Muhamadyah. Elite Bugis dan Makassar pada fase; tradisional, feudalisme dan islm modern mengatur keseimbangan kekuasaan (share of power) antara dua etnis ―utama‖ (Bugis dan Makassar) dilakukan dengan sistem perkawinan silang antara keluarga kerajaan Bugis dan Makassar. Politik ―ranjang‖ yang dilakukan para elite Bugis dan Makassar, setidaknya berhasil mengurangi semangat politik identitas yang berbasis pada etnisitas. Melalui politik pencampuran etnis, kemudian melahirkan budaya politik baru yang lebih toleran, dalam penelitian ini disebut sebagai hibridisasi budaya politik (hybridization of cultural politics).
168
Pada masa sekularisme, proses pembentukan elite politik etnis Bugis dan Makassar bergeser dari prinsip-prinsip moralitas dan intelektualitas menjadi tindakan yang bersifat pragmatis. Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik dan ekonominya, para elite cenderung memburu efisiensi, nilai guna, bersifat transaksional dengan tindakan rasionalitas ekonomi yang tinggi. Prinsip siri ‘ dan pacce yang menjadi spirit kehidupan politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar mengalami pergeseran nilai. Untuk menjaga keseimbangan kekuasaan pada fase sekularisme, para elite Bugis dan Makassar yang berkuasa pada level makro, biasanya membagi kekuasaan berdasarkan etnis dan geopolitik. Kalau Gubernurnya berasal dari etnis Bugis, akan memilih Sekretaris Wilayah Daerah dari etnis Makassar97, demikian sebaliknya. Pendekatan seperti tersebut juga terjadi pada pertimbangan memilih Kepala Dinas atau Kepala Badan yang berada di ruang lingkup pemerintahan Provinsi. Pada aras mikro proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar, agak berbeda dengan yang terjadi pada aras mezzo dan makro, meskipun terjadi pada fase yang sama. Pada level mikro, pembentukan elite berlangsung dengan pola interaksi yang dibalut dengan kekeluargaan dan simbol budaya. Misalnya, di Desa Manuju Kabupaten Gowa, elite Desa adalah mereka yang memiliki riwayat genetika ke-karaeng-an. Perebutan posisi kepala desa, hanya dilakukan oleh mereka yang bergelar karaeng. Orang-orang ―luar‖ ke-karaeng-an yang mencoba memasuki panggung kepala desa, selalu mengalami kegagalan politik. Meskipun orang ―luar‖ itu telah memiliki pendidikan dan fasilitas ekonomi yang mendukung cita-cita politiknya. Hal serupa juga terjadi di Desa Manjapai Kabupaten Gowa, pada Desa ini, simbol budaya sangat berpengaruh dalam reproduksi elite. Siapa pewaris kalompoang ia memiliki peluang yang besar untuk menduduki posisi kekuasaan ditingkat Desa. Meskipun penetrasi uang, premanisme dan pengaruh
97
Berikut beberapa nama Gubernur Sulsel mulai dari periode 1966-2007 yang berasal dari etnis Bugis; Achmad Lamo (Bugis Enrekang), Andi Oddang (Bugis Barru), A. Amiruddin (Bugis Wajo), HZB. Palaguna (Bugis Soppeng-Bone), Amin Syam (Bugis Bone). Sekretaris Wilayah Daerah yang berasal dari etnis Makassar; H.M. Salman (Gowa), Daud Nompo (Jeneponto) Bakri Tandaramang (Bulukumba), Malik Hambali (Bulukumba), M. Parawansa (Gowa-Takalar), Hakamuddin Jamal (Takalar), A. Conneng Mallombasang (Gowa). Sebaliknya, Gubernur yang berasal dari etnis Makassar; Syahrul yasin Limpo (Gowa), Sekretaris Wilayah Daerah; A. Mualim (Bugis Bone)
169
organisasi sosial keagamaan juga ikut menentukan proses pembentukan elite pada Desa Manjapai. Dua Desa penelitian di Kabupaten Bone menggambarkan dinamika pembentukan elite yang lebih spesifik dibandingkan dengan dua Desa di Kabupaten Gowa. Desa Ancu yang dikenal sebagai salah satu Desa sumber para aristokrat Bone, memperlihatkan proses pembentukan elitnya dengan tetap memperhatikan hirarki sosial, kekeluargaan, kecakapan intelektualitas dan kemampuan ekonomi. Sedangkan pada Desa Benteng Tellue, proses pembentukan elitnya sangat tertutup pada satu keluarga besar klan PG. Klan ini oleh masyarakat dianggap memiliki persyaratan yang paling sempurna untuk mengisi posisi kekuasaan di tingkat Desa. Pada aras mikro, anatomi elite lokal pada etnis Bugis Bone dan Makassar memiliki kecenderungan yang berbeda. Pada desa Benteng Tellue Kabupaten Bone terlihat bahwa proses pembentukan dan perluasan kekuasaan elite hanya dilakukan oleh kelompok tunggal elite yang berkuasa (klan PG). Apa yang terjadi pada Desa Benteng Tellue, tidak persis dengan gambaran yang dikemukakan oleh Pareto, bahwa terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite), di Desa Benteng Tellue hanya terdapat elite yang berkuasa dan massa. Fakta ini mengisyaratkan pembagian struktur kekuasaannya Mosca lebih tepat untuk menganalisis elite di Desa Benteng Tellue. Selama lebih kurang 100 tahun di desa ini tidak terjadi apa yang disebut oleh Pareto dan Mosca sebagai sirkulasi elite. Pergantian kepemimpinan formal atau elite yang memerintah di Desa Benteng Tellue hanya berlangsung antara Bapak-Anak-Saudara (klan PG), dan dilakukan dengan kesepakatan secara tertutup diantara mereka, meskipun di depan publik proses demokrasi berlangsung secara terbuka. Menurut Dahl dan Sartori, menghubungkan elite dan demokrasi sangat diperlukan agar kekuasaan elite dapat melibatkan atau dikontrol oleh massa. Apa yang diharapkan oleh Dahl dan Sartori tidak ditemukan di Desa Benteng Tellue karena belum tercipta sub elite yang dapat menandingi kekuasaan elite klan PG. Sedangkan struktur elite yang ada di Desa Ancu Kabupaten Bone menggambarkan adanya proses sirkulasi elite seperti yang dikemukan oleh Mosca
170
dan Pareto. Di desa ini terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite) seperti yang diuraikan oleh Pareto dan Lockwood. Bahkan di Desa Ancu terdapat kekuasaan elite yang sangat berpengaruh akan tetapi tidak berada di desa ini. Elite ini dapat dikategorikan sebagai non-governing elite, mereka berada di desa lain atau di ibu kota kecamatan atau di ibu kota kabupaten, pada umumnya elite jenis ini datang dari kalangan aristokrasi yang memiliki kekuasaan pada level kabupaten. Pola struktur elite pada Desa Manuju Kabupaten Gowa menunjukkan kemiripan dengan anatomi elite yang ada di Desa Benteng Tellue Kabupaten Bone. Dimana elite hanya berada pada satu pusaran ke-karaengan (bangsawan Makassar). Akan tetapi elite yang memiliki kekuasaan di Desa Manuju sudah semakin melebar, tidak terbatas pada Bapak-Anak-Saudara seperti yang terjadi pada Desa Benteng Tellue. Di Desa Manuju sudah terjadi sirkulasi elite, meskipun masih terbatas pada kalangan ke-karaengan. Dengan demikian non-governing elite atau sub elite yang ada di Desa Manuju masih bersifat semu. Anatomi elite di Desa Manjapai Kabupaten Gowa memiliki karakter struktur elite yang relatif sama dengan Desa Ancu di Kabupaten Bone. Bedanya, sirkulasi elite yang berkuasa di Desa Manjapai tumbuh dari kalangan elite, sub elite dan massa, sedangkan sirkulasi elite yang terjadi pada Desa Ancu, masih terbatas pada kalangan elite aristokrat (andi). Sebaliknya, sirkulasi elite di Desa Manjapai tidak hanya diisi oleh kalangan governing elite dan non-governing elite, akan tetapi juga diisi oleh kalangan massa yang mengalami mobilitas sosial secara vertikal (biasanya karena faktor pendidikan dan ekonomi). Ruang kekuasaan yang tersedia bagi kalangan massa di Desa Manjapai lebih terbuka lebar dibandingkan dengan tiga desa lainnya; Desa Ancu, Benteng Tellue (Kabupaten Bone dan Desa Manuju di Kabupaten Gowa). Pada aras mezzo, sirkulasi elite di Kabupaten Bone berlangsung sangat ketat antara kalangan terbatas (aristokrat); dengan demikian, governing elite dan non governing elite
berasal dari kelompok bangsawan yang sumbernya sama,
hubungan darah diantara mereka sangat dekat; saudara-sepupu-kemenakan-anak. Kalau terdapat ―orang luar,‖ maka aktor tersebut adalah client dari kalangan aristokrat yang diberi jalan khusus untuk memasuki struktur elite. Sub elite dari
171
luar kalangan aristokrat Kabupaten Bone bisa tumbuh diluar kawasan kekuasaan elite bangsawan. Misalnya mereka merantau keluar dari Kabupaten Bone dan berhasil menjadi elite di luar Bone. Elite-elite tersebut, pada level makro (nasional) yang berasal dari Kabupaten Bone, tidak selalu bersumber dari kalangan elite bangsawan. Akan tetapi, elite-elite yang berkuasa di Kabupaten Bone sudah pasti bersumber dari kaum aristokrat. Struktur elite di Kabupaten Gowa menunjukkan sifat yang kontras dengan yang terjadi di Kabupaten Bone. Elite yang berkuasa, maupun elite yang tidak berkuasa (governing elite dan non-governing elite) seperti diuraikan Pareto dan sub-elite yang dijelaskan Mocsa, tidak semata-mata diproduksi oleh kaum bangsawan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, akan tetapi lahir dari berbagai kalangan sosial yang memiliki kemampuan memobilisasi dirinya secara vertikal. Di Kabupaten Gowa, secara sosial tidak tabu bagi kalangan massa menjelmakan dirinya menjadi elite atau sub elite baru, karena struktur elitnya sangat longgar dan terbuka, sehingga sirkulasi elitnya sangat lancar. Pertarungan merebut kekuasaan di Kabupaten Gowa tidak saja dilakukan oleh kalangan elite yang berkuasa dan kalangan elite yang tidak berkuasa sebagaimana dikemukakan Pareto, akan tetapi juga melibatkan elite-elite baru atau sub-elite baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi sebagai kalangan elite yang tidak memerintah, apalagi memerintah. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial strategis terus memobiliasi diri mereka baik secara terbuka maupun tertutup. Kondisi ini sekaligus menjelaskan bahwa elite penguasa di Gowa tidak sepenuhnya mengontrol dan menentukan struktur dan sistem politik masyarakat, sebagaimana diasumsikan oleh Mosca. Menurut Gaventa (2005), struktur dan anatomi elite menggambarkan perilaku elite dalam proses mempertahankan dan mengembangbiakkan posisinya sebagai elite. Apa yang terjadi pada aras mikro di Desa Benteng Tellue dan di Desa Manuju, serta pada level mezo di Kabupaten Bone menggambarkan struktur elite yang menggunakan sistem kekuasaan tertutup (closed power) dalam menentukan struktur politik masyarakat. Sedangkan yang terjadi pada desa Manjapai dan desa Ancu serta Kabupaten Gowa, para elitnya memakai sistem kekuasaan tersediakan (created power) untuk menciptakan struktur politik masyarakat.
172
Meskipun setiap aras dan wilayah penelitian menunjukkan struktur dan anatomi elite yang berbeda-beda, akan tetapi para elite yang berkuasa maupun elite yang tidak berkuasa, dan sub-elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, sama-sama menyadari pentingnya memelihara idiologi, mitos, uang dan kekuasaan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Pareto, Mosca
maupun Michels berpendapat sama tentang pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. Ideologi atau mitos merupakan shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan. Ditinjau dari segi ini, perhatian elite yang cukup besar terhadap pengembangan ideologi merupakan suatu hal yang wajar. 6.2 Dinamika Pembentukan Elite Bugis Dan Makassar Pertarungan politik lokal dalam ranah demokrasi di Sulawesi [bagian] Selatan antara etnis Bugis dan etnis Makassar kembali mencuat di tahun 2007 lalu, antara calon gubernur yang dianggap sebagai tokoh yang mewakili etnis Makassar, yakni SYL[Orang Gowa] dengan tokoh dari etnis Bugis, yaitu AS [orang Bone]. Dengan merujuk pada catatan sejarah atas dinamika politik di Sulawesi Selatan, maka perseteruan ini adalah sebuah persaingan panjang yang sudah berlangsung beberapa abad lampau. Bila mengacu pada konflik besar di abad ke-17 antara kerajaan GowaTallo [mewakili etnis Makassar dan umumnya dikenal sebagai Kerajaan Makassar] yang didukung oleh beberapa kerajaan di jazirah Sulawesi dengan Kerajaan Bone [etnis Bugis] yang didukung penuh oleh serdadu VOC, maka perseteruan politik ini memang telah lama dan masih terus membekas pada individu dari kedua etnis, khususnya mereka yang bergelut dalam dunia politik dan menjadikan ‗etnis‘ sebagai salah satu alat politik untuk meraih kekuasaan. Perseteruan pada tahun 2007 (Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulsel secara langsung oleh rakyat), pada akhirnya dimenangkan oleh SYL (yang berpasangan dengan AA—representasi dari etnis Bugis) dengan perolehan suara sebesar 1.432.572. Besaran pemilih ini hanya selisih sekitar 30.000-an suara dari total yang diraih oleh AS (berpasangan dengan MR—representasi orang Bugis – Luwu) sebesar 1.404.910 suara dan Pasangan AQM-MH (lebih mewakili etnis Luwu) memperoleh 786.792 suara. Sebelumnya, penguasa politik di Sulawesi
173
Selatan sejak kemerdekaan memang didominasi oleh politisi atau tokoh beretnis Bugis.98 Setidaknya, kemenangan yang diraihnya tidak lepas dari model sistem politik yang sedang berlaku di negeri ini dimana pemilihan seorang pimpinan eksekutif melalui pemilihan secara langsung (Buehler, 2007; KPUD Sulsel 2007). Perseteruan antar etnis ini juga terlihat pada pemilihan gubernur sebelumnya—dengan model sistem pemilihan parlementer hasil Pemilu 1999—di mana AS dan SYL menjadi satu paket yang mewakili perpaduan etnis Bugis dan Makassar melawan paket lain yang seluruhnya mewakili etnis Bugis (Nas, 2007). Kemenangan berhasil mereka raih dengan komposisi suara; paket AS – SYL 39 suara. Pasangan NH dan IM (etnis Bugis Bone dan Mandar) 19 suara, dan calon lain, AM dengan MHL (etnis Bugis-Bugis; Baru-Wajo) mendapat dukungan sebanyak 17 suara. Mengacu pada kasus-kasus kompetisi elite di Sulawesi Selatan (Sulsel), terutama yang terjadi sepanjang era pasca kemerdekaan hingga Orde Sekularisme saat sekarang ini, nampak bahwa keseimbangan posisi elite antara etnis Bugis dan etnis Makassar menjadi penentu lahirnya elite-elite baru di Sulsel. Kemenangan pasangan SYL (etnis Makassar) yang berpasangan dengan AA (etnis Bugis) pada pemilihan umum kepala daerah provinsi Sulsel tahun 2007, menjelaskan betapa model ―politik cangkokan‖ (hybrid politics model) etnik sangat dibutuhkan dalam memperebutkan panggung kekuasaan di Sulsel. Efek dari politik cangkokan etnisitas ini kemudian dilebarkan ke arah usaha para elite untuk melakukan manipulasi teritorial, untuk memperoleh dukungan geo-politik. Berkaitan dengan konsep manipulasi teritorial ini, di Sulsel dikenal dengan wilayah-wilayah politik berbasis etnik seperti; (i) Bosowa (Bone, Soppeng, Wajo) daerah yang mengidentifikasi diri sebagai wilayah inti bagi etnis Bugis; (ii) Ajatapparang (Barru, Pare-pare, Sidrap, Pinrang dan Enrekang) daerah-daerah ini secara geografis dan kultural masih dalam wilayah etnis Bugis, akan tetapi spirit keBugis-an mereka agak berbeda dengan spirit ke-Bugis-an wilayah Bosowa; (iii) Luwu Raya (Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur), meskipun dikenal 98
Ahmad Lamo (1966-1978), Andi Oddang (1978-1983), Ahmad Amiruddin (1983-1993), ZB Palaguna (1993-1998 dan 1998-2003), dan Amin Syam (2003-2008). Lebih spesifik adalah berasal dari wilayah Bosowa (Bone-Soppeng-Wajo).
174
sebagai etnis Bugis, akan tetapi hamparan wilayah Luwu Raya memiliki spesifikasi kultur dan struktur sosial politik yang cukup berbeda dengan etnis Bugis lainnya; (iv) Makassar (Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Selayar), daerah-daerah ini sangat vulgar memposisikan dirinya sebagai etnis Makassar, baik secara kultural maupun sosial politik; (v) Campuran Bugis-Makassar (kota Makassar, Maros, Pangkep, Bulukumba dan Sinjai), daerah-daerah ini ditempati oleh dua etnis utama, Bugis dan Makassar, ini dapat dilihat pada budaya dan bahasa mereka; (vi) Toraja (Toraja dan Toraja Utara), wilayah ini dikenal sebagai etnis Toraja. Etnis Toraja secara politik, kebudayaan, agama dan bahasa, sangat berbeda dengan etnis Bugis dan Makassar.99 Berbicara tentang dinamika politik berbasis etnik, maka di Sulawesi [bagian] Selatan, diantara empat etnis besar, Bugis dan Makassar-lah yang sering berkompetisi merebut posisi penting atau elite. Sementara, dua etnis lainnya seperti Mandar dan Toraja lebih kecil persentasenya dalam meraih dan menduduki posisi penting dalam politik. Mengapa kedua etnis ini [masih] saling berseteru merebut posisi penting? Ini adalah sebuah pertanyaan menarik. Bila menarik garis sejarah lebih jauh, maka takluknya kerajaan Bone tahun 1611 di bawah dominasi kerajaan Gowa, bisa disebut sebagai titik awal fase perseteruan antar elite di jazirah Sulawesi. Dalam situasi sub-ordinasi tersebut, orang Bone dan para bangsawannya menjadi warga jajahan atas kerajaan Makassar. Mereka diperlakukan sebagai tenaga kerja yang tak diupah, bahkan dalam tahap tertentu diperlakukan selayaknya seorang budak yang harus membangun benteng-benteng pertahanan kerajaan Makassar dan berbagai infrastruktur kota Makassar. Begitu beratnya posisi sebagai anggota warga kelas rendahan, membuat bangsawan kerajaan Bone mulai menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Melalui perjuangan bawah tanah (klandestin), sang inisiator sekaligus penggerak pemberontakan ini, Arung Palakka—yang telah beranjak remaja—mulai membangun kepercayaan diri para bangsawan dan rakyat Bone pada umumnya untuk menegakkan siri ‟. Ia juga mengorganisir beberapa kerajaan lain untuk bergabung dengan kerajaan Bone untuk melancarkan peperangan menuntut kemerdekaan. 99
Berdasarkan struktur kekuasaan dan peradaban yang dimiliki oleh geopolitik yang ada, wilayah yang memiliki tradisi kekuasaan dan peradaban sosial politik yang cukup lama dan tinggi di Sulsel adalah Bone, Luwu pada etnis Bugis dan Gowa pada etnis Makassar.
175
Pada tahun 1905, posisi keagungan seorang bangsawan nyaris tidak dapat diandalkan lagi. Kontrol pemerintah kolonial sudah berlaku di semua lini kehidupan baik sosial maupun politik. Orang-orang jajahan, baik yang berasal dari etnis Bugis maupun Makassar tinggal menjadi budak di negeri sendiri bahkan diperdagangkan ke luar Makassar. Bahkan, seluruh simbol kerajaan, gaukang, arajang maupun kalompoang, dibawa ke Batavia untuk disimpan dalam museum dan tinggal menjadi benda tanpa makna lagi. Perubahan kebijakan kolonial terhadap kerajaan mulai terjadi saat gerakan ‗Sulselisme keindonesiaan‘ mencuat dan sampai di bumi Sulawesi. Berbagai ideologi seperti Sosialisme, Sulselisme, Komunisme, dan Islam berikut organisasi masyarakat dan partai-partai politik yang mengusungnya seperti Partai Komunis Indonesia, Partai Sulsel Indonesia, Muhammadiyah dan lain-lain mulai mengancam dominasi pengetahuan yang dibangun oleh Belanda. Salah satu bentuk ketakutan itu terlihat pada upaya pemerintah kolonial yang kemudian ‗berbaikan‘ dengan kalangan bangsawan (kerajaan) melalui pembebasan kerja paksa bagi warga keturunan bangsawan. Millar, yang menulis buku tentang Perkawinan Bugis mengatakan bahwa munculnya gelar ‗Andi‘ bagi para bangsawan itu adalah upaya untuk mempermudah pemilahan warga berdasarkan garis darah. Saat itu, pemerintah Kolonial kesulitan menerapkan kebijakan ‗bebas kerja paksa‘ bagi keturunan bangsawan karena tidak ketatnya kawin-mawin antar golongan darah putih sejak kejatuhan kerajaan-kerajaan lokal yang berimplikasi pada samarnya status
pakkaraengang
atau pakkarungang
secara ketat
(Millar, 2009:63-64). Untuk mempermudah pemilahan itu, diberilah kewenangan kepada Raja untuk menentukan status seseorang apakah sebagai bangsawan atau non-bangsawan dan sejak itu berbondong-bondonglah orang menghadap raja untuk ‗sertifikasi‘ gelar bangsawan. Jadi, setiap bangsawan menengah ke bawah wajib memiliki sertifikat yang menerangkan dirinya sebagai bangsawan untuk kemudian dibebaskan dalam aktifitas kerja paksa. Selain itu, dalam bidang pemerintahan, Belanda juga melakukan sebuah rekonstruksi bentuk pemerintahan kerajaan melalui penerapan sistem pemerintahan swapraja (kerajaan otonom) yang membagi Sulawesi Selatan menjadi 29 daerah swapraja. Lebih jauh, pemerintah Belanda juga
176
membangun sekolah-sekolah untuk bangsawan dan orang-orang kaya demi mengisi pekerjaan di pemerintahan untuk level bawah (untuk keterangan lebih jauh, lihat Barbara Harvey dalam Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi 1950 – 1965, tahun 1974). Demi membendung gerakan Sulselisme Indonesia, Pemerintah Belanda terus ‗memanjakan‘ posisi kelas bangsawan. Namun, di satu sisi, karakter penjajahan Belanda yang selalu menerapkan politik adu domba tetap menempatkan posisi bangsawan dalam dua kategori, yakni ‗bangsawan kooperatif‘ dan ‗bangsawan nonkooperatif‘ dan mempertentangkan keduanya agar tercipta konflik internal. Saat itu, kelompok Islam reformis seperti Muhammadiyah, selain mendirikan lembaga pendidikan100, juga terus menerus merongrong praktek budaya feodal yang masih mempercayai kekuatan bendawi semacam gaukang atau arajang. Dalam perseteruan di masa perjuangan kemerdekaan ini, masuklah penjajah baru, yakni Jepang tahun 1942-1945 yang turut mempengaruhi polarisasi elite. Beberapa elite lokal yang aktif di kota Makassar 101 terus menggeliat mendorong kemerdekaan wilayah mereka dari penjajahan Belanda. Wacana antikolonial sudah merasuki mereka dan terlibat dalam pusaran gerakan politik secara luas di seluruh Indonesia. Salah satu nama yang sangat dikenal adalah Najamudding Daeng Malewa, seorang intelektual Makassar yang mendirikan Partai Sarekat Selebes dan diangkat sebagai walikota Makassar oleh pemerintah Jepang. Dalam situasi yang baru ini, sebagaimana dipaparkan oleh Millar, para bangsawan senior baik dari Gowa maupun Makassar memanfaatkan keterlibatan politik yang dikendalikan oleh Jepang untuk mengangkat kembali kedudukan 100
Salah satu sekolah yang banyak memberikan sumbangan bagi pembentukan semangat nasionalis di Sulawesi Selatan adalah Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Mr. Sunaryo pada tahun 1936. Melalui Perguruan Taman Siswa inilah banyak bermunculan tokoh-tokoh nasional asal Sulawesi Selatan, diantaranya; Manai Sophian, Wahab Tarru, H. Azikin, Saelan dan lain-lain. 101
Kota Makassar di awal abad 20 ini terus menerus berkembang sebagai kota kolonial moderen. Berbagai sarana dan prasarana kota dikembangkan oleh pemerintah Belanda sehingga menjadi salah satu kota yang paling terang di Nusantara (Dias Pradadimara, 2005). Selain itu, beberapa kantor perusahaan dagang dari berbagai negara dibuka di kota ini, sehingga segala kebutuhan warga kota dapat dengan mudah dipenuhi. Karena fungsinya sebagai kota moderen, kota ini menjadi tempat para politisi berkumpul yang kemudian membuka kantor-kantor cabang. Bukan itu saja, kota ini bahkan menjadi sentral bagi aktifitas politik se-Sulawesi dan sekitarnya. Hal ini terlihat melalui keterlibatan tokoh-tokoh politik dari luar Sulawesi bagian Selatan seperti Dr. Sam Ratulangi dari Minahasa.
177
lama mereka dan memulai hubungan baru dengan para politisi Sulselis. Saat itu, Jepang mendirikan dewan pemerintahan se-Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya tahun 1944. Hubungan ini semakin menguat saat keterlibatan intelektual Minahasa Dr. G.S. Ratulangie 102 dan intelektual Bugis – Banjar Tadjuddin Noor (Millar 2009:66-67; Harvey 1974:120). Dalam perjalanannya, orientasi politik dua politisi besar Sulawesi ini, Daeng Malewa dan Ratulangie mengalami ‗perpecahan‘ saat gerakan politik semakin meluas hingga ke tingkat Sulsel, terutama sejak Ratulangie mendirikan SUDARA (Sumber Darah Rakyat)103 dan menempatkan Najamuddin Daeng Malewa dalam posisi yang kurang strategis sebagai sekedar pengurus Majelis Pendidikan Pusat 104
dan tidak masuknya Malewa sebagai tim Badan Pekerja Untuk Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian berganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)105 pada tanggal 7 Agustus 1945 yang dikirim ke Jakarta. Di antara yang diutus adalah Andi Mappanyukki (karena berhalangan 102
Kedatangan Ratulangi di kota Makassar dipengaruhi oleh Soekarno yang ingin mempersatukan gerakan nasionalisme Indonesia. Sebelum tibanya beberapa tokoh nasional ini, di Sulawesi Selatan sudah muncul beberapa organisasi Pergerakan Nasional cabang dari organisasi pergerakan yang ada di Jawa, seperti; Muhammadiyah, Sarekat Islam, PNI, Partindo, Gerindo dan Parindra dengan tokoh seperti; Mr.Sunario, Iskaq Tjokroadisoerdjo A. Wahab Tarru, Achmad Siala, Ince Achmad Dahlan, Sikado Daeng Nai, Haji Muhammad Azikin, Saelan, Manai Sophian dan Nadjamuddin Daeng Malewa. Yang terakhir disebutkan ini adalah tokoh Parindra yang kemudian membentuk organisasi Pergerakan Nasional bercorak lokal bernama Partai Serikat Selebes. Menjelang masuknya Jepang, tokoh-tokoh nasional asal pusat ini kemudian meninggalkan Makassar (Najamuddin, 2007). Soekarno sendiri mengunjungi Makassar pada tanggal 28 April s/d 2 Mei 1945 untuk memperkuat arus gerakan nasionalisme di Sulawesi. 103
SUDARA dalam bahasa Jepang adalah ken koku dosikai. Wadah ini dipimpin oleh Lanto Daeng Pasewang, Andi Mappanyukki dan Mr. Tajuddin Noor. Wadah ini berkembang pesat, meliputi seluruh potensi perjuangan di Sulawesi Selatan, serta merupakan mantel organisasi binaan tokoh – tokoh pemuda antara lain : Andi Mattalatta, Saleh Lahode, Amiruddin Mukhlis, Manai Sophian Sunari, Sutan M. Yusuf SA, Man, Y. Siranamual, dll. 104
Ketua Kehormatan : Mappanyukki; Ketua Umum : DR. G.S.S.J. Ratulangie; Ketua Pusat : Lanto Daeng Pasewang; Kepala Bagian Umum : M. A. Pelupessi; Kepala Tata Usaha : A. N. Hajarati; Kepala Bag. Pendidikan : Abd. Wahab Tarru; Komando Pusat : G. R. Pantouw, H.M. Tahir, M. Suwang Dg. Muntu; Majelis Pendidikan Pusat : Najamuddin Daeng Malewa, Mr. S. Binol Maddusila Daeng Paraga 105
Pada tanggal 1 Maret 1945 Pemerintah militer Jepang di Jawa di bawah pimpinan Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan pembentukan suatu Badan Untuk Menyelidiki Usahausaha Persiapan Kemerdekaan, di singkat menjadi Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Cosakai). Maksud tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lainlainnya, yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Susunan pengurusnya terdiri dari sebuah badan perundingan dan kantor tata-usaha. Badan perundingan terdiri dari seorang ketua, 2 orang ketua muda, 60 orang anggota, termasuk 4 orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.
178
hadir maka ia digantikan oleh Andi Pangerang Pettarani), DR. G.S.S.J. Ratulangie, A. Sultan Daeng Raja dan Sekr. Mr. A. Zainal Abidin (lihat Id Agung, 1985: 49-50). Perseteruan dua tokoh besar ini berimplikasi pada afiliasi bangsawan dari kedua etnis besar, Bugis dan Makassar. Para Bangsawan Bugis mengikuti garis perjuangan Ratulangie dalam arti segaris dengan politisi Jakarta seperti Soekarno, sementara para bangsawan Makassar lebih memilih mengikuti alur pemikiran politik Daeng Malewa. Dalam catatan Ijzereef menyebutkan bahwa SUDARA yang didirikan tersebut meluas ke seluruh daerah dalam bentuk-bentuk komitekomite perjuangan (comite van actie). Nadjamuddin Daeng Malewa seorang Sulselis yang memperjuangkan kepentingan lokal yang mempunyai pengaruh luas sempat bekerjasama dengan Ratulangi dan termasuk pengurus di dalamnya. Tapi kerjasama itu tidaklah begitu baik. Ratulangi dan Tadjuddin Noor berada dalam persaingan, sedang kesetiaan Nadjamuddin diragukan (Ijzeeref, 1984). Terdapat kemungkinan, Nadjamuddin yang merasa dirinya mempunyai kemampuan dan banyak berjasa terhadap pergerakan Sulsel di Sulawesi Selatan, ternyata ditempatkan pada posisi tak terlalu penting dalam SUDARA yang baru dibentuk oleh Ratulangi tersebut. Persaingan dua tokoh ini terus menguat pasca kemerdekaan RI. Setelah pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945, Soekarno mengangkat Ratulangi sebagai gubernur Sulawesi. Sebuah keputusan politik yang menimbulkan ketegangan di kalangan elite lokal baik bangsawan maupun dari kalangan nonbangsawan terdidik. Namun berkat dukungan aktif Andi Mappanyukki, mayoritas bangsawan Sulawesi Selatan pada akhirnya mendukung Ratulangi melalui ―Deklarasi Djongaya‖ 15 Oktober 1945 (IAAGA, 1985:56). Dalam perjalanannya sebagai gubernur Sulawesi, Ratulangi kemudian mendirikan sebuah badan yang kemudian dianggap menjadi kendaraan pemerintah provinsi Sulawesi, yakni Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKR) dengan tidak memberikan kedudukan yang penting untuk Tadjuddin Noor yang sejak awal setia mendampinginya. Sedangkan Nadjamuddin Daeng Malewa sama sekali tidak masuk dalam kepengurusan itu. Dalam waktu yang bersamaan Tadjuddin Noor mendirikan Partai Sulsel Indonesia (PNI) di Sulawesi sekaligus menjadi ketua partai itu. Sementara itu, Daeng
179
Malewa tetap dengan Partai Sarekat Selebes dan terus menggelorakan kepentingan lokal. Dalam situasi perpecahan ini, Belanda yang pada saat itu kembali mengkonsolidasikan diri untuk sebuah penjajahan baru setelah hengkangnya pemerintah militer Jepang berusaha memanfaatkan situasi ini. Untuk memuluskan rencana Belanda tetap eksis di bumi Sulawesi, digandenglah Daeng Malewa dengan cara memberikan kedudukan kepada Daeng Malewa sebagai Handels Consulent (Patang, 1967: 109) dan mengundangnya dalam konferensi Malino tanggal 16 – 22 Juli 1946 yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook itu. Di antara tokoh lokal yang juga dilibatkan saat itu adalah Sukawati (Bali), Dengan (Minahasa), J. Tahya (Maluku Selatan), Dr. Liem Cae Le (Bangka-Biliton, Riau), Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan), dan Uray Saleh (Kalimantan Barat). Adapun tujuan konferensi menurut konsepsi Belanda adalah untuk memusyawarahkan pengembangan ketatanegaraan Negara Indonesia yang hendak di bentuk bersama. Di dalam konferensi ini dibicarakan persoalan-persoalan pokok yang berkaitan dengan pembentukan negara bagian. Tiga persoalan pokok yang dibicarakan, yaitu tentang sistem yang akan di pakai dalam pembentukan NIT (Negara Indonesia Timur) yang akan di bentuk federal atau unitarisme, perlunya masa peralihan di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, tetapi dengan kerjasama yang erat untuk menyusun dan melengkapi negara yang akan di bentuk dan soal ikatan abadi negara Belanda dan Indonesia, dan mempertahankannya setelah Negara Indonesia Timur mencapai kedaulatannya. Dari konferensi ini dihasilkan keputusan untuk memilih bentuk negara federal yang terdiri dari kesatuan-kesatuan yang tidak begitu kecil. Setelah Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai salah satu negara bagian dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia Serikat terbentuk, diangkatlah Najamuddin Daeng Malewa sebagai presidennya (Perdana Menteri). Banyak republikan saat itu menganggap bahwa sikap Daeng Malewa berkolaborasi dengan Belanda adalah sebentuk pengkhianatan seperti terlihat dalam bagaimana kelompok ini mengartikan akronim NIT, sebagai Negara Ikut Tuan. Inilah tahun antara 1945-1949 ketika Belanda kembali hadir dan polarisasi elite berbasis etnis
180
terbentuk. Kalangan Bangsawan Makassar dominan mengikuti garis politik Najamuddin Daeng Malewa yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajah. Terlihat pada masa Jepang, ia menduduki posisi penting sebagai walikota Makassar dan masa agresi Militer Belanda ia berkontribusi lahirnya Negara Indonesia Timur bahkan diangkat sebagai pimpinannya. Sementara itu, kalangan bangsawan Bugis, khususnya Bone terserap ke dalam arus politik Sulselis di bawah kendali Sam Ratulangie yang anti kerjasama dengan pihak Belanda. Kekalahan diplomasi Belanda atas Indonesia yang didukung oleh banyak negara lain termasuk Amerika Serikat menyebabkan pemerintah Belanda memberikan pengakuan atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (walau masih menyisakan Papua bagian Barat). NIT pun dengan sendirinya membubarkan diri dan lebur ke dalam kesatuan RI. Dominasi bangsawan Makassar dalam perjuangan ini menurun pamornya dan sebaliknya bangsawan Bugis menguat. 6.2.1 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Governing Elite Dinamika politik lokal masih terus berlangsung. Memasuki tahun 1950, Kahar Muzakkar, seorang gerilyawan Sulselis menemukan diri kecewa setelah idenya untuk meleburkan diri dan seluruh anggota kesatuannya ke dalam kesatuan tentara RI ditolak oleh pemerintah RI yang berkedudukan di Jakarta.106 Seiring dengan itu, sebagai seorang Islam dengan latar belakang pendidikan Muhammadiyah ia juga di tahun 1953 bergabung dengan ide besar yang diusung S.M. Kartosuwiryo yakni mendirikan Negara Islam Indonesia dan bergabung dengan kelompok militernya yang dikenal dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sejak itu, gerilyawan Kahar Muzakkar merebut kendali atas sebagian besar daerah pedalaman Sulawesi Selatan.107 Dukungan rakyat atas perjuangan Kahar Muzakkar menegakkan 106
Pengiriman Kahar Muzakkar ke Sulawesi Selatan adalah untuk menggantikan posisi juniornya menjadi pimpinan militer di sana, Letkol Soeharto bersama kesatuan Brigade Mataram (salah satu brigade di bawah kendali Kolonel A.E Kawilarang) yang baru saja menumpas pemberontakan Andi Azis 26 April 1950 dipertimbangkan sebagai strategi politik Jakarta karena melihat posisi orang Jawa yang ‗dimusuhi‘ di Sulawesi Selatan. 107
Ideologi gerakan Darul Islam menggabungkan tafsiran ketat atas hukum Islam dengan permusuhan ekstrim terhadap praktik-praktik ―feodal‖ yang memisahkan bangsawan dengan orang biasa. Hukum syariah ketat diperkenalkan di wilayah kekuasaan gerilyawan. Sufi tariqa, pemujaan di kuburan dan roh-roh leluhur istana mereka tekan. Sebagai bagian dari kampanye mereka melawan ―feodalisme,‖ seluruh simbol perbedaan lapisan sosial ditekan dalam
181
siri ‟ diberikan secara luas. Sementara itu, karena karakter pribadinya yang anti feodal, membuat banyak bangsawan baik muda maupun profesional di kemiliteran bergabung dengan tentara Jawa yang ditugaskan untuk menumpas perjuangan Kahar Muzakkar. Namun, dominasi Kahar bertahan hingga tahun 1965. Beberapa faktor dominasi itu menurut Harvey (dalam Millar, 2009:70) terletak pada beberapa hal, diantaranya tentara Jawa yang menganut ‗sinkretis‘, para pemimpin perang Bugis (Bugineses warlords) yang disegani di pedalaman, taktik tekanan yang diterapkan tentara Indonesia, bantuan kaum bangsawan yang takut hartanya diambil dan keluarganya terancam, dan sikap militer yang tidak benar-benar hendak menumpas pemberontakan karena persoalan persaingan dalam perebutan posisi militer dengan gerilyawan, dan bila Sulawesi Selatan damai maka jumlah pasukan akan dikurangi (Harvey 1974:260-271). Selain itu, kekuatan militer Kahar Muzakkar juga memperoleh amunisi baru setelah pasukan PRRI/Permesta dari Sulawesi Utara bergabung dengannya pada tahun 1962.108 Rupanya, pihak Jakarta di bawah kendali Soekarno juga masih terus menggelorakan semangat anti feudalisme. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintahan daerah yang ia terapkan dengan mengganti sistem swapraja menjadi swatantra di tahun 1957. Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom berdiri atau dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kebijakan ini untuk Kabupaten Bone pelaksanaan ritual-ritual siklus hidup. Pernikahan direduksi hingga pembayaran jumlah minimum mahar yang dibayarkan seragam oleh seluruh mempelai pria dan hanya melaksanakan penandatanganan surat nikah oleh dua pihak di depan saksi-saksi (Thomas Gibson, 2009:…). 108
Kedatangan pasukan Permesta pimpinan Gerungan di tengah-tengah pasukan DI/TII di Sulawesi Selatan tahun 1958 (setelah ini diadakan perjanjian kerja sama antara Permesta dengan DI/TII Kahar Muzakhar) digambarkan: "Dengan kedatangan tentara Permesta dari Manado itu, membuat Kahar melondjak-londjak kegirangan menjambut kedatangan tentara Permesta itu, jang telah menempuh djarak djauh dengan segala penderitaan melintasi sungai-sungai, gununggunung dan hutan-hutan lebat. Kahar lantas memberikan tempat konsentrasi kepada tentara Permesta dan diberikan djaminan jang lajak dan tjukup memuaskan. Sendjata-senjata jang dibawa oleh tentara Permesta tjukup riel jang terdiri dari sendjata model baru dan diantaranja ada BAZOKA jang mendjadi kebanggaan Kahar. Dan sementara itu, diaturlah konsepsi kerdjasama militer antara Momoc Ansharullah dengan tentara Permesta dimana TII tidak dihiraukan lagi oleh Kahar, karena memang Kahar sudah merentjanakan akan menghapus TII setelah terbentuknja Momoc Ansharullah". Kahar Muzakkar ditembak mati di tempat persembunyiannya tanggal 3 Februari 1965; sedangkan Dee Gerungan ditangkap pada tanggal 19 Juli 1965, diadili oleh Pengadilan Negeri, dan dijatuhi hukuman mati (Permesta Information Online, edisi 15 Maret 2010).
182
tertuang dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Bone dan Pembentukan Daerah Bone, Daerah Wajo, Dan Daerah Soppeng. Tidak lama setelah itu, kekuasaan Soekarno runtuh berikut ideologi Sulselisme dan anti feudalisme yang diusungnya. Selanjutnya, Indonesia memasuki babak baru. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Soeharto—yang diangkat sebagai presiden oleh MPRS—dan diterapkan secara seragam bagi seluruh wilayah di Indonesia yang sangat berbeda dengan Soekarno. Seorang Soeharto109 adalah seorang yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Jawa masa lampau yang sangat feodalistik dan dengannya isu-isu politik berada dalam kerangka pemikiran Jawa, yakni sentralisme kekuasaan. Dalam mengkonsolidasi kekuasaannya, Soeharto—pemerintah ‗Orde Baru‘—melakukan strategi penyeragaman dalam berbagai aspek, diantaranya penulisan sejarah masa lalu, sistem politik dan pemerintahan, dan model pembangunan. Penyeragaman ini membawa konsekuensi besar di seluruh wilayah di Indonesia dan serta merta mengubah peta perpolitikan di Sulawesi Selatan. Kaki-kaki kekuasaan Soeharto, yakni militer, birokrasi, dan [partai politik] Golongan Karya telah membawa para politisi, baik yang berbasis kebangsawanan, militer, dan kalangan terdidik terserap dalam satu koalisi politik besar, yakni Rezim Orde Baru. Setelah sukses melakukan penyeragaman sejarah [kekerasan] politik dan menghancurkan ‗musuh-musuh‘ politik yang potensial menjegalnya di masa kekuasaannya, Soeharto yang sudah menggenggam kekuatan militer lalu menggulirkan program ‗trilogi pembangunan‘ yang berisikan stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Konsepsi ini dibungkus oleh ideologi pembangunan yang dianutnya dengan tentu saja merujuk pada teori ekonomi pertumbuhan ala Rostow; trickle down effect. Ekonomi adalah panglima bagi Soeharto dan sejak itu, seluruh jaringan birokrasi yang dibangunnya terlibat dalam kesibukan melaksanakan pembangunan.
109
Dalam Thomas Gibson, diuraikan bagaimana silsilah keluarga Soeharto dan bagaimana ia kemudian mengkonsolidasi (merekonstruksi) kebangsawanannya yang dapat ditelusuri hingga Sultan Hamengkubuwono V (memerintah 1792 – 1828) melalui tujuh generasi dari pihak ibunya dan ke Pakubuwono VII (memerintah 1830 – 1858) dari pihak ayahnya (Gibson, 2009 [buku kedua terjemahan]).
183
Dari aspek pemerintahan, tahun 1970an Soeharto mengeluarkan kebijakan pemerintahan daerah dan Desa yang bercorak sentralistik. Dalam kebijakan ini, posisi elite pemerintahan di level provinsi (Daerah Tingkat I) dan kabupaten (Daerah Tingkat II) ditentukan oleh Jakarta. Setiap daerah dari kedua level di atas mengajukan tiga sampai lima calon kepala daerah dan akan ditentukan oleh Presiden untuk disahkan Menteri Dalam Negeri (UU No. 5 tahun 1974). Pada masa ini, politisi dengan basis kemiliteran110 dan loyal kepada Soeharto akan dengan mudah mengakses kekuasaan dan menaiki tangga elite politik. Pada periode ini di tiga level pemerintahan (provinsi, Kabupaten/kota, dan Desa) dominasi kepala daerah dari kalangan militer lebih besar ketimbang politisi sipil. Di Sulawesi Selatan, gubernur berbasis militer adalah AL (1966 – 1978), AO (1978 – 1983), ZBP (1993 – 2003). Terkecuali AA (1983 – 1993) dari kalangan birokrat sipil (kalangan terdidik). Demikian pula beberapa daerah tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan dominasi militer itu. Lihat saja di Kabupaten Bone yang didominasi oleh politisi militer seperti Kolonel H. Suaib (18 Agustus 1970 – 13 Juli 1977), Kolonel H. P.B. Harahap (13 Juli 1977 – 22 Februari 1982), Kolonel H. A. Made alie (22 Februari 1982 – 6 April 1982), Kolonel H. Andi Syamsul Alam (28 Maret 1983 – 06 April 1988), Kolonel H. Andi Sjamsul Alam (06 April 1988 – 17 April 1993), Kolonel H. Andi Amir (17 April 1993 – 2003), Idris Galigo (2004-2014). Hal yang sama terjadi di Kabupaten Gowa; Kolonel TNI A. Tau (1961-1966), Kolonel TNI YL(1966-1967, pejabat Bupati), Kolonel TNI K.S. Mas‘ud (19671977), Kolonel Polisi Sirajuddin (1977-1982), Kolonel TNI Kadir Dalle (19821987), Kolonel TNI Azis Umar (1987-1992), SYL(1992-2001). Abdullah Djabar (2002-2004) Ikhsan YL(2005-2015). Meskipun kepemimpinan politik di Kabupaten Bone dan Gowa pada masa rejim Orde Baru sepenuhnya dikuasai oleh perwira menengah ABRI, akan tetapi ada yang spesifik antara Bupati dari ABRI di Bone dengan Bupati dari ABRI di Kabupaten Gowa. Dari enam Bupati dari ABRI di Kabupaten Bone, hanya kolonel Harahap yang bukan orang etnis Bugis Bone. Sebaliknya, Bupati Gowa yang 110
Pada masa Orde Baru, Kalangan Militer diuntungkan oleh kebijakan Dwi-Fungsi ABRI yang merupakan pengejawantahan pemikiran dari AH. Nasution.
184
berasal dari ABRI, hanya satu orang yang berasal dari etnis Makassar Gowa, yakni kolonel A. Tau. Pilihan-pilihan ini tentu saja secara politik bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Intelejen politik Jakarta paling tidak memiliki pandangan bahwa kedua daerah ini memiliki karakteristik yang berbeda. Mungkin saja, Kabupaten Bone dipandang memiliki karakteristik masyarakat yang ―tertutup111‖ terutama dalam soal struktur kekuasaan, sebaliknya masyarakat Kabupaten Gowa mungkin dinilai lebih flexibel menerima kepemimpinan dari ―luar‖. Model politik penetrasi melalui jalur TNI merasuk ke semua wilayah di Indonesia. Termasuk di Kabupaten Bone dan Gowa. Tokoh-tokoh TNI yang memiliki hubungan baik dengan Jakarta, atau khususnya yang memiliki relasi khusus dengan ―Cendana‖ akan memiliki ticket untuk menduduki posisi politik di daerah. Posisi politik itu tidak lain adalah perpanjangan tangan rejim Orde Baru, dalam hal ini presiden Soeharto. Naiknya pamor kalangan militer ini menunjukkan bahwa konsep stabilitas benar-benar efektif dilaksanakan. Di setiap level pemerintahan terbentuk jejaring elite kekuasaan yang disebut Muspida dan Tripika. Artinya, bila terdapat 40.000 – 50.000 Desa di seluruh Indonesia maka akan ada Babinsa yang berfungsi mengawasi proses depolitisasi warga Desa melalui kebijakan massa mengambang (floating mass). Disamping itu, corak pemerintahan Desa sangat mirip dengan bagaimana negara mengorganisir kekuasaannya, yakni menghadirkan kekuasaan seorang kepala desa sebagai orang terkuat yang mengatasi Lembaga Musyawarah Desa (LMA) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), namun di satu sisi tunduk patuh dan loyal pada petunjuk bupati yang juga tunduk patuh kepada gubernur dan seterusnya hingga kepada presiden. Begitu seriusnya negara menerapkan prinsip kekuasaan yang dianutnya hingga Antlov menyebut praktek ini sebagai ‗negara dalam Desa‘ (Antlov, 2005). Sebagaimana patronnya di level negara, di mana seorang Soeharto mampu bertahan menduduki kursi kepresidenan selama 32 tahun, maka di banyak Desa, seorang kepala desa juga dapat bertahan lama sepanjang menjaga loyalitas terhadap patronnya dan bahkan banyak diantaranya yang baru undur diri berdasarkan aturan baru, yakni sejak UU No. 22 111
aliarhum kolonel Harahap tidak sempat menyelesaikan masa jabatannya sebagai Bupati Bone selama lima tahun, karena saat menjalankan pengabdiannya sebagai Bupati, ia terbunuh oleh seseorang dengan motif yang sulit ditelusuri hingga saat ini.
185
tahun 1999 diterapkan dan direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2005 tentang pemerintahan daerah. Di masa-masa yang nyaris bersamaan, perampingan partai politik terus dilakukan hingga tinggal dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan Golongan Karya (yang enggan dikategorikan sebagai partai politik karena menghilangkan kesan bobroknya kinerja partai politik di masa lalu). Berdasarkan kebijakan presiden menjelang pemilihan umum 1971, jumlah peserta Pemilu dipangkas hingga menjadi sepuluh partisipan saja 112 dan Pemilu berikutnya di tahun 1977 tinggal menjadi tiga partai politik. Dalam konteks ini, Suharto dengan apik mengomandani tentara, polisi, dan pegawai sipil sebagai tiga pilar mesin politik paralel yang masing-masing mempertahankan sistem pengawasan terhadap setiap level masyarakat. Dia menyatukan seluruh pegawai negeri sipil ke dalam sebuah partai politik, Golkar, dan menjadikan mereka piranti dari visi masyarakat birokratis yang ada di kepalanya (Gibson, 2007). Dari sisi pembangunan ekonomi, Soeharto menjadikan gerakan Revolusi Hijau sebagai prioritas pembangunan selama empat Repelita. Untuk mengawal pembangunan ekonomi, Soeharto menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan politik. Bedanya, tentara tidak lagi bersama birokrat dan para guru untuk melakukan kontrol pembangunan pada setiap level masyarakat. Tetapi, Soeharto menyodorkan partner lain, pengusaha keturunan Tionghoa. Pengusaha China dengan beberapa kerabat dekatnya mendapat dukungan kebijakan dan proteksi dari Soeharto dalam menjalankan bisnisnya, terutama di sektor pangan. Tentara berkewajiban membackup para pengusaha yang sudah ditentukan oleh Soeharto (Fahmid, 2004). Dengan memahami konstruksi politik dan ekonomi yang dibangun oleh Orde Lama dan Orde Baru, maka pola akuisisi kekuasaan yang dilakukan oleh governing elite terhadap non-governing elite dan sub-elite, pada masa Orde Lama dan Orde Baru setidaknya melalui alat seperti; Pertama, desakralisasi symbolsimbol feudalism kerajaan dan kebangsawanan. Pada masa Orde Lama sejumlah Kerajaan di Sulsel, khususnya pada Kerajaan Bone dan Gowa
mengganti sistem
swapraja menjadi swatantra di tahun 1957. Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom 112
Lihat kebijakan Pemilu 1971
186
dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir yang memiliki kekuasaan besar di daerahnya masing-masing dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kedua, sentralisasi penentuan elite puncak pada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa. Elite-elite yang memegang kendali utama dalam pemerintahan Propinsi dan Kabupaten semuanya ditentukan oleh Pemerintahan Pusat. Dengan cara ini, semua kekuatan non-governing elite yang berada di daerah Sulsel terlucuti, dan diganti oleh elite-elite baru yang ―import‖ dari daerah lain. Pada umumnya elite-elite baru itu berlatarbelakang militer. Eliteelite local di desa juga diperlakukan sama dengan non-governing elite di tingkat kabupaten dan propinsi. Ketiga, control yang ketat terhadap organisasi massa dan partai politik. Kontrol ini dimaksudkan untuk menjaga berkembangnya nongoverning elite yang tidak terkontrol oleh elite penguasa. 6.2.2 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite Takluknya kerajaan Bone terhadap Belanda pada perang 1905, mengubah formasi politik dan kekuasaan di Sulawesi Selatan, terutama di kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Kerajaan Bone yang sebelumnya menjadi sekutu terbaik Belanda balik haluan, berhadapan dengan Belanda. Sebaliknya, musuh bebuyutan Belanda, istana Gowa ―merapat‖ dengan kepentingan politik Belanda. Meskipun sejumlah ―sempalan‖ istana Gowa tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Bangsawan Gowa yang dikontrol Belanda yang tinggal di istana mendapat ruang kekuasaan yang lebih besar. Perubahan kebijakan Belanda dengan politik etis terhadap koloninya, akhirnya menumbuhkan elite-elite baru di Sulawesi Selatan. Selain faktor kebangsawanan, pamong birokrasi, saluran pendidikan terutama cikal bakal Muhammadyah menjadi jalan baru bagi terbentuknya elite-elite Sulawesi Selatan. Kelompok cendekiawan yang diikuti oleh kelompok pro Indonesia merdeka terus menerus mempersiapkan dirinya menjadi kekuatan baru dalam peta elite di Sulsel. Sebagian besar kelompok pro Indonesia merdeka kelak menjadi dasar terbentuknya laskar-laskar pembela Indonesia merdeka, yang kemudian hari mengisi barisan TNI.
187
Kemunculan elite-elite Sulsel, terutama elite Bugis dan Makassar, dan khususnya elite Bone dan Gowa, sejak perang 1905 hingga periode sekularisme (2010) proses kelahirannya dapat diklasifikasi melalui jalur; (i) Aristokrat (bangsawan dan pamong birokrasi pemerintahan kolonial); (ii) Aristokrat yang melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kelompok pro kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi cikal bakal TNI; (iii) Kelompok ilmuwan atau cendekiawan; (iv) Kelompok pengusaha, terutama yang mendapat proteksi dari rejim Orde Lama dan Orde Baru. Memasuki masa kemerdekaan, peranan elite aristokrasi yang berada di bawah kontrol Belanda mulai menurun. Elite-elite ini kebanyakan berada di istana Gowa. Sementara elite aristokrat lainnya, terutama yang berada di Bone semakin mendekati masa kemerdekaan, kian menjaga jarak dengan penguasa kolonial. Mereka intensif mengkonsolidasikan kekuatan untuk mempersiapkan diri memasuki era kemerdekaan. Di sinilah letak perbedaan antara aristokrat Bone dengan aristokrat Gowa. Ketika aristokrat Bone mulai merambah dunia pendidikan dan membentuk laskar untuk melawan Belanda, aristokrat Gowa masih ―berselimut‖ dengan pemerintahan kolonial di istana kerajaan Gowa. Akan tetapi di luar istana, kelompok kritis etnis Makassar yang ―membangkang‖ terhadap kebijakan istana dan pemerintahan kolonial
sudah mulai memasuki
bangku pendidikan dan menyiapkan diri untuk mendukung Indonesia Merdeka. Kelompok ini kemudian menjelma menjadi kelompok cendekia dan laskar pembela kemerdekaan Indonesia. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kekuasaan di Jakarta tidak melihat adanya sumberdaya elite Sulawesi Selatan yang pantas memimpin provinsi Sulawesi. Soekarno lebih memilih elite di luar Sulsel untuk memimpin Sulawesi. Gubernur pertama Sulawesi (1945-1950) adalah Dr, G.S.S.J. Ratulangi, berasal dari Sulawesi Utara, kemudian digantikan oleh R. Sudiro dari Jawa (19511953). Gubernur Sulawesi periode 1953-1956 adalah Lanto Dg. Pasewang, untuk pertama kalinya elite Sulsel (etnis Makassar) dipercayakan oleh pemerintahan Soekarno di Jakarta untuk menduduki kursi Gubernur. Lanto Dg. Pasewang adalah seorang pejuang kemerdekaan yang amat cendekia pada masanya. Ia mengambil jalur pendidikan dan perjuangan pro kemerdekaan yang mengantarkan
188
dirinya sebagai elite baru pada awal kemerdekaan. Sebelum A. Pangeran Petta Rani menduduki kursi Gubernur pada 1956-1960, terdapat masa sela beberapa bulan pada tahun 1956. Jabatan Gubernur Sulawesi pada masa sela ini diisi oleh A. Burhanuddin yang berasal dari etnis Bugis Wajo. Jabatan ini diberi nama Acting Gubernur Sulawesi. Menilik preferensi politik Presiden Soekarno di Sulawesi, periode politik antara 1945 sampai 1956, menunjukkan kecenderungan politik yang mengarah pada upaya pemerintah pusat untuk menentukan pemimpin daerah adalah dari kalangan cendekiawan atau ilmuwan. Ini dapat dilihat dari pilihan Jakarta terhadap Gubernur Sulawesi; Dr. Ratulangi, R. Sudiro, A. Burhanuddin dan Lanto Dg. Pasewang (1945-1956) mereka-mereka ini dikenal dan mencirikan dirinya sebagai seorang ilmuwan. Pilihan ini, sesuai dengan prinsip-prinsip Soekarno yang ingin memudarkan peranan aristokrasi dan feudalisme di Indonesia. Akan tetapi, ketika politik lokal di Sulsel mulai bergejolak, yang ditandai dengan mulai munculnya perlawanan Kahar Mudzakkar, yang memproklamirkan DII/TII pada Agustus 1953, Soekarno mulai memunculkan pola politik baru untuk menentukan Gubernur di Sulawesi. Dengan tujuan untuk meredam pemberontakan Kahar Mudzakkar, Soekarno harus mencari figur yang disegani oleh masyarakat Sulawesi, terutama dari etnis Bugis dan Makassar. Dapat diduga, salah satu tujuan dipilihnya A. Petta Rani sebagai Gubernur Sulawesi periode 1956-1960 adalah untuk meredam pemberontakan Kahar Mudzakkar. Soekarno ingin meminjam kewibawaan A.P. Petta Rani untuk menundukkan semangat patriotisme Kahar dan pengikutnya. A.P. Petta Rani adalah seorang elite yang cendekia dari kalangan bangsawan tinggi, yang sekaligus mewakili dua etnis besar di Sulawesi; Bugis dan Makassar. Pemberontakan Kahar Mudzakar terus berlanjut, pendekatan politik Soekarno terhadap Sulawesi, khususnya Sulsel semakin provokatif. Pada periode 1960-1966, Soekarno mengangkat Mayjen A.A. Rivai dari etnis Bugis Polewali Mandar menjadi Gubernur Sulselra (Sulawesi Selatan Tenggara). Pendekatan politik Jakarta terhadap Sulawesi berubah dari politik kultural menjadi politik struktural kekuasaan. Soekarno yang semula mengandalkan kekuatan sipil mulai meminjam tangan tentara, paling tidak untuk tujuan meredam pemberontakan
189
Kahar Mudzakkar. Pada periode ini, kekuatan Kahar terus merosot, bahkan pemberontakan Kahar dinyatakan berakhir, setelah ia tertembak mati pada Operasi Tumpas yang dilancarkan oleh Kodam XIV Hasanuddin berhasil mendesak pasukan DI/TII hingga akhirnya pimpinannya, Kahar Mudzakkar tertembak mati di dekat Sungai Lasolo Kolaka pada tahun 1965 (Harvey, 1987: 328; Gonggong, 1992: 174). Memasuki Orde Baru, peranan militer semakin kuat. Rejim Soeharto menjadikan tentara sebagai ujung tombak kekuatan politiknya. Posisi-posisi strategis dikuasai oleh tentara. Gubernur Sulawesi Selatan periode 1967-1978 juga diduduki oleh Mayor Jenderal TNI Achmad Lamo. Lamo adalah salah satu tentara yang berasal dari Sulsel yang memiliki hubungan kuat dengan Jakarta. Untuk menancapkan kekuatan politiknya lebih jauh di Sulsel, Soeharto kemudian memilih Brigader Jenderal AO sebagai Gubernur Sulsel pada kurun waktu 19781983. AO bukan saja tentara yang loyal pada atasannya di Jakarta, tetapi ia juga memiliki kewibawaan yang besar di Sulsel, karena dia adalah bangsawan kerajaan kembar Gowa-Tallo, tetapi memiliki peranan dan posisi penting di Bugis Ajatappareng. Salah satu saudaranya, A. Mannaungi adalah walikota pertama kota Parepare. Untuk tujuan peningkatan kualitas pembangunan di Sulsel, rejim Orde Baru melakukan eksperimen politik yang cukup radikal, yaitu mengangkat orang sipil, Prof. Dr. AA yang berasal dari kampus menjadi Gubernur Sulsel selama dua periode (1983-1993). Mantan Rektor Universitas Hasanuddin dua periode ini membuktikan kepada Soeharto bahwa orang sipil bisa dipercaya memimpin daerah.
AAtampil sebagai Gubernur yang membanggakan di kancah Sulsel
dengan konsep utamanya; Tri konsep (perubahan pola pikir, petik olah jual, dan pengwilayahan
komoditas).
Secara
konsepsional,
konsep
yang
diusung
AAmenjadi konsep dasar pembangunan Sulsel bagi para Gubernur berikutnya. Pada periode 1993-2003, jabatan Gubernur Sulsel kembali diduduki oleh tentara, yaitu Mayor Jenderal ZBP. Pada masa periode kedua jabatan ZBP, rejim Soeharto mengalami kemerosotan kepercayaan publik, akhirnya pada tahun 1998, Soeharto secara resmi mengundurkan diri. Situasi kepemimpinan Sulsel dan daerah mulai tidak stabil. Demonstrasi mahasiswa menuntut perubahan sistem politik terus
190
meluas. Untuk merespon tuntutan itu, salah satunya, pemerintahan peralihan yang dipimpin Prof. Dr. BJ. Habibie mempercepat Pemilu. Hasilnya, dominasi Golkar sebagai partai yang paling berkuasa pada rejim Orde Baru mulai berkurang, dan muncul partai alternatif seperti Partai Demokrat, PKB dan PAN. Merosotnya kekuatan partai Golkar mengubah peta politik pada kancah Sulsel maupun daerah tingkat dua. Arena politik semakin terbuka. Politik bukan lagi milik dominasi tentara, birokrat dan Golkar. Perubahan sistem politik itu akhirnya menerpa wilayah politik Sulsel, yang selama ini menjadi ladang dan lumbung partai Golkar. Pemilihan Gubernur Sulsel periode 2003-2008, memperlihatkan warna dan dinamika politik yang sangat kompetitif. Pemain politik pada pemilihan Gubernur kali ini kian beragam, tidak saja diikuti oleh birokrat, tentara dan politisi Golkar, tetapi sudah melibatkan pengusaha,
politisi
non-Golkar
dan
birokrat.
Meskipun
pemilihan
itu
dimenangkan oleh pasangan politisi Golkar dan birokrat (Mayjen AS dan SYL), akan tetapi proses kemenangannya tidak semudah seperti yang terjadi pada pemilihan Gubernur sebelumnya. Warisan politik kolonial (1905-1945), Orde Lama dan Orde Baru serta sistem politik era sekularisme di Sulsel telah melahirkan sejumlah klan elite yang beragam pada setiap level dan wilayah politik. Klan elite politik pada level makro (provinsi) yang dilahirkan aristokrat pada fase 1905-2010 hanya dapat ditelusuri dari wilayah kebangsawanan Bone, sedangkan aristokrat dari kebangsawanan Gowa berhenti sampai pada level mezzo (Kabupaten). Meskipun Andi Pangeran Petta Rani diakui bersumber dari perpaduan elite kebangsawanan Bone dan Gowa, tetapi keberlanjutan klan elitnya hanya diwariskan melalui darah kebangsawanan Bone. Lahir elite dari klan ini pada level makro (provinsi dan Sulsel) antara lain adalah; Jenderal TNI MJ (mantan Menhamkam, Pangab, dan Menteri Perindustrian), HI (mantan wakil dan Walikota Makassar), AM (mantan Menteri Menkumham, mantan anggota DPR RI), PJL melalui anak-anaknya; AY (DPRD Sulsel), AF (mantan wakil Bupati Bone), dr. AK (eselon II), ARP (anggota DPR RI), Prof. Dr. AS (mantan Pembantu Rektor II Unhas), AA (mantan anggota DPRD Sulsel), IIG (anggota DPRD Sulsel).
191
Pada level mezzo (Kabupaten), elite aristokrat Bone dilanjutkan oleh; AG; AS; AN; AMH yang dilanjutkan oleh anak-anaknya; AMA, (mantan Kepala Kecamatan Kajuara), AA (mantan Bupati Bone periode 1993-2003), AABA (mantan Kepala Kecamatan Kajuara), AS (non governing elite), AN (Kepala Kecamatan Kajuara saat penelitian ini berlangsung); AY yang dilanjutkan oleh anak-anaknya; ABA (mantan Bupati Bone periode 1967-1969), dan MJ (mantan Panglima ABRI); AI, dilanjutkan oleh anaknya AHI (Mantan Walikota Makassar 2008). AIG (Bupati Bone periode 2004-2014). Klan A. Pangeran Petta Rani yang melanjutkan eksistensi ke-elite-annya pada level mezzo di Gowa adalah AI Krg L (mantan kepala daerah wilayah Makassar, yang meliputi Gowa, Takalar dan Jeneponto) pada periode 1955-1961. Kemudian dilanjutkan oleh AML (mantan camat di wilayah DKI, mantan Kepala Dinas Sosial provinsi Sulsel, dan mantan calon Bupati Gowa dua kali). Untuk mempertahankan kekuasaanya, setiap rejim selalu memiliki pola dalam membangun struktur kekuasaannya. Slogan Sulselisasi dan pribumisasi menjadi tema yang diusung rejim Orde Lama, untuk memperkokoh posisi politiknya. Slogan ini kemudian diwujudkan dalam aksi konkrit seperti; mendahulukan kelompok sipil untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, kebebasan berpolitik dengan memberi kesempatan semua warga negara untuk berproses keterlibatan dalam politik melalui kemunculan partai politik, mengurangi peranan aristokrasi dan feudalisme dalam pemerintahan, dengan mendorong lahirnya ilmuwan dan cendekiawan untuk mengisi birokrasi pemerintahan dan jabatan-jabatan sipil yang strategis. Khusus untuk ekonomi, presiden Soekarno menetapkan program Benteng untuk melahirkan pengusahapengusaha pribumi yang tangguh. Pada periode Orde Lama, elite politik Sulsel yang lahir dari kebijakan politik Soekarno antara lain; Lanto Dg. Pasewang dari etnis Makassar (Kabupaten Jeneponto), A. Burhanuddin dari etnis Bugis Wajo, melalui politik pencerdasan dan usaha mereduksi peranan sosial politik kaum aristokrat, dan pengurangan eksistensi kalangan feudal. Sedangkan elite yang dilahirkan dari sektor ekonomi melalui
192
program Benteng113 di Sulsel antara lain adalah; NV. Hadji KL114 dan PT. Aslam. Posisi elite ekonomi Hadji KL terus berlanjut hingga era sekularisme. Sedangkan Aslam ―ditumbangkan‖ oleh rejim Orde Baru. Hampir semua aset yang dimiliki oleh Aslam disita untuk kepentingan kekuasaan Orde Baru. Lanto Dg. Pasewang yang memasuki jalur kekuasaan tidak meninggalkan jejak kekuasaan politik yang menonjol pada generasinya. Pasewang dan keluarganya tidak menunjukkan aktivitas yang memadai untuk memelihara kesinambungan kekuasaannya. Sebaliknya, KL sebagai pengusaha mampu menangkap semua peluang ekonomi dan politik yang ada, meskipun terjadi gelombang perubahan politik.
113
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir dan direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya; Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia; Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berproses keterlibatan dalam pembangunan ekonomi nasional; Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit; Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju. Selama Pemerintahan Soekarno, ada tiga kebijaksanaan dalam bidang ekonomi yang memberi perhatian dan fokus utama ke pengusaha nasional atau pribumi. Pertama, kebijaksanaan Ekonomi Benteng 1952/1953. Pengusaha nasional, yang dalam hal ini saudagar pribumi, diberikan alokasi devisa untuk impor. Kebijaksanaan ini menumbuhkan pengusaha besar dan menengah secara cepat, dan banyak di antara perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang, misalnya perusahaan milik Achmad Bakrie, Soedarpo, dan Haji Kalla. Kedua, diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 10 dari Menteri Mr Assaat tahun 1952. Hanya pengusaha pribumi yang boleh berusaha di tingkat Kecamatan. Aturan ini mendorong tumbuhnya pengusaha kecil di desa yang selama ini dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Dalam kasus di Sulawesi Selatan, selain keuletan orang-orang Bugis-Makassar dalam berniaga, sampai sekarang pedagang Tionghoa banyak juga di kota Kabupaten, cuma tidak sebesar di Jawa atau daerah lain. Ketiga, kebijaksanaan KIK/KMKP (kredit industri kecil/kredit modal kerja permanen. Kebijaksanaan kredit yang secara eksplisit diberikan kepada pengusaha kecil pribumi tersebut membantu tumbuhnya kembali pengusaha kecil dan menengah di daerah. 114 Hadji Kalla bermula dari usaha dagang hasil bumi, transportasi lokal, kemudian merambah dunia otomotif (menjadi dealer tunggal mobil Toyota untuk daerah Sulsel, Sultra dan Sulteng). Kini memasuki usaha industry berat, energi, entertein (Kalla Trans Studio) dan developer perumahan. Hadji Kalla memulai usahanya dari Watampone, ibu kota Bone daerah kelahirannya. Ia dikenal memiliki kemampuan beradaptasi secara politik dan ekonomi. Salah satu pengusaha pribumi yang mendapat proteksi dari rejim Soekarno, tetap survive dan berkembang pada masa Orde Baru, lalu menggurita sebagai konglomerat papan atas di Indonesia pada era reformasi. Hadji Kalla juga berhasil melahirkan konglomerat lainnya; PT. Bosowa, yang dikendalikan anak mantunya; Aksa Mahmud. Putra-putri Hadji Kalla tidak saja bermain di lapangan ekonomi, tetapi telah berhasil mengawinkan kekuatan ekonominya untuk menembus panggung politik. Putra tertuanya, M. Jusuf Kalla (JK) adalah aktivis HMI yang pernah menduduki kursi DPRD Sulsel, anggota MPR RI, mantan menteri Perdagangan dan Perindustrian RI, mantan Menkokesra, mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden RI. Kini JK menjabat ketua umum PMI. Saudara JK yang lain ada yang duduk di DPR RI (Halim Kalla), wakil ketua MPR RI dan anggota DPD RI (Aksa Mahmud), aktivis Golkar (Suhaeli Kalla) dan pengusaha (Ahmad Kalla, Farida Kalla dan Fatimah Kalla).. Saat ini, clan Kalla sudah memasuki generasi ketiga.
193
Rejim Orde Baru memiliki cara yang berbeda dengan Soekarno dalam hal membentuk elite. Elite-elite pada zaman Soekarno lahir dari rahim politik melalui kekuasaan partai politik. Sedangkan Soeharto menciptakan elite dengan berbagai jalur. Jalur politik, rejim Orde Baru mengandalkan kekuatan mayoritas Golkar yang didukung oleh tentara dan birokrasi. Soeharto tidak membiarkan elite ekonomi pribumi berkembang seperti yang diharapkan Soekarno. Elite ekonomi pribumi tidak diberikan ruang untuk kawin mawin dengan penguasa. Kecuali pada sedikit kasus, yakni konco-konco terdekat Soeharto. Ekonomi Indonesia di bawah rejim Soeharto sepenuhnya dikontrol oleh pengusaha keturunan China. Tentara lebih dipercaya mengelola ekonomi ketimbang pengusaha pribumi. Langkah ini rupanya bagian dari strategi Soeharto untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Di Sulawesi Selatan, elite-elite produk Orde Baru bermunculan dengan berbagai cara. Namun elite hasil produksi tentara jauh lebih unggul dibanding dengan proses pembentukan elite pada sektor lain. Elite yang dihasilkan oleh tentara telah membentuk aktor-aktor yang memiliki kekuatan dan kekuasaan politik yang besar. Apalagi kalau aktor-aktor itu memiliki kemampuan menjadi inspirator organisasi politik, bisa mengelola organisasi masyarakat, dan mempunyai jaringan untuk mengembangkan bisnis. Elite tentara di Sulsel yang paling sukses membentuk klan politik yang lahir dari rongga kekuasaan Orde Baru adalah Kolonel YL115. YL tidak saja sukses 115
Karir militer Yasin Limpo mulai cemerlang sejak ia bertugas di daerah kelahirannya, Kecamatan Bontompo Kabupaten Gowa. Dari sisi teritorial, Yasin Limpo sejak lama sudah mempersiapkan Kabupaten Gowa sebagai basis utama politiknya. Selain itu, Kabupaten Takalar menjadi second area untuk penguatan politik keluarganya. Ketika putra keduanya; Syahrul Yasin Limpo memilih menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dalam waktu yang tidak lama, ia dipersiapkan menjadi camat di kecamatan Bontonompo. Dibawah mentor sang ayah, Syahrul terus menapaki karir birokrasi sembari menjadi aktivis organisasi pemuda dan partai Golkar. Pada tahun 1993-2002 ia terpilih menjadi Bupati Gowa, setelah menduduki posisi sekda di Gowa. Pada tahun 2005, adiknya yang bernama Ikhsan Yasin Limpo terpilih secara langsung melalui Pilkada menggantikan Syahrul sebagai Bupati Gowa, sebelumnya ia duduk di DPRD Sulsel, dan Syahrul naik menjadi wakil Gubernur. Sedangkan kakak perempuannya; Tenri Olle Yasin Limpo menjadi ketua Golkar Gowa dan sekaligus terpilih menjadi anggota dan ketua DPRD Gowa. Pada saat Syahrul menjadi Bupati Gowa adik bungsunya; Irman Yasin Limpo pernah ditugaskan sebagai camat di kecamatan Bontonompo, mengikuti jejak kakaknya, kini ia menjabat sebagai kepala BKPMD Sulsel. Adik perempuan Syahrul yang lain adalah Dewi Yasin Limpo terpilih menjadi ketua Umum Partai Hanura (saat ini menjadi salah satu ketua DPP Hanura). Ibu Tenri Angka (Nana), adik perempuan Syahrul yang berikutnya memilih menjadi pengusaha. Haris Yasin Limpo, adiknya yang lain adalah salah satu ketua Golkar kota Makassar, dan beberapa kali terpilih menjadi anggota legislatif kota Makassar. Yasin Limpo menikahi perempuan Bugis Sidrap berdarah melayu, Ibu Nurhayati. Ibu Nurhayati pernah menjadi anggota DPRD Sulsel selama dua periode dan anggota DPR RI dua periode melalui Golkar. Kini cucunya dari putri Syahrul, Thita Chunda menggantikan kedudukan neneknya di Senayan melalui fraksi PAN. Sedangkan cucunya yang lain dari Ikhsan Yasin Limpo, Adnan Puritcha menduduki kursi DPRD Sulsel dari partai Demokrat. Yasin Limpo meninggal pada 2008, sebelumnya ia pernah memimpin Sekber Golkar Sulsel, Kosgoro Sulsel, Pramuka Sulsel, Muhammadyah wilayah Sulselbar, dan Perusda Sulsel. Pada dunia birokrasi
194
secara pribadi sebagai tentara, politikus dan pimpinan sejumlah organisasi sosial dan bisnis, tetapi ia juga mampu mewariskan kecerdasan sosial politiknya sampai pada generasi ketiga (saat ini). Regim Orde Baru melihat YLmemiliki talenta memenej konflik, itu sebabnya Markas Besar TNI selalu menugaskan YLmenjadi pelaksana tugas pemerintah di beberapa daerah yang sedang bermasalah. Pengalaman sosial politik yang dimilikinya, ia jadikan sebagai asset politik dalam keluarga besarnya. Keberhasilan YL membangun struktur kekuasaan melalui jalur tentara, tidak diikuti oleh aktor-aktor lain pada etnis Makassar, maupun di Gowa. Sepanjang rejim Soeharto tidak terdapat aktor elite lain, selain YL di Gowa yang tumbuh sebagai satu kekuatan sosial politik maupun ekonomi. Kelahiran elite-elite baru pada level mezzo di Kabupaten Gowa, tetap tidak terlepas dari kontrol klan YL. Secara umum, Orde Baru tidak menggunakan etnis Makassar sebagai jejaring sosial maupun politiknya. Keadaan ini membuat posisi klan YL menjadi semakin tangguh. YL tumbuh tunggal dalam lapangan sosial etnis Makassar, terutama di Gowa. Klan ini kemudian menjadi payung tunggal besar bagi sejumlah elite-elite kecil yang baru tumbuh di wilayah Makassar. Hampir semua elite-elite baru116 pada etnis Makassar, menjadikan klan YL sebagai tempatnya bernaung dan berguru117. ia pernah menjadi pejabat Bupati di beberapa kabuapten. Kini beberapa jabatan yang pernah ia pimpin, kembali di jabat oleh putra tertuanya; Syahrul Yasin Limpo. Lihat misalnya, Syahrul adalah ketua Pramuka Sulsel, ketua Golkar Sulsel, ketua Kosgoro Sulsel, dan ketua FKPPI Sulsel. Berdasarkan jaringan yang dimilikinya clan Yasin Limpo, diperkirakan sepuluh sampai lima belas tahun mendatang, clan politik Yasin Limpo menjadi clan politik yang paling disegani dari etnis Makassar, khususnya Kabupaten Gowa, bahkan di Sulsel. Clan ini memiliki infrastruktur dan suprastruktur politik yang paling lengkap. Mengacu pada teori patron-client, clan Yasin sudah menjadi patron politik paling berpengaruh di Sulsel. Mereka memiliki client yang sangat loyal pada berbagai jaringan sosial dan bisnis. Lihat misalnya, untuk mendukung gerakan politiknya, clan ini memiliki piranti politik semacam laskar. Mereka memiliki Brigade 02, Brigade 911 dan Adhiyaksa Force. Selain itu, Syahrul membuka hubungan intelektual dengan sejumlah kampus di Sulsel, karena Syahrul sendiri adalah seorang Doktor di bidang hukum. 116
Beberapa nama elite baru dan berusia muda dari etnis Makassar, khususnya Gowa, dan mereka menjadikan Clan Yasin Limpo sebagai patron adalah; Rahmansyah wakil anggota DPRD Gowa (ketua PDK Gowa), Jufri Rahman (birokrat eselon II), Arfandi Idris (anggota DPRD Sulsel, dan wakil ketua Golkar Sulsel), Anshar Usman (Ketua DPRD Gowa), Sarifuddin Loppo (Kadis Perhubungan Takallar), Suaib Sewang (Mantan ketua DPRD Jeneponto). Client clan Yasin Limpo tidak terbatas di Gowa dan pada etnis Makassar, orang-orang Bugis juga menjadikan clan Yasin Limpo sebagai patronnya. Birokrat dan politikus muda di bawah ―genggaman‖ clan Yasin Limpo antara lain; Rusdi Masse (Bupati Sidrap), A. Monginsidi (Kepala Badan BPMD Susel), Andi Ille (Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sulsel), Andi Bhakti Haruni (Kepala Biro Dekon Sulsel), Andi Yamin (Kepala Dinas Koperasi), A, Burhanuddin Unru (Bupati Wajo), dan Andi Idris Syukur (Bupati Barru). 117 Ketika Jusuf Kalla rencana mengikuti konvensi Partai Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Presiden pada tahun 2004, JK mengunjungi kediaman Yasin Limpo di jalan Haji Bau Makassar (rumah JK juga berada di Jalan yang sama, kira-kira berjarak 250 meter dari kediaman Yasin
195
Kenyataan ini berbeda dengan yang terjadi pada etnis Bugis Bone. Elite Bone produk aristokrasi masih bertahan sebagai elite hingga Orde Sekularisme. Klan yang paling disegani di Bone adalah klan Arung Tarasu. Klan inilah yang kemudian melahirkan sejumlah nama besar yang menguasai Bone hingga kancah Sulsel. Salah seorang tokoh yang cukup dikenal dari klan ini adalah Jenderal M. Jusuf. Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang sempurna, itu sebabnya, meskipun tumbuh elite baru pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Sekularisme, akan tetapi tidak mampu menggeser struktur kekuasaan yang amat mapan yang dimiliki oleh klan Arung Tarasu, yang dilahirkan oleh rahim aristokrasi, jauh sebelum Indonesia merdeka. JK dan NH118 adalah elite dari etnis Bugis Bone yang lahir relatif baru dibandingkan dengan klan Arung Tarasu. JK dan NH adalah elite hasil produksi rejim Orde Lama, Orde Baru, dan Sekularisme melalui jejaring bisnis. Klan KL adalah klan produk tiga rejim; Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi (fase sekularisme). Sedangkan NH, tumbuh dari jejaring bisnis keluarga Orde Baru, melalui Badan Penyelenggara dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). NH sendiri memulai usaha dari membangun Koperasi, sampai puncaknya ia mendirikan Pusat KUD (Puskud) Hasanuddin Sulsel. Dari sinilah ia mengembangkan berbagai jenis usaha, dan mulai ditopang oleh dana BPPC. Setelah rejim Orde Baru ambruk dari kekuasaannya yang absolut, dan digantikan oleh Rejim Sekularisme, NH turut jatuh dari gelanggang politik dan bisnis, karena kemudian tersangkut sejumlah masalah hukum, dan masuk penjara. Setelah bebas dari penjara, karirnya kembali berkibar, ia menjadi salah satu pengurus harian DPP Partai Golkar (2009-2014), dan tetap menjadi ketua umum PSSI selama dua periode. NH memiliki daya tahan politik dan bisnis yang luar biasa, dari dalam penjara ia masih bisa kendalikan sejumlah organisasi dan bisnisnya. Hampir dua tahun ia kontrol PSSI dibalik terali besi penjara. Beberapa adiknya tidak lagi hanya mengurus bisnis dan bola (salah
Limpo), JK mengakui kunjungan itu adalah kunjungan murid kepada gurunya, untuk meminta restu. ―Beliau guru politik saya‖ ujar JK, kala itu. 118 NH hanya membutuhkan sekitar 15 tahun untuk membangun imperium bisnisnya melalui koperasi. Setelah melakukan kapitalisasi bisnisnya, ia mulai memasuki dunia politik. Jembatan dunia politik NH adalah bola, ia menjadi manejer PSM yang berhasil mengantar PSM Makassar menjadi juara Liga. Dari sana ia mulai masuk partai politik, Golkar. Ia terpilih menjadi anggota DPR RI selama dua periode, dan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulsel pada tahun 2003, namun gagal.
196
seorang adiknya adalah manajer PSM Makassar), tetapi juga sudah merambah dunia politik. KH dan RH adalah pengurus inti Partai Golkar Sulsel dan Partai Hanura Sulsel. Saat ini, KH sudah terpilih sebagai anggota DPRD Sulsel. Meskipun sama-sama mendapat dukungan dari Orde Sekularisme untuk membangun dinasti politik dan bisnisnya, perjalanan karir politik dan bisnis antara klan KL dan dinasti Halid sangatlah berbeda, meskipun mereka berdua bersumber dari satu etnis Bugis Bone. Klan
KL membangun imperium bisnisnya tanpa
intervensi Rejim Orde Baru secara berlebihan. Klan KL tidak ―mengawinkan‖ antara bisnis dengan penguasa. KL tidak menjadikan penguasa sebagai piranti utama dalam menjalankan bisnisnya. Sebaliknya, NH sangat mengandalkan regulasi rejim untuk meningkatkan dan memperluas kapitalisasi bisnisnya. Karena bisnisnya bersumber dari regulasi rejim, maka hampir semua usaha bisnis yang dilakukan oleh NH sangat rentan dengan persoalan hukum, terutama pada saat pergantian rejim.
Sebelum
bisnisnya
benar-benar
menjadi
imperium,
NH
sudah
mencemplungkan dirinya dalam dunia politik. Dua hal terakhir yang dilakukan oleh NH, tidak dilakukan oleh KL.
KL memasuki dunia politik setelah kerajaan
bisnisnya mencapai puncak. Dalam konteks ini,
KL membalikkan kebiasaan
banyak orang yang menjadikan politik sebagai sumber dukungan bisnisnya, sementara KL menjadikan bisnisnya sebagai sumber utama untuk
mendukung
langkah politiknya. NH dibesarkan oleh jejaring Orde Baru, tapi juga dijatuhkan oleh karena merosotnya peranan kekuasaan Orde Baru (sera sekularisme). Sekularisme telah mengubah peta struktur kekuasaan dan politik Indonesia. Karena itu, sekularisme telah memberi kontribusi besar pada kejatuhan sebagian elite Orde Baru, sebagaimana elite Orde Baru meruntuhkan elite Orde Lama, dan mendorong lahirnya elite-elite baru. Hal yang sama terjadi di Sulsel, khususnya pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa. Elite-elite baru yang muncul pada masa sekularisme dipicu oleh munculnya sistem politik liberal atau system demokrasi. Konsekuensi dari sistem politik liberal adalah dimungkinkannya sistem multi partai. Pada Pemilu 2004, peserta Pemilu di Sulsel sebanyak 44 parpol, sedangkan pada Pemilu 2009, diikuti oleh
197
38 parpol. Dengan banyaknya peserta Pemilu, maka membuka kesempatan bagi figur-figur baru untuk berproses terlibat dalam Pemilu. Partai-partai seperti; PKS, PAN, PD, PDK dan Hanura menjadi mesin baru untuk memproduksi elite-elite baru di Sulsel. Sedangkan partai-partai ―tua‖ seperti; Golkar, PDIP, PPP119 cenderung sudah memiliki pemain lama atau elite-elite lama. PKS di Sulsel, khususnya di Bone dan di Gowa, merupakan partai yang paling ―berani‖ menawarkan orang-orang baru yang masih muda. Model politiknya tidak mengandalkan politik sektarian, karena itu tawaran-tawaran politik PKS di Sulsel menjadi sangat rasional. Anggota DPRD Bone yang terpilih dua periode dari PKS, ASG baru berusia 30 tahun, ia bukan kelahiran Bone, dan tumbuh
besar
di
Kabupaten
Palopo.
Pengalaman
PKS
ini
sekaligus
―mengganggu‖ dominasi kaum aristokrat yang mengisi ruang elite di Bone. PKS juga berhasil mencairkan preferensi masyarakat terhadap elite-elite yang berlatar aristokrasi, yang kerap berfikir primordial ketimbang rasional dalam berpolitik. Meskipun dominasi aristokrasi di Bone bisa sedikit di bongkar oleh partaipartai baru sepanjang era sekularisme –lihat misalnya kemunculan Akmal Pasluddin (Wakil Ketua DPRD) Sulsel dan Anis Mata (Wakil Ketua DPR RI) keduanya dari PKS, dan mereka bukan dari kalangan aristokrat, atau mendapat dukungan dari rejim Orde Lama dan Baru,-- namun peranan kekuatan aristokrasi dan eksklusivitas politik di Bone masih sangat besar. Ini dapat dilihat pada jumlah anggota DPRD Bone sepuluh tahun terakhir, hanya dua orang yang tidak lahir di Bone (satu orang pendatang tidak lahir dan tidak besar di Bone, satu orang lainnya, tidak lahir di Bone, tetapi tumbuh dan besar di Bone, selebihnya sebanyak 38 orang lahir dan besar di Bone). Hanya 14 orang (26%) yang tidak menggunakan gelar Bangsawan (Andi). Selebihnya sebanyak 26 orang (74%) orang bergelar ―andi‖ atau diidentifikasi sebagai golongan aristokrat. Data ini dapat dibaca sebagai pertanda bahwa peranan bangsawan dalam panggung elite di Bone masih sangat kuat. Selain 119
Untuk kasus PPP, terdapat elite-elite baru yang menggunakan partai ini. Ketua umum PPP Sulsel, Amir Uskara adalah anak muda yang berhasil memanfaatkan reformasi sebagai tangga untuk memposisikan diri sebagai elite baru di Sulsel. Kini ia duduk sebagai anggota DPRD Sulsel, periode sebelumnya terpilih sebagai anggota DPRD Gowa, dan menduduki posisi sebagai wakil ketua DPRD Gowa.
198
itu, data ini menjelaskan, bahwa panggung politik Bone belum bisa menerima pemain dari luar Bone. Bandingkan dengan posisi anggota DPRD di Gowa sepuluh tahun terakhir (masa sekularisme), ada 7 (17,5%) orang pendatang dari luar Gowa yang terpilih menjadi anggota DPRD Gowa. Sedangkan yang dapat diidentifikasi sebagai kelompok aristokrat (kalangan kerajaan) Gowa hanya tiga orang pada tahun Pemilu 2004, dan tinggal satu orang pada Pemilu 2009. Sisanya 37 orang pada Pemilu 2004, dan 39 orang pada Pemilu 2009 adalah kelompok elite baru yang berasal dari kalangan ―biasa.‖ Data ini menjelaskan kepada kita bahwa arena politik dan struktur kekuasaan di Gowa memiliki kecenderungan inklusifitas yang baik. Panggung politiknya lebih terbuka untuk diperebutkan oleh semua kalangan, fakta ini sekaligus menunjukkan adanya kemungkinan kuat akan tumbuhnya akar demokrasi. Hal lain yang bisa dijelaskan oleh data ini adalah, semakin merosotnya peranan aristokrasi di Gowa. Peranan aristokrasi sebagai simbol kebangsawanan dalam arena politik diganti dengan simbol-simbol baru berupa materi ekonomi dan kecerdasan intelektual (strata pendidikan). Klan aristokrasi di Bone mulai diganggu oleh kehadiran sistem politik liberal di era sekularisme, tetapi sebaliknya sistem politik liberal justru memperkokoh kedudukan klan YL di Gowa. Seperti dijelaskan sebelumnya, klan YLsaat ini tidak memiliki lawan tanding yang memadai pada lapangan politik di Gowa khususnya, dan pada etnis Makassar umumnya. Selain sistem politik liberal, klan aristokrat Bone juga diganggu oleh kehadiran elite baru dari klan PG. Kemunculan klan PG sebagai elite baru memberi perspektif yang berbeda bagi dunia sosial. Setelah berjuang lebih dari lima puluh tahun, pada jalur yang tidak biasa, klan PG akhirnya menembus panggung elite Bone. Lima belas tahun yang lalu tidak ada yang pernah menduga kalau klan PG akan mengisi ruang-ruang elite di Kabupaten Bone, di provinsi Sulsel dan kabupaten lainnya. 120
120
Untuk mendalami clan Page silakan membaca Dinamika Politik Desa Kabupaten Bone, pada pembahasan bagian belakang tulisan ini.
199
Tabel 11.
Aktor Elite Berdasarkan Klan Pada Tiga Aras di Bone dan Gowa
Fase Pembentukan Elite
Daerah/ Etnis
Mikro/Desa
Mezzo/Kabupaten
Bone
Klan Arung Tarasu (Klan Tuju Pitue)
Klan Arung Tarasu
Gowa
Klan Bate Salapang
Klan A. Idjo
Bone
Klan Arung Tarasu
Klan KL
Gowa
Klan Bate Salapang
Klan A. Idjo
Bone
Klan Arung Tarasu
Klan Arung Tarasu
Gowa
Klan Bate Salapang Klan Arung Tarasu Klan PG Klan Tuju Pitue Klan Bate Salapang Klan YL
Klan YL Klan Arung Tarasu Klan PG Klan Tuju Pitue Klan YL
Tradisional
Feudalisme
Islam Modern
Actor dan level elite
Bone Sekularisme Gowa
Makro/provinsi/ Sulsel Klan A.P. Petta Rani Klan Arung Tarasu Klan A.P. Petta Rani Klan Arung Tarasu, Klan KL Lanto DG Pasewa Klan Arung Tarasu, Klan KL Klan NH Klan YL Klan Arung Tarasu Klan KL Klan NH Klan YL
Sumber : Data Primer diolah 2009
Tabel di atas menjelaskan kekuatan klan Tuju Pitue yang diwakili oleh klan Arung Tarasu memiliki daya tahan yang luar biasa, karena mampu bertahan pada semua cuaca dan era politik. Fakta ini sekaligus memperlihatkan
struktur
kekuasaan politik di Kabupaten Bone sebagai struktur yang sangat eksklusif. Dalam arti politik, peranan aristokrasi di Kabupaten Bone terawat dengan sangat baik. Kelompok masyarakat ―biasa‖ yang tidak berada dalam pagar aristokrasi, seperti klan PG misalnya, hanya mampu menembus struktur kekuasaan pada arena ―pinggiran.‖ Elite-elite baru dari etnis Bugis Bone yang bisa menembus pentas politik yang tinggi, hanya bisa terjadi pada wilayah politik di luar Kabupaten Bone, atau pada level makro (provinsi dan Sulsel; lihat NH, AM. Fatwa, dan Anis Mata).
Sebaliknya, struktur kekuasaan politik yang terjadi di dalam etnis
Makassar, khususnya Kabupaten Gowa menunjukkan kondisi yang sebaliknya, panggung politik diisi oleh beragam actor
yang bersumber dari berbagai
kalangan. Kalangan aristokrat dari istana Gowa terus mengalami penurunan fungsi kekuasaan di Kabupaten Gowa. Berdasarkan konstruksi politik tersebut di atas, pola akuisisi kekuasaan atau reproduksi kekuasaan
yang
dilakukan oleh
non-governing
elite
untuk
menggunakan alat-alat sebagai berikut; (1) Simbol-simbol aristokrasi yang
200
memiliki keahlian dan pengalaman pada bidang kepamongprajaan. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan colonial; (2) Kelompok sub-elite atau massa yang melakukan perlawanan secara frontal terhadap kolonial. Kelompok ini biasanya mendirikan semacam lascar untuk mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka; (3) Intelektualitas dan kecendekiaan, kalangan ini berjumlah sangat terbatas, memiliki pendidikan yang tinggi, biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, akan tetapi belum masuk dalam jejaring rejim yang berkuasa; (4) Ekonomi, sejumlah pengusaha sejak zaman colonial hingga orde sekularisme atau reformasi sengaja dilindungi atau diproteksi oleh rejim, dengan tujuan untuk mendukung operasi elite penguasa. Setelah mereka dapat dipercaya secara politik rejim biasanya mulai membuka akses untuk memasuki posisi sebagai governing elite; (5) Pembangkangan atau kudeta, sub-elite dan massa yang frontal tidak menerima kebijakan elite penguasa akan memberikan reaksi politik yang bersifat kontras dan terbuka. Beberapa kasus di Sulsel adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, Andi Selle, Andi Azis dan yang paling mutakhir adalah model perlawanan social yang dipamerkan oleh ALM PG; (6) Perubahan regulasi, sejumlah regulasi yang mengubah posisi non-governing elite menjadi governing elite antara lain regulasi politics etic Netherland, kebijakan nasionalisasi Orde Lama, kebijakan Orde Baru, dan kebijakan Orde Reformasi. 6.3
Pembentukan Elite Bugis dan Makassar (Kasus Pemilihan Gubernur Sulsel 1966-2007) Salah satu arena penting pembentukan elite di Sulawesi Selatan (Sulsel)
adalah melalui panggung Gubernur provinsi Sulawesi Selatan. Seorang Gubernur di Sulsel memiliki kemampuan membentuk route baru atau mempertahankan rute lama dalam proses pembentukan elite. Bahkan melalui panggung ini, seorang Gubernur bisa menciptakan elite secara ‖instan‖ untuk memperkuat posisi kekuasaan seorang Gubernur, meskipun seseorang itu tidak memiliki garis atau gen sebagai seorang elite. Dalam konteks ini, pembentukan elite daerah (Sulsel) tidak berdiri sendiri, akan tetapi juga ditentukan oleh selera politik Jakarta. Berbagai isu yang menjadi
201
pertimbangan utama penguasa Jakarta untuk menentukan pemimpin di daerah (Sulsel) antara lain;
kemampuan calon Gubernur untuk menjaga stabilitas
keamanan; kedua, memiliki loyalitas dan kepatuhan yang tinggi kepada pemerintahan di Jakarta; ketiga, menjamin berlangsungnya pembangunan yang mengacu pada ideologi pembangunan rejim yang berkuasa; keempat, calon Gubernur adalah aktor yang memiliki latar belakang dan kemampuan menjaga keseimbangan politik lokal yang penuh dengan intrik dan sentimen primordial. Pada bagian ini akan dibahas issue-issue apa saja yang menyertai setiap proses pemilihan Gubernur di Sulsel. Dari issue-issue tersebut di atas, issue apa saja yang menjadi dominan dalam penentuan Gubernur, dan bagaimana pergeseran issue itu berlangsung dari masa penentuan Gubernur yang satu dengan penentuan Gubernur yang lain. Berikut adalah proses pemilihan Gubernur Sulsel mulai tahun 1966 – 2007. Pemilihan Gubernur Periode 1966-1978 Siapapun yang memegang tampuk kekuasaan sebagai Gubernur di sebuah provinsi, maka ia akan menduduki posisi puncak sebagai elite.
Pada masa
peralihan Orde Lama ke Orde Baru, pemilihan pejabat politik dalam hal ini Gubernur Sulawesi Selatan, salah satu pertimbangan utamanya adalah figur yang bisa mengendalikan stabilitas keamanan. Karena pada massa itu, di Sulawesi Selatan masih terdapat sempalan politik DII/TII yang memiliki potensi merongrong Jakarta. Pertimbangan lain untuk memilih seorang Gubernur Sulsel pada masa itu adalah faktor loyalitasnya kepada NKRI dan pemimpin pusat. Hal lain, yang menjadi pertimbangan Jakarta adalah daya pengaruh seorang Gubernur terhadap wilayahnya. Jakarta menginginkan seorang Gubernur yang kuat memanfaatkan institusi tentara untuk meredam potensi pemberontakan di Sulsel. Dalam konteks ini,
AL dianggap memenuhi syarat mengisi kursi
Gubernur Sulsel. Pilihan ini juga dapat dimaknai sebagai pilihan netral atas kompetisi dua etnis besar; Bugis dan Makassar. Karena pada masa itu, pertarungan antara dua etnis ini cukup tinggi. Sementara AL tidak berasal dari salah satu dari dua etnis besar itu. AL diidentifikasi sebagai suku Bugis Duri, Kabupaten Enrekang.
202
Selain memiliki kemampuan dan kecakapan untuk memimpin Sulsel,
AL
adalah seorang Perwira Tinggi yang dalam karier militernya tidak memiliki catatan buruk, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara daerah dengan pusat (Sulawesi dengan Jakarta). Afiliasi politik AL lebih condong dengan Jakarta. Keputusan politik memilih AL sebagai Gubernur 1966-1978), paling tidak mampu menekan tensi politik antar etnis di Sulsel. Sehingga persaingan tersebut tidak muncul dipermukaan karena berhasil ditekan oleh pemerintah pusat dengan penunjukan pejabat politik. Untuk menetralisir situasi Sulawesi Selatan yang ketika itu baru saja terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI.121 Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, AL yang etnis Bugis-Duri dianggap tokoh yang berhasil melakukan penataan birokrasi dan politik, serta stabilitas keamanan. Stabilitas politik dan keamanan menjadi indicator utama untuk menentukan seorang pemimpin di daerah. Terutama pada masa awal rejim Soeharto. Karena AL mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan sesuai dengan order Jakarta, maka Lamo kembali menduduki kursi Gubernur untuk periode kedua. Pemilihan AL selama dua periode kepemimpinan dapat dianalisis sebagai akibat dari kekuasaan yang sentralistik di masa Orde Baru. Kekuasaan yang sentralistik cenderung mengandalkan konsep militeristik (komando terpusat) dalam menjalankan system pemerintahan dan politiknya. Konsekuensi dari rejim sentralistik adalah menyatunya kekuatan militer di dalam pemerintahan sipil. Itu sebabnya, pada masa Orde Baru, pejabat politik selalu berasal dari kalangan militer yang dikaryakan yang disebabkan kedekatan dan afiliasi kalangan militer dengan penguasa Orde Baru. Sehingga untuk jabatan gubernur dan bupati selalu dijabat dari kalangan militer. Pemerintahan daerah yang didasarkan pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 yang mempertegas pentingnya stabilitas politik maka
pelaksanaan
pembangunan
dilakukan
secara
sentralistik
dengan
mengandalkan kekuatan militer. Peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru melahirkan perubahan dalam sistem politik Indonesia dengan tiga kekuatan politik yang menopang kekuasaan Suharto yaitu militer, birokrasi, dan Golkar yang menguasai jabatan dan posisi-
121
Lihat penjelasan Christian Pelras (2006), dalam Manusia Bugis.
203
posisi strategis. Dari ketiga komponen kekuasaan ini yang menjadi anak kandung Soeharto adalah militer. Birokrasi dan Golkar menjadi pendukung kekuasaan rejim Orde Baru. Karena alasan itu, maka posisi strategis pada Birokrasi dan Golkar juga diisi oleh orang-orang militer yang dipercayai oleh Soeharto. Regulasi rejim Orde Baru ini berhasil menciptakan elite-elite baru di Sulsel terutama melalui kelompok militer dan pengusaha. Pemilihan Gubernur Periode 1978-1983 Setelah
AL menjabat gubernur selama dua periode, dilanjutkan dengan
pemilihan AO, ia seorang aristokrat atau bangsawan campuran Bugis dan Makassar, meskipun ia dikenal berasal dari Barru (daerah Bugis), akan tetapi ia adalah seorang pewaris tahta kerajaan Tallo (kerajaan kembar dengan Gowa) dan juga masih dari kalangan militer, sebelumnya AO yang berpangkat Kolonel infantri adalah mantan Kepala Staf Kodam VII Wirabuana menggantikan Ahmad Lamo, semakin menguatkan pengaruh militer dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah ini. Pilihan terhadap
AO masih lanjutan dari upaya Jakarta memperkuat
stabilitas politik dan keamanan di Sulsel, dengan tetap menjaga suhu politik lokal, terutama antara etnis Bugis dan Makassar. Pilihan terhadap AO adalah pilihan terhadap etnis Bugis dan Makassar sekaligus. Orang Bugis dan Makassar samasama mengakui AO mewakili etnisnya. Selain itu, AO dipastikan militer yang loyal dengan Jakarta. Keberhasilan AO dalam menjaga stabilitas politik, dan memulai penataan pembangunan di Sulawesi Selatan tidak diperpanjang untuk masa jabatan yang kedua kalinya. Pemerintah pusat menilai politik lokal sudah mulai surut, pertarungan antar etnis Bugis dan Makassar juga menurun. Kini saatnya bagi pemerintah pusat untuk mempersiapkan Sulsel sebagai salah satu daerah sasaran pembangunan Sulsel rejim Soeharto, terutama pada sector pertanian. Sulsel kemudian dijadikan sebagai salah satu pemasok utama pangan Sulsel. Stabilitas keamanan dan politik yang sudah terjamin, akhirnya membuat rejim Orde Baru menentukan pemimpin di Sulsel tidak lagi menggunakan criteria; militer dan mewakili atau sama sekali tidak mewakili etnis Bugis dan Makassar. Soeharto menginginkan seseorang yang memiliki konsep yang bisa menopang
204
konsep pembangunan Sulsel. Pilihan jatuh pada figure sipil dan dari etnis Bugis, Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. AA. Pemilihan elite politik dari kalangan militer untuk menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan menguntungkan bagi elite militer dari etnis Bugis yang terlebih dahulu memiliki akses dan afiliasi dengan pemerintah pusat, kemudahan akses tersebut dimanfaatkan elite-elite etnis Bugis yang berada di pusat untuk melobi pemerintah pusat dalam pemilihan gubernur-gubernur berikutnya yang memang semua berasal dari etnis Bugis terutama daerah Bosowa (Bone, Soppeng, dan Wajo). Pemilihan Gubernur Periode 1983-1993 Prof. Dr. AA adalah seorang ilmuwan dari etnis Bugis Kabupaten Wajo, ahli atom pertama dari pulau Sulawesi. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kimia dan Biologi ITB dan Deputi Dirjen Badan Tenaga Atom Sulsel. Sebelum terpilih sebagai Gubernur Sulsel ia sukses memimpin Universitas Hasanuddin selama sepuluh tahun. Terpilihnya Sulsel sebagai salah daerah prioritas pembangunan Sulsel (karena telah dinyatakan stabil politik dan keamanan), tidak terlepas dari peranan Jenderal (Purn) MJ dan BJH, yang meyakinkan Soeharto bahwa Sulsel sudah aman dari persaingan politik lokal. Dua orang ini (Jend. MJ & BJH) kemudian membisikkan pesan ini kepada SR selaku Menteri Dalam Negeri dan kepada Panglima ABRI agar mengamankan pencalonan AA sebagai Gubernur Sulawesi Selatan.122 Dengan demikian, terpilihnya AA dipengaruhi oleh hasil lobby elite Bugis kepada rejim Soeharto.123 Pemilihan
AA mendapat penolakan dari sejumlah aristokrat lokal dan
kelompok militer karena dianggap bukan berasal dari kalangan bangsawan atau keluarga yang pernah jadi pemimpin dan keluarga militer.124 Desakan-Desakan
122
Dalami. A. Amiruddin “ Nahkoda Dari Timur” (1999).,Jakarta: Yayasan Pendidikan Latimojong. 123 Pada sebuah kesempatan, A. Amiruddin, menyebutkan bahwa terpilihnya beberapa nama orang sipil sebagai Gubernur pada era 80-an adalah projek ―demokrasi lunak‖ yang diterapkan oleh Soerhato terhadap sejumlah daerah; Sulsel (A. Amiruddin), Bali (Ida Bagus Oka), dan Sumbar (Hasan Basri Durin), sebagai jawaban atas desakan demokratisasi dari berbagai pihak terhadap rejim Soeharto. Yang menarik dari projek ini, Soeharto memilih cendekiawan untuk mengisi jabatan Gubernur, dan tidak memilih actor sipil yang berlatar belakang politik, atau mereka yang berlatar belakang birokrat (kecuali Basri Durin, seorang Doktor yang pamong). 124 Menjelang pemilihan Gubernur periode 1983-1998, sejumlah demonstrasi mahasiswa yang dipelopori oleh mahasiswa Unhas, terjadi dimana-mana, demonstrasi yang paling besar saat itu adalah pembakaran mobil milik pemerintah kota Makassar (Walikota; Abustam). Demonstrasi-
205
tersebut disebabkan perilaku bangsawan kelas atas Bugis dan Makassar enggan diperintah oleh lapisan strata yang berada di bawah mereka. Sebelumnya
AA tidak pernah diperhitungkan untuk menduduki jabatan
Gubernur, namanya baru disebut-sebut menjelang pemilihan sebagai Gubernur. Namun kemampuannya dalam memimpin Sulawesi Selatan dengan Tri Konsepsi Pembangunannya, yakni: Perubahan Pola Pikir, Pengwilayahan Komoditas, dan Petik- Olah-Jual, menjadikannya dengan mudah
menduduki jabatan Gubernur
selama dua periode. Pada pemilihan Gubernur periode kedua,
AA tidak lagi
mendapat perlawanan dari kalangan bangsawan maupun kelompok militer. Hal tersebut memperlihatkan pemilihan seorang gubernur sangat ditentukan oleh Presiden Suharto ketika itu. Terbukti ketika Sarwono Kusumaatmaja menghadap Suharto mengusulkan agar AA diangkat menjadi menteri tapi Presiden Suharto kala itu masih memberikan kepercayaan untuk kembali memimpin Sulawesi Selatan. Pemilihan Gubernur Periode 1993-2003 ZBP adalah perwira tinggi militer, mantan Kasdam Jaya dan Pangdam VII Wirabuana, sebelumnya adalah wakil gubernur pada periode 1983-1988. Pada pemilihan Gubernur Sulsel periode 1993-1998 ia berhasil memenangkan pemilihan yang berlangsung kontroversial, karena salah seorang calon; Prof. Dr. BL yang dikenal sangat kritis dan bersih, tiba-tiba mengundurkan diri pada detik-detik terakhir menjelang pemilihan Gubernur yang berlangsung di gedung DPRD Sulsel. Pengunduran diri BL yang berasal dari etnis Mandar dipandang sebagai perlawanan terhadap dominasi Orde Baru dan kekuatan yang terpusat di Jakarta. Selain itu, BL juga ingin menelanjangi dominasi etnis Bugis di Sulsel. Menurut BL, pemilihan Gubernur Sulsel hanyalah drama politik yang skenarionya diatur oleh elite-elite Orde Baru melalui perpanjangan tangan mereka pada fraksi Golkar dan fraksi ABRI di DPRD Sulsel. Karena itu, BL memiliki alasan untuk tidak menjadi bagian dari drama politik tersebut. Menurut BL, dirigen politik sudah mengatur angka-angka yang bakal diraih oleh masing-masing calon. Dirinya hanya akan memperoleh lima suara, dan demonstrasi itu terkesan dibiarkan oleh aparat keamanan, tujuannya untuk member kesan bahwa Rektor Unhas A. Amiruddin tidak bisa mengendalikan mahasiswanya. Kesan ini terus dikembangkan untuk menunjukkan A. Amiruddin sulit menjadi pemimpin di Sulsel, karena memimpin mahasiswanya saja tidak sanggup.
206
sepupunya Prof. Dr. BH (pada saat itu Rektor Universitas Hasanuddin) akan diberikan tujuh suara. Dengan demikian, ZBP akan mendapat 63 suara dari total suara sebanyak 75 suara. Pengaturan suara seperti ini tidak bisa diterima oleh BL. BL menginginkan pemilihan berdasarkan hati nurani anggota DPRD, dan tanpa rekayasa politik. Perbedaan perkiraan perolehan suara yang mencolok antara dirinya dengan ZBP memperkuat alasan BL untuk mengundurkan diri. Namun pengunduran diri BL direspon negative oleh elite-elite Bugis. Bahkan dinilai sebagai tindakan yang melecehkan demokrasi. Perkiraan BL tidak meleset, pemilihan gubernur Sulsel dimenangkan secara mutlak oleh ZBP. Selain mendapat dukungan kuat dari kalangan militer dan rejim Orde Baru, Palaguna juga mendapat dukungan dari sentiment politik etnis Bugis yang sangat dominan menduduki kursi DPRD Sulsel. Menyatunya kepentingan Soeharto dan elite lokal yang berasal dari etnis Bugis, membuat kekuatan Palaguna tidak tertandingi. Sebagai mantan wakil gubernur periode 1983-1988, Palaguna sangat memahami konsep yang dirumuskan oleh
AA; Tri Konsep Pembangunan.
Meskipun dalam pelaksanaannya, Palaguna menggunakan terminology yang berbeda dengan terminology yang dikembangkan oleh
AA. Akan tetapi
substansinya relatif sama. Program unggulan yang dikembangkan Palaguna masih berkisar pada sector pertanian, dengan memperkuat pengwilayahan komoditas. ZBP terpilih kembali untuk periode berikutnya 1998-2003, dengan mengalahkan Mayjen AG, Prof. Dr. RAG, dan MW. Dari empat orang calon gubernur yang masuk dalam agenda Panitia Sebelas, ZBP yang masih gubernur Sulawesi Selatan berhasil menang dengan meraih 33 suara mengalahkan; AG yang mendapat 20 suara, RAG yang memperoleh 8 suara dan MW 4 suara. Pada pemilihan periode kedua, elite-elite Bugis tidak utuh mendukung ZBP. AA dan gerbongnya dikabarkan mendorong AG untuk menjadi Gubernur. Tetapi kelompok tentara di Sulsel dan Jakarta masih mempercayai ZBP. Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan di masa Orde Baru banyak dipengaruhi oleh kondisi anggota DPRD yang didominasi oleh etnis Bugis yang memiliki strategi menempatkan orang-orang Bugis mewakili daerah etnis Makassar, Mandar dan Toraja. Sehingga wakil-wakil rakyat di DPRD walaupun berasal dari daerah Makassar, Mandar, dan Toraja tapi tidak mewakili etnis
207
tersebut karena sebenarnya mereka berasal dari etnis Bugis. Dengan dukungan yang kuat dari anggota-anggota DPRD yang mayoritas etnis Bugis sehingga dominasi kepemimpinan orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan tidak bergeser. Secara historis, dominasi etnis Bugis ini juga disebabkan perkawinan politik yang dilakukan oleh
bangsawan-bangsawan Bugis
untuk
memperluas daerah
kekuasaannya dengan menikahi perempuan etnis lainnya dengan tujuan agar etnis Bugis bisa diterima dan menguasai wilayah etnik lain. Sehingga sekarang berpengaruh pada posisi etnis Bugis di semua wilayah dan jabatan strategis di Sulawesi Selatan. 125 Dominasi elite-elite etnis Bugis di masa Orde Baru juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman
dan kemampuan yang merupakan hasil
kebangkitan etnis Bugis. Pemilihan Lanto Dg. Pasewang dari etnis Makassar menjadi
gubernur
diawal
kemerdekaan
karena
waktu
itu
tingkat
kecerdasan/pendidikan masyarakat bagian selatan atau etnis Makassar yang mengecap pendidikan di Bantaeng dan Makassar jauh lebih baik dibandingkan masyarakat Bugis yang berada di utara, sehingga memacu orang-orang Bugis di daerah utara untuk menyekolahkan anaknya sampai pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan menyekolahkan sampai ke Jawa. Setelah melalui waktu yang lama baru kemudian nampak di masa Orde Baru dengan berusaha mendapatkan dan menguasai jabatan politis dan jabatan-jabatan strategis di semua wilayah di Sulawesi Selatan. Masa Orde Baru bisa disebut sebagai
era kebangkitan
masyarakat Bugis, karena pada masa ini, etnis Bugis menguasai posisi-posisi jabatan politis dan jabatan strategis di Sulawesi Selatan . Pemilihan Gubernur Periode 2003-2008 Pemilihan Gubernur Sulsel pada tahun 2003 memasuki babak baru, ini dipengaruhi oleh situasi politik Sulsel yang sudah mulai memasuki transisi dari era Orde Baru ke Orde Otonomi Daerah (Sekularisme). Dimana pemilihan gubernur tidak lagi berdasarkan keinginan pemerintah pusat namun berdasarkan pemilihan dari
125
Dijelaskan pula oleh Serly Erlington tentang perkawinan politik orang Bugis dalam Siri, Darah dan Kekuasaan Politik,(Bingkisan Budaya SulSel). Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi elatan. hlm.30.
208
anggota DPRD Provinsi yang menjadi penyalur aspirasi masyarakat Sulawesi Selatan. Keadaan ini
mendapat sambutan antusias dari masyarakat, terutama tokoh-tokoh
masyarakat dan kelompok yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan politik seperti dalam partai politik di DPRD dan kelompok kepentingan yang berada di luar parlemen. Perubahan ini menyebabkan terjadinya polarisasi kepentingan yang semakin menguat, di dalam parlemen muncul faksi-faksi elite politik berdasarkan kepentingan kelompok dan perorangan. Di luar parlemen juga terjadi polarisasi kepentingan berbagai kelompok, diantaranya dari kalangan militer seperti Persatuan Purnawirawan ABRI, Legiun Veteran Republik Indonesia, dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan yang mendukung AS dan SYL. Partai politik seperti Golkar mengalami fragmentasi dan polarisasi yang cukup tajam, sebagian anggota fraksinya mendukung NH, AM. Sementara secara resmi Golkar mengusung ketua umumnya; AS. Sementara partai menengah seperti; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Sulsel (PAN) relatif solid mengusulkan seorang figure. Setelah melalui proses penjaringan dan seleksi oleh setiap fraksi maka ditetapkan tiga
pasangan calon yakni pasangan NH-IM yang diusulkan oleh
Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, merupakan representasi dari politikuspolitkus, asangan AM-AMH (pengusaha dan birokrat) yang dicalonkan oleh Fraksi Amanat Sulsel. Pasangan AS-SYL dicalonkan oleh Fraksi Partai Golkar yang merupakan representasi elite militer, elite partai politik, elite birokrasi, dan kelompok aliran Sulselis. 126 Dari perspektif etnisitas, ketiga pasangan kandidat berasal dari dua etnis yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Pasangan NH-IM keduanya mewakili etnis Bugis, AM-AMH juga mewakili etnis Bugis sedangkan pasangan ASSYLmerupakan representasi etnis Bugis dan Makassar. Dari ketiga pasangan kandidat, AS-SYL yang memiliki peluang untuk mendapatkan dukungan kuat dari kedua etnis Bugis dan Makassar dari pada pasangan lain dari etnis Bugis.
126
Baca Polarisasi konflik yang dijelaskan Jayadi Nas. 2007. Konflik Elite di Sulawesi Selatan. Jakarta: Yayasan Masaile & LEPHAS. hlm. 185-186.
209
Situasi politik yang berubah dari Orde Baru ke era sekularisme pada tahun 1998, mempengaruhi konstalasi politik secara menyeluruh, termasuk pemilihan Gubernur. Pemilihan Gubernur tidak lagi dikontrol oleh elite-elite Jakarta, meskipun pada masa itu masih ada fraksi ABRI, akan tetapi Mabes TNI tidak bisa intervensi hak-hak politik anggotanya. Pada saat yang bersamaan, masyarakat luas mendapat kesempatan menyampaikan aspirasi politiknya, sehingga memunculkan persaingan baru berdasarkan kepentingan etnis dan kedaerahan antara elite politik lokal dalam memperebutkan kekuasaan. Dengan munculnya tiga elite Partai Golkar dalam bursa calon yaitu AS, NH dan SYLmembuat perpecahan dukungan dalam Partai Golkar. Anggota Partai Golkar yang berasal dari etnis Makassar mendukung SYL, sehingga SYL memiliki pendukung 16 (enam belas) anggota DPRD dari Partai Golkar ditambah anggota dari partai lain yang berasal dari etnis Makassar. Pada pemilihan Gubernur kali ini, kembali muncul sentiment etnis yang cukup kuat. Etnis Makassar yang selama ini marjinal secara politik dan ekonomi mendorong elitnya untuk maju pada pentas politik Sulsel, meskipun hanya menjadi wakil Gubernur. Dukungan yang bulat dari anggota-anggota DPRD dari etnis Makassar yang menuntut adanya penyatuan paket calon gubernur dan wakil gubernur dari kedua etnis Bugis dan Makassar kian menguat. Karena selama Orde Baru perkembangan daerah utara (Bugis) lebih maju dan dominasi elite politiknya diberbagai jabatan strategis menimbulkan kecemburuan dari masyarakat bagian selatan (Makassar) yang jauh tertinggal, dan elite dari daerah selatan tidak pernah diperhitungkan dalam menduduki posisi kekuasaan. Untuk memperkuat bargaining position, elite-elite etnis Makassar menghembuskan issue pemisahan diri dan membentuk provinsi baru; Provinsi Makassar Raya meliputi Kabupaten Pangkep, Maros, Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar dan sebagian Kabupaten Sinjai, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003 menjadi momen strategis bagi elite Makassar untuk diperhitungkan secara politik dan ekonomi. Tuntutan ini kemudian menjadi kenyataan dengan menyatukan AS dengan SYL, sebagai representasi Bugis Makassar yang mewakili daerah utara dan selatan. Posisi SYLyang memiliki dukungan bulat dari 16 (enam belas) anggota DPRD dari Partai
210
Golkar dan anggota DPRD etnis Makassar dari partai lain, ditambah makin kencangnya tuntutan pemekaran Provinsi Makassar Raya. Sehingga Moeh. Roem yang awalnya akan berpasangan dengan AS memilih mengalah dengan pertimbangan dirinya dan AS adalah sama-sama dari etnis Bugis. AS yang memiliki dukungan riil dan posisinya yang strategis sebagai Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Ketua Partai Golkar memutuskan memilih SYL dengan pertimbangan untuk mengakhiri konflik antar elite yang didasarkan pada kepentingan suku atau wilayah. Kesediaan AS memilih SYL bukan saja atas pertimbangan menjaga keseimbangan etnis Bugis dan Makassar, tetapi lebih pada melihat SYL secara pribadi yang memiliki jaringan dan dukungan riil dari keluarga dan koleganya di DPRD yang berjumlah 16 orang. Dengan posisinya seperti itu, SYL menjadi primadona politik, terbukti dengan didekatinya oleh sejumlah calon untuk menjadikan SYL sebagai wakilnya. Pada saat itu, siapapun yang menjadikan SYL sebagai wakilnya, akan berpotensi memenangkan pemilihan Gubernur Sulsel. Sebanyak 39 jumlah suara anggota DPRD yang mendukung pasangan ASSYLkemungkinan besar diperoleh dari 35 anggota Fraksi Partai Golkar, 4 suara dari partai lain. Kemenangan pasangan AS-SYL atas pasangan AM-MH dan NH-I M banyak ditentukan oleh kemampuan SYL melakukan pendekatan terhadap anggota DPRD di bandingkan AS yang lebih mengandalkan dukungan anggota partainya. SYL mampu melakukan pendekatan kekeluargaan, kewilayahan dan kesukuan, partai lain, keorganisasian yang telah lama dilakoninya serta memiliki kecerdasan intelektual yang menonjol. Sehingga dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003 SYL lebih memiliki pengaruh terhadap kemenangan yang diraihnya ketimbang peranan yang dimainkan oleh AS. 6.4 Dinamika Politik Desa di Kabupaten Bone dan Gowa Seperti telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini fokus pada upaya melihat proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar, dengan mengambil unit analisis mikro pada tingkat Desa, mezzo pada tingkat kabupaten, dan makro pada level provinsi. Pada unit analisis mezzo, dipilih Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis, dan Kabupaten Gowa representasi dari etnis Makassar. Kedua Kabupaten ini sama-sama memiliki tradisi dan sejarah panjang tentang kekuasaan. Bahkan menjadi
211
lokus utama kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Bone menjadi pusat konsentrasi kekuasaan etnis Bugis, dan Gowa selain menguasai etnis Makassar, juga menaklukkan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil di Sulsel dan di Indonesia Timur. Pada bagian ini, eksplorasi ditujukan pada bagaimana perilaku para elite mempertahankan atau memperluas kedudukan ke-elite-annya dan bagaimana perilaku mereka yang berebut posisi untuk menjadi elite baru. Tradisi apa saja yang masih dipertahankan oleh para elite lama pada masing-masing etnis, dan apakah terdapat tradisi baru yang dimanfaatkan oleh para elite untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya? Dua Desa yang dipilih di Kabupaten Bone adalah Desa Ancu Kecamatan Kajuara dan Benteng Tellue (Tabbae) Kecamatan Amali. Sedangkan dua Desa di Kabupaten Gowa adalah Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo dan Desa Manuju Kecamatan Manuju. Masing-masing Desa memiliki tradisi dan karakter yang berbeda. Desa Ancu misalnya adalah salah satu Desa yang memiliki tradisi peradaban kekuasaan yang tinggi di Kabupaten Bone. Di Desa ini mulai dari fase tradisional hingga fase sekarang, terus melahirkan sejumlah elite-elite penting yang memiliki pengaruh besar di Kabupaten Bone maupun di tingkat provinsi. Sedangkan Desa Benteng Tellue (Tabbae) merupakan Desa pheriphery
yang miskin tradisi melahirkan
elite. Sejak fase tradisional hingga fase Islam modern, Desa ini tidak melahirkan para elite yang bisa bermain dipanggung kekuasaan di Kabupaten Bone. Akan tetapi pada fase Orde Baru dan Sekularisme, Desa ini mengalami perubahan yang dramatis, karena dengan polanya yang khas, mampu melahirkan sejumlah elite baru yang mengisi panggung kekuasaan di level mezzo maupun makro. Secara geografis Desa Ancu berada di pinggir pantai, di mana masyarakatnya
mengandalkan tradisi kemaritiman, sedangkan Desa Benteng
Tellue adalah Desa yang berada di pedalaman, masyarakatnya menguasai peradaban agraris. Pada bagian ini, yang menjadi pokok perhatian adalah bagaimana perilaku para elite lama yang berdomisili di Desa Ancu yang memiliki kemampuan secara terus menerus memproduksi dan mereproduksi ruang kekuasaan di Kabupaten Bone . Pada sisi yang lain, hadir komunitas baru yang memiliki ―mesin alternatif‖ untuk memproduksi elite-elite baru yang mengisi
212
panggung kekuasaan pada level mezzo dan makro. Padahal selama ini (sejak fase tradisional sampai fase Islam modern) mereka tidak memiliki tradisi melahirkan elite-elite untuk level Kabupaten dan provinsi. Kasus ini dapat dilihat secara jelas di Desa Benteng Tellue. Sedangkan karakteristik dua Desa yang menggambarkan identitas elite etnis Makassar di Kabupaten Gowa, menunjukkan tipologi yang relatif sama dengan dua Desa yang mewakili etnis Bugis di Bone, terutama pada aspek geografisnya. Desa Manjapai yang memiliki tradisi kekuasaan sejak zaman kesultanan Gowa berada di kawasan dataran rendah dekat pantai. Kultur maritime dan agraris berbaur di Desa ini. Jika disejajarkan, kedudukan geografis Desa Manjapai mirip dengan posisi Desa Ancu di Bone. Ditinjau dari sudut tradisi kekuasaan; Desa Manjapai adalah salah satu Desa yang memiliki tradisi kuat melahirkan elite-elite politik, ekonomi dan birokrasi di kesultanan Gowa (kini Kabupaten Gowa), pada semua fase, hingga fase Orde Baru dan otonomi daerah (sekularisme). Bila disejajarkan dengan sudut pandang yang sama, Desa Manjapai di Kabupaten Gowa memiliki kesamaan tradisi kekuasaan dan tipologi sosial dengan Desa Ancu di Kabupaten Bone. Desa kedua yang menjadi pilihan penelitian di Kabupaten Gowa adalah Desa Manuju. Desa yang berada di dataran pegunungan. Desa ini secara geografis bisa disebut sebagai Desa periphery bagi Kabupaten Gowa, karena menjadi salah satu batas akhir bagi Kabupaten Gowa dengan kabupaten lainnya (Maros dan Bone). Akan tetapi secara historis, pada fase tradisional, feudalisme dan Islam modern, Desa ini memiliki tradisi memproduksi elite. Posisi geografisnya mirip sekali dengan posisi Desa Benteng Tellue di Kabupaten Bone (batas akhir bagi Kabupaten Bone dengan Kabupaten Soppeng dan Wajo). Meskipun memiliki kemiripan posisi geografis, akan tetapi dua Desa pilihan ini memiliki perbedaan tradisi kekuasaan. Desa Manuju, terutama pada fase politik tradisional, feudalisme dan Islam modern, menjadi salah satu daerah yang memiliki potensi kekuasaan yang cukup diperhitungkan oleh penguasa-penguasa di kesultanan Gowa. Memasuki fase Orde Baru dan Sekularisme, peranan kekuasaan politik kawasan dan masyarakat Manuju mengalami penurunan yang cukup signifikan.
213
Amat menarik untuk dibedah dengan membandingkan peranan kekuasaan politik antara dua Desa yang berbeda etnis (Desa Benteng Tellue di Bone dengan Desa Manuju Kabupaten Gowa) yang memiliki kemiripan posisi geografis, akan tetapi berbeda di dalam memberikan kontribusi kekuasaan politik pada era dan fase yang sama. Desa Benteng Tellue di Bone yang tidak memiliki tradisi kekuasaan politik pada fase-fase; tradisional, feudalism dan Islam modern, tibatiba sejak pertengahan Orde Baru sampai saat ini mampu melahirkan elite-elite baru. Sebaliknya, Desa Manuju yang pernah ―berjaya‖
secara politik pada
beberapa fase sebelum Orde Baru dan Sekularisme, justru mengalami penurunan peranan dalam kemampuannya memproduksi elite-elite baru, baik pada untuk level mezzo maupun makro. Untuk melihat berbagai hal yang berbeda atau hal yang sama yang terjadi pada masing-masing etnis dan Desa, berikut ini diuraikan proses interaksi sosial masing-masing Desa sampel penelitian, dan prilaku elite pada setiap Desa sampel. 6.4.1
Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Gowa (Desa Manjapai Dan Desa Manuju)
Sepintas Tentang Daeng Di Desa Manjapai Desa Manjapai adalah Desa yang dibentuk dari pecahan Desa Jipang. Jipang pada awalnya adalah bangkala yang dipimpin oleh Karaeng Bangkala Jipang yang mempunyai tiga Jannang (teritori) yaitu jannang Kaluarrang, jannang Salajo, dan Jannang Data. Perubahan dari sistem bangkal ke sistem Desa dimulai pada saat Orde Baru mulai memerintah Indonesia yang menjadi kepala desa pertama adalah Faharuddin Dg. Nyonri yang berlatar belakang Militer pada pemilihan pertama ada dua kandidat yaitu Syamsuddin Dg. Erang yang berlatar belakang Guru. Faharuddin Dg. Nyonri adalah kemanakan dari YL sedangkan Syamsuddin Dg. Erang adalah generasi ke empat dari kepala Jannang Data Pamaessengi. Kecamatan Bontonompo pada saat itu diperintah oleh YL sebagai BUTER di Bontonompo (setingkat danramil), ketika itu Karaeng Bangkala (Dg. Narang) sebagai Bangkala Jipang sedangkan Dg. Sufu sebagai Jannang Data. Pada masa Orde Baru Bangkala Jipang diubah menjadi Desa Jipang. Pemerintahan Desa Jipang pertama dipimpin oleh Fahruddin Dg. Nyonri sampai pemekaran 1989
214
menjadi Manjapai, Jipang dan Salajo. Fahruddin Dg. Nyonri kemudian digelar menjadi Karaeng Bangkala ri Timboro selama menjabat menjadi kepala desa. Menurut Basarang Dg. Tata, orang tua dari Fahruddin Dg. Nyonri (bapak) adalah saudara dengan YL asal dari dusun Karebassae dan Allu Sengka dan menikahi perempuan Jipang yang keturunan darah biru Bangkala Jipang. Nama Manjapai sendiri diambil dari nama daerah di dusun data
yang
mempunyai luas 8 ha persegi, menurut sumber di desa ini, Manjapai adalah daerah dari karaeng Manjapai, penamaan ini diberikan oleh YL untuk mengenang salah satu pahlawan dari Manjapai yaitu Karaeng Manjapai. Disini juga ada kuburan yang ditengarai adalah kuburan dari Karaeng Manjapai yang menurut kepercayaan masyarakat bahwa Karaeng Manjapai menghilang, kuburan adalah penanda daerah tempat dia menghilang. Kepala Desa Manjapai yang pertama ditunjuk adalah anak dari Fahruddin Dg. Nyonri yaitu Nirwan Dg. Gassing. Nirwan Dg. Gassing memerintah selama 12 tahun dimulai dari 1989 dengan masa 1 tahun persiapan 6 tahun definitif dan periode pertama 1997 setelah dilakukan pemilihan dengan mencarikan pasangan lawan yaitu Dg. Untung dari dusun karebase agar tidak terjadi pemilihan melawan kotak kosong. Nirwan Dg. Gassing memerintah satu periode selama 6 tahun. Pada periode ini Desa Manjapai di kategorikan sebagai IDT (indeks Desa tertingal). Menanam jagung dilakukan untuk menjadi komoditas produksi petani dimulai pada saat SYLmenjadi camat di Bontonompo dengan memulai pola tanam 3 kali, 2 kali jagung, sekali padi dan mengenalkan system perairan PMA. Pada pemilihan kepala desa tahun 2003 Nirwan Dg. Gassing diganti dengan kepala desa Safaruddin Dg. Nai sekretaris Desa dengan pemilihan sebanyak 4 calon yaitu: (i) Rahman Dg. Naba (Dusun Kaluarrang), (ii) Dg. Maro (Dusun Karebasse), (iii) Nirwan Dg. Gassing (Dusun Karebasse), (iv) Saifuddin Dg. Nai (Dusun Data). Saifuddin Dg. Nai sendiri adalah keturunan ketiga dari Jannang Data yaitu Dg. Sufu dan adik dari Samsudding Dg. Erang yang dulunya bertarung dengan kepala desa pertama Jipang (Faharudding Dg. Nyonri). Menurut informasi masyarakat di Manjapai kekalahan dari Nirwan Dg. Gassing karena adanya keluarga yang maju dari Karebasse yaitu Dg. Maro.
215
Saifudding Dg. Nai menjadi kepala desa selama 6 tahun terhitung sejak tahun 2002 – 2007. Pemilihan kepala desa pada tahun 2007 terdapat 5 kandidat kepala desa yaitu : (i) Dirwan Dg. Fata (dusun Kaluarang), (ii) Faharudding Dg. Lao (dusun data), (iii) Mappo Dg. Liwang (dusun data), (iii) Jamaluddin Dg. Tawang (dusun Karebasse), (iv) Saifudding Dg. Nai‘ (dusun data). Pemilihan itu kemudian menetapkan kembali Saifuddin Daeng sebagai Nai kepala desa Manjapai. Total luas wilayah Desa Manjapai adalah; (i) Kaluarrang (71,26 ha), (ii) Data (239,33ha). (iii) Karebasse (62,73ha), dan (iv) Jannaya (79,75ha), Jadi luas keseluruhan adalah : 453,07 ha persegi. Secara administratif, Desa ini memiliki empat Dusun dengan kepala dusun masing-masing: (i) Dusun Kaluarrang (Hansur Naim Daeng Ngempo), (ii) Dusun Data (Hamzah Daeng Beta), (iii) Dusun Karebasse (Saifudding Daeng Ngalle), (iv) Dusun Janayya (Harsyad Daeng Tompo). Untuk memastikan keberlangsungan pembangunan Desa, Desa Manjapai mengangkat anggota Badan Pengawas Desa (BPD), yang direkrut dari masingmasing dusun sebanyak dua orang; (i) Abdu Rasyid Dg. Joyo (dusun Kaluarrang), (ii) H. Sulaiman Dg. Pasang (dusun Kaluarrang), (iii) H. alig Dg. Nyonri (dusun Data), (iv) Abdullah Dg. Nya‘la (dusun Data), (v) Syamsuddin Dg. Muntu (dusun Karebasse), (vi) Syaifuddin Dg. Tiro (Dusun Jannaya), (vii) Mustadir Dg. Sikki (Dusun Jannaya), (viii) Abdu Rahman Dg. Rangka (Dusun Karebasse), dan (ix) Arsyad Dg. Jaya (dusun Data). Dusun Di Manjapai Desa Manjapai
berada di kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa,
memiliki empat dusun. Dusun-dusun ini secara politik memiliki interest yang berbeda antara satu dusun dengan dusun lain. Karakter politik yang berbeda-beda kemudian terimplementasi pada pilihan politik berdasarkan aliran keluarga dan kesamaan latar belakang pemahaman politik. Dusun Kaluarrang Dusun Kaluarrang dulunya adalah satu jannang tersendiri yang di gabung dengan Jannang Data, kemudian dijadikan satu dusun tersendiri di dalam Desa Manjapai. Sehingga karakteristik dusun ini sangat berbeda dengan dusun lainnya.
216
Dusun Kalluarang termasuk maju secara ekonomi ini dilihat dari struktur bangunan rumah penduduk dan tingkat kesadaran pendidikan penduduk di dusun ini. Warga dusun Kaluarrang adalah warga masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran Muhammadiyah. Itu sebabnya, masyarakat di dusun ini memiliki kesadaran yang kuat terhadap dunia pendidikan. Di dusun ini simbol-simbol budaya tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti. Ajaran Islam dikerjakan dengan rasionalitas yang tinggi dibanding dengan warga dusun-dusun lainnya. Muhammadiyah memasuki wilayah ini pada awal 1950-an, yang dipelopori oleh: Mancu Daeng Nyampa, Baco Daeng Tola, dan Basarang Daeng Nawang. Dampak yang paling kuat dari pengaruh Muhammadyah pada masyarakat adalah pada pendidikan dan tatacara ibadah. Kekuatan ekonomi di Desa ini ada pada koperasi simpan pinjam “Karaenta Data”
pada awal berdirinya koperasi ini dimotori oleh perempuan Aisyia‘ah
(perempuan Muhammadiyah) kemudian di kembangkan dan dibina oleh KOSGORO (cat-di provinsi saat itu KOSGORO dipimpin oleh NYL) dan mendapatkan dana bantuan sebesar lima (5) juta Rupiah. Sebagai pendiri dan pengelola koperasi H. Kamiluddin Dg. Fata. Koperasi ini memiliki pabrik penggilingan beras terbesar di Manjapai dan sebagai distributor pupuk di 2 kecamatan di Takalar (kabupaten tetangga) dulunya, Takalar merupakan bagian dari Kabupaten Gowa. Koperasi ini juga sekaligus sebagai pengumpul dan membeli hasil pertanian masyarakat, baik anggota koperasi maupun bukan anggota. Dusun ini dipimpin secara turun temurun oleh keluarga Hasanuddin Dg. Nompo sejak tahun 1970. Kemudian pada tahun 1980, Rumalang Dg. Ambo menggantikan saudaranya Hasanuddin Dg. Nompo. Pada tahun1998, Rumalang Dg. Ambo digantikan oleh Hamnur Naing Dg. Empo kemanakan dari Rumalang Dg. Ambo sampai sekarang. Dusun Data Salah satu jannang yang digabung di Desa Manjapai adalah Dusun Data, dusun Data merupakan pusat pemerintahan dari Desa Manjapai. Dusun ini adalah dusun paling luas di Desa Manjapai, sebelum digabung menjadi satu Desa, dusun ini memiliki wilayah Karebasse dan Jannaya. Penduduk disini sangat kuat ikatan kekeluargaannya dan masih memelihara budaya kebersamaan dan saling 217
membantu. Salah satu budaya yang masih eksis adalah Akkorongtigi. Sebuah budaya saling memberi pada saat seseorang sedang melaksanakan hajat dalam keluarganya, misalnya menikahkan keluarganya, sunatan dan lain. Akkorongtigi memberi pengaruh kebersamaan dan ikatan emosional yang kuat antara penduduk dusun Data. Selain diikat dari hubungan kekeluargaan yang kuat, dusun secara politik terkonsolidasi pada keluarga Safaruddin Dg. Nai (kepala desa). Karena kepala desa adalah keturunan keempat dari dua mantan Jannang Data yaitu Pamessengi dan Dg. Sufu, yang dulunya adalah pemilik tanah di dusun Data. Sehingga hampir semua keputusan sosial dan politik dikembalikan kepada keluarga kepala desa. Sebagian besar penduduk adalah petani, dan pemilik tanah adalah H. Dg. Bella (imam dusun) dan Ali Dg.Nyonri (saudara kepala desa), keduanya mempersewakan lahan untuk diolah dengan pembagian hasil. Untuk memperkuat ekonomi dusun ini, pada tahun 2009, telah didirikan koperasi simpan pinjam yang beranggotakan 25 orang anggota tetap, yang dipimpin oleh kemanakan Kepala Desa. Dusun Data setidaknya telah dipimpin oleh tiga orang; Sahabat Dg. Taba; Parawansa Dg. Sese; Hamzah Dg. Beta. Ketiga kepala dusun ini tidak memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, seperti yang terjadi pada dusun Kaluarrang. Dusun Karebasse Dusun ini secara teritorial adalah bagian dari dusun Data sebelum dipecah menjadi Desa Manjapai, di dusun inilah tempat kelahiran YL sehingga di dusun ini terdapat rumah pribadi dari keluarga YL. Pengaruh politik dari keluarga YLsangat kuat di dusun ini. Di dusun ini pula berkembang mitos bahwa pemimpin besar akan lahir dari keturunan YL. Terpilihnya SY Lsebagai Gubernur Sulsel dan Ikhsan YLsebagai Bupati Gowa, semakin memperkuat mitos-mitos di Karebasse. Bentuk lain dari mitos yang berkembang di dusun ini adalah, kepercayaan masyarakat terhadap Bungo Tallua tempat yang menurut keyakinan masyarakat bisa mendatangkan berkah buat yang mandi dan meminum airnya. Bungo Tallua sendiri adalah sumur kembar yang konon airnya selalu seimbang. Diceritakan oleh warga Karebasse, pada moment-moment tertentu yang dinilai penting oleh warga,
218
mereka akan meminum air dan mandi di Bungo Tallua, harapannya agar semua hajat mereka tercapai. Sumber ekonomi dusun ini adalah komoditi jagung, kacang-kacangan, dan sayuran. Semua produk pertanian dusun Karebasse dijual ke Makassar oleh pedagang pengumpul. Dusun ini berada sekitar 20-an kilometer dari Makassar. Dusun Jannaya Dusun Jannaya adalah dusun yang awalnya menjadi teritori dari jannang atau dusun Data dan menjadi dusun yang berbatasan langsung dengan Desa Bategulung. Dusun ini mempunyai ikatan politik yang sangat kuat dengan Dusun Data. Hubungan ini lahir dan berkembang dari ikatan kekeluargaan, antara dusun Jannaya dengan dusun Data. Hubungan baik ini mereka selalu perlihatkan pada setiap ada hajatan politik, misalnya pada setiap pemilihan kepala desa. Salah satu pendukung kuat dari kepala desa sekarang adalah kepala dusun Jannaya. Ikatan lain yang membuat dua dusun ini memiliki hubungan emosional adalah antara kepala dusun dengan kepala desa, sama-sama mengembangkan tarekat Khalwatyah. Penduduk di dusun ini mengelola pertanian selain menanam jagung juga menanam tanaman palawija. Selain itu, dusun ini menjadi produsen batu merah (batu bata) terbesar di Desa Manjapai. Simbol, Kuasa, dan Uang dalam Politik di Desa Manjapai Masyarakat Desa Manjapai masih memelihara beberapa simbol-simbol budaya dan masih berpengaruh dalam mengatur pola prilaku masyarakat yang ada di Desa Manjapai. Simbol-simbol budaya yang ada di Desa Manjapai yang masih berpengaruh adalah : 1. Pammuntuli, Adat-istiadat untuk mengundang para elite dan pemimpin Desa, untuk menghadiri acara tertentu yang dilaksanakan oleh warganya. Prosesinya, bosara (mampan berisi penganan)
dibungkus kain putih yang dibawa oleh tujuh
perempuan dengan pakaian adat diiringi oleh Ganrang Pakkarena, menuju rumah para karaeng atau elite lainnya, untuk menyampaikan undangan tersebut.
219
2. Akkorongtigi Prosesi mengumpulkan sumbangan dari warga keluarga dengan cara permintaan terbuka, untuk membantu keluarga yang sedang melaksanakan hajat besar dalam keluarganya. Dimulai dengan mempersiapkan mampan berisi beras, daun siri h dan Bihun-Lassa bahasa Makassar-, semua itu mewakili makna seperti; beras mewakili simbol kesejahteraan, Lassa (subur-bahasa Makassar) menandakan simbol kesuburan dan semua hal, diikat dengan daun siri h. Setelah imam dusun membacakan doa, selanjutnya memukul mampan dengan sendok sebanyak tiga kali sebagai tanda panggilan untuk memberikan sumbangan untuk diletakkan di atas mampan, nama-nama penyumbang kemudian dicatat, agar orang-orang yang menyumbang mendapatkan hak yang sama manakala mereka menunaikan hajat dalam keluarganya. 3. Ziarah kuburan karaenta Data (Raja Gowa ke sebelas) Dalam setiap tahunnya ada prosesi ziarah bersama yang dilakukan oleh keluarga jannang Data sebagai penghormatan, menurut kepercayaan masyarakat bahwa yang berhak memimpin Desa Manjapai adalah yang mendapat restu dari Karaengta Data. Makanya pada saat Kepala Desa Safaruddin Dg. Nai ingin menjadi kepala desa dia mengunjungi makam Karaengta Data. 4. Pa‟daengan Pa‟daengan di belakang nama seseorang dalam adat Makassar membedakan tentang posisi dalam masyarakat yang hanya mempunyai nama satu kata adalah kelas kasta nomor dua karena orang tua mereka adalah menjadi pengikut dari orang besar. Namun di masyarakat soal ini sudah tidak kelihatan dengan jelas kecuali dengan melihat pada silsilah keturunan dari seseorang. Kasta nomer dua tidak berhak menjadi pemimpin di Desa Manjapai. 5. Baju Zirah atau Perang Menurut kepercayaan masyarakat, baju zirah atau perang ini adalah kepemilikan Karaengta Data yang diwariskan kepada keturunannya. Informasi lain adalah baju jirah ini adalah milik dari Karaeng Manjapai yang menghilang dimana tempat menghilangnya ditemukan baju zirah tersebut. 220
Menurut keyakinan masyarakat Desa Manjapai, terdapat dua jenis benda yang mempunyai asal yang sama akan tetapi terdapat di dua tempat yang berbeda yaitu, Tombak dan Bambu yang ada di Desa Jipang. Dalam ritual tahunan biasanya diperingati sebagai “tomangganggongi ri jipang” dan cinde (tameng) perang di Allu Desa Sengka disebut sebagai “Anrong guru Allu sengka” 6. Bungo Tallua (sumur kembar) di dusun Karebasse Sumur kembar adalah dua sumur yang selalu memiliki takaran air dalam sumur itu selalu seimbang antara sumur yang satu dengan sumur yang lain. Bagi masyarakat dusun Karebasse,
sumur yang bisa mendatangkan berkah bagi
masyarakat ini, pada waktu-waktu khusus selalu ada proses pemberian sesaji dan biasanya selalu dimulai dengan menyabung ayam. Menurut masyarakat ditempat itulah YLberlindung waktu dikepung oleh tentara Belanda dan konon atas berkat tempat itu sehingga dia selamat, juga waktu YLsakit di Jakarta dengan membawakan air dari sumur itu baru ia sembuh dari sakitnya. Tradisi Muhammadiyah dan Tarekat Khalwatiah Tradisi Muhammadiyah masuk ke Desa ini ketika Desa ini masih berstatus Jannang Kaluarrang sejak tahun 1950-an dimana yang menjadi pelopor adalah Mancu Daeng Nyampa, Baco Daeng Tola (menduduki jannang Kaluarrang), Basarang Daeng Nawang. Pengembangan pendidikan dengan mendirikan sekolah Tsanawiah Muhmmadiyah dan melakukan pembaharuan ke-Islaman di dusun Kaluarrang Desa Manjapai, sehingga banyak tempat yang dulu dianggap keramat sudah tidak ada lagi di dusun ini. Pengaruh Muhammadiyah di dusun ini juga ,memberikan dampak peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, karena relatif lebih terbuka pada perubahan dari luar terutama untuk pendidikan. Secara politik dan ekonomi, kepala dusun, imam Desa dan pelaku ekonomi Desa adalah aktoraktor yang memelopori pengembangan Muhammadiyah. Dalam setiap moment politik, pemilihan kepala desa misalnya, selalu terdapat kandidat kepala desa yang diusung dari dusun ini. Selain tradisi Muhammadyah, berkembang pula Khalwatiah Syech Yusuf yang berpusat di Gowa. Tarekat ini diyakini memiliki keunggulan dalam meningkatkan spirit ketauhidan (meng-esakan Allah). Para pengikut tarekat
221
Khalwatyah pada umumnya memiliki kemampuan supra-natural yang sulit dianalisis secara rasional. Kuasa Kepemimpinan politik di Desa ini sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol budaya yang menjadi keyakinan masyarakat Manjapai terhadap pemimpinnya. Simbol-simbol itu kemudian dimanipulasi oleh orang-orang tertentu (biasanya kelompok atau keluarga tertentu yang mengendalikan simbol-simbol tersebut), misalnya keluarga yang menyimpan benda-benda tertentu seperti baju perang, tombak dan bambu. Dengan menyimpan benda-benda tersebut, mereka dianggap paling berhak untuk memimpin di Desa itu. Atau mereka mendapat justifikasi untuk menjadi pemimpin. Kuasa dalam konteks penelitian ini adalah adanya intervensi varian-varian tertentu di dalam memperkuat posisi seseorang atau kelompok orang dalam usahanya mengendalikan lingkungannya untuk menuju pada apa yang dikehendakinya. Karena itu, kuasa bisa berupa intervensi manusia dan atau alam pada seseorang untuk memperkokoh posisi kekuasaanya. Desa Manjapai bisa disebut sebagai desanya klan YL. Masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi kepada klan YL karena klan inilah yang memberikan perubahan sosial dan ekonomi di Desa Manjapai. Mulai pada saat YL menjadi BUTER (setingkat danramil) dengan menempatkan militer dan keluarganya sebagai kepala desa, Keberadaan koperasi ―Karaengta Data‖ yang dipelopori oleh NYL yang saat itu menjabat sebagai ketua Kosgoro Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu, ketika SYL menjabat sebagai camat Bontonompo, ia melakukan perubahan pola bertani, sehingga produktivitas pertanian masyarakat meningkat tajam. Loyalitas masyarakat di Manjapai dan sekitarnya sudah dibuktikan pada berbagai momentum politik yang melibatkan klan YL. Ketika SYL menjadi calon Gubernur dan calon ketua Golkar Sulsel, mobilisasi massa yang sangat fanatik datang dari daerah Bontonompo dan sekitarnya, terutama dari Desa Manjapai. Pada sejumlah momentum politik, para elite di Desa Manjapai sudah terbiasa dengan menggunakan kekuatan supra-struktur. Misalnya melakukan
222
presuare kepada lawan politik dengan menggunakan premanisme. Kasus pemilihan kepala desa Manjapai tidak terlepas dari model politik premanisme. Kepala dusun Data Hamzah Dg. Beta, dinilai oleh banyak masyarakat Manjapai sebagai aktor penting menggerakkan kelompok premanisme. Dia dikenal memiliki jaringan preman di wilayah selatan Sulsel, mulai dari Gowa sampai Bulukumba. Peranan premanisme selalu bersanding dengan uang. Ketika politik menggunakan preman untuk mencapai tujuannya, maka saat yang bersamaan, sang aktor harus menyiapkan uang mendukung tujuannya. Kepala Desa terpilih Saifuddin Dg. Nai mengakui, keterlibatan kemanakannya dalam menyokong dirinya dengan uang sangat berarti dalam upayanya meraih posisi kekuasaan di Desanya. Selain ponakannya, kepala desa terpilih juga dibantu operasionalnya oleh Kaimuddin Dg. Fata seorang pengusaha di Desa Manjapai. Uang dan preman tidak saja dibutuhkan untuk memenangkan seseorang menjadi kepala desa, tetapi untuk meloloskan seseorang di lembaga legislative juga membutuhkan uang. Kondisi ini menjadi fakta politik di Desa Manjapai pada Pemilu 2009. Kondisi ini menjadikan politik di Desa Manjapai bersifat kontraktual. Politik yang bersifat kontraktual biasanya akan menguntungkan kelompok yang memiliki kapital dan modal produksi seperti tanah. Tuan tanah di Desa Manjapai menjadi tokoh kunci pada setiap momentum politik seperti pemilihan kepala desa dan Pemilu. Tuan tanah dengan konsep kontraktual bisa memaksa penyakap, petani penggarap atau pekerja sawahnya untuk memenangkan kandidat tertentu. Budaya Akkorongtigi juga ikut menentukan preferensi masyarakat terhadap seseorang, karena budaya ini sesungguhnya mengandung dua pesan sekaligus; tolong menolong atau membangun solidaritas sosial dan utang piutang. Semakin tinggi nilai pertolongan seseorang, maka semakin besar preferensi orang yang ditolong kepada penolongnya. Dalam konteks ini, budaya Akkorongtigi, ikut berkontribusi memberikan pola atau model politik di Desa Manjapai. Selain itu semua, faktor Muhammadyah dan Tarekat Khalwatyah memberi pengaruh yang memadai dalam politik di Desa Manjapai.
223
Tentang Karaeng Di Desa Manuju Salah satu literatur yang memuat informasi sejarah Manuju adalah buku kecil yang berjudul ‗Sejarah kerajaan Borisallo dan Manuju‘ yang ditulis oleh Zainuddin Tika dan kawan-kawan (2008). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju adalah dua kerajaan bersaudara dalam kerajaan Gowa yang masuk menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565, yakni masa Raja Gowa XII I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa. Selanjutnya, keanggotaan Borisallo dan Manuju dalam Bate Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini (Zainuddin Tika, dkk, 2008). Bila merujuk pada buku kecil tersebut, maka informasi seputar Kekaraengan Manuju baru dapat ditelusuri eksistensinya pada tahun 1900 saat Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar ‗Karaeng‘ di mana delapan di antaranya adalah Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo, Gallarang Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang (salah satu dusun di Desa Manuju) yang menyebutkan bahwa keberadaan ‗Karaeng Manuju‘ setidaknya dimulai tahun 1900 atau akhir tahun 1890-an. Menurut Jamaluddin (kepala dusun Panyikkokang), Desa ini adalah area yang terdiri dari orang biasa (bukan keturunan karaeng) dan bukan pula area ata‟ atau budak dari karaeng. Bahkan bila merunut pada tradisi lisan yang diceritakan oleh nenek buyut mereka, gallarrang Manuju awalnya tidak diperintah oleh seorang Karaeng. Karaeng yang datang pertama kali ke Manuju adalah nenek buyut dari Karaeng Malaganni yakni nenek dari Karaeng Sigollo Karaeng Toa yang berasal dari Lantang di Kabupaten Takalar dan masa itu diperkirakan pada tahun 1900an127. Pendapat ini tentu masih perlu ditelusuri kebenarannya sebagaimana penjelasan pada buku kecil yang juga membutuhkan pembuktian 127
Wawancara dengan Jamaluddin (Kepala Dusun Panyikkokang), Desember 2009.
224
(verification) sebagaimana dikutip di atas. Namun sebagai sebuah pendapat, informasi yang tersimpan dalam memori orang-orang Panyikkokang ini menggambarkan realitas berbeda bahwa kekaraengan adalah sebuah sistem yang datang belakangan dan cengkeraman kuasa yang ditanamkan di wilayah Kecamatan Manuju hingga sekarang ini adalah sebuah proses panjang yang tidak lahir begitu saja. Membicarakan Manuju lebih jelas dapat ditelusuri setelah masa kemerdekaan, khususnya setelah terbitnya UU darurat Nomor 1 tahun 1957 tentang pemerintahan daerah untuk seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 18 Januari 1957. Disusul kemudian diberlakukannya UU No. 9 tahun 1959 sebagai penjabaran UU sebelumnya. Saat itu, Gowa sebagai sebuah kerajaan dalam sistem swapraja berubah menjadi kabupaten atau daerah tingkat II dalam sistem swatantra. Demikian pula, wilayah kecil lainnya baik yang berbentuk gallarrang maupun karaeng atau dengan nama lainnya berubah menjadi distrik atau setingkat Kecamatan, dan kampung berubah menjadi Desa. Kemudian, berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri nomor. U.P. 7/2/24 tanggal 6 Februari 1957, Andi Ijo dikukuhkan sebagai kepala daerah Gowa yang meliputi 12 distrik yang dibagi dalam empat lingkungan kerja, yakni Gowa Utara, Gowa Timur, Gowa Selatan, dan Gowa Tenggara (Zainuddin Tika, 12 : 2008). Pada tahun 1961, ungkapan distrik dalam sistem pemerintahan daerah berganti Kecamatan dan Kabupaten Gowa membawahi delapan Kecamatan yang meliputi: (i) Kecamatan Tamalate; (ii) Kecamatan Panakkukang; (iii) Kecamatan Bajeng; (iv) Kecamatan Palangga; (v) Kecamatan Bontonompo; (vi) Kecamatan Tinggimoncong; (vii) Kecamatan Tompobulu; (viii) Kecamatan Bontomarannu Dua Kecamatan Gowa yakni Kecamatan Tamalate dan Panakkukang pada tahun 1971 diserahkan kepada pemerintah kotamadya Ujung Pandang berdasarkan keputusan PP nomor 51/1971 tentang perluasan kotamadya Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. konsekuensinya, Kabupaten Gowa juga dimekarkan dan terbentuk dua Kecamatan yakni Kecamatan Sombaopu dan Kecamatan Parangloe yang memiliki dua distrik, yakni Borisallo dan Manuju.
225
Pada tahun 1972, camat pertama Parangloe adalah Magguliling Daeng Gassing dan wakil camat adalah Malaganni Daeng Bila Karaeng Manuju. Beberapa tahun kemudian, camat Parangloe meninggal dunia dan Karaeng Manuju kemudian menjadi camat kedua Kecamatan Parangloe. Karaeng Manuju sendiri, yang lahir tahun 1923 di Lanna, Kecamatan Parangloe di usia belia 14 tahun sudah diangkat sebagai (nitimpasa) Karaeng Manuju oleh masyarakat Toddo Tujua (tujuh negeri kecil) di Manuju tahun 1937 di salah satu dusun yang kini sudah tenggelam oleh proyek bendungan Bili-Bili, Po‘rong. Ia menggantikan posisi Syamsuddin Daeng Lalang yang menduduki posisi Karaeng Manuju. Saat Malaganni Daeng Bila menjabat sebagai Karaeng Manuju, pasang surut peristiwa dihadapinya. Satu dari peristiwa penting dan tak terlupakan oleh warga adalah saat wilayah Manuju menjadi markas pasukan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, yakni rezimen Momok Hitam yang saat itu dikomandoi oleh Kahar Muang. Basis Momok Hitam ada di dusun Tassese (kini telah menjadi Desa) dan beberapa kali didatangi dan diperangi oleh militer Indonesia (tentara Brawijaya). Menurut tuturan warga, pada suatu waktu, Kahar Muang menuju kota Makassar yang diduga menyerahkan diri kepada pemerintah RI dan kemudian pasukan Kahar Muzakkar karena menganggap ini sebuah bentuk pengkhianatan lalu membakar dusun Tassese yang berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini. Pada tahun 2003, dua Kecamatan baru di Kabupaten Gowa disetujui oleh pemerintah pusat, yakni Kecamatan Barombong dan Kecamatan Manuju. Saat itu, bupati Gowa Drs. H. Hasbullah Jabbar menetapkan H. Abdul Rauf Karaeng Kiyo, S.Sos., MSi., lurah Lanna menjadi camat Manuju pertama. Saat itu, wilayah Kecamatan Manuju meliputi Desa Manuju, Desa Bilalang, Desa Moncongloe, Desa Pattallikang, dan Desa Tamalatea. Tidak lama setelah itu, Karaeng Kiyo diangkat menjadi kepala bagian Tata Pemerintahan dan camat berikutnya dipegang oleh Marzuki Daeng Angga, S.Sos mantan camat Parangloe. Kini Kecamatan Manuju telah memekarkan beberapa Desa di antaranya Desa Tana Karaeng dan Desa Tassese (lihat tabel 14).
226
Tabel 12. No 1
Desa dan Kepala Desa di kecamatan Manuju
Nama Desa Manuju
Kepala Desa Karaeng Naba
2
Tassese Karaeng Unjung
3
Moncongloe M. Haris Karaeng Sila
4
Tana Karaeng Saharuddin
5
Pattallikang Isbandar
6
Tamalatea Muhammad Saleh
7
Bilalang Syahrir Karaeng Saung
Sumber: Data Kecamatan 2008 Pada masa camat Abdul Rauf Karaeng Kiyo, ia memperkenalkan Manuju sebagai wilayah yang layak bagi investor untuk berbisnis. Salah seorang yang kemudian tertarik untuk berinvestasi di sana adalah mantan Wakapolri Letnan Jenderal Polisi JM yang telah membuka lahan perkebunan seluas 20 hektar lebih. Lahan di Desa Manuju dan sekitarnya memang baik ditanami tanaman seperti durian ottong, rambutan dan sebagainya. Kini, Desember 2009, saat memasuki wilayah
Kecamatan
Manuju,
mulai
terpampang
beberapa
baliho
yang
memperlihatkan Karaeng Kiyo bersanding dengan IYL sebagai calon wakil bupati Gowa periode 2010 – 2015. Posisi Karaeng nampaknya akan terus beranjak dari lurah, camat, kepala bagian, lalu wakil bupati. Apakah ini sebuah upaya lebih mengukuhkan kuasa kekaraengan di Manuju khususnya dan Gowa pada umumnya? Berbicara mengenai Manuju kontemporer, maka tak lepas dari seorang tokoh Manuju yang bernama Malaganni Daeng Bila Karaeng Manuju (1923 – 2003)128. Karaeng Manuju (mantan kepala distrik Manuju 1950 -1970) memiliki 21 anak dari tiga istri; empat anak di antaranya bernama Karaeng Naba (kini kepala desa Manuju), Karaeng Kiyo (mantan camat Manuju, kini Kabag Pemerintahan dan 128
Karaeng Manuju adalah anak dari Karaeng Sigollo atau Karaeng Toa. Nenek Karaeng Manuju adalah Karaeng Bila dan ibu dari Karaeng Bila adalah bangsawan asal Tinggi Moncong.
227
kandidat wakil bupati dari calon bupati IYL untuk periode 2010 -2015)129, Malawanggang Karaeng Bella (kepala adat Karaeng Manuju), dan Karaeng Kila adalah tokoh penting di level Desa maupun Kecamatan hingga Kabupaten. Karaeng Malaganni sepupu satu kali dengan istri Kahar Muang (komandan resimen DI/TII; Momok) yang bernama Karaeng Sunggu (menetap di Desa Tassese). Sedangkan Karaeng Nompo sepupu satu kali dengan Karaeng Jalling yang merupakan sepupu dua kali dengan Karaeng Kiyo (kepala bagian pemerintahan pemda Gowa, calon wakil bupati bersanding dengan IYL). Karaeng Jalling adalah ayah dari Karaeng Lalang (kepala desa terlama di Desa Manuju) dan kini salah satu anaknya bernama Nasrun Karaeng Romo yang kini menjabat sebagai sekretaris Desa Manuju di mana kepala desanya kini adalah Karaeng Naba (anak dari Karaeng Malaganni). Karaeng Lalang dan Karaeng Kiyo adalah sepupu dua kali.
Karaeng Lalang: Kepala Desa yang Keras dan Tegas Drs. Syamsul Hilal Karaeng Lalang (60)—selanjutnya disebut Karaeng Lalang—adalah kepala desa Manuju pertama yang menjabat pada tahun 1964 saat ia masih berusia 14 tahun. Saat itu, baru saja terjadi peralihan sistem pemerintahan dari ‗gallarrang‘ dan ‗kampung‘ menjadi kecamatan dan Desa. Sebelumnya, kepala pemerintahan di kampung Manuju dipegang oleh Pajonga Karaeng Bani dan dengan pimpinan adatnya Malaganni Daeng Bila, yang juga dikenal sebagai Karaeng Manuju. Hingga pemilihan kepala desa (dalam konteks aturan baru) untuk pertama kalinya di mana calon kepala desa adalah Karaeng Lalang dan Karaeng Bani yang saat itu menjabat sebagai ‗Gallarrang Manuju‘. Melalui negosiasi keluarga sesama karaeng, pada dasarnya Karaeng Bani sudah ‗mengalah‘ dengan mengatakan bahwa ia akan bekerja di pabrik Kertas Gowa. Keputusan itu disosialisasikan kepada warga Desa dan akhirnya suara mayoritas berhasil diraih oleh Karaeng Lalang. Sejak saat itu, Karaeng Lalang terus memerintah Desa Manuju hingga tahun 2008 kecuali antara tahun 1976 – 1984 Desa Manuju dipimpin oleh anggota 129
Pada akhirnya karaeng Kiyo tidak terpilih sebagai pasangan wakil bupati Ichsan Yasin Limpo.
228
kepolisian yang bernama Ahmad Sitaba yang ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten. Alasan pergantian itu simpang siur. Menurut pengakuan Karaeng Lalang, saat itu pemilihan kepala desa dilakukan melalui mekanisme penunjukan sementara beberapa informan menyebutkan bahwa ada kasus yang dihadapi oleh Karaeng Lalang sehingga posisinya sebagai kepala desa digantikan oleh Ahmad Sitaba. Adapun mengenai kasus dimaksud tak ada satupun informan ingin menjelaskan. Tipikalnya yang keras dan tegas membuat kepemimpinannya nyaris tanpa kontrol sama sekali baik secara kelembagaan melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD) di masa Orde Baru maupun Badan Perwakilan/Permusyawaratan Desa (BPD) di masa Orde Sekularisme maupun dari individu warga Desa Manuju sendiri. Pada 1984, saat masa kepemimpinan Ahmad Sitaba berakhir terjadi pemilihan kepala desa kembali. Saat itu ada lima kandidat diantaranya Haji Mile (masyarakat biasa), Matte (Imam Desa), Ahmad Sitaba (incumbent), Karaeng Bella (anak Karaeng Malaganni), dan Karaeng Lalang. Namun dalam seleksi hanya dua orang yang lolos yaitu Karaeng Bella dan Karaeng Lalang. Sementara tiga calon lain termasuk Ahmad Sitaba tidak lolos seleksi Berkas karena tidak dapat rekomendasi dari Kodim Kabupaten Gowa. Dalam Pemilihan Kepala Desa tersebut Karaeng Lalang menang dengan memperoleh Suara sekitar 1000 dan Karaeng Bella hanya berkisar 348 suara. Kemenangan Karaeng Lalang diuntungkan oleh kurang dikenalnya Karaeng Bella oleh masyarakat Desa Manuju. Menurut Karaeng Lalang, Karaeng Bella menetap lama di Makassar, sementara dirinya menetap di Desa Manuju, bahkan menjadi kepala dusun Desa Tassese saat itu. Pada tahun 1992, masa jabatan Karaeng Lalang berakhir, namun karena alasan tertentu (belum ada penjelasannya) dia diminta oleh pemda Gowa menjabat sebagai pelaksana tugas selama dua tahun sampai diadakan pemilihan kepala desa kembali. Pada pelaksanaan pemilihan kepala desa tahun 1994 Karaeng Lalang kembali maju sebagai calon kepala desa Manuju. Kembali ia berhadapan dengan keluarganya sesama karaeng, yakni Abdul Latif Karaeng Beta. Karaeng Beta adalah Seorang Pegawai Kantor Kecamatan Parangloe, putra Karaeng Emba (saudara Karaeng Manuju). Jadi, Karaeng Beta adalah kemenakan Karaeng Manuju dan Sepupu dari Karaeng Lalang Sendiri.
229
Karaeng Beta memanfaatkan jaringan keluarga besar untuk memenangkan pemilihan terutama melalui peran ayahnya, Karaeng Emba yang menetap di Desa Manuju. Namun karena popularitas Karaeng Lalang begitu kuat, membuat ia kembali memenangkan pemilihan ini dengan suara berkisar 1400. Karaeng Beta sendiri hanya meraih sekitar 300 suara dengan formasi pemilih sebagian besar dari rumpun keluarga kekaraengan Manuju saja. Berbagai konflik yang terjadi selama proses pemilihan misalnya antar pendukung diselesaikan secara kekeluargaan dengan peran para orang-orang tua mereka atau karaeng Manuju bersaudara. Pada masa ini, sebenarnya Karaeng Lalang banyak menetap di Sunggu Minasa karena sedang menjadi anggota ‗Tim Sembilan‘ dalam proyek pembangunan Bendungan Bilibili di mana salah satu dusunnya, yakni dusun Po‘rong adalah titik pembangunan DAM tersebut. Ia lebih banyak mengorganisir proses pemindahan penduduk di dusun Po‘rong dan ganti rugi atas tanah dan tetumbuhan di atas lahan tersebut kepada pihak manajemen pembangunan DAM. Ia sendiri tidak menyangka dirinya akan memenangkan pilkades periode ini karena memang dia memberi kebebasan kepada Karaeng Beta untuk berkampanye, tapi nyatanya ia kembali menang. Masa jabatan Karaeng Lalang yang berlangsung delapan tahun berakhir pada 2002. Hajatan pemilihan kepala desa dilangsungkan kembali. Lagi-lagi Karaeng Lalang bersaing dengan anggota keluarga Karaeng, yakni Karaeng Sijaya, seorang mantan kepala desa Belaponranga yang kalah dalam pemilihan kepala desa di Desanya. Namun, nasib yang sama juga menimpa Karaeng Sijaya, kekalahan, dengan jumlah suara hanya berkisar 300, sementara Karaeng Lalang mencapai lebih seribu suara. Pada periode tahun 2002 berdasarkan aturan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan seorang kepala desa dikurangi dua tahun dan tinggal enam tahun dan hanya dapat dipilih untuk dua periode saja. Artinya karaeng Lalang tak berhak lagi ikut dalam pemilihan kepala desa berikutnya. Pada tahun 2008 masa jabatan Karaeng Lalang pun berakhir namun menurutnya sendiri bahwa tujuh bulan sebelum masa jabatan tersebut berakhir ia telah mengundurkan diri dan diganti seorang pelaksana tugas yang ditunjuk oleh camat Manuju. Mengenai alasannya ia menyatakan bahwa kondisi kesehatannya telah
230
menurun, bahkan menderita sakit. Hal tersebut membuat badannya tampak lebih kecil dibanding sebelumnya yang tinggi besar, kekar, ditambah suara keras dengan sorot mata yang tajam menjadikannya kepala desa yang begitu berwibawa dan membuat segan atau takut orang-orang ketika berhadapan ataupun berbicara dengannya. Menurut Karaeng Kila (adik Karaeng Naba, kepala desa Manuju periode ini) tampilan fisik tinggi besar seperti itu pulalah yang membuat Karaeng Lalang seperti punya kharisma, khususnya di hadapan keluarga dan warga Desa Manuju serta orang-orang yang mengenalnya secara dekat. Karaeng Lalang tidak merasa memiliki ‗karomah‘ atau ilmu khusus semisal ilmu mistis untuk mempengaruhi orang di luar dirinya. Karaeng Lalang adalah putra tunggal dari dua bersaudara dari pimpinan Gallarrang Tassese sebelumnya yang bernama Mangngu Karaeng Jalling (Saudara dari Karaeng Manuju). Ia lahir pada tahun 1949 di Desa Tassese dan menempuh pendidikan dasarnya di SD setempat dan melanjutkan pendidikan selanjutnya di SMP Jongaya dan SMA PGRI Panakkukang (sebelumnya adalah wilayah Gowa). Bahkan, di periode akhir jabatannya sebagai kepala desa Manuju, ia dapat menyelesaikan pendidikannya di tingkat universitas, yakni Universitas 17 Agustus 1945, pada tahun 1994. Karaeng Lalang mempersunting Hajjah Norma Karaeng Te‘ne (67) yang juga sepupu satu kalinya, putri dari Jalang Kara Karaeng Bundu dan Nona Karaeng Ranga. Kini, Karaeng Lalang dan Karaeng Te‘ne memiliki Sembilan cucu dari keempat anaknya. Putra sulung adalah Nuhung Daeng Sigollo (alm) yang menikah dengan Nurliah Daeng Romba (istri pertama) dan Hasnaeni Daeng Ngai (istri kedua, tinggal di Kolaka). Pasangan dari istri pertama memiliki seorang putri yang bernama Nur Hikmah dan dari pasangan istri kedua lahir cucu Karaeng Lalang lainnya yang bernama Herung dan kini menetap di Kolaka bersama ibunya. Putra kedua, Syarifuddin Daeng Gassing (40) adalah seorang kapten yang menikah dengan Ana Daeng Paning dan memiliki dua anak, yakni Cici dan Ranggong Karaeng Romo. Dari putra ketiga karaeng Lalang, yakni Nasrun Daeng Romo (37) yang kini menjadi sekretaris Desa Manuju yang menikah dengan Andi Asriani (istri pertama) lahir tiga cucu Karaeng Lalang yang bernama Andi
231
Manuntungi, Andi Haeruni, dan Andi Sri. Dari istri kedua yang bernama Sukina lahir putri mereka yang bernama Tiara. Sedangkan, anak keempat Karaeng Lalang adalah Nilawati Daeng Sanga (34) yang menikah dengan Supriadi Karaeng Rani lahir cucu Karaeng Lalang bernama Fahri. Karaeng Lalang dikenal sebagai pemuda yang ‗rewa‘ bukan saja di lingkungan Manuju, tetapi juga di Sungguminasa bahkan Makassar. Sebagai kepala desa, prinsipnya adalah mengusung ‗api‘ dan ‗air‘. Bila ia melihat anggota masyarakatnya malas turut serta bergotong royong, maka ia akan mendesaknya dengan cara mendatangi langsung dan menegurnya. Bahkan, ia tidak segan-segan memukul warga yang malas atau mengusir kerumunan pemuda yang minum minuman beralkohol. Ketika Desa Manuju dan Desa Tassese masih berada dalam satu wilayah, dia membantu imam dusun mendisiplinkan warga yang sedang belajar mengaji dan shalat dengan cara mengawasi mereka. Itulah prinsip ‗api‘ yang sedang dia terapkan. Sementara, bila keadaan warga sedang membara seperti adanya konflik antar warga ia hadir mendinginkan suasana dengan prinsip ‗air‘nya. Sebagai kepala desa, ia juga memiliki prestasi tertentu seperti sebagai kepala desa berprestasi yang mampu menyetor uang pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemerintah Kabupaten Gowa secara tepat waktu dan full. Akibat prestasi itu, karaeng Lalang diberi kesempatan ke Jakarta oleh bupati Gowa. Desa Manuju juga pernah menjuarai lomba Desa urutan ketiga. Prestasi ini diperolehnya setelah belajar di Desa Tanaberu, Bulukumba saat ia bersama 29 kepala desa lainnya studi banding ke sana di tahun 1993 dan tahun berikutnya dia mengikuti jejak Desa Tanaberu sebagai Desa terbaik untuk urusan penagihan PBB. Desa Manuju telah diperintah oleh tiga kepala desa, sebelum Karaeng Lalang adalah Pajonga Karaeng Bani dan setelah Karaeng Lalang, mengingat persoalan administrasi (tidak bisa menjabat setelah dua periode) maka pemilihan kepala desa dilanjutkan oleh Karaeng Naba dalam pemilihan kepala desa yang tanpa lawan di tahun 2008. Dusun Pannyikkokang: Dusunnya orang-orang biasa
232
Dusun Pannyikkokang adalah sebuah dusun yang berbeda dari dusun lainnya di Desa Manuju. Dusun ini berbatasan dengan Desa Tassese. Sebuah Desa yang menurut orang Tassese lebih banyak dihuni oleh ‗orang-orang biasa‘ dan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kebanyakan (to sama‟). Pun demikian dengan dusun Pannyikkokang, juga menyimpan cerita lisan bahwa dusun ini adalah dusun bagi ‗orang-orang biasa‘ yang memiliki harga diri di tengah dominasi kepemimpinan karaeng di Desa ini. Muhammad Sakir Bacca‘ (usia 55, kepala dusun Pannyikkokang, 19851996) dan Jamaluddin (usia 57, kepala dusun Panyyikkokang periode 1976 – 1984 dan 1994 – sekarang), menceritakan banyak hal tentang keberadaan orang-orang Pannyikkokang dan dinamika pemerintahan tingkat dusun selama masa kepemimpinan kepala desa Manuju, khususnya pada periode Karaeng Lalang (1964 – 1976 dan 1984 – 2008). Pada masa Muhammad Sakir Bacca‘, kepemimpinannya ditandai oleh maksimalisasi peran kepala dusun dalam menyelesaikan persoalan hingga konflik antar warga secara kekeluargaan. Saat itu, banyak keputusan yang diambilnya tanpa perlu melibatkan kepala desa secara langsung. Kuncinya adalah lebih proaktif dalam memerintah warganya. Naiknya Sakkir Bacca‘ sebenarnya di luar dugaannya, karena saat pemilihan melalui musyawarah dusun berlangsung, ia sedang berada di Sungguminasa ibu kota Kabupaten Gowa. Saat itu, tahun 1985 dia adalah seorang ‗sariang‟ atau pembantu kepala dusun sejak tahun 1968. Saat itu, terjadi kekosongan kepala dusun di Pannyikkokang dan diusulkan oleh warga empat calon kepala dusun, di mana salah satu calon itu adalah dirinya. Menurut warga saat itu, kepala dusun haruslah orang yang benar-benar memahami budaya dan perilaku warga Pannyikkokang. Oleh karena itu, walaupun ia tidak sedang berada di dusun saat itu, karena warga menilai dirinyalah orang yang tepat maka dipilihlah dirinya sebagai kepala dusun baru dan memerintah dusun Pannyikkokang hingga 1996. Sakkir Bacca‘ memiliki prinsip dalam memerintah warganya, yakni lebih mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Menurutnya, pemerintah adalah pemimpin dan memimpin seluruh
233
karakter yang ada dalam areanya, baik itu orang-orang baik, jahat, kaya, miskin, cantik dan cacat dan lain sebagainya tanpa kecuali. Mereka adalah ‗milik kepala dusun‘ dan untuk itu wajib melayani mereka secara adil dan jujur. Jika ada masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat dusun Pannyikkokang, maka sebisa mungkin tidak perlu ditangani oleh kepala desa. Untuk memenuhi prinsip kepemimpinannya, maka ia tidak pernah ragu untuk mendatangi pihak yang berkonflik dan mencari jalan keluar sebaik mungkin melalui musyawarah untuk mufakat. Bagi warga yang tidak dapat membaca dan menulis, ia siap membantu membacakan segala keputusan atau menuliskan kesepakatan bila dianggap perlu dalam menyelesaikan masalah. Jamaluddin, seorang kepala dusun yang kritis dalam memandang dinamika pemerintahan Desa memaparkan bahwa dusun Pannyikkokang adalah area yang bebas dari pengaruh kekaraengan. Mereka bukan masyarakat budak dari para karaeng tapi justru sering datang untuk membantu bila keluarga karaeng ada keperluan seperti untuk keperluan pesta. Jauh sebelumnya, di kisaran tahun 1900an atau akhir tahun 1890-an, berdasarkan penuturan yang terus terjaga secara turun temurun (tradisi lisan), karaeng pertama yang datang di area ini adalah dari Takalar (Lantang), yakni kakek buyut Karaeng Sigollo Karaeng Toa yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Karaeng Bila (dari pihak ibu). Nanti pada masa Malaggani Daeng Bila Karaeng Manuju yang lahir di Manuju menjadi pelanjut kepemimpinan adat Karaeng Manuju, Bila merujuk pada buku ‗sejarah kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju‘, maka secara formal Karaeng Manuju (merujuk pada sistem pemerintahan lokal, semisal Kecamatan Manuju) barulah disebut pada tahun 1900, di mana Karaeng Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga atau lembaga legislative dalam pemerintahan kerajaan Gowa. Delapan di antaranya adalah Gallarrang Mangasa, Gallarrang Tombolo, Gallarrang Saumata, Gallarrang Sudiang, Gallarrang Paccellekang, Karaeng Pattalassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Sementara, sebelumnya, di tahun 1894 sewaktu Sultan I Malingkaang Daeng Nyonri menjadi raja Gowa, perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja Gowa yang turut ditandatangani oleh perwakilan
234
Sembilan wakil (satu Karaeng dan delapan Gallarang) tidak termasuk Karaeng Manuju (Zainuddin Tika, dkk, 2008: 9). Lebih lanjut, Jamaluddin mengungkapkan bahwa pada masa negeri ini masih terbagi dalam toddo‟ (negeri kecil) bukanlah orang yang memiliki garis keturunan karaeng yang menjadi pemimpin atau toddo‟. Bahkan, di wilayah yang kini disebut Kecamatan Manuju, dahulu hanya disebut area toddo‟ Tujua, yang terdiri dari Toddo Pannyikkokang Iraya, Toddo Pannyikkokang Ilau, Toddo Parangloe Manuju, Toddo Janjang, Toddo Sumallu, Toddo Mampu, dan Toddo Kunjung. Sebelumnya, baik gallarang130 Pannyikkokang maupun gallarang Manuju itu dipimpin oleh ‗orang biasa‘ yang bernama Daeng Tanggong dan Daeng Cala (kakek buyut dari pihak ibu Jamaluddin). Bila dirunut secara kronologis di gallarang Pannyikkokang maka setelah Daeng Tanggong, gallarang berikutnya adalah Sarakka,, dan lalu beralih kepada gallarang terakhir yang bernama Nyonyo. Pada tahun 1940 -1963, istilah gallarang diganti dengan istilah baru yakni ‗kepala kampung‘ yang dipegang oleh Sanda (paman dari Jamaluddin). Kemudian, kepala kampung tahun 1963 beralih kepada Daeng Makka hingga tahun 1966. Periode berikutnya, ada kebingungan dalam penggunaan istilah karena muncul istilah baru yakni ‗kepala lingkungan‘ saat Ronrong di masa kepemimpinan kepala desa Karaeng Lalang menjadi kepala dusun berikutnya tahun 1966. Ronrong masih anggota keluarga atau sepupu sekali dengan Jamaluddin. Jadi, hingga kepemimpinan Jamaluddin hingga sekarang ini, hanya dusun Panyikkokang dari seluruh dusun di Desa Manuju yang tidak pernah dipimpin oleh Karaeng. Bahkan, pemilihan kepala dusun terakhir tahun 1994, seorang ‗lawan politik‘nya adalah Nasrun Daeng Romo (anak Karaeng Lalang) berhasil ia kalahkan dalam pemilihan di Lembaga Musyawarah Desa (LMD) di mana Nasrun Daeng Romo memperoleh tujuh suara dan Jamaluddin delapan suara.
130
Penggunaan istilah toddo, gallarang, dusun, lingkungan, kampong, seringkali digunakan untuk merujuk wilayah setingkat dusun atau desa. Dari aspek kesejarahan, yang terlebih dulu digunakan adalah toddo dan gallarang pada masa kerajaan/kolonial, lingkungan dan dusun pada masa setelah Soekarno menghapuskan sistem pemerintahan Swapraja menjadi Swatantra di tahun 1960. Sistem pemerintahan swapraja, kurang lebih secara hirarkis dari lokus terendah terdiri dari Suro (setingkat RT), Sariang (setingkat RW), Gallarang (setingkat Desa), Karaeng (setingkat Camat), Somba atau raja (setingkat bupati).
235
Kemenangan ini menunjukkan bahwa kuasa di dusun Pannyikkokan masih milik ‗orang-orang biasa‘. Pandangannya sebagai kepala dusun dari kalangan ‗orang biasa‘ membuatnya merasa tersisih dan di kelas duakan. Menurutnya, perlakuan kepala desa terhadap kepala dusun seperti dirinya sangat berbeda dengan kepala dusun yang bergelar karaeng. Dalam rapat Desa semisal musyawarah pembangunan Desa (musrembangdes), seringkali keputusan yang diambil oleh kepala desa tidak lagi dikonsultasikan dengan dirinya. Bukan itu saja, bahasa yang digunakan oleh kepala desa terhadap dirinya dia nilai sebagai bentuk diskriminasi. Ia mencontohkan, saat meminta pendapat kepada seorang kepala dusun lain dengan gelar karaeng pendapat dusun tersebut dapat panjang lebar dan begitu dihargai, sementara dirinya biasanya tinggal ditanya bagaimana tanggapan atas pendapat itu dan bukan bagaimana pendapat ia sendiri di luar pendapat dusun yang bergelar karaeng tersebut. perilaku kepala desa yang diskriminatif ini menurutnya dengan jelas merupakan pelanggaran hak asasi yang ia miliki 131. Dari Desa Tassese, yakni Desa yang berbatasan dengan Desa Manuju (juga di kecamatan Manuju) menyebutkan bahwa di Desa ini sebagaimana di dusun Panyikkokang, tipologi karaeng dengan orang biasa juga mencuat. Bahkan, dalam pemilihan kepala desa pertama (Desa ini baru berdiri sebagai Desa pada tahun 2008 di mana sebelumnya adalah bagian dari Desa Manuju sebagai dusun Tassese) orang-orang Tassese sempat mengajukan seorang calon kepala desa bernama Muslimin yang dianggap mewakili orang kebanyakan di Desa Tassese. Muslimin akan bersaing dalam perebutan jabatan ini dengan seorang keturunan karaeng yang bernama Karaeng Unjung. Namun, dalam proses penyeleksian calon, rupanya Haji Abdul Rauf Karaeng Kiyo (kepala bagian Pemerintahan Pemda Gowa) mencoret namanya dari bursa calon kepala desa. Akibatnya, pemilihan ini berlangsung tanpa lawan (kotak kosong) dan menurut kabar dari beberapa informan, kartu suara itu telah terstempel sebelum pemilihan berlangsung dan Karaeng Unjung memenangkan pertarungan tanpa lawan ini. 131
Wawancara dengan Jamaluddin, 13 Desember 2009
236
Dalam konteks ini, peran Karaeng Kiyo, sebagai salah seorang tokoh penting di Manuju punya peran dalam naiknya kepala-kepala desa keturunan Karaeng di Manuju. Pendapat ini dapat dibenarkan karena kini, dalam bursa pencalonan bupati di Gowa, incumbent bupati IYLsedang mempersiapkan diri menggandeng Karaeng Kiyo sebagai calon wakil bupati Gowa. Tabel 13.
Nama dan Kepala Dusun masa kepala desa Karaeng Lalang
No Nama Dusun 1 Tassese
Kepala Dusun
Tahun 1968
M. Karaeng Jalling 2008/2009 Karaeng Unjung (kini kepala desa) 2
1968 – 1976
Pannyikkokang Ronrong
1976 – 1984 Jamaluddin 1984 – 1994 M. Sakir Bacca Jamaluddin 3
–
1994 sekarang 1968 – 1984
Parangloe-Manuju Mansyur Daeng Jari
1984 - 1994 M. Karaeng Emba
4
5
Janjang (kini bernama dusun Mampu) Bilalang
Mappa Daeng Jalling
1994 sekarang
N. Karaeng Sese
1994sekarang
–
1984-1994 Abbas Karaeng Sigollo Ludding Daeng Salle
6
Po‘rong
1994sekarang 1968-1983
B. Daeng Bombong 1984-1993 J Daeng Sila Daeng Bali
1994sekarang
237
Demikianlah, dinamika di dusun Pannyikkokang yang dinamis juga bisa ditelusuri pada masa gerombolan atau pemberontakan DI/TII di tahun 1950-an hingga 1960-an—orang Pannyikkokang menyebut mereka paromang atau garambolang (orang yang tinggal di hutan). Saat itu, dusun Pannyikkokang berada dalam masa sulit di mana banyak warga dibunuh bila memiliki kontak dengan Sungguminasa di mana pusat pemerintahan Gowa berpusat. Dalam keadaan seperti ini, mereka merasa terjajah sekaligus hidup penuh kesulitan. 6.4.2
Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Bone (Desa Ancu Dan Desa Benteng Tellue)
Para Andi di Desa Ancu Secara geografis, Desa Ancu berada di wilayah pesisir pantai Teluk Bone dan berbatasan dengan Kelurahan Awang Tangka di sebelah selatan, Desa Angkue dan Desa Pude di sebelah utara, dan Desa Raja di sebelah barat, sementara di bagian timur merupakan Teluk Bone. Rumah-rumah penduduk di bangun dan ditata memanjang dan menghadap ke jalan Desa yang sudah beraspal. Karena letaknya yang dekat dengan laut, udara di daerah ini lumayan panas ketika siang hari, meskipun masih banyak pepohonan di sekitar rumah warga, dan baru terasa sejuk ketika sore hari, sekitar pukul 17.00 wita. Pada umumnya, bangunan tempat tinggal penduduk masih banyak yang menggunakan rumah panggung dan sebagian lagi sudah menggantinya dengan rumah batu. Salah seorang tokoh masyarakat menceritakan, sekitar tahun 1970-1980an, masyarakat di Desa ini, kondisi perekonomiannya sangat kesulitan. Hidup dari hasil pertanian dengan mengandalkan sistem pertanian tadah hujan dan bekerja sebagai nelayan disela-sela musim pertanian. Karena kesulitan perekonomian saat itu, penduduk banyak yang keluar merantau ke pulau Jawa dengan bekerja sebagai awak kapal dengan harapan mampu membantu perekonomian keluarganya di kampung. Di tahun-tahun tersebut, penduduk Desa Ancu yang menempuh pendidikan formal bisa dihitung dengan jari tangan karena sulitnya memenuhi biaya pendidikan. Bahkan hanya ada dua keluarga di Desa Ancu yang terbilang mampu secara ekonomi, itu karena keluarga tersebut memiliki beberapa kapal penangkap ikan dan tambak serta sawahnya yang juga lumayan luas (2,7 Ha). 238
H. YAS (pendidik), yang saat penelitian ini dilakukan menjadi tenaga pengajar di Kabupaten Sinjai, mengatakan, bahwa saat dirinya menempuh pendidikan formal, ia juga harus membantu ibunya berjualan kue usai mengikuti pelajaran di sekolah untuk mencari biaya tambahan. Hingga akhirnya ia mampu menamatkan pendidikannya di sekolah keguruan di tahun 1983 dan terangkat jadi pegawai negeri sipil (guru) di tahun 1984. Meskipun di akhir-akhir masa pendidikannya, saudaranya sudah banyak membantu perekonomian keluarganya setelah usahanya di Pulau Jawa mulai mendapatkan hasil.132 Aktivitas warga di Desa ini, bergerak di bidang pertanian, nelayan dan juga bekerja di tambak (empang), baik yang milik sendiri ataupun milik warga lainnya dengan produk utama ikan bandeng atau udang. Untuk pengairan pertanian (persawahan), masyarakat di Desa Ancu masih mengandalkan sistem persawahan tadah hujan dengan masa panen satu kali dalam setahun untuk jenis tanaman padi. Selebihnya ditanami palawija yang umumnya, kacang-kacangan; kedelai, kacang tanah, dan jagung. Bahkan ketika kemarau, sebagian warga yang memiliki lahan membiarkan begitu saja sawahnya tanpa diolah dan menjadi tempat ternak sapi warga. Penghasilan lainnya, masyarakat juga memelihara sapi serta bekerja sebagai tukang ojek dengan menggunakan sepeda motor, yang baru setahun belakangan ini marak di Desa ini. Untuk
memenuhi
kebutuhan
konsumsi
sehari-hari,
masyarakat
mendapatkannya di salah satu pasar lokal (pasar Bojo) di Bojo yang beraktivitas satu kali dalam seminggu, yakni setiap hari selasa. Sementara untuk perlengkapan lainnya, seperti perabot rumah tangga, masyarakat lebih sering berbelanja di pusat kota Sinjai dibandingkan dengan pusat kota Kabupaten Bone sendiri. Hal ini karena jarak ibu kota Kabupaten Sinjai yang lebih dekat dibanding dengan ibu kota Kabupaten Bone. Jaraknya berkisar 15 km untuk ke kota Sinjai, sementara jarak ke kota Watampone 72 km. Dialeg bahasa Bugis di Desa Ancu, lebih mirip dengan dialeg masyarakat di Kabupaten Sinjai di bandingkan dengan pusat Kabupaten Bone itu sendiri. Desa Ancu, sebelum memasuki masa kemerdekaan merupakan salah satu wilayah dari kekuasaan kerajaan (akkarungeng) Awang Tangka. Saat itu, Kajuara 132
Wawancara dengan HY (non-governing elite)
239
masih terbagi dalam tiga wilayah Akkarungeng; Awang Tangka, Tarasu dan Gona. Ketiga Akkarungeng tersebut kini masing-masing menjadi satu Desa tersendiri, Desa Tarasu, Desa Gona, sedangkan untuk Awang Tangka menjadi sistem
pemerintahan
kelurahan
yang
sebelumnya
merupakan
wilayah
administratif Desa Padaelo‘. Kecamatan Kajuara pada masa kerajaan Bone juga dikenal sebagai salah satu daerah yang diberikan tugas untuk mengkoordinir daerah bawahan kerajaan Bone. Atau dikenal dengan istilah Dulung (Panglima Daerah), yang dipimpin oleh Dulungna Awang Tangka. Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, dan setelah masa pemerintahan kerajaan Bone berakhir ketika Arumpone
La
Pabbenteng
Petta
Lawa
Arung
Macege
(1946-1951)
mengundurkan diri dan pindah ke pulau Jawa bersama keluarganya. Maka sistem pemerintahan moderen juga mulai menggantikan sistem Akkarungeng di Bone, dan para keturunan Arung‟ yang memegang kekuasaan kerajaan saat itu berlanjut dengan menduduki kepala distrik serta kepala Kampung yang diterapkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Di Kajuara, saat itu Arung yang berkuasa adalah keturunan dari pernikahan antara Arung Awang Tangka dengan Arung Tarasu yang masih merupakan saudara kandung dari Arung Gona. Arung Tarasu (Andi Upe‘) Menikahi anak dari Arung Awang Tangka (Andi Nini Petta Sali). Dan dari pernikahannya melahirkan: Andi Gappa; Andi Santang; Andi Nini; 1. Andi MHRM; a. Andi MA (mantan Kepala Kecamatan Kajuara); b. Andi AMR (mantan Bupati Bone periode 1993-2003); c. Andi ABA (mantan Kepala Kecamatan Kajuara);
d. Andi SLTN;
e. Andi NHS (Kepala Kecamatan
Kajuara saat penelitian ini) 2. Andi YF ; a. Andi BA (mantan Bupati Bone periode 1967-1969);
b. Andi
MJ (mantan Panglima ABRI) 3. Andi ISKR; a. Andi HI (Mantan Wakil dan Walikota Makassar) Untuk infrastruktur di Desa Ancu, terdapat satu bangunan untuk pendidikan setingkat sekolah dasar (Madrasah Ibtidayah), kantor kepala desa, dan satu posyandu (pos pelayanan terpadu) yang berada satu lokasi dengan kantor kepala desa. Sementara untuk tempat beribadah, terdapat satu bangunan mesjid Desa, dan satu lagi Mushalla yang di bangun sendiri oleh salah satu keluarga yang berada di
240
samping rumahnya sendiri. Akan tetapi, meski terdapat satu bangunan sekolah setingkat sekolah dasar (madrasah ibtidaiah), namun anak-anak yang ingin menempuh pendidikan formal, sebagian orang tua memilih sekolah yang berada di Bojo, yang merupakan pusat aktivitas Kecamatan Kajuara dengan jarak antara 1-2 km. Di Bojo ini juga, pendidikan lanjutan, SMP, SMA, Universitas, begitu juga dengan taman kanak-kanak (play group)
serta perkantoran setingkat
kecamatan berada. Desa Ancu, secara administratif, terbagi dalam dua wilayah dusun dengan empat rukun tetangga (RT). Dusun Matalie dengan Pak Basri sebagai kepala dusunnya, serta dusun Cenrana yang dipimpin oleh pak Hatibe. Luas Desa Ancu sendiri, tergolong sempit dibandingkan dengan Desa-Desa lainnya di kecamatan Kajuara, 3,50 Km² dengan pembagian 275,4ha sebagai lahan pertanian dan 19,6ha sebagai bukan lahan pertanian. Masyarakat Desa Ancu pada tahun 2007 tercatat sebanyak 818 jiwa dengan pembagian, laki-laki sebanyak 365 jiwa dan perempuan 453 jiwa yang terdiri dari 172 kepala rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk 234/Km². Karena Desa Ancu berada di sekitar pesisir teluk Bone, maka letak ketinggian Desa dari permukaan laut kurang dari 100 meter dpl.133 Desa Ancu sebelum mengalami pemekaran wilayah pada tahun 1993, terbagi dalam dua dusun, Ancu dan Angkue. Andi Mappamasing dan Andi Tone adalah orang yang menjadi kepala desa saat itu. Dan pada masa pemerintahan Andi Tone, kemudian Desa Ancu mengalami pemekaran wilayah dan hingga penelitian ini dilakukan baru memiliki dua kepala desa secara definitif dan pemilihan kepala desa untuk yang ketiga kalinya rencananya akan dilakukan di pertengahan tahun 2010. Desa Ancu, Kecamatan Kajuara, dulunya merupakan wilayah dusun dari Desa Ancu itu sendiri. Saat itu, Desa Ancu belum mengalami pemekaran wilayah dengan pembagian wilayah yang terbagi dalam dua wilayah dusun, dusun Angkue dan dusun Ancu. Kini, kedua dusun itu masing-masing sudah menjadi satu pemerintahan Desa tersendiri. Desa Ancu dan Desa Angkue. Tapi saat itu, dusun Ancu yang juga sudah menjadi satu pemerintahan Desa tersendiri justru memakai 133
Berdasarkan hasil obeservasi dan untuk data angka-angak bersumber dari Kecamatan Kajuara dalam angka 2008, kerjasama dengan Badan Pusat Statistik, BAPPEDA, Dan Statistik Kabupaten Bone.
241
nama Lamakaba. Sementara nama Desa Ancu, dipakai pada pemerintahan Desa yang satunya (kini Desa Angkue), yang belakangan di persoalkan oleh warga karena seharusnya yang menggunakan nama itu (Ancu) adalah dusun Ancu, sesuai dengan nama kampung itu sendiri. Penggunaan nama Lamakaba sebagai nama Desa Ancu sekarang, bertahan hingga kepala desa saat ini terpilih, Andi MA. Dialah yang kemudian melakukan pengusulan penggantian nama, sekaligus sebagai program kerja pertamanya setelah di lantik menjadi kepala desa Ancu.134 Pemekaran wilayah yang terjadi pada pertengahan tahun 1993 di Desa Ancu saat itu, mengakibatkan pemerintahan Desa harus di jalankan oleh pelaksana tugas sementara sampai tahun 1994, yang ditunjuk oleh Kepala Kecamatan Kajuara, ABA. TJK selaku pelaksana tugas kepala desa Lamakaba, dan Andi Mattanetta sebagai pelaksana tugas sekertaris Desa.135 Berselang beberapa bulan, pemilihan kepala desa digelar untuk mengisi pemerintahan Desa secara definitif. Saat itu, Tajuddin Kasim, salah satu pegawai kecamatan Kajuara, yang juga merupakan orang dekat dari Kepala Kecamatan ABA, maju sebagai kandidat, begitu juga dengan pelaksana tugas sekertaris desa, Andi Mattanetta.136 Keberadaan TJK di Desa Lamakaba saat itu, dan berhasil menjabat sebagai kepala desa pertama, selain karena dukungan dari kepala Kecamatan yang saat itu memiliki kekuasaan begitu besar, juga karena mengikuti istri keduanya yang merupakan penduduk setempat. Hal ini pula yang memungkinkannya untuk mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat saat pemilihan kepala desa. TJK sendiri merupakan warga pendatang di kecamatan Kajuara yang berasal dari Kabupaten Sinjai. Kedatangaannya di Kajuara karena pekerjaannya sebagai salah seorang pegawai negeri sipil di kantor kecamatan. Namun, setelah istri pertamanya meninggal dunia, ia kemudian menikah lagi dengan salah satu warga di Desa Ancu, yang saat itu belum mengalami pemekaran wilayah. 137 Karena kedudukannya sebagai salah satu pegawai Kecamatan dan juga sebagai supir dari kepala Kecamatan saat itu, hal itulah kemudian yang membuatnya dekat secara emosional dengan Andi ABA, camat yang masih
134
Wawancara dengan Muh. Akbar, kepala desa Ancu saat penelitian dilakukan, Nov. 2009 wawancara dengan Andi Mattanetta Alias Petta Terru‘ (sekretaris desa). Minggu, Nov. 2009 136 Wawancara dengan Andi MPSS dan Pak Muslimin (tokoh masyarakat) 137 Wawancara dengan Pak Muslimin. Nov. 2009 135
242
keturunan dari salah satu keluarga bangsawan yang di hormati masyarakat di kecamatan Kajuara. 138 Dari semua Camat Kajuara semenjak dikenal pemerintahan sistem Kecamatan, tiga diantaranya adalah saudara kandung. Andi Muh. Amir (mantan Bupati Bone), Andi ABA, dan Andi NHS, yang terakhir masih menjabat sebagai kepala Kecamatan Kajuara saat penelitian ini di lakukan. Bahkan menurut beberapa warga, saat kepala Kecamatan dijabat oleh orang dari bukan keturunan Bangsawan
Kajuara,
masyarakat
enggan
untuk
patuh
dan
biasanya
pemerintahannya tidak akan bertahan lama. Hal ini terbukti dengan tiga camat yang berasal dari Kajuara sendiri menjabat lebih dari satu periode.139
Andi
MPSLI (non-governing elite) menceritakan, bagaimana berkuasanya ketika Andi ABA menjadi kepala Kecamatan. Ia mengatakan, ketika masih menjabat, setiap ada pemilihan (PEMILU, masa Orde Baru), semua tokoh-tokoh masyarakat dipanggil
untuk
kandidatnya.
menghadap
di
kantor
Kecamatan
untuk
mendukung
140
Meskipun, jika berdasarkan pada hasil penghitungan suara saat itu, Andi MTNT yang merupakan penduduk asli dari Desa tersebut, yang juga masih memiliki hubungan keluarga dengan Andi ABA, lebih unggul ketimbang TJK. Tapi menurut Petta IL (non-governing elite Desa Ancu), naiknya TJK sebagai kepala desa pertama di Desa Lamakaba saat itu, tidak terlepas dari dukungan dari Petta ABA (mantan Kecamatan Kajuara). Menurutnya, suasana di Desa saat itu sempat tegang, karena yang seharusnya menjadi kepala desa adalah Andi MTNT, tapi karena pengaruh Andi ABA
begitu kuat serta Andi MTNT juga saat itu tidak berusaha untuk
menempuh upaya apapun, maka TJK tetap terpilih sebagai kepala desa.141 Pada masa pemerintahan TJK, pada umumnya masyarakat di Desa yang saat itu masih bernama Desa Lamakaba, cenderung tidak menyenangi cara memerintah Tajuddin. Hal ini karena, TJK dianggap kurang cekatan dalam menangani pelayanan administratif warga serta cara menyelesaikan kasus atau sengketa warga. Misalnya pada sengketa kepemilikan tanah, pak TJK selalu melimpahkannya ke tingkat Kecamatan untuk diselesaikan. Padahal jika sengketa tersebut diselesaikan
138
Wawancara dengan Pak SYRF (non-govrning elite), Nov. 2009. Wawancara dengan Andi MTNT (tokoh masyarakat & mantan calon Kepdes) 140 Wawancara dengan Andi MPSLI Oktober 2009 141 Wawancara dengan Andi MPSLI alias Petta IL 139
243
di tingkat desa, maka penyelesaian kasusnya tidak perlu memakan waktu yang lama dan menimbulkan ketegangan antar warga yang bersengketa. Selain itu, TJK juga pernah melakukan perubahan pemilikan salah seorang warga tanpa sepengetahuan pemiliknya, sehingga tanahnya berganti nama kepemilikan. Serta terkadang melakukan keberpihakan pada orang dekatnya jika menangani suatu sengketa, sehingga masyarakat merasa tidak senang. Dalam bahasa informan, jika dipersentasekan, maka masyarakat yang senang hanya sekitar 40% dan yang tidak senang 60%. 142 Namun penilaian berbeda, datang dari salah seorang warga yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di Kabupaten Sinjai, dan saat penelitian dilakukan merupakan salah satu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD). Menurutnya, masa pemerintahan TJK sebagai kepala desa dianggap nya berjalan normal saja.143 Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Andi Hj. INT (pedagang eceran). Menurutnya, pemerintahan
TJK sebagai kepala desa, meskipun banyak orang yang
mengatakan bahwa mereka tidak suka, tapi mereka tetap menganggapnya baik. 144 Saat pemilihan kepala desa berikutnya akan digelar, TJK juga masih berencana untuk maju kembali sebagai kandidat. Tetapi, sebelum pemilihan di laksanakan, TJK menemui ajal karena penyakit. Jadi pada pemilihan kepala desa berikutnya pada tahun 2005, pemilihan kepala desa hanya diikuti oleh tiga kandidat. Andi MTNT; Andi IRW, dan Andi MA Andi MA, Kepala Desa Ancu Dari 400-an hak suara, Andi MA saat itu meraup dukungan sekitar 300-an pada pemilihan Desa yang berlangsung awal tahun 2005. Dukungan itu jauh melampaui dua kandidat lainnya, Andi Mattanetta yang dulunya merupakan lawan dari Tajuddin Kasim, serta satu lagi kandidat baru, Andi Muhammad Irwan yang juga masih keluarga dekat dengan Petta Abu (ABA, Mantan camat Kajuara). Karena dukungan melebihi 50%, jadi pemilihan kepala desa hanya berlangsung satu putaran.145
142
. Wawancara dengan Pak MSN, Nov. 2009 . Wawancara dengan H. YAS. Kamis, 29 Oktober 2009. 144 Wawancara dengan Hj. Andi ITN. Selasa, 10 November 2009. 145 wawancara dengan Pak MSN dan Andi MPSL, Rabu 11 November 2009 143
244
Andi MA sebelum menjadi kepala desa, pada periode TJK juga anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), dan merupakan penduduk setempat. Dari silsilah keluarga, ia berasal dari keturunan arung Gona dan Arung Tarasu. Saat masih menjadi pemuda, Andi Ake‘, panggilan akrab sebelum menjadi kepala desa dari warga setempat, juga mengikuti pergaulan anak muda di sekitarnya. Misalnya ia aktif pada salah satu komunitas Radio Interkom (semacam ORARI). Dari pergaulan sosialnya yang luas ia bisa mengambil hati anak muda di desa ini, sehingga anak-anak muda tidak membuat keonaran di desa ketika ada warga yang menggelar hajatan seperti pernikahan. 146 Hingga kini,
Andi MA alias Petta Desa yang masa jabatannya akan
berakhir pada tanggal 25 November 2009, sudah menikah sebanyak tiga kali, namun dua istri sebelumnya diakhiri dengan perceraian dan pada tahun 2009 menikah lagi dengan istrinya yang ketiga, yang menetap di Kabupaten Sinjai dan bekerja sebagai pegawai di Badan Kepegawaian Daerah. Karena istrinya bekerja di Kabupaten Sinjai yang jarak dari Desa Ancu, sekitar 15 km, maka setiap hari, ia biasanya berada di Desa Ancu ketika pagi dan sore hari atau hari sabtu dan minggu dan selalu mengikuti kegiatan kepala desa di tingkat Kecamatan. Pada masa pemerintahan Andi MA inilah perubahan nama desa terjadi. Yang dulunya Desa Lamakaba berubah nama menjadi Desa Ancu, sementara nama Desa Ancu yang dulunya merupakan dusun Angkue‘, menjadi Desa Angkue. Menurut Andi Akbar, setelah dilantik menjadi kepala desa, hal pertama yang dilakukan adalah mengusahakan pengembalian nama Desa Ancu. Untuk melakukan hal itu, beberapa kali pertemuan di lakukan dengan pemerintah Desa Angkue agar bersedia bekerjasama untuk melakukan perubahan nama desa. Pengusulan pergantian nama tersebut sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi, pernah ada mahasiswa yang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), dan saat itu juga mengusahakan perubahan nama, tetapi ternyata tidak berhasil. Kemudian setelah ia menjabat sebagai kepala desa, hal tersebut dilanjutkannya dan kurang dari setahun, sekitar enam bulan, surat keputusan perubahan nama dari Kabupaten dikeluarkan pada awal tahun 2007.
146
Wawancara dengan Andi MPSS. Jum‘at, 23 Oktober 2009.
245
Andi MA, saat memutuskan maju sebagai kandidat pada pemilihan kepala desa, ia mendatangi beberapa anggota keluarganya yang juga cukup dihormati di masyarakat. Kedatangannya untuk meminta pandangan tentang keputusannya yang akan maju salah satu calon pada pemilihan kepala desa (dalam kebiasaan Bugis hal ini disebut dengan istilah Mappatabe‟). Salah satu pendukung utama Andi MA adalah Petta IL. Saat masa kampanye, Petta IL mengakui bahwa saat itu, ia harus berhadapan dengan mantan camat (Petta Abu), karena dia juga turun ke masyarakat untuk menggalang dukungan bagi keluarganya (Andi MIW). Tapi Petta IL mengaku tidak gentar saat itu, dan untuk mendapatkan dukungan masyarakat, ia berani main kucingkucingan dengan Petta Abu. Dia juga mengadakan pembicaraan dengan kandidat yang lainnya (Andi MTNT), ―bahwa untuk keluarga yang berada di dekat kamu (berdasarkan tempat tinggal) dukungannya untuk kamu (Andi MTNT), kemudian yang berada di dekat tempat tinggal Andi MA, suaranya untuk Andi MA,‖ sehingga semua dapat suara dan akan tetap terbagi. Petta Ile‘ juga mengaku, saat hari pemilihan (pagi hari), ia sempat menahan orang yang diutus oleh Petta Abu untuk melakukan serangan fajar (membagi-bagikan sembako dan uang) terhadap warga, sehingga tidak sempat menemui warga sampai pemilihan selesai dilaksanakan.147 Keyakinan Petta IL, bahwa kandidatnya yang akan menjadi pemenang, karena ia melihat, bahwa kandidat yang didukung oleh mantan camat; Andi MIW, di mata masyarakat setempat dikenal sebagai orang yang memiliki pergaulan tidak baik. Andi MIW dikenal selalu terlibat pada acara minum MIRAS di kampung itu serta sering terlibat dalam perkelahian ketika ada keramaian, seperti hajatan pengantin atau keramaian lainnya. Apalagi ia tidak menetap di kampung (Desa Ancu) ini, dan secara pribadi Petta Ile‘ sendiri tidak meyenangi perilaku kandidat tersebut. Jadi saat itu, ia mengatakan pada masyarakat, bahwa apakah orang yang berasal dari luar dan kamu tahu sendiri perilakunya, yang akan kamu pilih sebagai
147
Wawancara dengan Andi MPSS. Jum‘at 23 Oktober 2009
246
kepala desa. Nanti kalian sendiri yang akan dibuat susah kalau dia (Andi MIW) yang menjadi kepala desa di kampung ini. 148 Hal sama juga diungkapkan oleh Pak M (tokoh masyarakat), menurutnya, meskipun Andi MIW didukung oleh Petta Abu, tapi dia tidak cocok untuk menjadi seorang kepala desa. Selain karena umurnya masih muda dan tidak memiliki pengalaman mengenai pemerintahan, ia juga dikenal memiliki pergaulan yang tidak baik di mata masyarakat. Pak Muslimin mengatakan bahwa kalau orang seperti Andi MIW, maka dia tidak bisa membimbing masyarakat disini dan tidak bisa dijadikan sebagai panutan.149 Saat dikonfirmasi hal itu, Andi MIW yang kini bekerja sebagai pegawai kantor kelurahan Awang Tangka dan juga menetap di kelurahan Awang Tangka bersama istri dan seorang anaknya, mengakui sendiri hal tersebut. Menurutnya masyarakat di Desa Ancu sudah pintar dalam memilih siapa yang bagus dijadikan sebagai kepala desanya. Apalagi dirinya juga tidak menetap di desa tersebut, sehingga jarang berinteraksi dengan warga, ia juga menyadari bahwa citranya di masyarakat tidak baik. Ia menyebut dirinya; ―biasa degage jamang tana ujama” (dulu tidak ada pekerjaan yang saya tidak kerjakan –hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan negatif di mata masyarakat, misalnya, konsumsi minuman beralkohol, sering terlibat keributan). Keputusannya untuk maju sebagai kandidat kepala desa saat itu, menurutnya juga atas desakan keluarga. Untuk memenuhi salah satu persyaratan administratif, bahwa harus menetap didaerah bersangkutan selama enam bulan terakhir sebelum pemilihan, hal itu dilakukan dengan datang di Desa Ancu dan bergaul dengan anak muda setempat. Terkadang pada sore hari (sekitar pukul 04.00-06.00 wita) dan juga pada malam hari, (sekitar pukul 07.00-11.00 wita). Hal itu dilakukannya setelah menyatakan diri maju sebagai salah satu kandidat. Kurang dari enam bulan hal tersebut dilakukan meskipun terkadang dalam seminggu ia tidak pernah muncul di desa tersebut. Lebih lanjut, menurutnya, suara (dukungan) yang didapatkan saat itu yang hanya sekitar 30-an pada saat pemilihan, dipastikan berasal dari orang-orang (pemuda) yang sering ia temani berkumpul dan minum minuman beralkohol. 148 149
Wawancara dengan Andi MPSS Oktober 2009 Wawancara dengan Pak MSN, Nov. 2009
247
Meski kalah, tapi ia mengaku tidak begitu memperdulikannya, karena yang menjadi kepala desa juga masih kerabatnya (keluarga).150 Menurut mantan kandidat yang lain; Andi MTNT, yang kini bekerja sebagai petani tambak, juga berjualan air bersih ke rumah-rumah warga dan bekerja sebagai buruh bangunan, kekalahannya dalam pemilihan kepala desa kali saat itu, memang karena dirinya tidak begitu serius mengikuti pemilihan kepala desa. Apalagi yang menjadi saingannya adalah anggota keluarganya sendiri. Dorongan untuk maju menjadi calon kepala desa lebih disebabkan karena kekecewaan atas kecurangan yang dia alami waktu pemilihan kepala desa pertama. Sehingga pada pemilihan kali ini, ia kembali maju sebagai kandidat untuk mengikuti dorongan anggota keluarga yang lain. Ia mengatakan mungkin belum ada nasib jadi kepala desa, ini sekaligus sebagai tanggapannya atas kecurangan yang dialaminya saat pemilihan kepala desa pertama dilaksanakan serta dia tidak melakukan upaya hukum atau yang lainnya untuk menentang surat keputusan atas kepala desa yang terpilih di Desa Ancu yang saat itu masih bernama Desa Lamakaba.151 Saat
Andi MA sebagai kepala desa kedua Desa Ancu, ketika akan
mengangkat
orang
yang
akan
membantunya
untuk
menjalankan
roda
pemerintahan, pilihannya didasarkan pada orang-orang yang dianggapnya memiliki kecakapan administratif. Hal ini untuk mengganti peran sekertaris desa yang ditunjuk dari kabupaten karena menetap di Kabupaten Sinjai mengikuti istrinya.
Andi MA juga sewaktu ingin mengangkat perangkat desa untuk
mengganti salah satu perangkat desa yang meninggal juga mengajak tokoh masyarakat, antara lain; Petta IL untuk menggantinya sekaligus menjadi pelaksana sekertaris desa. Tapi Petta IL mengatakan bahwa dirinya sudah tua, dan lebih bagus memilih yang masih muda dan bisa dipercayakan untuk mengurus permasalahan administratif. Orang yang direkomendasikan oleh Petta IL inilah yang sekarang membantu kepala desa dalam hal administratif desa, dan menempati Kaur Umum di struktur pemerintahan desa.152
150
Wawancara dengan Andi MIW (mantan kandidat kepala desa Ancu pada pemilihan kepala desa yang kedua). Selasa 10 November 2009. 151 Wawancara dengan Andi MTNT. Minggu, 08 November 2009 152 Wawancara dengan Andi MPSS, Oktober 2009
248
Sementara untuk perangkat pemerintahan (KAUR) lainnya, seperti di bidang
pemerintahan dan pembangunan tetap
mempertahankan pejabat
sebelumnya. Sedangkan di tingkatan dusun, pemilihan kepala dusun diserahkan kepada warga di dusun bersangkutan. Tapi sebelum pemilihan, Andi MA juga menemui beberapa tokoh masyarakat di dusun tersebut yang dekat dengannya, bahwa alangkah baiknya kalau yang menjadi kepala dusun adalah kepala dusun sebelumnya saja. Hal ini untuk menjaga anggapan, bahwa tidak baik ketika dia menjabat sebagai kepala desa dan kepala dusun yang menjabat sebelumnya digantikan. Berbeda ketika kepala desa sebelumnya, saat masih dijabat oleh Tajuddin Kasim, yang beberapa kali melakukan penggantian kepala dusun, sehingga orang merasa kecewa dan masyarakat juga merasa bingung dengan penggantiannya. 153 Untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya,
Andi MA
mengaku harus pandai melihat apa yang diinginkan masyarakat, kemudian melaksanakannya sehingga masyarakat tetap akan percaya. Misalnya ketika ada proyek pembangunan desa, maka anggaran dari pembangunan tersebut akan digunakan sesuai dengan keinginan warga melalui rapat dengan anggota BPD. Di Desa Ancu, anggaran pembangunan desa yang berasal dari PNPM Mandiri, diarahkan untuk pembangunan jalan desa, atau dana dari Anggaran Dana Desa (ADD) digunakan untuk memperbaiki fasilitas kantor kepala desa. Saat ini, lanjutnya, jika seorang kepala desa tidak mampu mengambil hati masyarakatnya, maka sulit untuk melaksanakan pembangunan desa. Misalnya jika ada bantuan seperti pada proyek PNPM Mandiri dan anggarannya akan dialokasikan untuk perbaikan jalan desa, jika seorang kepala desa tidak dapat mengambil hati masyarakat, maka pembangunan jalan tersebut pasti tidak akan berjalan, karena anggaran hanya untuk membeli bahan-bahan sementara untuk pengerjaan tidak ada sehingga pengerjaannya harus dari kesukarelaan masyarakat. Selain itu juga pasti akan sulit mendapatkan kepercayaan masyarakat lagi, jika ingin kembali mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa berikutnya. Selain itu, Andi MA juga bertandang ke rumah-rumah warga ketika ada suatu hajatan (seperti; pernikahan, sunatan dan kematian) untuk mendampingi warganya, 153
Wawancara dengan Pak MSN (tokoh masyarakat).
249
apalagi ketika yang mengadakan hajatan pernikahan dan pasangannya berasal dari luar desa, maka ia akan mendampingi keluarga tersebut dan biasanya akan dipercaya oleh pemilik hajatan sebagai salah satu juru bicara keluarga mereka.154 Dalam berinteraksi dengan masyarakat,
Andi MA membangun pola
interaksi yang tidak kaku. Dari hasil observasi dan juga menurut pak H. YAS (tokoh masyarakat, pemilik tambak dan sejumlah kapal penangkap ikan) mengatakan, kalau saat ini kita sedang membutuhkan bantuan dari kepala desa, kita tidak perlu lagi mendatangi rumahnya dengan pakaian yang rapi untuk mengatakan keperluan kita. Tapi juga sudah bisa disampaikan ketika bertemu di jalan, ataupun hanya melalui alat komunikasi (telepon genggam), kepala desa juga sudah bersedia membantu dan tidak mempersoalkan cara penyampaiannya. Hal ini dianggapnya sangat berbeda pada masa pemerintahan kepala desa di era 1970an. H. YAS menceritakan, perbedaan pola interaksi masyarakat dengan kepala desa saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Saat itu (pada Era 1970-an), ketika masyarakat memiliki keperluan dengan kepala desa, maka ia harus
datang
ke
rumah
kepala
desa
dengan
berpakaian rapi
untuk
menyampaikannya. Begitu juga ketika seorang kepala desa sedang lewat di jalan desa, masyarakat tidak berani untuk menyapanya sebelum ia disapa lebih dahulu, dan kalaupun ingin berbicara, maka badan harus sedikit ditundukkan dan kedua tangan dilipat di atas alat kelamin. Perubahan ini menurut H. YAS tidak terlepas dari perkembangan sekarang, di mana masyarakat sudah semakin berpendidikan, sehingga hal-hal tersebut, seperti rasa takut kepada kepala desa, perlahan mulai hilang. Termasuk dalam memilih seorang kepala desa (pemimpin), masyarakat juga pasti akan melihat apakah orang tersebut memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin dan nanti bisa bekerja untuk membantu keperluan masyarakat. Masyarakat juga tidak lagi begitu menyenangi ketika seorang kepala desa berasal dari keturunan tau masegge‟ (orang berani), karena beranggapan kalau orang seperti itu yang memerintah, maka masyarakat sendiri nantinya akan merasakan akibatnya. Seperti
154
Wawancara dengan kepala desa (Andi MA). Hal ini juga di benarkan dalam oleh salah satu informan lain, A. MRD (Mantan Sekertaris Kecamatan Kajuara, yang meski tempat tinggalnya berada di wilayah administrative kelurahan Awang Tangka, namun secara geografis lebih dekat dengan penduduk di Desa Ancu).
250
pada masa Orde Baru, dimana seorang kepala desa begitu otoriter dalam memerintah bahkan terkadang dengan kekerasan jika ada masyarakat yang tidak patuh. Menurutnya saat ini, seorang pemimpin haruslah ramah dan merakyat serta bisa membantu kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hal administratif. Lebih lanjut, saat ini menurut H. YAS, yang membuat seseorang dapat dihargai dan bisa dijadikan sebagai tokoh di masyarakat, faktor keturunan tidak lagi begitu dominan. Melainkan mulai beralih pada orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi lebih baik serta jabatan dan juga tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam adat pengantin, tradisi mappaci‟, yang dulunya hanya untuk keturunan dari keluarga yang memiliki gelar (bangasawan dan daeng), tapi sekarang siapa yang memiliki uang, juga sudah melaksanakan tradisi mappacci‘ tersebut. Meskipun seorang berasal dari keturunan bangsawan, tapi ketika tidak memiliki kemampuan ekonomi serta pendidikan ataupun jabatan di pemerintahan, maka akan dianggap sama saja dengan masyarakat pada umumnya (yang tidak memiliki gelar kebangsawanan). Meskipun jika memberikan undangan pernikahan, model pemberiannya masih berbeda dengan masyarakat yang tidak memiliki gelar bangsawan. Undangan diantarkan dengan lebih dari dua orang (Padduppa‟) dengan pakaian baju bodo‟ untuk perempuan dan jas tutup untuk laki-laki (pakaian adat Bugis). Tetapi meskipun begitu ketika ingin menjadi seorang kepala desa, H. YAS menganggap faktor keluarga masih sangat penting, karena keluarganya itulah yang nantinya akan memberikan dukungan kepadanya pada saat pemilihan.155 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pak SRF, bahwa dalam pemilihan kepala desa, faktor keluarga sangat penting. Selain itu, masyarakat juga masih melihat latar belakang dari seorang kandidat, termasuk keturunannya, pendidikan dan juga asal daerah.156 Karena setiap keluarga dalam menentukan pilihannya pasti akan mencari apakah ada anggota keluarganya atau orang terdekatnya yang maju sebagai kandidat. Dalam bahasa informan, ―kalau masih ada orang terdekat yang bisa ditunjuk (dipilih), maka kenapa mesti orang lain yang ditunjuk‖. Misalnya pada tingkat kecamatan, dulu beberapa kali ketika camat Kajuara bukan
155 156
Wawancara dengan H. YAS, Hj. RTN (pedagang), 29 Oktober 2009. Wawancara dengan Pak MSN, Andi MR, dan H. YAS, Nov. 2009
251
berasal dari Kajuara, maka kepemimpinannya tidak mendapatkan dukungan yang baik dari masyarakat, sehingga tidak bertahan lebih dari satu periode. 157 Andi MA, sebagai kepala desa kedua Desa Ancu setelah mengalami pemekaran wilayah, termasuk kepala desa yang disenangi oleh masyarakat. Selain karena dia juga berhasil mengembalikan nama desa sesuai dengan nama kampung itu sendiri, dia dianggap cekatan dalam pelayanan administratif (seperti: KTP, Akte Kelahiran, dll) terhadap masyarakat. Salah satu warga, Andi END (aktivis Karang Taruna), mengatakan bahwa kepala desa saat ini menurutnya sudah bagus dalam memimpin. Seperti dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, misalnya saat ia mengurus akte kelahiran untuk anaknya, kepala desa sendiri yang mengantarkan akte kelahiran anaknya tersebut ketika sudah jadi. Dan juga ketika ada masyarakat yang sakit, maka Petta desa (sebutan untuk kepala desa- Andi MA-) sendiri yang mencarikan dokter untuk mengobati warganya. Apalagi, sampai saat ini, dia juga tidak membangun rumahnya, tidak seperti di daerah lain, biasanya kalau sudah menjadi kepala desa, tiba-tiba membangun rumah yang bagus. 158 Untuk pengurusan administratif, Andi MA mengatakan, bahwa kalau bisa dipermudah masyarakat maka sebaiknya jangan dipersulit. Hal ini menurutnya didasarkan dengan mengambil contoh pada dirinya, jika mengurus sesuatu kemudian dipersulit, maka itu pasti membuat orang bisa merasa jengkel. Meskipun sudah ada peraturan desa yang sudah dibuat, yang mengharuskan dikenakan biaya dalam pengurusan administratif desa, tapi kepala desa mengakui, bahwa itu lebih banyak tidak dijalankan. Karena takut akan memberatkan masyarakat. Ia mencontohkan, dalam mengurus surat keterangan tidak mampu, masyarakat harus dikenakan biaya, meskipun ada aturan desa tapi itu tidak dijalankan. Ini juga untuk menghindari anggapan dari masyarakat bahwa kepala desa suka ―makan uang‖.159 Tapi berbeda ketika pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau yang lainnya yang harus diselesaikan ditingkat Kabupaten, ketika ada masyarakat yang membutuhkan hal tersebut, maka masyarakat akan diminta mengeluarkan biaya tambahan untuk uang transportasi untuk mengurus di Kota Kabupaten yang 157
Wawancara dengan SRF, Nov. 2009 Wawancara dengan beberapa warga, dan juga wawancara dengan Pak Muslimin, Nov. 2009 159 Wawancara dengan kepala desa (Andi Muh. Akbar) 158
252
jaraknya sekitar 72 km dari Desa Ancu. Karena anggaran operasional kepala desa sebesar Rp 600.000,- yang diambil dari Alokasi Dana Desa, oleh kepala desa dianggap tidak mencukupi. 160 Hal inilah salah satu yang membuat masyarakat merasa senang dengan pemerintahan Andi MA sebagai kepala desa, karena di anggap tanggap dan cepat ketika masyarakat memerlukan sesuatu, misalnya dalam hal kepengurusan administratif tersebut. Kaum Tolampa Di Desa Benteng Tellue Desa Benteng Tellue adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Desa tersebut lebih tenar atau dikenal di luar oleh banyak orang sampai di seluruh Sulawesi Selatan (Sulsel), bahkan di provinsi lain, dengan nama Tabbae. Dikenalnya Tabbae tak lepas dari cerita dan image banyak orang sebagai tempatnya gembong perampok dan pencuri ternak, dan tempat judi sabung ayam terbesar di Sulsel. Daerah ini juga dikenal sebagai daerah persembunyian atau pelarian para pelaku kejahatan dan residivis dari berbagai daerah. Sebagai daerah yang menyimpan kekuatan ―hitam,‖: Daerah ―operasi‖ utama orang Tabba‘e meliputi tiga Kabupaten yaitu Bone, Soppeng, Wajo bahkan juga tersebar sampai Kalimantan dan Negara tetangga Malaysia. Mereka juga memiliki jaringan dengan pemberontak Islam Moro di Philipina. Jaringannya kelompok ―moro‖ Philipina mereka perlihatkan ketika Desa Tabbae diserang oleh massa dari tiga Kabupaten; Bone, Soppeng, Wajo yang tergabung dalam organisasi FORBES GERAK (forum bersama gerakan anti kejahatan) namun berhasil diusir oleh penduduk Tabbae dengan menggunakan senjata rakitan dan peluru yang dipasok dari Philipina. Dalam melakukan operasi ―kejahatan‖ seperti merampok dan mencuri ternak, mereka memiliki organisasi pengintaian yang sangat rapi. Pada setiap tindakan kejahatan yang mereka lakukan, selalu didahului oleh tim khusus (advance team) yang melakukan pengintaian terhadap target. Laporan hasil pengintaian tim khusus menjadi pertimbangan penting bagi kelompok eksekutor. Selain tim mata-mata, kelompok Tabbae juga memiliki tim lain, yang mereka sebut sebagai tim magic. Tugas utamanya membuat target atau korban tidur pulas 160
Wawancara dengan Pak Muslimin dan dengan Andi Muh. Akbar
253
saat tim eksekutor melakukan eksekusi. Bila tim khusus dan tim magic tidak mampu memberikan informasi yang memadai, dan tidak bisa membuat calon korban tidur pulas, kelompok eksekutor biasanya melakukan aksinya secara terbuka dan terang-terangan merampok harta benda dan ternak masyarakat, dengan menodongkan senjata tajam dan senjata api. Tabbae adalah salah satu nama dusun, dari empat dusun yang ada pada Desa Benteng Tellue. Tapi ketenarannya melebihi ketenaran desa dan Kecamatan. Ketenaran Tabbae tidak bisa lepas dari kepopuleran sosok bernamaali PG atau biasa dikenal Ambeali. Dialah yang sering disebut-sebut sebagai actor utama kelompok Tabbae, yang melakukan perampokan, pencurian dan pembunuhan di daerah Bone, Soppeng, Wajo serta beberapa Kabupaten lainnya di Sulsel. Meskipun secara hukum tidak ditemukan fakta hukum yang bisa membenarkan semua tudingan tersebut. Walaupun ALM PG memang pernah menjadi DPO bertahun-tahun dan pernah dihukum (masuk penjara), akan tetapi bukan berarti semua tudingan tersebut adalah sesuatu yang benar. Desa Benteng Tellue berjarak lebih kurang 49 km dari Watampone (ibukota Kab. Bone), dan sekitar 8 km dari Taretta ibu kota Kecamatan Amali. Secara historis daerah Benteng Tellue (Botto, Tabbae sebenarnya adalah bagian dari Amali namun setelah resmi menjadi desa, daerah Benteng Tellue dan beberapa daerah lain di sekitarnya bergabung di kecamatan Ajangngale dan beberapa daerah lain dari sulewatang (setingkat Kecamatan pada zaman Belanda dan diawal kemerdekaan) Amali tergabung di kecamatan Ulaweng. Setelah Kecamatan Amali terbentuk sekitar tahun 1989 beberapa desa yang sebelumnya yang tergabung di kecamatan Ajangngale dan Ulaweng kembali dijadikan bagian dari Amali termasuk Desa Benteng Tellue. Mayoritas penduduk Desa Benteng Tellue adalah rumpun keluarga H. PG (ayah Ali), dan ditambah sebahagian kecil keluarga Bangsawan dari dusun Curikki. Rumpun H. PG adalah rumpun bangsawan dari kerajaan Bone, yang pada masa lalu, setiap terjadi peperangan mereka selalu menghindar untuk tidak ikut berperang. Atas sikapnya tersebut, pihak kerajaan mengutuk keturunan mereka, dan tidak diberi hak berkuasa di seluruh daerah manapun yang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Bone. Mereka hanya diberi hak untuk menempati suatu
254
daerah yang ditunjuk oleh kerajaan untuk penghidupan keluarganya. Hukuman yang sama dirasakan oleh kelompok bangsawan di dusun Curiki Desa Benteng Tellue), bedanya, kelompok bangsawan dusun Curikki sangat ketat menjaga kemurnian darah kebangsawanannya, dengan tidak membiarkan keluarganya untuk melakukan perkawinan silang dengan kelompok masyarakat biasa. Sebaliknya, keluarga H. PG melakukan peleburan sosial dengan masyarakat biasa. Keluarga H. PG tidak tabu untuk dikawinkan dengan masyarakat biasa. Itu sebabnya, keturunan keluarga H. PG tidak berhak menggunakan simbol-simbol kebangsawanan, seperti penggunaan kata Andi di depan nama keturunannya. Menurut data tahun 2009, penduduk Desa Benteng Tellue berjumlah 1584 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) mencapai 575 rumah tangga yang tersebar di tiga dusun; Tabbae 569 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 187, dusun Botto 678 jiwa dengan 301 KK, dan dusun Curikki 377 jiwa dengan 90 KK, sementara fasilitas pendidikan yaitu Taman Kanak-Kanak 3 buah (masing- masing 1 di tiap dusun, Sekolah Dasar 3 buah( 1SD inpres, 1 SD negeri, dan satu Madrasah Ibtida‘yah), 1 buah SMP swasta Islam, sementara Sekolah Menengah Umum sementara dirintis. Fasilitas pemerintahan yaitu 1 buah Kantor Desa dan sebuah Ruang pertemuan bangunan permanen namun kedua fasilitas tersebut dihuni oleh seorang Bidan Desa dan keluarganya serta ruang pertemuan dihuni oleh Sekdes dan keluarganya. Kantor pelayanan publik desa disiapkan oleh Kepala Desa di rumahnya. Segala urusan dan bentuk pelayanan pemerintahan desa dilakukan di rumah Kepala Desa dengan sebuah ruangan Khusus yang dirancang menyerupai ruang Kantor. Secara geografis letak Desa Benteng Tellue berada di daerah berbukit yang cukup subur dengan komoditas unggulan adalah kakao, jagung, dan pisang. Kakao dipetik seminggu atau dua Minggu sekali dan dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-sehari, jagung kuning sebagai tanaman berjangka pendek ditanam dan dipanen dua kali setahun dan menjadi sumber penghasilan yang cukup besar bagi keluarga (terutama oleh pemuda desa sebagai penghasilan untuk membeli sepeda motor atau untuk digunakan biaya menikah). Sementara pisang dipanen setiap minggu dua
kali. Pisang hasil pertanian warga desa
Benteng Tellue diangkut oleh beberapa mobil hingga jumlahnya ber-truk-truk tiap
255
minggunya yang disuplai ke beberapa pasar tradisional di Makassar seperti pasar Terong dan Pa‘baeng-baeng serta beberapa Pasar di Kabupaten Gowa, selebihnya, dalam jumlah kecil, dijual di pasar sekitar Desa Benteng Tellue. Beberapa tahun terakhir hasil panen dari tiga tanaman utama tersebut, mengalami peningkatan produktivitas. Sedangkan hasil tanaman padi hanya digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga keluarga selama setahun. Komoditas lainnya adalah kelapa, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang hijau. Selain komoditas-komoditas tersebut, beberapa petani juga memproduksi tembakau dan lengkuas. Khusus untuk lengkuas, hanya diproduksi oleh petani yang berada di dusun Curikki. Pada umumnya, produksi dusun Curikki dijual di pasar-pasar; Pompanua, Tanrung dan Pasar Kampiri ( Kab. Wajo). Terjadi perbedaan orientasi pasar Dusun Curikki dengan dusun TabbaE dan dusun Botto, ini kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan relasi antara komunitas Curikki dengan pasar yang dikuasai oleh komunitas TabbaE & dusun Botto. Karena perbedaan pasar dapat ditafsirkan sebagai perbedaan jaringan sosial dan ekonomi. Sementara tanaman hasil pertanian dari dusun Tabba‘e dan Dusun Botto biasanya diperjual-belikan di tiga pasar: di pasar utama; Taretta (ibukota Kecamatan Amali) dan pasar Tanrung ( Kecamatan Ajangngale) yang berlangsung tiap lima hari sekali, dan sebuah pasar yang letaknya di daerah perbatasan dengan Kabupaten Soppeng, yang berlangsung tiap hari minggu dan rabu. Para penduduk menggunakan kendaraan umum sebanyak tiga buah yang hanya beroperasi tiap hari pasar karena pada hari biasa tak ada kendaraan umum yang beroperasi secara reguler yang melewati desa. Di tiga pasar tersebut warga membawa hasil pertaniannya untuk dijual dan hasilnya dibelanjakan kembali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama untuk membeli sembilan bahan pokok (sembako). Sementara untuk belanja barang-barang seperti; meubel, barang elektronik serta barang-barang berukuran besar lainnya, masyarakat Tabbae pada umumnya ke Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo) atau ke pasar besar Cabbengnge di daerah Kabupaten Soppeng. Salah satu alasannya untuk tidak berbelanja di ibu kota Kabupaten Bone adalah faktor jarak yang lebih jauh dan harga yang lebih mahal.
256
Elite Klan PG Kelompok elite di Desa Benteng Tellue didominasi oleh klan keluarga besar H. PG, dan beberapa kepala dusun, yang sebetulnya juga masih keluarga besar H. PG, kecuali kepala dusun Curikki. Pola interaksi antara elite dengan pengikutnya serta masyarakat biasa
berlangsung dalam suasana yang egaliter. Tidak ada
perilaku dan bahasa khusus yang digunakan baik oleh elite kepada massanya, atau sebaliknya, yang menunjukkan perbedaan posisi diantara mereka. Meskipun terdapat beberapa nama panggilan khusus seperti kata; Ambe, Uwa atau Nene‘ Aji yang diperuntukkan bagi mereka yang lebih tua dan yang lebih dihormati, tetapi panggilan itu tidak memberikan isyarat sebagai kode diferensi sosial. Interaksi antara elite juga berlangsung dalam suasana yang menunjukkan tidak terjadinya diferensi sosial. Dalam melakukan komunikasi, mereka tidak menggunakan terminologi khusus yang bisa memberikan petunjuk bahwa diantara mereka ada yang lebih tinggi atau lebih rendah posisi sosialnya. Interaksi sosial yang bersifat egalitarism antara para elite, antara elite dengan massa di Desa Benteng Tellue dimungkinkan berkembang, antara lain karena diantara mereka secara genetik masih berkeluarga dekat. Faktor kedua, para elitnya tidak membawa serta darah kebangsawanan, yang menjadi salah satu ciri utama lahirnya diferensi sosial masyarakat Sulsel. Para elite desa di Desa Benteng Tellue selalu mengisi jabatan-jabatan struktural dan fungsional yang tersedia di desa tersebut, dengan cara penunjukan atau musyawarah. Mulai dari guru mengaji, imam desa, kepala dusun, badan pengawas desa dan kepala desa. Mereka yang mengisi jabatan-jabatan ini, masing-masing memiliki keahlian tertentu sesuai dengan bidang nya. Seorang elite bisa saja memiliki keahlian lebih dari satu bidang. Itu sebabnya, seorang kepala dusun sekaligus sebagai imam desa. Atau seorang anggota badan pengawas adalah juga guru mengaji. Puncak elite desa di Desa Benteng Tellue adalah kepala desa. Siapa yang memegang jabatan kepala desa, itu berarti ia sedang dalam posisi puncak elite Desa. Berdasarkan tipologi penguasaan kepemimpinan desa, keluarga H. PG adalah keluarga yang paling tinggi posisi elitnya. Posisi ini dapat dilihat pada
257
jabatan kepala desa Benteng Tellue yang secara turun temurun diduduki oleh keturunan H. PG. H. PG adalah Anre Guru Botto sebutan bagi kepala kampung yang memimpin daerah Benteng Tellue. Ia menjadi orang terakhir yang memegang ―Arajang”161 Bottoe162 yang dinamakan ―jikki-jikki‖.163 Haji PG memangku jabatan kepala kampung Botto selama 40 tahun. Meskipun di akhir masa jabatannya, seseorang yang ―diimport‖ dari luar oleh pemerintah Kabupaten Bone untuk menggantikan posisinya sebagai kepala desa. Tapi sang pengganti (petta kepala) tidak bertahan lama memimpin kampung Botto. Berbagai gejolak, kericuhan dan ketidak-nyamanan dirasakan oleh masyarakat. Pada kondisi serba kacau, masyarakat melalui pemerintah kabupten Bone akhirnya meminta kembali H. PG yang diasingkan di dataran tinggi Malino Kabupaten Gowa, untuk memimpin kembali kampung Botto.164 Kegagalan pemimpin yang dipasok dari ―luar‖ kampung
Botto oleh
pemerintah Kabupaten Bone, untuk memimpin kampung Botto, menjadi titik awal lahirnya keyakinan masyarakat Botto, bahwa kampung mereka tidak bisa dipimpin oleh orang dari luar kampung Botto dan harus dari keturunan H. PG. Menurut keyakinan mereka kalau bukan orang asli keturunan Botto (keturunan H. PG) yang memimpin kampung Botto, maka kalau bukan jabatannya yang pendek, maka umurnya akan pendek. Mitos ini kemudian menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk terus memperkokoh posisi elite clan H. PG. Pada fase ini, terjadi manipulasi makna atas siapa yang berhak atas kepemimpinan di desa ini.
161
Arajang adalah benda yang menjadi simbol kekuasaan disuatu daerah. Pada tradisi kekuasaan Bugis dan Makassar, diyakini bahwa seseorang yang memegang dan menguasai arajang, kelak akan menjadi pemimpin suatu wilayah. 162 Botto adalah nama lama bagi desa Benteng Tellue. 163 Jikki- Jikki adalah nama benda Arajang bagi daerah kekuaasaan Botto bentuknya berupa rambut yang dibingkai dengan kain berwarna hijau. 164
Menjelang berakhir masa jabatannya (tahun ke 40, terjadi pergolakan dan kekacauan di kampung Botto. Kekacauan ini mengancam kewibawaan pemerintah Kabupaten Bone. Elite kampung Botto, berpaling dari kekuasaan pemerintah Kabupaten Bone, mereka secara diam-diam lebih tunduk respek pada kelompok Geryliawan DII/TII pimpinan Kahar Mudzakar. Pada saat itulah H. Page digantikan posisinya oleh seseorang yang ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten Bone sebagai Kepala Kampung, dan H. Pagi di asingkan di Malino Kabupaten Gowa; sebuah daerah bersuhu dingin dengan ketinggian 1200 sampai 1800 meter dari permukaan laut.
258
Karena faktor usia, pada tahun 1963 H. PG mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala kampung. Jabatan kepala kampung kemudian diambil alih oleh putra keenamnya; Muhammad IDR.165 Ia memimpin kampung Botto selama empat tahun; 1964-1967. Pada masa kepemimpinan Muhammad IDR,, situasi politik Sulawesi Selatan sangat tidak kondusif, kekacauan sosial dan politik berkobar dimana-mana. Perampokan, pencurian dan pembunuhan terjadi dimana-mana, tidak terkecuali di kampung Botto. Pemicu kekacauan sosial dan politik adalah pemberontakan DII/TII yang dipimpin Kahar Mudzakkar. Masyarakat terpolarisasi, sebagian masuk hutan mendukung DII/TII, yang lainnya pro Tentara Sulsel Indonesia (TNI). Karena kekacauan itu pula, Muhammad IDR ditunjuk menggantikan ayahnya memimpin kampung Botto, karena dua kakak laki-lakinya meninggalkan kampung untuk merantau ke daerah lain, sedang tiga saudara laki-lakinya yang lain; Hattabe, JBR, ALM, berpihak ke DII/TII, mereka bergerilya di hutan. Muh. IDR adalah pribadi yang tenang, dan cenderung pendiam. Bahkan terlalu tenang dan lamban untuk situasi sosial politik yang penuh dengan intrik dan kekacauan. Masyarakat kampung Botto tidak puas dengan kepemimpinan Muhammad IDR. Situasi kampung Botto tidak bisa dikendalikan oleh Muhammad IDR, masyarakatnya berada di bawah bayang-bayang antara kekuasaan Tentara Sulsel Indonesia yang melakukan Operasi militer dan Kelompok Tentara Gerilyawan DI/ TII. Pada masa sulit itu, sikap serba salah sering dialami oleh Muh. IDR dan warga desa yang harus melayani keinginan kedua pihak; TNI dan DII/TII, itu yang membuat warga tak pernah merasa tenang melakukan berbagai aktifitasnya. Mendengar kabar buruk tentang warga kampung Botto, saudara Muhammad IDR yang lain yang bergabung dengan DII/TII turun gunung kembali ke kampung Botto, tujuannya memperbaiki keadaan sosial politik kampung Botto yang kacau balau. Bersamaan dengan kembalinya saudara-saudara Muhammad IDR, pada akhir tahun 1967, kampung Botto berubah status menjadi Desa Benteng Tellue. Karena perubahan status, maka sejumlah regulasi yang berkaitan dengan proses penentuan pemimpin di kampung Botto juga berubah.
165
Muhammad Idrus adalah putra keenam dari putra putrid H. Page dari 10 bersaudara. Atau putra ketiga dari enam saudara laki-lakinya.
259
Pemimpin tidak lagi ditunjuk langsung oleh kalangan elite kampung, tapi untuk pertama kalinya dilakukan pemilihan langsung kepala desa. Pemilihan kepala desa Benteng Tellue pertama diikuti oleh empat calon; Muhammad IDR PG, ALM PG, Kammi‘ dan A. SMG seorang bangsawan dari dusun Laponrong. Pertarungan saat itu sesungguhnya hanya terjadi antara ALM PG dengan bangsawan tersebut karena bagi keluarga PG dan Kammi‘ hanya dijadikan sebagai calon bayangan untuk menggerus suara A. SMG. Keluarga H. PG menyatu untuk memenangkan ALM PG, meskipun saudaranya Muhammad IDR juga ikut berkompetisi. ALM PG dibutuhkan oleh masyarakat Benteng Tellue. Dalam kondisi sosial politik yang tidak menentu, dibutuhkan kepemimpinan yang progresif, berani, bisa menstabilkan keamanan desa dan mau ambil resiko. Karakter itu ada pada ALM PG. Dengan pertimbangan itu semua, keluarga PG harus bekerja keras mengalahkan A. SMG. Kemenangan ALM PG sangat diperlukan oleh klan PG untuk memperkokoh dominasi kekuasaan warisan keluarga PG. Alasan spekulatif lain, karena A.
SMG bukan keturunan asli
kampung Botto‘ atau Tabbae. Dengan berbagai strategi, antara lain keluarga PG mengembangkan issue politik sectarian, berhasil mengantar ALM PG sebagai Kepala Desa Benteng Tellue. Fenomena ALM PG ALM PG memulai karirnya sebagai kepala desa Benteng Tellue pada 1968. Untuk pertama kalinya Desa Benteng Tellue memiliki pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai mantan gerilyawan DII/TII yang tergabung dalam Pasukan Khusus; MOMOC (Mobile Moment Comando), yang dibawahi langsung oleh Kahar Muzakkar, ALM PG memiliki pengalaman lapangan dan instink politik yang mumpuni. Oleh masyarakat Benteng Tellue, ALM dikenal sebagai orang yang pelit bicara, tetapi memiliki nyali yang luar biasa. Ia seperti memiliki indra keenam untuk memahami keinginan dan inspirasi warganya. Dengan intuisinya ia mengambil langkah pertama dalam kepemimpinannya adalah menciptakan dan menstabilkan keamanan desa. Ia ingin menjadikan Desa Benteng Tellue sebagai tempat yang paling aman bagi rakyatnya, dan siapa saja yang membutuhkan perlindungan. Untuk mewujudkan impiannya, ia mengidentifikasi
260
penyebab ketidaknyamanan desanya. Hasil temuannya menemukan dua sumber ketidaknyamanan Desa Benteng Tellue. Pertama, secara internal terdapat jagoan desa yang selalu berkompetisi merebut panggung kekuasaan lokal. Kedua, secara eksternal, ada gangguan DII/TII dan Operasi TNI terhadap geriliawan DII/TII. Kedua-duanya memiliki kontribusi yang sama menciptakan ketidaknyamanan warga desanya. Untuk menghadapi dua masalah ini, ALM PG memulai dengan membereskan masalah internal. Dengan selesainya masalah internal, ia berasumsi akan tercipta soliditas dan kebersamaan warga desa untuk bersama-sama menghadapi gangguan eksternal. Ia mengawali agenda kerjanya dengan menantang ―duel‖ jagoan desa yang kerap memamerkan keahliannya melumpuhkan lawan-lawannya. Si jagoan desa yang ditantang ―duel‖ menerima tawaran ALM PG. Adu fisik dan nyali itu berakhir dengan kemenangan pada pihak ALM PG. Kemenangan yang menghebohkan itu menyebar ke seluruh jawara sosial. Nama ALM PG sebagai pendatang baru tiba-tiba berkibar dalam dunia jawara sosial. Para to lampa166 dari berbagai desa di sekitar Desa Benteng Tellue, dan desa-desa dari kabupaten lain, seperti dari Kabupaten Soppeng dan Wajo mulai melemparkan lamaran untuk menantang sang jawara muda167. Untuk memastikan diri sebagai jawara sosial yang tangguh, ALM PG tidak mungkin menolak tawaran-tawaran yang datang dari berbagai kalangan to lampa, baik itu yang datang dari dalam kalangan internal Desa Benteng Tellue maupun dari luar desa. Satu demi satu tawaran itu dilayaninya, dan satu demi satu pula para jagoan yang menantangnya mengakui kehebatan ALM PG. Dengan kemenangan-kemenangannya itu, tersiar issue bahwa telah lahir seorang pemimpin yang bisa mengayomi pengikutnya, pemimpin yang bisa memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi siapa saja yang mau mengikutinya. Dalam dirinya telah diwariskan sejumlah kesaktian dan kedigjayaan dari leluhurnya.
166
Menurut kaidah bahasa Bugis, To Lampa: orang yang bebas berkeliaran, namun sebagai bahasa sosial To lampa’ adalah istilah halus untuk menyebut seseorang yang nakal, pencuri, penjahat atau perampok ternak dan benda berharga lainnya 167 Usia ali pada saat terpilih pertamakali menjadi kepala desa Benteng Tellue adalah sekitar 23 tahun.
261
Bahkan ia dituding memiliki sejumlah ilmu dan zimat yang membantu memenangkan dirinya pada setiap pertarungan168. Sifat kepemimpinan ALM PG mulai nampak justru setelah ia mengalahkan banyak jagoan yang menantangnya. Semua jagoan yang pernah menantangnya, dan kemudian bertekuk lutut di hadapannya, ia tidak posisikan sebagai lawan, sebaliknya ia rangkul dan dijadikan sebagai teman untuk membantu mencapai tujuan politiknya. Pada fase ini ALM PG mulai menerapkan prinsip hibridisasi politik. Dalam membangun model politiknya. ALM PG menganut prinsip tidak ada musuh dan lawan yang abadi, yang abadi adalah tujuan.169 Setelah mengalahkan para jagoan desa yang menantangnya, posisi ALM PG semakin dominan. Penantang-penantangnya ia rekrut kembali untuk membantunya menjalankan pembangunan desa. Para seterunya yang kalah bertarung dengan ALM PG dijadikan sebagai tenaga pengamanan desa (Hansip). Merekrut lawan menjadi kawan cukup berhasil membantu menjalankan berbagai kebijakan pembangunan desa. Peranan Hansip sangat
vital pada saat
kepemimpinan ALM PG. Dengan menguatnya peranan Hansip, maka tidak ada lagi kekacauan yang bersumber dari dalam desa, karena anggota Hansip adalah mantan ―preman‖ desa yang sebelumnya menjadi sumber kericuhan sosial. Sedangkan untuk menghadapi kekacauan yang bersumber dari eksternal, kekuatan Hansip disatukan dengan kekuatan masyarakat untuk menghadapinya. Siapapun yang melakukan pelanggaran aturan, Hansip memiliki kewenangan yang besar untuk menindakinya. Jumlah anggota Hansip sebanyak 12 orang, yang direkrut dari bekas-bekas jagoan desa dan orang-orang yang disegani di tiap-tiap dusun. Ketenaran Desa Benteng Tellue sebagai desa yang aman dan sejahtera di bawah kepemimpinan ALM PG tercium hingga ke desa dan kabupaten tetangga. Para to lampa yang beroperasi di wilayah segi tiga Bosowa (Bone-Soppeng-Wajo), mulai menemukan tempat yang aman untuk berlindung jika mereka dikejar pihak keamanan, mereka juga menemukan tempat yang tepat untuk bermain judi. Kebiasaan masyarakat, 168
Kecurigaan dan tudingan-tudingan itu dapat difahami mengingat ali adalah sosok yang berperawakan kecil, tidak memiliki pengalaman bertarung (berkelahi) sebelum terpilih menjadi kepala desa Benteng Tellue, kecuali sebagai anggota Pasukan Khusus MOMOC DII/TII yang langsung dikontrol oleh Kahar Mudzakkar. 169 Suasana politik di Sulawesi Selatan memperlihatkan jumlah sangat sedikit yang menerapkan hybridasasi politics. Pilihan ini berkaitan dengan karakter sosial dan budaya orang Bugis dan Makassar yang sangat fulgar menentukan pilihan hidup yang bersifat hitam-putih.
262
terutama kaum to lampa bermain judi sabung ayam di beberapa tempat di perbatasan Bone, Soppeng, Wajo pada tahun- tahun pasca perang gerilya rupanya perlahan dijadikan kebiasaan oleh ALM PG di kemudian hari. Lama kelamaan kebiasaannya itu menjadikan Desa Benteng Tellue sebagai tempat yang paling aman bagi pelaku perjudian sabung ayam di Sulsel. Para penjudi merasa nyaman main di Desa Benteng Tellue. ALM PG dan orang-orangnya mulai kesempatan berkumpulnya para penjudi di desanya sebagai peluang ekonomi. Perkembangan perjudian, terutama sabung ayam, terus mengalami eskalasi yang bertambah besar. Jumlah pelaku perjudian juga bertambah banyak, dengan sendirinya omset perjudian semakin meningkat. Para penjudi datang dari berbagai kabupaten lain, mulai dari Selatan Sulawesi Selatan yaitu Bulukumba sampai daerah Toraja di daerah utara Sulsel. Diperkirakan ratusan, bahkan ribuan penjudi yang datang bermain judi di Desa Benteng Tellue pada awal tahun 1980. Para penjudi biasanya menghabiskan waktu sekitar seminggu sekali datang bertarung. Jenis perjudian yang paling digemari adalah sabung ayam di siang hari dan permainan dadu pada malam hari. Dengan meningkatnya omset perjudian di Desa Benteng Tellue, ALM PG secara pribadi mulai meraup keuntungan ganda; meningkatnya aliran setoran dari para pemain judi, dan secara sosial, nama ALM PG di dunia to lampa semakin disegani. Ia menjadi patron bagi kaum to lampa. Orang-orang dekat
ALM
PGjuga semakin percaya diri dan meningkat kesejahteraan ekonominya, demikian juga warga Desa Benteng Tellue, mereka memperoleh keuntungan ekonomi yang besar dari semakin suburnya lumbung judi di desanya. Melalui pelayanan dan menyiapkan
kebutuhan
sehari-hari
penjudi,
sebagian
besar
masyarakat
memperoleh keuntungan pada sektor ini. ALM PG tidak saja menguasai dunia to lampa, dan menjadikan sebagian besar to lampa sebagai client-nya, tetapi secara vertikal, ALM PG juga mulai membangun hubungan baik dengan elite-elite kabupaten di Watampone (ibukota Kabupaten Bone) dan di kecamatan-Kecamatan terdekat. Pihak ―keamanan‖; selalu mendapat ―kiriman‖ dan ―upeti‖ dari
ALM PG. Relasi semacam ini
membuat ―usaha‖ perjudian di Benteng Tellue bisa lebih langgeng. Kalaupun terjadi penggerebekan dari pihak keamanan, selalu didahului koordinasi antara ALM PG dan pihak keamanan. Penggerebekan biasanya terjadi untuk
263
meningkatkan jumlah ―upeti‖ yang harus disetor kepada pihak keamanan melalui ALM PG. Kedua, melalui penggerebekan, ALM PG ingin menguji kesetiaan dan loyalitas para to lampa yang menjadi clientnya. Perjudian tidak pernah berdiri sendiri, itu sebabnya Desa Benteng Tellue (Tabbae) juga dijadikan sebagai tempat pelarian dan persembunyian hasil ternak curian bagi para pelaku kejahatan terutama dari tiga kabupaten ( Bone, Soppeng, Wajo). Orang-orang yang melarikan diri ke Desa Benteng Tellue dengan membawa hasil kejahatannya selalu mendapat perlindungan ALM. Dengan posisinya seperti ini ALM PG semakin kuat dipersepsikan sebagai punggawa atau pimpinan to lampa.170. Kepemimpinan dengan menggunakan politik hibridisasi, menjadikan faktor keamanan dan kenyamanan sebagai sumbu kekuasaan, mempertahankan kekuasaan dengan memperluas jaringan –mafia model—menjadikan diri dan tempat kekuasaannya sebagai simbol kekuatan dan kenyamanan. Mendengar dan melihat tingkah ALM membuat para elite di Kabupaten Bone mulai memikirkan cara untuk menjinakkannya. Antara tahun 1983 dan 1984, pemerintah Kabupaten Bone memberikan sanjungan kepada kepemimpinan ALM, dengan memilih Desa Benteng Tellue sebagai desa yang mewakili Kabupaten Bone untuk mengikuti perlombaan desa tingkat provinsi. Penunjukan ini mau tidak mau memaksa ALM untuk mempersiapkan desanya sesuai kriteria yang sudah ditentukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Sejumlah kriteria penting adalah, desa harus; aman, damai, tidak terjadi pencurian, perampokan, penadahan dan perjudian di desa.
170
Pada saat penulis melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat dan keluarga besar ali Page, mereka secara tersirat menolak identitas Desa Benteng Tellue (Tabbae) yang dikenal sebagai desanya para penjahat. Menurut argumentasi mereka, yang membuat desanya terkenal sebagai desa penjahat adalah karena banyaknya orang luar yang selalu datang berlindung dan mengatasnamakan atau mengaku sebagai orang Tabbae ketika melakukan kejahatan didaerah lain, dan atau mengaku orang Tabbae ketika tertangkap oleh pihak berwajib walau mungkin hanya pernah tinggal sesaat atau menikah dengan orang Tabbae. Mereka mengidentifikasi dirinya bekerja sebagai petani dan dan memiliki tradisi religiusitas yang dalam. Berikut petikan pernyataan H. Abd. Jabar Page (saudara ali Page). ―silsilah kami adalah orang yang sangat menghargai adat, kakek buyut kami adalah seorang ―Pa‘bbicara‖ (juru bicara) dan pemuka adat kerajaan. Mereka rela meninggalkan kerajaan Baringen di Soppeng karena tidak setuju dengan perilaku raja dan datu Baringen yang banyak melanggar adat. Keluarga kami juga rela mengikuti perang gerilya bersama DII/TII untuk meneggakkan syariat Islam. Buktinya,sudah sejak lama (sekitar tahun 1950-an) sudah banyak anak muda disini yang disekolahkan orang tuanya dan menjadi lulusan Assa‘diyah (pesantren dikota sengkang,Wajo).
264
Pemerintah
Kabupaten Bone
berhasil
menghentikan perkembangan
perjudian, pencurian dan perampokan yang marak terjadi di Desa Benteng Tellue. ALM dan warganya konsentrasi pada upaya mereka membangun infrastruktur desa. Tata ruang desa dirombak, pemukiman masyarakat diatur kembali, jalanan, jembatan, dan fasilitas umum dibangun. ALM seperti dibius oleh keinginan kuatnya menjadikan desanya sebagai desa terbaik di Sulawesi Selatan. Perubahan besar mewarnai kehidupan masyarakat Desa Benteng Tellue. Semangat kebersamaan dan gotong-royong meningkat pesat. Desa yang semula semrawut, menjadi bersih, tertata rapi, dan tidak terjadi kejahatan. Dengan karakter kepemimpinannya yang tegas, keras dan tidak mengenal kompromi, membuat Desa Benteng Tellue berubah drastis, seperti disulap, hasilnya, Desa Benteng Tellue meraih juara satu lomba desa tingkat provinsi Sulsel tahun 1984. Nama ALM PG tidak saja berkibar pada kalangan to lampa, tapi juga mendapat pujian dari pemerintah Kabupaten dan provinsi. Masyarakat menganggap ALM PG sebagai pemimpin yang keras, ditakuti dan otoriter, tapi dermawan dan murah hati. Ia berhasil mengubah karakter masyarakatnya yang sulit diatur menjadi masyarakat yang taat pada kesepakatan dan aturan. Itu sebabnya masyarakat Desa Benteng Tellue cenderung menilai ALM sebagai pejuang. Elite Kabupaten Bone nampaknya tidak sepenuhnya berhasil ―membujuk‖ Ambe Ali (ALM PG) untuk menjauhkan Desa Benteng Tellue dari aktivitas perjudian, pencurian dan perampokan. Hanya berselang beberapa waktu seusai dinobatkan sebagai desa terbaik se-Sulsel, Desa Benteng Tellue kembali didatangi oleh para to lampa, para client Ambeali. Rentetan pencurian, perampokan dan perjudian berulang kembali, bahkan lebih besar dan lebih jauh wilayah operasinya. Pihak kepolisian dan elite-elite kabupaten mulai resah dengan kelakuan Ambe Ali. Pada tahun 1986, Ambeali dinyatakan sebagai buronan pihak keamanan. Operasi bersama tiga Polres Bosowa mengobok-obok Desa Benteng Tellue. ALM PG akhirnya melarikan diri ke Kalimantan dan Malaysia. Kepemimpinannya diambil alih oleh adiknya; H. Abd. JBR. Meskipun ALM PG telah meninggalkan Desa Benteng Tellue, jejaringnya masih tetap eksis, tetap aktif melakukan pencurian dan kejahatan lainnya. Pada tahun 1990, pemerintah Kabupaten Bone mengadakan pemilihan kepala desa Benteng Tellue, yang dimenangkan oleh H. JBR. H. JBR yang terpilih melalui pemilihan melawan kotak kosong karena tak ada warga lain yang berani memangku jabatan tersebut. Langkah sesungguhnya bagian dari pelunakan kekuasaan elite desa mulai 265
dilakukan secara terbuka oleh Orde Baru, dengan menuduh penguasa lokal desa yang masih kuat dengan berbagai tuduhan, seperti subversif. Kepemimpinan Desa Benteng Tellue selanjutnya beralih ke Haji Jabbar PG, adik kandung dari ALM PG, H. JBR lahir pada 1939. Ia adalah mantan gerilyawan DII/TII dengan jabatan terakhir sebagai KDT DI/TII ( setingkat camat di masa sekarang) Sosok H. JBR menurut warga lebih dikenal sebagai pemimpin dengan pribadi yang pendiam dan sabar. Memiliki kemampuan mistis dan qaromah171 H. JBR memang lebih dikenal sebagai orang yang banyak menguasai ilmu agama, ketimbang seorang pemimpin desa. Ia sempat menjadi Imam Desa di masa pemerintahan ALM PG, menjadi penceramah tetap di desa maupun di desa sekitarnya. Ilmu agama ia peroleh
di mesjid Lama Bone selama 6 tahun,
pesantren Assa‘diyah Sengkang (Wajo), belajar sambil mengajar di cabang pesantren Assa‘diyah di Kampiri (Wajo). Pelajaran agamanya kemudian berlanjut setelah ditangkap menjadi anggota Gerilyawan DII/TII, dan disekolahkan oleh DII/TII pada Akademi Muballiq yang didirikan oleh DII/TII di sekitar daerah Sanrego Bone, selama 8 bulan dididik oleh beberapa muballiq yang juga menjadi menteri-menteri pemerintahan Negara Islam DI/TII. Setelah itu ia mengikuti Latihan Kader Organisasi DII/TII. Masa kepemimpinan H.
JBR lebih konsentrasi pada pembangunan sektor
pertanian. Mula-mula ia fokus pada tanaman tembakau, kemudian beralih ke kakao. Dua komoditas ini, menjadi andalan masyarakat Benteng Tellue di masa kepemimpinan H. JBR. Bersamaan dengan pembangunan sektor pertanian, masyarakat juga banyak memelihara dan mengembangkan hewan ternak; sapi, kerbau dan kuda. H. JBR mengakhiri masa jabatannya pada tahun 1999 dan enggan dipilih kembali menjadi kepala desa. Selain alasan umur, ia merasa kepemimpinannya 171
Menurut Pak Sanre (mantan sekdes desa Benteng Tellue periode kepemimpinan H. Jabare) H. Jabbare memiliki kemampuan qoramah yang luar biasa. Semasa H. Jabbare menjadi anggota Gerilyawan DII/TII. Ia seringkali dikejar dan ditembak oleh TNI. Akan tetapi setiap kali dikepung dipondokannya oleh sejumlah anggota TNI, ia selalu berhasil meloloskan diri. Mata anggota TNI seperti tertutup, tidak mampu melihat H. Jabbare yang mereka kepung. Peluru anggota TNI yang diarahkan ketubuh H. Jabbare juga tidak bisa menembus kulitnya. ―Ada dua Qaromah H. Jabbare; tidak mampu dilihat oleh musuhnya, dan tidak bisa ditembus peluru.‖ Ketika hal ini dikonfirmasi oleh penulis kepada H. Jabbare, beliau tidak mengakui memiliki kemampuan seprti yang di ceritakan Sanre. ―Saya tidak pernah mempelajari ilmu seperti itu,‖ kata H. Jabbare. Penjelasan Abd. Madjid (adik H. Jabbare) tentang hal ini; kemampuan seperti itu memang tak pernah diajarkan oleh orang tua kami secara langgsung namun dilakukan secara tak langsung lewat ritual khusus pada saat kami baru lahir, salah satunya kemampuan tak terluka apabila terjatuh dari ketinggian ketika memanjat pohon, dan mungkin lewat ritual itu kemampuan nenek moyang kami diwariskan.
266
tidak bisa independen. Kakaknya, ALM PG yang dinyatakan sebagai daftar pencarian orang (DPO), masih ikut campur dalam urusan pemerintahan dan masih mengontrol kegiatan perjudian dan pencurian melalui jejaringnya. Meskipun ALM PG tidak tinggal di Desa Benteng Tellue, tetapi jejaringnya masih menjadikan Desa Benteng Tellue sebagai daerah persembunyian dan perlindungan penjahat, saat pihak keamanan mengejar mereka. Ia seringkali berurusan dengan aparat keamanan bahkan beberapa kali menjadi tahanan dan penjamin saudaranya. Posisi kepala desa Benteng Tellue selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bungsu, H. Abd MJD, setelah melalui pemilihan lawan kotak kosong. Sedangkan H. JBR diminta untuk tetap mendampingi adiknya untuk memimpin desa dengan dipilih sebagai ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sampai penelitian ini berlangsung, November 2009. H. Abd. MJD adalah putra bungsu H. PG. Ia lebih suka menjadi pedagang tembakau dan mengolah lahan pertaniannya, ketimbang menjadi kepala desa. Tapi permintaan masyarakat, mengharuskan ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pedagang tembakau dan petani kakao. Ia lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di Makassar, pernah mengecam pendidikan tinggi, meskipun tidak berhasil meraih gelar sarjana. Ia tidak pernah merasakan kehidupan bergerilya bersama DII/TII, seperti saudaranya yang lain. Meskipun ALM PG sudah lama meninggalkan Desa Benteng Tellue, dan sudah meletakkan jabatan kepala desa sejak 1986, tetapi kecurigaan masyarakat luar terhadap Desa Benteng Tellue malah semakin meningkat. Setiap ada kejahatan pencurian dan perampokan, terutama pencurian ternak, pasti yang dicurigai sebagai pelakunya adalah jaringan Tabbae yang dikomandoi oleh Ambe Ali. Teror pihak keamanan dan masyarakat yang selalu kehilangan ternak semakin kuat. H. Abd. MJD sebagai kepala desa yang baru terpilih ikut disibukkan oleh berbagai tuduhan itu. Puncaknya pada Mei 2000, massa masyarakat yang menamakan diri Forum Bersama Gerakan Anti Kejahatan (Forbes Gerak) yang datang dari tiga Kabupaten; Bone, Soppeng, Wajo, mengepung Desa Benteng Tellue. Alasan Forbes Gerak sangat sederhana, Desa Benteng Tellue dianggap sebagai sarang penjahat dan pencuri ternak. Tapi sasaran utama penyerangan massal itu sesungguhnya adalah keluarga besar H. PG, terutama Ambeali. Forbes Gerak telah mengeksekusi banyak penjahat di berbagai daerah di Sulsel tanpa melalui proses hukum. Penyerangan terbesar yang pernah dilakukan Forbes Gerak adalah penyerangan terhadap Desa Benteng Tellue, Forbes memboyong lebih dari lima 267
ribu orang dari berbagai daerah. Jumlah ini jauh melebihi jumlah total penduduk Desa Benteng Tellue yang hanya berkisar 1500-an jiwa. Serangan Forbes Gerak disambut oleh penduduk desa yang dipimpin langsung oleh keluarga besar H. PG, yang terdiri dari H. ALM, H. JBR, dan H. Abd MJD beserta anak-anak dan keturunan mereka.
Keluarga besar H. PG mempertahankan desanya dengan
kekuatan sekitar 300 personil. Menyambut penyerangan Forbes Gerak, ALM PG membentuk formasi U di mulut jalan masuk desa untuk menghadang serangan Forbes. Dengan kekuatan 300 orang, ALM PG mampu memukul mundur serangan Forbes Gerak, sebelum berhasil memasuki Desa Benteng Tellue. Penyerangan itu berakhir dengan terbunuhnya belasan orang dari pihak Forbes Gerak, dan tanpa korban dari kelompok Desa Benteng Tellue172. Motif penyerangan Forbes Gerak rupanya bukan saja dipicu oleh kejengkelan masyarakat di beberapa kabupaten yang selalu kehilangan ternak dan harta benda lainnya, tetapi juga didorong oleh dendam elite di tingkat kabupaten. Salah seorang tokoh penting Forbes Gerak H. Andi Sumange Alam kalah pamor dibandingkan dengan ALM PG. Pada 1996, ALM PG dan Andi Sumange Alam terlibat pertikaian karena masing-masing pihak ikut membantu yang berseteru memperebutkan ratusan hektar tambak di kecamatan Cenrana Kabupaten Bone. Perkara merebut ratusan tambak itu dimenangkan oleh pihak yang didukung oleh ALM PG. Rupanya kekalahan di arena perebutan tambak itu dijadikan sebagai pemicu tambahan untuk menyerang ALM PG di Desa Benteng Tellue. Serangan 172
Kemenangan mempertahankan desa Benteng Tellue yang dipimpin ali dari serangan Forbes Gerak, tidaklah datang begitu saja. ali bersama keluarga dan rakyatnya telah mempersiapkan diri selama tiga bulan sebelum penyerangan berlangsung. Sejak adanya informasi rencana penyerangan dari Forbes Gerak, masyarakat desa Benteng Tellue bersatu padu menyiapkan semua kebutuhan untuk mempertahankan diri. Spirit masyarakat mempertahankan diri semakin kuat tatkala orangorang Forbes mengancam akan melakukan pembakaran pemukiman warga . Menurut pengakuan H. Jabbare, masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk mati demi mempertahankan harga diri dan harta bendanya, sementara itu orang-orang Forbes datang dengan penuh keraguan, mereka ibaratnya hanya melakukan perjalanan wisata kematian. Persiapan yang dilakukan oleh ali sekeluarga, dengan melibatkan peran warga desa. Semua warga mengasah dan membuat senjata tajam seperti; pParang, keris, tombak, dll, serta membuat berbagai senjata rakitan jenis peluru tunggal serupa pistol dengan peluru tunggal yang sama dipakai oleh pistol buatan pabrik ataupun Papporo, senjata khas menyerupai meriam kecil. biasanya dibuat dari sobreker sepeda motor atau pipa besi baja dan di sulut dengan pemantik korek api dalam jumlah banyak serta pelurunya berupa puluhan potongan besi-besi kecil atau kelereng. Berbagai keterampilan membuat senjata tersebut diajarkan oleh seorang warga desa keturunan Philipina yang menikah di Malaysia dengan seorang perempuan dari Desa Benteng Tellue dan sampai saat penelitian ini berlangsung, orang Philipina tersebut menetap di desa Benteng Tellue. Semangat rela berkorban bahkan rela mati dari warga, menurut H. Abd. Madjid, seakan-akan didorong oleh semangat mistik, dimana darah ksatria nenek moyang orang Tabba‘e mengalir pada tiap orang yang ikut bertempur mempertahankan harga dirinya, tanpa rasa takut sedikitpun. walaupun kekuatan tidak berimbang.
268
besar yang berakhir dengan kekalahan pada pihak Forbes Gerak, justru memperkokoh posisi keluarga besar ALM PG sebagai satu-satunya figur terkuat di dunia to lampa. Ketokohan ALM PG semakin memuncak, bersamaan dengan terjadinya perubahan sistem politik di Indonesia , dari Orde Baru ke Orde Sekularisme. ALM PG sudah mulai dilirik oleh elite-elite politik mulai dari daerah Bosowa, dan Luwu Raya di Sulsel, Kendari, Kolaka, dan Bombana di Sulawesi Tenggara, Luwuk Banggai, Morowali dan Poso di Sulawesi Tengah, bahkan sampai di Kalimantan. Untuk bisa terpilih dengan mudah, kandidat-kandidat kepala desa di sekitar Bosowa, Luwu Raya, Kolaka, Morowali dan Poso biasanya meminta dukungan politik dari Ambeali. Orang-orang yang mendapat dukungan dari Ambe ALM PG biasanya selalu memenangkan pemilihan kepala desa. Selain tetap mempertahankan posisinya sebagai ―juragan‖ dan patron to lampa ia semakin larut dengan urusan politik praktis. Setelah menjadi penentu pemilihan kepala desa, posisinya meningkat menjadi penentu (get voters) pemilihan langsung Bupati dan Gubernur. Bupati Bone, Soppeng, Wajo, Luwu di Sulsel, Kolaka, Kolaka Utara, Bombana di Sultra, Luwuk Banggai dan Marowali di Sulteng, pada masa pemilihan langsung periode pertama melibatkan banyak peranan Ambe Ali. Demikian juga pemilihan langsung gubernur Sulawesi Tenggara, Ambe Ali dikabarkan menjadi tokoh kunci untuk memenangkan kandidat Gubernur. Perjalanan Ambe Ali, dari dunia to lampa ke panggung politik, setidaknya telah mewarnai peta politik di kawasan Sulawesi, khususnya Kabupaten Bone dan sekitarnya. Sebelum ia di tembak mati oleh orang yang tidak dikenal di Bungku Sulawesi Tengah pada malam pergantian tahun baru 2009 (lima hari setelah peneliti melakukan wawancara di dusun Tabbae), Ambeali telah berhasil mengubah peta elite di Kabupaten Bone. Ia sukses menerobos tembok feud alissme yang dijaga ketat oleh kalangan bangsawan. Terobosan itu menjadi pintu masuknya kalangan ―biasa‖ untuk bersanding di panggung elite. Hasil kerja keras Ambe Ali, telah mengantar anak, kemenakan, menantu, dan cucunya 173 ke
173
Klan Page, sebagian besar keturunannya telah memasuki gelanggang kekuasaan di Kabupaten Bone dan daerrah sekitarnya. Berikut keturunan mereka; H. Page, meninggal pada usia di atas 100 tahun pada 1998, dua kali menikah, pernikahan pertama didaerah Pattiro kec.dua boccoe (bone) dengan 2 anak yang semuanya telah meninggal dunia, kembali menikah dengan perempuan yang juga keluarganya di Bottoe‘/ Tabba‘e setelah istri pertama meninggal dunia, perkawinan kedua dikaruniai 10 orang , 6 laki2 dan 4 perempuan. Yaitu: 1. Alm. Hj. Mena‘, Tak punya keturunan. 269
ruang kekuasaan di Kabupaten Bone dan di provinsi Sulsel. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada fase-fase sebelumnya.
2.
Alm. Haji Samade; 3 orang anak, 2 telah meninggal, satu masih hidup H.karim tinggal di Pattimang (kec.dua boccoe, Bone) sebagai Pengusaha. 3. ali. Haniah/ Bobe;8 orang anak, kepala desa laponrong, mantan kepala sekolah MIS Tabba‘e, Dosen, Guru. 4. H.Hattabe (kepala desa Timurung):2 kali menikah, 5 orang anak. profesi anaknya:Wakil Bupati Kolaka utara saat ini, PNS dmakassar dan di kolaka serta satu Cucu saat ini menjadi anggota DPRD Provinsi Sulsel. 5. Nakki : 6 orang anak, Istri kepala desa Ajallaleng Sekarang (kec. Ajangngale, kab. Bone), kepala desa Kampiri (Wajo), Guru, sisanya Petani. 6. Alm. Muh Idrus/ Rusi (mantan kepala kampong dan kepala desa Benteng tellue 1964/1967), 6 orang anak, Sekdes benteng Tellue sekarang sekaligus penyalur/ pengusaha pupuk dibeberapa desa dikec.amali, Guru, dan yang lainnya Merantau dan menjadi pengusaha diluar daerah. 7. H. ali Page(Mantan kepala desa Benteng Tellue 1967/ 1990), 13 kali menikah, +- 13 orang anak, 2 menjadi anggota DPRD Kab.bone. 2 kepala desa, 1 istri anggota DPRD Kab.Bone. Lainnya adalah Pengusaha dan ada yang masih bersekolah. 8. H. Jabbare (Mantan kepala desa benteng Tellue 1990/ 1999), 2 kali menikah, masing- masing 2 anak dari istri pertama yang meninggal dan 2 dari istri kedua; 2 istri pengusaha, 1 kepala puskesmas dan 1 kepala sekolah 9. Alm Juheriah: 4 anak,Kepala Desa Tassipi ( Berbatasan dengan Desa Benteng Tellue) , 1 kepala sekolah, dan Karyawan perusahaan Swasta 10. H.Abd Majid : 3orang anak, 1 anggota DPRD Kab. Soppeng, 1 pengusaha dan 1 mahasiswa UIN makassar.
270