7
PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR Pembahasan pada bab ini ditujukan pada bagaimana melihat kemampuan
elite etnis Bugis (Bone) dan Makassar (Gowa) memanfaatkan berbagai elemen pengetahuan; simbol, kuasa dan uang untuk mempertahankan dan atau mereproduksi dirinya untuk tetap berada atau memasuki posisi kekuasaan (elite). Peranan simbol, kuasa, dan uang pada setiap fase pembentukan elite di dalam etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa berlangsung secara fluktuatif. Pada fase tertentu, elite terbentuk sekaligus oleh simbol, kuasa dan uang. Akan tetapi pada masa yang lain, mungkin hanya satu atau dua dari tiga faktor yang tersebut di atas. Pada bagian ini, pembahasan diarahkan untuk mengetahui peranan simbol, kuasa dan uang dalam pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar pada fase-fase; tradisional, feudalisme, Islam dan Moderenisme, dan antara tahun 1905 hingga 2010. Pada setiap fase proses pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memiliki kekhasannya tersendiri. Dalam satu fase bisa jadi menggunakan semua faktor yang ada; simbol, kuasa dan uang. Namun pada fase yang lain, hanya ada satu atau dua dari faktor tersebut yang bekerja. Faktor-faktor tersebut bisa bekerja penuh pada fase yang sama untuk etnis Bugis, akan tetapi belum tentu dapat bekerja dengan jumlah yang sama pada etnis Makassar, demikian sebalikknya. 7.1 Simbol Budaya Pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar yang terjadi pada fase tradisional berlangsung dengan penggunaan simbol yang sangat kuat. Penggunaan simbol yang p aling menonjol dimulai dengan konsep tomanurung174 174
Asal usul elite politik di Sulawesi Selatan dimulai pada mitos To manurung (pemimpin yang turun dari langit) yang dalam tradisi lisan Bugis menyebutkan setelah era Sawerigading-La Galigo terdapat jeda waktu lama kosongnya penguasa bumi (daerah Bugis-Makassar), kemudian tiba-tiba datanglah seseorang dari langit maka disebut To Manurung (Bugis) atau Tau Manurung (Makassar). Kisah To Manurung (pemimpin yang turun dari langit) ini terdapat banyak versi karena setiap tempat di Sulawesi Selatan mempunyai versi masing-masing, dalam penulisan ini diambil dua versi yakni versi Gowa Manurunga Ri Tamalate (yang turun di Tamalate) serta versi Bone Tomanurung Di Matajang (yang turun di Matajang).
271
dan kemudian diperkuat dengan simbol-simbol lain seperti; gaukang dan kalompoang175. Konsep-konsep ini bermuara pada pembentukan dan penguatan Versi Gowa menceritakan bahwa suatu saat di Gowa ada sembilan kerajaan kecil yang lebih mirip kampung adat, mereka kemudian membentuk suatu penggabungan dengan menunjuk seorang pejabat yang disebut Paccalaya sebagai ketua. Seiring waktu kebutuhan untuk mempunyai raja amat dibutuhkan sementara diantara mereka tidak ada yang mau menerima kedudukan sebagai raja, maka diputusakn untuk memohon pada dewata agar diutuslah seorang untuk menjadi raja. Suatu hari seorang Putri tersebut turun lengkap dengan istananya sehingga diyakinilah bahwa permohonan mereka dikabulkan oleh para dewa, telah diturunkan seorang raja dari langit. Sang putri kayangan kemudian dinobatkan sebagai Raja Gowa Tumarungga Ri Tamalate Gowa, Putri tersebut kemudian kawin dengan Karaeng Bayo. Perkawinan ini menghasilkan keturunan yang secara terus menerus memerintah Gowa hingga sekarang. Versi Bone juga menuturkan setelah era Sawerigading dan La Galigo berakhir tanah Bone dalam keadaan kacau balau karena tidak ada yang memimpin. Pada suatu hari yang cerah tiba-tiba cuaca berubah, rakyat Bone melihat seseorang berbaju putih dan mengira orang tersebut adalah dewa yang turun dari langit maka mereka memintanya menjadi raja di Bone. Oleh orang tersebut dikatakan bahwa ia bukan dewa yang turun dari langit namun ia bersedia mengantar rakyat Bone menemui Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit). Di Matajang ada sebuah lapangan, ditengah lapangan tersebut terlihat seorang laki-laki berbaju kuning duduk diapit tiga orang, orang yang berbaju putih tadi mendatangi orang berbaju kuning dan mengaturkan sembah hormat sehingga semua rakyat Bone yakin bahwa orang berbaju kuning adalah benar-benar Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit). Mereka kemudian meminta Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit) menjadi raja Bone dan membangun istana di Bone. Pada saat itu kerajaan lain seperti Pallakka, Awangpone, Cina, dan Pattiro lama kelamaan bergabung dengan Bone di bawah kepimpinan Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit) yang bergelar Mattasi‘LompoE. Kemudian ia menikah dengan Manurunge ri Toro‘ bernama Tenriawaru dan dikarunia 5 orang anak, keturunan inilah yang hingga sekarang menjadi raja di Bone. Perbedaan antara versi Gowa dan Bone hanya persoalan jenis kelamin Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit) jika di Gowa Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit) seorang perempuan maka di Bone Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit) seorang laki-laki. 175
Dalam mitos senantiasa disebutkan bahwa pemunculan tokoh Tomanurung selalu membawa serta benda-benda tertentu yang kemudian dijadikan arajang (Bugis) atau kalompoang (Makassar), yaitu benda-benda simbol yang menunjukkan legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Dalam hubungan tersebut, pakar ilmu sejarah, Edward L. Poelinggomang (2004) mengemukakan, pengesahan atau legitimasi kekuasaan dan kewenangan berhubungan dengan kalompoang dan gaukang. Kalompoang adalah benda-benda tanda kebesaran dari satu kesatuan pemerintahan atau kerajaan. Keseluruhan benda-benda itu pada dasarnya terdiri dari sebuah benda yang disebut gaukang dan benda-benda lainnya yang disebut kalompoang. Benda-benda kalompoang itu diberikan kepada gaukang sebagai tanda kebesarannya, baik berupa senjata, perhiasan maupun peralatan rumah tangga. Gaukang dan kalompoang dipandang sebagai benda suci, sakti dan memiliki kekuatan luar biasa, karena merupakan peninggalan tokoh-tokoh luar biasa (Tumanurung, dan tokoh legendaris lain) yang diberikan kepada gaukang. Benda-benda tersebut merupakan benda-benda simbolik yang menunjukkan legitimasi dan validasi kekuasaan serta kewenangan pemegangnya. Benda-benda simbolik kalompoang dan pemegangnya merupakan kesatuan yang menunjukkan kepemimpinan, untuk memikat ketaatan dan pengakuan yang dipimpin. Poelinggomang menunjukkan sejumlah contoh sejarah, memperlihatkan hubungan antara pengakuan dan ketaatan pada pemegang kalompoang sebagai pemimpin. Dalam kehidupan pemerintahan benda itu digunakan sebagai alat pengesahan kedudukan penguasa, disimpan, dijaga, dirawat, dan dipegang
272
posisi elite, yang diharapkan menjadi pemantik kedamaian dan kesejahteraan di dalam kehidupan bermasyarakat. Mengacu pada simbol-simbol yang dimunculkan oleh etnis Bugis dan etnis Makassar, yang memulai dengan konsep kekuasaan dan tata cara kehidupan bermasyarakat, terlihat bahwa
etnis
Bugis dan Makassar sama-sama
menginginkan pola hubungan antara penguasa dan yang dikuasai bersifat kontraktual. Meskipun secara simbolik masyarakat memberikan otoritas yang besar kepada pemimpinnya, akan tetapi pada saat yang bersamaan, pemimpin harus taat dengan kesepakatan yang berikan oleh pemberi simbol; tomanurung. Berdasarkan
proses
diperkirakan hasil design
kedatangannya,
konsep
simbol
tomanurung
para elite masing-masing kelompok masyarakat
(wanua atau bori), yang mengalami masalah manajemen kelompok yang melahirkan konflik diantara mereka. Untuk menghindari konflik yang merugikan para elite kelompok ini, mereka membutuhkan pemimpin kuat yang menyatukan perbedaan-perbedaan mereka.
oleh penguasa. Pada pihak lain contoh-contoh keberadaan kalompoang dalam pemerintahan yang diutarakan jelas menunjukkan kesetiaan dan ketaatan rakyat pada pemimpin atau penguasa bergantung pada adanya kalompoang padanya. Poelinggomang sampai pada suatu kesimpulan: ―Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemimpin atau penguasa itu sesungguhnya di mata rakyat merupakan wakil atau perantara atau juru bicara dari kalompoang yang ada padanya. Penguasa, pemimpin dalam menjalankan pemerintahan meminjam kekuasaan dari benda-benda itu. Itulah sebabnya setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan erkuasa adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang kalompoang karena kepada mereka akan diberikan perwalian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat ini kalompoang yang dipandang sebagai pemilik utama kekuasaan. Dalam masyarakat itu tanpa kalompoang tidak ada kekuasaan”. (Poelinggomang, 2004) Mukhlis Paéni (1986) membahas lebih jauh mengenai simbol legitimasi, yaitu benda-benda suci yang disebut gaukang. Riwayat penemuan benda-benda itu diceritakan sebagai suatu kejadian yang ajaib. Benda-benda itu yang mereka percaya sebagai benda titisan dewa oleh masyarakat dipuja, disembah, dan dipandang memiliki kekuatan luar biasa yang menguasai dunia ini, sehingga gaukang merupakan pelindung kehidupan masyarakat. Pemegang gaukang sebagai penguasa dengan wewenang kekuatan ilahi (kultus dewa raja) telah menempatkan dirinya sebagai pusat pengendalian masyarakat, sekaligus sebagai iman yang mengkultuskan kekuatan ilahi. ….. Dapat dikatakan benda itu memiliki superioritas mutlak: yaitu pada dewa-dewa atau kekuatan yang menguasai alam semesta ini, kepada penguasa atau raja, dan pada tata tertib politik yang menguasai hubungan-hubungan sosial. (Mukhlis, 1986:7-9).
273
Pada konsep ini, tomanurung adalah simbol untuk mendapatkan legitimasi para elite yang hendak dikuasakan atau dirajakan di tanah Bugis dan Makassar.176 Seperti dikemukakan Mattulada, kedatangan tomanurung dihajatkan guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan, suatu rekayasa dan mitos politik penyelesaian konflik sek aligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang ‘diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik‘ (Mattulada, 1998a). Penyebaran kisah tomanurung secara lisan sebagai ‗turunan langit‘, pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang (tanda kebesaran), penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaéng dan turunan raja, anak karaéng serta penyelenggaraan berbagai ritus yang
176
Mattulada (1995) mengemukakan, legitimasi politik yang diperoleh raja-raja Bugis-Makassar berdasar pada mitos Tomanurung. Mitos tersebut yang menceritakan asal muasal raja-raja dan awal sistem politik kerajaan di Sulawesi Selatan, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk strategi untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Mattulada memandang, kedatangan Tomanurung memang amat dihajatkan untuk mengakhiri keadaan kacau balau yang telah berlangsung dalam waktu yang sudah cukup lama, mengakhiri situasi yang disebut dengan ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Kedatangan Tomanurung diperlukan untuk menuntun bagaimana kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna bagi kesejahteraan bersama. Mattulada berpendapat: ―kisah Tomanurung itu merupakan awal terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, dengan pimpinan kekuasaan yang diciptakan dengan cara luar biasa dan amat cerdik menghadirkan Arung (Raja), dan lapisan kaum bangsawan (Anakarung) sebagai lapisan sosial yang baru, berasal dari luar satuan kelompok anang yang ada.‖ (Mattulada, 1998a) Mitos Tomanurung memberikan legitimasi bukan hanya pada kekuasaan dan kewenangan Tomanurung dan keturunannya untuk menjadi ‗yang dipertuan‘, melainkan juga memberi legitimasi pada sistem pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat. Abu Hamid (2002) memandang, ide atas kedatangan Tomanurung dipahami warga sebagai pembawa pembaharuan, pembawa tata tertib, melindungi rakyat dari musuh luar dan konflik antara mereka, dan pembawa kesejahteraan. Perjanjian antara Gallarang (Makassar), Matowa (Bugis) dengan Tomanurung yang disebut kontrak sosial, dilihat menurut ukuran zamannya, sudah mengandung ciri-ciri modern. Legitimasi dan ketaatan rakyat kepada Tomanurung dan raja-raja berikutnya berdasar pada isi dan ide-ide yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Mitos Tomanurung dan kontrak sosial yang menyertainya merupakan stategi untuk menyatukan kaumkaum yang selalu bertikai dan untuk menciptakan tertib sosial, serta legitimasi kepemimpinan, kekuasaan dan kewenangan Tomanurung. Pakar ilmu Hukum Andi Zainal Abidin Faried (1999a; 1999b) memandang mitos Tomanurung sebagai mitos politik, yang memberikan legitimasi politik kepada Tomanurung dan anak cucu pewarisnya untuk memegang kekuasaan dan pemerintahan. Menurut Zainal Abidin, unsur mitologi politik terdapat pula pada pendahuluan lontarak-lontarak Bugis yang mengisahkan tentang Tomanurung, dengan adanya ungkapan: ‗Konon kabarnya, orang bilang bahwa ia Tomanurung (orang yang turun dari langit), tidak diketahui namanya, tidak diketahui pula siapa ayah dan ibunya, serta tidak diketahui asal-usulnya‘ (Zainal Abidin, 1999a).
274
disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada tomanurung dan turunannya. Akan tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos itu. Sesungguhnya substansi utama mitos tomanurung terletak pada kontrak politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih 800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa kontrak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque abad ke-18 yang berbicara tentang kontrak sosial. ‗Ciptaan luar biasa dan cerdik‘ yang berupa mitos tomanurung tersebut memungkinkan substansi utama yang hendak dikemukakan lebih dapat diterima oleh rakyat dan warga kerajaan di tanah Bugis dan Makassar. Manipulasi simbol dalam pembentukan elite etnis Bugis dan etnis Makassar tidak hanya pada fase tradisional, akan tetapi terus berlangsung hingga fase Islam dan Moderenisme. Permainan simbol dilakukan dengan terus mengeksplorasi konsep-konsep seperti tomanurung dan kalompoang dalam berbagai interpretasi dan makna. Bahkan elite-elite dan masyarakat Bone hingga saat ini masih meyakini simbol budaya memegang peranan kuat untuk memperkokoh atau melahirkan eliteelite baru. Permainan simbol terus berlangsung pada level mikro dan mezzo pada etnis Bugis Bone, sementara elite-elite Bone yang bermain pada panggung politik makro; provinsi dan Sulsel, mulai mengabaikan faktor simbol budaya. Elite-elite etnis Makassar Gowa yang berada pada panggung politik level mezzo dan makro, tidak lagi menggunakan simbol budaya sebagai varian yang ikut membangun elite-elite baru. Elite-elite Gowa sudah mulai mereproduksi simbol budaya dengan simbol-simbol baru yang lebih ―pop,‖ misalnya merebut ruang-ruang publik dengan menggunakan wacana dan hegemoni. Akan tetapi elite-elite pada level mikro (desa) di Kabupaten Gowa, masih menjadikan simbol budaya sebagai issue penting dalam mempertahankan dan memperluas posisi keelite-an mereka. 7.2 Kuasa dan Uang Dalam penelitian ini penggunaan istilah kuasa dan uang diartikan sebagai kemampuan memanipulasi territorial dan material melalui kekuatan pengetahuan
275
(wacana) agar terhegemoni untuk menciptakan seseorang atau kelompok tertentu untuk menempati posisi-posisi sosial dan ruang-ruang kekuasaan yang diinginkan, dalam penelitian ini, ruang-ruang kekuasaan dan posisi-posisi sosial diartikan sebagai elite. Penjelasan analisis pada bagian ini dilakukan pada tiga aras; makro (propinsi), mezzo (kabupaten) dan mikro (desa). Argumentasi pada setiap aras adalah hasil perbandingan perilaku politik elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis Makassar Gowa, terutama pada bagaimana aktor elite dari Bone dan Gowa menggunakan kuasa dan uang untuk mencapai dan mempertahankan diri pada posisi kekuasaan politik. Khusus pada aras mikro, analisis diarahkan untuk mengetahui pola kerja elite desa dalam menggunakan kuasa dan uang untuk merebut posisi kekuasaan politik. Ruang kekuasaan di desa sangat terbatas, dan diperebutkan oleh kalangan elite yang memiliki hubungan emosional sangat dekat. Bagaimana mereka mengatur kekuasaan dan uang untuk menjaga soliditas emosional antar keluarga, tetapi pada saat yang bersamaan juga mampu meraih posisi puncak elite desa. 7.2.1 Analisis Aras Makro dan Mezzo Awal mula terjadinya penggunaan kuasa dan uang dalam pembentukan elite di Bone dan Gowa adalah ketika penguasa Gowa melakukan ekspansi kekuasaan ke sejumlah kerajaan di jazirah Sulawesi. Sebagai kerajaan besar, Sultan Gowa mulai melirik modal tanah sebagai tata-produksi kekuasaan. Ketika Gowa mengontrol kerajaan-kerajaan lain di Sulsel, termasuk kerajaan Bone, para elite Bone yang dipimpin Arung Palaka menemukan dua jenis issue ―seksi‖ yang bisa membangkitkan semangat etnis ke-Bone-an masyarakatnya; Siri ‘ dan eksploitasi sumberdaya. Issue Siri ‘ ditiupkan karena ―penjajahan‖ yang dilakukan oleh Sultan Gowa terhadap elite-elite Bone sudah menyentuh harga diri dan kehormatan mereka. Eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh sultan Gowa melalui kontrol perdagangan hasil bumi yang dihasilkan oleh tanah-tanah subur pada wilayah etnis Bugis. Issue ini kemudian menjadi pemicu perlawanan etnis Bugis terhadap kesultanan Gowa. Perang antara Gowa dengan VOC dimanfaatkan oleh Arung Palaka untuk melakukan perlawanan dan keluar dari penindasan kesultanan Gowa.
276
Perang antara VOC dengan Gowa yang berlangsung antara tahun 1615-1669 mendapat dukungan kuat dari kerajaan dan masyarakat Bugis, menjadi titik awal bermainnya issue kuasa dan uang sebagai faktor penting untuk membentuk eliteelite baru. Bersamaan dengan itu, faktor simbol tetap menjadi varian yang sangat berpengaruh dalam pembentukan elite. Penguasaan territorial dan kontrol perdagangan hasil bumi mulai dimainkan oleh elite-elite Bone, setelah VOC dinyatakan sebagai pemenang perang pada tahun 1669. Tanah-tanah subur di bagian utara Sulsel menjadi rebutan para elite, kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan diri dan berafiliasi dengan kerajaan Bone. Penguasaan tanah sebagai tata-produk kekuasaan dan penumpukan modal menjadi tren baru kehidupan para elite. Keadaan ini terus berlangsung hingga memasuki fase Islam dan moderenisme. Hasilnya, elite-elite Bugis, khususnya Bone lebih produktif melahirkan elite yang berbasis pada modal tanah; tuan tanah, dan control perdagangan yang melahirkan pengusaha. Sebagai tuan tanah dan pengusaha, maka etnis Bone memiliki akses yang lebih baik dengan penguasa (Belanda maupun aristokrat pribumi). Tradisi ini terus berlanjut hingga kini (masa otonomi daerah). Itu sebabnya, elite-elite yang menguasai Sulsel pada level provinsi Sulsel di dominasi oleh etnis Bugis, khususnya dari Bone. Elite Bugis Bone menyadari bahwa memegang tampuk kekuasaan pada aras makro akan mempermudah melakukan control pada sumberdaya-sumberdaya strategis. Itu sebabnya agresivitas politik etnis Bugis Bone jauh lebih maju ketimbang etnis Makassar Gowa. Ini terbukti dengan daya tahan elite politik etnis Bugis lebih panjang dibandingkan dengan elite politik etnis Makassar. Elite politik puncak (Gubernur) Sulsel silih berganti oleh aktor-aktor dari etnis Bugis. Bersamaan dengan pengisian posisi-posisi kekuasaan politik, lahir pula sejumlah aktor yang menguasai bidang ekonomi. Pengusaha-pengusaha andal Sulsel datang dari etnis Bugis, lihat misalnya kelompok usaha; Hadji KL dan Bosowa177 yang tumbuh menggurita bersamaan dengan tampuk kekuasaan di Sulsel di duduki oleh elite politik yang berasal dari etnis Bugis. Apakah ini sebuah kebetulan atau atas kesadaran budaya politik para elite etnis Bugis bahwa untuk mengontrol posisi kekuasaan politik dibutuhkan dukungan dari kekuasaan ekonomi atau sebaliknya, sehingga diperlukan 177
Hadji Kalla dan Bosowa adalah dua kelompok usaha yang sudah me-nasional yang tumbuh dari daerah. Dua kelompok usaha ini sama-sama berasal dari etnis Bugis Bone.
277
kawin mawin antara elite politik dan elite ekonomi, dalam konteks penelitian ini, relasi politik dan ekonomi adalah relasi uang dan kuasa. Argumentasi tentang hubungan kuasa dan uang pada etnis Bugis Bone diperkuat oleh penjelasan AA, (nongoverning elite) yang berasal dari Bone; ―Etnis Bugis, khususnya Bone memiliki pengalaman sejarah yang pahit tentang kekuasaan dan uang. Ketika rakyat dan elite Bone dikolonialisasi oleh Raja Gowa, orang Bone menjadi sangat agresif menjaga posisi kekuasaan dan control terhadap sumberdaya ekonominya, supaya tidak terulang pengalaman buruk sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan dan dikuasai sumberdaya ekonominya. Hal kedua, orang Bugis Bone sangat menonjol siri‟nya dibandingkan dengan pace‘nya. Siri‟ berkaitan dengan harga diri, sedangkan pace‟ berhubungan dengan solidaritas (perasaan senasib). Dengan memiliki kekuasaan dan uang, maka harga diri kita terhadap orang lain akan terjaga, penghargaan orang lain terhadap kita akan tinggi. Orang Bugis Bone akan bekerja keras untuk mendapatkan kekuasaan dan uang. Jalur utama untuk mendukung keinginannya itu adalah pendidikan. Betapapun terbatasnya ekonomi keluarga orang Bone, mereka tetap memprioritaskan sekolah. Mereka s alingng bahu membahu untuk hal ini.‖ (Hasil wawancara pada 9 Mei 2011). Nilai budaya yang dimiliki etnis Bugis Bone seperti yang diuraikan AA menjadi energi bagi orang Bone untuk mengejar posisi kekuasaan politik dan ekonomi, karena dengan mencapai posisi sebagai elite politik dan ekonomi, mereka telah berhasil menjaga martabat dan harga diri. Etika inilah yang melahirkan sejumlah aktor elite politik dan ekonomi dari Bone yang mengisi panggung pada aras makro (propinsi dan nasional). Ketika Lanto Dg Pasewang dari etnis Makassar
menduduki tampuk
kekuasaan politik (Gubernur) Sulsel, ia tidak meninggalkan jejak bahwa ia memiliki upaya untuk melahirkan elite ekonomi bagi aktor-aktor dari etnis Makassar. Apakah tidak tumbuhnya aktor elite ekonomi dari Makassar karena kegagalan Pasewang sebagai elite puncak membaca pentingnya hubungan antara elite politik dengan elite ekonomi? Atau budaya politik etnis Makassar cenderung memisahkan relasi antara kuasa dan uang? Akibat dari budaya politik yang memisahkan hubungan antara uang dan kuasa kemudian menyebabkan tumpulnya kekuatan etnis Makassar selama lebih kurang lima puluh tahun untuk merebut posisi elite puncak di Sulsel? Berbagai tafsiran dan argumentasi dapat diajukan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan di atas. Akan tetapi bila kita kembali pada fakta social yang ada, dengan
278
mudah kita menyimpulkan bahwa elite-elite politik etnis Makassar belum memiliki budaya untuk menghubungkan atau mengikat antara uang dan kuasa. Meskipun elite Makassar memiliki kesadaran akan pentingnya kuasa dan uang untuk merebut dan mempertahankan poisi elite kekuasaan. Pada fase sekularisme, tepatnya tahun 2008 etnis Makassar Gowa berhasil menjadi elite politik puncak (Gubernur) Sulsel. Tapi hingga Mei 2011, belum ada tanda-tanda Gubernur SYL menghubungkan kekuasaannya dengan melahirkan elite-elite ekonomi dari etnis Makassar Gowa. Bila dibandingkan budaya politik elite antara etnis Bugis Bone dengan etnis Makassar Gowa, pada aras mezzo, kedua-keduanya sama-sama menggunakan kuasa dan uang untuk memperoleh dan memperluas kekuasaan politiknya. Bedanya, elite-elite Gowa belum memiliki asset dan modal yang memadai untuk dikapitalisasi menjadi kekuatan untuk memperluas dan mempertahankan posisi keelitannya. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pada level mezzo sekalipun, etnis Gowa belum mengintegrasikan kekuatan kuasa dan uang sebagai alat untuk merebut kekuasaan politik. Tidak terintegrasinya kekuasaan dan uang pada elite etnis Makassar, khususnya Gowa menurut TOY (salah seorang anggota DPRD Sulsel) karena alasan budaya politik. ―Budaya politik etnis Makassar, khususnya orang Gowa tidak bisa mencampuradukkan antara kekuasaan dan uang. Meskipun mereka memahami kekuasaan dan uang memiliki relasi yang saling terkait. Etika ini berawal dari pemahaman mereka yang egaliterian. Orang Gowa lebih kental prinsip pace‟nya dari pada siri‟nya. Rasa senasib dan sepenanggungan lebih diutamakan dari pada rasa dihargai karena berkuasa dan bermateri. Jangan harap ada pengusaha dari Gowa mendapatkan perlakuan khusus lantaran Gubernurnya dari Gowa. Pasti semuanya akan berjalan normal.‖ (Hasil wawancara tanggal 11 Mei 2011). Apa yang diuraikan AA dan TOL memberi penjelasan bahwa nilai budaya politik memberi pengaruh yang kuat pada tindakan politik para elite, sekaligus membedakan model struktur politik yang berkembang pada dua etnis ini. Model kekuasaan seperti ini oleh Gaventa (2005) sebagai struktur politik di Bone terlihat berhirarki dan relative bermain pada panggung yang tertutup (closed power), sedangkan di Gowa, struktur politiknya lebih terbuka (created power). Pada Gambar 6 di bawah ini, memperlihatkan aras mezzo (Kabupaten), Bone dan Gowa hampir pada semua fase menggunakan simbol budaya sebagai 279
alat bantu membentuk elite, kecuali elite Gowa pada fase sekularisme (19052010) tidak lagi menggunakan simbol budaya. Elite Kabupaten Bone pada level mezzo masih menggunakan instrumen kuasa pada fase tradisional dan feudalisme, akan tetapi
mulai meninggalkan pada fase Islam moderenisme dan kembali
menggunakan instrumen kuasa pada fase sekularisme (1905-2010). Elite Kabupaten Bone pada aras mezzo sama sekali tidak menggunakan uang pada semua fase. Sedangkan Elite Gowa pada aras mezzo menggunakan kuasa dan uang pada fase tradisional dan feudalisme, tetapi menurun pada fase Islam modern dan muncul kembali pada fase sekularisme (1905-2010). Pada aras makro, elite-elite Bone cenderung menggunakan simbol budaya, uang dan kuasa untuk membangun dirinya menjadi elite, kecuali pada fase tradisional, feudalisme dan awal era Islam modern mereka belum bisa menggunakan kuasa dan uang, karena masih berada pada kontrol kesultanan Gowa. Sedangkan elite-elite Gowa pada aras makro, juga tetap menggunakan simbol budaya sebagai pembentuk elite, kecuali pada fase pertengahan Islam modern dan sekularisme (1905-2010). Pada fase ini simbol budaya kesultanan Gowa dilucuti oleh VOC, tujuannya untuk mengurangi pengaruh istana (aristokrat) terhadap pengikutnya. Penggunaan kuasa di Gowa berlangsung hingga awal fase Islam modern dan menurun bahkan berhenti pada fase sekularisme (1905-2010). Kekuatan uang pada elite Gowa dimulai pada fase tradisional, berhenti pada fase awal Islam modern (karena kontrol perdangangan dan kekuasaan diambil alih oleh VOC dan Arung Palaka). Penggunaan kekuasaan dan uang dalam pembentukan elite Gowa pada awal Islam modern, semakin meningkat karena menurut ajaran Islam yang masuk di Istana Gowa, pemimpin (raja) adalah perwakilan Tuhan di muka bumi, oleh karena itu, perluasan kekuasaan (kolonialisasi) dengan menggunakan kekuasaan dan uang adalah ibadah. Gambar 6 di bawah ini menggambarkan bagaimana pada setiap level, dan setiap fase, etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa menjadikan simbol budaya, uang dan kuasa sebagai faktor yang berpengaruh dalam pembentukan elite.
280
Sekulari Islam sme Modern
Feodalisme
Tradisional
FASE
FASE
ETNIS
ARAS MAKRO & MEZZO (Variabel: Simbol Budaya, Kuasa & Uang)
Bugis/ Bone
Makro: Hanya menggunakan simbol budaya untuk meraih kekuasaan; Mezzo: menggunakan simbol budaya dan kuasa untuk kolonialisasi
Makassar/Gowa
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui kolonialisasi dan ekonomi (perdagangan internasional).
Bugis/ Bone
Menggunakan simbol budaya, dan kuasa untuk kapitalisasi kekuasaan melalui tanah sebagai tata produksi kekuasaan
Makassar/Gowa
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui perdagangan internasional.
Bugis/ Bone
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi dan pendidikan.
Makassar/Gowa
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui kolonialisasi.
Bugis/Bone
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi ekonomi dan kekuasaan.
Makassar/Gowa
Menggunakan kuasa dan uang untuk kapitalisasi kekuasaan dan ekonomi
KAB
DESA
ARAS MIKRO (Variabel: Simbol Budaya, Kuasa & Uang)
Tradisional
Ancu Bone B. Tellue Hanya menggunakan simbol budaya dan kuasa. Manjapai Gowa
Feodalisme
Manuju Ancu
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui tanah
B. Tellue
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi & pendidikan
Bone
Manjapai Gowa
Hanya menggunakan simbol budaya dan kuasa.
Islam Modern
Manuju Ancu Bone B. Tellue
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi dan pendidikan.
Manjapai Gowa
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan. Manuju Ancu
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi ekonomi, pendidikan & Kekuasaan
B. Tellue
Menggunakan kuasa dan uang untuk kapitalisasi ekonomi, pendidikan & kekuasaan.
Manjapai
Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan.
Manuju
Menggunakan simbol budaya dan uang untuk kapitalisasi kekuasaan.
Sekularisme
Bone
Gowa
Gambar 6. Peranan simbol, kuasa dan uang dalam pembentukan elite Bugis dan Makassar pada setiap fase dan level
281
7.2.2 Analisis Mikro Desa Pada gambar 6 di atas menunjukkan bahwa pada aras mikro, semua desa penelitian baik desa di Kabupaten Bone maupun desa di Kabupaten Gowa, sejak masa tradisional hingga sekarang masih terus mempertahankan simbol budaya sebagai faktor penting dalam pembentukan elite, kecuali pada fase sekularisme, peranan simbol budaya mengalami penurunan pada Desa Benteng Tellue di Kabupaten Bone, dan pada desa Manjapai di Kabupaten Gowa. Perubahan yang terjadi pada Desa Benteng Tellue di Bone kemungkinan disebabkan karena Desa Benteng Tellue adalah desa yang relatif berumur muda dibanding dengan Desa Ancu. Di Desa Benteng Tellue tidak terdapat artefakartefak budaya yang dapat menggambarkan perjalanan simbol budaya yang berkaitan dengan kekuasaan, sebagaimana yang terjadi pada Desa Ancu. Desa Benteng Tellue berkembang justru sebagai sarana bagi masyarakat awam yang tidak puas terhadap elitnya melakukan perlawanan terhadap pengetahuan simbolik yang dikonstruksi secara tunggal dan dominan oleh kalangan elite aristokrat Bone. Sebagai desa yang melakukan perlawanan atas dominasi (counter hegemoni), Desa Benteng Tellue membangun konstruksi sendiri tentang pengetahuan simbolik, yang tentu saja berbeda, bahkan berlawanan dengan pengetahuan simbolik yang dianut oleh kalangan elite aristokrasi Bone. Tentang hal ini, H. JBR PG (mantan Kepala Desa Benteng Tellue) menjelaskan; ―Sebetulnya, nenek moyang kami adalah bagian dari keturunan bangsawan Bone yang tidak tunduk atas perintah Raja untuk ikut berperang. Nenek moyang kami dibuang jauh ke sini, di ujung selatan Kabupaten Bone. Disini nenek moyang kami membangun peradaban sendiri yang terpisah dengan budaya politik Kerajaan Bone. Dalam perjalanannya, kami (khususnya keturunan H. PG) mendalami kajian fiqih dan tassauf, bahkan keluarga besar kami ikut masuk hutan ketika Kahar Mudzakkar melakukan pemberontakan melawan orang Jawa. Kami memilih cara sendiri untuk hidup, pilihan kami dianggap berbeda dan berlawanan dengan kebiasaan pemerintah dan bangsawan di Watampone178. Atas pilihan-pilihan itu, kami dicurigai dan dituduh sebagai perampok dan pembunuh yang terorganisir. Padahal yang kami lakukan hanyalah membantu masyarakat yang susah, membangunkan rakyat yang malas, dan mengajari mereka yang bodoh. Desa kami dijuluki sebagai desa texas179, tempat pelarian
178 179
Watampone adalah Ibukota Kabupaten Bone Dikenal sebagai daerah berbahaya
282
pencuri ternak dan sebagai pusat perjudian para tolampa180. Atas tuduhantuduhan itu, pada tahun 2000, desa kami pernah diserang oleh ribuan massa yang berasal dari Forbes (Forum Bersama) yang dipimpin Andi Sumange. Tapi Alhamdulillah, mereka yang tumbang, mereka pulang menggotong beberapa mayat. Kami yang hanya berjumlah tidak lebih dari 300 orang tidak ada yang luka.‖ (Hasil wawancara pada tanggal 23 Desember 2009). Pilihan yang diambil oleh masyarakat Benteng Tellue, khususnya keluarga H. PG dianggap bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang berada di pusat kekuasaan Bone, terutama para elite dan kalangan bangsawan Bone. Pada sisi yang lain, pilihan-pilihan itu dianggap sebagai tindakan yang mulia bagi keluarga H. PG, karena menyejahterakan dan mendidik masyarakatnya. Sedangkan penurunan fungsi simbol budaya yang terjadi di Desa Manjapai pada fase sekularisme lebih disebabkan oleh karena Desa Manjapai menjadi salah satu desa inovator yang mendapat prioritas dalam setiap kebijakan rejim pemerintah, terutama sejak rejim Orde Lama dan Orde Baru. Desa Manjapai menjadi pintu masuknya sejumlah agenda pembangunan Orde Lama dan Orde Baru. Dengan posisinya sebagai ujung tombak percontohan pembangunan desa, maka terjadi akulturasi budaya yang lebih dinamis dan massif, yang menyebabkan terjadinya pergeseran dan pertukaran simbol budaya atau bahkan terjadi pergantian simbol budaya lama oleh simbol-simbol budaya baru. Pembangunan desa yang sangat cepat juga diakui oleh; Fatwamati Dg Ngai KAUR Umum Desa Manjapai dan ZN Dg NGL staf kantor desa; ―Berkat perhatian Bapak YL dan Ibu NYL, Desa Manjapai selalu mendapat prioritas dalam pembangunan. Pada tahun 1980-an di Desa Manjapai sudah berdiri Koperasi Simpan Pinjam yang dimotori oleh Perempuan Aisyiah Muhammadyah. Kemudian dibimbing oleh Kosgoro, Koperasi ini mendapat modal awal sebesar 5 juta rupiah. Keberadaan koperasi sangat membantu karena di koperasi tersedia saprodi pertanian, dan hasil pertanian dijual ke koperasi tanpa melalui perantara, dengan harga yang baik. Ketika pak SYLmenjadi Camat Bontonompo, Desa Manjapai semakin mendapat perhatian pemerintah, Desa Manjapai selalu menjadi desa pilot project pertanian. Akibat kemajuan yang pesat, masyarakat Desa Manjapai mulai kurang menghargai budaya warisan leluhur. Meskipun, tokoh-tokoh masyarakat Manjapai masih sangat menjujung tinggi kebudayaan leluhur‖ (Hasil wawancara 26 September 2009). 180
Kalangan penjelajah atau penguasa informal pada wilayah-wilayah tertentu
283
Apa yang dikemukakan oleh Dg Ngai dan Dg Ngalli menunjukkan bahwa peranan symbol yang mulai menurun disebabkan karena terjadinya pembangunan di tingkat desa yang sangat massif melalui pemerintah, Muhammadyah dan Kosgoro, yang dipelopori oleh keluarga YL. Penggunaan kuasa dan uang tidak sepenuhnya dipakai pada level mikro desa, kecuali di Desa Benteng Tellue Kabupaten Bone. Di desa ini pembentukan elitnya menggunakan tiga intrumen sekaligus; simbol budaya, kuasa dan uang, dan berlangsung terutama pada fase sekularisme. Temuan ini sesuai dengan penjelasan ERW, tokoh pemuda desa Benteng Tellue; ―Di desa ini, pemimpinnya harus kuat, harus memiliki kekuatan, kekuasaan dan harus bisa membantu masyarakat. Sampai sekarang kami masih mengharapkan dipimpin oleh keluarga Ambe PG dan keturunannya. Hanya keluarga Ambe PG yang bisa menjaga keamanan dan yang bisa menolong masyarakat di sini. Keluarga keturunan Ambo PG sudah dibekali dengan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Keturunannya sudah menjadi symbol kekuatan dan pelindung bagi masyarakat di sini, mereka suka membantu dan baik hati, menolong masyarakat yang susah. Untuk menjadi pemimpin di desa Benteng Tellue seseorang harus berani, punya harta untuk membantu masyarakatnya yang susah, dan mendapat berkah dari Allah. Kalau tidak memiliki syarat itu, umurnya pasti pendek‖ (Hasil Wawancara tanggal 12 Oktober 2009). Dari penjelasan di atas, nampak keluarga klan PG sebagai elite sentral di Desa Benteng Tellue memiliki kualifikasi sebagai; kuasa (berani) melindungi rakyatnya dari gangguan pihak luar dan dari dalam, memiliki uang (harta untuk menolong masyarakat yang susah) dan seakan-akan telah mendapatkan petunjuk khusus dari Tuhan untuk menjadi pemimpin, hal dapat dihubungkan sebagai symbol yang sengaja diciptakan melalui politik wacana oleh keluarga PG. 7.2.3 Makna Simbol Budaya, Kuasa dan Uang Jika dianalisis dari cara kedua etnis (Bugis Bone dan Makassar Gowa) merespon dan memaknai atau memberikan etika terhadap simbol budaya, kuasa dan uang yang berkaitan dengan proses pembentukan elite, ditemukan bahwa keduanya memiliki cara yang berbeda, kendati terdapat sejumlah kesamaan. Berikut adalah etik dan makna yang mereka berikan terhadap simbol budaya, kuasa dan uang. 284
ELEMEN Attachment terhadap Monarkhism
Etika
Makna
BUGIS Mengalami metamorfosis ke dalam negara
Fleksibel dengan budaya luar (aras Cara membangun makro), tetapi kaku dan tertutup ke jaringan dalam (aras mezzo dan mikro).
MAKASSAR Terlokalisir di Gowa
Kaku dengan budaya luar (aras makro), tetapi luwes ke dalam (aras mezzo dan mikro).
Uang
Memiliki kultur entrepreneurial ethics Materialisme adalah unsur yang sangat penting
Belum memiliki kultur entrepreneurial ethics materialisme unsur yang penting
Kuasa
Kesejahteraan lebih utama dari kekuasaan Kekuasaan untuk kapitalisasi kesejahteraan ekonomi
Kekuasaan lebih utama dari kesejahteraan Kekuasaan dikapitalisasi untuk ekspansi kekuasaan
Simbol etnis
Identitas etnis adalah instrumental untuk membangun kekuasaan
Identitas etnis tidak dieksploitasi sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan
Gambar 7. Etik dan makna simbol budaya, kuasa dan uang bagi etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa Gambar 7 tentang etik dan makna atas simbol budaya, kuasa dan uang, etnis Bugis (Bone) dan Makassar (Gowa) memiliki etik dan makna yang berbeda dalam menafsirkan simbol budaya, kuasa dan uang sebagai instrumen yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan elite. Misalnya, etika dalam membangun jaringan, etnis Bugis Bone dikenal lebih adaptif, fleksibel, koorporatif dengan system dan budaya luar, akan tetapi sangat tertutup system politiknya secara internal pada level mezzo dan mikro. Para aristocrat atau elite Bone di dalam membangun hubungannya dengan massa, terutama dalam konteks politik kekuasaan, mereka sangat menjaga keaslian darah kebangsawanan mereka. Kondisi ini menyulitkan kalangan massa atau sub-elite di Bone untuk menembus struktur kekuasaan. Akibatnya, governing elite maupun non-governing elite di Bone didominasi oleh kalangan aristokrat putra asli Bone. Menurut tokoh masyarakat Bone, AAN (mantan anggota DPRD Makassar dan DPRD Sulsel beberapa periode), sikap flexibilities dan kemampuan adaptasi menghadapi budaya luar dan
sangat tertutupnya dalam membangun struktur
kekuasaan local di Bone, sangat dipengaruhi oleh factor pendidikan dan budaya paternalistic, ia menuturkan;
285
―Orang-orang Bone bisa survive dimana saja. Orientasi mereka di luar Bone, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa selalu mau menjadi pemimpin, ini karena pengaruh pendidikan yang mereka sudah capai. Dalam tradisi orang Bone tidak boleh ada dua ayam jago dalam satu kandang. Akan tetapi, jika terjadi interaksi atau bertemu untuk berkompetisi antara kalangan bangsawan dengan rakyat biasa, maka pasti rakyat biasa akan mengalah dan tunduk pada patronnya yang keturunan bangsawan. Itu sebabnya rakyat biasa dari Bone yang mau maju dan menjadi pemimpin pasti akan meninggalkan Bone, karena yang bisa berkuasa di Bone adalah dari kalangan bangsawan saja. Masyarakat Bone tidak rela dipimpin oleh kalangan sesamanya, mereka hanya tunduk pada kalangan bangsawan. Jadi untuk bisa menjadi elite di luar Kabupaten Bone, mereka harus adaptif dan fleksibel dengan budaya luar.‖ (Hasil wawancara tanggal 18 Pebruari 2011). Apa yang dijelaskan oleh Altin Noor, menunjukkan etnis Bugis Bone berada dalam struktur social yang hirarkis dan paternalistic. Kalangan massa atau sub-elite memberikan penghargaan besar terhadap elitenya, khususnya pada elite kekuasaan politik. Fleksibilitas dan kemampuan adaptif
yang dimiliki masyarakat Bone
menghadapi system luar, dan tertutupnya pola hubungan mereka dalam membangun komunikasi politik local pada level mezzo dan mikro, sangat berbeda dengan respon yang diberikan oleh etnis Makassar Gowa yang relatif lebih kaku, sangat menjaga purifitas budaya lokal, dan sulit sekali berkorporasi dengan system dan budaya luar. Akan tetapi secara internal pada aras mezzo dan mikro, elite-elite etnis Makassar Gowa sangat flexible dan terbuka pada kelompok subelite dan massa dalam membangun hubungan politik kekuasaannya. Tentang hal ini, MPR (mantan anggota DPRD Sulsel dan mantan Ketua Bappeda Kabupaten Gowa) menjelaskan; ―Sebagai bangsa yang pernah berjaya dan besar, orang Gowa terlalu percaya diri dengan kebesarannya. Mereka bangga dengan budayanya. Perasaan itu menguasai sebagian besar masyarakat Gowa, itu sebabnya mereka sulit sekali beradaptasi dengan budaya luar. Sesungguhnya diantara mereka sangat terbuka, saling kritik, egaliter dan tidak paternalistic. Akan tetapi mereka tidak mengikuti perkembangan yang ada. Orang Gowa juga terlambat memasuki arena pendidikan. Kesadaran pentingnya pendidikan baru tumbuh 20 tahun terakhir. Akibatnya sulit sekali bersaing di luar Kabupaten Gowa. Sedikit sekali orang Gowa yang bisa menembus panggung kekuasaan tingkat nasional dan propinsi.‖ (Hasil wawancara pada 12 Januari 2011).
286
Cara mereka memandang makna terhadap uang juga berbeda. Etnis Bugis Bone sudah memiliki kultur etik entrepreneurship yang cukup tinggi, sehingga unsur materialisme menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Menjaga martabat kesejahteraan ekonomi keluarga adalah bagian dari konsep sirri-nya etnis Bugis Bone. Sedangkan etnis Makassar Gowa, secara cultural, belum memiliki etik entrepreneurship yang kuat, sehingga pandangan
terhadap materialisme tidak
berkaitan dengan siri‟-nya. Itu sebabnya, nilai utama etnis Makassar Gowa lebih mendahulukan solidaritas ketimbang hirarkisme, oleh karena itu, faktor pacce (merasakan penderitaan orang lain) sangat kental pada masyarakat etnis Makassar Gowa dibandingkan dengan perasaan prestise ekonomi dan kesejahteraan hidup. Etnis Bugis Bone memaknai kekuasaan sebagai alat untuk melipatgandakan kesejahteraan dan prestise kehidupan. Dalam pandangan ini, kesejahteraan lebih tinggi nilainya dari pada kekuasaan. Dengan kata lain etnis Bugis Bone mendahulukan kesejahteraan daripada kekuasaan. Sedangkan etnis Makassar Gowa menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk kapitalisasi kekuasaan, kekuasaan menjadi alat untuk memperluas kekuasaan itu sendiri. Itu sebabnya etnis Makassar Gowa cenderung melakukan ekspansi kekuasaan (kolonialisasi) sejak era tradisionalisme hingga dikalahkan oleh VOC dan Arung Palakka pada 1669 (pertengahan era Islam modern). Bagi etnis Makassar Gowa, kekuasaan lebih tinggi nilainya daripada materialism ekonomi. Menurut Sosiolog Unhas Dr. M. DWS, MA, kecenderungan ini berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masing-masing etnis. Lebih lanjut Dr. M. DWS, MA mengatakan; ―Etnis Bugis pada umumnya, khususnya orang Bone hidup dengan struktur social yang hirarkis dan paternalistic. Dengan struktur masyarakat seperti itu, memungkinkan berkembangnya penghargaan yang tinggi terhadap individu tertentu yang dijadikan sebagai patron, dari penghargaan terhadap individu yang tinggi kemudian apa yang disebut in-group favoritism. Itu sebabnya mengapa orang Bugis Bone lebih kuat prinsip siri‟ (harga diri dan martabat pribadi) dibandingkan dengan perasaan pace‟ (merasakan penderitaan orang lain). Kesejahteraan ekonomi (memiliki uang dan harta benda yang banyak) berhubungan dengan kekuasaan individual. Kesejahteraan individual merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat Bone. Dengan kata lain, kesejahteraan ekonomi lebih penting daripada yang lain, termasuk kekuasaan politik. Mungkin spirit inilah yang mendorong orang Bugis,
287
khususnya Bugis Bone memiliki etik entrepreneurship. Kekuasaan bisa dicapai melalui kesejahteraan ekonomi. (Hasil wawancara tanggal 5 Pebruari 2011). Simbol budaya dan identitas etnis digunakan secara baik oleh etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa untuk membentuk diri mereka sebagai elite. Meskipun elite Bugis Bone lebih piawai mengelola identitas etnis menjadi instrumen penting untuk meraih kekuasaan. Sedangkan etnis Makassar Gowa belum optimal mengeksplorasi identitas etnis untuk dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Kemampuan orang Bone memanfaatkan identitas etnis sebagai symbol budaya untuk meraih posisi elite pada panggung kekuasaan yang lebih tinggi, berkaitan dengan keberhasilan kelompok elite bangsawan Bone merawat eksistensinya dan menjaga hubungan baik dengan massa. Hal yang sama diungkapkan oleh A. BH (Pejabat Eselon II Pemprov Sulsel, berasal dari Bone) seperti berikut; ―Keberhasilan elite politik Bone menjaga hubungan baik dengan massanya menjadi modal dasar bagi mereka untuk mengeksplorasi symbol budaya dan identitas etnisnya sebagai alat yang ampuh untuk meraih kekuasaan politik. Keberhasilan ini dipicu oleh keunggulan individu kalangan aristocrat Bone dari aspek pendidikan dan ekonomi. Pada umumnya, bangsawan Bone jauh sebelum Indonesia merdeka sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Elite politik Bone yang pada umumnya berasal dari kalangan bangsawan selalu mendapat dukungan kuat dari massanya. Sampai saat ini bangsawan Bone masih tetap eksis secara politik dan ekonomi, dan tetap menjadi patron bagi massanya.‖ (Hasil wawancara tanggal 18 Pebruari 2011). Elite-elite politik Gowa tidak mampu memanfaatkan identitas etnis dan symbol budaya sebagai alat untuk meraih posisi politik dan kekuasaan. Keadaan ini bersamaan dengan menurunnya peranan politik kalangan elite dari aristocrat Gowa. Penurunan fungsi politik banyak dipengaruhi oleh semakin tidak kompetitifnya sumberdaya elite dari bangsawan Gowa, seperti yang diungkapkan oleh JR (pejabat eselon II Pemprov Sulsel, berasal dari Kabupaten Gowa) sebagai berikut;
288
―Kalangan Istana bangsawan Gowa pada saat menjelang kemerdekaan Bangsa Indonesia justru berkoalisi dengan Belanda. Masyarakat Gowa menilai mereka bagian dari penjajah. Meskipun tidak semua kalangan istana berhubungan baik dengan Belanda, karena beberapa kalangan Istana lari dari Istana untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal kedua yang membuat fungsi elite politik Istana Gowa semakin merosot, karena mereka terlena dengan ke-serba-adaan yang diwariskan oleh Istana, sehingga mereka menjadi pemalas. Mereka juga tidak memperhatikan pentingnya pendidikan. Keadaan inilah yang menjadi pemicu secara umum, mengapa elite-elite Gowa sangat sulit beradaptasi dengan budaya luar, dan akhir sulit mencapai posisi kekuasaan yang lebih tinggi.‖ (Hasil wawancara 10 April 2010). Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa memiliki arena dan cara yang berbeda untuk mendapatkan posisi kekuasaan. Etnis Bugis Bone telah mencapai panggung kekuasaan di luar sistem sosial Bone (Sulsel & Sulsel), dengan menggunakan karakter yang adaptif, flexible dan transaksional terhadap budaya luar. Sedangkan etnis Makassar Gowa masih bermain di dalam wilayah local (Gowa dan Sulsel) dengan prinsip politik lokal yang dianutnya. Hal lain yang menyebabkan perbedaan respon makna dan etik terhadap simbol budaya, kuasa dan uang dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dikarenakan oleh adanya perbedaan fase transformasi pemikiran dan tindakan politik yang terjadi antara dua etnis tersebut. Untuk melihat secara jelas fase perjalanan budaya kekuasaan etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, terutama bagaimana mereka memanfaatkan simbol budaya, kuasa dan uang untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi, dapat dilihat pada tabel 17. Tabel berikut juga akan menjelaskan bagaimana kecenderungan atau ciri pokok budaya politik dua etnis dalam meraih kekuasaan, dan bagaimana mereka melakukan ekspansi kekuasaan politik.
289
Cara-cara melakukan ekspansi kekuasaan politik
Pemanfaatan uang dalam pencapaian kekuasaan
Pemanfaatan simbol budaya untuk memperoleh kekuasaan
Ciri pokok budaya politik yang dominan
Penggunaan Memper- Penguatan simbol tahankan & peranan budaya merebut aristokrasi yang sangat sumberdaya pendidikan tinggi. ekonomi & kapitali(tanah sasi subur) sumberdaya ekonomi
Penggunaan Simbol Aristokrasi Simbol budaya menjadi budaya mulai pusat yang tinggi meluruh kekuasaan. melalui digantikan aliansi mitos oleh tanah dengan system luar
Sangat minim
Belum Instrumen menjadi penting instrumen yang berpengaruh
Penciptaan Penciptaan Koalisi mitos dan system aliansi simbol– patron- Intelektuasimbol client. litas kekuasaan Perkawinan Kesejahpolitik teraan ekonomi
aliansi dengan Penggunaa Okupasi Agama dan Bertahan budaya luar n simbol sumberdaya penguatan dengan Transaksio-nal budaya potensial aristokrasi system Mempertahan (tanah lokal. kan aristokrasi subur) pada Aristokrasi & kekuasaan lain meluruh lokal. digantikan Memperkuat oleh dunia usaha kapitalisasi kekuasaan lokal Aristokrasi PengSimbol Pergeseran Simbol terus gunaan budaya simbol budaya dilanggengSimbol tetap eksist budaya terus kan. budaya di tambah tradisional tereduksi Kapitalisasi yang tinggi dengan menjadi digantikan simbol budaya melalui perdaganga simbol oleh system untuk mitos n antar budaya ideologi ekonomi & pulau dan islamis politik & kesejahtera-an negara ekonomi melalui arena global global Instrumen Sangat Sudah Instrumen Instrumen yang sangat minim mulai yang sangat yang sangat penting dalam dalam skala penting penting skala massif kecil dalam skala terbatas
Transaksio-nal Penciptaan PatronMemper- IntelekNetworking mitos dan client. tahankan tualitas aliansi simbol Penaklukan identitas Ekonomi Aristokrasi kekuasaan melalui budaya Jejaring Hybridisasi penyebaran lokal. aliansi budaya politik Islam Koeksis- Hybridisasi & ekonomi tensi budaya Networking politik
Gambar 8. Fase perjalanan budaya kekuasaan politik dan ekonomi etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa Memperhatikan gambar 8 di atas, khususnya pada cara-cara etnis Bugis dan Makassar melakukan ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi, terjadi kecenderungan dan kesadaran yang sama akan pentingnya hibridisasi budaya politik antar etnis pada aras makro. Sedangkan pada level mezzo, tidak terjadi 290
Sekularisme
IslamModernisme
Feudalisme
Tradisional
Fase (Perjalanan) Budaya Makassar Sekularisme
IslamModernisme
Feudalisme
Tradisional
Fase (Perjalanan) Budaya Bugis
intervensi kekuasaan antar etnis untuk saling mengatur dan mendominasi, yang terjadi pada level mezzo adalah koeksistensi budaya politik. Meskipun etnis Bone lebih awal menyadari pentingnya peranan uang (ekonomi), koalisi, aliansi dan kemampuan intelektualitas. Instrumen tersebut terjadi pada etnis Bugis Bone sejak periode Islam modern. Sedangkan etnis Makassar Gowa baru mengalami instrumen tersebut pada fase sekularisme. Hal yang serupa dikemukakan oleh SYL (governing elite); ―Sebagai keluarga besar Sulsel, saya sangat sedih ketika etnis Mandar (Mamuju, Polmas dan Majene) memisahkan diri dari Sulsel menjadi propinsi Sulbar. Untuk menjaga kesatuan dan soliditas Sulsel yang dilahirkan dari keragaman etnis (Bugis, Makassar dan Toraja), di masa yang akan datang, kita membutuhkan konsep kehidupan bermasyarakat yang mampu secara permanen mengikat system social dan budaya yang dianut oleh setiap komunitas dan etnisitas yang ada. Kita mengharapkan ―Sulsel Baru‖ yang lahir dari persilangan budaya social yang didasari atas kesadaran bersama yang saling menguntungkan semua kalangan masyarakat. Pada saat yang sama kita akan terus menghidupkan dan mengawal tumbuhnya budaya local masing-masing komunitas, sebagai ciri khas. Tapi pada level propinsi kita membutuhkan konsep untuk menjadikan ―Sulsel Baru ‖ yang lebih baik.‖ (Pidato pada 16 Maret 2007 di Makassar). Meskipun SYL tidak secara eksplisit menyebut konsep hibridisasi budaya politik, akan tetapi makna dari pidatonya jelas sekali adalah upaya menemukan identitas baru bagi masyarakat Sulsel yang memiliki keragaman budaya, bahasa dan system sosial. Secara kultural, tawaran semacam ini akan mampu meredam gejolak social yang disponsori oleh semangat politik primordial. Pada fase sekularisme, etnis Bugis Bone sudah memasuki perilaku politik dan ekonomi yang bersifat transaksional. Etnis Bone pada masa tersebut semakin ―lentur‖ memainkan peranan pada aras makro (provinsi dan Sulsel). Beberapa actor yang berasal dari etnis Bone yang menjadi pemain pada panggung kekuasaan makro pada fase sekularisme antara lain adalah; Jenderal MJ, JK, Letjen. A. GLB , AM, AS, AAM, NH, dan AM. Menurut AYP (Anggota DPRD Sulsel, kelahiran Bone), ―kelenturan‖ dan kemampuan adaptif yang dimiliki orang Bone, karena pengaruh factor pendidikan dan budaya politik. ―Sejak kecil keluarga besar di Bone sudah mengirim kami ke Makassar untuk belajar pada sekolah yang terbaik. Interaksi dengan berbagai kelompok social masyarakat di Makassar memaksa saya dan keluarga
291
dari Bone untuk ―open mind,‖ beradaptasi dengan system luar. Dari keadaan ini, kami menjadi orang yang bisa bergaul dengan semua kalangan. Selain itu, orangtua kami selalu berpesan untuk menghormati dan menghargai orang lain, dan tidak eksklusif.‖ (Hasil Wawancara 21 September 2009). Salah satu kata kunci dari ―kelenturan‖ sikap politik yang dimiliki orang Bone dipengaruhi oleh factor pendidikan. Selain itu, tata nilai yang dipraktekkan di dalam berinteraksi dengan masyarakat luar ikut memicu sikap adaptif yang melekat pada aktor-aktor politik dari Bone. Faktor pendidikan dan nilai budaya inilah yang mengantar sejumlah aktor elite Bone mampu menembus panggung kekuasaan nasional dan propinsi. Pada periode yang sama (periode sekularisme), etnis Makassar Gowa baru memasuki kesadaran intelektualitas, jejaring, dan aliansi kekuasaan. Hasil dari kesadaran ini baru melahirkan actor yang bermain pada panggung kekuasaan makro antara lain; Ryas Rasyid dan SYL. ―Keterlambatan‖ ini direspon positif oleh IYL(governing elite dari Gowa), ia mengatakan; ―Ini menjadi agenda jangka panjang saya pribadi dan pemerintah Kabupaten Gowa, untuk mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang memiliki daya saing kuat, mampu berkompetisi pada level propinsi dan nasional pada semua aspek; politik, ekonomi, intelektual, professional dan lain-lain. Saya berharap 15 tahun yang akan datang sumberdaya manusia Gowa sudah mulai bermain di pentas nasional. Saya sudah mulai agenda ini lima tahun lalu. Selama ini elite-elite Gowa, terutama dari kalangan bangsawan terlena dengan sejarah masa lalu, mereka lupa kalau dunia luar (system luar) mengalami perubahan yang sangat besar dan cepat, ini mempengaruhi psikologi social masyarakat. Mereka tidak sempat menyesuaikan diri, bahkan gagal beradaptasi dengan system luar. Akibatnya sangat sedikit orang Gowa yang mampu memasuki panggung nasional.‖ (Hasil wawancara tanggal 11 Mei 2011). Merujuk pada pandangan IYL, faktor yang palingng besar pengaruhnya terhadap keterlambatan masyarakat Gowa memasuki panggung kekuasaan yang lebih
tinggi
adalah
factor
pendidikan (kualitas
sumberdaya
manusia).
Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan lain lebih disebabkan oleh kualitas sumberdaya yang terbatas.
292
7.3 Hibridisasi Budaya Politik Pilihan Masa depan Dalam proses pembentukan elite pada aras makro provinsi
Sulawesi
Selatan, terjadi kontestasi secara diam-diam antara dua etnis utama; Bugis dan Makassar. Dalam kontestasi tersebut terdapat dua budaya sosiologi politik yang berkembang; budaya sosiologi politik hybrid dan budaya sosiologi politik koeksistensi. Kedua budaya ini secara sadar maupun tidak sadar menjadi pilihan bagi aktor-aktor elite pada etnis Bugis (Bone) dan Makassar (Gowa). Secara teoritis, identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ‖narasi-narasi kecil‖ yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer. Hal ini sesuai dengan harapan SYL (governing elite dari Gowa); ―Pluralitas kebudayaan yang dimiliki oleh setiap etnis dan komunitas di Sulsel hendaknya difahami sebagai kekayaan kita semua. Perbedaanperbedaan budaya dan bahasa itu harus dilihat sebagai asset. Mari kita pelihara keragaman pada setiap etnis dan komunitas sebagai kekayaan yang positif, akan tetapi kalau kita berdiri pada aras Sulsel, kita masukkan dan kita leburkan keragaman itu dalam tungku Bugis, Makassar dan Toraja, untuk dimasak menjadi ―Sulsel Baru‖ yang lebih sejahtera, adil dan damai. Karena sesungguhnya kita bersumber dari satu keluarga besar. Mereka yang mempertajam perbedaan antara Gowa dengan Bone misalnya adalah kebiasaan mewarisi tradisi kolonial Belanda, yang suka mengadu domba. Anda semua bisa saksikan kearifan sejarah, Raja Bone Arung Palakka dikuburkan di kompleks pemakaman Raja-raja Gowa.― (Hasil pidato pada tanggal 10 Mei 2007 di Bone). Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang. Menurut Dr. M. DWS, MA (Sosiolog Universitas Hasanuddin); ―Sampai saat ini di Sulsel tidak terdapat kelompok, komunitas atau etnis sekalipun yang memiliki kekuatan politik dominan. Aktor-aktor politik yang berhasil menapaki panggung kekuasaan yang lebih tinggi
293
disebabkan karena aktor tersebut memiliki kemampuan melakukan persilangan kategori-kategori identitas antar kelompok dan etnis. Apalagi pada umumnya elite-elite politik Sulsel cenderung memiliki kepentingan yang sama. Semua kenyataan ini akan menurunkan tensi in-group favoritism dan out-group derogation, yang pada akhirnya akan mempermudah lahirnya loyaltas ganda dan pencangkokan budaya politik.‖ (Hasil wawancara tanggal 11 Pebruari 2011). Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula. Pandangan ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. AH (Antropolog dan Guru Besar Fakultas Sastra Unhas); ―Pengenalan model politik di Sulsel sebetulnya dimulai dari era Kerajaan (persisnya ketika era tomanurung). Dua kerajaan besar Gowa dan Bone mewarnai lahirnya konsep tomanurung. Dari sini berkembang sejumlah kerajaan-kerajaan kecil di Sulsel yang selalu memiliki hubungan kekuasaan secara sosiologis dan biologis dengan dua kerajaan utama; Gowa dan Bone. Pendirian kerajaan pada umumnya dilakukan untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan. Untuk menjaga agar raja-raja kecil ini tetap memiliki hubungan dan loyal dengan dua kerajaan utama, maka Raja Gowa dan Bone sering menggunakan taktik ―Politik Ranjang.‖ Gaya politik seperti itu melahirkan individu yang memiliki keragaman identitas. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya persilangan kategori-kategori identitas antar etnis dan komunitas yang ada di Sulsel, sebagai syarat terciptanya hibridisasi budaya politik.‖ (Hasil wawancara 21 Juni 2009)‘ Pandangan AH memperlihatkan bahwa pola politik kekuasaan yang dikembangkan oleh Kerajaan Bugis dan Makassar memiliki kesamaan strategi, dengan demikian, dasar budaya politik yang berkembang di Sulsel bersumber dari konsep yang sama, maka peluang untuk persilangan kategori social dan identitas sosial dalam satu konsep akan lebih mudah. Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda. Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif
294
terhadap outgroup akan berkurang. Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antar individu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown & Gaertner (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70). Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain. Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan. Di Sulsel, terdapat ruang titik singgung yang amat luas untuk mempertemukan ekspresi kebudayaan antar etnis, seperti dikemukakan Prof. Dr. AH; ―Tidak sulit bagi seorang pemimpin Sulsel untuk mempertemukan atau mempersilangkan keragaman identitas, karena budaya-budaya yang berkembang di Sulsel berasal dari konsep yang sama. Bahwa kemudian berkembang dengan nilai-nilai yang berbeda, itu karena factor kepentingan kekuasaan. Jika ingin menemukan format baru dalam membangun ―Sulsel Baru‖ dibutuhkan pemimpin yang bisa dipercaya. Masyarakat dengan budayanya yang beragam dapat dipersatukan dengan mudah oleh pemimpin yang memiliki social trust yang tinggi.‖ (Hasil wawancara 21 Juni 2009). Untuk mewujudkan konsep hibridisasi budaya politik di Sulsel, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya visi besar dan dapat dipercaya oleh masyarakatnya. Karena pemimpin bagi masyarakat Sulsel adalah sumbu yang memberi pengaruh bagi masyarakatnya. Konsep hibridisasi budaya politik, tidak akan menghilangkan keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap etnis atau kelompok pada level kabupaten dan desa, karena hibridisasi tidak diperlukan pada level mezzo dan mikro, karena itu tidak perlu dikhawatirkan hilangnya budaya politik local karena tertindih oleh budaya politik baru yang dihasilkan oleh hibridisasi budaya politik. Pada saat bersamaan budaya sosiologi politik ko-eksistensi tetap perlu dipelihara, agar keragaman budaya tidak terreduksi. Budaya politik ko-eksistensi adalah keadaan dimana dua atau lebih kelompok yang hidup bersama tetap 295
menghargai perbedaan mereka dan menyelesaikan konflik mereka tanpakekerasan181. Koeksistensi telah didefinisikan dalam berbagai cara: (i) Untuk ada bersama-sama (dalam waktu atau tempat) dan saling toleransi; (ii) Untuk belajar mengenali dan hidup dengan perbedaan; (iii) Untuk memiliki hubungan antara orang atau kelompok di mana tidak ada pihak yang berusaha menghancurkan yang lain.
Inti dari koeksistensi adalah kesadaran bahwa individu dan kelompok
berbeda dalam berbagai cara termasuk kelas, etnis, agama, jenis kelamin, dan kecenderungan politik. Identitas kelompok ini dapat menjadi penyebab konflik, berkontribusi terhadap penyebab konflik. Budaya
sosiologi
politik
hybrid
berhasil
memberikan
kontribusi
menyatukan etnis Bugis (Bone) dan etnis Makassar (Gowa) dalam satu payung politik yang disebut Sulawesi Selatan dalam konstruksi Negara-bangsa. Sedangkan budaya sosiologi politik koeksistensi memberi daya-tahan pada masing-masing etnis; Bone dan Gowa untuk hidup berdampingan sesuai dengan nilai-nilai inti yang dimiliki oleh masing-masing etnis, dalam konstruksi identitas lokal. Budaya sosiologi politik hybrid berhasil mengantarkan aktor-aktor elite etnis Bugis dan Makassar memasuki panggung politik aras makro; provinsi dan Sulsel. Budaya sosiologi politik hybrid lebih banyak diadopsi oleh etnis Bugis Bone dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa182. Fakta ini dapat ditelusuri argumentasinya pada nilai-nilai budaya politik yang mempengaruhi aktor-aktor elite pada etnis Bugis dan Makassar.
181
Ide koeksistensi bukanlah hal yang baru, istilah ini datang ke dalam penggunaan umum selama Perang Dingin. Kebijakan 'hidup berdampingan secara damai' digunakan dalam konteks hubungan AS dan Uni Soviet. Awalnya, itu untuk menutupi agresi, tetapi kemudian dikembangkan sebagai alat untuk menetralisir hubungan antara dua kekuatan. Pada akhir '80-an, kebijakan hidup berdampingan secara damai termasuk prinsip-prinsip seperti "nonaggression, menghormati kedaulatan, kemerdekaan nasional, dan noninterference dalam urusan internal. Simak pemikiran Eugene Weiner, "Coexistence Work: A New Profession." In The Handbook of Interethnic Coexistence , ed. Dalam Buku Panduan Koeksistensi antaretnis, ed. Eugene Weiner (New York: The Abraham Fund, 2000): 13-24. Eugene Weiner (New York: Dana Ibrahim, 2000): 13-24. 182
Aktor-aktor dari Bone yang berhasil memanfaatkan politik hybrid; antara lain Jenderal M. Jusuf (M. Jusuf mampu menyerap budaya politik Jawa, bandingkan dengan Kahar Mudzakar yang mengandalkan budaya politik eksistensi tunggal, atau budaya politik koeksistensi). Lihat juga figure Jusuf Kalla, A. Ghablib, A. Matalatta, A.Alfian Malarangeng dan Nurdin Halid. Sedangkan actor dari Gowa antara lain yang menggunakan budaya politik Hybrid seperti Syahrul Yasin Limpo dan Ryas Rasyid.
296
Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi jenis pilihan budaya politik etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa. ARAS
MEZZO
UNIT ANaliSIS NILAI BUDAYA ETNISITAS YANG BERPENGARUH NILAI KEKUASAAN
ETNIS BUGIS (BONE)
Menjunjung tinggi aristokrasi
Nilai yang Penting Kaku dengan system budaya politik lokal Sulit melepaskan diri dari budaya lokal Prinsip egalitarian
Instrumen yang berpengaruh
Instrumen yang berpengaruh
Cukup menonjol
Cukup menonjol
Kuat
Sangat kuat
Mapan
Dalam proses
HIBRIDISASI
Terjadi Hibridisasi pada aras makro
Belum Terjadi Hibridisasi pada aras makro
KOEKSISTENSI
Mempertahankan Koeksistensi secara internal
Mempertahankan Koeksistensi secara internal
PRINSIP BUDAYA POLITIK BUDAYA ADAPTASI (OPORTUNISTIK) NILAI ARISTOKRASI UANG (MATERIAL ECONOMICS) PERMAINAN SIMBOL BUDAYA PERMAINAN WACANA DUNIA USAHA NILAI BUDAYA YG DIHASILKAN
Nilai yang Penting Fleksibel dengan system budaya politik luar
ETNIS MAKASSAR (GOWA)
Sangat adaptif
Gambar 9. Budaya Sosiologi Politik Hybridisasi dan Koeksistensi Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa nilai budaya politik yang dianut oleh etnis Bugis Bone lebih ―lentur‖ untuk beradaptasi dengan prinsip budaya politik eksternal. Sementara prinsip budaya politik Gowa sulit berkompromi atau melebur dengan budaya politik lain (lihat prinsip budaya politik; Bone sangat luwes dengan system budaya politik luar, sedangkan Gowa, cenderung kaku dengan system budaya politik lokal. Kondisi ini sekaligus menjelaskan etnis Bugis Bone memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memilih budaya sosiologi politik hybrid dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa. Meskipun terdapat sejumlah kasus yang menunjukkan bahwa terdapat actor-aktor yang tumbuh dengan budaya politik Makassar Gowa seperti; Dr. SYL(Gubernur Sulsel yang terpilih pada tahun 2008), Prof. Dr. RR (mantan Menteri Otonomi Daerah) telah berhasil melakukan hibridisasi budaya politik.
297
Beberapa penjelasan pada bagian sebelumnya memperlihatkan bahwa proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone pada aras mezzo berlangsung sangat tertutup. Untuk mengisi ruang-ruang kekuasaan (posisi elite), para aristokrat Bone memiliki kemampuan untuk membatasi peluang elite baru yang tidak memiliki kemurnian darah kebangsawanan. Karena itu, klan PG yang berasal dari kalangan biasa melakukan ―pemberontakan‖
untuk
menerobos panggung elite (lihat kaum Tolampa di Desa Benteng Tellue, Bab 6). Meskipun secara internal sangat ketat dan tertutup (hanya kalangan aristokrat) dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone, akan tetapi secara eksternal para elitnya survive menembus panggung kekuasaan sampai pada aras makro; provinsi dan Sulsel. Sebaliknya, proses pembentukan elite yang berlangsung pada etnis Makassar Gowa pada aras mezzo, berlangsung dengan pola yang lebih terbuka (karena aristokratnya semakin menurun fungsi kekuasaannya), akan tetapi elite Gowa belum banyak berhasil mendorong para elitnya memasuki ruang kekuasaan yang lebih tinggi (aras makro; provinsi dan Sulsel). Untuk menjawab mengapa elite etnis Bone mampu menembus panggung kekuasaan yang lebih tinggi (provinsi dan Sulsel), sebaliknya elite etnis Gowa hanya mentok pada ruang kekuasaan aras mezzo, karena nilai budaya sosiologi politik yang dianut etnis Bugis Bone lebih ―luwes‖ untuk beradaptasi dengan nilai budaya politik luar. Dengan nilai-nilai itu, mereka dengan mudah melakukan hibridisasi budaya politik. Sedangkan elite-elite etnis Gowa sangat teguh memegang prinsip budaya politik yang menjadi nilai-nilai inti di dalam proses sosiologi politiknya (lihat variabel-variabel pada tabel 19 di atas). Hybridisasi budaya politik tidak saja menjadi salah satu alat untuk mengantarkan actor-aktor politik untuk mencapai panggung kekuasaan yang lebih tinggi (seperti kasus actor politik etnis Bugis Bone yang bisa menembus panggung politik provinsi dan Sulsel), akan tetapi yang lebih penting akan menjadi pilihan politik yang bisa memayungi relasi sosial yang plural. Hybridisasi budaya politik, memungkinkan tumbuhnya budaya politik inklusivisme yang beri ruang kepada actor-aktor politik yang memiliki kualialitas untuk memasuki posisi elite, meskipun mereka bersumber dari latar politik dan budaya yang berbeda-
298
beda. Hybridisasi akan meredam berkembangnya politik ekslusivisme yang berbasis pada politik sectarian seperti politik identitas dan etnisitas. Dengan demikian, hibridisasi budaya politik akan mampu mempertahankan pluralitas budaya dan politik yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Hal lain yang menjadi produk hibridisasi budaya politik adalah dimungkinkannya share of power bagi para elite pada panggung kekuasaan Sulsel dalam bingkai NKRI berdasarkan geopolitik dan etnisitas. Budaya politik semacam ini bisa menjadi ciri khas demokrasi Indonesia yang tidak ditemukan di dalam literature politik Barat.
Pada akhirnya, dalam konteks
share of power yang mengacu pada factor geopolitik dan etnisitas, hibridisasi budaya politik akan mereduksi berkembangnya tuntutan pemekaran wilayah terutama pada tingkat provinsi. Untuk mempertahankan budaya lokal, pada level mezzo, hibridisasi budaya politik tergantikan oleh system budaya politik ko-eksistensi; dimana masing-masing pihak (etnis) memiliki karakter budaya politik yang berbeda-beda. Realitas ini juga berlaku pada interaksi sosial yang terjadi pada aras mikro (Desa). Budaya politik inilah yang sedang berjalan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa. Masing-masing etnis mempertahankan system politik lokalnya. Akan tetapi, ketika memasuki aras makro; propinsi dan Sulsel, actor elite politik yang melakukan hibridisasi budaya politik yang akan menguasai panggung kekuasaan. Berdasarkan konstruksi social yang bersifat structural maupun cultural dan konstruksi aktor, studi ini memperlihatkan dengan jelas adanya gejala dan kemungkinan berkembangnya hibridisasi budaya politik. Sintesa ini didukung oleh tiga konstruksi sebagai berikut; Pertama, konstruksi sosial dalam perspektif struktural memperlihatkan bahwa tujuan pendirian unit-unit kekuasaan (kerajaankerjaan kecil) yang menyebar di wilayah Sulsel, yg disponsori oleh dua kerajaan utama: Bone & Gowa dimaksudkan untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya; Bone dan Gowa, untuk tujuan tersebu, kerajaan Bone dan Gowa cenderung menggunakan taktik ―politik ranjang.‖ Taktik itu melahirkan individu yang memiliki keragaman identitas. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya persilangan kategori-kategori identitas antar etnis dan komunitas yang ada di Sulsel, sebagai syarat terciptanya hibridisasi budaya politik.
299
Kedua, konstruksi sosial dalam perspektif kultural, terutama dalam falsafah ―Tiga Ujung‖ yakni dengan menggunakan; ujung lidah (diplomasi); ujung kelamin (politik ranjang—perkawinan politik), dan ujung badik (konfrontatif—perang) yang dipraktekkan oleh elite etnis Bugis dan Makassar, menunjukkan adanya sejumlah kesamaan dalam pola meraih kekuasaan bagi etnis Bugis dan Makassar, yakni didominasi dengan menggunakan Ujung Lidah (diplomasi), kesamaan pola ini menjadi modal bagi kemungkinan terjadinya hibridisasi budaya politik. Ketiga, perspektif Aktor di dalam etnis Bugis dan Makassar (SYL Gowa – AS Bone) memperlihatkan kesamaan pandang bahwa etnis Bugis dan Makassar bersumber dari identitas dan falsafah budaya politik yang sama (meskipun secara fisik dan geografis, yang kemudian dikonstruksikan secara kontras oleh VOC). Konstruksi ini dapat dilihat pada kasus-kasus sebagai beikur; AS diterima memiliki hubungan baik dengan kalangan bangsawan Gowa; Arung Palakka, Raja Bone yang menundukkan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) , justru jasadnya dimakamkan di kompleks Kerajaan Gowa, fakta-fakta ini memberi peluang untuk hibridisasi budaya politik.
300