Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Peranan Unifikasi Peradilan terhadap Living Law “ Siri’ “ Sebagai Pembentukan Karakter Bangsa Pada Kehidupan Adat Bugis-Makassar. Muhammad As Ari Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] ABSTRAK Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman hukum misalnya hukum eropa yang diserap ke dalam hukum nasional, hukum adat yang dipraktekkan oleh masyarakatnya dan hukum Islam sebagai konsekwensi mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Keanekaragaman ini telah membentuk karakteristik bangsa yang plural pula. Dalam kehidupan tata Negara Indonesia, pemerintah melakukan program unifikasi hukum salah satunya adalah unifikasi peradilan. Unifikasi peradilan memiliki peranan untuk menyatukan peradilan baik dalam bentuk maupun proses mengadilinya. Peranan unifikasi peradilan ini berakibat menghilangkan atau minimalnya menghambat pembentukan karakter bangsa khususnya karakter Bugis- Makassar yang telah lama diimplementasikan dalam adat mereka yang disebut siri‟( malu ). Hilangnya ataupun terhambatnya pelaksanaan siri‟ ini berimplikasi pada merosotnya akhlak masyarakat Bugis- Makassar seperti kebebasan berboncengan dan berpelukan di atas motor, kebebasan meninggalkan rumah tanpa pemberitahuan, kebebasan bepergian dengan lawan jenis atau secara singkat kebebasan bergaul secara negative yang menyimpang dari ajaran Islam ( agama yang dianut oleh masyarakat BugisMakassar ). Kata kunci: unifikasi peradilan, living law, siri‟ dan pembentukan karakter I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan dua suku primer yang menghuni kota Makassar. Kedua suku ini memiliki rumpun yang sama. Dalam kalangan kehidupan Bugis-Makassar diyakini bersama bahwa keduanya adalah saudara kembar yang memiliki hukum dan kebiasaan yang sama pula. Dalam masyarakat ini lahir adagium “Bugis-Makassar ibarat bulo ni pue rua (bambu dibelah dua)” adagium ini mempererat persaudaraan keduanya, sehingga kehidupan apapun yang mereka jalani selalu kembali pada makna filosofi dari adagium tersebut. Makna filosofi adagium tersebut adalah Bugis-Makassar merupakan satu tubuh, tidak dapat dipisahkan termasuk hukum adat dan agama1 yang mereka anut. Dalam kehidupan sehari-hari Bugis-Makassar memiliki hukum adat yang disebut siri‟. 1
Agama yang dianut oleh masyarakat Bugis- Makassar adalah Agama Islam yang sedikit banyaknya mempengaruhi hukum adat yang dikenal dengan sebutan „‟Siri‟ „‟.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Istilah siri‟ selalu berpasangan dengan kata pacce, sehingga sering digabungkan menjadi siri‟ na pace. Secara lafdzhiyah siri‟ berarti rasa malu, pacce berarti pedih/perih melihat penderitaan orang lain. Pacce bisa didefenisikan sebagai kecerdasan emosional dan spiritual untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati)2. Siri‟ berarti malu dan pacce dapat pula diartikan ibah, tidak tega, kasihan.3. sehingga bila digabung maka kehidupan bugis-makassar akan dipenuhi oleh perasaan malu berbuat salah dan menyimpang dari ajaran moral agama Islam dan memiliki rasa empati yang tinggi, keduanya tidak dapat dipisahkan. Siri‟ na pacce merupakan living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Living law ini dalam keseharian bangsa Indonesia disebut hukum adat. Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial Indonesia. Sumber hukum ini tidak tertulis tetapi sumbernya berasal dari kebiasan-kebiasaan yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya4. Indonesia merupakan salah satu bekas jajahan Belanda, sehingga berdasarkan asas konkordansi, Indonesia menganut sistem hukum Eropa kontinental. Dalam sistem hukum eropa kontinental kebiasaankebiasaan masyarakat tidak memegang peranan penting sebagai hukum. Tetapi peraturan tertulislah yang lebih dominan dianggap sebagai hukum. Eksistensi sistem hukum eropa kontinental mempengaruhi pula pandangan Indonesia mengenai berhukum. Menurut Sadjipto Rahardjo berhukum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu berhukum substansial dan berhukum artifisial5. Pada awal kemerdekaan, masyarakat Makassar sangat kental memelihara living law diantara mereka yang biasa disebut siri‟ na pacce. Dalam konteks ini masyarakat Makassar yang dihuni oleh dua suku primer yaitu Bugis-Makassar lebih berhukum dengan substansial. Masyarakat Makassar belum mengenal berhukum artificial atau oleh Soetandyo Wignjosobroto memberikan nama hukum undang-undang6.. Pada waktu berlakunya peradilan adat ini yang disebut pula peradilan swapraja, maka moral sejati yang terimplementasi dalam hukum adat siri‟ na pacce memiliki peranan penting dalam mengatur dan membatasi gerak-gerik masyarakat Bugis-Makassar dalam tataran hukum dan moralitas, jadi disini terdapat penyatuan alami antara hukum dan moral sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Apa yang menurut moral itu baik maka itu pulalah yang dianggap baik oleh masyarakat Makassar pada masa itu. Seiring perjalanan waktu , Negara melakukan program rekonstruksi pengadilan. Rekonstruksi pengadilan ini ditempuh karena munculnya fenomena 2
Imbasadi, Makna Siri’ na Pacce di Masyarakat Bugis-Makassar. 3 Desember 2012. http://imbasadi.wordpress.com . Diakses pada tanggal 04 Mei 2014. 3 Ibid. 4 Wikipedia, Hukum Adat. http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_adat 5 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perilaku Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik. Jakarta: Kompas. 2009. Hlm 49 6 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum dalam Masyarakat perkembangan dan Masalah sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Bandung: Bayumedia Publishing. 2008. Hlm 41
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
perilaku lembaga pengadilan yang jauh dari cita hukum. Sebelum rekonstruksi pengadilan dijalankan, maka peradilan rakyat masih diakui dan diberlakukan dalam kehidupan mereka. Pengakuan tersebut dituangkan dalam undang-undang dar No. 1 tahun 1950 tentang peradilan swapraja. Tetapi setelah undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum, maka peradilan swapraja tersebut dihapus dan termarginalkan. Rekonstruksi pengadilan ini membawa pula pada unifikasi peradilan yang menginginkan penyatuan peradilan di bawah satu penyelenggara yaitu kehakiman, Rusli Muhammad memberikan uraian bahwa: “ Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar menunjukkan bahwa telah meninggalkan model-model peradilan HindiaBelanda, melainkan juga sebagai bukti bahwa Negara Indonesia telah memenuhi syarat sebagai Negara yang berdasarkan pada hukum, yakni dengan terbentuknya badan-badan peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain”7. Uraian diatas merupakan pengaruh dari doktrin Negara hukum yang menyatakan bahwa setiap Negara memiliki hukum yang lebih tinggi dari kekuatan lainnya sehingga untuk memperkuat dan memberikan supremasi pada hukum, maka hukum tersebut harus dibuat dan ditegakkan oleh Negara sebagai lembaga otoritar tertinggi. Paham ini tidak salah tetapi juga memerlukan kejelian dalam melihat situasi. Hukum undang-undang memang tidak bisa diabaikan tetapi sebaiknya tetap merangkul living law dalam masyarakat, agar bangsa ini tidak kehilangan hukum sejatinya. Kehilangan hukum sejati akan menghilangkan jati diri bangsa ini. Hukum sejati hanya bisa ditemukan dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam bentuk perilaku. Jadi hukum sejatinya bangsa melekat pada hukum adat yang dipraktekkan oleh masyarakat melalui turun-temurun. Khususnya pada masyarakat Makassar maka siri‟ yang dipraktekkan dalam keseharian melalui turun-temurun memiliki kandungan moral yang luhur. Kandungan moral tersebut sebagaimana yang telah diutarakan di awal tulisan ini akan membentuk pribadi manusia yang memiliki keutamaan dan mampu mencapai eudaimonia atau kebahagian. Dengan hukum siri‟ yang dipedomani dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Makassar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan yang tercela seperti, korupsi, kolusi, nepotisme dan lain sebagainya.
7
Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press. 2010. Hlm 12
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
II. Analisis A. Peranan Unifikasi Peradilan Terhadap Eksistensi Living Law “ siri‟ “ Pada Kehidupan Adat Bugis-Makassar Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan profesinya maka dia menjalankan suatu peranan. (role).8 Setiap orang dalam pola pergaulan hidup mempunyai peranan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh depertemen Pendidikan nasional,9 peranan adalah bagian yang dimainkan oleh seorang pemain. Hal ini sesuai dengan pendapat soerjono Soekonto10 yang menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat suatu pola tertentu. Uraianuraian ini memberikan makna bahwa untuk mengukur suatu peranan dari lembaga hukum atau suatu kegiatan hukum, maka harus bertolak dari kedudukan (status) dan tujuan lembaga atau kegiatan tersebut diadakan. Mengapa demikian? Karena kedudukan suatu lembaga dan/atau kegiatan menentukan apa yang harus diperbuat individu dan/atau masyarakat dengan eksistensi lembaga tersebut. Eksistensi unifikasi peradilan di Indonesia khususnya di masyarakat Makassar tidak lahir dari pemahaman yang kosong tentang hukum, tetapi kelahirannya merupakan doktrin hukum Negara mengenai supremasi hukum. Supremasi hukum berkaitan erat dengan kedudukan suatu lembaga serta tujuannya. Kedudukan unifikasi peradilan dan tujuannya dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Kedudukan Unifikasi Peradilan Dalam Negara Modern Hukum pada akhir abad-19 (menurut doktrinnya) bercirikan antara lain.11 Pertama, agar diakui sebagai hukum formal (yang penegakannya dapat dilakukan oleh aparat-aparat nasional), hukum tersebut harus ditegaskan dalam berbagai rumusan tertulis sehingga memiliki wujud yang positif sebagai hukum undang-undang. Kedua, hukum undang-undang ini (menurut doktrinnya yang disebut „doktrin supremasi hukum‟) harus diterima sebagai pengganti berlakunya berbagai norma sosial lain yang ada dalam masyarakat. Ketiga, hukum yang telah diformalkan sebagai hukum positif sekaligus hukum nasional itupun harus dikelola secara eksklusif 8
Fence M. Wantu, Peranan hakim Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata, 2011, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hlm 28 9 Departemen Pendidikan nasional, 2002, Kamus besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Jakarta. Hlm 854 10 Soerjono Soekonto, 1999, Sosiologi suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 264 11 Harold Berman dalam Soetandyo Wignjosoebroto,2008. Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah Sebuah Pengantar ke Arah kajian Sosiologi Hukum. Bayumedia Publishing: Malang, hlm 7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
oleh para ahlinya. Para ahli hukum yang menduduki jabatan yuridis apapun, baik sebagai pengacara, advokat, maupun jaksa harus sanggup bekerja secara kolektif di bawah kontrol satu kode etik. Doktrin supremasi hukum ini mendasari lahirnya paham unifikasi hukum termasuk lembaganya yang dikenal dengan nama unifikasi peradilan. Perkembangan sepanjang abad 17-18 di beberapa negeri Eropa Barat yang dikenal sebagai perkembangan sejarah tatkala the making of Europe is the making of kings no more but the making of nations telah melahirkan suatu sistem hukum yang dinyatakan resmi sebagai hukum nasional.12 Hukum nasional yang dibangun secara terencana untuk menciptakan kesatuan hukum dalam kehidupan nasional tersebut tidak hanya diwujudkan secara eksplisit dan pasti, tetapi juga tertulis (bahkan dikodifikasikan) guna menjamin eksistensinya yang benar-benar positif. Selain itu juga difungsikan sebagai kekuatan kontrol sentral di tangan para pemuncak di jabatan-jabatan kepenguasaan Negara nasional.13 Kedudukan unifikasi peradilan tidak lepas dari perkembangan hukum dimasa lalu yaitu ketika lahirnya hukum nasional hingga masa kini. Pada masa awal kelahiran hukum nasional maupun kini, sering terjadi konflik antara the local law-ways dan the state normative system yang berakhir dengan paksaan pemberlakuan hukum penguasa karena hanya hukum inilah yang berstatus resmi dan berlegitimasi Negara.14 Kedudukan atau status hukum melalui unifikasi peradilannya memberikan efek yang luar biasa memarjinalkan living law masyarakat. Semakin hukum menjorok masuk ke dalam era modern, maka ia semakin mengukuhkan dirinya sebagai teknologi. Faktor penting yang menyebabkan hal tersebut adalah campur tangan manusia yang semakin aktif dalam menggunakan hukum itu untuk tujuan-tujuan tertentu. Efek perlucutan terhadap kekuasaan-kekuasaan otoriter yang memerintah dengan cara-cara ad hoc, untuk digantikan oleh Negara hukum, menjadikan hukum sebagai sarana yang sah, diandalkan dan dicari untuk menjalankan hukum sebagai kekuasaan. Muncul adagium “the rule of law not of man”. Semua putusan-putusan akan sah bila diberi label Negara.15 Perlucutan kekuatan-kekuatan sosial dalam hal ini penghapusan kebiasan-kebiasaan masyarakat yang menjadi hukum dalam kehidupan mereka, membawa pula pada perubahan berhukum pada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bugis-Makassar di kota Makassar. Pada masa sebelum unifikasi peradilan, maka peradilan rakyat ( masyarakat Makassar) yang menggunakan nilai moral yang sangat kental dengan nilai 12
Soetandyo Wignjosoebroto,2008. Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah Sebuah Pengantar ke Arah kajian Sosiologi Hukum. Bayumedia Publishing: Malang, hlm 42 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perilaku Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik. Kompas, Jakarta, 2009, hlm 57
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
agama masih memegang peran penting dalam pembentukan hukum, “living law/siri‟ “. Perubahan tersebut telah membawa efek sangat luas yaitu masyarakat mengalami perubahan berhukum, yang semula mereka berhukum dengan menggunakan institusi moral tetapi kini mereka telah berhukum dengan cara teknologi. Pada tahap berhukum dengan cara teknologi ini, maka hukum dalam pembuatannya selalu mempertanyakan bagaimana memproduksi hukum yang sesuai dengan persyaratan teknis. Berhukum dengan cara ini tidak lagi mempersoalkan moral sebagai persyaratan utama hukum.16 Marjinalisasi kekuatan – kekuatan sosial oleh pemerintah merupakan jalan absolute yang harus ditempuh apabila Negara ini mau melakukan unifikasi hukum termasuk unifikasi peradilannya. Unifikasi hukum dapat diartikan sebagai penyatuan hukum menjadi satu sistem hukum yaitu hukum Negara. Dengan demikian unifikasi hukum merupakan upaya penyatuan hukum menjadi satu hukum. Dalam konteks ini hanya ada satu hukum yang berlaku bagi rakyat dalam satu Negara. Hukum rakyatpun harus dibuat sedemikian rupa hingga menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Cara seperti ini bisa ditempuh dengan jalan menghapus pluralism peradilan dalam Negara sehingga hanya berlaku satu sistem peradilan yaitu peradilan Negara.17 Dalam mencapai kesatuan hukum/kesatuan peradilan pemerintah melakukan upaya-upaya dalam menata kemandirian pengadilan. Upaya-upaya tersebut berupa restrukturisasi pengadilan, reformasi perundang-undangan, dan rivitalisasi pengadilan. a. Restrukturisasi Pengadilan Gagasan untuk melakukan restrukturisasi pengadilan tidak terlepas dari keadaan struktural yang ada di peradilan itu. Keberadaan struktural pengadilan yang sebahagian besar tak terpisahkan dengan ekesekutif menempatkan pengadilan itu tersubdinasi dengan eksekutif. Tersubdinasinya pengadilan dengan eksekutif memiliki konskwensi logis di bidang tugas dan kewenangannya yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada atasan langsung melainkan harus pula bertanggungjawab kepada kekuasaan eksekutif yang membidanginya.18 Pesoalan-persoalan struktural yang sangat krusial selama ini adalah ditempatkannya lambaga peradilan yang nota bene sebagai lembaga pemegang dan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di bawah baying-bayang eksekutif. Keterlibatan kekuasaan eksekutif yang dirasakan sangat menganggu adalah pada urusan oranisasi, administrasi dan financial. Pada bidang ini, pengadilan tidak memiliki kewenangan membinanya dan mengontrolnya melainkan berada pada lembaga 16
Ibid https://id.answers.yahoo.com/qustion/index?qid=20110107234854AAyZ5HD 18 Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, UII PRESS, Yogyakarta,2010, hlm 176 17
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
ekesekutif yakni departemen yang membawahinya.19 Adanya kewenangan Departemen tersebut langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kebebasan dan kemandirian pengadilan. Kewenangan departemen tersebut memberi peluang adanya intervensi terhadap kebebasan dan kemerdekaan hakim diantaranya berupa, pertama, pembinaan yang dilakukan departemen tentunya akan dilakukan sesuai politik dan tujuan departemen sehingga dapat terjadi badan peradilan menjadi alat politik, alat birokrasi. Kedua, adanya kekuasaan departemen dalam pembinaan terutama di dalam bidang financial bagaimanapun juga akan menimbulkan ketergantungan badan peradilan/hakim secara sosial dan ekonomi kepada departemen/pemerintah.20 b. Reformasi Perundang-undangan Reformasi terhadap peraturan hukum tidak terbatas pada peraturan organik, melainkan harus menjangkau pada konstitusi dan harus menjadi pilihan pertama dalam melakukan reformasi itu. UUD dipilih sebagai sarana pertama reformasi karena mengingat status dan posisi UUD sangat vital dalam sistem hukum Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai permasalahan yang tidak menyenangkan dalam dunia hukum (peradilan) serta terjadinya ketimpangan-ketimpangan dalam ketatanegaraan kita selama ini, terutama hilangnya kebebasan kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum tidak semata-mata bersumber dari pelaku-pelaku dari para penyelenggara Negara atau para penegak hukum tetapi kemungkinan besar justru berasal dari ketidakberesan UUD 1945 itu sendiri.21 Sekalipun undang-undang ini telah banyak melakukan perubahan terhadap materi undang-undang sebelumnya, namun tidak berarti undang-undang ini telah menutup dilakukannya reformasi. UU kekuasaan kehakiman telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun mulai dari UU No 14 tahun 1970, UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 tahun 2004. Perubahan-perubahan tersebut hingga tahun 2004 masih menyisakan persoalan yakni tidak adanya jaminan profesi berupa immuinitas atau perlindungan bagi para hakim ketika menjalankan profesinya. Tidak adanya jaminan seperti itu akan menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan bagi para hakim karena mungkin saja
19
Departemen yang dimaksudkan melakukan pembinaan dan kontrol di bidang oranisasi, administrasi dan financial adalah departemen kehakiman untuk peradilan umum, departemen Hankam untuk peradilan militer dan Departemen Agama untuk peradilan Agama, dalam Rusli Muhammad, Ibid. 20 Gusti Made Lingga,struktur dan Organisasi Pengadilan Menuju Kemandirian……dalam Rusli Muhammad, ibid. 21 Rusli Muhammad, Poteret Lembaga Pengadilan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 192
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
sewaktu-waktu dalam menjalankan tugasnya atau selesai menjalankan tugasnya mereka dapat dituntut atau dicopot dari jabatannya.22 c. Revitalisasi Pengadilan. Revitalisasi mengandung pengertian mengembalikan agar lembaga peradilan hidup dan berfungsi kembali. Masalahnya adalah apa yang sebenarnya menjadi masalah pokok dan usaha apa yang kita lakukan?23 Ada yang beranggapan bahwa pusat permasalahan sebenarnya ada pada sumber daya manusia. Jika SDM-nya baik, hasilnya pun akan baik. Bagaimanapun baiknya suatu sistem jika SDMnya buruk, maka sistem yang baik itu tidak akan menghasilkan produk yang baik. Barangkali tidak perlu mepertentangkan kedua anggapan tersebut karena pertentangan tersebut tidak menyelesaikan persoalan. Bagaimanapun mempersoalkan lembaga peradilan berarti mempersoalkan orang-orang yang duduk di lembaga itu, sekaligus mempersoalkan sistemnya.24 Untuk menata kembali lembaga peradilan, terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu peningkatan kualitas teoritis, peningkatan kesadaran peran dan tanggungjawab, peningkatan kemandirian lembaga & perbaikan moral komponen pengadilan (hakim) 1). Peningkatan Kualitas Teoritis Usaha ini difokuskan pada potensi keilmuan para penegak hukum atau hakim. Demi usaha peningkatan keilmuan ini perlu diupayakan para hakim memiliki jenjang pendidikan s2 dan s3. Memang tidak diragukan kualitas para hakim dalam menerapkan hukum secara praktik tetapi perlu keseimbangan antara teori dan praktik yang mereka pikul selama ini. Kemampuan berpikir teoritis hanya didapatkan dari jenjang pendidikan yang tinggi yaitu s2 dan s3. Dengan jenjang pendidikan hukum yang tinggi maka hakim akan menemukan putusan yang matang karena mampu menimbang segala aspek yaitu aspek yuridis, aspek sosiologis, dan aspek filosofis.25 2). Peningkatan Kesadaran Peran dan Tanggung Jawab Lembaga pengadilan, seperti halnya lembaga-lembaga lainnya tidak lepas dari peranan dan tanggung jawab. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa peranan atau rule merupakan hak-hak dan kewajiban.26 Pengadilan cenderung lebih memerhatikan dan melaksanakan peran-peran yuridis dengan mengabaikan peran22
Ibid. Ibid 24 Ibid 25 Ibid. 26 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 23
1983, hlm 11
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
peran yang non yuridis. Bergesernya posisi lembaga pengadilan ke posisi pinggiran tidak lain karena lembaga pengadilan hanya terikat dan membatasi diri pada peranan yuridis tanpa memerhatikan peranan-peranan lainnya. Disinilah pentingnya meningkatkan kesadaran lembaga pengadilan terhadap peranan-peranan yang ada. Peranan-peranan non yuridis harus benar-benar disadari sebab peranan-peranan tersebut bukan tanpa dasar, melainkan isyarat langsung dari konstitusi.27 Adanya peranan yuridis maupun peranan non yuridis, lembaga pengadilan dituntut memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Jika peranannya itu bersifat yuridis dan non yuridis, tanggung jawab pengadilannpun ada yang berupa tanggung jawab yuridis dan non yuridis. Tanggung jawab yuridis berarti pengadilan harus mengupayakan agar aturan-aturan hukum ditegakkan dan diterapkan dalam dunia nyata. Aktivitas lembaga pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya melendingkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih absrak karena dengan bekerjanya lembaga pengadilan itu, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaiana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang notabene bersifat abstrak.28 3). Peningkatan Kemandirian Lembaga Sesuai dengan sistem hukum kita, lembaga pengadilan ditempatkan sebagai badan yang mandiri terlepas dari kekuasaan manapun. Kebebasan yang dimiliki lembaga pengadilan tidak lain merupakan suatu kemandirian yang sangat diperlukan karena selain sistem menunjukkan bahwa Negara ini adalah rechstaat juga menunjukkan akan adanya jaminan terselenggaranya peradilan yang independen guna menegakkan hukum yang berintikan keadilan.29 Dalam kenyataannya kemandirian lembaga pengadilan ini terkadang dicampuri oleh kekuasaan lain, seperti disebutkan oleh Sri Soemantri dalam makalahnya bahwa …..”terjadi kasus-kasus yang menunjukkan adanya pengaruh ekstrayudisial terhadap kekuasaan kehakiman. Contoh-contoh yang sempat menimbulkan perbincangan dalam masyarakat adalah kasus Marsinah dan kasus Jayapura.30 Salah satu usaha yang dapat dipikirkan guna meninkatkan kemandirian atau kebebasan lembaga peradilan adalah dengan memperluas makna kemandirian/kebebasan itu sendiri. 27
Rusli Muhammad, Op. Cit, hlm 198 Ibid. 29 Ibid. 30 Sri soemantri, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman sebagai Prasyarat Negara Hukum Indonesia. Makalah seminar 50 tahun kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, FH UGM Yoyakarta, 26 Agustus 1995 hlm 14, Dalam Rusli Muhammad, Ibid. 28
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
4). Perbaikan Moral Komponen Pengadilan (hakim) Timbulnya kesadaran akan adanya tanggung jawab sangat tergantung kepada baik buruknya moral (akhlak) yang dimilikinya. Ketika moral baik, maka kesadaran terhadap tanggung jawab akan baik pula. Sebaliknya jika moral buruk akan berakibat kualitas tanggung jawabnya akan rendah pula. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab itu sangat penting untuk mengaitkannya dengan moral.31 Langkah perbaikan moralitas komponen pengadilan sudah saatnya harus dilakukan dan ditegakkan mengigat moral para penegak hukum pada umumnya dapat dikatakan rendah.32 Rendahnya moralitas inilah yang memengaruhi kinerja pengadilan sehingga sulit menjalankan peran yang dimilkinya. Tidak dapat disangkal bahwa kecenderungan melakukan sesuatu perbuatan baik dan buruk tergantung pada landasan moral atau akhlaq masingmasing. Jika akhlaq termasuk akhlaq mahmudah33 maka perbuatan yang dilakukan berakibat baik, sebaliknya jika akhlaqnya termasuk akhlaq madzmumah maka perbuatannya akan membuahkan keburukan, kenistaan, dan kerusakan. Persoalannya adalah langkah apa yang dapat dilakukan agar moral mahmudah menjadi bagian dari kehidupan hakim pengadilan?. Langkahnya tidak sukar untuk dapat menghasilkan akhlaq mahmudah, karena cukup dengan memperbanyak kesempatan untuk dapat mengetahui ajaran-ajaran agama dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.34 B. Perubahan Nilai Hukum Adat Yang DiAnut Oleh Masyarakat Bugis-Makassar. Dalam budaya siri‟ terkandung budaya hukum. Hal ini dapat ditemukan karena tiga aspek perilaku sosial yang mendasarinya.35Pertama, aspek idealita yang implementasinya berwujud berupa hukum adat serta harkat dan martabat. Inilah yang banyak dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Pancasila menyebutnya kemanusiaan yang adil dan beradab. Aspek idealita menurut Soeharjo, Ss adalah suasana bathiniah cultural yang dapat diterima oleh akal sehat, hendak mewujudkan pranata-pranata susila cultural tersebut.36 Budaya siri‟ merupakan bagian dari suasana bathinia kultural yang dapat diterima oleh 31
Rusli Muhammad, Op. Cit, hlm 202 Ibid 33 Akhlaq Mahudah disebut juga akhlaq Karimah, yaitu akhlak yang terpuji atau akhlak mulia dan sangat besar artinya bagi kehidupan manusia, hingga wajib untuk dimiliki dan dijadikan hiasan hidup karena hanya dengan akhlak yang terpuji inilah manusia akan dapat mempertahankan martabatnya selaku makhluk yang bagus (lih Mustafa Kamal dan Chusnan Jusuf, Akhlak Sunnah II, 1978 hlm 16) Ibid 34 Ibid. 35 Kamri Ahmad, Budaya Siri’ Bugis-Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Tesis Magister Ilmuilmu Hukum UDIP, Semarang, 1997, hlm 3 32
36
Ibid.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
akal sehat. Bahkan sudah membentuk pola dalam kehidupan etnis BugisMakassar. Kedua, aspek integral dengan kesejahteraan sosial yang dalam budaya siri‟ disebut pacce atau pecce (ibah, mengasiani), artinya orang BugisMakassar dengan modal siri‟ menjadikan diriya menjunjung tinggi kehidupan sosial. Ketiga, aspek nilai-nilai budaya siri‟ yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak dalam budaya siri‟ adalah menimang dan mempertahankan harga diri atas penghinaan orang lain sebagai seorang manusia. Nilai dalam hukum/budaya siri‟ tercermin dalam pembagian siri‟ itu sendiri. Siri‟ dibagi dalam empat kategori, yaitu: 1). Ni paka siri‟ yaitu seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya harus menegakkan siri'nya (appaenteng siri‟) untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas. Jika tidak, ia akan disebut "mate siri" atau kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia di mata masyarakat. Bagi orang Bugis dan Makassar, tujuan atau alasan hidup yang tertinggi tidak lain adalah menjaga siri'nya. Mereka lebih memilih mati dari pada hidup tanpa siri'. Mati karena mempertahankan siri' biasa disebut "mate nigollai, mate nisantangngi" yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri. (2). Masiri'(Bugis)/Appaenteng Siri‟(Makassar) adalah pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri' itu sendiri. Konsep inilah yang melahirkan sebuah semboyan “Takunjungang bangung turu‟, nakugunciri‟ gulingku, kualleangnga…,tallanga natoalia”. (Jika layar telah terkembang, kemudi telah terpasang, kupilih tenggelam…, daripada mundur surut ke haluan). Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat BugisMakassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan.37 Siri' na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Siri' dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siri'nu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri‟mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila siri'na pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.38 Siri' adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.39 37
http://bahasamakassarlengkap.blogspot.com/2013/07/siri-na-pacce_11.html
38
http://id.zulkarnainazis.com/2013/03/siri-nilai-diri-orang-bugis-makassar_18.html
39
Ibid.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Telah lama orang-orang Bugis-Makassar memegang teguh Siri‟ (rasa malu / harga diri). Bahkan Siri‟ sudah merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan. Menjadi inspirasi dari setiap gerak langkah orang-orang Bugis-Makassar kapan dan di manapun dia berada. Sebagai inti kebudayaan, Siri‟ jelas tampak dalam karakter dan
kepribadian orang-orang Bugis-Makassar. Meski begitu, ada kecenderungan Siri‟ mengalami penyempitan makna dan makin kabur aplikasinya di tengah masyarakat sendiri. Akibatnya, Siri‟ kadang terlupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik. Kondisi ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi, mengapa? Karena Siri‟ hanya diidentikkan dengan pertumpahan darah. Siri‟ dalam konteks ini tampaknya baru berlaku ketika seseorang sudah menganggap dirinya dipermalukan. Padahal sesungguhnya, dengan berlaku baik–paling tidak–bisa menghindari kelakuan yang oleh masyarakat dipandang buruk, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, juga merupakan implementasi Siri‟ sebagai perlambang tegaknya sebuah harga diri. Harga diri sebagai orang-orang Sulawesi Selatan. Sebab, hanya disebut manusia jika seseorang memiliki Siri‟.40 Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang matesiri‟-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.41 Dengan memahami makna dari siri‟ dan pacce‟, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep siri‟ dan pacce‟ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat).42 Siri‟ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri‟ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri‟ na Pesse‟ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri‟nya atau De‟ni gaga Siri‟na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo‟ kolo‟e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri‟mi Narituo ( karena malu kita hidup ).43 Siri‟ merupakan penjabaran dari etika yang dipahami dalam kehidupan Bugis-Makassar. Etika dapat dipahami sebagai pernyataan rasional yang berkaitan dengan esensi dan dasar perbuatan, keputusan yang benar, prinsip40
http://portalbugis.wordpress.com/about-m/manusia-bugis-rantau-budayanya/siri-bugis-makassar/ http://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-paccedimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/ 42 Ibid. 41
43
Ibid.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
prinsip yang mendasari klaim bahwa hal-hal tersebut secara moral terpuji atau tercela. Siri‟ ditempatkan pada posisi etika. Etika senantiasa menempatkan penekanan pada batasan-batasan konsep etika serta pembenaran atau penilaian terhadap keputusan-keputusan moral, sebagaimana pembedaan antara yang benar atau yang salah berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dibuatnya.44 Dalam kehidupan sehari-hari, ketika peradilan rakyat masih diakui, maka nilai etis siri‟ masih dominan menjiwai perilaku kehidupan Bugis-Makassar. Tiap perilaku selalu disandingkan dengan falsafah siri‟ tersebut, sehingga masyarakat sangat berhati-hati melakukan perbuatan yang bertentangan siri‟ tersebut. Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral. Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian nilai baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia dan moral adalah praktiknya.45 Perubahan nilai hukum adat suatu masyarakat dapat dijelaskan melalui teoriteori perubahan sosial. Menurut Lauer46, secara umum perubahan sosial dapat dibedakan dalam dua (2) teori sebagai berikut: a. Teori Siklus teori siklus melihat perubahan merupakan sesuatu yang berulang-ulang, tidak direncanakan atau diarahkan ke titik tertentu. Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitive, tradisional dan modern tidak jelas. b. Teori Linier atau Teori Perkembangan. Perubahan sosial budaya bersifat linier atau berkembang menuju titik tertentu, dapat direncanakan atau diarahkan. Beberapa tokoh sosiolog mengemukakan teori linier, antara lain: 1. Emile Durkeim: masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik ke solidaritas organic. 2. Max Weber: masyarakat berubah secara linier dari masyarakat dari masyarakat yang diliputi oleh pemikiran mistik dan penuh tahayyul menuju masyarakat yang rasional 3. Herbert Spencer: mengembangkan teori Darwin, bahwa orang-orang yang cakap yang akan memenangkan perjuangan hidup. Ketiga tokoh di atas menggambarkan bahwa setiap masyarakat berkembang melalui tahapan yang pasti. Teori linier dapat dibedakan lagi sebagai berikutt:47 1. Teori Evolusi. Perubahan sosial budaya berlangsung sangat lambat dalam jangka waktu lama. Perubahan sosial budaya dari masyarakat priitif, tradisional dan bersahaja menuju 44
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, Pustaka Setia, Bandung,2011, hlm 21 Ibid. 46 http://hukum-dan-lainnya.blogspot.com/2012/11/teori-teori-dalam-perubahan-sosial.html 47 Ibid 45
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
masyarakat modern yang kompleks dan maju secara bertahap. Comte mengemukakan perkembangan masyarakat mengikuti perkembangan cara berfikir masyarakat tersebut yaitu tahap teologi, tahap metfisis dan tahap ilmiah (positif) sedangkan Lenski berpendapat bahwa masyarakat berubah dari pra industry, industri dan pasca industri. 2. Teori Revolusi. Perubahan sosial menurut teori revolusi adalah perubahan sosial budaya berlangsung secara drastic atau cepat yang mengarah pada sendi utama kehidupan masyarakat (termasuk lembaga kemasyarakatan). Karl Marx berpendapat bahwa masyarakat berkembang secara linier dan bersifat revolusioner, dari yang bercorak feudal lalu berubah revolusioner menjadi masyarakat kapitalis kemudian berubah menjadi masyarakat sosialis-komunis yang merupakan puncak perkembangan masyarakat. III. Kesimpulan A. Peranan Unifikasi Peradilan Terhadap Eksistensi Living Law “ siri‟ “ pada Kehidupan Adat Bugis-Makassar Mengacu pada pendapat soerjono Soekonto bahwa peranan berkaitan dengan kedudukan atau status. Dalam hal ini peranan unifikasi peradilan terhadap eksistensi hukum siri‟ pada kehidupan adat Bugis-Makassar dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Unifikasi peradilan merupakan perwujudan dari supremasi hukum dalam kehidupan Negara hukum. Untuk mempertahankan doktrin ini maka unifikasi peradilan diselenggarakan oleh Negara, jadi kedudukan unfikasi peradilan disini adalah supreme atau tertinggi. 2. Kedudukan supreme ini terimplementasi dalam upaya-upaya Negara hukum melalui jalan melakukan restrukturisasi pengadilan, reformasi perundang-undangan, dan revitalisasi pengadilan melalui peningkatan kualitas Teoritis, peningkatan kesadaran peran dan tanggung jawab,peningkatan kemandirian lembaga dan perbaikan moral komponen pengadilan (hakim). 3. Peranan unifikasi peradilan selain memberikan efek positif tetapi disisi lain membawa pula efek negatif yaitu pemusnahan kearifan local yang seharusnya tidak terjadi karena kearifan lokal atau adat „‟Siri‟ „‟ mampu membangun karakter bangsa yang berakhlak terpuji dan bermartabat. B.
Perubahan Nilai Hukum Adat Yang Dianut Dalam Adat Bugis-Makassar, Sebagai Implikasi Unifikasi Peradilan. Dari paparan pembahasan penulis mengambil kesimpulan bahwa terdapat perubahan hukum adat yang dianut oleh masyarakat Bugis-Makassar sebagai berikut : 1. Budaya siri‟ merupakan bagian dari suasana bathinia kultural yang dapat diterima oleh akal sehat. Bahkan sudah membentuk pola dalam kehidupan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
etnis Bugis-Makassar. Dengan adanya unifikasi peradilan, maka siri‟ lambat laun menipis sebagai bagian dari suasana bathinia kultural yang tidak lagi membentuk pola perilaku, bahkan sebagian generasi muda menganggap ini sebagai hukum yang sudah ketinggalan jaman. 2. Siri' adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Unifikasi peradilan yang menghapuskan peradilan rakyat telah menggeser walaupun belum menghapus keseluruhan nilai yang terkandung di dalamnya tetapi telah melemahkan nilai-nilai tersebut. Lemahnya nilai-nilai tersebut membuka peluang penyakit masyarakat yang tidak dapat ditumpas seperti pelacuran baik terselubung atau pun tidak.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Daftar Pustaka Muhammad Alfan. 2011. Filsafat Etika Islam, bandung: Pustaka Setia. Rusli Muhammad. 2006. Poteret Lembaga Pengadilan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Rusli Muhammad.2010. Kemandirian Pengadilan Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press. Rusli Muhammad.2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia. Yogyakarta: UII PRESS Satjipto Rahardjo. 2009.Hukum Dan Perilaku Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik. Jakarta: Kompas Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Press. . 1999, Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soetandyo Wignjosobroto.2008.Hukum dalam Masyarakat perkembangan dan Masalah sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Bandung: Bayumedia Publishing. Fence M. Wantu.2011 Peranan hakim Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata, 2011, Disertasi, FakultasHukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kamri Ahmad, Budaya Siri‟ Bugis-Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Tesis Magister Ilmu-ilmu Hukum UDIP, Semarang, 1997. Wikipedia, Hukum Adat. http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_adat Departemen Pendidikan nasional, 2002, Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka https://id.answers.yahoo.com/qustion/index?qid=20110107234854AAyZ5HD Imbasadi, Makna Siri‟ na Pacce di Masyarakat Bugis-Makassar. 3 Desember 2012. http://imbasadi.wordpress.com . Diakses pada tanggal 04 Mei 2014. http://bahasamakassarlengkap.blogspot.com/2013/07/siri-na-pacce_11.html http://id.zulkarnainazis.com/2013/03/siri-nilai-diri-orang-bugis-makassar_18.html http://portalbugis.wordpress.com/about-m/manusia-bugis-rantau-budayanya/siribugis-makassar/ http://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-napacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/