KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BENTENG KARAKTER BANGSA: STUDI KASUS TRADISI PERNIKAHAN ADAT JAWA ALA KADIPATEN PAKUALAMAN - YOGYAKARTA Kafa Abdallah K Pinurba Parama P
Mahasiswa Falkutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta
Abstrak Tradisi adat Jawa yang disebut-sebut sebagai salah satu suku yang kental dengan nuansa kebudayaan dan tradisi adatnya pun perlahan-lahan mulai ikut tergeser seiring berkembangnya zaman. Budaya asli yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika sudah semakin diabaikan, terutama oleh pemuda pada saat ini. Penggerusan karakter ini turut pula menimbulkan krisis identitas yang berujung pada disorientasi bangsa dalam menatap masa depan. Kembali kepada nilai-nilai luhur dan budaya asli merupakan satusatunya jalan dalam mengembalikan identitas dari kondisi kritis tersebut. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang sudah diperoleh, kemudian diolah dan menggunakan teknik penarikan simpulan secara induktif. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan sekaligus rekomendasi. Pertama, harus adanya pembelajaran falsafah Jawa yang dalam hal ini tradisi pernikahan adat Jawa ala Kadipaten Pakualaman. Kedua, harus adanya modul pelatihan dalam program pelatihan. Kata kunci: falsafah Jawa, pelatihan, pengembangan karakter, d a n t radisi pernikahan
A. Pendahuluan Perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini telah membuka jalan terhadap kemunculan suatu budaya global baru. Kecepatan penyampaian informasi telah membawa masuknya budaya global baru beserta nilai-nilainya dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Masuknya nilai-nilai global tersebut dalam masyarakat justru menggeser keberadaan nilai kultural lokal yang menjadi indegenous identity suatu masyarakat (Safri, 2011: 302). Nilai-nilai global inilah yang sering disebut sebagai budaya modern, seperti kosmoplitan, hedonisme, dan individualisme.
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
Francis Fukuyama (2005) menegaskan bahwa telah terjadi suatu pergeseran budaya pada masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya kemerosotan (degradasi) moral. Hal ini ditandai dengan meningkatnya fenomena angka melahirkan pasangan di luar nikah dan kondisi ini jelas menunjukkan bahwa lunturnya semangat moral dalam budaya yang berkembang menciptakan suatu degradasi karakter bangsa, khususnya pada pemuda. Pemuda saat ini cenderung menyukai akan keberadaan budaya luar daripada budaya lokal sendiri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sikap pemuda yang mulai kehilangan asas 51
kebersamaan dan sopan santun. Mereka lebih mengedepankan individualitas dibanding kolektivitas. Selain itu, kaum muda saat ini juga sudah mulai digandrungi gaya hidup yang cenderung berada pada sikap hedonisme. Maraknya acara pesta seks beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu contoh tentang degradasi moral dalam pribadi pemuda. Terlepas acara tersebut hoax ataupun benar-benar ada, tetapi hal itu merupakan indikasi bahwa pemuda saat ini lebih menyukai gaya hidup glamour dan liar. Terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam masyarakat turut juga berimplikasi pada keberadaan adat Jawa sebagai budaya lokal. Masyarakat Indonesia, terutama suku Jawa sendiri lambat laun mulai meninggalkan tradisitradisi lokal dalam setiap aktivitas mereka sehingga semakin melemahkan pentingnya nilai-nilai luhur budaya Jawa. Lunturnya nilai-nilai luhur dalam budaya Jawa semakin menguatkan indikasi bahwa pemuda pada saat ini tengah mengalami krisis karakter bangsa. Tidak ada – setidaknya sedikit – pemuda yang secara serius berupaya melestarikan adat budaya Jawa berdampak langsung pada pemahaman pemuda dalam memaknai dan menghayati nilai-nilai di balik setiap kegiatan adat Jawa. Berangkat dari asumsi tersebut, penulis bermaksud membahas pentingnya pemahaman secara lebih mendalam bagi pemuda terhadap nilainilai luhur budaya Jawa dalam kaitannya dengan tradisi pernikahan adat Jawa ala Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta. Guna menunjang tujuan tersebut, maka dibutuhkan suatu bentuk pelatihan bagi pemuda untuk memahami secara mendalam mengenai falsafah Jawa yang terkandung dalam setiap rangkaian tradisi pernikahan adat Jawa ala Kadipaten Pakualaman serta diharapkan dapat 52
mengimplementasikan falsafah Jawanya dalam tataran praktis. B. Metode Penelitian Dalam merangkum gagasan ini, penulis menggunakan metode penelitian secara kualitatif. Pada pengertiannya, penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik mengenai kata-kata lisan maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Sugiyono, 2009). Sebagai suatu bentuk penelitian yang bertumpu pada data non-statistik, kemudian dilakukan teknik pengumpulan data secara primer dan sekunder yang relevan. Untuk mengumpulkan data secara primer, penulis menggunakan teknik pengambilan sampel data yang bersifat purposive sampling. Purposive sampling adalah suatu pemilihan subjek yang akan dijadikan data berdasarkan posisi yang dinilai mampu memberikan informasi yang dibutuhkan secara mendalam (Silalahi, 2010). Kemudian dalam pengambilan data sekunder, penulis bertumpu pada data literatur yang relevan dan menunjang pada pembahasan gagasan. Dari sejumlah data yang terhimpun, maka selanjutnya dilakukan pengolahan serta analisa data yang menjadi pendukung utama gagasan penulisan ini. Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara induktif. C. Pembahasan Tradisi Pernikahan Kadipaten Pakualaman Octaviana dan Prastiti (2014) menjelaskan bahwa upacara adat adalah suatu warisan leluhur sebagai usaha manusia yang dapat berhubungan dengan arwah para leluhur. Dalam upacara
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
pernikahan adat Jawa, secara langsung tidak ditujukan tentang manusia yang ingin berhubungan dengan arwah leluhur. Namun, bila ditelaah kembali keberadaan nilai-nilai dalam setiap simbol upacara pernikahan tersebut, merupakan suatu usaha manusia ingin agar petuah-petuah moral leluhur mampu dikomunikasikan melalui makna simbol dalam setiap rangkaiannya. Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, Kadipaten Pakualaman memiliki tradisi pernikahan yang khas. Dalam pembagiannya, setidaknya terdapat dua model adat pernikahan Jawa, yaitu adat Solo dan adat Yogyakarta (Rohman, 2015). Dalam perkembangannya, Kadipaten Pakualaman merupakan bagian dari adat pernikahan khas Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari faktor historis perkembangan Kadipaten Pakualaman yang muncul setelah Kasultanan Yogyakarta sendiri. Dalam tradisi pernikahan adat Jawa di Kadipaten Pakualaman, terdapat tatacara yang kurang lebih sama dengan adat pernikahan Jawa pada umumnya. Suryodilugo (2011) menjelaskan bahwa t ata cara pernikahan tersebut sebagai berikut. 1. Pinangan, yaitu berupa prosesi lamaran dan penetuan hari perkawinan. 2. Pasang Bleketepe dan Tarub, bleketepe merupakan anyaman pelepah daun kelapa yang dimaksudkan untuk mengusir roh jahat dan sebagai tanda bahwa pesta pernikahan diselenggarakan di tempat tersebut. Kemudian, dilaksanakan pemasangan tarub. 3. Siraman, upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan calon pengantin, baik dari segi lahir maupun batin. Kemudian, dilanjutkan dengan upacara ngerik. ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
4. Midodareni, rangkaian upacara ini dilaksanakan pada malam hari sebelum acara ijab-kabul atau akad nikah dan panggih dilaksanakan. 5. Nyantri, yaitu rangkaian setelah upacara midodareni. Mempelai pria tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan calon pengantin wanita. 6. Ijab kabul atau akad nikah. 7. Panggih, diawali dengan penyerahan pisang sanggan dari keluarga pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita, dilanjutkan dengan pertukaran kembar mayang. Kemudian, setelah itu diikuti acara balangan suruh, wiji dadi, dan timbangan. Setelah itu, panggih ditutup dengan acara sungkeman kepada kedua orang tua mempelai. 8. Colokan, merupakan upacara yang dilakukan di nguleng (sentong tengah ndalem ageng). Kedua pengantin tiduran di sentong tanpa penerangan. Pada saat itu, eyang putri yang paling sepuh membawa lilin mengitari kedua pengantin yang berada di tempat. Setelah itu, kedua pengantin meminum jamu yang terbuat dari buah delima. 9. Ngundhuh mantu, upacara ini merupakan upacara resepsi pernikahan yang diselenggarakan oleh keluarga pihak laki-laki. Peranan Falsafah Jawa dalam Urgensi Benteng Karakter Bangsa Kartadinata (2016) menegaskan bahwa karakter bangsa bukanlah suatu agregasi dari karakter individu, tetapi suatu bentuk ekspresi karakter bersama suatu bangsa. Dalam perkembangan karakter bangsa Indonesia, yang dimaksud sebagai karakter adalah akumulasi dari karakter yang beragam dan menampilkan rasa kebangsaan dalam konteks kultur tersebut. Karakter
53
bangsa juga membutuhkan suatu perekat kulutural yang di antaranya kesadaran kultural dan kecerdasan kultural. Sebagai bentuk akumulatif dari sekian banyak karakter yang beragam, karakter bangsa haruslah mencerminkan nilai-nilai yang juga beragam menjadi suatu dasar dalam perkembangan moral bangsa. Dalam pembentukan suatu karakter, maka haruslah dimulai dari keinginan untuk melakukan serta mengetahui akan hal yang baik supaya dapat menjadi kebiasaan, baik di dalam hati, pikiran, maupun perilaku (Suyitno, 2012). Selaras dengan hal ini, Dharmawan (2014) menegaskan bahwa pendidikan karakter tidaklah hanya berfokus pada pemahaman, diskusi, dan mempelajari, tetapi juga tentang nilai karakter tersebut mampu masuk dalam setiap tindakan praktis setiap individu. Penciptaan suatu pembentukan dan pendidikan karakter bangsa memerlukan kondisi lingkungan yang mendukung. Tidak hanya berbasis pada kompetensi lingkungan tersebut, tetapi juga terlait dengan lingkungan yang memiliki komitmen secara afektif dalam upaya penciptaan karakter bangsa. Dalam pandangan Suratno dan Astiyanto (2009), pentingnya kearifan lokal dalam pembangunan karakter bangsa terdiri atas empat dasar argumen. Pertama, munculnya pandangan negatif oleh karena pemaknaan sempit suatu kearifan lokal. Kedua, semakin lemahnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya. Ketiga, munculnya pandangan bahwa budaya luar lebih sesuai dengan realitas modern saat ini. Keempat, masyarakat haruslah mampu memahami secara utuh nilai-nilai moral sebagai suatu kodrat dan jati diri dasar. Sebagai salah satu sumber dari kearifan lokal, kebudayaan Jawa pada umumnya memiliki pemaknaan yang sangat dalam pada setiap makna yang 54
terkandung pada kegiatannya. Tidak terkecuali pada tradisi pernikahan Jawa. Jika dilihat kembali sebelumnya, tradisi pernikahan adat Jawa, khususnya yang dilakukan Kadipaten Pakualaman sangatlah sarat akan muatan nilai-nilai moral. Dalam hubungannya dengan pembangunan karakter pemuda, dapat dilihat dari tiga contoh filosofi yang terdapat pada rangkaian pernikahan adat Jawa di Kadipaten Pakualaman. Pertama, adalah makna dari pohon pisang raja berbuah sebagai perlengkapan tarub. Pohon pisang raja berbuah dimaknai sebagai pria yang menikah kelak akan menjadi pemimpin keluarga. Secara sederhana, pemaknaan ini dapat diartikan bahwa seorang pria harus siap dan mampu untuk menjadi kepala keluarga. Hal ini yang menjadi harapan bahwa pria, khususnya pemuda mampu bertanggungjawab dan mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat kelak. Hal ini mejadi ironi ketika faktanya bahwa pemuda atau pria sudah mulai kehilangan sikap tanggungjawab. Maraknya pernikahan dini dan budaya pacaran yang tidak sehat menjadikan pasangan muda saat ini hanya terbuai oleh perasaan kasih tanpa berpikir pada kesiapan untuk membangun keluarga. Hal ini semakin nampak ketika budaya pergaulan bebas memberi efek pada timbulnya kehamilan di luar nikah, banyak pemuda tidak mau bertanggunjawab dan bahkan berani mengambil tindakan aborsi. Kedua, dapat dilihat dari makna dalam siraman. Upacara siraman secara moral memberi arti bahwa manusia pada hakikatnya senantiasa untuk membersihkan diri. Dalam melakukan pembersihan ini, maka salah satu jalannya adalah melalui proses introspeksi diri. Hal inilah yang jarang ditemui dalam diri pemuda. Pada perkembanganya, ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
pemuda saat ini cenderung keras kepala dan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Pada dasarnya, sikap keras kepala tidak terlalu begitu merusak, tetapi ketika diletakkan pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, justru menjadikan sikap pemuda yang susah diatur dan tidak tahu diri. Contoh yang paling sederhana ketika publik dihebohkan dengan perusak taman bunga di daerah Patuk, Yogyakarta. Mereka yang merusak ketika diingatkan, justru semakin nglunjak dan bahkan membenarkan tindakan mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka tidak mampu introspeksi diri dan melihat akan akibat dari tingkah laku mereka. Ketiga, makna dari tradisi sungkeman dalam rangkaian upacara panggih. Sungkeman kepada orang tua memperlihatkan bahwa seorang pemuda atau seorang anak haruslah menghormati dan menghargai orangtuanya atau yang lebih tua daripadanya. Nilai inilah yang sekarang sudah mulai luntur dalam perkembangannya. Orang tua pada saat ini sering dinilai kolot dan susah dimengerti oleh sebagian kaum muda. Pemuda lambat laun sudah mulai tidak menghargai orang tua dan bahkan cenderung menjadi tokoh malin dalam cerita malin kundang. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kasus anak yang menuntut lebih dan bahkan merendahkan orang tuanya hanya untuk prestise atau gengsi belaka. Mereka sudah tidak menunjukan suatu sikap hormat kepada orang tua yang telah menafkahi dan merawat mereka sejak kecil. Modul Pelatihan sebagai Upaya Menyongsong Indonesia Emas 2045 Lunturnya nilai-nilai karakter bangsa dalam masyarakat, khususnya pemuda, mengharuskan adanya suatu upaya perbaikan dan pencegahan. Dengan demikian, sangat diperlukan suatu ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
modul pembelajaran yang berisi program pelatihan dalam rangka mewujudkan ketahanan dan upaya perbaikan kondisi. Dalam pembentukan modul tersebut, terdapat empat inti utama pembelajaran yang perlu ditanamkan dalam generasi muda. Pertama, pengenalan dan penjelasan tahapan-tahapan pernikahan beserta filosofinya. Dalam inti pokok ini, pemuda haruslah dikenalkan akan rangkaian prosesi tradisi pernikahan adat Jawa ala Kadipaten Pakualaman beserta makna yang terkandung. Tujuan pembelajaran tersebut guna membentuk pemuda yang mampu memahami tahapan pernikahan beserta filosofi di dalamnya. Kedua, penjelasan sarana dan prasarana dalam rangkaiannya beserta filosofinya. Hal ini bertujuan untuk membentuk pemuda yang mampu memahami dan mengetahui sarana dan prasarana yang digunakan serta makna filosofinya. Ketiga, praktik dan simulasi rangkaian upacara pernikahan. Pada bagian ini, pemuda tidak hanya mampu memahami secara konteks pembelajaran, tetapi juga dapat memahaminya secara praktis. Dari pembelajaran ini, maka diharapkan dapat menciptakan pemuda yang tidak hanya mengerti dan mampu merealisasikan nilai yang terkandung, tetapi juga mampu melestarikannya. Keempat, proses evaluasi. Pelatihan ini diharapkan mampu membantu peserta untuk lebih memahami tahapantahapan dan filosofisnya dalam tradisi pernikahan adat Jawa ala Pakualaman serta dapat mengimplementasikan tradisi pernikahan adat Jawa ala pakualaman ini pada pernikahannya nanti dan nilainilai filosofisnya pada kehidupan seharihari. Pelatihan semacam ini harus dilaksanakan secara terus-menerus, baik 55
melalui pelatihan yang sama maupun melalui berbagai variasi pelatihan lainnya, agar nantinya lebih banyak lagi orang yang memahami secara detail tradisi pernikahan ini dan jangka panjangnya kebudayaan asli Nusantara tidaklah tergeser oleh kebudayaan lainnya terutama dalam menghadapi perubahan yang akan muncul ketika Indonesia memasuki masa emas tahun 2045. Falsafah Jawa dan Pendidikan Indonesia Pada perkembangannya, sistem pendidikan Indonesia masih kurang mampu mencetak produk karakter bangsa yang memberi kontribusi kepada pembangunan Indonesia Emas 2045. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardianto (2016) bahwa output pendidikan Indonesia belum mampu memberi produk yang betul-betul berkualitas. Pendidikan Pancasila, agama, dan budi pekerti di Indonesia belum memberi pemimpin bangsa yang mampu bersih dari permasalahan moral bangsa, seperti KKN dan penghargaan hak asasi manusia. Dalam praktiknya, pendidikan Indonesia melalui muatan lokal belum mampu memberi penambahan kualitas moral masyarakat. Pendidikan muatan lokal budaya Jawa dapat dilihat dari keberadaan mata pelajaran bahasa Jawa. Secara umum, pendidikan muatan lokal bahasa Jawa telah mencantumkan muatan falsafah Jawa dalam kurikulumnya, tetapi yang muncul dalam praktiknya kurang mampu memberi kontribusi dalam pengembangan karakter. Orientasi kegiatan belajar mengajar yang masih berkutat pada nilai dan proses, menjadikan pendidikan muatan lokal sebagai pemanis belaka dalam rapor siswa. Konsep pendidikan pada kurikulum 2013, pada intinya sudah 56
menjadi momentum dalam starting pendidikan karakter di Indonesia. Akan tetapi, kembali lagi dalam realitanya muncul pandangan kontra yang menilai kurikulum 2013 memberatkan siswa dan justru menjadikan guru malas mengajar. Untuk mencetak suatu karakter manusia yang mampu berperan dalam pembangunan ke depannya, pendidikan haruslah mampu tidak hanya berorientasi pada nilai dan hasil, tetapi juga lebih mengutamakan proses yang kuat dalam menginternalisasikan karakter bangsa dalam setiap muatannya. Dalam studi kasus ini, pendidikan Indonesia perlu mengadopsi suatu pembelajaran falsafah dalam pernikahan adat Jawa ala Pakualaman, baik secara pembelajaran tatap muka maupun melalui kegiatan interaktif. Sebagai bentuk tatap muka, hampir sama dengan proses pada umumnya melalui ceramah oleh guru. Namun, dalam kegiatan ini lebih berfokus tentang memberi suatu pemahaman yang lebih menekankan pada nilai dari setiap prosesi dan manfaatnya dalam menjadi visi bangsa ke depannya. Guru bukanlah menjadi seorang preacher belaka, tetapi haruslah memiliki kemampuan untuk memotivasi siswanya dalam menjadi manusia berkarakter dengan memahami setiap unsur muatan lokal yang terkandung. Kemudian yang kedua, yaitu melalui metode interaktif. Metode interaktif ini sama halnya dengan sistem modul yang dijelaskan sebelumnya, yaitu menekankan pengertian secara praktis dari setiap rangkaian dalam tradisi pernikahan khas Pakualaman. Dengan demikian, tidak hanya mencetak produk bangsa yang hanya mengerti secara konseptual, tetapi juga memberi pemahaman kepada mereka dalam melakukan pelestarian budaya dan nilai-nilai yang terkandung melalui tataran praktis. ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
Selain itu, menjadi suatu catatan pula tentang cara penilaian yang muncul tidaklah dalam bentuk penilaian berbasis angka, tetapi harus merangkum penilaian secara akhlak dan potensi pribadi. Jika dilihat sebelum masuknya kurikulum 2013, pendidikan dasar Indonesia sangat terpaku pada model penilaian berbasis angka atau standar nominal. Hal ini justru mencetak siswa yang lebih berorientasi pada hasil (nilai) daripada proses dan ilmu yang ia dapat. Menjadi suatu apreasiasi pula bahwa kurikulum 2013 berusaha mengubah dengan mencantumkan penilaian kepribadian dan akhlak siswa. Terlepas dari munculnya tanggapan negatif terhadap kurikulum 2013, pendidikan karakter dalam pembelajaran di kelas juga harus mampu memberi catatan sebagai sebuah hasil yang bersifat deskriptif. Hasil ini tidaklah memberi suatu standar nilai, tetapi menjadi suatu refleksi akan perubahan dan sikap siswa setelah memahami pembelajaran falsafah Jawa. Mengubah orientasi nilai ini sangatlah perlu sebagai sarana pemacu dan refleksi siswa dalam melihat kepribadian dan karakternya. D. Penutup Tradisi pernikahan adat Jawa ala Kadipaten Pakualaman merupakan
salah satu bentuk dari kekayaan budaya Indonesia, khususnya suku Jawa. Sebagai salah satu pusat perkembangan kebudayaan Jawa, Kadipaten Pakualaman memiliki suatu tradisi pernikahan yang khas. Dalam pembagiannya, terdapat dua model adat pernikahan Jawa, yaitu adat Solo dan adat Yogyakarta. Setiap rangkaian yang termuat di dalamnya terdapat berbagai nilai-nilai luhur yang sangat berperan dalam pengembangan karakter bangsa. Akan tetapi, pentingnya pemahaman budaya asli Jawa menjadi sangat penting mengingat telah terjadi “penurunan” atau degradasi budaya akibat derasnya arus globalisasi. Lunturnya nilai-nilai karakter bangsa dalam masyarakat, khususnya pemuda, mengharuskan adanya suatu upaya perbaikan dan pencegahan. Dengan demikian, diperlukan suatu modul pembelajaran yang berisi program pelatihan dalam rangka mewujudkan ketahanan dan upaya perbaikan kondisi. Pemuda dalam hal ini diharapkan mampu melakukan usaha perbaikan keadaan dengan sekali lagi memahami, baik pada tataran praktis maupun konsep.
Daftar Pustaka Dharmawan, N.S. 2014. “Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa pada Mahasiswa Perguruan Tinggi”, disampaikan pada Pembinaan Pendidikan Karakter bagu Mahasiswa PTS di Lingkungan Kopertis Wilayah VIII. Yogyakarta. F. Fukuyama. 2005. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tatanan Sosial Baru. diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Herdianto, D. 2016. “ Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Terpadu”, dalam websitehttp://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Deni%20 Hardianto,%20M.Pd./Membangun%20Karatekter%20Bangsa%20Melalui%20 Pendid ikan%20Terpadu.pdf, diakses pada 1 Februari2016
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
57
Kartadinata, S. 2016. “Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam website http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_ BIMBINGAN/195003211974121-SUNARYO_KARTADINATA/MENCARI_ BENTUK_PENDIDIKAN_KARAKTER_BANGSA.pdf , diakses pada 1 Februari 2016. Octaviana, F. 2014. Implementasi Makna Simbolik Prosesi Pernikahan Adat Jawa Tengah Pada Pasangan Suami Istri. Skripsi sarjana. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rohman, F. 2015. Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan Yogyakarta. skripsi sarjana. Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Safri. 2011. “Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus Globalisasi”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, vol.24, no. 4, 2011, pp. 302-308. Silalahi, U. 2010. Metode Penelitian Sosial. Cetakan kedua. Bandung: PT Refika Aditama. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualtitatif, dan R&D. Cetakan kedelapan. Bandung: Alfabeta. Suratno, P dan H. Astiyanto. 2009. Gusti Ora Sare: 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Edisi Baru. Yogyakarta: Adiwacana. Suryodilugo, Atika. dkk 2011 Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyana Suyitno, I. 2012. “Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal”, Jurnal Pendidikan Karakter, vol. 2, no. 1, 2012, pp. 1-13. Wawancara: Narasumber: KPH. Bapak Kusumo Parasto dan Bapak Rimawan Sustrodirjo.
58
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58