BUDAYA “ALE RASA BETA RASA” SEBAGAI KEARIFAN BUDAYA LOKAL MALUKU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA I. H. Wenno FKIP Unpatti-Ambon (e-mail:
[email protected]; HP: 081343018564) Abstract: The Culture of “Ale Rasa Beta Rasa” as Local Cultural Wisdom in Maluku in Nation Character Building. Sociologically and culturally the concept of “ale rasa beta rasa” has a deep meaning for people of Maluku. It is more than just merely a concept because it has inspired them with a life model, a model for a social relationship among people in society, including that among individuals, ethnic groups, villages, and even religions. Its meaning and value can be used to solve conclicts and prevent social chaos that may take place in society. It can also be used to create a pro-humanity development and to establish a cooperation system among people in the government and those in soviety. It can serve as a model to increase a better human relationship in which they love one another. Keywords: ale rasa beta rasa, culture, local wisdom, character bulding
PENDAHULUAN Penggunaan paradigma baru dalam melakukan penelitian merupakan sesuatu yang pada dasarnya dapat menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru guna meningkatkan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengetahuan baru tidak hanya dapat ditemukan dengan meneliti sebanyak mungkin gejala-gejala dalam masyarakat (Ahimsa-Putera, 1999). Kuhn menyatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Menurut Masterman (Ahimsa-Putera, 1999), kelemahan teori Kuhn adalah tidak konsistensinya penggunaan istilah paradigma dengan 21 makna yang berbeda, dan tidak ada penjelasan yang rinci tentang apa yang dimaksudnya sebagai paradigma sehingga menyulit-
kan penggunaannya untuk memahami perkembangan, dan upaya pengembangan ilmu sosial-budaya. Namun di samping pandangan seperti itu. Bertolak dari konsepsi Kuhn tentang paradigma atau cara memandang suatu persoalan, maka konsepsi paradigma digunakan dalam mengkaji budaya yang berkembang di masyarakat. Dalam antropologi budaya, dinamika, dan revolusi ilmu pengetahuan berkembang cukup pesat, mulai dari bagian kedua abad ke-19 sampai abad ke-20. Hal ini ditandai dengan lahirnya aliran evolusi, difusi, fungsional-struktural, sampai munculnya aliran strukturalisme levi-strauss. Masing-masing aliran memiliki fungsi untuk menjelaskan tentang perkembangan budaya masyarakat. Dalam tulisan ini digunakan aliran strukturalisme Levi-Strauss untuk menjelaskan tentang budaya masyarakat di
85
86 Maluku, dalam bentuk bahasa “ale rasa beta rasa”. Strukturalisme Levi-Struss digunakan karena budaya “ale rasa beta rasa” berhubungan dengan bahasa sebagai gejala sosial. Bahasa “ale rasa beta rasa” di sini dilihat sebagai dasar berpikir, seperti pandangan antropolog yang dikemukakan oleh Ahimsa-Putra. Selain itu, juga merupakan bagian dari pandangan Levi-Strauss, yakni bahasa merupakan hasil dari aneka aktivitas nalar manusia (human mind), dan memiliki korelasi dengan kebudayaan yang juga merupakan produk atau hasil aktivitas nalar manusia. Dengan pandangan seperti demikian, pemikiran tentang bahasa “ale rasa beta rasa” selayaknya sebuah kebudayaan. Karena, di balik bahasa yang diungkapkan itu, terkandung makna yang mendalam, yang memberi motivasi untuk seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh de Sausssure bahwa bahasa merupakan gejala sosial yang pada dasarnya memiliki dua aspek, yakni aspek langue dan aspek parole. Aspek langue memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antarmanusia, dan dimiliki bersama sebagai sebuah fenomena kolektif, sebuah sistem, sebuah fakta sosial (dalam bahasa Emile Durkheim), atau aturan-aturan, norma-norma, antarperson (interpersonal rules and norms) yang bersifat tidak disadari, yang kemauan, dan manipulasi individual tidak mempunyai pengaruh terhadapnya. Oleh AhimsaPutera, bahasa disebutkan sebagai gejala sosial-budaya yang merupakan wujud dari suatu kerangka berpikir kolek-
tif, yang perlu diungkap isi, dan strukturnya. Sementara sesuatu yang diwujudkan ketika menggunakan suatu bahasa (langue) dalam percakapan disebut parole atau tuturan. Tuturan merupakan sisi empirik, sisi kongkrit, dari bahasa, sedangkan bahasa merupakan struktur yang tidak nampak, dan yang abstrak. Jika "ale rasa beta rasa" ditempatkan dalam kerangka parole, pada dirinya terkandung cetakan-cetakan memori peristiwa yang menjadikannya sebagai "sejarah"; yang dianggap pernah terjadi tanpa memastikan aktualitasnya di masa lampau. Inilah yang oleh Roland Barthes disebut sebagai "mitos" – mitos bukanlah kebohongan atau pengakuan, melainkan pembelokan. Agar mitos itu manjur, maka ia harus tampak sepenuhnya alami; pesan mitos tidak perlu ditafsirkan, diuraikan atau dihilangkan. Memahami "ale rasa beta rasa" sebagai mitos mesti ditempatkan dalam kerangka interpretatif budaya bahwa konsep ini bukanlah sekadar ungkapan. "Ale rasa beta rasa" lebih merupakan refleksi kesadaran sosio-historis, dan mentality yang membuka space (ruang) bagi pertemuan unsur-unsur kultural yang berkonflik; bukan hanya sekadar place (tempat). Pada "ruang" inilah “ale rasa beta rasa” menjadi titik konvergensi matra-matra kultural yang hidup, dan berkonflik. Suatu arena bagi perjumpaan, percakapan, keterbukaan, untuk menghadirkan (bukan sekadar menerima) "yang lain". "Yang lain" itu berbahaya, dan mengancam ketika belum menjadi bagian dari eksistensi "kita"; tetapi "yang lain" itu tidak ditolak. "Yang lain" itu diserap menjadi "kita", sehingga ancaman itu dijinakkan. Di situlah saya
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
87 melihat pemaknaan "ale rasa beta rasa" ketika dijewantahkan menjadi "ale senang beta senang (kamu senang saya senang) “ale susah beta susah” (kamu susah saya susah)". Bukan dalam arti konfrontatif, melainkan akomodatif, inklusi, dan bukan eksklusi. Bahwa kemudian "ale rasa beta rasa" akan didistorsi sebagai bahasa hipnotis yang meninabobohkan orang, secara tanpa sadar untuk bertindak negatif karena ekspresi “rasa” ini menjadi persoalan dalam sistem tanda (langue). Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa bahasa itu selalu berubah. Bahasa tidak berubah sesuai dengan keinginan para individu, tetapi berubah dalam waktu dengan cara yang tidak tergantung pada kehendak para penuturnya. Di situ saya melihat bahwa "ale rasa beta rasa" tidak bisa dibekukan hanya pada satu kutub di antara ekstrem "hitam" dan "putih", "negatif" dan "positif". "Ale rasa beta rasa" mesti dipahami sebagai cara-mengada-dalam-bahasa yang merepresentasikan pandangan dunia orang Maluku. “Ale rasa beta rasa merupakan kearifan lokal orang Maluku yang berbasis material, dan ideal dari dinamika masyarakat sipil, yang pada gilirannya menjadi salah satu pilar berdiri-teguhnya suatu masyarakat atau negara. Dengan landasan berpikir seperti itu, maka konsep ale rasa beta rasa sebagai sebuah pengertian budaya orang Maluku mengandung sistem makna karena mencerminkan pola pikir kolektif atau struktur nalar masyarakat Maluku. Konsep “ale rasa beta rasa” wujud dari sebuah upaya kognitif orang Maluku untuk menciptakan hubungan-
hubungan persaudaraan yang harmonis, aman, dan damai di antara orang Maluku yang melintasi segala perbedaan sosial, suku, dan agama. Bahkan, “ale rasa beta rasa” menjadi sarana rekonsiliasi bagi konflik antarorang Maluku, sehingga media-media perdamaian dapat dibangun dalam kesadaran “ale rasa beta rasa” sebagai orang bersaudara. Oleh karena itu, sesuatu yang benarbenar nyata, dan terjadi adalah adanya ruang-ruang pertemuan atau rekonsiliasi antara orang-orang di Maluku telah banyak dilakukan, dan berjalan dengan sukses dengan pendekatan budaya. Di sini, “ale rasa beta rasa” mengambil peran penting untuk mengintegrasikan masyarakat yang berbeda secara agama dalam suatu kehidupan bersama yang solid sebagai orangorang yang berbudaya di Maluku. Konsepsi “ale rasa beta rasa” inilah yang dibahas dalam tulisan ini. Penerapan Strukturalisme Levi-Strauss merupakan cara pandang yang sesuai untuk mengkaji karena dengan itu dimensi maknawi dari bahasa ale rasa beta rasa dapat diberi perhatian dalam penulisan ini. “ALE RASA BETA RASA” SEBUAH PENGERTIAN BUDAYA Ale (kamu) rasa beta (saya) rasa adalah sebuah konsep yang secara sosiologis kultural mengandung arti yang dalam bagi orang Maluku. Lebih dari sebuah konsep, “ale rasa beta rasa” telah menjadi sebuah pengertian budaya yang memberi inspirasi bagi orang Maluku tentang model sebuah kehidupan, model relasi sosial antarmanusia di dalam masyarakat, relasi-relasi lintas individual, lintas kelompok, lintas
Budaya ``Ale Rasa Beta Rasa” sebagai Kearifan Budaya Lokal Maluku
88 kampung-negeri, lintas sub etnis bahkan lintas agama. Sebagai sebuah pengertian budaya, “ale rasa beta rasa” adalah sebuah sistem makna yang memberi motivasi, dan pengertian mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu. Makna (sinn) adalah segala sesuatu yang ada pada setiap orang, yang dipahami oleh yang bersangkutan sebagai yang memberi titik tolak, isi, dan arah bagi seluruh kehidupannya. Menurut J. Ruhulessin, “ale rasa beta rasa” sebagai sebuah pengertian budaya memberi bentuk sekaligus makna terhadap tingkah laku, serta relasi-relasi antar manusia di dalam masyarakat. Siapa manusia itu dipahami melalui tingkah lakunya, dan apa yang dilakukannya. Tingkah laku yang nampak hanyalah pengungkapan luar dari sesuatu yang lebih dalam, itulah yang disebut “sistem makna”. Tingkah laku manusia yang diungkapkan secara nampak sebagai respons atas bahasa itulah, yang dalam konsep Ferdinand de Saussure disebut sebagai parole atau tuturan, sedangkan sesuatu yang lebih dalam dari bahasa yang diwujudkan dalam tindakan itulah yang disebut longue. Sebagai suatu pengertian budaya, “ale rasa beta rasa” tidak pernah statis, tetapi dinamis. Menurut Ruhulessin (2007), kedinamisan itu penting karena masyarakat terus dinamis, terbuka kepada inovasi baru, terbuka kepada tantangan baru. Dengan keterbukaan itu, masyarakat tidak saja mampu mamanfaatkan kebudayaan, tetapi juga terbuka kepada adaptasi, dan pemaknaan-pemaknaan baru. Dengan kalimat lain, keterbukaan itu memungkinkan manu-
sia mampu mencari relevansi sistem makna itu dalam perkembangan, dan kemajuan masyarakat. Pandangan di atas jika disimak dengan menggunakan konsep Ferdinand de Saussure, maka tindakan-tindakan manusia yang dinampakan sebagai wujud dari pemaknaan bahasa “ale rasa beta rasa” menunjukan pada relasi-relasi yang ada dalam suatu keadaan sinkronis tanpa mengabaikan fakta diakronis atau historis yang melatarbelakangi perkembangan masyarakat. Makna dari “ale rasa beta rasa” selalu relevan dengan tingkat kedinamisan masyarakat itu sendiri. “Ale rasa beta rasa” dapat diarahkan untuk memaknai atau mengisi relasi-relasi, dan komunikasi antarmanusia di masyarakat yang mengalami kemacetan karena intervensi-intervensi ekonomi atau politik. “ALE RASA BETA RASA” SUATU KEARIFAN BUDAYA LOKAL Ungkapan ale rasa beta rasa dapat dikatakan sebagai suatu kearifan budaya lokal yang terpelihara sepanjang sejarah kehidupan masyarakat di Maluku. Kebiasaan-kebiasaan yang saling melibatkan antara dua etnis yang berbeda, dua suku, antaragama yang berbeda atau bahkan lebih dari beberapa suku, dan agama dapat tetap terpelihara sepanjang kehidupan masyarakat. Sebagai suatu kearifan budaya lokal, kebiasaan ini tumbuh, berkembang dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, terus dijaga, dan dipelihara. Sebagai suatu sistem makna, Ruhulessin (2007) mengatakan bahwa “ale rasa beta rasa” memberi motivasi, isi sekaligus bentuk kepada tingkah-laku
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
89 manusia, dan memberi motivasi, isi sekaligus bentuk kepada relasi-relasi manusia lintas individu, lintas kelompok, lintas kampung, lintas sub etnis, lintas agama yang bersumber pada rasa, dan kesadaran senasib, sepenanggungan, solidaritas, kesetiakawanan, serta tolong-menolong. “Ale rasa beta rasa” secara konseptual mengandung arti yang sangat mendalam tentang suatu kesadaran atau tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Oleh karena itu, apa pun motif utama dari tindakan masyarakat adalah sesuatu yang mengarah pada kebahagian hidup, dan kenyamananan anggotanya. Kebahagian hidup yang tidak lain berdasar pada nilainilai kemanusiaan seperti: senasib, sepenanggungan, masohi/gotong royong, dan lain-lain. Atau dengan kata lain “ale rasa beta rasa” mengandung arti tentang kesadaran akan hidup yang saling berbela-rasa, hidup yang saling memahami, mengerti, dan menerima apa yang dirasakan oleh sesamanya. Dengan gaya hidup demikian, manusia dianggap bukan sebagai individu, tetapi warga dari sebuah kehidupan bersama. Masyarakat atau kehidupan bersama itu merupakan agen moral yang mengandung nilai moral yang paling tinggi. Dalam masyarakat ada individuindividu, ada penghargaan, dan ada kebebasan. Dari masyarakatlah individu memperoleh kekuatan mental, dan menemukan makna kemanusiaannya. “Ale rasa beta rasa” merupakan pandangan dunia orang Maluku. Dunia tempat setiap orang berinteraksi secara bebas melewati batasan dari segi status
sosial, perbedaan kaya, dan miskin, perbedaan kampung-negeri, perbedaan etnis, bahkan agama sekalipun. “Ale rasa beta rasa” memberi ruang bagi setiap orang Maluku untuk menikmati hidup selayaknya manusia sebagai makhluk sosial, dan hidup tanpa tekanan atau beban. Hidup di mana bentuk-bentuk perbedaan secara fisik dalam bentuk suku, etnis, dan agama mencair dalam suatu solidaritas bersama yang muncul melalui aktivitas saling tolong-menolong, rasa senasib, dan sepenanggungan. Jika ada pandangan yang mengatakan bahwa selain konsep “ale rasa beta rasa” yang mencirikan kehidupan orang Maluku sebagai orang bersaudara atau gandong terdapat juga idiom budaya lainnya sebagai bahasa, misalnya: sagu salempeng dipata dua, potong di kuku rasa di daging, dan lain-lain. Idiom-idiom tersebut merupakan bahagian utuh yang secara mendalam terkandung pada makna dari “ale rasa beta rasa” itu sendiri. Hal ini dikatakan demikian karena, secara rasional ketika ada suatu makanan yang dibagi bersama seperti sagu (makanan pokok orang Maluku), hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil laut atau hasil bumi lainnya, bahkan ada orang yang sakit secara fisik atau mengalami kesusahan kemudian orang yang lain seakan ada dalam keadaan yang dialami oleh sesamanya karena merasa sebagai saudara atau merupakan bagian dari sesamanya yang sakit, maka itu menampakan bahwa tindakan, dan keterlibatan orang-orang dalam kondisi-kondisi sosial seperti itu disebabkan karena adanya rasa, sehingga muncul kesadaran senasib sepenang-
Budaya ``Ale Rasa Beta Rasa” sebagai Kearifan Budaya Lokal Maluku
90 gungan, solidaritas, persaudaraan, gandong, masohi/tolong menolong, dan sebagainya. Karena begitu mendalamnya makna “ale rasa beta rasa”, maka konsep itu menjadi sesuatu yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Maluku baik masyarakat kecil maupun para pejabat pemerintahan di daerah. Menurut Ralahalu (Antara News, 2009) rasa persaudaraan yang merupakan budaya orang Maluku turun-temurun, dan sesuai filosofi "ale rasa beta rasa" yang memiliki arti senasib sepenanggungan, dan harus diteruskan kepada anak cucu. Ungkapan “ale rasa beta rasa” bukan hanya dikumandangkan pada acaraacara formal seperti itu, tetapi turut mempengaruhi dunia musik Maluku juga. Banyak syair lagu yang menyuarakan hubungan persaudaraan sebagai wujud dari makna “ale rasa beta rasa”. Syair-syair lagu tersebut adalah sebagai berikut. Gandong la mari Gandong Mari jua ale yo, beta mau bilang ale Katong dua satu Gandong Hidop ade deng kaka, sungguh manis lawang e Ale rasa beta rasa, katong dua satu gandong Gandong e, sio gandong e Mari beta gendong, beta gendog ale jua Katong dua, cuma satu gandong e Satu hati, satu jantong e
Syair lagu di atas menunjukan bahwa orang Maluku merupakan orangorang yang memiliki hubungan persaudaraan secara genealogis (sedarah). Oleh karena itu hubungan sebagai adik, dan kakak di antara sesama orang Ma-
luku yang berbeda kampung-negeri, dan agama menjadi sesuatu yang sangat erat, sangat manis, penuh kekerabatan, sebagaimana hubungan di antara orang yang ada dalam satu keluarga inti. Hidup persaudaraan itu terbangun dalam suatu rasa senasib-sepenanggungan, hidup yang saling menopang, mendukung atau tolong-menolong, hidup tanpa perbedaan, sehingga dua hati, dan dua jantung ingin dijadikan satu sebagai respons atas rasa persaudaraan. Tindakan ini terungkap pada kata dari syair di atas yakni mari beta (saya) gendong (dukung), beta (saya) gendong (dukung) ale (kamu) jua (juga), satu hati, satu jantong (jantung) e. “Ale rasa beta rasa” juga memainkan peran rekonsiliasi ketika Maluku dilanda konflik sejak tahun 1999-2004. Dalam suasana konflik, konsep “ale rasa beta rasa” dikumandangkan sebagai seruan perdamaian. Hal ini menampakkan makna “ale rasa beta rasa” berlaku sebagai rekonsiliator. Jika demikian, bagaimana dengan peran manusia dalam perdamaian Maluku. Boleh dikatakan orang-orang yang ada dalam masyarakat baik individu maupun kelompok bertindak sebagai mediator bagi jalannya perdamaian ditengah situasi konflik. Tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan untuk menciptakan perdamaian, tetapi wacana untuk membangun perdamaian saat itu adalah mengedepankan tentang konsep budaya “ale rasa beta rasa” sebagai orang bersaudara atau gandong. Mereka menginginkan agar konflik di antara sesama orang Maluku itu berakhir karena adanya rasa yang muncul sebagai orang bersaudara itu. Terlihat di sini bahwa
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
91 peran manusia berfungsi sebagai parole yang menggunakan bahasa untuk menciptakan kondisi Maluku yang aman dari konflik. Ruang-ruang rekonsiliasi yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan budaya Maluku sebagai orang bersaudara. Bentuk-bentuk kegiatan rekonsiliasi dimediasi dalam bentuk kesenian daerah, olahraga bersama yang melibatkan antar agama melalui perlombaan dengan menggunakan alat-alat olahraga yang bernuansa local genius seperti lomba kaki kuda, berjalan cepat dengan sepatu panjang dari kayu, makan patita (makan bersama) antara umat beragama dalam satu meja panjang atau meja persekutuan, dll. Selain itu, dilakukan juga penanaman nilai-nilai kearifan lokal yang menunjukan orang Maluku sebagai orang bersaudara, melalui diskusi-diskusi tentang Pela-Gandong, dan lain-lain. Selain tindakan nyata yang dilakukan bagi sebuah perdamaian, seruanseruan damai, seruan untuk orang Maluku menghentikan konflik, dan bersatu sebagai orang bersaudara dilakukan melalui media musik. Konsep “ale rasa beta rasa” sangat mewarnai kata-kata dalam lagu itu, dapat dicontohkan seperti berikut. Sioh, sioh adat orang Maluku e Ale rasa sioh beta rasa Katong samua sama-sama rasa e Jang Cuma tagal beda suku deng agama Katong jadi bakalae Sama-sama angka sumpah hidup baebae Pela-gandong lebe bae
Syair lagu di atas menunjuk pada pandangan dunia orang Maluku sebagai masyarakat beradat atau berbudaya, sebagai orang bersaudara dengan ikatan pela-gandong. Oleh karena itu perbedaan fisik dalam bentuk suku, dan agama adalah sesuatu yang jangan dijadikan objek perkelahian. Tetapi, dengan kesadaran “ale rasa beta rasa, katong samua sama-sama rasa” (saya rasa kamu rasa, kita semua sama-sama rasa), dengan kata lain, baik susah maupun senang mari kita hadapi atau tangani secara bersama sebagai orang bersaudara (pela-gandong/kakak-adik) dengan itu, maka kedamaian, dan persekutuan hidup orang-orang Maluku akan menjadi harmonis, dan lebih baik lagi. BENTUK-BENTUK SOLIDARITAS “ALE RASA BETA RASA” DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Secara konseptual solidaritas yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah bentuk tindakan yang dilakukan untuk menciptakan hubungan yang aman, damai, dan menyenangkan orang lain. Solidaritas yang dapat memberikan kesenangan kepada orang lain boleh dikatakan sebagai solidaritas hidup yang rukun atau damai di antara sesama manusia. Dalam konsep Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, secara harafiah hidup rukun mengandung arti adanya hubungan timbal balik, dan saling menghargai antara manusia, dan lingkungannya. Lingkungan meliputi berbagai hal yang ada kaitannya dengan kehidupan manusia ataupun makhluk lain yang ada di dalam alam semesta ini. Saling menghargai antarsesama pada umumnya diwujudkan
Budaya ``Ale Rasa Beta Rasa” sebagai Kearifan Budaya Lokal Maluku
92 melalui kasih sayang, dan cinta dalam suasana yang mendukung (kondusif), yang aman, dan damai, jauh dari rasa curiga, iri maupun dengki. Beberapa nilai yang mendasarinya di samping penghargaan, dan kasih sayang, antara lain: perdamaian, persatuan, saling berbagi rasa, dan perhatian. Tillman & Colomina (2000), menyatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk bersikap, dan berperilaku menyukai kasih sayang, serta perdamaian. Namun, potensi tersebut perlu dikembangkan, dan dilatih sejak usia dini melalui interaksi di dalam keluarga, dan juga masyarakat. Mengacu pada konsep di atas, solidaritas yang di Maluku adalah suatu solidaritas “ale rasa beta rasa” yang terbangun secara continue dari generasi ke generasi/anak cucu Maluku. Solidaritas tersebut membuat hubungan kekeluargaan di antara sesama anak Maluku menjadi kuat. Solidaritas yang terbangun karena ada rasa sebagai orang bersaudara, pela-gandong (adik-kakak), hidup saling tolong-menolong yang terbina dalam garis budaya Maluku. Ciri budaya yang menggambarkan pembentukan karakter yang ada di Maluku, sebagai wujud solidaritas yang terbangun dalam semangat “ale rasa beta rasa”melalui budaya Pela Gandong (sekandung). Pela adalah persaudaraan antara dua negeri atau lebih, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Gandong (hubungan genealogis (kakak-adik). Pada prinsipnya, dikenal tiga jenis Pela, yaitu Pela Karas (Keras), Pela Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu), dan Pela Tampa Siri (Tempat Sirih).
Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negri (kampung) atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting, dan biasanya berhubungan dengan peperangan, seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu negri kepada negri lain. Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di negri atau pulau yang berbeda. Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu negri telah berjasa kepada negri lain. Jenis pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar hubungan perdagangan. Selain dalam wujud pela, berbagai ungkapan yang lahir dan melekat dalam kehidupan masyarakat yang menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi hidup yang dipenuhi dengan rasa persaudaraan seperti ungkapan nilai hidup berikut. Hatu molo upai miki (mengajar orang untuk adil, dan bersikap tenggang rasa dalam pergaulan). Hawa-hatopo luna nanaho waymaynyi ehe ula maa’ tune (hidup tidak boleh egois, harus memperhatikan orang lain di sekitarnya). Ihela mansiya rupa ihela nuja (orang tidak boleh berlaku semena-mena terhadap orang lain, terutama yang lemah).
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
93 Kasturi joro jurami madukopoga caga luara (orang harus mengembangkan sikap tenggang rasa). Limuk limor kweunum kweanam (susah senang sama-sama saling menolong). Potong di kuku rasa didaging (menghina seseorang dalam persekutuan, sama dengan menghina semua anggota persekutuan). Biar barutang tambah bagade tar mau ilang kecuali (dalam keadaan susah bagaimanapun tetap saling membantu). Sagu salempang pata dua (biar hidup susah harus saling menolong). Tidor satu bantal makang satu piring (adanya ikatan persatuan). Nilai-nilai hidup di atas merupakan pandangan dunia orang Maluku tentang budaya yang memotivasi terbangunnya hubungan persaudaraan di antara orang-orang Maluku secara kokoh. Pandangan dunia seperti demikian, boleh dikatakan sebagai prinsip hidup orang Maluku. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Schwartz (1990): “.....principles that guide our lives”. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, ada sejumlah nilai-nilai kehidupan yang positif dan baik, seperti kejujuran, cinta, perdamaian, dan sebagainya. Inilah yang akan dipergunakan seseorang sebagai pedoman untuk bertindak di dalam lingkungannya. Selanjutnya, nilai-nilai di atas akan menjadi nilai moral bagi masyarakat yang sifatnya mengikat dan dijalankan secara turun-temurun. Artinya. nilainilai tersebut disosialisasikan kepada anggota masyarakat melalui jalur-jalur keluarga, sekolah (termasuk pesantren, dan sejenisnya), serta lembaga-lembaga
yang ada dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai itu harus dipelajari dan dipahami secara baik untuk diimplementasikan dalam hubungan-hubungan yang dibangun antarsesama manusia. Nilai pertama yang harus dipelajari menurut Erikson adalah trust. Nilai ini penting karena menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Nilai-nilai seperti di atas secara konseptual jika didalami pada konsep “ale rasa beta rasa” merupakan bagian mendalam yang terkandung pada keberadaan hidup orang Maluku yang diekspresikan melalui aktivitas-aktivitas atau relasi-relasi yang terbangun dalam hidup masyarakat. Pandangan seperti ini, sebagaimana yang dikemukakan juga oleh Jhon Ruhulessin, sebagai suatu sistem makna, “ale rasa beta rasa” memberi motivasi, isi sekaligus bentuk kepada tingkah-laku manusia untuk hidup bersama dalam masyarakat. Dengan spirit “ale rasa beta rasa”, secara sadar orangorang Maluku dapat menuangkan apa yang menjadi tanggungjawabnya kepada sesama saudaranya sendiri dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti; hidup berempati, tolong-menolong, gotong-royong, hidup damai, hidup dengan penuh cinta, kasih, dan sayang, atau hidup dengan penuh tenggang rasa tanpa membuat perbedaan di antara satu dengan yang lain. Kehidupan sosial masyarakat Maluku yang dinginkan berlangsung secara baik di kalangan masyarakat kecil maupun pemerintahan, disadari sebagai wujud dari budaya orang bersaudara yang mempraktekan makna pandangan hidup “ale rasa beta rasa” dalam
Budaya ``Ale Rasa Beta Rasa” sebagai Kearifan Budaya Lokal Maluku
94 kehidupan mereka secara manis sehingga wajar jika “ale rasa beta rasa” boleh dikatakan masih tetap memiliki kekuatan perekat bagi masyarakat. Meskipun ada anggapan bahwa “ale rasa beta rasa” pada waktu konflik Maluku mengalami pengikisan dan pendangkalan serius, serta tidak lagi menjadi sebuah pengertian bagi kehidupan bersama yang berdasar pada common felling (perasaan bersama) dan common good (kebaikan bersama). “Ale rasa beta rasa” hanya menjadi sebuah ‘mekanisme pengendali’ atau ‘steering mechanism’ dari elite kekuasaan politik atau golongan. Sebagai contoh, ketika masyarakat Maluku (Desa Rumah Tiga Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kota Ambon) sepakat bergabung dalam kelompok ale rasa beta rasa. Kelompok itu melibatkan di dalamnya orang Islam dan Kristen yang berkonflik. Hal itu menggambarkan bahwa masyarakat ingin mengakhiri konflik dan mulai hidup bersama. Forum dan kelompok tersebut telah mampu memfungsikan modal sosial yang ada di masyarakat karena telah mampu menciptakan kepercayaan sosial, jaringan kerja, dan komitmen bersama. Dalam menjalankan perannya, forum kelompok ale rasa beta rasa telah mampu: (1) memperhatikan dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat yang kurang beruntung dan bermasalah; (2) mendorong masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam berbagai kelembagaan sosial; (3) mengelola, mengendalikan konflik, dan tindak kekerasan; dan (4) menjaga dan melestarikan sumber daya alam dan sosial. Dalam proses ini, upaya yang dilakukan adalah upaya untuk merevi-
talisasi nilai-nilai sosial-budaya masyarakat dengan mengedepankan gaya hidup “ale rasa beta rasa”. Ternyata, melaui revitalisasi nilai dan kelembagaan sosial dengan mengedepankan filosofi “ale rasa beta rasa” mampu mengembalikan tingkat ketahanan sosial, serta tingkat kesejahteraan masyarakat. “Ale rasa beta rasa” dapat menjadi media rekonsiliasi pembentukan karakter bagi masyarakat di tengah konflik, dan juga mencegah terjadinya konflik antarmasyarakat jika dimaknai secara fungsional dalam kehidupan sosialbudaya masyarakat Maluku. “Ale rasa beta rasa” dapat mendorong terciptanya pembangunan yang pro-kemanusian, dan memajukan sistem kerjasama yang berjalan secara menyeluruh antarorangorang di kalangan pemerintahan, serta antarorang-orang dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan tetap memelihara budaya “ale rasa beta rasa” sebagai suatu kearifan budaya lokal, pendidikan karakter anak bangsa dapat terbangun yang pada akhirnya berujung pada terciptanya stabilitas pertahanan, dan keamanan bangsa dan negara Republik Indonesia. PENUTUP Paradigma strukturalisme LeviStrauss untuk memahami bahasa sebagai gejala sosial adalah sesuatu yang memiliki kontribusi yang sangat luar biasa dalam dunia antropologi. Pandangan saya seperti demikian karena mangacu pada pandangan Levi-Strauss yang mengikuti jejak de Sausurre dengan menganggap bahasa sebagai gejala sosial yang mampu memberikan warna tersendiri dalam ruang kerja an-
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
95 tropologi. Pandangan Levi-Strauss mampu memberikan suatu model baru untuk mengkaji budaya masyarakat yang berhubungan dengan simbol atau lambang serta perlambangan. Pandangan di atas semakin dipertegas oleh Ahimsa-Putra dengan mengatakan bahwa kehadiran strukturalisme Levi-Strauss merespons reaksi atas pengaruh filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya, terutama yang dipakai oleh aliran fungsional-(struktural). Hal ini dikarenakan filsafat positivisme membuat ilmu sosial-budaya melupakan aspek simbolik kehidupan manusia. Kehadiran paradigma strukturalisme Levi-Straus seperti yang dikatakan oleh Ahimsa memberikan makna bagi simbol atau lambang, serta pelambangan (simbolisasi) yang merupakan basis perilaku manusia. Dengan bahasa sebagai salah salah satu bentuknya, bagi saya uraian bahasa “ale rasa beta rasa” sebagai gejala sosial dalam budaya Maluku merupakan suatu makna budaya sebagai identitas yang menggambarkan dunia masyarakat Maluku. Dunia di mana ruang-ruang perbedaan suku, status sosial, dan agama yang dimiliki oleh masyarakat menjadi cair dan tenggelam dalam suatu integritas masyarakat yang familiar dengan sebutan Pela-Gandong. Kehidupan masyarakat Maluku yang penuh cinta kasih, aman, dan damai dalam ruang-ruang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya akan tercipta secara baik, jika budaya “ale rasa beta rasa” semakin ditingkatkan. Filosofi “ale rasa beta rasa” (kamu rasa saya rasa) mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat akan arti persaudara-
an. Relasi-relasi kekeluargaan yang dibangun masyarakat jika tidak disadari pada rasa sebagaimana makna konsep “ale rasa beta rasa”, yaitu rasa yang muncul sebagai suatu kesadaran senasib, sepenanggungan, solidaritas, kesetiakawanan, dan tolong-menolong untuk mencapai kebahagian hidup bersama menjadi sirna suatu hubungan kekeluargaan atau kebersamaan yang dibangun tersebut. Dengan demikian, “ale rasa beta rasa” sebagai suatu budaya secara energik memberi suatu spirit bagi terbentuknya karakter masyarakat Maluku yang harmonis dan rukun dalam ruang-ruang sosial atau publik. Mencegah gaya hidup yang individualistis dan tidak memikirkan orang lain, budaya “ale rasa beta rasa” hadir di tengah-tengah masyarakat Maluku yang memberi sumbangan besar untuk mencintai kebersamaan, berempati dalam suka dan duka dengan sesama, menjaga ketertiban, keamanan, dan kedamaian secara kekeluargaan atas dasar cinta, kasih, dan sayang sebagai orang bersaudara (gandong). “Ale rasa beta rasa” dapat menjadi media rekonsiliasi pembentukan karakter bagi masyarakat di tengah konflik, juga mencegah terjadinya konflik antarmasyarakat jika dimaknai secara fungsional dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku. “Ale rasa beta rasa” dapat mendorong terciptanya pembangunan yang pro-kemanusian dan memajukan sistem kerjasama yang berjalan secara menyeluruh antarorangorang di kalangan pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan tetap memelihara budaya “ale rasa beta rasa” sebagai suatu kearifan budaya
Budaya ``Ale Rasa Beta Rasa” sebagai Kearifan Budaya Lokal Maluku
96 lokal, pendidikan karakter anak bangsa dapat terbangun yang pada akhirnya berujung pada terciptanya stabilitas pertahanan dan keamanan bangsa dan negara Republik Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada tim Redaktur dan staf Jurnal Cakrawala Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah member kesempatan untuk mempublikasikan artikel ini. Mudahmudahan artikel ini mampu memberkan sedikit pencerahan kepada pembaca dalam merumuskan kebijakan pendidikan karakter di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, H.S. 2009. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos, dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press _____. 2009. “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 10 November 2008. Ambon (ANTARA News) - Tiupan Terompet oleh 300 Orang Pemuda Menandai Pencanangaan Hari Perdamaian Sedunia Bertepatan dengan Malam Terakhir Ajang Ambon Jazz Plus Festival (AJPF) 2009 di Ambon, Sumber : Internet.
Megawangi. 2004. Pendidikan Holistik: Aplikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Jakarta: Pustaka Media. Papalia, Olds, & Feldman. 2004. Human Development. USA: Mcgraw-Hill. Pearson, J., Nelson,P., Titsworth,S., Harter, L. 2006. Human Communication. Boston : Mcgraw-Hill. Ruhulessin, Jhon. 2007. Pluralisme Berwajah Humanis. Lessmu: Ambon. Schwartz, S.H., & Bilsky, W. 1990. “Toward a Theory of the Universal Content and Structure of Values: Extensions and CrossCultural Replications”. Journal of Personality and Social Psychology, 58, 878- 891.(4). Tim Ditjenbud. 2000. Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Indonesia. Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional. Tillman, Dianne & Hsu, Dianna. 2000. Living Values. Parent Groups: A Facilitator Guide. Sterling Publishers Private Limited. Tillman, Diana. & Colomina, Q. 2000. LVEP Educator Training Guide. New York: An Educational Program, Inc.
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY