5
TRANSFORMASI PEMBENTUKAN ELITE PADA ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE FASE SEKULARISME Pada bagian ini akan diuraikan proses sosiologis pembentukan elite etnis
Bugis (Bone) dan etnis Makassar (Gowa), pada empat fase utama; fase tradisional, fase feudalisme, fase Islam moderenisme dan fase sekularisme. Bab ini sekaligus berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana transformasi, proses dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dalam usahanya
meraih, menjaga dan
memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. Penentuan fase-fase tersebut di atas merupakan hasil perpaduan konstruksi sejarah dan konstruksi peneliti setelah menafsirkan sejumlah makna yang diuraikan oleh actor maupun komunitas yang menjadi sumber dalam penelitian ini. Fase yang paling banyak memberi keragaman makna baik dari konstruksi sejarah maupun tafsiran dari actor maupun komunitas adalah fase tradisional dan feudalism. Sedangkan fase Islam modern dan sekularisme, adalah fase yang menurut penafsiran sejarah dan actor memiliki kesamaan konstruksi. Tahapan pembentukan elite Bugis Bone dan Makassar Gowa tersebut di atas dianalisis dengan menggunakan teori tiga tahapan perubahan masyarakat Comte (1838)40 dan Gibson (2005;2007) tentang transformasi kekuasaan pada masyarakat Sulawesi Selatan. Comte menyebut tiga tahapan perubahan masyarakat; 1) teologi, 2) metafisis, dan 3) positif. Sementara Gibson melihat transformasi kekuasaan yang terjadi pada etnis Bugis dan Makassar menonjolkan tiga fase penting; tradisional, Islam dan modern. Pada fase tradisional, proses sosiologis pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar didominasi oleh permainan simbol dan mitos. Pada fase ini, untuk memperkokohkan dirinya sebagai pemegang tongkat kekuasaan, elite Bugis dan Makassar menyajikan politik mitos. Mitos yang paling berpengaruh adalah; tomanurung. Sebuah konsep yang dirancang oleh para elite untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari massa. Proses ini menurut Gaventa (2005:11) dapat 40
Lihat Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986; Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; dan Laeyendecker, 1983.
111
digolongkan sebagai proses yang bermain pada ruang kekuasaan tertutup (closed space power), dimana para actor elite merumuskan kebijakan politik secara terbatas untuk ditaati oleh public. Konsep ini kemudian menjadi inti dari pengembangan kekuasaan tradisional. Menurut Max Weber, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya. Dari sinilah kemudian dilahirkan actor yang memiliki otoritas memperkuat pengetahuan simbolik yang menjadi dasar kekuasaan tradisional. Aktor-aktor yang memiliki kewenangan menjadi pemimpin adalah mereka yang memiliki struktur pengetahuan simbolik paling tinggi. Mereka ini memiliki apa yang disebut Collins dengan cultural capital. Pesan simbolik dari konsep tomanurung pada kasus pembentukan elite Bugis dan Makassar, terletak pada legitimasi dan justifikasi kekuasaan para elite. Menurut Shibutani dalam Charon, (1989: 39), disebut sebagai pengetahuan simbolik, apabila ada sesuatu yang lain yang lebih penting dibalik sebuah peristiwa tertentu. Tomanurung adalah sebuah peristiwa kekuasaan pada kalangan elite, pesan utama dari peristiwa itu adalah pengakuan public atas kekuasaan yang digenggam para elite yang merancang peristiwa tomanurung. Fase kedua yang dibicarakan pada bagian ini adalah fase Feudalisme. Pada masa ini, tanah bagi para elite Bugis dan Makassar
dijadikan sebagai tata-
produksi kekuasaan. Collins dalam Ritzer (ed), 1990: 71), menyebut fase ini sebagai kondisi perebutan barang langka. Hadirnya ideologi kapitalisme Eropa ikut mendorong terjadinya konflik perebutan tanah sebagai alat untuk reproduksi kekuasaan. Pada fase inilah rasionalitas ekonomi dan basis prinsip kehidupan industrial dimulai. Fase Islam dan moderenisme dalam proses pembentukan elite Bugis dan Makassar ditandai dengan perubahan regulasi pemerintah colonial, perkembangan dunia pendidikan dan pertumbuhan organisasi sosial masyarakat dan organisasi politik pada awal tahun 1900-an. Pangkal perselisihan antara elite Bugis (Bone) dengan elite etnis Makassar (Gowa) bermula dari kedatangan Islam, yang menjadi agama resmi Istana Gowa, dan hendak di perluas pengaruhnya sampai ke kerajaan Bugis di jazirah Sulawesi. Pada fase ini, terjadi resistensi terhadap menguatnya
112
kapitalisme internasional. Masa inilah awal lahirnya kesadaran moral dan intelektualitas yang tinggi pada elite Bugis dan Makassar. Sedangkan fase sekularisme adalah fase yang berlangsung antara 1905 hingga 2010. Para elite Bugis dan Makassar pada periode sekularisme ini cenderung mengandalkan tindakan kekuasaan yang bersifat pragmatis, utilities, rasional, efisien dan transaksional. Secara teoritis, proses pembentukan elite modern di Indonesia sangat ditentukan oleh beberapa hal; regulasi regim yang berkuasa, latar pendidikan, gerakan sosial dan identitas politik seseorang. Fakta ini cocok dengan pandangan Sutherland (1983), dan Niel (1984). Berikut adalah gambar Abstraksi Teori Transformasi Pembentukan Elite politik elite dan massa etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa.
Gambar 5. Abstraksi Teori Transformasi Pembentukan Elite Politik Elite Dan Massa Etnis Bugis Bone Dan Etnis Makassar Gowa Jika diabstraksikan pada perspektif Comte (1838), Weber dan temuan Gibson (2005;2007) fase pembentukan elite politik etnis Bugis dan Makassar, memiliki pola yang relative sama, terutama pada fase-fase perubahannya, hal ini tampak pada gambar 5 di atas. Teori tiga tahapnya Comte, memiliki hubungan dengan reorganisasi masyarakat. Comte menggolongkan tahap tersebut dengan bentuk organisasi 113
sosial. Tahap teologi diasosiasikan dengan kepercayaan pada otoritas absolut, kebenaran ilahi dari raja, dan golongan sosial yang berbau militer. Dengan kata lain, golongan sosial didapatkan melalui otoritas atas. Lalu dalam tahap metafisis ada kepercayaan pada hukum-hukum abstrak. Dan yang terakhir tahap positive yang diasosiasikan dengan perkembangan masyarakat industri. Dalam tahap ini, kegiatan ekonomi menjadi perhatian dan terdapat para elite dalam ahli ilmu pengetahuan yang mengorganisasikan kelompok masyarakat. Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai; tahap teologis, adalah periode feudalisme, tahap metafisis merupakan periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat modern dan industri. Teori ini mirip dengan yang dikemukakan oleh Gibson (2005;2007) bahwa pada etnis Bugis dan Makassar terjadi tiga tahapan atau fase transformasi kekuasaan; yakni fase; tradisional, Islam dan modern. Mengacu pada teori Comte dan Gibson; transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dapat ditafsirkan bahwa fase tradisional dalam pembentukan elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dapat disejajarkan sebagai fase teologis. Fase feudalisme yang dialami oleh etnis Bugis dan Makassar mengandung nilai-nilai positivistic dan materialistic. Sedangkan fase Islam modern, adalah fase dimana nilai budaya dan tradisi dinegasikan, pada fase ini, nilai-nilai budaya mulai meluruh. Fase terakhir dalam transformasi kekuasaan etnis Bugis dan Makassar adalah; sekularisme. Fase ini ditandai dengan pemikiran dan tindakan kekuasaan yang bersifat pragmatisme; utilitarian (nilai guna), efisiensi, dan rasionalitas. Pada fase ini, tindakan rasionalitas nilai (berorientasi nilai) tindakan ―yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya‖ (Weber, 1921/1968;24-25). Bila dianalisis menggunakan teori tindakan rasionalitas nilainya Weber, maka fase kekuasaan tradisional menurut Gibson & fase teologis menurut Comte, sama dengan fase supranatural menurut Weber. Dan fase feudalisme menurut studi ini sejajar dengan fase positifistik (materialistik) menurut Comte, dan Weber menyebutnya sebagai fase rasionalitas ekonomi. Sedangkan fase Islam modern dan fase sekularisme menurut studi ini merupakan transformasi
114
yang dapat
disejajarkan dengan perkembangan
menuju dinegasikannya kapitalisme
internasional dan didewakannya scientism. Konsekuensi dari tumbuhnya sikap pragmatisme dan rasionalitas ekonomi, maka etika materialism semakin menguat, akan tetapi pada saat yang bersamaan meningkat pula kesadaran universal seperti demokratisme politik dan ekonomi. Dengan demikian, semakin ke belakang (menuju fase sekularisme) proses produksi elite (kekuasaan) pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa mengalami pergeseran dari kekuatan simbol budaya dan etika lokal, digantikan secara perlahan oleh ideologi baru yang berbasis pada rasionalitas ekonomi, modernitas, intelektualitas, aliansi dan jejaring. Untuk menyederhanakan ideologi baru ini, studi ini menyebutnya
sebagai
ideologi kuasa dan uang. Dengan
mempertimbangkan aspek aliansi dan jejaring, reproduksi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa pada aras makro khususnya, tidak cukup dengan rasionalitas uang dan kuasa, akan tetapi perlu kemampuan meng-hibridisasi kebudayaan politik antar etnis (Bugis dan Makassar). 5.1
Fase Tradisional Pembentukan Elite Etnis Bugis dan Makassar; Permainan Simbol dan Mitos Tidak mudah untuk melihat masyarakat Bugis dan Makassar pada masa
lampau, utamanya menggambarkan keadaan sebelum kedatangan bangsa asing yang melakukan kontak dengan kerajaan setempat yang baru di mulai sekitar pertengahan abad-16.41 Catatan dari kerajaan-kerajaan bumiputera mengenai perkembangan awal kerajaan dan keadaan masyarakat bersifat mitologis. 42 Mitos yang paling umum adalah hadirnya Tomanurung,
43
sebagai penguasa awal yang
41
Anthony Reid, ―Kebangkitan Makassar‖, dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 132- 142 42 Lihat diantaranya dalam, Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara (YKSST), 1967), hlm. 1-2. H.D. Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan (Djakarta: Timun Mas, 1956), hlm. 48-59 43 Penguasa asing disini lebih dekat pada pendapat Anthony Reid yang melihat bahwa ―penguasa asing‖ memiliki dua tipe yaitu; pertama sebagai pedagang-petualang yang bersama-sama dengan para bangsawan pedagang (merchant-aristocrats) melakukan kerjasama dan terkadang menjadi pimpinan dengan kekuatan politik murni. Biasanya mereka memiliki ―kekayaan, senjata, perahu, dan pengetahuan internasional‖. Kedua, orang asing dalam tingkatan tertentu berperan sebagai ―magic-mediator” di antara masyarakat tradisional. Masyarakat ini biasanya berlokasi jauh dari pantai dan hubungan dengan dunia luar, termasuk jauh dari pengaruh mitos penguasa luar, lihat dalam ―Merchant Princess and Magic Mediators: Outsiders and Power in Sumatra and beyond‖, dalam Indonesia and Malay World, Vol. 36, No. 105 (UK: Routledge, July 2008), hlm. 251-266.
115
turun dari langit. Masyarakat sebelum kemunculan Tomanurung
masyarakat
Bugis dan Makassar digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak ada pemimpin yang ditaati. Kehadiran sosok Tomanurung di berbagai tempat Sulawesi Selatan hampir bersamaan sekitar tahun 1300 – 1400. 44 Fenomena ini dapat dikaitkan dengan semakin berkembangnya berbagai komunitas masyarakat di kawasan ini.
Perkembangan ini kemudian membuat berbagai kebutuhan
kelompok masyarakat terus membesar dan kemudian memperebutkan sumbersumber makanan yang terbatas. 45
Dinamika masyarakat diwarnai dengan
perjanjian, pertentangan, dan peperangan antar komunitas. Untuk memastikan terjaminnya kehidupan sosial dan politik yang aman, maka komunitas etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan pola hubungan masyarakat dengan kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan Kalompoang, yakni unsur kesatuan masyarakat dan kekuasaan. Karena itu, untuk melihat hubungan antara perkembangan masyarakat dengan sistem sosial dan politik masyarakat Bugis dan Makassar, utamanya orang-orang Bone dan Gowa, maka kita akan melihat kembali proses terbentuknya masyarakat di kawasan ini yang dalam naskah-naskah tradisional gaukang.
Benda
bermula
dengan
penemuan
benda
ini biasanya berbentuk aneh seperti batu, biji buah, dan
sebagainya. 46 44
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Lephas, 1998), hlm. 39-74. 45 Seperti dipaparkan Mattulada, dalam Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayan, hlm. 32-33 dan dalam Anthony Reid, ― Kebangkitan Makassar‖, hlm. 135, tidak ditemukan keterangan lebih jauh mengenai budidaya tanaman atau peternakan dari sumber-sumber tradisional. Dalam perjanjian awal antara Tomanurung dan rakyat tidak disebutkan tentang beras yang menjadi hasil utama Sulawesi Selatan, termasuk di Makassar pada periode abad 16-17. Tampaknya sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan hidup dari hasil bumi yang tersedia di lingkungannya, namun tampaknya mereka belum membuat sawah hingga kedatangan Tomanurung. Kontrak sosial antara Tomanurung dan rakyat tidak menyebutkan soal padi: hanya menyebut ayam, telur, buah kelapa dan buah pinang 46 Menurut Eliade, diantara berbagai batu yang terhitung jumlahnya, salah satu batu menjadi suci,dan olehnya serta merta penuh dengan tanda dan makna, karena ia merupakan hierophany, atau memiliki makna, atau karena ia memperingati tindakan mitis dan sebagainya. Obyek muncul sebagai wadah kekuatan yang berasal dari luar (benda-benda ini) kerap dihubungkan dengan sebuah peristiwa fenomenal yang ajaib ketika ditemukan. Penemuan benda dan tempatditemukannya menjadi awal pemukiman baru dan menjadi pusat dari pemukiman. Gaukang ini pula menjadi simbol kesatuan diri masyarakat di wilayah pengaruhnya. Benda gaukang ini dan penemunya mendapat tempat khusus dalam komunitas. Penemu gaukang diberikan tanah-tanah, mewakili gaukang, sebagai tempat benda ini dipelihara. Selanjutnya, penemu benda ini biasanya diangkat sebagai pemimpin atau tetua dari komunitas awal ini. Sebagai sosok yang dipilih oleh gaukang, ia kemudian mewakili gaukang sebagai pemimpin keduniawian dan spiritual. Dalam perkembangan selanjutnya, kepemimpinan
116
Gaukang sendiri dilengkapi dengan benda-benda kebesaran yang disebut kalompoang untuk melengkapi wibawanya.47 Benda-benda kebesaran ini yang diberi kepada gaukang semuanya di pandang sebagai benda suci dan dianggap memiliki kesaktian. Benda ini biasanya berasal dari penguasa pertama. Bendabenda ini disimpan dan di rawat oleh penguasa. Seorang bangsawan yang akan dilantik
sebagai
raja
harus
memiliki
kalompoang.
Siapapun pemegang
kalompoang ini akan memegang ketaatan rakyat. Komunitas gaukang ini kemudian meluas menjadi kampung atau lembang, seiring dengan pertambahan dan kesediaan keperluan dari anggota-anggotanya. Bagian batu dari komunitas induk diberikan kepada setiap kelompok yang membangun komunitas baru. Komunitas baru ini tetap terikat kepada komunitas gaukang awal. Kesatuan dari kampung-kampung ini menjadi satu kesatuan pemerintahan yang di sebut bori. Setiap bori kemudian meluas di berbagai tempat yang selanjutnya dan tak dapat dihindari terjadi persinggungan. Perselisihan
antar
bori
sering
berlangsung
dan
kekuatan
fisik
digunakan untuk menyelesaikan persoalan, karena tidak ada cara lain yang bisa ditempuh. Keadaan ini membuat para pemimpin bori mencari jalan penyelesaian yang akhirnya membawa mereka membentuk suatu sistem pemerintahan yang baru berupa konfederasi atau paqrasangang. Konfederasi ini menghasilkan satu Dewan Hadat yang beranggotakan para pemimpin bori. Seperti kesatuan-kesatuan masyarakat yang menjadi cikal bakal dari Konfederasi Gowa yang terdiri dari sembilan kesatuan kelompok masyarakat (Kasuwiyang Salapang).48 Sebagai pimpinan dari konfederasi ini dipilih salah satu dari dewan hadat ini, yang disebut
dalam masyarakat menjadi jabatan yang diwariskan kepada keturunan penemu gaukang tersebut. Penemu gaukang ini bergelar karaeng dan ada juga yang disebut gallarang. membedakannya dengan lingkungan sekitarnya serta memberinya makna dan nilai. Kekuatan ini mungkin berada dalam subtansi obyek atau dalam bentuknya; sebongkah batu mengungkapkan dirinya sebagai yang disucikan karena eksistensinya merupakan hierophany: tidak dapat ditekan, tidak dapat dikalahkan, hal yang semacam itu tidak dimiliki oleh manusia. Kekuatan ini melawan waktu; realitasnya berpasangan dengan keabadian, lebih jauh dalam Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hlm. 4 47 Martin Rössler, ―From Divine Descent to Administration: Sacred Heirlooms and Political Change in Highland Goa‖, dalam Roger Tol, Kees van Dijk, Greg Acciaioli (editor), Authority and Enterprise Among The Peoples of South Sulawesi, BKI no. 56 (The Netherland: Leiden, 2000), hlm. 541 48 Kelompok-kelompok komunitas yang menjadi dasar dari wilayah Gowa terdiri atas negeri (bori): Tombolo, Lakiung, Agang Je‘ne, Saumata, Bisei, Kalling, Parang-Parang, Data‘, dan Bisei. Lihat dalam Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan, hlm. 30.
117
Paccalaya. Setiap persoalan yang terjadi dalam konfederasi ini diselesaikan oleh dewan hadat yang dipimpin oleh Paccalaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konfederasi ini tetap tidak dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan yang diharapkan. Untuk mengakhiri perselisihan diantara kelompokkelompok ini, para pemimpin atau penguasa (galarang) kelompok masyarakat ini kemudian mengangkat sosok dari luar yang dikenal dengan sebutan Tomanurung. Masyarakat kemudian meminta tokoh ini untuk menjadi raja agar membawa perdamaian dan kesejahteraan dengan saling menyepakati sebuah ―kontrak politik‖, yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Meski Tomanurung dijadikan penguasa oleh orang-orang Gowa, namun tidak berarti kedaulatan atau kekuasaan mutlak diserahkan kepadanya. Sejak awal, Gowa bukanlah monarki absolut. Raja dan dewan hadat yang mewakili sembilan bori, wilayah awal federasi kerajaan Gowa memiliki hak dan kewajiban yang mengatur mereka. Raja tidak boleh memiliki sesuatu tanpa proses kepemilikan yang benar. Raja tidak memiliki kekuasaan untuk menetapkan sesuatu yang berkenaan dengan urusan dalam negeri karena merupakan wilayah dewan hadat. Sedangkan dewan hadat tidak boleh menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan luar negeri yang menjadi urusan raja. Dengan hubungan tersebut, raja dan dewan hadat bersamasama menetapkan berbagai urusan dalam dan luar negeri.
49
Kekuasaan penguasa dilambangkan dengan benda-benda kebesaran kerajaan (arajang) yang dianggap memiliki kekuatan mistis, dapat berupa tombak, rantai, perhiasan emas, pedang, dan sebagainya merupakan dasar legitimasi seorang penguasa. Kehilangan benda-benda ini dianggap sebagai kelemahan seorang raja dan kerajaannya. Legitimasi mistis ini menjadi dasar keistimewaan dari ―langit‖ bagi kaum bangsawan untuk menjadi penguasa dan pihak yang memerintah. Anggapan ini kemudian mendasari pengembalian benda-benda kebesaran Kerajaan Gowa yang dirampas oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam penaklukan di tahun 1906, ketika upacara pemulihan kedudukan bekas Kerajaan Gowa dan pelantikan raja Gowa di tahun 1937.
49
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan, hlm. 34
118
5.2 Fase Feudalisme; Tanah Sebagai Tata-produksi Kekuasaan Sulawesi Selatan terbagi oleh deretan pegunungan yang membelah wilayahwilayah sepanjang Selat Makassar dengan wilayah sepanjang Teluk Bone menyebabkan musim hujan untuk bertanam padi silih berganti antara musim barat dan musim timur. Negeri-negeri di lembah yang subur mengembangkan tradisi penanaman
padi.
Negeri-negeri
pegunungan
mengembangkan
tanaman
perdagangan seperti kopi, kemiri, dan lain-lain. Sedangkan yang di wilayah hutan belantara menyediakan hasil hutan seperti rotan, damar dan kayu. Sementara negeri-negeri pantai mengembangkan tradisi bahari sebagai nelayan dan niaga. Keadaan geografi ini menjadikan setiap warga dari negeri-negeri di Sulawesi Selatan memiliki pencaharian utama sebagai: petani, nelayan atau pelaut, dan pedagang. Hal ini pun menjadikan ciri khas setiap negeri atau kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam perkembangannya kemudian Gowa menjadi negeri maritim yang utama, Bone menjadi negeri agraris yang kuat, sedangkan Wajo menjadi terkenal sebagai negeri para pedagang. Perbedaan ini pula tampaknya menjadi dasar bagi terbentuknya kelompok-kelompok utama etnik Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar. Namun perbedaan ini pula menjadi salah satu alasan penaklukan-penaklukan dan peperangan antara kerajaan-kerajaan Makassar dan kerajaan-kerajaan Bugis. Kerajaan yang mampu menguasai wilayah-wilayah subur yang dibagi oleh musim tanam akan menjadi kerajaan paling kuat dan memiliki peluang menjadi terkuat sekaligus memiliki kekuatan untuk melakukan ekspansi keluar wilayah Sulawesi Selatan. Dalam sejarah Sulawesi Selatan hingga awal abad 17, kerajaan orang Makassar yang paling berhasil adalah Kerajaan Gowa. Kerajaan ini berhasil memperkuat kedudukannya serta melakukan penaklukan atas berbagai negeri di semenanjung Sulawesi dan beberapa wilayah di nusantara bagian Timur. Selain itu memiliki jaringan perdagangan yang luas sehingga terkenal sebagai kerajaan yang kuat dan makmur. Para pelancong sejak dahulu menggambarkan Makassar memiliki wilayah pantai yang baik untuk digunakan melaut dan daratannya merupakan wilayah pertanian yang bagus. 50 Sejumlah sungai di wilayah kota 50
Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX, studi TentangKebijakan Perdagangan
Maritim (Jakarta: Gramedia. 2002), hlm. 15-16.
119
Makassar
seperti Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang dimanfaatkan untuk
pengairan bagi area persawahan. Siklus musim di wilayah Sulawesi menjadikan Makassar sebagai jalur perdagangan, baik jalur barat (Eropa, Gujarat, India Selatan, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan-MakassarMaluku serta Papua) maupun jalur pelayaran utara (Cina, Filipina,
Jepang-
Makassar-Nusa Tenggara-Australia). Posisi inilah merupakan salah satu pangkal peperangan antara penguasa pedalaman dan pesisir untuk memperebutkan wilayah-wilayah strategis di Sulawesi Selatan. Posisi ini pula yang menarik perhatian Belanda hingga melancarkan peperangan dan penaklukan pada abad
17
yang berlanjut sampai masa kolonial, salah satunya untuk
menguasai jalur rempah-rempah dan perdagangan di nusantara bagian timur. 51 Seperti suku bangsa lainnya yang mendiami Sulawesi Selatan, orang-orang Bugis dan Makassar digambarkan sebagai masyarakat feodal dan tradisional. Di dalam masyarakatnya terdapat para bangsawan yang mempunyai kedudukan kuat dan
memiliki
ketaatan
yang
kukuh terhadap
aturan
hukum
adat
serta
digambarkan fanatik terhadap Islam.52 Namun dibalik itu, masyarakatnya bercirikan persaingan yang ketat, karena seseorang dinilai tidak hanya oleh kedudukan statusnya tetapi juga oleh kualitas pribadinya. Seperti halnya dengan masyarakat lainnya, tidak mudah menilai dan memisahkan sesuatu yang dianggap ―tradisional‖ karena perubahan dan adat merupakan bagian dari kebudayaan. Masih banyak unsur dari masyarakat yang terdapat di masa lampau masih terdapat hingga masa Pemerintah Hindia Belanda, bahkan hingga kini masih bertahan dalam masyarakat meski terjadi perubahan yang pesat dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Sejarah awal terbentuknya kekuasaan pada etnis Bugis dan Makassar dimulai dari munculnya unit-unit kekuasaan kecil, anak-anak suku yang dikenal dengan nama gelarang, wanua (Bugis) dan bori (Makassar). Unit-unit kekuasaan ini kemudian mengembangbiakkan struktur sosial, wilayah dan komunitasnya. 51
Leonard Y. Andaya menggambarkan awal konflik tersebut antara persekutuan dagang Belanda VOC dan Kerajaan Makassar di bawah pemerintahan Sultan Alauddin (1593-1639), raja Gowa ke14. Pihak Kompeni melihat Makassar sebagai pelabuhan yang paling baik ke dan dari Maluku sehingga meminta Makassar melarang saingannya untuk berlayar namun permintaan ini ditolak oleh Gowa, dalam Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad-1 7 (Makassar: Penerbit Inninawa, 2004), hlm. 57-89 52 Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Jakarta: Graffiti Press, 1989), hlm. 19
120
Dalam upayanya memperbesar kekuasaan dan memperluas pengaruhnya, para elite di tingkat wanua dan bori
melakukan konsolidasi sosial dengan cara
menggabungkan unit-unit kecil ini dalam wadah yang lebih luas. Penggabungan ini dikenal dengan persekutuan kekuasaan para pemimpin wanua dan bori. Persekutuan para pemimpin pada unit-unit kecil ini dimaksudkan untuk mengatur tata kehidupan bersama pada level yang lebih luas. Pada etnis Bugis Bone, persekutuan kekuasaan ini disebut dengan Kawerrang Tanah Bone. Sedangkan pada etnis Makassar Gowa, dikenal dengan istilah Bate Salapang. Pada kawerrang tanah Bone tidak diangkat seorang pemimpin dari persekutuan itu, sedangkan pada etnis Makassar diangkat seorang pemimpin yang disebut dengan paccalaya. Meskipun paccalaya tidak berhak mencampuri urusan masing-masing wilayah yang dikuasai oleh masing-masing anggota bate salapang. Pembentukan persekutuan antar bori dan wanua selain untuk mengatur kehidupan bersama, para pemimpin anak suku membutuhkan bantuan dari anggota persekutuan lain untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Karena hampir semua anak suku mengenal dan memiliki wilayah teritorial, yang sifatnya sangat tertutup bagi anak suku yang lain. Dengan membangun ―persekutuan terbatas,‖ para pemimpin wanua dan bori yang memiliki semangat ekspansif dalam usahanya merebut lahan yang subur dan tempat yang strategis, akan lebih mudah memperluas wilayah pengaruhnya. Pada kondisi sosial seperti ini, sedang terjadi cikal bakal penciptaan elite. Periode perebutan wilayah yang subur dan strategis menjadi cikal bakal lahirnya konsep feudalisme di Sulawesi Selatan, dimana tanah mulai dijadikan sebagai tata-produksi kekuasaan. Dalam catatan sejarah (Indonesia), terutama di daerah berpenduduk relatif padat, masyarakatnya hampir tidak pernah lepas dari ketegangan agraris. Misalnya konflik agraris antara pemimpin anak suku, antara penguasa tanah dan petani, hampir terjadi di semua tempat beragroekosistem padi sawah dan padi ladang. Selama tatanan sosial yang mencerminkan peradaban feodal (atau pemusatan penguasaan tanah pada sedikit orang belum bisa dihilangkan) selama itu pula ketegangan agraris akan mudah muncul, baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan. Secara teoritis ketegangan agraris akan muncul di permukaan ketika masyarakat yang menjadikan tanah sebagai basis
121
produksi ekonomi dihadapkan pada persoalan hidup dan mati. Oleh Scott (1999) kondisi masyarakat
yang demikian digambarkan sebagai masyarakat yang
dihadapkan pada krisis subsistensi. Pertanian padi sawah (beras) bisa dikatakan sebagai bagian dari representasi ―saksi sejarah‖ tentang perkembangan agraria di Indonesia. Masalah penguasaan atas tanah atau lahan pertanian untuk padi bisa dijadikan ―jendela sejarah‖ untuk melihat dinamika kehidupan masyarakat agraris. Gambaran dinamika masyarakat padi sawah di Sulawesi Selatan, bisa digunakan untuk mendalami masalah ini. Dilihat dari perspektif ini, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang unik dan menarik. Penguasaan sumber agrarian tampaknya bukan berpusat pada petani atau siapa yang menyelenggarakan usaha pertanian berbasis lahan (tanah), melainkan pada siapa yang menguasai tanah dan sistem perdagangan hasil pertaniannya. Sebagaimana terjadi pada kebesaran peradaban kuno (misalnya Mesir di delta Sungai Nil), kerajaan-kerajaan (sekarang istilahnya negara) di Sulawesi Selatan hidup dari hasil kerja dan keringat petani. Selama struktur masyarakat agraris ‖membeku‖ kemajuan teknologi pertanian tidak bisa dijadikan penggerak utama kemajuan peradaban masyarakat pertanian di pedesaan. Pada strata masyarakat bawah di pedesaan, sistem usaha pertanian dikendalikan dalam bingkai budaya patron klien yang kuat. Para elite masyarakat atau bangsawan umumnya menguasai tanah pertanian dalam ukuran relatif besar, sedangkan petani pedesaan yang jumlahnya relatif besar menguasai sebagian kecil tanah pertanian. Hingga saat ini jarang petani yang memiliki lahan pertanian padi sawah melebihi 0,5 ha per KK. Masyarakat Sulawesi Selatan ditopang (paling tidak) oleh empat etnis besar, yaitu etnis Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Dua etnis yang disebut pertama adalah yang terbesar, dan keduanya saling bersaing untuk menjadi ―yang paling berkuasa‖ di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada kesan bahwa sebelum abad 16 masyarakat Bugis merasa tidak nyaman di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa. Ada semacam anggapan di kalangan masyarakat Bugis bahwa merekalah yang menguasai sistem produksi pertanian beras dan mereka pulalah yang seharusnya menguasai ekonomi beras. Namun dalam kancah sistem perdagangan beras antar pulau, kemampuan etnis Bugis umumnya masih kalah dibanding etnis Makassar.
122
Lebih-lebih sebelum abad 16, kemampuan Kesultanan Gowa mengendalikan sistem politik dan perdagangan hasil pertanian di kawasan Indonesia timur relatif kuat. Jalur politik perdagangan hasil pertanian (terutama beras) dari Kawasan Indonesia Timur ke Batavia dan Laut Cina Selatan hampir sepenuhnya di bawah kendali Kesultanan Gowa (Makassar). Etnis Bugis merasakan adanya semacam ketidakadilan dalam pengelolaan sumber-sumber agraris di pedalaman Sulawesi Selatan. Sebelum berakhirnya abad 16 Kesultanan Gowa memiliki kemampuan mengendalikan politik perdagangan hasil pertanian kawasan Indonesia timur yang relatif kuat. Dengan keberhasilannya menguasai semenanjung dan menjadikan pelabuhan Makassar sebagai bandar perdagangan antar pulau yang besar, etnis Makassar (Kesultanan Gowa) bisa mengelola perdagangan dan ekonomi beras dari pedalaman Sulawesi Selatan dan perdagangan hasil bumi dari pulau-pulau lain bagian timur Indonesia. Sejak dahulu masyarakat Bugis bisa dikatakan menguasai wilayah pedalaman bagian tengah dan utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua wilayah hingga kini masih dikenal sebagai lumbung beras. Saudagar-saudagar dari etnis Bugis diperkirakan tidak leluasa memperdagangkan hasil berasnya karena ―pengawasan‖ yang ketat dari Kesultanan Makassar. Masyarakat Bugis yang menghasilkan beras, namun Kesultanan Makassar yang mendapat keuntungan lebih (―ekonomi‖) dalam perdagangan beras antar pulau. Walaupun kerajaankerajaan
Bugis
diperkenankan
menjalankan
pemerintahannya
secara
desentralistik, namun surplus perdagangan hasil bumi (khususnya beras) setempat sebagian besar jatuh ke tangan Kesultanan Gowa atau orang-orang Makassar. Sistem upeti dan monopoli perdagangan beras yang diterapkan secara sepihak menjadikan orang Bugis tidak merasa nyaman di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa. Hal inilah yang diperkirakan menjadi sumber ketegangan agraria antara kerajaan-kerajaan Bugis di pedalaman (khususnya kerajaan Bone) dengan Kesultanan Gowa. Titik balik sejarah masyarakat Bugis ditandai dengan ―runtuhnya‖ kekuasaan Kesultanan Gowa yang dikendalikan Sultan Hasanuddin di Makassar. Sebelum tahun 1615, wilayah Sulawesi Selatan di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa di Makassar (Ricklefs, 1991 dan Hall, 1988). Konflik antara VOC dan
123
Kesultanan Gowa, antara 1615-1669, membuka peluang bagi kerajaan Bone melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Gowa. Perjanjian Bungaya 53 (Ricklefs, 1991) mengakhiri sejarah ketegangan agraria antara etnis Bugis dan Makassar, setidak-tidaknya hingga sekarang. Dengan perjanjian ini seluruh kekuasaan Kesultanan Gowa dalam mengendalikan politik perdagangan hasil bumi di kawasan timur Indonesia dilucuti pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Karena
menjalankan
aliansi
strategis
dengan
VOC,
terutama
dalam
menghancurkan Kesultanan Gowa, Arung Palakka ( arumpone adalah arung Bone atau Raja Bone) pada 1672 menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan. Ketegangan agraris yang terjadi dalam sistem internal masyarakat Bugis mencuat sejalan dengan tenggelamnya Kesultanan Gowa. Sebagaimana terjadi di negara timur, seperti di Jepang dan India (Moore, 1972), sistem masyarakat tradisional Bugis sedikit banyak juga mencerminkan tatanan masyarakat feodal. Dalam sistem patronase Bugis, peran tuan tanah menjadi inti peradaban agraria di pedesaan. Pergantian pemerintahan dari jaman Kesultanan Gowa, Arung Palakka, VOC hingga republik diperkirakan belum mampu mengikis peradaban pertanian feodal pada masyarakat Bugis secara keseluruhan. Ketegangan agraria, setelah penaklukan Kesultanan Gowa, ke kawasan bagian tengah Sulawesi Selatan. Kawasan tengah ini kaya air dan lahan untuk persawahan, sehingga menjadi ajang perebutan para bangsawan Bugis. Tampaknya pemerintah Hindia Belanda tidak tertarik melibatkan diri terlalu jauh untuk ikut memperebutkan sumber agraria berbasis persawahan di pedalaman. Di samping karena alasan akan memboroskan biaya untuk perang, fokus usaha VOC adalah menguasai perdagangan hasil pertanian untuk memenuhi pasar Eropa (misalnya: cengkeh, kopi dan rempah-rempah). Selama Bandar atau Pelabuhan Makassar bisa dikuasai tampaknya VOC lebih memfokuskan monopoli perdagangan hasil pertanian di Sulawesi Utara, Sangir Thalaud, Jawa, Sumbawa
53
Terjadi perjanjian Bungaya (18 November 1667), perjanjian antara Kesultanan Gowa sebagai yang kalah perang dengan Belanda pada pihak yang menang. Isi perjanjian : Kerajaan Gowa melepaskan Bone dan Sumbawa; Kapal asing tidak boleh mesuk ke Gowa; Kapal Gowa hanya boleh berlayar dengan seijin Belanda; Biaya perang Kompeni dibantu oleh Gowa –Tallo.
124
dan Timor. Sumber-sumber agraria di kawasan ini secara politik ekonomi dinilai lebih menjanjikan dibanding beras dari pedalaman Sulawesi Selatan. Ketidakseimbangan
ecobioregional
antara
kawasan selatan (sekitar
Makassar), tengah (Sidenreng Rappang, Pinrang, dan Enrekang) dan kawasan utara (misalnya Palopo, Mamuju dan Luwu). Berturut-turut dari selatan ke utara menunjukkan tingkat kemajuan daerah, dari yang paling maju dan kurang maju. Gejala yang mengkhawatirkan timbul di bagian utara. Kawasan hutan yang relatif luas di dataran rendah telah banyak yang dikonversi menjadi lahan pertanian untuk perkebunan besar, sementara masyarakat setempat tergusur ke arah kawasan lebih dalam. Tanah pertanian yang digarap masyarakat lokal kualitasnya relatif rendah, dan bisa dimengerti jika produktivitasnya juga rendah. Ini terjadi karena pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk membangun jaringan prasarana ekonomi di kawasan bagian utara Sulawesi Selatan. (catatan khusus perbandingan antara kemajuan kawasan utara-selatan dan tengah) Pembukaan jalan baru lintas Sulawesi (trans Sulawesi) sejak tahun 1980an secara umum telah memberi angin segar pengembangan wilayah Sulawesi Selatan bagian tengah dan utara. Hal yang masih mengkhawatirkan adalah pembangunan trans Sulawesi tidak diikuti dengan pengembangan infrastruktur jalan (plus jembatan) dalam ukuran yang lebih kecil, dalam arti bisa menjangkau kepentingan masyarakat petani. Kekhawatiran saat ini banyak menjadi kenyataan. Akibatnya, yang bisa mengambil manfaat besar terhadap keberadaan trans Sulawesi adalah pengusaha besar dari luar masyarakat Sulawesi. Perusahaan besar telah mengambil lahan-lahan produktif untuk bisnis perkebunan skala besar; sementara itu masyarakat atau petani kebagian lahan yang relatif marjinal dan jauh dari jaringan trans Sulawesi. Secara ekonomi ketimpangan antara masyarakat petani dan pengusaha terbentuk secara sistematik akibat kebijakan pengembangan prasarana ekonomi yang tidak ‖memihak‖ masyarakat petani dan penduduk lokal.54
54
Infrastruktur bagian utara Sulawesi Selatan yang dihuni oleh etnis Bugis jauh lebih maju dibandingkan dengan bagian selatan Sulawesi Selatan yang didiami oleh etnis Makassar. Trans Sulawesi yang memiliki panjang dan lebar jalan yang jauh lebih baik dibanding dengan fasilitas transportasi yang ada di bagian selatan Sulawesi Selatan.
125
5.3
Fase Islam dan Modernisme; Perebutan Panggung Kekuasaan Antar Elite Pada Etnis Bugis dan Makassar Dinamika persaingan dalam masyarakat Sulawesi Selatan merupakan ciri
khas yang mewarnai hubungan antar pribadi, kelompok dan antar kerajaan. Persaingan yang paling utama terjadi antara Kerajaan Gowa, mewakili orangorang Makassar, dan Kerajaan Bone, kerajaan terpenting dari orang-orang Bugis. Persaingan antar dua kerajaan ini memberi kesempatan pihak asing yaitu VOC, yang berminat pada posisi Makassar dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk melakukan penaklukan atas Kerajaan Gowa dengan melakukan persekutuan dengan Bone di bawah Arung Palakka pada abad 17. Pada masa penguasa Tumapa‘risi‘ Kallonna (1510-1546), kerajaan Gowa mengembangkan kerajaannya sebagai pusat perdagangan terpenting di Sulawesi Selatan. Seorang pengunjung Portugis di awal abad -16 mengatakan bahwa ― daerah yang di sebut Makassar sangatlah kecil‖. 55 Untuk kepentingan perluasan kepentingan dagang, hal pertama yang dilakukannya adalah memerangi kerajaan tetangganya, Tallo, yang telah lama melakukan kegiatan perniagaan dan memiliki jaringan yang cukup luas di dunia perdagangan. Penguasa Tallo ketiga yang hidup sezaman dengan Tumapa‟risi‟ Kallonna, Tunipasuru, dikisahkan memiliki kemampuan membuat bedil, membuat perahu dan mengembangkan sistem penulisan. Ia sering melakukan perjalanan hingga ke Melaka untuk mengumpulkan hutang dagang. 56 Ekspansi militer Gowa berakhir dengan keputusan untuk membangun persekutuan yang erat antara Gowa dan Tallo. Tunipasuru‘ mengundang Tumapa‘risi‘ Kallonna ke Tallo dan mengikat ikrar beserta para galarang, mereka bersumpah setia bahwa ―barangsiapa yang mencoba memisahkan Gowa dan Tallo akan mendapat kutukan Tuhan‖. 57 Gabungan kedua kerajaan ini menghasilkan kekuatan yang besar dan berhasil menaklukkan pelabuhan-pelabuhan di Jeneberang dan Garassi yang kemudian diurus oleh kedua kerajaan gabungan ini. Pada masa Karaeng Tu‘mapa‘risi Kalonna, dilakukan perluasan wilayah yang dilanjutkan oleh penggantinya Karaeng Tu‘nipalangga Ulaweng (154655
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal, hlm. 31 A. Kadir Manyambeang dan A. Rahim Mone (penerjemah), Lontarak Patturiolonganga Tutallokka (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), hlm. 9 57 G.J. Wolhoff dan Abdurrahim, Sedjarah Goa (Ujung Pandang: Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, tanpa tahun), hlm. 21 56
126
1565) yang berhasil menaklukkan seluruh bagian selatan jazirah selatan pulau Sulawesi. Karaeng Tu‘nipalangga Ulaweng menata sistem pemerintahan kerajaan Gowa dengan menciptakan jabatan Tumakkajannangang (lembaga ketentaraan, panglima), Tumailalang (menangani urusan administrasi internal kerajaan). Jabatan ini umumnya dijabat oleh bangsawan keturunan Tomanurung. Dalam penyelenggaraan pemerintah, peraturan Raja harus mendapat keputusan dari dewan Bate Salapang, kecuali daerah-daerah di luar sembilan bori, sepenuhnya wewenang raja.58 Di bawah raja terdapat jabatan Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang bertugas mendampingi raja atau menggantikan raja untuk tugas-tugas tertentu. Di bawahnya terdapat jabatan Tumailalang yang terbagi atas Tumailalang Towa, pejabat ini yang menjadi saluran komunikasi antara raja, Tumabbicara Butta dan Dewan Bate Salapang. Sedangkan Tumailalang Lolo, pejabat yang selalu mendampingi raja, menerima segala perintah raja yang berhubungan dengan urusan istana dan jalur komunikasi dari bawah ke atas dan lembaga adat ke raja.59 Jabatan Sabannara atau syahbandar setingkat dengan Tumailalang, untuk memudahkan urusan luar dan perdagangan dengan pihak luar dibentuk tentunya karena perdagangan semakin meningkat dengan hadirnya orang-orang Melayu Pedagang Melayu menjadikan Makassar
sebagai pangkalan untuk
mendapatkan beras untuk ditukar dengan pala, bunga pala, dan cengkeh Maluku yang merupakan komoditas utama dunia. Hubungan dagang yang berlangsung antara orang-orang Makassar dan sebagian besar wilayah lainnya di Sulawesi Selatan dengan orang-orang Melayu yang beragama Islam membawa kemajuan dan kemakmuran bagi negeri-negeri Makassar. Para saudagar Melayu kemudian diberi sebuah tempat oleh Raja Tunipalangga di daerah Mangallekana, tepian pantai di sebelah selatan Sungai Jeneberang, sebuah tempat yang menjadi pusat perdagangan. Demikian halnya dengan orang-orang Portugis dan Eropa lainnya yang memeluk Kristen dan Katolik pun memiliki tempat di Makassar Jatuhnya Malaka tahun 1511 ke tangan Portugis, membuat banyak orangorang Melayu meninggalkan Malaka. Mereka memperingatkan Kerajaan Gowa 58
Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka, hlm. 32 Sejarah Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978), hlm. 35 59
127
untuk tidak memberikan kesempatan bagi Portugis untuk berkembang. Selanjutnya mereka mengundang para ulama untuk mengimbangi kegiatan orangorang Portugis dalam menarik masyarakat setempat untuk memeluk agama Islam. Para ulama ini berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat yang berhasil mengIslamkan Raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manra‘bia dengan gelar Sultan Alauddin dan pamannya Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam yang juga sebagai mangkubuminya yang berasal dari Kerajaan Tallo sekitar tahun 1605.60 Sejak itu Islam berkembang dengan pesat. Penguasa Gowa selanjutnya mengeluarkan maklumat kepada para penguasa kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Islam. Tetapi usaha ini menemui hambatan dari kerajaan-kerajaan besar seperti Bone, Wajo dan Soppeng, dan akhirnya diikrarkanlah perang suci kepada kerajaan-kerajaan yang merupakan musuh lama Gowa. Kerajaan Gowa berhasil menaklukkan Soppeng di tahun 1609, Wajo di tahun 1610 dan Bone pada tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Perkembangan Islam selanjutnya di bawah perlindungan kerajaan. Namun keberhasilan penaklukan inilah pula yang kelak menjadi salah satu penyebab kejatuhan Gowa pada tahun 1667. Kemajuan yang dicapai oleh Makassar bertentangan dengan keinginan pedagang Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya yang merupakan saingan berada di Makassar. VOC meminta kepada Sultan Alauddin agar tidak menjual beras lagi kepada Portugis di Malaka dan juga melarang orang Makassar untuk berdagang di Maluku. Namun semua itu di tolak oleh Sultan Alauddin dan menerima jawaban yang terkenal: Tuhan menciptakan daratan dan lautan. Daratan di bagi di antara umat manusia dan lautan diberikan sebagai milik umum. Tak pernah ada yang mengatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan mengarungi lautan. Jika anda mencoba melakukan hal tersebut, berarti anda mencuri roti dari mulut kami. Lagipula saya bukanlah seorang raja yang kaya. 61 Jawaban ini menimbulkan pertentangan politik yang keras dengan VOC. Oleh karena itu Kerajaan Makassar mempersiapkan diri dengan membangun benteng 60
Lihat Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), (Jakarta: YOI, 2005), hlm. 99-102. Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan (Jakarta: Leksnas-LIPI-Depag RI, 1976), hlm. 26-35 61 Dalam C. Skinner dan Enci Amin, Syair Perang Mengkasar (Makassar-Jakarta: Inninawa dan KITLV, 2008), hlm. 2
128
di sepanjang pesisir kota, dari Benteng Tallo di utara dan Benteng Panakkukang di selatan. Beberapa benteng lainnya di bangun di Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barokbaso, Mariso, Garasi dan Barombong. Kegiatan perdagangan dilangsungkan di balik benteng.62 Kebesaran kerajaan kembar Gowa-Tallo di masa kepemimpinan Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya diteruskan oleh penerusnya Sultan Malikkusaid dan Karaeng Pattingaloang. Ketika Kerajaan Gowa mulai membangun benteng di sepanjang pesisir Makassar, Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung mengerahkan segala tenaga yang berasal dari berbagai daerah yang telah ditaklukkannya. Termasuk diantaranya dari Tana Toraja, Soppeng dan Bone, yang ditaklukkannya dalam ‗Perang Passempe‘ di tahun 1646 ketika Makassar melakukan peperangan atas dasar Islamisasi, yang berakibat status Bone menjadi ‗budak Gowa‘ 63. Pada tahun 1654, sekitar 10.000 ribu orang Bone didatangkan ke Makassar dan diperintahkan menggali parit di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar dari benteng paling selatan di Barombong hingga di ujung utara benteng Ujung Tana. Pekerjaan yang sangat berat ini dan dilaksanakan dengan keras, mengakibatkan banyak orang Bone meninggal karena penyakit, sebagian berhasil melarikan diri. Akibatnya, Karaeng Karunrung memerintahkan seluruh bangsawan Bone dan Soppeng untuk bekerja dengan rakyat mereka dan diserahi tanggung jawab atas pelarian kelompoknya. Melihat hal tersebut tak terkatakan perasaan terhina orang-orang Bugis. Perasaan siri ‟ orang-orang Bugis menumpuk berlipat ganda karena selain rakyatnya harus melakukan kerja paksa, tuan mereka pun harus melakukan pekerjaan kasar yang sama dengan rakyatnya. Siri ‟ ini bukan lagi persoalan pribadi namun sudah menyentuh siri ‟ seluruh bangsa Bugis di mana penguasapenguasa Bugis adalah simbol masyarakat yang menciptakan pésse/pacce di antara orang-orang Bugis. Kemarahan mereka semakin memuncak dan hal ini tidak disadari oleh penguasa Makassar dengan memberi kepercayaan kepada 62
Mengenai hal ini lihat David Bulbeck, “Sejarah Konstruksin dan Benteng-Benteng Pertahanan Makassar‖, dalam Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni (penyunting), Tapak-tapak Waktu, Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan ( Makassar: Inninawa, 2005), hlm. 113-172 63 Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka, hlm. 52-53
129
pemimpin Bugis untuk mengurus rakyatnya yang sedang menjalani kerja paksa. Ini adalah sebuah awal yang akan menimbulkan pemberontakan dan perlawanan yang kelak menjatuhkan kebesaran Makassar sendiri. Kisah kejatuhan Makassar dalam peperangan dahsyat yang berlangsung dari Desember 1666 hingga November 1667 yang berakhir dengan dipaksanya Makassar menandatangani Perjanjian Bungaya (Het Bongaais Verdrag) yang isinya sangat berat, merugikan dan memilukan Makassar. Drama kejatuhan kerajaan Makassar digambarkan oleh penulis Belanda bahwa: Hari-hari pertempuran memperebutkan benteng Somba Opu sangat berat, sehingga para serdadu tua pun barangkali tidak pernah mendengar adanya pertempuran sehebat ini di Eropa, dengan pasukan senapan (muskeeters) Belanda menembakkan 300 ribu pada hari itu. 64 Setelah keruntuhan kerajaan Makassar tahun 1669, dengan kemenangan Arung Palakka dan Speelman, keduanya berbagi kekuasaan. Wilayah Sulawesi Selatan di bagi dua antara Arung Palakka, penguasa Bone dengan Speelman mewakili VOC. Arung Palakka dan Kompeni mempertahankan hubungan mereka dan menjadi penguasa bersama atas Sulawesi Selatan. Dari hubungan tersebut, mereka sepakat untuk berbagi urusan. Kompeni mendapat kekuasaan untuk mengambil keputusan di bidang perdagangan dan luar negeri, sedangkan Arung Palakka menjamin lancarnya fungsi hubungan di dalam negeri.65 Arung Palakka menjadikan Speelman dan VOC menjadi bagian dari masyarakat Bugis (receiving insiders) untuk mengembalikan harga diri dan menebus rasa malunya dengan menyediakan segala informasi dan dukungan yang dibutuhkan oleh VOC dalam menghadapi Makassar yang selanjutnya hubungan itu diklaim olehnya untuk melegitimasi kekuasaan yang akan diwariskannya kepada penerusnya. ia bersamasama dengan VOC mengatur Sulawesi Selatan namun VOC sebagai penguasa berperan sebagai ―klien asing‖ (strange-client) yang menjadi tamu dari tuan rumah, sesuatu yang kelak menjadi masalah dalam hubungan antara Bone dan Belanda. Selanjutnya Speelman, menjadikan wilayah Benteng Ujung Pandang dan sekitarnya sebagai kota baru, yang terdiri dari benteng pertahanan, kota dagang, dan 64
dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal, hlm. 164 L.A. Andaya, Warisan Arung Palakka, hlm. 190. Lihat bagaimana hubungan yang sama dalam pembagian tanggung jawab antara Tomanurung dan Dewan adat Bate Salapang pada awal terbentuknya Kerajaan Gowa 65
130
kampung. Benteng Ujung Pandang diubah namanya menjadi Fort Rotterdam yang dijadikan markas tentara dan kantor perwakilan. Wilayah utara benteng dijadikan kota dagang yang disebut Vlaaringen, di sekitarnya dibangun kampung berdasarkan asal para pedagang seperti Kampung Melayu dan Kampung Wajo. Perubahan ini berkaitan dengan usaha Belanda untuk memonopoli perdagangan di Maluku. Sepeninggal Arung Palakka, tak ada lagi pemimpin yang menandingi kualitasnya termasuk para penerusnya. Sulawesi Selatan memasuki masa perpecahan yang semakin buruk. Para bangsawan pendukung Arung Palakka menghadapi kenyataan bangkitnya kembali perlawanan dari para saingan. Persaingan antara penguasa ini masing-masing berusaha mencari dukungan kepada penguasa Belanda di Fort Rotterdam. Ini membuat Kompeni menjadi penguasa tunggal atas Sulawesi Selatan karena tak ada lagi saingan yang sekualitas Arung Palakka. Setiap pergantian penguasa yang didukung oleh Kompeni menandatangani Perjanjian Bungaya yang terus diperbaharui sehingga menempatkan Kompeni sebagai satu-satunya penguasa atasan di Sulawesi Selatan, sesuatu yang terus ditentang oleh Bone namun semakin lama kekuatan Bone semakin menurun akibat persaingan dengan penguasa-penguasa sekutunya dahulu di masa Arung Palakka. 5.3.1 Perubahan Sistem Pemerintahan Seperti digambarkan
Poelinggomang66 mengenai perubahan politik dan
hubungan kekuasaan pada 1906-1942, bahwa setelah ekspedisi militer yang sukses atas Sulawesi Selatan, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan diri sebagai penguasa dan menjalankan pemerintahan langsung terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Masa pemerintahan Hindia Belanda dari 1906-1942 berbeda dengan masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda sebelum 1906. Meski sejak masa VOC dan sebelum 1906, Belanda dipandang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Sulawesi Selatan namun kegiatan pemerintahan tidak pernah mereka jalankan kecuali melakukan pengawasan terhadap kegiatan politik dari penguasa-penguasa setempat.
66
Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 2-3.
131
Setelah 1906, pemerintah kolonial mengatur pembagian wilayah di Sulawesi Selatan, raja dan pemangku adat yang disebut Hadat diangkat menurut adat setiap kerajaan bersangkutan. Setelah diangkat, mereka menandatangani Perjanjian Pendek. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan politik, dengan menghapus kerajaan-kerajaan yang terdapat di wilayah ini. Kerajaan-kerajaan yang dahulu merupakan kerajaan sekutu (bondgenootschappelijke landen) di hapus dan dijadikan wilayah pemerintahan langsung. Demikian juga bentuk-bentuk pemerintahan di wilayah itu yang bercorak kerajaan dan konfederasi termasuk kesatuan kaum dihapus. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara secara resmi pada tahun 1911 dalam satu wilayah pemerintahan yang disebut Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden atau Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya. Wilayah ini dibagi menjadi tujuh bagian pemerintahan atau afdeeling: Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar, Buton dan Pesisir Timur Sulawesi (Boeton en Oostkust Celebes). Pada tahun 1916, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menata administrasi pemerintahan dengan memanfaatkan penguasa pribumi dalam pelaksanaan pemerintahan. Struktur pemerintahan pemerintah Hindia-Belanda tersusun atas: Gouverneur atau Gubernur, kemudian Residen yang memimpin daerah administrasi (Gewest). Di bawahnya terdapat afdeeling di pimpin oleh Asisten Residen. Kemudian selanjutnya adalah onderafdeeling dengan pejabat yang di sebut Kontrolir. Pada pemerintahan daerah adat dan kampung di pegang oleh pejabat pemerintah daerah yang di sebut Regent dan kepala kampung (hoofd).67 Kepala-kepala distrik dalam pemerintahan Kolonial di sebut Regen, namun oleh masyarakat mereka di sebut Karaeng Arung atau Puatta. Mereka berasal dari raja-raja bawahan Kerajaan Gowa atau Bone, malah ada juga dari raja yang berdiri sendiri seperti dari Turatea. Setelah mereka ditaklukkan atau di rebut Belanda dari kerajaan induknya mereka kemudian tetap memimpin wilayah mereka sebagai kepala distrik. Jabatan ini tetap bersifat turun temurun. Penempatan dan penguatan kedudukan penguasa bori dalam melaksanakan pemerintahan 67
dengan
mengabaikan
Ibid., hlm. 4 dan hlm. 83-109
132
kedudukan
penguasa
kerajaan
dan
konfederasi, secara tidak langsung menempatkan penguasa bori sebagai atasan dari bangsawannya. Sampai tahun 1926 para raja ini ruang geraknya sangat terbatas, karena segala sesuatunya dikerjakan oleh kontrolir dan stafnya yang terdiri dari pegawai-pegawai pribumi dan kepala-kepala distrik. Struktur ini mengubah susunan pemerintahan Kerajaan Gowa yang disusun di masa penguasa ke-10, Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Raja ini menata sistem
pemerintahan
kerajaan
Gowa
dengan
menciptakan
jabatan
Tumakkajannangang (lembaga ketentaraan, panglima), Tumailalang (menangani urusan administrasi internal kerajaan). Jabatan ini umumnya dijabat oleh bangsawan keturunan
Tomanurung.
Dalam
penyelenggaraan pemerintah,
peraturan Raja harus mendapat keputusan dari dewan Bate Salapang, kecuali daerah-daerah di luar sembilan bori , sepenuhnya wewenang raja. 68 Di bawah raja terdapat
jabatan
Tumabbicara
Butta
atau mangkubumi
yang
bertugas
mendampingi raja atau menggantikan raja untuk tugas-tugas tertentu. Di bawahnya terdapat jabatan Tumailalang yang terbagi atas Tumailalang Towa, pejabat ini yang menjadi saluran komunikasi antara raja, Tumabbicara Butta dan Dewan Bate Salapang. Sedangkan Tumailalang Lolo, pejabat yang selalu mendampingi raja, menerima segala perintah raja yang berhubungan dengan urusan istana dan jalur komunikasi dari bawah ke atas dan lembaga adat ke raja. 69 Jabatan Sabannara atau syahbandar setingkat dengan Tumailalang, untuk memudahkan urusan luar dan perdagangan dengan pihak luar. Pemerintah Belanda berusaha mengambil alih peran dari bangsawanbangsawan penguasa yang tidak dilibatkan lagi dalam pemerintahan, sedangkan di lain pihak memberi kedudukan kepada pihak yang bekerja sama dan mendapat keuntungan dari hubungan ini. Namun pada dasarnya pemerintahan Hindia Belanda ingin menunjukkan dominasinya dengan melakukan suatu hubungan kekuasaan unilateral. Dengan menggunakan kekuatan militer untuk memaksakan para bangsawan dan rakyatnya tunduk dan melaksanakan segala peraturan dari pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda telah memperhitungkan kedudukan bangsawan yang sangat kuat tersebut dengan menyerang mereka dan menghapus 68
L.Y. Andaya, Warisan Arung Palakka, hlm. 32. Sejarah Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978), hlm. 35 69
133
kedudukan feodal yang mereka miliki dengan harapan menarik simpati dari bawahan mereka yang tertekan. Selain itu mereka juga berupaya mempertahankan lembaga-lembaga tradisional dan kebudayaan masyarakat pribumi.
70
Pada tahun 1917, wilayah bagian pemerintahan Makassar dan Bonthain dibagi menjadi tiga afdeeling yaitu: Makassar, Sungguminasa dan Bonthain. 71 Wilayah kerajaan Gowa di jadikan afdeeling Sungguminasa dengan ibu kota Sungguminasa membawahi: onderafdeeling Gowa, membawahi bekas kerajaan Gowa,
onderafdeeling
Takalar,
dan
onderafdeeling
Jeneponto.
Kedua
onderafdeeling yang disebut terakhir adalah dijadikan tanah Gubernemen Hindia Belanda. Sementara itu keluarga bangsawan utama Gowa, tidak lagi memiliki peran berarti akibat penataan pemerintahan yang di buat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Para bangsawan hidup dalam suasana muram di Desa Jongaya, Jarak
antara
Jongaya
dan Sungguminasa sekitar 7 km. 72 terletak diantara
Sungguminasa dan Makassar, merupakan tempat kediaman penguasa Kerajaan Gowa dan keturunan serta kerabat utama kerajaan yang terpenting. Jongaya, dahulu merupakan bekas ibu kota kerajaan Gowa sebelum rusak berat setelah ekspedisi militer 1906. Adapun keadaan Desa Jongaya, keturunan
Raja
Gowa
dan
bangsawan
tempat tinggal
di pertengahan tahun 1925,
digambarkan oleh Friedericy : Di bekas ibu kota Jongaya dahulu, yang terletak beberapa kilometer dari Makassar, beratus-ratus keturunan Raja Gowa dengan pelayanpelayan dan hamba sahayanya laki-laki dan perempuan, tinggal di berpuluh-puluh rumah panggung yang besar, terdiri atas dua puluh lima tiang. Budak-budak dan hamba sahaya tersebut sudah bertahun-tahun di bebaskan oleh penguasa Belanda, dimasukkan dalam golongan orang merdeka, tapi mereka lebih suka hidup di bawah naungan bekas rajaraja besar itu daripada berdiri di atas kakinya sendiri.73 Keluarga raja dan bangsawan di Jongaya dan sebagian di daerah Gunung Sari hidup dalam keadaan miskin. Setelah Karaeng Lembang Parang, raja Gowa terakhir gugur di tahun 1906, harta mereka di sita dan kedudukan penguasa Gowa 70
Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik, hlm. 88. Lihat Staadblad 1924, No. 476. Lihat juga Regerings-Almanak vor Nederlandch-Indië 1926 (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926), hlm. 136-137 72 Lihat ―Permohonan Ulang dari Kerajaan Gowa sebagai Wilayah yang Berpemerintahan Sendiri, 1936‖ dalam Otonomi Daerah di Hindia Belanda (Jakarta: ANRI, 1998), hlm. 5. 73 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 7-8. 71
134
ditiadakan.
Setelah penaklukan,
saudara Raja, I
Mangi-mangi
Karaeng
Bontonompo di buang ke Bima dan anak lelaki Karaeng Lembangparang yang bernama I Mappanyukki di buang ke pulau Selayar 74. Regalia (kalompoang) kerajaan Gowa di rampas oleh pemerintah Hindia Belanda dan dijadikan alat untuk memperkuat kewibawaan Gubernemen di mata rakyat. Karena dalam sejarah dan adat Gowa, pemegang regalia adalah pemegang sesungguhnya atas Kerajaan Gowa. Untuk sementara tercipta ketenangan di wilayah ibu kota dan sekitarnya. 5.3.2 Perkembangan Bidang Pendidikan Pendidikan umum yang berlangsung di Sulawesi Selatan sejak abad 17, seperti halnya di Jawa dan Sumatera, menekankan kemampuan dalam pengajian Al-Quran dan Hadis. 75 Salah satu kebijakan dari Politik Etis yang paling penting pada masa kolonial adalah kebijakan di bidang pendidikan bagi bumiputera. Sekolah pertama yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial adalah Sekolah Raja pada tahun 1910 yang diperuntukkan kepada anak-anak para bangsawan. Namun sekolah ini tidak mendapat respon dari kalangan bangsawan terutama dari daerah yang berstatus dikuasai tetapi tidak diperintah langsung oleh Belanda. 76 Keadaan ini tampaknya disebabkan keengganan kaum bangsawan karena menyadari jika mereka mengadopsi nilai-nilai Barat melalui pendidikan akan membuat otoritas mereka akan menjadi lemah di kalangan rakyatnya dan sikap ini diikuti pula oleh rakyatnya. Hal lain yang mendukung sikap ini, karena Belanda telah memberikan jaminan atas kedudukan para raja dan bangsawan lainnya selama mereka setia kepada pemerintah. Keadaan ini berbeda di wilayah yang diperintah langsung oleh Belanda. anakanak bangsawan dari daerah ini mendapat kesempatan lebih dahulu memperoleh pendidikan modern. Hampir sebagian besar kalangan terkemuka dan terdidik yang menjadi motor gerakan sosial di Sulawesi Selatan menjelang Perang Dunia II. Mereka merupakan tamatan pendidikan sekolah Belanda seperti HIS (Hollands
74
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Lephas, 1998), hlm. 392-393. 75 Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar, dari Tradisi ke DI/TII (Jakarta: Graffiti Press, 1989), hlm. 66 76 Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah: Kasus Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan 19491979 (Yogyakarta: PAU-SS-UGM, 1988), hlm. 23-24
135
Inlandse School), sekolah buat pamongpraja bumiputera OSVIA (Opleiding School voor Inlands Bestuur Ambtenaar). Para anak bangsawan yang bersekolah di tempat tersebut diwajibkan menunjukkan stamboom atau silsilah keluarga dan menyatakan kesetiaan kepada Belanda.
77
Untuk membedakan anak bangsawan ini dengan
kalangan lainnya maka di depan nama mereka ditambahkan gelar ―Andi‖, menunjukkan pemakainya adalah keturunan bangsawan Sulawesi Selatan.78 Secara umum, perkembangan pendidikan modern di Sulawesi Selatan bermula dengan dibukanya Kweekschool di kota Makassar pada tahun 1880 oleh B.F. Matthes.79 Tamatan sekolah ini kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk membuka sekolah dasar empat tahun bagi anak-anak bangsawan dan orang-orang terkemuka di daerah ini di Makassar, Maros, dan di Bantaeng. Sejak tahun 1906, kemudian dibuka sekolah-sekolah serupa di tiap ibu kota onderafdeeling. Pada tahun 1920, dibuka lagi sekolah dasar tiga tahun di setiap ibu kota distrik diikuti dengan dibukanya Leergang vor Volks Onderwijzer atau sekolah guru Desa. Sampai tahun 1930, terdapat hanya dua jenis sekolah untuk bumiputera yaitu Sekolah Desa selama tiga tahun dan sekolah sambungannya selama tiga tahun. Sedangkan dua jenis sekolah untuk anak bangsawan yaitu HIS dan Schakel School yang mempergunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Mereka yang menamatkan pendidikan di HIS atau Schakel School dapat melanjutkan pendidikannya di MULO (Merdeer Uitbreiding Lager Onderwijs) selama empat tahun atau tiga tahun di Makassar. Penerimaan anak-anak bangsawan dan orang-orang terkemuka diatur oleh Residen Sulawesi sendiri. 80 5.3.3 Cikal Bakal Modernisme Pada Etnis Bugis dan Makassar Munculnya gerakan modernis di Sulawesi Selatan tidak lepas dari gerakan Sulselisme yang berkembang di nusantara di awal abad 20. Salah satu gerakan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Sulselisme adalah berdirinya Sarekat Islam (SI) tahun 1912 di Surakarta.81 Pada tahun-tahun pertama berdirinya 77
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Makassar: Lephas, 1998), hlm. 401 78 Ibid 79 Sejarah Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayan Daerah, 1978), hlm. 86-87. 80 Ibid 81 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995),
136
SI mencakup banyak kaum Marxis yang mempunyai pengaruh cukup besar di berbagai cabang SI. Setelah Partai Komunis Indonesia terbentuk tahun 1920, pimpinan SI melarang keanggotaan rangkap dan memecat para SI ―Merah‖. Pada tahun 1920, seorang ahli propaganda PKI datang ke Makassar untuk mengorganisasikan suatu gerakan. Pada tahun 1924, PKI cabang Makassar merupakan salah satu di antara empat cabang di luar Jawa yang mengirim utusan ke kongres PKI ke-9.82 Akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh partai ini di Jawa dan Sumatra pada tahun 1926-1927 maka partai ini dianggap terlarang, demikian juga ditahannya banyak pemimpin pergerakan Sulsel selama tahun 1930 oleh pemerintah Belanda. sehingga selama tahun 1930-an gerakan Sulselis merupakan ancaman kecil bagi pemerintah Belanda. Mengenai keadaan pergerakan Sulsel di Sulawesi Selatan dan Tenggara dilaporkan oleh Residen C.H. Laag83 bahwa Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berdiri tahun 1936 dengan ketuanya Ahmad Daeng Siola memiliki 75 orang anggota. Demikian juga Persatoean Selebes Selatan yang di bawah pimpinan Nadjamoeddin Daeng Malewa memiliki 250 anggota dan menyatakan kesetiaan kepada pemerintah kolonial. Partai-partai lainnya juga tidak menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda, seperti Gerindo, LAPSII, dan Penjedar Barisan PSII, berada di pedalaman dan hanya memiliki anggota paling banyak hanya sekitar 100 orang. Gerakan yang paling penting di Sulawesi Selatan dibandingkan dengan organisasi politik adalah organisasi Islam yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah yang didirikan di kota Yogyakarta pada tahun 1912 dan berkembang di Makassar pada tahun 1926 dengan pelopornya yaitu Haji Abdullah, Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, Abdul Karim Daeng Tunru, dan Mansyur Al-Yamany. 84 Dalam usahanya dalam melakukan perjuangan dan pembaharuan, organisasi ini banyak mendapat benturan dengan pemerintah Belanda dan kaum bangsawan karena gerakan mereka menggoyahkan struktur hierarki feodal dan keyakinan tradisional masyarakat. hlm. 247-273 82 Ruth T. Mc. Vey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1965), hlm. 184,434 83 Dalam Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar, hlm. 79-80. 84
Lihat perkembangan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan dalam Mustari Bosra, Tuang Guru, Anrong Guru, dan Daeng Guru: Gerakan Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942 (Makassar: Penerbit La Galigo, 2008), hlm. 115-129
137
Berbagai kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk mengubah masyarakat tradisional ke arah modern terlihat dari pembangunan yang dilakukan. Berbagai sarana seperti transportasi, birokrasi, dan pendidikan diselenggarakan untuk mendukung upaya tersebut. Hal ini juga berdampak pada perubahan dan pergolakan sosial yang menyangkut fungsi dan status masyarakat. Dalam situasi ini memunculkan golongan terpelajar yang berpendidikan barat, yaitu golongan elite modern yang aktif melakukan pembaharuan dan mendorong masyarakat ke arah perubahan. Setelah pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan masalah kekuasaan para bangsawan di Sulawesi Selatan, dalam banyak laporan dan keterangan, bahwa periode 1930-1940 adalah sebuah masa tenang di Sulawesi Selatan sebelum kedatangan Jepang. Penataan pemerintahan yang dilakukan telah memungkinkan terjadinya perkembangan dalam masyarakat. Kondisi ini mendorong penduduk Sulawesi Selatan mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, kejuruan dan lapangan ekonomi pertanian dan perdagangan. Jumlah orang Sulawesi Selatan yang menyelesaikan pendidikan Pamong Praja dan menjadi pegawai Inlandsche Bestuur Ambtenaar yang menjadi tulang punggung kekuatan administrasi pemerintah kolonial Belanda. 85 Meskipun kaum ambtenar ini telah memperoleh pendidikan modern, namun menariknya mereka masih mempertahankan satu identitas masa lampau yang berorientasi kepada status dan selalu berusaha mendapatkan status yang lebih tinggi, serta tetap melaksanakan pola kehidupan kepemimpinan tradisional. Adapun masyarakat umum yang telah terbiasa dengan pola ini menerimanya sebagai suatu kewajaran yang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Seperti diterangkan sebelumnya, bahwa kebanyakan elite modern Sulawesi Selatan berasal dari daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Seperti misalnya, Mauraga Daeng Malliungang,86 Karaeng atau bangsawan dari daerah Pangkajene, berpendidikan kelas 4 OSVIA, pada tahun 1912 diangkat menjadi regen Pangkajene menggantikan ayahnya. Saudara laki-lakinya menjadi penguasa di masyarakat adat Mandalle dan keponakannya menjadi Karaeng di Maros. Beberapa putranya menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogyakarta.
85 86
Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar, dari Tradisi ke DI/TII , hlm. 65-78 M.A. Los, Memorie van Overgave Onderafdeeling Pangkadjene 1931-1934, hlm. 3
138
Salah satu putranya yaitu Andi Burhanuddin yang menggantikannya sebagai Karaeng Pangkajene pada tahun 1942, kemudian dicopot tahun 1945, karena bersimpati pada Republik Indonesia.
Andi
Burhanuddin
pernah
menjadi
Menteri Penerangan NIT pada Kabinet Anak Agung Gde Agung I pada tahun 1947. Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi tahun 1955-1956.87 Dari kalangan bangsawan Gowa, diantaranya yang kelak menjadi tokoh yang berpengaruh di Sulawesi Selatan yaitu Andi Pangerang Petta Rani, yang merupakan Karaeng Tumabicara Butta atau wakil raja. Friedericy, kontrolir Gowa menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang baik dan suka belajar serta dianggap paling cerdas diantara kaum muda keturunan raja-raja dan menempuh pendidikan relatif tinggi88. Dari kalangan bangsawan penguasa distrik terdapat nama Lanto Daeng Pasewang yang lahir di Jeneponto tahun 1900. Ia mendapat pendidikan di OSVIA Makassar dan pendidikan untuk pegawai pemerintahan (bestuurschool) di Jakarta. Pernah menjadi jaksa tinggi di Makassar pada tahun 1942-1945 dan anggota Muhammadiyah. Pada tahun 1950 menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Putuhena dan menjabat Gubernur Sulawesi di tahun 1954-1956.89 Setelah pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan masalah kekuasaan para bangsawan di Sulawesi Selatan, dalam banyak laporan dan keterangan, bahwa periode 19301940 adalah sebuah masa tenang di Sulawesi Selatan sebelum kedatangan Jepang. Penataan pemerintahan yang dilakukan telah memungkinkan terjadinya perkembangan dalam masyarakat. Kondisi ini mendorong penduduk Sulawesi Selatan mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, kejuruan dan lapangan ekonomi pertanian dan perdagangan. Dari perubahan yang terjadi di masa kolonial tersebut, melahirkan dinamika baru kebudayaan Sulawesi Selatan. Jika sampai akhir abad 19, kelas sosial hanya terbagi atas bangsawan tinggi istana, bangsawan wilayah dan orang-orang merdeka, maka setelah berlangsungnya pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat 87
Abd. Razak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan (Makassar: PusKit-Lephas, 2004), hlm. 52 88
Mr. J.T.K. Poll, Memorie van Overgave Bestuurmemorie, hlm.
89
Republik Indonesia, Propinsi Sulawesi (Makassar: Kementerian Penerangan, 1953), hlm. 223,242.
139
terbagi atas: kaum bangsawan yang menjadi bagian pemerintahan Hindia Belanda sebagai kelas utama, kaum ambtenar yang memiliki pendidikan formal dan kalangan ulama dan adat, serta yang terakhir kelas hartawan, pedagang dan pengusaha. Dari perubahan ini seperti yang dikatakan Mattulada, bahwa tetap terlihat adanya ukuran prestasi untuk menilai kemampuan seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi.50
90
Sistem budaya siri ‟ dan pacce masih
berlangsung utamanya dalam mengejar prestasi dan kedudukan yang bernilai dan bermartabat di masyarakat. 5.4 Fase Sekularisme (Reproduksi Elite Pada Era 1905 Hingga Otonomi Daerah) Pada Etnis Bugis dan Makassar Pada bagian ini diperlihatkan bahwa level makro (provinsi dan Sulsel), penggunaan konsep hybridasasi budaya politik menjadi pilihan yang jitu untuk tetap menjaga spirit soliditas dan solidaritas makro. Meskipun nampak nyata, secara diam-diam pada aras mezzo terjadi kontestasi identitas etnis antara Bone dan Gowa. Pilihan menggunakan simbol, uang, dan kuasa pada seluruh aras analisis memperlihatkan betapa pentingnya kesadaran budaya politik yang bersifat hybrid. Pada bagian ini juga ditunjukkan bahwa pada level mezzo, budaya sosiologi politik koeksistensi sangat berguna untuk tetap menjaga keberagaman etnisitas dan ras dalam kehidupan bersama. Permainan simbol budaya, kuasa dan uang dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar juga diperlihatkan pada bagian ini. Kecenderungan-kecenderungan seperti tersebut di atas memperjelas fase sekularisme merupakan fase yang ditandai oleh tindakan kekuasaan yang bersifat, transaksional, pragmatis, rasional, utilities dan efisien. Proses pembentukan elite pada era otonomi daerah sesuai amanat UU 32 tahun 2004 di Kabupaten Bone dan Gowa tidak bisa dilepaskan dengan proses pembentukan elite pada masa sebelumnya; tradisional, feudalism, Islam modern, dan sekularisme. Mayoritas elite-elite yang ada saat ini baik yang berada di panggung kekuasaan politik di Kabupaten Bone dan Gowa, maupun elite yang
90
Mattulada, Sejarah, hlm. 409-410. Mengenai dinamika terbentuknya elite, lihat Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1983). Lihat juga, Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009)
140
berasal dari Kabupaten Bone dan Gowa yang berkiprah di panggung politik pada level provinsi dan Sulsel, proses kelahirannya sulit tidak dikaitkan dengan era politik sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa nama elite baru, baik dari Kabupaten Bone maupun Kabupaten Gowa yang tidak memiliki hubungan sejarah dengan era politik sebelum otonomi daerah. Beberapa elite yang diproduksi oleh otonomi daerah berdasarkan UU 32 tahun 2004 antara lain dari Bone adalah; AM (governing elite, petinggi salah satu partai Islam, Wakil Ketua DPR RI), AP (governing elite, wakil ketua DPRD Sulsel), AMF (Anggota DPD RI). Sedangkan dari Kabupaten Gowa terdapat nama-nama antara lain; AU (Ketua salah satu partai Islam di Sulsel, dan anggota DPRD Sulsel), dan HL (mantan anggota DPRD Sulsel). Nama-nama ini lahir sebagai elite baru melalui rahim sekularisme, dan menjadikan partai politik sebagai tunggangan untuk memasuki panggung kekuasaan. Melalui UU 32 tahun 2004, diberikan kesempatan yang sama kepada semua komponen masyarakat untuk berkompetisi merebut panggung politik, akan tetapi kelonggaran panggung politik tidak serta merta diikuti oleh institusi negara yang lain. Birokrasi pemerintah misalnya masih mempertahankan tradisinya dalam hal menentukan pejabat yang akan mengisi jabatan-jabatan strategis, terutama eselon dua dan tiga. Di Kabupaten Bone misalnya, kekuatan aristokrasi dan sentimen kedaerahan menjadi penentu yang cukup berpengaruh dalam memilih calon-calon pejabat eselon dua dan tiga. Sangat terbatas jumlah pejabat eselon dua dan tiga di Kabupaten Bone yang tidak bergelar ‖andi,‖ dan hampir semua pejabat adalah putra asli Bone. Gelar ‖andi‖ adalah salah satu varian yang dapat dipakai untuk menentukan posisi kebangsawanan seseorang di Kabupaten Bone. Kondisi ini menunjukkan kuatnya peranan aristokrasi mempertahankan dirinya dalam struktur kekuasaan di Bone. Sebaliknya, ruang kekuasaan yang disajikan di atas panggung birokrasi Kabupaten Gowa jauh lebih ‖fleksibel‖ dibandingkan dengan Kabupaten Bone. Jabatan-jabatan strategis pada eselon dua dan tiga diisi oleh beragam suku dan etnis, dan dari berbagai latar belakang keturunan. Kecenderungan ini dapat dibaca bahwa di Kabupaten Gowa, sentimen kesukuan dan status kebangsawanan tidak
141
ikut berpengaruh dalam memposisikan pejabat eselon dua dan tiga. Fakta ini bisa dimaknai sebagai pertanda tumbuhnya birokrasi rasional. Penjelasan lain adalah, terputusnya relasi antara kekuasaan birokrasi saat ini dengan kekuasaan sebelumnya, terutama dengan kalangan penguasa yang berdarah aristokrat. Selain melalui panggung politik dan birokrasi, dua jalur yang selama ini – sejak fase tradisional, hingga fase sekularisme atau otonomi daerah,-- masih dalam penguasaan dan kontrol kalangan bangsawan, reproduksi elite di Bone juga dilakukan dengan cara lain; ‖perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG (baca; dinamika politik Desa Kabupaten Bone pada bagian lain penelitian ini). Kalangan aristokrat menyebut perlawanan ini sebagai pembangkangan sosial dan kultural. Melalui sejumlah aktivitas perampokan, perjudian dan penekananpenekanan kepada terutama masyarakat pedesaan sejak tahun 1970-an, klan PG berhasil diidentifikasi sebagai kekuatan baru yang mengancam kewibawaan kalangan aristokrat yang menduduki panggung kekuasaan formal; eksekutif dan legislatif. Puncaknya, memasuki era otonomi daerah, klan PG menembus arena kekuasaan formal di berbagai level; dari Desa hingga provinsi di hampir semua jazirah Sulawesi. ‖Perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG terhadap panggung kekuasaan di Kabupaten Bone menunjukkan ketatnya kontrol kalangan bangsawan terhadap struktur kekuasaan di Bone. Perawatan kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok aristokrat menyulitkan kalangan lain menembus arena kekuasaan di Bone. Itu sebabnya, klan PG menerobosnya dengan cara yang tidak lumrah atau dianggap sebagai cara yang menyimpang secara sosial dan kultural. Tapi cara ini ternyata membuahkan hasil dalam mereproduksi elite-elite baru di Kabupaten Bone. Kata kunci dari keberhasilan klan PG menerobos panggung kekuasaan Bone, bukan semata karena keberhasilannya membuat jalan baru untuk mereproduksi elite, akan tetapi faktor regulasi otonomi daerah melalui UU 32 tahun 2004 melengkapi langkah yang dibangun oleh klan PG memasuki arena kekuasaan formal di Kabupaten Bone. Cara ‖menyimpang‖ yang dilakukan oleh klan PG di Kabupaten Bone, tidak terjadi pada panggung kekuasaan di Kabupaten Gowa. Reproduksi elite yang terjadi di Gowa pada era otonomi daerah berlangsung lebih terbuka, melibatkan semua
142
kalangan yang memiliki hak dengan syarat-syarat yang ditentukan secara demokratis. ‖Perlawanan dari belakang‖ seperti yang terjadi di Bone tidak diperlukan oleh masyarakat di Gowa. Karena elite Gowa, termasuk di dalamnya kaum aristokrat tidak mengontrol struktur kekuasaan secara ketat, sehingga menutup pintu bagi caloncalon elite baru. Pemain-pemain baru yang ingin menembus panggung kekuasaan di Gowa tidak memerlukan ‖jalan lain‖ untuk dilewati. Ada beberapa asumsi yang bisa dikembangkan dari lemahnya kontrol elite Gowa, terutama kaum aristokrat terhadap ruang struktur kekuasaan di Gowa. Pertama, kelemahan kontrol itu disebabkan karena menguatnya perlawanan massa terhadap dominasi kelompok elite atau kalangan bangsawan pada ruang kekuasaan, atau terjadi kemerosotan peranan elite dan aristokrat, akibat tekanan publik dan perubahan sistem politik. Kedua, meningkatnya kesadaran para elite terhadap perubahan pola dan struktur kekuasaan, sehingga memberikan ruang terbuka bagi berkembangnya elite-elite baru memasuki struktur kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Gowa terjadi penyatuan kesadaran elite dengan meningkatnya pemahaman massa akan hak-hak politiknya, menyebabkan terbukanya struktur kekuasaan bagi semua pihak. Sementara di Kabupaten Bone, para elite, terutama dari kalangan aristokrat menempatkan struktur kekuasaan pada ruang terbatas, yang masih sulit diakses oleh masyarakat umum. Bersamaan dengan berkembang nya kultur politik inklusif para elite, masyarakat sipilnya (civil society) tidak melakukan semacam ‖perlawanan‖ atau ‖tekanan,‖ meskipun mereka memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik tentang hak-hak dan kewajiban politik mereka. Kehidupan masyarakat sipil di Bone sudah sangat terbuka, akan tetapi ideologi dan karakter politik mereka belum bergeser, masih tunduk pada para elite. Dalam arena kekuasaan, elite aristokrat berhasil menciptakan komunitas mereka sebagai patron bagi masyarakat kebanyakan. Kecekatan elite Bone gagal diikuti oleh elite dan bangsawan Gowa. Perbedaan di dalam mereproduksi elite antara etnis Bugis Bone dengan etnis Makassar Gowa dapat diteropong lebih tajam pada kasus penentuan elite atau pemimpin yang melibatkan proses keterlibatan politik masyarakat. Apakah kekuatan kalangan aristokrasi pada etnis Bugis Bone merawat kekuasaannya dapat dibuktikan melalui persetujuan dan ketaatan politik dari masyarakat melalui
143
Pemilu? Sebaliknya apakah ruang politik dan kekuasaan yang sudah terbuka di Kabupaten Gowa sinkron dengan kesadaran rasional yang dimiliki oleh masyarakatnya melalui Pemilu. Beberapa kasus di bawah ini dapat memberikan penjelasan kepada pembaca tentang preferensi masing-masing masyarakat; Bone dan Gowa terhadap kekuasaan. Bagaimana elite-elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa direproduksi dengan caranya masing-masing. Pada kasus-kasus berikut ini akan memperlihatkan bagaimana kekentalan primordial dalam menentukan pilihan politik terhadap patronnya, terjadi dengan jelas di Bone. Sebaliknya pilihan politik publik Gowa sangat beragam, tidak tergantung pada patron elite. Tabel 2.
No Calon
Perbandingan elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis Makassar Gowa dalam mendapatkan dukungan massa pada masingmasing basis (Bone dan Gowa) pada pertarungan elite Partai Golkar pada Pemilu 2004 untuk kursi DPR RI Dapil I Nama Calon
Drs. H.A.M. NH AM, SH, MH Dg. J Prof. Dr. H. AA NYL H. H Y Y.R, SE 7 Drs. H. I A 4 IDM 8 Drs. H. H Dl 11 Drs. H. S S 10 Drs. H. Ib M 9 NM, SE 12 Drg. F R, M.Kes 13 Nur Sy A Sumber: Data diolah, 2004 6 1 14 2 5 3
Jml Suara
%Suara Partai
95.950 94.611 68.062 53.470 49.352 42.508
10.4 10.3 7.4 5.8 5.4 4.6
36.843 33.759 26.186 25.988 20.290 19.622 12.144 5.844
4,0 3.7 2.8 2.8 2.2 2.1 1.3 0.6
Pada tabel di atas, Partai Golkar mencalonkan 14 orang kandidat untuk DPR RI daerah pemilihan (Dapil) I yang meliputi daerah Kabupaten/kota; Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Soppeng dan Wajo. Dari Kabupaten Bone terdapat dua kandidat; AM ( urut 1), HY (urut 3) dengan NH (urut 6). Kabupaten Gowa menyiapkan dua nama; NYL (urut 5) dan
144
Sjahrir S. Dg.DJR (urut 14). Suara tertinggi dari Kabupaten Bone di raih oleh NH, disusul AM. Akan tetapi NH tidak bisa duduk di DPR RI karena masih menggunakan sistem nomor urut. AM duduk di DPR RI mewakili Sulsel Dapil I, sekaligus mewakili Bone. Hal yang sama terjadi pada etnis Makassar Kabupaten Gowa. Suara tertinggi dari Gowa justru diperoleh Sjahrir Dg. Jarung, namun yang duduk mewakili Sulsel dari dapil I, sekaligus representasi dari Gowa adalah NYL. AM adalah golongan aristokrat yang terus bertahan pada panggung kekuasaan sampai era otonomi daerah. Sedangkan NYL adalah istri YL yang memiliki peranan kekuasaan politik di Gowa sejak Orde Baru hingga masa otonomi daerah. Lebih dari 60% perolehan suara NH dan AM (hal yang sama juga dicapai oleh HY, lihat tabel 2), dikumpulkan dari Kabupaten Bone, sepuluh daerah lain yang menjadi bagian daerah pemilihan wilayah I hanya memberikan kontribusi suara kurang 40%. Sedangkan NYL dan SDJ mengumpulkan suara di Kabupaten Gowa kurang dari 35%. Sepuluh daerah lain menyumbangkan suara kepada orang Gowa ini sekitar 65% suara. Data ini menjelaskan bahwa etnis Bugis Bone memiliki tingkat primordialisme dan issue kedaerahan yang relatif tinggi, dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa.
10.17%
978
1276
956
2744
2.17% 74.57%
2.82%
1.52%
1.98%
1.48%
4.25%
680
Total
Parepare
1817
Wajo
48128
Soppeng
1399
Barru
6563
Pangkep
Maros
ARIP, SH, M.KN
Bone
DPR RI 2009
Sinjai
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel II Bulukumba
Tabel 3
64541
1.05% 100.00%
Sumber KPUD Sulsel 2009
Makassar
Total
1232
916
3812
1268
12132
16337
35697
3.45%
2.57%
10.68%
3.55%
33.99%
Takalar
Gowa
ICTSYL. SE., MM.
Bantaeng
DPR RI 2009
Jeneponto
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel I
Kep. Selayar
Tabel 4.
45.77% 100.00%
Sumber KPUD Sulsel 2009
145
ARIP yang terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu legislatif 2009 adalah keturunan bangsawan Bone, sekaligus anak mantu
mantan menteri
Hukum dan HAM, AM, dan keponakan Bupati Bone AIG. Ia meraih suara sebanyak
64.541 dari daerah pemilihan (dapil) II yang meliputi Kabupaten
Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Pare-pare, Maros, Pangkep dan Maros (lihat tabel 3). Kabupaten Bone menyumbangkan suara sebanyak 74,57%. Itu berarti hanya 25,53% suara yang diperoleh dari delapan Kabupaten lainnya. Bandingkan dengan perolehan suara yang dicapai oleh ICTS, anggota DPR RI dari dapil I adalah elite dari Gowa, putri sulung Gubernur Sulsel SYL, ponakan Bupati Gowa IYL dan cucu YL. Dukungan yang diperoleh dari daerah basisnya (Gowa) hanya 33,99%. ICTS justru memperoleh suara terbanyak dari daerah ‖terbuka‖ Makassar, daerah yang menjadi rebutan semua calon legislatif. Sedangkan daerah lain; Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Kepulauan Selayar, berkisar antara 3-10% (lihat tabel 4). Meskipun Thita memiliki struktur kekuasaan yang kuat di daerah basisnya (Gowa), akan tetapi dukungan suara tidak mayoritas dari Gowa sebagaimana yang ditunjukkan oleh ARIP di Bone. Kecenderungan dukungan masyarakat
basis
yang
berbeda antara
Kabupaten Bone dan Gowa juga terlihat pada tabel 5, dimana AII (putra Bupati Bone) yang terpilih menjadi anggota DPRD Sulsel pada Pemilu 2009 mewakili dapil 5 (Kabupaten; Bone, Soppeng, Wajo), mendapatkan dukungan suara dominan dari Kabupaten Bone sebesar 97,78% dari total suara sebanyak 83.334. Dua Kabupaten lainnya hanya menyumbangkan suara sebesar 2,32% (lihat tabel). Hal yang kontras terjadi di Kabupaten Gowa. Dukungan suara yang diraih oleh TOY (Kakak Bupati Gowa dan Gubernur Sulsel), memperoleh suara yang cukup signifikan dari daerah lain; Takalar dan Jeneponto yakni 32,84%. Meskipun Kabupaten Gowa masih memberikan kontribusi terbesar yakni 77,16%, akan tetapi elite Gowa (NYL, ICTS dan TOY) mendapatkan dukungan yang cukup baik dari etnis Makassar di luar Kabupaten Gowa. Hal seperti ini tidak terjadi pada elite Bugis Bone (AM, ARIP, dan AII). Dukungan yang signifikan etnis Bugis di luar Kabupaten Bone terhadap elite Bone pada kasus
146
ini tidak terjadi. Dukungan etnis Bugis Bone hanya diperuntukkan bagi elite yang berasal dari Bone.
MIIG
82315 98.78%
275 0.33%
744 0.89%
total
WAJO
DPRD Sulsel 2009
SOPPE NG
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil V BONE
Tabel 5.
83334 100.00%
Sumber KPUD Sulsel 2009
TOY
32715 77.16%
5289 12.47%
4395 10.37%
total
Jeneponto
DPRD Sulsel 2009
Takalar
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil II
Gowa
Tabel 6.
42399 100.00%
Sumber KPUD Sulsel 2009 Data-data di atas menggambarkan proses reproduksi elite antara subkultur Bone dengan subkultur Gowa memiliki perbedaan yang cukup jelas. Letak perbedaan yang paling menonjol terdapat pada preferensi masyarakat yang ―tertutup‖ dan ―terbuka‖91 dalam menentukan pemimpin. Masyarakat yang 91
Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang berdasarkan hukum. Rakyat adalah yang berdaulat, dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu, yang diwujudkan melalui perwakilan.Proses itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga untuk turut serta di dalamnya, dengan demikian dilengkapi oleh mekanisme komunikasi sosial yang efektif. Penguasa tunduk kepada kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara.Penyelenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras, agama, kesetiaan perorangan,tetapi atas dasar kecakapan, integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi. Sistem politik yang modern mampu mewadahi perbedaan paham dan pandangan, dan mengatasinya dengan cara yang adab dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama (hukum). Dalam masyarakat modern ada penampilan individu (individuation) yang nyata (distinct), sehingga manusia berwajah, berkepribadian, bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Di pihak lain, dalam masyarakat modern betapa pun bebasnya individu, kebebasan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh hak individu yang lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun, pembatasannya itu diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua. Dan akhirnya sistem politik modern, lebih terdesentralisasi, dengan diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan derajat integrasi dan koordinasi yang tinggi.Memang ciri-ciri tersebut di atas bisa dirinci lebih lanjut, namun pada pokoknya sistem politik modern mengandung tiga unsur, (1) demokratis, (2) konstitusional, dan (3) berlandaskan hukum.Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih
147
dianggap ―tertutup‖ dalam penelitian ini, berdasarkan data-data di atas terjadi pada proses reproduksi elite etnis Bugis di Kabupaten Bone. Masyarakat tertutup biasanya melekat dengan issue-issue kedaerahan, primordial dan sectarian. Dalam konteks ini, masyarakat yang ―tertutup‖ akan mengalami benturan ideologi92. Ideologi lokal yang cenderung bersifat primordial dan sectarian akan berhadapan dengan ideology global yang mengusung konsep rasional, egaliter, dan kesetaraan akan hak dan kewajiban. Ideologi terakhir ini dikenal sebagai ideology demokrasi. Proses reproduksi elite di dalam subkultur etnis Makassar Gowa, pada era otonomi daerah relatif berbeda dengan yang terjadi pada etnis Bugis Bone.
predominan.Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosiallebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, jender (pria atau wanita), dan usia (yang antara lain melahirkan paternalisme). 92 Tentang benturan peradaban dan benturan idiologi, kita telaah pendapat Huntington & Isquo dalam bukunya ;The Clash of Civilization" (1993), mereka berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban. Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoni/arogansi Barat, intoleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1) perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. 2) dunia sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3) proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradabanperadaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6) regionalisme ekonomi semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban. Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kitaseakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan dan Kitab Suci. Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonism-antagonisme serta asosiasi-asosiasi antar negara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban mereka masingmasing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.
148
Perbedaannya paling tidak terlihat pada kemampuan politik masyarakat Gowa yang memiliki pilihan politik yang lebih luas dan beragam. Pilihan politiknya tidak terkonsentrasi pada struktur kekuasaan yang ada di Kabupaten Gowa. Keadaan ini bisa dimaknai sebagai kuatnya kesadaran politik rasional pada masyarakat Gowa, atau melemahnya kontrol struktur kekuasaan yang ada disana. Atau, struktur kekuasaan di Gowa justru memiliki kemauan politik untuk mendorong masyarakatnya menjadi masyarakat yang memiliki kesadaran politik rasional. Akan tetapi jika dicocokkan dengan criteria elite yang diinginkan oleh masyarakat politik di Gowa, bahwa seorang elite itu harus memenuhi syarat antara lain; kecakapan atau kemampuan (competency atau capacity) yang berarti harus memiliki pendidikan yang memadai dan pengalaman baik (trade record), maka pilihan politik mereka bisa dikategorikan sebagai pilihan politik rasional dan terbuka. Dengan demikian, dalam proses mereproduksi elite, ideology politik pada subkultur politik Gowa tidak berbenturan dengan ideologi global yang bernama demokrasi93.
93
Meskipun tidak terjadi benturan antara Idiologi politik pada subkultur Gowa dengan idiologiidiologi lainnya (terutama dengan idiologi demokrasi), akan tetapi konflik dapat terjadi dengan berbagai penyebab seperti dikatakan oleh Ohmae (1995); Konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik. Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi. Untuk menghindari hal ini, Hans Kung (1997) mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah consensus dasar tentang nilainilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum nonberiman (ateis). Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri.
149
Berdasarkan kecenderungan politik etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa yang telah diuraikan di atas, maka varian yang ikut berpengaruh dalam proses reproduksi elite Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7.
No
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Reproduksi Elite antara Etnis Bugis Bone dengan Etnis Makassar Gowa Faktor yang mempengaruhi reproduksi elite pada etnis Bugis Bone dan elite etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah
Bone
Gowa
1
Latar belakang keluarga atau Tidak mempersoalkan latar belakang keturunan adalah hal utama dan keturunan
2
Issue primordial, sektarian dan etnisitas kedaerahan adalah issue pokok Pendidikan, pengalaman, competency dan capacity
Dapat menerima semua kelompok sosial, lebih fleksibel dalam issue primordial
4
Uang (materi)
Uang (materi)
5
Track record bukan soal utama
Track record merupakan soal penting
6
Simbol-simbol budaya masih kuat Simbol budaya mengalami penurunan fungsi berperan
3
Pendidikan, pengalaman, competency, dan capacity
Melihat faktor yang berpengaruh pada reproduksi elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah pada tabel di atas, nampak jelas keberadaan elite di Kabupaten Bone saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh para elite pada fase-fase sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa elite dari Kabupaten Bone hari ini (era otonomi daerah) sebagian besar adalah elite warisan masa lalu. Sedangkan elite Gowa pada saat sekarang, merupakan elite yang tumbuh paling lama pada masa Orde Baru. Elite lama yang berkuasa pada fase tradisional, Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini. Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
150
feudalisme dan fase Islam Moderenisme, gagal mempertahankan dan memelihara eksistensinya. Sebagian besar elite Gowa saat ini telah berhasil memotong matarantai kekuasaan elite lama, dan kini mereka tumbuh sebagai kekuatan baru yang hampir tidak memiliki hubungan dengan elite-elite masa lampau. 5.4.1 Budaya Politik Kontestasi Antar Etnis dan Aktor Faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan elite politik dan ekonomi di Sulsel adalah latar belakang aktor yang meliputi; budaya politik, etnisitas, agama, genetik (keturunan), ekonomi, pendidikan, dan pengalaman. Proses pembentukan elite bagi kelompok etnis atau agama minoritas, sangat sulit meraih kedudukan sebagai elite ―puncak‖ di Sulawesi Selatan. Itu sebabnya pada setiap proses pembentukan elite, figur yang selalu menguasai panggung elite politik dan ekonomi Sulsel selalu dari kelompok etnis mayoritas (Bugis). Pemilihan gubernur Sulsel adalah panggung politik yang paling tinggi posisinya untuk menguji faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan elite kekuasaan dan politik di Sulsel, terutama pemilihan gubernur secara langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan langsung gubernur secara langsung oleh rakyat
untuk pertama kalinya terjadi pada 2007. Hasilnya sangat
mengejutkan, pemenangnya adalah SYL yang berasal dari etnis Makassar, etnis nomor dua sesudah Bugis. SYL bersaing dengan elite yang berasal dari Bugis. Kunci kemenangan SYL terletak pada kepiawaiannya meleburkan sekat-sekat etnis, agama dan wilayah. Ia berhasil mengkonsolidasikan perbedaan-perbedaan itu sebagai kekuatan baru dalam berpolitik. Dalam tulisan ini, peleburan perbedaan-perbedaan (etnis, agama, wilayah, dll) yang dirubah menjadi kekuatan politik yang dikemas dalam model budaya politik hybrid (hybrid politics culture). Ketrampilan politik SYL yang melakukan peleburan perbedaan antar etnis, agama dan wilayah (politik hybrid) menjadikan ia sebagai elite ―puncak‖ di Sulsel melalui pemilihan gubernur langsung oleh rakyat. Gaya politik SYL
sangat
mempengaruhi peta politik yang mewarnai panggung politik di Sulsel. Praktek politik hibrida yang dilakukan SYL berlangsung sejak pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2003. Pada saat itu mampu meraih dukungan dari berbagai pihak terlepas dari dukungan Partai Golkar. Dukungan tersebut
151
berdasarkan ikatan kekeluargaan, ikatan suku dan kewilayahan, ikatan organisasi, partai politik dan di luar partai politik. Dukungan-dukungan yang diperoleh SYL yang sangat beragam; melintas batas suku, etnis, wilayah dan agama, mencerminkan kepiawaian SYL mengelola manajemen politik, ekonomi dan sosial di Sulawesi Selatan. Dukungan politik SYL diperolehnya melalui; Ikatan kekeluargaan yang antara lain didukung oleh kedudukan ayahnya YL purnawirawan tentara (kolonel), mantan pejabat, tokoh Muhammadiyah; ibunya NYL mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan periode 1994-1999, dan mantan anggota DPR RI dua periode, sekarang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Persatuan Perempuan Kosgoro (GPPK) Sulawesi Selatan, kakaknya TOY sebagai Ketua Partai Golkar Gowa, adiknya IYL sebagai Bupati Gowa dan mantan Wakil Bendahara Partai Golkar, HYLsebagai Ketua Harian Golkar Makassar, DYLsekarang Ketua DPD Partai Hanura, IRYL yang merupakan salah satu pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Kepala Badan Promosi dan Penanaman Modal), Ibu NNYL salah seorang saudaranya memilih mengelola bisnisnya di Jakarta, dan istrinya AH, adalah direktur Rumah Sakit Dadi Makassar serta iparnya SHadalah fungsionaris Partai Golkar Sulawesi Selatan, dan mantan anggota DPRD Sulsel empat periode. Ikatan kesukuan atau kewilayahan diperolehnya dari dukungan elite-elite etnis Makassar (terutama) dan Bugis yang menduduki posisi strategis diantaranya dukungan dari Prof. Dr. RR
(Mantan Menteri Otonomi
Daerah, dari Gowa), MM (mantan Bupati Bantaeng, dan Ketua DPRD Gowa), OS (mantan bupati Sidrap), ZBP (mantan Gubernur Sulsel, etnis Bugis Soppeng-Bone), LAM (mantan bupati Luwu Utara, etnis Bugis Luwu), AAN (mantan anggota DPRD Sulsel dari etnis Bugis Bone). KB (mantan wakil ketua DPRD Sulsel, dari Toraja) serta tokoh-tokoh dari Parpol baik dari etnis Makassar maupun etnis Bugis. Jaringan politik SYL yang sangat beragam, menembus batasan etnis, agama dan wilayah, menyebabkan figur SYL tidak dipandang sebagai figur yang mewakili etnis tertentu, tetapi mewakili kepentingan seluruh etnis, agama dan wilayah. Meskipun pada saat pencalonan SYL sebagai calon satu-satunya dari etnis Makassar pada pemilihan Gubernur tahun 2003 sangat mempunyai nilai tawar terhadap calon-calon berasal dari etnis Bugis untuk berpasangan dengan SYL,
152
karena hampir dipastikan dukungan etnis Makassar secara bulat kepada SYL. Pada pemilihan gubernur 2003, keputusan SYL menerima tawaran berpasangan dengan AS membuahkan kemenangan bagi pasangan AS-SYL dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003. Pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, SYL muncul sebagai kandidat gubernur yang untuk pertama kalinya diadakan pemilihan langsung yang membawa angin segar bagi etnis Makassar yang selama pemerintahan Orde Baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menduduki posisi bergengsi tersebut yang disebabkan sistem pemilihan yang tertutup. Sekaligus merupakan kesempatan bagi etnis Makassar untuk berkompetisi secara fair dengan wakil dari etnis Bugis. SYL yang muncul sebagai representasi etnis Makassar tidak lepas dari kesuksesannya memimpin Kabupaten Gowa selama dua periode yang kemudian mengantarkannya menjadi Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003. Hasil perolehan suara yang diterima KPU Provinsi Sulawesi Selatan, perolehan suara pasangan SYL-AA adalah 1.432.572 suara atau unggul 27.662 suara dari pasangan AS-MR yang memperoleh 1.404.910 suara. Untuk lebih jelas terdapat pada tabel berikut: Tabel 8.
Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan 2007
Nama Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 1. AS-MR 2 AQM –MH 3. SYL-AA Jumlah Sumber: KPUD Sulsel, 2007. No
Perolehan Persentase Suara (%) 1.404.910 38,76 786.792 21,71 1.432.572 39,53 3.624.274 100,00
SYL memang memiliki keunggulan pada aspek intelektual maupun kemampuan membangun jaringan yang luas dari berbagai kalangan. SYL memiliki jaringan di berbagai organisasi karena kedudukannya seperti sebagai Ketua KNPI tahun 1990-1993, Ketua AMPI tahun 1993-1998, Sekretaris Partai Golkar Sulawesi Selatan, Ketua FKPPI, Ketua FORKI, Ketua Kwartir Daerah
153
Pramuka, Ketua KOSGORO, Ketua IKA FH Unhas, dan penyiar di Radio Suara Celebes milik kerabatnya serta masih banyak lagi organisasi yang ditekuninya. 94 Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur langsung di Sulawesi Selatan yang untuk pertama kalinya, dibutuhkan upaya para kandidat untuk mendapatkan suara dari pemilih, terutama para pemilih yang belum menentukan pilihan dengan menggunakan cara yang cukup rasional. Salah satunya dengan menawarkan visi, misi dan program kerja yang akan mereka lakukan ketika terpilih. Kematangan berdemokrasi yang ditunjukkan oleh pemilih dengan lebih rasional dan independen dalam merespon visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh setiap kandidat. Kematangan tingkat rasionalitas rakyat dalam merespon setiap peristiwa politik yang terjadi, termasuk pemilihan kepala daerah dapat dijadikan tolak ukur kematangan berdemokrasi sebuah negara bangsa. Dimana para pemilih memiliki tingkat independensi yang terlepas dari ikatan struktur, kultur dan sosio-psikologis yang melingkupinya. Fenomena memudarnya loyalitas pemilih pada partai politik, juga menjadi titik awal untuk menggali lebih jauh pengaruh figur atau ketokohan dalam pemilihan gubernur yang lalu. Terdapat beberapa kecenderungan yang menunjukkan pentingnya pengaruh ketokohan dalam mempengaruhi perilaku pemilih, yaitu kepercayaan, nilai, kemampuan individual dan penghargaan. Kemampuan yang dimiliki SYL yang Doktor Hukum ini mampu menandingi kemampuan calon-calon lain dalam merumuskan visi, misi, dan program yang dijual pada saat kampanye. Pemilihan kepala daerah diatur melalui beberapa aturan atau regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005. Mekanisme pencalonan yang dibuat untuk mengatur tentang persyaratan partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mendaftarkan pasangan calon yaitu memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD 94
Jabatan-jabatan tersebut seperti yang ditulis Syahrul Yasin Limpo, 2005. Jangan Marah Di Muara. Makassar: Citra Pustaka.
154
Provinsi Sulawesi Selatan atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD Sulawesi Selatan, dan hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon. Pengajuan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur melalui pengajuan dari Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD adalah tiga pasangan AQM dan MH, AS dan MR, serta SYL dan AA. AQM berpasangan dengan MH didukung oleh 8 Partai Politik, yakni PPP, PBB, PARTAI MERDEKA, PSI, PPP, PPIB, PPNUI, dan PNBK yang mengantongi 15,83 persen dari total suara pada Pemilu 2004. AS dan MR yang diusung oleh Partai Golkar, PKS, Partai Demokrat, PKB, PKPI, dan PBSD mengantongi 57,27 persen dari total suara, sementara SYLdan AA yang didukung empat partai politik, yaitu PAN, PDK, PDIP, dan PDS dengan total kursi sebesar 20,42 persen, seperti pada tabel berikut: Tabel 9.
Peta Dukungan Partai Politik terhadap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan pada Pilkada Provinsi Sulsel Tahun 2007
No Kandidat
1
2
AS-MR
AQM-MH
Partai Golkar PKS Partai Demokrat PKB PKPI PBSD PPP PBB Partai Merdeka PSI PPD PPIB PPNUI PNBK
PAN PDK 3 SYL-AA PDIP PDS Sumber: Data hasil olahan, 2009.
Jumlah Suara Persentase (%) 1.644.635 43,85 266.314 7,10 99.107 2,64 65.751 1,75 57.736 1,54 14.983 0,40 240.417 110.235 80.951 53.292 32.708 24.042 28.409 23.533
6,41 2,94 2,16 1,42 0,87 0,64 0,76 0,63
257.861 251.715 184.563 71.445
6,88 6,71 4,92 1,91
Sebelumnya AS dan SYL adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Periode 2003-2008, namun mereka hanya bisa akur selama dua tahun masa
155
kepemimpinan, selebihnya keduanya sama-sama membangun kekuatan, berinvestasi dalam jumlah merebut simpati pemilih untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007. Persaingan antara AS dan SYL berlangsung selama dua tahun sebelum memasuki tahap pemilihan, yang menyebabkan roda pemerintahan di Sulawesi Selatan menjadi tidak stabil.95 Keduanya yang sama-sama dari Partai Golkar juga masing-masing membangun kekuatan di internal Partai Golkar. Pada Januari 2007, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar memberi peluang supaya SYL tetap bisa mengikuti konvensi, bahkan Ketua DPP Partai Golkar, JKmerekomendasikan SYL untuk maju dalam konvensi bersaing bersama tiga tokoh Golkar lainnya yaitu AS, AA, MR dan MR yang Kepala Balitbang Depdiknas, yang bukan berasal dari internal Partai Golkar. Namun SYL menolak ikut konvensi Partai Golkar dengan pertimbangan jika kemudian kalah, maka memperkecil peluangnya untuk maju kembali melalui partai lainnya. Menyadari ketatnya persaingan di Golkar dengan keinginan AS selaku Ketua DPD Partai Golkar untuk maju kembali. Sehingga SYL sejak awal memilih partai politik lain sebagai pintunya, dengan mengikuti petunjuk dan cara JK maju ke Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 yang tidak melalui pintu Golkar. Berbeda dengan AS yang karena pengaruhnya sangat kuat secara aklamasi ditetapkan sebagai pemenang konvensi. Dalam konvensi juga yang digadang-gadang adalah AA bersama MRyang disebut sebagai calon kuat untuk mendampingi AS. Menurut keterangan salah satu kader Golkar, bahwa munculnya figur Mansyur Ramly sebagai pengaman karena AA dan MR sama-sama kader Golkar. Apabila diantara keduanya maju sebagai calon wakil gubernur maka akan menimbulkan perpecahan di internal partai. Setelah melalui perdebatan panjang yang akhirnya menetapkan secara aklamasi Mansyur Ramly sebagai calon wakil gubernur mendampingi AS, dengan pertimbangan jika AS berpasangan dengan AA atau MRtidak akan menambah suara karena sama-sama kader Golkar. Dengan tidak terpilihnya AA untuk mendampingi AS dan kemudian memilih mendampingi SYL. Dukungan dalam Partai Golkar menjadi terbelah 95
Baca pernyataan Ilham Arif Sirajuddin tentanng ketidakakuran Amin Syam dan Syahrul Yasin Limpo (Tribun Timur, 9/05/2007)
156
disusul dengan pernyataan Wakil Sekretaris Golkar Sulawesi Selatan CAKS yang secara terus terang mendukung pasangan SYL dan AA. Yang terjadi kemudian secara tegas dan terang-terangan sebanyak 10 elite Partai Golkar ikut mengantarkan Pasangan SYL dan AA saat mendaftar di KPU Sulawesi Selatan. Kesepuluh orang itu terdiri dari keluarga SYL dan AA, serta beberapa elite Partai Golkar lainnya. Mereka adalah TOY (Ketua Golkar Gowa/kakak SYL), IYL(Wakil Bendahara Golkar Sulawesi Selatan/adik SYL), HYL (Wakil Ketua Golkar Makassar/adik SYL), MM (Wakil Ketua Golkar Gowa/kerabat SYL), Andi Altín Noor (Anggota Dewan Penasehat Golkar Sulawesi Selatan/kerabat SYL), SH (Fungsionaris Golkar Sulawesi Selatan/iparnya SYL ),
OP (Wakil Dewan Penasehat Golkar
Sulawesi Selatan/kerabat AA), MK (Wakil Ketua Golkar Sidrap/kerabat AA), KB (Anggota Dewan Penasehat Golkar Sulawesi Selatan), dan EA (Wakil Bendahara Golkar Sulawesi Selatan). Dukungan dari elite-elite Partai Golkar tersebut tidak lepas dari usaha SYL dan saudara-saudaranya membangun jaringan dengan mereka. Kehadiran mereka kemudian semakin memperuncing konflik antara AS dengan SYL, yang kemudian dalam rapat tertutup DPD Partai Golkar memberikan peringatan tertulis kepada mereka. Perpecahan internal Partai Golkar tidak luput dari sikap JK sebagai Ketua Golkar untuk memilih sesuai hati nurani secara tersirat memperlihatkan dukungan terhadap SYL yang maju dalam pemilihan sama seperti ketika JKmaju dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut bapak Kausar Bailusy, semestinya JKmenggerakkan mesin Partai Golkar untuk memenangkan AS sesuai hasil konvensi Partai Golkar. SYL yang semula berkeinginan menggandeng AQM untuk berpasangan melawan kekuatan AS, ditanggapi dingin oleh AQM yang kemudian memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur. Jika dilihat keinginan SYL ini didasarkan pertimbangan suara yang dimiliki oleh
AQM sebagai anggota DPD RI dengan
perolehan suara terbanyak kedua atas dukungan basis Islamnya terutama Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang menyebar di seluruh Sulawesi Selatan dan pertimbangan SYL akan menguasai perolehan suara pemilih di daerah Selatan-Selatan yang berbasis etnis Makassar dan daerah Luwu Raya yang merupakan
157
basis etnis Bugis dan Toraja untuk mengantisipasi perolehan suara AS di daerah Etnis Bugis Bosowa dan Ajatappareng. SYL yang memiliki pengalaman kepemimpinan dalam pemerintahan serta memiliki jaringan dan pengaruh yang luas dalam kelompok etnis dan wilayah Makassar dan organisasi kemasyarakatan terutama dalam FKPPI, AMPI, PRAMUKA, dan Muhammadiyah, dimana orangtuanya adalah purnawirawan tentara, mantan pejabat, tokoh pembina Pramuka, dan tokoh Muhammadiyah yang kesemuanya merupakan organisasi yang mempunyai banyak anggota yang tersebar di Sulawesi Selatan, sehingga dari hubungan-hubungan subjektif dan emosional dari anggota organisasi-organisasi tersebut yang kebetulan juga memiliki kedudukan sebagai ketua partai atau pengurus partai mendasari alasan objektif partai untuk mendukungnya. Sementara hubungannya dengan Partai Damai Sejahtera yang beraliran Kristen lebih disebabkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh agama Kristen karena SYL yang alumni Sekolah Katolik Cenderawasih masih tetap menjalin hubungan baik denganaliamater dan temantemannya. Keuntungan itulah yang memudahkannya memasuki komunitas Kristen di Sulawesi Selatan. Selain itu dukungan pemilih Tionghoa walaupun hanya 400 ribu (7,6%) dari 5,2 juta suara yang berasal dari Persatuan Pengusaha Katolik Tionghoa Sulawesi Selatan dari status sosial mayoritas adalah pengusaha yang merekrut banyak tenaga kerja memberikan dukungan kepada SYL tidak bisa dinisbikan, berasal dari hubungan subjektif sebagai alumni Sekolah Menengah Atas Katholik Cenderawasih dimana SYL sebagai salah satu alumni dan tetap menjalin hubungan yang intens dalam ikatan alumni dimana SYL selalu ikut berproses keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah ini. Dukungan juga berdatangan dari kalangan akademisi muda yang tergabung dalam Kaukus Intelektual Sulawesi Selatan (KISS). Masyarakat Sulawesi Selatan terutama dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan sebagian kecil etnis Toraja adalah penganut agama Islam yang taat. Hal ini disebabkan karena agama Islam ditetapkan sebagai agama kerajaan dan penerimaan Islam menjadi agama kerajaan yang hanya butuh waktu beberapa
158
tahun untuk menjadikannya berpengaruh kuat dalam tatanan budaya dan politik masyarakat Sulawesi Selatan sampai sekarang. Penyebaran gerakan Muhammadiyah yang bertujuan menyebarkan dasardasar ajaran Islam dengan mendirikan sekolah sekolah swasta pertama kali di daerah Sengkang (Bugis) walaupun sekarang telah menyebar ke seluruh Sulawesi Selatan dan malah sekarang lebih kuat di daerah selatan. Sehingga memiliki korelasi terhadap dukungan masyarakat etnis Makassar kepada SYL yang disebabkan oleh ikatan kesukuan dan ikatan afiliasi masyarakat daerah selatan yang mayoritas Muhammadiyah terhadap Partai Amanat Sulsel yang merupakan salah satu partai pendukung SYL dalam pencalonan Gubernur Sulawesi Selatan. Upaya etnis Bugis supaya dominasi kekuasaannya tidak tergeser oleh etnis lain diperkuat oleh kekuasaan Partai Golkar yang sangat dominan dibandingkan partai lainnya. Masyarakat bagian utara jazirah Sulawesi Selatan memilih berafiliasi
dengan Partai Golkar karena kemampuan Partai Golkar untuk
mendekati bangsawan-bangsawan Bugis menjadi ketua dan pengurus partai di daerah-daerah utara,
ditambah
lagi
menggunakan agama
Islam dalam
menjalankan kampanye sehingga bisa diterima oleh masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Kebulatan dukungan dari PDS diwujudkan dengan dukungan Persatuan Pendeta Se-Sulawesi Selatan yang melakukan sosialisasi di gereja-gereja seperti yang diungkap secara hati-hati oleh salah seorang kader partai berlambang salib ini dan tidak mau namanya disebutkan. Beliau mengungkapkan besarnya dukungan Persatuan Pendeta Se-Sulawesi Selatan tersebut hampir menyamai banyaknya dukungan etnis Bugis terhadap AS. Kemenangan mutlak yang diraih SYL di Toraja yang berjumlah 138.204 suara menyamai perolehan suara AS di tiga Kabupaten di daerah Bugis Ajatappareng. Kemenangan SYL di Toraja yang mayoritas beragama Kristen Protestan
dan
Katolik,
tidak
lepas
dari
kemampuannya
melintasi
agama-agama, suku dan etnis.
159
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kemenangan SYL atas AS dan AQM dapat diterjemahkan karena
kemampuan SYL meleburkan sekat-sekat partai
politik, etnis, wilayah dan terutama lintas agama (politik hibridisasi)96 yang tidak mampu dilakukan oleh calon lainnya, karena keterbatasan ruang lingkup jaringan yang dimiliki, seperti AS yang hanya mengandalkan pada dukungan etnis Bugis dan Makassar yang beragama Islam dan terfokusnya dukungan terhadap AQM dari Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam yang justru menjadi batu sandungan untuk bisa diterima oleh pemilih beragama Kristen terutama masyarakat Toraja. Penolakan terhadap AQM juga datang dari Partai Damai Sejahtera yang mayoritas kadernya adalah etnis Toraja dan beragama Kristen. AQM dianggap pernah melukai perasaan orang-orang Toraja dan
AQM
membawa pendekatan Islam aliran keras dengan keinginan menegakkan Syariat Islam di Sulawesi Selatan dengan terbentuknya Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam dan dia sebagai ketuanya. Meskipun SYL membangun budaya politik hybrid, akan tetapi
secara
tersembunyi dia mendorong sentiment etnisitasnya. Gejala ini dapat dipahami sebagai usaha aktor elite untuk mendorong massanya memasuki ruang budaya politik kontestasi. Dengan memasuki ruang kontestasi, massa akan memiliki militansi untuk memperjuangkan identitas politiknya.
96
Politik hybridasasi yang menjadi kekuatan Syahrul ia padukan dengan konsep-konsep lain seperti; wacana dan hegemoni. Syahrul berhasil ―memanipulasi‖ pengetahuan, makna dan modal sosial. Salah satu tagline yang ―memanipulasi pengetahuan, makna dan modal sosial‖ yang cukup kuat pesannya pada saat kampanye pemilihan gubernur adalah‘ DON‘T LOOK BACK. Tagline ini ingin memberi pesan; tentang pentingnya perubahan dan masa depan Sulsel yang baru. Peristiwa masa lalu menurut Syahrul melalui tagline ini, hanya bisa menghambat persatuan dan kemajuan Sulsel, karena itu hendaknya kita buang jauh-jauh. Dari pesan ini Syahrul ingin mewacanakan dan mengubah sentiment antar etnis Bugis dan Makassar yang begitu kuat, karena sejarah masa lalu, perang antara Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka yang sangat membekas pada kedua etnis, dan terus memicu semangat primordial mereka, menjadi semangat kebersamaan untuk SULSEL BARU yang lebih sejahtera dan maju. Kalau sentiment etnis tidak berhasil direduksi atau tetap eksis, maka kekuatan politik etnis Bugis yang lebih dominan secara kuantitatif tidak akan bisa dikalahkan oleh Syahrul yang berasal dari etnis Makassar yang lebih kecil. Dalam konteks ini, Syahrul berhasil menjadi actor yang memanfaatkan politik hybrid dan piawai menggunakan konsep wacana dan hegemoni untuk menggiring publik pada tujuan politiknya.
160
5.4.2 Ruang Kontestasi Tersembunyi Meskipun SYL berhasil memanipulasi kesadaran sejarah antar etnis Bugis dan Makassar, dari kesadaran sosial, politik dan kultural yang sangat diferensiatif –terutama dalam struktur kekuasaan – menjadi kesadaran sosial, politik dan kultural yang relatif homogen, akan tetapi tetap masih tersimpan ruang kontestasi yang tersembunyi antar etnis Bugis dan Makassar dalam pembentukan elite-elite politik dan ekonomi, dan perebutan panggung-panggung kekuasaan. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tidak lepas dari persaingan antaretnis dalam merebut superioritas, dominasi dan hegemoni. Hal ini disebabkan kemajemukan etnis di Sulawesi Selatan yang di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak muncul ke permukaan karena berhasil diredam dengan pemilihan gubernur oleh pemerintah pusat. Namun hal tersebut berubah dengan terbukanya persaingan antar kandidat yang menggunakan identitas dan simbol etnis dalam mendapatkan simpati dan suara sebanyak-banyaknya. Penonjolan etnisitas, agama dan wilayah untuk meraih dukungan memang tidak dilakukan secara terbuka oleh elite-elite politik, akan tetapi momentum pemilihan langsung gubernur oleh rakyat adalah tersedianya ruang kontestasi antar etnis, meskipun berlangsung secara tertutup. Lahirnya ruang kontestasi antar etnis dalam membentuk elite-elite politik dan ekonomi di Sulsel merupakan konsekuensi dari kemajemukan etnis di Sulawesi Selatan. Dalam pandangan sosial dan politik, kemajemukan adalah dua sisi yang tidak terpisahkan, satu sisi kemajemukan etnis tersebut menjadi sumber harmoni sosial dan akulturasi politik sementara di sisi yang lain dapat menjadi sumber konflik dan disintegrasi yang laten. Superioritas, dominasi dan hegemoni salah satu etnis terhadap etnis lainnya terkadang melahirkan resistensi bagi etnis yang di subordinasikan. Sehingga proses politik terkadang bermakna persaingan antar etnis dalam merebut superioritas termasuk pemilihan kepala daerah secara langsung. Untuk membuktikan berlangsungnya kontestasi politik antar etnis Bugis dan Makassar pada pemilihan gubernur Sulsel 2007, dapat dilihat pada tabel 11 perolehan suara berdasarkan pemetaan geopolitik. Pemetaan geopolitik ini untuk memperjelas perolehan suara yang didasarkan pada ikatan kewilayahan, kesukuan dan keagamaan pada pemilihan gubernur 2007. Ruang kontestasi dapat ditafsirkan sebagai ruang kemungkinan untuk melakukan transaksi kekuasaan.
161
Tabel 10.
Perolehan Suara Berdasarkan Pemetaan Geopolitik
Geopolitik
Kabupaten/Kota Makassar
Bosowa
Ajatappareng
Luwu Raya
AQM-MH
SYL-AA
Basis Etnis
145.587
130.517
218.641
Makassar/Bugis
46.88
25.803
266.025
Makassar
Takalar
26.948
16.127
97.787
Makassar
Jeneponto
82.781
9.368
76.071
Makassar
Bantaeng
28.824
14.196
43.311
Makassar
Bulukumba
62.385
37.742
69.006
Makassar
Selayar
23.868
15.606
24.653
Makassar
Maros
62.211
26.911
49.654
Makassar/Bugis
Pangkep
42.425
43.165
47.074
Makassar/Bugis
Sinjai
58.663
26.456
20.316
Bugis
Bone
225.801
54.957
38.653
Bugis
Soppeng
64.661
25.200
28.260
Bugis
Wajo
96.011
45.129
38.364
Bugis
Barru
29.481
22.772
30.531
Bugis
Pare-Pare
24.100
15.168
13.456
Bugis
Sidrap
59.497
24.342
43.382
Bugis
Pinrang
70.974
47.557
37.010
Bugis
Enrekang
42.445
21.941
18.363
Bugis/Duri
Luwu
44.971
85.106
24.870
Bugis/Luwu
Luwu Timur
49.037
23.900
28.346
Bugis/Luwu
Luwu Utara
35.662
38.194
60.717
Bugis/Luwu
Palopo
17.871
27.388
19.878
Bugis/Luwu
Toraja
33.827
9.247
138.204
Gowa
Selatan-Selatan
AS-MR
Toraja
Sumber : Data hasil olahan, 2009.
Dari hasil perolehan suara terlihat bahwa hampir di seluruh daerah SelatanSelatan yang merupakan daerah etnis Makassar, SYL memenangkan suara mutlak, begitupun sebaliknya AS memimpin perolehan suara di daerah etnis Bugis terutama Bosowa (Bone, Soppeng dan Wajo). Sementara Azis Kahhar menang mutlak di daerah kelahirannya Kabupaten Luwu. Berdasarkan data di atas, kontestasi politik antar etnis berlangsung sangat ketat, meskipun ada daerah yang diidentifikasi sebagai daerah basis bagi kandidat yang berasal dari Bugis, bisa ―dicuri‖ suaranya oleh kandidat yang berasal dari etnis Makassar, demikian sebaliknya. Kasus-kasus itu dapat dilihat pada; daerah etnis Makassar yang dimenangkan oleh AS yang berasal dari etnis Bugis adalah Kabupaten
162
Jeneponto. Sedangkan Kabupaten pada wilayah Bugis yang dimenangkan SYL yang berasal dari etnis Makassar adalah; Kabupaten Barru dan Luwu Utara. Meskipun terjadi kontestasi politik antar etnis Bugis dan Makassar, akan tetapi tidak menentukan kemenangan bagi kandidat yang memenangkan kontestasi itu. Kunci kemenangan yang dicapai oleh SYL bukan pada basisnya (artinya bukan karena issue etnisitas), tetapi justru kemenangan itu ditentukan oleh pencapaian suara yang diperolehnya pada wilayah ―netral‖ yaitu; Toraja dan kota Makassar. Toraja dikatakan netral karena tidak memiliki calon yang diusung oleh etnis dan wilayahnya. Sedangkan Makassar adalah ibu kota provinsi Sulsel, masyarakatnya bersumber dari berbagai etnis dan agama. Selain itu pemilih kota relatif rasional. Ini menunjukkan taktik SYL yang melintasi batas etnis, agama dan wilayah dengan menggunakan terminologi pluralistic berhasil ―mengecoh‖ kesadaran sosial, kultural dan politik masyarakat di dua tempat ini. 5.5 Ikhtisar Fase Pembentukan Elite Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa Pada fase tradisional, proses pembentukan elite tumbuh dengan pola symbol dan mitos. Mitos yang paling umum adalah hadirnya Tomanurung, sebagai penguasa awal yang turun dari langit. Masyarakat sebelum kemunculan Tomanurung masyarakat Bugis dan Makassar digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak ada pemimpin yang ditaati. Dinamika masyarakat diwarnai dengan perjanjian, pertentangan, dan peperangan antar komunitas. Untuk memastikan terjaminnya kehidupan sosial dan politik yang aman, maka komunitas etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan pola hubungan masyarakat dengan kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan Kalompoang, yakni unsur kesatuan masyarakat dan kekuasaan. Kekuasaan penguasa dilambangkan dengan benda-benda kebesaran kerajaan (arajang) yang dianggap memiliki kekuatan mistis, dapat berupa tombak, rantai, perhiasan emas, pedang, dan sebagainya merupakan dasar legitimasi seorang penguasa. Kehilangan benda-benda ini dianggap sebagai kelemahan seorang raja dan kerajaannya. Legitimasi mistis ini menjadi dasar keistimewaan dari ―langit‖ bagi kaum bangsawan untuk menjadi penguasa dan pihak yang memerintah. Orang Bugis dan Makassar kerap digambarkan sebagai masyarakat feodal dan tradisional. Di dalam masyarakatnya terdapat para bangsawan yang 163
mempunyai kedudukan kuat dan memiliki ketaatan yang kukuh terhadap aturan hukum adat. Bersamaan dengan itu, masyarakatnya bercirikan persaingan yang ketat, karena seseorang dinilai tidak hanya oleh kedudukan statusnya tetapi juga oleh kualitas pribadinya. Sejarah awal terbentuknya elite pada etnis Bugis dan Makassar pada fase feudalisme, dimulai dari munculnya unit-unit kekuasaan kecil, anak-anak suku yang dikenal dengan nama gelarang, wanua (Bugis) dan bori (Makassar). Untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, elite di tingkat wanua dan bori menggabungkan unit-unit social yang kecil dalam organisasi yang lebih luas. Penggabungan ini dikenal dengan persekutuan kekuasaan para pemimpin wanua dan bori. Persekutuan kekuasaan ini disebut dengan Kawerrang Tanah Bone (Bugis). Sedangkan pada etnis Makassar dikenal dengan istilah Bate Salapang. Dari sinilah mulai muncul semangat ekspansif dalam usahanya merebut lahan yang subur dan tempat yang strategis. Pada kondisi sosial seperti ini, sedang terjadi cikal bakal penciptaan elite. Periode perebutan wilayah yang subur dan strategis menjadi cikal bakal lahirnya konsep feudalisme di Sulawesi Selatan, dimana tanah mulai dijadikan sebagai tata-produksi kekuasaan. Pada masa inilah fase feudalisme menjadi bagian dari penciptaan elite pada etnis Bugis dan Makassar. Fase Islam dan Modernisme ditandai oleh kontestasi, kerjasama, lahirnya moralitas, intelektualitas, anti kolonialisme dan kapitalisme internasional dari para elite Bugis dan Makassar. Itu semua dimaksudkan untuk mencapai posisi puncak dalam kekuasaan politik dan ekonomi. Pada masa inilah Kesultanan Gowa berkolaborasi dengan Kerajaan Tallo dan menamai diri mereka menjadi Kerajaan Kembar. Pada fase ini pula Arung Palakka (Raja Bone) berkoalisi dengan Belanda untuk meraih kekuasaan mutlak di jazirah Sulawesi. Meskipun pada akhirnya Kerajaan Bone juga berbalik melawan Belanda pada 1905. Pada fase Islam Modern, terjadi dinamika persaingan, kontestasi, ekspansi, perlawanan dan kolaborasi antar elite Bugis dan Makassar. Persaingan yang paling utama terjadi antara Kerajaan Gowa, mewakili orang-orang Makassar, dan Kerajaan Bone, kerajaan terpenting dari orang-orang Bugis. Persaingan antar dua kerajaan ini memberi kesempatan pihak asing yaitu VOC, yang berminat pada
164
posisi Makassar dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk melakukan penaklukan atas Kerajaan Gowa dengan melakukan persekutuan dengan Bone di bawah Arung Palakka pada abad 17. Untuk kepentingan ekspansi, Militer Gowa membangun persekutuan yang erat dengan Kerajaan Tallo dan pedagang Melayu. Setelah adanya persekutuan, ekspansi terus dilanjutkan, dan berhasil menaklukkan seluruh bagian selatan jazirah selatan pulau Sulawesi. Persekutuan Gowa-Tallo-Melayu menjadi sebuah kekuatan yang efektif untuk dalam mengembangkan tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka. Kerajaan Makassar ini menaklukkan negeri-negeri lainnya di Sulawesi Selatan: Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng, Lembangan, Bulukumba, dan Selayar. Pedagang Melayu menjadikan Makassar
sebagai pangkalan untuk
mendapatkan beras untuk ditukar dengan pala, bunga pala, dan cengkeh Maluku yang merupakan komoditas utama dunia. Hubungan dagang yang berlangsung antara orang-orang Makassar dan sebagian besar wilayah lainnya di Sulawesi Selatan dengan orang-orang Melayu yang beragama Islam membawa kemajuan dan kemakmuran bagi negeri-negeri Makassar. Hubungan baik antara Gowa dan Melayu akhirnya menyingkirkan persahabatan Gowa dengan Portugis. Pedagang Melayu mendatangkan ulama dari Minangkabau untuk membujuk Istana Gowa memeluk Islam. Penguasa Gowa selanjutnya mengeluarkan maklumat kepada para penguasa kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Islam. Tetapi usaha ini menemui hambatan dari kerajaan-kerajaan besar seperti Bone, Wajo dan Soppeng, dan akhirnya diikrarkanlah perang suci kepada kerajaan-kerajaan yang merupakan musuh lama Gowa. Kerajaan Gowa berhasil menaklukkan Soppeng di tahun 1609, Wajo di tahun 1610 dan Bone pada tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Perkembangan Islam selanjutnya di bawah perlindungan kerajaan. Namun keberhasilan penaklukan inilah pula yang kelak menjadi salah satu penyebab kejatuhan Gowa pada tahun 1667. Kemajuan yang dicapai Makassar bertentangan dengan keinginan pedagang Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya yang merupakan saingan berada di Makassar. VOC meminta kepada Raja Gowa Sultan Alauddin
165
agar tidak menjual beras lagi kepada Portugis di Malaka dan juga melarang orang Makassar untuk berdagang di Maluku. Namun semua itu di tolak oleh Sultan Alauddin. Hubungan antara Makassar dan VOC mulai goyah. Oleh karena itu Kerajaan Makassar mempersiapkan diri membangun benteng di sepanjang pesisir kota, dari Benteng Tallo di utara dan Benteng Panakkukang di selatan. Beberapa benteng lainnya di bangun di Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barokbaso, Mariso, Garasi dan Barombong. Kegiatan perdagangan dilangsungkan di balik benteng. Ketika Kerajaan Gowa mulai membangun benteng di sepanjang pesisir Makassar, Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung mengerahkan segala tenaga yang berasal dari berbagai daerah yang telah ditaklukkannya. Termasuk diantaranya dari Tana Toraja, Soppeng dan Bone, yang ditaklukkannya dalam ‗Perang Passempe‘ di tahun 1646 ketika Makassar melakukan peperangan atas dasar Islamisasi, yang berakibat status Bone menjadi ‗budak Gowa‘. Akibatnya, Karaeng Karunrung memerintahkan seluruh bangsawan Bone dan Soppeng untuk bekerja dengan rakyat mereka dan diserahi tanggung jawab atas pelarian kelompoknya. Melihat hal tersebut tak terkatakan perasaan terhina orangorang Bugis. Perasaan siri ‟ orang-orang Bugis menumpuk berlipat ganda karena selain rakyatnya harus melakukan kerja paksa, tuan mereka pun harus melakukan pekerjaan kasar yang sama dengan rakyatnya. Kemarahan mereka semakin memuncak dan hal ini tidak disadari oleh penguasa Makassar dengan memberi kepercayaan kepada pemimpin Bugis untuk mengurus rakyatnya yang sedang menjalani kerja paksa. Ini adalah sebuah awal yang akan menimbulkan pemberontakan dan perlawanan yang kelak menjatuhkan kebesaran Makassar sendiri. Pada fase sekularisme, proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar berlangsung dengan sifat yang pragmatis, rasional, utilities dan efisien. Pada fase ini, terjadi transformasi pembentukan elite dari prinsip-prinsip ideal seperti moralitas dan intelektualitas yang tinggi dengan tujuan-tujuan praktis dan jangka pendek. Penggunaan symbol budaya, identitas etnis kedaerahan, uang dan kuasa mewarnai pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar. Pada masa ini, actor yang berhasil mengisi panggung kekuasaan pada level makro di propinsi Sulsel adalah elite yang berhasil mengembangkan konsep hibridisasi budaya politik antar etnis. Berkembangnya hibridisasi budaya politik bersamaan dengan menguatnya sentiment identitas budaya.
166