II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam atau landscape mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Sumberdaya lahan (land resources) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari: iklim, vegetasi, relief, tanah, air serta benda benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Sumberdaya lahan terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut: 1. iklim, 2. air, 3. tanah, 4.vegetasi, 5.formasi geologi, 6.organisme (bewan), 7.bentuk lahan clan topografi dan 8. manusia serta 9. produk budaya manusia. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena sumberdaya lahan diperlukan dalarn setiap kegiatan manusia Oleh karena itu, sumberdaya lahan h a m dikelola secara baik, benar dan berkelanjutan. 2.2 Penggunaan Lahan dan Perubahannya Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan merupakan istilah-istilah yang sering disarnaartikan padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian berbeda. Lillesand dan Kiefer (1987) dalam Mahmudi (2002) menjelaskan, bahwa penggunaan lahan erat hubungannya dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan penvujudan fisik obyekobyek yang menutup lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyekobyek tersebut. Selanjutnya Vink (1975), FA0 (1983) dalam Mahmudi (2002) memberi pengertian bahwa penggunaan lahan adalah campur tangan (intewensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Sitorus (2004) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam 2 (dm) kelompok besar yaitu : (1). Penggunaan lahan untuk pertanian. (2). Penggunaan lahan untuk non pertanian. Penggunaan lahan dipengaruhi oleh :
(a).
Faktor fisik clan hiologi, mencakup kesesuaian sifat fisik dan biologi, seperti
keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan dan kependudukan. (b). Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. (c). Faktsr institusi yang dicirikan oleh h&um pertanahan, keadaan politik dm secara administrasi dapat dilaksanakan.
FA0 (1983) dalam Mahrnudi (2002) membedakan penggunaan lahan atas dua kelompok yaitu: (1). Penggunaan Lahan mum (major kinds ofland use) (2). Penggunaan lahan lebih detil dinamakan land utilization types (LUT) Penggunaan lahan untuk kehutanan, persawahan, pertanian tadah hujan, rekreasi dan sebagainya merupakan contoh-contoh penggunaan lahan umum dan evaluasi lahan untuk tujuan tersebut dilakukan secara kditatif (kemampuan lahan) sedangkan tipe penggunaan lahan merupakan penggunaan lahan yang lebih spesifik dan mengandung aspek fisik, ekonomi dan sosial. Evaluasi lahan untuk tipe penggunaan lahan (LUT) dilakukan secara kuantitatif mencakup tanaman dan pengelolaan suatu lahan seperti input konservasi dan manejemen . Sitorus (2004) menjelaskan bahwa menurut sistem dan model penggunaan atau tipe penggunaan lahan (LUT) dibedakan atas d m macam yaitu:l. Multiple (ganda) dan 2. Compound (majemuk). Penggunaan lahan yang tergolong multiple terdiri dari lebih satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada satu area yang sama pada sebidang lahan dirnana masing-masing komoditas (jenis penggunaan) yang diusahakan memerlukan input, persyaratan dan produksi yang berbeda. Sebagai contoh: kakao atau kopi ditanam dengan kelapa pada areal yang sama, sedangkan LUT Compound (majemuk) merupakan penggunaan lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal yang berbeda dari sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diperlakukan sebagai satu unit tunggal. Perbedaan jenis bisa terjadi pada sekuen atau urutan waktu, ditanam secara rotasi atau secara serentak (bersamaan), tetapi pada areal yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama, misalnya mixedfarming.
Pola tanam dalam suatu LUT dapat berupa sistem tanaman tunggal, sistem tanaman ganda, atau sistem tanaman campuran. Sistem tanaman ganda dapat berupa tumpang sari beberapa komoditas, tumpang gilir atau tumpangsari dan turnpang gilir. Setiap jenis penggunaan lahan mempunyai nilai teknis yang mencerminkan fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi disamping fungsi sosial. Umumnya tujuan ekonomi lebih diutamakan dari tujuan ekologi. Penggunaan lahan dengan sistem agroforestri diharapkan dapat memberikan solusi tercapainya tujuan ekonomi dan ekologi yaitu dengan merumuskan komposisi komponen penyusun agroforestri yang mampu menekan erosi hingga mencapai tingkat minimal dan pendapat pada level maksimal atau menyusun LUT berbasis agroforestri yang optimal. Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke sisi penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya
tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya (perubahan fungsi suatu lahan pada k m waktu yang berbeda), (Wahyanto et al, 2001 dalam Rosnila, 2004). Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami yaitu: 1. tanah, 2. air, 3. iklim 4. land form (erosi dan kemiringan lereng). Faktor manusia, dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh dari l u x seperti kebijakan nasional dan internasional. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang makin meningkat jumlahnya dan kebutuhan akan mutu kehidupan yang lebih baik, maka perubahan penggunaan lahan tidak dapat dihindari terutama perubahan lahan pertanian ke non pertanian dan lahan hutan dirubah menjadi lahan pertanian. Hal ini dilakukan petani karena lahan pertanian produktif telah berubah h g s i n y a menjadi kawasan pemukiman, tempat rekreasi, pusat pertokoan, perkantoran, jalan dan sebagainya 2.3 Lahan Kering I Tegalan Lahan kering 1 tegalan adalah sebidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian dengan memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung pada air hujan (Rukmana, 1995). Selanjutnya Hidayat et al. (2000) mendefinisikan,
hahwa lahan kering adalah h a m p a n lahan yang tidak tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Ciri-ciri lahan kering (Rukmana, 1995) (a). Peka terhadap erosi terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutupi tumbuh-tumbuhan (b). Tingkat kesuburan tanahnya rendah (unsur hara, bahan organik, reaksi tanah, dan kapasitas tukar kation). (c). Sifat fisik tanahnya kurang baik, (struktur padat lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah memiliki kelembaban, rendah sirkulasi udara agak terlambat dan kemampuan menyimpan air rendah). Lahan kering dibedakan berdasarkan curah hujan yaitu (Rukmana, 1995) : (a). Lahan kering beriklim basah, terdapat pada wilayah yang mempunyai curah hujannya lebih besar dari 200 mm/ bulan selama 6-7 bulan dan bulan kering curah hujan kurang dari 100 rnm/bulan selama 3-4 bulan atau curah hujan minimal lebih dari 2000 mm/tahun. (b). Lahan kering beriklim kering terdapat di daerah yang memiliki bulan kering selama 7-9 bulan dan bulan basah 3-4 bulan. Lahan kering di wilayah beriklim basah umumnya terdiri atas tanah masam, miskin unsur hara, peka terhadap erosi, lereng curam dan pola tanam yang diterapkan kurang baik hal ini menyebabkan menurunnya produktifitas pertanian sehingga pendapatan petani menjadi rendah dan akhirnya petani tidak punya modal yang cukup untuk mengelola usahataninya dengan semestinya. Lebih jauh di jelaskan oleh Nugroho (1999), bahwa kerusakan fimgsi tanah sebagai media turnbuh akibat erosi, miskin unsur hara dan terbatasnya kandungan bahan organik merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan permasalahan biofisik, sedangkan kondisi petani yang termasuk marjinal / pendapatan dan pendidikan rendah, keterampilan teknik budidaya pertanian terbatas, belurn diterapkan teknik konservasi tanah dengan baik merupakan faktor sosial ekonomi yang menonjol.
2.4 Koneeg Pembangunan Berkelanjutan Istilah pembangunan berkelanjutan pertarnakali diperkenalkan oleh WCED dalam Our Common Future yang didefinisikan sebagai berikut :
" Sustainable development is defined as development that meets the need of the present without compromising that ability of the future generation to meet their own needs ". Artinya, pembangunan berkelanjuatan adalah pembangunan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia atau penduduk saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi di masa mendatang. (Santoso. 2001; Sitorus, 2004). Selanjutnya dijelaskan oleh Sitorus (2004), dari batasan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mengandung 3 pengertian yaitu: (1). Dapat memenuhi kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan penduduk di masa mendatang. (2). Tidak melampaui daya dukung lingkungan (ekosistem). (3). Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia melalui upaya menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam. Daya dukung ekosistem yang lestari merupakan prasyarat dari tercapainya kualitas hidup generasi sekarang dan yang akan datang. Selanjutnya menurut Santoso (2001) ada 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu : (1). Keadilan antar generasi (intergenerational equity). Prinsip ini bertolak dari gagasan, bahwa sumberdaya dam (SDA) yang ada di bumi ini sebagai titipan untuk digunakan generasi yang akan datang, setiap generasi merupakan penjaga untuk kernanfaatan generasi berikutnya dan juga sebagai penerima manfaat dari generasi sebelumnya. Prinsip ini menuntut tanggung jawab dalam pemeliharaan peninggalan (warisan) dari generasi sebelumnya dan tidak memberikan beban eksternalitas kepada generasi berikutnya. (2). Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). Prinsip ini didasarkan atas ketidakberhasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar lingkungan dan sosial serta adanya kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok. Biasanya beban dari masalah lingkungan dipikul oleh ekonomi lemah, kerniskinan dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, perlindungan lingkungan akan berdampak pada sektor tertentu sebaliknya sektor
lain
memperoleh
keuntungan,
banyak
praktek
pembangunan yang menimbulkan kerusakan sumberdaya alam yang dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak dan lain-lain. (3). Prinsip pencegahan dini (Precautionary principle) untuk merespon pada
kebijakan lingkungan konvensional dimana upaya pencegahan atau penanggulangan baru dapat dilakukan bila resiko benar-benar telah diketahui dan dapat dibuktikan. Kebijakan lingkungan konvensional sering kali terlambat mencegah dan menanggulangi resiko yang terjadi. (4). Perlindungan keanekaragaman hayati atau Conservation of biological
diversity. Prinsip ini didasarkan bahwa sumberdaya ekologis dengan keanekaragaman hayatinya menyediakan makanan, air bersih, zat pewarna, obat-obatan, produk industri, sebagai tempat dan sumber inspirasi, rekreasi, menjaga kesuburan dan kelestarian tanah. Perlindungan keanekaragaman hayati menyangkut persoalan moral, etika dan hidup matinya manusia.
(5). Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (Internalisation of environment cost and insentive mechanism). Prinsip ini berangkat dari suatu keadaan dimana penggunaan sumberdaya alam merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar, sementara masyarakat yang menjadi korban dari kerusakan lingkungan akibat pengguna SDA dianggap sebagai komponen eksternal (tidak masuk dalam hitungan) sehingga tidak punya akses dalam memaksa kelompok-kelompok yang menimbulkan kerusakan untuk membayar kerugian tersebut. Sejalan dengan pengertian dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut maka upaya pengelolaan sumberdaya lahan kering berlereng yang bijak adalah dengan menerapkan rekomendasi konservasi teknik vegetatif optimal dengan sistem agroforestri. Sebuah rekomendasi yang dihasilkan melalui studi mendalam tidak hanya memfokuskan pada aspek konservasi sumberdaya lahan melainkan juga mempertirnbangkan dengan cermat aspek ekonomi dan sosial petani selaku pengguna lahan. Diharapkan dengan penerapan usahatani konservasi teknik vegetatif yang sesuai dengan kesesuaian lahannya dan keinginan petani serta secara ekonomi menguntungkan maka usahatani tersebut akan dikembangkan secara berkelanjutan karena telah memberikan manfaat ekonomi sosial dan lingkungan dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan memenuhi
Sistem agrnforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara turnpangsari dengan satu afau lebih tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentudc lorong. Baerah yang berlereng &pat menggunakan teknologi SALT (Sloping Agricultural Land Technology). Sistem SALT diselenggarakan dalam satu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Centre Davao Del Sur Philipina (Dephut, 1992). Sistem pertanian yang memadukan pepohonan dengan tanaman semusim juga ditemui di daerah berpenduduk padat dengan kendala keterbatasan surnberdaya lahan yang dapat diolah untuk pertanian. Teknik / cara bercocok tanam dan pengaturan let& tanaman terutarna di daerah berlereng
sangat berperan dalam konservasi tanah dan air serta produksi dan hasil pertanian. Sistem agroforestri kompleks adalah: Suatu sistem pertanian menetap yang terdiri dari banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Menurut Hairiah, et al. (2004) agroforestri pada dasarnya mempunyai tiga komponen dasar yaitu komponen kehutanan, pertanian dan peternakan, setiap komponen berdiri sendiri-sendiri sebagai bentuk penggunaan lahan. Umurnnya ditujukan pada produksi 1 (satu) komoditi khas. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi diantaranya :
(1). Agrisilvikultur yaitu penggunaan lahan dengan pertimbangan mas& untuk memproduksi sekaligus hasil hasil pertanian dan kehutanan.
(2). Sylvopastoral system yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk dapatkan hasil kayu dan memelihara temak.
(3). Agrosylvo-pastoral system yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak. (4). Mulripurpose Forest yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya untuk hasil kayunya akan tetapi juga daundaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak.
2.5.1 Manfaat Agroforestri
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun menurut Wijayanto, et al. (2004) bahwa petani agroforestri senantiasa menghadapi hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usahataninya, baik yang berasal dari dalam maupun dari l w sistem. Hambatan dari dalam misalnya terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja dan modal. Hambatan dari l w misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah). Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri. Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai harnbatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan petani. Selanjutnya ditambahkan bahwa agroforestri memiliki keunikan dibanding dengan sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu hams dimunculkan dalam model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain. Berdasarkan ciri spesifik yang dimiliki sistem agroforestri maka model-model dalam sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula, antara lain yang menekankan pada : pertumbuhan (menghubungkan faktor ketersediaan air hujan dengan pertumbuhan tanaman), tanah (model simulasi proses yang tedadi dalam tanah) 3. ekonomi (model dari nilai ekonomi dari sistem agroforestri, urnurnnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat dan yang terakhir penggabungan yaitu model yang menggabungkan biofisik dan aspek ekonomi dari sistem agroforestri. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya p e n m a n produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak ada pencemaran lingkungan. Diharapkan keberadaan agroforestri dapat memecahkan masalah-masalah sebagai berikut: (1). Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan. a. Meningkatkan persediaan pangan baik secara tahunan atau tiap musirn
b. Perbaikan mutu nutrisi, pemasaran dan proses-proses dalam agroindustri.
c. Diversifikasi produk dan pengurangan resiko gaga1 panen. d. Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
(2). Memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produk untuk kayu bakar Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rurnah di daerah pegunungan atau daerah berhawa dingin.
(3). Meningkatkan, memperbaiki secara
kualitatif dan diversifikasi produk
bahan mentah kehutanan maupun pertanian. a. Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar seperti : zat pewarna, serat, obat-obatan dan zat perekat atau mungkin dapat dijual untuk memperoleh pendapatan tunai. b. Diversifikasi produk. (4). Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya daerah dengan persyaratan hidup yang sulit, dimana masyarakat miskin banyak dijumpai. a. Mengusahakan peningkatan pendapatan clan ketersediaan pekerjaan yang menarik. b. Memelihara nilai-nilai budaya.
(5). Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi serta jasa lingkungan setempat. a. Mencegah terjadi erosi tanah dan degradasi lingkungan. b. Perlindungan keanekaragaman hayati. c. Perbaikan tanah melalui h g s i "pompa" pohon dan perdu, mulsa dan perdu d. Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence). e. Pengelolaan sumber air secara lebih baik. Hal-hal sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat tercapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusun agroforestri (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak atau hewan) atau interaksi komponenkomponen itu dengan lingkungan. Selain itu ada beberapa keunggulan sistem pertanaman agroforestri dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya :
(1). Produktifitas (Productivity) Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur, disebabkan bukan saja keluaran (out put) sebidang lahan yang beragam akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberi keuntungan, karena kegagalan satu komponen 1 jenis tanaman dapat ditutupi oleh keberhasilan komponen / jenis tanaman lainnya. (2). Diversitas (Diversity). Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi resiko kerugian akiba? fluktuasi harga pasar, dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya monukultur.
(3). Kemandirian (Self-Regulation). Diversifikasi yang tinggi dalam sistem agroforestri
diharapkan dapat marnpu memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat dan petani kecil dan melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk dari luar. Kemandirian sistem produksi akan berfungsi lebih baik karena tidak memerlukan banyak input dari luar (pupuk dan pestisida) dibandingkan dengan sistem monokultur
(4). Stabilitas (stability). Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas dan kesinambungan pendapatan. 2.5.2 Beberapa Contoh Rekonstruksi Agroforestri di Indonesia.
Banyak praktek pengelolaan sumberdaya alam oleh penduduk di berbagai daerah sebenarnya untuk pengelolaan hutan alam menjadi cikal bakal agroforestri sebagai contoh (De Foresta, et al. 2000) :
(1). Orang kubu di Sumatera merawat areal di tengah hutan kemudian diperkaya dengan tanaman yang bermanfaat berupa pohon buah durian, mangga, tanaman pengikat hewan buruan dan pucuk liana, sementara tumbuhan pengganggu dibabat. Manipulasi yang bersifat melindungi sumberdaya alam tersebut biasanya dilakukan mengiringi praktek perladangan gilir balik.
Akan tetapi pada saat membuka lad-,
tanaman yang dianggap bermanfaat
dibiarkan, pohon pohon tertentu ditanam bersama tanaman pangan di ladang dan setelah ldang d i t i d k a n , pertumbuhan terus berlangsung dan ladang menjadi padat dengdn buah-buahan (agoforestri buah-buahan). (2). Kebun-kebun pekahngan di Pulau Jawa. Usaha-usaha rekonstruksi hutan dapat ditemukan di sekitar pemukiman penduduk di pulau Jawa disebut kebun pekarangan. Kebun kebun pekarangan (homegarden) mamadukan berbagai sumberdaya tanaman dari hutan yang paling bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, tanaman obat, sayur-sayuran
dan umbi-umbian. Kehadiran kebun pekarangan dan campur tangan manusia secara terus-menerus membuat kebun itu menjadi sistem yang benar-benar buatan (artijicial), meskipun masih tetap bisa ditemukan sifat khas vegetasi hutan. Kekayaan jenisnya sangat menakjubkan, pada lahan seluas 400 m2 terdapat lebih dari 50 jenis, sementara kurang lebih 300 jenis tanaman dapat ditemukan di lingkungan desa di sekitar Bogor, Jawa Barat. (3). Rekonstruksi kebun damar menjadi agroforestri damar di Pesisir h i ,
Lampung sebagai berikut: a. Tahun pertama pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan (bisa hutan rimba, belukar atau alang-alang) dan penanaman padi pertarna, sayuran dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. b. Tahun ke 2, penanaman padi kedua dan tanam kopi di antara padi. c. Tahun ke 3 sampai ke 7 atau ke 8, penanaman padi tidak dilakukan lagi. Bibit damar diambil dari petak pembibitan lalu ditanam di sela-sela tanaman kopi yang produksi pertamanya mencapai 600 kg / ha, ladang juga ditanami tanaman pohon buah-buahan penghasil kayu dan lain-lain. Produksi kopi menurun setelah 3 atau 4 tahun kemudian hingga mencapai 100 kglha. Setelah itu kebun-kebun ditinggalkan. d. Tahun ke-8 sampai tahun ke 25 pohon berkembang di antara kopi yang mulai rusak, vegetasi sekunder mulai tumbuh, petani mulai menyiangi secara berkala, buah buahan (nangka, durian, duku, dan lain-lain), kayu bakar, kayu perkakas dan kayu bangunan mulai dipanen seperlunya.
e. Tahun ke- 20 ke atas penyadapan getah pohon damar. Kebun damar
dikembangkan terus menerus melalui penanaman kembali rumpang dan penganekaragaman alami.
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) dalam beberapa literam mengunakan istilah yang berbeda dalam arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah : watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah watershed karena hubungannya dengan batas aliran, sedangkan istilah river basin, catchment atau drainage basin digunakan karena hubungannya dengan aliran (Wijayaratna, 2000)
Manan (1977) berpendapat, bahwa daerah aliran sungai adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi, menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Daerah aliran sungai (DAS) dapat terdiri dari beberapa sub DAS dan Sub DAS dibagi menajadi Sub-sub DAS atau daerah tangapan air (DTA). Sejalan pengertian tersebut Salim (1981) merinci ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh sebuah DAS yaitu : ada wilayah daratan, terjadi penampungan dan penyimpanan air hujan, terdapat pengaliran air hujan melalui anak-anak sungai dan sungai sungai utama yang dipisahkan oleh wilayah lain oleh pemisah topografis. Berdasarkan karakteristik, morfologi dan aliran sungainya, DAS dapat dibagi atas dua bagian yaitu bagian hulu dan bagian hilir. Daerah hulu sungai aim upland catchment mempunyai ciri-ciri : berlereng curam, batasnya jelas, tanahnya tipis, curah hujannya tinggi dan evapotranspirasi rendah. Daerahnya bergradien tajam, alirannya cepat hingga sangat cepat. Sering terjadi hujan lebat sehingga tanah selalu lembab, serta air lebih cepat masuk ke dalam jaringan sungai dan di beberapa tempat jarang ditemukan dataran banjir, sedangkan hilir sungai (lowland catchment) dicirikan oleh banjir pada saat hujan lebat (Knop, 1979 dalam Darsiharjo 2004). Daerah hulu sungai awalnya merupakan daerah yang terpelihara dengan hutan d m tumbuh-tumbuhan lebat dan rindang, berfbngsi sebagai daerah resapan dan surnber air, bahan makanan dan obat-obatan untuk kehidupan rnahluk hidup.
Dalam perkembangannya akibat pertambahan penduduk dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat maka hutan di daerah ini menjadi sasaran perambahan, lahannya dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai komoditi tanpa adanya tindakan konservasi tanah yang memadai akibatnya terjadi kerusakan bahkan di beberapa tempat di daerah hulu sungai sudah mengalami kerusakan yang parah, lahm menjadi gundul clan kritis. Di Indonesia kerusakan tanah dan air terus meningkat terutama di daerah hulu sungai yang dijadikan pertanian (Nugroho, 1999). Hal ini akibat masih rendahnya peran serta masyarakat untuk memelihara dan mencegah terjadinya kerusakan tanah. Rendahnya peran serta masyarakat karena rendahnya pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani. Rendahnya pendapatan yang diterima petani lebih disebabkan produktifitas lahan yang rendah disamping luas kepemilikan lahan yang sempit. Petani-petani seperti ini memiliki modal relatif rendah, pada hal untuk menggarap lahan yang produktifitas rendah diperlukan agroinput yang tinggi termasuk biaya untuk konservasi tanah d m air. Kondisi usahatani lahan kering yang demikian menyebabkan tejadinya proses saling memiskinkan antara petani dan lahan garapannya. Hal itu talc boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, oleh karenanya diperlukan intervensi pemerintah dan atau lembaga-lembaga non pemerintah guna mengatasi masalah yang dihadapi petani lahan kering berlereng. Hal ini sesuai pendapat Sinukaban (2002), bahwa petani rniskin tidak dapat memecahkan masalahnya sendiri. 2.7 Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus, 1998). Tingkat kecocokan sebidang lahan atau kelas kesesuaian lahan dapat berbeda tergantung pada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan, baik kesesuaian lahan sekarang (curent suitability) maupun kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan sekarang menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan kondisi saat ini tanpa ada perbaikan berarti, sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian penggunaan lahan setelah perbaikan utama yang diperlukan.
Untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan suatu areal lahan diperlukan evaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan suatu komoditi pada dasarnya merupakan penilaian untuk menemukan sifat-sifat positif dalam hubungannya dengan keberhasilan produk yang dipertirnbangkan. Ada dua tahap untuk memilih lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu. Tahap pertama adalah untuk memilih persyaratan tumbuh tanaman (land use
requirement
=
LUR) yang akan diusahakan atau menilai sifat-sifat tanah yang
pengaruhnya bersifat positif terhadap tanaman. Tahap kedua, mengidentifikasi dan membatasi lahan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan tetapi tanpa sifat lain yang tidak diinginkan. Tujuan utama evaluasi lahan adalah untuk mengetahui potensi atau nilai dari suatu areal untuk penggunaan tertentu. Evaluasi tidak terbatas hanya pada penilaian karakteristik lingkungan tetapi dapat juga mencakup analisis-analisis ekonomi, konsekwensi sosial dan dampak lingkungannya ( Sitorus, 1998 ). Sifat-sifat tanah dan lokasinya atau karakteristik tanah ( l a d characteristic) adalah sifat-sifat tanah yang dapat diukur atau diestimasi, misalnya panjang lereng, tekstur, bahan organik, kedalaman tanah dan sebagainya. Proses akhir dari evaluasi lahan adalah tahapan dimana persyaratan yang dibutuhkan suatu penggunaan lahan (land use requirement = LUR) dibandingkan
(matching) dengan kualitas lahan (land quality = LQ) atau land characteristic dari tiap tipe penggunaan lahan (LUT) dalam satuan lahan homogen (SLH). Proses membandingkan antara kualitas lahan dan persyaratan turnbuh tanaman dalam suatu evaluasi lahan diharapkan dapat menjawab (FAO, 1976) : (1). Bagaimana lahan eksisting dikelola petani. Apa yang akan terjadi bila
pengelolaan seperti itu terus dilakukan.
(2). Perbaikan apa yang mungkin dilakukan. (3). Apa bentuk penggunaan lain yang sesuai.
(4). Bentuk penggunaan lain yang bagaimana yang dapat menghasilkan produk yang berkelanjutan dan menguntungkan.
(5). Efek negatif apa yang mungkin muncul secara fisik, ekonomi atau sosial
terhadap masing masing penggunaan lahan tersebut. (6). Masukan apa yang diperlukan untuk dapatkan produksi yang diinginkan dan
untuk menekan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. (7). Apa keuntungan dari tiap penggunaan lahan tersebut.
(8). Bila penggunaan lahan dirubah maka perubahan lingkungan fisik apa yang diperlukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan. Dalarn penelitian ini selain menganalisis kesesuaian lahan secara fisik, akan dianalisis kesesuaian lahan secara ekonomi. Kesesuaian lahan secara ekonomi akan memberikan gambaran yang lebih realistis tentang keputusan pilihan penggunaan lahan aktual..
2.8 Sosial Ekonomi Masyarakat di Pedesaan Sekitar 83 persen rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan dan kondisinya memerlukan bmtuan dan pemikiran guna memecahkan masalah yang dihadapinya (Sajogyo, 1982). Selanjutnya dijelaskan, bahwa masalah umum yang dihadapi oleh rumah tangga di pedesaan adalah rendahnya pendapatan, sulitnya mencari pekerjaan, sempitnya penguasaan lahan dm rendahnya pendidikan. Rendahnya pendidikan dan sulitnya mencari pekerjaan lain menghanrskan anggota rumah tangga petani tetap menggantungkan diri pada sektor pertanian walaupun hanya dengan memanfaatkan lahan yang marjinal baik secara kualitas maupun kuantitas. Balkan di beberapa daerah sebagian petani yang karena lahannya yang sangat sempit sehingga usahatani tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga hams rela menjadi buruh tani. Pemanfaatan lahan yang marjinal oleh petani yang memiliki modal yang rendah (akibat pendapatan rendah) akan sulit meningkatkan pendapatannya, untuk itu perlu dicari solusinya. Solusi yang terbaik adalah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal seperti tenaga kerja keluarga (laki-laki, perempuan dan anak-anak), modal tunai dan lahan serta tanaman potensial yang tersedia. 2.8.1 Kemiskinan dan Kebutuhan Hidug Layak
Kemiskinan dapat bersifat mutlak atau nisbi. Kemiskinan mutlak yaitu orang miskin tidak dapat mencukupi kebutuhan fisiknya seperti pangan, pakaian dan
2.8.2 Potensi Tenaga Kerja Keluarga Tani
Menurut, Young (1955) dalam Hernanto (1989), potensi tenaga kerja di sektor partanian tradisional dalam kelwga tani yang digunakan sebagai tenaga kerja dapat dihitung dengan cara membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenaga kerja lain dikonversikan atau disetarakan dengan pria yaitu pria bekerja 1 hari atau pria = 1 hari kerja (HK) pria, 1 wanita dewasa 0,7 hari kerja pria, hewan ternak 2 hari kerja pria, anak 0,5 hari kerja pria. Potensi tenaga kerja menurut Rukasah (1974) dalam Wernanto (1989) hams dilipatgandakan atau dikalikan pencurahannya dalam satu tahun. Seorang tenaga kerja pria akan bekerja 300 hari kerja 1 tahun, tenaga kerja wanita dewasa 226 hari kerja 1 tahun dan anak anak 140 hari kerja 1 tahun. Potensi tenaga kerja yang cukup besar tersebut bila dikelola dengan baik dapat memberikan input tenaga kerja dalam proses produksi dan dalam kegiatan kegiatan lain yang menghasilkan pendapatan. Selain tenaga kerja petani di daerah Hulu Sub DAS Cikapundung memiliki lahan walaupun luasan yang sangat terbatas serta modal usahatani yang terbatas namun bila digunakan secara optimal clan penerapannya menggunakan prinsip ekonomi clan pertimbangan keberlanjutan usaha, akan dapat memberikan nilai tarnbah tersendiri. 2.8.3 Biaya dan Pendapatan Usahatani
Setiap petani dalam kegiatan usahataninya akan selalu memperhitungkan biaya dan pendapatan. Dengan cara demikian petani akan menemukan berbagai macam upaya untuk memecahkan masalah dan mengetahui kekurangan pada faktor mana saja yang perlu ditingkatka. agar usahatani yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan (Mosher, 1975). Untuk menghitung biaya dan pendapatan usahatani dapat dibedakan dari tiga cara, yaitu (Hadisaputro, 1986) : (1). Dengan memperhitungkan keadaan keuangan usahatani petani pada suatu waktu tertentu.
(2). Dengan memperhitungkan besarnya biaya dan pendapatan usahatani selama 1 (satu) tahun.
(3). Dengan mempertimbangkan hubungan antara biaya dan pendapatan dalam usahatani selama setahun. Pendapatan merupakan pedoman untuk menilai keberhasilan usahatani. Bagi petani, pendapatan merupakan hasil kombinasi tenaga, modal dan jasa di bidang tatalaksana. Pendapatan merupakan selisih dari pendapatan kotor dengan selunrh biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kotor adalah hasil kali produksi dengan harga perkesatuan (Hadisaputro, 1986) sedangkan menurut Suproyo (1979), pendapatan petani dapat dihitung dengan mengurangi nilai penerimaan hasil yang dikonsumsi sendiri dengan seluruh pengeluaran. Dalam kegiatan usahatani, yang dimaksudkan biaya produksi adalah scmua pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sejurnlah produksi tertentu. Biaya produksi dibedakan atas dua, yaitu (Mubyarto, 1986) : (1). Biaya tetap yaitu dana yang dikeluarkan baik besar maupun kecilnya ti& berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan, terdiri atas : sewa lahan, pajak tanah, bunga modal pinjaman dan penyusutan alat-alat tahan lama.
(2). Biaya tidak tetap, besar kecilnya mempengaruhi besarnya produksi yang dihasilkan yang terdiri atas : biaya sarana produksi dan upah tenaga kerja. Sedangkan menurut Suproyo (1979), yang termasuk biaya produksi adalah:
(a). Pengeluaran untuk sarana produksi yang terdiri atas: benih, pupuk dan obatobatan. (b). Pengeluaran upah tenaga kerja. (c). Pengeluaran untuk pajak tanah, iuran pengairan dan lain-lain.
2.9 Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat terkikis dan terangkut lalu diendapkan di tempat lain. Pengangkutan dan pernindahan bagian-bagian tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin (Arsyad, 2000). Erosi timbul sebagai hasil aksi dispersi dan tenaga pengangkutan oleh air hujan yang mengalir di permukaan dan atau di dalam tanah. Jadi erosi dapat terjadi minimal dengan satu tahapan yakni dispersi oleh butir hujan sebagai energi
kinetik pada permukaan tanah yang dapat menyebabkan terurainya agregat tanah. Menurut Rahim (2000), tahapan erosi tanah meliputi : (1). Benturan butir butir hujan dengan tanah. (2). Percikan tanah oleh butiran hujan ke semua arah. (3). Penghancuran bongkah tanah oleh butiran hujan. (4). Pemadatan tanah (soil compaction). (5). Penggenangan air di permukaan tanah. (6). Pelimpasan air akibat adanya penggenangan dan kemiringan lahan. (7). Pengangkutan partikel partikel yang terpercik dan atau massa tanah yang terdispesi oleh air permukaan Selanjutnya ditarnbahkan bahwa pada dasarnya erosi tanah dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1). Energi (Hujan, air limpasan, angin), kemiringan dan panjang lereng. (2). Ketahanan (erodibilitas) tanah ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. (3). Proteksi (penutup tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada tidaknya tindakan konservasi). Lebih jauh dijelaskan oleh Sumaryono dan Pratiwi (1996), bahwa proses erosi permukaan dapat terjadi pada saat terlepasnya partikel tanah dari lapisan permukaan tanah sebagai akibat dari energi yang ditimbulkan oleh jatuhnya air hujan di permukaan tanah. Bila lapisan atas permukaan tanah jenuh air atau bila derajat kejenuhannya telah mencapai tingkat maksimum maka air hujan tidak lagi dapat meresap ke d a l m tanah dan pada akhirnya air hujan berubah menjadi aliran permukaan. Aliran air permukaan dengan gaya berat marnpu mengangkat butirbutir tanah yang terlepas dari permukaan. Karena ketahanan permukaan tanah terhadap gaya seret tidak merata pada seluruh permukaan tanah maka pada bagian yang lemah butir tanah yang terangkut lebih banyak dari pada bagian yang kuat. Pada bagian yang lemah ini bila aliran permukaan tidak berlangsung terusmenerus maka hanya akan terjadi erosi alur (riil erosion), jika aliran permukaan berlangsung tem-menerus, maka alur yang terbentuk makin dalam dan makin lebar kemudian berkembang menjadi erosi parit (gully erosion) dan akhirnya menjadi sungai.
Banyak bukti telah ditunjukkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya bahwa sistem usahatani intensif di lahan berlereng tanpa adanya upaya konservasi yang memadai dapat meningkatkan laju erosi dan aliran perrnukaan. Meningkatnya erosi akan menyebabkan: (a). Menurunnya kesuburan tanah. Tanah yang subur umumnya berada di lapisan atas, dengan hilangnya lapisan atas oleh erosi maka produksi akan menurun selanjutnya akan mengurangi pendapatan petani. (b). Erosi yang terjadi pada lahan kering di hulu DAS atau Sub DAS akan memberikan efek yang menyebar jauh ke hilir. Tanah tererosi terbawah oleh aliran air dan akan mengendap dalam sungai, waduk dan saluran pengairan. Akibatnya sungai, waduk dan saluran pengairan menjadi dangkal hingga berkurangnya kemampuan sungai dan saluran pengairan untuk mengalirkan air. Selain itu waduk menjadi berkurang kapasitas tampungnya sehingga dapat meluap dan terjadi peningkatan banjir pada waktu musim penghujan, umur pakai waduk juga akan berkurang. Erosi menyebabkan sungai dan waduk berlumpur dan biota air akan mati, berkurangnya nilai estetik sehingga menurunnya potensi wisata. Lumpur yang terbawah oleh air sungai ke laut I pantai dapat mematikan terumbu karang, kematian terumbu karang
akan mengurangi produksi ikan serta akan menurunkan potensi wisata pantai Dalam survei tanah seringkali perlu ditetapkan tingkat kerusakan oleh erosi dengan menggunakan metode pengukuran erosi yang dikembangkan oleh Arsyad (2000) dan dipetakan tingkat kerusakamya. Untuk tanah yang mempunyai horizon yang jelas maka perubahan akibat erosi mudah diketahui yaitu tingkat erosi atau kelas erosi ditentukan berdasarkan tebalnya horizon A atau tebalnya lapisan atas yang hilang yaitu dengan membandingkan dengan tebalnya horizon pada lahan lain disekitarnya yang masih asli dan memiliki kemiringan yang sama. Untuk menduga besar erosi terutama di lahan olah dapat menggunakan rumus pendugaan erosi Universal Soil Loss Equation (USLE) oleh Wischrneier dan Smith (1978). Selain memprediksi erosi yang terjadi diperlukan pula penentuan erosi yang masih dapat dibiarkan yaitu dengan mempedomani penetapan nilai ET yang untuk tanah-tanah di Indonesia (Arsyad, 2000; Sitorus, 2003) seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pedoman penetapan nilai ET untuk tanah-tanah di Indonesia No
Sifat tanah dan Substratum
1
Tanah sangat dangkal di atas batuan Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi) Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk Tanah dengan kedalaman sedang diatas bahan telah melapuk Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat di atas substrata yang telah melapuk Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang di atas substrata telah melapuk Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel di atas substrata telah melapuk
2 3 4
5 6 7 8
Nilai ET (mm/tahun 0,o 0,4 03
1,2 1,4 1,6 2,o
2,5
Keterangan: mm x Berat Volume x 10 = Ton I hafth. Berat volume tanah berkisar 0,8-1,6gr/cc. Umumnya tanah-tanah berkadar liat tinggi berat vulume tanah 1,O sampai 1,2grlcc
Dengan diketahuinyajurnlah tanah yang tererosi dan erosi yang masih dapat dibiarkan maka pada tahap akhir dapat ditentukan tingkat bahaya erosi dengan menggunakan rumus sebagai berikut : A (ton /ha/th)
TSL (tonha Ith) 2.10 Persepsi dan Preferensi. Menurut R a b a t (1989) dalam Abdussamad (1993) persepsi adalah pengalaman seseorang tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan tersebut. Seseorang yang menganggap sistem usahatani campuran menguntungkan, mudah
untuk dicoba / diterapkan dm sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat maka ada kecenderungan orang tersebut mengembangkan sikap yang positif terhadap sistem tersebut. Sebaliknya, jika seseorang yang menganggap sistem agroforestri kurang menguntungkan, rumit, sulit diterapkan, hasil yang diperoleh cukup lama, tidak sesuai dengan nil&-nilai lokal maka ada kecenderungan untuk mernbentuk sikap yang negatif dan pada gilirannya akan tenvujud dalam tindakan yang berupa tidak menerapkan sistem agroforestri. Sikap seseorang terhadap inovasi sangat ditentukan oleh:
(a). Keuntungan relatif, jika inovasi tersebut memberikan keuntungan dibandingkan dengan yang lain. (b). Kompleksitas, jika inovasi tersebut tidak rumit dan mudah dipelajari.
(c). Triabilitas, Jika inovasi tersebut dapat dicoba dalam skala kecil. (d). Obsewabilitas, jika inovasi tersebut mudah diamati dan dibuktikan. 2.1 1 Optimasi
Optimasi secara urnurn berarti mendapatkan yang terbaik dalam keadaan tertentu. Menurut Taha (1982) dalam Wiradinata (1987) optimasi biasanya dipakai untuk mendapatkan maksimasi atau minirnasi dari fungsi tujuan. Dalam praktek tidak mudah untuk memasukan semua tujuan yang mungkin bertentangan dalam satu kriterium. Hal tersebut disebabkan karena mungkin diperoleh h g s i matematis yang sangat kompleks sehingga tidak dapat diperoleh pemecahannya dalam waktu yang singkat atau tujuannya yang sangat abstrak sehingga tidak mudah dikuantifikasikan. Seseorang pengambil keputusan diperhadapkan kepada suatu persoalan yang mengandung beberapa tujuan yang ada di dalamnya, maka program linier tidak dapat membantunya untuk memberikan pertimbangan yang rasional karena program linear hanya terbatas pada analisis tujuan tunggal (single objective function) (Keeney dan Raiffa, 1976 dalam Widaningsih, 1991). Selain itu jarang sekali kita memiliki atau dapat mengumpulkan data / informasi yang lengkap karena keterbatasan waktu dan dana, program linear tak dapat menjawab persoalan yang informasinya kurang lengkap. Program linear hanya bergerak dalam analisis masalah-masalah yang tujuannya unidimensional, sementara program tujuan ganda (multiple goal / objective programming) dapat bergerak dalam memecahkan masalah-masalah baik tujuannya unidemensional maupun multidimensional. (Nasendi dan Anwar 1985). Selanjutnya dijelaskan pula, bahwa pengalokasian sumberdaya alam yang menyangkut banyak tujuan baik dari segi ekonomi, produksi maupun untuk tujuan kelestarian lingkungan diperlukan alat analisis yang tepat untuk mengoptimalkan fungsi tujuan. Alat analisis yang tepat untuk itu adalah program tujuan ganda. Progaram ini menggunakan pendekatan matematis khususnya yang berkenaan
dengan masalah-masalah pengambilan keputusan yang mempunyai tujuan ganda dan berlainan, bertentangan dan tidak dapat diperbandingkan. Program tujuan ganda memiliki keunggulan seperti: (a). Dapat menjawab persoalan yang informasinya h a n g lengkap (b). Dapat bergerak dalam masalah-masalah yang memiliki tujuan tunggal atau unidimensional, ganda dan lebih dari dua (multidimensional). (c). Dapat memakai unit fisik seperti : kg, ton, m3, pohon d m lain-lain sehingga hasilnya mendekati kenyataan. (d). Berusaha meminimumkan deviasi dari berbagai tujuan atau sasaran yang ditetapkan yaitu meminimumkan jarak batas yang dapat dicapai oleh h g s i tujuan sebagaimana yang dikehendaki oleh h g s i kendala yang mengikat fungsi tujuan tersebut sebagai syaratnya. Disamping memiliki keunggulan, program tujuan ganda (PTG) merniliki kelemahan yaitu : (a). Tidak mempunyai uji lanjutan atau uji tingkat kepercayaan, sehingga hail yang diperoleh sudah dianggap benar. (b). Diperlukan ketelitian yang tinggi dalam perhitungan koefisien teknis, sebab jika terjadi kesalahan dalam perhitungan tersebut tidak bisa diketahui dari hasil yang diperoleh.