MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PEMOHON (V)
JAKARTA SELASA, 29 NOVEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta [Pasal 18 ayat (1) huruf m] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Raden Mas Adwin Suryo Satrianto 2. Supriyanto 3. Anggiastri Hanantyasari Utami, dkk ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (V) Selasa, 29 November 2016 Pukul 11.08 – 13.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Manahan MP Sitompul Suhartoyo Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Maria Farida Indrati
Hani Adhani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Sjamsiah Achmad 2. Ninuk Sumaryani Widyantoro 3. Siti Nia Nurhasanah 4. Saparinah Sadli B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Irman Putra Sidin 2. Iqbal Tawakal Pasaribu 3. Victor 4. Agustjar 5. Alungsyah C. Ahli dari Pemohon: 1. Saldi Isra 2. Zainal Arifin Mochtar D. Saksi dari Pemohon: 1. Paulus Yohanes E. Pemerintah: 1. Hotman Sitorus 2. Rahayu 3. Fitri F. DPD: 1. Nono Sampono
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.08 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 88/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan diri lagi.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Terima kasih, Yang Mulia. Hari ini Kuasa Hukum hadir semua dan Prinsipal yang hadir hari ini ada 4 orang. Pertama, Prof DR. Saparinah Sadli, Ibu Sjamsiah Achmad, kemudian Ibu Siti Nia Nurhasanah, dan Ibu Ninuk Sumaryani Widyantoro. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari DPR berhalangan, ya. DPD sekarang.
4.
DPD: NONO SAMPONO Terima kasih, Yang Mulia. Sedianya yang hadir dari DPD RI tiga orang. Yang satu berhalangan, Bapak Akhmad Muqowam, sedang rapat kerja dengan Menteri Dalam Negeri. Ibu Iin dalam perjalanan, dan saya sendiri Nono Sampono dari DPD RI Komite I. Terima kasih.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih. Dari Kuasa Presiden?
6.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Kuasa Presiden hadir, saya Hotman Sitorus bersama Ibu Rahayu dan Fitri Nur Astari. Terima kasih, Yang Mulia.
1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Pihak Terkait berhalangan, ya. Baik, acara persidangan hari ini untuk mendengar keterangan Ahli, dua orang ya dari Pemohon, ya?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Betul, Yang Mulia. Hari ini kami menghadirkan dua Ahli dan ada satu Saksi fakta terkait pembahasan RUU draft DIY dari mantan ketua tim jadi DPD RI dan keterangan tidak akan terlalu panjang, Yang Mulia.
9.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dipersilakan ke depan, Pak Prof ... Prof Saldi sama Pak DR. Zainal. Dan Saksi sekaligus, Pak Paulus Yohanes. Untuk Ahli, mohon kesediaan Pak Wahiduddin. Dan untuk Saksi, Yang Mulia Ibu Maria.
10.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
11.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIA INDRATI Mohon ikut saya. “Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”
13.
SAKSI BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
2
14.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIA INDRATI Terima kasih.
15.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, mohon kembali ke tempat dulu. Ya kita dengar keterangan Ahli terlebih dahulu. Siapa yang lebih dulu? Prof Saldi atau Pak Zainal? Saldi? Prof Saldi, ya? Ya.
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Izin, Yang Mulia. Apa kami bisa mohon agar Saksi terlebih dahulu yang dipersilakan?
17.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, gitu. Baik. Ya, silakan Saksi. Ya, di podium.
18.
SAKSI DARI PEMOHON: PAULUS YOHANES Yang Mulia Majelis Hakim, sebelum saya menyampaikan kesaksian tentang perihal yang bersangkutan, izinkan saya menyampaikan posisi saya pada saat itu. Saya adalah ketua timja daripada DPD RI Komite I, yang merancang rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Yang kedua, saya adalah anggota tim pembahas dari Komite I, untuk membahas bersama dengan pemerintah dan DPR RI yang dikoordinir oleh Bapak Dr La Ode Ida. Karena Beliau berhalangan, maka tugas koordinasi diserahkan kepada saya. Jadi saya dengan sungguhsungguh menjalankan tugas negara itu untuk mengikuti pembahasan, tidak ada satu hari pun saya absen dalam pembahasan itu. Majelis Hakim Yang Mulia. Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dibentuk untuk memberikan kedudukan hukum istimewa bagi Provinsi Yogyakarta berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1). Kedudukan hukum istimewa itu meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, wewenang gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. 2. Kelembagaan Pemerintah DIY. 3. Kebudayaan dan pertanahan. 4. Tata ruang. Keistimewaan ini dimuat di dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Yogyakarta. Ketiga. Kedudukan hukum istimewa yang mengatur tata cara pengisian jabatan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang dimuat pada Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta 3
diatur lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, yaitu yang berbunyi, “Calon gubernur, calon wakil gubernur adalah warga negara Indonesia … Repubik Indonesia yang harus memenuhi syarat huruf c berbunyi, bertahta sebagai Sultan Hamengkubuwono untuk calon gubernur, bertahta sebagai Adipati Pakualam untuk calon wakil gubernur.” Huruf n berbunyi, “Bukan sebagai anggota partai politik.” Sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, d, sampai dengan n Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta diambil sepenuhnya dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perlu saya sampaikan kepada Yang Mulia Majelis Hakim bahwa tim pembahas ketika itu, rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang terdiri dari DPR RI Komisi II, DPD RI Komisi I, dan pemerintah sepakat … saya ulangi, sepakat bahwa persyaratan kecuali Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf n pada Undang-Undang Keistimewaan diambil sepenuhnya, saya ulangi, diambil sepenuhnya dari Undang-Undang Pemerintah Daerah. Yaitu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tanpa dibahas kembali, saya mengulangi, tanpa dibahas kembali karena tim pembahas merasa dan beranggapan sudah baku, sudah standar, sudah dikaji dengan sungguhsungguh pada saat menyusun Undang-Undang Nomor 32 itu. Yang Mulia Majelis Hakim bahwa ternyata ada kekurangan kata suami dan penggantian kata keluarga kandung menjadi saudara kandung pada rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf n Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ini tidak otentik, tidak sama dengan tugas pengutipan yang diambil dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Adalah kesalahan administratif, menurut hemat kami ini adalah kesalahan administratif dalam penyusunan, dalam penulisan undang-undang itu yang harus diperbaiki dan agar sesuai dengan amanat pembentuk undang-undang untuk mengutip persyaratan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara otentik yang memuat, yang seharusnya menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain; riwayat pendidikan, dan pekerjaan, serta keluarga kandung, suami dan istri. Yang Mulia Majelis Hakim. Penambahan Pasal 18 ayat (1) huruf n Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta bahwa calon gubernur adalah sultan yang bertahta dipersyaratkan bukan anggota partai politik adalah tuntutan partai-partai politik yang ada di DPR Komisi II pada saat itu yang disetujui … saya ulangi, disetujui oleh DPD RI dan oleh pemerintah dalam pembahasannya, dimaksudkan agar sultan yang bertahta yang akan menjadi gubernur dapat mengayomi semua partai politik yang ada di Yogyakarta. Yang Mulia Majelis Hakim. Perlu saya sampaikan sebagai kesaksian bahwa selama membahas Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, tim pembahas DPR RI, DPD, dan Pemerintah semuanya sepakat 4
merumuskan pasal-pasal yang dibutuhkan untuk mengatur kedudukan hukum istimewa yang diberikan kepada Yogyakarta yang mencakup 5 hal tersebut di atas, yang dimuat di dalam Pasal 7 ayat (2) UndangUndang Yogyakarta. Yang Mulia Majelis Hakim, tentang calon gubernur itu laki-laki atau perempuan tidak pernah dibahas karena pembentuk undang-undang ketika itu menyadari sepenuhnya itu adalah hak mutlak daripada Keraton Yogyakarta. Dua. Pembentuk undang-undang tidak memberikan kewenangan dalam undang-undang ini kepada DPRD maupun kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencampuri urusan kewenangan Keraton Yogyakarta dalam menentukan calon sultan menjadi sultan bartahta yang kemudian akan menjadi calon gubernur. Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta memberikan peran kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri untuk memproses ... saya ulangi, untuk memproses sultan yang jumeneng menjadi gubernur tanpa diberi hak untuk mencampuri terhadap kewenangan-kewenangan istimewa yang diberikan kepada Keraton Yogyakarta. Tugas daripada DPRD dan Menteri Dalam Negeri adalah memproses pengajuan sultan yang bertahta menjadi gubernur yang diajukan oleh otoritas Keraton Yogyakarta, yaitu Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diajukan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan dan penetapan. Ini dimuat di dalam Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Majelis Hakim yang kami hormati. Pemberian kewenangan undang-undang ini kepada DPRD DIY untuk memproses calon gubernur menjadi gubernur sampai kepada pengesahan penetapan oleh presiden, itu diberikan dalam rangka memberikan peranan kepada DPR di Yogyakarta paralel, paralel dengan DPRD provinsi lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang akan fleksibel tentu saja diubah melewati Undang-Undang Pemilukada dan pemberian peran kepada DPRD inilah yang dimaksud untuk memproses secara demokratis. Majelis Hakim Yang Mulia. Perlu saya sampaikan, pembentuk Undang-Undang Yogyakarta sepakat bahwa semua ketentuan UndangUndang Pemerintah Daerah yang berlaku bagi pemerintah Yogya sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Keistimewaan ini. Ini dimuat di dalam bab IV, Pasal 49. Hal ini juga berarti semua yang diatur di dalam undang-undang ini bersifat lex specialis yang ekslusif tidak dapat dianulir oleh aturan-aturan apalagi oleh pikiran-pikiran baru yang bersifat subjektif. Demikian kesaksian saya, Majelis Hakim yang terhormat. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan ini.
5
19.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Kita lanjut ke Ahli Prof. Saldi, mungkin. Ya, silakan.
20.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Om swastiastu. Pokok persoalan yang diajukan dalam permohonan ini adalah Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya ditulis atau disebut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat huruf m, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Menurut dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, ketentuan 8 ... Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Izinkan saya untuk mengurai, untuk menjawab keterangan ini menguraikan soal yang jauh lebih tinggi dan mendasar ihwal desain atau pola hubungan pusat dan daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui bentuk negara menjadi salah satu isu penting yang dibahas oleh badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan akhir kekuasaan Jepang pada tahun 1945. Saat itu, di samping gagasan membentuk Indonesia dalam format negara kesatuan, muncul keinginan untuk membangun Indonesia dalam format negara federal. Namun, mayoritas pendiri negara lebih memilih bentuk negara kesatuan dengan tetap mengakui hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Bisa kita baca dalam buku A. B. Kusuma tahun 2004 Pasal 177 sampai Pasal 178. Pengakuan tersebut membuktikan political will para pendiri negara memberikan tempat yang terhormat dan penting bagi daerah dalam sistem nasional. Merujuk perjalanan sejarah Indonesia menjadi suatu negara merdeka, meski memilih bentuk negara kesatuan, bentangan fakta keragaman yang ada tidak memungkinkan membuat desain hubungan pusat daerah yang seragam. Keberagaman bentang fakta tersebut meniscayakan kita melakukan berbagai pilihan dalam mengatur hubungan pusat dan daerah. Artinya, pilihan memberi ruang pengaturan yang berbeda untuk berbagai daerah menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Bahkan pada zaman kolonial pun, bentangan fakta tersebut menjadi pertimbangan amat penting. Buktinya di dalam
6
Desentralisatie Wet tahun 1903 tidak semua daerah diatur secara seragam oleh Kolonial Belanda. Dengan demikian, keberagaman Indonesia menjadi faktor penting dalam desain relasi pusat dan daerah. Dengan dasar pemikiran seperti itu, desain desentralisasi asimetris menjadi pilihan kebijakan nasional untuk mengatur sejumlah daerah di tingkat provinsi yang dikarenakan alasan tertentu mendapat kewenangan dan distribusi sumber daya yang berbeda. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pilihan para pendiri negara terhadap negara kesatuan dengan tetap mengakui hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan demikian sudah muncul sejak perdebatan perumusan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Mohammad Yamin dalam pidato di hadapan BPUPK tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan, “Republik yang akan berdiri adalah republik dengan ciri negara kesatuan atau paham unitarisme.” Sehala atau searah dengan Yamin, Susanto Tirtoprojo misalnya menyatakan bahwa negara Indonesia harus merupakan satu unitaris bukan federalis, tidak statebond suatu negara serikat tidak serikat negara. Masih dalam isu serupa dalam sidang BPUPK 30 Mei 1945, Rahim Pratalikarma kembali memperkuat pilihan negara kesatuan. Dalam pidatonya menyinggung bagaimana susunan negara kesatuan yang hendak dibentuk? Rahim menyampaikan di dalam beberapa daerah pemerintahan dan kota yang masing-masing otonomi dengan tunduk pada pimpinan kepala Negara Indonesia. Pada hari berikutnya, Supomo jauh lebih elaboratif menjelaskan soal ini, Supomo menyatakan, “Segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri sebagai bagian organik negara seluruhnya.” Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal-soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik besar maupun kecil, itu semuanya akan tergantung pada dulmatigheid, berhubungan dengan waktu dan tempatnya. Jadi hukum negara akan memerhatikan segala bentuk keistimewaan dari golongan yang bermacam-macam adanya di tanah air kita. Dengan sendirinya dalam negara yang terdiri dari pulau-pulau besar/kecil, banyak soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Tidak berhenti pada sidang itu, Supomo dalam rapat besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, tanggal 14-7-1945, menyampaikan gagasan yang lebih detail. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar pemusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Hak-hak asal-usul daerah-daerah yang 7
bersifat istimewa harus diperingati juga dengan yang bersifat istimewa itu adalah daerah kerajaan atau koti, baik di Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan Zelfbestuurende Lanschappen. Dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum, pidato Supomo itu sekaligus memberikan penegasan maksud dari pembagian daerah dengan mengingat hak asal-usul dan hak istimewa yang dimiliki daerah. Dengan demikian, lahirnya Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan para pendiri negara menyadari bahwa Indonesia merupakan negara heterogen yang terdiri dari daerah yang mana masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Keberagaman suku bangsa diakomodasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara, sebagaimana ditulis di awal, pilihan para negara ini menunjukkan kesepakatan mereka terhadap keberagaman Indonesia. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya, daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa disebutkan ada daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa, seperti Nagari di Minangkabau, Marga di Palembang, dan kerajaan seperti di Yogyakarta, dan lain sebagainya. Dengan pembagian semacam itu, NKRI dikonsepsikan amat menghargai hak-hak otonomi dan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Pembagian daerah dengan kelompok yang berbeda-beda, tentu menuntut pemberlakuan yang berbeda-beda pula. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Dalam situasi peralihan yang ditandai dengan melemahnya kekuasaan melakukan unifind force seperti dikatakan oleh Norton Tahun 2002, dan menguatnya tuntutan untuk pemisahan diri dari negara ... dari beberapa daerah seperti Aceh, Riau, dan Papua pada 7 Mei 1999 Presiden Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada konsiderans menimbang huruf a, b, c, dan ... huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, secara eksplisit dapat dibaca bagaimana pengakuan terhadap keistimewaan yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Apabila dibaca secara utuh risalah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara eksplisit tidak ditemukan istilah desentralisasi asimetris. Para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun ahli yang diundang di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, lebih banyak membahas soal-soal titik berat otonomi, pembagian wewenang pusat dan daerah, hubungan pusat dan daerah, implementasi otonomi daerah. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa pembahasan tentang pusat dan daerah tidak mengandung konsep atau ide desentralisasi asimetrik. Dengan menempatkan dan memperhatikan kekhasan masing-masing daerah sebagai salah satu roh pembahasan Pasal 18, anggota MPR secara implisit membahas pola desentralisasi asimetris dalam desain hubungan pusat dan daerah. 8
Gagasan yang mengandung konsep desentralisasi asimetris muncul sejak awal perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, misalnya saat Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR pada tanggal 7 Desember 1999. Juru bicara Fraksi Reformasi A. M. Lutfi menyampaikan, “Betapa pentingnya menjaga komitmen atas keberagaman Indonesia sebagai sebuah negara sebagaimana gagasan pendiri negara, yaitu Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity).” Pernyataan Lutfi ikhwal hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan sesuai dengan filosofi Bhineka Tunggal Ika, bermakna pemerintahan daerah tidak boleh seragam, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Jika dinamika perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diuraikan di atas dijadikan ukuran nilai konsep desentralisasi yang dikehendaki oleh para pengubah Undang-Undang Dasar 1945, maka tidak diragukan lagi bahwa desentralisasi asimetrislah yang dikehendaki. Merujuk perdebatan yang ada, mayoritas percaya hanya dengan penerapan konsep itulah gagasan memelihara kebhinekaan dapat diwujudkan. Misalnya, Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.” Menjadi cara jitu untuk menghidupkan kembali semangat pusat dan daerah yang digagas oleh para pendiri negara. Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 telah disahkan beberapa undang-undang, misalnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Sebagaimana ditulis oleh Ari Dwipayana peneliti politik dari UGM, substansi kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI sebetulnya bisa dilacak dari lima atau enam kekhususan yang diantaranya di situ memberikan peran besar soal syariat Islam. Ari Dwipayana mengatakan, “Secara khusus syariat Islam memiliki pengaruh besar dalam desain kelembagaan di Aceh. Pengaruh itu dinyatakan secara jelas dalam konsideran menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.” Karena itu Yusra Habib Abdul Ghani Tahun 2009 berpandangan, “Luasnya kekuasaan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 melampaui takaran asimetris medis suatu negara unitaris.” Sementara itu, laporan hasil penelitian jurusan politik pemerintahan UGM tahun 2012, beberapa pokok pengaturan yang menunjukan kekhususan Papua itu paling tidak ada delapan dan diantaranya yang menunjukan kekhas itu misalnya ada penegasan 9
bahwa soal penduduk asli dan orang asli Papua. Bahkan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, syarat menjadi gubernur/wakil gubernur harus putra asli orang Papua. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Kuasa Pemerintah, Wakil DPR yang saya hormati, Wakil DPD, Hadirin sekalian. Begitu pula dengan Yogjakarta, desentralisasi asimetris bisa dilacak dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Dalam konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 ditegaskan eksistensi dari Kesultanan Ngayogyakartahadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai unit pemerintahan di Indonesia yang telah lama memiliki wilayah, pemerintahan, dan penduduk jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 juga mengakui peran dan sumbangsih daerah ini dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Karenanya pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tidak hanya sebatas meneguhkan pengakuan konstitusional ikhwal keistimewaan Yogyakarta, tapi sekaligus memenuhi asas desentralisasi asimetris yang dianut Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kewenangan dalam keistimewaan Yogjakarta diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 meliputi: a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur. b. Kelembagaan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Kebudayaan. d. Pertahanan. e. Tata Ruang. Terkait dengan ketentuan tersebut, pelaksanaan kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai dan kearifan lokal, dan keberpihakan kepada rakyat. Bahkan, pelaksanaan modal keistimewaan tersebut dituangkan dalam peraturan daerah istimewa atau Perdais Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari semua wewenang itu, tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dapat dikatakan sebagai fokus perdebatan yang paling menarik ketika perdebatan pembahasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Sejauh ini, dari daerah yang memenuhi makna Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai daerah yang bersifat khusus atau istimewa, semua gubernur dipilih langsung. Berbeda dengan Aceh dan Papua, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 dinyatakan bahwa gubernur berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan wakil gubernur berasal dari Kadipaten Paku Alaman yang kemudian ditetapkan oleh DPRD. Apabila dibaca dan ditelaah beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 terutama kumpulan norma dalam Pasal 18 hingga Pasal 27 undangundang a quo, salah satu politik hukum yang terkandung di dalamnya pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur memilah secara jelas 10
antara proses internal keraton dengan proses politik formal di luar keraton. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, penghargaan terhadap proses internal kesultanan dan wakil gubernur yang berasal dari Kadipaten Paku Alaman menjadi salah satu bentuk khas atau kekhususan yang disebut dengan konsep asimetris dalam mewadahi praktik desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam konteks itu, syarat untuk mengangkat seorang gubernur dan/atau wakil gubernur harus mempertimbangkan secara cermat dan hati-hati agar proses internal tetap terpelihara. Karena itu, lhwal persyaratan dalam Pasal 18 huruf m UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 potensial menganulir proses internal dimaksud, khususnya masuknya kata istri tersebut bermakna seorang yang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dapat dimaknai hanya seorang laki-laki saja. Dengan cara pandang yang lebih netral, terutama melihat perkembangan yang terjadi di internal Kesultanan Yogyakarta menjadi jauh lebih fleksibel sekiranya kata istri tersebut disebandingkan atau disepadankan dengan kata suami dengan membuat garis miring sehingga menjadi istri/suami. Bahkan, jauh lebih netral dengan menghapus sama sekali sebagaimana persyaratan dalam Undang-Undang Pilkada yang umumnya dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan menggunakan batas penalaran yang wajar. Syarat berupa kata istri ... syarat tambahan berupa kata istri tersebut tentu berlebihan bila dibandingkan dengan syarat kepala daerah yang lain. Misalnya yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada yang sama sekali tidak mengharuskan pencantuman nama istri dan/atau suami. Dalam hal ini, kita bisa merujuk ketentuan Pasal 7 UndangUndang Pilkada yang sama sekali tidak mencantumkan syarat tersebut. Pertanyaan amat mendasar yang patut dikemukakan, mengapa pencantuman syarat suami/istri tidak menjadi syarat normatif yang dicantumkan dalam Undang-Undang Pilkada? Padahal secara posisi, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sama dengan daerah lain, bahkan dalam level yang lebih tinggi. UndangUndang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pun tidak meminta persyaratan pencantuman suami dan istri. Bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, tidak hanya berpotensi diskriminasi. Pengaturan seperti itu potensial melanggar prinsip negara hukum. Terkait dengan hal itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 008 Tahun 2004 menyatakan, “Negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dengan sendirinya melarang diskriminasi berdasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.” 11
Ditilik dari segi perumusan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, “Pencantuman kata istri dalam Pasal 18 huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 jelas menimbulkan ketidaksamaan.” Dalam hal ini, Pasal 6 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan, “Materi muatan memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.” Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal ini, “Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, gender, atau status sosial.” Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, apabila dilihat materi permohonan yang diajukan Pemohon, syarat yang diuji menimbulkan implikasi yang tidak sederhana bagi internal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan mungkin juga suatu saat bagi internal Kadipaten Paku Alaman (suara tidak terdengar jelas) bagaimana pun karena soal syarat itu kemudian diangkat menjadi substansi undangundang, maka dalam logika hierarki perundang-undangan kita, kalau nanti Peraturan Daerah Istimewa atau Perdais Yogyakarta menentukan atau memuat syarat yang ada dalam … syarat tentang gubernur dan wakil gubernur, maka tidak bisa tidak, Perdais itu akan mengadopsi syarat-syarat yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Oleh karena itu, kini saatnya untuk melakukan koreksi dan mengembalikan persyaratan tersebut ke dalam semangat yang jauh lebih netral, yaitu bagaimana mengembalikan kepada semangat politik hukum bahwa penentuan calon gubernur, wakil gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi urusan internal di lingkungan Keraton dan di lingkungan Kadipaten Paku Alaman. Terima kasih. Wabillahitaufiq walhidayah … saya mohon maaf tidak semuanya dibacakan, yang tidak dibacakan dianggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan ini. Wabillahitaufiq walhidayah wassalamualaikum wr. wb. 21.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Lanjut ke Pak Dr. Zainal. Silakan.
22.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia, pertama-tama, izinkan saya membacakan beberapa di antaranya, sedangkan selebihnya barangkali akan masuk dan saya serahkan secara langsung, supaya bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan Ahli yang saya bacakan hari ini. 12
Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia. Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan, Dewan Perwakilan Daerah dan Perwakilannya, atau Perwakilannya, Pemerintah atau Perwakilannya, Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon yang saya hormati. Pada dasarnya, keterangan Ahli ini dibuat untuk perkara yang mana oleh Pemohon telah mendalilkan bahwa telah terjadi kerugian dan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional Pemohon. Karena diakibatkan berlakunya ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Keistimewaan … Keistimewaan Yogyakarta yang menyatakan, “Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah wakil ... adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat, khususnya huruf m, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.” Ketentuan tersebut, telah berlaku secara diskriminatif dan karenanya, menurut Pemohon Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut, haruslah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam kapasitas saya sebagai Ahli yang dimintakan pada perkara ini, akan memberikan analisis setidaknya pada 3 hal. Pertama, pembacaan logis atas konsep Undang-Undang Keistimewaan DIY. Yang kedua, konstitusionalitas Undang-Undang Keistimewaan tersebut dalam kaitan dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dan yang ketiga, kerancuan susunan aturan hukum jika hal tersebut dipertahankan di dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Membaca Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, seharusnya memang dalam langgam yang menyeluruh dan tak parsial, pembahasan tak ... pembacaan parsial akan sangat mungkin memberikan basis kesimpulan yang berbeda dan tidak pas dalam memandang keistimewaan Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, jika dilihat pada Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY adalah daerah provinsi yang memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep pengaturan ini dengan jelas menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki keistimewaan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan, lagi-lagi, keistimewaannya adalah dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan dan tidak ada kaitannya dengan soal laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, tetap dipandang dalam negara kesatuan. Artinya, selain dianggap istimewa, juga dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam konsep negara kesatuan yang memiliki corak dan ciri yang sedikit diseragamkan. Karenanya, jika hal tersebut, yakni keistimewaan dan keseragaman dalam konsep negara kesatuan dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf m, haruslah dilihat dalam kerangka yang mungkin dibaca secara letter lecht ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah membaca pasal itu merupakan aturan 13
khusus yang menjadi bagian dari aturan keistimewaan Yogyakarta, sehingga pasal itu merupakan bagian dari keistimewaan yang dimaksud. Kemungkinan kedua adalah membaca ketentuan itu bukan merupakan bagian dari kerangka keistimewaan dan seharusnya dibaca sebagai konsep seragam lainnya, sebagaimana dicantumkan dalam berbagai undang-undang dalam … di Republik ini. Untuk menjawab hal tersebut, perlu dilakukan pengecekan terlebih dahulu, apakah sesungguhnya menjadi tujuan keistimewaan Yogyakarta itu sendiri? Hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa pengaturan keistimewaan Yogyakarta bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat, mewujudkan tata pemerintahan, dan tata sosial yang menjamin Kebhinekaan Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menciptakan pemerintahan yang baik, dan melembagakan peran dan tanggung jawab kesultanan dan kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Jika dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf m, maka ketentuanketentuan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketentuan kewajiban memiliki istri, anak, maupun saudara kandung serta pekerjaan. Sedangkan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintahan yang demoratis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan melalui pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, pengisian keanggotaan, pemi … keanggotaan DPRD melalui pemilihan umum, pembagian kekuasaan antara gubernur dan wakil gubernur dengan DPRD DIY, mekanisme penyeimbang antara pemerintah daerah, dan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pada ketentuan ini, memang ada frasa yang mencantumkan khusus perihal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang dalam undangundang kemudian dijabarkan secara mendetail dalam pasal-pasal berikutnya, yakni Pasal 18 hingga 27. Karenanya jika ditambahkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (5) yang menyatakan bahwa pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d diwujudkan melalui prinsip efektifitas, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, dan penegakan hukum. Prinsip kesetaraan ini tetaplah menjadi elan yang utama dari keseluruhan undang-undang istimewaan ini. Artinya, jika dibaca secara menyeluruh, konsepsi tujuan keistimewaan maka pembacaan paripurna terhadap konsesi keistimewaan dapat dilihat tidak hanya perihal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Bahwa keistimewaan tersebut hanya berkaitan dengan upaya memperlancar jalannya proses pemerintahan di Yogyakarta dengan menambahkan adanya prinsip kesetaraan. Melalui konsep ini, maka jelas dapat dibaca bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m 14
sama sekali tidak ada kaitannya dengan keistimewaan Yogyakarta, termasuk pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Dan karenanya, mustahil dipandang sebagai aturan spesifik yang mengatur soal keistimewaan dalam kerangka keistimewaan. Artinya, Pasal 18 ayat (1) huruf m sama sekali tidak ada kaitannya dengan keistimewaan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam memandang isi dan klausula ketentuan tersebut, haruslah digunakan corak pandang bahwa pasal tersebut bukanlah bagian dari keistimewaan. Dan karenanya, harusnya dipandang sebagai bagian umum yang berlaku bagi semua jabatan kepala daerah yang sama di berbagai provinsi lainnya. Anehnya, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m ini tidak ditemukan di berbagai aturan yang lainnya. Jikapun ditemukan, maka suami atau istri seringkali menjadi klausula wajib seperti yang ada misalnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Jika dipaksakan, itu diatur khusus sebagai bentuk keistimewaan, maka peran negara terlihat terlalu ber … terlalu kelewatan mengatur … dalam pengaturan laki-laki yang dapat menjadi … diujungnya menjadi diskriminasi. Artinya, keberadaan pasal tersebut telah menghilangkan makna rasiolegis yang seharusnya dikandung oleh sebuah aturan oleh karena tidak jelasnya tujuan yang hendak dicapai melalui ketentuan tersebut. Jikapun dipaksakan dalam pandangan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m adalah bagian dari pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, maka ada … akan ada pembacaan yang mendatangkan implikasi yang tidak kecil terhadap potret pengisian jabatan publik. Artinya, dimungkinkan adanya ketentuan yang bias gender. Frasa yang menyebutkan mencantumkan antara lain istri saudara kandung dan anak sangat mungkin mendatangkan implikasi kesimpulan bahwa yang dapat menjadi gubernur DIY hanyalah laki-laki. Aturan bias gender ini memang sudah sangat sering terjadi dalam kerangka negara yang mengalami dominasi paradigm maskulin. Hal ini sering dikritisi, misalnya oleh aliran feminisme hukum yang mengatakan bahwa kaum maskulin seringkali memahami perempuan dari dunianya sendiri tanpa mengerti jika perempuan sebagai subjek yang memiliki otoritas dan otonominya sendiri. Inilah yang mengakibatkan adanya berbagai aturan yang seringkali salah arah, semisal larangan menaiki motor secara ngangkang misalnya di beberapa … di daerah tertentu serta perda pelacuran yang kemudian sangat mendiskreditkan perempuan. Jika dibaca secara datar aturan tersebut, maka akan menentapkan … menempatkan konsepsi yang rancu bagi pembacaan Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut. Ketentuannya saya ulangi lagi, calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Artinya, kewajiban utamanya itu sesungguhnya 15
adalah menyampaikan daftar riwayat hidup yang kemudian ditambahkan dengan isinya dapat memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Frasa antara lain secara teori hukum memang menunjukkan bahwa ada hal lain yang dapat dicantumkan, akan tetapi ketentuan letterlijk soal riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak dapat membuat kesimpulan yang sangat mudah bahwa itu harus juga dicantumkan. Padahal, kalau dilihat secara detail, hanya riwayat pendidikan yang dapat dijelaskan karena adanya … karena dapat dikaitkan dengan ketentuan paling tidak tamatan sekolah … ketentuan tamatan sekolah lanjutan atas. Sedangkan selebihnya hanya menimbulkan kerancuan, kerancuan tersebut misalnya, apa makna pekerjaan? Apakah dianggap seorang sultan harus memiliki pekerjaan sebelum menjadi sultan? Bagaimana jika belum memiliki pekerjaan? Hal yang sama juga terjadi pada Saudara kandung, bagaimana jika dia tidak memiliki saudara kandung atau dia menjadi anak tunggal? Apakah berarti dia dilarang menjadi sultan? Hal yang serupa juga pada istri, bagaimana jika dia laki-laki namun belum menikah atau istrinya baru saja meninggal atau wafat? Begitu pula soal anak, bagaimana jika dia memiliki istri namun belum memiliki anak? Apakah pembacaan sederhana terhadap pasal itu, apakah kemudian disimpulkan bahwa mereka-mereka tersebut tidak dapat menduduki jabatan sultan dan kemudian tidak dapat menduduki jabatan gubernur. Artinya, mustahil untuk membaca ketentuan tersebut sebagai suatu ketentuan yang mengharuskan seorang laki-laki, bahkan jika pun laki-laki haruslah memiliki pekerjaan, selain memiliki pekerjaan, harus memiliki istri, dan juga memiliki anak secara bersamaan pada saat dilantik sehingga jika belum memiliki salah satunya maka tidak dapat dilakukan pelantikan. Jika aturan ini dibaca secara seperti itu, maka tentu saja ini menjadi aturan yang sangat konyol serta diskriminatif secara bersamaan oleh karena menikah bahkan punya anak bukanlah sesuatu yang hadir dalam kewajiban hukum, akan tetapi juga bernuansa takdir dan titipan Tuhan. Memasukkan sesuatu yang sangat tidak pasti dalam suatu aturan sehingga bisa menimbulkan kewajiban pembacaan yang disampaikan di atas, akan sangat mungkin merusak konsep aturan itu sendiri. Jika menggunakan analisis Lon Fuller, ini merupakan aturan yang tidak memiliki konsep yang jelas. Dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dicantumkan pada bagian menimbang bahwa dalam kaitan dengan daerah, maka undang-undang ini dilahirkan melalui cara pandang terhadap Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18D Undang-Undang Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Terkait dengan lahirnya Pasal 18 ini, sangat jelas dapat dikatakan bahwa proses amandemen Pasal 18 tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan untuk tetap mempertahankan negara kesatuan. Inilah 16
kemudian yang dapat dikatakan bahwa ada tiga persoalan utama yang dibahas pada Pasal 18, yakni pembagian wilayah negara, pemerintahan daerah, hubungan pusat-daerah, sedangkan Pasal 18A melahirkan relasi pusat dan daerah, serta kewajiban untuk memperhatikan kekhususan dan keragaman. Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta lahir dalam kerangka tersebut. Tidaklah dipandang sebagai suatu daerah sendiri tanpa relasi dengan negara. Karenanya, ia tetap berada dalam kerangka negara kecuali untuk hal-hal yang dipandang sebagai kekhususan dan keragaman daerah sehingga wajib … negara wajib untuk memperhatikan kekhususan dan keragaman tersebut. Wacana tentang apakah perempuan atau laki-laki harus menjadi sultan di wilayah Yogyakarta, tentu merupakan hal yang tidak tepat karena posisi sultan telah diangkat sebagai bagian dari kelembagaan negara, yakni sebagai bagian dari gubernur sehingga berlakulah prinsipprinsip demokrasi dan kesetaraan. Jika pun soal jenis kelamin, anak, istri, dan pekerjaan itu menjadi sangat penting, maka itu harus menjadi bagian pertimbangan internal di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan bukanlah prinsip yang harus dijaminkan oleh negara. Kesimpulannya, secara keseluruhan ketentuan tentang calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah wakil negara ... warga negara Republik Indonesia yang harus memiliki syarat huruf m, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak adalah hal yang sangat tidak tepat, membingungkan karena menimbulkan kerancuan. Selain itu, telah menimbulkan diskriminasi yang telah nyata terhadap posisi perempuan dan karenanya Mahkamah Konstitusi menjadi sangat urgent untuk mempertimbangkan keberadaan ketentuan tersebut tetap berada di dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Demikian keterangan ini dibuat, semoga dapat membantu dalam perkara yang sedang dibicarakan. Wallahul muwafiq ila aqwamiththoriq, assalamualaikum wr. wb. 23.
KETUA: ANWAR USMAN Walaikum salam. Ya, terima kasih. Pemohon, apa ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan lebih lanjut?
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia. Kami mau mengajukan satu pertanyaan kepada Saksi saja, Yang Mulia. Kepada Saudara Saksi, tadi Anda mengatakan, Anda sehari-hari terlibat selaku ketua tim kerja RUU ini, itu dan sepengetahuan kami ini salah satu landmark RUU DPD itu. Nah, yang kami tanyakan adalah adakah politik hukum ketika itu atau 17
pembicaraan ketika itu perspektif untuk menentukan gubernur di DIY, perdebatan tentang perspektif patrilineal dan perspektif gender liberal, seperti itu. Ada tidak perdebatan ini sehingga seolah-olah gubernur itu harus laki-laki atau tidak boleh perempuan? Kira-kira begitu, Yang Mulia. 25.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Kuasa presiden silakan kalau ada?
26.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih,Yang Mulia, ada. Ya, Ahli, yang terhormat, pengujian di sini sangat spesifik, yaitu hal yang didalilkan oleh Pemohon diskriminasi yang terkait kepada Pasal 18 ayat (1), “Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m, menyerahkan daftar riwayat hidup.” Secara eksplisit verbis, secara clear and concise, tidak ada norma ini menyatakan melarang perempuan atau larangan kepada laki-laki. Tidak ada. Sehingga harus masuk ke dalam pemaknaan atau ke penafsiran berdasarkan penalaran yang wajar sehingga sangat penting melihat kata by kata di dalam norma tersebut. Pertama, kepada Ahli, bagaimana memaknai kata adalah warga negara Republik Indonesia? Kemudian, bagaimana memaknai menyerahkan daftar riwayat hidup? Pertanyaan lebih lanjut kepada daftar riwayat hidup adalah apakah daftar riwayat hidup dalam praktik ketatanegaraan kita sebagai syarat formil atau syarat materiil? Ini sangat penting nanti dalam perjalanan ketatanegaraan kita karena jika dia syarat materiil, maka penerima daftar riwayat hidup akan bisa menentukan ini memenuhi syarat atau tidak. Tapi apabila dia syarat formil, maka penerima daftar riwayat hidup tidak akan bisa menolak apa pun yang diserahkan oleh pemberi daftar riwayat hidup. Bagaimana praktik ketatanegaraan kita mengenai status hukum daftar riwayat hidup? Kemudian, juga tadi Ahli Dr. Zainal telah mengelaborasi kata antara lain. Jika ada kata antara lain, apakah dengan demikian bisa dimasukkan kata suami? Apa tafsirnya? Bagaimana kita menafsirkan bahwa norma yang mengatur menyerahkan daftar hidup tiba-tiba kita memaknai menjadi larangan? Apa tafsirnya di dalam ilmu hukum? Ini penting bagi perjalanan keilmuan kita nanti ke depan. Apakah ini jadi sebuah pandangan yang sangat berpikir (suara tidak terdengar jelas)? Bahwa nanti dalam praktiknya akan terjadi seperti ini. Padahal secara ilmu hukum, kita sangat yakin bahwa norma ini tidaklah sesuatu yang diskriminatif, itu.
18
Jadi, kemudian juga ketika daftar hidup. Kita ... saya dalam pegawai negeri sering kali mengisi daftar hidup. Riwayat ke luar negeri saya kosongkan karena tidak pernah ke luar negeri. Kemudian, ada riwayat dulu ketika belum punya anak, riwayat anak. Saya kosongkan karena tidak punya anak. Apakah terjadi seperti itu di sini? Riwayat pekerjaan, ya, dikosongkan, tidak ada pekerjaan. Riwayat anak dikosongkan, tidak ada anak. Kemudian, riwayat istri dikosongkan, tidak ada istri. Kemudian, riwayat suami ditambahkan ini. Itu hal yang pertama. Hal yang kedua adalah ketika Prof. Saldi tadi mengatakan proses internal dan proses eksternal. Ketika Kesultanan Yogya sudah menetapkan ada sultan. Misalkanlah sebuah ... seorang perempuan. Ketika diajukan ke DPRD, skenario apa yang terjadi jika ditolak, misalnya? Jika ini implementasinya. Apakah ini menjadi sebuah perdebatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, misalnya? Karena ini adalah masalah norma. Karena kita menjadi khawatir ketika ini menjadi masalah konstitusi. Apakah ini nanti akan masalah di dalam penerapan norma atau menjadi masalah konstitusi? Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih. 27.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Dari meja Hakim, Yang Mulia Ibu Maria.
28.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya mau melihat pada Pasal 7 ayat (2). Di sini dikatakan, “Kewenangan dalam urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Tara cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur.” Dan di ayat (3)-nya dikatakan bahwa keistimewaan itu didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Nah, kearifan lokal di sini kalau kita melihat pada Daerah Istimewa Yogyakarta, ini bisa kita hubungkan dengan ketentuan umum Pasal 4 ... angka 4. Di mana di sini dikatakan, “Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut kesultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dipimpin oleh Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panatagama Khalifatullah, selanjutnya disebut dengan Sultan Hamengku Buwono.” Kearifan lokal itu dari sana sebetulnya intinya karena Istimewa Yogyakarta. Di dalam Keraton Ngayogyakarta, di sini ada paugeran19
paugeran yang dapat dibuat sendiri oleh kesultanan. Bagaimana kalau itu kemudian di dalam ayat (4)-nya mengatakan bahwa kewenangankewenangan tersebut secara keistimewaan diatur di dalam perdais? Kalau semua itu kemudian yang dari paugeran itu kemudian masuk dalam perdais, tapi kemudian bertentangan dengan Pasal 1 angka 4 tadi, kemudian mana yang harus kita pilih, gitu, ya? Kemudian, pada Saksi Pemohon, bagaimana tata cara pembentukan paugeran di Ngayogyakarta? Siapa saja yang berhak untuk membuat itu? Dan kalau itu ada, siapa yang berhak untuk menyatakan bahwa itu salah atau yang berhak untuk membatalkan itu? Terima kasih, Pak Ketua. 29.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
30.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Saya ke Saksi Pak Paulus Yohanes. Kalau dari Ahli, kita sangat banyak mendapat pengayaan. Ada kata yang menarik dari Saksi bahwa ketentuan pasal yang diuji ini adalah kesalahan administratif. Saya bisa tanya langsung, ya, sebentar. Pak Saksi, Bapak hadir terakhir pada waktu paripurna, apakah ketentuan ini seperti ini? Waktu paripurna pengesahannya. Kan itu yang terakhir ... biasanya satu atau dua hari sebelumnya, itu persetujuan bersama. Di mana semua fraksi membubuhkan paraf dan juga pemerintah. Pada waktu itu, fraksinya sembilan, ya, belum ada Nasdem sekarang dan pemerintah. Nah, dipastikan betul, apakah kata istri itu, terbatas pada istri atau suami? Karena Bapak tadi menyebutkan bahwa ketentuan ini mengikuti Pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006, di sana suami dan istri. Nah, ini penting karena ini sudah berimplikasi, Pak. Pertama sekarang diuji di sini, tadi saya kira Pak Irman sudah agak ke sana. Yang kedua, ini sudah jadi perdais, ya Pak … Prof. Saldi, ini sudah jadi perdais. Ketentuan ini sudah dimasukkan di Perdais 1 Tahun 2013, ketentuan itu di Pasal 7 kalau tidak salah, sudah di ... persis seperti itu, jadi hanya istri saja. Jadi artinya DPRD dan pak gubernur itu sudah mengundangkannya. Jadi sudah mengikat juga, jadi sudah undang-undangnya, perdaisnya sudah, persis dimasukkan seperti ini, cuman saya tidak tahu apakah pada waktu menyusun perdais dulu sudah ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Jadi ini menarik kalau sekarang disebut kesalahan administratif. Jadi kata ini, ini bisa tidak sederhana, bisa disebut penyelundupan. Ayat-ayat tembakau dulu ya gara-gara beda itu, ini kok beda. Ini penting, Pak. Karena di dalam keterangan Pihak Terkait Pak 20
Gubernur kemarin yang mengatakan bahwa … waktu pertanyaan apakah karena ini undang-undang disiapkan oleh pemerintah pada waktu itu dengan presiden ada pasal ini? Kata pak gubernur kemarin, “Tidak ada pasal ini, ayat ini mengenai ... apa ... daftar riwayat hidup itu.” Nah, ini berarti ada ... waktu kapan ini berubahnya, pada waktu paraf persetujuan di DPR-nya, paripurnanya, atau di seknegnya, atau di DPR? Nah, ini karena terkait saya juga, saya dirjennya pada waktu itu, ya. Saya lihat ini menterinya sudah tidak Pak Patrialis lagi, waktu itu menterinya Pak Amir Syamsuddin, sudah Agustus, tapi waktu pembahasannya menterinya masih Pak Patrialis. Kalau ini kesalahan administratif, ini menarik, di mana? Dan oleh sebab itu, saya kira akan sangat lengkap bila kita dapat keterangan dari DPR dan sekneg. Karena biasanya setelah paripurna itu DPR mengirim ke sekneg untuk segera diundangkan. Memang biasanya dicek antara hasil paripurna dengan yang terakhir itu jangan sampai ada kesalahan, biasanya. Dan biasanya kalau ada hal-hal yang tidak sinkron ya kita kumpul lagi, biasanya. Nah, ini karena disebut ini kesalahan administratif, tapi sekarang ya sudah punya implikasi besar, sudah diuji di sini, kemudian sudah masuk perdaisnya, persis seperti pasal ini di perdais itu. Jadi sudah di ... apa ... undangkan dan itu sudah ditandatangani gubernur dan persetujuan bersama dengan ... apa ... DPRD-nya. Saya tidak tahu apakah pada waktu itu ya sudah ada pertanyaan apa seperti yang dipersoalkan sekarang ini, sehingga Pihak Terkait kemarin ya dengan rendah hati mengatakan, “Ya sebetulnya kalau mengikuti Pasal 58 huruf n Undang-Undang 32 Tahun 2004 karena waktu itu Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 sebelum sampai 23 tahun 2014 sekarang memang ada menyerahkan daftar riwayat hidup, pekerjaan, serta keluarga kandung suami atau istri.” Nah, kalau kesaksian Bapak tadi mengatakan, “Ya waktu itu persis seperti ini.” Nah, lalu sekarang hilang kata suami-nya. Nah, ini kan … itulah Bapak mengatakan dengan rendah hati, “Kesalahan administratif,” tapi tidak terlalu jauh mengatakan ini ... apa ... penyelundupan. Ini saya kira ya penting supaya ini menunjukkan ada hal-hal yang bisa kita telusuri, sehingga ini terkait bahwa proses ketika antara paripurna di DPR dan di pengundangannya. Saya mengusulkan, Pak. Saya kira kita ... atau mohon maaf, Bapak apakah ada bukti terakhir waktu paripurna tidak ada kata suami atau suami/istri ada? Sehingga itu bisa juga beralasan Bapak mengatakan ini kesalahan administratif walaupun tentu Bapak pasti hadir pada waktu ... apa ... persetujuan bersama di mana sembilan fraksi paraf dan wakil pemerintah itu kalau enggak salah tiga menteri ya atau empat menteri, Mendagri, pasti Menkumham, dan jangan-jangan saya juga parafnya itu, lupa saya ya. Ya, biasanya kalau ditugaskan oleh pimpinan, begitu. Ini saya kira penting karena baru kali ini menangani kesalahan administratif, Pak. Betul, betul, ya. Sehingga kita bisa dari sana juga bisa 21
meluruskannya, begitu ya. Selain tadi pandangan-pandangan filosofis, yuridis, sosiologis, dan kita menggali pada waktu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan dan lain sebagainya. Demikian, terima kasih, Pak. 31.
KETUA: ANWAR USMAN Lanjut, ke Yang Mulia Pak Suhartoyo.
32.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya, terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Saya ke Prof Saldi dan DR Zainal Mochtar. Begini, saya tertarik dengan apa yang disampaikan Prof Saldi tadi mengenai Pasal 18, pembagian daerah yang terdiri dari daerah kecil dan masing-masing sistem pemerintah yang diatur dengan undangundang dan seterusnya. Di sana didasarkan pada prinsip permusyawaratan dan hak asal-usul daerah istimewa ya, Prof Saldi, ya? Nah, saya tertarik dengan nomenklatur asal-usul itu. Artinya, kalau itu sangat dihormati dan sangat dijaga di dalam konstitusi kita Pasal 18 di dalam pemberian dan bahkan sebagai syarat di dalam pembagian daerah besar dan kecil yang kemudian termasuk Yogya ini, saya ingin barangkali Ahli punya batasan, sejauh mana ... sejauh mana batasan-batasan hak asal-usul itu yang boleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah bisa mencampuri? Sehingga untuk kasus ini, untuk daerah Yogya ini memang menjadi sangat sensitif ketika hak asal-usul di satu sisi harus dijunjung sangat prinsip, tapi di sisi lain kemudian saya melihat bahwa Pak Sultan ketika menjabat gubernur kemudian dia adalah sebagai kepala daerah, itu menjadi ada conflict of interest di situ. Seperti tadi dicontohkan. Bagaimana ketika kemudian yang bersangkutan, Beliau itu ketika menyusun Perda misalnya. Di hadapan lagi di satu sisi memang ... mohon maaf ya, ketika kemudian membicarakan atau memikirkan suksesi ke depan bahwa ada semacam tradisi yang menjadi sultan, raja itu adalah laki-laki. Kemudian Pak Sultan yang sekarang dihadapkan pada pilihan yang sulit bahwa ternyata keturunan beliau itu adalah tidak ada yang laki-laki. Nah, kemudian tiba-tiba di Perdais itu maupun di undang-undang sekarang, kok bisa muncul bahwa seolah-olah bahwa raja itu harus lakilaki karena di situ adalah turunannya yang akan menjabat kepala daerah. Konteksnya adalah membicarakan peraturan tentang ... undangundang tentang syarat-syarat kepala daerah ... calon kepala daerah, tapi itu tidak bisa terlepas dengan kedudukan sultan sebagai seorang raja. Yang di situ apa? Apakah harus laki-laki atau perempuan? Itu jadi menurut saya. Sejauh mana Pak ... Pak Saldi batasan-batasan itu?
22
Karena kalau boleh sampai ... sampai ke dalam-dalam pun ikut ... secara detil ikut mencampuri, nanti juga akan saya tanyakan ke Saksi ini. Bahwa di sana juga ada pergulatan tentang bagaimana sih perjanjian Raja-Raja Mataram ketika itu? Ini Pak Zainal Muchtar dari Yogya lama atau enggak ini? , itu. Antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan itu ya, Pak Saksi, ya? Tahu kan? Apakah bisa sejauh itu? Kemudian ada juga pemahaman begini, Prof Saldi. Bahwa ada semacam perjanjian antara Raja dengan alam yang alam itu diilustrasikan sebagai seorang wanita ... alam Jawa ini, yang sangat feminin sehingga untuk menjaga keseimbangan itu, seorang raja itu harus laki-laki karena alamnya sudah perempuan yang kemudian sering diwujudkan sebagai Nyi Roro Kidul itu. Nah, ini Prof Saldi tambah jauh, tambah enggak ngerti kalau soal ini, kan. Ini 2 SKS kata Pak Wahid katanya. Itu ... itu artinya ada historikal ke sana. Nah, sejauh mana Pemerintah itu kemudian bisa mendalami sampai ke sana? Sehingga di Perdais maupun undang-undang pun kok ikut-ikut, gitu lho. Saya ingin batasan-batasan. Karena Pak Zainal Mochtar juga tadi mengatakan bahwa ketika membahas tentang Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh secara parsial. Ah, pemahaman itu apakah juga kemudian klop dengan pertanyaan saya itu, yang saya ajukan ke Prof Saldi. Nah, ke Pak Saksi ya. Pak Saksi, namanya siapa Pak? Bapak orang Yogya memang ya? Oh, bukan orang Yogya. Oh, malah tambah ke sana, ke sana. Saya kira jadi di Keraton juga. Begini Pak, saya kira seperti Prof Maria tadi, Bapak-Bapak tahu tentang bagaimana ketika menyusun Paugeran, yang merupakan konstitusional Kesultanan itu. Apakah secara absolut Sultan punya kewenangan untuk itu? Tidak perlu melibatkan para ... apa istilahnya, stake holder yang ada di Kesultanan itu ataukah ... tapi itu pertanyaan Prof Maria. Yang ingin saya tambahkan cuma begini, Bapak, apakah ketika membangung atau menyusun konstitusi dalam wujudnya adalah Paugeran itu, yang Bapak jangan berpendapat, ya. Yang Bapak tahu, apakah sultan ada meninggalkan semacam tradisi-tradisi yang barangkali tradisi-tradisi itu sebenarnya mengisyaratkan bahwa seorang Raja Sultan Yogyakarta itu harus laki-laki. Seperti yang saya contohkan tadi, bagaimana dengan perjanjian Raja-Raja Mataram dan bagaimana dengan adanya perjanjian raja dengan alam tadi. Itu masih anu lho, masih pemahaman yang ada di luar. Nah, apakah di dalam juga ada semacam … apa ya … konstitusi yang mungkin kesepakatan yang tidak tertulis atau bahkan tertulis, tapi di konteks kekinian mungkin sultan karena punya kewenangan yang absolut, sultan bisa membangun konstitusi paugeran itu dalam konteks kekinian. Ini bukan pendapat Bapak atau tidak, itu saja, jangan pendapat. 23
Terima kasih, Pak Ketua. 33.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, sebelah kiri, Yang Mulia Pak Patrialis.
34.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Pertama, Pak Paulus, ya. Saya tertarik tadi, sama dengan Pak Wahiduddin Adams, saya kaget juga. Bapak tiba-tiba mengatakan undang-undang ini kesalahan administratif, tapi ini Hotman diam-diam saja ini. Betul, apa enggak itu kesalahan administratif, ya? Saya mau tanya, tadi katanya Saudara Saksi sebagai ketua tim ya, Pak, ya? Itu pernah menyatakan keberatan apa enggak, sih terhadap draf rancangan undang-undang ini, ya? Sehingga muncul pasal-pasal persyaratan mengenai riwayat hidup tadi itu? Kalau ada keberatannya, bagaimana bentuknya? Yang kedua, apakah rancangan undang-undang ini dibicarakan apa enggak sih di lingkungan Kesultanan DIY? Kan kesultanan ini kan sangat berkepentingan dengan seluruh kalimat, sampai titik komanya undang-undang ini. Dibicarakan apa enggak? Didiskusikan enggak secara mendalam, ya? Terus di mana keberatan-keberatan atau hal-hal yang mesti diperjuangkan? Nah karena undang-undang ini mengenai DIY, ini kan berkaitan dengan persoalan daerah. Nah, di sini ada DPD, lho, Pak. Saya ingin tahu DPD kan pasti concern di dalam memperjuangkan kepentingan daerah ini, walaupun DPD sebetulnya sangat tidak sependapat dengan permohonan Pemohon. Saya ingin tahu sampai sejauh mana Bapak ketahui posisi DPD dalam membahas rancangan undang-undang ini, ya? Karena Pemohon ini, Pak Irman enggak bilang kesalahan administratif ini, cuma diskriminasi. Ya, Pak Irman, ya? Oke, terus itu. Yang kedua, ini ke Prof. Saldi ini. Ini kita sama-sama enggak begitu paham mengenai Yogya ini, tapi enggak apa-apa, kita bicara masalah norma ini, ya, Prof, ya. Dalam aturan umum ini, dalam angka 4 ini yang disampaikan oleh Ibu Maria tadi, saya juga tertarik. Di sini kan selanjutnya dikatakan ya bahwa dan selanjutnya, ya, “Dan dipimpin oleh Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin.” Saya ingin tahu, Pak Saldi yang hebat ini, apa itu maksudnya sayidin? Sayidin itu laki-laki atau perempuan? Kalau perempuan apa? Sayidina? Ini kan kalimat ini penting ini, ya kan? Kita tidak bicara dalam posisi setuju atau tidak setuju perempuan ke depan di Yogya, itu urusan mereka di dalam itu. Tapi kita ingin menerjemahkan norma, ini ada sayidin panatagama khalifatullah. Itu tolong diterjemahkan ini, Pak Saldi. 24
Terus menurut pengetahuan Pak Saldi Isra, dulu kan juga kita ketika pilkada kan Pak Saldi juga mengenai Papua kan juga hanya membaca permohonan Pemohon, saya ingat itu. Ingat betul saya waktu itu saya Ketua Panelnya. Sekarang saya ingin tahu juga, menurut pengetahuannya Prof ini, di Yogya ini secara turun-temurun, ini kan tradisi, ya, tradisi selama ini, bahkan dalam undang-undangnya juga dinyatakan tradisi. Apakah pernah sebetulnya yang menjadi sultan ataupun selanjutnya menjadi gubernur itu adalah dari kaum perempuan, ya? Saya hanya ingin tanya, tapi bukan berarti setuju atau tidak setuju, ya. Kemudian, Prof. Zainal Arifin, saya agak sependapat ini dengan adik saya ini, Hotman Sitorus hari ini, pagi ini. Tentang pertanyaan tadi, kalau itu dikosongkan, riwayat hidup itu kan antara lain terus dikosongkan semua, apakah itu menjadi tidak sah riwayat hidup itu, ya kan? Kalau Beliau tadi ilmiahnya materiil dan formil. Saya enggak ... saya mau tanya itu saja. Kalau dikosongkan sah apa enggak sih, riwayat hidup itu? Begitu saja. Terima kasih. 35.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Yang Mulia Pak Palguna.
36.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum bertanya kepada Ahli, mungkin ... mungkin Majelis ini apakah atau … Mahkamah ini atau barangkali nanti kalau tidak ada yang hadiri atau tidak ada yang mengajukan, berangkali juga memang memerlukan ahli tersendiri yang paham betul tentang Yogyakarta, ya, dari perspektif historis maupun kebudayaan saya kira, di luar dari ahli hukum yang ini kan. Walaupun nanti putusan kita tetap adalah persoalan konstitusionalitas, Yang Mulia Ketua. Tapi yang mau saya tegaskan begini, saya hanya ingin me ... apa namanya ... mencoba penegasan dari kedua Ahli Prof. Saldi dan Dr. Zainal Arifin Muchtar. Apakah dengan keterangan Saudara, berarti Saudara Ahli ini hendak mengatakan bahwa pasal yang sekarang dimohonkan oleh Pemohon ini sesungguhnya itu sudah ... bukan merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang lagi untuk mengaturnya? Tetapi itu adalah urusan benar-benar menjadi urusan domain eksklusif dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Itu saja yang mau saya tanyakan, penegasan itu saja. Terima kasih, Yang Mulia.
37.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dimulai dari Saksi dulu mungkin. Ya, silakan. 25
38.
SAKSI DARI PEMOHON: PAULUS YOHANES Yang Mulia, izinkan kami menyampaikan jawaban. Tentang pertanyaan pertama, apakah dalam pembahasan itu ada perdebatan tentang gender? Saya kemukakan bahwa sama sekali tidak pernah dibicarakan. Karena apa? Karena pembahas menyadari bahwa yang dipersoalkan itu adalah input untuk menjadi calon gubernur itu dari mana. Itu saja. Saya perlu sampaikan bahwa ketika pembahasan itu sebenarnya, Yang Mulia, DPD sudah mempunyai draft lengkap tentang rancangan undang-undang yang sudah disampaikan kepada DPR RI. Tetapi di DPR RI enggak diapa-apain itu draft DPD. Yang dibahas adalah draft daripada pemerintah. Nah, dan itu sangat berbeda, sangat berbeda. Dan saya kalau boleh saya mengatakan, draft pemerintah yang lahir pada saat itu sesungguhnya akan menghabisi sama sekali peranan keraton karena yang dijaga adalah jangan ada negara di dalam negara, itu yang disampaikan oleh pemerintah ketika itu. “Jangan ada negara di dalam negara.” Nah, sehingga ketika itu peranan daripada keraton untuk menjadi gubernur itu sama sekali tidak ada dan kemudian diajukan untuk dipilih secara demokratis. Itulah perdebatan yang sangat-sangat panjang di sini. Nah, tentang gender ini, Yang Mulia, kami sampaikan jawaban bahwa tidak ada pembahasan sama sekali tentang wanita atau laki-laki, tidak ada. Karena apa? Karena pembahas menyadari tugas daripada undang-undang ini memberikan kedudukan hukum istimewa kepada Yogyakarta. Dan keistimewaan Yogyakarta itu ada terletak pada yang menjadi gubernur itu adalah sultan. Apakah sultannya itu kayak apa, itu urusan sultan ... urusan keraton. Tidak dibicarakan karena takut kualat, gitu lho. Nah, itu yang pertama saya sampaikan. Kemudian yang kedua. Pertanyaan ini sangat panjang, Ibu, terkait tentang kearifan lokal. Masalahnya ialah ketika itu dibahas luar biasa sampai dihadirkan ahli-ahli tata negara segala macam. Sebelum negara ada, sudah ada Keraton Yogya. Setelah ada mau merdeka, sultan sudah pro aktif menyatakan diri bergabung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalahnya ialah kalau di dalam rumusan Pasal 18 UndangUndang Dasar Tahun 1945 itu negara akan mengakui ... saya ulangi, negara akan mengakui pemerintahan yang bersifat istimewa sejauh mana pengakuannya ini unsurnya apa saja. Apakah seluruh struktur ini diberlakukan di dalam undang-undang? Itu yang tidak. Apakah struktur dan aturan pemerintahan Yogya … ini kita ingat bahwa Yogya sebagai keraton sudah memiliki struktur pemerintahan, sudah mempunyai undang-undangnya sendiri, programnya sendiri, tata caranya sendiri, sudah lengkap. Tapi ketika berintegrasi dengan Negara Republik
26
Indonesia ini sejauh mana negara akan mengakui? Hal-hal apa yang akan diakui itu? Ini tidak mudah. Sangat tidak mudah. Nah, oleh karena itu tim pembahas yang mendalam adalah DPD bahwa akhirnya lima hal yang disepakati untuk diberikan kedudukan hukum istimewa kepada Yogyakarta. Lima hal itu saja. Lima hal itu saja. Saya pikir saya tidak perlu mengulangi. Sehingga kita juga minta pada wakil Yogya ketika itu, kalau undang-undang ini jadi, maka keraton juga melakukan pembaharuan, saya ulangi, keraton harus melakukan pembaharuan menyesuaikan dengan gerak langkah politik republik ini. Jadi, tidak bisa menjadi benda asing di dalam negara. Ini tolong dapat dipahami sungguh-sungguh supaya apa? Supaya keraton ini betul berintegrasi tidak menjadi benda lain, begitu, tidak menjadi struktur lain. Oleh karena itu, di sini sangat hati-hati kita hanya pesan kalau begitu dalam pemerintahan yang dapat kita berikan adalah 5 ini. Yang lain dibutuhkan pembaharuan dari Keraton Yogyakarta dan itu diserahkan sepenuhnya kepada keraton sehingga tidak bisa seluruh tradisi itu diadopsi di dalam regulasi-regulasi daripada negara. Saya ulangi kata-kata saya, tidak bisa seluruh tradisi daripada keraton diadopsi di dalam regulasi negara. Tidak mungkin, gitu karena nanti menjadi … apa ... apa yang dikhawatirkan oleh (suara tidak terdengar jelas) dan kita jangan sampai jadi yang Pak SBY dulu, jangan sampai menjadi negara lain di dalam negara, gitu lho, maka harus kita beri, kita filter hal-hal apa yang dapat ditoleransikan yang dapat diserap yang dapat di-absorb di dalam regulasi negara ini terhadap tradisi-tradisi keraton itu. Nah, ini saya pikir itu inti penjelasan tentang nomor 2 daripada ... yang berikutnya tentang kesalahan administratif. Yang Mulia, perlu saya sampaikan bahwa syarat-syarat untuk menjadi calon gubernur yang disebut di dalam keistimewaan yang mengandung nilai bobot keistimewaan hanya dua saja, yaitu pada huruf c dan n. Lainnya sepakat syarat-syarat calon gubernur di tempat lain diberlakukan di sini karena itu bersifat pemerintahan yang baik bagi negara ini, itu masalahnya. Jadi, tolong dapat dipahami dengan sungguh-sungguh bahwa syarat keistimewaan yang menyangkut persyaratan gubernur hanya dua ialah bahwa calon gubernur adalah sultan yang jumeneng dan gubernur tidak boleh menjadi anggota partai politik. Tadi saya sampaikan bahwa syarat yang terakhir ini adalah tuntutan yang begitu deras di DPR bahwa semua partai politik menghendaki sultan harus netral kalau mau jadi gubernur, begitu, makanya itu para pembahas baik DPD, baik DPR, maupun dari pemerintah sepakat, setuju, oke, ini kita jadikan sebagai syarat. Sedangkan yang lain itu diminta untuk diambil … disepakati, dan diambil dari undang-undang lain. Dalam undang-undang lain yang berlaku ketika itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Nah, bunyinya di situ apa? 27
Bunyinya di situ adalah ada suami, istri, lho ini kok tiba-tiba hilang? Secara halus saya sampaikan ini kesalahan administratif, saya tidak berani mengatakan yang disebut oleh Bapak Akbar tadi, enggak berani, tapi sebenarnya saya juga ingin menitipkan pada teman-teman di DPRRI bagaimanan ini bisa terjadi seperti ini? Perlu saya (suara tidak terdengar jelas) sekalian bahwa fungsi DPD di dalam pengesahan undang-undang ini, Bapak-Bapak Yang Mulia, walaupun rancangan undang-undang itu berasal murni dari DPD sekalipun, tapi dalam pengesahannya DPD tidak punya hak apa-apa, bahkan kemarin malah tidak diundang. Ini kadang-kadang juga menjadi lucu gitu, dalam konsiderans perundang-undangan yang dilahirkan dari DPD, DPD memberikan pendapat yang begitu banyak pun tidak ada di sana, mengingat atau menimbang pendapat DPD tidak ada sama sekali. Jadi kalau tadi ditanyakan apakah diparaf, ini terakhir pengesahan itu ada di DPR, Bapak,Yang Mulia, saya sebagai ketua tim tidak diundang, tidak ikut serta di dalam rapat paripurna ketuk palu itu, tidak ada. Ini penjelasan saya. Kemudian (...) 39.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Sebentar, Pak Paulus. Saya mau dudukkan. DPD itu dalam Pasal 22D itu ikut membahas berkenaan dengan undang-undang (suara tidak terdengar jelas), tapi tidak berkaitan dengan pengesahan, pengesahan itu cuma ketuk palu saja kok, pembahasan itu yang penting. Jadi, Bapak jangan sampai ke sana, jangan panas-panasi DPD di sini, ya.
40.
SAKSI DARI PEMOHON: PAULUS YOHANES Pak, Yang Mulia. Jadi, mau saya sampaikan, DPD tidak mempunyai hak untuk ikut pengesahan, itu yang saya sampaikan bahwa kita tidak ikut dalam rapat sidang paripurna yang tadi ditanyakan apakah DPD ikut? Tidak ikut. Terima kasih.
41.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Prof. Saldi. Masih ada? Siapa duluan? Ya, Dr. Zainal.
42.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Mohon izin, Yang Mulia. Saya akan menjawab secara … apa ... secara berbasis pertanyaan saja. Yang pertama dari Pak Sitorus. Saya mengatakan bahwa jelas bahasa Warga Negara Indonesia itu artinya berlaku untuk semua. Kata antara lain, saya juga sudah katakan dan ada di keterangan saya. Bahwa antara lain itu bisa mencakup di luar itu, artinya boleh. 28
Nah, yang menjadi menarik adalah apa gunanya daftar riwayat hidup sebenarnya? Kalau kita baca sebenarnya, apa guananya daftar riwayat hidup? Bagi saya, pemahaman hukum saya, mengatakan daftar riwayat hidup itu digunakan untuk memverifikasi syarat-syarat lainnya. Misalnya, untuk syarat … kenapa mesti ada syarat riwayat pendidikan dicantumkan? Itu karena harus direlasikan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d. Yang mengatakan bahwa dia harus SMA, atau sederajat. Itu menjadi penting. Nah, tetapi coba kita bayangkan lalu kemudian, apa verifikasinya terhadap istri, anak kandung, pekerjaan, dan lain-lainnya selain itu? Apa urgensinya itu dicantumkan? Kalau Anda katakan bahwa saya enggak tahu ya, Pak Sitorus barangkali … apa … teman-teman dari Pemerintah ini tidak ada di Yogyakarta ketika tahun 2013 ketika pembahasan ini. Kalau Anda sampaikan bahwa itu diisi kosong saja, dengan begitu pertanyaan saya, saya bisa balik. Kalau begitu, buat apa dicantumkan? Kalau diisi kosong, kenapa tidak dicantumkan saja, kenapa tidak ditulis daftar riwayat hidup saja? Karena menurut saya, tujuan daftar riwayat hidup itu adalah untuk memverifikasi yang lainnya. Untuk memverifikasi yang lainnya. Betulkah dia memang sudah pas dengan klausula 18 ayat (1) huruf d misalnya, soalnya sudah tamatan SMA. Nah, kalau itu, saya masih bisa menerima daftar riwayat hidup. Kalau tapi kok … misalnya daftar tempat, tanggal lahir. Tanggal lahir menurut saya penting. Kenapa? Karena berkaitan dengan Pasal huruf e soal 30 tahun. Tetapi kalau kaitan dengan istri, menurut saya tidak ada kaitan korelasi daftar riwayat hidup. Maka bayangan saya, daftar riwayat hidup kosongkan saja. Silakan semua orang mencantumkan daftar riwayat hidup. Seperti bagaimana undang-undang lain mengatur soal itu. Yang mengherankan adalah kenapa pasal itu kemudian diatur daftar riwayat hidup yang memuat antara lain. Kemudian mencantumkan antara lain dan itu antara lain itu spesifik. Nah, barangkali pemerintah tidak hadir di Yogyakarta ketika perdebatan Perdais Nomor 1 Tahun 2013. Karena yang beginian ini menjadi perdebatan ketika perdais disusun. Orang kemudian mengatakan apa? Ya, harus istri. Lahirlah kemudian Pasal 7 seingat saya, perdais itu. Yang kemudian menyatakan harus istri. Nah, saya tidak tahu kenapa sultan? Mungkin bisa ditanyakan secara langsung ya kepada sultan waktu itu, kenapa kemudian menyetujui? Tapi seingat saya, seingat saya, jadi maaf kalau keliru. Seingat saya waktu itu karena perdais itu mengatur hal yang banyak. Lalu karena tertunda-tunda pembahasannya, sultan tidak mau, sehingga kemudian dia sahkan saja. Dia ikut dalam proses ditetapkannya perdais, tapi silakan tanyakan langsung ke sultan. Seingat saya begitu, kejadian … apa … kejadian sesungguhnya. Kenapa kemudian itu ditandatangani juga dan lahirlah Perdais 1 Tahun 2013.
29
Tapi kalau saya mengatakan kalau kita selalu mengatakan bahwa mungkin pihak Pemerintah terlalu baik. Jadi dia mengatakan ini kan enggak penting, biarkan dicantumkan di sini. Toh, bisa dikosongkan, tidak perlu disampaikan. Tetapi kalau otak itu sama dengan yang terjadi di pembahasan perdais, yang sama dengan yang terjadi di Yogyakarta. Barangkali tidak ada pembahasan berlama-lama perdais tatkala itu. Karena pembahasan perdais kemudian berlama-lama karena di wilayah ini, persis. Nah, makanya menurut saya Mahkamah kemudian menjadi penting untuk menempatkan kedudukan sesungguhnya. Saya termasuk yang mengatakan jelas riwayat hidup itu penting dalam kaitan memverifikasi. Dalam kaitan dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf e, Pasal 18 ayat (1) huruf d karena penting. Ada 30 tahun, ada kemudian yang namanya pendidikan. Tapi kalau istri, anak, tidak ada kaitan menurut saya. Tidak ada kaitan satu pun dengan ketentuan … apa … prasayarat sebagaimana yang disebutkan Pasal 18 ayat (1). Yang kedua, pertanyaan dari Yang Mulia Ibu Maria Farida. Kalau bicara soal kearifan lokal, tentu bukan saya barangkali orang yang tepat. Saya 20 tahun di Yogyakarta, tapi doesn’t mean saya paham … apa … sejarah Yogyakarta, konteks, dan lain sebagainya. Tapi saya ingin mengatakan bahwa perdebatan ini nampak ketika perumusan kemudian terjadi Pasal 7 ayat (2), perdebatan soal ini. Makanya kemudian, perdais mencantumkan hal yang serupa dengan … seingat saya bahkan ada pernyataan waktu itu bisa diverifikasi. Mungkin bisa dipanggil Anggota DPRD di sini. Dipanggil kembali pemerintah daerah tatkala itu kenapa kemudian menerima perdais? Tapi seingat saya ada perdebatan sampai yang mengatakan bahwa ini penting, ini harus perempuan, ini harus laki-laki. Nah, kalau kemudian masuk perkataan harus laki-laki, saya barangkali nyambung dengan pertanyaan yang disebutkan oleh Yang Mulia Pak Palguna. Ini adalah rezim undang-undang. Karena rezim undang-undang menjadi rezimnya negara untuk menentukan. Anda bisa bayangkan kalau rezim negara kemudian mengatur diskriminatif. Ini bisa menjadi rusak konsepnya menurut saya kalau undang-undang mengatur diskriminatif. Alangkah bagusnya menurut saya, kalau negara tidak perlu mengatur sampai ke hal yang diskriminatif. Tidak perlu mengatur sampai harus laki-laki. Biarkan urusan itu adalah kesepakatan mau bentuk konstitusi di dalam Negara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Biarkan paugeran yang kemudian menentukan itu karena kalau kemudian ... karena ini negara soalnya, ini alat negara yang dipakai adalah undang-undang. Undang-undang tentu memperhatikan nilai kearifan lokal, tapi biarkan kearifan lokal itu tidak perlu diatur. Kalau kearifan lokal itu harus diatur, bayangkan saja ada banyak kemudian yang harus diatur jangan-jangan ... bukan hanya soal perempuan, bentuk perdais, bahkan soal pertanahan karena pertanahan ini kan menjadi salah satu yang penting sekarang, soal tanah-tanah di 30
Yogyakarta itu. Kalau tanah ... apalagi sekarang kan biarkan itu menjadi bagian internal di dalam Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang itu bisa disepakati kemudian ... antara mereka dengan DPRD dan kemudian berwujud menjadi perdais. Nah, apa yang ingin saya sampaikan sebenarnya terhadap pertanyaan, Yang Mulia Ibu Mari Farida. Saya mengatakan perdais sudah dibuat agak melenceng sesungguhnya karena adanya peraturan undangundang ini. Perdebatannya menjadi panjang karena adanya Pasal 18 ayat (1) huruf m ini. Nah, menurut saya saatnya untuk kemudian ditegakkan kembali. Jika misalnya MK mengatakan bahwa ini sudah konstitusional, ya sudah selesai, perdaisnya enggak ada masalah, tetapi kalau ini tidak konstitusional, penting ... pesan penting bagi perdais bahwa sesungguhnya itu harus diganti. Menjadi pesan penting bahwa itu kemudian harus direvisi. Berikutnya pertanyaan yang ... Yang Mulia Pak Patrialis. Saya pikir ... Pak Patrialis Akbar, saya pikir saya sudah menjawab tadi pertanyaan yang disampaikan apa ... oleh yang sama dengan Pihak Pemerintah. Cuma memang begini, saya terus terang membaca ... mohon maaf kalau saya keliru ya karena saya memang tidak paham, ini karena saya tidak paham ke ... soal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi kalau saya membaca keterangan Pasal 1 huruf 4, itu ya karena memang sebutannya adalah itu, makanya kemudian dicantumkan model sayyidina, model bla, bla, dan lain sebagainya ... eh, sayyidin. Kemudian khalifatullah, itu dicantumkan. Bahwa itu apakah itu harus laki-laki, menurut saya, ya, berdasarkan penafsiran konteks saja, berdasarkan ... karena banyak … mohon maaf, ini kalau saya tidak ahli agama sangat, mungkin Pak Patrialis barangkali ... Pak Patrialis bisa apa ... menegur kalau kemudian saya keliru. Tapi memang ada banyak ayat sendiri dalam Alquran yang kemudian itu seakan-akan ditujukan kepada perempuan, tetapi sebenarnya … eh, ditujukan kepada laki-laki, padahal sebenarnya konteksnya menyatakan itu bukan hanya ditujukan kepada laki-laki, lihatlah konteks secara keseluruhan. Misalnya, kewajiban menuntut ilmu. Ya, seharusnya memang dikonteksnya itu bukan hanya muslim, tapi juga muslimat, tholabul 'ilmi faridhotun ala kulli muslimin. Bukan hanya sekedar muslim tapi juga harus diterjemahkan menjadi muslimat. Karena bukan berarti bahwa yang harus mengejar ilmu itu hanya laki-laki, perempuan juga, kira-kira begitulah. Jadi saya ... silakan kalau misalnya saya keliru, saya di ... tapi saya memahaminya bahwa kadang-kadang ada konteks kalimat, kata yang ya secara kultural barangkali memang bisa dianggap ... digunakan secara laki-laki, tapi bisa saja kemudian ditafsirkan secara berbeda. Kalau khalifatullah, kalau menurut saya tidak menunjukan soal laki-laki atau perempuan karena khalifatullah itu apa ... manusia itu adalah khalifatullah, jadi dia berlaku lebih apa ... lebih pokok. 31
Pak ... dari yang ... dari yang Pak Hakim Suhar ... Pak Yang Mulia Hakim Suhartoyo, saya terus terang juga tidak paham secara detail soal apa ... historisnya atau culture-nya, tapi saya membayangkan secara sederhananya bahwa ini adalah negara, aturan negara. Aturan negara mengakibatkan bahwa dia kemudian harus mengatur dan ini menjadi politik hukum negara terhadap Yogyakarta. Pertanyaan saya apakah bisa berubah politik hukum Yogyakarta ... terhadap Yogyakarta? Ya, sangat mungkin. Kalau suatu saat dikatakan bahwa selesai, tidak penting lagi, kemudian balik pemilihan itu melalui pemilihan langsung, ya, itu soal politik hukum negara. Nah, sayangnya konteks ini kemudian menjadi keliru kalau kemudian politik hukum negara mengatur secara bias gender. Mengaturnya hanya sekedar laki-laki apa ... anak perempuan dan lain sebagainya. Saya pikir itu yang bisa saya elaborasi. Terima kasih. 43.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Lanjut ke Prof. Saldi.
44.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Kalau apa ... Pak Zainal tadi yang 20 tahun tinggal di Yogya enggak bisa menjelaskan semua, saya pasti tidak bisa lebih jauh tidak jelas lagi menjelaskan soal-soal Yogya. Jadi saya mohon maaf, mungkin apa namanya ... saya apa namanya ... sempat belajar desentralisasi asimetris ini dulu karena rencana mau jadi disertasi. Bahkan sudah ujian proposal, kemudian menarik diri dari situ. Dan saya pernah penelitian sampai ke Skotlandia ketika itu, belajar desentralisasi asimetrik di Inggris, Skotlandia, ke Wales ketika itu. Jadi kerangka-kerangka teoritiknya mungkin bisa saya paham, Yang Mulia Pak Suhartoyo, Ibu Maria, dan Pak Patrialis termasuk juga Pak Palguna, tapi kalau di dalami betul Kesultanan Yogya, saya enggak mengerti, banyak yang tidak mengerti. Saya sempat S3 di Yogya, tapi juga enggak sampai 2 tahun tinggalnya di Yogyakarta. Saya berharap tadi Pak Zainal bisa menjelaskan itu. Saya pun kalau ditanya soal konstitusi … apa ... kesultanan di Yogya itu, saya enggak tahu itu tertulis atau tidak tertulis, enggak tahu juga. Tapi kalau itu dianggap konsitusi dia kan masuk juga ke rezim yang mungkin diubah, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jadi, kalau dia tertulis teksnya itu yang harus diubah, kalau tidak kebiasaan yang timbul di dalam praktik kesehari-harian itu kan bisa juga berubah kalau itu dianggap dia menjadi konsitusi, tidak tertulis. Tapi sekali lagi, saya tidak paham bagaimana bentuk konsitusi di … apa ... di Kesultanan Yogya itu dan ini mungkin kelemahan saya dan 32
sebagian besar orang tata negara, banyak belajar konstitusi negaranegara lain, tapi konstitusi yang hidup di masyarakat kita sendiri tidak pernah mau dipelajari. Ini kritik juga untuk kami orang tata negara dan mungkin setelah ini ada perhatian khusus soal-soal begini karena ini … apa namanya ... ke depan, soal-soal kekhususan ini akan jadi perdebatan terus-menerus. Banyak daerah sekarang mulai minta status khusus, di Sumatera Barat sekarang mulai muncul Daerah Istimewa Minangkabau dan ini … Bali muncul dan ini akan memerlukan kajiankajian hukum tata negara menurut saya. Jadi, mudah-mudahan peristiwa hari ini memicu kita untuk mendalami soal-soal yang sebetulnya kita miliki secara turun-temurun. Saya ingin menjelaskan dulu soal riwayat hidup … apa namanya ... sebagiannya saya sependapat dengan Pak Zainal. Saya agak berbeda, perlu enggak istri atau suami dicantumkan kalau orang mau jadi pejabat publik? itu kalau menurut saya perlu, tapi jangan hanya mencantumkan suami saja atau istri saja karena itu kan, punya cara pandang atau cara pikir a contrario. Kalau daftar riwayat hidup hanya mencantumkan istri, itu secara a contrario kan, kita akan beranggapan bahwa ini hanya lakilaki saja karena yang diminta adalah pasangannya istri. Nah, supaya lebih adil, saya mengatakan harusnya itu di-slash ada suami/istri. Nah, itu baru tidak diskriminatif kalau dalam konteksnya dia hukum negara. Dan bisa diverifikasi juga bahkan dulu saya masih ingat ada sidang di Mahkamah Konstitusi seorang advokat terkemuka mengatakan, “Ini juga keliru karena formulirnya hanya mencantumkan suami … apa ... istri saja.” Padahal yang bersangkutan punya lebih dari satu, harusnya istri, istri, jadi harus 1, 2, begitu. Ada juga di sini sidangnya, saya pernah ikut, melihat persidangan ketika itu, itu dalam sengketa pilkada. Jadi, format yang dituliskan secara ketat itu memang bisa menimbulkan wilayah perdebatan yang tidak berkesudahan, makanya untuk netral saya anggap sudah kalau istri/suami, atau tidak sama sekali. Jadi, perdebatannya tidak muncul di wilayah itu. Ini soal nilai-nilai yang hidup di Keraton. Sekali lagi saya mengatakan di pepatah Minang itu disebutkan begini … apa … Yang Mulia, Ibu Maria, “Sekali air besar, sekali tepian berubah.” Jadi, enggak ada yang abadi, betul-betul abadi. Dia akan selalu terjadi perubahan mengikuti dinamika waktu. Nah, apakah yang terjadi di Yogya itu menunjukkan sekali air besar, sekali tepian berubah? Ini sejarah yang akan menjawabnya. Kalau kita rujuk misalnya pengalaman di Jepang. Jepang itu pernah juga terjadi perdebatan yang mirip-mirip begini karena apa? Ada keturunan … apa ... kaisar yang tidak laki-laki, lalu muncul perdebatan haruskah konsitusi kita diubah? Karena selama ini kaisar laki-laki dan tidak punya keturunan laki-laki. Tapi dalam berdebatan itu salah satu seorang keluarga melahirkan anak laki-laki, perdebatan itu selesai. Nah, harusnya 33
perdebatan itu diteruskan karena kan, tidak ada juga orang yang bisa menentukan apa yang akan terjadi di kemudian hari, dan kebetulan ketika perdebatan itu muncul, saya dan Pak Zainal sedang jadi visiting scholar di Gakushuin University di … apa ... di Tokyo ketika itu dan kita mendengarkan penjelasan dari beberapa guru besar di situ. Nah karena undang-undang … apa ... Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 itu menentukan eksplisit persyaratan itu ada istri, pembentuk Perdais menjadi memiliki alasan hukum yang kuat memindahkan persyaratan yang ada di undang-undang itu ke Perdais. Coba kalau itu tidak ada? Dan yang di bawah kan, tidak bisa juga menambahnya karena dia ada menghilangkannya pun dianggap bisa melanggar ketentuan perundang-undangan atau undang-undang. Jadi, saya menganggap apalagi tadi ada penjelasan dari … apa ... dari Saksi yang mengatakan, “Dulu sih, sebetulnya diadopsi dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang dibaca memang di situ … apa .. suami ... istri atau suami.” Jadi, ada ruang untuk bisa laki-laki, bisa perempuan. Tapi mengapa dia berbeda dan saya juga tidak tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Lalu, Perdais harus ikut yang mana? Kalau pembentuk perdanya berpikiran formal ... legalistik formal, dia akan pasti akan tunduk kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2000 … apa ... Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Padahal kalau mau berpikir lebih … apa ... lebih dalam soal internal itu kan, menjadi urusan keraton, harusnya kembali merujuk ke situ. Nah, ini kan, ada 2 hal sebetulnya ada formalitas hukum yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 12 … 13 Tahun 2015 ada fakta yang terjadi yang mengatakan ini menjadi urusan internal di Keratonan atau Paku Alaman. Dan saya enggak tahu seberapa jauh perdebatannya ketika membahas ini di Yogyakarta. Lalu, Yang Mulia Pak Suhartoyo, ya, kalau cerita Nyi Roro Kidul, tambah tidak mengerti lagi saya, Yang Mulia. Bagaimana itu … mengapa menyebandingkan alam itu diibaratkan perempuan, sehingga untuk menjaga keseimbangannya laki-laki, saya mohon maaf tidak bisa menjadikan penjelasan soal itu. Tetapi menurut saya, keraton atau daerah-daerah yang diberi status istimewa, itu kan juga harus dilihat sangat mungkin terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Nah, itu. Itu yang saya katakan dinamika di internal itu. Jadi, harusnya undang-undang ini itu menyerahkan kepada proses internal, formalitasnya baru keluar dari sana. Jadi tidak harus terlalu detail mengatur soal persyaratan menyangkut dengan gubernur ini. Karena apa? Sudah ada kesepakatan bahwa soal gubernur itu akan berasal dari dua tempat itu. Wakil gubernurnya dari tempat yang jelas juga dan gubernurnya dari tempat yang ditentukan juga secara jelas. Jadi, tidak perlu lagi detail mengatur … apa … mengatur soal syarat istri. 34
Bahkan kalau kita rujuk ke Sultan Hamengku Buwono IX, kan cocok juga kalau kasih kata satu istri. Karena kan ada lebih dari satu istrinya ketika itu. Jadi, itu kelemahannya mencantumkan secara eksplisit seperti itu. Apa yang menjadi batas-batas? Nah, kalau misalnya salah satu batas yang penting menurut saya, yang itu akan sedikit mengubah tradisi keraton, Yang Mulia Pak Suhartoyo adalah adanya keharusan dari undang-undang bahwa proses internal itu berlangsung secara demokratis. Jadi, tadi Beliau mengatakan karena ada persyaratan itu. Bahwa proses internal itu harus berlangsung demokratis. Tentu versi demokratisnya demokratis dalam kulturalnya Yogya, dalam kulturalnya keraton. Tidak bisa diteropong dengan demokratis dalam versi Aristoteles dan segala macam itu. Nah, ini memang menjadi poin yang … kalau orang mengatakan begini. Misalnya sampai nama itu kepada apa? Kepada DPRD, lalu DPRD kan bisa saja menanyakan, ini prosesnya sudah demokratis atau belum? Nah, ini soal yang mungkin tidak kalah seriusnya soal demokratisasi di internal keratonan itu. Nah, mungkin ada … apa namanya … Paseban dan segala macam, saya enggak tahu itu, Pak Zainal. Ada peristiwa ini, ada musyawarah ini, dan segala macam. Tapi yang jelas, dia memang dipimpin oleh sultan, gitu. Dan poin berikutnya, saya mohon maaf, Pak Patrialis. Saya tidak bisa menjawab soal Sayidin dengan Sayidina tadi. Kalau khalifah itu dalam Alquran kan tidak harus laki-laki karena semua yang … apa … menyebar ke muka bumi. Sayidin dan Sayidina itu sebetulnya memang punya perbedaan. Saya berharap Pak Zainal karena dia yang mendalamdalami soal yang kayak-kayak begini. Tapi takut juga masuk terlalu jauh menjelaskan ke Pak Patrialis, katanya. Tadi dia berbisik, Pak Patrialis itu sebetulnya, “Kura-kura dalam perahu saja, pura-pura tidak tahu,” katanya. Ya, tidak perlu ditanyakan juga ke kita. Khalifahtullah sudah, secara turun-menurun. Lalu Pak Palguna, perlu penegasan saja. Apakah dengan keterangan yang hendak mengatakan bahwa menjadi urusan internal? Ya. Saya mengatakan itu menjadi urusan internal di keraton. Karena itu yang dianggap sebagai salah satu bentuk keistimewaan. Terlepas kita setuju atau tidak, itu dari politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 sudah dikatakan menjadi urusan internal keraton. Nah, itu. Terima kasih, Yang Mulia. 45.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih, Prof.
35
46.
SAKSI DARI PEMOHON: PAULUS YOHANES jawab.
47.
Yang Mulia, minta izin. Tadi ada pertanyaan satu yang belum saya
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. Silakan.
48.
SAKSI DARI PEMOHON: PAULUS YOHANES Yang Mulia, yang saya tahu, saya memang lama di Papua, tetapi saya orang Jawa dan saya mendapat warisan budaya Jawa dari nenek moyang saya yang adalah juga salah satu laskar daripada Pangeran Diponegoro. Jadi saya adat Jawa diajari. Nah, dalam adat Jawa, Sabda Raja kalau saya katakan dasar akademis itu norma, itu menjadi norma. Sama dengan dalam keluarga, kata bapak, kata orang tua, itu norma dalam keluarga. Itu, itu adat Jawa. Tak ada satu anak Jawa berani, kecuali anak-anak sekarang ya, anak-anak sekarang. Tak ada orang tua yang berani melawan bapaknya, tidak ada. Nah, oleh karena itu, Sabda Raja itu dalam Paugeran menjadi norma utama. Paugeran menerjemahkan … paugeran ini kan undangundang aturannya, menerjemahkan Sabda Raja. Nah, masalah memang nanti terjadi ketika misalnya Sabda Raja yang terdahulu dengan Sabda Raja yang di belakang itu bisa berbeda, paugeran tentu berubah. Oleh karena itu, Yang Mulia. Ketika menyerahkan undang-undang ini, saya selaku ketua tim juga menyampaikan pesan bahwa walaupun undang-undang ini sudah jadi, tetapi proses integrasi termasuk kelembagaan … termasuk kelembagaan, termasuk pertahanan. Ini terusmenerus dibutuhkan, supaya norma-norma kerajaan dengan normanorma republik ini, bisa diharmonisasikan. Jadi tidak menjadi benda lain, sehingga nanti rakyat tidak menjadi binggung. Nah itu yang perlu saya sampaikan bahwa paugeran itu memang juga dinamis, mengikuti sabda rajanya bagaimana mengatur itu. Nah saya pikir itu. Terima kasih, Yang Mulia.
49.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih, Pak Paulus. Pemohon, apa masih ada ahli atau saksi, sudah cukup?
36
50.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Cukup, Yang Mulia. Mungkin kami akan lihat perkembangannya nanti kalau (...)
51.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak, harus dipastikan sekarang, supaya bisa sidang jadwal.
52.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Cukup, Yang Mulia. Cukup.
53.
KETUA: ANWAR USMAN Ha? Cukup. Baik. Kuasa Presiden?
54.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah tidak menghadirkan ahli, Yang Mulia.
55.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, jadi tidak mengajukan? Oh baik. Baik, kalau begitu persidangan ini dirasa sudah cukup, ya. Oleh karena itu … sementara ya? Ya, nanti lihat kalau memang sepertinya yang disampaikan Yang Mulia Pak Palguna tadi.
56.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Mohon izin, Pak Ketua. Sebenarnya dalam kapasitas sebagai Pihak Terkait ketika itu, saya mempunyai persepsi bahwa sultan dan anu itu mau hadir terus, ada beberapa hal yang masih saya ingin dalami, satu. Yang kedua, beliau juga punya hak untuk mengajukan ahli barangkali, itu yang terus terang kan kami juga kami masih perlu pendalaman. Memang kalau kita bicara norma mungkin secara dangkal itu bisa kita selesaikan, tapi karena ini kaitannya tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang ada di dalam itu, sebenarnya meskipun ini wilayahnya adalah RPH, barangkali kalau kita sepakati sebagai … sementara cukup, ketika nanti akan kalau dibuka kembali kan tinggal memanggil, Pak Ketua. Terima kasih.
37
57.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik jadi sambil melihat perkembangan dalam RPH nanti. Apakah Mahkamah masih memerlukan keterangan lebih lanjut dari ahli lain. Jadi begitu Pemohon, Kuasa Presiden, dan DPD ya, nanti Mahkamah akan membahas lebih lanjut dalam RPH mungkin, apakah memerlukan ahli yang tahu mengenai Keraton Yogya dan juga ahli lain mungkin, termasuk ahli pemerintahan. Untuk itu, kesimpulan nanti kapan diwajibkan untuk diserahkan atau diharuskan, nanti akan diberitahu secara tertulis oleh Kepaniteraan. Begitu, Pak Irman, ya? Untuk kesimpulannya. Jadi misalnya begini, kalau masih sidang berlanjut, tentu kan akan dipanggil lagi, gitu. Kalau tidak ada lagi sidang, maka kesimpulan akan diberitahu melalui surat oleh Kepaniteraan kapan harus diserahkan. Jadi kalau kesimpulan nanti sudah diharuskan melalui surat, berarti tidak ada lagi persidangan. Ya, siap-siap juga sekarang enggak apa-apa, ya.
58.
KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN Yang Mulia, saya bertanya saja, Yang Mulia. Tadi memang kami juga cukup ragu untuk mengatakan cukup ahli atau saksi yang kami ajukan, gitu. Karena kami pikir jangan sampai juga Mahkamah ragu untuk anu … untuk menutup juga, gitu. Makanya, mungkin kalau memang adapun perkembangan lagi nanti, mungkin kami bisa diberikan kesempatan untuk mengajukan yang perlu kami ajukan, kira-kira begitu, Yang Mulia. Tapi kalau memang sudah ditutup, kami siap membuat kesimpulan sesegera mungkin ini, Yang Mulia. Kira-kira begitu, Yang Mulia.
59.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Usul, Pak Ketua.
60.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
61.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kalau misalnya ahli memang apa ... Pemohon masih mau mengajukan ahli, diharapkan ahli yang diajukan itu yang paham tentang Yogyakarta dan juga yang bisa menerangkan, barangkali, kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tadi muncul di Mahkamah ini. Ya 38
khususnya atau mungkin juga dengan sejarah hukum dan sebagainya walaupun secara hukum tata negara, beliau berdua ini sudah menjelaskan. Tapi, barangkali yang konteks yang tadi mungkin belum bisa dijelaskan di sini sehingga match dengan sejarah hukum tata negaranya itu, saya kira bisa juga dihadirkan oleh ... oleh Pemohon. Nah, itu yang mungkin kami nanti sebenarnya akan bicarakan barangkali dalam RPH sebab bagi saya, khususnya nanti itu kami merasa penting keterangan itu dan bukan ... bukan satu halangan kira-kira bagi Mahkamah kalau misalnya Mahkamah dengan inisiatif sendiri juga bisa memanggil. Tetapi kalau itu diajukan oleh Pemohon, tentu akan ... akan lebih baik, gitu karena Pemerintah tidak mengajukan, begitu. Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. 62.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ya, jadi begitu.
63.
KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN Yang Mulia, mungkin kami akan ajukan satu ahli yang bisa menjelaskan tentang internal keraton itu, Yang Mulia, begitu.
64.
KETUA: ANWAR USMAN Oh. Ya, sekaligus yang mengetahui tentang pemerintah daerah di sana, gitu, ya.
65.
KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN Insya Allah, Yang Mulia, saya bisa, gitu.
66.
KETUA: ANWAR USMAN Baik kalau begitu, oke. Nah, kalau memang demikian halnya, maka sidang ini ditunda hari Kamis, tanggal 8 Desember 2016, pukul 11.00 WIB untuk mendengar keterangan ahli dari Pemohon dan kemungkinan juga ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, gitu, ya. Ya, sudah jelas, ya, Pak Irman? Kuasa Presiden?
67.
PEMERINTAH: Cukup, Yang Mulia.
39
68.
KETUA: ANWAR USMAN Dan DPD juga sudah jelas, ya. Dan untuk Prof. Saldi, kemudian Dr. Zainal, dan Pak Paulus terima kasih telah memberikan keterangan dalam persidangan ini. Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.10 WIB Jakarta, 29 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
40